You are on page 1of 162

ANALISIS PEMANFAATAN RUANG DI KAWASAN PEMBANGUNAN PERIKANAN PESISIR MUARA KINTAP KABUPATEN TANAH LAUT PROPINSI KALIMANTAN SELATAN

TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Magister (S-2) Program Studi Magister Manajemen Sumberdaya Pantai

Oleh

YUNANDAR
K4A005008

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2007

ANALISIS PEMANFAATAN RUANG DI KAWASAN PEMBANGUNAN PERIKANAN PESISIR MUARA KINTAP KABUPATEN TANAH LAUT PROPINSI KALIMANTAN SELATAN

Nama Penulis NIM

: YUNANDAR : K4A005008

Tesis telah disetujui; Tanggal : 3 September 2007

Pembimbing I,

Pembimbing II,

(Prof.Dr.Ir. SUTRISNO ANGGORO, MS.)

( Dr. Ir. AGUS HARTOKO, MSc.)

Ketua Program Studi,

( Prof.Dr.Ir. SUTRISNO ANGGORO, MS.)

ANALISIS PEMANFAATAN RUANG DI KAWASAN PEMBANGUNAN PERIKANAN PESISIR MUARA KINTAP KABUPATEN TANAH LAUT PROPINSI KALIMANTAN SELATAN

Dipersiapkan dan disusun oleh YUNANDAR K4A005008 Tesis telah dipertahankan di depan Tim Penguji ; Tanggal : 27 Agustus 2007

Ketua Tim Penguji,

Anggota Tim Penguji I,

(Prof.Dr.Ir. SUTRISNO ANGGORO, MS.)

(Ir. PINANDOYO, MSi.)

Sekretaris Tim Penguji,

Anggota Tim Penguji II,

(Dr. Ir. AGUS HARTOKO, MSc.)

(Ir. BAMBANG ARGO WIBOWO, MSi.)

Ketua Program Studi,

( Prof.Dr.Ir. SUTRISNO ANGGORO, MS.)

ABSTRAKSI YUNANDAR. NIM. K4A005008. ANALISIS PEMANFAATAN RUANG DI KAWASAN PEMBANGUNAN PERIKANAN PESISIR MUARA KINTAP KABUPATEN TANAH LAUT, KALIMANTAN SELATAN. Dibimbing oleh SUTRISNO ANGGORO dan AGUS HARTOKO.
Penelitian ini bertujuan untuk : (a) mengidentifikasi struktur dan pola pemanfaatan ruang kawasan perikanan pesisir Muara Kintap eksisting (yang telah ada); (b) menganalisis konfigurasi pemanfaatan ruang eksisting di kawasan perikanan pesisir Muara Kintap terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi, Rencana Umum Tata Ruang Pesisir Tanah Laut serta kesesuaiannya berdasarkan perbedaan nilai skor dan Sistem Informasi Geografis; dan (c) menyusun alternatif pengelolaan zona pemanfaatan ruang pada kawasan perikanan pesisir Muara Kintap yang sesuai, berdasarkan prioritas dan sistem dalam penggunaan ruang yang mengacu pada kelestarian sumberdaya pesisir, kesesuaian lahan dan keterkaitan antar kawasan. Metodologi yang digunakan adalah survei lapangan, yang memadukan unsur penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis dengan skoring yang di dasarkan pada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No.KEP.34/Men/2002 terhadap kesesuaian peruntukan sebagai kawasan lindung, pemanfaatan dan pelabuhan khusus. Hasil penelitian didapatkan bahwa pemanfaatan ruang di dominasi tambak 36,67% (1640,59 hektar) dan terkecil pemukiman 2,28% (102,15 hektar). Kebijakan antara RTRW Kabupaten/Propinsi dan pemanfaatan ruang terkini tidak sesuai karena Pelabuhan Khusus dan Stokpile Batubara berada di kawasan perikanan pembangunan perikanan Muara Kintap. Analisis Sistem Informasi Geografis dengan persamaan algoritma spasial dan overlay terhadap komponen peta-peta tematik kondisi fisika, kimia air dan komponen biofisik keruangan menginformasikan daerah ini masih sesuai sebagai kawasan perikanan namun perlu di upayakan peningkatan perbaikan kualitas lingkungan dengan merevegetasi kembali fungsi sempadan pantai, sungai dan penyangga di Muara Kintap. Kata-kata kunci : Pemanfaatan ruang, kawasan perikanan, kesesuaian ruang/lahan, Muara Kintap.

ABSTRACT

YUNANDAR. NIM. K4A005008. THE SPACE USE ANALYSIS ON FISHERIES COASTAL ZONE MUARA KINTAP, TANAH LAUT, SOUTH KALIMANTAN. Supervised by SUTRISNO ANGGORO and AGUS HARTOKO.

This research aimed to: (a) identified structure and spatial use pattern on fisheries coastal zone Muara Kintap excisting; (b) analyzed configuration of spatial use excisting on fisheries coastal zone Muara Kintap against land use plans of Province, general land use plans of coastal zone in Tanah Laut and its suitability based on score differences and Geographic Information System (GIS); and (c) arranged alternative suitable managemet of spatial use zone on fisheries coastal Muara Kintap, based on priority and space use system in order to maintan coastal resources preservation, land suitability and zone interrelatedness. Methods employed in this research was field survey that combained remote sensing and Geographic Information System (GIS) with scoring measurement refered on Ocean and Fishery Ministry Decision of Indonesian Republic No.KEP.34/Men/2002 for conservation suitability, use and coal terminal zone. The results obtained that spatial use dominated by pond 36,67% (1640,59 hectar) and settelment was minimal 2,28% (102,15 hectar). Recently, policy about spatial use among community group called as RTRW in regency or province not suitable because coal terminal and stockpile exist on fisheries coastal Muara Kintap. GIS analysis with spasial algorithm and overlay to component of tematical maps such as physics condition, water chemistry and spatial biophysics component informed that this region still suitable for fisheries coastal zone but need serious efforts to increase recovery environmental quality with revegetation green belt function of coastal, river and buffer zona in Muara Kintap. Keywords: Space use, fisheries coastal zone, space/land suitability, Muara Kintap

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang karena atas bimbingan-Nya, maka seluruh kegiatan proses penulisan Tesis dengan Judul Analisis Pemanfaatan Ruang Di Kawasan Pembangunan Perikanan Pesisir Muara Kintap Kabupaten Tanah Laut Propinsi Kalimantan Selatan dapat Penulis selesaikan dengan baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi struktur dan pola pemanfaatan ruang kawasan perikanan pesisir Muara Kintap eksisting dan menganalisis konfigurasi pemanfaatan ruang eksisting di kawasan perikanan pesisir Muara Kintap terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi, Rencana Umum Tata Ruang Pesisir Tanah Laut serta kesesuaiannya berdasarkan perbedaan nilai skor dan Sistem Informasi Geografis; dan menyusun alternatif pengelolaan zona pemanfaatan ruang pada kawasan perikanan pesisir Muara Kintap yang sesuai, berdasarkan prioritas dan sistem dalam penggunaan ruang yang mengacu pada kelestarian sumberdaya pesisir, kesesuaian lahan dan keterkaitan antar kawasan. Dalam menyelesaikan penulisan tesis ini, penulis banyak mendapat bantuan dan perhatian dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1. Direktur Program Pascasarjana Universitas Diponegoro yang telah

memberikan kesempatan dan menerima penulis untuk meningkatkan kemampuan akademis pada Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang.

2. Rektor Universitas Lambung Mangkurat di Banjarmasin yang telah membantu dan mendukung penulis baik moril dan materil dalam penulisan dan penelitian tesis. 3. Prof. Dr. Ir. H. Sutrisno Anggoro, MS selaku Ketua Program Magister Manajemen Sumberdaya Pantai sekaligus Pembimbing Utama yang telah mendorong, menuntun dan membantu dalam penyelesaian tesis ini. 4. Dr. Ir. Agus Hartoko, MSc selaku Pembimbing II yang dengan setia dan rela meluangkan waktu dan pikiran guna memberikan arahan dan pemikiranpemikiran yang konstruktif dalam menyelesaikan tesis ini. 5. Ir. Pinandoyo, MSi dan Ir. Bambang Argo Wibowo, MSi selaku Tim Penguji yang telah memberikan masukan dan saran-saran perbaikan dalam penyempurnaan tesis ini. 6. Pemerintah Daerah Propinsi Kalimantan Selatan dan Kabupaten Tanah Laut beserta jajarannya yang telah bekerjasama dalam memberikan data dan informasi selama kegiatan penelitian. 7. Kepala Laboratorium Kualitas Air Fakultas Perikanan Universitas Lambung Mangkurat beserta staf analis yang telah membantu analisis dalam penelitian ini. 8. Pimpinan BIOTROP Training and Information Centre (BTIC), SEAMEO BIOTROP Bogor yang telah menyediakan data citra landsat ETM 7+ untuk penelitian tesis ini.

9. Rekan-rekan mahasiswa Program Pascasarja Manajemen Sumberdaya Pantai Universitas Diponegoro Semarang yang telah memberikan bantuan dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini. 10. Rekan-rekan mahasiswa yang tergabung dalam REGISTER Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro Semarang yang telah memberikan bantuan dan diskusi dalam analisis data spasial. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, baik dari sisi isi maupun teknis penulisan, oleh karena itu dengan rendah hati penulis bersedia menerima masukan pemikiran dalam rangka penyempurnaan. Atas kerelaan semua piha dalam memberikan saran-saran perbaikan penulis sampaikan banyak terima kasih. Harapan Penulis hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi upaya pembangunan yang berkelanjutan di lingkungan pesisir . Amin. Semarang, Agustus 2007 Penulis,

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL................................................................................................ i PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................................................ ii PENGESAHAN TIM PENGUJI ............................................................................. iii RINGKASAN ......................................................................................................... iv ABSTRACT... ......................................................................................................... v KATA PENGANTAR ............................................................................................ vi DAFTAR ISI............................................................................................................ ix DAFTAR TABEL.................................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xiv BAB I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ..................................................................................... 1 1.2. Masalah Penelitian................................................................................ 5 1.3. Pendekatan Masalah ............................................................................. 6 1.4. Tujuan Penelitian ................................................................................. 8 1.5. Kegunaan Penelitian ............................................................................ 8 1.6. Waktu dan Tempat Penelitian............................................................... 8 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 10 2.1. Penataan dan Perencanaan Ruang ........................................................ 10 2.2. Pendekatan Pengelolaan Tata Ruang Kawasan Pesisir Terpadu ... ...... 13 2.3. Zonasi / Mintakat Kawasan Pesisir ...................................................... 16 2.4. Sistem Informasi Geografis .................................................................. 17 2.4.1. Aplikasi Sistem Informasi Geografis Berbasis Tata Ruang di Pesisir .......................................................................................... 19 2.4.2. Aplikasi GPS (Global Positioning System)................................. 21 2.5. Karakteristik Citra Landsat 7 ETM+ untuk Delineasi ......................... 22 2.6. Deskripsi Kegiatan Pembangunan Perikanan Muara Kintap................ 24 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ............................................................... 31 3.1. Bahan Penelitian ................................................................................... 31 3.2. Alat Penelitian ..................................................................................... 31 3.3. Metode Penelitian ................................................................................. 33 3.3.1. Prosedur Penentuan Lokasi dan Pengambilan Sampel (Training Area)............................................................................................. 34 3.3.2. Pengambilan Sampel Lapangan dalam Training Area................ 35 3.3.3. Pengumpulan Data ...................................................................... 38 3.4. Analisis Data......................................................................................... 38 3.4.1. Analisis Data Citra Satelit untuk Identifikasi Lahan................... 38 3.4.2 Analisis Identifikasi Lahan ......................................................... 40 3.4.3. Analisis Kesesuaian Biofisik (Biophysical Suitability) Pemanfaatan Ruang dan Skoring ............................................... 41 3.4.4. Analisis Spasial (Spasial Analysis) ............................................. 47

10

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 50 4.1. Lokasi Titik Sampling .......................................................................... 50 4.2. Deliniasi Wilayah Studi........................................................................ 53 4.3. Identifikasi Pemanfaatan Ruang di Kawasan Perikanan Muara Kintap ........................................................................................ 55 4.3.1. Kompatibilitas Pemanfaatan Ruang Kawasan Perikanan Pesisir Muara Kintap................................................................... 61 4.4. Analisis Kesesuaian Tata Guna Lahan Terkini terhadap Rencan Umum Tata Ruang Propinsi/Kabupaten.................................. 63 4.4.1. Kesesuaian Kawasan Perikanan Pesisir Muara Kintap berdasarkan Overlay Pemanfaatan Ruang Eksisting, RUTR dan Citra Landsat ETM 7+........................................................... 63 4.5. Analisis Kesesuaian Pesisir Kawasan Perikanan Muara Kintap berdasarkan Parameter Biofisik Lindung, Pemanfaatan dan Pelsus .................................................................................................... 66 4.5.1. Kesesuaian Pesisir Kawasan Perikanan Muara Kintap berdasarkan Parameter Biofisik Lindung ................................... 66 4.5.2. Kesesuaian Pesisir Kawasan Perikanan Muara Kintap berdasarkan Parameter Biofisik Pemanfaatan ............................ 75 4.5.3. Kesesuaian Pesisir Kawasan Perikanan Muara Kintap Berdasarkan Parameter Biofisik Pelabuhan Khusus................... 114 4.6. Kesesuaian Pesisir Kawasan Perikanan Muara Kintap berdasarkan Overlay Parameter Biofisik Lindung, Pemanfaatan dan Pelabuhan Khusus dengan Algoritma Spasial.... 121 4.7. Alternatif Pengelolaan Zonasi Kawasan Perikanan Pesisir Muara Kintap berdasarkan Kondisi Eksisting, Kesesuaian Pemanfaatan Ruang dan Rencana Umum Tata Ruang Kabupaten Tanah Laut ............................................................................................ 124 4.7.1. Alternatif Pengelolaan terhadap masing-masing Zona berdasarkan Kondisi Aktual ....................................................... 129 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 130 5.1. Kesimpulan ........................................................................................... 130 5.2. Saran...................................................................................................... 131 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 132 LAMPIRAN............................................................................................................. 138 DAFTAR RIWAYAT HIDUP................................................................................. 151

11

DAFTAR TABEL Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Halaman

Jadual Kegiatan Penelitian ............................................................................... 9 Nama Gelombang dan Kisaran Panjang Gelombang Masing-Masing Saluran 23 Kegunaan dan Kisaran Panjang Gelombang Tiap band landsat ETM 7+. 23 Produksi ikan berdasarkan jenis di Muara Kintap perbulan tahun 2006..25 Jumlah alat tangkap operasional berdasarkan jenisnya tahun 2006................ 26 Alat, Metode, Kegunaan serta Lokasi Analisis selama Penelitian.................. 32 Kesesuaian Biofisik untuk Penilaian Pemanfaatan Ruang berdasarkan Kepmen Kelautan dan Perikanan RI. No. KEP.34/MEN/2002...42 8. Evaluasi Hasil Penilaian Kesesuaian Pemanfaatan Ruang ............................. 49 9. Lokasi Sampling berdasarkan GPS (Global Positioning System) .................. 50 10. Interpretasi dan Identifikasi Daerah Studi berdasarkan Warna, Tekstur rata-rata nilai spektral/reflektansi di Pesisir Muara Kintap hasil cek lapangan dengan Citra RGB 432 .................................................................. 58 11. Ikhtisar Pemanfaatan Ruang Muara Kintap berdasarkan Analisis Spasial dan Monografi Kecamatan 2006.................................................................... 60 12. Jenis - Jenis Mamalia yang terdapat di Wilayah Studi ............................ 67 13. Jenis-Jenis Mangrove yang ditemukan .......................................................... 68 14. Hasil Pengamatan dan Pengukuran Parameter Biofisik untuk Lindung...73 15. Hasil Pengamatan dan Pengukuran Zona Pemanfaatan (Pertambakan, Pertanian, Industri Perikanan dan Pemukiman)beserta Kesesuaiannya......... 86 16. Hasil Pengamatan dan Pengukuran Parameter Biofisik untuk Pelabuhan Khusus.............................................................................. 119 17. Kesesuaian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perikanan Pesisir Muara Kintap berdasarkan Overlay Parameter Lindung, Pemanfaatan, Khusus dengan algoritma spasial........................................................................................ 122 18. Luas Zonasi Alternatif di Kawasan Studi .................................................. 127 19. Pengelolaan Parameter Aktual menjadi Kondisi Potensial.......................... 129

12

DAFTAR GAMBAR Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6. Halaman

Alur Pendekatan Masalah Penelitian ........................................................... . 7 Ilustrasi Kurva Karakteristik dari reflektansi tanaman dan air.. 24 Peta Kawasan Studi Muara Kintap ............................................................... 35 Cropping Data Citra Landsat ETM_7+ lokasi penelitian ............................. 51 Deliniasi Wilayah Studi Di Pesisir Muara Kintap ...... 52 Tampilan Kenampakan Objek Studi di Pesisir Muara Kintap pada Citra Landsat ETM 7+ Gabungan band 4,3,2 dan Kondisi Lapangan ...........56 7. Peta Tata Guna Lahan Terkini di Wilayah Studi berdasarkan update dan survei lapangan April 2007 ..................................................................... 57 8. Distribusi Ruang Muara Kintap berdasarkan Analisis Spasial hasil Penelitian ............................................................................................. 60 9. Distribusi Ruang Muara Kintap berdasarkan Monografi Kecamatan............ 60 10. Matrik Hubungan Kompatibilitas Antar Kegiatan..........................................62 11. Alokasi Pemanfaatan Ruang Muara Kintap................................................... 64 12. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tanah Laut 2002-2012 (Perda No.13/2004 dan No.9/2000) ............................................................... 65 13. Peta Kesesuaian Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Muara Kintap dan sekitarnya berdasarkan Overlay RTRW; Tata Guna Lahan Terkini dan Citra Landsat ETM_7+........................................................................... 65 14. Bangunan Penahan Gelombang di Muara Kintap.......................................... 71 15. Peta Kesesuaian Kawasan Lindung di Wilayah Studi berdasarkan Aspek Biofisik................................................................................................ 74 16. Peta Kawasan Lindung dan Rawan Bencana Pesisir Kintap Kabupaten Tanah Laut ................................................................................ 74 17. Peta Kesesuaian Perairan Tambak berdasarkan Nilai Salinitas ..................... 90 18. Peta Kesesuaian Perairan Tambak berdasarkan Nilai Suhu........................... 90 19. Peta Kesesuaian Perairan Tambak berdasarkan Nilai Oksigen Terlarut........ 91 20. Peta Kesesuaian Perairan Tambak berdasarkan Nilai pH .............................. 91 21. Peta Kesesuaian Perairan Tambak berdasarkan Nilai Kecerahan.................. 92 22. Peta Kesesuaian Perairan Tambak berdasarkan Nilai H2S ........................... 92 23. Peta Kesesuaian Perairan Tambak berdasarkan Nilai Nitrat ......................... 93 24. Peta Kesesuaian Perairan Tambak berdasarkan Nilai Curah Hujan .............. 93 25. Peta Kesesuaian Kawasan Pertanian di Wilayah Studi berdasarkan Zonasi Penyangga ......................................................................................... 98 26. Peta Kesesuaian Kawasan Pertanian di Wilayah Studi berdasarkan pH Tanah........................................................................................................ 98 27. Peta Kesesuaian Kawasan Pertanian di Wilayah Studi berdasarkan Satuan Bentuk Lahan ..................................................................................... 99 28. Peta Kesesuaian Kawasan Pertanian di Wilayah Studi berdasarkan Daerah Banjir dan Genangan ........................................................................ 99

13

Nomor

Halaman

29. Peta Kesesuaian Kawasan Pemukiman di Wilayah Studi berdasarkan Sempadan Pantai, Tanaman Lahan Basah ................................................... 104 30. Peta Kesesuaian Kawasan Pemukiman di Wilayah Studi berdasarkan Jarak Jalan (Aksesibilitas)............................................................................ 104 31. Peta Kesesuaian Kawasan Pemukiman di Wilayah Studi berdasarkan Jarak dari Pantai ........................................................................................... 105 32. Peta Kesesuaian Kawasan Pemukiman di Wilayah Studi berdasarkan Kepadatan Penduduk ................................................................................... 105 33. Peta Kesesuaian Kawasan Pemukiman di Wilayah Studi berdasarkan Bencana Banjir ............................................................................................. 106 34. Peta Kesesuaian Kawasan Industri Perikanan di Wilayah Studi berdasarkan Nilai Arus ..................................................................................................... 112 35. Peta Kesesuaian Kawasan Industri Perikanan di Wilayah Studi berdasarkan Nilai DO dan BOD5 ..................................................................................... 112 36. Peta Kesesuaian Kawasan Industri Perikanan di Wilayah Studi berdasarkan Daerah Banjir dan Genangan ....................................................................... 113 37. Peta Kesesuaian Kawasan Industri Perikanan di Wilayah Studi berdasarkan Tinggi Gelombang ....................................................................................... 113 38. Peta Kesesuaian Kawasan Industri Perikanan di Wilayah Studi berdasarkan Ruang Terbuka Hijau ................................................................................... 114 39. Peta Kesesuaian Kawasan Pelabuhan Khusus di Wilayah Studi berdasarkan Tinggi Gelombang,Dinamika Pantai dan Pasang Surut............................... 120 40. Peta Kesesuaian Kawasan Pelabuhan Khusus di Wilayah Studi berdasarkan Pencemaran (minyak lemak; Fe; Cd; Cr6+ dan Pb)...................................... 120 41. Peta Kesesuaian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perikanan Pesisir Muara Kintap berdasarkan Algoritma spasial ....................................... 123 42. Peta Alternatif Zonasi di Wilayah Pesisir Muara Kintap berdasarkan Algoritma Spasial Sistem Pemanfaatan Ruang, Pelestarian, dan Keterkaitan Antar Kawasan .......................................................................... 128

14

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Kawasan andalan perikanan Muara Kintap merupakan Kawasan Sentra Produksi (KSP) Tanah Laut dan Kotabaru yang dikembangkan sebagai kawasan prioritas bagi sektor perikanan laut dan tambak (Pasal 11 Peraturan Daerah Propinsi Kalimantan Selatan No.9/2000 dalam Pemerintah Daerah Propinsi Kalimantan Selatan, 2000), kondisi ini didukung dengan dibangunnya sarana dan prasarana yang menunjang sektor perikanan pesisir seperti pembangunan 17,3 km saluran irigasi untuk pengairan, pertambakan, Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI), Tempat Pelelangan Ikan (TPI) serta fasilitas perikanan lainnya. Sebagai dampak dari kebijakan tersebut maka pembukaan tambak-tambak udang telah berkembang dan mengalami perluasan kawasan dari 912 hektar pada awal 1999 menjadi kurang lebih 1.006,93 hektar pada tahun 2005 dengan pertumbuhan 32,23% per tahun yang bersifat sporadis (Dinas Perikanan dan Kelautan Kalsel, 2005). Pemanfaatan ruang sebagai lokasi budidaya tersebut telah menimbulkan dampak pada terbatasnya ruang sebagai daerah lindung lokal yang berfungsi sebagai buffer zone dan buffer ekosistem antar kawasan, data menyebutkan bahwa kondisi mangrove yang tersisa sebagai zona konservasi sempadan pantai dan sungai mengalami degradasi dari 500 hektar pada kondisi awal menjadi hanya seperlima atau sekitar 100 hektar yang masih baik (Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Kalsel, 2005) dari luas wilayah Muara Kintap sekitar 49 km2.

15

Pemanfaatan ruang yang lain di kawasan Muara Kintap berupa operasionalisasi kegiatan pelabuhan khusus sekaligus stokpile batubara oleh PT. Surya Kencana Jorong Mandiri di perairan sungai Kintap yang merupakan lokasi pemanfaatan kegiatan budidaya tambak dan di pesisir barat terdapat PT. Pribumi Citra Megah Utama yang mengancam inlet air untuk pertambakan serta di bagian perbatasan desa Muara Kintap dan Pandan Sari terdapat PT. Dewata Utama. Terlebih lagi dengan perkembangan pemukiman yang memanfaatkan lindung lokal dan pertambakan sebagai areal baru sehingga pemanfaatan ruang di kawasan andalan perikanan semakin tumpang tindih dan tidak beraturan. Pemanfaatan ruang di kawasan pesisir Muara Kintap yang antagonis (dapat mematikan) salah satu kegiatan lainnya dan dapat mengurangi nilai pemanfaatan ekosistem baik secara ekonomis maupun ekologis apabila tidak dikelola secara benar. Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI

No.KEP.34/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Penataan Ruang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002) maka suatu kawasan pesisir diharuskan memiliki: (1) zona konservasi merupakan zona perlindungan yang didalamnya terdapat zona preservasi dan penyangga dapat dimanfaatkan secara terbatas yang didasarkan atas pangaturan yang ketat bagi pemanfaatan ruang dan memuat zona rawan bencana pesisir; (2) zona pemanfaatan (kawasan budidaya) merupakan zona pemanfaatan yang dapat dilakukan secara intensif namun pertimbangan daya dukung lingkungan tetap merupakan syarat utama, pada zona ini terdapat area-area yang merupakan zona

16

perlindungan setempat seperti sempadan sungai dan pantai dan (3) zona tertentu merupakan kawasan khusus untuk kawasan cepat berkembang. Masih menurut peraturan tersebut kawasan yang sifatnya sebangun atau sinergis sifat pemanfaatannya di alokasikan pada ruang yang sama pula, sedangkan bagi pemanfaatan yang dapat mematikan (incompatible) antar pemanfaatan idealnya dipisahkan tersendiri sebagai zona hitam (berpotensi mematikan zona lain) atau apabila sudah eksis maka buffer zone wajib dikenakan sebagai syarat untuk operasional kawasan tersebut. Faktor kendala dalam mewujudkan kawasan pesisir sesuai dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.Kep.34/Men/2002 tersebut disebabkan regulasi atau kebijakan pada Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah No.9/2000 dan Peraturan Daerah Rencana Umum Tata Ruang Tanah Laut No.13/2002 tidak ditindaklanjuti dengan Peraturan Daerah pesisir dan rencana aksi untuk mengamankan lingkungan ekosistem pesisir dan terkesan membiarkan pertumbuhan sektor pertambangan di kawasan yang dialokasikan sebagai kawasan perikanan pesisir. Faktor ketidak disiplinan pengguna pada tata ruang yang berakibat pada penyimpangan tata ruang di pesisir Muara Kintap dan faktor perencanaan yang berorientasi ekonomi (oriented economic) telah merubah rona Muara Kintap sebagai kawasan sentra produksi perikanan menjadi pelabuhan khusus pertambangan. Penggunaan lahan di Kecamatan Kintap tahun 2005 (Bappeda Kabupaten Tanah Laut, 2006) menyebutkan bahwa 53.700 hektar alokasi penggunaan lahan di kintap di dominasi sawah dengan jumlah 75.201 hektar (20,60% dari luas

17

wilayah), sedangkan pemukiman dan pemanfaatan untuk pelabuhan khusus batubara tidak dicantumkan. Data tersebut menyatakan bahwa lindung lokal dan tambak tetap dari tahun 2003 sampai 2005 berturut-turut sebesar 3.738 hektar dan 3.222 hektar yang sangat jauh berbeda dengan kondisi di lapangan. Ketidak sesuaian data pemanfaatan ruang di Muara Kintap menyebabkan terjadi tumpang tindih pemanfaatan ruang, ketidak sinergisan yang dapat mematikan kawasan lain. Ketidaksesuaian pemanfaatan ruang disebabkan sampai ini belum dilakukan identifikasi pemanfaatan ruang-ruang eksisting di wilayah andalan perikanan Muara Kintap yang berpotensi memunculkan konflik antar ruang yang berbeda penggunaan. Analisis konfigurasi ruang belum dilakukan meliputi sejauhmana ruang-ruang tersebut berpotensi mematikan ruang lain dan berpotensi untuk tetap berkembang sebagaimana peruntukannya, serta ruangruang yang dapat dioptimalkan kembali sebagai zona lindung lokal. Tingkat kesesuaian dan alternatif pengelolaan dalam pemanfaatan ruang merupakan produk akhir dari penelitian ini karena melalui penilaian tersebut dapat menggambarkan kondisi kawasan andalan perikanan Muara Kintap secara objektif apakah masih tetap dapat dipertahankan atau dihilangkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah revisi nantinya. Penelitian mengenai analisis pemanfataan ruang di kawasan andalan perikanan Muara Kintap dilakukan sebagai bahan evaluasi objektif mengenai tingkat kesesuaian pemanfaatan ruang agar terjadi keseimbangan antara daya dukung ekosistem dan kemampuan ruang yang dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan (sustainable).

18

1.2. Masalah Penelitian Kawasan pesisir Kintap merupakan salah satu wilayah yang dikembangkan sebagai kawasan produksi perikanan pesisir (Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Selatan, 2002). Hal ini berimplikasi pada keberlanjutan ekosistem dan sumberdaya yang idealnya berjalan secara sinergis. Menurut Hartoko (2004)a kawasan pesisir berbasis kegiatan perikanan seperti Muara Kintap yang terdiri dari kawasan pusat kegiatan utama perikanan berupa aktifitas pertambakan, hatchery, Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) dengan berbagai fasilitasnya, kawasan pendukung berupa industri processing (home industri) dan pasar tradisional setempat. Kawasan non perikanan seperti permukiman, pertanian, perkebunan dan pelabuhan khusus batubara juga perlu mendapat perhatian. Permasalahan pemanfaatan dan penataan ruang di pesisir, tidak saja melibatkan kawasan perikanan dan non perikanan, namun kegiatan sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) dan upland di Muara Kintap juga mengakibatkan erosi dan sedimentasi yang dapat menurunkan nilai ekologis dan ekonomis di kawasan pesisir. Oleh karena itu upaya konservasi sangat diperlukan baik di sekitar DAS, upland maupun sekitar pesisir Muara Kintap. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang terdapat di wilayah penelitian dapat dirumuskan : 1. Adanya kesenjangan perencanaan dalam alokasi penetapan skala prioritas dalam pembangunan di pesisir Muara Kintap baik antar wilayah maupun sewilayah.

19

2. Adanya perubahan pola pemanfaatan ruang akibat pembangunan kawasan perikanan di pesisir Muara Kintap. 3. Adanya ketidakdisiplinan pemanfaatan ruang yang berakibat pada

penyimpangan tata ruang di pesisir Muara Kintap. 1.3. Pendekatan Masalah Pendekatan masalah dilakukan dengan cara : 1. Penentuan konfigurasi pemanfaatan ruang di wilayah penelitian dengan survei di lapangan dan analisis data spasial. 2. Analisis Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Rencana Umum Tata Ruang Kabupaten Tanah Laut dan Tata Guna Lahan Terkini dalam bentuk peta tematik serta data dari Dinas/Instansi yang relevan sebagai data sekunder dalam bentuk skoring. 3. Penyusunan data primer dan sekunder yang mendukung berupa data fisik, kimia dan biologi. 4. Analisis kelayakan biofisik (biophysical suitability) dengan metode skoring. 5. Analisis data primer dan sekunder dengan atribut keruangan di-overlay untuk menentukan alternatif zona prioritas berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam rangka evaluasi Rencana Tata Ruang Wilayah yang ada. Adapun kerangka pendekatan masalah dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian untuk pendekatan masalah diilustrasikan sebagai berikut.

20

Kawasan Pesisir Kintap Kab. Tanah Laut

Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Kalimantan Selatan Peraturan daerah No.9 tahun 2000

Kondisi Eksisting

Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Pesisir Kabupaten Tanah Laut Peraturan daerah No.13 tahun 2002 Training area wilayah studi dengan Landsat 7 ETM+ dengan model unsupervised classification

Master Plan Kawasan Perikanan Terpadu Muara Kintap

Identifikasi Pola Pemanfaatan Keruangan di Kawasan Pembangunan Perikanan Kintap dan pengecekan lapangan

Atribut Keruangan

Overlay antara : Peta Tata Guna Lahan Terkini; Peta Rupa Bumi Indonesia dan citra Landsat 7 ETM+

Peta-peta tematik

Analisis Biofisik, Skoring dan Spasial

Overlay antar Peta-peta tematik; Peta Tata Guna Lahan Terkini;Peta Rupa Bumi Indonesia dan Citra Landsat 7 ETM+ dengan persamaan algoritma spasial

Kesesuaian Pemanfaatan ruang di Wilayah studi

Zona Prioritas (Kawasan Strategis) Gambar 1. Alur Pendekatan masalah penelitian

21

1.4. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan : 1. Mengidentifikasi struktur dan pola pemanfaatan ruang kawasan perikanan pesisir Muara Kintap eksisting (yang telah ada); 2. Menganalisis konfigurasi pemanfaatan ruang eksisting di kawasan perikanan pesisir Muara Kintap terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi, Rencana Umum Tata Ruang Pesisir Tanah Laut serta kesesuaiannya berdasarkan perbedaan nilai skor dan Sistem Informasi Geografis. 3. Menyusun alternatif pengelolaan zona pemanfaatan ruang pada kawasan perikanan pesisir Muara Kintap yang sesuai, berdasarkan prioritas dan sistem dalam penggunaan ruang yang mengacu pada kelestarian sumberdaya pesisir, kesesuaian lahan dan keterkaitan antar kawasan. 1.5. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan dan rekomendasi bagi Pemerintah Daerah dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi, Kabupaten dan pengambilan kebijakan dalam pembangunan kawasan perikanan pesisir Muara Kintap. 1.6. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan bulan Maret sampai April 2007 dengan lokasi penelitian desa Muara Kintap Kecamatan Kintap Kabupaten Tanah Laut. Berikut jadual lengkap penelitian.

22

Tabel 1. Jadual Kegiatan Penelitian KEGIATAN PERSIAPAN


1 Pebruari 2 3 4 1 Maret 2 3 4 1 April 2 3 4

Waktu (Bulan/Minggu)
Mei 1 2 3 4 1 Juni 2 3 4 1 Juli 2 3

Studi Pendahuluan (pustaka,uji pendahuluan) Penyiapan rancangan penelitian, penyusunan dan konsultasi proposal penelitian Kolokium Perbaikan

OPERASIONALISASI Pengadaan alat, bahan perizinan Sampling, pengukuran dan pengamatan lapangan Analisis data Penyusunan laporan dan konsultasi Seminar Perbaikan Ujian Perbaikan, Penggandaan dan penjilidan Distribusi laporan Tesis

23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penataan dan Perencanaan Ruang Menurut Undang-Undang No.26 Tahun 2007 pasal 1 tentang penataan ruang disebutkan bahwa ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Ruang laut sebagai wujud fisik dalam dimensi geografis, penataannya dapat dipandang sebagai suatu rangkaian proses perencanaan pengaturan tata ruang secara efektif dan efisien yang ditetapkan dan dikendalikan dengan fungsi utama untuk kawasan lindung dan kawasan budidaya. Untuk suatu daerah (provinsi dan kabupaten/kota), kewenangannya yang mencakup hingga 12 mil dari garis pantai, umumnya merupakan luasan dari wilayah pesisir. Dengan demikian, pengaturan ruang laut daerah dapat dicakup dalam suatu kesatuan penataan ruang pesisir. Sedangkan tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak. Penataan ruang dimaksudkan untuk membenahi penggunaan lahan yang sedang berjalan dengan tujuan meningkatkan efisiensi sehingga keluaran yang diharapkan adalah yang terbaik dalam dimensi kurun waktu dan ruang tertentu. Dengan demikian secara transparan dalam peta skala tertentu, sesuai menurut kepentingannya dapat dilihat zonasi lahan menurut peruntukkannya, antara lain kehutanan, pertambakan, pemukiman, sawah, kawasan industri, perkebunan, kawasan wisata dan kawasan fasilitas umum yang dapat diartikan sebagai penatagunaan sumber alam (Haerumen, 1996).
10

24

Secara umum, perencanaan ruang adalah suatu proses penyusunan rencana tata ruang untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup, manusia, dan kualitas pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang tersebut dilakukan melalui proses proses dan prosedur penyusunan serta penetapan rencana tata ruang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta mengikat semua pihak (Darwanto, 2000). Formulasi konsep tata ruang berdasarkan unit areal konkrit; fungsionalitas di antara fenomena dan subyektifitas dalam penentuan kriteria (Budiharsono, 2002). Menurut Departemen Kelautan Perikanan RI (2002) Rencana Tata Ruang Berdasarkan Hirarki Administratif terbagi atas : 1. Rencana Tata Ruang Kelautan Nasional; merupakan kebijaksanaan perlindungan dan pemanfaatan ruang pesisir, pulaupulau kecil dan laut dalam wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) sebagai bagian dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dengan skala peta rencana 1 : 1.000.000. 2. Rencana Tata Ruang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Wilayah Propinsi; merupakan arahan penataan dan pemanfaatan ruang, khususnya

pengembangan kawasan lindung/konservasi dan pemanfaatan ruang pesisir, laut dan pulau-pulau kecil wilayah propinsi sampai 12 mil, serta sebagai koordinasi perencanaan antar kabupaten, dengan skala peta rencana 1 : 250.000. 3. Rencana Tata Ruang Pesisir & Pulau-Pulau Kecil Wilayah Kabupaten; merupakan rencana penataan dan pemanfaatan ruang sebagai dasar bagi

25

penetapan lokasi pemintakatan (zonasi) pesisir dan laut dalam wilayah kabupaten atau kota, rencana tata ruang ini merupakan satu kesatuan dengan rencana tata ruang daratan dengan skala peta rencana 1 : 100.000. Pada kabupaten/kota yang relatif kecil dan mempunyai potensi kelautan cukup besar atau mempunyai permasalahan kompleks maka digunakan

skala 1 : 50.000. 4. Rencana Tata Ruang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Wilayah Kota; merupakan rencana penataan dan pemanfaatan ruang sebagai dasar penetapan lokasi pemintakatan (zonasi) pesisir-laut-pulau-pulau kecil dalam wilayah kabupaten/kota rencana tata ruang ini merupakan kesatuan sinergis dengan rencana tata ruang daratan, dengan skala peta rencana 1 : 50.000. 5. Rencana Tata Ruang Rinci/Detail Kawasan; merupakan bagian dari rencana tata ruang kabupaten/kota, dimana wilayah perencanaan dapat merupakan satu zona yang dominan, atau lebih dari satu zona yang serasi dan sinergis, dan terbagi atas: a. rencana detil kawasan yg akan dikelola berdasarkan kebutuhan pengelolaan dengan skala peta rencana 1 : 5.000 sampai 1 : 10.000. b. rencana teknis/detil desain, berisi rincian rencana tata letak, dimensi massa bangunan/kegiatan, sarana & prasana, serta kelayakan investasi dengan skala peta rencana 1: 1.000. 6. Rencana Tata Ruang antar Provinsi dalam Satu Pulau Besar (Regional Marine Planning);

26

merupakan suatu koordinasi perencanaan antar provinsi pada setiap pulau besar ditinjau dari permasalahan setiap pulau mempunyai karakteristik sendiri-sendiri, dengan skala peta rencana 1 : 500.000. 7. Rencana Tata Ruang Lintas Wilayah Berdasarkan ekobiologis dan keterpaduan harus melintas batas antar Kabupaten/Kota antar Propinsi. Batas wilayah perencanaan juga didasari karakter ekobiologis, dengan skala peta disesuaikan kebutuhan dalam perencanaan. 2.2. Pendekatan Pengelolaan Tata Ruang Kawasan Pesisir Terpadu Penyusunan zonasi secara terpadu dilakukan melalui tiga pendekatan (Dahuri dkk, 2001). Pertama penyusunan rencana zonasi mempertimbangkan kebijakan pembangunan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah, kepentingan masyarakat adat dan hak-hak ulayat, serta kepentingan yang bersifat khusus. Kedua, pendekatan bioekoregion spesifik lokal seperti (Hartoko, 2004)b. 1. Identifikasi wilayah spesifik yang dimiliki wilayah studi seperti muara yang di fungsikan sebagai kawasan utama dan pendukung untuk kegiatan apa saja; 2. Identifikasi sifat ekologis dan biota spesifik 3. Identifikasi kegiatan utama perikanan seperti perikanan demersal. Oleh sebab itu kombinasi penggunaan data biogeofisik yang menggambarkan kondisi bioekoregion merupakan persyaratan yang dibutuhkan (necessary condition) dalam menetapkan zona-zona yang akan dipilih. Pendekatan ketiga dilakukan melalui pengumpulan atribut informasi yang dapat digali dari persepsi masyarakat yang hidup di sekitar ekosistem tersebut, terutama kontek historis

27

mengenai kejadian yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir dari masa lampau sampai saat ini. Prinsip dasar dalam penyusunan tata ruang pesisir terpadu adalah bagaimana mendapatkan manfaat dari sumberdaya yang tersedia seoptimal mungkin dengan tidak mengabaikan kelestarian lingkungan (ekologi), disamping memperhatikan aspek ekonomi, sosial, kelembagaan, dan pertahanan keamanan (Dahuri et.al, 2001). Berdasarkan hal tersebut, maka penyusunan tata ruang mengacu kepada : 1. Kelestarian Sumberdaya Pesisir Tujuan utama dari pengelolaan pesisir terpadu adalah untuk dapat dimanfaatkannya sumberdaya pesisir dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat dan pelaksanaan pembangunan nasional, dengan tidak mengorbankan kelestarian sumberdaya pesisir di dalam memenuhi kebutuhan baik untuk generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang. Untuk itu, laju pemanfaatan sumberdaya pesisir harus dilakukan kurang atau sama dengan laju regenerasi sumberdaya hayati atau laju inovasi untuk menemukan substitusi non-hayati. Dalam hal ketidakmampuan manusia mengantisipasi dampak lingkungan di pesisir akibat berbagai aktivitas, maka setiap pemanfaatan harus dilakukan dengan hati-hati. Untuk menjaga keseimbangan ekologi, pemanfaatan lahan untuk kawasan lindung dan konservasi harus mendapat perhatian khusus, setelah kawasan ini terpenuhi baru ditentukan kawasan budidaya (Dahuri et.al, 2001).

28

2. Kesesuaian Lahan Aktivitas yang akan ditempatkan pada suatu ruang di kawasan pesisir harus memperhatikan kesesuaian antara kebutuhan (demand) dengan kemampuan lingkungan menyediakan sumberdaya (carrying capacity). Dengan mengacu kepada keseimbangan antara demand dan supply, maka akan dicapai suatu optimasi pemanfaatan ruang antara kepentingan masa kini, masa datang serta menghindari terjadinya konflik pemanfaatan ruang. Kesesuaian lahan tidak saja mengacu kepada kriteria biofisik semata, tetapi juga meliputi kesesuaian secara sosial ekonomi (Rayes, 2006). 3. Keterkaitan Kawasan Interaksi antar beberapa aktivitas pada kawasan pesisir dengan kawasan daratan akan tercipta dan memungkinkan terjadinya perkembangan yang optimal antar unit-unit kawasan maupun dengan kawasan sekitarnya. Untuk itu penyusunan pemanfaatan kawasan pesisir dibuat sedemikian rupa sehingga kegiatan-kegiatan antar kawasan dapat saling menunjang dan memiliki keterkaitan dengan kawasan yang berbatasan. Agar dapat menempatkan berbagai kegiatan pembangunan di lokasi sesuai secara ekologis, maka kelayakan biofisik (biophysical suitability) di wilayah pesisir harus diidentifikasi lebih dahulu. Pendugaan kelayakan biofisik ini dilakukan dengan cara mendefinisikan persyaratan biofisik (biophysical requirements) setiap kegiatan pembangunan, kemudian dipetakan. Dengan cara ini dapatlah ditentukan kesesuaian penggunaan setiap unit (lokasi) kawasan pesisir (Sulasdi, 2001).

29

2.3. Zonasi / Mintakat Kawasan Pesisir Suatu zona adalah suatu kawasan yang memiliki kesamaan karakteristik fisik, biologi, ekologi, dan ekonomi yang ditentukan berdasarkan kriteria tertentu untuk mengelompokkan kegiatan yang bersifat sinergis dan memilahnya dari kegiatan yang bertentangan; kriteria tersebut merupakan dasar untuk mengidentifikasi zona (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003). Konsep Perencanaan Tata Ruang pesisir tidak dapat mengikuti sepenuhnya konsep daratan karena karakteristik ekobiologis dan prinsip dasar yang berbeda. Pada kawasan pesisir pola perencanaan sangat dipengaruhi oleh pembagian zona-zona perlindungan yang sangat ketat hal ini disebabkan karakter wilayah pesisir yang sangat dinamik tapi rentan terhadap perubahan yang terjadi. Untuk keberlanjutan (sustainable), secara garis besar wilayah pesisir dipilah menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : Kep.34/Men/2002 Tentang Pedoman Umum Penataan Ruang Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002) : 1. Zona konservasi merupakan zona perlindungan yang didalamnya terdapat zona preservasi dan penyangga dapat dimanfaatkan secara terbatas yang didasarkan atas pangaturan yang ketat bagi pemanfaatan ruang. 2. Zona pemanfaatan (kawasan budidaya) merupakan zona pemanfaatan yang dapat dilakukan secara intensif namun pertimbangan daya dukung lingkungan tetap merupakan syarat utama, pada zona ini terdapat area-area yang merupakan zona perlindungan setempat seperti sempadan sungai dan pantai. 3. Zona tertentu merupakan kawasan khusus untuk kegiatan pertahanan dan militer, kawasan cepat berkembang.

30

Proses penyusunan tata ruang pesisir dan konfigurasi zonasi dapat dilakukan dengan teknik overlay (tumpang susun) peta-peta tematik yang memuat karakteristik biofisik wilayah pesisir dari setiap kegiatan pembangunan yang direncanakan dan peta penggunaan ruang pesisir saat ini (Tahir, 2002). Perencanaan penggunaan ruang merupakan kegiatan seleksi sebaran ruang untuk tujuan spesifik dengan memadukan informasi kesesuaian lahan, permintaan akan alternatif produk dan penggunaan, kesempatan perluasan dengan ketersediaan ruang dan dalam sistem kelembagaan yang ada (Pirzan, 2000). Perencanaan tata ruang dimulai dari kegiatan evaluasi ruang yang mengidentifikasikan karakteristik dan menilainya untuk keperluan tipe wilayah tertentu secara spasial, perencanaan pemusatan kegiatan tertentu juga

pengelompokkan wilayah tertentu untuk tujuan yang ditetapkan (Branch, 1998). 2.4. Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk mengelola (input, manajemen, proses dan output) data spasial atau data yang bereferensi geografis, setiap data yang merujuk lokasi di permukaan bumi dapat disebut sebagai data spasial bereferensi geografis seperti data jaringan jalan suatu kota, data distribusi lokasi pengambilan sampel (ESRI, 2000). Data SIG dapat dibagi menjadi dua macam yaitu data grafis dan data atribut/tabular. Data grafis adalah data yang menggambarkan bentuk atau

31

kenampakan objek di permukaan bumi sedangkan data atribut adalah data deskriptif yang menyatakan nilai dari data grafis tersebut (Nuarsa, 2005). Karakteristik SIG merupakan suatu sistem hasil pengembangan perangkat keras dan perangkat lunak untuk tujuan pemetaan, sehingga fakta wilayah dapat disajikan dalam satu sistem berbasis komputer yang melibatkan ahli geografi, informatika dan komputer, serta aplikasi terkait. Masalah dalam pengembangan meliputi: cakupan, kualitas dan standar data, struktur, model dan visualisasi data, koordinasi kelembagaan dan etika, pendidikan, expert system dan decision support system serta penerapannya. Perbedaannya dengan Sistem Informasi lainnya: data dikaitkan dengan letak geografis, dan terdiri dari data tekstual maupun grafik (Prahasta, 2003). Menurut Dulbahri (2001) data SIG dan pengolahannya berdasarkan sumber masukan data dapat dibedakan atas : a. Data inderaja hasil klasifikasi dan interpretasi (bentuk dijital dan berbasis raster, cakupan luas, waktu pengumpulan relatif singkat, bisa multiband, multisensor, multiresolusi, dan multitemporal); b. Peta (bentuk non-dijital dan berbasis vektor) ; c. Data survei atau statistik dengan tahapan pengolahan pemasukan dan pembetulan data; penyimpanan dan pengorganisasian data; pemrosesan dan penyajian data; transformasi data dan interaksi dengan pengguna (input query). Sedangkan cara memperoleh data/informasi geografis (Prabowo et.al, 2002) ada 5 yaitu :

32

1. Survei lapangan: pengukuran fisik (land marks), pengambilan sampel (polusi air), pengumpulan data non-fisik (data sosial, politik, ekonomi dan budaya). 2. Pengambilan sampling secara sensus: dengan pendekatan kuesioner, wawancara dan pengamatan; pengumpulan data secara nasional dan periodik (sensus jumlah penduduk, sensus kepemilikan tanah). 3. Statistik: merupakan metode pengumpulan data periodik/per-interval-waktu pada stasiun pengamatan dan analisis data geografi tersebut, contoh: data curah hujan. 4. Tracking: merupakan cara pengumpulan data dalam periode tertentu untuk tujuan pemantauan atau pengamatan perubahan, contoh: kebakaran hutan, gunung meletus, debit air sungai. 5. Penginderaan jauh (inderaja): merupakan ilmu dan seni untuk mendapatkan informasi suatu obyek, wilayah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dari sensor pengamat tanpa harus kontak langsung dengan obyek, wilayah atau fenomena yang diamati (Lillesand dan Kiefer, 1994). 2.4.1. Aplikasi Sistem Informasi Geografis Berbasis Tata Ruang di Pesisir Penelitian yang menggunakan SIG sebagai alat dalam mengkaji fenomena pemanfaatan ruang, kesesuaian lahan/ruang dan tata ruang di wilayah pesisir telah banyak dilakukan seiring dengan berkembangnya teknologi SIG. Saat ini, aplikasi SIG untuk studi tata ruang dapat dikombinasikan dengan penginderaan jauh baik yang sumber datanya berasal dari satelit maupun foto udara. Berikut aplikasi SIG untuk kajian tata ruang di wilayah pesisir :

33

a. Analisis Kesesuaian Lahan Dan Kebijakan Pemanfaatan Ruang Kawasan Pesisir Teluk Balikpapan (Tahir et.al, 2002) mengenai analisis kesesuaian lahan wilayah pesisir Teluk Balikpapan bagi peruntukan budidaya tambak, pemukiman, industri dan konservasi pantai; mengetahui karakteristik sosial ekonomi dan budaya masyarakat pesisir dan analisis keterkaitan lingkungan biofisik dan lingkungan sosial ekonomi masyarakat dengan metode SWOT, GIS dan PCA (Principal Component Analysis). b. Analisis Pemanfaatan Ruang Kawasan Pesisir Teluk Manado, Sulawesi Utara (SjafiI Emmy et.al, 2001) mengenai pemanfaatan ruang wilayah pesisir Teluk Manado, konsistensi pemanfaatan ruang dan analisis konflik pemanfaatan ruang dalam wilayah pesisir dengan menggunakan metode Proses Hierarki Analitik (PHA) dan SIG. c. Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Di Kota Pasuruan Jawa Timur (Sugiarti et.al, 2000) mengenai evaluasi kesesuaian lahan dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir, analisis faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konflik pemanfaatan ruang dalam pengelolaan sumberdaya pesisir, mengetahui persepsi pemerintah, swasta dan masyarakat berkaitan dengan penentuan prioritas penggunaan lahan, penenuan prioritas penggunaan lahan dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan penyelesaian konflik pemanfaatan sumberdaya pesisir dengan metode SIG dan AHP (Analytical Hierarchy Process). d. Pendekatan Sel Sedimen (Sediment Cell) Acuan Penataan Ruang Wilayah Pesisir Menggunakan Penginderaan Jauh (Khakim et.al, 2003) mengenai

34

penentuan batas sel sedimen dari citra penginderaan jauh, dalam hal ini Citra Landsat 7 ETM+ komposit 321 tahun 2002 meliputi daerah Pantai Utara Provinsi Jawa Tengah sebagai dasar penataan ruang di kawasan pesisir. e. Development of Digital Multilayer Ecological Model for Padang Coastal Water (West Sumatra) (Agus Hartoko dan M. Helmi, 2006) mengenai pemaduan data SIG dan Penginderaan Jauh untuk perikanan di Indonesia. 2.4.2. Aplikasi GPS (Global Positioning System) GPS merupakan singkatan dari Global Positioning System (Sistem Pencari Posisi Global), adalah suatu jaringan satelit yang secara terus menerus memancarkan sinyal radio dengan frekuensi yang sangat rendah. Alat penerima GPS secara pasif menerima sinyal ini, dengan syarat bahwa pandangan ke langit tidak boleh terhalang, sehingga biasanya alat ini hanya bekerja di ruang terbuka. Satelit GPS bekerja pada referensi waktu yang sangat teliti dan memancarkan data yang menunjukkan lokasi dan waktu pada saat itu. Yang biasa kita sebut sebagai GPS merupakan alat penerima, karena alat ini dapat memberikan nilai koordinat dimana ia digunakan maka keberadaan teknologi GPS memberikan terobosan penting dalam penyedia data bagi SIG, data ini biasanya direpresentasikan dalam format vektor (Kuntjoro et.al, 2001). Data yang berasal dari pengukuran di lapangan dengan GPS dapat di implementasikan dalam format berbasis SIG seperti penelitian yang pernah dilakukan pada :

35

a. Zona Air Laut Pasang Kota Semarang, Permasalahan dan Penanggulangannya (Widjaya, 2001) dihasilkan bahwa entry data dengan MS. Excel yang di entry ke SIG; b. Pembuatan Basis Data Spasial Pencemaran Sungai (Kasus Sungai Citarum) (Marganingrum dan Santoso, 2006) pemakaian MS. Excel aplikasi dengan SIG 2.5. Karakteristik Citra Landsat 7 ETM+ untuk Deleniasi Prinsip dasar deleniasi untuk batasan daerah studi menggunakan citra Landsat 7 ETM+ di dasarkan pada karakteristik spasial dan spektral yang dihasilkan dari interaksi pantulan gelombang elektromagnetik dengan objek sehingga menjadi suatu karakteristik/tampilan khusus berdasarkan panjang gelombang yang digunakan. Karakteristik spasial ditandai dengan resolusi spasial yang digunakan sensor untuk mendeteksi obyek. Resolusi spasial adalah daya pilah sensor yang diperlukan untuk bisa membedakan obyek-obyek yang ada dipermukaan bumi dengan istilah untuk resolusi spasial adalah medan pandang sesaat (Intantenous Field of View /IFOV) dengan saluran/band 1 sampai 5 dan 7 sebesar 30 meter x 30 meter, saluran/band 6 sebesar 60 m dan band 8 sebesar 15 m (band 8 digunakan pada Landsat 7 ETM+). Karakteristik spektral terkait dengan panjang gelombang yang digunakan untuk mendeteksi obyek-obyek yang ada di permukaan bumi. Semakin sempit kisaran (range) panjang gelombang yang digunakan maka, semakin tinggi kemampuan sensor itu dalam membedakan obyek. Tabel 2 memberikan informasi nama gelombang dan kisaran panjang gelombang masing-masing saluran citra Landsat 7 ETM+. Sifat. kegunaan dan

36

ilustrasi band pada masing-masing citra Landsat 7 ETM + dijelaskan pada tabel 3 dan gambar 2. Tabel. 2. Nama Gelombang dan Kisaran Panjang Gelombang Masing-Masing Saluran No. Saluran /Band 1 2 3 4 5 6 7 8 Nama Gelombang Biru Hijau Merah Infra merah dekat Infra merah gelombang pendek Infra merah tengah Infra merah gelombang pendek Pankromatik Kisaran Panjang gelombang (M) 0,45 0,52 0,53 - 0,61 0,63 0,69 0,78 0,90 1,55 1,75 10,4 12,5 2,09 2,35 0,52 0,9

Sumber : Lillesand dan Kiefer, 1994

Tabel 3. Kegunaan dan Kisaran Panjang Gelombang tiap Band Landsat ETM 7+
Saluran /Band 1 2 Kisaran Panjang Gelombang (M) 0,45 0,52 0,52 - 0,60 Kegunaan Utama

Penetrasi tubuh air, analisis penggunaan lahan, tanah dan vegetasi. Pembedaan vegetasi dan lahan. Pengamatan puncak pantulan vegetasi pada saluran hijaun yang terletak pada 2 saluran penyerapan. Pengamatan ini dimaksudkan untuk membedakan jenis vegetasi dan membedakan tanaman sehat dan tidak sehat. Saluran terpenting untuk membedakan jenis vegetasi. Saluran ini terletak pada salah 1 daerah penyerapan klorofil dan memudahkan untuk membedakan antara lahan terbuka terhadap lahan bervegetasi. Saluran yang peka terhadap biomassa vegetasi, juga teridentifikasi jenis tanaman, memudahkan dalam pembedaan tanah dan tanaman serta lahan dan air. Saluran penting untuk perbedaan kandungan air pada tanaman, kondisi kelembaban tanah. Untuk membedakan formasi batuan dan pemetaan hidro termal (suhu permukaan) Klassifikasi vegetasi, pembedaan kelembaban tanah dan keperluan yang berhubungan dengan gejala termal.

0,63 0,69

4 5 6 7

0,76 0,90 1,55 1,75 10,40 12,50 2,08 2,35

Sumber : Lillesand dan Kiefer, 1994

37

Gambar. 2. Ilustrasi Kurva Karakteristik dari reflektansi tanaman dan air (Sumber : Danoedoro, 1996)

2.6. Deskripsi Kegiatan Pembangunan Perikanan Muara Kintap Kawasan Kecamatan Kintap memiliki luas wilayah 537 Km2, terletak di daerah pesisir selatan Kabupaten Tanah Laut berbatasan dengan Kecamatan Jorong (Tanah Laut) pada bagian Barat; Kabupaten Banjar pada bagian Utara; Kabupaten Tanah Bumbu di bagian Timur; dan Laut Jawa pada bagian Selatan, sedangkan kawasan pembangunan perikanan terpadu berada di desa Muara Kintap (luas 49 km2); Kebun Raya (19,2 km2); Kintap (13 km2) dan Kintap Kecil (7,8 km2) (Biro Pusat Statistik Tanah Laut, 2006). Desa Muara Kintap merupakan salah satu sentra perikanan di daerah Kabupaten Tanah Laut, mayoritas penduduk bergantung dari kegiatan perikanan. Pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan perikanan memberikan

penghidupan yang cukup layak bagi mayoritas orang yang tinggal di sekitar pantai, dengan cara mengeksploitasi, membudidaya, mengolah dan pemasaran produk-produk perikanan.

38

Data PPI Muara Kintap dalam Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Kalsel (2006) produksi total ikan 441,641 ton dari 26 jenis yang 2 diantaranya merupakan produk budidaya tambak yang tercatat,untuk penangkapan puncak produksi tertinggi di Nopember sebesar 54.273 ton didominasi Manyung/Otek (Arius thallasinus) 15.200 ton, Kembung (Rastrelliger sp) 7.800 ton dan Udang Windu (Penaeus monodon) 5.200 ton, disusul Desember dan Januari, seperti ditampilkan tabel 4 berikut.
Tabel.4.

Produksi Ikan Berdasarkan Jenisnya di Muara Kintap per Bulan Tahun 2006 (dalam Ton)
JUMLAH JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL AGT SEP 1 Tenggiri 700 3.020 2.300 5.500 6.500 3.710 1.200 1.620 5.800 2 Tongkol 1.500 1.200 1.100 2.200 3.550 2.300 120 270 4.500 3 Kakap Putih 421 400 60 400 110 165 100 700 210 4 Bawal Putih 90 220 350 250 35 120 190 320 100 5 Bawal Hitam 20 180 60 130 20 120 20 6 Menangin 200 200 1.100 350 420 320 30 320 260 7 Manyung/Otek 20.000 4.800 12.000 23.500 1.720 210 2.100 3.000 8 Selungsungan 270 1.100 180 4.500 220 263 180 1.500 900 9 Gulamah 2.400 1.700 4.680 4.300 1.220 1.020 520 2.100 1.050 10 Bambangan 2.600 1.010 185 150 3.025 3.050 1.200 400 1.030 11 Layang 840 500 400 650 425 40 40 600 2.005 12 Belanak 100 100 350 100 252 165 70 100 180 13 Kembung 6.200 6.800 4.650 820 310 14 Hiu 40 600 340 405 260 540 240 300 1.050 15 Pari 140 80 200 16 Selar 600 60 1.000 2.300 17 Udang Lobster 200 170 120 280 230 130 220 210 40 18 Udang Windu* 2.500 4.000 2.400 1.420 1.620 5.404 4.000 5.100 4.210 19 Udang Brown 1.980 1.900 3.050 3.150 3.300 3.490 3.000 3.200 3.500 20 Udang White 2.000 1.300 500 520 420 220 620 410 710 21 Udang Yellow 2.100 2.500 2.300 2.200 2.560 2.200 1.325 800 2.000 22 Udang PC 1.000 15.000 1.000 1.010 1.310 520 215 1.600 800 23 Ubur-ubur 24 Udang Ribon 4.600 25 Kakap Merah 170 100 26 Bandeng* 20 30 80 100 70 60 55 45 40 JUMLAH 50.521 46.550 37.145 51.985 25.897 25.567 13.615 23.065 34.005 Sumber: PPI Muara Kintap dalam Laporan Tahunan Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Kalimantan Selatan 2005/2006 * Produksi dari budidaya tambak No. JENIS IKAN

OKT 5.300 6.200 625 420 320 1.080 8.020 600 2.100 1.030 250 120 700 620 205 200 60 4.020 3.200 200 1.008 1.020 1.200 30 38.528

NOP 3.320 2.104 405 205 104 1.020 15.200 3.700 2.500 2.230 625 200 7.800 1.020 130 180 20 5.200 2.200 650 2.000 1.420 1.020 1.000 20 54.273

DES JUMLAH 500 39.470 1.600 26.644 250 3.846 40 2.340 25 999 280 5.580 1.910 92.460 2.000 15.413 2.400 25.990 670 16.580 1.400 7.775 100 1.837 10.300 37.580 420 5.835 300 1.055 80 4.420 25 1.705 8.200 48.074 1.220 33.190 1.000 8.550 1.200 22.193 720 25.615 2.200 3.220 3.500 9.100 150 1.620 30 550 40.520 441.641

Dilihat dari jenis ikan yang tertangkap secara total, maka ikan Manyung/Otek (Arius thallasinus) merupakan ikan yang paling banyak tertangkap sebesar 24,41%, diikuti oleh ikan Tenggiri (Scomberomorus sp.) 8,34 % dan Kembung (Rastrelliger sp.) 8,09 %.

39

Alat tangkap yang terdata di Muara kintap pada tahun 2006 berjumlah 10.808 unit terdiri dari berbagai jenis, baik alat tangkap aktif maupun pasif. Seperti ditampilkan tabel 5 berikut.
Tabel 5. Produksi Ikan berdasarkan Alat Tangkap yang Operasional per Bulan di Desa Muara Kintap Tahun 2006 JUMLAH (BUAH) JENIS ALAT JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL AGT SEP Lampara dasar 158 230 232 212 232 238 232 232 234 Trammel net 40 60 48 42 40 42 42 40 42 Purse Semu 65 68 62 60 60 58 58 62 58 Rengge laut 100 128 94 98 94 92 80 98 99 Rempa tasi 57 60 42 46 43 48 45 46 42 Rempa rapat 58 62 48 48 46 51 50 51 48 Rempa Lobster 30 46 37 34 33 35 37 37 62 Agungan 62 62 65 68 65 62 62 64 32 Sisie 32 32 37 32 30 30 30 32 5 Bagan 10 52 52 50 5 5 3 5 50 Pancing 92 72 91 84 89 92 40 46 38 Togo 48 15 7 8 52 92 98 95 148 Sair 28 72 12 28 25 23 35 30 26 Rempa pantai 26 48 18 32 25 28 36 32 30 JUMLAH 806 1007 845 842 839 896 848 870 914 Sumber: PPI Muara Kintap dalam Laporan Tahunan Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Kalimantan Selatan 2005/2006 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

OKT 235 42 63 94 42 48 35 68 32 2 180 5 32 32 910

NOP 242 42 72 55 27 50 37 97 36 3 160 70 68 36 995

DES 231 42 75 92 42 52 40 120 36 2 172 68 30 34 1036

JUMLAH 2708 522 761 1124 540 612 463 827 364 239 1156 706 409 377 10808

Tabel 5 diatas menunjukkan bahwa alat tangkap yang dominan beroperasi berupa lampara dasar berjumlah 158 unit di Januari dan tertinggi 242 unit (Nopember), rengge laut, purse seine dan pancing sedangkan alat tangkap bagan merupakan alat tangkap pasif yang dioperasikan terendah. Alat tangkap lampara dasar merupakan alat tangkap yang paling dominan dipergunakan oleh para nelayan di Muara Kintap. Alat tangkap ini digunakan untuk menangkap udang dan ikan-ikan rucah yang hidup didasar perairan dengan cara pengoperasian ditarik oleh kapal penangkap. Selain itu alat tangkap agungan juga banyak digunakan oleh nelayan dikhususkan untuk menangkap ikan kembung (Rastrelliger sp.) di perairan Kalimantan Selatan pada bulan September sampai April. Untuk perairan sekitar Muara kintap musim penangkapan ikan kembung ini berkisar antara bulan Nopember sampai April.

40

Purse seine juga dipergunakan oleh nelayan setempat karena efektitasnya yang tinggi dan hampir tidak mengenal musim penangkapan atau dengan kata lain alat tangkap ini dapat dioperasikan sepanjang tahun tergantung fishing groundnya saja. Mobilitas alat tangkap ini biasanya tinggi, sehingga bisa melakukan operasi penangkapan baik diperairan Kalimantan Selatan maupun diperairan Kalimantan Tengah atau perairan Kalimantan Timur. Sementara perkembangan tambak diperkirakan 1.006,93 ha tambak di Desa Muara Kintap. Tambak-tambak yang sudah jadi umumnya terletak di bagian hilir (muara) Sungai Kintap sedangkan yang baru dibuka kebanyakan terletak di bagian hulu Sungai Kintap yang bersifat sporadis. Adanya usaha penangkapan dan budidaya ikan menyebabkan tingginya hasil produksi perikanan Desa Muara Kintap dibandingkan dengan desa di sekitarnya. Kelebihan produksi diolah oleh masyarakat menjadi hasil olahan berupa ikan asin kering, kerupuk, ebi dan terasi yang dilakukan oleh industri pengolahan hasil perikanan skala kecil. Industri pengolahan yang tergabung dalam sebuah kelompok yang disebut Kelompok Usaha Bersama (KUB) terasi udang (3 KUB), kerupuk ikan (4 KUB) dan pembekuan kepiting rajungan. Sedangkan jumlah perseorangan sebanyak 27

unit, meliputi pengeringan ikan (12 buah) dan terasi udang (15 buah) (Biro Pusat Statistik Tanah Laut, 2005). Penduduk Desa Muara Kintap umumnya bermata pencaharian yang erat hubungannya dengan sektor perikanan yaitu sebagai nelayan, petani tambak, pedagang ikan, dan pengolah hasil perikanan. Jumlah penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani tambak sebesar 350 jiwa yang mengelola lahan

41

tambak seluas 1.006,93 hektar (BPS Tanah Laut, 2005). Pertumbuhan petani yang mengusahakan tambak di Desa Muara Kintap sejalan dengan luas lahan yang dibuka menjadi areal pertambakan rakyat. Potensi lahan dan air yang luas dan cocok untuk usaha budidaya tambak, menyebabkan di awal tahun 80-an beberapa anggota masyarakat desa mulai membuka areal pertambakan meskipun dalam jumlah yang kecil, dan menjelang tahun 1986 lahan tambak yang dibuka sudah cukup luas 500 ha. Pertumbuhan yang cukup tinggi terjadi semenjak krisis moneter sekitar awal tahun 1998, saat harga udang di pasar internasional melonjak sangat tinggi. Banyak penduduk yang beralih pekerjaan dari nelayan menjadi petani tambak. Hal tersebut menyebabkan Desa Muara Kintap

merupakan daerah konsentrasi penduduk yang berprofesi sebagai petani tambak. Tenaga kerja yang digunakan merupakan tenaga kerja keluarga, maka keberadaan usaha pertambakan di Desa Muara Kintap sebagai sumber pendapatan keluarga dan penyerapan tenaga kerja, dengan asumsi bahwa 1 orang petambak menanggung rata-rata 3 anggota keluarga, maka usaha pertambakan ini mampu menghidupi 1.400 jiwa. Perekonomian kawasan studi Muara Kintap tercermin dari struktur mata pencaharian penduduknya yang berbeda antara desa satu dengan lainnya, yaitu: a. Desa Muara Kintap, subsektor pekerjaan yang dominan adalah peternakan (30,12%), perikanan/kenelayanan (49,62%), jasa perdagangan (5,12%), dan jasa komunikasi dan angkutan (9,56%); b. Desa Kebun Raya, subsektor yang dominan adalah pertanian tanaman pangan (37,38%), perkebunan/perladangan (38,05%), dan peternakan (21,24%);

42

c. Desa Kintap, subsektor yang dominan berupa pertanian tanaman pangan (50,39%), perkebunan/perladangan (19,58%), peternakan (10,44%), dan perikanan/kenelayanan (10,44%); d. Desa Kintap Kecil, subsektor yang dominan berupa pertanian tanaman pangan (65,40%), perkebunan/perladangan (13,50%), dan jasa/perdagangan (21,10%). Dilihat dari struktur mata pencaharian tersebut, maka subsektor yang menjadi andalan berupa subsektor perikanan/kenelayanan, pertanian tanaman pangan, peternakan, perkebunan/perladangan. Sedangkan subsektor jasa perdagangan dan jasa komunikasi serta angkutan merupakan subsektor yang berkembang akibat subsektor andalan tersebut. Data Kecamatan Kintap (2006), menyatakan bahwa jumlah pemilik usaha perikanan sebanyak 187 orang (dengan jumlah kapal penangkap ikan sebanyak 187 buah), buruh penangkap ikan sebanyak 476 orang, tambak sebanyak 271 unit (tidak dijelaskan definisi unit untuk tambak tersebut), dan sampan/perahu tak bermotor sebanyak 37 buah. Dalam hal utilitas listrik, jumlah rumah tangga yang menggunakan listrik pada tahun 2005 sebanyak 2.795 rumah tangga, atau sebesar 41,87% dari total rumah tangga yang ada. Fasilitas air bersih untuk umum terdapat 2 unit di Muara Kintap dan 1 unti fasilitas menara air terletak di dekat PPI bukan merupakan air yang layak untuk di konsumsi. Sedangkan fasilitas yang dimiliki Di desa Muara Kintap berupa: a. Satu unit pangkalan pendaratan ikan (PPI), terdiri dari dermaga, TPI, dan kantor pengelolanya serta lapangan penjemuran; b. Pabrik es;

43

c. Kantor kepala desa yang cukup representatif; d. Pangkalan TNI-AL unit tugas Muara Kintap; e. Pos Airud; f. Babinsa dan Syahbandar pembantu. Pemanfaatan ruang eksisting kawasan Muara Kintap di bagian pantai merupakan hutan rawa, di bagian lainnya terdiri dari sawah, sedikit hutan karet, permukiman, kawasan budidaya ikan dan di bagian hulu sungai Kintap terdapat sawah dan perkebunan campuran. Aktivitas eksploitasi hutan dan pengelolaan DAS yang kurang baik di daerah hulu menciptakan potensi erosi dan banjir serta siltasi atau kekeruhan air di daerah Muara Sungai Kintap. Kondisi tersebut diperburuk lagi oleh aktivitas pertambangan batubara yang selain dapat menimbulkan potensi menimbulkan pencemaran logam berat, sedimentasi dan menurunkan keasaman perairan. Pembangunan 2 pelabuhan batubara di sungai Kintap di sekitar pertambakan penduduk dan di pantai Desa Muara Kintap merupakan ancaman untuk kawasan ini, sedangkan potensi pencemaran lainnya berupa buangan limbah pertanian dalam bentuk pestisida dan herbisida untuk pemberantasan hama dan penyakit yang masuk ke ekosistem sungai atau mangrove juga dapat mengganggu keseimbangan kedua ekosistem tersebut serta konversi hutan mangrove di zona hijau.

44

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Ruang kawasan perikanan Muara Kintap dengan luas wilayah administratif sebesar 49,00 km2, secara geografis berada antara 030 5208- 030 5505 LS dan 1150 1345- 1150 1642 BT (selengkapnya di tampilkan pada gambar 3) 2. Peta Rupabumi Indonesia lembar 1712-31 dan 1712-32 skala 1:50.000 (sumber Bakosurtanal, 2006); 3. Peta Tata Guna Lahan Terkini skala 1:100.000 (sumber hasil penelitian, 2007) 4. Data citra Landsat 7 ETM+ 2006 yang telah di cropping sesuai lokasi penelitian (path/row : 117/63) dengan acqusition date 16 februari 2006 (sumber BTIC Biotrop Bogor); 5. Dokumen dan Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Kalimantan Selatan 2000-2015 skala 1:100.000 (sumber Bappeda Kalsel); 6. Dokumen dan Peta Rencana Umum Tata Ruang Kabupaten Tanah Laut 20022012 skala 1:500.000 (sumber Bappeda Kalsel/Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Kalsel); 7. Laporan Dinas/Instansi yang berhubungan dengan penelitian. 3.2. Alat Penelitian Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini ditampilkan pada tabel 6 berikut.
31

45

Tabel 6. Alat, Metode, Kegunaan serta Lokasi Analisis selama Penelitian


Alat 1. Global Positioning SystemGarmin eTrex Summit 12 channel 2. Rol meter
3. Kamera digital 4. Tape recorder 5.Software Arcview GIS 3.3; Er Mapper 6.4 & PC Komputer 6. Water Checker U-22 Horiba : - Salinitas - pH - Suhu - DO meter 7. Secchi disk 8. Arus 9. pH tanah 10. Nitrat (NO3-N) 11. H2S 12. BOD5 13. Minyak dan lemak 14. Fe 15. Cd 16. Cr6+ 17. Pb

Satuan Derajat; Menit dan detik


meter -

Metode Analisis Tracking dan Marking

Kegunaan Mengetahui koordinat lokasi pengamatan di lapangan


Mengukur panjang dan lebar areal pengamatan Dokumentasi lokasi penelitian Mengetahui perkembangan lokasi penelitian Penentuan kesesuaian pemanfaatan ruang dan analisis spasial

Lokasi Analisis Lapangan/ In situ

Wawancara Deliniasi, Digitasi dan overlay

Lapangan/ In situ Lapangan/ In situ Lapangan/ In situ Lab. Komputasi, Permodelan dan Sistem Informasi Geografis Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Undip Lapangan/In situ

0 0

/00

C ppm cm m/det

Refraktometer Potensiometrik Termometer Potensiometrik Secchi disk Current meter Potensiometrik Colorimetrik dengan Spektrofotometer Colorimetrik dengan Spektrofotometer Titrasi Winkler Gravimetrik AAS (Atomic Absorbtion Spectrophotometer) AAS (Atomic Absorbtion Spectrophotometer) AAS (Atomic Absorbtion Spectrophotometer) AAS (Atomic Absorbtion Spectrophotometer)

ppm ppm ppm ppm ppm ppm ppm ppm ppm

Mengukur salinitas Mengukur pH perairan Mengukur suhu perairan Mengukur DO perairan Mengukur kecerahan perairan Mengukur kecepatan arus perairan Mengukur pH tanah Mengukur nitrat perairan Mengukur H2S perairan Mengukur BOD5 perairan Mengukur kandungan minyak dan lemak di perairan Mengukur kandungan Fe dalam perairan Mengukur kandungan Cd dalam perairan Mengukur kandungan Cr+6 dalam perairan Mengukur kandungan Pb dalam perairan

Lapangan/In situ Lapangan/In situ Lapangan/In situ

Laboratorium Kualitas Air Fak.Perikanan Unlam

46

3.3. Metode Penelitian Penelitian ini memadukan analisis citra satelit Landsat 7 ETM+ dengan pengukuran langsung parameter fisik (salinitas, pH, suhu, kecerahan, arus, pH tanah) dan kimia perairan (DO, nitrat), pencemaran (BOD5, H2S, minyak lemak, Fe, Cd, Cr6+ dan Pb) dan karakteristik pemanfaatan ruang serta komponen biofisik (vegetasi) menggunakan metode survei yaitu suatu metode penelitian deskriptif yang dilakukan terhadap sekumpulan objek yang cukup banyak dalam jangka waktu tertentu (Nasution, 2002) sehingga dihasilkan suatu model peta tematik. Peta tematik yang dihasilkan diolah berdasarkan nilai algoritma spasial untuk mencari kesesuaian pemanfaatan ruang di wilayah studi. Untuk menjawab tujuan dari penelitian ini ditentukan variabel-varibel yang diukur dan dianalisis. Adapun lingkup kajian dalam penelitian ini sebagai berikut : a. Identifikasi keruangan eksisting penggunaan lahan di kawasan pesisir Muara Kintap; b. Menganalisis kesesuaian pemanfaatan ruang di kawasan pesisir Muara Kintap secara spasial dengan atribut/parameter biofisik yang telah ditetapkan serta kesesuaian terhadap Rencana Tata Ruang Kabupaten Tanah Laut; c. Alternatif pengelolaan zona pemanfaatan ruang (prioritas) pada kawasan perikanan pesisir Muara Kintap yang terdiri dari zona lindung dan penyangga, zona pemanfaatan dan zona khusus.

47

3.3.1. Prosedur Penentuan Lokasi dan Pengambilan Sampel (Training Area) Penelitian ini berada pada lokasi zona pemanfaatan kawasan pembangunan perikanan Muara Kintap dan sekitarnya antara 030 5208- 030 5505 LS dan 1150 1345- 1150 1642 BT yang merupakan kawasan lahan basah (wetlands). Penentuan sampel dilakukan secara purposive random sampling (Nasution, 2002) yang diproporsikan dengan jumlah sampling 10 % di kawasan lindung, 60 % di kawasan pemanfaatan dan 30 % di kawasan pelabuhan khusus mengacu pada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.KEP.34/MEN/2002 di lokasi studi yang diambil dalam sampel secara sengaja yang merupakan keterwakilan (representatif) terhadap populasi pola pemanfaatan ruang di kawasan tersebut. Penentuan lokasi sampel (training area) di lokasi studi dilakukan secara acak berdasarkan nilai spektral, tekstur dan warna yang merepresentasikan karakteristik pola pemanfaatan ruang yang masih dipengaruhi sungai dan pesisir/laut yang mewakili lahan-lahan utama dan pendukung dari luas kawasan studi sebesar 4500 ha atau 45,00 km2. Training area yang diambil berbentuk poligon tertutup yang diberi satu kelas informasi (tipe penggunan lahan tertentu) berupa nilai pixel antara 0-255. Setelah proses analisis dan klasifikasi citra satelit selesai, hasilnya dicek di lapangan menggunakan bantuan GPS (Global Positioning System) yang hasilnya di record dengan format latitude; longitude. Lokasi plot-plot sampel pengamatan lapangan dilakukan di daerah-daerah yang aksesibilitasnya tinggi dan dapat mewakili semua kelas yang ada, sehingga informasi mengenai penggunaan lahan dapat diketahui secara cepat dan mudah.

48

Traning area dan validasi lapangan ini digunakan sebagai data atribut pada analisis kesesuaian. 3.3.2. Pengambilan Sampel Lapangan dalam Training Area Stasiun atau lokasi pengambilan titik-titik sampel dilakukan dalam training area yang telah di validasi lapangan, mewakili proporsi sampel untuk parameterparameter lindung sebesar 10%, pemanfaatan 60% dan pelabuhan khusus 30% yang dilakukan pada saat penelitian berlangsung (musim kemarau). 1. Lindung/Konservasi Pengamatan dilakukan secara langsung di lokasi studi terhadap kondisi lindung alamiah (endemik), sempadan pantai dan sungai, lindung buatan dan kawasan rawan bencana (intrusi, abrasi sedimentasi, rob dan banjir), yang selanjutnya di dokumentasikan. Sumber informasi penunjang lainnya diperoleh dari penduduk sekitar mengenai kondisi lokasi pengamatan. 2. Pemanfaatan dan Pelabuhan Khusus Pengukuran dilakukan secara langsung di lokasi studi (in situ) terhadap parameter fisik dan kimia kualitas air berupa : a. Parameter fisik terdiri dari salinitas, pH, suhu menggunakan Water Checker U-22 Horiba; kecerahan menggunakan secchi disk; arus menggunakan current meter dan tinggi gelombang dengan papan berskala (tide pole). b. Parameter kimia perairan terdiri dari DO, nitrat, BOD5, H2S, minyak lemak, Fe, Cd, Cr6+ dan Pb dilakukan analisis di laboratorium dengan cara sampel air diambil di lokasi pertambakan, industri perikanan dan

49

pelabuhan khusus batubara dengan menggunakan botol aqua volume 300 mL dan diawetkan dengan menambah larutan HNO3 pekat 65% sebanyak 0,5 mL. Kemudian botol tersebut dimasukkan ke dalam cool box agar sampel tidak mengalami perubahan. Selanjutnya sampel dibawa ke laboratorium Fakultas Perikanan Unlam untuk dianalisis kandungan minyak lemak, Fe, Cd, Cr6+, Pb, BOD5, Nitrat (NO3-N) dan H2S (Hutagalung et al., 1997). Ringkasan alat, metode analisis dan kegunaan peralatan di tampilkan pada tabel 4. Prosedur analisis tersebut ditampilkan pada lampiran 6. Sedangkan pengukuran kualitas tanah terhadap pH Tanah menggunakan pH meter. Data dan informasi kualitas air pada musim penghujan sebagai data sekunder di dapatkan dari dokumen-dokumen dan laporan penelitian/studi AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) untuk melengkapi penelitian ini. Pengamatan langsung dilakukan pada keberadaan zona penyangga, zona rawan bencana banjir dan genangan untuk pertanian. Jarak jalan dan pantai untuk pemukiman dan tersedianya ruang terbuka hijau untuk industri perikanan. Parameter curah hujan di dapatkan dari BMG Pelaihari, satuan bentukan lahan dari dokumen Profil Kabupaten Tanah Laut, kepadatan penduduk dari Monografi Kecamatan Kintap (data sekunder), pasang surut dari Pelabuhan PT (Persero) Pelabuhan Indonesia III Banjarmasin.

37

Skala 1 : 100.000

Gambar. 3. Peta Kawasan Studi Muara Kintap

38

3.3.3. Pengumpulan Data Data primer diperoleh dari hasil survei lapangan terhadap kondisi pemanfaatan ruang di kawasan studi terhadap komponen fisik, kimia, pencemaran serta biofisik (vegetasi). Data sekunder berasal dari peta-peta tematik berupa Peta Rupabumi Indonesia (RBI) lembar 1712-31 dan 1712-32 dari Bakosurtanal, Peta Tata Guna Lahan Terkini, Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Kalimantan Selatan, Rencana Umum Tata Ruang Pesisir Kabupaten Tanah Laut dan data Dinas/Instansi yang relevan dengan penelitian ini. Data ini digunakan untuk identifikasi pemanfaatan ruang eksisting dan kesesuaiannya berdasarkan parameter biofisik di kawasan perikanan pesisir. Data primer dan sekunder selanjutnya diolah, digitasi dan dikoreksi geometrik dengan program ermapper 6.4 dan arcview GIS 3.3 untuk dilakukan overlay dan algoritma skoring spasial untuk menentukan nilai kesesuaian pemanfaatan ruang dan alternatif zonasi di kawasan studi.

3.4. Analisis Data Analisis data dilakukan dengan memperhatikan masukan dari data primer dan sekunder. Tahapan yang dilakukan sebagai berikut: 3.4.1 Analisis Data Citra Satelit Landsat 7 ETM + untuk Identifikasi Lahan Pengolahan data citra Landsat 7 ETM+ sebelum dilakukan proses analisis untuk identifikasi penggunaan/penutupan lahan dilakukan tahapan pra pengolahan citra yang terdiri :

a. Koreksi Radiometrik Dilakukan dengan metode penyesuaian histogram karena dari histogram dapat diketahui nilai digital terendah dan tertinggi data citra. Asumsi yang melandasi metode ini berupa proses koding digital oleh sensor, objek yang memberikan respon spektral dengan ekstraksi nilai pixel menjadi 0 255. b. Koreksi Geometrik Dilakukan dengan jalan transformasi koordinat yang memerlukan sejumlah titik kontrol di permukaan bumi yang dikenal dengan Ground Control Point (GCP) yang didasarkan pada titik koordinat lintang bujur sudah diketahui. c. Citra Komposit Warna dan Pemotongan Citra (Cropping) Pemilihan kombinasi band ditentukan dengan melihat karakteristik panjang gelombang pada tiap band yang menampilkan nilai spektral utamanya untuk penutupan lahan/vegetasi sehingga di gunakan band 432. Cropping untuk membatasi wilayah studi dengan karakteristik wetland karena daerah studi terletak di lahan basah setelah di deleniasi dengan band 5 dan cek lapangan. Analisis citra satelit Landsat 7 ETM+ untuk identifikasi lahan dan penggunaan/penutupan lahan dilakukan dengan integrasi metode pendekatan berdasarkan perbedaan nilai spektralnya menggunakan input data/informasi acuan yang dianggap benar (hasil pengamatan lapangan dan referensi peta). Hasil kedua klasifikasi tersebut, kemudian digabungkan sehingga dalam analisis dan klasifikasi citra telah mempertimbangkan masukan keterpisahan nilai spektral dan data informasi lapangan (hibrid classification). Analisis dengan komputer mengggunakan paket program pengolah data citra Ermapper versi 6.4, untuk

proses analisis terlebih dahulu dibuat daerah-daerah contoh (training area) yang berisi informasi kelas-kelas penggunaan/penutupan lahan dengan metode unsupervised classification. Pembuatan training area, yang dilakukan pertama kali adalah mendigitasi feature (suatu kenampakan tipe penggunaan lahan dominan atau vegetasi dominan) di layar monitor. Setiap training sample harus berbentuk poligon tertutup yang diberi satu kelas informasi (tipe penggunan lahan tertentu) berupa nilai pixel antara 0-255. Setelah proses analisis dan klasifikasi citra satelit selesai, hasilnya perlu dicek dan disempurnakan berdasarkan data penggunaan lahan hasil pengamatan lapangan, sehingga informasi mengenai penggunaan lahan dapat diketahui dan di monitor secara cepat dan mudah. Kemudian dilakukan validasi lapangan (ground truth) untuk mengecek kebenaran hasil analisis mencakup pengamatan pemanfaatan ruang di wilayah studi. Posisi geografis lokasi pengamatan ditentukan dengan me-record koordinat lokasi pengamatan di lapangan menggunakan GPS (Global Positioning System) dengan format latitude; longitude. Data/informasi hasil pengamatan lapangan diolah dan di match dengan data citra satelit untuk sumber informasi utama dalam menyempurnakan hasil identifikasi pemanfaatan lahan. Outcome dari analisis ini berupa peta tata guna lahan terkini berdasarkan survei lapangan, klassifikasi dan basemap (Peta Rupa Bumi Indonesia tahun 2006) serta citra Landsat 7 ETM+. 3.4.2. Analisis Identifikasi Lahan Merupakan identifikasi lahan di wilayah studi berdasarkan training area dengan model unsupervised classification yang dibuat pada citra landsat 7 ETM+ yang dilakukan pengecekan lapangan dengan melihat peruntukan pemanfaatan

ruang dengan pemakaian atribut-atribut keruangan sebagai zonasi berdasarkan Kepmen Kelautan dan Perikanan RI No. KEP.34/MEN/2002 (Bab VII. Kriteria Umum Perencanaan Tata Ruang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil) yang ditekankan pada : 1. Cultivitation requirement (persyaratan budidaya) sebagai pertambakan, pertanian dan pemukiman.Untuk pertambakan antara lain mempertimbangkan lokasi yang jauh dari pengaruh limbah industri, pertanian, pelabuhan, pertambangan; faktor-faktor fisik, kimia air dan hidro-oceanografi; kawasan pertambakan harus mempertimbangkan perbedaan pasang surut air laut yang ideal dan lokasi hanya mengalami sedikit tekanan perubahan lingkungan dan harus diproteksi dari usaha usaha lain selain pertambakan. Untuk pertanian lahan pesisir yang dijadikan sebagai lahan pertanian merupakan lahan yang subur dan tidak tergantung dari pemberian pupuk organik buatan atau alam; peruntukan lahan bagi kegiatan pertanian dapat digunakan secara multifungsi seperti kegiatan pertanian dengan peternakan. Untuk pemukiman tidak berada di kawasan sempadan pantai, tanaman pangan lahan basah dan aliran irigasi. 2. Conservation requirement (persyaratan konservasi) sebagai sempadan pantai dan sungai. 3. Hazard safe requirement (persyaratan keamanan bencana) sebagai daerah rawan abrasi, sedimentasi dan intrusi air laut.

3.4.3. Analisis Kesesuaian Biofisik (Biophysical Suitability) Pemanfaatan Ruang dan Skoring Merupakan nilai informasi ekologis dari suatu ekosistem di suatu wilayah pemanfaatan di lokasi studi berupa keadaan dan kondisi terkini di lapangan. Pendugaan kelayakan biofisik ini dilakukan dengan cara mengidentifikasikan persyaratan biofisik (biophysical requirements) terhadap parameter lindung, pemanfaatan dan pelabuhan khusus dengan pengamatan dan pengukuran langsung di lapangan berdasarkan tabel 7 yang kemudian di lakukan sistem skoring dengan model Sistem Informasi Geografis (SIG).

Tabel 7.
Parameter Biofisik Penilaian Kesesuaian Pemanfaatan Ruang berdasarkan Kepmen Kelautan dan Perikanan RI. No. KEP.34/MEN/2002
Peruntukan Kawasan Parameter Biofisik Angka *) Bobot* Skor (Angka x Bobot) 5

Kawasan Lindung (Konservasi) dengan Total Nilai Pembobotan 10% 2 2 Memiliki habitat spesifik/ Kawasan Alamiah endemik. Lindung (Konservasi) Tidak memiliki habitat 0 spesifik/endemik. Sempadan Pantai 100 - 200 m dari titik pasang tertingi ke arah darat. 0 - < 100 m dari titik pasang tertingi ke arah darat Sempadan Sungai 100 - 200 m di kiri kanan sungai besar dan 50 m di kiri kanan anak sungai yang berada di luar permukiman. 0 - < 100 m di kiri kanan sungai besar dan 50 m di kiri kanan anak sungai yang berada di luar permukiman. Memiliki bangunan pelindung/perisai pantai (terasering, replantasi, tanggul penahan gelombang, sistem brojong dan tripod). Tidak memiliki bangunan pelindung/perisai pantai (terasering, replantasi, tanggul penahan gelombang, sistem brojong dan tripod). Terjadi intrusi air laut Intrusi air laut tidak ada Terjadi abrasi dan sedimentasi di pesisir wilayah studi Abrasi dan sedimentasi tidak ada di pesisir wilayah studi Mengalami rob (land subsidence) dan banjir Tidak terjadi rob (land subsidence) dan banjir 2 0 2 2 2

Buatan

Kawasan Rawan Bencana Pesisir

2 0 2 0

1 1

2 2

2 0

Lanjutan_________________

Peruntukan Kawasan

Parameter Biofisik

Angka *)

Bobot
*

Skor (Angka x Bobot)


5

Kawasan Pemanfaatan dengan Total Nilai Pembobotan 60% Parameter Kualitas Air Salinitas 15 25 2 (0/00) 10 - 15 dan 25 - 35 1 < 10 atau > 35 Suhu Pertambakan ( C) 28,5 - 31,5 26-28,5 dan 31,6-33 < 26 atau > 33 DO (ppm) 4,0 7,0 3,0-4,0 dan 7,0-12,0 < 3 atau > 12 pH 7,6 9,0 6,0 7,5 < 6,0 atau > 9,0 Kecerahan (cm) 30 40 41 60 dan 20-30 < 20 atau > 60 H2S (ppm) < 0,1 0,1 0,2 > 0,2 Nitrat (NO3N) (ppm)
Klimatologi

6 3 0

0 2 1 0 2 1 0 2 1 0 2 1 0 2 1 0 2 1 0 2 1 0 2 5 3 3 5 5 3

6 3 0 10 5 0 10 5 0 6 3 0 6 3 0 10 5 0 4 2 0

0,03 0,9 0 < 0,03 > 3,5

Curah hujan (mm/th)

> 2000 3000 1000 - 2000 < 1000 atau > 3000

Lanjutan _______________

Peruntukan Kawasan

Parameter Biofisik

Angka *)

Bobot*

Skor (Angka x Bobot) 5

Memiliki kawasan vegetasi/penyangga antara lahan pertanian dengan aliran sungai sejauh 50 m Tidak memiliki kawasan vegetasi/penyangga antara lahan pertanian dengan aliran sungai sejauh< 50 m pH tanah 5,5 7,4 lapisan 4,0 5,4 dan 7,5 8 atas (0-30 cm) < 4,0 dan > 8,5 Satuan Beting Gisik bentuk Dataran Aluvial lahan Dataran Peneplain Tidak berada pada zonasi rawan bencana banjir dan genangan Berada pada zonasi rawan bencana banjir dan genangan Tidak terletak di kawasan sempadan pantai; tanaman pangan lahan basah dan aliran irigasi. Berada di kawasan sempadan pantai; tanaman pangan lahan basah dan aliran irigasi Jarak dari < 200 jalan (m) 200 500 > 500 Jarak dari pantai (m) > 100 50 100 < 50

2 1 0 2 1 0 2

6 3

0 4 2

Pertanian

0 4

0 2 3

0 6

Pemukiman

2 1 0 2 1 0

6 3 0

6 3 0

Lanjutan _______________

Peruntukan Kawasan

Parameter Biofisik

Angka *)

Bobot*

Skor (Angka x Bobot) 5

Jarak dari pantai (m)

> 100 50 100 < 50 Tingkat < 50 jiwa/ha kepadatan 50 100 jiwa/ha pemukiman > 100 jiwa/ha Daerah tanpa bencana banjir, erosi, abrasi, akresi. Berada di daerah bencana banjir, erosi, abrasi, akresi >2 1-2 <1 2 1 0 2 1 0 2

2 1 0 2 1 0 2

3 2 1

6 3 0 4 2 0 2

Arus (m/det)

0 2 1 0

0 6 3 0 4 2 0 4 2 0 2

Indikator Pencemaran Bahan Organik BOD5 < 3,5 (ppm) 3,5 - 15 > 15 DO (ppm) 4,1 7,0 3,0 4,0 dan 7,0 - 12,0 < 3 atau > 12 Tidak berada pada zonasi rawan bencana banjir dan genangan Industri Perikanan Berada pada zonasi rawan bencana banjir dan genangan Tinggi <1 gelombang 1-2 (m) >2 Tersedia Ruang Terbuka Hijau (RTH) selebar 500 m untuk membatasi kawasan industri dengan zona lain. Tidak tersedia ruang terbuka hijau selebar 500 m untuk membatasi kawasan industri dengan zona lain

2 2 1

0 2 1 0 2 2 1

0 4 2 0 2

Lanjutan _______________

Peruntukan Kawasan

Parameter Biofisik

Angka *)

Bobot*

Skor (Angka x Bobot)


5

Kawasan Pelabuhan Khusus dengan Total Nilai Pembobotan 30% 5 2 Tinggi <1 gelombang 1 (m) 1-2 >2 Dinamika Pantai Tidak berada di zona abrasi Berada di zona abrasi Tidak berada di zona sedimentasi Kawasan Pelabuhan Khusus Berada di sedimentasi Pencemaran Perairan Minyak da 5 lemak (ppm) >5 2+ Fe (ppm) 0,03 Cd (ppm) Cr6+ (ppm) Pb (ppm) Pasang (m) suru > 0,03 0,01 > 0,01 0,01 > 0,01 0,01 > 0,01 14 >4 zona 0 2 0 2 0 2 0 2 0 2 0 2 0 2 0 2 0 4 3 3 3 2 2 4

10 5 0 8 0 8 0 6 0 6 0 6 0 6 0 4 0 4 0

Keterangan : * Nilai pembobotan dibuat berdasarkan asumsi alokasi zona prioritas dengan perbandingan 10 % : 60 % : 30 % dari Zona Lindung : Zona Pemanfaatan : Zona Khusus (Sumber. Modifikasi Kepmen Kelautan dan Perikanan RI No. KEP.34/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Penataan Ruang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil). *) Angka : 2 = Sangat Sesuai ; 1 = Sesuai dan 0 = Tidak Sesuai

Data skor yang telah di dapatkan dari hasil peta tematik di overlay masingmasing peruntukan terhadap peruntukan yang lain dengan melibatkan peta tata guna lahan terkini secara spasial melalui proses geoprocessing wizard bertujuan untuk menentukan evaluasi kesesuaian pemanfaatan ruang di tiap kawasan/zonasi dalam wilayah studi dengan persamaan (Bakosurtanal, 1996): Nilai Skor Zonasi =

n
i=1

Angka X Bobot

3.4.4. Analisis Spasial (Spasial Analysis) Model analisis ini menggabungkan antara data spasial (peta) dengan hasil survei di lapangan untuk melihat keterkaitan/hubungan antara fenomena secara spasial dengan teknik yang digunakan : 1. Deliniasi spasial digunakan untuk mempelajari pola distribusi spasial dari suatu tipe data yang didapat dari titik-titik sampel dilapangan dan citra Landsat 7 ETM+ menggunakan band 5 dengan panjang gelombang 1.55 1.75 m yang merupakan infra red dengan karakteristik menyerap kandungan air yang ada dalam tanah atau wetlands (lahan basah), dimana untuk batasan wilayah studi di dasarkan pada karakteristik wetlands tersebut. 2. Peregisteran nilai-nilai dari hasil analisis citra Landsat 7 ETM+ dan survei di lapangan terhadap poligon-poligon pengamatan guna dilakukan proses overlay. 3. Overlay / tumpang susun antara data spasial sehingga dihasilkan suatu wilayah baru dengan karakteristik yang merupakan gabungan nilai antar data spasial berupa Peta Rupabumi Indonesia (RBI) lembar 1712-31 dan 1712-32

dari Bakosurtanal sebagai basemap dengan survei lapangan (peta-peta tematik) dan klassifikasi terhadap peta tata guna lahan terkini serta citra Landsat 7 ETM+ menggunakan fasilitas geoprosessing wizard pada arc view 3.3, dengan tahapan : a. clip untuk memotong peta tata guna lahan terkini berdasarkan penggunaan lahan untuk lindung, pemanfaatan dan pelabuhan khusus; b. dissolve untuk meringkas atau menggabungkan antar kelas yang sama pada lindung, pemafaatan, pelabuhan khusus dan peta kesesuaian lahan. c. union digunakan untuk menggabungkan poligon-poligon yang kurang sempurna hasil clip dan dissolve menjadi poligon yang sempurna. d. merger untuk menggabungkan theme tata guna lahan terkini, lindung, pemanfaatan dan pelabuhan khusus yang dibuat terpisah sehingga nilai spasial dapat dianalisis lebih lanjut. e. intersection untuk melakukan overlay antar peta dengan tetap

menyertakan atribut yang ada sehingga di dapatkan peta baru dan pengkelasan. 4. Reklasifikasi digunakan untuk penilaian ulang dan modifikasi nilai-nilai tematik untuk tiap piksel dari hasil analisis Nilai Skor Zonasi yang di dapat yang digunakan sebagai representasi nilai suatu zona/perwilayahan spasial (Nuarsa, 2005) yang selanjutnya digunakan dalam perhitungan algoritma skoring spasial.

5. Algoritma skoring spasial (Hartoko dan Helmi, 2006) digunakan untuk menentukan 3 (tiga) nilai kelas dari pemanfaatan ruang di kawasan studi yaitu sangat sesuai (S1), sesuai (S2) dan tidak sesuai (N) dengan persamaan :
= (Skor lindung x 10 %) + (Skor Pemanfaatan x 60 %) + (Skor Khusus x 30 %)

Outcome dari analisis ini berupa peta kesesuaian lahan dan peta alternatif zona pada kawasan perikanan pesisir Muara Kintap berdasarkan algoritma spasial yang mengacu pada kelestarian sumberdaya pesisir dan keterkaitan antar kawasan Muara Kintap Kabupaten Tanah Laut Propinsi Kalimantan Selatan berdasarkan kriteria Bakosurtanal (1996) seperti tabel 8 berikut. Tabel 8. Evaluasi Hasil Penilaian Kesesuaian Pemanfaatan Ruang
Kriteria Tingkat Kesesuaian Sangat sesuai (Highly Suitable) untuk kawasan Pemanfaatan (S1) Nilai Keterangan

> 80 100

Sesuai (Suitable) untuk kawasan Pemanfaatan (S2)

60 80

Tidak sesuai (Not Suitable) untuk kawasan Pemanfaatan (N)


Sumber : Bakosurtanal (1996).

0 - < 60

Daerah ini mendukung/berpotensi dan sangat layak sebagai kawasan pemanfaatan dan tidak menutup kemungkinan untuk dikembangkan. Daerah ini mendukung dan layak sebagai kawasan pemanfaatan namun perlu diperhatikan syarat-syarat tertentu apabila ingin dikembangkan sebagai kawasan yang sama. Daerah ini tidak mendukung dan tidak layak sebagai peruntukan kawasan pemanfaatan.Mungkin dapat dialokasikan untuk zonasi lindung, khusus dan lain sebagainya.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Lokasi Titik Sampling Hasil cropping data citra wilayah pesisir Kintap Kabupaten Tanah Laut yang telah disesuaikan dengan wilayah penelitian dapat dilihat pada gambar 4. Sedangkan pada gambar 5 merupakan data citra yang menunjukkan deliniasi wilayah studi. Tabel 9 menunjukkan lokasi pengamatan beserta posisi di permukaan bumi dengan Global Positioning System (GPS) berformat latitudelongitude yang dilakukan secara purposive random sampling dalam training area yang menggambarkan keterwakilan kawasan lindung, pemanfaatan dan khusus. Tabel. 9. Lokasi Sampling berdasarkan Global Positioning System (GPS)
Lokasi Nama Desa Lokasi Sampling Derajat Latitude Menit Detik Derajat Longitude Menit Detik

1 2 3 4 5 6 7

Muara Kintap Muara Kintap Muara Kintap Muara Kintap Muara Kintap Muara Kintap Muara Kintap

8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Muara Kintap Muara Kintap Muara Kintap Muara Kintap Muara Kintap Muara Kintap Muara Kintap Muara Kintap Muara Kintap Muara Kintap Muara Kintap Muara Kintap Muara Kintap

Pelabuhan Khusus Pertanian (Sawah) Tambak Pemukiman Pemukiman Tambak Industri Perikanan (pengolahan terasi dan ikan kering) Lindung Lokal Tambak baru Pelabuhan Khusus Pertanian (Sawah) Tambak Pemukiman Tambak Industri Perikanan rajungan Tambak Pelabuhan Khusus Tambak baru Lindung Lokal Pemukiman

3 3 3 3 3 3 3

53 52 53 54 54 54 54

19.13 38.7 29.56 10.79 18.22 3.91 22.8

115 115 115 115 115 115 115

18 16 16 15 15 15 15

12.8 48.66 0.62 42.85 32.56 40.01 27.99

3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3

53 54 52 52 52 54 54 54 53 55 54 54 54

59.87 48.06 33.83 15.04 36.14 24.47 9.59 17.06 43.71 41.85 37.32 57.0 45.97

115 115 115 115 115 115 115 115 115 115 115 115 115

15 14 14 15 15 15 15 15 14 12 14 14 14

28.6 7.72 54.54 55.64 3.67 6.87 14.32 23.43 32.71 18.85 18.24 25.23 57.39

Sumber : Hasil penelitian, April 2007.

51

52

Gambar 4. Cropping Data citra Landsat 7 ETM+ lokasi penelitian

53

Gambar 5. Deliniasi Wilayah Studi di Pesisir Muara Kintap

54

4.2. Deliniasi Wilayah Studi Deliniasi atau batasan ruang kawasan studi digunakan untuk memberikan batasan daerah penelitian dengan bantuan citra landsat 7 ETM+ bertujuan menyederhanakan dan memfokuskan daerah penelitian untuk memudahkan identifikasi dan analisis spasial. Batasan wilayah studi dengan bantuan citra landsat 7 ETM+ di dasarkan pada kenampakan atau karakteristik berupa sistem lahan yang memiliki warna hitam gelap dilihat dari nilai spektral ke-3 band yang di ujikan yaitu band 4, 5 dan 7 yang bertipe infrared karena ketiga band tersebut memiliki panjang gelombang dengan kisaran (range) tersempit sehingga memiliki kemampuan sensor dalam membedakan obyek. Tahapan deleniasi di lakukan dengan memproses masing-masing band 4, 5 dan 7 dengan tujuan melihat karakteristik atau pencirian yang di timbulkan sebagai reaksi penggunaan panjang gelombang dan nilai spektral yang ditampilkan. Band 4 dan 7 tidak menimbulkan pencirian khusus dibandingkan band 5 (=1.55 - 1.75 m) merupakan mid-infrared pada landsat 7 ETM+ menampilkan suatu bentukan/karakteristik berupa kenampakan berwarna hitam gelap dan mengelompok daripada lokasi lain, merupakan tipe wetland (lahan basah) yang ditemukan di pesisir Kalimantan seperti ditampilkan gambar 5. Wetland merupakan lahan peralihan antara sistem daratan dan sistem perairan, dimana keadaan air terletak pada atau dekat permukaan atau merupakan lahan yang ditutupi perairan dangkal dan dapat dicirikan dengan paling tidak secara periodik ditumbuhi tanaman air, sebagian besar merupakan tanah tergenang dan jenuh air serta substrat bukan berupa tanah yang berkembang dengan baik

55

dengan kondisi jenuh air atau tertutup air dangkal yang terdiri dari lahan buatan berupa pertambakan, sawah dan kebun/tegalan dan lahan alamiah berupa kenampakan bentang alam seperti rawa-rawa atau hutan rawa, sungai, mangrove dan lahan gambut bertipe pasang surut (Nirarita dan Endah, 1996) yang dapat di interpretasikan dengan karakteristik spektral band 5 sebagai penentu delineasi di wilayah pesisir Muara Kintap. Setelah di dapatkan batasan menurut pencirian yang ditampilkan band 5 maka dilakukan proses cropping sesuai dengan kenampakan tersebut dengan menggunakan standart formula untuk region pada paket program er mapper 6.4, selanjutnya di simpan dalam bentuk data vektor dan raster yang dijadikan sebagai dasar digitasi dan analisis spasial pada arc view 3.3. Deleniasi secara ekologis dilakukan dengan mengimplementasikan pengertian pesisir (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003) dengan batas ke arah darat sebagai daerah yang terpengaruh intrusi (salinitas) ditemukan di lokasi 11 saat penelitian berjarak 5,58 km atau 3,46 mil dengan menggunakan landsat 7 ETM+, dari data sekunder (lampiran 3) daerah ini masih memiliki kandungan salinitas 1 permil di duga akibat pengaruh debit air yang tinggi saat musim hujan dapat mengurangi nilai salinitas di daerah ini. Batas ekologis lain ke arah laut yang dipengaruhi oleh proses-proses alamiah di darat seperti aliran air sungai, run off akibat aktivitas manusia di daratan yang menimbulkan sedimentasi di kawasan studi teridentifikasi di sekitar Muara sungai Kintap dengan jarak 1,33 km atau 0,82 mil yang dihitung berdasarkan data citra landsat 7 ETM + merupakan daerah pemukiman seperti ditampilkan pada gambar 5.

56

4.3. Identifikasi Pemanfataan Ruang di Kawasan Perikanan Muara Kintap Kombinasi band 432 digunakan untuk membantu menafsirkan citra satelit landsat ETM 7+ di lokasi studi karena kombinasi band ini secara visual mampu menginformasikan berbagai kenampakkan vegetasi baik alamiah dan budidaya yang dapat jelas dibedakan seperti ditampilkan tabel 10 dan gambar 6. Berdasarkan tampilan tekstur dan warna serta hasil ground check di lapangan terhadap kenampakan objek yang ada di citra maka penutupan lokasi studi di dominasi oleh aktivitas budidaya perikanan berupa pertambakan dan pertanian termasuk perkebunan. Pola sebaran ruang-ruang di lokasi studi berpusat di daerah muara dan menyebar di sepanjang aliran sungai Kintap. Ruang budidaya pertambakan dalam pengelolaannya memerlukan aliran dan genangan air yang terdiri dari petakan-petakan yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan laut/pesisir atau muara. Ruang budidaya pertanian yang dalam pengelolaanya memerlukan genangan air dan perkebunan dicirikan dengan keseragaman/keteraturan vegetasi meskipun ladang ditanam kurang memenuhi tipikal tersebut. Indikator lain yang dapat dipergunakan sebagai ciri atau indikasi keberadaan lahan budidaya seperti adanya kenampakan vegetasi baik mangrove maupun kebun campuran dan pekarangan/pemukiman (umumnya mengikuti pola aliran sungai atau memanjang di pesisir), biasanya petani tinggal di daerah permukiman yang dekat dengan lahan-lahan yang mereka garap dan kenampakan buatan berupa saluran irigasi, jaringan jalan sebagai sarana penunjang dalam produksi padi. Dasar lain yang digunakan dapat berupa nilai reflektansi (nilai spektral/pixel) dari berbagai tipe penggunaan/penutupan di lokasi studi.

57

Gambar 6. Tampilan Kenampakan Objek Studi di Pesisir Muara Kintap pada Landsat 7 ETM+ Gabungan band 4,3 dan 2 serta Kondisi Lapangan

58

Gambar 7. Peta Tata Guna Lahan Terkini Wilayah Studi Pesisir Muara Kintap berdasarkan update dan survei lapangan April 2007

59

Tabel. 10. Interpretasi dan Identifikasi Daerah Studi berdasarkan Warna, Tekstur, rata-rata nilai spektral/reflektansi di Pesisir Muara Kintap hasil cek lapangan dengan Citra RGB 432
Karakteristik Warna dan Tekstur Merah tua kehitaman berlokasi di daerah rawa umumnya ditemukan di estuaria atau sepanjang dataran pantai dipengaruhi oleh pasang surut dan memiliki tekstur yang halus sampai sedang Biru hingga hitam Kehitaman umumnya ditemukan di estuaria atau sepanjang dataran pantai dipengaruhi oleh pasang surut dan memiliki pola-pola tertentu Biru pucat hingga hijau keputihan, terletak pada dataran aluvial atau daerah rawa Hijau keputihan, cakupan luas, umumnya membentuk batas yang tidak teratur Merah dengan tekstur sedang tidak memiliki batas secara alami, areal sempit, umumnya terdapat dekat sungai, jalan lama, dan terdapat pantulan cerah Merah muda dengan tekstur agak halus, umumnya ditemukan diantara hutan alam dan vegetasi sekunder, dengan batas tidak teratur Merah muda keabuan, dengan tekstur halus, umumnya ditemukan sepanjang dataran aluvial tepi sungai, daerah tenggelam Merah keabuan, dengan tekstur halus, kadangkala tercampur dengan belukar Merah kehitaman, lokasi di daerah berawa dan terletak diantara dua sungai besar yang memiliki drainase nampak dengan warna merah hingga merah gelap dengan tekstur yang halus hingga kasar Kenampakan/ Teridentifikasi Hutan Mangrove Rata-rata nilai Reflektansi/ Spektral band 4 : 3 : 2 84 : 37 : 54 Keterangan 1

Air Tambak

17 : 67 : 80 30 : 45 : 56

Sawah tergenang Lahan terbuka (land clearing) untuk pelabuhan khusus batubara Desa Kebun Vegetasi Sekunder atau Belukar Rumput/Semak, Sawah Padang rumput /alang-alang Hutan rawa gambut

52 : 60 : 70 74 : 110 : 86

3 4

52 : 40 : 82 78 : 40 : 50 70 : 46 : 56

55 : 88 : 80

66 : 50 : 61 70 : 46 : 56

8 9

Sumber:Hasil penelitian, April 2007. catatan: nilai reflektansi/spektral citra terendah 0 (berwarna hitam/gelap) dan tertinggi 255 (berwarna putih).

Hasil analisis dan overlay data citra, survei lapangan dan peta rupabumi menghasilkan peta tata guna lahan dan penggunaan ruang seperti ditampilkan tabel 11 dan gambar 7. Pemanfaatan ruang terbesar (gambar 8 dan 9 serta tabel 11) di lokasi studi sebagai pertambakan 36,67 %; (1640,59 hektar), hutan rawa

60

24,33% (1088,76 hektar) dan pertanian 19,85% (887,90 hektar) dari total luas wilayah sedangkan pemanfaataan ruang untuk pemukiman merupakan yang terkecil sebesar 2,28% (102,15 hektar) yang merupakan gabungan industri perikanan dan pemukiman. Tabel 11 menunjukkan perbedaan 247,59 hektar dari pertambakan yang mengindikasikan telah terjadi penambahan peruntukan, sedangkan yang mengalami perubahan lain ditemukan pada pemukiman 14,27 hektar (0,49%), perubahan tata guna lahan berada di barat sungai Kintap dengan mengkonversi hutan rawa/rawa-rawa sebagai lahan tambak baru dan di muara sungai telah berdiri pemukiman baru yang berdekatan dengan pertambakan. Potensi lindung lokal yang merupakan bagian hutan rawa merupakan daerah bervegetasi baik dan memiliki habitat endemik apabila di konversi sebagai tambak harus dengan sistem silvofisheries (mina hutan) sebesar 80% hutan dan 20% tambak dengan manfaat hutan memberi kesuburan kolam dan menjadi tempat pengasuhan, melindungi udang dari suhu tinggi dan menyediakan makanan yang lebih banyak bagi udang dan ikan (Dephutbun, 1999) seperti Pulau Nyamuk yang terancam pengkonversian lahan dengan di bukanya tambak di bagian utara pulau. Perbedaan luasan penggunaan lahan antara hasil analisis dan data kecamatan untuk pertanian, perkebunan dan semak/belukar disebabkan data kecamatan Kintap belum mencantumkan luasan untuk pelabuhan khusus batubara yang telah mengkonversi sebagian kawasan dan kawasan lain, wilayah studi yang dijadikan lokasi studi memiliki kesamaan karakter/pencirian berupa lahan basah (wetlands) berupa lahan/tanah yang masih dipengaruhi oleh air berwarna hitam gelap dan dapat dibedakan dari band 5 pada landsat 7 ETM+.

61

Tabel. 11. Ikhtisar Pemanfaatan Ruang Muara Kintap berdasarkan Analisis Spasial dan Monografi Kecamatan
Penggunaan Lahan Tambak Pemukiman Pertanian/ Kebun/ Tegalan Rawa Perkebunan Pelabuhan khusus Semak/ rumput/ belukar Luas Analisis Spasial (hektar) 1640,59 102,15 887,90 1088,76 413,37 156,09 185,31 4474,14 ha 44,74 km2 Prosentase 36,67 2,28 19,85 24,33 9,24 3,49 4,14 100 Monografi (hektar) 1393 87,88 1075,34 1509 562,26 0 272,52 4900 ha 49,00 km2 Prosentase 28,43 1,79 21,95 30,80 11,47 0 5,56 100 Selisih/beda hektar 247,59 14,27 187,44 420,24 148,89 156,09 87,21 Prosentase 8,24 0,49 2,1 6,47 2,23 3,49 1,42

Sumber : Hasil Penelitian, April 2007.

Distribusi Ruang Muara Kintap


Semak /rumput /belukar 4% Pelabuhan khusus 3% Perkebunan 9% Tambak 38%

rawa 24% Pertanian/ Kebun /Tegalan 20%

Pemukiman 2%

Sumber : Analisis spasial dan hasil penelitian, 2007

Gambar 8. Distribusi Ruang Muara Kintap berdasarkan Analisis Spasial Hasil Penelitian (2007)

Distribusi Lahan M uara Kintap


Sem ak/ rum put/ belukar Perkebunan 6% 11% Pelabuhan khusus 0% Tam bak 28% Pem ukim an 2% Pertanian/ Kebun /Tegalan 22%

rawa 31%

Sumber : Monografi Kec. Kintap, 2006

Gambar 9. Distribusi Ruang Muara Kintap berdasarkan Monografi Kecamatan

62

4.3.1. Kompatibilitas Pemanfaatan Ruang Kawasan Perikanan Pesisir Muara Kintap Pemanfaatan ruang antar kegiatan di kawasan perikanan pesisir Muara Kintap dilihat dari matriks hubungan kompatibilitas (gambar 10) menunjukkan semua sektor kegiatan membawa potensi konflik terhadap kegiatan lain berupa limbah, perubahan fungsi ekologis dari suatu kegiatan dapat menurunkan nilai pemanfaatan kegiatan lain. Kawasan konservasi berupa lindung lokal dan sempadan sungai serta pantai dapat menurun fungsinya dengan keberadaan pertambakan, pemukiman, industri perikanan dan pelabuhan khusus batubara. Antar kegiatan pemanfaatan di kawasan perikanan Muara Kintap dapat merugikan antar kegiatan kecuali pertanian dengan pemukiman yang bersifat netral karena limbah pemukiman di dominasi bahan organik yang dapat terurai akibat proses dekomposisi dan detergen yang meningkatkan kandungan fosfor dan nitrogen sehingga terjadi eutrofikasi di kawasan lain (Supriharyono, 2007). Aktivitas pelabuhan khusus batubara di lokasi 11 berpengaruh besar terhadap ekosistem pertambakan karena tingkat kekeruhan yang tinggi saat musim hujan dengan curah hujan tinggi menurunkan kandungan oksigen terlarut perairan sehingga proses fotosintesis terhambat dan membawa dampak kematian pada biota akuatik khususnya ikan dengan menyelimuti sistem pernafasannya (insang). Kegiatan-kegiatan di kawasan pembangunan perikanan Muara Kintap yang tidak kompatibel satu dengan yang lain menimbulkan dampak merugikan sehingga dalam implementasi di lapangan memerlukan pengelolaan baik secara ekologis dan kebijakan melalui revisi Rencana Tata Ruang Kabupaten dan Propinsi agar kawasan ini dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan (sustainable).

63

Konsep zonasi penyangga sebagai daerah yang berfungsi menahan bahanbahan pencemar, menjebak sedimen, memperlambat aliran air permukaan dan melindungi kualitas massa air berupa vegetasi alamiah atau buatan dapat mereduksi dampak dari berbagai aktivitas yang tidak kompatibel bahkan cenderung antagonis di wilayah pembangunan perikanan pesisir Muara Kintap. Matriks hubungan kompatibilitas antar kegiatan menggambarkan zonasi kegiatan yang di prioritaskan sebagai lokasi penyangga antar kegiatan di kawasan pembangunan perikanan pesisir Muara Kintap. Berikut zona penyangga prioritas: - Pelabuhan khusus batubara, pertambakan dan pertanian; - Industri perikanan dan pemukiman; - Pertanian dan industri perikanan; - Pertambakan, pemukiman dan pertanian di semua lokasi pengamatan. Kawasan pelabuhan khusus batubara perlu di alokasikan ruang tersendiri dan harus memiliki vegetasi yang mampu mereduksi limbah yang dihasilkan.
Konservasi (lindung lokal) Industri perikanan

Pemukiman

Pertanian Perikanan budidaya (tambak) Pelabuhan khusus batubara

X Konservasi (lindung lokal)

X Industri perikanan

X Perikanan budidaya (tambak) Pelabuhan khusus batubara

Pemukiman

Pertanian

Keterangan : X = kegiatan saling merugikan (konflik) ; 0 = normal

Gambar. 10. Matrik Hubungan Kompatibilitas Antar Kegiatan

64

4.4. Analisis Kesesuaian Pemanfaatan Tata Guna Lahan Terkini terhadap Rencana Umum Tata Ruang Propinsi/Kabupaten dan Citra Landsat 7 ETM+ Pemanfaatan ruang di kawasan perikanan pesisir Muara Kintap menurut Peraturan daerah No.9 tahun 2000 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Kalimantan Selatan (lembar daerah Propinsi Kalimantan Selatan No.14 Tahun 2000) di pasal 11 c poin 3 (Pemda Kalsel, 2002) dinyatakan Kecamatan Kintap merupakan salah satu Kawasan Sentra Produksi (KSP) Tanah Laut dan Kotabaru yang dikembangkan sebagai daerah perikanan laut, perikanan tambak dan peternakan sapi selain kecamatan Kusan Hilir, Satui, Batulicin dan Sungai Loban yang termasuk wilayah Kabupaten Pulau Laut. Masih menurut dokumen tersebut kawasan kecamatan Kintap ditetapkan juga sebagai daerah pertanian lahan basah, kering dan pertambakan (gambar 12) yang termasuk kota orde IV dan dipertegas melalui Peraturan daerah Rencana Umum Tata Ruang Kabupaten Tanah Laut No.13/2002 pasal 19 yang secara peraturan pemanfaatan ruang di kawasan ini sinergis. Faktanya berdasarkan overlay peta tematik tata guna lahan terkini yang merupakan hasil survei lapangan, Rencana Umum Tata Ruang/Rencana Tata Ruang Wilayah dan citra landsat ETM 7+ daerah ini tidak hanya dimanfaatkan sebagaimana Peraturan daerah tersebut namun terdapat pula kegiatan lain yang bertentangan dengan ketentuan bahkan tidak di alokasikan di daerah tersebut berupa tiga kegiatan pelabuhan sekaligus stokpile batubara bahkan ada yang berdekatan langsung dengan kegiatan atau usaha budidaya pertambakan penduduk Muara Kintap yang merupakan kawasan pembangunan perikanan.

65

Kawasan pelabuhan batubara mengambil proporsi ruang yang telah ditentukan melalui peta Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi dan Kabupaten sebagai kawasan pertanian lahan kering 1.117,167 hektar (30,52%) oleh PT. Surya Kencana Jorong Mandiri (SKJM) dan PT. Pribumi Citra Megah Utama (PCMU) serta kawasan pertanian lahan basah 1.208,514 hektar (27,00%). Selengkapnya ditampilkan pada gambar 11 berikut.
Alokasi Pemanfaatan Ruang Muara Kintap
Pertanian Lahan Basah; 1208,514; 27%

Lahan Tambak; 1901,054; 42%

Pertanian Lahan Kering; 1365,887; 31% Sumber: Analisis Spasial dan Hasil Penelitian, 2007

Gambar. 11. Alokasi Pemanfaatan Ruang Muara Kintap

Berkurangnya proporsi ruang sebagai daerah lindung sempadan sungai dan pantai dalam Peraturan daerah Rencana Umum Tata Ruang Kabupaten Tanah Laut No.13/2002 pasal 17 yang berlokasi di kecamatan Kintap karena daerah ini telah mengalami konversi sebagai areal pertambakan, pemukiman termasuk industri perikanan dan pelabuhan khusus batubara yang mampu mengeleminasi zonasi sempadan sungai dan pantai. Berdasarkan gambar 13 ketidaksesuaian fungsi ekologis sempadan ditemukan pada semua penggunaan lahan seperti lokasi 17 dan 1 sebagai pelabuhan khusus batubara, lokasi 20 sebagai pemukiman dan lokasi 9 untuk pertambakan. Teknik pembangunan untuk pemukiman termasuk industri perikanan dan tambak yang dibangun 0,5 meter dari sungai dan pantai Kintap mengabaikan sempadan sungai dan pantai sehingga degradasi menjadi semakin besar.

66

Gambar. 12. Peta Muara Kintap dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tanah Laut Tahun 2002-2012 (Perda No.13/2002 dan No.9/2000).

Gambar. 13. Peta Kesesuaian Pemanfaatan Ruang Wilayah Muara Kintap Kab. Tanah Laut Berdasarkan Overlay RUTR Kabupaten/RTRW Propinsi; Tata Guna Lahan Terkini dan Citra Landsat 7 ETM+

67

4.5. Analisis Kesesuaian Pesisir Kawasan Perikanan Muara Kintap Berdasarkan Parameter Biofisik Lindung, Pemanfaatan dan Pelabuhan Khusus 4.5.1. Kesesuaian Pesisir Kawasan Perikanan Muara Kintap Berdasarkan Parameter Biofisik Lindung 1. Lindung alamiah Merupakan ekosistem mangrove sebagai sub sistem dari ekosistem pesisir di dalam ekosistem ini terdapat berbagai macam vegetasi diantaranya nipah

(Nypa fruticans), bakau (Rhizophora) dan api-api (Avicennia sp.). Selain memiliki komunitas tumbuhan, daerah mangrove tersebut menjadi habitat bagi bermacammacam satwa dari kelas rendah (avertebrata) sampai dengan yang kelas tinggi (vertebrata). Berdasarkan hasil survei di lapangan di lokasi 8 dan 19 merupakan ekosistem lindung alamiah yang sangat sesuai (gambar 15 dan tabel 14) karena di lokasi ini ditemukan spesies endemik yang berasosiasi dengan hutan bakau yaitu : a. Pada tajuk-tajuk pohon dapat dijumpai warik irangan (Macaca fascicularis) yang memakan daun-daun hutan bakau, khususnya daun yang masih bakau muda dari Rhizophora spp., burung elang (Haliastur indus), belibis (Dendrocygna arcuata) yang endemik di Kalimantan; b. Pada batang dan akar-akar napas dari pohon mangrove nampak dihuni oleh moluska atau kerang-kerangan kecil, dan larva-larva udang serta ikan; c. Di dalam dan dipermukaan tanah hidup berbagai jenis hewan avertebrata seperti keong, kepiting, dan sebagainya;

68

d. Di aliran air sering dijumpai biawak (Varanus salvator), ular, barang-barang, ikan gelodok, dan lain-lainnya. (selengkapnya di tampilkan pada tabel 12 berikut Tabel. 12. Jenis-jenis mamalia yang terdapat dalam wilayah studi
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Nama Lokal Tikus Tupai Kelelawar Trenggiling Warik irangan Bajing tanah Barang barang Musang Babi hutan Nama Latin Suncus ater Tupaia gracilis Penthetor locasii Manis javanica Macaca fascicularis Lariscus insignis Lutra lutra Diplogale derbyanus Sus barbatus

Sumber : Hasil wawancara

Karakteristik ekologis yang berbeda ditemukan pada 2 lokasi ini, lokasi 18 merupakan habitat pantai berpasir terdapat di pantai utara desa Muara Kintap yang agak jauh serta terlindung dari pengaruh aliran muara sungai yang berlumpur. Bagian dari ekosistem tersebut merupakan pantai yang bersih dan sering dijadikan sebagai tempat yang strategis bagi nelayan sebagai lokasi fishing ground benih karena daerah ini merupakan spawning area dan nursery area untuk dan benihbenih udang (benur) dan bandeng (nener). Daerah ini bervegetasi cemara, kelapa dan tumbuhan perdu. Fauna yang umum menempati daerah tersebut berupa jenis kerang, ketam, dan moluska (siput). Lokasi 8 merupakan ekosistem hutan rawa yang terletak di wilayah desa Muara Kintap berupa delta yang terbentuk dari sedimentasi yang dinamakan Pulau Nyamuk dengan beberapa komunitas mangrove, daerah ini terancam dengan intensifnya usaha pembukaan lahan sebagai ekosistem binaan atau budidaya berupa pertambakan. Ekosistem ini cukup

69

luas karena berada dalam suatu hamparan tambak yang dicirikan oleh adanya keseragaman fauna dan dalam jumlah besar, yaitu udang windu dan ikan bandeng. Pertumbuhan mangrove di Muara Kintap dan sekitarnya secara keseluruhan menunjukkan sangat kurang. Terutama pada tingkat pancang, tiang dan pohon. Memperhatikan kondisi pertumbuhan secara keseluruhan hutan mangrove di lokasi studi menunjukkan kerusakan yang terjadi sangat parah, akibat pembukaan dan perluasan tambak secara besar-besaran. Berikut data jenisjenis vegetasi mangrove yang teridentifikasi di Muara Kintap dan sekitarnya Tabel. 13. Jenis-jenis mangrove yang ditemukan
No 1 2 3 4 5 7 8 10 11 12 13 Nama Daerah Cemara * Api-api Bakau laki Bakau bini Rambai bogam Bintoro Buta-buta Dungun Waru lot Nyamplung Ketapang * Nama Botanis Casuarina equisetifolia Avicennia alba Rhizophora mucronata Rhizophora apiculata Sonneratia alba Carbera manghas Excoecaria agallocha Heritiera littoralis Thespesia populnea Calophyllum inophyllum Terminalia catappa Famili Casuarinaceae Acicenniaceae Rhizophoraceae Rhizophoraceae Sonneratiaceae Apocynaceae Eupherbiaceae Sterculiaceae Malvaceae Guttiferae Combretaceae

*) Mangrove Asosiasi; Sumber : Hasil Penelitian, April 2007.

2. Sempadan pantai Kawasan bervegetasi tertentu sepanjang pantai memiliki manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai, daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik minimal 100 meter dari titik pasang laut tertinggi atau dari tebing pantai kearah darat. Hasil survei, kawasan yang dikategorikan sangat sesuai (tabel 14 dan gambar 15) disebabkan masih tinggi tingkat vegetasi terdapat di lokasi 19 yang merupakan sub sistem ekologi dengan karakteristik pantai berpasir yang berlokasi agak jauh di pantai

70

utara desa Muara Kintap, terlindung dari pengaruh aliran muara sungai yang berlumpur dan diduga masih mempunyai kemampuan untuk memperlunak pengaruh-pengaruh lautan berupa hembusan angin laut dan gempuran gelombang ke arah daratan. Bagian dari ekosistem tersebut merupakan pantai yang bersih dan sering dijadikan sebagai tempat strategis bagi nelayan untuk menangkap benihbenih udang (benur) dan bandeng (nener). Daerah ini banyak ditemukan vegetasi cemara, kelapa dan tumbuhan perdu, berkarakter pantai berpasir dan tidak cocok dijadikan lokasi tambak, tetapi lokasi ini mulai terancam dengan pembukaan dan alih fungsi lahan untuk pemukiman. 3. Sempadan sungai Kawasan sepanjang kiri kanan sungai termasuk sungai buatan/ kanal/saluran irigasi primer dan mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai. Kawasan lindung sempadan sungai untuk sungai Kintap (kategori sungai besar) diambil jarak sejauh 100 meter dari tepi sungai dan kawasan lindung sempadan sungai kecil yang diambil jarak sejauh 50 meter merupakan zonasi perlindungan kawasan untuk sungai Kintap dan sekitarnya karena berperan penting bagi kelestarian lingkungan utamanya budidaya tambak. Namun berdasarkan pengamatan di lapangan (tabel 14 dan gambar 16) kondisi vegetasi sepanjang bantaran muara sungai Kintap sudah tergolong jarang karena telah direklamasi menjadi lahan pertambakan. Para petambak membangun lahan tambaknya berbatasan langsung dengan sungai, yang jaraknya berkisar 2 sampai 10 meter, kecuali di bagian hulu berupa daerah yang berdekatan dengan Rantau Bujur masih banyak ditemukan vegetasi nipah.

71

Kondisi ini menyebabkan hilangnya kawasan lindung di sepanjang bantaran muara sungai Kintap. Kawasan pinggiran sungai Kintap dilihat dari arah sungai hampir seluruhnya di tumbuhi oleh nipah mulai dari muara sungai sampai ke hulu mendekati permukiman desa Kintap Kecil. Tumbuhan nipah tersebut sangat tipis atau hanya satu sampai dua lapisan pohon nipah, sedangkan di belakangnya langsung terdapat lahan untuk pertambakan. Belum terlihat dampak visual dari tipisnya tumbuhan di pinggiran sungai ini, namun keberadaan pertambakan sudah tidak sesuai dengan sempadan sungai yang ditetapkan dalam peraturan sebagai kawasan lindung yang mestinya sejauh 100 meter dari tepian sungai besar dan 50 meter dari anak sungai kecil. Lokasi 8 yang merupakan Pulau Nyamuk masih ditemukan vegetasi mangrove, tetapi tidak terlalu melebar ke dalam atau tidak terlalu lebat vegetasi tumbuhan mangrovenya. 4. Lindung buatan Kawasan lindung buatan merupakan suatu sistem bangunan teknik pantai untuk mereduksi pengaruh hidrodinamika pantai. Berdasarkan hasil survei lapangan di lokasi studi (gambar 16) ditemukan tanggul untuk melindungi pantai dari abrasi dan melindungi aset utama jalan keluar masuk desa Muara Kintap, bangunan ini berada di bagian timur dari Muara sungai Kintap dengan panjang sekitar 200 meter dibangun secara horizontal sejajar dengan pantai terbuat dari batu gunung dan kawat baja. Faktanya bangunan ini semakin menambah abrasi yang di duga kondisi ini sebagai akibat dari pengaruh arus transport sedimen menyusur pantai yang merusak bangunan seperti di tampilkan gambar 14 berikut.

72

Gambar 14. Bangunan Penahan Gelombang Desa Muara Kintap (Sumber. Penelitian, 2007)

5. Kawasan rawan bencana pesisir Bencana adalah rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, manusia, dan/atau keduanya yang mengakibatkan korban manusia, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, kerusakan sarana prasarana dan fasilitas umum serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat (Carter, 1991 dalam Robert J. Kodoatie et al, 2006). Oleh sebab itu perlu di identifikasi daerah rawan bencana pesisir untuk meminimalkan dampak yang terjadi pada wilayah studi. Berdasarkan hasil wawancara dan survei lapangan teridentifikasi daerah Muara Kintap memiliki empat zona rawan bencana pesisir (gambar 16) yaitu : a. Abrasi adalah proses pengikisan tanah/batuan oleh air, baik air laut yang menyebabkan terjadinya ketidakstabilan permukaan lereng/tebing pantai, yang terjadi di bagian timur dari muara sungai Kintap, mulai dari ujung pemukiman penduduk sampai dengan sungai tengah terjadi pengikisan tebing pantai yang terus berlanjut dan semakin mendekati badan jalan di pinggiran pantai. Pengikisan ini akan semakin besar pengaruhnya karena jarang terdapat

73

tumbuhan di sepanjang garis pantai tersebut walaupun di daerah ini telah di bangun tanggul penahan gelombang, di duga teknik pembuatan tanggul belum mengakomodir mekanisme hidrodinamika pantai. Secara ekologis kondisi ini mengakibatkan perubahan ekosistem, habitat dan diiringi dengan perubahan komunitas biota akuatik di kawasan tersebut. b. Intrusi air laut disebabkan penyusupan air laut kearah daratan melalui poripori batuan/tanah, pada skala besar dapat mengakibatkan terjadinya amblesan (land subsidence). Kasus intrusi air laut di kawasan ini cenderung disebabkan aktivitas pembangunan tambak beserta salurannya. Hampir semua lokasi telah mengalami intrusi sehingga untuk air bersih (keperluan minum) di supplai melalui kecamatan Kintap. Salah satu kasus intrusi yang ditemukan, saat masyarakat mencoba membangun saluran air untuk pengembangan tambak. Akibatnya lahan pertanian di kawasan tersebut dirembesi oleh air laut sehingga tidak produktif dan mematikan usaha pertanian (sawah) di kawasan tersebut. c. Sedimentasi/akresi adalah proses penimbunan massa pasir atau lempung pada daerah muara sungai dan daerah pantai (akresi), sedimentasi di kawasan Muara Kintap diakibatkan oleh transport sedimen dari ambang muara sungai Kintap. Namun, maraknya penambangan batubara dan tata guna lahan yang jelek di bagian upland serta kasus illegal logging pohon ulin memberi kontribusi terhadap sedimentasi yang tinggi di bagian estuari/muara sungai, sehingga setiap tahun dilakukan aktivitas pengerukan.

74

d. Banjir/genangan air disebabkan volume air yang terlalu banyak akibat curah hujan dan pasang naik air laut kondisi ini terjadi hampir di semua kawasan pemukiman dan industri perikanan. Sedangkan rob adalah banjir yang terjadi akibat pasang surut air laut menggenangi lahan/kawasan yang lebih rendah dari permukaan air laut rata-rata. Lama banjir dapat berlangsung berhari-hari, bahkan satu minggu terus menerus. Rob terjadi akibat perubahan penggunan lahan di kawasan pantai (reklamasi lahan), penurunan muka tanah (land subsidence), dan naiknya muka air laut rata-rata sebagai akibat efek pemanasan global. Namun masyarakat setempat telah mengantisipasi kondisi tersebut dengan membangun tipe-tipe bangunan panggung sehingga dampak dari banjir/rob tersebut tidak mengganggu aktifitas masyarakat setempat. Tabel. 14. Hasil Pengamatan dan Pengukuran Parameter Biofisik untuk Lindung
Lokasi 1
8

Desa 2
Muara Kintap Alamiah Sempadan pantai Sempadan sungai Buatan Rawan Bencana

Parameter 3
Memiliki < 100 m >100 m dan 50 m di kiri kanan sungai yang berada diluar pemukiman Tidak memiliki Intrusi Abrasi dan sedimentasi Rob dan banjir Memiliki >100 m < 100 m dan 50 m di kiri kanan sungai yang berada diluar pemukiman Tidak memiliki Intrusi Abrasi dan sedimentasi Rob dan banjir

Tingkat Kesesuaian 4
Sangat Sesuai Tidak Sesuai Sangat Sesuai Tidak Sesuai Sangat Sesuai Tidak Sesuai Tidak Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Tidak Sesuai Tidak Sesuai Sangat Sesuai Tidak Sesuai Tidak Sesuai

Skor 5
4 0 4 0 2 0 0 4 4 0 0 2 0 0

19

Muara Kintap Alamiah Sempadan pantai Sempadan sungai Buatan Rawan Bencana

Sumber : Hasil Penelitian, April 2007.

75

Gambar 15. Peta Kesesuaian Kawasan Lindung di Wilayah Muara Kintap dan sekitarnya Kab. Tanah Laut berdasarkan Aspek Biofisik (Alamiah, Sempadan Sungai, Sempadan Pantai, Buatan dan Rawan Bencana).

Gambar 16. Peta Kawasan Lindung dan Rawan Bencana Wilayah Pesisir Kintap Kabupaten Tanah Laut

76

4.5.2. Kesesuaian Pesisir Kawasan Perikanan Muara Kintap Berdasarkan Parameter Biofisik Pemanfaatan A. Pertambakan 1. Salinitas Salinitas atau kadar garam merupakan kandungan dari berbagai garam terutama NaCl dalam air laut. Salinitas berpengaruh langsung terhadap metabolisme organisme, salinitas yang terlalu rendah atau terlalu tinggi akan mengacaukan tekanan osmotik organisme sehingga dapat menyebabkan kematian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai salinitas pada tingkat sesuai hanya ditemui di lokasi 3 dan 12 desa Muara Kintap (tabel 15 dan gambar 17). Kondisi ini disebabkan pada lokasi 3 dan 12 kedalaman perairan kurang dari 60 centimeter, lokasi 12 tidak terdapat vegetasi mangrove dan di lokasi tersebut terdapat sungai Kintap yang mengalir dan bermuara di desa Muara Kintap dengan lebar antara 3080 meter sehingga menyebabkan terjadinya penurunan kadar garam di upland dan terakumulasi pada daerah sekitar muara yang rendah intervensi sungai. Lokasi 6, 9, 14, 16 dan 18 merupakan kondisi sangat sesuai disebabkan daerah-daerah ini berada di muara yang dipengaruhi langsung air laut dan sebagian lokasi rendah intervensi sungai dengan kandungan salinitas 16-24,50/00. Data sekunder di lampiran 3 menunjukkan nilai salinitas 10/00 saat musim penghujan di sekitar lokasi 11 dan 12 diduga pengaruh debit air yang besar di upland saat curah hujan tinggi sebagai penyebab penurunan nilai salinitas.

77

Air tambak bersumber dari air laut dan air tawar, maka ketersediaan kedua sumber air tersebut akan menentukan kelayakan nilai salinitas untuk tambak. Menurut Purnomo (1992) nilai salinitas yang ideal untuk air tambak berkisar antara 15-180/00. Pertumbuhan udang optimal ditambak diperlukan salinitas sebesar 15260/00, meskipun salinitas 30450/00 masih mampu beradaptasi. Sedangkan menurut Murtidjo (2002) pemeliharaan bandeng dengan salinitas 35-400/00 masih dapat dilakukan namun pertumbuhannya lebih lambat dibandingkan dengan salinitas 15-250/00, sebaliknya di salinitas 5-100/00 kultivan rentan terhadap penyakit, lebih lanjut Mudjiman (1992) untuk pertumbuhan bandeng sebagai organisme air payau adalah 15-250/00, bandeng akan mati pada kadar salinitas lebih dari 400/00 dan kurang dari 120/00. Salinitas ini juga berpengaruh terhadap konsumsi oksigen oleh bandeng, dimana semakin tinggi salinitas maka semakin cepat pula konsumsi oksigen. Pada salinitas optimal energi yang digunakan untuk mengatur keseimbangan kepekatan cairan tubuh dan cukup rendah sehingga sebagian besar energi asal pakan dapat digunakan untuk pertumbuhan (Achmad et.al, 1998). 2. Suhu Berdasarkan hasil pengukuran suhu permukaan di perairan tambak secara umum adalah 30,0-31,70C, dimana pada kisaran tersebut dapat dinyatakan bahwa di lokasi 3,6,9,14,16 dan 18 mempunyai nilai suhu permukaan yang lebih sesuai daripada lokasi 12 (gambar 18 dan tabel 15), sedangkan dari data sekunder kualitas air 2006 di lampiran 3 tidak ditemukan perbedaan suhu yang ekstrim saat musim hujan.

78

Suhu permukaan yang baik untuk budidaya ikan bandeng dan udang windu di jumpai semua lokasi dengan kisaran suhu sebesar 290C-31,40C sebagai kondisi perairan yang sangat sesuai kecuali lokasi 3 dengan kondisi sesuai. Menurut Sudarmo dan Ranoemihardjo (1995) suhu air optimum untuk pertumbuhan udang berkisar antara 26 oC 32 oC, namun demikian pada suhu air 14oC 40oC udang windu masih dapat hidup. Sedangkan Ahmad et.al (1998) menyatakan bahwa suhu optimal untuk ikan bandeng berkisar antara 27-290C, pada kisaran tersebut konsumsi oksigen mencapai 2,2 mg berat tubuh/jam. Kondisi ini disebabkan di lokasi tersebut masih terdapat vegetasi yang menaungi daerah pertambakan, sedangkan di beberapa lokasi lain vegetasi disekitar tambak sudah hampir tidak ditemui. Selain itu, faktor kecerahan juga sangat berpengaruh terhadap tinggi rendahnya suhu permukaan karena dengan rendahnya tingkat kecerahan menghalangi fotosintesis, menurunkan produktivitas primer atau mengurangi keberadaan tumbuh-tumbuhan. Akibat suhu yang tinggi bagi ikan bandeng adalah mempercepat laju metabolisme sehingga konsumsi oksigen meningkat yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan, sedangkan udang mengalami proses molting akibat respon terhadap kondisi suhu tadi. Nikolsky (1963) menyatakan bahwa suhu perairan yang terlalu tinggi berpengaruh terhadap perkembangan organisme perairan karena energi yang ada lebih banyak digunakan untuk mempertahankan hidup. Suhu juga mempengaruhi kelarutan oksigen dalam air, semakin tinggi suhu perairan mengakibatkan oksigen terlarut (DO) menurun, sedangkan kebutuhan oksigen terlarut oleh organisme perairan semakin meningkat.

79

Suhu yang terlalu rendah membawa pengaruh pada lambatnya laju metabolisme dan fotosintesis (Raymont, 1980). Salinitas dipengaruhi juga suhu permukaan, apabila suhu permukaan terus menerus tinggi dalam waktu yang lama maka penguapan akan meningkat. Secara umum dapat dikatakan bahwa suhu di perairan tambak sepanjang Muara Kintap cukup optimal untuk pertumbuhan dan budidaya baik ikan bandeng maupun udang. 3. DO Dissolved Oxygen (DO) atau oksigen terlarut merupakan parameter kualitas air yang dapat dijadikan sebagai acuan bagi kelayakan usaha budidaya perairan, oksigen merupakan gas yang sangat vital untuk kelangsungan hidup ikan/udang yang dipelihara di tambak dan secara tidak langsung dapat mempengaruhi kadar unsur atau senyawa lain dalam ekosistem perairan. Kelarutan oksigen di dalam air dalam jumlah tertentu mutlak diperlukan agar kelangsungan hidup ikan/udang yang dipelihara dapat dipertahankan. Hasil pengukuran DO di tambak Muara Kintap selama penelitian berkisar 4,20-6,80 ppm (tabel 15) sedangkan peta kesesuaian perairan tambak berdasarkan nilai DO ditampilkan pada gambar 19. Kandungan DO yang sangat sesuai di perairan tambak Muara Kintap ditemukan di semua lokasi yang merupakan daerah masih ditumbuhi vegetasi dan berbatasan langsung dengan perairan sungai dan laut sehingga suplai oksigen dari arus sungai dan laut melalui gelombang cukup tersedia untuk kehidupan kultivan. Kandungan DO 5-6 ppm cukup optimal bagi pertumbuhan kultivan karena oksigen yang cukup berguna untuk pernafasan dan mencegah terbentuknya hidrogen sulfida dalam air Mudjiman (1992).

80

Lokasi lain kandungan DO lebih rendah karena banyaknya oksigen yang digunakan untuk proses metabolisme dan pembusukan bahan-bahan organik yang umum ditemukan di dalam tambak masyarakat yang dikelola secara tradisional. Kondisi ini berbeda saat musim hujan menurut data lampiran 3 kadar DO di lokasi studi Muara Kintap berkisar 3,0-3,4 ppm, kondisi ini di duga akibat tingginya curah hujan yang membawa muatan padatan tersuspensi yang besar dari daratan sehingga menyebabkan tingginya tingkat kekeruhan dan menurunkan kadar oksigen terlarut dalam perairan. Menurut Murtidjo (2002) pada kadar DO 2 ppm kultivan menunjukkan gejala abnormal, berenang di permukaan dan kadar 3-4 ppm walau tidak nampak dari tingkah laku namun hal ini berpengaruh terhadap pertumbuhan, sedangkan air yang mengandung konsentrasi oksigen rendah akan mempengaruhi kesehatan ikan yang hidup dalam perairan tersebut, karena lebih mudah terserang parasit dan penyakit. Bila konsentrasi di bawah 4 5 ppm, maka ikan tidak mau makan dan tidak tumbuh dengan baik. Kadar oksigen terlarut yang terlalu rendah atau terlalu tinggi secara kronis belum mematikan namun akan mengganggu kesehatan sehingga menghambat pertumbuhan. Peningkatan suhu, salinitas dan bahan organik akan menurunkan kandungan oksigen terlarut di perairan. 4. pH Kadar asam atau basa yang ada dalam larutan ditunjukkan dengan pH, melalui konsentrasi ion hidrogen (H+), ketersediaan ion H+ selalu dalam keadaan dinamis dengan air (H2O) yang membentuk suasana bagi kelangsungan semua

81

reaksi kimia yang bersangkutan dengan masalah pencemaran air dan kehidupan makhluk air (Alaerts dan Santika, 1984). Nilai pH berkisar antara 0 14 dengan kondisi netral bernilai 7, sementara perairan di bawah pH 7 bersifat asam dan di atas 7 bersifat basa. Menurut Brown (1957) hampir semua jenis ikan pada pH di bawah 4 dan di atas 9 tidak mampu bertahan hidup. Jenis-jenis ikan yang lebih peka, tidak mampu bertahan hidup pada pH di bawah 5 dan di atas 8. Pescod (1973) mengungkapkan bahwa toleransi organisme perairan terhadap pH sangat bervariasi, tergantung faktor-faktor lain di antaranya kandungan oksigen terlarut, alkalinitas dan berbagai anion atau kation serta jenis dan stadia organisme. Boyd and Lichkoppler (1986) memberikan kisaran 6,5 9 untuk kondisi yang baik bagi produksi ikan, > 9 tingkat alkalis yang mematikan, < 6 menyebabkan pertumbuhan lambat. pH 5 merupakan tingkat keasaman yang mengakibatkan tidak ada reproduksi. Air yang mempunyai keasaman pada pH 4 dan kebasaan pada pH 11 merupakan titik kematian bagi ikan. Dilihat dari kisaran pH pada perairan tambak di lokasi studi berdasarkan hasil survei lapangan 6,90 7,80 tergolong sangat sesuai dan sesuai dapat dilihat pada tabel 15 sedangkan peta kesesuaian tambak berdasarkan nilai pH dapat dilihat pada gambar 20. Data sekunder analisis kualitas air pada lampiran 3 saat musim penghujan 2006 menginformasikan nilai pH perairan menurun seiring dengan tingginya debit air. Kondisi demikian umum terjadi pada berbagai lokasi di Kalimantan Selatan, karena kondisi sebagian besar lahan mengandung tanah sulfat masam, namun pengaruh arus pada sungai-sungai besar dapat membawa dampak pada nilai pH.

82

Oleh karena itu lokasi pertambakan yang berada pada alur sungai sangat rawan terhadap dampak dari kegiatan yang memberikan pengaruh terhadap perubahan pH air, seperti adanya kegiatan penambangan batubara, termasuk di dalamnya pelabuhan khusus dan stockpile batubara. Derajat keasaman air atau sering dinyatakan dengan pH dapat berpengaruh langsung terhadap ikan/udang yang kita pelihara dalam tambak. Pada kadar pH yang terlalu rendah dapat menghambat proses chitinisasi (pergantian kulit baru) karena kulit udang menjadi kropos dan lembek. Sedangkan pada pH berkisar antara 8-9 baik untuk pertumbuhan dan reproduksi organisme, hal ini juga dikemukakan oleh Anggoro (1983) bahwa pH 8,5 baik untuk pemeliharaan ikan bandeng di tambak, selain itu fitoplankton dapat tumbuh dengan baik pada kisaran tersebut. Pirzan (2000) menyatakan bahwa batas optimum pH bagi kelangsungan hidup udang dan ikan serta kepiting bakau adalah 7,5 8,5. Hal ini menunjukkan pH di lokasi studi perairan Muara Kintap kurang optimal bagi kelangsungan hidup biota perairan seperti ikan dan udang serta kepiting. 5. Kecerahan Kecerahan perairan menurut Parson and Strickland (1963) menunjukkan kemampuan cahaya menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Pada perairan alami, kecerahan sangat penting karena erat kaitannya dengan aktivitas fotosintesis. Di samping itu sebagian besar ikan dalam menentukan arah renang dan mencari makan menggunakan mata tertentu memerlukan kondisi kecerahan tertentu pula.

83

Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan (gambar 21 dan tabel 15) pada umumnya nilai kecerahan di lokasi tambak Muara Kintap masih cukup sesuai untuk kegiatan budidaya, hanya tambak di lokasi 12 yang berbatasan langsung dengan pelabuhan khusus batubara memiliki nilai kecerahan yang rendah diperkirakan merupakan dampak dari aktivitas pelabuhan di kawasan tersebut, sedangkan data sekunder kualitas air pada lampiran 3 menginformasikan kecerahan yang rendah. Akibat langsung oleh rendahnya nilai kecerahan adalah tertutupnya insang ikan oleh partikel lumpur, selain itu kondisi ini menghambat penetrasi sinar matahari dan menyebabkan DO perairan juga relatif rendah apabila bacaan secchi kurang dari 30 cm sehingga mengakibatkan stress pada ikan dan udang (Boyd and Lichkoppler,1986). Baik kecerahan maupun kekeruhan dipengaruhi oleh besarnya kandungan bahan koloid dan bahan yang berukuran lebih besar, baik berupa zat organik maupun anorganik dalam badan air. Padatan terlarut, padatan tersuspensi, kekeruhan serta kecerahan merupakan parameter yang saling berkaitan dan menjalin sebab-akibat. Kekeruhan akan meningkat sebanding kenaikan padatan terlarut dan padatan tersuspensi serta berbanding terbalik dengan tingkat kecerahan yang semakin menurun. Menurut Cholik et al. (1986) semakin dalam lapisan air yang dapat ditembus cahaya, semakin baik untuk kehidupan akuatik dan kecerahan perairan yang baik minimal 40 cm. Kecerahan air ditentukan oleh partikel-partikel tersuspensi seperti tanah liat, bahan organik, bakteri dan organisme mikro lainnya,

84

kondisi arus yang bergerak di atas perairan dapat mengkikis dan mengaduk dasar perairan sehingga dapat menurunkan tingkat kecerahan. Tingkat kecerahan air yang masih baik bagi ikan (Murtidjo, 2002), udang (Purnomo,1992) dan kepiting (Pirzan, 2000) berkisar antara 30-40 cm. 6. H2S Kandungan hidrogen sulfida (H2S) dalam air bersumber dari hasil perombakan secara anaerob bahan-bahan organik yang mengendap di dasar perairan oleh mikroorganisme. Toksisitas H2S tergantung pada pH air laut. Semakin rendah pH air laut semakin tinggi toksisitas H2S. Selain itu dapat pula berasal dari pencucian senyawa pyrite (FeS2) yang terdapat di sekitar sungai. oksidasi pyrit akan menghasilkan Fe2+, SO42- dan H+ (Morgan and Stumm, 1970) yang menyebabkan peningkatan derajat keasaman perairan. Berdasarkan data di lapangan kadar H2S berkisar antara sesuai di lokasi 3 dan 6 (tabel 15 dan gambar 22) kondisi ini disebabkan pencucian pyrit oleh aliran permukaan yang bersumber dari pengikisan lapisan tanah atas baik oleh hujan maupun oleh aktivitas bahan-bahan organik yang tidak terdekomposisi dengan sempurna. Namun nilai tersebut dianggap masih belum membahayakan, karena menurut Buwono (1993) kadar H2S yang dapat mengganggu keseimbangan udang adalah sebesar 0.1 2.0 ppm. Kandungan H2S yang terdeteksi di pada semua perairan berkisar antara 0,070 - 0,260 ppm. Data kualitas air saat musim hujan tahun 2006 menunjukkan kisaran H2S masih 0,001 ppm (lampiran 3). Kadar gas yang cukup berbahaya bagi kehidupan organisme akuatik bila kelarutannya melampaui ambang batas adalah nitrit, amoniak dan H2S. Senyawa

85

ini merupakan hasil dekomposisi bahan organik yang tidak berlangsung sempurna. Bahan-bahan organik yang terdekomposisi tersebut umumnya berasal dari sisa-sisa pakan yang tidak termanfaatkan. 7.Nitrat (NO3-N) Nitrat dalam perairan berperan dalam pertumbuhan fitoplankton.

Metabolisme dalam fitoplankton memerlukan nitrogen untuk sintesa protein, enzim dan komponen klorofil a serta vitamin, dimana fitoplankton dapat tumbuh optimal pada kandungan nitrat sebesar 0,9-3,5 ppm sedangkan pada konsentrasi dibawah 0,01 atau diatas 3,5 ppm merupakan faktor pembatas bagi fitoplankton dan membahayakan pertumbuhan organisme perairan (Wardoyo,1982). Hasil penelitian ditemukan kandungan nitrat berkisar antara 0,031-0,090 ppm pada perairan tambak Muara Kintap yaitu sangat sesuai (tabel 15 dan gambar 23) kecuali di lokasi 12 sebesar 0,004 ppm (sesuai). Wilayah bervegetasi mangrove, daerah pertambakan dan dekat pelabuhan lebih tinggi nilai nitrat dibandingkan daerah hulu sungai (lokasi 12), kondisi ini tidak jauh berbeda saat musim hujan (lampiran 3). Hal tersebut disebabkan karena adanya kontribusi pupuk yang diberikan petambak dan dekomposisi bahan organik yang berasal dari hutan mangrove. Sedangkan kadar yang tinggi pada daerah pelabuhan karena berkaitan dengan pengadukan oleh kapal-kapal. Nitrat mempunyai kecenderungan lebih tinggi pada daerah perairan bervegetasi nipah dan perairan laut dibandingkan daerah perairan sungai dan pertambakan. Hal tersebut diduga disebabkan banyaknya nitrat yang digunakan

86

oleh fitoplankton yang kemelimpahannya tinggi pada daerah muara sungai dan pertambakan. Secara umum kadar nitrat tergolong mempunyai kriteria kesuburan sesuai sehingga cukup mendukung bagi peningkatan produktivitas primer di dalam perairan. 8. Curah Hujan Berdasarkan data curah hujan dan hari hujan 1993 2002 (lampiran 2) maka daerah studi dapat dikategorikan sangat sesuai (tabel 15 dan gambar 24) untuk pertambakan karena memiliki jumlah curah hujan tahunan 2455 mm/th dengan 127 hari hujan di tahun 2006. Namun ada juga curah hujan yang rendah 1521 mm/th di tahun 2001. Tinggi rendahnya curah hujan dapat mempengaruhi semua parameter diatas yang berakibat pada kondisi perairan dan biota di dalamnya bahkan dapat mendatangkan bencana jika tinggi curah hujan melampaui batas. Selama musim penghujan atau saat curah hujan tinggi daerah studi mengalami banjir dan membawa dampak pada pertambakan dan kualitas air setempat dengan rendahnya nilai kecerahan yang menandakan bahwa perairan setempat relatif keruh. Kekeruhan yang terjadi merupakan kontribusi ragam aktivitas dari bagian hulu daerah aliran sungai, akibat tingkat erosi dan debit air larian yang meningkat akibat kerusakan kawasan resapan air (catchment area) di upland. Selain itu, tinggi rendahnya curah hujan dapat membawa pengaruh pada metabolisme ikan bahkan dapat berdampak fatal seperti mortalitas atau paling tidak mengakibatkan hambatan pertumbuhan karena ikan mudah diserang penyakit dan parasit.

87

Tabel 15. Hasil Pengamatan dan Pengukuran Zona Pemanfaatan (Tambak, Pertanian, Industri Perikanan dan Pemukiman) beserta Tingkat Kesesuaiannya Lokasi/ Stasiun Desa Nilai Parameter Tingkat Kesesuaian 4 14,2 31,4 4,80 7,30 42 0,160 0,070 2455 16,2 30,0 5,00 7,10 39 0,170 0,031 2455 24,5 29,0 6,80 7,60 36 0,003 0,090 2455 13,0 31,7 4,20 6,90 25 0,001 0,004 2455 Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sesuai Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sesuai Sangat Sesuai Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sesuai Sesuai Sangat Sesuai Sesuai Sesuai Sangat Sesuai Sesuai Sangat Sesuai 3 6 10 5 3 3 10 4 6 6 10 5 6 3 10 4 6 6 10 10 6 6 10 4 3 3 10 5 3 6 5 4 Nilai Skor

1 2 3 Pertambakan 3 Muara Salinitas (0/00) Kintap Suhu (0C) DO (ppm) pH Kecerahan (cm) H2S (ppm) Nitrat (NO3-N) ppm Curah hujan (mm/th) 6 Muara Salinitas (0/00) Kintap Suhu (0C) DO (ppm) pH Kecerahan (cm) H2S (ppm) Nitrat (NO3-N) ppm Curah hujan (mm/th) 9 Muara Salinitas (0/00) Kintap Suhu (0C) DO (ppm) pH Kecerahan (cm) H2S (ppm) Nitrat (NO3-N) ppm Curah hujan (mm/th) 12 Muara Salinitas (0/00) Kintap Suhu (0C) DO (ppm) pH Kecerahan (cm) H2S (ppm) Nitrat (NO3-N) ppm Curah hujan (mm/th)

88

Lanjutan ________________

Lokasi/ Stasiun

Desa

Nilai Parameter

Tingkat Kesesuaian 4 Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sesuai Sesuai Sangat Sesuai

Nilai Skor

1 2 3 Pertambakan 14 Muara Salinitas (0/00) 20,0 Kintap Suhu (0C) 31,0 DO (ppm) 5,00 pH 7,70 Kecerahan (cm) 40 H2S (ppm) 0,001 Nitrat (NO3-N) ppm 0,060 Curah hujan 2455 (mm/th) 16 Muara Salinitas (0/00) 20,1 Kintap Suhu (0C) 31,0 DO (ppm) 5,30 pH 7,80 Kecerahan (cm) 33 H2S (ppm) 0,002 Nitrat (NO3-N) ppm 0,050 Curah hujan 2455 (mm/th) 18 Muara Salinitas (0/00) 24,0 Kintap Suhu (0C) 29,5 DO (ppm) 6,20 pH 7,80 Kecerahan (cm) 38 H2S (ppm) 0,006 Nitrat (NO3-N) ppm 0,041 Curah hujan 2455 (mm/th) Pertanian 2 Muara Penyangga Ada Kintap pH tanah 4,2 Satuan btk-an lahan Dataran aluvial Daerah banjir dan Tidak genangan

6 6 10 10 6 6 10 4 6 6 10 10 6 6 10 4 6 6 10 10 6 6 10 4 2 3 2 4

Lanjutan ________________

89

Lokasi Desa Pengam atan 1 2 Pertanian 11 Muara Kintap

Nilai Parameter

Tingkat Kesesuaian 4

Nilai Skor

3 Penyangga pH tanah Satuan btk-an lahan Daerah banjir dan genangan Ada 4,5 Dataran aluvial Tidak Sangat Sesuai Sesuai Sesuai Sangat Sesuai

2 3 2 4 6 2 2 0 4 0 6 2 2 0 4 2 6

Industri Perikanan 7 Muara Arus (m/det) 2,1 Kintap BOD5 (ppm) 12 DO (ppm) 3,7 Daerah banjir Berada dan genangan Tinggi 0,52 gelombang (m) Ruang terbuka Tidak hijau 15 Muara Arus (m/det) 2,1 Kintap BOD5 (ppm) 12 DO (ppm) 3,7 Daerah banjir Berada dan genangan 0,52 Tinggi gelombang (m) Ruang terbuka Ada hijau Pemukiman 4 Muara Tidak berada di Tidak Kintap sempadan pantai dan tanaman lahan basah Jarak dari jalan 200 500 (m) Jarak dari pantai > 100 (m) Kepadatan 84 penduduk (jiwa/ha)

Sangat Sesuai Sesuai Sesuai Tidak Sesuai Sangat Sesuai Tidak Sesuai Sangat Sesuai Sesuai Sesuai Tidak Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sesuai Sangat Sesuai Sesuai

3 6 2

90

Lanjutan_____________

Lokasi/ Stasiun 1

Desa

Nilai Parameter

Tingkat Kesesuaian 4 Tidak Sesuai

Nilai Skor 0

3 Daerah banjir, abrasi dan akresi

Berada

Pemukiman 5 Muara Tidak berada di Kintap sempadan pantai dan tanaman lahan basah Jarak dari jalan (m) Jarak dari pantai (m) Kepadatan penduduk (jiwa/ha) Daerah banjir, abrasi dan akresi Muara Tidak berada di Kintap sempadan pantai dan tanaman lahan basah Jarak dari jalan (m) Jarak dari pantai (m)

Tidak < 200 > 100 84 Berada Tidak > 500 > 100

Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sesuai Tidak Sesuai Sangat Sesuai Tidak Sesuai Sangat Sesuai Sesuai Tidak Sesuai Tidak Sesuai Tidak Sesuai Sesuai Sesuai Tidak Sesuai

6 6 6 2 0 6 0 6 2 0 0 0 3 2 0

13

20

Kepadatan penduduk 84 (jiwa/ha) Daerah banjir, abrasi Berada dan akresi Muara Tidak berada di Berada Kintap sempadan pantai dan tanaman lahan basah Jarak dari jalan (m) > 500 Jarak dari pantai (m) 50 - 100 Kepadatan penduduk 84 (jiwa/ha) Daerah banjir, abrasi Berada dan akresi

Sumber : Hasil Penelitian, April 2007.

91

Gambar. 17. Peta Kesesuaian Perairan Tambak berdasarkan Nilai Salinitas

Gambar. 18. Peta Kesesuaian Perairan Tambak berdasarkan Nilai Suhu

92

Gambar. 19. Peta Kesesuaian Perairan Tambak berdasarkan Nilai Oksigen Terlarut

Gambar. 20. Peta Kesesuaian Perairan Tambak berdasarkan Nilai pH

93

Gambar. 21. Peta Kesesuaian Perairan Tambak berdasarkan Nilai Kecerahan

Gambar. 22. Peta Kesesuaian Perairan Tambak berdasarkan Nilai H2S

94

Gambar. 23. Peta Kesesuaian Perairan Tambak berdasarkan Nilai Nitrat

Gambar. 24. Peta Kesesuaian Perairan Tambak berdasarkan Nilai Curah Hujan

95

B. Pertanian 1. Kawasan Vegetasi/Penyangga Berdasarkan tabel 15 dan gambar 25 lokasi 2 dan 11 yang teridentifikasi sebagai kawasan pemanfaatan dengan peruntukan pertanian memiliki zona penyangga yang dikategorikan sangat sesuai. Kawasan penyangga yang ada merupakan vegetasi hutan rawa yang terdiri dari satu atau lebih jenis vegetasi alami. Kawasan ini berfungsi untuk menahan bahan-bahan pencemar antar kawasan dan memperlambat aliran permukaan. Daerah penyangga tersebut merupakan kawasan yang belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh penduduk setempat mengingat tenaga kerja dan pertumbuhan penduduk di Muara Kintap yang terbatas. Secara ekologis daerah penyangga ini mutlak diperlukan meskipun nantinya dalam pengalokasiannya terbatas karena fungsi daerah ini sangat perlu sebagai zona pereduksi polutan akibat pertanian seperti pemberian pupuk dan pestisida yang mengakibatkan unsur nitrogen meningkat dan di perairan tambak dan sungai mengakibatkan eutrofikasi, selain itu sistem pengairan yang memasukkan air tawar yang berlebih akan menurunkan salinitas yang berakibat jenis-jenis juvenil udang yang memerlukan salinitas yang tinggi saat pembesaran akan mengalami mortalitas (Dahuri et.al, 2004). 2. pH tanah Pertukaran tanah oleh ion hidrogen membawa pengaruh terhadap pH tanah, di lokasi studi nilai pH yang rendah ( 4,5) disebabkan daerah Sungai Kintap merupakan daerah berkarakter lahan gambut sehingga pembusukan dari daun dan akar kayu membawa dampak pada reaksi kemasaman (Barchia, 2006).

96

Aktifitas mikroorganisme pengurai dalam proses dekomposisi serasah bekerja secara optimal dengan pH 6,0 8,0 dan pada kisaran 6,0 6,5 merupakan pH yang cukup netral dan pH asam akan berpengaruh sekali pada penghancuran bahan organik yang menjadi lambat dan juga menyatakan bahwa pH penting bagi tanah karena berfungsi untuk : a. Menentukan mudah tidaknya unsur-unsur hara yang diserap oleh tanah; b. Menunjukkan kemungkinan adanya unsur-unsur beracun dan c. Mempengaruhi perkembangan tanah Menurut (Ewusie, 1990) pH pada permukaan tanah lebih tinggi daripada lapisan di bawahnya karena serasah yang mengalami dekomposisi pada permukaan lebih banyak sehingga tanah mempunyai kandungan bahan organik yang tinggi menyebabkan sedimen tanah menjadi masam. Hasil survei (tabel 15, gambar 26) menunjukkan kisaran pH tanah 4,2 4,5 merupakan tanah asam, yang agak sulit dapat dikembangkan sebagai lokasi pertanian. Menurut Barchia (2006) merupakan kendala pengembangan pertanian tanaman tumbuh sehat di tanah gambut pada pH 4,5 terjadi peningkatan Al +, Fe + dan pH < 6,5 akan terjadi kahat Mg. Kadar Al meningkat pada pH 4,04,5, sedangkan besi (Fe) dalam tanah sering menimbulkan masalah ferro (Fe2+) yang menyebabkan keracunan bagi tanaman, khusus dalam keadaan tergenang. Tanah sulfat masam merupakan nama umum yang diberikan pada tanah yang mengandung pirit. Tanah sulfat masam yang digali untuk dikonversi menjadi sawah menyebabkan pirit teroksidasi, menyebabkan penurunan pH tanah dan meningkatkan kelarutan unsur-unsur toksik seperti besi dan alumunium.

97

Kandungan fosfor pada tanah sulfat masam rendah dan ketersediannya karena terikat besi dan alumunium tanah, sehingga pemberian pupuk yang mengandung fosfor menjadi tidak efisien sebelum kemasamannya diperbaiki lebih dahulu. Namun masih sesuai untuk pertanian dengan terlebih dahulu memperbaiki kualitas lahan dengan cara remediasi atau dengan kata lain dikenal istilah lain reklamasi atau ameliorasi. Remediasi adalah pengeringan tanah untuk mengoksidasi pirit, perendaman untuk melarutkan dan menetralisisr kemasaman atau menurunkan produksi kemasaman lanjut, dan pencucian untuk membuang hasil oksidasi dan, menimalkan cadangan unsur-unsur toksik dalam tanah. 3. Satuan bentuk lahan Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan dokumen rencana umum tata ruang kawasan pesisir Kabupaten Tanah Laut Tahun 2002-2012 (Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Kalimantan Selatan. 2002) ditemukan bahwa satuan bentuk lahan di lokasi studi (tabel 15 dan gambar 27) merupakan dataran aluvial yang masih sesuai untuk budidaya pertanian walaupun masih memerlukan pengolahan dalam pemanfaatannya. Tipikal dataran aluvial merupakan hasil pengendapan dari bahan aluvium yang terbawa oleh sungai Kintap dan meluap dikiri dan kanan sungai, material aluvium sungai menutup endapan marin yang kaya dengan sulfida. Bahan sulfida pada endapan marin terbentuk karena adanya proses yang ditunjang oleh bakteri bersuasana reduksi dan kaya bahan organik dari pelapukan vegetasi kelompok mangrove. Menurut Barchia (2006) dataran aluvial pantai merupakan hasil pengendapan bahan yang terbawa air laut bercampur dengan aluvium dari sungai

98

(estuarin) yang diendapkan di pantai,umur relatif muda, dan sebelum dilakukan kegiatan budidaya kebanyakan merupakan wilayah hutan mangrove. Tanah ratarata tidak matang, tetapi pembentukan sulfida masih belum intensif. Karakteristik sistem lahan terluapi air saat pasang air laut, drainase termasuk buruk, tingkat kesuburan tanah rendah, salinitas tinggi dan pada beberapa tempat dari sebaran sistem lahan ini masih ada yang berupa hutan mangrove, tetapi banyak pula yang telah berubah penggunaan lahannya, seperti untuk tambak. Bahan penyusun endapan sungai yang menutup endapan estuarin, dan pada beberapa tempat lapisan gambut tipis menutupi bagian atas tanah. Relief datar (lereng < 2%), berdrainase terhambat, dan banjir musiman. Bahan aluvial terutama diperoleh dari sungai-sungai besar yang ada di sekitar sistem lahan tersebut menyebar, seperti sungai Barito, Tabanio dan Kintap. Lapisan sulfat masam terdapat di kedalaman 51 75 cm (Barchia, 2006). 4. Bukan di zona rawan banjir dan genangan Hasil survei dan wawancara dengan penduduk menginformasikan bahwa lokasi pertanian bukan merupakan daerah banjir tergolong sangat sesuai (tabel 15 dan gambar 28) karena sistem pertanian setempat memanfaatkan pola aliran air atau sistem irigasi yang baik dengan memanfaatkan sungai Kintap sebagai sumber air sehingga air dapat dikontrol. Air dimasukkan melalui kanal-kanal yang dibuat secara tradisional dan diatur melalui pintu-pintu air. Penggunaan varitas padi yang sesuai dengan karakteristik lahan basah dimanfaatkan petani sebagai alternatif. Sistem pertanian yang memanfaatkan aliran air tersebut dapat

mengganggu pola sirkulasi air di pesisir. Debit air yang diatur atau diminimalkan

99

untuk keperluan irigasi maka salinitas meningkat dan jangkauan intrusi semakin jauh ke hulu. Sebaliknya masukkan air tawar dari upland meningkat berpengaruh bagi juvenil udang saat pembesaran yang mengalami mortalitas tinggi di sekitar tambak yang berdekatan dengan lokasi pertanian (Dahuri et.al, 2004).

Gambar. 25. Peta Kesesuaian Kawasan Pertanian di Wilayah Studi Muara Kintap Kabupaten Tanah Laut berdasarkan Zonasi Penyangga

Gambar. 26. Peta Kesesuaian Kawasan Pertanian di Wilayah Studi Muara Kintap Kabupaten Tanah Laut berdasarkan pH Tanah

100

Gambar. 27. Peta Kesesuaian Kawasan Pertanian di Wilayah Studi Muara Kintap Kabupaten Tanah Laut berdasarkan Satuan Bentuk Lahan

Gambar. 28. Peta Kesesuaian Kawasan Pertanian di Wilayah Studi Muara Kintap Kabupaten Tanah Laut berdasarkan Daerah Banjir dan Genangan

101

C. Pemukiman 1. Bukan di zona sempadan pantai, tanaman pangan dan irigasi Kawasan pemukiman di lokasi studi berdasarkan hasil pengamatan di lapangan mengikuti pola aliran sungai, pantai dan jalan karena memudahkan dalam aksesibilitas dan perekonomian. Lokasi 20 (tabel 15 dan gambar 29) tergolong tidak layak karena berada di sempadan pantai yang kondisi mangrovenya sudah tidak optimal lagi sebagai pelindung pantai sehingga lokasi ini rawan terhadap bencana. Pemukiman yang berada di sempadan pantai rawan terhadap bencana pesisir selain kemampuan untuk evakuasi yang terbatas juga terbatasnya vegetasi mangrove sehingga lokasi ini mudah mengalami dampak langsung yang ditimbulkan oleh gelombang, angin dan bencana pesisir akibat pengaruh lautan. Sedangkan bagi pemukiman di lahan basah membawa pengaruh pada hasil sampingan berupa limbah domestik yang akan mengurangi kesuburan bahkan cenderung mencemari kawasan tanaman pangan tersebut sehingga produksi yang diharapkan menjadi tidak optimal. Pengaruh lain dari pemukiman yang berada di aliran irigasi membawa dampak pada kawasan pemanfaatan yang merupakan tujuan aliran seperti sawah dan tambak di Muara Kintap yang mendapatkan aliran air sehingga kualitas perairan menurun yang berpengaruh pada produktivitas yang ditandai dengan mudahnya varitas atau kultivan terserang hama dan penyakit. 2. Aksesibilitas dari jalan Pola pengembangan pemukiman di pesisir umumnya bersifat linear yang memanfaatkan sungai, garis pantai dan jalan untuk kemudahan aksesibilitas untuk

102

semua kegiatan disebabkan keterbatasan secara geografis wilayah tersebut (Koestoer et.al, 2001) Situasi ini ditemui di kota-kota kecamatan di Kalimantan Selatan yang memanfaatkan potensi sungai, pantai dan jalan untuk penyebaran pemukiman. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan (tabel 15 dan gambar 30) menginformasikan lokasi pemukiman di Muara Kintap berpola linear dengan pengembangan masih memanfaatkan aliran sungai di bagian hilir dan jalan. Namun hanya lokasi 4 dalam relatif sangat sesuai dan 5 sesuai, pembagian ini di dasarkan pada jarak pemukiman terhadap jalan. Dengan kedekatan akses ke jalan membawa kemudahan pada evakuasi dan distribusi apabila terjadi bencana pesisir, selain itu dekatnya pemukiman dengan jalan akan menghidupkan perekonomian karena biaya dan transportasi mudah ke pusat-pusat desa lain dan kecamatan Kintap. 3. Jarak terhadap pantai Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan jarak pemukiman dari pantai di Muara Kintap tergolong sangat sesuai (tabel 15 dan gambar 31) kecuali lokasi 20 dalam kategori sesuai karena daerah pemukiman berada di aliran sungai dan tidak berkembang di pesisir sehingga relatif aman dari bencana pesisir baik gelombang besar terutama saat terjadi badai sehingga kawasan permukiman tidak terancam tersapu gelombang maupun bencana abrasi dan akresi. Pola pemukiman lama berada di sekitar tempat pelelangan ikan atau ibukota desa Muara Kintap sedangkan pengembangan pemukiman baru berlokasi di sepanjang aliran sungai Kintap dan jalan satu-satunya yang menghubungkan antara Muara Kintap dan kota kecamatan.

103

Jarak pemukiman yang lebih dari 100 meter dari pantai dapat meminimalkan dari pengaruh pasang surut air laut, dimana pasang surut air laut sekitar 1 meter dapat mempengaruhi daratan berjarak sampai 1 kilometer dari tepi pantai. 4. Tingkat kepadatan penduduk Alokasi keruangan di kawasan Muara Kintap yang dimanfaatkan untuk pemukiman sebesar 1,79 % dari luas wilayah dan lebih banyak di usahakan untuk budidaya tambak dan pertanian. Kondisi ini disebabkan kepadatan penduduk yang ada 83 jiwa/ha dengan jumlah 4.057 jiwa (Kecamatan Kintap, 2006) dalam kategori sesuai (tabel 15 dan gambar 32) dengan pola atau konfigurasi ruang untuk pemukiman linear dengan mengikuti aliran sungai dan jalan yang berpusat di ibukota desa Muara Kintap. Pola sebaran penduduk Muara Kintap ini di dasarkan pada kemudahan akses baik transportasi, perdagangan dan ke lokasi kerja. Tingkat kepadatan dan distribusi penduduk yang rendah dan tidak merata membawa pengaruh terhadap alokasi penggunaan ruang karena kepadatan pemukiman terpusat di lokasi aktifitas ekonomi seperti pusat desa, kondisi ini mengakibatkan perkembangan kota terhambat (Koestoer et.al, 2001) dan mengurangi fungsi-fungsi ekologis kawasan konservasi serta menimbulkan masalah pencemaran lingkungan yang berakibat daerah ini menjadi rawan bencana.

104

5. Bukan zona banjir, erosi, abrasi dan akresi Berdasarkan hasil penelitian lokasi pemukiman di Muara Kintap berada di kawasan rawan bencana dalam kategori tidak sesuai (tabel 15 dan gambar 33) karena daerah pemukiman berada di tepi aliran sungai Kintap sehingga pengaruh pasang surut dan curah hujan yang tinggi menggenangi daerah ini. Terlebih lagi system tata guna lahan di daerah upland yang buruk dengan aktivitas illegal logging, pertambangan batubara, pembukaan perkebunan yang mengakibatkan erosi lahan di upland saat curah hujan tinggi yang berdampak pada daerah pemukiman di estuari Muara Kintap. Pengaruh hidrodinamika pantai berupa pasang surut, gelombang yang disebabkan perbedaan tekanan angin menyebabkan daerah muara mengalami akresi selain pengaruh dari upland sehingga mengganggu sistem transportasi pelayaran di muara terlebih lagi ada beberapa pemukiman di daerah ini yang tentunya membawa dampak pada pendangkalan alur. Sistem bangunan rumah panggung dan bertingkat digunakan warga masyarakat setempat untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan di lokasi rawan banjir.

105

Gambar. 29. Peta Kesesuaian Kawasan Pemukiman di Wilayah Studi Pesisir Muara Kintap Kab. Tanah Laut berdasarkan Sempadan Pantai dan Tanaman Pangan Lahan Basah

Gambar. 30. Peta Kesesuaian Kawasan Pemukiman di Wilayah Studi Pesisir Muara Kintap Kab. Tanah Laut berdasarkan Jarak dari Jalan (Aksesibilitas)

106

Gambar. 31. Peta Kesesuaian Kawasan Pemukiman di Wilayah Studi Pesisir Muara Kintap Kab. Tanah Laut berdasarkan Jarak dari Pantai

Gambar. 32. Peta Kesesuaian Kawasan Pemukiman di Wilayah Studi Pesisir Muara Kintap Kab. Tanah Laut berdasarkan Tingkat Kepadatan Penduduk

107

Gambar. 33. Peta Kesesuaian Kawasan Pemukiman di Wilayah Studi Pesisir Muara Kintap Kab. Tanah Laut berdasarkan Daerah Bencana Pesisir D. Industri Perikanan 1. Arus Berdasarkan tabel 15 dan gambar 34 kondisi arus sangat sesuai di wilayah 7 dan 15 yang merupakan kawasan industri perikanan dan saat musim hujan arus lebih besar dibanding saat penelitian (lampiran 3). Arus berperan penting di perairan mengalir karena dapat menentukan kualitas dan kuantitas endapan, disamping itu arus dapat mencegah tertimbunnya bahan-bahan organik di tempattempat tertentu. Kondisi perombakan limbah organik ditentukan oleh banyaknya limbah yang dibuang ke perairan, namun apabila limbah tersebut merupakan limbah domestik cair maka prosesnya akan berlangsung cepat dan tidak menyebabkan

108

kondisi deplesi oksigen yang akan membahayakan ikan karena produk ini menghasilkan hidrogen sulfida dan methana (Supriharyono, 2007). Arus dapat menjadikan perairan pulih kembali tentunya dengan bantuan oksigen dan mikroorganisme pengurai yang dinamakan biodegradable, namun peran arus lebih besar di perairan tawar daripada di perairan laut dalam proses tersebut (Supriharyono, 2007). Manfaat dari arus dapat meningkatkan produktivitas primer di perairan dan dapat memindahkan limbah serta menurunkankecerahan kondisi ini menyebabkan rendahnya laju pertumbuhan tanaman air. Arus juga memainkan peranan penting bagi penyebaran plankton, baik holoplankton maupun meroplankton. Terutama bagi golongan terakhir yang terdiri dari telur-telur dan burayak-burayak avertebrata dasar dan ikan-ikan. 2. BOD5 Biochemical Oxygen Demand (BOD5), yakni banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk menguraikan zat organik yang terdapat dalam air selama 5 hari, menggambarkan banyaknya zat organik mudah terurai oleh kegiatan biokimia dalam suatu perairan. Berdasarkan hasil penelitian kandungan BOD5 yang berada pada keadaan sesuai (tabel 15 dan gambar 35) dengan nilai 12 ppm, kondisi ini berbeda dari data tahun 2006 yang masih dalam kisaran 8-9 ppm (lampiran 3). Terdeteksinya nilai BOD5 yang tinggi di lokasi industri perikanan ini menunjukkan kemungkinan adanya material dalam air yang bersifat racun dari proses industri, banyaknya material organik di perairan, atau pH air yang tidak cocok bagi mikroba.

109

Air dengan nilai BOD5 yang tinggi kurang baik untuk budidaya. Menurut Purnomo (1992) BOD5 yang baik untuk ikan, udang dan kepiting bakau berkembang adalah tidak lebih dari 6 ppm. 3. DO Menurut Sugiharto (1987) oksigen terlarut (Dissolved Oxygen=DO) adalah banyaknya oksigen yang terlarut dalam air dan diukur dalam satuan bagian persejuta (ppm). DO dipergunakan sebagai tanda derajat pengotoran limbah. Makin besar DO, derajat pengotoran makin kecil. Mahida (1984) mengemukakan bahwa kebutuhan oksigen sangat berantai kegunaannya, sehingga menipiskan kandungan oksigen dalam perairan akan menghambat berbagai aktivitas dalam perairan tersebut dengan titik kritis pada perairan terjadi pada kisaran 3 - 5 ppm. Data penelitian menginformasikan bahwa kondisi DO di lokasi industri perikanan dalam kriteria sesuai sebesar 3,7 ppm (tabel 15 gambar 35), keadaan ini mengindikasikan oksigen terlarut di lokasi perairan pada industri perikanan mengalami pengotoran yang tinggi juga data hasil pemantauan lingkungan pada oktober 2006 (lampiran 3). Air yang mengandung konsentrasi oksigen rendah akan mempengaruhi kesehatan ikan yang hidup dalam perairan tersebut, karena lebih mudah terserang parasit dan penyakit. Bila konsentrasi di bawah 4 5 ppm, maka ikan tidak mau makan dan tidak tumbuh dengan baik. Boyd and Lichkoppler (1986) memberikan kisaran konsentrasi oksigen dan pengaruhnya terhadap kehidupan ikan sebagai berikut. a. < 3 ppm, ikan kecil hanya bertahan hidup dalam waktu singkat;

110

b. > 3 5 ppm ikan bertahan hidup tetapi pertumbuhannya lambat jika dibiarkan lama dan c. > 5 ppm kisaran yang diinginkan. Oksigen terlarut diperlukan oleh hampir semua bentuk kehidupan akuatik untuk proses pembakaran dalam tubuh. Beberapa bakteria maupun beberapa binatang dapat hidup tanpa O2 (anaerobik) sama sekali yang lain dapat hidup dalam keadaan aerobik. Kebanyakan dapat hidup dalam keadaan kandungan O2 yang rendah sekali tapi tak dapat hidup tanpa O2 sama sekali. Sumber O2 terlarut dari perairan adalah udara di atasnya, proses fotosintesis dan glikogen dari binatang itu sendiri. Menurunnya kadar O2 terlarut dapat mengurangi efisiensi pengambilan O2 oleh biota laut, sehingga dapat menurunkan kemampuan biota tersebut untuk hidup normal dalam

lingkungannya. 4. Bukan di zonasi rawan banjir dan genangan Berdasarkan hasil survei di lokasi industri perikanan (tabel 15 gambar 36) menginformasikan bahwa bangunan untuk industri berada di aliran sungai Kintap atau merupakan zona lindung sempadan sungai yang termasuk kategori layak. Namun menurut pemilik lokasi, industri ini dibangun dengan mempertimbangkan kemudahan akses ke pasar dan pemasok (nelayan). Tentunya pilihan lokasi di tepi sungai dengan mengkonversi kawasan sempadan sungai membawa akibat kawasan ini rawan terhadap bencana banjir, karena pengaruh pasang yang tinggi dari laut dan pada kondisi curah hujan yang tinggi kawasan ini dapat tergenang.

111

Terlebih lagi rusaknya tata guna lahan di bagian hulu membawa air larian permukaan (run off) lebih cepat ke daerah hilir sehingga lokasi industri perikanan ini sering tergenang. Model bangunan panggung sebagai cara adaptasi banjir dan pasang tinggi, namun kebutuhan akan air bersih tentunya kurang dan memanfaatkan sungai setempat untuk melakukan aktivitas industri pengolahan sehingga produk yang dihasilkan kurang hygenis dan limbah yang dihasilkan langsung di buang ke badan air. 5. Tinggi gelombang Berdasarkan hasil survei lapangan (tabel 15 dan gambar 37) tinggi gelombang di lokasi 7 dan 15 tergolong sangat sesuai. Gelombang yang kurang dari 1 meter tersebut di karenakan lokasi industri ini tidak berada di muara/pantai yang berbatasan langsung dengan laut. Kondisi ini membawa pengaruh pada keterlindungan lokasi dan keamanan dari gelombang laut yang dapat merusak infrastruktur industri. Lokasi ini paling rendah mengalami gangguan sedimentasi/abrasi karena gelombang dapat menimbulkan nearshore current untuk pembentukan

sedimentasi/abrasi (Dahuri et.al, 2004). Namun lokasi ini secara alamiah untuk dapat menanggulangi dampak limbah dari industri menjadi tidak efektif karena gelombang yang rendah dimana gelombang dapat mencampur gas atmosfir ke dalam permukaan air sehingga memulai proses pertukaran gas yang selanjutnya dapat digunakan untuk pembersihan badan air dari bahan organik pencemar tersebut.

112

Gelombang yang datang akan menimbulkan arus sehingga dapat mereduksi limbah tersebut, namun apabila gelombang yang sampai dalam jumlah sedikit maka tidak akan mampu mereduksi limbah tersebut secara alamiah. 6. Ruang Terbuka Hijau Pemanfaatan ruang terbuka hijau untuk membatasi dampak yang dihasilkan antar kegiatan yang berpotensi menimbulkan akibat negatif yang lebih besar dari kegiatan yang lain (Koestoer et,al, 2001). Ruang terbuka hijau berupa tanaman hijau atau tumbuh-tumbuhan secara alamiah ataupun budidaya tanaman dapat berupa sempadan, zona penyangga, hutan rawa dan areal

perkebunan/persawahan. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan di lokasi 15 untuk industri perikanan memiliki ruang terbuka hijau selebar 500 meter (tabel 15 dan gambar 38) sehingga tergolong sangat sesuai, lokasi 7 tergolong tidak sesuai, kondisi ini menggambarkan bahwa potensi cemaran yang berasal dari limbah industri perikanan akan membawa dampak pada aktivitas pertambakan dan pemukiman serta aliran sungai Kintap. Berubahnya vegetasi di sempadan sungai pada lokasi pengamatan menyebabkan hilangnya fungsi ruang terbuka hijau sehingga tidak dapat mereduksi dampak dari aktivitas pencemaran di lokasi ini.

113

Gambar. 34. Peta Kesesuaian Kawasan Pemanfaatan Industri Perikanan di Wilayah Studi Pesisir Muara Kintap Kab. Tanah Laut berdasarkan Nilai Arus

Gambar. 35. Peta Kesesuaian Kawasan Pemanfaatan Industri Perikanan di Wilayah Studi Pesisir Muara Kintap Kab. Tanah Laut berdasarkan Nilai DO dan BOD5

114

Gambar.36. Peta Kesesuaian Kawasan Pemanfaatan Industri Perikanan di Wilayah Studi Pesisir Muara Kintap Kab. Tanah Laut berdasarkan Daerah Banjir dan Genangan

Gambar. 37. Peta Kesesuaian Kawasan Pemanfaatan Industri Perikanan di Wilayah Studi Pesisir Muara Kintap Kab. Tanah Laut berdasarkan Tinggi Gelombang

115

Gambar. 38.

Peta Kesesuaian Kawasan Pemanfaatan Industri Perikanan di Wilayah Studi Pesisir Muara Kintap Kab. Tanah Laut berdasarkan Ruang Terbuka Hijau

4.5.3. Kesesuaian Pesisir Kawasan Perikanan Muara Kintap Berdasarkan Parameter Biofisik Pelabuhan Khusus 1. Tinggi gelombang Gelombang laut merupakan reaksi permukaan air laut oleh seretan angin, sehingga arah angin di laut identik dengan arah gelombang. Gelombang harus diperhitungakan dalam setiap aktivitas di pesisir dan laut. Besar dan arah gelombang berpengaruh terhadap proses dinamika pantai, daya tahan struktur bangunan di pesisir, kehidupan biota dan pelayaran. Berdasarkan hasil pengukuran di lokasi pelabuhan khusus batubara (tabel 16 dan gambar 39) ditemukan bahwa ke-3 lokasi pengamatan tersebut sangat sesuai dengan kisaran 0,85 yang berada di pesisir dan 0,40 yang berada di sungai Kintap. Kondisi ini cukup baik dalam aktivitas kepelabuhanan karena pengaruh

116

gelombang yang kecil akan memudahkan dalam proses bongkar muat material batubara dan penambatan tongkang. Selain itu, tinggi gelombang pada kondisi ini dapat memperlambat proses sedimentasi atau erosi pantai pada tipe pantai berpasir (Dahuri et.al, 2004). 2. Dinamika pantai Abrasi dan sedimentasi yang merupakan sistem dinamika pantai tidak ditemukan di lokasi pelabuhan khusus batubara (tabel 16 dan gambar 39) karena mekanisme abrasi dan akresi di mulai dari gelombang yang mampu menimbulkan arus (Dahuri et.al, 2004). Besar kecilnya membawa pengaruh besar terhadap kesetimbangan hidrodinamika pantai. Mekanisme abrasi dan sedimentasi disebabkan sudut datang gelombang kecil atau gelombang yang datang kurang dari 1 meter utamanya di lokasi pelabuhan batubara maka terbentuk arus meretas pantai (rip current) dengan arah menjauhi pantai di samping terbentuknya arus menyusur pantai. Sedangkan mekanisme pembentukan abrasi dan sedimentasi pantai ditentukan oleh besarnya sudut datang gelombang yang menyusur pantai (longshore current) yang berpengaruh terhadap transportasi sedimen namun sedimen yang terangkut akan menimbulkan abrasi dan sedimentasi di region lain yang berkilometer jauhnya (Dahuri et.al, 2004). 3. Pasang surut Pasang surut merupakan pergerakan permukaan air laut arah vertikal yang disebabkan pengaruh gaya tarik bulan, matahari dan benda angkasa terhadap bumi. Pasang surut daerah pesisir Tanah Laut termasuk pesisir Muara Kintap

117

khususnya, memiliki pola satu kali pasang dan satu kali surut, kondisi ini menginformasikan daerah tersebut memiliki tipe pasang surut tunggal atau pasang surut harian tunggal (diurnal tide). Menurut data pasang surut pada lampiran 4 kondisi pasang surut sangat sesuai dengan nilai rata-rata 1,58 meter saat dilakukan pengambilan sampel tanggal 16 april 2007, kondisi ini berpengaruh pada dinamika air sekitar pantai, sedangkan tabel 16 dan gambar 39 menginformasikan kesesuaian lokasi untuk pelabuhan. Arus pasang surut yang terjadi akibat massa air tawar dan asin akan mengangkat sedimen berbutir halus (lempung) sehingga daerah tersebut berada dalam kondisi seimbang dimana antara sedimen yang dibawa ke laut dapat segera diangkut oleh ombak dan arus. Namun dalam pengangkutan sedimen tadi, kandungan logam berat yang terakumulasi baik dalam massa air maupun sedimen akan terbawa dan berpindah tergantung dari kondisi pasang surut tersebut (Birowo dan Arief, 1983). 4. Pencemaran perairan Hasil survei lapangan ditemukan nilai parameter pencemaran perairan di sekitar pelabuhan khusus batubara berada pada kategori tidak sesuai (tabel 16 dan gambar 40) karena nilai pencemaran yang didapatkan melebihi batas normal, kondisi ini telah terjadi sejak tahun 2006 (lampiran 3) untuk semua parameter yang diukur dalam penelitian ini telah mengalami kenaikan tingkat pencemaran walaupun saat itu sampling yang dilakukan waktu musim hujan. Masukan pencemaran batubara berasal dari aktivitas bongkar muat dari kapal tongkang (barge) ke kawasan penimbunan batubara (stockpile)

118

menggunakan conveyor belt. Selama proses tersebut berlangsung terjadi jatuhan partikel batubara ke dalam laut dan partikel debu batubara yang dihembuskan angin ke perairan laut dan air larian (run off) membawa partikel batubara yang sebagian kecil masuk ke perairan pantai. Selain itu faktor curah hujan langsung membawa jatuhan batubara dari conveyor belt dan tumpahan atau ceceran minyak dan lemak akibat aktivitas pengisian bahan bakar ke togboat. Partikel batubara dengan berbagai ukuran di dalam air menyebabkan meningkatnya kadar total suspended solids yang dalam proses fisika dan kimiawi membawa penurunan kadar oksigen terlarut, pH air, meningkatkan turbiditas dan kadar logam Fe, Cd, Cr+6 dan Pb sedangkan aktivitas ceceran bahan bakar hasil pengisian dan buangan air ballast menimbulkan pencemaran minyak

(Supriharyono, 2007). Minyak dan lemak pada kisaran lebih dari 5 ppm mengakibatkan oksigen dari udara dapat terhalang masuk ke laut karena lapisan minyak sehingga nilai kandungan oksigen terlarut di lokasi studi menurun dan dapat mematikan organisme yang memerlukan oksigen cukup banyak untuk aktivitas hidupnya. Sedangkan unsur kimia Fe2+ (besi) berfungsi dalam produksi klorofil. Fe (besi) harus ada dalam bentuk dan kadar tertentu dalam air. Menurut Effendi (2004), kebanyakan alga tumbuh baik bila kadar besi dalam air 0,2 2 ppm, namun mempunyai efek racun pada kadar lebih tinggi dari 5 ppm. Sedangkan untuk tambak udang kadar Fe2+ yang lebih dari 0,03 ppm sudah dapat mengganggu metabolisme udang (Purnomo, 1992). Konsentrasi kelarutan Cd dalam badan air dapat membunuh biota perairan, biota-biota yang tergolong udang (crustacea)

119

akan mengalami kematian dalam selang waktu 24 - 504 jam bila dalam badan perairan biota ini hidup terlarut logam atau persenyawaan Cd pada rentang konsentrasi 0,005-0,15 ppm (Palar, 1994) dan 0,013-0,328 ppm untuk budidaya tambak udang (Purnomo, 1992) serta 0,003-10 ppm (Supriharyono, 2007) pada hydra laut (Eirena viridula) seperti di sekitar pelabuhan batubara ini. Senyawa dan ion-ion Pb yang telah masuk ke badan perairan dapat membunuh hydra laut (Eirena viridula) pada kisaran 1-10 ppm (Supriharyono, 2007); biota-biota perairan seperti crustacea akan mengalami kematian setelah 245 jam bila pada badan perairan dimana biota itu berada terlarut Pb pada konsentrasi 2,75-49 ppm (Hutagalung ,1984) dan 0,001-1,157 ppm untuk budidaya udang (Purnomo, 1992). Sedangkan Cr6+ (bervalensi 6) atau dikenal dengan chromate bagi organisme ikan Agonus cataphractus dapat menimbulkan daya racun pada 37 ppm (Supriharyono, 2007) dan 0,01 ppm tidak diperkenankan untuk budidaya udang (Purnomo, 1992). Masuknya bahan pencemar di dalam perairan akan membunuh organisme yang paling sensitif. Bila bahan pencemar terus naik, organisme yang paling sensitif berikutnya akan mati. Demikian seterusnya, dan penambahan bahan pencemar terakhir akan membunuh moluska jenis filter feeder pemakan detritus. Pemasukan bahan pencemar ke lingkungan perairan dapat juga mengganggu siklus makanan. Tumbuh-tumbuhan akan terbunuh oleh bahan cemaran. Matinnya tumbuh-tumbuhan ini mengakibatkan hewan herbivora tidak dapat hidup dalam waktu yang lama. Hilangnya hewan-hewan herbivora ini akan mengganggu hewan-hewan karnivora (Hutagalung,1984).

120

Tabel.16.Hasil Pengamatan dan Pengukuran Parameter untuk Biofisik Pelabuhan Khusus


Lokasi 1 Desa Muara Kintap Parameter Tinggi gelombang 0,82 (m) Pasang surut (m) 1,59 Dinamika Pantai : Abrasi Sedimentasi Tidak terjadi Tidak terjadi Kesesuaian Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Tidak Sesuai Tidak Sesuai Tidak Sesuai Tidak Sesuai Tidak Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Tidak Sesuai Tidak Sesuai Tidak Sesuai Tidak Sesuai Tidak Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Sangat Sesuai Tidak Sesuai Tidak Sesuai Tidak Sesuai Tidak Sesuai Tidak Sesuai Skor 10 4 8 8

10

Muara Kintap

Pencemaran : Minyak & lemak (ppm) Fe2+ (ppm) Cd (ppm) Cr6+ (ppm) Pb (ppm) Tinggi gelombang (m) Pasang surut (m) Dinamika Pantai : Abrasi Sedimentasi

25 0,292 0,04 0,024 0,166 0,40 1,59 Tidak terjadi Tidak terjadi

0 0 0 0 0 10 4 8 8

17

Muara Kintap

Pencemaran : Minyak & lemak (ppm) Fe2+ (ppm) Cd (ppm) Cr6+ (ppm) Pb (ppm) Tinggi gelombang (m) Pasang surut (m) Dinamika Pantai : Abrasi Sedimentasi

15 0,633 0,02 0,018 0,011 0,85 1,59 Tidak terjadi Tidak terjadi

0 0 0 0 0 10 4 8 8

Pencemaran : Minyak & lemak (ppm) Fe2+ (ppm) Cd (ppm) Cr6+ (ppm) Pb (ppm)
Sumber : Hasil Penelitian, April 2007 .

28 0,221 0,04 0,035 0,164

0 0 0 0 0

121

Gambar. 39. Peta Kesesuaian Pelabuhan Khusus di Wilayah Studi Pesisir Muara Kintap Kab. Tanah Laut berdasarkan Tinggi Gelombang, Dinamika Pantai,Pasang Surut

Gambar. 40. Peta Kesesuaian Pelabuhan Khusus di Wilayah Studi Pesisir Muara Kintap Kab.Tanah Laut berdasarkan Pencemaran (minyak lemak; Fe; Cd; Cr6+ dan Pb)

122

4.6.Kesesuaian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perikanan Pesisir Muara Kintap berdasarkan Overlay Parameter Biofisik Lindung, Pemanfaatan dan Pelabuhan Khusus dengan Algoritma Spasial Hasil algoritma spasial secara umum dari data lapangan dalam bentuk peta tematik memberikan informasi di zona 1 dan 2 yang dibagi berdasarkan karakteristik aliran sungai berada pada kategori sesuai dengan kisaran skor 60. Arti nilai 60 menunjukkan kondisi zonasi Muara Kintap yang dimanfaatkan sebagai kawasan pembangunan perikanan berada pada batas minimum. Daerah yang merupakan pusat kegiatan perikanan dengan yuridiksi kawasan

pembangunan perikanan radius 3,5 dan 7 kilometer dari pusat desa menginformasikan kawasan tersebut berada dalam tingkat tidak sesuai disebakan lokasi ruang yang dimanfaatkan berada di sempadan pantai dan sungai serta tidak memiliki vegetasi sebagai buffer zona. Oleh karena itu perlu upaya dan pengelolaan agar pemanfaatan ruang yang ada di wilayah Muara Kintap berada pada keadaan optimum guna mewujudkan Muara Kintap sebagai kawasan sentra perikanan yang sesuai dengan amanat Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi maupun Kabupaten. Terbatasnya mangrove sebagai buffer zona (zona penyangga) antar kawasan yang tidak sinergis (saling merugikan) membawa pengaruh terhadap menurunnya kualitas perairan dan lingkungan. Faktor pembangunan tambak, pemukiman dan industri perikanan serta aktivitas lain dengan tidak memperhatikan kualitas lingkungan melalui kegiatan konversi mangrove pada sempadan pantai dan sungai Kintap yang menimbulkan penurunan fungsi ruang di kawasan studi Muara Kintap. Kondisi ini menjadikan Muara Kintap sebagai daerah rawan bencana pesisir banjir

123

dan rob bagi pemukiman dan tambak yang membawa kerugian, sedimentasi yang dapat menghambat jalur transportasi air dan abrasi yang mengancam satu-satunya akses jalan dari dan ke desa Muara Kintap. Tabel 17. Kesesuaian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Perikanan Pesisir Muara Kintap Berdasarkan Overlay Parameter Lindung, Pemanfaatan dan Khusus dengan Algoritma Spasial
Lokasi Zonasi Alokasi Ruang Skor Berdasarkan Algoritma Spasial Kriteria Kesesuaian

1 2 3 6* 4* 7 5* 8 10 11 12 20 9 18 17 19 16 14 15 13

II

Pelabuhan Khusus Pertanian(pemanfaatan) Tambak (pemanfaatan) Tambak (pemanfaatan) ** Pemukiman (pemanfaatan)** Pemukiman(pemanfaatan)** Industri perikanan (pemanfaatan)** Lindung** Pelabuhan Khusus Pertanian(pemanfaatan) Tambak (pemanfaatan) Pemukiman (pemanfaatan) Tambak (pemanfaatan) Tambak (pemanfaatan) Pelabuhan Khusus Lindung Tambak (pemanfaatan) Tambak (pemanfaatan) Industri perikanan * (pemanfaatan) Pemukiman (pemanfaatan)

62,7

Sesuai

60,1

Sesuai

Sumber : Hasil Penelitian April 2007 dan Contoh perhitungan dengan model Algoritma Spasial pada lampiran 9. Keterangan * fokus kegiatan perikanan Muara Kintap pada radius 3,5 km (nilai skor 41,5) ** fokus kegiatan perikanan Muara Kintap pada radius 7 km (nilai skor 56,8)

124

Gambar 41. Peta Kesesuaian Pemanfaatan Ruang & Fokus Kawasan Perikanan Pesisir Muara Kintap berdasarkan Algoritma Spasial

125

4.7. Alternatif Pengelolaan Zonasi Kawasan Perikanan Pesisir Muara Kintap Berdasarkan Kondisi Eksisting, Kesesuaian Pemanfaatan Ruang dan Rencana Umum Tata Ruang Kabupaten Tanah Laut Peran kawasan perikanan Muara Kintap yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kalimantan Selatan sebagai kawasan andalan perikanan yang merupakan jaringan Kawasan Sentra Produksi (KSP) Tanah Laut dan Kotabaru di prioritaskan dalam pengembangannya sebagai perikanan laut dan tambak (Pemerintah daerah Propinsi Kalimantan Selatan, 2005). Implementasi kebijakan telah di laksanakan dengan pembangunan sarana dan prasarana yang menunjang sektor perikanan pesisir Muara Kintap. Berdasarkan hasil skoring dengan algoritma spasial untuk kawasan pemanfaatan perikanan dan fokus kegiatan Muara Kintap masih dalam kriteria sesuai. Namun kondisi zonasi pemanfaatan berada pada batas minimum sehingga optimal, dengan mereduksi masukan atau komponen yang dapat mengurangi bahkan cenderung merusak kawasan ini melalui berbagai aktivitasnya. Menurut Kepmen Kelautan dan Perikanan Nomor Kep.34/Men/2002 tentang Pedoman Umum Penataan Ruang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002) zona kawasan studi dapat dikelompokkan menurut kesamaan karakteristik fisik, biologi, ekologi, dan ekonomi yang ditentukan berdasarkan pengelompokkan kegiatan yang bersifat sinergis dan memilahnya dari kegiatan yang bertentangan dengan kriteria tertentu sehingga kawasan ini dapat mempertahankan nilai keberlanjutan (sustainable).

126

Secara umum menurut hasil penelitian berdasarkan Kepmen Kelautan dan Perikanan tersebut maka kawasan perikanan Muara Kintap dapat dikelompokkan pada 3 zonasi yang mewakili karakteristik pemanfaatan ruang di kawasan tersebut yaitu : 1. Zona Pemanfaatan (use zone); Berfungsi sebagai zona utama untuk kegiatan perikanan dan kegiatan lain yang masih berhubungan atau saling mendukung antar pemanfaatan ruang yang merupakan sub zona dari kawasan perikanan itu sendiri. Dalam alokasinya zona ini terdiri dari 2 sub zona yaitu : a. Zona Pemanfaatan Perikanan merupakan kawasan atau zona yang dalam kegiatannya merupakan zona yang aktivitasnya sejenis atau dapat mendukung zona yang lain serta tidak menimbulkan masalah terhadap zona yang lain. Zona ini terdiri dari kelompok kegiatan pertambakan, industri perikanan, pemukiman dan pertanian serta perkebunan dengan luas daratan sekitar 4.272 hektar yang disajikan pada gambar 42. b. Zona Pemanfaatan Khusus merupakan kawasan atau zona yang dalam kegiatannya dapat menimbulkan dampak terhadap ruang yang lain sehingga perlu dilakukan upaya perlindungan terhadap ruang yang lain dengan mengatur penempatan zona ini pada ruang tertentu yang dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kegiatan tersebut. Selain itu, penempatan vegetasi sebagai zona penyangga antar kawasan harus diterapkan. Ruang untuk zona ini sebesar 156,09 hektar. Secara ekologis untuk pengalokasian ruang baru sebagai kawasan pelabuhan khusus di Muara Kintap sudah tidak sesuai karena

127

fungsi sempadan dan penyangga yang berkurang untuk mereduksi dampak kegiatan tersebut dan kelayakan untuk pembuatan pelabuhan khusus karena sebagian besar ruang di kawasan Muara Kintap telah berubah fungsi sebagai pertambakan. Terlebih lagi konflik petani dengan pihak pelabuhan khusus dengan menurunnya hasil budidaya tambak setelah kegiatan ini beroperasi. 2. Zona Lindung Fungsi zona lindung sebagai kawasan perlindungan lokal karena memiliki nilai atau habitat endemik. Untuk kawasan lindung lokal di alokasikan ruang sebesar 46,07 hektar yang berada di lokasi 8 dan 19, sedangkan lindung lokal yang lain berupa sempadan sungai dan pantai yang hampir luas penutupannya berkurang sehingga perlu di optimalkan kembali hingga sesuai dengan kriteria Kepmen Kelautan dan Perikanan dengan potensi 143,317 hektar untuk sempadan pantai dan 223,41 hektar untuk sungai seperti ditampilkan pada gambar 42 dan tabel 18 berikut. 3. Zona Penyangga (buffer zone) Alokasi dan sebaran zona ini sangat diperlukan terutama pada daerah yang aktivitasnya berpotensi membawa dampak pada daerah lain sehingga nilai kawasan lain menjadi menurun bahkan tidak dapat difungsikan lagi. Zona penyangga di kawasan studi, alokasi penetapan ruangnya di distribusikan pada kegiatan pelabuhan batubara yang berpotensi mencemari daerah-daerah lainnya. Sampai saat ini zonasi penyangga berupa vegetasi antara pelabuhan khusus batubara dan wilayah lain belum ada. Hampir semua pemanfaatan ruang yang rawan menimbulkan masalah antar zona yang lain belum memiliki penyangga,

128

hanya tambak dan pertanian yang memiliki kawasan penyangga namun di duga kawasan ini terbentuk karena belum dikonversi ke bentuk pemanfaatan lain. Lebar minimum zona penyangga sebesar 7,6 meter ditambah 0,6 meter untuk setiap 1% kemiringan lereng antara muka air dengan daerah hutan (Dahuri, et al. 2004). Berdasarkan analisis spasial kawasan penyangga di lokasi studi eksisting seluas 37,324 hektar (gambar 42 dan tabel 18). Selain berperan secara ekologis fungsi penyangga sebagai sedimen trap (penjebak), melindungi kualitas massa air serta menahan bahan-bahan pencemar dan memperlambat aliran permukaan (run off) sehingga bencana berupa sedimentasi dan meningkatknya kekeruhan di badan air dan tambak dapat dikurangi (Dahuri, et al. 2004). Tabel. 18. Luas Zonasi Alternatif di Kawasan Studi Zona Pemanfaatan Kawasan Perikanan Luas (Ha) 4.272 Fungsi Lokasi

Pertambakan, Industri Muara Kintap Perikanan, Pertanian, kecuali Pulau Kebun/tegalan, Nyamuk, Perkebunan,hutan rawa dan pelabuhan khusus kawasan belum batubara dan lokasi dimanfaatkan. 19 Bongkar batubara muat material Muara Kintap, sepanjang aliran sungai dan pesisir pantai, Pulau Nyamuk, dan lokasi pelabuhan khusus batubara.

Pelabuhan khusus batubara Lindung - lindung lokal -sempadan sungai -sempadan pantai

156,09

46,07 223,41 143,317 37,324

Kawasan lindung lokal untuk konservasi habitat endemik dan daerah spawning, ,feeding dan nursery ground

Penyangga

Sedimen trap, melindungi Antara lokasi 10 kualitas massa air, menahan dan 12, 2, 11 dan 3 bahan-bahan cemaran dan serta 2 dan 1. memperlambat run off

Sumber : Hasil Penelitian dan Analisis Spasial, April 2007.

129

Daerah Penangkapan Juvenil udang

Gambar 42. Peta Alternatif Zona Wilayah Pesisir Muara Kintap berdasarkan Algoritma Spasial & Sistem Pemanfaatan Ruang, Kelestarian Kawasan

130

4.7.1. Alternatif Pengelolaan Terhadap Masing-Masing Zona Berdasarkan Kondisi Aktual Upaya pengelolaan terhadap zonasi dalam lokasi-lokasi sampling di dasarkan pada nilai-nilai parameter aktual yang masih berada di tingkat kriteria tidak sesuai (tabel 15). Pengelolaan terhadap parameter aktual sebagai bagian dari solusi pengelolaan dengan meningkatan nilai-nilai dari parameter pemanfaatan, lindung dan pelabuhan khusus agar ditemui sebagai kondisi yang potensial. Parameter-parameter yang perlu diperhatikan dan menjadi dasar dalam pengelolaan ditunjukkan tabel 19 berikut. Tabel 19. Pengelolaan Parameter Aktual menjadi Kondisi Potensial
No. Jenis Stasiun Kegiatan Kondisi Aktual berdasarkan Nilai Parameter Pengelolaan

Industri perikanan

15

Industri perikanan Pemukiman

4; 5; 13 dan 20 13; 20 20 1;10 dan 17

Pemukiman Pemukiman Pelabuhan khusus

- Merupakan daerah Pendirian model rumah banjir dan genangan dengan tipe panggung dan dapat relokasi ke jalan - Tidak memiliki ruang utama. terbuka hijau Revegetasi sesuai ketetapan perundangan untuk RTH industri. Merupakan daerah banjir Pendirian model rumah dan genangan dengan tipe panggung dan dapat relokasi ke jalan utama. Merupakan daerah Pendirian model rumah banjir, abrasi dan akresi dengan tipe panggung dan dapat relokasi ke jalan utama. Jarak dari jalan > 500 m Penyediaan transportasi lokal dan relokasi ke jalan utama. Berada di semp.pantai Relokasi ke jalan utama. dan tanaman lahan basah Minyak dan lemak; Fe2+; Pembuatan settling ponds Cd; Cr6+ dan Pb untuk penetralan limbah dan pembasahan batubara saat bongkar muat.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan 1. Pemanfaatan ruang terbesar Muara Kintap berdasarkan spasial untuk pertambakan 36,67 % (1640,59 hektar) diikuti hutan rawa 24,33% (1088,76 hektar) dan pertanian 19,85% (887,90 hektar) sedangkan pemanfaataan ruang untuk pemukiman yang terkecil sebesar 2,28% (102,15 hektar) dari luas wilayah, perbedaan sebesar 247,59 hektar dari pertambakan mengindikasikan telah terjadi penambahan peruntukan, selain pemukiman perubahan tersebut berada di barat sungai Kintap dengan mengkonversi hutan rawa/rawa-rawa dan lindung lokal. 2. Pemanfaatan ruang Muara Kintap eksisting tidak sesuai dengan Peraturan daerah No.9/2000 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi dan Kabupaten yang dialokasikan untuk pertanian lahan basah, kering dan tambak yang di dalamnya terdapat pelabuhan khusus dan stokpile batubara sebesar 156,09 hektar, tetapi perhitungan algoritma spasial secara umum di kawasan pembangunan perikanan tergolong sesuai dengan total skor 60,1-62,7 . 3. Pemanfaatan ruang Muara Kintap 4.272 hektar sebagai kawasan perikanan (zona prioritas) dan pemanfaatan khusus sebesar 156,09 hektar yang merupakan ruang sebagai pelabuhan batubara, lindung lokal, sempadan pantai; sungai serta penyangga 450,121 hektar sebagai alternatif zonasi untuk pengelolaan ruang di kawasan pembangunan perikanan Muara Kintap.
131

5.2. Saran 1. Perlu peninjauan ulang terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Kalimantan Selatan dan Kabupaten Tanah Laut terhadap keberadaan kawasan sentra produksi perikanan (KSP) perikanan terpadu Muara Kintap. 2. Perlu dikembangkan upaya revegetasi mangrove baik sebagai zona penyangga, lindung lokal dan sempadan sebesar 450,121 hektar sebagai upaya pengelolaan ruang yang berpotensi mematikan ruang lain di Muara Kintap agar meminimalkan konflik keruangan dan kembali mengoptimalkan kawasan pembangunan perikanan pesisir Muara Kintap.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, T., Ernawati dan M.J.R.Yakob, 1998, Budidaya Bandeng secara Intensif, Penebar Swadaya, Jakarta. Alaerts, G. dan Santika, S.S.,1984, Metode Penelitian Air, Usaha Nasional, Surabaya. Anggoro, S., 1983, Permasalahan Kesuburan Perairan bagi Peningkatan Produksi Ikan di Tambak, Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tanah Laut, 2006, Profil Kabupaten Tanah Laut Tahun 2005, Pemerintah Daerah Kabupaten Tanah Laut, Pelaihari. Bakosurtanal, 1996, Pengembangan Prototipe Wilayah Pesisir dan Marina Kupang NTT, Pusat Bina Aplikasi Inderaja dan SIG, Jakarta. Biro Pusat Statistik, 2006, Tanah Laut Dalam Angka 2005/2006, Biro Pusat Statistik Kabupaten Tanah Laut, Pelaihari. Barchia, Muhammad F., 2006, Gambut Agroekosistem dan Transformasi Karbon, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Budiharsono S., 2002, Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan, Pradnya Paramita, Jakarta. Birowo dan Arief, Upwelling atau Penaikan Massa Air, Jurnal Pewarta Oceana LON-LIPI. Jakarta, 1983, Vol. 2 (3) 12-21. Branch M.C., 1998, Regional Planning, In Introduction and Explanation Preager, New York Wespart Connection, London. Brown, M.E., 1957, The Physiology of Fishes Volume II, Academic Press Inc. Publisher, New York. Boyd, C.E. and Lichkoppler, F., 1986, Water Quality Management In Pond Fish Culture,International Center for Aquaculture Agricultural Experiments Station Auburn University, Auburn, Alabama. Balio, D., Siri Tokwinas, 2002, Manajemen Budidaya Udang yang Baik dan Ramah Lingkungan di Daerah Mangrove, Alih Bahasa Dirjen Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan ISBN 971-8511-64-4, Jakarta.
133

Dahuri, R., J. Rais, S.P.Ginting, dan M.J.Sitepu., 2004, Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu (Edisi Revisi), PT. Pradnya Pratama, Jakarta. Darwanto, 2000, Mekanisme Pengelolaan Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir, Laut, dan Pulau-Pulau Kecil Serta Hubungannya Antar Perencanaan Tingkat Kawasan Kabupaten, Propinsi, dan Nasional, Makalah pada Temu Pakar Penyusunan Konsep Tata Ruang Pesisir, Jakarta. Danoedoro, P., 1996, Pengolahan Citra Digital. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Departemen Kelautan dan Perikanan RI, 2002, Pedoman Umum Penataan Ruang Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, Jakarta. ________, 2003, Modul Sosialisasi Tata Ruang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Edisi 2003, Jakarta. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Kalimantan Selatan, 2002, Dokumen Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Pesisir Kabupaten Tanah Laut Tahun 2002-2012, Banjarmasin. ________,2006, Laporan Tahunan Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Kalimantan Selatan 2005/2006, Banjarbaru. Dulbahri, 2001, Sistem Informasi Geografis. Program Penginderaan Jauh untuk Sumberdaya dengan Pendekatan Interpretasi Citra dan Survei Terpadu, Universitas Gadjah Mada Fakultas Geografi (PUSPICS) UGM Bakosurtanal, Yogyakarta. Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999, Sylvofishery, Budidaya TambakMangrove Terpadu, Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Jakarta. ESRI, 2000, GIS for School and Libraries Version 5, Environmental System Research Institute. Ewusie, J.Y., 1990, Pengantar Ekologi Tropika, Penerbit Institut Teknologi Bandung, Bandung. Hartoko, A., 2004a, Laporan Proyek Asian Development Bank Coastal Resources Management Project, ADB-CRMP, Jakarta. ________, 2004b. Laporan Marine and Coastal Resource Management Project Asian Development Bank, MCRMP-ADB, Jakarta.

Hartoko, A dan M. Helmi, Development of Digital Multilayer Ecological Model for Padang Coastal Water (West Sumatra), Journal of Coastal Development Semarang, 2006, Vol. 7 No. 7, 18-29. Haerumen H, 1996, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Lingkungan Alam Wilayah Pesisir, Kantor Menteri Lingkungan Hidup, Jakarta. Hutagalung, H.P, Logam Berat dalam Lingkungan Laut, Jurnal Oseana LP30-LIPI Jakarta, 1984, Vol IX No.9, 10-18. Hutagalung, H.P., Setiapermana, D., Riyono, S.H, 1997, Metode Analisa Air Laut, Sedimen dan Biota Buku 2, P3O-LIPI, Jakarta. Effendi, H., 2004, Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan, Kanisius, Yogyakarta. Khakhim N., Rudy C. Tarumingkeng dan Zahrial Coto, 2003, Pendekatan Sel Sedimen (Sediment Cell) Sebagai Acuan Penataan Ruang Wilayah Pesisir Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh, Makalah Pengantar Falsafah Sains. Program Pascasarjana/S3, Institut Pertanian Bogor. Kuntjoro W., Dudy Darmawan, Hasanuddin Z. Abidin, F. Kimata, Mipi A. Kusuma, M. Hendrasto dan Oni K. Suganda, 2001, Pemantauan Kondisi Udara Di Atas Gunung Api Batur dengan GPS, Prosiding Himpunan Ahli Geofisika Indonesia, Pertemuan Ilmiah Tahunan XXVI, Jakarta,1-3 Oktober 2001. Kecamatan Kintap, 2006, Monografi Muara Kintap 2006, Kintap,Tanah Laut Kalimantan Selatan. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, Lembaran Negara RI Tahun 1990, No.44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3660 Sekretariat Negara, Jakarta. Kartasapoetra, A.G., 1988, Klimatologi, Pengaruh Iklim Terhadap Tanah Dan Tamanan, Bina Aksara, Jakarta. Koestoer, R.H, R.P. Tambunan, H.T. Budianto dan Sobirin, 2001, Dimensi Keruangan Kota Teori dan Kasus, Penerbit Universitas Indonesia Press, Jakarta. Lillesand Thomas M. dan Ralph W. Kiefer, 1997, Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Marganingrum D. dan Heru Santoso, Pembuatan Basis Data Spasial Pencemaran Sungai (Studi Kasus Sungai Citarum, Jurnal Teknik Lingkungan Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Jakarta, 2006, Vol. 8. 8-16. Murtidjo, B.A, 2002, Budidaya dan Pembenihan Bandeng, Kanisius, Yogyakarta. Mudjiman, A, 1992, Budidaya Bandeng di Tambak, Penebar Swadaya,. Bogor Indonesia. Mahida, U.N, 1984, Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri, C.V. Rajawali, Jakarta. Nuarsa I Wayan, 2005, Menganalisis Data Spasial dengan ArcView GIS 3.3 untuk Pemula, Penerbit PT. Elex Media Komputindo Gramedia, Jakarta. Nasution, 2002, Metode Research, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta. Nikolsky, C.V., 1963, The Ecology of Fisheries, Academic press, New York. Nirarita, CH. Endah, 1996, Ekosistem Lahan Basah Indonesia, Buku Panduan Untuk Guru dan Praktisi Pendidikan, Wetlands International Indonesia Program Bogor. Pirzan A.M., Pelestarian Sumberdaya Kepiting Bakau Scylla sp. di Perairan Pantai Timur Sulawesi Selatan, Jurnal Litbang Pertanian, 2000, 19(2) 1827. Purnomo, A, 1992, Pemilihan Lokasi Tambak Udang Berwawasan Lingkungan. Central Research Institute For Fisheries, Penerbit Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Jakarta. Palar, H., 1994, Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat, PT Rineka Cipta, Jakarta. Pescod, M.B., 1973, Investigation of Rational Effluent and Stream Standard for Tropical Countries, AIT- Bangkok. Parsons, T.R. and Strickland, J.D., 1963, A Practical Handbook of Seawater Analysis 2nd Edition Bull. Fish., Canada. Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Selatan, 2002, Himpunan Lembaran Daerah/ Tambahan Lembaran Daerah Propinsi Kalimantan Selatan, Biro Hukum Sekretariat Daerah Propinsi Kalimantan Selatan, Banjarmasin. Prahasta E, 2003, Konsep Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis, Informatika Bandung.

Prabowo, Dwi.Anang, John Palapa dan H. Ardiansyah, 2002, Modul Pengenalan GIS, GPS & Remote Sensing, Departement GIS Forest Watch Indonesia. Robert J. Kodoatie dan Roestam Sjarief, 2006, Pengelolaan Bencana Terpadu, Yarsif Watampone, Jakarta. Rayes L, 2006, Metode Inventarisasi Sumberdaya Lahan, Penerbit Andi, Yogyakarta. Rubiyanto W.H dan Dian A.S, 2005, Udang Vannamei, Penebar Swadaya seri Agribisnis, Jakarta. Republik Indonesia, 2007, Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Lembaran Negara RI Tahun 2007, No.68. Sekretariat Negara, Jakarta. Raymont, E.G.J., 1980, Plankton and Productivity in The Ocean, Pergamon Press, Oxford. Supriharyono, 2007, Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati di Wilayah Pesisir dan Laut Tropis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Sugiharto, 1987, Dasar-Dasar Pengelolaan Air Limbah, Universitas Indonesia Press, Jakarta. Sarbidi, 2001, Pengaruh Rob Pada Permukiman Pantai Kota Semarang, Prosiding Seminar Dampak Kenaikan Muka Air Laut Pada Kota-kota Pantai di Indonesia, Bandung. SjafiI Emmy.B.I, Dietriech G. Bengen dan Iwan Gunawan, Analisis Pemanfaatan Ruang Kawasan Pesisir Teluk Manado, Sulawesi Utara. Jurnal Pesisir dan Lautan, 2001,Vol. 4 No.1,1-18. Sulasdi W.N, Aspek Geodetik Dalam Pembangunan Wilayah Pesisir Dan Laut Secara Terpadu. Jurnal Surveying dan Geodesi, 2001, Vol.XI No.1,1-18. Sugiarti, Dietriech G. Bengen dan Rokhmin Dahuri, Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Di Kota Pasuruan Jawa Timur, Jurnal Pesisir dan Lautan, 2000, Vol. 3 No.2, 1-18. Sudarmo dan Ranoemihardjo,1995, Budidaya Udang,. Penerbit Swadaya, Bogor. Sudjarwadi, 1987, Teknik Sumber Daya Air, PAU Ilmu Teknik UGM, Yogyakarta.

Stumm, W dan J.J. Morgan, 1970, Aquatic Chemistry.Wiley Interscience, New York. Tahir A., Dietriech G. Bengen dan Setyo Budi Susilo, Analisis Kesesuaian Lahan Dan Kebijakan Pemanfaatan Ruang Kawasan Pesisir Teluk Balikpapan. Jurnal Pesisir dan Lautan, 2002, Vol. 4 No.3, 1-16. Widjaya, J.M., 2001, Zona di bawah Muka Air Laut Pasang di Kota Semarang, Perkembangan Permasalahan dan Usulan Penanggulangannya, Laporan Penelitian Bidang Sumberdaya Air. Puslitbang Sumberdaya Air, Bandung. Wardoyo, S.T.H., 1982, Water Analysis Manual Tropical Aquatic Biology Program, Biotrop_Seameo, Bogor.

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banjarmasin pada tanggal 20 Agustus 1979, putra pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Syahminan, M.Kes Drs dan Ibu Arbainun, Amd. Pendidikan dasar di selesaikan di SDN Jawa 2 Martapura pada tahun 1991, pendidikan menengah pertama di SMPN 1 Martapura pada tahun 1994 dan pendidikan menengah atas di SMUN Martapura pada tahun 1997. Pendidikan sarjana (S1) ditempuh di Universitas Lambung Mangkurat, Fakultas Perikanan pada program studi Manajemen Sumberdaya Perairan mulai tahun 1997 dan lulus tahun 2002 dengan mengambil judul skripsi Distribusi Makrozoobenthos di Dasar Saluran Air Sepanjang Jalan Jend. Achmad Yani Km. 1 17 Kalimantan Selatan. Pada bulan Agustus 2005, penulis melanjutkan pendidikan Strata-2 di Program Pascasarjana Manajemen Sumberdaya Pantai Universitas Diponegoro Semarang sampai akhirnya melaksanakan penelitian untuk penyusunan tesis dengan judul Analisis Pemanfaatan Ruang di Kawasan Pembangunan Perikanan Pesisir Muara Kintap Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Penulis bekerja sebagai staf pengajar tetap pada Fakultas Perikanan Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru sejak tahun 2003.

Lampiran 2. Tabulasi Curah Hujan dan Hari Hujan di Lokasi Studi


Tahun 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Parameter Jan. CH 353 HH 17 CH 267 HH 20 CH 570 HH 17 CH 564 HH 18 CH 324 HH 14 CH 287 HH 10 CH 580 HH 20 CH 670 HH 18 CH 306 HH 9 CH 711 HH 18 Bulan Juni Juli 160 37 17 5 698 82 14 3 290 226 14 10 132 366 8 8 47 66 3 4 261 246 14 11 11 77 2 8 233 72 12 6 81 71 8 4 140 82 10 6 Jumlah Rerata 2320 154 2351 134 3720 156 3109 142 1512 71 2822 168 3364 139 2664 133 2021 107 2455 127 193.3 12.8 195.9 11.2 310 13 259.1 11.8 126 5.9 235.2 14 280.3 11.6 222.0 11.1 168.4 8.9 204.6 10.6

Peb. 332 20 281 17 355 16 515 21 249 11 170 7 285 17 226 9 277 10 162 11

Maret 221 21 310 23 228 10 194 11 74 6 148 10 335 15 267 14 236 11 186 13

April 266 13 157 15 235 17 207 9 105 8 318 17 254 5 67 8 249 12 236 13

Mei 198 18 135 8 267 12 46 4 86 6 196 11 192 13 218 10 54 5 121 5

Agst Sep 2 1 40 3 198 81 11 6 55 69 6 5 267 123 23 14 17 102 3 7 159 64 9 4 6 43 1 4 15 98 2 5

Okt 130 5 12 1 137 6 263 18 204 13 295 15 222 12 140 9 203 11

Nop 168 17 143 16 565 15 292 17 162 4 299 16 387 14 153 12 342 18 175 13

Des 453 20 226 14 568 22 406 17 399 15 303 22 829 20 313 19 216 16 326 20

Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika Pelaihari, 2007

Lampiran 3. Tabulasi Data Kualitas Air Tahun 2006 di Kawasan Muara Kintap
Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun AL-1 AS-2 1 2 3 No. Parameter 1 Suhu (C) Tahun 2005 29,7

Baku Referensi Standar Tahun 2006(Lokasi UTM) mutu Tahun 0302641 0305276 0298151 2005 9571862 9571462 9564412 29,9 31,6 30 31,2 26-32 Kep02/MenKLH/1/1988 17 6,5 15 7,2 No data 30-49 Kep02/MenKLH/1/1988 6,7

2 Kecerahan (cm) No data 3 pH 6,73 4 Arus (m/det)

No data 6,72

No No data 2,8 data 5 Kedalaman(cm) No No data 267 data 6 NO2-N (ppm) 0,009 0,035 0,014 7 DO (mg/L) 8 BOD(mg/L) 9 NO3-N (ppm) 11 P (ppm) 12 NH3-N (ppm) 13 H2S (ppm) 14 CO2 (ppm) No data No data No data No data 0,03 0,13 3,48 9,9 0,036 1 0,069

7,5- Kep02/MenKLH/1/1988 No data No data 8-5 No data No data 0,019 0,045 -

< 0,5 Kep02/MenKLH/1/1988

3,40 No data 8,45 No data 0,020 16,6 0,022 0,034 <0,001 0,003 36,66 20 668 0,045 20,3 0,030 5 Kep02/MenKLH/1/1988 15-30 Kep02/MenKLH/1/1988 0,6-2 Kep02/MenKLH/1/1988

10 Salinitas (ppt) No data No data 0,01 0,035

No data No data 0,027 No data No data 0,001 No data No data 0,003 30,14 12 324 143 0,533 0,012 0,010 0,008

0,025 >0,051Kep02/MenKLH/1/1988 0,001 0,01 Kep02/MenKLH/1/1988 0,003 66,64 26 594 40 Kep02/MenKLH/1/1988 5 Kep02/MenKLH/1/1988 25 Kep02/MenKLH/1/1988

15 COD (ppm) 17,90 13,80 16 Minyak 0,01 0,01 Lemak (ppm) 17 Total 37 15 Suspended S lid ( ) 18 Total Dissolved 9.430 2.320 Solid (ppm) 19 Fe (ppm) 0,18 0,48 20 Cd (ppm) 0,012 0,012 +6 21 Cr (ppm) No data No data 22 Pb (ppm) 0,012 0,012

23.420 24.124 1000 Kep02/MenKLH/1/1988 0,172 0,014 0,018 0,133 0,110 0,01 Kep02/MenKLH/1/1988 0,014 0,01 Kep02/MenKLH/1/1988 0,028 0,01 Kep02/MenKLH/1/1988 0,132 0,01 Kep02/MenKLH/1/1988

Keterangan: Stasiun 1: sekitar pelsus Surya Kencana Jorong Mandiri (SKJM) dan S. Muara Kintap Kec. Kintap Stasiun 2: sekitar pelsus Pribumi Citra Megah Utama (PCMU) dan S. Kintap Kec. Kintap Stasiun 3: sekitar pelsus Dewata Utama (DU) Muara Kintap Kec. Kintap AL-1 : perairan laut 200 m dari pantai AS-2 : perairan hilir S. Kintap
Sumber :Dokumen AMDAL Pelsus PT. SKJM dan PCMU dan DU yang diambil pada bulan oktober 2005 dan 2006.

Lampiran 4. Data Pasang Surut di Sungai dan Pesisir Kintap April 2006
Koordinat 030 5208- 030 5505 LS dan 1150 1345- 1150 1642 BT Ketinggian dalam meter Bulan April 2006 Waktu : GMT + 07.00
T/J* 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 1,5 1,4 1,2 1,0 0,8 0,6 0,4 0,6 0,6 1,8 1,8 1,8 2,2 1 1,6 1,6 1,4 1,2 1,0 0,8 0,8 0,6 0,1 0,8 1,3 1,6 2,0 2 1,7 1,7 1,6 1,5 1,3 1,0 0,8 0,7 0,7 0,8 1,1 1,4 1,8 3 1,7 1,7 1,7 1,7 1,8 1,3 1,1 0,8 0,8 0,8 1,1 1,3 1,6 4 1,6 1,7 1,0 0,8 1,7 1,6 1,4 1,2 1,1 1,0 1,1 1,3 1,3 5 1,4 1,5 1,7 0,8 1,8 1,8 1,7 1,6 1,4 1,3 1,3 1,3 1,4 6 1,1 1,3 1,5 0,7 1,8 1,9 1,9 1,9 1,8 1,4 1,6 1,6 1,5 7 0,5 1,0 1,2 0,7 1,6 1,8 2,0 2,0 2,0 2,0 1,9 1,8 1,7 8 0,8 0,8 0,9 1,1 1,4 1,6 1,9 2,1 2,2 2,2 2,2 2,1 2,0 9 0,4 0,7 0,7 0,9 1,0 1,3 1,7 2,0 2,3 2,4 2,4 2,4 2,3 10 0,9 0,7 0,6 0,6 0,7 1,0 1,3 1,7 2,1 2,4 2,6 2,6 2,6 11 1,0 0,8 0,6 0,5 0,5 0,7 1,0 1,4 1,0 2,2 2,5 2,7 2,8 12 1,3 1,0 0,7 0,6 0,6 0,7 1,0 1,4 1,0 2,2 2,5 2,7 2,8 13 1,4 1,2 1,0 0,7 0,6 0,5 0,5 0,7 1,0 1,5 1,9 2,3 2,7 14 1,5 1,4 1,2 1,0 0,7 0,5 0,5 0,5 0,8 1,1 1,6 2,1 2,5 15 1,6 1,6 1,3 1,3 1,0 0,8 0,7 0,7 0,8 1,1 1,4 1,9 2,2 16 1,6 1,6 1,8 1,3 1,3 1,1 0,9 0,8 0,8 1,0 1,3 1,6 2,0 17 1,5 1,6 1,7 1,7 1,6 1,4 1,3 1,1 1,0 1,1 1,2 1,3 1,7 18 1,4 1,3 1,8 1,7 1,7 1,7 1,8 1,4 1,3 1,3 1,3 1,4 1,8 19 1,2 1,4 1,3 1,7 1,8 1,8 1,8 1,8 1,7 1,6 1,6 1,6 1,6 20 1,1 1,2 1,4 1,0 1,4 1,9 2,3 2,0 2,0 1,9 1,9 1,8 1,8 21 0,9 1,0 1,2 1,4 1,6 1,8 2,0 2,1 2,2 2,2 2,1 2,1 2,0 22 0,8 0,9 1,0 1,2 1,4 1,7 1,9 2,1 2,3 2,4 2,4 2,3 2,2 23 0,7 0,7 0,8 1,0 1,2 1,5 1,8 2,1 2,3 2,3 2,3 2,5 2,6 24 0,7 0,7 0,7 0,8 1,0 1,2 1,8 1,9 2,2 2,5 2,7 2,6 2,5 25 0,8 0,7 0,6 0,6 0,6 1,0 1,3 1,7 2,0 2,4 2,5 2,7 2,7 26 0,9 0,7 0,6 0,5 0,6 0,8 1,1 1,4 1,8 2,2 2,3 2,7 2,8 27 1,0 0,9 0,7 0,6 0,6 0,7 0,9 1,2 1,0 2,0 2,3 2,6 2,7 28 1,2 1,1 0,9 0,8 0,7 0,7 0,8 1,0 1,4 1,8 2,1 2,4 2,0 29 1,4 1,3 1,1 1,0 0,8 0,8 0,8 1,0 1,2 1,6 1,3 2,2 2,3 30 Keterangan : *T/J : Tanggal/Jam (Sumber Data : PT. Pelindo III Banjarmasin, 2006) 14 2,4 2,3 2,1 1,9 1,8 1,5 1,6 1,7 1,9 2,3 2,6 2,7 2,7 2,8 2,7 2,5 2,3 2,0 1,8 1,7 1,8 1,9 2,1 2,6 2,3 2,8 2,7 2,6 2,7 2,6 15 2,6 2,4 2,3 2,1 2,0 1,9 1,8 1,8 1,8 2,0 2,2 2,3 2,5 2,7 2,8 2,7 2,4 2,2 2,0 1,8 1,8 1,8 2,0 2,5 2,1 2,3 2,6 2,4 2,6 2,5 16 2,6 2,5 2,4 2,3 2,1 2,0 1,9 1,8 1,8 1,9 2,0 2,2 2,2 2,4 2,8 2,6 2,3 2,3 2,1 1,9 1,8 1,8 1,9 2,3 1,8 2,3 2,3 2,1 2,4 2,3 17 2,4 2,4 2,3 2,3 2,2 2,1 1,9 1,9 1,8 1,4 1,8 2,0 2,0 2,1 2,6 2,4 2,4 2,3 2,1 1,9 1,8 1,7 1,7 2,2 1,7 2,0 2,1 1,9 2,1 2,1 18 2,3 2,2 2,2 2,1 2,1 2,0 1,9 1,9 1,8 1,2 1,7 1,8 1,8 1,9 2,3 2,2 2,2 2,1 2,0 1,9 1,7 1,6 1,6 2,0 1,6 1,8 1,9 1,7 1,9 1,6 19 2,1 2,0 2,0 2,0 1,0 1,9 1,9 1,8 1,8 1,7 1,6 1,8 1,8 1,7 2,0 1,9 1,9 1,9 1,8 1,7 1,6 1,5 1,5 1,8 1,4 1,6 1,7 1,3 1,7 1,6 20 1,8 1,8 1,0 1,7 1,7 1,7 1,7 1,7 1,7 1,6 1,6 1,6 1,6 1,5 1,7 1,6 1,8 1,6 1,6 1,5 1,3 1,4 1,4 1,6 1,3 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 21 1,8 1,7 1,0 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,3 1,6 1,6 1,3 1,5 1,5 1,5 1,4 1,4 1,4 1,4 1,4 1,3 1,2 1,2 1,3 1,3 1,4 1,4 1,4 1,5 1,4

Lampiran 5. Dokumentasi Penelitian

Lokasi Pelabuhan Khusus Batubara yang bersebelahan dengan Tambak di Muara Kintap

Pulau Nyamuk sebagai Kawasan Lindung Lokal

Lahan Pertambakan di Sungai Kintap

Analisis Kualitas Air di Perairan Tambak Desa Muara Kintap

Analisis Kualitas Air dengan Water Checker U-22 Horiba di Perairan Tambak Desa Muara Kintap

Analisis Kualitas Air dan Pengambilan Sampel Air di perairan tambak Desa Muara Kintap

Pangkalan Pendaratan Ikan Desa Muara Kintap Kab. Tanah Laut

Tugu Kawasan Pengembangan Perikanan Pesisir Desa Muara Kintap

Kegiatan Transaksi Perikanan di Desa Muara Kintap

Tipikal rumah lokal dan adaptasi terhadap rob dan banjir

Sedimentasi di Muara Sungai Kintap

Abrasi di Pesisir Jalan Utama ke Desa Muara Kintap

Lampiran 6. Prosedur Analisis Kualitas Air A. Prosedur Analisis Kandungan Fe, Cd, Cr6+ dan Pb dalam Air 1. Mengambil sampel air sebanyak 300 mL dimasukkan ke dalam corong pisah teflon. 2. Mencampurkan penahan ditambahkan sebanyak 5 mL, dikocok dengan perlahan. 3. Menambahkan NH4Cl atau HCl encer untuk mengatur pH agar pH larutan berkisar antara 3,5-4. 4. Larutan APDC dan NaDDC ditambahkan sebanyak 5 mL, kemudian dikocok selama 1 menit. 5. Menambahkan pelarut MIBK sebanyak 25 mL, kemudian dikocok selama 30 detik. 6. Larutan dibiarkan selama 5 menit agar kedua fasa terpisah, kemudian fasa airnya ditampung (catatan: fasa air ini digunakan untuk pembuatan larutan blanko laboratorium dan standard). 7. Memasukkan air suling bebas ion sebanyak 10 mL ke dalam corong pisah. Kemudian fasa airnya dibuang. 8. Menambahkan larutan HNO3 pekat sebanyak 1,0 mL, kemudian dikocok sebentar dan dibiarkan selama 1 jam. 9. Menambahkan 19,0 mL air suling bebas ion. Kemudian dikocok selama 20 detik dan dibiarkan hingga keduanya terpisah. 10. Fasa airnya ditampung dan siap diukur dengan AAS.

B. Prosedur Analisis Kandungan Nitrat dan Sulfat (sebagai H2S) dalam Air 1. Mengambil contoh air sampel sebanyak 25 ml dan memasukkannya pada tabung reaksi; 2. Menambahkan pada air sampel 2 ml larutan NaCl, mencampurkan perlahan dan memamsukkan ke dalam penangas air dingin. 3. Menambahkan 10 ml larutan H2SO4 dan mencampurnya hingga rata. 4. Menambahkan 0,5 ml larutan brusin asam sulfanilat, mengaduk perlahan dan memanaskan di atas air pada suhu tidak melebihi 950 C selama 20 menit kemudian mendinginkan. 5. Melihat hasilnya dengan pembacaan spektrofotometer C. Prosedur Analisis Kandungan Minyak dan lemak dalam Air 1. Menyiapkan contoh uji dengan ukuran 100 ml dan masukkan ke dalam corong pisah 100 ml dan menambahkan 1 ml HCL dan dikocok sebentar. 2. Membilas botol uji dengan 30 ml Freon dan memasukkan ke dalam corong pemisah yang sudah diisi contoh uji kemudian menambahkan 30 ml freon lalu kocok kuat-kuat selama 2 menit, biarkan selama 1-2 menit dan jika terbentuk emulsi goyangkan perlahan-lahan selama 5-10 menit, pisahkan lapisan fraksi freon, jika fraksi freon masih mengandung air tambahkan 1-2 g H2SO4 kemudian menyaring dengan serat kaca yang dibasahi Freon. 3. Menampung freon ke dalam gelas piala 100 ml. 4. Menimbang labu destilasi yang sudah bersih dan bebaskan dari kontaminasi, kemudian masukkan ke dalam oven selama 30 menit, dinginkan dalam eksikator selama 30 menit, kemudian timbang dengan neraca analitik, ulangi langkah sampai diperoleh berat tetap.

D. Prosedur Analisis Kandungan BOD5 dalam Air 1. Sampel air yang telah diawetkan dalam botol winkler dengan volume sebanyak 300 mL diencerkan dengan aquades yang telah mengalami demineralisasi. Derajat keasaman (pH) air pengencer biasanya berkisar antara 6,5 - 8,5 dan untuk menjaga agar pH-nya konstan bias digunakan larutan penyangga (buffer) fosfat kemudian di titrasi secara langsung.

2. Pengukuran DO nya (DO 0 hari), sementara sampel yang lainnya diinkubasi selama 5 hari pada suhu 20C, selanjutnya setelah 5 hari diukur DO nya (DO 5 hari). Kadar BOD ditentukan dengan rumus : 5 X [ kadar { DO(0 hari) - DO (5 hari) }] ppm 3. Selama penentuan oksigen terlarut, baik untuk DO maupun BOD, diusahakan seminimal mungkin larutan sampai yang akan diperiksa tidak berkontak dengan udara bebas.

You might also like