You are on page 1of 62

www.ginandjar.

com 4l

Pengertian Administrasi dan Pembangunan Ada berbagai pengertian mengenai administrasi. Yang paling mendasar adalah pengertian dari Waldo, yang menyatakan bahwa administrasi negara adalah species dari genus administrasi, dan administrasi itu sendiri berada dalam keluarga kegiatan kerjasama antarmanusia. Waldo (1992) menyatakan yang membedakan administrasi dengan kegiatan kerjasama antarmanusia lainnya adalah derajat rasionalitasnya yang tinggi. Derajat rasionalitas yang tinggi ini ditunjukkan oleh tujuan yang ingin dicapai serta cara untuk mencapainya. Administrasi negara berkenaan dengan administrasi dalam lingkup negara, sering kali pula diartikan sebagai pemerintah. Seperti halnya dalam genusnya, administrasi, adanya tujuan yang ingin dicapai merupakan konsep yang mendasar pula dalam administrasi negara. Tujuan itu sendiri tidak perlu hanya satu; pada setiap waktu, tempat, bidang, atau tingkatan, bahkan kegiatan tertentu, terdapat tujuan-tujuan tertetu. Tetapi sebagai negara tentu harus ada asas, pedoman, dan tujuan, yang menjadi landasan kerja administrasi negara. Pada umumnya (meskipun tidak semuanya) gagasan-gagsan dasar tersebut ada dalam konstitusi negara yang bersangkutan. Pengertian pembangunan dapat ditinjau dari berbagai segi. Kata pembangunan sedara sederhana sering diartikan sebagai proses perubahan ke arah keadaan yang lebih baik. Seperti dikatan oleh Seers (1969) di sini ada pertimbangan nilai (value judgment). Atau menurut Riggs (1966) ada orientasi nilai yang menguntungkan (favourable value orientation). Namun, ada perbedaan antara arti pembangunan dan perkembangan. Pembangunan adalah perubahan ke arah kondisi yang lebih melalui upaya yang dilakukan secara terencana, sedangkan perkembangan adalah perubahan yang dapat lebih baik atau lebih buruk, dan tidak perlu ada upaya tertentu. Adanya upaya yang diselenggarakan secara berencana, merupakan unsur penting dalam pembangunan. Hal ini mengingat adanya pandangan bahwa perubahan sosial adalah hukum sejarah yang akan terjadi dengan sendirinya walaupun tanpa upaya. Dalam kata pembangunan, hal yang sangat pokok yaitu adanya hakikat membangun, yang beralawanan dengan merusak. Oleh karena itu, perubahan ke arah keadaan yang lebih baik seperti yang diinginkan dan dengan upaya yang terencana, harus dilakukan melalui jalan yang tidak merusak, tetapi justru mengoptimalkan sumber daya yang tersedia dan mengembangkan potensi yang ada. Pembangunan menjadi bahan kajian berbagai disiplin ilmu, terutama setelah Perang Dunia Kedua (PD II), dengan lahirnya banyak negara baru yang semula merupakan wilayah jajahan. Pembangunan telah menjadi bahan studi ilmu ekonomi, politik, sosial, dan administrasi, dan telah berkembang pula sebagai studi multidisiplin dengan pendekatan dari berbagai cabang ilmu pengetahuan. Pembangunan sering dikaitkan dengan modernisasi dan industrialisasi. Seperti dikatakan Gouled (1977), ketiga-tiganya menyangkut proses perubahan. Pembangunan adalah salah satu bentuk perubahan sosial, modernisasi adalah suatu bentuk khusus (special case) dari pembangunan, dan industrialisasi adalah salah satu segi (a single facet) dari pembangunan. Dari pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa pembangunan lebih luas sifatnya dari pada modernisasi, dan modernisasi lebih luas dari pada industrialisasi. Seperti dikatakan Rutow (1967), modernisasi adalah proses yang mencakup perubahan-perubahan yang spesifik, termasuk industrialisasi, yang menunjukkan pengusaan yang lebih luas atas alam melalui kerjasama.

Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan


www.ginandjar.com 5 yang lebih erat antar manusia. Black, et al. (1975), melukiskan modernisasi sebagai proses di mana terjadi transformasi masyarakat sebagai dampak revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi. Proses

transformasi dari masyarakat agaris ke masyarakat industri adalah salah satu indikasi dari proses industrialisasi. Berkaitan pula dengan pembangunan adalah pembaharuan, yang juga merupakan suatu bentuk perubahan ke arah yang dikehendaki, tetapi lebih berkait dengan nilai-nilai atau sistem nilai. Pembangunan dengan demikian juga berarti pembaharuan, meskipun pembaharuan tidak selalu harus berarti pembangunan. Dengan tidak mengabaikan sumbangan disiplin ilmu sosial lain terhadap studi pembangunan, kajian bidang ekonomi memberikan dampak paling besar terhadap konsep-konsep pembangunan. Konsep-konsep Pembangunan Pembangunan, menurut literatur-literatur ekonomi pembangunan, sering didefinisikan sebagai suatu proses yang berkesinambungan dari peningkatan pendapatan riil per kapita melalui peningkatan jumlah dan produktivitas sumber daya. Teori pertumbuhan ekonomi dapat ditelusuri setidak-tidaknya sejak abad ke-18. Menurt Adam Smith (1776) proses pertumbuhan diawali apabila perekonomian mampu melakukan pembagian kerja (division of labor). Division of labor akan meningkatkan produktivitas yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan. Adam Smith juga mengarisbawahi pentingnya sekala ekonomi. Dengan meluasnya pasar, akan terbuka inovasi-inovasi baru yang pada gilirannya akan mendorong perluasan pembagian kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Setelah Adam Smith, muncul pemikiran-pemikiran yang berusaha mengkaji batas-batas pertumbuhan (limits to growth), antara lain Malthus (1798) dan Ricardo (1917). Setelah Adam Smith, Malthus, dan Ricardo yang disebut sebagai aliran klasik, berkembang teori pertumbuhan ekonomi modern dengan berbagai variasinya. Pada intinya teori ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu yang menekankan pentingnya (1) akumulasi modal (physical capital formation) dan (2) peningkatan kualitas dan investasi sumber daya manusia (human capital). Salah satu dampaknya yang besar dan berlanjut hingga sekarang adalah model pertumbuhan yang dikembangkan oleh Harrod (1948) dan Domar (1946). Pada intinya model ini berpikjak pada pandangan Keynes (1936) yang menekankan pentingnya aspek permintaan dalam mendorong pertumbuhan jangka panjang. Dalam model HarrodDomar, pertumbuhan ekonomi akan ditentukan oleh dua unsur pokok, yaitu tingkat tabungan (investasi) dan produktivitas kapital (capital output ratio). Agar dapat tumbuh secara berkelanjutan, masyarakat dalam suatu perekonomian harus mempunyai tabungan yang merupakan sumber investasi. Makin besar tabungan , makin besar investasi, dan makin tinggi pertumbuhan ekonomi. Apabila Harrod-Domar memberi tekanan pada pentingnya peranan modal, Arthur Lewis (1954) dengan model surplus of labor-nya memberikan tekanan pada peranan jumlah penduduk. Dalam model ini diasumsikan terdapat penawaran tenaga kerja yang sangat elastis. Ini berarti para pengusaha dapat meningkatkan produksinya dengan mempekerjakan tenaga kerja yang lebih banyak tanpa harus menikkan tingkat upahnya. Meningkatnya pendapatan yang diperoleh kaum pemilik modal akan mendorong investasi-investasi baru, karena kelompok ini mempunyai hasrat menabung dan menanam modal (marginal propensity to save invest) yang lebih tinggi dibanding kaum pekerja. Tingkat investasi yang tinggi pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Sementara itu berkembang sebuah model pertumbuhan yang disebut neo-klasik. Teori pertumbuhan neo-klasik mulai memasukan unsur teknologi yang diyakini akan berpengaruh dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara (Solow, 1957). Dala teori neo-klasik, teknologi dianggap sebagai faktor eksogen yang tersedia untuk dimanfaatkan oleh semua negara di dunia. Dalam perekonomia yang terbuka, di mana semua faktor produksi dapat berpindah secara leluasa dan teknologi dapat dimanfaatkan oleh semua negara, maka pertumbuhan semua negara di dunia akan konvergen, yang berarti

kesenjangan akan berkurang. Teori pertumbuhan selanjutnya mencoba menemukan fakto-faktor lain di luar modal dan tenaga kerja, yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Salah satu teori berpendapat bahwa investasi sumber daya manusia mempunyai pengaruh yang besar terhadap peningkatan produktivitas. Menurut Becker (1964) peningkatan produktivitas tenaga kerja ini dapat didorong melalui pendidikan dan pelatihan serta peningkatan derajat kesehatan. Teori human capital ini selanjutnya diperkuat dengan berbagai studi empiris antara lain untuk Amerika Serikat oleh Kendrick (1976). Selanjutnya, pertumbuhan yang bervariasi di antara negara-negara yang membangun melahirkan pandangan bahwa teknologi bukan faktor eksogen, tapi faktor endogen yang dapat dipengaruhi oleh berbagai variabel kebijaksanaan (Romer, 1990). Sumber pertumbuhan dalam teori endogen adalah meningkatnya stok pengetahuan dan ide baru dalam perekonomian yang mendorong tumbuhnya daya cipta, kreasi, inisiatif, yang diwujudkan dalam kegiatan inovatif dan produktif. Ini semua menuntut kualitas sumber daya manusia yang meningkat. Transformasi pengetahuan dan ide baru tersebut dapat terajadi melalui kegiatan perdagangan www.ginandjar.com 6 internasional, penanaman modal, lisensi, konsultasi, dan komunikasi. Mengenai peran perdagangan dalam pertumbuhan, Nurkse (1953) menunjukkan bahwa perdagangan merupakan mesin pertumbuhan selama abad ke-19 bagi negara-negara yang sekarang termasuk dalam kelompok negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia Baru. Pada abad itu kegiatan industri yang termaju terkonsentrasi di Inggris. Pesatnya perkembngan industri dan pertumbuhan penduduk di Inggris yang miskin sumber alam telah meningkatkan permintaan bahan baku dan makanan dari negara-negra yang disebut diatas. Dengan demikian pertumbuhan yang terjadi di Inggris menyebar ke negara lain melalui perdagangan internasional. Kemudian kita melihat bahwa kamajuan ekonomi di negara-negara industri baru yang miskin sumber alam di belahan kedua abad ke-20, seperti Korea, Taiwan, Hongkong, dan Singapura, juga didorong oleh perdagangan internasional. Dalam kelompok teori pertumbuhan ini ada pandangan penting yang dianut oleh banyak pemikir pembangunan, yaitu teori tahapan pertumbuhan. Dua di antara yang penting adalah dari Rostow (1960) dan Chenery-syrquin (1975). Menurut Rostow, transformasi dari negara terbelakang menjadi negara maju dapat dijelaskan melalui urutan tingkatan atau tahap pembangunan. Rostow mengemukakan 5 tahap yang dilalui oleh suatu negara dalam proses pembangunannya, yaitu tahap traditional society, preconditions for growth, the take-off, the drive to maturity, dan the age of high

mass-cosumption. Menurut Chenery dan Syrquin (1975), yang merupakan perkembangan pemikiran dari Collin Clark dan Kuznets, perkembangan perekonomian akan mengalami transformasi (konsumsi, produksi, dan lapangan kerja), dari perekonomian yang didominasi sektor pertanian menjadi didominasi sektor industri dan jasa. Salah satu harapan atau anggapan dari pengikut aliran teori pertumbuhan adalah bahwa hasil pertumbuhan akan dapat dinikmati masyarakat sampai di lapisan yang palig bawah. Namun, pengalaman pembangunan dalam tiga dasawarsa (1940-1970) menunjukkan bahwa rakyat di lapisan bawah tidak senantiasa menikmati cucuranhasil pembangunan seperti yang diharapkan. Bahkan dibanyak negara kesenjangan makin melebar. Hal ini disebabkan, meskipun pendapatan dan konsumsi mungkin meningkat, namun kelompok masyarakat yang sudah baik keadaannya dan lebih mampu memanfaatkan kesempatan, antara lain karena posisinya yang meguntungkan (privileged), akan memperoleh semua atau sebagian besar hasil pembangunan. Dengan demikian, yang kaya semakin bertambah kaya dan yang miskin tetap miskin bahkan dapat menjadi lebih miskin. Oleh karena itu, berkembang berbagai pemikiran untuk mencari alternatif lain terhadap pradigma yang semata-mata meberi penekanan kepada pertumbuhan, antara lain berkembang kelompok pemikiran yang disebut pradigma pembangunan sosial, yang tujuannya adalah menyelenggarakan pembangunan yang lebih berkeadilan. Salah satu metode yang umum digunakan dalam menilai pengaruh pembangunan terhadap kesejahteraan masyarakat adalah dengan mempelajari distribusi pendapatan. Pembagian pendapatan berdasarkan kelaskelas pendapatan dapat diukur dengan kurva Lorenz atau indeks Gini. Selain distribusi pendapatan, dampak dan hasil pembangunan juga dapat diukur dengan melihat tingkat kemiskinan (poverty) di suatu negara. Berbeda dengan distribusi pendapatan yang menggunakan konsep relatif, analisis yang mengenai tingkat kemiskinan menggunakan konsep absolut atau kemiskinan absolut. Meskipun pembangunan harus berkeadilan, namun disadari bahwa pertumbuhan tetap penting. Upaya memadukan konsep pertumbuhan dan pemerataan merupakan tantangan yang jawabanya tidak henti-hentinya dicari dalam studi pembangunan. Sebuah model, yang dinamakan pemerataan dengan pertumbuhan atau redistribution with growth (RWG) dikembangkan berdasarkan suatu studi yang disponsori oleh Bank Dunia pada tahun 1974 (Chenery, et al.). Ide dasarnya adalah pemerintah harus mempengaruhi pola pembangunan sedemikian rupa sehingga produsen yang berpendapatan rendah (yang di banyak negara berlokasi di perdesaan dan produsen kecil di perkotaan) akan mendapat kesempatan meningkatkan pendapatan dan secara simultan menerima sumber ekonomi yang diperlukan.

Masih dalam rangka mencari jawaban terhadap tantangan paradigma keadilan dalam pembangunan, berkembang pendekatan kebutuhan dasar manusia atau basic human needs (BHN) (Streeten, et al, 1981). Stategi BHN disusun untuk menyediakan barang dan jasa dasar bagi masyarakat miskin, seperti makanan pokok, air dan sanitasi, perawatan kesehatan, pendidikan dasar, dan perumahan. Walaupun RWG and BHN mempunyai tujuan yang sama, tetapi dalam hal kebijaksanaan yang diambil terdapat perbedaan. RWG menekankan pada peningkatan produktivitas dan daya beli masyarakat miskin, sedangkan BHN menekankan pada penyediaan public services disertai jminan bagi masyarakat miskin untuk memperoleh pelayanan tersebut. Masalah pengangguran juga makin mendapat perhatian dalam rangka pembangunan ekonomi yang menghendaki adanya pemerataan. Todaro (1985) mengemukakan, terdapat kaitan yang erat antara pengangguran, ketidakmerataan pendapatan, dan kemiskinan. Pada umumnya mereka yang tidak memperoleh pekerjaan secara teratur termasuk dalam kelompok masyarakat miskin. Mereka yang memperoleh www.ginandjar.com 7 pekerjaan secara terus-menerus adalah yang berpendapatan menengah dan tinggi. Dengan demikian, memecahkan masalah pengangguran dapat memecahkan masalah kemiskinan dan pemerataan pendapatan. Beberapa ahli berpendapat pula bahwa permerataan pendapatan akan meningkatkan penciptaan lapangan kerja (Seers, 1970). Menurut teori ini, barangbarang yang dikonsumsi oleh masyarakat miskin cenderung lebih bersifat padat tenaga kerja dibanding dengan konsumsi masyarakat yang berpendapatan lebih tinggi. Dengan demikian, pemerataan pendapatan akan menyebabkan pergeseran pola permintaan yang pada gilirannya akan menciptakan kesempatan kerja. Dalam rangka perkembangan teori ekonomi politik dan pembangunan perlu dicatat pula bahwa aspek ideologi dan politik turut mempengaruhi pemikiranpemikiran yang berkembang. Salah satu di antaranya adalah teori ketergantungan yang dikembangkan terutama berdasarkan keadaan pembangunan di Amerika Latin pada tahun 1950-an. Ciri utama dari teori ini adalah bahwa analisanya didasarkan pada adanya interaksi antara struktur internal dan eksternal dalam suatu sistem. Menurut teori ini (Baran, 1957), keterbelakangan negaranegara Amarika Latin terjadi pada saat masyarakat perkapitalis tergabung ke dalam sistem ekonomi dunia kapitalis. Dengan demikian, masyarakat tersebut kehilangan otonominya dan menjadi daerah pinggiran (periphery) dari negara metropolitan yang kapitalis. Daerah (negara) penggiran dijadikan daerah-daerah jajahan dari negara-negara metropolitan. Mereka hanya berfungsi sebagai produsen bahan mentah bagi kebutuhan industri daerah (negara) metropolitan, dan sebaliknya

merupakan konsumen barang-barang jadi yang dihasilkan industri-industri di negara-negara metropolitan tersebut. Dengan demikian, timbul struktur ketergantungan yang merupakan rintangan yang hampir tak dapat diatasi serta merintangi pula pembangunan yang mandiri. Ada dua aliran dalam teori ketergantungan. Yaitu aliran Marxis dan Neo-Marxis, serta aliran non Merxis. Aliran Marxis dan Neo-Marxis menggunakan kerangka analisi dari teori Marxis tentang imperialisme. Aliran ini tidak membedakan secara tajam mana yang termasuk struktur internal dan mana struktur eksternal, karena kedua struktur tersebut dipandang sebagai faktor yang berasal dari sistem kapitalis dinia itu sendiri. Selain itu, aliran ini mengambil perspektif perjuangan kelas internasional antara para pemilik modal (para kapitalis) di satu pihak dan kaum buruh dipihak lain. Untuk memperbaiki nasib buruh, perlu diambil prakarsa menumbangkan kekuasaan yang ada. Oleh karena itu, menurut aliran ini, resep pembangunan untuk daerah pinggiran adalah revolusi (Andre Gunder Frank, 1967). Sedangkan aliran kedua melihat masalah ketergantungan dari perspektif ansional atau regional. Menurut aliran ini struktur dan kondisi internal pada umumnya dilihat sebagai faktor yang berasal dari sistim itu sendiri, meskipun struktur internal ini pada masa lampau atau sekarang dipengaruhi oleh fakto-faktor luar negeri (lihat misalnya Theotonio Dos Santos, 1969; Tavares dan Serra, 1974; serta Cariola dan Sunkel, 1982). Oleh karena itu, subyek yang perlu dibangun adalah bangsa atau rakyat dalam suatu negara (nation building). Dalam menghadapi tantangan pembangunan, konsep negara atau bangsa ini perlu dijadikan landasan untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan. Pandangan bahwa pembangunan tidak seyogyanya saja hanya memperhatikan tujuan-tujuan sosial ekonomi, berkembang luas. Masalah-masalah demokrasi dan hakhak asasi manusia menjadi pembicaraan pula dalam kajian-kajian pembangunan (antara lain lihat Bauzon, 1992). Goulet (1977) yang mengkaji falsafah dan etika pembangunan, misalnya, mengetengahkan bahwa proses pembangunan harus menghasilkan (1) terciptanya solidaritas baru yang mendorong pembangunan yang berakar dari bawah (grass-roots oriented), (2) memelihara keberagaman budaya dan lingkungan, dan (3) menjunjung tinggi martabat serta kebebasan manusia dan masyrakat. Dalam pembahasan mengenai berbagai paradigma yang mencari jalan ke arah pembangunan yang berkeadilan perlu diketengahkan pula teori pembangunan yang berpusat pada rakyat. Era pasca industri menghadapi kondisi-kondisi yang sangat berbeda dari kondisi-kondisi era industri dan menyajikan potensi-potensi baru yang penting guna memantapkan pertumbuhan dan kesejahteraan manusia, keadilan, dan kelestarian pembangunan (Korten, 1984). Logika yang dominan dari paradigma ini adalah ekologi manusia yang seimbang dengan sumber-sumber daya yang utama berupa sumber

daya informasi dan prakarsa kreatif yang tak habishabisnya. Tujuan utamanya adalah pertumbuhan manusia yang didefinisikan sebagai perwujudan yang lebih tinggi dari potensi-potensi manusia. Paradigma ini memberi peran kepada individu bukan sebagai obyek, melainkan sebagai pelaku yang menetapkan tujuan, mengendalikan sumber daya, dan mengerahkan proses yang mempengaruhi kehidupannya. Pembangunan yang berpusat pada rakyat menghargai dan mempertimbangkan prakarsa rakyat dan kekhasan setempat. Paradigma terakhir dalam pembahasan ini, yang tidak dapat dilepaskan dari paradigma pembangunan sosial dan berbagai pandangan di dalamnya yang telah dibahas terdahulu, adalah paradigma pembangunan manusia. Menurut pendekatan ini, tujuan utama pembangunan adalah menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan masyarakat menikmati kehidupan yang kreatif, sehat dan berumur panjang. Walaupun tujuan ini sederhana, namun sering terlupakan oleh keinginan untuk meningkatkan akumulasi barang dan modal. Banyak pengalaman pembangunan menunjukkan bahwa kaitan www.ginandjar.com 8 antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia tidaklah terjadi dengan sendirinya. Pengalamanpengalaman tersebut mengingatkan bahwa pertumbuhan produksi dan pendapatan (wealth) hanya merupakan alat, sedangkan tujuan akhir dari pembangunan harus manusianya sendiri. Menurut pandangan ini, tujuan pokok pembangunan adalah memperlus pilihan-pilihan manusia (UI Haq, 1995). Pengertian ini mempunyai dua sisi. Pertama, pembentukan kemampuan/kapabilitas manusia, seperti tercemin dalam kesehatan, pengetahuan, dan keahlian yang meningkat. Kedua, penggunaan kemampuan yang telah dipunyai untuk bekerja, untuk menikmati kehidupan, atau untuk aktif dalam kegiatan kebudayaan, sosial dan politik. Paradigma pembangunan manusia yang disebut sebagai sebuah konsep yang holistik ini mempunyai 4 unsur penting, yakni: (1) peningkatan produktivitas, (2) pemerataan kesempatan, (3) kesinambungan pembangunan, dan (4) pemberdayaan manusia. Konsep ini diprakarsai dan ditunjang oleh United Nation Development Program (UNDP), yang mengembangkan Indeks Pembangunan Manusia dan Human Devlopment Index (HDI). Indeks ini merupakan indikator komposit/gabungan yang terdiri dari 3 ukuran, yaitu: kesehatan (sebagai ukuran longevity), pendidikan (sebagai ukuran knowledge), dan tingkatan pendapatan riil (sebagai ukuran living standards). Demikianlah berbagai aliran pemikiran dalam studi pembangunan, yang berkembang selama ini. Meskipun konsep pembangunan manusia dapat dianggap paling lengkap dan merupakan sintesa dari pendekatanpendekatan sebelumnya, namun tampaknya belum ada satu

pun pendekatan yang dapat memberikan jawaban yang memuaskan bagi semua orang. Masing-masing ada kekuatan dan kelemahannya. Dengan demikian, pendekatan yang terbaik adalah pendekatan yang disesuaikan pada kebutuhan, kondisi dan tingkat perkembangan masing-masing negara. Perkembangan Pemikiran dalam Ilmu Administrasi Negara Sebagaimana disiplin ilmu-ilmu lainnya, dan seperti juga konsep-konsep mengenai pembangunan yang telah diuraikan di atas, ilmu administrasi negara juga berkembang. Selama kurang lebih satu abad, administrasi negara telah mengalami perjalanan yang panjang, dan sebagai disiplin ilmu mengalami pasang surut. Berbagai cara dapat digunakan unutk menganalisis perkembangan konseptual ilmu administrasi negara, antara lain metode pendekatan matriks loccus dan focus (2 x 2 matrix) dari Golembiewski (1977) yang menghasilkan empat fase dalam perkembangan ilmu administrasi negara. Fase-fase tersebut adalah (1) fase perbedaan analitik politik dari administrasi (2) fase perbedaan konkrit politik dari admisnistrasi, (3) fase manajemen, dan (4) fase orientasi terhadap kebijaksanaan publik. Golembiewski juga mengetengahkan adanya tiga paradigma komprehensip dalam perkembangan pemikiranpemikiran ilmu administrasi negara, yakni (1) paradigma tradisional, (2) paradigma sosial psikologi, dan (3) paradigma kemanusiaan (humanist/systemic). Gelombiewski mengajukan kritik terhadap paradigmaparadigma tersebut yang banyak kelemahannya dan meramalkan tumbuhnya gejala anti paradigma. Ia mengetengahkan bahwa yang akan muncul adalah paradigma-paradigma kecil (mini paradigm) Nicholas Henry (1995) menggunakan pendekatan lain. Dengan memperkenalkan pandangan Bailey, bahwa unutk analisis administrasi negara sebagai ilmu harus diterapkan empat teori, yaitu teori deskriptif, normatif, asumtif dan instrumental, Henry mengenali tiga soko guru pengertian (defining pillras) administrasi negara, yaitu: (1) perilaku organisasi dan perilaku manusia dalam organisasi publik, (2) teknologi manajemen dan lembaga-lembaga pelaksana kebijaksanaan, dan (3) kepentingan publik yang berkaitan dengan perilaku etis individual dab urasan publik. Henry mengetengahkan lima paradigma yang dalam administrasi negara, yaitu (1) dikotomi politik/administrasi, (2) prinsip-prinsip administrasi serta tantangan yang timbul dan jawaban terhadap tantangan tersebut, (3) administrasi negara sebagai ilmu politik, (4) administrasi negara sebagai manajemen, (5) administrasi negara sebagai administrasi negara. Berbagai cara pendekatan tersebut perlu dipahami oleh pelajar ilmu administrasi negara. Sejak kelahairannya, pendekatan ilmu administrasi negara selalu berhubungan dengan ilmu politik. Bahkan

esai Woodrow Wilson (1887) dalam The Study of Public Administration yang menjadi cikal bakal ilmu administrasi merupakan upaya untuk menajamkan fokus bidang studi politik, yaitu membuat pemisahan antara politik dengan administrasi. Di tahun-tahun berikutnya ilmu administrasi diperkuat dengan berkembangnya konsep-konsep manajemen, seperti manajemen ilmia dari Taylor (1912), dan organisasi, seperti model organisasi yang disebut birokrasi dari weber (1922). Namun, dalam konteks pembahasan ini, perhatian utama diberikan pada perkembangan pemikiran menuju kelahiran administrasi pembangunan sebagai sebuah konsep. Meskipun telah berkembang sebagai bidang studi tersendiri, administrasi negara masih saja menghadapi kesulitan untuk memisahkan diri dari ilmu politik. Dalam perkembangannya kemudian, mulai ada usaha untuk www.ginandjar.com 9 menghindari dari dikotomi plotik-administrasi yang menandai pandangan-pandangan pada priode sebelumnya dan memberikan perhatian lebih besar pada sisi manajemen dari administrasi. Hal ini antara lain dilakukan oleh White (1926). Berkat White, pendidikan ilmu administrasi berkembang lebih cepat, dengan bukunya Introduction to be Theory of Public Administration, yang selama setengah abad menjadi buku pelajaran (text book) utama bagi dipsiplin ilmu. Sementara itu, pendekatan scientific yang dirintis oleh Taylor (1912) pada masa sebelumnya dan diperkuat antara lain oleh Fayol (1916) dan Gulick (1937), mulai memperoleh tandingan dari para teoritis, yang mulai menerapkan pendekatan hubungan manusia dan ilmu-ilmu prilaku (behavioral sciences) ke dalam teori-teori administrasi dan organisasi. Karya Barnard (1938) yang mengemukakan pandangan mengenai adanya organisasi informal di samping organisasi formal, merupakan contoh dan karya monumental yang sampai sekarang menjadi bahan rujukan yang penting. Selain itu, Maslow (1943) seorang psikolog, mengetengahkan faktor motivasi dalam organisasi, yang tidak semata-mata ekonomi, tetapi juga ada sisi-sisi sosial dan kemanusian lainnya, yang sampai sekarang juga masih dijadikan acuan. PD II membawa perubahan yang besar pada administrasi negara. Program-program sosial yang besar dan pengendalian mesin perang pada PD II telah menampilkan administrasi negara pada tataran yang makin menonjol. Pemikiran yang lahir setelah PD II, yang besar sekali dampaknya pada perkebangan ilmu administrasi, ada dari Simon (1947). Ia mengetengahkan pandangan yang terus melekat dalam perkembangan ilmu ini selanjutnya, yaitu pada intinya administrasi adalah pengambilan keputusan. Namun, di lain pihak, Simon juga mempertanyakan keabsahan administrasi sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Pertanyaan ini memcerminkan berlanjutnya krisis identitas dalam ilmu administrasi, di tengah makin majunya ilmu-ilmu sosial lain, yang di

tunjang oleh peralatan analisis yang makin canggih yang menggunakan pendekatan kuantitatif, khususnya matematika dan statistika. Kompleksitas kehidupan manusia serta institusi-institusi kemasyarakatan dan kenegaraan menyebabkan universalitas dan kemampuan meramal ilmu administrasi mulai dipertanyakan. Padahal, keduanya merupakan dasar untuk tegaknya sbuah disiplin ilmu. Para pakar administrasi negara berusaha mencari jalan ke luar. Selain harus mengenali kompleksitas prilaku manusia, unutk dapat sah menjadi ilmu, menurut Dahl (1947), administrasi negara harus dapat mengatasi persoalan nilai atau norma dan berbagai situasi administrasi, dan memperthitungkan hubungan antara administrasi negara dengan lingkungan sosialnya. Ia menegaskan bahwa administrasi sebagai ilmu perlu mengembangkan studi-studi perbandingan dalam administrasi negara, yang memang pada waktu itu sangat langka sekali. Upaya mengembangkan studi perbandingan administrasi negara dilakukan dengan sungguh-sungguh antara lain dengan dibentuknya Comperative Administration Group (CAG) pada tahun 1960 oleh para pakar administrasi, seperti Jhon D. Montgomery, Wiliam J. Siffin, Dwight Waldo, Geroge F. Grant, Edward W. Weidner, dan Fred W. Riggs. Dari CAG inilah lahir konsep administrasi pembangunan (development administration), sebagai bidang kajian baru. Kelahirannya didorong oleh kebutuhan membangun administrasi negara di negara-negara berkembang. Kritik terhadap prinsip-prinsip administrasi yang berkembang pada masa sebelumnya (pada masa kaum reformis dan ortodoks) terus berlangsung, antara lain datang dari Waldo. Dalam upaya merevitalisasi ilmu administrasi, ia memprakarsai pertemuan sejumlah pakar muda ilmu administrasi, unutk mempelajari masalahmasalah konseptual yang dihadapi ilmu administrasi, dan berusaha memecahkannya. Pertemuan itu dikenal dengan nama Minnowbrook Conferency yang diselengarakan di universitas Syaracuse, Amerika Serikat, tahun 1968. Sementara itu, makin senter suara-suara yang ingin mengaitkan administrasi dengan demokrasi, bahkan demokrasi sudah berkembang menjadi paradigma tersendiri dalam ilmu administrasi. Penganjurnya antara lain adalah Ostrom (1973). Perkembang itu juga melahirkan dorongan untuk menigkatkan desentralisasi dan makin mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Kesemua itu menandakan bergulirnya gerakan yang disebut administrasi negara baru (new public administration) yang sebelumnya lahir di Minnowbrook Conferency, yang esensi dan semangatnya masih terus bergerak hingga kini. Pada dasarnya administrasi negara abru itu ingin mengetengahkan bahwa administrasi tidak boleh bebas nilai dan harus menghayati, memperhatikan, serta

mengatasi masalah-masalah sosial yang mencerminkan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Frederickson (1971), seorang pelopor gerakan ini lebih tegas lagi menyatakan bahwa administrasi negara harus memasukkan aspek pemerataan dan keadilan sosial (sicial equity) ke dalam konsep administrasi. Ia bahkan menegaskan bahwa administrasi tidak dapat netral. Dengan begitu administrasi negara baru harus mengubah pola pikir yang selama ini menghambat terciptanya keadilan sosial. Kehadiran gagasan-gagasan baru itu menggambarkan lahirnya paradigma baru dalam ilmu administrasi. Memasuki dasawarsa 80-an tampil manajemen publik (public managemant) sebagai bidang studi yang makin penting dalam administrasi negara. Manajemen www.ginandjar.com 10 publik yang di masa lalu lebih banyak memberi perhatian pada masalah anggaran dan personil telah berkembang bersama teknologi informasi. Manajemen publik kini juga mencakup manajemen dalam sistem pengambilan keputusan, sistem perencanaan, sistem pengendalian dan pengawasan, serta berbagai aspek lainnya. Selain itu, dunia juga mengalami perubahan besar. Runtuhnya komunisme dan munculnya proses globslisasi telah menimbulkan kebutuhan akan pendekatanpendekatan baru dalam ilmu-ilmu sosial. Memasuki abad ke-21, ilmu-ilmu sosial ditantang, unutk mengikuti kemajuan teknologi yang pesat yang dihasilkan ilmu-ilmu eksakta, meurmuskan apa dampaknya pada kehidupan manusia dalam berbagi sisinya, dan bagaimana mengarahkan agar perkembangan itu menuju ke arah yang menguntungkan bagi umat manusia. Dalam era global ini, persaingan dan kerja sama merupakan tarikan-tarikan besar dalam tata hubungan baru antar manusia dan antar bangsa. Kualitas hidup manusia baik secara perorangan maupun sebagai masyarakat mendapat perhatian yang lebih besar. Karena keterbatasan sumber alam, lingkungan hidup sudah menjadi faktor yang harus diperhitungkan dalam setiap disiplin ilmu. Peran masyrakat dituntut makin besar, dan oleh karena itu privatisasi, deragulasi, dan debirokratisasi menjadi pola pemikiran dan pembahsan yang amat berkembang, termasuk dalam ilmu administrasi. Pemikiran dalam administrasi yang berkembang kemudian adalah administrasi yang partisipatif, yang menempatkan administrasi di tengah-tengah masyrakat dan tidak di atas atau terisolasi darinya (Montgomery, 1988). Pemikiran ini selain ingin menempatkan administrasi sebagai instrumen demokrasi, juga mencoba menggunakan administrasi sebagai alat untuk menyalurkan aspirasi masyrakat bawah. Implikasi lain dari pemikiran tersebut adalah bahwa sistem administrasi memiliki dimensi ruang dan daerah yang penyelenggaraannya juga dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, politik, dan ekonomi. Sistem pemerintahan yang otoriter mempuyai

implikasi berbeda dengan yang demokratik, demikian juga sistem pemerintahan negara federal mempunyai implikasi administratif yang berbeda dengan negara kesatuan. Kesempatan itu menuntut reorientasi peranan pemerintah (baca: birokrasi). Drucker (1989) menegaskan bahwa apa yang dapat dilakukan lebih baik atau sama baiknya oleh masyrakat, hendaknay jangan dilakukan oleh pemerintah. Itu tidak berarti bahwa pemerintah harus besar atau kecil, tetapi pekerjaannya harus efisien dan efektif. Seperti juga dikemukakan oleh Wilson (1989), birokrasi tetap diperlukan, tetapi harus tidak birokratis. Osbone dan Gaebler (1993) mencoba menemukan kembali pemerintah, dengan mengetengahkan konsep entrepreneurial government. Perkembangan pemikiran dalam ilmu administrasi terus berlanjut. Perkembangan yang cukup mendasar telah terjadi dengan munculnay kebijaksanaan publik (public policy) sebagai paradigma administrasi negara. Di dalamnya tercakup politik perumusan kebijaksanaan, teknik analisis kebijaksanaan, serta perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kebijaksanaan. Dari uraian di atas tampak bahwa admisnistrasi negara modern, baik sebagai ilmu maupun dalam praktik, terus berkembang, baik di negara berkembang (sebagai administrasi pembangunan) maupun di negara maju dengan berbagai gerakan pembaharuan. Demikian juga terlihat bahwa ada Konvergensi dari pemikiran-pemikiran yang melahirkan berbagai konsep pembangunan dengan pendangan-pandangan dalam ilmu administrasi yang mengarah pada makin terpusatnya perhatian pada aspek manusia serta nilai-nilai kemanusian yang tercemin dalam berbagai pendekatan yang sedang berkembang. Dengan demikian, berkembang pula pikiran-pikiran mengenai etika administrasi yang sekarang telah menjadi kajian tersendiri dalam ilmu administrasi. Mengingat pentingnya peran etika dalam administrasi pembangunan, perkembangan pemikiran dan kerangka teorinya dibahas tersendiri berikut ini. Etika Administrasi Etika dan Administrasi Dunia etika adalah dunia filsafat, nilai,dan norma. Dunia administrasi adalah dunia keputusan dan tindakan. Etika bersifat abstrak dan berkenan dengan persoalan baik dan buruk, sedangkan administrasi adalah konkrit dan harus mewujudkan apa yang diinginkan (get the job done). Pembicaraan tentang etika dalam administrasi adalah bagaimana mengaitkan keduanya, bagaimana gagsangagasan administrasi--seperti ketertiban,efesiensi, kemanfaatan, produktivitas-dapat menjealaskan etika dalam praktiknya, dan bagaimana gagasan-gagasan dasar etikamewujudkan yang baik dan menghindari yang buruk dapat menjelaskan hakikat administrasi. Sejak dasawarsa tahun 1970-an, etika administrasi telah menjadi bidang studi yang berkembang pesat dalam ilmu administrasi. Nicholas Henry (1995) berpandangan

ada tiga perkembangan yang mendorong berkembangnya konsep etika dalam ilmu administrasi, yaitu (1) hilangnya dikotomi politik-administrasi, (2) tampilnya teori-teori pengambilan keputusan di mana masalah prilaku manusia menjadi tema sentral dibandingkan dengan pendekatan sebelumnya, seperti rasionalitas dan efisiensi, (3) berkembangnya pandangan-pandangan pembaharuan, yang disebut counterculture critique, termasuk di dalamnya kelompok administrasi negara baru seperti yang telah dikemukakan di atas. www.ginandjar.com 11 Kajian-kajian mengenai etika administrasi masih berlangsung hingga saat ini, masih belum terkristalisasi. Hal ini mencerminkan uapya untuk menetapkan identitas ilmu administrasi, yang sebagai dipsiplin ilmu bersifat elektif dan terkait erat dengan dunia praktik, tidak dapat tidak terus berkembang mengikuti perkembangan zaman. Untuk kepentingan pembahasan di sini diikuti jejak Rohr (1989), pakar masalah etika dalam birokrasi, yang menggunakan etika dan moral dalam pengertian yang kurang lebih sama, meskipun untuk kepentingan pembahasan lain, misalnya dari sudut filsafati, memang ada perbedaan. Rohr menyatakan: For the most part, I shaal use the words ethics and morals interchangeably. Although there may be nuances and shades of meaning that differentiate these words, they are derived etymologically from Latin and Greek words with the same meaning. Berbagai kepustakaan dan kamus menunjukkan kata etika berasal dari Yanani ethos yang artinya kebiasaan atau watak; dan moral, dari kata Latin mos (atau mores untuk jamak) yang artinya juga kebiasaan atau cara hidup. Walaupun etika administarasi sebagai subdisiplin baru berkembang kemudian, namun masalah kebaikan dan keburukan sejak awal telah menjadi bagian dari pembahasan dalam administrasi. Misalnya, konsep birokrasi dari Weber, dengan konsep hirarki dan birokrasi sebagai profesi, mencoba menunjukkan birokrasi yang baik dan benar. Begitu juga upaya Wilson untuk memisahkan politik dari administrasi. Bahkan konsep manajemen ilmiah dari Taylor dapat dipandang sebagai upaya ke arah itu. Cooper (1990) justru menyatakan bahwa nilai-nilai adalah jiwa dari administrasi negara. Sedangkan Frederickson (1994) mengatakan nilai-nilai menempati setiap sudut administrasi. Jauh sebelum itu Waldo (1948) menyatakan, siapa yang mempelajari administrasi berarti telah mempelajari nilai, dan siapa yang mempraktikkan administrasi berarti mempraktikkan alokasi nilai-nilai. Peran etika dalam administrasi mengambil wujud yang lebih terang belakangan ini saja, ya kni kurang lebih dalam dua dasawarsa terakhir ini. Masalah etika ini terutama lebih ditampilkan oleh kenyataan bahwa meskipun kekuasaan ada di tangan mereka yang memegang kekuasaan politik (political masters), namun administrasi juga memiliki kewenangan yang secara umum

disebut discretionary power. Persoalannya sekarang adalah apa jaminan dan bagaimana menjamin kewenangan itu digunakan secara benar dan tidak secara salah atau secara baik dan tidak secara buruk. Banyak pembahasan dalam kepustakaan dan kajian subdisiplin etika administrasi yang merupakan upaya untuk menjawab pertanyaan itu. Etika tentu bukan hanya masalah administrasi negara. Ia masalah manusia dan kemanusiaan, dan karena itu sejak lama sudah menjadi bidang studi ilmu falsafat dan juga dipelajari dalam semua bidang ilmu sosial. Di bidang administrasi, etika juga tidak terbatas hanya pada administrasi negara, tetapi juga dalam administrasi niaga, yaitu antara lain disebut sebagai business ethics. Di bidang administrasi negara, masalah etika dalam birokrasi menjadi keprihatinan (concern) yang sangat besar, karena perilaku birokrasi mempengaruhi bukan hanya dirinya, tetapi masyarakat banyak. Selain itu, birokrasi juga bekerja atas dasar kepercayaan, karena seorang birokrat bekerja untuk negara dan berarti juga untuk rakyat. Wajarlah apabila rakyat mengharapkan adanya jaminan bahwa para birokrat yang dibiayanya harus mengabdi kepada kepentingan umum menurut standar etika yang selaras dengan kedudukannya. Selain itu, tumbuh pula keprihatinan bukan saja terhadap individu individu para birokrat tetapi terhadap organisasi sebagai sebuah sistem yang cenderung mengesampingkan nilai nilai. Apalagi birokrasi modern cenderung bertambah besar dan bertambah luas kewenangannya. Appleby (1952) termasuk orang yang paling berpengaruh dalam studi masalah ini. Ia mencoba mengaitkan nilai nilai demokrasi dengan birokrasi dan melihat besarnya kemungkinan untuk memadukannya secara serasi. Namun, Appleby mengakui bahwa dalam praktiknya yang terjadi adalah kebalikannya. Ia membahas patologi birokrasi yang memperlihatkan bahwa birokrasi melenceng dari keadaan yang seharusnya. Golembiewski (1989, 1993) yang juga merujuk pada pandangan Appleby, selanjutnya mengatakan bahwa selama ini organisasi selalu dilihat sebagai masalah teknis dan bukan masalah moral, sehingga timbul berbagai persoalan dalam bekerjanya birokrasi pemerintah. Hummel (1977, 1982, 1987) mengritik birokrasi rasional ala Weber dengan mengatakan bahwa birokrasi yang disebut sebagai bentuk organisasi yang ideal, telah merusak dirinya dan masyarakatnya dengan ketiadaan norma norma, nilai nilai dan etika dan masyarakatnya dengan ketiadaan norma norma, nilai nilai, dan etika yang berpusat pada manusia. Sementara Hart (1994) antara lain mengungkapkannya sebagai berikut : For too long, the management orthodoxy has taken as axiomatic the proposition that good systems will produce good people, and that ethical problems will yield to better systems design. But history is clear that a just society depends more upon the moral trustworhiness of its citizens and its leaders than upon structures designed to

transform ignoble actions into socially useful results. Systems are importany, but good character is more important. As a result, management scholars and practitioners are giving increasing attention to administrative ethics www.ginandjar.com 12 Pendekatan Secara garis besar ada dua pendekatan yang dapat diketengahkan untuk mewakili banyak pandangan mengenai administrasi negara yang berkaitan dengan etika, yaitu (1) pendekatan teleologi, dan (2) pendekatan deontologi. Pertama, pendekatan teleologi. Pendekatan teleologi terhadap etika administrasi berpangkal tolak bahwa apa yang baik dan buruk atau apa yang seharusnya dilakukan oleh administrasi, acuan utamanya adalah nilai kemanfaatan yang akan diperoleh atau dihasilkan, yakni baik atau buruk dilihat dari konsekuensi keputusan atau tindakan yang diambil. Dalam konteks administrasi negara, pendekatan teleologi mengenai baik dan buruk ini, diukur antara lain dari pencapaian sasaran kebijaksanaan kebijaksanaan kebijaksanaan publik (seperti pertumbuhan ekonomi, pelayanan kesehatan, kesempatan untuk mengikuti pendidikan, kualitas lingkungan), pemenuhan pilihan pilihan masyarakat atau perwujudan kekuasaan organisasi, bahkan kekuasaan perorangan kalau itu menjadi tujuan administrasi. Pendekatan ini terdiri atas berbagai kategori, tetapi ada dua yang utama. Pertama adalah ethical egoism, yang berupaya mengembangkan kebaikan bagi dirinya. Yang amat dikenal disini adalah Niccolo Machaveavelli, seorang birokrat di Itali pada abad ke-15, yang menganjurkan bahwa kekuasaan dan survival pribadi adalah tujuan yang benar untuk seorang administrator pemerintah. Kedua adalah utilitarianism, yang pangkal tolaknya adalah prinsip kefaedahan (utility), yaitu mengupayakan yang terbaik untuk sebanyak banyaknya orang. Prinsip ini sudah berakar sejak lama, terutama pada pandangan pandangan abad ke-19, antara lain dari Jeremy Bentham dan John Stuart Mills. Namun, di antara keduanya yaitu egoism dan utilitarianism, tidak terdapat jurang pemisah yang tajam karena merupakan suatu kontinuum, yang di antaranya dapat ditempatkan, misalnya, pandangan Weber bahwa seorang birokrat sesungguhnya bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri pada waktu ia melaksanakan perintah atasanya, yang oleh Chandler (1994) disebut sebagai a disguise act of ego. Namun, dapat diperkirakan bahwa dalam masa modern dan pasca modern ini pandangan utilitarianism dari kelompok pendakatan teleologis ini memperoleh lebih banyak perhatian. Dalam pandangan ini yang amat pokok adalah bukan memperhatikan nilai nilai moral, tetapi konsekuensi dari keputusan dan tindakan administrasi itu bagi masyarakat. Kepentingan umum (public interest) merupakan ukuran penting menurut pendekatan ini. Disini

ditemui berbagai masalah, antara lain : (1) Siapa yang menentukan apakah sesuatu sasaran, ukuran atau hasil yang dikehendaki didasarkan kepentingan umum, dan bukan kepentingan si pengambil keputusan, atau kelompoknya, atau kelompok yang ingin diuntungkan. (2) Di mana batas antara hak perorangan dengan kepentingan umum. Jika kepentingan umum mencerminkan dengan mudah kepentingan individu, maka masalahnya sederhana. Namun, jika ada perbedaan tajam antara keduanya, maka akan timbul masalah yang lebih rumit. (3) Bagaimana membuat perhitungan yang tepat bahwa langkah langkah yang dilakukan akan menguntungkan kepentingan umum dan tidak merugikan. Hal ini penting karena kekuatan dari pendekatan (utilitarianism) ini adalah bahwa karena kekuatan dari pendekatan manfaat yang sebesar besarnya dan kerugian yang sekecil kecilnya, untuk kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Atau dengan kata lain efisiensi. Salah satu jawaban yang juga berkembang adalah apa yang disebut pilihan (public choice) suatu teori yang berkembang atas dasar prinsip prinsip ekonomi. Pandangan ini berpangkal pada pilihan pilihan perorangan (individual choices) sebagai basis dari langkah langkah politik dan administratif. Memaksimalkan pilihan pilihan individu merupakan pandangan teleologis yang paling pokok dengan mengurangi sekecil mungkin biaya atau beban dari tindakan kolektif terhadap individu. Konsep ini berkaitan erat dengan prinsip prinsip ekonomi pasar dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan. Dengan sendirinya akan ada konflik dalam pilihan pilihan tersebut, dan bagaimana mengelola konflik konflik itu merupakan tantangan pokok bagi administrasi dalam merancang dan mengelola badan badan dan program program publik. Tidak semua pihak merasa puas dengan pendekatan pendekatan tersebut. Munculnya pandangan pandangan mengenai etika administrasi menjelang akhir abad ke 20 ini justru berkaitan erat dengan upaya menundukkan etika atau moral sebagai prinsip utama (guiding principles) dalam administrasi. Hal ini merupakan tema dari pendekatan yang kedua, yaitu pendekatan deontologi. Pendekatan ini berdasar pada prinsip prinsip moral yang harus ditegakkan karena kebenaran yang ada dalam dirinya, dan tidak terkait dengan akibat atau konsekuensi dari keputusan atau tindakan yang dilakukan. Asasnya adalah bahwa proses administrasi harus berlandaskan pada nilai nilai moral yang mengikat. Pendekatan inipun, tidak hanya satu garisnya. Yang amat mendasar adalah pandangan yang bersumber pada falsafah Immanuel Kant (1724-1809), yaitu bahwa moral adalah imperatif dan kategoris, yang tidak membenarkan pelanggaran atasnya untuk tujuan apapin, meskipun karena

itu masyarakat dirugikan atau jatuh korban. www.ginandjar.com 13 Berbeda dengan pandangan Kantian tersebut, adapula pandangan relativisme dalam moral dan kebudayaan, yang menolak kekuatan dan absolutisme dalam memberi nilai pada moral. Menurut pandangan ini suatu peradaban atau kebudayaan akan menghasilkan sistem nilainya sendiri yang dapat tapi tidak harus selalu sama dengan peradaban atau kebudayaan lain. Dari pokok pikiran tersebut berkembang pandangan pandangan yang disebut situalionism yang bertentangan dengan paham universalism. Situation ethics ini intinya adalah bahwa determinan dari moralitas yang ditetapkan senantiasa terkait dengan situasi tertentu. Dalam dunia praktik, yang menjadi dua administrasi, masukkan nilai nilai moral ke dalam administrasi meruapakan upaya yang tidak mudah, karena harus mengubah pola pikir yang sudah lama menjiwai administrasi, seperti yang dicerminkan oleh paham utilitarianism. Oleh karena memang per definisi administrasi adalah usaha bersama untuk mencapai suatu tujuan, maka pencapaian tujuan itu merupakan nilai utama dalam administrasi selama ini. Selanjutnya, Fox (1994) mengetengahkan tiga pandangan yang menggambarkan pendekatan deontologi dalam etika administrasi ini. Pertama, pandangan mengenai keadilan sosial, yang muncul bersama berkembang konsep administrasi negara baru (antara lain Frederickson dan Hart, 1985). Seperti telah diungkapkan di atas, menurut pandangan ini administrasi negara haruslah secara pro-aktif mendorong terciptanya pemerataan atau keadilan sosial (Social equity). Pandangan ini tidak lepas dari pengaruh John Rawls (1971), dengan Theory of Justice-nya yang menjadi rujukan dari berbagai teori pemerataan dan keadilan sosial. Mereka melihat bahwa masalah yang dihadapi oleh administrasi negara modern adalah adanya ketidakseimbangan dalam kesempatan. Sehingga mereka yang kaya, memiliki pengetahuan, dan terorganisasi dengan baik memperoleh posisi yang senantiasa menguntungkan dalam negara. Dengan lain perkataan, secara etika, administrasi harus membantu yang miskin, yang kurang memiliki pengetahuan dan tidak terorganisasi. Pandangan ini cukup berkembang meskipun didunia akademik banyak juga yang mengkritiknya. Kedua, apa yang disebut regime values atau regime norms. Pandangan ini bersumber dari Rohr (1989), yang berpendapat bahwa etika administrasi negara harus mengacu kepada nilainilai yang melandasi keberadaan negara yang bersangkutan. Dalam hal ini ia merujuk pada konstitusi Amerika yang harus menjadi landasan etika administrasi dinegara itu. Ketiga, tatanan moral universal atau universal moral order (antara lain Denhardt, 1988, 1994). Pandangan ini berpendapat ada nilai-nilai moral yang bersifat universal yang menjadi pegangan bagi

administrator publik. Masalah disini adalah nilai-nilai moral itu sendiri banyak dipertanyakan karena beragam sumbernya dan juga beragam kebudayaan serta peradabannya seperti telah diuraikan diatas. Berkaitan dengan itu, belakangan ini banyak kepustakaan etika administrasi yang membahas dan mengkaji etika kebajikan (ethics of virtue). Etika ini berbicara mengenai karakter yang dikehendaki dari seorang administrator. Konsep ini merupakan koreksi terhadap paradigma yang berlaku sebelumnya dalam administrasi, yaitu etika sebagai aturan (ethics as rules), yang dicerminkan dalam struktur organisasi dan fungsifungsi serta prosedur, termasuk sistem insentif dan disinsentif serta sanksi-sanksi berdasarkan aturan. Pandangan etika kebajikan bertumpu pada karakter individu. Pandangan ini, seperti juga pandangan administrasi negara baru, bersumber dari konferensi Minnowbrook di New York pada akhir dasawarsa 1960an, yang ingin memperbaharui dan merevitalisasi bidang studi administrasi negara. Nilai-nilai kebajikan inilah yang diharapkan dapat mengendalikan peran seseorang di dalam organisai sehingga pencapaian tujuan organisasi senantiasa berlandaskan nilai-nilai moral yang sesuai dengan martabat kemanusiaan. Tantangan selanjutnya adalah menemukan apa saja nilai-nilai kebajikan itu, atau lebih tepatnya lagi nilainilai mana yang pokok (cardinal value), dan mana yang menjadi turunan (derivative) dari nilai-nilai pokok itu. Frankena (1973) misalnya mengatakan many moralists, among them schopenbouer, have taken benevolence and justice to be the cardinal moral virtues, as I WOULD . It seems to me that all of the usual virtues (such as love, courage, temperance, honesty, gratitude, and considerateness), at least insofar as they are moral virtues, can be derived from these two. Hart mengatakan bahwa kebajikan utama itu adalah eudaimonia dan benevolence. Yang dimaksud dengan eudaimonia menurut Hart adalah konsep bahwa all individuals are born with unique potentialities and the purpose of life is to actualize them in the world. These potentialities involve, first, moral virtues and, second, our unique individual talents. With respect to morality, eudaimonia cannot involve harming either self or others, as the prefixeu, or good, makes clear. Sedangkan benevolence diartikannya sebagai the love of other. Selanjutnya administrator yang baik (virtuous administrator) adalah yang berusaha, seperti dikatakan Hart (1994), agar kebajikan menjadi sentral dalam karakternya sendiri, yang akan membimbing perilakunya dalam organisasi. Tidak berhenti disitu saja, administrator yang baik berkewajiban moral untuk mengupayakan agar kebajikan juga menjadi karakter mereka yang bekerja dibawahnya. Namun, dinyatakannya pula bahwa kebajikan tidak bisa dipaksakan kepada yang lain karena kebajikan berasal dari diri masing masing individu (voluntary

observance). Ia menekankan bahwa virtue does not yield www.ginandjar.com 14 to social engineering. Disini Hart mengetengahkan pentingnya pendidikan kebajikan sejak dini, serta dilancarkannya kebijaksanaan program, praktik praktik yang mendorong berkembangnya nilai nilai kebajikan dalam organisasi. Akhirnya, yang teramat penting adalah keteladanan. Ia sendiri mengakui tidak ada orang yang dapat mencapai tingkat kebajikan ideal, karena itu dalam etika kebajikan yang penting adalah proses untuk menginternalisasikannya dibandingkan dengan hasilnya. Etika Perorangan dan Etika Organisasi Dalam membahas etika dalam organisasi,s ejumlah pakar membedakan antara etika perorangan (personal ethics) dan etika organisasi. Etika perorangan menentukan baik atau buruk perilaku individual seseorang dalam hubungannya dengan orang lain dalam organisasi. Etika organisasi menetapkan parameter dan merinci kewajiban kewajiban (obligations) organisasi, serta menggariskan konteks tempat keputusan keputusan etika perorangan itu dibentuk (Vasu, Stewart dan Garson, 1990). Menjadi tugas para pengkaji organisasi untuk memahami lebih dalam hakikat etika perorangan dan etika organisasi serta interaksinya. Nilai nilai kebajikan yang diuraikan diatas adalah etika perorangan yang harus dimiliki siapa saja, bahkan dalam pandangan ilmu administrasi, justru harus dimiliki oleh mereka yang menjadi pengabdi masyarakat (public servants). Dalam menganalisis etika perorangan dari kaca mata ilmu administrasi, Rohr (1983) membaginya dalam kelompok metaetika (studi mengenai dasar dasar ini ia memasukkan etika profesional. Etika profesional lebih sempit dibandingkan dengan etika profesional. Etika profesional lebih sempit dibandingkan dengan etika perorangan yang berlaku untuk semua itu. Etika profesional berkaitan dengan pekerjaan seseorang. Oleh karena itu, etika profesional berlaku dalam suatu kerangka yang diterima oleh semua yang secara hukum atau secara moral mengikat mereka dalam kelompok profesio yang bersangkutan. Etika profesional pada profesi tertentu dilembagakan dalam kode etik. Misalnya, kode etik untuk dokter, hakim, pengacara, wartawan, arsitek, pegawai negeri, periklanan, dan sebagainya. Kode etik itu ada yang diperkuat oleh sistem hukum, atau mengikat secara sosial dan kultural, sehingga mengikat secara moral. Administrasi Pembangunan Setelah membahas berbagai pengertian dasar dan perkembangan pemikiran dalam konsep pembangunan dan administrasi dapatlah kiranya diperoleh pemahaman yang lebih jelas mengenai hakikat administrasi pembangunan. Administrasi pembangunan berkembang karena adanya kebutuhan di negara negara yang sedang membangun untuk mengembangkan lembaga lembaga dan pranata pranata sosial, politik, dan ekonominya, agar

pembangunan dapat berhasil. Dari sudut praktik, dan ekonominya, agar pembangunan merangkum dua kegiatan besar dalam satu kesatuan pengertian, yakni administrasi dan pembangunan. Perkembangan administrasi pembangunan, baik dalam tataran teoritik maupun dalam praktik, mengikuti perkembangan pemikiran studi administrasi, khususnya administrasi negara dan studi pembangunan. Oleh karena itu, upaya untuk memahami administrasi pembangunan perlu dimulai dengan pemahaman mengenai administrasi dan pembangunan, sebagaimana telah diupayakan pada awal bab ini. Sebagai bidang studi, administrasi pembangunan berkembang dari studi administrasi perbandingan (comparative administration), yang merupakan upaya untuk menyegarkan kembali ilmu administrasi, dan untuk menyegarkan kembali ilmu administrasi, dan untuk menyempurnakan sistem administrasi di negara negara tersebut. Perkembangan ilmu administrasi pembangunan didorong oleh lembaga internasional terutama Perserikatan Bangsa Bangsa dan badan badannya, serta badan badan pemerintah di negara maju, yang berupaya membantu negara negara berkembang dalam pembangunannya. Administrasi pembangunan bersumber dari administrasi negara. Dengan demikian, kaidah kaidah umum administrasi negara berlaku pula pada administrasi pembngunan. Namun administrasi pembangunan memberi perhatian lebih luas daripada hanya membahas penyelenggaraan administrasi pemerintahan dalam pengertian umum, seperti memelihara keamanan, hukum dan ketertiban, mengumpulkan pajak, memberikan pelayanan publik, dan menyelenggarakan hubungan dengan negara lain. Administrasi pembangunan bersifat dinamis dan inovatif, karena menyangkut upaya mengandalkan perubahan perubahan sosial. Dalam upaya itu administrasi pembangunan sangat berkepentingan dan terlibat dalam pengerahan sumber daya dan pengalokasiannya untuk kegiatan pembangunan (Katz, 1971). Perbedaan tersebut kini tidak terlalu tajam lagi karena pada dasarnya administrasi negara modern juga menghendaki perubahan dalam dirinya dan ingin memprakarsai pembaharuan lingkungan sosialnya, seperti tercermin dalam paradigma administrasi negara baru. Perbedaannya mungkin terletak pada di mana diterapkannya konsep itu. Administrasi pembangunan adalah untuk negara berkembang, dan umumnya tidak diterapkan di negara maju, meskipun administrasi negara di negara maju juga secara aktif terlibat dalam upaya memperbaiki diri dan kehidupan masyarakatnya. Dengan www.ginandjar.com 15 demikian, latar belakang perbedaan antara keduanya terletak pada dua aspek : (1) tingkat perkembangan sosial ekonomi dan sosial politik sebagai ukuran kemajuan; dan (2) lingkungan budaya yang mempengaruhi perkembangan

sistem nilai serta penerapan sasaran sasaran pembangunan. Di negara maju, peranan pemerintah relatif kecil, karena insitusi institusi masyarakat telah berkembang maju. Bahkan pemerintah yang kecil dans edikit keterlibatannya lebih dikehendaki. Sebaliknya, di negara berkembang, dengan segala kekurangannya, pemerintah adalah institusi yang paling maju. Oleh karena itu, tanggung jawab pembangunan terutama berada di pundak pemerintah (administrasi negara). Institusi lain, seperti usaha swasta, pada umumnya belum berkembang. Dengan demikian, adanya sistem administrasi negara yang mampu menyelenggarakan pembangunan menjadi prasyaratan bagi berhasilnya pembangunan. Di lain pihak, sistem pemerintahan di negara negara berkembang pada awal kemerdekaanya, umumnya mempunyai ciri ciri sebagai berikut : Pertama, kelembagaannya mewarisi sistem administrasi kolonial yang sangat terbatas cakupannya, karena tujuan pemerintahan kolonial bukan memajukan bangsa jajahan, tetapi mengeksploitasinya. Kedua, sumber daya manusianya terbatas dalam kualitas. Jabatan banyak diisi oleh orang orang yang tidak memenuhi persyaratan yang dibutuhkan untuk jabatan itu. Ketiga, kegiatan sistem pemerintahan terutama untuk menyelenggarakan fungsi fungsi pemerintahan yang bersifat umum atau rutin, dan tidak berorientasi kepada pembangunan. Membangun sistem administrasi tradisional menjadi sistem administrasi modern yang mampu menyelenggarakan pembangunan merupakans alah satu tujuan administrasi pembangunan. Berbagai ahli memberikan berbagai batasan dan pengertian mengenai administrasi pembangunan. Pada dasarnya,a dministrasi pembangunan adalah bidang studi yang mempelajari sistem administrasi negara di negara yang sedang membangun serta upaya untuk meningkatkan kemampuannya. Ini berarti dalam studi dan praktik administrasi pembangunan diperlukan adanya perhatian dan komitmen terhadap bilai nilai yang mendasari dan perlu diwujudkan menjadid asar etika birokrasi. Dengan demikian ada dua sisi dalam batasan pengertian administrasi pembangunan tersebut. Pada sisi pertama tercakup upaya untuk mengenali peranan administrasi negara dalam pembangunan, atau dengan kata lain administrasi dari proses pembangunan, yang memebdakannya dengan administrasi negara dalam pengertian umum. Pada sisi kedua tercakup kehendak untuk mempelajari dengan cara bagaimana membangun administrasi negara dan tugas pembangunan. Namun, tak kurang pentingnya adalah perhatian dan komitmen terhadap kepentingan publik yang dapat menjadi ukuran bagi kredibilitas dan akuntabilitasnya. Kedua sisi administrasi pembangunan tersebut akan dibahas lebih lanjut dalam bab bab berikutnya. Namun sebelum sampai kepada pembahasan lebih lanjut

perlu kiranya diketengahkan dua aspek penting dalam administrasi pembangunan, yaitu aspek atau dimensi ruang (spatial dimension of development administration) dan kebijaksanaan publik. Dimensi Spesial dalam Administrasi Pembangunan Pembangunan suatu abngsa yang jumlah penduduknya besar dan wilayahnya luas pada dasarnya dilakukan melalui tiga pendekatan yakni pembangunan makro, sektoral dan regional. Pembangunan makro mencakup sasaran sasaran dan upaya upaya pada lingkup nasional, yang pencapaiannya merupakan hasil dari upaya upaya pada tingkat sektoral dan regional (Kartasasmita, 1996d). Ketiga pendekatan tersebut mempunyai implikasi administratif yang berbeda, sesuai lingkup dan kewenangan amsing masing dalam rangka penyelenggaraan negara dan pembangunan. Dari sisi inilah dimensi ruang dan daerah menajdi penting artinya dalam administrasi pembangunan dan administrasi pembangunan daerah menjadi penting dalam rangka pembangunan nasional. Pertimbangan dimensi ruang dan daerah dalam administrasi pembangunan memiliki cara pandang atau pendekatan (Heaphy, 1971). Cara pandang pertama menyebutkan bahwa dimensi ruang dan daerah dalam perencanaan pembangunan adalah perencanaan pembangunan bai suatu kota, daerah, ataupun wilayah. Pendekatan ini memandang kota, daerah, atau wilayah sebagi suatu maujud (entity) bebas yang pengembangannya tidak terikat dgh kota, daerah, atau wilayah lain,s ehingga penekanan perencaanaanya mengikuti pola yang lepas dan mandiri (independent). Cara pandang kedua melihat bahwa pembangunan di daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional. Perencanaan pembangunan daerah, dalam pednekatan ini merupakan pola perencanaan pada suatu jurisdiksi ruang atau wilayah tertentu yang dapat digunakan sebagai bagian dari pola perencanaan pembangunan nasional. Yang ketiga adalah cara pandang yang melihat bahwa perencanaan pembangunan daerah adalah instrumen bagi penentuan alokasi sumber daya pembangunan dan lokasi kegiatan di daerah yang telah direncanakan secara terpusat yang berguna untuk mencegah terjadinya kesenjangan ekonomi antar daerah. Kebijaksanaan yang menyangkut dimensi ruang dalam administrasi pembangunan dipengaruhi oleh banyak faktor, disamping sistem pemerintahan, politik, dan www.ginandjar.com 16 ekonomi sebagaimana disebutkan diatas, juga oleh pandangan eideologi, kemampuan sumber daya manusia did aerah, pengelompokan wilayah, perubahan sosial, dan lain sebagainya. Implikasi aspek ruang yang meliputi tingkat pembangunan daerah, lokasi, mobilitas penduduk dan penyebarannya, serta budaya daerah, memiliki hubungan dan keterkaitan yang sangat erat dengan pembangunan ekonomi. Untuk itu, administrasi

pembangunan, dalam kaitannuya dengan dimensi ruang dan daerah harus dapat mencari jawaban tentang bagaimana pembangunan dapat tetap menjaga kesaruan dan persatuan, tetapi dengan memberikan kewenangan dan tanggung jawab yang cukup pada daerah dan masyarakatnya. Ada beberapa aspek dari dimensi ruang dand aerah yang berkaitan dengan administrasi pembangunan daerah. Aspek pertama adalah regionalisasi atau perwilayahan. Regionalisasi, sebagai bagian dari upaya mengatasi aspek ruang dalam pembangunan, memberikan keuntungan dalam mempertajam fokus dalam lingkup ruang yang jauh lebih kecil dalam suatu negara. Tidak ada rumusan baku dan pasti yang dapat digunakan dalam pengelompokan atau penggolongan suatu wilayah. Namun, wilayah disini umumnya dimaksudkan sebagai suatu wujud (entity) politik dan pemerintahan,a rtinya unit unit wilayah pemerintah sesuai dengan tingkatannya, baik bersifat otonom atau administratif. Unit unit wilayah dapat dibentuk karena alasan historis, geografis, kondisi ekonomi[, atau latar belakang sosial budaya (Kartasasmita, 1996d). aspek kedua, yaitu ruang, akan tercermin dalam penataan ruang. Tata ruang pada hakikatnya merupakan lingkungan fisik yang mempunyai hubungan organisatoris / fungsional antara berbagai macam obyek dan manusia yang terpisah dalam ruang ruang (Rapoport, 1980). Di dalam tata ruang terdapat suatu distribusi dari tindakan manusia dan kegiatannya untuk mencapai tujuan sebagaimana dirumuskan sebelumnya. Tata ruang dalam hal ini, menurut Wetzing (1978), merupakan jabataran dari suatu produk perencanaan fisik, konsepsi tata rung ini tidak hanya menyangkut suatu wawasan yang disebut wawasan spesial, tetapi menyangkut pula aspek aspek non spasial atau a-spasial (Foley, 1970). Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa struktur fisiks angat ditentukan dan dipengaruhi oleh faktor faktor nonfisik seperti organisasi fungsional, pola sosial budaya, dan nilai kehidupan komunitas (Porteous, 1981). Penataan ruang secara umum memiliki pengertian sebagai suatu proses yang meliputi proses perencanaan, pelaksanaan atau pemanfaatan tata ruang, dan pengendalian pelaksanaan atau pemanfaatan ruang yang terkait satu dengan lainnya. Berdasarkan konsepsi ini, penataan ruang dapat disebutkan secara lebih spesifik sebagai upaya mewujudkan tata ruang yang terencana, dengan memperhatikan keadaan lingkungan alam, lingkungan buatan, lingkungan sosial, interaksi antar lingkungan, tahapan dan pengelolaan pembangunan, serta pembinaan kemampuan kelembagaan dan sumber daya manusia yang ada dan tersedia, dengan selalu mendasarkan pada kesatuan wilayah nasional dan ditujukan bagi sebesar besarnya kemakmuran rakyat, memelihara lingkungan hidup, dan diarahkan untuk mendukung upaya pertahanan keamanan. Jadi, dalam konteks ini, pengelolaan ruang dalam dimensi administratif adalah upaya

mengoptimasikan sumber daya untuk pembangunan (Kartasasmita, 1995d). Aspek ketiga adalah otonomi daerah. Amsyarakat dalam suatu negara tidak hanya tinggal dan berada di pusat pemerintahan, tetapi juga di tempat tempat yang jauh dan terpencil dari pusat pemerintahan. Jika kewenangan dan penguasaan pusat atas sumber daya menjadi terlalu besar, maka akan timbul konflik atas penguasaan sumber sumber daya tersebut. Untuk menjaga agar konflik tersebut tidak terjadi dan meletakkan kewenangan pada masyarakat dalam menentukan nasib sendiri sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat maka diterapkan prinsip ekonomi. Melalui otonomi diharapkan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat did aerah menjadi lebih efektif. Dimensi administratif yang berkaitan dengan otonomi adalah sentralisasi. Desentralisasi pada dasarnya adalah penataan mekanisme pengelolaan kebiajaksanaan dengan kewenangan yang lebih besar diberikan kepada daerah agar penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan menjadi lebih efektif dan efisien. Desentralisasi dierminkan oleh pendelegasian penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan kepada pemerintah daerah dan hak untuk mengurus keperluannya sendiri. Selain memberikan hak hak kepada daerah, desentralisasi juga menerima kewajiban kewajiban. Kedua aspek ini harus dapat diserasikan, dan untuk itu administrasi pembangunan berperan dalam menjembatani kebijaksanaan dan strategi nasional dengan upaya upaya pembangunan yang diselenggarakan di daerah. Aspek keempat adalah partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Salah satu karakteristik atau ciri sistem administrasi modern adalah bahwa pengambilan keputusan dilakukan sedapat dapatnya pada tingkat yang paling bawah (grass-root level). Dalam hal ini masyarakat, bersama sama dengan aparatur pemerintah, menjadi stakeholder dalam perumusan, implementasi, dan evaluasi daris etiap upaya pembangunan. Dengan meningkatnya pendidikan, masyarakat akan menjadi semakin terbuka, semakin maju dan modern. Dalam kondisi seeprti ini, masyarakat tidak akan puas dengan hanya mendegar dan melaksanakan petunjuk, tetapi juga ingin ikut berpartisipasi dalam pembangunan dan menentukan nasib mereka sendiri. Pembangunan yang memberi kesempatan dan bertumpu pada masyarakat telah menjadi paradigma pembangunan yang memang relatif baru, namun sekarang www.ginandjar.com 17 berkembang dan dianut oleh para pakar seperti terungkat dalam banyak kepustakaan mengenai studi pembangunan (Kartasasmita, 1996b). Aspek kelima, sebagai implikasi dari dimensi administrasi dalam pembangunan daerah yang dikaitkan dengan kemajemukan adalah dimungkinkannya keragaman dalam kebijaksanaan (policy diversity). Dari segi perencanaan pembangunan harus dipahami bahwa satu

daerah berbeda dengan daerah lainnya. Tak ada satu pun daerah yang memiliki karakteristik yang sama, baik dari potensi ekonomi, sumber daya manusia, maupun kelembagaan masyarakatnya. Disamping itu, premis bahwa pemerintahan di daerah lebih mengetahui permasalahan daerahnya semakin menguat. Dalam kerangka ini, kebijaksanaan yang bersifat nasional harus luwes (flexible), agar aparat pemerintah dibawahnya dapat mengembangkan dan memodifikasi kebijaksanaan tersebut sesuai dengan kondisi masing masing wilayah (Heaphy, 1971). Untuk itu, kebijaksanaan nasional harus memahami karakteristik daerah dalam mempertimbangkan potensi pembangunan di daerah terutama dalam kebijaksanaan investasi sarana dan prasarana guna merangsang berkembangnya kegiatan ekonomi daerah. Kebijaksanaan Publik dalam Administrasi Pembangunan Kebijaksanaan publik (public policy) merupakan bidang kajian yang berkembang pesat pada dasawarsa (1980-an. Bidang kajian ini, yang oleh banyak ahli dipandang sebagai suatu subdisiplin atau sub-field, menjadi bidang kajian ilmu administrasi dan ilmu politik, bahkan oleh Henry (1995) diidentifikasi sebagai berada di antara (twilight zone) kedua disiplin ilmu itu. Ilmu ekonomi, khususnya ekonomi politik juga mempunyai kontribusi yang kuat pada studi kebijaksanaan. Kebijaksanaan atau policy berkembang sebagai bidang studi multidisiplin, sehingga sering disebut sebagai policy sciences. Sebagai suatu bidang studi, kebijaksanaan publik relatif masih baru, tetapi telah menarik banyak perahtian dan menjadi kajian dalam berbagai disiplin ilmu sosial. Analisis kebijaksanaan (policy) analysis) selain merupakan metode untuk memahami apa dan bagaimana kebijaksanaan terjadi, juga menyediakan alat yang bermanfaat bagi para praktisi yang terlibat dalam proses kebijaksanaan. Pengertian Banyak pengertian diberikan kepada kebijaksanaan publik. Dilihat dari berbagai disiplin dapat muncul berbagai pengertian. Di antaranya dikemukakan oleh Dye (1995), Eulau dan Prewitt (1973) dan Peters (1993). Menurut Dye (1995) kebijaksanaan publik adalah apa saja yang dilakukan dan tidak dilakukan oleh pemerintah. Dalam kaitan ini, kebijaksanaan merupakan upaya untuk memahami dan mengartikan (1) apa yang dilakukan (atau tidak dilakukan) oleh pemerintah mengenai suatu masalah, (2) apa yang menyebabkan atau yang mempengaruhinya, (3) apa pengaruh dan dampak dari kebijaksanaan publik tersebut. Eulau dan Prewitt (1973) mendefinisikan kebijaksanaan sebagai sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang menaatinya. Sedangkan Peters (1993) mengartikan kebijaksanaan publik sebagai total kegiatan

pemerintah, baik yang dilakukan langsung atau melalui pihak lain, yang berpengaruh pada kehidupan penduduk di negara itu. Analisis kebijaksanaan adalah upaya menghasilkan dan mentransformasikan informasi yang dibutuhkan untuk suatu kebijaksanaan, dengan menggunakan berbagai metode penelitian dan pembahasan dalam suatu kondisi tertentu untuk menyelesaikan masalah (Dunn, 1981). Analisis kebijaksanaan publik dengan demikian lebih banyak memberi perhatian kepada teknik yang dapat digunakan untuk menganalisis dan mengevaluasi kebijaksanaan, dalam kaitannya dengan masukan (input), keluaran (outpuT0, hasil, pengorbanan, dan lain sebagainya, yang berkaitan dengan kebijaksanaan publik (Waldo, 1992), dan bukan pada substansi dari kebijaksanaan itu sendiri. Oleh karena itu, banyak yang menganggap bahwa kebijaksanaan publik lebih dekat kepada administrasi negara dibandingkan dengan ilmu politik. Bahlan Eulau menyatakan bahwa studi kebijaksanaan sebenarnya hanyalah administrasi negara lama dalam baju yang diperbaharui (dalam Goodin, 1982). Henry menunjukkan bahwa kebijaksanaan publik dari segi politik lebih banyak memberikan perhatian kepada substansi (substantive branch) dibandingkan dengan administrasi negara yang lebih memperhatikan masalah masalah perancangan, pilihan, pelaksanaan, evaluasi, efisiensi, efektivitas, produktivitas, dan hal hal lain yang tidak berkenaan dengan isi dari kebijaksanaan itu sendiri (theoritical branch). Meskipun sebenarnya ilmu politik pun mengkaji kebijaksanaan publik sebagai analisis yang bersifat deskriptif dengan membedakannya dengan substansi yang disebutnya policy advocacy yang bersifat preskriptif. Policy analysis mempersoalkan mengapa, sedangkan policy advocacy mempersoalkan apa yang harus dilakukan pemerintah (Dye, 1995). Namun, asumsi yang mendasar adalah bahwa dengan mengetahui berbagai daya (kekuatan) yang membentuk kebijaksanaan dan dampaknya, maka kebijaksanaan yang diambil akan lebih baik, dalama rti bisa menghasilkan apa yang dikehendaki dengan kebijaksanaan tersebut secara lebih tepat, efisien, dan efektif. www.ginandjar.com 18 Berbagai pandangan tersebut dikemukakan untuk lebih memperjelas bahwa bidang studi ini berada di antara kedua disiplin yang besar itu, bahkan juga diliput secara kuat oleh ilmu ekonomi. Ekonomi politik, dan ekonomi perencanaan, merupakan kajian ekonomi atas tindakan tindakan atau kebijaksanaan pemerintah dalam mempengaruhi jalannya perekonomian. Dalam kaitan ini pilihan masyarakat (public choice) merupakan telah yang penting dalam ekonomi, supaya pilihan yang ditetapkan (sebagai kebijaksanaan) benar benar mencerminkan pilihan masyarakat. Yang diupayakan adalah kondisi pareto Optimum, yaitu keadaan di mana perbaikan

ekonomi untuk menguntungkan seseorang tidak dapat dilakukan tanpa merugikan orang lain, karena keadaannya sudah optimal. Namun, bagaimana pun juga kebijaksanaan publik merupakan bidang kajian yang makin penting dalam administrasi negara, bahkan oleh Golembiewski (1977) dianggap sebagai menandai fase perkembangannya yang paling mutakhir. Semua administrasi negara berdiri netral dalam kebijaksanaan publik, yang dianggap sebagai urusan disiplin ilmu lain. Namun, dengan berkembangnya studi mengenai analisis kebijaksanaan dan proses kebijaksanaan itu sendiri, maka peranan administrasi negara telah direevaluasi dalam kaitannya dengan kebijaksanaan publik (Rosenbloom et al, 1994). Caiden (1991). Memformulasikan bahwa kebijaksanaan publik produk administrasi negara sebagai alat untuk mempengaruhi kinerja pemerintah dalam mengemban amanat untuk kepentingan publik. Metode Pendekatan Berbagai metode pendekatan dalam analisis kebijaksanaan publik telah dikembangkan. Ada pendekatan deskriptif vs preskriptif, ada pula pendekatan deterministik vs probabilistik dilihat dari derajat kepastiannya (Stokey dan Zeckhauser, 1978). Atau dengan pednekatan lain, ada yang bersifat empirik, evaluatif dan normatif (Dunn, 1981). Robert Goodin,s eorang pakar ilmu politik mendekati dengan teori empiris dan teori etis atau teori nilai. Pendekatan ini sangat tipikal ilmu politik seperti ditunjukkan oleh Henry diatas. Untuk memahami dan menjelaskan kebijaksanaan publik, Dye menunjukkana danya sembilan model, yakni model institusional, proses, kelompok, elite, rasional, inkremental, teori permainan (game theory), pilihan publik (public choice), dan sistem. Henry lebih lanjut membagi modelnya dalam dua kelompok, yakni sebagai proses dan sebagai keluaran (outpu). Sebagai proses ia menggolongkan enam model, yakni model elite, kelompok, sistem, institusional, neo-institusional, dan anarki yang diatur (organized anarchy). Dari segi output, ia mengenalkan tiga model, yakni inkremental, rasional dan perencanaan strategis. Pendekatan proses lebih bersifat deskriptif,s edangkan pendekatan output lebih bersifat preskriptif. Preskriptif dimaksudkan bahwa dengan pendekatan yang baik maka hasil atau isi dari kebijaksanaan publik akan menjadi lebih baik pula. Bukan maksudnya disini untuk membahas model model tersebut. Yang patut dicatat adalah bahwa banyak kebijaksanaan tidak dapat dijelaskan hanya melalui satu model, tetapi merupakan gabungan dari berbagai model. Perhatian dalam kebijaksanaan publik banyak diberikan kepada proses penetapan kebijaksanaan. Pembuatan kebijaksanaan pada umumnya adalah sebuah proses yang dilakukan melalui tahap tahap tertentu. Pada garis besarnya proses tersebut dikenali sebagai berikut : pengenalan masalah, penetapan agenda, perumusan

kebijaksanaan, pengukuhan (legitimation), pelaksanaan dan evaluasi (Dye, 1995). Jones menguraikannya lebih rinci, meliputi 11 tahapan atau rangkaian kegiatan dalam proses, yakni : pemahaman, penghitungan (aggregation), pengorganisasian, perwakilan, penetapan agenda, perumusan, pengukuhan, pendanaan, pelaksanaan, evaluasi, penyesuaian atau penyelesaian (penghentian). Meskipun lebih rinci, unsur unsur pokoknya tidak banyak berbeda dengan pandangan Dye diatas. Kebijaksanaan Publik dan Pembangunan Seperti dikemukakan diatas, kebijaksanaan publik dapat dilihat dari (1) mengapa dan bagaimana (why dan how), yang mencoba memahami bekerjanya kebijaksanaan publik tanpa terkait dengan isinya, dan (2) apa (what), yang memberi perhatian pada substansi kebijaksanaan publik dan mencari pemecahan atas masalah yang dihadapi kebijaksanaan publik. Dalam konteks pembahasan ini, dan dalam studi studi kebijaksanaan publik, pengetahuan mengenai keduanya memang diperlukan. Para pengambil kebijaksanaan yang tidak memahami metodologi penetapan kebijaksanaan publik, dapat menanggung resiko mengambil pendekatan yang menyebabkan hasil atau dampak kebijaksanaan publik tidak sesuai dengan yang dimaksud. Sebaliknya, para pelajar dan praktisi yang ingin mendalami pengetahuan mengenai berbagai aspek kebijaksanaan, tidak mungkin hanya membatasi diri pada teknik analisis, tanpa mengetahui isu isu yang dihadapi dalam masyarakat, yang akan dijawab dan diatasi dengan berbagai kebijaksanaan. Karena, meskipun Dye menyatakan tidak perlu kebijaksanaan publik itu mengandung tujuan yang rasional (bahkan tidak mengambil langkah apapun sudah menunjukkan kebijaksanaan), namun dalam praktiknya untuk setiap kebijaksanaan publik harus jelas apa yang ingin dihasilkan. Di negara berkembang kebijaksanaan pembangunan menjadi pokok substansi (policy content) www.ginandjar.com 19 kebijaksanaan publik. Setiap hari pemerintah di semua negara mengambil keputusan atas dasar kewenangannya mengatur alokasi sumber daya publik, mengarahkan kegiatan masyarakat, memberikan pelayanan publik, menjamin keamanan dan ketentraman, dan sebagainya. Kegiatan itu tidak ada bedanya di negara manapun, baik negara maju maupun negara berkembang. Namun, tetap ada perbedaan di antara keduanya. Pertama tama disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi yang berbeda, dan juga karena adanya kegiatan pembangunan di negara berkembang yang merupakan kegiatan diatas dari yang biasa dilakukan oleh pemerintah di negara maju. Adanya sistem administrasi negara yang mampu menyelenggarakan pembangunan menjadi prsyarat bagi berhasilnya pembangunan. Berarti pula administrasi negara yang mampu menghasilkan kebijaksanaan kebijaksanaan publik yang baik, dan mendorong

kepentingan umum, merupakan tantangan yang lebih besar bagi negara yang sedang membangun (Grindle dan Thomas, 1991). Oleh karena itu, pengetahuan mengenai kebijaksanaan publik dan berbagai aspeknya perlu dimiliki oleh para pelajar administrasi pembangunan. Yang amat penting adalah mempelajari dan memahami kondisi lingkungan kebijaksanaan publik di negara berkembang, yang berbeda dengan di negara negara maju dan mempengaruhi kebijaksanan, berfungsinya administrasi pembangunan di negara berkembang, serta proses penetapan kebijaksanan publik untuk pembangunan (lihat Kartasasmita, 1995b).

www.ginandjar.com 20 Sisi pertama dari administrasi pembangunan adalah administrasi dari atau bagi pembangunan (administration of development). Banyak cara pendekatan untuk mengkaji administrasi. Bisa dari segi komponennya, kegiatannya maupun prosesnya. Bisa juga menggunakan pendekatan yang relatif baru berkembang yaitu kebijaksanaan publik, seperti yang telah diuraikan di atas. Namun, untuk dasar pemahaman dapat digunakan pendekatan Waldo (1992), bahwa kalau kita cerminkan administrasi untuk mencari wujudnya, maka ditemukan dua aspek, yaitu manajemen dan organisasi, sedangkan manajemen adalah fisiologinya. Organisasi biasanya digambarkan sebagai wujud statis dan mengikuti pola tertentu, sedangkan manajemen adalah dinamis dan menunjukkan gerakan atau proses. Keduanya dapat digunakan untuk analisis administrasi. Untuk membahas administrasi bagi pembangunan, Lebih tepat digunakan pendekatan manajemen. Karena itu pada dasarnya dapat dikatakan Bahwa masalah administrasi bagi pembangunan adalah masalah manajemen pembangunan. Sedangkan untuk menerangkan pembangunan administrasi pada bab berikutnya akan digunakan pendekatan organisasi. Studi mengenai manajemen telah banyak mengilhami perkembangan. Namun teori pokoknya tidak berubah, bahwa yaitu sekurang-kurangnya ada tiga kegiatan besar yang dilakukan oleh manajemen, yakni perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Fungsi manajemen pada sistem administrasi mana pun, baik di negara yang sedang membangun maupun di negara maju,

sama saja, yang berbeda adalah penekanannya. Teknik atau metode penyelenggaraannya juga dapat berbeda tergantung pada pengaruh berbagai faktor, seperti sistem politik, latar belakang budaya, atau tingkat penguasaan teknologi. Manajemen pembangunan adalah manajemen publik dengan ciri-ciri yang khas, seperti juga administrasi pembangunan adalah administrasi publik (negara) dengan kekhasan tertentu. Untuk analisis manajemen pembangunan dikenali beberapa fungsi yang cukup nyata (district), yakni: (1) perencanaan, (2) pengerahan (mobilisasi) sumber daya, (3) pengerahan (menggerakkan) partisipasi masyarakat, (4) penganggaran, (5) pelaksanaan pembangunan yang ditangani langsung oleh pemerintah, (6) koordinasi, (7) pemantauan dan evaluasi dan (8) pengawasan. Di bawah ini akan diuraikan lebih lanjut berbagai fungsi tersebut, dan dilengkapi dengan (9) peran informasi yang amat penting sebagai instrumen atau perangkat bagi manajemen. Perencanaan Perencanaan pembangunan merupakan tugas pokok dalam administrasi atau manajemen pembangunan. Perencanaan diperlukan karena kebutuhan pembangunan lebih besar daripada sumber daya yang tersedia. Melalui perencanaan ingin dirumuskan kegiatan pembangunan yang secara efisien dan efektif dapat memberi hasil yang optimal dalam memanfaatkan sumber daya yang tersedia dan mengembangkan potensi yang ada. Pada dasarnya perencanaan sebagai fungsi Manajemen adalah proses pengambilan keputusan dari

sejumlah pilihan, untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki. Perencanaan pembangunan pada umumnya harus memiliki, mengetahui dan memperhitungkan beberapa unsur pokok, yaitu: (1) tujuan akhir yang dikehendaki, (2) sasaran-sasaran dan prioritas untuk mewujudkannya (yang mencerminkan pemilihan dari berbagai alternatif), (3) jangka waktu mencapai sasaran-sasaran tersebut, (4) masalah-masalah yang dihadapi, Bab 3 Administrasi Bagi Pembangunan www.ginandjar.com 21 (5) modal atau sumber daya yang akan digunakan serta pengalokasiannya, (6) kebijaksanaan-kebijaksanaan untuk melaksanakannya, (7) orang, organisasi, atau badan pelaksananya (8) mekanisme pemantauan, evaluasi, dan pengawasan pelaksanaannya. Untuk dapat melakukan perencanaan dengan baik diperlukan informasi yang memadai, seperti statistik. Oleh karena itu menjadi tugas manajemen pembangunan untuk mengupayakan tersedianya informasi yang dibutuhkan dan mengembangkan metodologi pengolahan informasi untuk memenuhi kebutuhan perencanaan. Ada berbagai sifat perencanaan, yang tergantung dari cara melihat atau pendekatannya. Dari segi ruang lingkup tujuan dan sasarannya, perencanaan dapat bersifat nasional, sektoral dan spasial. Terkait dengan itu,

perencanaan dapat berupa perencanaan agregatif atau komprehensif dan parsial. Dalam jangkauan dan hirarkinya, ada perencanaan tingkat pusat dan tingkat daerah. Dari jangka waktunya, perencanaan dapat bersifat jangka panjang, menengah, atau jangka pendek. Dilihat dari arus informasi, perencanaan dapat bersifat dari atas ke bawah (top down), dari bawah ke atas (bottom up), atau kedua-duanya. Dari segi ketetapan atau keluwesan proyeksi ke depannya, perencanaan dapat indikatif atau preskriptif. Berdasarkan sistem politiknya, perencanaan dapat bersifat alokatif, inovatif dan radikal (Friedman, 1987). Sedangkan produk perencanaan dapat berbentuk rencana (plan), kebijaksanaan, peraturan, alokasi anggaran, program, atau proyek. Berbagai bukti empiris, seperti jatuhnya sitem komunisme dan gejala globalisasi, menunjukkan bahwa sistem ekonomi pasar lebih unggul daripada sistem lainnya, yang disebut centrally-planned atau nonmarket economy. Dalam keadaan demikian dengan sendirinya peran perencanaan dipersoalkan. Dengan gagalnya sitem perencanaan terpusat, atau sistem ekonomi komando, banyak pandangan yang berpendapat bahwa perencanaan tidak diperlukan. Mekanisme pasar akan merupakan jalan yang terbaik karena mengatur secara alamiah pengalokasian sumbersumber daya. Kegagalan perencanaan di berbagai negara berkembang seperti India, Afrika, dan Amerika Latin di masa lalu, telah menyebabkan adanya sikap skeptis di kalangan sementara ahli mengenai efektifitas perencanaan ekonomi untuk membangun negara berkembang

(Bosworth dan Ofer, 1995; Boettke, 1994). Pada dasarnya, kecenderungan yang umum adalah makin berkurangnya peran pemerintah dalam kehidupan masyarakat terutama di Bidang ekonomi. Telah banyak kepustakaan yang membahas soal ini. Selain itu, integrasi ekonomi dan kemajuan teknologi informasi juga dipandang oleh para ahli akan membawa konsekuensi terjadinya erosi terhadap kewenangan pemerintah dalam mengatur ekonomi karena adanya kekuatan lain yang sulit dibendung. Ada yang menyebutnya sebagai berakhirnya negara bangsa (nation-state) sebagai konsep ekonomi (Ohmae, 1995), dan bahwa masa ini adalah masa senjanya konsep kedaulatan suatu bangsa (Wriston, 1992). Oleh karena itu, peran negara dan pemerintah dalam ekonomi dunia yang makin menyatu, telah dan akan menjadi bahan telaah yang makin intensif lagi di masa depan, baik oleh para ahli ilmu poltik, administrasi, ekonomi, maupun sosial. Namun, pada umumnya para ahli berpendapat bahwa dalam sistem ekonomi pasar pun perencanaan tetap diperlukan. Osterfeld (1992) antara lain menyatakan bahwa historically there has been neither a pure market system nor a pure non-market system. Yet every actual economy has been some blend of the two. It could not be otherwise, for there are, in fact, no other possibilities. Bahkan Friedman (1987) lebih tegas lagi menyatakan bahwa even in a country like the United States, with its fervent dedication to the principle of market retionality, may planning activities are undertaken at all the pertinent territorial levels.

Yang menjadi masalah dan bahan kajian para ahli adalah menemukan dan mengembangkan model perencanaan yang tepat. Tidak ada satu sistem perencanaan yang dapat diberlakukan untuk semua, karena selain peran lembaga-lembaga politik dan ekonomi yang umumnya dapat disusun model-model idealnya, faktor budaya seperti dikatakan oleh Osterfeld (1992) dangat berpengaruh pula. Ia lebih jauh menyatakan bahwa some markets may function best when left unregulated, while satisfactory performance in others may require regulation. Dari pengalaman negara-negara di Asia yang berhasil pembangunannya, memang dapat ditarik kesimpulan bahwa perencanaan berperan besar dalam keberhasilan itu. misalnya Jepang, satu-satunya negara industri yang memiliki lembaga perencanaan, yaitu Economic Planning Agency, yang dipimpin oleh seorang menteri (meskipun sebutannya adalah Direktur Jenderal). Lembaga ini, yang ketika dilahirkan pada tahun 1946 bernama Economic Stabilization Board, sejak awal berperan mengarahkan perekonomian Jepang. Lembaga inilah yang membuat rencana komprehensif untuk pemulihan kembali (recovery) Jepang (Kartasasmita, 1996d). Negara-negara industri baru, seperti Korea dan Taiwan, juga memiliki lembaga-lembaga perencanaan yang berperan besar dalam mengarahkan gerak pembangunan ekonomi sehingga mengahasilkan kemajuan seperti yang dicapai sekarang. Bank Dunia bahkan menunjukkan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi di negara-negara Asia Timur (termasuk Indonesia) antara

www.ginandjar.com 22 lain disebabkan oleh adanya intervensi yang tepat dari pemerintahnya (World Bank, 1993). Kegagalan perencanaan biasanya terjadi bukan karena adanya perencanaan itu sendiri, melainkan dapat bersumber pada berbagai sebab antara lain: Pertama, penyusunan perencanaan tidak tepat, mungkin karena informasinya kurang lengkap, metodologinya belum dikuasai, atau perencanaannya sejak semula memang tidak realistis sehingga tidak mungkin pernah bisa terlaksana. Dalam hal terakhir ini, biasanya pengaruh politis terlalu besar sehingga pertimbanganpertimbangan teknis perencanaan diabaikan. Kedua, perencanaannya mungkin baik, tetapi pelaksanaannya tidak seperti seharusnya. Dengan demikian, kegagalan terjadi karena tidak berkaitnya perencanaan dengan pelaksanaannya. Penyebabnya dapat karena aparat pelaksana yang tidak siap atau tidak kompeten, tetapi dapat juga karena rakyat tidak punya kesempatan berpartisipasi sehingga tidak mendukungnya. Ketiga, perencanaan mengikuti paradigma yang ternyata tidak sesuai dengan kondisi dan perkembangan serta tidak dapat mengatasi masalah mendasar negara berkembang. Misalnya, orientasi semata-mata pada pertumbuhan yang menyebabkan makin melebarnya kesenjangan. Dengan demikian, yang keliru bukan sematamata perencanaannya, tetapi falsafah atau konsep di balik perencanaan itu. Keempat, karena perencanaan diartikan sebagai pengaturan total kehidupan manusia sampai yang paling

kecil sekalipun. Perencanaan di sini tidak memberikan kesempatan berkembangnya prakarsa individu dan pengembangan kapasitas serta potensi masyarakat secara penuh. Sistem ini bertentangan dengan hukum penawaran dan permintaan karena pemerintah mengatur semuanya. Perencanaan seperti inilah yang disebut sebagai sistem perencanaan terpusat (centrally planned system). Sistem perencanaan yang berhasil diterapkan negara yang telah terbukti kemajuannya, seperti Jepang dan negara-negara industri baru, adalah sistem perencanaan yang mendorong berkembangnya mekanisme pasar dan peran serta masyarakat. Dalam sistem itu perencanaan dilakukan dengan menentukan sasaransasaran secara garis besar, baik di bidang sosial maupun ekonomi, dan pelaku utamanya adalah masyarakat dan usaha swasta. Gharajedaghi bekerja sama dengan Ackoff (1986) menunjukkan perencanaan ideal yang disebutnya sebagai interactive planning, yang memenuhi tiga prinsip, yaitu prinsip partisipatif, kesinambungan dan holistik. Prinsip partisipatif menunjukkan bahwa rakyat atau masyarakat yang akan diuntungkan oleh (atau memperoleh manfaat dari) perencanaan harus turut serta dalam prosesnya. Dengan kata lain masyarakat menikmati faedah perencanaan bukan semata-mata dari hasil (product) perencanaan, tetapi dari keikutsertaan dalam prosesnya. Prinsip kesinambungan menunjukkan bahwa perencanaan tidak hanya berhenti pada satu tahap; tetapi harus berlanjut sehingga menjamin adanya kemajuan terus-menerus dalam kesejahteraan, dan jangan sampai terjadi kemunduran

(relapse). Juga diartikan perlunya evaluasi dan pengawasan dalam pelaksanaannya sehingga secara terusmenerus dapat diadakan koreksi dan perbaikan selama perencanaan dijalankan. Prinsip holistik menunjukkan bahwa masalah dalam perencanaan dan pelaksanaannya tidak dapat hanya dilihat dari satu sisi (atau sektor) tetapi harus dilihat dari berbagai aspek, dan dalam keutuhan konsep secara keseluruhan. Dalam konsep tersebut, sistem yang dikehendaki (ideal) selain harus mencakup hal-hal di atas, juga mengandung sistem yang dapat berkembang (a learning and adaptive system) serta terbuka dan demokratis, yang disebutnya sebagai a pluralistic social setting. Sebagai kesimpulan, perencanaan dapat dilakukan dan bahkan diperlukan untuk pembangunan, dengan memenuhi syarat sebagai berikut: (1) bersifat garis besar dan indikatif, (2) mengendalikan dan mengarahkan investasi pemerintah yang mendorong meningkatnya usaha masyarakat swasta, (3) mendorong bekerjanya pasar, (4) mengikutsertakan masyarakat dalam prosesnya, (5) memajukan golongan masyarakat (dan wilayah) yang dengan ekonomi pasar saja tidak mungkin berkembang atau bersaing dalam memperoleh akses faktor-faktor produksi. Pengerahan Sumber Daya Dengan perencanaan yang telah tersusun, langkah berikutnya dalam manajemen pembangunan adalah

memobilisasi sumber daya yang diperlukan. Sumber daya pembangunan tersebut pada pokoknya berupa dana (modal), sumber daya manusia, teknologi, dan organisasi atau kelembagaan. Mobilisasi Dana Pembangunan Dana pembangunan bersumber dari pemerintah dan masyarakat. Manajemen pembangunan bertugas memobilisasi dana pembangunan yang dapat dihasilkan dari kegiatan pemerintah seperti pajak dan penerimaan lain di luar pajak dan tabungan masyarakat. Jika tabungan www.ginandjar.com 23 pemerintah dan tabungan masyarakat tidak memadai untuk mencapai sasaran pembangunan yang diinginkan, maka diupayakan sumber dana pembangunan dari luar negeri, dengan syarat yang paling menguntungkan. Tugas manajemen pembangunan pula untuk merangsang berkembangnya investasi masyarakat, yang bersumber dari dalam dan luar negeri. Upaya itu tertuang dalam berbagai kebijaksanaan ekonomi, seperti kebijaksanaan fiskal dan moneter, perizinan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan lain di bidang perdagangan, industri, dan investasi pada umumnya. Manajemen pembangunan bertugas pula memelihara stabilitas agar pembangunan dapat menghasilkan peningkatan kesejahteraan yang nyata, dan agar masyarakat memiliki kepercayaan pada perekonomian nasional, sehingga dapat menciptakan iklim investasi yang baik. Penyiapan Sumber Daya Manusia Kelemahan negara berkembang dalam

menyelenggarakan pembangunan terutama terletak pada sumber daya manusia, ada kalanya pada kuantitas, tetapi pada umumnya adalah pada kualitasnya. Oleh karena itu, menjadi tugas manajemen pembangunan untuk menyiapkan sumber daya manusia yang dapat memenuhi kebutuhan pembangunan berupa tenaga kerja yang berkualitas, yakni tenaga kerja yang kreatif, produktif, memiliki disiplin dan etos kerja, serta mampu mengembangkan potensi dan memanfaatkan peluang (enterprising). Upaya ke arah itu meliputi kegiatan di hampir semua bidang pembangunan, terutama: (1) pendidikan dan pelatihan, (2) ilmu pengetahuan dan teknologi, (3) kesehatan, (4) kependudukan, dan (5) agama dan budaya. Pemanfaatan Teknologi Setiap upaya pembangunan memerlukan teknologi yang tepat. Makin tinggi taraf perkembangan sebagai hasil pembangunan, makin canggih dan beragam teknologi yang dibutuhkan. Dalam kenyataannya, tidak semua teknologi sudah tersedia atau telah dikuasai oleh negara berkembang. Oleh karena itu, pembangunan memerlukan alih teknologi dari negara maju ke negara berkembang. Langkah berikutnya yakni mengembangkan kemampuan teknologi di dalam negeri. Sasarannya adalah mengembangkan kemandirian teknologi, dalam arti kebutuhan teknologi yang mendasar harus dapat dipenuhi sendiri. Dalam kaitan ini, manajemen pembangunan bertugas mendorong diperolehnya teknologi yang diperlukan untuk melaksanakan pembangunan secara efektif dan efisien. Dalam mengembangkan teknologi,

manajemen pembangunan perlu memperhatikan kondisi sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat. Kondisi sosial ekonomi turut menentukan dalam pemilihan jenis teknologi padat modal, atau di antaranya, atau gabungan keduanya. Kondisi sosial budaya turut menentukan proses transformasi penguasaan teknologi dari pengguna menjadi penghasil teknologi. Penguatan Kelembagaan Salah satu kelemahan dalam administrasi di negara berkembang adalah unsur kelembagaan, padahal pembangunan memerlukan dukungan kelembagaan. Kelembagaan yang tercipta di negara berkembang pada umumnya adalah kelembagaan tradisional atau warisan penjajahan. Pembangunan sebagai kegiatan yang kompleks, yang meliputi berbagai disiplin, sektor, kepentingan, dan kegiatan, memerlukan lembaga-lembaga yang mampu menampung, menyalurkan, dan mengatasi, serta mensinergikan berbagai aspek tersebut. Kelembagaan dalam hal ini mengandung arti luas, yaitu dapat berupa organisasi-organisasi formal seperti diartikan oleh Esman (1971), antara lain birokrasi, dunia usaha, partai-partai politik, tetapi juga dapat berupa lembaga ekonomi seperti pasar, lembaga-lembaga hukum, dan sebagainya. Menjadi tugas menajemen pembangunan untuk membangun dan mempersiapkan lembaga yang dibutuhkan agar upaya pembangunan dapat berhasil mencapai sasarannya. Pertama-tamanya tentunya organisasi pemerintah perlu dibangun agar dapat berfungsi

sebagai alat pembangunan (mengenai hal ini akan dibahas lebih lanjut dalam Bab berikutnya). Selain itu, juga harus dibangun lembaga-lembaga sosial ekonomi dan sosial politik masyarakat, agar pembangunan dapat berlangsung efisien dan memperoleh partisipasi yang seluas-luasnya dari masyarakat, dan dilakukan dengan derajat rasionalitas yang tinggi. Menggerakkan Partisipasi Masyarakat Pada tahap awal pembangunan, peranan pemerintah biasanya besar. Kegiatan pembangunan sebagian besar adalah usaha pemerintah. Bahkan di negara yang faham sosialisme yang murni, seluruh kegiatan pembangunan adalah tanggung jawab pemerintah. Namun, dalam keadaan negara berperan besar sekali pun, partisipasi masyarakat diperlukan untuk menjamin berhasilnya pembangunan. Studi empiris banyak menunjukkan banyak menunjukkan kegagalan pembangunan, atau pembangunan tidak mencapai sasaran, karena kurangnya partisipasi www.ginandjar.com 24 rakyat. Bahkan banyak kasus menunjukkan rakyat menentang upaya pembangunan. Keadaan itu dapat terjadi karena beberapa sebab, antara lain: (1) pembangunan hanya menguntungkan segolongan kecil dan tidak menguntungkan rakyat banyak, bahkan pada sisi ekstrim dirasakan merugikan, (2) pembangunan meskipun dimaksudkan untuk menguntungkan rakyat banyak, tetapi rakyat kurang memahami maksud itu, (3) pembangunan dimaksudkan untuk menguntungkan

rakyat, dan rakyat memahaminya, tapi cara pelaksanaannya tidak sesuai dengan pemahaman itu, (4) pembangunan dipahami akan menguntungkan rakyat, tetapi sejak semula rakyat tidak diikutsertakan. Oleh karena itu, menjadi tugas manajemen pembangunan untuk menjamin bahwa pembangunan: (1) harus menggunakan rakyat, (2) harus dipahami maksudnya oleh rakyat, (3) harus mengikutsertakan rakyat dalam pelaksanaannya, dan (4) dilaksanakan sesuai dengan maksudnya, secara jujur, terbuka, dan dapat dipertanggungjawabkan. Menggerakkan partisipasi masyarakat bukan hanya esensial untuk mendukung kegiatan pembangunan yang digerakkan oleh pemerintah, tetapi juga agar masyarakat berperan lebih besar dalam kegiatan yang dilakukannya sendiri. Dengan demikian, menjadi tugas penting manajemen pembangunan untuk membimbing, menggerakkan, dan menciptakan iklim yang mendukung kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat. Upaya itu dilakukan melalui kebijaksanaan, peraturan, serta kegiatan pembangunan pemerintah yang diarahkan untuk menunjang, merangsang, dan membuka jalan bagi kegiatan pembangunan masyarakat. Dalam rangka ini, berkembang konsep pemberdayaan masyarakat yang pada hakikatnya memampukan dan memandirikan masyarakat. Penganggaran Penganggaran merupakan salah satu kegiatan utama setiap manajemen. Penganggaran sangat erat kaitannya dengan perencanaan, karena pada prinsipnya penganggaran merupakan rencana pembiayaan yang

disusun untuk kurun waktu yang telah ditentukan. Dengan demikian, dalam perencanaan tercakup penganggaran, dan sebaliknya penganggaran dimulai dengan perencanaan. Sistem penganggaran pertama kali dikembangkan pada tahun 1822 di Inggris. Rubin (1992) menyatakan bahwa anggaran menghubungkan tugas (tasks) yang akan dilakukan dengan jumlah sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakannya. Anggaran membatasi pengeluaran sepadan dengan penerimaan, menjaga keseimbangan, dan mencegah pengeluaran yang berlebihan di atas batas kemampuan. Dalam anggaran negara ada kaitan yang erat antara rakyat sebagai pembayar pajak dengan pemerintah sebagai pengguna dana yang bersumber dari rakyat. Falsafah anggaran suatu negara mencerminkan sistem politiknya, atau secara lebih terang di mana terletak kekuasaan atau kedaulatan. Dalam sistem politik yang demokratis, kekuasaan rakyat (melalui wakil-wakilnya) menentukan kebijaksanaan anggaran. Dalam sistem tersebut, anggaran ditetapkan dengan UU, yakni atas usul pemerintah dan disetujui lembaga perwakilan rakyat. Oleh karena itu, seperti dikatakan Rubin (1992), anggaran negara memiliki selain aspek teknis juga aspekaspek politis. Selain itu, anggaran negara sangat terbuka terhadap lingkungan, dalam arti dipengaruhi oleh ekonomi, opini publik, berbagai tingkat pemerintahan, kelompokkelompok kepentingan, pers dan kaum politisi. Anggaran pada dasarnya terdiri dari penerimaan dan pengeluaran. Penerimaan negara dapat bersumber dari

pajak dan penerimaan lain di luar pajak. Jika penerimaan negara tidak mencukupi untuk membiayai kegiatan yang ingin dilakukan, negara dapat melakukan pinjaman, pinjaman tersebut berasal dari dalam dan luar negeri. Sisi pengeluaran dari anggaran negara dapat dibagi dua. Pertama, anggaran rutin, yakni anggaran yang diperlukan untuk biaya rutin pemerintah, seperti gaji pegawai, belanja barang rutin, dan sebagainya. Jika negara ada hutang, maka pelunasan cicilan seringkali dimasukkan ke dalam belanja rutin. Kedua, anggaran pembangunan, yakni dana yang tersedia untuk membiayai kegiatan pembangunan yang direncanakan. Anggaran pembangunan terdiri dari dana yang bersumber dari penerimaan dalam negeri dikurangi belanja rutin yang disebut juga sebagai tabungan pemerintah, dan bantuan luar negeri berupa pinjaman atau hibah. Pinjaman luar negeri dapat berbentuk bantuan program dan bantuan proyek. Bantuan program biasanya adalah dana luar negeri yang dapat digunakan di dalam negeri, dan umumnya terkait dengan upaya memperkuat neraca pembayaran atau cadangan devisa. Bantuan proyek adalah bantuan luar negeri yang terkait dengan proyek pembangunan yang akan dibiayai dengan bantuan tersebut. Bantuan hibah umumnya diberikan dalam bentuk bantuan teknik, meskipun adapula yang diberikan untuk membangun proyek secara keseluruhan. Bantuan teknik biasanya untuk membantu pembangunan kelembagaan, pendidikan, bantuan tenaga ahli atau peralatan. Anggaran negara dapat menempuh prinsip anggaran berimbang, yakni pengeluaran tidak melampaui

penerimaan, dan perbedaannya ditutup dengan pinjaman. Pinjaman tersebut dapat berjangka pendek atau berjangka panjang. Pinjaman dapat berupa langsung kepada lembaga www.ginandjar.com 25 penyandang dana seperti bank, atau kepada masyarakat, misalnya melalui penjualan obligasi (bonds). Dalam kaitan dengan anggaran ini, salah satu tugas manajemen pembangunan adalah mengalokasikan anggaran sesuai dengan prioritas dan menjaga agar dana pembangunan digunakan dengan sebaik-baiknya, yaitu sesuai rencana, hemat, serta mencegah pemborosandan kebocoran. Dalam hal ini, perhatian utama diberikan pada pengalokasian anggaran pembangunan untuk membiayai kegiatan yang merupakan bagian dari upaya pembangunan yang direncanakan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kegiatan penganggaran merupakan sisi lain atau kelanjutan dari perencanaan pembangunan. Anggaran pembangunan dialokasikan pada proyek-proyek pembangunan berdasarkan program dan sektor-sektor pembangunan yang mendapat prioritas dalam perencanaan. Dalam teori anggaran ada berbagai format dan teknik anggaran. Dari segi format, Rubin menunjukkan beberapa format yaitu constant services budget, line item budget, program budget, performance budget,zero based budget, dan target based budget. Sedangkan dari segi teknik, berbagai teknik berkembang untuk menjamin keterkaitan antara perencanaan dan penganggaran, yaitu planning, programming and budgeting system (PPBS). Selain itu, melalui management by objectives (MBO) diupayakan pula keterkaitan antara sasaran yang hendak

dicapai dengan anggaran. Pelaksanaan Pembangunan Banyak kegiatan pembangunan yang harus dilakukan oleh pemerintah, setidak-tidaknya pada tahap awal pembangunan. Yang paling utama adalah pembangunan prasarana dasar, baik prasarana ekonomi maupun sosial. Prasarana ekonomi meliputi perhubungan dan transportasi, energi, irigasi, dan sebagainya. Prasarana sosial mencakup prasarana pendidikan seperti sekolahsekolah dan prasarana kesehatan seperti rumah sakit. Di samping prasarana fisik, pemerintah juga perlu memperhatikan pembangunan lembaga-lembaga sosial, baik lembaga politik, hukum, budaya, maupun ekonomi. Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah biasanya dituangkan dalam mekanisme proyek-proyek pembangunan. Proyek-proyek pembangunan harus memuat dengan jelas tujuannya (objective), sasaran yang akan dicapai (target), cara mengukur keberhasilannya (performance evaluation), jangka waktu pelaksanaannya, tempat pelaksanaannya, cara melaksanakan, kebijaksanaan untuk menjamin proyek itu dapat dilaksanakan, biaya serta tenaga yang diperlukan, dan badan yang akan melaksanakannya. Apabila proyek itu merupakan bagian dari kegiatan yang lebih besar, biasanya disebut program, harus jelas keterkaitan proyek dengan tujuan dan sasaran program, serta dengan proyek-proyek lain yang berada dalam program yang sama. Dalam pelaksanaannya, proyek dapat dilakukan sendiri oleh badan pemerintah, baik oleh pemilik proyek maupun badan pemerintah lain, baik di tingkat pusat

maupun daerah dalam hal ada otonomi atau desentralisasi. Untuk itu perlu ada mobilisasi tenaga serta kesiapan lembaga pemerintah yang akan melaksanakannya. Proyek dapat pula dilaksanakan oleh badan lain di luar pemerintah biasanya perusahaan swasta, baik asing maupun dalam negeri atau campuran. Badan tersebut dapat ditunjuk langsung atau dapat dipilih melalui pelelangan. Pelelangan biasanya cara terbaik, karena dalam pelelangan ada persaingan yang sehat yang menguntungkan baik secara teknis maupun dari segi biaya. Selain itu, pengadaan barang dan jasa untuk proyek pembangunan ini merupakan bagian yang peka dan rawan terhadap tindakan penyelewengan. Oleh karena itu, keterbukaan dan kebertanggungjawaban diperlukan untuk mencegah terjadinya penyelewengan, pemborosan, dan kebocoran. Dalam kaitan dengan pelaksanaan pembangunan oleh pemerintah seperti dijelaskan di atas, adalah tugas manajemen pembangunan untuk menjamin bahwa proyekproyek pembangunan yang secara fisik dilaksanakan atau dibiayai oleh anggaran pemerintah, berjalan seperti yang dikehendaki dan mencapai sasaran seperti yang direncanakan, dengan cara yang seefisien mungkin. Koordinasi Koordinasi merupakan salah satu fungsi pokok dari manajemen. Koordinasi adalah pekerjaan sehari-hari dan setiap hari dari manajemen. Koordinasi selalu diperlukan dalam organisasi yang besar dan kompleks, serta dalam kehidupan modern, karena dalam berbagai kegiatan untuk suatu tujuan, atau yang berlainan tujuan, selalu ada hal-hal yang saling berkaitan. Dengan

koordinasi diupayakan agar pembangunan yang dilaksanakan dalam berbagai sektor dan oleh berbagai badan serta di berbagai daerah berjalan serasi dan menghasilkan sinergi. Koordinasi merupakan jawaban terhadap kebutuhan desentralisasi. Dalam perkembangan masyarakat dan upaya pembangunan yang makin kompleks, pengendalian yang serba terpusat sudah tidak dimungkinkan lagi untuk menjamin efisiensi dan efektivitas pelayanan masyarakat dan pembangunan. Namun, karena pada dasarnya ada kecenderungan divergensi dalam organisasi yang terpisah, maka diperlukan koordinasi sebagai alternatif terhadap sentralisasi. Koordinasi merupakan pekerjaan yang tidak mudah, dan merupakan tugas manajemen pembangunan untuk menjamin bahwa segala usaha pembangunan www.ginandjar.com 26 berjalan dalam arah yang sesuai dan menuju pada pencapaian sasaran. Koordinasi dengan demikian merupakan upaya untuk menghasilkan pembangunan yang efisien dalam pemanfaatan sumber daya untuk menjamin tercapainya tujuan dan sasaran secara optimal. Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan pembangunan yang dilakukan pemerintah dan masyarakat harus dipantau terus-menerus dan dievaluasi perkembangannya. Tujuannya adalah untuk mengetahui seberapa jauh pembangunan telah dilaksanakan dan bagaimana hasilnya diukur dengan sasaran yang ingin dicapai. Atas dasar hasil evaluasi dapat

diambil langkah-langkah agar pelaksanaan pembangunan selanjutnya menunjang dan tidak merugikan upaya pembangunan secara keseluruhan. Dengan demikian, tujuan dan sasaran pembangunan secara maksimal dapat tetap tercapai. Pemantauan diperlukan pula agar pelaksanaan pembangunan yang bergeser dari rencana dapat diketahui secara dini dan diambil langkah-langkah yang sesuai. Pergeseran itu dapat berupa (1) sasaran yang tidak tercapai, (2) sasaran terlampaui, dan (3) ada peralihan dari sasaran satu ke sasaran lain. Pelaksanaan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana dapat disebabkan antara lain oleh: (1) ada hambatan yang tidak diketahui atau diperhitungkan pada waktu perencanaan, (2) ada perkembangan keadaan yang tidak dapat diantisipasi pada tahap perencanaan, (3) realisasi dari perkiraan yang berbeda dari perencanaan, (4) atau karena perencanaannya yang keliru. Oleh karena itu, menjadi tugas manajemen pembangunan untuk memantau dan mengevaluasi pelaksanaan pembangunan, serta mengambil langkahlangkah apabila dari hasil pemantauan diperlukan pemecahan masalah atau perubahan (revisi) pada upaya pembangunan yang direncanakan. Dalam rangka evaluasi, dikenal adanya evaluasi kinerja (performance evaluation) yang dapat memberikan informasi tidak hanya menyangkut input dan outputtetapi lebih jauh lagi menyangkut hasil (result) dan manfaat

(benefit), termasuk pula dampaknya. Pelaksanaan evaluasi tersebut perlu dilakukan secara sistematis dan melembaga. Dengan demikian diharapkan pelaksanaan rencana dan program-program pembangunan mengarah pada terwujudnya sasaran yang telah ditetapkan, yaitu dicapainya hasil yang optimal dari setiap investasi yang dilakukan, tercapainya efisiensi, dan peningkatan produktivitas dalam pengelolaan sumber daya, serta peningkatan kualitas produk dan jasa yang ingin dihasilkan. Evaluasi kinerja pembangunan dapat dilaksanakan pada setiap tahap, yakni pada tahap proyek sedang berjalan (on going evaluation), tahap proyek selesai dibangun (terminal evaluation), dan pada tahap proyek yang sudah berfungsi (expost evaluation) untuk dijadikan bahan masukan ke dalam siklus manajemen proyek. Input terkait dengan sumber daya yang tersedia, misalnya jumlah dana yang dialokasikan, sumber daya manusia yang tersedia, teknologi, sumber daya alam, dan lain-lainnya, yang merupakan masukan untuk terselenggaranya proyek pembangunan. Output merupakan hasil keluaran dari proses input yang tersedia. Effect (outcome/result) merupakan hasil/fungsi dari output sedangkan impact/benefit merupakan konstribusi hasil effect(outcome/result) terhadap kondisi yang lebih makro, seperti kesejahteraan masyarakat, perkembangan ekonomi sektoral, daerah, dan nasional. Dalam pelaksanaannya, evaluasi kinerja menempuh dua cara yaitu (1) menetapkan indikator-indikator kinerja, dan (2) melaksanakan studi evaluasi kinerja. Kedua cara tersebut dalam pelaksanaan

evaluasi kinerja saling terkait. Evaluasi kinerja bukanlah audit, riset atau inspeksi, karena evaluasi kinerja sangat berorientasi pada hasil akhir termasuk dampaknya. Evaluasi kinerja tidak begitu menekankan pada proses seperti audit, yang menekankan pada compliance terhadap rulles and regulations. Dalam melaksanakan studi evaluasi kinerja informasi indikator kinerja yang sudah ada akan menjadi bahan dasar dalam melakukan evaluasi maupun pengembangan indikator kinerja selanjutnya. Pengawasan Pelaksanaan Pembangunan Pemantauan dan pengawasan pembangunan pada dasarnya merupakan rangkaian kegiatan yang memiliki obyek yang sama, yakni mengikuti perkembangan pelaksanaan pembangunan agar senantiasa sesuai dengan rencana. Dalam banyak literatur, kedua kegiatan itu tidak dipisahkan. Tapi dalam pembahasan ini dilakukan pemisahan untuk menunjukkan adanya dua kegiatan yang serupa tetapi tidak harus selalu sama, atau masing-masing dilakukan oleh lembaga atau unit organisasi yang berbeda. Menurut Steiss (1982), salah satu fungsi pengawasan adalah meningkatkan kebertanggungjawaban (accountability) dan keterbukaan (transparancy) sektor publik. Pengawasan pada dasarnya berfungsi menekankan langkah-langkah pembenahan atau koreksi (corrective actions) jika dalam suatu kegiatan terjadi kesalahan atau perbedaan dari tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan (Fayol, 1949; Jerome, 1961; Koonts dan O Donnell, www.ginandjar.com 27 1968). Langkah-langkah pembenahan dari fungsi

pengawasan sering kali lebih dititik beratkan pada penanganan sumber-sumber dana (financial resources) agar sesuai dengan peraturan yang berlaku dan untuk lebih meningkatkan efektivitas dan efisiensi kegiatan secara menyeluruh (Anthony, 1965). Mockler (1972) menyatakan bahwa langkahlangkah pengawasan seyogyanya lebih ditekankan pada hal-hal yang positif dan bersifat pencegahan. Untuk itu pengawasan memerlukan suatu standar kinerja atau indikator yang dapat digunakan sebagai pembanding atau referensi dari kinerja aktualnya. Penentuan standar kinerja bagi pengawasan ini membutuhkan masukan dan peran serta para pelaksana di lapangan sehingga dapat dihasilkan suatu standar yang realistik dan akurat. Dengan dasar argumen yang sama, Literer (1973) juga menyarankan penggunaan standar kinerja sebagai kerangka acuan (frame of reference) kegiatan. Pelaksanaan pembangunan pada hakikatnya melibatkan tiga faktor, yaitu (a) manusia dengan beragam perilakunya, (b) faktor dana yang tergantung pada kemampuan keuangan negara, dan (c) faktor alam yang sulit diramalkan. Oleh karena itu penyimpanganpenyimpangan dalam melaksanakan pembangunan mungkin saja dapat terjadi. Dalam hal ini pengawasan perlu dilakukan sehingga penyimpangan secara lebih dini dapat segera diketahui, guna menghindari kerugian yang lebih besar. Keberhasilan sebuah rencana biasa diukur menurut tingkat penyimpangan antara yang telah direncanakan dan apa yang dicapai, baik dari sudut pencapaian sasaran,

waktu, manfaat, maupun aturannya. Pengawasan pelaksanaan pembangunan pada dasarnya merupakan rangkaian kegiatan untuk mengikuti perkembangan pelaksanaan pembangunan dan menindaklanjuti agar kegiatan pembangunan senantiasa sesuai dengan rencana yang ditetapkan. Dalam pengertian ini pengawasan termasuk pula mengarahkan dan mengkoordinasikan antar kegiatan dalam pelaksanaan proyek-proyek agar pemborosan dan penyelewengan dapat dicegah. Dengan demikian, kegiatan pengawasan harus bersifat obyektif, serta dapat mengungkapkan fakta-fakta tentang pelaksanaan suatu pekerjaan. Sifat obyektif ini meliputi unsur teknis dan administratif. Obyektif secara teknis misalnya, apakah pekerjaan bangunan beton telah mengikuti spesifikasi teknis dan prosedur pekerjaan yang telah ditentukan; sedangkan obyektif secara administratif misalnya, apakah suatu pekerjaan telah mengikuti prosedur administratif yang baik dan benar sesuai peraturan yang berlaku. Pengawasan bukan merupakan suatu tujuan, melainkan sarana untuk meningkatkan efisiensi dalam melaksanakan kegiatan. Di dalamnya termasuk unsur pencegahan terhadap penyimpangan-penyimpangan yang mungkin terjadi. Oleh karena itu, kegiatan pengawasan tidak hanya dilakukan dalam tahap pelaksanaan. Artinya aspek pengawasan telah masuk selagi proyek-proyek pembangunan masih dalam tahap perencanaan. Kegiatan pengawasan bukan semata-mata mencari siapa yang bersalah, tetapi apa yang salah dan mengapa kesalahan itu terjadi. Sehingga dalam kegiatan

pengawasan ada unsur membimbing dan mendidik terhadap pelaksana pembangunan untuk meningkatkan kemampuan dan profesionalismenya. Pengawasan merupakan unsur yang pokok bagi setiap manajemen, termasuk manajemen pembangunan. Dalam sistem administrasi negara, pengawasan ada hirarkinya,sesuai dengan tingkatan dan ruang lingkupnya. Pengawasan bersifat berjenjang dan dapat dilakukan sebagai bagian dari kegiatan yang organik dari dalam dan dari luar. Oleh karena itu, dikenal adanya pengawasan internal dan eksternal. Johnson, Kast, dan Rosenzweig (1973) membagi sistem pengawasan ke dalam: (1) pengawasan organisasional dan (2) pengawasan operasional. Pengawasan organisasional adalah sistem pengawasan umum yang menilai kinerja keseluruhan dari suatu kegiatan di dalam organisasi. Standar pengukuran yang lazim digunakan bagi pengawasan jenis ini adalah pengukuran efektivitas (measurement of effectiveness) dari kegiatan tersebut. Dari hasil pengukuran effektivitas tersebut, umpan balik yang dihasilkan dapat digunakan untuk mengevaluasi tujuan dan sasaran, merumuskan perencanaan tahap berikutnya, serta memperbaiki petunjuk pelaksanaan kegiatan (standard operating procedures). Sedangkan pengawasan operasional adalah sistem pengawasan yang digunakan untuk mengukur kinerja harian suatu kegiatan dan memberikan langkah-langkah koreksi langsung (immediate corrective actions). Johnson, Kast, dan Rosenzweig (1973) juga menguraikan fungsi pengawasan dengan

mengidentifikasikan empat unsur pokok pengawasan. Unsur-unsur tersebut meliputi: (1) penentuan standar kinerja, (2) perumusan instrumen pengawasan yang dapat dipergunakan dalam mengukur kinerja suatu kegiatan, (3) pembandingan hasil aktual dengan kinerja yang diharapkan, dan (4) pengambilan langkah-langkah pembenahan atau koreksi. Dalam konsep pengawasan ada unsur yang mengawasi dan diawasi. Di sini, selain kriteria pelaksanaan (proyek) pembangunan yang ditetapkan dalam rancangannya (project design), terlihat pula segi penegakan norma-norma etika. Misalnya, sasaran tidak tercapai apakah karena keadaan yang berubah dari semula, karena kelalaian pelaksanaan atau ada unsur kesengajaan untuk keuntungan pelakunya. Pengawasan dengan www.ginandjar.com 28 demikian mengandung makna penegakan hukum dan disiplin. Pengawasan dapat menghasilkan keputusan untuk melakukan koreksi dan perbaikan dalam penyelenggaraan pembangunan, dan dapat pula menghasilkan sanksi sesuai hukum yang berlaku. Fungsi pengawasan tidak berdiri sendiri. Kast dan Rosenzweig (1979), Albanese (1975), dan Gannon (1977) menekankan pentingnya hubungan perencanaan dan pengawasan. Perencanaan memberikan kerangka acuan bagi proses pengawasan, dan hasil dari pengawasan seperti juga pemantauan merupakan umpan balik bagi proses perencanaan dan pelaksanaan pada tahap berikutnya. Karakteristik perencanaan juga mempengaruhi proses pengawasan. Perencanaan tentang suatu

permasalahan yang kompleks dan bersifat multisektoral, misalnya, memiliki lebih banyak stakeholders. Sehingga sistem pengawasan yang dibutuhkan, selain dapat mengawasi kegiatan-kegiatan yang lazim dilakukan dalam suatu kegiatan, juga dapat membantu melancarkan koordinasi antarsektor. Demikian pula perencanaan jangka panjang membutuhkan aplikasi pengawasan yang berbeda dengan perencanaan jangka menengah dan jangka pendek. Suatu pengawasan yang efektif membutuhkan tidak saja norma-norma etika tetapi juga sistem informasi yang memadai. Kebutuhan informasi menjadi sangat penting artinya untuk menilai situasi dan kondisi yang melingkupi suatu isu dan mengevaluasi alternatif langkahlangkah selanjutnya. Sistem Informasi dalam Manajemen Pembangunan Ketersediaan data/informasi yang lengkap dan akurat sangat diperlukan dalam manajemen pembangunan, bahkan menjadi modal pokok dalam perencanaan, sehingga perlu dikelola secara baik. Untuk itu, keberadaan sistem informasi yang andal menjadi kebutuhan mutlak dalam mendukung upaya pembangunan, dan berperan dalam strategi penyelenggaraan pembangunan. Sistem informasi merupakan instrumen atau faktor yang penting dalam seluruh kegiatan manajemen, seperti proses perencanaan, penganggaran, pemantauan, dan pengawasan pelaksanaan pembangunan, dalam menunjang upaya meningkatkan efisiensi, efektivitas dan produktivitas dalam pembangunan. Perubahan tatanan dunia yang cepat dan arus informasi yang makin pesat dengan berkembangnya

teknologi informasi dan telekomunikasi, serta persaingan antarbangsa yang makin ketat, menimbulakan tantangan dan peluang baru, yang menuntut ketepatan dan kecepatan dalam mengantisipasi berbagai perubahan dan dalam proses pengambilan keputusan. Dengan demikian, penyelenggaraan pembangunan perlu didukung oleh sistem informasi yang handal. Tanpa sistem informasi yang handal, sulit untuk melakukan penyusunan rencana yang efektif dan terpadu, serta melakukan pengendalian pembangunan. Oleh karena itu, sistem informasi harus menjadi bagian integral dalam administrasi pembangunan. Sistem informasi merupakan suatu kesatuan tatanan yang terdiri atas organisasi, manajemen/prosedur, teknologi, himpunan data, dan sumber daya manusia yang bertugas menghasilkan dan menyampaikan informasi secara cepat, tepat, lengkap dan akurat untuk mendukung berbagai fungsi manajemen dalam mewujudkan sasaran yang dikehendaki. Sistem informasi sangat diperlukan untuk menghasilkan informasi yang handal, yang mampu mencegah adanya data yang tidak akurat atau dapat menghindarkan terjadinya/garbage ini garbage out (GIGO). Pengertian informasi yang handal adalah informasi yang jelas dan baku pengertiannya, mudah, cepat, tepat, akurat, aman, dan berkualitas dalam perolehan, pengolahan, dan ketersediaannya. Sistem informasi yang handal berperan dalam penyusunan rencana yang tepat sesuai dengan kebutuhan, memudahkan penentuan, prioritas, serta mencegah duplikasi atau tumpang tindih khususnya dalam menunjang upaya koordinasi dan keterpaduan

program/kegiatan pembangunan antar sektor, antar lembaga, dan antar daerah. Demikian pula dalam pengendalian pelaksanaan pembangunan, termasuk pengawasan atau pemantauan dan pemeriksaan, laporan, serta tindak lanjutnya, akan lebih efektif apabila didukung oleh sistem informasi yang handal. Selain itu, sistem informasi juga dapat memberikan signal apakah kegiatan yang sedang dilaksanakan sesuai dengan tujuan/sasaran yang telah direncanakan, atau memberikan early warning untuk mencegah terjadinya penyimpangan dan keterlambatan dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan, serta untuk memberikan masukan yang tepat bagi perencanaan selanjutnya. Penggunaan sistem informasi dalam kegiatan manajemen dimulai dari proses yang sederhana secara manual, otomatisasi, sistem informasi manajemen, dan sistem informasi yang mendukung pengambilan keputusan (decision support system). Sistem informasi dapat digunakan pada berbagai tingkat manajemen. Oleh karena itu, sifat sistem informasi sangat tergantung pada jenis kegiatan yang dilaksanakan serta jenis keputusan yang dibuat oleh pengguna informasi. Dalam hal ini dinyatakan Scott (1986) bahwa sistem informasi harus dapat menghasilkan jenis-jenis informasi yang diperlukan berbagai lapisan. Untuk manajemen puncak diperlukan informasi yang bersifat strategis, ringkas, dan berorientasi ke masa depan untuk perencanaan jangka panjang. Manajemen madya mempunyai kepentingan cukup besar atasan ringkasan informasi tentang kegiatan operasional sebagai sarana

pengendalian kegiatan, serupa dengan informasi yang www.ginandjar.com 29 diperlukan untuk perencanaan oleh manajemen puncak. Untuk itu, sistem informasi manajemen madya harus mampu memadukan informasi, baik dari manajemen puncak maupun manajemen lapisan terbawah (operasi), yang informasiny lebih rinci. Berbagai tantangan sebagai konsekuensi globalisasi dan komplesitas permasalahan pembangunan, menuntut pergesaran dalam penerapan administrasi pembangunan dari kompensional ke arah modernisasi. Dalam manajemen modern, kemampuan untuk memperoleh, menyimpan, mengolah, mengambil kembali (retrieve), dan menyajikan informasi untuk menetapkan keputusan yang tepat adalah sangat esensial. Dengan demikian, dalam penerapan manajemen modern antara lain diisyaratkan pemanfaatan sistem informasi dengan teknologi informasi sebagai perangkat pendukung pengumpulan, pengolahan data, dan penyajian informasi. Hal ini berarti dilakukan pendekatan sistem atas manajemen, melalui sistem informasi manajemen dengan memanfaatkan perangkat komputer. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain jenis data/informasi yang dibutuhkan oleh end-user, arus informasi, pemilihan teknologi informasi yang sesuai, serta kualitas sumber daya manusia yang menanganinya. Teknologi informasi khususnya perangkat komputer merupakan alat bantu bagi terlaksananya sistem informasi secara lebih efektif, dan meskipun bukan satusatunya elemen pokok, tetapi menjadi makin penting

peranannya. Sumebr daya manusia (brainware) tetap merupakan elemen yang paling penting dalam sistem informasi. Menurut Murdick, Ross, dan Clagget (1984), peran sebenarnya dari komputer adalah menyajikan informasi untuk pengambilan keputusan dan untuk perencanaan, serta pengendalian operasi. Komputer telah menambah satu atau dua dimensi, seperti kecepatan, ketelitian, volume data yang meningkat, yang memungkinkan pertimbangan alternatif-alternatif yang lebih banyak dalam suatu keputusan. Terdapat enam karakteristik dari jenis informasi yang paling tepat dalam penggunaan komputer, yaitu kecepatan, kualitas, pengulangan, kompleksitas, input yang pasti, dan output yang akurat. Perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi, antara lain jaringan komunikasi data secara on-line, jaringan informasi internasional (internet), teknologi citra image untuk aplikasi berbasis grafis, dan yang memungkinkan penerapan otomatisasi administrasi anatara lain electronic mail dan teleconferencing, dapat menunjang kelancaran manajemen. Namun kemanfaatannya harus dengan arah yang jelas, agar tujuan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi tidak menjadikannya sebagai penyebab inefesiensi. Perkembangan teknologi informasi yang oleh sementara pakar disebut sebagai revolusi informasi dan membawa umat manusia meninggalkan abad industri memasuki abad informasi, akan berdampak luas pada semua bidang, baik politik, ekonomi, maupun sosial, termasuk administrasi negara dan administrasi

pembangunan. Wriston (1992) mengatakan bahwa sumber kekayaan baru nanti tidak bersifat material, tetapi adalah informasi, yaitu pengetahuan yang diterapkan untuk menghasilkan value. Dampak revolusi informasi terhadap sistem pemerintahan bangsa-bangsa akan sangat luas sebagaimana digambarkan oleh Wriston, bahwa dunia sekarang sedang memasuki akhir atau senjanya kedaulatan (twilight of sovereignty). Sebagai penutup bab ini, bagi para pelajar dan praktisi ilmu administrasi, perkembangan dan perubahan yang cepat dalam kehidupan manusia harus pula diantisipasi karena akan mempengaruhi dan menyebabkan berubahnya berbagai asumsi, premis, paradigma, dan dalildalil yang mengatur kehidupan manusia dan antarmanusia, serta masyarakat dan antarmasyarakat, termasuk hukumhukum dan pandangan-pandangan dalam ilmu administrasi termasuk administrasi pembangunan.

You might also like