You are on page 1of 7

PENGEMBANGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI PADA SISTEM BUDIDAYA BAWANG MERAH (Kajian pengendalian Spodoptera exigua Hubn.

melalui pengelolaan habitat ) Tarmizi1), Siti Rasminah, Yogi Sugito dan Gatot Mudjiono2) 1) Fakultas Pertanin UNRAM 2) Fakultas Pertanian UNIBRAW ABSTRAK
Bawang merah merupakan salah satu komoditi potensial untuk agribisnis industrial pedesaan di NTB, meskipun luas areal tanam dari tahun ketahun cendrung menurun disebabkan seriusnya kendala biologi yang berdampak pada tingginya biaya produksi. Hal ini kemudian membentuk karakter agroekosistem konvensional (convensional agroecosystem) dimana dalam mempertahankan produksi rata-rata tinggi sangat tergantung pada teknologi agrokimia serta alterntif manipulasi sistem budidaya yang memungkinkan untuk mencegah penurunan hasil. Inovasi teknologi budidaya tanaman yang kondusif akan memberi dampak positif terhadap keberlanjutan industrial pedesaan, baik dari aspek ekologi dan ekonomi maupun budaya. Ketidak sesuaian teknologi yang ditawarkan acapkali justru menimbulkan masalah baru yang lebih rumit bagi petani. Tujuan jangka panjang penelitian ini adalah tersusunnya Standar Prosedur Operasional (SOP) budidaya bawang merah yang berbasis ekologi (karakteristik agroekosistem Pulau Lombok) guna menunjang program pertanian berkelanjutan. Target khusus yang ingin dicapai adalah meningkatnya komunitas fauna pada areal budidaya bawang merah yang secara alami mampu untuk menstimulasi fungsi pengendalian hayati. Metode yang dipakai untuk mencapai tujuan tersebut yaitu menerapkan budidaya Bawang merah dengan pengelolaan input energi internal melalui penerapan PHT. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok , petak percobaan terbagi dalam set-set petak perlakuan. Perlakuan terdiri dari dua faktor, yaitu faktor tipe Pola Tanam (Pt) , terdiri dari: Pt1 ( Padi Padi Bawang merah monokultur), Pt-2 ( Padi Legum Bawang Merah polikultur ); faktor tipe Teknologi Budidaya (Tb) terdiri dari:Tb-1 (Aplikasi Konsep PHT), Tb-2 (Cara Konvensional). Penelitian menggunakan metode eksplorasi , yaitu dengan mengadakan pengamatan pada pertanaman bawang merah di petak-petak percobaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pola tanam Padi-Legum-Bawang, memiliki tingkat keragaman banyak yang lebih tinggi dengan intensitas gangguan Hama S. exigua Hubn. yang lebih rendah. Keberadan predator generalis secara konsisten di dua musim tanam adalah dari kelompok Coleoptera, Arachnida , Odonata dan Orthoptera.. Kata kunci : Bawang merah, agribisnis, industrial pedesaan, karakteristik agroekosistem

PENDAHULUAN Bawang merah merupakan salah satu komoditi penting sayuran dataran rendah, yang memiliki peranan yang berarti dalam turut meningkatkan kesejahteraan petani di berbagai daerah di Indonesia. Bawang merah dengan multifungsinya yakni sebagai rempah seperti bumbu masak, bahan ramuan obat tradisional, sebagai sumber protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral-mineral penting bagi kesehatan tubuh, telah menempatkan posisinya sebagai komoditi strategis. Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu sentra produksi untuk wilayah Indonesia bagian timur, dengan luas areal mencapai 9986 ha yang tersebar di hampir seluruh kabupaten (Dinas Pertanian Nusa Tenggara Barat, SP. II A. 2004). Adanya berbagai faktor kendala dalam pengembangan maka produksi ratarata baru mencapai 3,71-5 ton/ha , masih tergolong rendah dibanding dengan potensi produksi Nasional antara 7,4 -10,9 ton/ha umbi kering . Hama Spodopera exigua Hubn, masih merupakan organisme pengganggu yang menimbulkan kerugian pada petani bawang di Pulau Lombok. Terjadi peningkatan luas serangan dari 792,05 ha tahun 2002 menjadi 1034,45 ha tahun 2004 dan turun menjadi 536,15 ha tahun 2005, dengan tingkat serangan mencapai 65%. Dalam keadaan khusus, pada sistem pengendalian yang kurang intensif kerugian bisa melampaui 65% bahkan gagal panen. Untuk mengatasi masalah tersebut oleh petani dilakukan pengendalian yang lebih banyak mengandalkan cara kimiawi (insektisida) karena adanya kepastian hasil dan efektif. Meskipun pada kenyataannya pengendalian kimia sering tidak mampu menyelesaikan permasalahan seperti yang diharapkan. Rendahnya produksi bawang merah dan berkesinambungannya gangguan hama S. exigua Hubn di Pulau Lombok diduga sebagai pengaruh penerapan teknologi budidaya yang tidak mampu lagi memberi lingkungan fisik , kimia dan biotik yang kondusif bagi pertumbuhan optimal bawang merah, sebagai akibat tingginya suplai agrochemikal dari luar usahatani yang telah menimbulkan instabilitas dalam ekosistem budidaya. Teknologi ini telah membentuk agroekosistem konvesianal (convensional agroekosystem) dimana dalam mempertahankan produksi rata-rata tinggi sangat tergantung dari masukan bahan kimia pertanian serta

alternatif manipulasi sistem yang memungkinkan untuk mencegah penurunan hasil dalam satuan waktu dan luas, seperti budidaya tunggal (monokultur) telah menjadi pilihan sebagian besar petani. Ketidak bijakan dalam penerapan teknologi ini, telah menimbulkan masalah lingkungan yang lebih rumit, kontaminasi terhadap tanaman pokok itu sendiri, penurunan keseimbangan biologi agroekosistem karena terjadinya resistensi, resurgensi dan terbunuhnya organisme non target. Tidak terkecuali hal ini telah terjadi pada kawasan sentra produksi bawang merah di Pulau Lombok. Teknologi pengendalian secara kimia dan pola tanam yang diterapkan, secara konsepsual tidak memihak pada azas-azas ekologi yang berkelanjutan atau berada di luar pemahaman ekologi, yaitu ekosistem yang berbasis pada keragaman, interaksi dan saling ketergantungan antara komponen ekosistem. Keragaman adalah fungsi kesetabilan, maka diperlukan inventarisasi teknologi pertanian alternatif yang mampu mempertahankan dan menjamin keanekaragaman serta meningkatkan produksi dengan dampak lingkungan seminimal mungkin, mampu mengkonservasi dan mempertahankan produktivitas lahan. Altieri dan Nichols (2004) mengemukakan bahwa derajat management ekosistem dan praktek budidaya akan berpengaruh terhadap tingkat keanekaragaman pengendali alami dan kelimpahan serangga hama, yang memiliki arti dalam meningkatkan kesetabilan dan keberlanjutan ekosistem. Kunci untuk mengembangkan pertanian berkelanjutan adalah mengubah sistem pertanian konvensional yang memiliki ketergantungan kuat pada masukan energi dari luar usahatani, menuju ke sistem pertanian yang mampu mengembangkan dan mengkonservasi bekerjanya komponen-komponen ekosistem baik fisik maupun biotik secara internal. Swift and Anderson (1993) mengemukakan bahwa keragaman merupakan prinsip lingkungan yang dapat diterapkan dalam kerangka perlindungan tanaman. Dalam suatu ekosistem alami, fungsi pengaturan yang terjadi merupakan produk keragaman. Hasil penelitian berbasis agroekosistem menunjukkan bahwa keragaman dapat digunakan untuk memperbaiki pengendalian hama dan penyakit (Altieri and Letourneau, 1984; Andow, 1991; Rich, 1983 dalam Sutanto 2002). Disamping itu Magurran (1988) mengemukakan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat peluang yang besar untuk menstabilkan komunitas serangga dalam suatu agroekosistem dengan cara merancang komposisi tanaman yang mendukung populasi musuh alami. Asumsi dasar adanya gangguan hama adalah tidak harmonisnya hubungan faktor serangga, inang dan lingkungan, dan hama menjadi wabah hanya pada tingkat populasi dimana faktor biotik dan abiotik tidak mampu menghalangi perkembangannya. Perubahan salah satu faktor akan memberi makna terhadap faktor lain dan berkontribusi pada derajat gangguan hama (Price, 1975; Schowalter 1996 dan Mudjiono, 1996). Hubungan timbal balik antar berbagai komponen biotik dan abiotik yang terjadi di dalam agroekosistem, seharusnya merupakan landasan utama untuk menyusun strategi pengendalian gangguan hama dan penyakit dalam praktek budidaya (Brown, 1985; Altieri dan Letoumeau, 1982 dalam Sutanto, 2002). Adanya gangguan hama sesungguhnya merupakan ekspresi tidak terjadinya hubungan yang harmonis antara satu atau lebih faktor yang ada dalam agroekosistem itu, dan penanganan secara parsial atau cara tunggal justru akan memperlemah komponen yang lain. BAHAN DAN METODE Bahan yang digunakan adalah Bawang merah varietas Ampenan, cabe rawit, kedelai varietas Wilis, padi Ciherang baru (IR64), pupuk organik (siap pakai) dan anorganik ZA, TSP dan KCL (untuk petak kontrol cara konvensional), dan jerami padi untuk mulsa, alkohol dan larutan deterjen 0,1% yang ditambahkan gliserin (untuk pengawetan spesimen terkoleksi). Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok, petak percobaan terbagi dalam set-set petak perlakuan. Perlakuan terdiri dari dua faktor. 1. Faktor tipe pola tanam (Pt), terdiri dari: Pt- 1 : Padi Padi Bawang Merah Pt-2 : Padi Legum Bawang Merah 2. Faktor tipe teknologi budidaya dan pengendalian (Tb), terdiri dari: Tb-1 : Aplikasi Konsep PHT Tb-2 : Cara Konvensional

Penelitian menggunakan metode eksplorasi, yaitu dengan mengadakan pengamatan pada pertanaman bawang merah di petak-petak percobaan. Masing-masing percobaan di ulang 5 (lima) kali. Paket PHT meliputi pengolahan tanah minimum, penggunaan pupuk organik dan pengendalian alami dalam pengelolaan hama, sedangkan cara konvensional adalah adaptasi cara petani (penggunaan pupuk anorganik dan pestisida untuk pengelolaan hama). Pengamatan terhadap keragaan komunitas fauna (Arthropoda parasitoid dan predator) dilakukan satu minggu setelah tanam, dengan interval waktu 5 hari. Pengambilan sampel menggunakan metode nisbi. Untuk metode nisbi alat perangkap (trapping) dilatakkan secara menyebar pada titik-titik dan perpotongan garis diagonal pada setiap petak perlakuan. Pelaksanaan Penelitian 1. Penelitian tahap pertama. Penelitian dilakukan pada musim tanam padi periode Oktober januari 2006. Petak perlakuan masing-masing berukuran 10 m x 10 m, diolah sebanyak satu kali dan secara bersamaan diberikan pupuk organik dosis 4 ton per hektar berkadar N total 1,19% (N-organik 0,92%, N-NH4 0,21%, N-NO3 0,06%), P2O5 3,45%, K2O 0,90%, C/N ratio 15:1, C organik 14,63% dan kadar air 19,86%. Sedangkan pada cara konvensional sebelum tanam diberikan pupuk urea 1/3 (satu pertiga) dari dosis 245 kg per hektar. 1/3 dosis diberikan satu minggu setelah tanam dan 1/3 satu bulan setelah tanam. Pupuk TSP dengan SP-36 75 kg per hektar diberikan bersamaan dengan saat pemberian urea awal. 2. Penelitian tahap kedua Penelitian dilakukan pada musim tanam padi periode Februari-Mei 2007. Pengelolaan habitat pada penelitian tahap 2 merupakan lanjutan dari pengelolaan habitat pada penelitian tahap 1 dengan penambahan pola tanam legum (kacang hijau) yang di tanam dengan jarak 40cm x 15cm. Konsep PHT diterapkan dengan format yang sama seperti pada penelitian tahap pertama. Pada petak percobaan legum cara konvensional kacang hijau ditanam dengan jarak 40 cm x 15 cm, pupuk urea dosis 50 kg per hektar dan pupuk TSP dengan SP-36 dosis 75 kg per hektar diberikan secara bersamaan pada saat tanam. 3. Penelitian tahap ketiga Penelitian dilakukan pada musim tanam palawija periode Juni-September 2007. Tanah diolah satu kali kemudian di petak dengan ukuran 10 m x 10 m. Dalam setiap petak selanjutnya dibuat guludan dengan ukuran 1,25 m x 10 m. Tanaman percobaan ditata dalam polikultur antara Bawang merah varietas Ampenan dengan jarak tanam 15 cm x 20 cm sebanyak satu bibit perlubang. Di antara bawang pada jarak 40 cm di tanam satu pohon cabe rawit dalam satu baris dengan jarak tanam 40 cm. Pada sisi guludan (melingkar mengikuti bentuk guludan) ditanam kedelai sebanyak 2 benih perlubang. Tanaman cabe dan kedelai di tanam 1 bulan lebih awal dari tanaman bawang, hal ini dimaksudkan untuk memberi efek trapping dan repellent terhadap musuh alami dan hama S. exigua Hubn. di awal pertumbuhan bawang merah mengingat kepekaan bawang merah terhadap gangguan S. exigua Hubn.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tabel 1. Keanekaragaman Komunitas Fauna di Petak PHT Berbasis LEISA. No. 1. Kelas Arachnida Bangsa Araneae Acari 2. Diplopoda Glomerida Polydesmida Spirobolida Collembola Suku Linyphidae Oxyopidae Salticidae Tetranychidae Trombiculidae Glomeridae Polydesmidae Spirobolidae Hypogasturidae Isotomidae Onychiuridae Sminthuridae Carabidae Cicindelidae Coccinellidae Lampyridae Agromyzidae Asilidae Culcidae Drosophilidae Muscidae Tachinidae Carcinophoridae Glomeridae Aleyrodidae Aphididae Cicadellidae Flatidae Formicinae Ichneumonidae Myrmicinae Spesidae Trichogramatidae Reduviidae Pentatomidae Coreidae Alydidae Rhopalidae Noctuidae Pyralidae Spingidae Cordullidae Cyrtacanthacridinae Gryllinae Gryllotalpidae Nemobinae Oedopodinae Tridactylidae Merothripidae Phlaeothripidae Thripidae Status/Fungsi Predator Predator Predator Predator Predator (tungau) Scavenger Scavenger Scavenger (Kaki seribu) Scavenger Scavenger Scavenger Scavenger Predator (Kmb. tanah) Predator (Kmb. Macan) Predator (Kmb. Kubah) Predator (kunang-kunang) Hama Predator Predator (nyamuk) Scavenger (lalat buah) Scavenger (Ll. rumah) Parasitoid Predator (cocopet) Scavenger Hama (hama putih) Hama Hama Hama Predator (Semut Hitam) Parasitoid Predator (Semut merah) Predator Parasitoid Hama Hama Hama Hama Hama Hama (serangga noctural) Hama Polinator Pemangsa Hama Hama Predator (capung) Hama (belalang hijau) Hama (jangkrik) Hama (gangsir) Hama (jangkrik tanah) Hama (belalang coklat) Hama (jangkrik kecil) Scavenger Hama dan predator Thrips tabaci (hama pada bawang merah)

3.

Hexapoda

Coleoptera

Diptera

Dermaptera Glomerida Homoptera

Hymenoptera

Hemiptera

Lepidoptera Odonata Orthoptera

Thysnoptera

Tabel 2. Keanekaragaman Komunitas Fauna di Petak Konvensional Sampai pada Minggu ke Empat Penelitian Tahap 3. No. 1. Kelas Arachnida Bangsa Araneae Suku Linyphidae Oxyopidae Salticidae Glomeridae Polydesmidae Carabidae Cicindelidae Coccinellidae Agromyzidae Asilidae Culcidae Drosophilidae Muscidae Tachinidae Aleyrodidae Aphididae Cicadellidae Flatidae Formicinae Ichneumonidae Myrmicinae Spesidae Trichogramatidae Reduviidae Pentatomidae Coreidae Noctuidae Pyralidae Cordullidae Cyrtacanthacridinae Gryllinae Nemobinae Oedopodinae Phlaeothripidae Thripidae Status/Fungsi Predator Predator Predator Scavenger Scavenger Predator (Kmb. tanah) Predator (Kmb. Macan) Predator (Kmb. Kubah) Hama Predator Predator (nyamuk) Scavenger (lalat buah) Scavenger (Ll. rumah) Parasitoid Hama (hama putih) Hama Hama Hama Predator (Semut Hitam) Parasitoid Predator (Semut merah) Predator Prasitoid Pemangsa Hama Hama Hama (serangga noctural) Hama Predator (capung) Hama (belalang hijau) Hama (jangkrik) Hama (jangkrik tanah) Hama (belalang coklat) Thrips tabaci (hama pada bawang merah)

2. 3.

Diplopoda Hexapoda

Glomerida Polydesmida Coleoptera Diptera

Homoptera

Hymenoptera

Hemiptera Lepidoptera Odonata Orthoptera

Thysnoptera

Pada petak PHT terdapat 46 suku sedangkan pada petak konvensional 32 suku dengan Tingkat kerusakan rata-rata pada petak PHT 12,27 % dan pada petak konvensional 23,43% . Penerapan tatatanam polikultur pada cara PHT mampu menghadirkan keanekaragaman komunitas fauna dengan keragaman jenis musuh alami yang lebih tinggi, terkait dengan itu Altieri dan Nichols (2004) memberi gambaran tentang pengaruh managemen ekosistem terhadap keanekaragaman pengendali alami dan kelimpahan serangga hama. praktek budidaya secara konvensional seperti pengolahan tanah yang intensif, monokultur , penggunaan pupuk kimia dan pestisida akan menurunkan keanekaragaman pengendali alami dan peningkatan populasi penyebab hama dan penyakit. Sebaliknya dengan pengelolaan habitat melalui diversivikasi seperti policultur, rotasi tanaman, pemulsaan dan penanaman pagar tanaman diikuti oleh managemen pupuk organik yang baik serta pengolahan tanah minimum dan praktis (mengikuti konsep LEISA), mampu meningkatkan keanekaragaman spesies pengendali alami dan menurunkan kepadatan populasi hama dan penyakit. LEISA adalah suatu konsep budidaya yang berhajat meminimasi masukan energi agrokemikal dari luar usahatani, tetapi lebih banyak memanfaatkan kekuatan alam dalam proses budidaya, dengan memanfaatkan secara maksimal cahaya, air dan bahan organik baik yang berasal dari tumbuhan maupun hewan yang telah mati (Sutanto, 2002). POLIKULTUR dengan mengkombinasikan beberapa komoditi mamiliki potensi menciptakan keragaman fauna dengan jaring makanan yang lebih komplek, termasuk menstimulasi kehadiram pengendali hayati (Alltieri dan Nicholls , 2004). Oleh karena itu untuk menuju sistem pengendalian hama berkelanjutan kedua konsep tersebut di atas dapat dirancang menjadi suatu pola pengelolaan serangg hama. Kemudian

Singh (2004) secara teknis memperkenalkan istilah Farmscaping untuk pengelolaan usahatani yang bertujuan meningkatkan dan mengatur keanekaragaman atau biodiversity guna memelihara keberadaan organisme yang menguntungkan , melalui pengaturan tanaman yang memiliki polen yang menarik serangga, penggunaan penutup tanah, pengaturan tanaman pelindung, menjaga kesuburan tanah dan reservoir air. Farmscaping memeliki cara pandang baru terhadap lahan pertanian sebagai habitat alam dan bahwa lahan itu adalah suatu organisme, dimana di dalamnya terjadi interaksi berbagai faktor termasuk antar berbagai jenis tanaman. Berkurangnya keragaman tanaman dapat mempengaruhi usahatani dalam berbagai tingkat, seperti pergeseran inang serangga dari tumbuhan ke tanaman pertanian, hilangnya serangga dan burung predator karena kurangnya habitat. Oleh karena itu bagaimana menarik perhatian dan memelihara musuh alami dalam praktek usahatani merupakan bagian yang penting dalam pengelolaan habitat. Aldo Leopod dalam Singh (2004) mengemukakan sesuatu adalah benar ketika dia memelihara integritas , stabilitas dan keindahan dari mahluk hidup. KESIMPULAN 1. Pengaturan pola dan tatatanam mampu membangun kenekaragaman komunitas fauna dan menstimulasi bekerjanya pengendalian alami. 2. Pola tanam padi-Legum dan penerapan konsep PHT berbasis LEISA dapat menjaga eksistensi musuh alami generalis potensial terutama dari bangsa Coleoptera, Arachnida , Odonata dan Orthoptera.

3. Eksistensi musuh alami generalis dari musim kemusim berpengaruh positif terhadap tingkat gangguan hama utama bawang merah Spodoptera exigua Hubn. DAFTAR PUSTAKA Abd- El Moity, H. And M.N. Shatla. 1981. Biological Control of White Rot Disease of Onion (Sclerotium cepivorum) by Trichoderma harzianum . Phytophathologiche Zeitschrift 100 p Altieri, A.A. and C.I. Nicholls. 2004. Biodiversity and Pest Management in Agroecosystems, Food Products Press. New York. 236 p. Azis, A., A.A. Nawangsih, A. Anwar. 2000. Pelestarian Keragaman Hayati. Makalah Palsafah Sain. IPB. Bogor. 10 p Binns, M.R., J.P. Nyrop, and W. Van Der Werf. 2000. Sampling and Monitoring in Crop Protection, The Theoritical Basis for Development Practical Decision Guaides. CABI Publishing. 279 p Bosch, R.V.D, P.S. Messenger . 1973. Biological Control. Intext Educational Publishers. 180 p Brown, J.F. A. Kerr, F.D., Morgan and I.H. Parbery. 1980. Plant Protection. Press etching Pty Ltd. Brisbane. Dent, D.R, and M.P. Walton. 1997. Method in Ecological and Agricultural Entomology, UK at University Press, Cambrige. 387 p. Direktorat Jendral Pertanian Tanaman Pangan Direktorat Bina Perlindungan Tanaman. 1983. Pedoman Rekomendasi Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Pangan, Jakarta. 186 p Haryaksono, S. 1989. Periode kritis bawang merah (Allium ascalonicum) . Karena adanya persaingan dengan gulma dan pemberian pupuk kandang. Tesis S-2 UGM. 80 p Magurran. A. E. 1988. Ecological diversity and Its Measurement. Inceton University Press, Princeton, New jersey. 179 P. Mujiono, G. 1996. Ekologi serangga. Lembaga Penerbit Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. 132 p __________ 1998. Hubungan Timbal Balik Serangga-Tumbuhan. Lembaga Penerbit Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. 93p Pedigo, L.P., M. R. Zeiss. 1996. Analyses in Insect Ecology and Management. Iowa State University Press/Ames. 168 p Plank, J.E. Van Der. 1975. Principles of Plant Infection. Akademic Press New York. P 1-107. Price, P.W. 1975. Insect Ecology. John Wiley & Sons, New York,London, Sydney, Toronto.511 p

Schowalter, T.D. 2000. Insectt Ecology an Ecosystem Approach. Academic Press. San Diego. 483 P. Singh, Av. 2004. Farmscaping, Farming With Nature in Mind. The Canadian Organic Grower. www.cog.ca. P. 56-57 Srimuliani, B. Supeno dan Tarmizi. 2003. Identifikasi Parasitoid Telur Hama S. exigua Hubn. pada Sentra Produksi Bawang Merah Lombok Timur. Fakultas Pertanian Universitas Mataram. 61p. Tarmizi, G. Mudjiono dan M. Santoso. 1996. Penggunaan Kelompok Telur Sebagai Dasar Penilaian Ambang Ekonomi Hama S. exigua Hubn. (Lep:Noctuidae) pada Tanaman Bawang Merah (Allium ascalonicum L.). Tesis Magister . Unibraw. Malang. 91p. Tarmizi, A.Wirasyamsi dan R. Iswati. (2000). Studi Beberapa Cultivar Cabe Sebagai Insect Repellent Terhadap Hama S. exigua Hubn. di Sentra Produksi Bawang Merah Lombok. Fak.Pertanian Universitas Mataram. 52p. Untung, K., Sudomo,M. 1997. Pengelolaan Serangga Secara Berkelanjutan. Simposium Entomologi, Bandung. 13p Wilson, E.O. , F.M. Peter. 1999. Biodiversity. National Academy Press. Wasington D.C. 521 p.

You might also like