You are on page 1of 11

PAPER TENTANG PERMASALAHAN RETRIBUSI PELAYANAN KESEHATAN PADA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOKTER MOHAMAD SOEWANDHIE KOTA

SURABAYA

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keuangan Daerah

Yulfika Rakhmi Asriyanti (170110060022)

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2009

PAPER TENTANG PERMASALAHAN RETRIBUSI PELAYANAN KESEHATAN PADA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOKTER MOHAMAD SOEWANDHIE KOTA SURABAYA

Pelaksanaan UU No.32 Tahun 2004 yang memunculkan era otonomi daerah telah menyebabkan perubahan-perubahan yang mendasar mengenai pengaturan hubungan Pusat dan Daerah, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam era otonomi daerah sekarang ini, daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga pemerintahannya sendiri. Tujuannya antara lain adalah untuk lebih mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, memudahkan masyarakat untuk memantau dan mengontrol penggunaan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), juga bertujuan untuk menciptakan persaingan yang sehat antar daerah dan mendorong timbulnya inovasi. Sejalan dengan kewenangan tersebut, Pemerintah Daerah diharapkan lebih mampu menggali sumber-sumber keuangan khususnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tuntutan peningkatan PAD semakin besar seiring dengan semakin banyaknya kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan kepada daerah. Sementara, sejauh ini dana perimbangan yang merupakan transfer keuangan oleh pusat kepada daerah dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah, meskipun jumlahnya relatif memadai yakni sekurangkurangnya sebesar 25 persen dari Penerimaan Dalam Negeri dalam APBN, namun, daerah harus lebih kreatif dalam meningkatkan PAD-nya untuk meningkatkan akuntabilitas dan keleluasaan dalam pembelanjaan APBD-nya. Sumber-sumber penerimaan daerah yang potensial harus digali secara maksimal, namun tentu saja di dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk diantaranya adalah pajak daerah dan retribusi daerah yang memang telah sejak lama menjadi unsur PAD yang paling utama. Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang penting untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Permasalahan yang dihadapi oleh Daerah pada umumnya dalam kaitan

penggalian sumber-sumber pajak daerah dan retribusi daerah, yang merupakan salah satu komponen dari PAD, adalah belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan daerah secara keseluruhan. Pemberian kewenangan dalam pengenaan pajak dan retribusi daerah, diharapkan dapat lebih mendorong Pemerintah Daerah terus berupaya untuk mengoptimalkan PAD, khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah. Terdapat pemisahan jenis pajak yang dipungut oleh Propinsi dan yang dipungut oleh Kabupaten/Kota diharapkan tidak adanya pengenaan pajak berganda. Besarnya tarif yang berlaku definitif untuk Pajak Kabupaten/Kota itu sendiri ditetapkan dengan Peraturan Daerah, namun tidak boleh lebih tinggi dari tarif maksimum yang telah ditentukan dalam Perda tersebut. Untuk mengantisipasi desentralisasi dan proses otonomi daerah, tampaknya pungutan pajak dan retribusi daerah masih belum dapat diandalkan oleh daerah sebagai sumber pembiayaan desentralisasi, selain disebabkan perannya yang tergolong kecil dalam total penerimaan daerah karena sebagian besar penerimaan daerah masih berasal dari bantuan Pusat, di dalam praktiknya sendiri, pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah itu sendiri seringkali terjadi penyimpangan-penyimpangan sehingga tidak sejalan dengan peraturan daerah yang telah ditetapkan. Adapun penulis menemukan masalah mengenai pemungutan retribusi pelayanan kesehatan pada Rumah Sakit Umum Daerah Mohamad Seowandhi yang pada pelaksanaannya melanggar ketentuan Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Pelayanan Kesehatan Pada Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Soewandhi yang di dalamnya mengatur secara procedural bagaimana pelayanan di RSUD tersebut serta bagaimana rincian tarif retribusi pada masing-masing pelayanan kesehatan di RSUD tersebut. Sebelum menjabarkan letak permasalahan dan analisisnya, akan sedikit diulas mengenai retribusi itu sendiri. Berdasarkan Peraturan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah, yang dimaksud dengan retribusi daerah yang selanjutnya disebut retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian perizinan tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Perbedaan mendasar antara pajak dan retribusi adalah terletak pada timbal balik langsung. Untuk pajak tidak ada timbal balik langsung kepada para pembayar pajak,

sedangkan untuk retribusi ada timbal balik langsung dari penerima retribusi kepada penerima retribusi. Retribusi daerah itu sendiri terdiri dari retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu, adapun retribusi pelayanan kesehatan itu sendiri termasuk ke dalam jenis retribusi jasa umum. Menurut Peraturan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah, yang dimaksud dengan Retribusi Jasa Umum itu sendiri adalah retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Retribusi pelayanan kesehatan itu sendiri ditujukan untuk menutup biaya

penyelenggaraan pelayanan kesehatan dan tidak bertujuan mencari keuntungan. Kita sendiri mengetahui bahwa kebutuhan akan kesehatan merupakan kebutuhan dasar bagi semua orang. Oleh karena itu Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggungjawab atas tersedianya pelayanan kesehatan yang memadai dengan biaya yang relatif murah jika dibandingkan dengan Rumah Sakit yang dikelola oleh pihak swasta, sehingga dapat terjangkau oleh lapisan masyarakat berpenghasilan rendah. Bahwa pemungutan retribusi pelayanan kesehatan pada Rumah Sakit Umum Dokter Mohamad Soewandhie idealnya bertujuan untuk menutup biaya penyelenggaraan pelayanan kesehatan dan tidak bertujuan mencari keuntungan serta ditetapkan berdasarkan asas gotongroyong dan keadilan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat berpenghasilan rendah. Dan biaya penyelenggaraan kesehatan pada Rumah Sakit Umum Dokter Mohamad Soewandhie ditanggung bersama oleh Pemerintah Daerah dan masyarakat dengan memperhatikan kemampuan keuangan Daerah dan keadaan sosial ekonomi masyarakat. Adapun Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Pelayanan Kesehatan Pada Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Soewandhi itu sendiri ditetapkan sebagai pengganti dari Peraturan DaerahKotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 15 Tahun 1999 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan. Peraturan daerah inilah yang mengatur bagaimana tarif retribusi pelayanan kesehatan di RSUD tersebut. Hal ini dilakukan dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat, khususnya pelayanan kesehatan yang dilaksanakan oleh Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Mohamad Soewandhie. Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada masyarakat.

Akan tetapi ketika melihat kepada kondisi di lapangan, masih terdapat penyimpangan terhadap peraturan daerah tersebut yaitu adanya sejumlah penyimpangan mengenai tarif layanan kesehatan di RSUD dr Soewandhi. Penyimpangan-penyimpangan di RSUD dr Soewandhi itu di antaranya: 1. retribusi tarif pelayanan di intalasi rawat darurat (IRD). Jika sesuai Perda maka tarifnya Rp7.000, sedangkan tarif yang ditetapkan SK Direktur RSUD dr Soewandhi menjadi Rp17.000. Sedangkan tarif pelayanan di poli penyakit dalam dari Rp 4.000 menjadi Rp 9.000. 2. pendapatan hasil operasi bagian bedah dikenakan beban sebesar 10 persen oleh pihak manajemen tanpa bukti dan dasar Perda. Bahkan uang Askeskin juga dipotong 25 persen untuk disetor ke Fakultas Kedokteran Unair. Meskipun pihak Fakultas Kedokteran mengaku tak pernah menerima uang tersebut. 3. pasien yang berobat ke RSUD juga dikenakan biaya tambahan seperti pemakaian sarung tangan atau jasa spesialis yang ternyata tak diatur dalam Perda. Pungutan pemerintah itu ada dua yaitu pajak dan retribusi, yang dilakukan oleh RSUD Soewandie adalah pungutan liar 4. pihak manajemen juga menaikan retribusi atau karcis loket, menaikkan tarif laborat, dan menaikkan tarif Radiologi 5. Koperasi RS ditutup dengan paksa dan kegiatannya diambil alih oleh pihak manajemen. Terutama pengelolaan keuangan apotik yang tak transparan dan pendapatan yang tak pernah diserahkan ke Pemkot. 6. jasa pelayanan dokter setempat dipotong tanpa adanya bukti dari kantor pajak. Seperti halnya honor dokter di RSUD dr Soewandhi. Salah satunya dialami dr Widya Noer (spesialis penyakit dalam) golongan IV/C yang semula mendapat Rp 2 juta, namun dipotong PPH 21 sebesar 15 persen (Rp300 ribu). Sehingga honor bersih yang diterima hanya Rp1,7 juta saja. Pemotongan pajak jasa pelayanan oleh manajemen ini telah berlangsung selama 3 tahun. Bahkan tanda bukti pembayaran pajak juga tak pernah diberikan meski telah ditanyakan karyawan. Diperkirakan pemotongan pajak oleh manajemen RSUD telah mencapai Rp 80 hingga Rp 90 juta. (Surabayapagi.com)

Berdasarkan uraian masalah-masalah tersebut kita bisa melihat bahwa manajemen RSUD ini telah melanggar Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Pelayanan Kesehatan Pada Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Mohamad Soewandhi, diantaranya telah melanggar pasal-pasal sebagai berikut: 1. pasal 13 poin a, Dalam memberikan pelayanan kesehatan, RSUD mempunyai kewajiban : mematuhi peraturan perundangan-undangan dan ketentuan yang dikeluarkan oleh pemerintah / pemerintah daerah dalam hal ini palaksanaan pelayanan kesehatan oleh manajemen RSUD dr. Soewandhi ini telah menyalahi Perda yang berlaku 2. pasal 16 poin g, Dokter yang bertugas di RSUD mempunyai hak : mendapatkan imbalan atas jasa profesi yang diberikannya berdasarkan perjanjian dan/atau ketentuan/peraturan yang berlaku di RSUD di dalam lapangan sendiri, honor atas jasa pelayanan dokter dipotong sampai 300.000 tanpa adanya kejelasan bukti dan transparansi pemotongan pajak . 3. pasal 27 ayat 4, Rincian besaran tarif retribusi pelayanan rawat inap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah sebagaimana dinyatakan dalam Lampiran Peraturan Daerah ini di mana di dalam lampiran ditentukan bahwa retribusi tarif pelayanan di intalasi rawat darurat (IRD) sebesar Rp 7.000, sedangkan pada praktiknya pasien dikenakan biaya sebesar Rp 17.000

Selain itu, pihak manajemen RSUD ini pun telah melakukan tindakan-tindakan yang tidak dicantumkan di dalam Perda sebagaimana telah dijabarkan dalam uraian masalah di atas yang tentunya telah menyimpang dari aturan yang berlaku karena apa-apa yang dilakukan oleh RSUD ini dalam melakukan pelayanan kesehatan kepada publiknya haruslah beradasarkan kepada Peraturan Daerah yang berlaku dalam hal ini adalah Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2008 Kota Surabaya Tentang Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Mohamad Soewandhi. Meskipun terjadi penggelembungan biaya retribusi dan penyelewengan-penyelewengan mengenai tarif biaya yang diberlakukan, ironisnya, pendapatan RSUD tersebut jarang sekali mampu memenuhi target. Hal ini mengindikasikan bahwa dana hasil penyelewengan ini teralokasikan bagi pihak-pihak tertentu dan tidak dialokasikan bagi RSUD untuk menutupi biaya operasional dan meningkatkan pelayanan kesehatannya itu sendiri.

Kondisi seperti ini tentunya akan memberikan imlikasi-implikasi negatif terhadap mekanisme keuangan daerah di Kota Surabaya juga bisa menimbulkan kesan negatif dari masyarakat terhadap pelayanan dari rumah sakit umum daerah tersebut. Bagaimanapun

melakukan pelayanan yang tidak menuruti tata aturan yang berlaku merupakan hal yang salah. Penggelembungan tarif retribusi dan berbagai penyelewengan yang telah diuraikan sebelumnya pun telah sangat merugikan masyarakat pengguna jasa RSUD tersebut, khususnya bagi masyarakat yang kurang mampu. Sebagaimana kita ketahui, salah satu kriteria umum tentang perpajakan dan retribusi daerah adalah pajak dan retribusi tersebut jangan sampai menimbulkan non-distorsi terhadap perekonomian : implikasi pajak atau pungutan yang hanya menimbulkan pengaruh minimal terhadap perekonomian. Memang pada dasarnya setiap pajak, retribusi, atau pungutan akan menimbulkan suatu beban baik bagi konsumen maupun produsen. Akan tetapi jangan sampai suatu pajak, retribusi, atau pungutan menimbulkan beban tambahan (extra burden) yang berlebihan, sehingga akan merugikan masyarakat secara menyeluruh (deadweight loss). Kasus yang terjadi di RSUD dr. Soewandhi ini nyatanya telah merugikan masyarakat yang menggunakan pelayanan di rumah sakit tersebut secara keseluruhan. Adapun jika dianalisis lebih lanjut, penyimpangan-penyimpangan Perda No. 9 Tahun 2008 Kota Surabaya Tentang Pelayanan Kesehatan pada RSUD Dokter Mohamad Soewandhi ini bisa disebabkan oleh: 1. Pengawasan keuangan daerah yang lemah Mengingat penyimpangan-penyimpangan ini telah berlaku cukup lama (sekitar 3 tahun) berarti dapat diindikasikan adanya system pengawasan yang lemah baik dari DPRD setempat maupun dari badan pengawas lainnya yang bertanggung jawab mengawasi RSUD tersebut. lemahnya pengawasan sehingga besar kemungkinan banyak dana retribusi yang menguap dilapangan. 2. Kurangnya Transparansi dan Akuntabilitas Transparansi dan akuntabilitas merupakan poin penting dalam pengelolaan keuangan daerah yang bersih. Selama ini manajeman RSUD itu sendiri terkesan menutup-nutupi data dan informasi yang seharusnya dapat diakses oleh publiknya. 3. Ketidaktahuan Masyarakat Ketidaktahuan masyarakat di sini adalah ketidaktahuan masyarakat dalam hal tarif retribusi yang seharusnya diberlakukan sesuai dengan perda yang mengatur, sehingga

masyarakat tidak menyadari bahwa tarif retribusi yang diberlakukan telah dinaikkan secara tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal seperti ini bisa disebabkan karena kurangnya sosialisasi pemerintah akan Perda yang telah dibuat sehingga masyarakat tidak begitu mengetahui hak-haknya dalam pelayanan serta berapa tarif retribusi sebenarnya yang harus dibayarkan. Padahal Walikota Surabaya itu sendiri telah menginstruksikan untuk mesnsosialisasikan Perda No. 9 tahun 2008 ini melalui instruksi Walikota no. 2 tahun 2009. Banyaknya prosedur yang harus dilakukan pengguna jasa RSUD ini yang sebenarnya tidak ada dalam perda sebenarnya juga tidak diketahui masyarakat. Oleh karena itu, sosialisasi mengenai Perda yang dibuat oleh pemerintah kepada masyarakat adalah penting, khususnya guna menciptakan pengelolaan keuangan daerah yang bersih dan terawasi masyarakat. 4. Kurangnya Etika dari pemberi pelayanan dalam penyelenggaraan pengelolaan pemungutan retribusi dan pelayanan yang sesuai dengan Peraturan Daerah yang berlaku Etika di sini menunjuk pada moral dan kesadaran dari pihak manajemen RSUD dr. Soewandhi ini dalam mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta masih adanya mental korup dari pihak manajeman melalui penggelembungan tarif retribusi pelayanan kesehatan, yang hasilnya masuk ke dalam kas-kas individu atau kelompok tertentu. Dari uraian tersebut kita bisa melihat bahwa penyimpangan-penyimpangan yang terjadi, khususnya penggunaan tarif retribusi yang tidak sesuai dengan perda serta adanya prosedural yang harus dijalankan pasien yang tidak ada dasar hukumnya dalam peraturan daerah telah memutus intisari maupun tujuan dari peembentukan rumah sakit umum daerah itu sendiri yaitu untuk menyediakan pelayanan kesehatan yang memadai dengan biaya yang relatif murah jika dibandingkan dengan Rumah Sakit yang dikelola oleh pihak swasta, sehingga dapat terjangkau oleh lapisan masyarakat berpenghasilan rendah. Dengan adanya penggelembungan retribusi dan adanya biaya-biaya lain yang harus dibayarkan oleh pengguna jasa yang sebenarnya tidak sesuai dengan peraturan daerah justru telah merugikan masyarakat itu sendiri, khususnya masyarakat yang berpenghasilan rendah. Untuk mengatasi penyimpangan-penyimpangan tersebut dapat dilakukan dengan melakukan pengawasan yang lebih intensif, yang tentunya diharapkan penyimpanganpenyimpangan tersebut dapat segara bisa dihentikan. Adapun berdasarkan artikel yang saya

dapat Sejumlah penyimpangan mengenai tarif layanan kesehatan di RSUD dr Soewandhi, akhirnya disikapi dengan tegas oleh DPRD Kota Surabaya. Wakil rakyat ini mencabut Surat Keputusan (SK) dari direktur rumah sakit milik Pemkot Surabaya yang mengatur arif itu dicabut. Sebab, SK itu dinilai melanggar Perda nomer 9 tahun 2008 yang mengatur tentang retribusi pelayanan kesehatan di RSUD dr Sowandhi tersebut. Tentunya hal ini akan menjadi langkah besar, setelah sebelumnya pengawasan mengenai pelaksanaan pengelolaan retribusi pelayanan kesehatan di RSUD tersebut begitu kurang terlihat. Diharapkan dengan pencabutan SK tersebut, pihak manajemen RSUD dr Soewandhi ini bisa menarik retribusi pelayanan kesehatan sesuai dengan Perda yang berlaku, tidak membebani masyarakat yang menggunakan jasa RSUD tersebut dengan biaya-biaya yang tidak ada dasar hukumnya, serta tidak melakukan penyimpangan-penyimpangan lainnya yang tidak sesuai dengan apa yang dicantumkan dalam Perda. Pemberian sanksi yang tegas pun dapat memberikan efek jera bagi pihak-pihak yang telah melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, untuk mengurangi tindakan-tindakan yang menyimpang dari Perda, dibutuhkan suatu sosialisasi yang efektif terhadap masyarakat mengenai substansi dari Peraturan Daerah yang mengatur tarif retribusi pelayanan kesehatan serta bagaimana prosedur mengenai pelayanan kesehatan yang sesuai denan peraturan yang berlaku. Hal ini akan membuat masyarakat lebih tahu dan sadar akan hak dan kewajibannya ketika mendapatkan pelayanan kesehatan di RSUD dr. Soewandhi tersebut. Jika masyarakat lebih kritis dan tahu mengenai apaapa yang tercantum di dalam peraturan yang berlaku, maka tingkat penyimpangan yang dilakukan oleh manajemen RSUD ini lebih dapat diminimalisir. Dengan kata lain, masyarakat dapat ikut mengawasi jalannya pengelolaan pemungutan retribusi dan hal-hal lainnya berkenaan pelayanan di rumah sakit tersebut sesuai dengan Perda, jika ditemukan penyimpangan, masyarakat bisa melaporkan penyimpangan tersebut melalui prosedur tertentu. Dengan adanya pengelolaan pajak dan retribusi yang benar tentunya akan menyokong Pendapatan Asli Daerah di Kota Surabaya itu sendiri. Dengan PAD yang terkelola dengan baik diharapkan akan dapat berpengaruh positif terhadap pemenuhan kebutuhan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.

Kesimpulan

Dengan melihat Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pelayanan Kesehatan pada Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soewandhi yang didalamnya juga mengatur mengenai retribusi pelayanan kesehatan di RSUD tersebut serta dengan membandingkannya dengan kondisi lapangan maka kita bisa melihat berbagai permasalahan sebagai berikut: 1. retribusi tarif pelayanan di intalasi rawat darurat (IRD). Jika sesuai Perda maka tarifnya Rp7.000, sedangkan tarif yang ditetapkan SK Direktur RSUD dr Soewandhi menjadi Rp17.000. Sedangkan tarif pelayanan di poli penyakit dalam dari Rp 4.000 menjadi Rp 9.000. 2. pendapatan hasil operasi bagian bedah dikenakan beban sebesar 10 persen oleh pihak manajemen tanpa bukti dan dasar Perda. Bahkan uang Askeskin juga dipotong 25 persen untuk disetor ke Fakultas Kedokteran Unair. 3. pasien yang berobat ke RSUD juga dikenakan biaya tambahan seperti pemakaian sarung tangan atau jasa spesialis yang ternyata tak diatur dalam Perda 4. pihak manajemen juga menaikan retribusi atau karcis loket, menaikkan tarif laborat, dan menaikkan tarif Radiologi 5. pengelolaan keuangan apotik yang tak transparan dan pendapatan yang tak pernah diserahkan ke Pemkot. 6. jasa pelayanan dokter setempat dipotong tanpa adanya bukti dari kantor pajak. Permasalahan-permasalahan tersebut telah melanggar Perda No 9 tahun 2008 tersebut terutama pada pasal 13 poin a, pasal 16 poin g, dan pasal 27 ayat 4. Selain itu manajemen RSUD ini pun telah memberlakukan retribusi atau pungutan-pungutan terhadap masyarakat pengguna jasa yang tidak didasarkan atas Perda. Penyimpangan-penyimpangan tersebut dapat disebabkan oleh: 1. Pengawasan keuangan daerah yang lemah 2. Kurangnya Transparansi dan Akuntabilitas 3. Ketidaktahuan Masyarakat karena minimnya sosialisasi mengenai Perda yang berlaku 4. Kurangnya Etika dari pemberi pelayanan dalam penyelenggaraan pengelolaan pemungutan retribusi dan pelayanan yang sesuai dengan Peraturan Daerah yang berlaku

Adapun penyimpangan-penyimpangan tersebut dapat diminimalisis dengan cara melakukan pengawasan yang lebih intensif dan melakukan sosialisasi mengenai Perda yang berlaku kepada masyarakat. Dengan adanya pengelolaan pajak dan retribusi yang benar tentunya akan menyokong Pendapatan Asli Daerah di Kota Surabaya itu sendiri. Dengan PAD yang terkelola dengan baik diharapkan akan dapat berpengaruh positif terhadap pemenuhan kebutuhan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.

You might also like