You are on page 1of 41

Bali

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Artikel ini adalah tentang Pulau dan Provinsi Bali. Untuk kegunaan lainnya, lihat Bali (disambiguasi).

Bali
Provinsi

Lambang (Bahasa Kawi: "Pulau Bali Jaya")

Moto: "Bali Dwipa Jaya"

Peta lokasi Bali

Indonesia Hari jadi 14 Agustus 1959 (hari jadi) Ibu kota Denpasar (dahulu Singaraja) 9 0' - 7 50' LS Koordinat 114 0' - 116 0' BT Pemerintahan - Gubernu Komjen Pol (Purn) I Made Mangku Pastika r (2008-2013) - DAU Rp. 560.673.539.000,- (2011)[1] Luas - Total 5.634 km2 Populasi (2010)[2] - Total 3.891.428 - Kepadata 690,7/km n Demografi - Suku Bali (89%), Jawa (7%), Baliaga (1%), bangsa Madura (1%)[3] Hindu (92,3%), Islam (5,7%), Lainnya - Agama (2%) - Bahasa Bahasa Bali, Bahasa Indonesia, Bahasa

Negara

Jawa, Bahasa Sasak, Bahasa Madura dan lain-lain Zona waktu WITA Kabupaten 8 Kota 1 Lagu Bali Jagaddhita daerah Situs web www.baliprov.go.id Bali adalah nama salah satu provinsi di Indonesia dan juga merupakan nama pulau terbesar yang menjadi bagian dari provinsi tersebut. Selain terdiri dari Pulau Bali, wilayah Provinsi Bali juga terdiri dari pulau-pulau yang lebih kecil di sekitarnya, yaitu Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa Lembongan, Pulau Nusa Ceningan dan Pulau Serangan. Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Ibukota provinsinya ialah Denpasar yang terletak di bagian selatan pulau ini. Mayoritas penduduk Bali adalah pemeluk agama Hindu. Di dunia, Bali terkenal sebagai tujuan pariwisata dengan keunikan berbagai hasil senibudayanya, khususnya bagi para wisatawan Jepang dan Australia. Bali juga dikenal dengan sebutan Pulau Dewata dan Pulau Seribu Pura.

Daftar isi
[sembunyikan]

1 Geografi

1.1 Batas wilayah

2 Sejarah 3 Demografi 4 Transportasi 5 Pemerintahan


5.1 Daftar kabupaten dan kota di Bali 5.2 Daftar gubernur 5.3 Perwakilan 6.1 Musik 6.2 Tari

6 Budaya

6.2.1 Tarian wali 6.2.2 Tarian bebali 6.2.3 Tarian balih-balihan 6.3.1 Pria 6.3.2 Wanita 6.4.1 Makanan utama 6.4.2 Jajanan

6.3 Pakaian daerah


6.4 Makanan

7 Senjata 8 Rumah Adat 9 Pahlawan Nasional 10 Dalam budaya populer 11 Catatan kaki 12 Referensi 13 Lihat pula 14 Pranala luar

[sunting] Geografi
Pulau Bali adalah bagian dari Kepulauan Sunda Kecil sepanjang 153 km dan selebar 112 km sekitar 3,2 km dari Pulau Jawa. Secara astronomis, Bali terletak di 82523 Lintang Selatan dan 1151455 Bujur Timur yang membuatnya beriklim tropis seperti bagian Indonesia yang lain. Gunung Agung adalah titik tertinggi di Bali setinggi 3.148 m. Gunung berapi ini terakhir meletus pada Maret 1963. Gunung Batur juga salah satu gunung yang ada di Bali. Sekitar 30.000 tahun yang lalu, Gunung Batur meletus dan menghasilkan bencana yang dahsyat di bumi. Berbeda dengan di bagian utara, bagian selatan Bali adalah dataran rendah yang dialiri sungai-sungai. Berdasarkan relief dan topografi, di tengah-tengah Pulau Bali terbentang pegunungan yang memanjang dari barat ke timur dan di antara pegunungan tersebut terdapat gugusan gunung berapi yaitu Gunung Batur dan Gunung Agung serta gunung yang tidak berapi, yaitu Gunung Merbuk, Gunung Patas dan Gunung Seraya. Adanya pegunungan tersebut menyebabkan Daerah Bali secara Geografis terbagi menjadi 2 (dua) bagian yang tidak sama yaitu Bali Utara dengan dataran rendah yang sempit dan kurang landai dan Bali Selatan dengan dataran rendah yang luas dan landai. Kemiringan lahan Pulau Bali terdiri dari lahan datar (0-2%) seluas 122.652 ha, lahan bergelombang (2-15%) seluas 118.339 ha, lahan curam (15-40%) seluas 190.486 ha dan lahan sangat curam (>40%) seluas 132.189 ha. Provinsi Bali memiliki 4 (empat) buah danau yang berlokasi di daerah pegunungan, yaitu Danau Beratan, Buyan, Tamblingan dan Danau Batur. Ibu kota Bali adalah Denpasar. Tempat-tempat penting lainnya adalah Ubud sebagai pusat seni terletak di Kabupaten Gianyar, sedangkan Kuta, Sanur, Seminyak, Jimbaran dan Nusa Dua adalah beberapa tempat yang menjadi tujuan pariwisata, baik wisata pantai maupun tempat peristirahatan. Luas wilayah Provinsi Bali adalah 5.636,66 km2 atau 0,29% luas wilayah Republik Indonesia. Secara administratif Provinsi Bali terbagi atas 9 kabupaten/kota, 55 kecamatan dan 701 desa/kelurahan.

[sunting] Batas wilayah


Utara Selatan Barat Timur Laut Bali Samudera Indonesia Provinsi Jawa Timur Provinsi Nusa Tenggara Barat

[sunting] Sejarah

Sawah di sekitar puri Gunung Kawi, Tampaksiring, Bali. Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sejarah Bali Penghuni pertama pulau Bali diperkirakan datang pada 3000-2500 SM yang bermigrasi dari Asia.[4] Peninggalan peralatan batu dari masa tersebut ditemukan di desa Cekik yang terletak di bagian barat pulau.[5] Zaman prasejarah kemudian berakhir dengan datangnya ajaran Hindu dan tulisan Bahasa Sanskerta dari India pada 100 SM.[rujukan?] Kebudayaan Bali kemudian mendapat pengaruh kuat kebudayaan India yang prosesnya semakin cepat setelah abad ke-1 Masehi. Nama Balidwipa (pulau Bali) mulai ditemukan di berbagai prasasti, di antaranya Prasasti Blanjong yang dikeluarkan oleh Sri Kesari Warmadewa pada 913 M dan menyebutkan kata Walidwipa. Diperkirakan sekitar masa inilah sistem irigasi subak untuk penanaman padi mulai dikembangkan. Beberapa tradisi keagamaan dan budaya juga mulai berkembang pada masa itu. Kerajaan Majapahit (1293 1500 AD) yang beragama Hindu dan berpusat di pulau Jawa, pernah mendirikan kerajaan bawahan di Bali sekitar tahun 1343 M. Saat itu hampir seluruh nusantara beragama Hindu, namun seiring datangnya Islam berdirilah kerajaan-kerajaan Islam di nusantara yang antara lain menyebabkan keruntuhan Majapahit. Banyak bangsawan, pendeta, artis dan masyarakat Hindu lainnya yang ketika itu menyingkir dari Pulau Jawa ke Bali. Orang Eropa yang pertama kali menemukan Bali ialah Cornelis de Houtman dari Belanda pada 1597, meskipun sebuah kapal Portugis sebelumnya pernah terdampar dekat tanjung Bukit, Jimbaran, pada 1585. Belanda lewat VOC pun mulai melaksanakan penjajahannya di tanah Bali, akan tetapi terus mendapat perlawanan sehingga sampai akhir kekuasaannya posisi mereka di Bali tidaklah sekokoh posisi mereka di Jawa atau Maluku. Bermula dari wilayah utara Bali, semenjak 1840-an kehadiran Belanda telah menjadi permanen yang awalnya dilakukan dengan mengadu-domba berbagai penguasa Bali yang saling tidak mempercayai satu sama lain. Belanda melakukan serangan besar lewat laut dan darat terhadap daerah Sanur dan disusul dengan daerah Denpasar. Pihak Bali yang kalah dalam jumlah maupun persenjataan tidak ingin mengalami malu karena menyerah, sehingga menyebabkan terjadinya perang sampai mati atau puputan yang melibatkan seluruh rakyat baik pria maupun wanita termasuk rajanya. Diperkirakan sebanyak 4.000 orang tewas dalam peristiwa tersebut, meskipun Belanda telah memerintahkan mereka untuk menyerah. Selanjutnya, para gubernur Belanda yang memerintah hanya sedikit saja memberikan pengaruhnya di pulau ini, sehingga pengendalian lokal terhadap agama dan budaya umumnya tidak berubah. Jepang menduduki Bali selama Perang Dunia II dan saat itu seorang perwira militer bernama I Gusti Ngurah Rai membentuk pasukan Bali 'pejuang kemerdekaan'. Menyusul menyerahnya Jepang di Pasifik pada bulan Agustus 1945, Belanda segera kembali ke Indonesia (termasuk Bali) untuk menegakkan kembali pemerintahan kolonialnya layaknya keadaan sebelum perang. Hal ini ditentang oleh pasukan perlawanan Bali yang saat itu menggunakan senjata Jepang.

Pada 20 November 1945, pecahlah pertempuran Puputan Margarana yang terjadi di desa Marga, Kabupaten Tabanan, Bali tengah. Kolonel I Gusti Ngurah Rai yang berusia 29 tahun, memimpin tentaranya dari wilayah timur Bali untuk melakukan serangan sampai mati pada pasukan Belanda yang bersenjata lengkap. Seluruh anggota batalion Bali tersebut tewas semuanya dan menjadikannya sebagai perlawanan militer Bali yang terakhir. Pada tahun 1946 Belanda menjadikan Bali sebagai salah satu dari 13 wilayah bagian dari Negara Indonesia Timur yang baru diproklamasikan, yaitu sebagai salah satu negara saingan bagi Republik Indonesia yang diproklamasikan dan dikepalai oleh Sukarno dan Hatta. Bali kemudian juga dimasukkan ke dalam Republik Indonesia Serikat ketika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 29 Desember 1949. Tahun 1950, secara resmi Bali meninggalkan perserikatannya dengan Belanda dan secara hukum menjadi sebuah propinsi dari Republik Indonesia. Letusan Gunung Agung yang terjadi di tahun 1963, sempat mengguncangkan perekonomian rakyat dan menyebabkan banyak penduduk Bali bertransmigrasi ke berbagai wilayah lain di Indonesia. Tahun 1965, seiring dengan gagalnya kudeta oleh G30S terhadap pemerintah nasional di Jakarta, di Bali dan banyak daerah lainnya terjadilah penumpasan terhadap anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia. Di Bali, diperkirakan lebih dari 100.000 orang terbunuh atau hilang. Meskipun demikian, kejadian-kejadian pada masa awal Orde Baru tersebut sampai dengan saat ini belum berhasil diungkapkan secara hukum.[6] Serangan teroris telah terjadi pada 12 Oktober 2002, berupa serangan Bom Bali 2002 di kawasan pariwisata Pantai Kuta, menyebabkan sebanyak 202 orang tewas dan 209 orang lainnya cedera. Serangan Bom Bali 2005 juga terjadi tiga tahun kemudian di Kuta dan pantai Jimbaran. Kejadian-kejadian tersebut mendapat liputan internasional yang luas karena sebagian besar korbannya adalah wisatawan asing dan menyebabkan industri pariwisata Bali menghadapi tantangan berat beberapa tahun terakhir ini.

[sunting] Demografi

Lahan sawah di Bali Penduduk Bali kira-kira sejumlah 4 juta jiwa, dengan mayoritas 92,3% menganut agama Hindu. Agama lainnya adalah Buddha, Islam, Protestan dan Katolik. Selain dari sektor pariwisata, penduduk Bali juga hidup dari pertanian dan perikanan. Sebagian juga memilih menjadi seniman. Bahasa yang digunakan di Bali adalah Bahasa Indonesia, Bali dan Inggris khususnya bagi yang bekerja di sektor pariwisata. Bahasa Bali dan Bahasa Indonesia adalah bahasa yang paling luas pemakaiannya di Bali dan sebagaimana penduduk Indonesia lainnya, sebagian besar masyarakat Bali adalah bilingual atau bahkan trilingual. Meskipun terdapat beberapa dialek dalam bahasa Bali, umumnya

masyarakat Bali menggunakan sebentuk bahasa Bali pergaulan sebagai pilihan dalam berkomunikasi. Secara tradisi, penggunaan berbagai dialek bahasa Bali ditentukan berdasarkan sistem catur warna dalam agama Hindu Dharma dan keanggotan klan (istilah Bali: soroh, gotra); meskipun pelaksanaan tradisi tersebut cenderung berkurang. Bahasa Inggris adalah bahasa ketiga (dan bahasa asing utama) bagi banyak masyarakat Bali yang dipengaruhi oleh kebutuhan yang besar dari industri pariwisata. Para karyawan yang bekerja pada pusat-pusat informasi wisatawan di Bali, sering kali juga memahami beberapa bahasa asing dengan kompetensi yang cukup memadai.

[sunting] Transportasi
Bali tidak memiliki jaringan rel kereta api namun jaringan jalan yang sangat baik tersedia khususnya ke daerah-daerah tujuan wisatawan. Sebagian besar penduduk memiliki kendaraan pribadi dan memilih menggunakannya karena moda transportasi umum tidak tersedia dengan baik, kecuali taksi. Jenis kendaraan umum di Bali antara lain:

Dokar, kendaraan dengan menggunakan kuda sebagai penarik Ojek, taksi sepeda motor Bemo, melayani dalam dan antarkota Taksi Komotra, bus yang melayani perjalanan ke kawasan pantai Kuta dan sekitarnya Bus, melayani hubungan antarkota, pedesaan, dan antarprovinsi.

Bali terhubung dengan Pulau Jawa dengan layanan kapal feri yang menghubungkan Pelabuhan Gilimanuk dengan Pelabuhan Ketapang di Kabupaten Banyuwangi yang lama tempuhnya sekitar 30 hingga 45 menit. Penyeberangan ke Pulau Lombok melalui Pelabuhan Padangbai menuju Pelabuhan Lembar yang memakan waktu sekitar empat jam. Transportasi udara dilayani oleh Bandara Internasional Ngurah Rai dengan destinasi ke sejumlah kota besar di Indonesia, Australia, Singapura, Malaysia, Thailand serta Jepang. Landas pacu dan pesawat terbang yang datang dan pergi bisa terlihat dengan jelas dari pantai.

[sunting] Pemerintahan

Peta topografi Pulau Bali

[sunting] Daftar kabupaten dan kota di Bali


No. Kabupaten/Kota 1 Kabupaten Badung 2 Kabupaten Bangli Ibu kota Badung Bangli

3 4 5 6 7 8 9

Kabupaten Buleleng Singaraja Kabupaten Gianyar Gianyar Kabupaten Jembrana Negara Kabupaten Karangasem Karangasem Kabupaten Klungkung Klungkung Kabupaten Tabanan Tabanan Kota Denpasar -

[sunting] Daftar gubernur


No Foto Nama Mulai Jabatan Akhir Jabatan Keteranga n

Anak Agung Bagus Sutedja 1950

1958

I Gusti Bagus Oka

1958

1959

Anak Agung Bagus Sutedja 1959

1965

I Gusti Putu Martha

1965

1967

Soekarmen

1967

1978

Prof. Dr. Ida Bagus Mantra 1978

1988

Prof. Dr. Ida Bagus Oka

1988

1993

Drs. Dewa Made Beratha

1998

2008

I Made Mangku Pastika

2008

2013

[sunting] Perwakilan
Empat anggota DPD (2004-2009) dari Provinsi Bali adalah I Wayan Sudirta, S.H., Nyoman Rudana, Drs. Ida Bagus Gede Agastia dan Dra. Ida Ayu Agung Mas. Berdasarkan hasil Pemilu Legislatif 2009, Bali mengirimkan sembilan anggota DPR ke Senayan dengan komposisi empat wakil dari PDI-P, masing-masing dua dari Partai Golkar dan Partai Demokrat serta satu orang dari Partai Gerindra. Pada tingkat provinsi, DPRD Bali dengan 55 kursi tersedia dikuasai oleh PDI-P dengan 24 kursi, menurun dari periode sebelumnya (2004-2009), disusul Partai Golkar dengan dua belas kursi.[7] Kursi PDI-P Partai Golkar Partai Demokrat Partai Gerindra PNBK % 24 12 10 2 2

PKPB PKPI Partai Hanura Pakar Pangan

1 1 1 1

PNI Marhaenisme 1 Total 55 100,0 Empat orang anggota adalah perempuan.

[sunting] Budaya
[sunting] Musik

Seperangkat gamelan Bali. Musik tradisional Bali memiliki kesamaan dengan musik tradisional di banyak daerah lainnya di Indonesia, misalnya dalam penggunaan gamelan dan berbagai alat musik tabuh lainnya. Meskipun demikian, terdapat kekhasan dalam teknik memainkan dan gubahannya, misalnya dalam bentuk kecak, yaitu sebentuk nyanyian yang konon menirukan suara kera. Demikian pula beragam gamelan yang dimainkan pun memiliki keunikan, misalnya gamelan jegog, gamelan gong gede, gamelan gambang, gamelan selunding dan gamelan Semar Pegulingan. Ada pula musik Angklung dimainkan untuk upacara ngaben serta musik Bebonangan dimainkan dalam berbagai upacara lainnya. Terdapat bentuk modern dari musik tradisional Bali, misalnya Gamelan Gong Kebyar yang merupakan musik tarian yang dikembangkan pada masa penjajahan Belanda serta Joged Bumbung yang mulai populer di Bali sejak era tahun 1950-an. Umumnya musik Bali merupakan kombinasi dari berbagai alat musik perkusi metal (metalofon), gong dan perkusi kayu (xilofon). Karena hubungan sosial, politik dan budaya, musik tradisional Bali atau permainan gamelan gaya Bali memberikan pengaruh atau saling memengaruhi daerah budaya di sekitarnya, misalnya pada musik tradisional masyarakat Banyuwangi serta musik tradisional masyarakat Lombok.

Gamelan Jegog Genggong Silat Bali

[sunting] Tari

Seni tari Bali pada umumnya dapat dikatagorikan menjadi tiga kelompok, yaitu wali atau seni tari pertunjukan sakral, bebali atau seni tari pertunjukan untuk upacara dan juga untuk pengunjung dan balih-balihan atau seni tari untuk hiburan pengunjung.[8] Pakar seni tari Bali I Made Bandem[9] pada awal tahun 1980-an pernah menggolongkan taritarian Bali tersebut; antara lain yang tergolong ke dalam wali misalnya Berutuk, Sang Hyang Dedari, Rejang dan Baris Gede, bebali antara lain ialah Gambuh, Topeng Pajegan dan Wayang Wong, sedangkan balih-balihan antara lain ialah Legong, Parwa, Arja, Prembon dan Joged serta berbagai koreografi tari modern lainnya. Salah satu tarian yang sangat populer bagi para wisatawan ialah Tari Kecak. Sekitar tahun 1930-an, Wayan Limbak bekerja sama dengan pelukis Jerman Walter Spies menciptakan tari ini berdasarkan tradisi Sanghyang dan bagian-bagian kisah Ramayana. Wayan Limbak memopulerkan tari ini saat berkeliling dunia bersama rombongan penari Bali-nya.

Penari belia sedang menarikan Tari Belibis, koreografi kontemporer karya Ni Luh Suasthi Bandem.

Pertunjukan Tari Kecak. [sunting] Tarian wali


Sang Hyang Dedari Sang Hyang Jaran Tari Rejang Tari Baris Tari Janger Tari Topeng Gambuh Tari Legong Arja Joged Bumbung

[sunting] Tarian bebali

[sunting] Tarian balih-balihan

Drama Gong Barong Tari Pendet Tari Kecak Calon Arang

[sunting] Pakaian daerah


Pakaian daerah Bali sesungguhnya sangat bervariasi, meskipun secara selintas kelihatannya sama. Masing-masing daerah di Bali mempunyai ciri khas simbolik dan ornamen, berdasarkan kegiatan/upacara, jenis kelamin dan umur penggunanya. Status sosial dan ekonomi seseorang dapat diketahui berdasarkan corak busana dan ornamen perhiasan yang dipakainya. [sunting] Pria

Anak-anak Ubud mengenakan udeng, kemeja putih dan kain. Busana tradisional pria umumnya terdiri dari: Udeng (ikat kepala) Kain kampuh Umpal (selendang pengikat) Kain wastra (kemben) Sabuk Keris Beragam ornamen perhiasan

Sering pula dikenakan baju kemeja, jas dan alas kaki sebagai pelengkap. [sunting] Wanita

Para penari cilik mengenakan gelung, songket dan kain prada. Busana tradisional wanita umumnya terdiri dari: Gelung (sanggul)

Sesenteng (kemben songket) Kain wastra Sabuk prada (stagen), membelit pinggul dan dada Selendang songket bahu ke bawah Kain tapih atau sinjang, di sebelah dalam Beragam ornamen perhiasan

Sering pula dikenakan kebaya, kain penutup dada, dan alas kaki sebagai pelengkap.

[sunting] Makanan
[sunting] Makanan utama

Ayam betutu Babi guling Bandot Be Kokak Mekuah Be Pasih mesambel matah Bebek betutu Berengkes Grangasem

Jejeruk Jukut Urab Komoh Lawar Nasi Bubuh Nasi Tepeng Penyon Sate Kablet

Sate Lilit Sate pentul Sate penyu Sate Tusuk Timbungan Tum Urutan Tabanan

[sunting] Jajanan

Bubuh Sagu Bubuh Sumsum Bubuh Tuak Jaja Batun Duren Jaja Begina Jaja Bendu Jaja Bikang Jaja Engol

Jaja Godoh Jaja Jongkok Jaja Ketimus Jaja Klepon Jaja Lak-Lak Jaja Sumping Jaja Tain Buati Jaja Uli misi Tape

Jaja Wajik Kacang Rahayu Rujak Bulung Rujak Kuah Pindang Rujak Manis Rujak Tibah Salak Bali

[sunting] Senjata

Keris Tombak Tiuk Taji Kandik Caluk Arit Udud

Gelewang Trisula Panah Penampad Garot Tulud Kis-Kis Anggapan Berang Blakas Pengiris

[sunting] Rumah Adat


Rumah Bali yang sesuai dengan aturan Asta Kosala Kosali (bagian Weda yang mengatur tata letak ruangan dan bangunan, layaknya Feng Shui dalam Budaya China) Menurut filosofi masyarakat Bali, kedinamisan dalam hidup akan tercapai apabila terwujudnya hubungan yang harmonis antara aspek pawongan, palemahan dan parahyangan. Untuk itu pembangunan sebuah rumah harus meliputi aspek-aspek tersebut atau yang biasa disebut Tri Hita Karana. Pawongan merupakan para penghuni rumah. Palemahan berarti harus ada hubungan yang baik antara penghuni rumah dan lingkungannya. Pada umumnya bangunan atau arsitektur tradisional daerah Bali selalu dipenuhi hiasan, berupa ukiran, peralatan serta pemberian warna. Ragam hias tersebut mengandung arti tertentu sebagai ungkapan keindahan simbol-simbol dan penyampaian komunikasi. Bentukbentuk ragam hias dari jenis fauna juga berfungsi sebagai simbol-simbol ritual yang ditampilkan dalam patung.

[sunting] Pahlawan Nasional


Untung Suropati I Gusti Ngurah Rai I Gusti Ketut Jelantik

[sunting] Dalam budaya populer

Road to Bali, film komedi Hollywood tahun 1952 yang dibintangi oleh Bing Crosby dan Bob Hope

[sunting] Catatan kaki


1. ^ "Perpres No. 6 Tahun 2011". 17 Februari 2011. Diakses pada 23 Mei 2011. 2. ^ Sensus Penduduk 2010 3. ^ Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape.

Institute of Southeast Asian Studies. 26 Februari 2004.


4. ^ Taylor (2003), hlm. 5, 7; Hinzler (1995) 5. ^ Taylor (2003), hlm. 12; Lonely Planet (1999), hlm. 15.

6. ^ 'Bali', in Robert Cribb, ed., The Indonesian killings of 1965-1966: studies from Java

and Bali (Clayton, Vic.: Monash University Centre of Southeast Asian Studies, Monash Papers on Southeast Asia no 21, 1990), pp. 241-248
7. ^ DPRD Bali Didominasi Legislator Baru. VivaNews Edisi 18-05-2009. 8. ^ Pengkatagorian oleh Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan

(LISTIBIYA) Bali, tahun 1971. Artikel oleh Tisna, I Gusti Raka Panji, Sekilas Tentang Dinamika Seni Pertunjukan Tradisional Bali dalam Konteks Pariwisata Budaya, dalam situs Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, Copyright 2006.
9. ^ Bandem, I Made, Frederik Eugene deBoer. Balinese Dance in Transition Kaja and

Kelod. 2nd ed. Oxford University Press, USA. 1995. ISBN-13: 978-967-65-3071-4

[sunting] Referensi

Miguel Covarrubias, Island of Bali, 1946. ISBN 962-593-060-4 Foley, Kathy; Sedana, I Nyoman (Autumn 2005), "Mask Dance from the Perspective of a Master Artist: I Ketut Kodi on "Topeng"", Asian Theatre Journal (University of Hawai'i Press) 22 (2): 199-213. Friend, T. (2003). Indonesian Destinies. Harvard University Press. ISBN 0-67401137-6. Gold, Lisa (2005). Music in Bali: Experiencing Music, Expressing Culture. New York: Oxford University Press. ISBN 0-19-514149-0. Greenway, Paul (26 Februari 1999). Bali and Lombok. Melbourne: Lonely Planet. ISBN 0-86442-606-2. Herbst, Edward (1997). Voices in Bali: Energes and Perceptions in Vocal Music and Dance Theater. Hanover: University Press of New England. ISBN 0-8195-6316-1. Hinzler, Heidi (1995) Artifacts and Early Foreign Influences. From Oey, Eric (Editor) (26 Februari 1995). Bali. Singapore: Periplus Editions. hlm. 2425. ISBN 962-593028-0. Ricklefs, M. C. (1993). A History of Modern Indonesia Since C. 1300, Second Edition. MacMillan. ISBN 978-0333576892. Sanger, Annette (1988), "Blessing or Blight? The Effects of Touristic Dance-Drama on village Life in Singapadu, Bali", Come Mek Me Hol' Yu Han': The Impact of Tourism on Traditional Music (Berlin: Jamaica Memory Bank): 89-104. Taylor, Jean Gelman (2003). Indonesia: Peoples and Histories. New Haven and London: Yale University Press. ISBN 0-300-10518-5. Vickers, Adrian (1995), From Oey, Eric (Editor) (26 Februari 1995). Bali. Singapore: Periplus Editions. hlm. 2635. ISBN 962-593-028-0. Pringle, Robert (2004). Bali: Indonesia's Hindu Realm; A short history of. Short History of Asia Series. Allen & Unwin. ISBN 1-86508-863-3.

Suku Bali Dan Budaya nya


Suku Bali Suku Bali adalah sukubangsa yang mendiami pulau Bali, menggunakan bahasa Bali dan mengikuti budaya Bali. Sebagian besar suku Bali beragama Hindu, kurang lebih 90%. Sedangkan sisanya beragama Buddha, Islam dan Kristen. Ada kurang lebih 5 juta orang Bali. Sebagian besar mereka tinggal di pulau Bali, namun mereka juga tersebar di seluruh Indonesia. Penyebaran orang Bali ke luar Bali sudah terjadi sejak jaman dahulu kala. Contohnya, pada tahun 1673, ketika penduduk kota Batavia berjumlah 27.086 jiwa sudah terdapat 981 orang Bali. Adapun komposisi bangsa-bangsa lainnya di masa itu adalah sebagagai berikut: 2.740 orang Belanda dan Indo, 5.362 orang Mardijker, 2.747 orang Tionghoa, 1.339 orang Jawa dan Moor (India), dan 611 orang Melayu. Penduduk yang bebas ini ditambah dengan 13.278 orang budak (49 persen) dari bermacam-macam suku dan bangsa (demikian Lekkerkerker). Sebagian besar orang Bali di Batavia didatangkan sebagai budak belian. Salah satu jejak pengaruh bangsa Bali pada kebudayaan Betawi adalah kesenian Ondel-Ondel. Orang-orangan raksasa ini berasal dari kesenian Barong Landung Bali. Akhiran-in dalam bahasa Betawi, misalnya dalam kata: mainin, nambahin, panjatin, dll., yang kemudian juga diadopsi sebagai akhiran yang populer dalam bahasa gaul Indonesia juga berasal mula dari akhiran -in yang lazim dalam tata bahasa Bali. Bahasa Bali adalah sebuah bahasa Austronesia dari cabang Sundik dan lebih spesifik dari anak cabang Bali-Sasak. Bahasa ini terutama dipertuturkan di pulau Bali, pulau Lombok bagian barat, dan sedikit di ujung timur pulau Jawa. Di Bali sendiri Bahasa Bali memiliki tingkatan penggunaannya, misalnya ada yang disebut Bali Alus, Bali Madya dan Bali Kasar. Yang halus dipergunakan untuk bertutur formal misalnya dalam pertemuan di tingkat desa adat, meminang wanita, atau antara orang berkasta rendah dengan berkasta lebih tinggi. Yang

madya dipergunakan di tingkat masyarakat menengah misalnya pejabat dengan bawahannya, sedangkan yang kasar dipergunakan bertutur oleh orang kelas rendah misalnya kaum sudra atau antara bangsawan dengan abdi dalemnya, Di Lombok bahasa Bali terutama dipertuturkan di sekitar kota Mataram, sedangkan di pulau Jawa bahasa Bali terutama dipertuturkan di beberapa desa di kabupaten Banyuwangi. Selain itu bahasa Osing, sebuah dialek Jawa khas Banyuwangi, juga menyerap banyak kata-kata Bali. Misalkan sebagai contoh kata osing yang berarti tidak diambil dari bahasa Bali tusing. Bahasa Bali dipertuturkan oleh kurang lebih 4 juta jiwa. Agama Hindu Dharma Kebanyakan penduduk Bali mengamalkan sejenis agama Hindu yang disebut, Agama Hindu Dharma atau Agama Tirtha (Agama Air Suci). Agama Hindu di Bali merupakan sinkretisme unsur-unsur Hindu dan Buddha dengan kepercayaan asli orang Bali. Agama Hindu dan Buddha tiba di Bali menerusi Pulau Jawa dan juga secara langsung dari anak benua India di antara abad ke-8 dan abad ke-16. Unsur kedua-dua agama tersebut berkembang dan bergabung di Bali. Catur Warna Di Bali berlaku sistem Catur Varna (Warna), yang mana kata Catur Warna berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari kata Catur berarti empat dan kata warna yang berasal dari urat kata Wr (baca: wri) artinya memilih. Catur Warna berarti empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan berdasarkan atas bakat (guna) dan ketrampilan (karma) seseorang, serta kwalitas kerja yang dimiliki sebagai akibat pendidikan, pengembangan bakat yang tumbuh dari dalam dirinya dan ditopang oleh ketangguhan mentalnya dalam menghadapi suatu pekerjaan. Empat golongan yang kemudian terkenal dengan istilah Catur Warna itu ialah: Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Warna Brahmana: Disimbulkan dengan warna putih, adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kerohanian keagamaan. Warna Ksatrya: Disimbulkan dengan warna merah adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kepemimpinan, keperwiraan dan pertahanan keamanan negara. Warna Wesya: Disimbulkan dengan warna kuning adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang kesejahteraan masyarakat (perekonomian, perindustrian, dan lain- lain). Warna Sudra: Disimbulkan dengan warna hitam adalah golongan fungsional di

dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang ketenagakerjaan. Dalam perjalanan kehidupan di masyarakat dari masa ke masa pelaksanaan sistem Catur Warna cenderung membaur mengarah kepada sistem yang tertutup yang disebut Catur Wangsa atau Turunan darah. Padahal Catur Warna menunjukkan pengertian golongan fungsional, sedangkan Catur Wangsa menunjukkan Turunan darah. Hari Raya Agama Hari raya keagamaan bagi pemeluk agama Hindu Dharma, umumnya di hitung berdasarkan wewaran dan pawukon. Kombinasi antara Panca Wara, Sapta Wara dan Wuku. Namun adapula Hari raya yang menggunakan penanggalan Saka. Hari Raya Berdasarkan Wewaran Galungan Jatuh pada hari: Buda, Kliwon, Dungulan Kuningan Jatuh pada: Saniscara, Kliwon, Kuningan Saraswati Jatuh pada: Saniscara, Umanis, Watugunung. Hari Ilmu Pengetahuan, pemujaan pada Sang Hyang Aji Saraswati. Banyupinaruh Jatuh pada: Redite, Pahing, Shinta Pagerwesi Hari Raya Berdasarkan Kalender Saka Siwaratri Nyepi Upacara Keagamaan Upacara keagamaan yang dilakukan dalam Agama Hindu Dharma, berkolaborasi dengan budaya lokal. Ini menjadi kekayaan dan keunikan yang hanya ditemukan di Bali. Manusa Yadnya Otonan / Wetonan, adalah upacara yang dilakukan pada hari lahir, seperti perayaan hari ulang tahun, dilakukan 210 hari. Upacara Potong Gigi, adalah upacara keagamaan yang wajib dilaksanakan bagi pemeluknya. Upacara ini dilakukan pada pemeluk yang telah beranjak remaja atau dewasa. Bagi wanita yang telah mengalami menstruasi, dan bagi pria yang telah memasuki akil balik. Pitra Yadnya Upacara Ngaben, adalah prosesi upacara pembakaran jenazah, Sebagaimana dalam konsep Hindu mengenai pembakaran jenazah, upacara ini sebagai upaya untuk mempercepat pengembalian unsur-unsur/zat pembentuk dari raga/wadag/badan kasar manusia.

POLA KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA SUKU BANGSA BALI BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bali adalah salah satu suku bangsa yang terdapat di Indonesia. Suku bangsa Bali memiliki potensi alam dan kebudayaan yang sangat tinggi, sehingga Bali tidak hanya dikenal di dalam negeri saja, melainkan sampai ke luar negeri. Bahkan orang orang awam dari luar negeri mengira bahwa Indonesia terletak di pulau Bali. Hal ini menggugah hati penulis, untuk meneliti kehidupan sosial budaya suku bangsa Bali. 1.2 Metode Penelitian Dalam karya tulis ini penulis menggunakan metode dokumentasi, yaitu dengan mencari informasi tentang suku Bali dari berbagai sumber buku yang ada. adapun langkah langkah penyusunan karya tulis ini adalah sebagai berikut; 1. Pada BAB I penulis menulis tentang alasan mengapa penulis memilih Bali sebagai objek penelitian dan bagaimana penyusunannya 2. Pada BAB II penulis menulis tentang hasil penelitian pola kehidupan sosial suku bangsa Bali 3. Pada BAB III penulis menyampaikan tentang harapannya, kesimpulan dari karya tulis ini, dan saran sarannya BAB II POLA KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA SUKU BANGSA BALI 2.1 Lingkungan Alam Dan Demografi Masyarakat suku Bali menempati keseluruhan pulau Bali yang menjadi satu propinsi, yakni propinsi Bali. Oleh karena pengaruh emigrasi, ada juga masyarakat Bali yang menetap di

wilayah wilayah lainnya di Indonesia. Pulau ini terletak disebelah timur pulau Jawa yang dihuungkan oleh selat Bali Bali adalah propinsi yang terletak di sebelah timur ditengah tengah lautan, oleh karena itu propinsi Bali mempunyai iklim tropis (panas). Propinsi Bali adalah salah satu propinsi yang padat penduduknya. Pada tahun 1971 penduduknya sebanyak 2.469.930 jiwa, pada tahun 1990 meningkat lagi menjadi 2.777.811 jiwa. Keadaan perhubungan pun sangat baik dan lancar, baik darat, laut, maupun udara 2.2 Latar Belakang Sejarah / Asal Usul Dahulu pulau Bali disebut dengan nama Walidwipa, yang merupakan suatu kerajaan yaitu kerajaan Bali. Kerajaan ini berkembang sekitar abad ke VIII Masehi. Pemerintahannya berpusat di Shinghamandawa, sebuah tempat yang hingga kini belum diketahui dengan pasti. Kerajaan ini pernah diperintah oleh dua diansti, yaitu Dinasti Warmmadewa dengan Dinasti Sakellendukirana Kerajaan Bali bercorak Hindu, ini dapat diketahui dari pembagian golongan dalam masyarakat (kasta), pembagian warisan, kesenian, serta agama dan kepercayaan. Dalam hal agama dan kepercayaan, pengaruh zaman Megalithikum terasa masih kuat pada masyarakat kerajaan Bali. Keadaan tersebut menunjukan bahwa mayarakat Bali merupakan pemegang teguh tradisi Warisan budaya serta agama dan kepercayaan masih dipegang teguh hingga saat sekarang ini. Kini Bali adalah sebuah propinsi yang berada di wilayah negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Hindu tetap menjadi agama mayoritas yang wariskan secara turun temurun. 2.3 Sistem Kepercayaan / Religi Sebagian besar masyarakat Bali menganut agama Hindu Bali, akan tetapi, ada pula sebagian kecil masyarakat Bali yang menganut agama Islam, Kristen, dan katholik. Penganut agama Islam terdapat di Karang Asem, Klungkung, dan Denpasar, sedangkan penganut agama Kristen dan katholik terutama terdapat di Denpasar, Jimbaran dan Singaraja Tempat beribadah agama Hindu di berupa pura Besakih, Pura Desa (Kayangan Tiga), Subak dan Seka, kumpulan tari atau semacam sanggar tari, serta tempat pemujaan leluhur dari klen klen besar. Ada juga yang di sebut Sanggah yang merupakan tempat pemujaan leluhur dari klen kecil serta keluarga luas. Sedangkan kitab suci adalah Weda yang bersisi tentang Arman, Karmapala, Punarbawa, dan Moksa. Di Bali ada seorang pemimpin agama yang bertugas melaksanakan upacara keagamaan, terutama upaca besar adalah orang yang dilantik menjadi pendeta yang umumnya disebut Sulingih tetapi tidak semua pendeta disebut Sulingih, misalnya Pedanda untuk pendeta dari kasta Brahmana baik yang beraliran Siwa maupun Budha, atau Resi untyuk pendeta dari kalangan Satria. 2.4 Sistim Kekerabatan dan Kemasyarakatan Perkawinan adat di Bali bersifat endogami klen. Menurut adat lama yang dipengaruhi oleh sistim klen dan kasta, orang orang seklen (tunggal kawitan, tunggal dadia, tunggal sanggah) setingkat kedudukannya dalam adat, agama, dan kasta. Dahulu, jika terjadi perkawinan campuran, wanita akan dinyatakan keluar dari dadia. Secara fisik, suami istri akan dihukum buang (Maselong) untuk beberapa lama ketempat yang jauh dari tempat asalnya. Sekarang hukuman itu tidak dijalankan lagi. Perkawinan antar kasta sudah relatif banyak dilakukan Struktur Dadia berbeda beda. Di desa desa dan pegunungan, orang orang dari tunggal dadia yang telah memencar karena hidup neolokal, tidak lagi mendirikan tempat pemujaan leluhur di masing masing tempat kediamannya, di desa desa tanah datar, orang orang dari tunggal dadia yang hidup neolokal wajib mendirikan tempat pemujaan di masing masing tempat kediamannya, tempat pemujaan tersebut disebut Kemulan Taksu. Disamping itu, ada lagi kelompok kerabat yang disebut klen besar yang melengkapi beberapa kerabat

tunggal dadia (sanggah). Mereka memuja kuil yang sama disebut kuil (pura) Pabian atau Panti 2.5 Teknologi Dan Mata Pencaharian Teknologi transportasi di Bali sudah sangat memadai, misalnya transportasi darat. Disana ada bus yang dipakai untuk kendaraan pengangkut penumpang antar daerah, baik untuk jarak dekat maupun jarak jauh, bahkan ada yang di pakai untuk mengangkut penumpang antar pulau. Lalu transportasi laut, ada yang disebut angkutan penyembrangan Gilimanuk Ketapang yang menghubungkan Bali dengan Jawa. Disamping itu, Bali mempunytai Bandara Internasional yang sangat baik Umumnya mata pencaharian masyarakat Bali dibidang kesenia, sperti seni pahat, lukis, kerajinan dan lain lain. Tetapi tidak semuanya, ada juga yang bergerak di bidang pertanian dan industri, misalnya perusahaan tenun di Denpasar 2.6 Bahasa Dan Kesenian Bali dalam kehidupan sehari hari menggunakan bahasa Bali dan sasak. Bali mempunyai beraneka ragam seni tari, seperthi tari Legong yang berlatar belakang kisah cinta Raja Lasem, dan tari Kecak adalah tari yang mengisahkan tentang bala tentara monyet Hanoman dan Sugriwa. Lagu lagu daerahnya pun bermacam macam seperti mejangeran, Macepet Cepetan, Meyong Meyong, Ngusak Asik, dan lain lain. Alat musiknya disebut gamelan Bali. Bali juga mempunyai senjata tradisional, yaitu keris (Kedukan), tombak dan golok. Rumah adatnya pun bermacam macam seperti Gapura Candi Bentar, Bali Bengong, Balai Wanikan, Kori Agung, Kori Babetelan. Sedangkan pakaian adatnya adalah untuk pria Bali berupa ikat kepala (Destar) kain songket saput, dan sebilah keris terselip dipinggang belakang, kaum wanitanya memakai dua helai kain songket, Stagen Songket (Merpada), selendang / senteng serta hiasan bunga emas dan kamboja (Subang, Kalung, Gelang) diatas kepala 2.7 Potensi Dalam Pembangunan Bali mempunyai potennsi sumber daya alam dan manusia yang sangat baik, yang paling menonjol adalah objek wisatanya. Objek wisata tersebut dapat dijadikan sumber devisa (alat pembayaran utang luar negeri), dengan cara menarik sebanyak banyaknya wisatawan mancanegara. Bukan hanya itu saja, Bali juga mempunyai hutan dan gunung yang bisa digali kekayaan alamnya. Tanahnya pun cukup baik dan subur sehingga bisa dijadikan sebagai lahan pertanian maupun lahan perkebunan, bahkan untuk perindustrian

BAB III PENUTUP Dalam penulisan karya tulis ini, penulis tidak menutup mata akan segala kekurangannya baik bahasa maupun penulisannya. Hal ini tidak lain karena keterbatasan penulis dalam ilmu pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki sekalipun demikian mudah mudahan karya tulis ini dapat bermanfaat bagi penulis dan umumnya bagi pembaca 3.1 Kesimpulan Jadi secara garis besar suku bangsa Bali merupakan suatu suku bangsa yang memiliki potensi kebudayaan yang sangat tinggi dan sebagai sumber devisa tertinggi di negara Indonesia 3.2 Saran Saran

Bali memiliki banyak kebudayaan alangkah lebih baik jika kebudayaan itu kita jaga dan lestarikan bersama sebagai citra bangsa Indonesia

SEJARAH Bali berasal dari kata Bal dalam bahasa Sansekerta berarti "Kekuatan", dan "Bali" berarti "Pengorbanan" yang berarti supaya kita tidak melupakan kekuatan kita. Supaya kita selalu siap untuk berkorban. Bali mempunyai 2 pahlawan nasional yang sangat berperan dalam mempertahankan daerahnya yaitu I Gusti Ngurah Rai dan I Gusti Ketut Jelantik. DESKRIPSI LOKASI Pulau Bali adalah bagian dari Kepulauan Sunda Kecil yang beribu kota Denpasar. Tempat-tempat penting lainnya adalah Ubud sebagai pusat seni terletak di Kabupaten Gianyar, sedangkan Kuta, Sanur, Seminyak, dan Nusa Dua adalah beberapa tempat yang menjadi tempat tujuan pariwisata, baik wisata pantai maupun tempat peristirahatan. Suku bangsa Bali dibagi menjadi 2 yaitu: Bali Aga (penduduk asli Bali biasa tinggal di daerah trunyan), dan Bali Mojopahit (Bali Hindu / keturunan Bali Mojopahit). UNSUR UNSUR BUDAYA A. BAHASA Bali sebagian besar menggunakan bahasa Bali dan bahasa Indonesia, sebagian besar masyarakat Bali adalah bilingual atau bahkan trilingual. Bahasa Inggris adalah bahasa ketiga dan bahasa asing utama bagi masyarakat Bali yang dipengaruhi oleh kebutuhan industri pariwisata. Bahasa Bali di bagi menjadi 2 yaitu, bahasa Aga yaitu bahasa Bali yang pengucapannya lebih kasar, dan bahasa Bali Mojopahit.yaitu bahasa yang pengucapannya lebih halus. B. PENGETAHUAN Banjar atau bisa disebut sebagai desa adalah suatu bentuk kesatuan-kesatuan social yang didasarkan atas kesatuan wilayah. Kesatuan social tersebut diperkuat oleh kesatuan adat dan upacara keagamaan. Banjar dikepalahi oleh klian banjar yang bertugas sebagai menyangkut segala urusan dalam lapangan kehidupan sosial dan keagamaan,tetapi sering kali juga harus memecahkan soal-

soal yang mencakup hukum adat tanah, dan hal-hal yang sifatnya administrasi pemerintahan. C. TEKNOLOGI Masyarakat Bali telah mengenal dan berkembang system pengairan yaitu system subak yang mengatur pengairan dan penanaman di sawah-sawah. Dan mereka juga sudah mengenal arsitektur yang mengatur tata letak ruangan dan bangunan yang menyerupai bangunan Feng Shui. Arsitektur merupakan ungkapan perlambang komunikatif dan edukatif. Bali juga memiliki senjata tradisional yaitu salah satunya keris. Selain untuk membela diri, menurut kepercayaan bila keris pusaka direndam dalam air putih dapat menyembuhkan orang yang terkena gigitan binatang berbisa. D. ORGANISASI SOSIAL a). Perkawinan Penarikan garis keturunan dalam masyarakat Bali adalah mengarah pada patrilineal. System kasta sangat mempengaruhi proses berlangsungnya suatu perkawinan, karena seorang wanita yang kastanya lebih tinggi kawin dengan pria yang kastanya lebih rendah tidak dibenarkan karena terjadi suatu penyimpangan, yaitu akan membuat malu keluarga dan menjatuhkan gengsi seluruh kasta dari anak wanita. Di beberapa daerah Bali ( tidak semua daerah ), berlaku pula adat penyerahan mas kawin ( petuku luh), tetapi sekarang ini terutama diantara keluarga orangorang terpelajar, sudah menghilang. b). Kekerabatan Adat menetap diBali sesudah menikah mempengaruhi pergaulan kekerabatan dalam suatu masyarakat. Ada macam 2 adat menetap yang sering berlaku diBali yaitu adat virilokal adalah adat yang membenarkan pengantin baru menetap disekitar pusat kediaman kaum kerabat suami,dan adat neolokal adalah adat yang menentukan pengantin baru tinggal sendiri ditempat kediaman yang baru. Di Bali ada 3 kelompok klen utama (triwangsa) yaitu: Brahmana sebagai pemimpin upacara, Ksatria yaitu : kelompok-klompok khusus seperti arya Kepakisan dan Jaba yaitu sebagai pemimpin keagamaan. c). Kemasyarakatan Desa, suatu kesatuan hidup komunitas masyarakat bali mencakup pada 2 pengertian yaitu : desa adat dan desa dinas (administratif). Keduanya merupakan suatu kesatuan wilayah dalam hubungannya dengan keagamaan atau pun adat istiadat, sedangkan desa dinas adalah kesatuan admistratif. Kegiatan desa adat terpusat pada bidang upacara adat dan keagamaan, sedangkan desa dinas terpusat pada bidang administrasi, pemerintahan dan pembangunan. E. MATA PENCAHARIAN Pada umumnya masyarakat bali bermata pencaharian mayoritas bercocok tanam, pada dataran yang curah hujannya yang cukup baik, pertenakan terutama sapi dan babi sebagai usaha penting dalam masyarakat pedesaan di Bali, baik perikanan darat maupun laut yang merupakan mata pecaharian

sambilan, kerajinan meliputi kerajinan pembuatan benda anyaman, patung, kain, ukir-ukiran, percetakaan, pabrik kopi, pabrik rokok, dll. Usaha dalam bidang ini untuk memberikan lapangan pekerjaan pada penduduk. Karena banyak wisatawan yang mengunjungi bali maka timbullah usaha perhotelan, travel, toko kerajinan tangan. F. RELIGI Agama yang di anut oleh sebagian orang Bali adalah agama Hindu sekitar 95%, dari jumlah penduduk Bali, sedangkan sisanya 5% adalah penganut agama Islam, Kristen, Katholik, Budha, dan Kong Hu Cu. Tujuan hidup ajaran Hindu adalah untuk mencapai keseimbangan dan kedamaian hidup lahir dan batin.orang Hindu percaya adanya 1 Tuhan dalam bentuk konsep Trimurti, yaitu wujud Brahmana (sang pencipta), wujud Wisnu (sang pelindung dan pemelihara), serta wujud Siwa (sang perusak). Tempat beribadah dibali disebut pura. Tempattempat pemujaan leluhur disebut sangga. Kitab suci agama Hindu adalah weda yang berasal dari India. Orang yang meninggal dunia pada orang Hindu diadakan upacara Ngaben yang dianggap sanggat penting untuk membebaskan arwah orang yang telah meninggal dunia dari ikatan-ikatan duniawinya menuju surga. Ngaben itu sendiri adalah upacara pembakaran mayat. Hari raya umat agama hindu adalah Nyepi yang pelaksanaannya pada perayaan tahun baru saka pada tanggal 1 dari bulan 10 (kedasa), selain itu ada juga hari raya galungan, kuningan, saras wati, tumpek landep, tumpek uduh, dan siwa ratri. Pedoman dalam ajaran agama Hindu yakni : (1).tattwa (filsafat agama), (2). Etika (susila), (3).Upacara (yadnya). Dibali ada 5 macam upacara (panca yadnya), yaitu (1). Manusia Yadnya yaitu upacara masa kehamilan sampai masa dewasa. (2). Pitra Yadnya yaitu upacara yang ditujukan kepada roh-roh leluhur. (3).Dewa Yadnya yaitu upacara yang diadakan di pura / kuil keluarga.(4).Rsi yadnya yaituupacara dalam rangka pelantikan seorang pendeta. (5). Bhuta yadnya yaitu upacara untuk roh-roh halus disekitar manusia yang mengganggu manusia. G. KESENIAN Kebudayaan kesenian di bali di golongkan 3 golongan utama yaitu seni rupa misalnya seni lukis, seni patung, seni arsistektur, seni pertunjukan misalnya seni tari, seni sastra, seni drama, seni musik, dan seni audiovisual misalnya seni video dan film. NILAI-NILAI BUDAYA 1. Tata krama : kebiasaan sopan santun yang di sepakati dalam lingkungan pergaulan antar manusia di dalam kelompoknya. 2. Nguopin : gotong royong. 3. Ngayah atau ngayang : kerja bakti untuk keperluan agama. 4. Sopan santun : adat hubungan dalam sopan pergaulan terhadap orang-orang yang berbeda sex.

ASPEK PEMBANGUNAN Di Bali jenis mata pencahariannya adalah bertani disawah. Mata pencaharian pokok tersebut mulai bergeser pada jenis mata pencaharian non pertanian. Pergeseran ini terjadi karena bahwa pada saat sekarang dengan berkembangnya industri pariwisata di daerah Bali, maka mereka menganggap mulai berkembanglah pula terutama dalam mata pencaharian penduduknya. Sehingga kebanyakan orang menjual lahannya untuk industri pariwisata yang dirasakan lebih besar dan lebih cepat dinikmati. Pendapatan yang diperoleh saat ini kebanyakan dari mata pencaharian non pertanian, seperti : tukang, sopir, industri, dan kerajinan rumah tangga. Industri kerajinan rumah tangga seperti memimpin usaha selip tepung, selip kelapa, penyosohan beras, usaha bordir atau jahit menjahit.

Hari Besar Umat Hindu Bali Hari Raya Nyepi Hari Raya Nyepi dirayakan setiap tahun Baru Caka (pergantian tahun Caka). Yaitu pada hari Tilem Kesanga (IX) yang merupakan hari pesucian Dewa-Dewa yang berada di pusat samudera yang membawa inti sarining air hidup (Tirtha Amertha Kamandalu). Untuk itu umat Hindu melakukan pemujaan suci terhadap Dewa-Dewa tersebut. Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, untuk menyucikan Bhuwana Alit (alam manusia) dan Bhuwana Agung (alam semesta). Rangkaian perayaan Hari Raya Nyepi adalah sebagai berikut : 1. Tawur (Pecaruan), Pengrupukan, dan Melasti. Sehari sebelum Nyepi, yaitu pada "panglong ping 14 sasih kesanga" umat Hindu melaksanakan upacara Butha Yadnya di perempatan jalan dan lingkungan rumah masing-masing, dengan mengambil salahg satu dari jenis-jenis "Caru" menurut kemampuannya. Bhuta Yadnya itu masingmasing bernama; Panca Sata (kecil), Panca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar).

Tawur atau pecaruan sendiri merupakan penyucian/pemarisudha Bhuta Kala, dan segala 'leteh' (kotor), semoga sirna semuanya. Caru yang dilaksanakan di rumah masing-masing terdiri dari; nasi manca warna (lima warna) berjumlah 9 tanding/paket, lauk pauknya ayam brumbun (berwarna-warni) disertai tetabuhan arak/tuak. Bhuta Yadnya ini ditujukan kepada Sang Bhuta Raja, Bhuta Kala dan Bhatara Kala, dengan memohon supaya mereka tidak mengganggu umat. Setalah mecaru dilanjutkan dengan upacara pengerupukan, yaitu : menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesui, serta memukul benda-benda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh. Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Bhuta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar. Khusus di Bali, pada pengrupukan ini biasanya dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan Bhuta Kala yang diarak keliling lingkungan, dan kemudian dibakar. Tujuannya sama yaitu mengusir Bhuta Kala dari lingkungan sekitar. Selanjutnya dilakukan Melasti yaitu menghanyutkan segala leteh (kotor) ke laut, serta menyucikan "pretima". DIlakukan di laut, karena laut (segara) dianggap sebagai sumber Tirtha Amertha (Dewa Ruci, dan Pemuteran Mandaragiri). Selambat-lambatnya pada Tilem sore, pelelastian sudah selesai. 2. Nyepi Keesoka harinya, yaitu pada "panglong ping 15" (Tilem Kesanga), tibalah Hari Raya Nyepi. Pada hari ini dilakukan puasa/peberatan Nyepi yang disebut Catur Beratha Penyepian dan terdiri dari; amati geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mendengarkan hiburan). Beratha ini dilakukan sejak sebelum matahari terbit. Menurut umat Hindu, segala hal yang bersifat peralihan, selalu didahului dengan perlambang gelap. Misalnya seorang bayi yang akan beralih menjadi anak-anak (1 oton/6 bulan), lambang ini diwujudkan dengan 'matekep guwungan' (ditutup sangkat ayam). Wanita yang beralih dari masa kanak-kanak ke dewasa (Ngeraja Sewala), upacaranya didahului dengan ngekep (dipingit). Demikianlah untuk masa baru, ditempuh secara baru lahir, yaitu benar-benar dimulai dengan suatu halaman baru yang putih bersih. Untuk memulai hidup dalam caka/tahun barupun, dasar ini dipergunakan, sehingga ada masa amati geni. Yang lebih penting dari dari pada perlambang-perlambang lahir itu (amati geni), sesuai dengan Lontar Sundari Gama adalah memutihbersihkan hati sanubari, dan itu merupakan keharusan bagi umat Hindu. Tiap orang berilmu (sang wruhing tatwa dnjana) melaksanakan; Bharata (pengekangan hawa nafsu), yoga ( menghubungkan jiwa dengan paramatma (Tuhan), tapa (latihan ketahanan menderita), dan samadhi (menunggal kepada Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi), yang bertujuan kesucian lahir bathin). Semua itu menjadi keharusan bagi umat Hindu, sehingga akan mempunyai kesiapan bathin untuk menghadapi setiap tantangan kehidupan di tahun yang baru. Kebiasaan merayakan Hari Raya dengan berfoya-foya, berjudi, mabuk-mabukan adalah sesuatu kebiasaan yang keliru dan mesti dirubah. 3. Ngembak Geni (Ngembak Api) Terakhir dari perayaan Hari Raya Nyepi adalah hari Ngembak Geni yang jatuh pada tangal ping pisan (1) sasih kedasa (X). Pada hari Inilah tahun baru Caka tersebut dimulai. Umat Hindu bersilahturahmi dengan keluarga besar dan tetangga, saling maaf memaafkan (ksama), satu sama lain.

Dengan suasana baru, kehidupan baru akan dimulai dengan hati putih bersih. Jadi kalau tahun masehi berakhir tiap tanggal 31 Desember dan tahun barunya dimulai 1 Januari, maka tahun Caka berakhir pada panglong ping limolas (15) sasih kedasa (X), dan tahun barunya dimulai tanggal 1 sasih kedasa (X).

Masa Prasejarah
Zaman prasejarah Bali merupakan awal dari sejarah masyarakat Bali, yang ditandai oleh kehidupan masyarakat pada masa itu yang belum mengenal tulisan. Walaupun pada zaman prasejarah ini belum dikenal tulisan untuk menuliskan riwayat kehidupannya, tetapi berbagai bukti tentang kehidupan pada masyarakat pada masa itu dapat pula menuturkan kembali keadaanya Zaman prasejarah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang, maka bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang sudah tentu tidak dapat memenuhi segala harapan kita. Berkat penelitian yang tekun dan terampil dari para ahli asing khususnya bangsa Belanda dan putra-putra Indonesia maka perkembangan masa prasejarah di Bali semakin terang. Perhatian terhadap kekunaan di Bali pertama-tama diberikan oleh seorang naturalis bernama Georg Eberhard Rumpf, pada tahun 1705 yang dimuat dalam bukunya Amboinsche Reteitkamer. Sebagai pionir dalam penelitian kepurbakalaan di Bali adalah W.O.J. Nieuwenkamp yang mengunjungi Bali pada tahun 1906 sebagai seorang pelukis. Dia mengadakan perjalanan menjelajahi Bali. Dan memberikan beberapa catatan antara lain tentang nekara Pejeng, Trunyan, dan Pura Bukit Penulisan. Perhatian terhadap nekara Pejeng ini dilanjutkan oleh K.C Crucq tahun 1932 yang berhasil menemukan tiga bagian cetakan nekara Pejeng di Pura Desa Manuaba, Tegallalang.

Penelitian prasejarah di Bali dilanjutkan oleh Dr. H.A.R. van Heekeren dengan hasil tulisan yang berjudul Sarcopagus on Bali tahun 1954. Pada tahun 1963 ahli prasejarah putra Indonesia Drs. R.P. Soejono melakukan penggalian ini dilaksanakan secara berkelanjutan yaitu tahun 1973, 1974, 1984, 1985. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap benda-benda temuan yang berasal dari tepi pantai Teluk Gilimanuk diduga bahwa lokasi Situs Gilimanuk merupakan sebuah perkampungan nelayan dari zaman perundagian di Bali. Di tempat ini sekarang berdiri sebuah museum. Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang di Bali, kehidupan masyarakat ataupun penduduk Bali pada zaman prasejarah Bali dapat dibagi menjadi : 1. Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana 2. Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut 3. Masa bercocok tanam 4. Masa perundagian

[sunting] Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana


Sisa-sisa dari kebudayaan paling awal diketahui dengan penelitian-penelitian yang dilakukan sejak tahun 1960 dengan ditemukan di Sambiran (Buleleng bagian timur), serta di tepi timur dan tenggara Danau Batur (Kintamani) alat-alat batu yang digolongkan kapak genggam, kapak berimbas, serut dan sebagainya. Alat-alat batu yang dijumpai di kedua daerah tersebut kini disimpan di Museum Gedong Arca di Bedulu, Gianyar. Kehidupan penduduk pada masa ini adalah sederhana sekali, sepenuhnya tergantung pada alam lingkungannya. Mereka hidup mengembara dari satu tempat ketempat lainnya (nomaden). Daerah-daerah yang dipilihnya ialah daerah yang mengandung persediaan makanan dan air yang cukup untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Hidup berburu dilakukan oleh kelompok kecil dan hasilnya dibagi bersama. Tugas berburu dilakukan oleh kaum laki-laki, karena pekerjaan ini memerlukan tenaga yang cukup besar untuk menghadapi segala bahaya yang mungkin terjadi. Perempuan hanya bertugas untuk menyelesaikan pekerjaan yang ringan misalnya mengumpulkan makanan dari alam sekitarnya. Hingga saat ini belum ditemukan bukti-bukti apakah manusia pada masa itu telah mengenal bahasa sebagai alat bertutur satu sama lainnya. Walaupun bukti-bukti yang terdapat di Bali kurang lengkap, tetapi bukti-bukti yang ditemukan di Pacitan (Jawa Timur) dapatlah kiranya dijadikan pedoman. Para ahli memperkirakan bahwa alat-alat batu dari Pacitan yang sezaman dan mempunyai banyak persamaan dengan alat-alat batu dari Sembiran, dihasilkan oleh jenis manusia. Pithecanthropus erectus atau keturunannya. Kalau demikian mungkin juga alat-alat baru dari Sambiran dihasilkan oleh manusia jenis Pithecanthropus atau keturunannya.

[sunting] Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut


Pada masa ini corak hidup yang berasal dari masa sebelumnya masih berpengaruh. Hidup berburu dan mengumpulkan makanan yang terdapat dialam sekitar dilanjutkan terbukti dari bentuk alatnya yang dibuat dari batu, tulang dan kulit kerang. Bukti-bukti mengenai kehidupan manusia pada masa mesolithik berhasil ditemukan pada tahun 1961 di Gua Selonding, Pecatu (Badung). Gua ini terletak di pegunungan gamping di Semenanjung Benoa. Di daerah ini terdapat goa yang lebih besar ialah Gua Karang Boma, tetapi goa ini tidak memberikan suatu bukti tentang kehidupan yang pernah berlangsung disana. Dalam penggalian Gua Selonding ditemukan alat-alat terdiri dari alat serpih dan serut dari batu dan sejumlah alat-alat dari tulang. Di antara alat-alat tulang terdapat beberapa lencipan muduk yaitu sebuah alat sepanjang 5 cm yang kedua ujungnya diruncingkan.

Alat-alat semacam ini ditemukan pula di sejumlah gua Sulawesi Selatan pada tingkat perkembangan kebudayaan Toala dan terkenal pula di Australia Timur. Di luar Bali ditemukan lukisan dinding-dinding gua, yang menggambarkan kehidupan sosial ekonomi dan kepercayaan masyarakat pada waktu itu. Lukisan-lukisan di dinding goa atau di dindingdinding karang itu antara lain yang berupa cap-cap tangan, babi rusa, burung, manusia, perahu, lambang matahari, lukisan mata dan sebagainya. Beberapa lukisan lainnya ternyata lebih berkembang pada tradisi yang lebih kemudian dan artinya menjadi lebih terang juga di antaranya adalah lukisan kadal seperti yang terdapat di Pulau Seram dan Papua, mungkin mengandung arti kekuatan magis yang dianggap sebagai penjelmaan roh nenek moyang atau kepala suku.

[sunting] Masa bercocok tanam


Masa bercocok tanam lahir melalui proses yang panjang dan tak mungkin dipisahkan dari usaha manusia prasejarah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya pada masa-masa sebelumnya. Masa neolithik amat penting dalam sejarah perkembangan masyarakat dan peradaban, karena pada masa ini beberapa penemuan baru berupa penguasaan sumbersumber alam bertambah cepat. Penghidupan mengumpulkan makanan (food gathering) berubah menjadi menghasilkan makanan (food producing). Perubahan ini sesungguhnya sangat besar artinya mengingat akibatnya yang sangat mendalam serta meluas kedalam perekonomian dan kebudayaan. Sisa-sisa kehidupan dari masa bercocok tanam di Bali antara lain berupa kapak batu persegi dalam berbagai ukuran, belincung dan panarah batang pohon. Dari teori Kern dan teori Von Heine-Geldern diketahui bahwa nenek moyang bangsa Austronesia, yang mulai datang di kepulauan kita kira-kira 2000 tahun S.M ialah pada zaman neolithik. Kebudayaan ini mempunyai dua cabang ialah cabang kapak persegi yang penyebarannya dari dataran Asia melalui jalan barat dan peninggalannya terutama terdapat di bagian barat Indonesia dan kapak lonjong yang penyebarannya melalui jalan timur dan peninggalan-peninggalannya merata dibagian timur negara kita. Pendukung kebudayaan neolithik (kapak persegi) adalah bangsa Austronesia dan gelombang perpindahan pertama tadi disusul dengan perpindahan pada gelombang kedua yang terjadi pada masa perunggu kira-kira 500 S.M. Perpindahan bangsa Austronesia ke Asia Tenggara khususnya dengan memakai jenis perahu cadik yang terkenal pada masa ini. Pada masa ini diduga telah tumbuh perdagangan dengan jalan tukar menukar barang (barter) yang diperlukan. Dalam hal ini sebagai alat berhubungan diperlukan adanya bahasa. Para ahli berpendapat bahwa bahasa Indonesia pada masa ini adalah Melayu Polinesia atau dikenal dengan sebagai bahasa Austronesia.

[sunting] Masa perundagian

Gong, yang ditemukan pula di berbagai tempat di Nusantara, merupakan alat musik yang diperkirakan berakar dari masa perundagian. Dalam masa neolithik manusia bertempat tinggal tetap dalam kelompok-kelompok serta mengatur kehidupannya menurut kebutuhan yang dipusatkan kepada menghasilkan bahan makanan sendiri (pertanian dan peternakan). Dalam masa bertempat tinggal tetap ini, manusia berdaya upaya meningkatkan kegiatan-kegiatannya guna mencapai hasil yang sebesar-besarnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada zaman ini jenis manusia yang mendiami Indonesia dapat diketahui dari berbagai penemuan sisa-sisa rangka dari berbagai tempat, yang terpenting di antaranya adalah temuantemuan dari Anyer Lor (Banten), Puger (Jawa Timur), Gilimanuk (Bali) dan Melolo (Sumbawa). Dari temuan kerangka yang banyak jumlahnya menunjukkan ciri-ciri manusia. Sedangkan penemuan di Gilimanuk dengan jumlah kerangka yang ditemukan 100 buah menunjukkan ciri Mongoloid yang kuat seperti terlihat pada gigi dan muka. Pada rangka manusia Gilimanuk terlihat penyakit gigi dan encok yang banyak menyerang manusia ketika itu. Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan dapat diketahui bahwa dalam masyarakat Bali pada masa perundagian telah berkembang tradisi penguburan dengan cara-cara tertentu. Adapun cara penguburan yang pertama ialah dengan mempergunakan peti mayat atau sarkofagus yang dibuat dari batu padas yang lunak atau yang keras. Cara penguburannya ialah dengan mempergunakan tempayan yang dibuat dari tanah liat seperti ditemukan di tepi pantai Gilimanuk (Jembrana). Benda-benda temuan ditempat ini ternyata cukup menarik perhatian di antaranya terdapat hampir 100 buah kerangka manusia dewasa dan anak-anak, dalam keadaan lengkap dan tidak lengkap. Tradisi penguburan dengan tempayan ditemukan juga di Anyar (Banten), Sabbang (Sulawesi Selatan), Selayar, Rote dan Melolo (Sumba). Di luar Indonesia tradisi ini berkembang di Filipina, Thailand, Jepang dan Korea. Kebudayaan megalithik ialah kebudayaan yang terutama menghasilkan bangunan-bangunan dari batu-batu besar. Batu-batu ini mempunyai biasanya tidak dikerjakan secara halus, hanya diratakan secara kasar saja untuk mendapat bentuk yang diperlukan. di daerah Bali tradisi megalithik masih tampak hidup dan berfungsi di dalam kehidupan masyarakat dewasa ini. Adapun temuan yang penting ialah berupa batu berdiri (menhir) yang terdapat di Pura Ratu

Gede Pancering Jagat di Trunyan. Di pura in terdapat sebuah arca yang disebut arca Da Tonta yang memiliki ciri-ciri yang berasal dari masa tradisi megalithik. Arca ini tingginya hampir 4 meter. Temuan lainnya ialah di Sembiran (Buleleng), yang terkenal sebagai desa Bali kuna, disamping desa-desa Trunyan dan Tenganan. Tradisi megalithik di desa Sembiran dapat dilihat pada pura-pura yang dipuja penduduk setempat hingga dewasa ini. dari 20 buah pura ternyata 17 buah pura menunjukkan bentuk-bentuk megalithik dan pada umumnya dibuat sederhana sekali. Di antaranya ada berbentuk teras berundak, batu berdiri dalam palinggih dan ada pula yang hanya merupakan susunan batu kali. Temuan lainnya yang penting juga ialah berupa bangunan-bangunan megalithik yang terdapat di Gelgel (Klungkung).Temuan yang penting di desa Gelgel ialah sebuah arca menhir yaitu terdapat di Pura Panataran Jro Agung. Arca menhir ini dibuat dari batu dengan penonjolan kelamin wanita yang mengandung nilai-nilai keagamaan yang penting yaitu sebagai lambang kesuburan yang dapat memberi kehidupan kepada masyarakat.

[sunting] Masuknya Agama Hindu

Gua Gajah (sekitar abad XI), salah satu peninggalan masa awal periode Hindu di Bali. Berakhirnya zaman prasejarah di Indonesia ditandai dengan datangnya bangsa dan pengaruh Hindu. Pada abad-abad pertama Masehi sampai dengan lebih kurang tahun 1500, yakni dengan lenyapnya kerajaan Majapahit merupakan masa-masa pengaruh Hindu. Dengan adanya pengaruh-pengaruh dari India itu berakhirlah zaman prasejarah Indonesia karena didapatkannya keterangan tertulis yang memasukkan bangsa Indonesia ke dalam zaman sejarah. Berdasarkan keterangan-keterangan yang ditemukan pada prasasti abad ke-8 Masehi dapatlah dikatakan bahwa periode sejarah Bali Kuno meliputi kurun waktu antara abad ke-8 Masehi sampai dengan abad ke-14 Masehi dengan datangnya ekspedisi Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit yang dapat mengalahkan Bali. Nama Balidwipa tidaklah merupakan nama baru, namun telah ada sejak zaman dahulu. Hal ini dapat diketahui dari beberapa prasasti, di antaranya dari Prasasti Blanjong yang dikeluarkan oleh Sri Kesari Warmadewa pada tahun 913 Masehi yang menyebutkan kata "Walidwipa". Demikian pula dari prasastiprasasti Raja Jayapangus, seperti prasasti Buwahan D dan prasasti Cempaga A yang berangka tahun 1181 Masehi. Di antara raja-raja Bali, yang banyak meninggalkan keterangan tertulis yang juga menyinggung gambaran tentang susunan pemerintahan pada masa itu adalah Udayana, Jayapangus , Jayasakti, dan Anak Wungsu. Dalam mengendalikan pemerintahan, raja dibantu oleh suatu Badan Penasihat Pusat. Dalam prasasti tertua 882-914, badan ini disebut dengan istilah "panglapuan". Sejak zaman Udayana, Badan Penasihat Pusat disebut dengan istilah "pakiran-kiran i jro makabaihan". Badan ini beranggotakan beberapa orang senapati dan pendeta Siwa dan Budha.

Di dalam prasasti-prasasti sebelum Raja Anak Wungsu disebut-sebut beberapa jenis seni yang ada pada waktu itu. Akan tetapi, baru pada zaman Raja Anak Wungsu, kita dapat membedakan jenis seni menjadi dua kelompok yang besar, yaitu seni keraton dan seni rakyat. Tentu saja istilah seni keraton ini tidak berarti bahwa seni itu tertutup sama sekali bagi rakyat. Kadang-kadang seni ini dipertunjukkan kepada masyarakat di desa-desa atau dengan kata lain seni keraton ini bukanlah monopoli raja-raja. Dalam bidang agama, pengaruh zaman prasejarah, terutama dari zaman megalitikum masih terasa kuat. Kepercayaan pada zaman itu dititikberatkan kepada pemujaan roh nenek moyang yang disimboliskan dalam wujud bangunan pemujaan yang disebut teras piramid atau bangunan berundak-undak. Kadang-kadang di atas bangunan ditempatkan menhir, yaitu tiang batu monolit sebagai simbol roh nenek moyang mereka. Pada zaman Hindu hal ini terlihat pada bangunan pura yang mirip dengan pundan berundak-undak. Kepercayaan pada dewadewa gunung, laut, dan lainnya yang berasal dari zaman sebelum masuknya Hindu tetap tercermin dalam kehidupan masyarakat pada zaman setelah masuknya agama Hindu. Pada masa permulaan hingga masa pemerintahan Raja Sri Wijaya Mahadewi tidak diketahui dengan pasti agama yang dianut pada masa itu. Hanya dapat diketahui dari nama-nama biksu yang memakai unsur nama Siwa, sebagai contoh biksu Piwakangsita Siwa, biksu Siwanirmala, dan biksu Siwaprajna. Berdasarkan hal ini, kemungkinan agama yang berkembang pada saat itu adalah agama Siwa. Baru pada masa pemerintahan Raja Udayana dan permaisurinya, ada dua aliran agama besar yang dipeluk oleh penduduk, yaitu agama Siwa dan agama Budha. Keterangan ini diperoleh dari prasasti-prasastinya yang menyebutkan adanya mpungku Sewasogata (Siwa-Buddha) sebagai pembantu raja.

[sunting] Masa 1343-1846


Masa ini dimulai dengan kedatangan ekspedisi Gajah Mada pada tahun 1343.

[sunting] Kedatangan Ekspedisi Gajah Mada


Ekspedisi Gajah Mada ke Bali dilakukan pada saat Bali diperintah oleh Kerajaan Bedahulu dengan Raja Astasura Ratna Bumi Banten dan Patih Kebo Iwa. Dengan terlebih dahulu membunuh Kebo Iwa, Gajah Mada memimpin ekspedisi bersama Panglima Arya Damar dengan dibantu oleh beberapa orang arya. Penyerangan ini mengakibatkan terjadinya pertempuran antara pasukan Gajah Mada dengan Kerajaan Bedahulu. Pertempuran ini mengakibatkan raja Bedahulu dan putranya wafat. Setelah Pasung Grigis menyerah, terjadi kekosongan pemerintahan di Bali. Untuk itu, Majapahit menunjuk Sri Kresna Kepakisan untuk memimpin pemerintahan di Bali dengan pertimbangan bahwa Sri Kresna Kepakisan memiliki hubungan darah dengan penduduk Bali Aga. Dari sinilah berawal wangsa Kepakisan.

[sunting] Periode Gelgel


Karena ketidakcakapan Raden Agra Samprangan menjadi raja, Raden Samprangan digantikan oleh Dalem Ketut Ngulesir. Oleh Dalem Ketut Ngulesir, pusat pemerintahan dipindahkan ke Gelgel (dibaca /gl'gl/). Pada saat inilah dimulai Periode Gelgel dan Raja Dalem Ketut Ngulesir merupakan raja pertama. Raja yang kedua adalah Dalem Watu Renggong (14601550). Dalem Watu Renggong menaiki singgasana dengan warisan kerajaan yang stabil sehingga ia dapat mengembangkan kecakapan dan kewibawaannya untuk memakmurkan Kerajaan Gelgel. Di bawah pemerintahan Watu Renggong, Bali (Gelgel) mencapai puncak kejayaannya. Setelah Dalem Watu Renggong wafat ia digantikan oleh Dalem Bekung (15501580), sedangkan raja terakhir dari zaman Gelgel adalah Dalem Di Made (16051686).

[sunting] Zaman Kerajaan Klungkung

Kerajaan Klungkung sebenarnya merupakan kelanjutan dari Dinasti Gelgel. Pemberontakan I Gusti Agung Maruti ternyata telah mengakhiri Periode Gelgel. Hal itu terjadi karena setelah putra Dalem Di Made dewasa dan dapat mengalahkan I Gusti Agung Maruti, istana Gelgel tidak dipulihkan kembali. Gusti Agung Jambe sebagai putra yang berhak atas takhta kerajaan, ternyata tidak mau bertakhta di Gelgel, tetapi memilih tempat baru sebagai pusat pemerintahan, yaitu bekas tempat persembunyiannya di Semarapura. Dengan demikian, Dewa Agung Jambe (1710-1775) merupakan raja pertama zaman Klungkung. Raja kedua adalah Dewa Agung Di Made I, sedangkan raja Klungkung yang terakhir adalah Dewa Agung Di Made II. Pada zaman Klungkung ini wilayah kerajaan terbelah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Kerajaan-kerajaan kecil ini selanjutnya menjadi swapraja (berjumlah delapan buah) yang pada zaman kemerdekaan dikenal sebagai kabupaten.

[sunting] Kerajaan-kerajaan pecahan Klungkung


1. Kerajaan Badung, yang kemudian menjadi Kabupaten Badung. 2. Kerajaan Mengwi, yang kemudian menjadi Kecamatan Mengwi. 3. Kerajaan Bangli, yang kemudian menjadi Kabupaten Bangli. 4. Kerajaan Buleleng, yang kemudian menjadi Kabupaten Buleleng. 5. Kerajaan Gianyar, yang kemudian menjadi Kabupaten Gianyar. 6. Kerajaan Karangasem, yang kemudian menjadi Kabupaten Karangasem. 7. Kerajaan Klungkung, yang kemudian menjadi Kabupaten Klungkung. 8. Kerajaan Tabanan, yang kemudian menjadi Kabupaten Tabanan.

[sunting] Masa 1846-1949


Pada periode ini mulai masuk intervensi Belanda ke Bali dalam rangka "pasifikasi" terhadap seluruh wilayah Kepulauan Nusantara. Dalam proses yang secara tidak disengaja membangkitkan sentimen nasionalisme Indonesia ini, wilayah-wilayah yang belum ditangani oleh administrasi Batavia dicoba untuk dikuasai dan disatukan di bawah administrasi. Belanda masuk ke Bali disebabkan beberapa hal: beberapa aturan kerajaan di Bali yang dianggap mengganggu kepentingan dagang Belanda, penolakan Bali untuk menerima monopoli yang ditawarkan Batavia, dan permintaan bantuan dari warga Pulau Lombok yang merasa diperlakukan tidak adil oleh penguasanya (dari Bali).

[sunting] Perlawanan Terhadap Orang-Orang Belanda


Masa ini merupakan masa perlawanan terhadap kedatangan bangsa Belanda di Bali. Perlawanan-perlawanan ini ditandai dengan meletusnya berbagai perang di wilayah Bali. Perlawanan-perlawanan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Perang Buleleng (1846) 2. Perang Jagaraga (1848--1849) 3. Perang Kusamba (1849) 4. Perang Banjar (1868) 5. Puputan Badung (1906) 6. Puputan Klungkung (1908) Dengan kemenangan Belanda dalam seluruh perang dan jatuhnya kerajaan Klungkung ke tangan Belanda, berarti secara keseluruhan Bali telah jatuh ke tangan Belanda.

[sunting] Zaman Penjajahan Belanda

Sejak kerajaan Buleleng jatuh ke tangan Belanda mulailah pemerintah Belanda ikut campur mengurus soal pemerintahan di Bali. Hal ini dilaksanakan dengan mengubah nama raja sebagai penguasa daerah dengan nama regent untuk daerah Buleleng dan Jembrana serta menempatkan P.L. Van Bloemen Waanders sebagai controleur yang pertama di Bali. Struktur pemerintahan di Bali masih berakar pada struktur pemerintahan tradisional, yaitu tetap mengaktifkan kepemimpinan tradisional dalam melaksanakan pemerintahan di daerahdaerah. Untuk di daerah Bali, kedudukan raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi, yang pada waktu pemerintahan kolonial didampingi oleh seorang controleur. Di dalam bidang pertanggungjawaban, raja langsung bertanggung jawab kepada Residen Bali dan Lombok yang berkedudukan di Singaraja, sedangkan untuk Bali Selatan, raja-rajanya betanggung jawab kepada Asisten Residen yang berkedudukan di Denpasar. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga administrasi, pemerintah Belanda telah membuka sebuah sekolah rendah yang pertama di Bali, yakni di Singaraja (1875) yang dikenal dengan nama Tweede Klasse School. Pada tahun 1913 dibuka sebuah sekolah dengan nama Erste Inlandsche School dan kemudian disusul dengan sebuah sekolah Belanda dengan nama Hollands Inlandshe School (HIS) yang muridnya kebanyakan berasal dari anak-anak bangsawan dan golongan kaya.

[sunting] Lahirnya Organisasi Pergerakan


Akibat pengaruh pendidikan yang didapat, para pemuda pelajar dan beberapa orang yang telah mendapatkan pekerjaan di kota Singaraja berinisiatif untuk mendirikan sebuah perkumpulan dengan nama "Suita Gama Tirta" yang bertujuan untuk memajukan masyarakat Bali dalam dunia ilmu pengetahuan melalui ajaran agama. Sayang perkumpulan ini tidak burumur panjang. Kemudian beberapa guru yang masih haus dengan pendidikan agama mendirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama "Shanti" pada tahun 1923. Perkumpulan ini memiliki sebuah majalah yang bernama "Shanti Adnyana" yang kemudian berubah menjadi "Bali Adnyana". Pada tahun 1925 di Singaraja juga didirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama "Suryakanta" dan memiliki sebuah majalah yang diberi nama "Suryakanta". Seperti perkumpulan Shanti, Suryakanta menginginkan agar masyarakat Bali mengalami kemajuan dalam bidang pengetahuan dan menghapuskan adat istiadat yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Sementara itu, di Karangasem lahir suatu perhimpunan yang bernama "Satya Samudaya Baudanda Bali Lombok" yang anggotanya terdiri atas pegawai negeri dan masyarakat umum dengan tujuan menyimpan dan mengumpulkan uang untuk kepentingan studiefonds.

[sunting] Zaman Pendudukan Jepang


Setelah melalui beberapa pertempuran, tentara Jepang mendarat di Pantai Sanur pada tanggal 18 dan 19 Februari 1942. Dari arah Sanur ini tentara Jepang memasuki kota Denpasar dengan tidak mengalami perlawanan apa-apa. Kemudian, dari Denpasar inilah Jepang menguasai seluruh Bali. Mula-mula yang meletakkan dasar kekuasaan Jepang di Bali adalah pasukan Angkatan Darat Jepang (Rikugun). Kemudian, ketika suasana sudah stabil penguasaan pemerintahan diserahkan kepada pemerintahan sipil. Karena selama pendudukan Jepang suasana berada dalam keadaan perang, seluruh kegiatan diarahkan pada kebutuhan perang. Para pemuda dididik untuk menjadi tentara Pembela Tanah Air (PETA). Untuk daerah Bali, PETA dibentuk pada bulan Januari tahun 1944 yang program dan syarat-syarat pendidikannya disesuaikan dengan PETA di Jawa.

[sunting] Zaman Kemerdekaan


Menyusul Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 23 Agustus 1945, Mr. I Gusti Ketut Puja tiba di Bali dengan membawa mandat pengangkatannya sebagai Gubernur Sunda

Kecil. Sejak kedatangan beliau inilah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Bali mulai disebarluaskan sampai ke desa-desa. Pada saat itulah mulai diadakan persiapan-persiapan untuk mewujudkan susunan pemerintahan di Bali sebagai daerah Sunda Kecil dengan ibu kotanya Singaraja. Sejak pendaratan NICA di Bali, Bali selalu menjadi arena pertempuran. Dalam pertempuran itu pasukan RI menggunakan sistem gerilya. Oleh karena itu, MBO sebagai induk pasukan selalu berpindah-pindah. Untuk memperkuat pertahanan di Bali, didatangkan bantuan ALRI dari Jawa yang kemudian menggabungkan diri ke dalam pasukan yang ada di Bali. Karena seringnya terjadi pertempuran, pihak Belanda pernah mengirim surat kepada Rai untuk mengadakan perundingan. Akan tetapi, pihak pejuang Bali tidak bersedia, bahkan terus memperkuat pertahanan dengan mengikutsertakan seluruh rakyat. Untuk memudahkan kontak dengan Jawa, Rai pernah mengambil siasat untuk memindahkan perhatian Belanda ke bagian timur Pulau Bali. Pada 28 Mei 1946 Rai mengerahkan pasukannya menuju ke timur dan ini terkenal dengan sebutan "Long March". Selama diadakan "Long March" itu pasukan gerilya sering dihadang oleh tentara Belanda sehingga sering terjadi pertempuran. Pertempuran yang membawa kemenangan di pihak pejuang ialah pertempuran Tanah Arun, yaitu pertempuran yang terjadi di sebuah desa kecil di lereng Gunung Agung, Kabupaten Karangasem. Dalam pertempuran Tanah Arun yang terjadi 9 Juli 1946 itu pihak Belanda banyak menjadi korban. Setelah pertempuran itu pasukan Ngurah Rai kembali menuju arah barat yang kemudian sampai di Desa Marga (Tabanan). Untuk lebih menghemat tenaga karena terbatasnya persenjataan, ada beberapa anggota pasukan terpaksa disuruh berjuang bersama-sama dengan masyarakat.

[sunting] Puputan Margarana


Pada waktu staf MBO berada di desa Marga, I Gusti Ngurah Rai memerintahkan pasukannya untuk merebut senjata polisi NICA yang ada di Kota Tabanan. Perintah itu dilaksanakan pada 18 November 1946 (malam hari) dan berhasil baik. Beberapa pucuk senjata beserta pelurunya dapat direbut dan seorang komandan polisi NICA ikut menggabungkan diri kepada pasukan Ngurah Rai. Setelah itu pasukan segera kembali ke Desa Marga. Pada 20 November 1946 sejak pagi-pagi buta tentara Belanda mulai nengadakan pengurungan terhadap Desa Marga. Kurang lebih pukul 10.00 pagi mulailah terjadi tembak-menembak antara pasukan Nica dengan pasukan Ngurah Rai. Pada pertempuran yang seru itu pasukan bagian depan Belanda banyak yang mati tertembak. Oleh karena itu, Belanda segera mendatangkan bantuan dari semua tentaranya yang berada di Bali ditambah pesawat pengebom yang didatangkan dari Makassar. Di dalam pertempuran yang sengit itu semua anggota pasukan Ngurah Rai bertekad tidak akan mundur sampai titik darah penghabisan. Di sinilah pasukan Ngurah Rai mengadakan "Puputan" atau perang habis-habisan di desa margarana sehingga pasukan yang berjumlah 96 orang itu semuanya gugur, termasuk Ngurah Rai sendiri. Sebaliknya, di pihak Belanda ada lebih kurang 400 orang yang tewas. Untuk mengenang peristiwa tersebut pada tanggal 20 november 1946 di kenal dengan perang puputan margarana, dan kini pada bekas arena pertempuran itu didirikan Tugu Pahlawan Taman Pujaan Bangsa.

[sunting] Konferensi Denpasar


Pada tanggal 7 sampai 24 Desember 1946, Konferensi Denpasar berlangsung di pendopo Bali Hotel. Konferensi itu dibuka oleh Hubertus Johannes van Mook yang bertujuan untuk membentuk Negara Indonesia Timur (NIT) dengan ibu kota Makassar (Ujung Pandang). Dengan terbentuknya Negara Indonesia Timur itu susunan pemerintahan di Bali dihidupkan kembali seperti pada zaman raja-raja dulu, yaitu pemerintahan dipegang oleh raja yang dibantu oleh patih, punggawa, perbekel, dan pemerintahan yang paling bawah adalah kelian. Di samping itu, masih ada lagi suatu dewan yang berkedudukan di atas raja, yaitu dewan rajaraja.

[sunting] Penyerahan Kedaulatan


Agresi militer yang pertama terhadap pasukan pemeritahan Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta dilancarakan oleh Belanda pada tanggal 21 Juli 1947. Belanda melancarkan lagi agresinya yang kedua 18 Desember 1948. Pada masa agresi yang kedua itu di Bali terus-menerus diusahakan berdirinya badan-badan perjuangan bersifat gerilya yang lebih efektif. Sehubungan dengan hal itu, pada Juli 1948 dapat dibentuk organisasi perjuangan dengan nama Gerakan Rakyat Indonesia Merdeka (GRIM). Selanjutnya, tanggal 27 November 1949, GRIM menggabungkan diri dengan organisasi perjuangan lainnya dengan nama Lanjutan Perjuangan. Nama itu kemudian diubah lagi menjadi Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) Sunda Kecil. Sementara itu, Konferensi Meja Bundar (KMB) mengenai persetujuan tentang pembentukan Uni Indonesia - Belanda dimulai sejak akhir Agustus 1949. Akhirnya, 27 Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan RIS. Selanjutnya, pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS diubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

[sunting] Masa 1949-2007


Pada 12 Oktober 2002, terjadi pengeboman di Kuta yang menyebabkan sekitar 202 orang meninggal dan ratusan lainnya luka-luka. Sebagian besar korban meninggal adalah warga Australia dan Indonesia.
`

Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu. Masyarakat Bali mengakui adanya perbedaaan ( rwa bhineda ), yang sering ditentukan oleh faktor ruang ( desa ), waktu ( kala ) dan kondisi riil di lapangan ( patra ). Konsep desa, kala, dan patra menyebabkan kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi pengaruh kebudayaan luar. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa komunikasi dan interaksi antara kebudayaan Bali dan budaya luar seperti India (Hindu), Cina, dan Barat khususnya di bidang kesenian telah menimbulkan

kreatifitas baru dalam seni rupa maupun seni pertunjukkan. Tema-tema dalam seni lukis, seni rupa dan seni pertunjukkan banyak dipengaruhi oleh budaya India. Demikian pula budaya Cina dan Barat/Eropa memberi nuansa batu pada produk seni di Bali. Proses akulturasi tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan adaptif khususnya dalam kesenian sehingga tetap mampu bertahan dan tidak kehilangan jati diri (Mantra 1996). Kebudayaan Bali sesungguhnya menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi mengenai hubungan manusia dengan Tuhan ( parhyangan ), hubungan sesama manusia ( pawongan ), dan hubungan manusia dengan lingkungan ( palemahan ), yang tercermin dalam ajaran Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan). Apabila manusia mampu menjaga hubungan yang seimbang dan harmonis dengan ketiga aspek tersebut maka kesejahteraan akan terwujud. Selain nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi, dalam kebudayaan Bali juga dikenal adanya konsep tri semaya yakni persepsi orang Bali terhadap waktu. Menurut orang Bali masa lalu ( athita ), masa kini ( anaghata ) dan masa yang akan datang ( warthamana ) merupakan suatu rangkaian waktu yang tidak dapt dipisahkan satu dengan lainnya. Kehidupan manusia pada saat ini ditentukan oleh hasil perbuatan di masa lalu, dan perbuatan saat ini juga menentukan kehidupan di masa yang akan datang. Dalam ajaran hukum karma phala disebutkan tentang sebab-akibat dari suatu perbuatan, perbuatan yang baik akan mendapatkan hasil yang baik. Demikian pula seBaliknya, perbuatan yang buruk hasilnya juga buruk atau tidak baik bagi yang bersangkutan. Kebudayaan Bali juga memiliki identitas yang jelas yaitu budaya ekspresif yang termanifestasi secara konfiguratif yang emncakup nilai-nilai dasar yang dominan sepert: nilai religius, nilai estetika, nilai solidaritas, nilai harmoni, dan nilai keseimbangan (Geriya 2000: 129). Kelima nilai dasar tersebut ditengarai mampu bertahan dan berlanjut menghadapi berbagai tantangan. Ketahanan budaya Bali juga ditentukan oleh sistem sosial yang terwujud dalam berbagai bentuk lembaga tradisional seperti banjar, desa adat, subak (organisasi pengairan), sekaa (perkumpulan), dan dadia (klen). Keterikatan orang Bali terhadap lembaga-lembaga tradisional tersebut baik secara sukarela maupun wajib, telah mampu berfungsi secara struktural bagi ketahanan budaya Bali. Menurut Geertz (1959) orang Bali sangat terikat oleh beberapa lembaga sosial seperti tersebut di atas. Lembaga tradisional seperti desa adat dianggap benteng terakhir dari kebertahanan budaya Bali. Namun demikian, perlu kiranya dipahami bahwa ketahanan kebudayaan Bali mempunyai kelemahan dari tiga aspek pokok yaitu ketahanan struktural, fungsional dan prosesual (Geriya 2000:183). Ketahanan struktural secara fisik terkait dengan penguasaan tanah sebagai penyangga budaya, yang bukan saja berubah fungsi tetapi juga berubah penggunaannya. Kelemahan fungsional terkait dengan melemahnya fungsi bahasa, aksara dan sastra Bali sebagai unsur dan media kebudayaan. Kelemahan prosesual realitas konflik yang berkembang dengan fenomena transformasi dengan ikatannya berupa fragmentasi dan disintegrasi. Perubahan Kebudayaan Bali Masyarakat dan kebudayaan Bali tidak luput dari perubahan di era gloBalisasi ini. Seperti dikatakan oleh Adrian Vickers (2002) bahwa orang Bali kini tengah mengalami suatu paradok yakni cenderung mengadopsi kebudayaan modern yang mendunia (kosmopolitan), namun di sisi lain juga sedang mengalami proses parokialisme atau kepicikan yang timbul karena fokus beralih pada lokalitas, khususnya kepada desa adat. Dengan kata lain bahwa orang Bali dalam mengadopsi budaya modern tampaknya masih tetap berpegang kepada ikatan ikatan tradisi dan sistem nilai yang dimilikinya. Fenomena paradok ini juga dikemukakan oleh Naisbitt dan Aburdene (1990:107) yang disebutnya sebagai sikap

penolakan (countertrend) terhadap pengaruh kebudayaan global (budaya asing) sehingga timbul hasrat untuk menegaskan keunikan kultur dan bahasa sendiri. Triguna (2004) mengatakan bahwa watak orang Bali telah berubah secara signifikan dalam dekade terakhir ini. Orang Bali tidak lagi diidentifikasi sebagai orang yang lugu, sabar, ramah, dan jujur sebagaimana pernah digambarkan oleh Baterson. Demikian pula orang Bali telah dipersepsikan oleh outsider sebagai orang yang temperamental, egoistik, sensitif, dan cenderung menjadi human ekonomikus. Perubahan karakter orang Bali disebabkan oleh beberapa faktor antara lain faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah perubahan fisik yakni alih fungsi lahan yang setiap tahunnya berkisar sekitar 1000 ha. Budaya agraris yang semula menjadi landaskan kehidupan budaya dan masyarakat Bali kini berubah menjadi budaya yang berorientasi kepada jasa dalam kaitannya dengan industri pariwisata. Faktor eksternal bersumber dari kegiatan industri pariwisata telah menyebabkan terdinya materialisme, individualisme, komersialisme, komodifikasi, dan gejala profanisasi dalam kebudayaan Bali. Multikulturalisme dalam Kebudayaan Bali Dalam kebudayaan Bali terdapat nilai-nilai yang mengakui adanya perbedaan atau pluralitas. Nilai-nilai tersebut terefleksi dalam konsep rwa bhineda (dua hal yang berbeda atau oposisi biner). Perbedaan dalam kebudayaan Bali diakui karena adanya faktor desa (tempat), kala (waktu) dan patra (keadaan/kondisi). Konsep desa, kala, dan patra ini sering dijadikan pembenar oleh masyarakat Bali mengenai adanya perbedaan adat-istiadat atau kebudayaan antara daerah yang satu dengan daerah lain di Bali. Lebih lanjut, dalam kebudayaan Bali juga terdapat nilai-nilai toleransi dan persamaan yang didasarkan atas konsep Tat twam asi (dia adalah kamu). Dengan konsep Tat Twam Asi masyarakat Bali toleran kepada orang lain karena mereka beranggapan bahwa orang lain juga sama dengan dirinya. Fenomena ini mencerminkan tingginya toleransi dalam masyarakat Bali. Hal ini diperkuat lagi dengan adanya konsep Tri Kaya Parisudha yaitu berpikir, berkata, dan berbuat yang baik dan benar. Dalam aspek keseimbangan dan harmonisasi dengan Tuhan, sesama manusia, dan hubungannya dengan lingkungan fisik orang Bali mengenal konsep Tri Hita Karana . Tri Hita Karana secara arfiah artinya adalah tiga faktor yang emnyebabkan kesejahteraan yaitu hubungan yang harmonis dan seimbang dengan Tuhan ( parhyangan ), hubungan yang harmonis dan seimbang dengan sesama manusia ( pawongan ), dan hubungan yang harmonis dan seimbang dengan lingkungan alam sekitar ( palemahan ). Hubungan sesama manusia dalam masyarakat Bali dikenal pula dengan konsep nyama braya . Nyama adalah kerabat dekat, dan braya adalah kerabat jauh. Sebagaimana diketahui bahwa Bali terdapat kantongkantong hunian masyarakat Islam seperti di desa Pegayaman (Buleleng), Pamogan, Kepaon dan Serangan (Denpasar). Kelompok masyarakat Muslim tersebut memiliki sejarah yang erat dengan raja-raja atau para penguasa Bali di masa lalu, sehingga mereka sering disebut dengan istilah nyama selam atau saudara Islam/muslim . Selain masyarakat Islam, di Bali juga banyak bermukim orang-orang Cina bahkan mereka telah menyatu dengan masyarakat dan kebudayaan Bali. Hubungan kebudayaan Bali dengan Cina dapat dikatakan telah berlangsung lama. Berbagai komponen budaya Cina telah menyatu atau diadopsi dalam kebudayaan Bali antara lain: pemanfaatan uang kepeng (uang Cina) sebagai alat transaksi dan kebutuhan upacara di Bali, dan beberapa jenis kesenian (seni ukir dan tari/baris Cina)(Ardana 1983: 4; Wirata 2000; Pringle 2004;). Pengaruh Kebudayaan Cina di Bali Masyarakat Cina telah lama tinggal dan hidup di Bali. Masyarakat Cina di Bali sebagaimana lazimnya komunitas Cina di Indonesia mereka tinggal di daerah perkotaan dan d Pedesaan. Menurut Visanty (1975: 346) orang Cina di Indonesia umunya berasal dari dua provinsi yaitu

Fukien dan Kwangtung. Lebih lanjut dikatakan bahawa ada empat bahasa Cina di Indonesia yaitu Hokkien, Teo-Chiu, Hakka, dan Kanton. Masyarakat Cina yang tinggal diperkotaan perilakunya berbeda dengan mereka yang tinggal dipedesaan. Orang Cina yang tinggal diperkotaan umumnya kurang bergaul dengan masyarakat lokal, namun mereka yan tinggal dipedesaan telah menyatu dengan masyarakat Bali. Sampai saat ini belum ada data yang pasti kapan sesungguhnya awal hubungan Bali dengan Cina. Dalam berita Cina disebutkan nama Po-li yang mengirim utusan ke Cina pada awal abad ke 6 masehi. Apakah Po-li identik dengan Bali atau tempat lain di indonesia masih belum jelas (Coedes 1968: 53). Kajian tentang mata uang terutama keberadaan uang kepeng Cina di Bali menunjukkan bahwa uang kepeng dari zaman Tang (abad 7-9 Masehi) telah ditemukan di Bali (Pringle 2004: 10). Uang kepeng sebagai barang yang mudah dibawa dan bertahan cukup lama sulit dijadikan pedoman untuk mengetahui awal kontak atau hubungan Bali dengan Cina. Namun demikian, fungsi uang kepeng Cina sebagai alat transaksi yang syah di Bali berlanjut pada masa kolonial, bahkan samapai kinipun uang kepeng masih dipakai sebagai pelengkap atau sarana pada upacara agama Hindu di Bali (Ardana 1983: 4; Pringle 2004). Perlu dicatat bahwa beberapa waktu yang Badan Pelestarian Budaya Bali telah memproduksi uang kepeng yang cukup banyak untuk kelengkapan sarana upacara di Bali. Selain mata uang kepeng, unsur budaya Cina juga berpengaruh dalam seni di Bali. Keberadaan baris Cina di desa Sanur, Denpasar dapat dikatakan sebagai satu-satunya seni tari dengan kostum yang unik, dan diduga kuat mendpat pengaruh budaya Cina di Bali (Ardana 1983: 4). Demikian pula halnya dengan seni barong diduga mendapat pengaruh kesenian Cina. Pengaruh budaya Cina juga dapat dilihat dalam arsitektur dan seni ukir Bali. Bangunan dengan atap bertingkat yang lazim di Bali dikenal dengan nama Meru diperkirakan mendapat pengaruh arsitektur Cina. Seni ukir dengan pola sulur atau tumbuhan dengan batang yang merambat disebut patra Cina juga dianggap sebagai pengaruh budaya Cina. Dalam konteks keagamaan, perlu juga disebutkan bahwa pada beberapa pura besar ( Sad kahyangan ) di Bali seperti pura Besakih dan pura Batur terdapat sebuah tempat pemujaan yang disebut Palinggih Ratu Subandar . Palinggih Ratu Subandar biasanya didominasi oleh warna merah dan kuning seperti lazimnya bangunan wihara/kelenteng, dan pemujaan pada bangunan suci tersebut difokuskan untuk memuja manifestasi Tuhan dalam aspek perdagangan atau kemakmuran. Integrasi Masyarakat Cina di Bali Selain diperkotaan, komunitas Cina juga tersebar di daerah pedesaan di Bali antara lain di Kintamani, Baturiti, Marga, Pupuan, Petang, Carangsari, Sukawati, Blahbatuh, dan Menanga. Mereka umumnya bermukim di dekat pasar tradisional atau pusat perdagangan, dan profesi sebagai pedagang atau petani. Studi kasus terhadap komunitas Cina di desa Carangsari, Badung oleh Ketut wirata (2000) menunjukkan bahwa mereka memiliki integritas yang tinggi dengan masyarakat Bali. Integritas ini disebabkan oleh adanya kesamaan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam agama Hindu dan Budha. Toleransi yang terdapat dalam ajaran agama Hindu ( Tat Twan Asi, Tri Hita Karana, menyama braya ) dan nilai-nilai yang sama dalam agama Budha tampaknya telah mendorong orang Bali dan komunitas Cina untuk dapat berintegrasidengan baik. Kesamaan kultural ini menjadi modal penting sebagai landasan integrasi masyarakat Cina di pedesaan Bali. Agama Hindu dan Budha sejak dahullu dianggap satu seperti yang disebut oleh Mpu Tantular dalam karyanya yang berjudul Sutasoma dengan ungkapan yang sangat terkenla yaitu Bhineka Tunggal Ika tan Hana Dharma Mangrwa . (Agama Siwa (Hindu) dan Budha pada hakikatnya sama). Hal ini juga terlihat dlam tradisi agama Hindu di Bali bahwa setiap penyelenggaraan upacara besar senantiasa dipimpin ( dipuput ) setidaknya dua pendeta yaitu pendeta Siwa (Hindu) dan Budha. Selain kesamaan kultural dan agama, masyarakat Cina di pedesaan di Bali juga melakukan integritas struktural. Kenyataan masyarakat Cina di desa Carangsari, Badung menunjukkan

bahwa mereka ikut menjadi makrama desa adat . Komunitas Cina di desa tersebut menjadi anggota desa adat dengan segala hak dan kewajibannya seperti rekan-rekannya dari komunitas Bali. Masyarakat Cina memasuki pranata-pranata sosial yang ada di desa Carangsari. Sebagai anggota karma desa masyarakat Cina di desa Carangsari ikut gotong royong ( ngayah ) di pura kahyangan tiga (tiga pura utama di setiap desa adat di Bali yaitu Pura Puseh, Desa dan Dalem ) di desa tersebut, sehingga mereka juga mendapat hak yaitu tanah ulayat desa untuk tempat pemukiman mereka. Bahkan mereka semuanya memeluk agama Hindu. Komunitas Cina di desa Carangsari menunjukkan ke-Bali-annya dengan menggunakan nama Bali seperti sebutan Putu, Made, Nyoman, dan Ketut. Fenomena ini juga terjadi pada komunitas Cina di tempat lain di Bali. Penggunaan bahasa Bali di kalangan komunitas Cina di Bali dapat dikatakan menambah ke-Bali-an mereka. Di samping itiu, masyarakat Bali juga mengadopsi bahasa Cina dalam komunikasi sehari-harinya. Selain menjadi karma desa atau memasuki pranata-pranata sosial di Bali, perkawinan antar etnis Cina dan Bali dapat memperkuat integritas kedua kelompok masyarakat tersebut. Keturunan dari hasil perkawinan ini akan dapat memperkuat integritas antara komunitas Cina dan masyarakat Bali. Strategi Mempertahankan Kearifan Lokal Perubahan kebudayaan merupakan fenomena yang nnormal dan wajar. Perjalanan sejarah menunjukkan bahwa suatu kebudayaan telah mampu mengadopsi dan mengadaptasi kebudayaan asing/luar menjadi bagiannya tanpa kehilangan jati diri. Dalam interaksi tersebut kebudayaan etnik mengalami proses perubahan dan keberlanjutan ( change and continuity ). Unsur-unsur kebudayaan yang dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan zaman tampaknya ditinggalkan, dan digantikan dengan unsur-unsur yang baru. Kesamaan nilai-nilai dalam agama dan spiritualitas mengenai multikulturalisme yang terdapat dalam berbagai etnik/komunitas di indonesia tampaknya dapat digunakan sebagai alat untuk menjalin integritas sosial di antar kelompok etnik tersebut seperti halnya integritas antara oarng Cina dan masyarakat Bali di pedesaan. Jati diri otentik adalah bersifat spiritual dan murni, sedangkan jati diri artifisial saat ini adalah materialisme akibat dari pengaruh budaya global dan hedonisme (Agustian 2004:2). Keyakinan akan adanya eksistensi Tuhan Yang Maha Esa akan memperkuat jati diri dan kepercayaan diri (Agustian 2004: 3). Dalam dunia modern, menurut Peter L. Berger (Nashir 1999:41) agama adalah canopy suci untuk menghadapi kekacauan (chaos) (the sacred canopy of chaos). Agama ibarat langit suci yang teduh dan melindungi kehidupan. Masyarakat harus kemBali kepada basic value atau basic principle yang merupakan nilai-nilai dasar dalam kehidupan. Nilai-nilai dasar itu bersumber pada agama dan falsafah negara kita yakni pancasila. Kearifan lokal yang terkait dengan nilai-nilai pluralitas budaya atau multikulturalisme dalam masyarakat perlu kiranya direvitalisasi untuk membentengi diri dari gejala disintegrasi bangsa. Berbagai konsep dalam kebudayaan Bali seperti Rwa Bhineka, Tat Twam Asi, tri hita karana, dan nyama braya dalam kebudayaan Bali perlu dipahami sehingga dapat dipakai landasan untuk hidup saling berdampigan dengan etnik lain, khususnya etnik Cina. Kearifan-kearifan lokal tersebut di atas yang mengedepankan hubungan yang harmonis dan seimbang antara manusia dengan Tuhan, sesama manusia dan lingkungan alam perlu disosialisasikan dan diejawantakan dalam kehidupan riil. Di masyarakat kita kini muncul berbagai penyakit keterasingan ( alienasi ) antara lain. Alienasi ekologis , manusia secara mudah merusak alam dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dengan penuh kerakusan dan tanpa menghiraukan kelangsungan hidup di masa depan bagi semua orang. Muncul pula alienasi etologis , bahwa manusia kini mengingkari hakikat dirinya, hanya karena memperebutkan materi dan mobilitas kehidupan. Alienasi masyarakat , menunjukkan keretakan dan kerusakan dalam hubungan antarmanusia dan

antarkelompok, sehingga lahir disintegrasi sosial. Selain itu, muncul pula alienasi kesadaran , yang ditandai oleh hilangnya keseimbangan kemanusian karena meletakkan rasio atau akal pikiran sebagai satu-satunya penentu kehidupan, yang menapikan rasa dan akal budi (Nashir 199: 6). Berbagai keterasingan tersebut di atas sesungguhnya bertentangan dengan ajran-ajaran atau kearifan lokal yang kita kenal selama ini baik di tingkat nasional maupun lokal. Di tingkat nasional kita mengenal istilah gotong royong, tenggang rasa ( tepa salira ), dan musyawarah mufakat. Pada tataran lokal kita mengenal bermacam-macam konsep yang maknanya sama. Noronga' uchu gawoni, noro' uchu geo, alisi tafa daya-daya, hulu ta farwolo-wolo (berat sam dipikul, ringan sama dijinjing) kata orang Nias. Sigilik seguluk selunglung sebayantaka (susah senang kita harus sama-sama) kata orang Bali (Imawan 2004: 1). Secara sadar dan terencana perlu kiranya dikembangkan konsep sadar budaya, termasuk revitalisasi kearifan lokal tersebut. Selain itu, penggalian atau penemuan kemBali kearifankearifan lokal dalam menumbuhkan budaya multikultural di antara berbagai etnik perlu terus dilakukan dalam membentengi diri menghadapi gelombang pengaruh budaya global. Upaya merevitalisasi kearifan lokal tampaknya tidak mudah dilakukan tanpa adanya kemauan politik (good will) dari pemerintah (Astra 2004: 13). Pemberdayaan lembaga pendidikan, dan pendidikan formal maupun non formal perlu ditingkatkan untuk menggali dan mengembangkan potensi dan nilai-nilai kearifan lokal dalam kebudayaan. Melalui pendidikan diharapkan pemahaman generasi muda dan masyarakat secara keseluruhan terhadap kearifan budaya lokal akan semakin meningkat yang pada gilirannya menimbulakn pemahaman terhadap jati diri. Penerapan kurikulum muatan lokal kiranya dapat memberikan peluang untuk menjadikan kearifan lokal sebagai mata ajar. Dengan upaya ini diyakini kearifan lokal mampu bertahan dan berkembang sesuai dengan tuntutan zaman. Penutup Pemahaman tentang kesamaan niali-nilai budaya di antara kelompok-kelompok etnik menjadi sangat penting dalam rangka mewujudkan multikulturalisme di indonesia. Sikap toleransi dan saling menghormati antara kelompok etnik yang satu dengan yang lain merupakan dasar yang sangat penting untuk mewujudkan gagasan tersebut. Nilai-nilai dasar yang bersumber kepada agama serta kearifan lokal merupakan benteng untuk memperkuat jati diri dalam menghadapi arus budaya global yang cenderung bersifat sekuler dan materialistis. Dukungan politik dan kemauan pemerintah sangat diperlukan dalam upaya menggali, menemukan kemBali, dan revitalisasi kearifan lokal agar selaras dengan pembangunan jati diri bangsa. Era gloBalisasi yang dicirikan oleh perpindahan orang (ethnoscape), pengaruh teknologi (technoscape), pengaruh media informasi (mediascape), aliran uang dari negara kaya ke negara miskin (financescape), dan pengaruh ideology seperti HAM dan demokrasi (ideoscape) (Appadurai 1993:296) tidak dapat dihindari terhadap kebudayaan Bali dan etnik lain di indonesia. Sentuhan budaya global ini menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan atau kehilangan orientasi (disorientasi) dan dislokasi hampir pada setiap aspek kehidupan masyarakat. Konflik muncul dimana-mana, kepatuhan hukum semakin menurun, kesantunan sosial mulai diabaikan. Masyarakat cenderung bersifat sekuler dan komersial, serta uang dijadikan sebagai tolak ukur dalam kehidupan. GloBalisasi telah menimbulkan pergulatan antara nilai-nilai budaya lokal dan global menjadi semakin tinggi intensitasnya. Sistem nilai budaya lokal yang selama ini digunakan sebagai acuan oleh masyarakat tidak jarang mengalami perubahan karena pengaruh nilai-nilai budaya global, terutama dengan adanya kemajuan teknologi informasi yang semakin mempercepat proses perubahan tersebut. Proses gloBalisasi juga telah merambah wilayah kehidupan agama

yang seraba sakaral menjadi sekuler, yang dapat menimbulkan ketegangan bgi umat beragama. Nilai-nilai yang mapan selama ini telah mengalami perubahan yang pada gilirannya menimbulkan keresahan psikologis dan krisis identitas di banyak kalangan masyarakat. Namun di sisi lain terjadi paradoks bahwa ekspansi budaya global justru menyebabkan meningkatnya kesadaran terhadap budaya lokal dan regional (Nashir 1999: 176; Azra 2002: 15

You might also like