You are on page 1of 14

AMANDEMEN UUD 1945 MERUPAKAN POLITICAL WILL DAN POLITIC ACTION

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan hidayahnya penulis dapat menyelesaikan tugas yang berjudul Amandemen UUD 1945 merupakan Political Will and Political Action . Yang merupakan salah satu persyaratan untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester. Dalam penyelesaian tugas ini penulis menyadari bahwa tiada manusia di dunia ini yang sempurna ( No Boddy is Perfect ), karena itu dalam penulisan tugas ini mempunyai kekurangan-kekurangan. Dari sini penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun guna menyempurnakan hasil tugas tersebut. Semoga Allah SWT dapat memberikan balasan yang setimpal atas segala jasa-jasa kebaikan serta bantuan yang diberikan kepada penulis. Akhir kata penulis berharap semoga hasil dari tugas ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Amin.

Brebes,

Januari 2012

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

Pada tahun 1998, suatu orde baru dimulai, yakni orde reformasi. Hal tersebut ditandai dengan adanya pergerakan mahasiswa indonesia yang telah mendongkel kekuasaan Presiden Republik Indonesia pada saat itu yakni Soeharto yang mendirikan dan menguasai orde baru. Soeharto sama seperti kita ketahui telah berkuasa di Republik Indonesia selama kurang lebih 3 tahun. Soeharo selama 32 tahun telah berkuasa di Republik indonesia. Dalam kurun waktu tersebut, Soeharto telah memerintah dengan cara diktaktoris. Jatuhnya pemerintahan orde baru dan dimulainya orde reformasi telah memberikan angin segar bagi demokrasi di Indonesia. Demokrasi yang selama ini telah lumpuh, kembali bergairah. Berbagai perubahan diberbagai sektorpun dilakukan dan dimulai dari perubahan ekonomi, politik, sosial, budaya dan juga hukum. Amandemen uud 1945 bertujuan untuk memberi payung hukum bagi reformasi dan berbagai perubahan yang terjadi dan yang akan terjadi. Untuk merubah suatu sistem yang benar-benar korup pada saat itu iperlukan suatu payung hukum yang jelas, sehingga perubahan dapat terealisasi. Uud 1945 yang memiliki kedaulatan yang tertinggi dalam tata urutan perundangan Republik Indonesia saat itu harus dapat memayungi secara legal perubahan yang terjadi. Dalam makalah ini penulis akan mengkaji beberapa hal yakni mengenai apakah amandemen uud 1945 benar-benar merupakan suatu penegakan hukum ataukah suatu pelanggaran hukum. Juga akan

dibahas berbagai implikasi muncul sebagai konsekuensi atas amandemen uud 1945.

BAB II PERMASALAHAN

Amandemen UUD sebagai upaya Pembangunan hukum Seiring bergulirnya reformasi, bergulir pula berbagai perubahan yang terjadi di berbagai sektor, termasuk di bidang hukum. Perubahan uud 1945 pun dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat ( MPR ). Seiring dengan amandemen yang terjadi, muncul berbagai pro dan kontra mengenai keabsahan uud 1945 tersebut. Ada berbagai pihak yang menyebut amandemen uud 1945 sebagai bentuk penyimpangan. Mereka

berpendapat bahwa uud 1945 adalah peraturan yang paling fundamental dalam ketatanegaraan indonesia sehingga tidak boleh dirubah atau diamandemen. Ada juga pihak-pihak yang berpendapat bahwa amandemen adalah hal dan langkah yang wajar dalam upaya pembangunan hukum itu sendiri. Mereka berpandangan bahwa uud 1945 bukanlah sesuatu yang luar biasa, sehingga janganlah dipandang sebagai berhala. Oleh karena itu amandemen yang dilakukan adalah sebagai sesuatu hal yang biasa pula sebagai upaya pembangunan hukum itu sendiri. Pembangunan hukum sebagaimana dikemukakan oleh Paton ( 1951 ) pada hakikatnya adalah pembinaan hukum dan pembaharuan hukum. Pembinaan hukum ialah perawatan hukum yang telah ada jadi bukan memanjakan dan membiarkan tumbuh sesukanya. ( dikutip dari bphn.go.id ). Jika kita melihat dari teori tersebut, maka bisa disimpulkan bahwa amandemen uud 1945 merupakan salah satu bentuk dari pembaharuan hukum dan pembaharuan hukum itu sendiri merupakan salah satu bentuk dari pembangunan hukum. Pembangunan hukum bertujuan untuk membentuk atau mewujudkan sistem hukum indonesia yang bersifat nasional ( The Indonesian Legal System ). Dalam pembangunan, pembaharuan atau pembinaan sistem hukum indonesia yang bersifat nasional harus diikuti oleh pembangunan, pembaharuan atau pembinaan substansi dan sistem hukumnya. Substansi dari sistem hukum itulah yang akan menentukan sejauh mana sistem hukum di indonesia yang bersifat nasional mencerminkan indonesia baru dan mampu melayani kebutuhan indonesia yang baru. Dengan demikian dalam pembangunan sistem hukum nasional harus mencakup pembangunan bentuk dan isi dari peraturan perundang-undangan, termasuk perubahan uud 1945, jika memang dianggap perlu. Menurut teori etis salah satu tujuan pokok hukum adalah memperbaharui sikap, mental dan cara berfikir masyarakat indonesia dari tradisional kearah modern. Jadi hukum harus mengarahkan dan merubah sikap, mental dan cara berfikir ke arah yang lebih baik. Jika kita kontekstualisasikan kepada konteks amandemen uud 1945, maka bisa kita anggap cara berfikir masyarakat tradisional dalam teori etis tersebut adalah cara-cara otoriter dan sistem yang korup. Kita juga bisa anggap cara berfikir modern dalam teori etis terdsebut adalah cara berfikir dan pandangan yang demokratis dan terbuka. Oleh karena itu, jika kita merujuk pada teori etis, berkewajiban dan harus mampu mengarahkan, merubah pandangan, sikap masyarakat dari cara berfikir pandangan otoriter ke cara berfikir yang demokratis. Amandemen uud 1945 adalah salah satu upaya untuk merubah pandangan/ cara berfikir masyarakat dari cara berfikir otoriter ke cara berfikir demokratis dengan mengubah diri ke bentuk pasca amandemen yang dianggap akan menjadi landasan legal akan perubahan tersebut. Oleh karena

itu, maka pembangunan hukum yang dilakukan dalam bentuk amandemen uud 1945, tidak melanggar dan telah sesuai dengan tukuan hukum itu sendiri. Jika kita berfikir diluar konteks teori etis, amandemen uud 1945 tetaplah sah. Manusia bisa merubah hukum sesuai dengan tujuan hukum itu sendiri. Dan tujuan hukum itu sendiri adalah tujuan dari manusia. Oleh karena itu manusia bebas merubah hukum sesuai dengan tujuan manusia. Dalam konteks amandemen uud 1945, amandemen yang dilakukan adalah sah, kaena hanya dengan amandemen tersebutlah tujuan bangsa indonesia untuk melakukan reformasi bisa tercapai. Kita jangan terlalu berpandangan konservatif bahwa uud 1945 tidak boleh diamandemen. Uud 1945 adalah buatan manusia, sehingga tidak akan sempurna. Tidak ada hukum yang sejati. Hukum yang sejati adalah rasio manusia yang sesuai dengan ketertiban alam serta terdapat dalam alam seluruhnya. Rasio murni bersifat kekal sepanjang zaman, rasio murni terdapat dalam jiwa manusia. ( Cicero dalam Ragawino, 2003 : 161 ). Dalam perspektif hukum teori tata negara, tata cara perubahan uud 1945 dapat dilakukan melalui pola belanda, yakni dengan mengubah langsung pasal yang bersangkutan, pola Amerika Serikat yakni dalam bentuk amandemen yang dilampirkan pada konstitusi AS. Perubahan-perubahan dimaksudkan agar UUD merupakan UUD yang paling hidup. Di indonesia, wacana reformasi sistem ketatanegaraan, perubahan terhadap uud 1945 berangkat dari tuntutan akan pentingnya pemerintahan konstitusional yang demokratis. Dalam hal ini pemberlakuan ketetapan MPR No. VIIUMPR/ 1998tentang Pencabutan Ketetapan MPR No. IV/ MP1Z/ 1983tentang referandum merupakan pemberlakuan kembali pasal 37 UUD 1945. Berdasarkan landasan itulah perubahan UUD 1945 dilakukan. Amandemen yang dilakukan terhadap UUD 1945, tidak serta merta turun. Namun hal tersebut telah melalui berbagai tahap dan berbagai kajian, baik itu di lingkungan akademis, maupun dilingkungan MPR itu sendiri. Demi meminimalisasi penyimpangan-penyimpangan yang dapat muncul dalam proses amandemen, panitia amandemenpun menyepakati beberapa hal, yakni : Amandemen dilakukan terhadap uud 1945, tidak serta merta muncul. Namun hal tersebut telah melalui berbagai tahap dan berbagai kajian, baik itu di lingkungan akademis, maupun di lingkungan MPR itu sendiri. Tetap mempertahankan NKRI. Mempertegas sistem pemerintahan presidensial. Penjelasan uud 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam penjelasan dimasukan dalam pasal-pasal. Perubahan dilakukan dengan cara adendum. Dengan rambu-rambu yang telah dibuat tersebut, diharapkan amandemen uud 1945 tersebut, akan

benar-benar sesuai sasaran dituju. Berikut ini adalah dasar-dasar pemikiran amandemen uud 1945, sbb : Undang-undang dasar 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Undang-undang dasar 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif ( Presiden ). Sistem yang dianut UUD 1945 adalah kekuasaan dominan berada di tangan presiden dilengkapi dengan berbagai hak konstitusi yang lazim disebut hak prerogratif. Uud 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu luwes dan fleksibel sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu penafsiran. Uud 1945 terlalu banyak memberi kewenangan kepada kekuasaan presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan undang-undang. Presiden juga memegang kekuasaan legislatif sehingga presiden dapat merumuskan hal-hal penting sesuai dengan kehendaknya dalam undang-undang. Rumusan undang-undang tentang semangat penyelenggaraan negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat, penghormatan hak asasi manusia dan otonomi daerah. Hal ini membuka peluang bagi berkembangnya praktek penyelenggaraan negara yang tidak sesuai dengan pembukaan uud 1945. Jika melihat beberapa latar belakang amandemen uud 1945 yang telah dikemukakan diatas, maka kita harus bisa memahami dan yakin bahwa amandemen yang dilakukan terhadap uud 1945 adalah merupakan suatu upaya yang mengarah dan bertujuan untuk memperbaiki bangsa indonesia. Amandemen uud 1945 telah dilakukan 4 tahapan. Perubahan pertama terhadap uud 1945 dilakukan dalam sidang umum MPR pada bulan oktober 1999. Perubahan pertama ini mengubah pasal 5 ayat (1), pasal 7, pasal 9, pasal 13 ayat (2), pasal 14, pasal 15, pasal 17 ayat (2) dan (3), pasal 20 dan pasal 21 uud 1945. Beberapa aspek penting dari perubahan tersebut adalah antara lain sbb : Penegasan bahwa presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-undang ( RUU ) kepada DPR ( pasal 5 ayat (1)) Presiden dan wakil presiden hanya dapat menjabat sebanyak-banyaknya dalam 2 (dua) kali masa jabatan. Jika MPR atau DPR tidak dapat mengadakan sidang, presiden dan wakil presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh dihadapan MPR dan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung ( pasal 9 ayat (2)).

Dalam hal mengangkat duta dan menerima penempatan duta negara lain, presiden mempertimbangkan DPR ( pasal 13 ayat (2) dan (3)). Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan mempertimbangkan pertimbangan Mahkamah Agung ( pasal 14 ayat (91)). Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR ( pasal 14 ayat (2)). Setiap mentri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan ( pasal 17 ayat (3)). Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang ( pasal 21 ). Dalam batas-batas tertentu, perubahan pertama ini telah menggeser titik berat pemerintahan dari pihak eksekutif ke pihak legislatif. Perubahan pertama tersebut kemudian dilanjutkan dengan perubahan kedua dan ketiga. Hal ini nampak dengan penegasan ketetapan MPR No. IX/ MPR/ 1999 tentang penugasan badan pekerja MPR RI untuk melanjutkan perudahan UUD RI 1945, yang memerintahkan agar badan pekerja MPR mempersiapkan rancangan termaksud untuk untuk disahkan dalam sidang tahunan MPR pada tanggal 18 agustus 2000. Sebagaimana diamanatkan ketetapan MPR No. IX/ MPR/ 1999 sebagaimana disebutkan dimuka, perubahan kedua UUD 1945 pada akhirnya dilakukan pada sidang tahunan MPR pertama yang diselenggarakan pada tanggal 7 18 Agustus 2000. Dalam perubahan kedua ini MPR mengubah dan/ atau menambah beberapa pasal, yakni pasal 18, pasal 18 A, pasal 18 B, pasal 19, pasal 20 ayat (5), pasal 20A, pasal 22A, pasal 22B, pasal 25E, pasal 26 ayat (2) dan ayat (3), pasal 27 ayat (93), pasal 28A, pasal 28B, pasal 28C, pasal 28D, pasal 28E, pasal 28F, pasal 28G, pasal 28H, pasal 28I, pasal 28J, pasal 30, pasal 36A, pasal 36B, pasal 36C, UUD 1945. Perubahan itu diantaranya dilakukan dengan mengubah rumusan pasal-pasal yang bersangkutan atau dengan menambah beberapa ayat dari yang bersangkutan. Perubahan ketiga UUD 1945 disahkan dalam sidang tahunan MPR kedua, yang diselenggarakan pada tanggal 9 Nopember 2001. Dalam perubahan ketiga ini, MPR mengubah dan/ atau menambah pasal 1 ayat (2) dan (3), pasal 3 ayat (1), (3), dan (4), pasal 6 ayat (1) dan (2), pasal 6A ayat (1), (2), (3) dan (5), pasal 7A, pasal 7B ayat (1), (2), (3), (4), pasal 22C ayat (1), (2), (3), (4), pasal 22D ayat (1), (2), (3), (4), pasal 22E ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), pasal 23 ayat (1), (2), (3), pasal 23A, pasal 23C, pasal 23E ayat (1), (2), (3), pasal 23F ayat (1) dan (92), pasal 23G ayat (1) dan (2), pasal 24 ayat (1) dan (2), pasal 24A ayat (1), (2), (3), (4), (5), pasal 24B ayat (1), (2), (3), (4), pasal 24C ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6) UUD 1945.

Didalam perubahan ketiga ini antara lain diatur tentang hal-hal yang bersifat mendasar, seperti adanya penegasan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945, juga penarikan ketentuan mengenai indonesia sebagai negara hukum dan penjelasan UUD 1945 ke dalam batang tubuh UUD 1945. Di samping itu ditetapkan tentang kewenangan-kewenangan MPR, mekanisme putaran pertama sistem pemilihan presiden secara langsung, mekanisme impeachment presiden, tentang DPRD, pemilihan umum dan BPK. Perubahan keempat UUD 1945 disahkan melalui sidang tahunan MPR ketiga yang diselenggarakan pada tanggal 10 Agustus 2002. Dalam perubahan ketiga ini, MPR mengubah dan/ atau menambah pasal 21 ayat 1, pasal 6A ayat 4, pasal 8 ayat 3, pasal 11 ayat 1, pasal 16, pasal 23B, pasal 23D, pasal 24 ayat 3, pasal 32 ayat 1, 2, 3, 5, aturan peralihan I, II, dan III, aturan tambahan pasal I dan II UUD 1945. Amandemen terhadap batang tubuh UUD 1945 tersebut diharapkan akan mampu membawa Indonesia kedalam sistem politik dan sistem demokrasi yang lebih baik. Amandemen bukan hanya merupakan pembangunan bagi hukum Indonesia, namun juga diharapkan akan berdampak pada pembangunan di segala bidang.

Implikasi Amandemen UUD 1945 terhadap Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Amandemen konstitusi sejak amandemen pertama tahun 1999 hingga amandemen ke empat tahun 2002, telah mengamanatkan sejumlah perubahan yang sebelumnya telah dijelaskan. Perubahan tersebut berdampak pada pengembangan/ perubahan hukum tanpa adanya GBHN. Pembangunan hukum ini akan dipengaruhi oleh hasil dari pemilihan presiden secara langsung diamanatkan dalam pasal 6A amandemen III UUD 1945. Berdasarkan amandemen konstitusi, MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi dalam arti bahwa MPR tidak lagi menetapkan rencana pembangunan nasional yang diatur dalam GBHN konstruksi baru konstitusi tersebut berimplikasi bahwa penyusunan program pembangunan hukum, yang selama ini ditetapkan secara garis besaroleh MPR akan beralih. Sistem ketatanegaraan indonesia saat ini telah mengalami perubahan yang sangat penting dan mendasar. Perubahan tersebut merupakan hasil amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan oleh MPR dari tahun 1999 hingga tahun 2002. Berikut ini adalah gambaran tentang ketatanegaraan RI, sebelum dan setelah amandemen : Majelis Permusyawaratan Rakyat ( MPR ) Dalam praktek ketatanegaraan MPR pernah menetapkan, antara lain : Presiden, presiden sebagai presiden seumur hidup.

Presiden yang telah dipilih secara terus menerus sampai 7 ( tujuh ) kali berturut-turut. Memberhentikan sebagai pejabat presiden. Meminta presiden untuk mundur dari jabatannya. Lembaga negara yang mungkin menandingi MPR adalah presiden, yaitu dengan memanfaatkan kekuatan partai politik yang paling banyak menduduki kursi di MPR. Setelah amandemen uud 1945, MPR merupakan lembaga tinggi negara sejajar kedudukannya sebagai lembaga tinggi negara lainnya, yakni Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK. Kewenangan untuk menetapkan GBHN dan kewenangan mengangkat presiden ( karena presiden dipilih langsung melalui pemilu ) dihilangkan. Tetap berwenang untuk menetapkan dan dan mengubah UUD. Susunan anggotanya berubah terdiri dari anggota DPR dan anggota DPRD yang dipilih secara langsung melalui pemilu. Presiden Sebelum amandemen uud 1945 : Presiden memegang posisi sentral dan dominan sebagai mandataris MPR, meskipun kedudukannya tidak neben akan tetapi untergeordnet. Presiden menjalankan kekuasaan pemerintahan sebagai negara tertinggi. Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif, juga memegang kekuasaan legislatif dan yudikatif. Presiden mempunyai hak prerogatif yang sangat besar. Tidak ada aturan mengenai batasan periode seseorang dapat menjabat sebagai presiden dan mekanisme pemberhentian presiden dalam masa jabatannya.

Pasca Amandemen uud 1945 : Membatasi beberapa kekuasaan presiden dengan memperbaiki tata cara pemilihan dan pemberhentian presiden dalam masa jabatannya serta memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Kekuasaan legislatif sepenuhnya diserahkan kepada DPR. Membatasi masa jabatan presiden, maksimal dua periode saja.

Kewenangan pengangkatan duta dan menerima duta, harus memperhatikan pertimbangan DPR. Kewenangan memberi grasi, amnesi, abolisi, harus memperhatikan pertimbangan DPR. Memperbaiki syarat dan mekanisme pengangkatan calon presiden dan wakil presiden menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu, juga mengenai pemberhentian jabatan presiden dalam masa jabatannya.

DPRD Sebelum amandemen uud 1945, DPR berwenang : Memberi persetujuan atas RUU yang diusulkan presiden. Memberikan persetujuan atas PERPU. Memberikan persetujuan atas anggaran. Meminta MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban presiden.

Setelah amandemen uud 1945 : Posisi dan kewenangannya diperkuat. Mempunyai kekuasaan untuk membentuk U. Presiden dan mekanisme membentuk UU antara DPR dan pemerintah. Mempertegas fungsi DPR yaitu fungsi legislatif, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan sebagai mekanisme kontrol antar lembaga negara.

DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG UUD 1945 tidak banyak mengingtrodusir/ menyinggung lembaga-lembaga negara lain seperti DPA dengan memberikan kewenangan yang sangat minim. Bahkan lembaga negara ini dihapuskan dari sistem ketatanegaraan Indonesia dalam UUD 1945 yang baru.

DEWAN PERWAKILAN DAERAH

DPD adalah lembaga yang terbentuk pasca amandemen UUD 1945. Dalam UUD 1945 yang lama, tidak ada lembaga DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. DPD adalah lembaga negara baru sebagai langkah akomodasi keterwakilan kepentingan daerah dalam badan perwakilan tingkat nasional setelah ditiadakannya utusan daerah atau utusan golongan yang diangkat sebagai anggota MPR. Keberadaannya dimaksudkan untuk memperkuat kesatuan negara RI. Anggotanya dipilih secara langsung oleh masyarakat di daerah melalui pemilu. DPD mempunyai kewenangan memajukan dan membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, RUU lain yang berkaitan dengan kepentingan derah.

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN Dalam UUD 1945 yang lama, lembaga ini tidak dibahas terlalu banyak. Dalam UUD 1945 pasca amandemen, lembaga ini dibahas lebih mendetail. Menurut UUD 1945 pasca amandemen, BPK berwenang mengawasi dan pengelolaan keuangan negara ( APBN ) dan daerah ( APBD ) serta menyampaikan hasil pemeriksaan kepada DPR dan DPD dan ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum. BPK berkedudukan di Ibu Kota Negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi. Anggota BPK dipilih DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD. UUD 1945 yang baru juga mengintegrasikan peran BPKP sebagai instansi pengawas internal departemen yang bersangkutan ke dalam BPK.

MAHKAMAH AGUNG Peran dan fungsi Mahkamah Agung hampir tidak berubah baik sebelum maupun setelah amandemen, yaitu : Lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yaitu kekuasaan yang

menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan ( pasal 24 ayat 1)). Berwenang mengadili tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dan wewenang lain yang diberikan undang-undang. Dibawahnya terdapat badan-badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer dan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara ( PTUN ). Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang seperti : kejaksaan, kepolisian, advokat/ pengacara, dll.

MAHKAMAH KONSTITUSI Mahkamah Konstitusi adalah lembaga baru terbentuk pasca amandemen UUD 1945. MK keberadaannya dimaksudkan sebagai penjaga kemurnian konstitusi ( the guardian of the constitution ). MK mempunyai kewenangan : Menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan antar lembaga, memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil pemilu dan memberikan putusan atas DPR mengenai dugaan atas pelanggaran presiden dan atau wakil presiden dalam UUD. Hakim konstitusi terdiri dari 9 orang yang diajukan masing-masing oleh Mahkamah Agung, DPIZ, dan dan pemerintahan yang ditetapkan oleh presiden, sehingga mencerminkan perwalian dari 3 cabang kekuasaan negara, yaitu yudikatif, legislatif dan eksekutif.

RESUME KINERJA MANAJEMEN PUBLIK DALAM KEPEMERINTAHAN DI INDONESIA DAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Memenuhi Tugas Akhir Semester Pada Program Ilmu Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Cirebon

Disusun Oleh :

KETUA

: 1. EDI SUNAEDI

ANGGOTA : 2. BRAM HEBRIANA 3. INDAH BUDIYANTI 4. MAY KOMARIAH

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH CIREBON 2012

You might also like