You are on page 1of 13

B. PEMERIKSAAN DENGAN GARPU TALA Tujuan : 1. Mengetahui beberapa cara memeriksa ketajaman pendengaran dengan menggunakan garpu tala.

2. Memeriksa ketajaman pendengaran dengan menggunakan garpu tala. Dasar Teori Telinga berfungsi untuk merubah gelombang suara menjadi impuls, yang kemudian dijalarkan ke pusat pendengaran di otak. Walaupun mekanisme mendengar tidak dapat mencakup seluruh gelombang bunyi, namun keterbatasan ini tidak merupakan hambatan bagi seseorang untuk dapat menanggapi berbagai macam bunyi yang berasal dari lingkungannya. (Handout Praktikum Akustik, 2011) Telinga (Aparatus vestibulokoklearis) memiliki fungsi yang berhubungan dengan keseimbangan dan pendengaran. Organ ini terdiri atas 3 bagian : telinga luar (menerima gelombang suara), telinga tengah (tempat gelombang suara diteruskan dari udara ke tulang dan dari tulang ke telinga dalam), dan telinga dalam (tempat getaran diubah menjadi impuls saraf spesifik yang berjalan melalui nervus akuatikus ke susunan saraf pusat) (Junqueira, 2007). Telinga luar meliputi Aurikula (Pinna) yaitu lempeng yang tak teratur di tulang rawan elastis yang ditutupi secara erat oleh kulit disemua sisinya. Selain itu ada Meatus Auditorius Eksternus merupakan saluran yang agak gepeng dari permukaan sampai ke tulang temporalis. Batas dalamnya adalah membran timpani dan dinding meatus auditorius eksternus ditunjang tulang rawan elastis di sepertiga bagian luar, sedangkan tulang temporalis menyokong bagian dalam saluran ini. Ujung bagian dalam meatus auditorius eksternus ditutupi suatu membran lonjong, yaitu membran timpani (gendang telinga), dan membran timpani ini adalah bangunan yang meneruskan gelombang suara ke tulang-tulang pendengaran di telinga tengah. (Junqueira, 2007) Telinga Tengah atau rongga timpani adalah ruang tak teratur yang berada di dalam tulang temporalis di antara membran timpani dan permukaan tulang telinga dalam. Di sebelah anterior, ruang ini berhubungan dengan faring melalui tuba auditorius dan di sebelah posterior berhubungan dengan rongga processus mastoideus yang berisikan udara di ruang temporal. (Junqueira, 2007)

Prosesus Mastoideus Rongga mastoid berbentuk seperti bersisi tiga dengan puncak mengarah ke kaudal. Atap mastoid adalah fosa kranii media. Dinding medial adalah dinding lateral fosa kranii posterior. Sinus sigmoid terletak dibawah duramater pada daerah ini. Pada dinding anterior mastoid terdapat aditus ad antrum. Aditus antrum mastoid adalah suatu pintu yang besar iregular berasal dari epitismpanum posterior menuju rongga antrum yang berisi udara, sering disebut sebagai aditus ad antrum. Dinding medial merupakan penonjolan dari kanalis semisirkularis lateral. Dibawah dan sedikit ke medial dari promontorium terdapat kanalis bagian tulang dari n.fasialis. Prosesus brevis inkus sangat berdekatan dengan kedua struktur ini dan jarak rata-rata diantara organ : n.VII ke kanalis semisirkularis 1,77 mm; n.VII ke prosesus brevis inkus 2,36 mm : dan prosesus brevis inkus ke kanalis semisirkularis 1,25 mm. Antrum mastoid adalah sinus yang berisi udara didalam pars petrosa tulang temporal. Berhubungan dengan telinga tengah melalui aditus dan mempunyai sel -sel udara mastoid yang berasal dari dinding-dindingnya. (Nursiah S, 2003) Prosesus mastoid sangat penting untuk sistem pneumatisasi telinga. Pneumatisasi didefinisikan sebagai suatu proses pembentukan atau perkembangan rongga-rongga udara didalam tulang temporal, dan sel-sel udara yang terdapat didalam mastoid adalah sebagian dari sistem pneumatisasi yang meliputi banyak bagian dari tulang temporal . Sel-sel prosesus mastoid yang mengandung udara berhubungan dengan udara didalam telinga tengah. Bila prosesus mastoid tetap berisi tulang-tulang kompakta dikatakan sebagai pneumatisasi jelek dan sel-sel yang berpneumatisasi terbatas pada daerah sekitar antrum. Prosesus mastoid berkembang setelah lahir sebagai tuberositas kecil yang berpneumatisasi secara sinkron dengan pertumbuhan antrum mastoid. Pada tahun pertama kehidupan prosesus ini terdiri dari tulang-tulang seperti spon sehingga mastoiditis murni tidak dapat terjadi. Diantara usia 2 dan 5 tahun pada saat terjadi pneumatisasi prosesus terdiri atas campuran tulang-tulang spon dan pneumatik. Pneumatisasi sempurna terjadi antara usia 612 tahun. Luasnya pneumatisasi tergantung faktor herediter konstitusional dan faktor peradangan pada waktu umur muda. Bila ada sifat biologis mukosa tidak baik maka daya pneumatisasi hilang atau kurang. Ini juga terjadi bila ada radang pada telinga yang tidak menyembuh. Maka nanti dapat dilihat pneumatisasi yang terhenti (pneumatisationshemung arrested pneumatisation) atau pneumatisasi yang tidak ada sama sekali (teori dari Wittmack).

Menurut derajatnya, pneumatisasi prosesus mastoideus ini dapat dibagi atas : 1. Proesesus Mastoideus Kompakta ( sklerotik), dimana tidak ditemui sel -sel. 2. Prosesus Mastoideus Spongiosa, dimana terdapat sel-sel kecil saja. 3. Prosesus Mastoideus dengan pneumatisasi yang luas, dimana sel-sel disini besar. Sellulae mastoideus seluruhnya berhubungan dengan kavum timpani. Dekat antrum sel-selnya kecil tambah keperifer sel -selnya bertambah besar. Oleh karena itu bila ada radang pada sel -sel mastoid, drainase tidak begitu baik hingga mudah terjadi radang pada mastoid (mastoiditis). Gangguan Pendengaran Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan total atau parsial untuk mendengar suara di salah satu atau kedua telinga. Gangguan pendengaran diukur dengan jumlah tingkat kerugian yang disebut desibel (dB). Saat volume suara meningkat, jumlah desibel ikut meningkat. Percakapan normal biasanya antara 45-55 dB. Biasanya, dengan kehilangan pendengaran, kemampuan untuk mendengar suara tinggi berkurang sehingga ada kesulitan untuk mendengar suara burung atau perempuan, diikuti dengan hilangnya penerimaan suara nada rendah (Lipkin, 2009 dalam USU) http//:repository.usu.ac.id//Chapter-II.pdf diunduh pada tanggal 29 November 2011 pukul 19.38 WIB Kehilangan pendengaran dapat konduktif (karena kesalahan transmisi gelombang suara) atau sensorineural (penerimaan suara yang rusak oleh sel saraf), atau keduanya. Penyebab umum gangguan pendengaran konduktif adalah laluan telinga terblokir akibat sumbatan kotoran, gendang telinga berlubang, atau adanya cairan di telinga. Alasan umum untuk tuli sensorineural adalah paparan kebisingan, perubahan yang berkaitan dengan usia, dan obat-obatan ototoksik (yang merusak pendengaran). Kehilangan pendengaran dapat; ringan, yaitu dibawah 40 dB dengan masalah dalam mendengar percakapan biasa, moderat (40-60 dB) di mana suara-suara harus dinaikkan untuk didengarkan dan terakhir berat, yaitu melebihi 60 dB di mana orang harus berteriak untuk didengarkan (Lipkin, 2009 dalam USU) http//:repository.usu.ac.id//Chapter-II.pdf diunduh pada tanggal 29 November 2011 pukul 19.38 WIB Masalah mendengar biasanya datang secara bertahap, dan jarang berakhir pada tuli lengkap. Ada banyak penyebab gangguan pendengaran. Kehilangan pendengaran dapat dibagi menjadi dua kategori utama: o Gangguan pendengaran konduktif (CHL) terjadi karena masalah mekanis di telinga luar atau tengah.Tiga tulang kecil di telinga tidak dapat metranportasi suara dengan benar,

atau mungkin gendang telinga tidak bergetar sebagai respons terhadap suara. Cairan di telinga tengah dapat menyebabkan jenis gangguan pendengaran konduktif ini. o Gangguan pendengaran sensorineural (HPS) hasil ketika ada masalah dengan telinga dalam. Hal ini paling sering terjadi ketika sel-sel rambut kecil (ujung saraf) yang mengirimkan suara melalui telinga menjadi terluka, sakit, atau tidak berfungsi dengan baik. Jenis gangguan pendengaran kadang-kadang disebut "kerusakan saraf," meskipun hal ini tidak akurat (Lipkin, 2009 dalam USU). Ketulian adalah salah satu gejala dari suatu penyakit telinga, sehingga perlu dicari penyakit yang dapat menyebabkan gejala tuli tersebut. Ketulian dapat disebabkan karena gangguan pada transmisi suara di telinga luar atau tengah (tuli konduksi) atau karena kerusakan pada lintasan saraf (tuli saraf). Tuli konduksi atau tuli saraf dapat dibedakan dengan sejumlah tes sederhana dengan menggunakan garpu tala. Beberapa tes tesebut diberikan nama sesuai dengan orang yang mengembangkannya, yaitu tes Rinne, Weber, Schwabach, dan Bing. Tes Garpu Tala Tes ini menggunakan seperangkat garpu tala yang terdiri dari 5 garpu tala dari nada c dengan frekwensi 2048 Hz,1024 Hz, 512Hz,256 Hz dan 128 Hz. Keuntungan test garpu tala ialah dapat diperoleh dengan cepat gambaran keadaan pendengaran penderita.Kekurangannya ialah tidak dapat ditentukan besarnya intensitas bunyi karena tergantung cara menyentuhkan garpu tala, yaitu makin keras sentuhan garpu tala makin keras pula intensitas yang didengar. Sentuhan garpu tala harus lunak tetapi masih dapat didengar oleh telinga normal. Sumber. BUKU PENUNTUN KERJA KETERAMPILAN KLINIK Bagian Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung dan Tenggorok SISTEM INDERA KHUSUS FAKULTAS KEDOKTERAN UNHAS 2009 Tes ini dapat menentukan jenis-jenis kehilangan pendengaran, dikenal ada 4 macam tes garputala yang lazim dipakai menggunakan frekuensi 256 Hz dan 512 Hz (Sumber.Tes Pengukuran Pendengaran.pdf) :
1. TES RINNE :

Prinsip tes ini adalah membandingkan hantaran tulang dengan hantaran udara pada satu telinga. Pada telinga normal hantaran udara lebih panjang dari hantaran tulang. Juga pada tuli sensorneural hantaran udara lebih panjang daripada hantaran tulang. Dilain pihak pada tuli konduktif hantaran tulang lebih panjang daripada hantaran udara. Hasil Interpretasi :

- Tes Rinne (+) bila hantaran udara >> hantaran tulang - Tes Rinne (-) bila hantaran udara << hantaran tulang. - Tes Rinne (+), pada pendengaran normal dan kehilangan pendengaran jenis sensorineural - Tes Rinne (-), pada kehilangan pendengaran jenis hantaran (tuli konduktif).
2. TES WEBER :

Prinsip tes ini adalah membandingkan hantaran tulang telinga kiri dan kanan. Telinga normal hantaran tulang kiri dan kanan akan sama. Bila mendengar langsung ditanyakan di telinga mana didengar lebih keras. Bila terdengar lebih keras di kanan disebut lateralisasi ke kanan. Hasil Intepretasi : Bila terjadi lateralisasi ke kanan maka ada beberapa kemungkinan, yaitu 1. Telinga kanan tuli konduktif, kiri normal 2. Telinga kanan tuli konduktif, kiri tuli sensory neural 3. Telinga kanan normal, kiri tuli sensory neural 4. Kedua telinga tuli konduktif, kanan lebih berat 5. Kedua telinga tuli sensory neural, kiri lebih berat
3. TES SCHWABACH :

Prinsip tes ini adalah membandingkan hantaran tulang dari penderita dengan hantaran tulang pemeriksa dengan catatan bahwa telinga pemeriksa harus normal. Hasil Intepretasi : 1. Schwabach memendek berarti pemeriksa masih mendengar dengungan dan keadaan ini ditemukan pada tuli sensory neural. 2. Schwabach memanjang berarti penderita masih mendengar dengungan dan keadaan ini ditemukan pada tuli konduktif. 3. Schwabach normal berarti pemeriksa dan penderita sama-sama tidak mendengar dengungan. Karena telinga pemeriksa normal berarti telinga penderita normal juga. 4. TES BING

Jenis Kehilangan Pendengaran berdasarkan lokalisasi lesi : a) Kehilangan Pendengaran Jenis Hantaran

Lokalisasi gangguan/lesi terletak pada telinga luar dan atau telinga tengah. Pada kehilangan pendengaran jenis hantaran, transmisi gelombang suara tidak dapat mencapai telinga dalam secara efektif. Ini disebabkan karena beberapa gangguan/lesi pada kanal telinga luar, rantai tulang pendengaran, ruang telinga tengah, fenestra ovalis, fenestra rotunda dan tuba auditiva. Pada bentuk yang murni (tanpa komplikasi) biasanya tidak ada kerusakan pada telinga dalam maupun jalur persyaratan pendengaran (N.VIII). Ini merupakan perbedaan yang prinsipil dengan kehilangan pendengaran jenis lainnya. Tes fungsi pendengaran 1. Tes Bisik : - Tidak dapat mendengar suara bisik pada jarak 5 meter. - Sukar mendengar kata-kata yang mengandung nada rendah. 2. Tes Garputala : - Rinne (-), dengan memakai garputala 250 Hz (hantaran tulang lebih baik dari hantaran udara). - Weber lateralisasi kearah yang sakit (memakai garputala 250 Hz). - Schwabach memanjang (memakai garputala 512 Hz). b) Kehilangan Pendengaran Jenis Sensorineural Lokalisasi gangguan/lesi terletak pada telinga dalam (pada koklea dan N. VIII). Pada kehilangan pendengaran jenis ini merupakan problem yang menjadi tantangan bagi para dokter. Masalahnya, sensorineural inilah yang terbanyak 4,9 terutama pada pekerja industri, dan usia lanjut. Kehilangan pendengaran jenis ini umumnya irreversibel dan jelas mempengaruhi kepribadian penderita yang dapat berkembang kearah yang kurang baik.3 Tes fungsi pendengaran : 1. Tes Bisik : - Tidak dapat mendengar percakapan bisik pada jarak 5 meter. - Sukar mendengar kata-kata yang mengundang nada tinggi (huruf konsonan) (Cermin Dunia Kedokteran No. 39, 1985, halaman 172) 2. Tes Garputala : - Rinne (+), hantaran udara lebih baik dari pada hantaran tulang. - Tes Weber ada lateralisasi ke arah telinga sehat. - Tes Schwabach ada pemendekan hantaran tulang. c) Kehilangan Pendengaran Jenis Campuran

Lokalisasi lesi/gangguan pada telinga tengah dan telinga dalam. Merupakan kombinasi dari kehilangan pendengaran jenis hantaran dan kehilangan pendengaran jenis sensorineural. Mula-mula kehilangan pendengaran jenis ini adalah jenis hantaran (misalnya : otosklerosis), kemudian berkembang lebih lanjut menjadi gangguan sensorineural. Dapat pula sebaliknya mula-mula kehilangan pendengaran jenis sensorineural lalu kemudian disertai dengan gangguan hantaran, seperti misalnya : presbiakusis kemudian terkena infeksi otitis media. Peristiwa yang lain yang juga dapat terjadi kedua gangguan tersebut terjadi bersama-sama. Misalnya : trauma kepala yang berat sekaligus mengenai telinga tengah dan telinga dalam. Tes fungsi pendengaran : 1. Tes Bisik : - Tidak dapat mendengar suara bisik pada jarak 5 meter. - Sukar mendengar kata-kata baik yang mengandung nada rendah maupun nada tinggi. 2. Tes Garputala : - Rinne (-). - Weber lateralisasi ke arah yang sehat . - Schwabach memendek. d) Kehilangan Pendengaran Jenis Sentral Lokalisasi gangguan/lesi pada nukleus auditorius di batang otak sampai koteks otak.3.8 e) Kehilangan Pendengaran Jenis Fungsional Pada kehilangan pendengaran jenis ini tidak dijumpai adanya gangguan/lesi organik pada sistem pendengaran baik perifer maupun sentral, melainkan berdasarkan adanya problem psikologis atau emosional.2,3 2. Goodhill V. "Ear diseases, Deafness and dizziness, Harper & Row Publ. Virginia Avenue Maryland, 1979, p : 88 - 103, p : 130 - 141. 3. Sataloff J. "Hearingloss" Philadelphia - London - Toronto : JB Lipincott Co, 1966 : A) p : 5-9, b). p : 10-16, c) p : 17-31, d) p : 107-121, p : 200-215. 8. Speaks C :" Evaluation of disorders of the central auditory pathway in Otolaryngology Ed. by Paparella MM & * Shumrick, Ilnd Ed, Vol: II, Philadelphia - London - Toronto : WB Saunders Co, 1980, p : 1846-1858.

9. Karie MD. "fnsldens berbagai hearingloss nada murni" Penelitian selama periode 1977-1978, untuk mendapatkan keahljan THT, 1980. Alat : - Garpu Tala (frekuensi 512 dan 288). Cara Kerja : 1. Tes Rinne
a.

Menggetarkan garpu tala (frekuensi 288) dengan salah satu ujungnya pada tepi Menekan gagang penala yang bergetar itu pada Processus Mastoideus salah Menanyakan pada OP apakah ia mendengar suara penala mendengung pada

telapak tangan. Jangan sekali-kali memukulkan pada benda yang keras. b. c. satu telinga OP. telinga yang diperiksa. Bila demikian, meminta OP untuk memberi tanda segera bila dengungan itu menghilang. d. e. Pada saat itu pemeriksa mengangkat penala dari Processus Mastoideus dan Menanyakan pada OP apakah ia sekarang mendengar kembali untuk beberapa mendekatkan ujung penala sedekat mungkin di depan telinga yang sedang diperiksa. saat suara dengungan penala. Bila ia mendengar kembali, maka menuliskan R(+) pada hasil pemeriksaan, bila tak mendengar kembali maka menuliskan R(-) pada hasil pemeriksaan. f. g. Mengulangi percobaan seperti di atas untuk telinga yang lain. Mencatat hasil pemeriksaan.

2. Tes Weber a. b.
c.

Menggetarkan garpu tala (frekuensi 512) dengan salah satu ujungnya pada tepi Menekan gagang penala yang bergetar itu pada dahi OP di garis meridian. Menanyakan pada OP apakah ia mendengar suara penala mendengung sama

telapak tangan. Jangan sekali-kali memukulkan pada benda yang keras.

kuat pada kedua telinga. Hasil normal menunjukkan bila dengungan terdengar sama kuat di kedua telinga, dikatakan tidak ada lateralisasi. Bila dengungan terdengar lebih kuat pada salah satu telinga, dikatakan lateralisasi ke arah telinga yang terdengar lebih keras (lateralisasi kanan atau kiri).

d.

Bila pada OP tidak terdapat lateralisasi, maka untuk menimbulkan lateralisasi

buatan, yaitu dengan menutup salah satu telinga dengan kapas dan mengulangi pemeriksaan seperti di atas. e. Mencatat hasil pemeriksaan.

3. Tes Schwabach a. b. c.
d.

Menggetarkan garpu tala (frekuensi 288) dengan salah satu ujungnya pada tepi Menekan gagang penala yang bergetar itu pada Processus Mastoideus salah Meminta OP mengacungkan tangan pada saat dengungan menghilang. Pada saat itu, segera memindahkan penala dari Processus Mastoideus OP ke

telapak tangan. Jangan sekali-kali memukulkan pada benda yang keras. satu telinga OP.

Processus Mastoideus pemeriksa. Pada pemeriksaan ini telinga pemeriksa dianggap normal. Nilai normal pengukuran ini adalah schwabach normal (tidak memendek atau memanjang). Bila dengungan setelah dinyatakan berhenti oleh OP ternyata masih terdengar oleh pemeriksa maka kondisi ini disebut Schwabach Memendek. Bila pemeriksa tak mendengar, mengulangi percobaan sbb : Meletakkan garpu tala yang sudah digetarkan pada Processus Mastoideus sendiri. Setelah pemeriksa tak mendengar lagi segera memindahkan ke Processus Mastoideus OP. Bila ternyata OP masih tidak mendengar, maka kondisi itu disebut Schwabach Memanjang. 4. Tes Bing a. b. c. d.
e.

Menggetarkan garpu tala (frekuensi 288) dengan salah satu ujungnya pada tepi Menekan gagang penala yang bergetar itu pada Processus Mastoideus salah Melakukan hal yang sama seperti langkah di atas, namun menekan gagang Menanyakan telinga mana yang mendengar dengungan paling keras dalam Kemudian dalam keadaan menutup lubang telinga kanan dengan jari, menekan

telapak tangan. Jangan sekali-kali memukulkan pada benda yang keras. satu telinga kiri OP. penala yang bergetar itu pada Processus Mastoideus telinga kanan. keadaan kedua telinga terbuka. gagang penala yang telah digetarkan pada Processus Mastoideus telinga kiri OP. Begitupun sebaliknya, dalam keadaan menutup lubang telinga kiri dengan jari,

menekan gagang penala yang telah digetarkan pada Processus Mastoideus telinga kanan OP. f. g. Menanyakan kembali telinga mana yang mendengar dengungan paling keras. Mencatat hasil pemeriksaan.

Hasil Pengamatan Tabel 2. Pemeriksaan Pendengaran Dengan Garpu Tala TES GARPU TALA No. Nama OP Rinne R+ R+ R R+ R+ Weber L (Ka) L (Ka) TAL TAL TAL Schwabach normal normal normal normal normal Bing 2 Telinga Terbuka 1 Telinga Terbuka Kiri Kanan Kiri Kanan ++ ++ + + + + + + + ++ ++ + + + ++ + + + + +

1 2 3 4 5

Hikmah Reni Rizki Rahmat Dwi Keterangan : R+ R L (Ka) L (Ki) TAL + ++

: OP mendengar kembali suara dengungan penala : OP tidak mendengar kembali suara dengungan penala : Lateralisasi ke arah telinga kanan lebih keras : Lateralisasi ke arah telinga kiri lebih keras : Tidak Ada Lateralisasi : Keras : Lebih Keras

Pembahasan TES RINNE Pada percobaan pemeriksaan pendengaran garpu tala dengan Tes Rinne, perlu diketahui sebelumnya bahwa prinsip Tes Rinne ini adalah membandingkan hantaran tulang dengan hantaran udara pada satu telinga. Pada telinga normal hantaran udara lebih panjang dari hantaran tulang. Juga pada tuli sensorneural hantaran udara lebih panjang daripada

hantaran tulang. Dilain pihak pada tuli konduktif hantaran tulang lebih panjang daripada hantaran udara. Hasil Interpretasi : - Tes Rinne (+) bila hantaran udara >> hantaran tulang - Tes Rinne (-) bila hantaran udara << hantaran tulang. - Tes Rinne (+), pada pendengaran normal dan kehilangan pendengaran jenis sensorineural - Tes Rinne (-), pada kehilangan pendengaran jenis hantaran (tuli konduktif). Garpu tala yang digunakan dalam Tes Rinne adalah garpu tala dengan frekuensi 288. Karena prinsip Tes Rinne ini adalah membandingkan hantaran tulang dengan hantaran udara, maka penyampaian sumber suara atau dengungan dari garpu tala hasil dari penggetaran manual dilakukan dengan menekan gagang penala yang bergetar itu pada Processus Mastoideus salah satu telinga OP dan meminta OP untuk memberi tanda segera bila dengungan itu menghilang, hal itu dilakukan untuk membuktikan hantaran tulang. Kemudian ketika OP merasa dengungan itu menghilang, pemeriksa mengangkat penala dari Processus Mastoideus dan mendekatkan ujung penala sedekat mungkin di depan telinga yang sedang diperiksa, lalu menanyakan pada OP apakah ia sekarang mendengar kembali untuk beberapa saat suara dengungan penala, hal itu dilakukan untuk membuktikan hantaran udara. Bila OP mendengar kembali, maka menuliskan R(+) pada hasil pemeriksaan, bila tak mendengar kembali maka menuliskan R(-) pada hasil pemeriksaan. Berdasarkan data hasil pemeriksaan pendengaran dengan Tes Rinne yang diperoleh, dari kelima OP yang diperiksa 4 diantaranya yaitu Hikmah, Dwi, Reni, dan Rahmat memiliki R(+) itu berarti OP masih mendengar kembali suara dengungan penala/garpu tala ketika penala/garpu tala dipindahkan dari Processus Mastoideus (ketika sudah tidak terdengar dengungan) dan mendekatkannya pada ujung penala/garpu tala sedekat mungkin di depan telinga yang sedang diperiksa. Dan karena keempat OP tersebut memiliki R(+), maka dapat dikatakan bahwa OP memiliki pendengaran normal. Sedangkan satu OP lainnya yaitu Rizki memiliki R(-) itu berarti OP tidak mendengar kembali suara dengungan penala/garpu tala ketika penala/garpu tala dipindahkan dari Processus Mastoideus (ketika sudah tidak terdengar dengungan) dan mendekatkannya pada ujung penala/garpu tala sedekat mungkin di depan telinga yang sedang diperiksa. Karena OP memiliki R(+), maka dapat dikatakan bahwa OP mengalami kehilangan pendengaran jenis hantaran (tuli konduktif). Hal tersebut dapat terjadi mungkin karena adanya faktor kesalahan intepretasi OP dalam pemeriksaan. Sedangkan garpu tala yang digunakan dalam Tes Bing adalah garpu tala dengan frekuensi 288. Prinsip tes ini adalah membandingkan hantaran tulang telinga kiri dan kanan dengan telinga terbuka maupun dengan salah satu telinga tertutup. Sama seperti pada tes

pendengaran lainnya, untuk membuktikan hantaran tulang pada pemeriksaan pendengaran maka penyampaian sumber suara atau dengungan dari garpu tala hasil dari penggetaran manual dilakukan dengan menekan gagang penala yang bergetar itu pada Processus Mastoideus salah satu telinga, baik telinga kiri maupun telinga kanan OP. Hal tersebut dilakukan juga baik dalam keadaan kedua telinga terbuka maupun salah satu telinga tertutup (ketika lubang telinga kanan yang ditutup dengan jari, gagang penala yang telah digetarkan ditekan pada Processus Mastoideus telinga kiri OP, begitupun sebaliknya), kemudian sebagai hasil intepretasinya yaitu dengan menanyakan telinga mana yang mendengar dengungan paling keras. Pada telinga normal hantaran tulang kiri dan kanan akan sama. Berdasarkan data hasil pemeriksaan pendengaran Tes Bing dengan keadaan kedua telinga terbuka, dari kelima OP yang diperiksa 2 diantaranya yaitu Hikmah dan Reni mendengar dengungan garpu tala yang lebih keras di bagian telinga kanan daripada telinga kiri, sedangkan Rizki dan Rahmat mendengar dengungan garpu tala yang sama kerasnya di bagian telinga kiri maupun telinga kanan, sedangkan Dwi mendengar dengungan garpu tala yang lebih keras di bagian telinga kiri daripada telinga kanan. Perbedaan intepretasi di antara kelima OP tersebut, dapat disebabkan karena adanya perbedaan kekuatan dalam menggetarkan garpu tala untuk telinga kiri maupun telinga kanan. Misalnya, pada OP Dwi pemeriksanya menggetarkan garpu tala untuk telinga kiri lebih kuat daripada untuk telinga kanan, sehingga intepretasi OP Dwi akan menyebutkan telinga kiri lebih kuat daripada telinga kanan, begitupun yang terjadi pada OP lainnya.

itu berartiOP masih mendengar kembali suara dengungan penala/garpu tala ketika penala/garpu tala dipindahkan dari Processus Mastoideus (ketika sudah tidak terdengar dengungan) dan mendekatkannya pada ujung penala/garpu tala sedekat mungkin di depan telinga yang sedang diperiksa. Dan karena keempat OP tersebut memiliki R(+), maka dapat dikatakan bahwa OP memiliki pendengaran normal. Sedangkan satu OP lainnya yaitu Rizki memiliki R(-) itu berarti OP tidak mendengar kembali suara dengungan penala/garpu tala ketika penala/garpu tala dipindahkan dari Processus Mastoideus (ketika sudah tidak terdengar dengungan) dan mendekatkannya pada ujung penala/garpu tala sedekat mungkin di depan telinga yang sedang diperiksa. Karena OP memiliki R(+), maka dapat dikatakan bahwa OP mengalami kehilangan pendengaran jenis hantaran (tuli konduktif). Hal tersebut dapat terjadi mungkin karena adanya faktor kesalahan intepretasi OP dalam pemeriksaan.

Kenapa yang digunakan frekuensi 288 atau 512? Kenapa letak penghantaran suara pada prosesus mastoideus? Faktor yang mempengaruhi pendengaran pada manusia yang mengalami tuli konduksi?

Kesimpulan Daftar Pustaka

You might also like