You are on page 1of 5

1

Mengapa Mesti Bingung? Oleh: Suhadi Rembang Beberapa waktu yang lalu, PMII Al-Ghozali Unnes sempat ngudoroso kepada PB PMII tentang rakornas kaderisasi. Ngudoroso tentang konsep pengakderan yang sedang mendera pada perguruan tinggi umum ini, diulas panjang lebar di website http://pmiialghazali.blogspot.com/2012/02/kecewa-dengan-rakornas-kaderisasi-pb.html. Beberapa kader dan alumni PMII Al-Ghozali Unnes juga sempat berkomentar, ketika ulasan tentang ngudoroso itu diunggah pada http://www.facebook.com/groups/pmiialghozali/. Sebisa yang saya tangkap tentang isi ngudoroso itu diantaranya kebingungan pola pengakderan PMII di beberapa perguruan tinggi umum. Hal ini dikarenakan, menurut ulasan di web yang sama, karena kurikulum dan para pengkader PMII, cenderung berkiblat dari perguruan tinggi berbasis agama. Dalam ulasan web yang sama menambahkan, pengkaderan di perguruan tinggi umum begitu membingungkan, terlebih PB PMII tidak turun ke kampus-kampus perguruan tinggi umum. Ngudoroso ini jelas bertolak belakang pada saat ketika saya masih sering nongkrong di bascamp PMII Unnes, tepatnya di gang nangka Sekaran Gunungpati Semarang. Pada saat itu, ketua umum PMII Unnes dipegang oleh mas Eko Kudus, http://www.facebook.com/profile.php?id=100000135429224, dimana PMII Unnes mendapatkan peringkat kualitas terbaik se Indonesia di bidang kurikulum MAPABA. Untuk indikator penilaian kurikulum MAPABA, silahkan konfirmasi dengan mantan ketua PMII yang bersangkutan. Saya sendiri tidak tahu apa indikatornya karena saya tidak diajak. Kembali ke pokok persoalan ngudoroso PMII Al-Ghozali Unnes kepada PB PMII. Ada pertanyaan menarik yang dapat dihadirkan dalam kasus di atas. Sebenarnya yang selama ini kritis dalam hal bagaimana pola pengkaderan PMII di kampus umum, adalah mereka kaderkader yang ada di perguruan tinggi umum. Pengalaman dari mas Eko Kudus, terbukti dapat melenturkan kurikulum MAPABA yang didesaign ala kampus agama, yang hadap akan kebutuhan kader pada kampus umum. Hanya saja, apa yang dilakukan oleh mas Eko Kudus, tidak kemudian dikembang-kemudikan oleh ketua PMII Unnes di kemudian. Sebatas yang saya tahu, mas Eko Kudus lebih banyak memberi sumbangsih untuk berjalannya kaderisasi di Unnes. Dukungan struktural hingga simpatisan kala itu, juga cukup meriah dalam menggerakkan dinamika PMII Unnes. Suatu saat mas Eko Kudus mengikuti program kuliah kerja lapangan Unnes, dipilihlah PLH sejumlah tiga orang. Saat itu, kalau tidak salah, kang AsrodinGunungpati http://www.facebook.com/profile.php?id=1385471134, kang AgusPurwodadi http://www.facebook.com/profile.php?id=1391096480, dan saya sendiri. Anehnya, hanya saya sendiri yang diberi uang tujuhpuluh ribu. Praktis uang itu saya gunakan jajan. Setelah mas Eko Kudus usai program kegiatan, ditanyalah tentang digunakan untuk apa saja uang sejumlah itu. Saya jawab, yo tak pake makan mas, sama temen-temen di warung bambu, wong pada gak punya uang. lha emange kuwi duwit kanggo opo to mas? . Dengan ekspresi

yang mencengangkan, dan dengan kumis tebal namun lembut, dia senyum dan berucap, walah had had, wong duwit iku kanggo akomodasi PMII kok malah dipake jajan, yo wis yo wis . Tak lama kemudian, saya dan kawan-kawan ditraktir minum es kopi dan mie rebus yang lumuri dengan sayur sawi hijau yang tampak menggugah selera makan, saat itu. Dan mulailah bercakap banyak tentang berbagai hal. Untuk cerita ketua PMII Unnes yang lain, mohon maaf saya tidak dapat cerita, karena ketua yang lain tidak memberi uang tujuhpuluh ribu, ha...ha...ha... Entah kemudian apakah karena ketua PMII Unnes tidak se-gaya mas Eko Kudus, kemeriahan PMII Unnes terjadi kelesuan. Untuk mengetahui derajat dan dinamika PMII Unnes, lebih lanjut dapat dilakukan penelitian mendalam. Hal menarik yang dapat saya tangkap saat itu tentang PMII Unnes adalah bagaimana cara membuat warga dan struktural kampus itu nyaman dengan hadirnya PMII. Dengan merasa nyaman, jelas hadirnya PMII di kampus perguruan tinggi umum, layaknya agama, ha...ha...ha... Bagi saya, PMII yang beginilah yang menurut saya pas untuk hadir, tumbuh, dan berkembang, dan selalu memberi aroma segar seperti eloknya bunga di taman-taman surga yang sungguh kita nantikan hidup di kemudian kelak nanti. Mengapa meski bingung akan pola kaderisasi PMII di kampus-kampus umum yang kurikulumnya berstempel kampus agama? Boleh ngudoroso, tapi yang terpenting adalah kader-kader PMII di kampus-kampus umum harus selalu membangkitkan sistem alam pikir, mandiri, dan ketika kita berbincang PMII, visi nya adalah membangun masyarakat, sekaligus menyiapkan kader PMII yang mampu membebaskan dari kelangkaan kebutuhan dasar, namun juga tidak mencaplok kesejahteraan anak cucu masyarakat nanti. Ada beberapa hal yang pas diperbincangkan, ketika menyoal tentang kurikulum pengkaderan PMII di kampus umum. Pertama, pecahkan simbol-simbol ke PMII-an yang ada di kurikulum, katakankah buku MAPABA. Kedua, dalam membangun struktur PMII di kampus umum, berangkatlah pada kecenderungan membebaskan dari kelangkaan kebutuhan dasar, membebaskan akan sandra pada lembaga dasar dalam masyarakat. Dalam tulisan jelek yang memuat apa kabar stiker PMII , http://www.scribd.com/doc/82535679/Stiker-PMII-Apa-Kabarmu, ditemukan relasi struktur antara organisasi kampus, partai, dan organisasi masyarakat. Relasi kuat itu dapat dilihat pada kesamaan penggunaan simbol bintang yang jumlahyang sembilan, antara PMII, PKB, dan NU. Bintang yang lain tidak tersebutkan, dan mohon untuk tidak tersinggung. Beberapa informasi, ada modus makna yang menguatkan dimana sembilan bintang itu adalah nabi muhammad, empat sahabat nabi, dan empat mazhab. Ketika PMII menggunakan simbol sembilan bintang, maka secara makna simbolik, dinamika PMII tidak lepas dari sembilan bintang itu. Relasi kuat yang mampu menafsirkan apa itu sembilan bintang, jelas, mereka adalah sahabat sahabati yang ada di kampus agama. Kampus agamapun cenderung dengan kampus yang berstempel Islam. Dengan demikian, maka

apapun produk yang dihasilkan, sanadnya harus tidak putus dari sembilan bintang itu. Dan menjadi menarik, bintang-bintang yang lain harus antri cukup lama untuk menghiasi dinding-dinding pengakderan di PMII, dan bintang-bintang lain itupun tidak selalu mendapatkan ruang, walaupun sudah mematuhi hukum antri. Untuk yang tidak dapat antrian, mohon tidak tersinggung. Simbolisasi sembilan bintang itu kemudian di-inisiasi dalam ranah pengkaderan. Dengan bertubi-tubi, bintang sembilan itu kemudian di-sosialisasi-kan pada diri kader PMII. Dengan itulah, simbolisasi struktur dimainkan. Hal ini dapat dilihat, kader-kader yang memegang stuktur di PMII, selalu dengan legalisasi bintang, dengan menginteraksikan, seolah-olah terdapat jejaring dari sembilan bintang. Dengan itu pula, sebenarnya telah terjadi pembangunan kelas-kelas sosial, dimana syarat dari unsur-unsur yang paling dominan diusulkan adalah yang berbau sembilan bintang. Hal yang menjadi menarik kemudian adalah adanya relasi antara pola dan produk pengkaderan yang didominasi oleh mereka-mereka yang dipandang cukup dekat dunianya dengan sembilan bintang. Tentu, desaign ini akan berjalan terus, karena desaign itu berfungsi membangun kelas sosial mereka. Harimau saja akan menerkam kawannya, jika kekuasaan dan hasil buruannya, diambil, apalagi manusia. Pola dari dinamika sembilan bintangpun akan dibawa dalam struktur di PMII. PMII yang tumbuh di kampus perguruan tinggi agama, kader-kadernya tidak akan bingung dalam ngecak ke buku MAPABA PMII dan beberapa kaderisasi tingkat lanjut lainnya. Mengapa demikian, karena mereka telah terbiasa dengan sosialisasi primer yang diperankan keluarga dan lingkungannya. Sedangkan kader PMII di kampus umum, sebaliknya, mereka dipaksa bingung dalam proses kederisasi dasar hingga lanjutan. Kebingungan itu terjadi karena proses sosialisasi tidak mempolakan mereka, dengan apa yang ada dalam pola pengkaderan PMII yang syarat dengan label sembilan bintang itu. Dilatih apa untuk melakukan apa, benar-benar tidak nyambung. Kader-kader PMII di kampus umum, yang kebanyakan dari SMA, bukan madrasah. Kebingungan ini kemudian menjadi santapan yang selalu diburu oleh para keder yang ingin kelas sosialnya naik mendekati derajat struktural sembilan bintang. Kekosongan pengalaman dalam menerjemahkan sembilan bintang, benar-benar menjadi kebingungan yang maha dahsyat. Yang terjadi kemudian adalah ketergantungan akan sosok yang mampu mencerahkan akan kode-kode sembilan bintang itu. Kemudian yang terjadi adalah adanya posisi tawar yang lebih bagi sahabat sahabati yang bertapa di kampus agama. Lagi-lagi, kader-kader PMII yang ada di kampus umum, hanya menjadi pengikut, dan harus selalu siap memeriahkan kontes para pengaku sembilan bintang, dan harus kembali dengan beban kebingungan kaderisasi, ketika kembali di kampus umum. Harusnya antara kader di kampus agama dan kampus umum, menjadi setara, karena PMII sama-sama menjadi saluran mobilitas sosial antar kader. Bukankah demikian?

Jika demikian, sampai dimanakah dan kemanakah prediksi dari ngudoroso akan konsep pengakaderan yang datang dari kampus umum? Apakah struktural PB PMII akan benarbenar menindak-lanjuti ngudoroso itu? Apakah mereka yang ada di kampus bintang itu, yang nantinya akan merancang buku MAPABA PMII kampus umum? Untuk tidak bingung seumur-umur, dalam membangun struktur PMII di kampus umum, berangkatlah pada kecenderungan membebaskan akan hal-hal yang menyebabkan lembaga dasar apa yang ada dalam masyarakat, yang tersandra fungsinya. Hal-hal yang perlu dibebaskan diantaranya; bebas dari rasa kebodohan, bebas dari lapar, bebas dari sakit, bebas dari takut, bebas dari rasa benci, dan bebas dari rasa hawatir. Untuk membebaskan sandra akan kematian, kebodohan, lapar, sakit, takut, benci, dan hawatir/was-was, dalam masyarakat biasanya diperankan oleh lembaga keluarga, lembaga pendidikan, lembaga ekonomi, lembaga kesehatan, lembaga keamanan, lembaga kesenian, dan lembaga agama. PMII di kampus-kampus umum saya kira sangat siap bermain dalam hal ini. Selama ini, konsep kaderisasi PMII belum menyentuh akan pembebasan di atas dengan sempurna. Dengan simbol sembilan bintang dan stratifikasi di dalamnya, yang paling dominan adalah pembebasan akan rasa hawatir, sebagaimana yang difungsikan dalam lembaga agama. Dengan paradigma pembebasan yang diusung PMII, saya yakin, unsur-unsur pembebasan di atas jika dituangkan dalam pola pengkaderan di PMII, maka kader-kader PMII yang ada dikampus umum tidak lagi bingung. Yang menjadi bingung adalah PMII yang ada dikampus agama yang selama ini dimanjakan oleh sembilan bintangnya. Terlebih pada saat ini, beberapa kamus agama, telah berubah wajah dari institut perguruan menjadi universitas. Dengan demikian, ada kencenderungan, pola pengakderan PMII ke arah pembebasan akan kematian, kebodohan, lapar, sakit, takut, benci, dan hawatir. Dengan berangkat pada kecenderungan membebaskan akan sandra pada lembaga dasar dalam masyarakat di atas, jelas akan tercipta kegiatan yang hangat dalam kampus-kampus. Karena sifatnya adalah lembaga dasar yang dibutuhkan oleh masyarakat, maka kader-kader PMII secara sadar ataupun tidak sadar, juga telah mempersiapkan diri menjadi ahli yang profesional di bidangnya masing-masing. Mereka ada yang menjadi ahli keluarga (pembebas kematian), ahli pendidikan (pembebas kebodohan), ahli ekonomi (pembebas lapar), ahli kedokteran (pembebas sakit), ahli pertahanan dan keamanan (pembebas rasa takut), ahli kesenian (pembebas rasa benci), dan ahli agama (pembebas rasa hawatir). Dengan membebaskan dari kelangkaan kebutuhan dasar, maka kader-kader PMII di kampus umum dikemudian hari selalu siap menjadi garda terdepan dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih diinginkan pada suatu masyarakat lokal maupun global.

PMII di kampus-kampus umum, dan tidak terkecuali di kampus agama, selalu diharapkan kehadirannya, karena PMII selalu membebaskan akan kelangkaan kebutuhan dasar, yang dilandasi dengan pancaran bintang-bintang penerang. Mengapa mesti bingung? Pamotan-Rembang, 27-02-2012

You might also like