You are on page 1of 3

Kondisi masyarakat Indonesia, yang berdimensi majemuk dalam berbagai sendi keh

idupan, seperti budaya, agama, ras dan etnis, berpotensi menimbulkan konflik. Ciri budaya gotong royong yang telah dimiliki masyarakat Indonesia dan adanya perilaku musyawarah/mufakat, bukanlah jaminan untuk tidak terjadinya konflik, terutama dengan adanya tindakan diskriminasi ras dan etnis. Kerusuhan rasial yang pernah terjadi menunjukkan bahwa di Indonesia sebagian warga negara masih terdapat adanya diskriminasi atas dasar ras dan etnis, misalnya, diskriminasi dalam dunia kerja atau dalam kehidupan sosial ekonomi. Akhir-akhir ini di Indonesia sering muncul konflik antar ras dan etnis yang diikuti dengan pelecehan, perusakan, pembakaran, perkelahian, pemerkosaan dan pembunuhan. Konflik tersebut muncul karena adanya ketidakseimbangan hubungan yang ada dalam masyarakat, baik dalam hubungan sosial, ekonomi, maupun dalam hubungan kekuasaan.

Hal ini pun pernah terjadi di kampung halaman saya sendiri, tepatnya di kota tarakan, kalimantan timur. Semenjak terjadi tragedi sampit di kalbar, hampir seluruh daerah di kalimantan rentan terhadap hal serupa. Keberagaman tidak lagi di pandang sebagai anugrah tuhan yang maha esa. Tetapi lebih dilihat sebagai jurang pembatas, tentu saja tidak semua orang asli kalimantan berfikir seperti ini. Pemahaman ini lebih kepada kepribadian individual masing masing orang. Tragedi sampit yang memakan beratus korban tentu menyisakan duka. Hal serupa pernah terjadi dikota saya,serta kota2 tetangga. Kejadian ini hampir sama dengan kejadian di sampit, awalnya bermula dari penduduk asli yang tidak terima diperlakukan semena-mena oleh salah satu warga pendatang, rentetan peristiwa seperti pemerkosaan salah satu warga asli, di akhiri pembunuhan salah satu warga asli yang membuat tarakan membara. Kasus pembunuhan yang sebenarnya hanyalah kriminalitas biasa malah di kaitkan dengan suku. Di awali sekelompok pemuda penggangguran yang berkumpul lalu terjadi perkelahian hingga menewaskan seorang dari warga asli tarakan membuat kota saya mencatat sejarah hitam dalam perjalanannya. K esabaran warga asli seakan sudah habis, dan tak terima. Masih segar ingatan saya tentang kejadian itu, saya yang saat itu kelas 3 SMA dan sedang belajar di sekolah, kami semua mendadak disuruh pulang ke rumah. Anggapan saya awalnya ini hanya pembunuhan biasa, tetapi semakin malam berita itu semakin besar. Malam itu malam berdarah kota saya, dimana sebuah nyawa tidak lagi berharga. Rumah2 suku pendatang yang melakukan pembunuhan di bakar serta beberapa di bunuh. Yang bisa saya dengar hanya rentetan peluru polisi menengahi pertikaian ini. Warga pun di ungsikan ke dalam barak2 milik pemerintah malam itu, berlanjut hingga pagi menjelang suasana masih mencekam, semua kegiatan di kota saya seakan mati,mulai pendidikan,

perekonomian, dll. Bagai kota mati saya melihatnya, yang ada di jalan hanyalah 2 kelompok yang saling bertikai yang saling mempertahankan kebenaran yang mereka yakini.. Setelah beberapa hari dengan bantuan polisi brimob pusat di jakarta dan dengan beberapa mediasi pertikaian sudah sedikit mereda. Mereka memang sudah buta, buta akan kebenaran mereka. Padahal tidak ada kebenaran yang hakiki selain Allah. Mereka yang bertikai tidak meresapi betul arti sebuah perbedaan dan menjunjung tinggi saling menghormati. Tentu yang punya nurani akan belajar dari kejadian ini agar tidak terulang lagi. Kejadian ini seakan menjadi pelajaran serta pesan filsafat kepada warga kota saya, bahwasanya kita makhluk sosial yang hidup berdampingan, bangsa kita terdiri dari berbagai suku, bahasa, agama hargailah perbedaan dan junjung tinggi sikap menghormati antar individu atau kelompok.

Konsep ras bisa ditelusuri jejaknya dari wacana biologis Darwinisme sosial yang menekankan "garis keturunan" dan "tipe-tipe manusia". Di sini ras menunjuk pada karakteristik-karakteristik yang dinyatakan secara fisik dan biologis. Bentuknya yang paling jelas adalah pigmentasi kulit. Atribut-atribut ini kemudian seringkali dikaitkan dengan intelejensi dan kemampuan, yang dipakai untuk memeringkat kelompokkelompok yang telah diraskan dalam hirarki sosial, superioritas material, dan subordinasi. Akar dari rasisme adalah klasifikasi-klasifikasi rasial yang dibangun dan dipertahankan dengan kekuasaan. Pada permulaan abad ke-19 juga telah ditemukenali adanya pengelompokan penduduk yang terpusat di Pulau Jawa. Hal ini penyebab terjadinya gejala kelebihan penduduk di Pulau Jawa, seperti diungkapkan oleh Thomas Raffles penguasa Inggris di Jawa tahun 1914. Hampir tiga perempat seluruh penduduk pulau Jawa terdiri dari orang Jawa, sisanya adalah orang Sunda, Madura, dan Betawi. Sebaliknya, komposisi etnis di luar pulau Jawa sangat heterogen, dari segi suku bangsa (kelompok etnis) pribumi maupun orang asing (Cina dan India).Du Bus de Gisignies berpendapat, apabila seluruh tanah di Jawa telah dibuka, pada suatu ketika tanah itu akan penuh dengan manusia. Oleh karena itu, pemerintah Hindia Belanda melakukan pemindahan penduduk dari Jawa ke luar Jawa yang disebut dengan program kolonisasi. Diharapkan akan dapat mengurangi kepadatan dan kelebihan penduduk di Jawa, program kolonisasi ini lebih

ditekankan pada penempatan petani-petani dari daerah yang padat penduduknya di Jawa, di desa-desa baru yang disebut koloni di daerah-daerah kosong di luar Jawa. Ras adalah sebuah konstruksi sosial dan kategori biologi atau kultural yang universal dan esensial. Ras adalah suatu kelompok manusia yang memiliki ciri-ciri fisik bawan yang sama. Diferensiasi ras berarti pengelompokan masyarakat berdasarkan ciri- ciri fisiknya, bukan budayanya. Karakteristik-karaketiristik fisik ditransformasikan menjadi penanda ras, termasuk di dalamnya anggapan palsu tentang perbedaan kultural dan biologis yang esensial.

Penanda ras mestinya dilihat sebagai ketegori politik yang terbuka, yang definisinya tergantung pada pertarungan kekuasaan yang terus berlangsung. Di Indonesia formasi historis ras adalah pentas kekuasaan dan subordinasi. Dalam hubungannya dengan kesempatan hidup, orang-orang Papua misalnya, secara struktural posisinya disubordinasikan. Orang-orang Papua diposisikan dalam pekerjaan bergaji rendah, tidak membutuhkan ketrampilan, diberi keuntungan minimal di pasar, di sekolah, di media, dan dalam representasi budaya. Dalam konteks ini,formasi ras atau rasialisasi secara inheren telah bersifat rasis, yang meliputi bentukbentuk sosial, ekonomi, dan subordinasi politik, yang telah hidup dalam kategori dan ideologi ras. Sebagai sebuah konstruksi diskursif, makna "ras" selalu berubah dan dipertarungkan. Kelompok-kelompok yang berbeda dirasialkan dengan cara berbeda pula. Misalnya, karena keberhasilan ekonominya, peranakan Cina secara historis dijadikan subjek kecemburuan sosial dan distereotipkan dengan berbagai kelicikan. Cina Peranakan di Indonesia dijadikan warga negara kelas dua. Etnisitas adalah sebuah konsep cultural yang berpusat pada pembagian norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan, simbol dan praktik-praktik kultural.

You might also like