You are on page 1of 20

Kliping UU Minerba RUU MINERBA PERPARAH PEMISKINAN & KERUSAKAN LINGKUNGAN AKIBAT PERTAMBANGAN Siaran Pers JATAM - WALHI

- ICEL - HuMA, 5 Desember 2008 Pemerintah dan DPR RI rupanya tutup mata terhadap praktek-praktek pertambangan lewat UU No 11/1967, yang telah berlaku lebih 4 dekade. Terakhir, mereka akan menuntaskan Rancangan UU Mineral & Batubara, disingkat RUU Minerba dan segera disahkan di rapat paripurna DPR RI minggu depan. Semangat RUU ini tak banyak berubah, Keruk cepat, jual murah. Bisa dipastikan, konflik dan pemiskinan masyarakat serta kerusakan lingkungan di sekitar pertambangan akan naik. Pertambangan skala besar telah melahirkan banyak masalah, tak hanya kepada masyarakat sekitar, tapi juga kerugian bagi negara. Mulai PT Freeport Indonesia di Papua hingga Laverton Gold di Sumatera. Demikian pula tambang-tambang rakyat di Bangka Belitung hingga tepian sungai-sungai di pulau Kalimantan. Perusahaan asing pertambangan diperlakukan istimewa, sepanjang bahan tambang hanya dipandang sebagai komoditas dagang penghasil devisa, yang tak punya daya rusak. Sejak dulu, Industri tambang Indonesia tak naik kelas, hanya menjadi penyedia bahan mentah, yang mensubsidi ekonomi negaranegara maju lewat ekspor, dan menjadi pasar raksasa produk olahannya di negara lain, kemudian. Sementara di lingkungan sekitar tambang rusak berat dan warganya makin miskin. Celakanya, RUU Minerba tidak tanggap. Lagi-lagi, isinya abai terhadap posisi masyarakat, baik saat menentukan Wilayah Pertambangan hingga saat tambang beroperasi. Ia akan melanggengkan perebutan paksa ruang hidup dan sumber-sumber pengidupan rakyat oleh perusahaan tambang,dibantu pemerintah. Mengikuti UU lama, rancangan ini mengkriminalkan rakyat yang menolak wilayah kelolanya ditambang. Saat carut marut perijinan tambang terus berlangsung dan makin tak terkontrol di masa otonomi. RUU Minerba justru mengatur keluarnya ijin-ijin baru. Bukan cara jitu mengkaji ulang perijinan yang sudah ada, yang tumpang tindih, melanggar hukum dan jumlahnya tidak masuk akal ,untuk negara kepulauan berpenduduk sekitar 240 juta jiwa ini. Anehnya, tak satupun fraksi di DPR RI yang kritis dan menyerukan masalah kaji ulang. Ironisnya, partai penguasa, Golkar dan Demokrat justru terus memaksa memberikan perlakukan istimewa bagi perusahan asing, melalui Perijinan Usaha Pertambangan. RUU Minerba tak menawarkan perubahan mendasar bagi pengelolan sektor tambang yang mandiri, berkeadilan bagi rakyat dan lingkungan sekitar, ujar Siti Maemunah, koordinator nasional JATAM. Semangat RUU Minerba, masih keruk cepat, jual murah. Ruang hidup rakyat, maupun kawasan lindung, yang dilarang untuk kegiatan Pertambangan bisa saja ditambang, jika mendapatkan izin Pemerintah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Sungguh, nasib bangsa akan terpuruk jika RUU Minerba ini tak diperbaiki. Berry Nahdian Forqan, Direktur Eksekutif WALHI menyatakan, Posisi rakyat dan kawasan lindung terancam dengan ketentuan ini ditengah keberadaan budaya korupsi yang marak di

lembaga pemerintahan dan perwakilan rakyat, sebagaimana tampak dalam beberapa kasus alih kawasan lindung yang beberapa diantaranya sekarang sedang dalam proses pengadilan. Jika tak mau menjerumuskan bangsa ini melalui kebijakan yang buruk, Pemerintah dan DPR RI harus segera memperbaiki subtansi RUU Minerba. Rancangan ini harus memasukkan mandat dilakukannya kaji ulang perijinan yang telah ada melalui upaya moratorium bertahap, mensyaratkan penghitungan daya dukung lingkungan dan veto rakyat sekitar pertambangan dan menegaskan arah pembangunan indusutri tambang yang bertanggung jawab, adil, mandiri dan hanya memenuhi kebutuhan domestik. [ ] Kontrak Media : Berry Nahdian Forqan (Direktur Eksekutif WALHI) : 08125110979 Siti Maimunah (Kordinator JATAM): 0811920462 Asep Yunan Firdaus (Koordinator HuMA):08158791019 Rino Subagio (Direktur Eksekutif ICEL):08129508335 +++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ RUU Minerba Lindungi Asing, Miskinkan Pribumi Jumat, 5 Desember 2008 | 13:01 WIB JAKARTA | SURYA Online - Pemerintah dan DPR dianggap tidak mau tahu terhadap dampak buruk praktek pertambangan yang dilegalkan lewat UU Nomor 11 Tahun 1967 sejak empat dekade silam. Kini, pemerintah dan DPR justru akan mengesahkan Rancangan UU tentang Mineral & Batubara, disingkat RUU Minerba, pekan depan. Koalisi LSM peduli lingkungan di Jakarta menilai, semangat RUU itu tak lebih dari prinsip keruk cepat, jual murah. Koalisi LSM meyakini, jika Rancangan UU itu disahkan, konflik dan pemiskinan masyarakat serta kerusakan lingkungan di sekitar pertambangan akan naik. Pertambangan skala besar telah melahirkan banyak masalah, tak hanya kepada masyarakat sekitar, tapi juga kerugian bagi negara. Mulai PT Freeport Indonesia di Papua hingga Laverton Gold di Sumatera, kata Siti Maimunah, Koordinator LSM Jaringan Tambang (JATAM) dalam siaran persnya, Jumat (5/12/2008). JATAM berjaringan dengan LSM lain, mulai dari WALHI, ICEL dan HuMA. Menurut Maimunah, perusahaan asing pertambangan diperlakukan istimewa, sepanjang bahan tambang hanya dipandang sebagai komoditas dagang penghasil devisa yang tak punya daya rusak. Sejak dulu, Industri tambang Indonesia tak naik kelas, hanya menjadi penyedia bahan mentah, yang menyubsidi ekonomi negara-negara maju lewat ekspor dan menjadi pasar raksasa produk olahannya di negara lain. Sementara, lingkungan di sekitar tambang rusak berat dan warganya makin miskin. Ia menilai, RUU Minerba juga mengabaikan posisi masyarakat, baik saat menentukan wilayah pertambangan maupun saat tambang beroperasi. Mengikuti UU lama, Rancangan UU Minerba ini juga siap-siap memidanakan rakyat yang menolak wilayah kelolanya ditambang. Anehnya, tak satupun fraksi di DPR yang kritis dan menyerukan masalah kaji ulang. Ironisnya, partai penguasa, Golkar dan Demokrat, justru terus memaksa memberikan

perlakuan istimewa bagi perusahan asing, melalui Perizinan Usaha Pertambangan, ujar Siti Maemunah. Berry Nahdian Forqan, Direktur Eksekutif WALHI, menambahkan, Rancangan UU ini harus memasukkan mandat dilakukannya kaji ulang perizinan yang telah ada melalui upaya moratorium bertahap, mensyaratkan penghitungan daya dukung lingkungan dan veto rakyat sekitar pertambangan. Yul +++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ RUU Minerba Dinilai Berpihak pada Kepentingan Pengusaha KOMPAS.COM, Jumat, 5 Desember 2008 | 12:45 WIB JAKARTA, JUMAT - Rancangan Undang-undang Mineral dan Batubara (Minerba), kabarnya akan segera diketok palu pada sidang paripurna, paling lambat akhir bulan ini. Namun, setelah 4 tahun pembahasan yang hampir berujung, rumusan RUU tersebut dinilai masih belum berpihak pada masyarakat, utamanya di sekitar area pertambangan. Dalam jumpa pers bersama yang diadakan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Walhi, ICEL dan HuMa, disebutkan bahwa RUU tersebut sama sekali tak memberikan perlindungan kepada masyarakat. Melainkan, hanya mengakomodir kepentingan pengusaha pertambangan. "RUU Minerba ini tak ada signifikasinya karena tidak berpihak pada kepentingan lingkungan dan masyarakat, tapi lebih ke kepentingan modal dan eksplorasi sumber daya alam," kata Direktur Eksekutif Walhi, Berry Nahdian Furqon, Jumat (5/12). RUU Minerba juga dinilai tidak melihat kondisi riil pertambangan di Indonesia yang carut marut, ditambah dengan tidak adanya daya dukung lingkungan untuk terus ditambang. Seharusnya, menurut Berry, RUU yang akan menggantikan UU No 11 tahun 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan ini, dibuat setelah dilakukan kaji ulang terhadap sektor pertambangan. Koordinator Eksekutif HuMa, Asep Yunan Firdaus mengatakan, dengan tidak adanya perlindungan masyarakat, yang paling rentan adalah masyarakat pedalaman dimana area tempat tinggalnya menjadi lokasi pertambangan. Tidak adanya perlindungan, terlihat pada rumusan pertimbangan RUU yang tidak memasukkan konflik antara masyarakat adat dengan perusahaan pertambangan. Padahal, konflik ini kerap terjadi. "Tidak ada pertimbangan yang mengatakan bahwa banyak konflik dimana berdampak pada masyarakat yang menjadi korbannya. Selain itu, dalam RUU ini masyarakat dijadikan objek pemberdayaan," ujar Asep. Bentuk perlindungan masyarakat yang seharusnya diakomodir, misalnya melibatkan masyarakat dalam perencanaan pembangunan pertambangan hingga ke monitoring. "Karena masyarakat adat sebagian besar berada di area pertambangan. Mereka seharusnya dilibatkan untuk turut menentukan setuju atau tidak wilayahnya dijadikan area pertambangan," lanjut Asep. +++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

Menyoal RUU Minerba Pewarta Online.com, 5 Desember 2008 Proses pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Mineral dan Batubara (Minerba) yang akan menggantikan UU No 11 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan seharusnya melakukan kaji ulang terhadap izin-izin pertambangan yang ada selama ini. Kaji ulang izin pertambangan dinilai perlu dilakukan untuk memberikan payung hukum yang lebih berpihak pada lingkungan dan masyarakat. Sebab, izin-izin pertamabangan sebagian besar justru melahirkan masalah bagi masyarakat sekitar pertambangan dan menimbulkan kerugian bagi negara.Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Siti Maemunah berpendapat, seharusnya RUU Minerba menjawab permasalahan yang diwariskan UU lama. Persoalan tersebut di antaranya konflik yang kerap terjadi antara masyarakat adat dengan perusahaan pertambangan dan kaji ulang izin pertambangan."Selama ini banyak izin pertambangan yang ternyata tidak semuanya beroperasi. Mereka menunggu harga mineral naik, kemudian area pertambangan didiamkan begitu saja. Selain itu, banyak izin pertambangan yang operasionalnya melakukan pelanggaran lingkungan," kata Siti Maemunah pada jumpa pers bersama Walhi, HuMa dan ICEL, Jumat (5/12), di Jakarta. Pada akhir-akhir pembahasan RUU Minerba, menurut dia ada dua persoalan yang dijadikan sorotan. Di antaranya, dua partai pemerintah Golkar dan Demokrat mendesakkan Perizinan Usaha Pertambangan (PUP) yang membuka peluang istimewa bagi tambang asing. "Selain itu, ya tidak adanya peluang untuk membuat renegosiasi kontrak kerja," ujarnya. Sementara itu, Direktur Eksekutif ICEL Rino Subagio memaparkan, dari segi proses pembahasan RUU Minerba tidak menunjukkan proses yang baik. "Dalam legal drafting seharusnya ada good process, mestinya proses dilakukan secara baik dan secara substansi memenuhi googd norm," kata Rino. Secara prinsip demokrasi, RUU ini dinilainya tidak mengakomodir akses informasi dan partisipasi masyarakat. Sebab, tidak ada aturan bagaimana masyarakat bisa mengakses kontrak karya ataupun mengetahui operasional pertambangan. Dari sisi partisipasi, masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pengeluaran izin tambang hingga operasionalnya. RUU Minerba Memihak Pengusaha? Rancangan Undang-undang Mineral dan Batubara (Minerba), kabarnya akan segera diketok palu pada sidang paripurna, paling lambat akhir bulan ini. Namun, setelah 4 tahun pembahasan yang hampir berujung, rumusan RUU tersebut dinilai masih belum berpihak pada masyarakat, utamanya di sekitar area pertambangan. Dalam jumpa pers bersama yang diadakan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Walhi, ICEL dan HuMa, disebutkan bahwa RUU tersebut sama sekali tak memberikan perlindungan kepada masyarakat. Melainkan, hanya mengakomodir kepentingan pengusaha pertambangan.

"RUU Minerba ini tak ada signifikasinya karena tidak berpihak pada kepentingan lingkungan dan masyarakat, tapi lebih ke kepentingan modal dan eksplorasi sumber daya alam," kata Direktur Eksekutif Walhi, Berry Nahdian Furqon, Jumat (5/12). RUU Minerba juga dinilai tidak melihat kondisi riil pertambangan di Indonesia yang carut marut, ditambah dengan tidak adanya daya dukung lingkungan untuk terus ditambang. Seharusnya, menurut Berry, RUU yang akan menggantikan UU No 11 tahun 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan ini, dibuat setelah dilakukan kaji ulang terhadap sektor pertambangan. Koordinator Eksekutif HuMa, Asep Yunan Firdaus mengatakan, dengan tidak adanya perlindungan masyarakat, yang paling rentan adalah masyarakat pedalaman dimana area tempat tinggalnya menjadi lokasi pertambangan. Tidak adanya perlindungan, terlihat pada rumusan pertimbangan RUU yang tidak memasukkan konflik antara masyarakat adat dengan perusahaan pertambangan. Padahal, konflik ini kerap terjadi. "Tidak ada pertimbangan yang mengatakan bahwa banyak konflik dimana berdampak pada masyarakat yang menjadi korbannya. Selain itu, dalam RUU ini masyarakat dijadikan objek pemberdayaan," ujar Asep. Bentuk perlindungan masyarakat yang seharusnya diakomodir, misalnya melibatkan masyarakat dalam perencanaan pembangunan pertambangan hingga ke monitoring. "Karena masyarakat adat sebagian besar berada di area pertambangan. Mereka seharusnya dilibatkan untuk turut menentukan setuju atau tidak wilayahnya dijadikan area pertambangan," lanjut Asep. Sumber: KOMPAS dan PRESS CONFERENCE JATAM +++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ RUU Minerba Tak Tawarkan Perubahan Jum'at, 5 Desember 2008 - 15:01 wib text TEXT SIZE : Widi Agustian - Okezone foto: corbis.com JAKARTA - Semangat RUU Minerba yang sedang dalam proses pengesahan di DPR saat ini, masih berprinsip keruk cepat dan jual murah. Bahkan, menurut Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), kawasan pertambangan sudah mencapai ruang hidup rakyat dan hutan lindung. "RUU Minerba tidak menawarkan perubahan mendasar bagi pengelolaan sektor tambang yang mandiri, berkeadilan bagi rakyat dan lingkungan sekitar," ujar koordinator nasional JATAM Siti Maemunah, dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Jumat (5/12/2008). Untuk itu, pemerintah dan DPR harus segera memerbaiki subtansi RUU Minerba. Menurutnya, rancangan ini harus memuat tentang mandat dilakukannya kaji ulang perijinan yang telah ada melalui moratorium bertahap, mensyaratkan perhitungan daya dukung lingkungan serta veto rakyat sekitar pertambangan. "Harus menegaskan arah pembangunan indutri tambang yang bertanggung jawab, adil, mandiri, dan hanya memenuhi kebutuhan domestik," katanya. (ade)

+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ RUU Minerba Dinilai Berpihak pada Kepentingan Pengusaha (Jumat,05/12/2008:pkl.12.30 wib) JAKNEWS.COM--Rancangan Undang-undang Mineral dan Batubara (Minerba), kabarnya akan segera diketok palu pada sidang paripurna, paling lambat akhir bulan ini. Namun, setelah 4 tahun pembahasan yang hampir berujung, rumusan RUU tersebut dinilai masih belum berpihak pada masyarakat, utamanya di sekitar area pertambangan. Dalam jumpa pers bersama yang diadakan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Walhi, ICEL dan HuMa, disebutkan bahwa RUU tersebut sama sekali tak memberikan perlindungan kepada masyarakat. Melainkan, hanya mengakomodir kepentingan pengusaha pertambangan. "RUU Minerba ini tak ada signifikasinya karena tidak berpihak pada kepentingan lingkungan dan masyarakat, tapi lebih ke kepentingan modal dan eksplorasi sumber daya alam," kata Direktur Eksekutif Walhi, Berry Nahdian Furqon, Jumat (5/12). RUU Minerba juga dinilai tidak melihat kondisi riil pertambangan di Indonesia yang carut marut, ditambah dengan tidak adanya daya dukung lingkungan untuk terus ditambang. Seharusnya, menurut Berry, RUU yang akan menggantikan UU No 11 tahun 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan ini, dibuat setelah dilakukan kaji ulang terhadap sektor pertambangan. Koordinator Eksekutif HuMa, Asep Yunan Firdaus mengatakan, dengan tidak adanya perlindungan masyarakat, yang paling rentan adalah masyarakat pedalaman dimana area tempat tinggalnya menjadi lokasi pertambangan. Tidak adanya perlindungan, terlihat pada rumusan pertimbangan RUU yang tidak memasukkan konflik antara masyarakat adat dengan perusahaan pertambangan. Padahal, konflik ini kerap terjadi. "Tidak ada pertimbangan yang mengatakan bahwa banyak konflik dimana berdampak pada masyarakat yang menjadi korbannya. Selain itu, dalam RUU ini masyarakat dijadikan objek pemberdayaan," ujar Asep. Bentuk perlindungan masyarakat yang seharusnya diakomodir, misalnya melibatkan masyarakat dalam perencanaan pembangunan pertambangan hingga ke monitoring. "Karena masyarakat adat sebagian besar berada di area pertambangan. Mereka seharusnya dilibatkan untuk turut menentukan setuju atau tidak wilayahnya dijadikan area pertambangan," lanjut Asep. +++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ Selasa, 9 Desember 2008 LSM Desak DPR Tunda Pengesahan RUU Minerba PME-Indonesia.Com, Jakarta--Karena substansi dalam pembahasan RUU Minerba tak mengakomodir kepentingan rakyat, sejumlah LSM minta DPR menunda pengesahan RUU tersebut menjadi Undang-Undang. LSM minta dilakukan kaji ulang terhadap pengelolaan sumber daya mineral.

Menurut Direktur Eksekutif Nasional WALHI Berry Nahdian Furqan, dalam draft terakhir RUU Minerba 2 Desember lalu kelihatan bahwa hak-hak rakyat diabaikan. "Karena itu kami minta agar DPR menunda pengesahan RUU Minerba," katanya di Jakarta, pekan lalu. Berry menjelaskan, semangat RUU Minerba tak berubah sama seperti UU No. 11/1967 yang bakal digantikannya. Padahal, pengelolaan sumber daya mineral yang selama ini dilakukan berdasarkan UU No. 11/1967 telah melahirkan banyak kesengsaraan masyarakat sekitar dan kerusakan lingkungan. "Jika gantinya tak jauh berbeda, sama juga bohong. Mestinya kesalahan pengelolaan sumber daya mineral di masa lalu diperbaiki dengan UU yang baru. Namun jika semangatnya sama, mustahil akan terjadi perbaikan." Dia menilai, dalam UU pertambangan No. 11/1967 tercermin semangat keruk cepat dan jual murah. Akibatnya, banyak terjadi konflik dan pemiskinan masyarakat serta kerusakan lingkungan di sekitar pertambangan. "Sejak dulu, industri tambang Indonesia tak pernah naik kelas, hanya menjadi penyedia bahan mentah yang mensubsidi ekonomi negara-negara maju lewat ekspor dan menjadi pasar raksasa produk olahan dari negara lain. Sementara di sekitar tambang, lingkungan rusak berat dan warganya makin miskin." Lebih celaka lagi, sambungnya, pembahas RUU Minerba tidak tanggap. Di saat perijinan tambang marak dan tak terkontrol di era otonomi daerah, RUU Minerba justru memungkinkan keluarnya ijin-ijin baru. Senada dengannya, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Siti Maimunah mendesak, pemerintah dan DPR melakukan kaji ulang atas perijinan yang ada. "Sebelum dilakukan kaji ulang, RUU Minerba jangan disahkan dulu." Menanggapi pembahasan RUU Mnerba, Maimunah menilai, aneh tak satu pun fraksi di DPR yang kritis dan menyerukan masalah kaji ulang. "Ironisnya, partai penguasa yaitu Partai Golkar dan Demokrat justru terus memaksa memberikan perlakuan istimewa bagi perusahaan asing, melalui Perijinan Usaha Pertambangan." RUU Minerba, tegas Maimunah, tidak menawarkan perubahan mendasar bagi pengelolaan sektor tambang yang mandiri, berkeadilan bagi rakyat dan lingkungan sekitar. "Jika tak meu menjerumuskan bangsa ini melalui kebijakan yang buruk, Pemerintah dan DPR harus segera memperbaiki substansi RUU Minerba. Rancangan ini harus memasukkan mandat dilakukannya kaji ulang perijinan yang telah ada melalui upaya moratorium bertahap, mensyaratkan daya dukung lingkungan dan veto rakyat sekitar pertambangan." Baik Berry maupun Maimunah berharap, agar arah pembangunan industri tambang lebih bertanggung jawab, adil, mandiri dan hanya memenuhi kebutuhan domestik. "Selama ini pengelolaan pertambangan kebablasan sehingga produsen batu bara lebih memprioritaskan ekspor ketimbang memenuhi kebutuhan domestik. Setelah didesak-desak, pemerintah baru memikirkan Domestik Market Obligation (DMO-kewajiban memasok kebutuhan dalam negeri)." Sementara itu Direktur Eksekutif ICEL Rhino Subagyo menilai, proses pembahasan RUU Minerba tidak mengakomodir prinsip-prinsip demokrasi. "DPR harus menunda pengesahan RUU Minerba karena tak memenuhi prinisp-prinsip demokrasi."

Rhino menjelaskan, mestinya pembahasan RUU Minerba harus mensyaratkan terbukanya akses informasi bagi masyarakat. "Kenyataannya kan tidak. Kami saja sulit untuk mendapatkan draft pembahasan RUU Minerba." Selain itu, pembahasan RUU juga harus menganut prinsip partisipasi dan mengatur mekanisme penyelesaian sengketa. (PME-07) ++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ RUU Minerba Seharusnya Kaji Ulang Izin Pertambangan Jumat, 5 Desember 2008 | 12:56 WIB JAKARTA, JUMAT - Proses pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Mineral dan Batubara (Minerba) yang akan menggantikan UU No 11 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan seharusnya melakukan kaji ulang terhadap izin-izin pertambangan yang ada selama ini. Kaji ulang izin pertambangan dinilai perlu dilakukan untuk memberikan payung hukum yang lebih berpihak pada lingkungan dan masyarakat. Sebab, izin-izin pertamabangan sebagian besar justru melahirkan masalah bagi masyarakat sekitar pertambangan dan menimbulkan kerugian bagi negara.Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Siti Maemunah berpendapat, seharusnya RUU Minerba menjawab permasalahan yang diwariskan UU lama. Persoalan tersebut di antaranya konflik yang kerap terjadi antara masyarakat adat dengan perusahaan pertambangan dan kaji ulang izin pertambangan."Selama ini banyak izin pertambangan yang ternyata tidak semuanya beroperasi. Mereka menunggu harga mineral naik, kemudian area pertambangan didiamkan begitu saja. Selain itu, banyak izin pertambangan yang operasionalnya melakukan pelanggaran lingkungan," kata Siti Maemunah pada jumpa pers bersama Walhi, HuMa dan ICEL, Jumat (5/12), di Jakarta. Pada akhir-akhir pembahasan RUU Minerba, menurut dia ada dua persoalan yang dijadikan sorotan. Di antaranya, dua partai pemerintah Golkar dan Demokrat mendesakkan Perizinan Usaha Pertambangan (PUP) yang membuka peluang istimewa bagi tambang asing. "Selain itu, ya tidak adanya peluang untuk membuat renegosiasi kontrak kerja," ujarnya. Sementara itu, Direktur Eksekutif ICEL Rino Subagio memaparkan, dari segi proses pembahasan RUU Minerba tidak menunjukkan proses yang baik. "Dalam legal drafting seharusnya ada good process, mestinya proses dilakukan secara baik dan secara substansi memenuhi googd norm," kata Rino. Secara prinsip demokrasi, RUU ini dinilainya tidak mengakomodir akses informasi dan partisipasi masyarakat. Sebab, tidak ada aturan bagaimana masyarakat bisa mengakses kontrak karya ataupun mengetahui operasional pertambangan. Dari sisi partisipasi, masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pengeluaran izin tambang hingga operasionalnya. ++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ Siaran Pers JATAM, WALHI, HuMA, ICEL, KIARA, KAU, SPI - 18 Desember 2008 UU Minerba: Partai Berkuasa Langgengkan Rezim Keruk Cepat Jual Murah

Seperti ular berganti kulit, UU Minerba akan melanggengkan rejim keruk cepat dan jual murah masa Orde Baru hingga pemerintahan SBY. Undang-Undang ini dibungkus asas dan tujuan yang tampaknya lebih baik, manusiawi dan peduli terhadap lingkungan, dengan memuat asas seperti keadilan, partisipatif, transparansi, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Tapi kenyataannya, pasal-pasalnya beresiko membahayakan keselamatan warga negara dan lingkungan sekitarnya. UU Minerba disahkan dua hari lalu, diwarnai keluarnya 3 fraksi dari ruang Sidang Senayan, yang hanya memperkarakan pasal peralihan. Jelas pasal ini hasil kompromi partai-partai penguasa di Senayan, yang selama ini banyak mendapat manfaat dari sektor pertambangan. Pasal yang secara substansial kontradiktif satu sama lain dan dikhawatirkan tidak operasional pada akhirnya. Celakanya, partai-partai penguasa Senayan sama sekali tak memperkarakan hal-hal mendasar. Pasal-pasal UU Minerba tidak menapak realita masalah pertambangan di Indonesia, yang telah berlangsung 4 dekade lebih. Jika dilihat cepat, ada beberapa hal krusial dalam UU Minerba. Pertama. Tanpa tahapan kaji ulang dan renegosiasi Kontrak Karya (KK), Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B ) dan Kuasa Pertambangan (KP), UU Minerba tak akan operasional. Sebab, di lapang konsesi tambang yang diberikan semasa rejim orde baru, meningkat pesat di rejim Otoda, sudah sedemikian luas. Dan sebagian besar konsesi telah dikuasai pemegang KK dan PKP2B. Sementara, di UU ini keduanya tak boleh disentuh. Kedua. Di lapang, pasal-pasal UU Minerba akan menambah carut marut dan memperparah konflik agraria. UU ini menguatkan ego sektoral, melalui lahirnya Wilayah Pertambangan. Padahal di lapang, daratan kepulauan sudah di kapling-kapling peruntukan dan perijinan industri ekstraktif lainnya, macam kawasan lindung, penebangan hutan, perkebunan kelapa sawit dan pertambangan. Adanya Wilayah Ijin Pertambangan Khusus (WIPK) pada tahap kegiatan produksi seluas 25.000 Ha, tampak lebih maju dibanding ketentuan perundangundangan yang lama. Namun perusahaan tambang bisa saja memiliki luas konsesi yang sama dengan Undang-undang sebelumnya, jika memiliki beberapa IUPK dalam sebuah Wilayah Pertambangan. Ketiga. Kriminalisasi warga negara. Celaka bagi penduduk lokal, dalam penetapan wilayah pertambangan, ruang yang tersedia dalam UU Minerba paling jauh hanya diperhatikan, tapi tak memiliki kekuatan. Veto rakyat tak diakui, mereka hanya punya dua pilihan, ganti rugi sepihak atau memperkarakan ke pengadilan. Bahkan, mereka beresiko dipidana setahun dan denda 100 juta, jika menghambat kegiatan pertambangan. Ini lebih represif dibanding UU sebelumnya. Sementara konflik-konflik yang lahir dari penerapan UU sebelumnya tak disediakan ruang penyelesaian dalam UU Minerba. Keempat. Kawasan-kawasan lindung dan hutan adat tersisa akan terancam. Sebab alih fungsi kawasan-kawasan ini bisa dilaksanakan setelah ada izin dari pemerintah. Kelima. UU Minerba bias darat. Ia tidak menempatkan urgensi menjaga dan melindungi perairan pesisir dan laut, baik sebagai ruang hidup masyarakat nelayan maupun untuk keberlanjutan lingkungan. Dalam banyak kasus, wilayah pesisir dan laut menjadi jamban limbah dan kegiatan pertambangan. Hak masyarakat nelayan atas kualitas perairan yang sehat diabaikan.

Keenam. UU ini menggunakan pendekatan administratif dalam proses perijinannya. Hal ini dipastikan tidak akan dapat efektif dalam penanganan dampak pencemaran maupun kerusakan lingkungan yang berdimensi ekologis. Ambil contoh, pencemaran pertambangan di perairan laut, dapat meluas melampaui wilayah izin konsesi yang diberikan pemerintah. Ketujuh. UU Minerba akan mempercepat perusakan prasarana dan sarana umum, dengan memperbolehkannya dimanfaatkan menjadi sarana pertambangan. Kedelapan. UU Minerba kontradiktif dengan UU Lingkungan Hidup, yang mengakui legal standing organisasi lingkungan hidup mengajukan gugatan terhadap korporasi, mana kala terjadi perusakan lingkungan. Undang-undang ini menghadapkan rakyat ,di kawasan terisolir informasi dan keberdayaan hukum berhadapan dengan perusahaan tambang yang memiliki modal menyewa ahli hukum dan konsultan, juga membayar iklan di media. UU ini tak menapak bumi dan abai terhadap situasi terkini dalam negeri, tak hanya dalam kehancuran lingkungan akibat kegiatan pertambangan yang marak terjadi. Tapi juga makin menipisnya cadangan, tingginya angka produksi dan melayani kebutuhan asing serta konsumsi bahan mineral dalam negeri. Partai-partai berkuasa di Senayan harus digugat keberadaannya, karena melanggengkan rejim keruk cepat jual murah bahan tambang Indonesia. Ini jelas bertentangan dengan asas dan tujuan yang ditetapkannya sendiri, dan bertentangan dengan UUD 1945, khususnya pasal 33. [ Kontrak Media : Berry Nahdian Forqan (Direktur Eksekutif WALHI) : 08125110979 Siti Maimunah (Kordinator JATAM): 0811920462 Asep Yunan Firdaus (Koordinator HuMA): 08158791019 Rino Subagio (Direktur Eksekutif ICEL): 08129508335 Riza Damanik (Sekjen KIARA) : 0818773515 Dani Setiawan (Koordinator KAU) : 08129671744 Henry Saragih (Koordinator SPI) : 08163144441 +++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ UU Minerba diskriminatif Desember 18, 2008 Bisnis Indonesia, Kamis 18 Desember 2008 Pengusahaan dan pengelolaan pertambangan, khususnya mineral dan batu bara, memasuki era baru dengan disetujuinya Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) oleh DPR pada Selasa. Era baru itu ditandai dengan pemberian izin oleh pemerintah bagi pengusahaan dan pengelolaan pertambangan minerba. Sebelumnya, berdasarkan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, pengusahaan dan pengelolaan pertambangan di negeri ini menggunakan pola kontrak karya. Dengan pola ini, manfaat yang diperoleh bangsa Indonesia dari pengusahaan dan pengelolaan pertambangan minerba dinilai tidak maksimal, karena posisi negara yang sejajar dengan perusahaan pertambangan.

Padahal, negara merupakan pemilik seluruh deposit minerba yang ada di perut bumi Indonesia. Seluruh kekayaan tambang itu harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia. Oleh karena itu, kehadiran UU Minerba merupakan angin segar bagi upaya memanfaatkan seluruh kekayaan tambang semaksimal mungkin. Apalagi UU ini memiliki sedikitnya empat kelebihan dibandingkan dengan UU No. 11 Tahun 1967. Pertama, pengusahaan dan pengelolaan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin oleh pemerintah. Dengan pola ini, posisi negara berada di atas perusahaan pertambangan, sehingga negara memiliki kewenangan untuk mendorong perubahan kesepakatan bila ternyata merugikan bangsa Indonesia. Kewenangan ini tidak ditemukan dalam pola perjanjian kontrak karya. Pada pola ini, perusahaan pertambangan berada dalam posisi sejajar dengan negara. Perubahan atas kontrak hanya dapat dilakukan dengan kesepakatan kedua pihak. Kedua, memperjelas desentralisasi kewenangan pengelolaan pertambangan. Artinya, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota juga diberi kewenangan untuk mengeluarkan izin pertambangan di wilayahnya. Kewenangan tersebut memungkinkan daerah memiliki kesempatan untuk memperoleh penghasilan dari pengusahaan terhadap pertambangan minerba tersebut. Hal ini pada gilirannya akan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah. Ketiga, mengakui kegiatan pertambangan rakyat dalam suatu wilayah pertambangan. Pengakuan ini penting mengingat selama ini kegiatan pertambangan rakyat dikategorikan liar dan ilegal, sehingga dilarang dengan ancaman hukuman yang cukup berat. Padahal, kegiatan ini sudah berlangsung lama dan dilakukan secara turun-temurun di sekitar lokasi pertambangan yang diusahakan, baik oleh BUMN maupun swasta. Kalau demikian faktanya, mengapa pertambangan rakyat mesti dilarang dan dikategorikan sebagai kegiatan ilegal? Bukankah rakyat juga memiliki hak untuk memanfaatkan kekayaan minerba untuk kemakmurannya? Keempat, UU Minerba mewajibkan perusahaan pertambangan yang sudah berproduksi untuk membangun pabrik pengolahan di dalam negeri. Kehadiran pabrik itu penting dalam upaya meningkatkan nilai tambah dari bahan tambang minerba, selain membuka lapangan kerja baru bagi rakyat Indonesia. Pembangunan pabrik pengolahan itu juga akan menimbulkan trickle down effect bagi masyarakat di sekitar lokasi pabrik. Kondisi ini pada akhirnya dapat meningkatkan aktivitas ekonomi dan kesejahteraan rakyat di sekitar lokasi pabrik. Namun, UU Minerba dinilai diskriminatif, sehingga tiga fraksi di DPR-PAN, PKB, dan PKSmemilih walk out ketika sidang paripurna pengesahan UU itu. Diskriminatif karena UU itu jelas-jelas melindungi kepentingan perusahaan tambang, pemegang kontrak karya, dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara. Kebanyakan kontrak perusahaan pertambangan yang ada baru berakhir pada 2021-2041.

Oleh karena itu, UU Minerba rawan digugat ke Mahkamah Konstitusi. Kalau demikian keadaannya, dapatkah UU itu mengatur pengusahaan dan pengelolaan sumber daya mineral dan batu bara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia? --------+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ Undang-undang Pertambangan Dinilai Jauh Panggang dari Api* Kamis, 18 Desember 2008 | 14:46 WIB TEMPO Interaktif, Jakarta: Pasal-pasal Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara dinilai tidak menyentuh realita masalah pertambangan di Indonesia. "UU itu hanya seperti ular berganti kulit," ujar Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Siti Maimunah, hari ini, Kamis (18/12), di Jakarta. Jatam menghitung ada 8 masalah yang utama dalam UU itu. Pertama, tidak ada peluang untuk melakukan kaji ulang dan renegosiasi terhadap Kontrak Karya. Kedua, UU ini menguatkan ego sektoral, melalui lahirnya Wilayah Pertambangan. Ketiga, veto rakyat tidak diakui karena hanya memiliki 2 pilihan, yaitu ganti rugi sepihak atau memperkarakan ke pengadilan. Bahkan penduduk lokal berisiko dipidana setahun atau denda Rp 100 juta jika menghambat kegiatan pertambangan. Keempat, kawasan lindung dan hutan adat akan terancam karena alih fungsinya bisa dilaksanakan setelah ada izin dari pemerintah. Kelima, UU Minerba tidak menempatkan pentingnya menjaga dan melindungi perairan pesisir laut. Keenam, UU ini menggunakan pendekatan administratif dalam proses perizinannya sehingga tidak efektif untuk menangani dampak pencemaran lingkungan. Ketujuh, mempercepat kerusakan sarana dan prasaran umum karena UU tersebut membolehkan untuk dimanfaatkan menjadi sarana pertambangan. Dan terakhir, terjadi kontradiktif dengan UU Lingkungan Hidup yang mengakui legal standing organisasi lingkungan hidup untuk mengajukan gugatan terhadap perusahaan yang merusak lingkungan. SORTA TOBING ------* +++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ UU Minerba Kemungkinan Digugat* Kamis, 18 Desember 2008 Widi Agustian - Okezone JAKARTA - Akibat UU Minerba yang baru dianggap belum menyentuh hal-hal mendasar, ada kemungkinan UU ini akan digugat dengan judicial review di tingkat mahkamah konstitusi.

"Ada kemungkinan itu (judicial review). Kami sedang mengkaji dan akan menentukan langkah selanjutnya," ujar koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Siti Maemunah, usai jumpa pers tentang UU Minerba, di Sekretariat JATAM, Jalan Mampang Prapatan, Jakarta, Kamis (18/12/2008). Untuk itu, dia melanjutkan akan mengkonsolidasikan hal tersebut dengan masyarakat korban terlebih dahnulu. Dia menegaskan akan melakukan konsolidasi dengan pemerintah dan DPR, yakni terkait dengan pasal-pasal yang ambigu dalam UU tersebut. "Kami kecewa dengan undang-undang ini, dan menolak pasal-pasal yang merugikan," katanya. (ade) --------++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ Kamis, 18 Desember 2008 | 11:47 Jatam: UU Minerba Seperti Ular Berganti Kulit JAKARTA. Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang baru beberapa hari disahkan oleh pemerintah dan DPR kembali mendapat kritikan. Kali ini giliran Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dan Wahana Lingkungan Hidup yang menggembosi kelemahan-kelemahannya. Jatam dan Walhi bilang setidaknya ada beberapa poin penting yang menunjukkan UU baru ini tak ubahnya seperti ular yang berganti kulit. Artinya tidak memberikan manfaat apa pun bagi masyarakat dan lingkungan sekitar tetapi hanya menguntungkan perusahaan tambang karena hanya merupakan hasil kompromi partai politik besar. Diantaranya, UU baru ini sama sekali tidak menyentuh pengkajian ulang dan renegosiasi Kontrak Karya (KK), Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), dan Kuasa Pertambangan (KP). "Dalam prakteknya, konsesi tambang yang diberikan pada masa rezim Orde Baru maupun rezim Otonomi Daerah sudah banyak sekali. Dimana sebagian besar konsesi telah dikuasai pemegang KK dan PKP2B. Sementara, di UU ini keduanya tidak tersentuh," ujar koordinator Jatam Siti Maimunah, Kamis (18/12). Selain itu, pembatasan wilayah pertambangan maksimal 25.000 hektare tampaknya lebih maju karena memberikan batasan maksimal dibanding UU yang lama. Tetapi menurut Maimunah, perusahaan tambang bisa saja memiliki luas konsesi yang sama dengan UU sebelumnya, jika memiliki beberapa Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dalam sebuah wilayah pertambangan. "Kalau UU Minerba ini ditetapkan jauh sebelum pertambangan sudah di peta-peta kan seperti ini mungkin baik. Tapi kan UU ini tidak bisa menjamah hak wilayah konsesi yang sudah diterbitkan sebelumnya," tambahnya. Gentur Putro Jati

++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ UU Minerba Tak Sensitif Kamis, 18 Desember 2008 Widi Agustian - Okezone JAKARTA - Undang-Undang (UU) Minerba yang baru disahkan oleh DPR dalam rapat paripurna dua hari lalu, dianggap masih tidak menyentuh hal-hal mendasar yang cukup krusial dalam realita pertambangan. "Tidak memerhatikan pendapat rakyat dalam kontrak di dalamnya," ujar koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Siti Maemunah, di sela jumpa pers tentang UU Minerba, di sekretariat Jatam, Jalan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Kamis (18/12/2008). Menurutnya, masyarakat yang terkena dampak langsung dari suatu industri harus mendapatkan suara proiritas untuk diperhatikan. Sedangkan dalam pasal 145 di UU Minerba yang baru disebutkan, untuk ganti rugi dapat dilakukan secara sepihak oleh perusahaan. Atau jika tidak (masyarakat yang menolak), dapat dikenakan pidana. "Ini karena tidak ada komunikasi terhadap rakyat," cetusnya. Dia menegaskan, dampak dari pertambangan ini bagi lingkungan masih tidak terjamin. Yakni dengan dikeluarkannya izin per daerah. Sedangkan, efek kerusakan akibat kegiatan pertambangan adalah bersifat menyebar yang tidak terbatas pada satu daerah saja. Selain itu, dia mengemukakan, UU Minerba masih mengharapkan investasi dari luar, sehingga akan terjadi keruk cepat dan jual murah terhadap kekayaan. ++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ Radar Banjarmasin Berita Utama Jumat, 23 Desember 2005 Pemilik Tanah Wajib Menyerahkan Tanahnya! Catatan Diskusi Mengkritisi RUU Minerba (1) Eddy Hardiyanto, Banjarmasin,RUU Minerba (mineral batubara) kini sedang hangat dibahas di Komisi VI DPR RI. Lantas, bagaimana isinya? Berdasarkan hasil diskusi yang digelar Radar Banjarmasin Forum dan Walhi Kalsel kemarin, diperoleh kesimpulan bahwa RUU Minerba tersebut berbahaya sekali jika tidak dikritisi, apalagi bila lolos begitu saja dan kemudian diterapkan. AMBIL contoh keterkaitan pasal 40, 41, dan 61, mengenai sanksi yang diberikan kepada pemilik tanah jika tak menyerahkan tanahnya untuk ditambang. Di pasal 41 disebutkan, pemegang hak atas tanah diwajibkan mengizinkan pemegang IUP untuk melaksanakan Usaha Pertambangan di atas tanah yang bersangkutan, apabila sebelum kegiatan dimulai, terlebih dahulu memperlihatkan IUP atau salinannya yang sah, serta memberitahukan maksud dan tempat kegiatan yang akan dilakukan. Kemudian, sebelum kegiatan dimulai, juga dilakukan

terlebih dahulu penyelesaian atau jaminan penyelesaian yang disetujui oleh pemegang hak atas tanah atau pemakai tanah di atas tanah negara, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40. Sementara bentuk sanksinya yang terdapat di pasal 61 menyebutkan, kepada setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan Eksplorasi dari Pemegang IUP yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal 41, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200 juta. "Coba baca berulang-ulang ketiga pasal ini. Pasal 40, 41, dan 61. Jika pemilik tanah tidak mau menyerahkan tanahnya, maka yang bersangkutan akan dianggap merintangi atau mengganggu kegiatan Eksplorasi dari Pemegang IUP. Dan yang bersangkutan bisa dipidanakan," ujar Udiansyah, salah satu peserta diskusi tersebut. Jadi, bisa dibayangkan sendiri apa yang terjadi jika pasal-pasal itu diterapkan. Tanah Anda, bahkan rumah Anda yang berada di atas tanah tersebut, bisa digusur paksa oleh Pemegang IUP. Kalau melawan, risikonya dipidana hukuman satu tahun atau denda Rp200 juta. "Jadi, jangan heran bila RUU Minerba ini diterapkan, polisi akan cenderung berpihak kepada pengusaha, ketimbang pemilik tanah. Makanya, kita harus mengubah ketiga pasal itu. Dan menggantinya dengan memasukkan kalimat 'Pemegang IUP baru mendapatkan izin jika sudah memiliki pernyataan persetujuan dari pemilik tanah'," tegas Hasanuddin, narasumber yang mewakili Walhi Kalsel.(bersambung) ++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ Berita Utama Sabtu, 24 Desember 2005 Catatan Diskusi Mengkritisi RUU Minerba (2) Reklamasi Tak Jelas Sanksi dan Waktunya Eddy Hardiyanto, Banjarmasin,Di Kalsel, lubang raksasa menganga bekas galian tambang batubara sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Akankah selamanya dibiarkan begitu saja? Ataukah nanti akan direklamasi? Sepertinya tidak ada yang tahu. TENGOK saja ke dalam RUU Minerba (mineral batubara) yang kini sedang dibahas di Komisi VI DPR RI. Ternyata persoalan reklamasi sedikit sekali disentuh di situ. Karenanya, hal ini pun menjadi topik bahasan paling hangat dalam Diskusi Mengkritisi RUU Minerba yang digelar Radar Banjarmasin Forum dan Walhi Kalsel di Meeting Room Kantor Biro Radar Banjarmasin, Kamis lalu. Masalah reklamasi sederhana sekali diatur di dalam pasal 31. Isinya ada 5 ayat. Contohnya ayat 1 berbunyi: dalam melaksanakan usaha pertambangan, pemegang IUP wajib melaksanakan ketentuan keselamatan, pertambangan, pengelolaan, dan pemantauan lingkungan pertambangan termasuk kegiatan reklamasi, upaya konservasi, pengelolaan sisa suatu kegiatan atau proses dalam bentuk padatan, cairan atau gas yang keluar dari proses penambangan dan pengolahan/pemurnian mineral dan batubara. Ayat kedua: usaha pertambangan wajib memperhatikan kelestarian fungsi dan daya dukung sumber air yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ayat ketiga: pelaksanaan reklamasi lahan bekas tambang dan penutupan tambang, dilakukan sesuai dengan peruntukan lahan bekas tambang. Ayat keempat: peruntukan lahan bekas tambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicantumkan dalam perjanjian penggunaan tanah antara pemegang IUP dengan pemegang hak atas tanah. Sedangkan ayat kelima, kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. "Pasal 31 RUU Minerba ini tidak begitu jelas mengatur tentang reklamasi. Apa sanksinya jika tidak melaksanakan reklamasi. Kapan reklamasi dilakukan, tidak jelas sama sekali. Padahal, kalau dilihat dari atas helikopter, kondisi lingkungan akibat tambang batubara sudah begitu parah. Semestinya, persoalan reklamasi ini dijelaskan secara tegas dan satu paket saja di RUU Minerba ini, supaya kita tidak usah lagi melihat ke UU Lingkungan Hidup, untuk memberikan sanksi apa yang dikenakan untuk pelaku kerusakan lingkungan," ujar Saidal Mursalim, peserta dari Polda Kalsel. Hal senada juga diungkapkan Ibni Aduruddin dari Dinas Pertambangan HSS. "Harus jujur kita akui, RUU Minerba ini belum begitu jelas mengatur masalah reklamasi. Kalau pasal ini tak diperbaiki, Dinas Pertambangan pasti akan kesulitan untuk menerapkan masalah reklamasi tersebut," tambahnya. Lebih krusial lagi, di acara diskusi tersebut Hadin Muhjad bercerita tentang ketidakjelasan nasib dana reklamasi yang disetorkan perusahaan tambang batubara ke pemerintah. Ketika hal ini ditanyakan ke Departemen Pertambangan, Hadin Muhjad mendapatkan informasi bahwa kumpulan dana reklamasi tersebut ada di Departemen Keuangan RI. Namun, ketika ditanyakan ke situ, Departemen Keuangan RI kembali melemparkan jawaban, bahwa dananya disimpan oleh Departemen Pertambangan. "Ketidakjelasan ini jelas sangat berbahaya. Sebab, kita tak tahu kapan reklamasi itu dilakukan. Kemudian ketika sampai waktunya, jangan-jangan duitnya sudah tak ada lagi. Padahal sudah berapa gunung di Kalsel ini sudah terhubalang gara-gara tambang batubara," simpul Hadin Muhjad, narasumber dari Fakultas Hukum Unlam Banjarmasin.(bersambung) +++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ Berita Utama Senin, 26 Desember 2005 Lebih Menguntungkan Kepentingan Kapitalis! Catatan Diskusi Mengkritisi RUU Minerba (3) Eddy Hardiyanto, Banjarmasin,Berbagai analisis menarik dilontarkan di dalam Diskusi Mengkritisi RUU Minerba yang digelar Radar Banjarmasin Forum dan Walhi Kalsel di Meeting Room Kantor Biro Radar Banjarmasin, Kamis lalu. Salah satunya, berdasarkan penilaian peserta, dibalik penggodokan RUU Minerba tersebut ada kepentingan yang ikut 'bermain'. SEPERTI yang diutarakan M Hadin Muhjad, narasumber dari Fakultas Hukum Unlam. RUU ini dinilai kental sekali berorientasi pada kepentingan kapitalis. Yakni, kepentingan kaum bermodal. "Buktinya, IUP (Izin Usaha Pertambangan) diatur lebih lengkap daripada IPR (Izin Pertambangan Rakyat)," terang Hadin Muhjad.

Lebih jauh dipaparkannya, RUU ini juga seolah memandang sumber daya alam (SDA) adalah objek yang siap sedia untuk dieksploitasi. Padahal perkembangan hukum lingkungan di dunia telah memberikan pelajaran, eksploitasi yang berlebihan pada SDA tidak memberikan kesejahteraan, melainkan kerusakan lingkungan dan penderitaan rakyat. "Makanya, roh RUU ini semestinya diganti dengan sifat environmental oriented law, bukan use oriented law," jabarnya, sambil menjelaskan RUU Minerba ini tidak mempertimbangkan kaidah-kaidah pertambangan yang baik dan benar. Sementara itu, SJ Abdis berpendapat arah politik lahirnya RUU Minerba ini menimbulkan kesan dipergunakan untuk menelikung penerapan UU Otonomi Daerah dan UU Perimbangan Pusat-Daerah yang sudah berjalan berapa tahun belakangan ini. Sebab, PP 45/2003 dan PP 75 yang mengatur tentang pertambangan dianggap sudah tak tahan lagi. Terdesak oleh UU Otonomi Daerah dan UU Perimbangan Pusat-Daerah yang terus menambah kewenangan pemerintah daerah. "Makanya, hati-hati dengan RUU Minerba ini. Salah-salah bisa dijadikan by pass untuk menghadapi UU Otonomi Daerah dan UU Perimbangan Pusat-Daerah," nilainya. Lalu kelompok kepentingan mana saja yang dikatakan ikut 'bermain' di dalam pembuatan RUU Minerba itu? SJ Abdis memprediksi kelompok kepentingan tersebut berasal dari luar negeri. Caranya, dengan menggunakan anggota DPR RI sebagai bonekanya. "Kalau ingin tahu siapa anggota DPR RI yang dimaksud, silakan tanya satu persatu. Dari jawaban mereka, pasti ketahuan siapa anggota DPR RI yang telah dipengaruhi oleh kepentingan asing tersebut," simpulnya, seraya menegaskan tugas Walhi Kalsel dan rekanrekannya sangat berat menghadang lahirnya UU Minerba yang menguntungkan kaum kapitalis tersebut.(bersambung) +++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ Berita Utama Selasa, 27 Desember 2005 Amdal Dinilai bukan Persoalan Lingkungan Catatan Diskusi Mengkritisi RUU Minerba (4) BANJARMASIN,Sebuah proyek seringkali dinilai ngawur jika persoalan amdalnya tidak beres. Lalu bagaimana dengan pertambangan batubara, apakah juga diwajibkan memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan alias amdal ini? Hal ini juga menjadi topik pembicaran menarik dalam Diskusi Mengkritisi RUU Minerba yang digelar Radar Banjarmasin Forum dan Walhi Kalsel di Meeting Room Kantor Biro Radar Banjarmasin, Kamis pekan lalu. Eddy Hardiyanto, Banjarmasin TENGOK saja Pasal 15 RUU Minerba (mineral batubara) yang kini masih sedang digodok di Komisi VII DPR RI. Di ayat 6 disebutkan, dalam hal hasil studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan pada kegiatan studi kelayakan diperkirakan terdapat dampak lingkungan yang bersifat regional, maka IUP Operasi Produksi sebagai kelanjutan IUP Eksplorasi diberikan oleh Gubernur dengan rekomendasi dari Bupati/Walikota yang bersangkutan.

Kemudian di ayat 7 bunyinya begini, dalam hal hasil studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan pada kegiatan studi kelayakan diperkirakan terdapat dampak lingkungan yang bersifat nasional, maka IUP Operasi Produksi sebagai kelanjutan IUP Eksplorasi diberikan oleh Menteri dengan rekomendasi dari Bupati/Walikota ataupun Gubernur yang bersangkutan. Sementara itu, di ayat 8 isinya, ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tatacara pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. "Kalau mencermati isi pasal 15 ini, sepertinya persoalan Amdal itu masih dilihat dalam konteks administrasi pemerintahan saja. Bukan sebagai persoalan lingkungan. Sehingga bisa dibayangkan sendiri apa jadinya nanti dengan lingkungan kita," ujar Hasanuddin, narasumber diskusi tersebut. Belum lagi, di dalam RUU Minerba ini juga seringkali disebutkan untuk ketentuan lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. "Kalau PP-nya tak keluar-keluar, bagaimana hayo. Yang terjadi sekarang itu kan begitu. Sekian lama ditunggu, ternyata keluarnya Peraturan Pemerintah sengaja ditahan-tahan. Akibatnya UU yang sudah terlanjur dikeluarkan itu seringkali tak mau ditegakkan, dengan alasan PP-nya belum ada," simpul Hasanuddin. Sementara itu, Hadin Muhjad, pengamat dari Fakultas Hukum Unlam Banjarmasin lain lagi pendapatnya. "Ruang lingkup amdal yang ditentukan oleh perizinan menunjukkan bahwa tanggungjawab lingkungan menjadi tanggungjawab bersama. Jika hal ini yang diatur maka mengaburkan kewenangan suatu daerah terhadap pemberian perizinan," jabarnya, penuh makna.(bersambung) +++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ Radar Banjarmasin Berita Utama Rabu, 7 Desember 2005 Penambang Rakyat Kebagian Lahan; Bocoran RUU Minerba JAKARTA,- RUU Minerba (Mineral dan Batubara) masih dibahas seru oleh Komisi VII DPR RI. Berbagai masukan telah disampaikan pihak-pihak yang berkepentingan. Lantas, seperti apa gambaran respon anggota Komis VII terhadap berbagai masukan tersebut? Menurut Gusti Iskandar Sukma Alamsyah, pada umumnya anggota Komisi VII sama-sama menghendaki UU Minerba tersebut lahir dengan semangat kedaerahan. "Kita ingin semua bisa senang setelah RUU Minerba ini disahkan. Baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, pemegang PKP2B, maupun penambang rakyat," ujar anggota Komisi VII asal Kalsel itu, ketika ditemui sejumlah wartawan di sela-sela acara halal bihalal KWKS se-Jabotabek di Jakarta pada Minggu lalu. Terus, bagaimana dengan nasib perusahaan pemegang PKP2B, jika UU Minerba ini diberlakukan? Mantan Calon Gubernur Kalsel yang diusung Partai Golkar ini mengakui, hal itu terkait dengan begitu luasnya lahan yang dikuasai PKP2B hingga beribu hektare. Masalah ini dikeluhkan penambang rakyat yang tidak kebagian lahan potensial batubara.

"Pada intinya, UU Minerba nanti tidak mendistorsi izin PKP2B yang sudah diberikan. Pemegang PKP2B tetap memegang izin tersebut. Namun, tidak menutup kemungkinan nanti luas lahannya mengalami penyempitan. Tak lagi ribuan hektare. Supaya penambang rakyat kebagian lahan," terang Iskandar. Kemudian, dengan berlakunya UU Minerba itu, izin perusahaan pemegang PKP2B akan dievaluasi. "Bagi PKP2B yang nakal dan tak menggarap lahannya, tentu akan kita tertibkan," tambahnya. Di sisi lain, Iskandar juga menjelaskan pemberian izin pertambangan tak lagi didominasi pemerintah pusat. Tapi akan melibatkan daerah. "Kita akan bikin badan Ad Hoc, yang anggotanya terdiri dari Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota. Badan Ad Hoc inilah yang nantinya akan mengeluarkan setiap izin PUP (pengganti PKP2B) dan IUP (pengganti KP itu," ujarnya. (dye) +++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ Radar Banjarmasin Berita Ekonomi Senin, 23 Januari 2006 UU Minerba Mendesak Dirampungkan JAKARTA,- Perbaikan iklim investasi pemerintah harus segera direalisasikan. pembahasan UU mineral dan batubara. menyelesaikan rancangan undang-undang tahap pembahasan. pertambangan yang menjadi salah satu prioritas Salah satu kuncinya terletak pada percepatan Karena itu, pemerintah dan DPR harus segera (RUU) mineral dan batubara yang saat ini dalam

Chairman Association of Indonesian Mining Professional (Perhapi) Abdul Latief Baky, mengatakan RUU minerba ini bisa menjadi payung hukum kepada investor asing untuk menanamkan investasinya di sektor pertambangan. "Investor asing sangat concern terhadap kepastian hukum. Karena itu, penyelesaian RUU minerba harus dilakukan secepatnya untuk menciptakan rasa aman bagi investor," jelasnya di Jakarta. Dikemukakan Latif bahwa selama beberapa tahun belakangan ini tidak ada lagi investasi baru di sektor pertambangan. Salah satunya akibat ketidakpastian hukum, karena belum adanya UU yang menjadi payung hukum investor. "Investasi di sektor pertambangan memakan waktu lama hingga puluhan tahun, sehingga perlu aturan yang jelas dan pasti. Di mana pun, tidak akan ada investor yang berani jika peraturannya masih belum pasti," paparnya. Latif juga menyinggung rencana pemisahan RUU minerba menjadi dua, yakni RUU mineral dan RUU batubara. Dia mengaku kurang sreg dengan kebijakan tersebut. "Pada dasarnya, dua kegiatan pertambangan dan batu bara sama. Jadi buat apa dipecah," tukasnya. Latief juga menyayangkan potensi mineral dan batu bara di Indonesia yang begitu berlimpah, hingga kini masih belum termanfaatkan. "Potensi batu bara kita yang termanfaatkan masih

sangat sedikit. Potensi mineral dan batu bara yang dimanfaatkan kurang dari 10 persen," sebutnya.(iw)

You might also like