You are on page 1of 25

Pendahuluan Memasuki abad 21, terjadi perubahan-perubahan mendasar dalam kehidupan bernegara di Indonesia, suatu perubahan yang mungkin

tak pernah diduga oleh kebanyakan masyarakat Indonesia sendiri. Diawali oleh krisis moneter dan ekonomi pada akhir 1997, perubahan-perubahan penting dalam kehidupan politik, ekonomi, hukum dan sosial masih terus berlangsung hingga saat ini. Meskipun dampak krisis ekonomi mulai reda dan kondisi berangsur pulih, suasana serba tak pasti dan kebingungan masih terasa di mana-mana. Salah satu sumber kebingungan itu adalah proses desentralisasi yang ikut terpacu oleh dinamika perubahan sebagai akibat krisis ekonomi. Dengan lahirnya UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dalam situasi krisis, proses desentralisasi yang sebenarnya sudah dimulai sejak lama meskipun berjalan lambat, bercampur aduk dengan proses reformasi yang digencarkan sejak krisis ekonomi terjadi. Gejala lain yang ikut memperumit proses desentralisasi tersebut adalah munculnya aspirasi beberapa daerah untuk memisahkan diri dari negara kesatuan RI. Adanya aspirasi ini membuat agenda otonomi daerah berada dalam dilema yang sulit dipecahkan, yakni antara keinginan untuk meredam aspirasi semacam itu melalui pemberian otonomi yang luas dan kekhawatiran bahwa persoalan pusat akan berpindah ke daerah karena ketidak-siapan daerah untuk menerima otonomi luas. Meskipun masih sulit membayangkan wajah Indonesia baru dalam beberapa tahun mendatang, proses desentralisasi dan perwujudan otonomi daerah yang luas merupakan salah satu faktor yang hampir pasti akan ikut membentuk wajah tersebut. Dengan demikian, dapat diperkirakan akan terjadinya pergeseran besar-besaran dalam tata kehidupan masyarakat, dari tata kehidupan yang bersifat sentralistik ke sifat desentralistik, dari kecenderungan serba seragam ke warna warni lokal yang plural, dari paradigma negara kesatuan ke negara kuasi federal. Dalam operasionalisasinya, proses pergeseran tersebut memerlukan penjabaran yang rumit dan kompromi-kompromi yang alot dari beragam kepentingan yang terlibat. Hal inilah yang antara lain menimbulkan suasana serba tak pasti dan gamang sebagaimana tampak khususnya di kalangan birokrasi pemerintah. Proses pergeseran yang dimaksud antara lain juga akan terjadi dalam pengelolaan sumberdaya air. Dalam hal ini, menarik untuk mempertanyakan, apakah pergeseran ke arah otonomi daerah itu dapat dimanfaatkan untuk sekaligus memecahkan masalah-masalah yang selama ini dihadapi dalam pengelolaan sumberdaya air ? Apakah UU No 22 tahun 1999 memberi landasan hukum yang memadai untuk upaya tersebut ? Tulisan ini akan mencoba membahas persoalan yang terangkat dari pertanyaan tersebut guna membantu terselenggaranya upaya perwujudan otonomi daerah yang sekaligus mendukung penyempurnaan pengelolaan sumberdaya air.

<Top> Makna Otonomi Daerah Bagi Pengelolaan Sumberdaya Air Penyelenggaraan otonomi daerah umumnya disambut positif dan didukung banyak pihak. Disamping merupakan amanat konstitusi, otonomi daerah dirasakan sebagai kebutuhan yang semakin mendesak dan menjadi jalan keluar bagi tantangan yang akan sulit diatasi jika penyelenggaraan kehidupan berbegara tetap dalam sistem yang sentralistik. Terdapat tiga manfaat yang umumnya diharapkan dari penyelenggaraan otonomi daerah melalui desentralisasi : pertama, prakarsa dan kreativitas daerah dapat lebih berkembang sehingga masalah dan tantangan yang muncul di daerah dapat lebih mudah dan cepat diatasi ; kedua, beban persoalan dapat lebih dibagi antara pemerintah pusat dan daerah sehingga memungkinkan kesempatan yang lebih luas bagi pusat untuk memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang bersifat strategis; ketiga, membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi masyarakat di tingkat lokal dan daerah sehingga mampu meningkatkan rasa keadilan dan tanggung jawab bersama dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. Pengalaman dalam mengupayakan otonomi daerah selama ini menunjukkan alotnya proses yang berlangsung guna mewujudkan otonomi daerah. Faktor utama penyebabnya adalah keengganan pemerintah pusat untuk menyerahkan kewenangan ke daerah dengan berbagai alasan, antara lain keraguan akan kemampuan daerah, kekhawatiran akan berpindahnya masalah-masalah pusat ke daerah dan sebagainya. Disamping keengganan, pemerintah pusat terkesan sangat berhati-hati dalam mendorong otonomi daerah. Ini dapat dibaca dari pesan yang senantiasa melekat dalam mengupayakan otonomi daerah, misalnya lewat ungkapan-ungkapan seperti otonomi yang nyata dan bertanggung jawab, otonomi diselenggarakan dengan prinsip-prinsip demokratis, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan dan sebagainya. Keengganan pemerintah pusat untuk menyerahkan kewenangan dalam rangka otonomi daerah bisa jadi bersumber pada faktor yang bersifat politis bahwa pusat tidak rela kehilangan kontrol dan kepentingannya terhadap daerah. Faktor demikian terbukti dapat ditandingi dengan ancaman beberapa daerah untuk melepaskan diri sehingga muncul dorongan yang kuat untuk segera mewujudkan otonomi daerah sebagaimana tertuang dalam UU No 22 tahun 1999. Hal yang tampaknya kurang disadari dalam kegairahan menyambut otonomi daerah yang luas ini adalah bahwa otonomi daerah dalam beberapa bidang urusan tertentu dapat justru menimbulkan kerugian disamping keuntungan sebagaimana secara umum telah dikemukakan. Hal ini dapat dilihat antara lain dalam pengelolaan sumberdaya air. Keuntungan dan kerugian yang dapat ditimbulkan oleh penyelenggaraan otonomi daerah bagi pengelolaan sumberdaya air dapat dijelaskan

dengan mengembalikan makna otonomi daerah sebagai penerapan azas desentralisasi. Seperti telah dikemukakan, desentralisasi akan membawa sejumlah manfaat seperti mempermudah dan mempercepat penyelesaian masalah dan tantangan yang muncul secara lokal, mengurangi beban persoalan di pusat dan memperluas partisipasi bagi masyarakat lokal dan daerah. Setiap manfaat tersebut memiliki kondisi atau persyaratan-persyaratan tertentu agar dapat diperoleh melalui upaya desentralisasi. Persoalannya adalah apakah pengelolaan sumberdaya air menyediakan persyaratan yang dimaksud ? Satu misal adalah persyaratan bagi manfaat pertama, desentralisasi akan mampu memberikan manfaat tersebut bila masalah dan tantangan lokal sulit diramalkan dan heterogen sifatnya. Bila masalah yang muncul umumnya telah dapat diduga dan dapat dibuat rumusan secara umum, desentralisasi tak banyak gunanya karena keputusan dapat ditentukan secara terpusat dan dibakukan. Dengan mengidentifikasi dan menganalisa persyaratan-persyaratan untuk setiap manfaat yang diharapkan dari desentralisasi, akan bisa diidentifikasi hal-hal apa dalam pengelolaan sumberdaya air yang dapat memetik keuntungan dari desentralisasi. Di pihak lain, perlu disadari beberapa kerugian yang dapat muncul dari desentralisasi pengelolaan sumberdaya air. Desentralisasi dapat mendatangkan tiga bentuk kerugian, yakni mengurangi eksternalitas positif dan meningkatkan eksternalitas negatif; meningkatkan biaya artikulasi dan mengurangi keuntungan internal. Eksternalitas yang dimaksud merupakan dampak atau akibat tidak langsung yang ditimbulkan oleh pengelolaan sumberdaya air terhadap lingkungan secara keseluruhan. Eksternalitas pengelolaan sumberdaya air dapat bersifat positif misalnya dalam bentuk dukungan bagi perkembangan ekonomi masyarakat, tingkat kesehatan rata-rata masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup. Desentralisasi pengelolaan sumberdaya air dalam bentuk otonomi daerah akan dapat mengurangi eksternalitas tersebut bila kepentingan masing-masing daerah tidak bisa saling dipertemukan untuk memaksimalkan nilai kegunaan sumberdaya air yang tersedia guna mendukung perkembangan ekonomi, kesehatan dan kelestarian lingkungan hidup. Sebaliknya, eksternalitas negatif yang timbul akibat degradasi sumberdaya air menjadi semakin sulit ditanggulangi dalam sistem pengelolaan yang terdesentralisasi. Artikulasi merupakan proses yang menghubungkan tindakan unit yang satu dengan tindakan dari unit-unit lainnya (Benveniste, 1989:230). Desentralisasi akan meningkatkan biaya artikulasi dalam arti akan lebih banyak waktu, energi serta biaya yang diperlukan untuk mengkoordinasikan bagian-bagian yang masing-masing memiliki otonomi. Pemborosan dapat terjadi bila terdapat duplikasi dalam pelayanan. Selain itu, konflik antar bagian lebih mudah terjadi. Dalam pengelolaan sumberdaya air, biaya artikulasi akan menjadi tinggi untuk menangani urusan-urusan yang bersifat lintas daerah, seperti pengamanan catchment area, penanggulangan erosi, penyusunan

rencana tata pengaturan air dalam satu sungai yang melintasi dua atau lebih daerah otonom dan sebagainya. Keuntungan internal dapat diperoleh oleh kesatuan sistem pengelolaan, misalnya pembangunan suatu sistem jaringan irigasi akan membutuhkan satuan wilayah tertentu yang secara minimal memenuhi skala ekonomi yang dibutuhkan sehingga tercapai efisiensi biaya. Desentralisasi yang mengabaikan prinsip ini akan berdampak pada pengurangan atau hilangnya keuntungan internal yang seharusnya dapat diperoleh. Bentuk keuntungan internal lain adalah standardisasi dan simplifikasi norma-norma adminsitratif yang tidak perlu dihilangkan karena alasan desentralisasi. Desentralisasi atau Sentralisasi ? Dengan mencermati segi-segi menguntungkan dan merugikan dari proses desentralisasi, menjadi jelas bahwa tidak semua hal dalam pengelolaan sumberdaya air yang akan menjadi lebih baik bila dikelola secara terdesentralisasi. Secara teoritis, sentralisasi dan desentraalisasi memang berada dalam suatu kontinum (Benveniste, 1989: 234). Disamping itu terdapat kondisi dan persyaratan yang harus dipenuhi untuk memetik keuntungan dari masing-masing pilihan tersebut. Sentralisasi dalam hal ini dapat berarti terpusat di tingkat nasional atau dalam satu Satuan Wilayah Sungai (SWS). Sementara desentralisasi berarti menyerahkan sebagian kewenangan ke tingkat daerah otonom, baik di tingkat propinsi maupun kabupaten dan kota. Dalam Tabel 1 dicoba diidentifikasi hal-hal dalam pengelolaan sumberdaya air yang cocok untuk sentralisasi dan desentralisasi, misalnya dalam kasus pengelolaan sungai dan sistem irigasi. <Top> Peluang, Ancaman dan Tantangan Dengan memusatkan perhatian pada aspek-aspek urusan yang cocok untuk didesentralisasi, ada dua peluang yang memberi harapan untuk menemukan jalan keluar bagi permasalahan pengelolaan sumberdaya air. Pertama, desentralisasi akan memungkinkan terpenuhinya biaya Operasi dan Pemeliharaan (O&P) untuk pendaya-gunaan sumberdaya air dalam jumlah yang lebih memadai dan berkorelasi langsung dengan tingkat pelayanan yang diberikan. Contoh paling jelas untuk peluang ini adalah desentralisasi pengelolaan jaringan irigasi, baik dengan menyerahkan semua urusa pengelolaan jaringan irigasi ke para petani pemakai air (P3A) maupun dinas pengairan di daerah otonom. Langkah desentralisasi ini sudah dimulai sejak menjelang akhir tahun 1980-an tetapi masih banyak menghadapi hambatan. Hambatan yang muncul kebanyakan disebabkan karena terlalu terpaku pada proses persiapan dan pelaksanaan penyerahan kewenangan. Pada hal disamping hambatan tersebut, sebenarnya sudah menunggu ancaman dari periode pasca

penyerahan berupa kegagalan lembaga pengelola untuk menjalankan otonominya dalam pengelolaan jaringan irigasi. Kedua, desentralisasi akan meningkatkan efektivitas pengelolaan di tingkat lokal melalui fleksibelitas yang lebih besar bagi pihak pengelola lokal untuk menyesuaikan bentuk kelembagaan maupun fungsinya dengan kebutuhan dan kondisi setempat. Dalam kasus pengelolaan jaringan irigasi, kebebasan untuk menemukan bentuk dan fungsi kelembagaan P3A sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lokal akan menghilangkan kekakuan aturan pusat yang merupakan salah satu sumber kegagalan berfungsinya lembaga pengelola lokal selama ini. Dua peluang tersebut merupakan peluang pokok yang jika dapat dimanfaatkan dengan baik akan memunculkan peluang-peluang ikutan lainnya, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Terpenuhinya biaya O&P secara memadai misalnya akan memecahkan kendala keterbatasan pembiayaan pengelolaan sumberdaya air sehingga pada gilirannya akan menjamin kelangsungan pelayanan air bagi berbagai jenis penggunaan. Eksternalitas positif akan dengan sendirinya muncul dari peningkatan pelayanan air tersebut. Begitu juga, efektivitas kelembagaan pengelola sumberdaya air di tingkat lokal akan berdampak pada perbaikan pelayanan air dan menjamin kelansungannya. Disamping peluang, terdapat ancaman yang secara potensial akan muncul oleh proses desentralisasi. Seperti telah disinggung di muka, ancaman yang dimaksud pada dasarnya muncul dari kegagalan menaggulangi sejumlah kerugian yang timbul karena proses desentralisasi. Ancaman pertama akan muncul dalam bentuk beban pembiayaan lebih berat dan melampaui proporsi yang harus dipikul oleh masyarakat pengguna air di lokasi setempat. Ancaman ini muncul oleh orientasi berlebihan pemerintah daerah otonom setempat untuk menghimpun sumber-sumber pembiayaan Pendapatan Asli daerah (PAD) agar mampu menyelenggarakan otonomi daerah. Meningkatnya beban pembiayaan sejauh dimanfaatkan hanya dalam rangka otonomi pengelolaan sumberdaya air dapat dipahami dan diterima secara wajar. Tetapi dalam praktek dapat terjadi hilangnya korelasi langsung antara beban yang dipungut dan tingkat pelayanan yang diberikan karena pemanfaatan untuk hal-hal lain yang tidak berkaitan dengan urusan pengelolaan sumberdaya air. Orientasi semacam ini bisa dihilangkan jika proses artikulasi dalam sistem pengelolaan secara utuh dapat berjalan efektif sehingga tindakan yang bersifat sepihak oleh pemerintah daerah otonom dapat diimbangi oleh reaksi berlawanan dari bagian lain yang akan dirugikan. Ancaman ke dua adalah meningkatnya konflik antar daerah otonom, khususnya untuk sumberdaya air yang pengelolaannya bersifat lintas daerah. Hal ini bisa dipahami mengingat perbedaan kepentingan atau preferensi antar daerah yang dapat meruncing karena didukung oleh menguatnya basis kewenangan masing-masing. Kunci untuk mengurangi

potensi konflik ini adalah membatasi kewenangan masing-masing daerah untuk hal-hal yang bersifat lintas daerah. Dengan kata lain, dalam hal-hal semacam itu, sentralisasi di tingkat SWS akan lebih bermanfaat dibanding desentralisasi. Ancaman ketiga akan timbul dari kegagalan menindak-lanjuti proses desentralisasi atau dengan kata lain mengisi otonomi daerah dengan praktek pengolaan yang sesuai dengan porsi kewenangan yang telah diterima. Jika kegagalan ini terjadi hasil yang dipetik akan merupakan back fire yang akan semakin memerosotkan kinerja pengelolaan sumberdaya air dengan segala akibatnya. Selain persiapan yang matang tetapi juga tidak menjebak dalam kerumitan-kerumitan baru, perhatian yang besar harus diarahkan pada upaya-upaya penanggulangan masalah pada periode pasca penyerahan kewenangan. Berdasar tinjauan terhadap peluang dan ancaman di atas, dapat diidentifikasi tantangan-tantangan yang harus ditanggulangi agar proses desentralisasi untuk mewujudkan otonomi daerah dapat memberikan makna yang produktif untuk meningkatkan kinerja pengelolaan sumberdaya air. Pertama, pemetaan masalah secara komprehensif dan rinci untuk memperoleh gambaran sejelas-jelasnya hal-hal apa yang darus didesentralisasi dan apa yang tetap harus dipertahanakan secara terpusat pada tingkat yang mana sebagai dasar konsepsional penyelenggaraan otonomi daerah yang meyangkut pengelolaan sumberdaya air. Kedua, sosialisasi dan pendekatan ke pihak-pihak terkait (stakeholder) untuk memproses lahirnya komitmen yang kuat bagi penyelenggaraan otonomi daerah yang kondusif dan mampu meningkatkan kinerja pengelolaan sumberdaya air. Ketiga, merumuskan strategi dan program-program yang berkesinambungan untuk mewujudkan komitmen-komitmen yang diperoleh di tengah proses persiapan dan penyelenggaraan otnomi daerah yang kini dilakukan oleh berbagai pihak. Ke empat adalah segera terjun dalam tindakan praktis untuk mengupayakan perwujudan otonomi daerah sesuai konsep, strategi dan program yang telah dipersiapkan. Untuk mendukung semua upaya dalam rangka menjawab tantangan tersebut secara internal perlu digalang komunikasi dan kerjasama yang produktif dikalangan para penggiat, pemerhati dan mereka yang memiliki kepedulian terhadap masalah sumberdaya air. <Top> Penutup Dalam UU N0 22 Tahun 1999, kewenangan dalam pendaya-gunaan sumberdaya alam yang berarti mencakup sumberdaya air masih belum termasuk kewenangan yang diserahkan ke daerah dalam rangka otonomi daerah. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena belum terdapat gambaran yang jelas hal-hal apa yang dapat diserahkan ke daerah tanpa menimbulkan dampak yang merugikan. Ini sesuai dengan tantangan pertama yang telah dikemukakan dan menjadi tugas pertama yang harus

dilaksanakan oleh mereka yang memiliki kepedulian terhadap masalah sumberdaya air dalam rangka mendukung perwujudan otonomi daerah. Kejelasan atas masalah ini niscaya juga akan ikut mengurangi kebingungan yang saat ini sedang melanda banyak pihak terkait dalam pengelolaan sumberdaya air, baik di lingkungan internal birokrasi pemerintah maupun yang ada di luar. Dalam situasi seperti ini dituntut peran aktif para penggiat di bidang sumberdaya air yang memiliki pemahaman terhadap masalah-masalah sumberdaya air. Jika tidak, arus desentralisasi akan lebih banyak ditentukan oleh mereka yang kurang banyak memahami masalah-masalah sumberdaya air sehingga mungkin akan justru merugikan kepentingan pengelolaan sumberdaya air sendiri. <Top> DAFTAR PUSTAKA 1. Benveniste, GUY, 1989. Birokrasi. Rajawali Pers. Jakarta 2. Pasandaran, Efendi. 1991. Irigasi di Indonesia : Strategi dan Pengembangan. LP3ES. Jakarta. 3. Sofer, Cyril. 1973. Organizations in Theory and Practice. Heinemann Educational Books Ltd. London. 4. Anonim. 1999. Undang-undang Ri No 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. CV Mini jaya Abadi. Jakarta.

Source: http://psdal.lp3es.or.id

Sumber Air Tinggal 10 Persen AIR merupakan sumber kehidupan. Keberadaannya sangat urgen dan melekat dalam menunjang kelangsungan semua makhluk hidup. Tanpa air (tidak minum) manusia hanya bisa bertahan hidup dalam beberapa hari saja. Sedangkan tanpa makan manusia masih bisa bertahan hidup sampai beberapa minggu. Dalam keseharian manusia membutuhkan air untuk keperluan minum, mandi, mencuci dan lain-lain. Dalam bidang kehidupan ekonomi modern, air juga merupakan hal utama untuk budidaya pertanian, industri, pembangkit tenaga listrik, dan transportasi. Dalam pandangan agama air menjadi kunci utama dalam hal beribadah (thoharoh). Lantas bagaimana situasi dan kondisi air saat ini, mengapa harus repot? Air sebagai suatu sumber daya, seperti halnya bahan bakar, dari waktu ke waktu terus mengalami penyusutan dan pengurangan baik kualitas maupun kuantitasnya, ujar Koordinator Kelompok Kerja Komunikasi Air (K3A) Dine Andriani. Karena itu, kami merasa perlu dan peduli melakukan kampanye masalah air sehingga keberadaan air tidak membawa bencana. Sejak pertengahan 2005 Kelompok Kerja Komunikasi Air (K3A) getol melakukan kampanye air dari berbagai aspeknya mulai masalah banjir, penyediaan air bersih, dan masalah konservasi sumber daya air (SDA). Bentuk kegiatannya antara lain berupa talk show, temu media, media visit, semiloka, media gathering, dan community campaign dengan melibatkan masyarakat secara langsung. Tujuannya, menurut Dine, dari rangkaian kegiatan kampanye peduli air itu diharapkan dapat menginventarisasi berbagai masalah air dan antipasi penyelesaian masalah dengan melibatkan pihak-pihak terkait. Terutama adanya pemahaman, kesadaran, dan keterlibatan masyarakat, ujar Dine. Kondisi lingkungan Menurut Dine, kondisi lingkungan hidup di Jawa Barat saat ini sudah sangat memprihatinkan sehingga memberi pengaruh besar terhadap kualitas dan kuantitas air. Air permukaan rusak tercemar baik oleh limbah domestik maupun limbah non-domestik. Sedangkan air tanah, selain tercemar, kondisinya semakin menurun akibat eksploitasi secara intensif dan tidak terkendali terutama di daerah-daerah industri. Kekhawatiran senada juga disampaikan Dr. Mubiar Purwasasmita, Ketua Dewan Pakar DPKLTS. Menurutnya, selain curah hujan menurun, temperatur semakin tinggi, juga kondisi air hujan semakin asam (pH 3,5)

Sungai di Kota Bandung berjumlah 46 buah dengan panjang 268 km dan 77 mata air saat ini berada dalam keadaan sekarat. Kota Bandung tengah menghadapi masalah kekeringan kota. Muka air tanah sudah sangat menurun, dalam sepuluh tahun terakhir ini muka air tanah dangkalnya telah menurun hingga 10 meter dan air tanah dalamnya mencapai 80 meter, akibatnya terjadi landsubsidence sedalam dua meter, ujar Mubyar dalam suatu kesempatan kegiatan K3A. Kondisi ini, lanjut Mubyar, diperparah dengan kerusakan di Kawasan Bandung Utara (KBU) yang telah mencapai 70 persen. Kawasan ini merupakan kawasan lindung dan daerah tangkapan air hujan (water catchment area) bagi cekungan Bandung dengan potensi 0,25 x 1,2 miliar m3/tahun, merupakan 60 persen dari sumber pasokan air tanah Kota Bandung serta merupakan infrastruktur alam untuk memelihara kestabilan iklim mikro Kota Bandung. Secara teoritis, apabila fungsi kawasan lindung di hulu sub DAS sungaisungai kecil Kota Bandung dapat dipulihkan, sebenarnya Kota Bandung tidak perlu mengalami kekeringan dan dapat memenuhi kebutuhan air warganya sepanjang tahun. Namun, dengan kondisi kawasan lindung yang rusak, saat terjadi hujan, tidak ada air yang tersimpan atau meresap ke dalam tanah karena langsung melimpas. Penelitian menunjukkan bahwa potensi air yang bisa dimanfaatkan di musim kemarau tinggal 10 persen saja atau 28.750.000 m3/tahun. Itu pun kualitasnya sangat jelek karena tercemar oleh limbah, padahal kebutuhannya sudah mencapai 182.500.000 m3/tahun. Jadi, sudah sangat defisit. Apalagi prediksi National Geographic, pada tahun 2015 Kota Bandung berpenduduk 5,3 juta jiwa dengan kebutuhan air bersihnya 386.900.000 m3/tahun, maka krisi air bersih menjadi ancaman yang tak terhindarkan. Menurut H. Us Tiarsa, Ketua PWI Jabar yang terlibat menjadi pembicara pada semiloka K3A pekan silam, kekurangan air bagi warga Kota Bandung bukan hal yang mustahil. Karena pada zaman kolonial Belanda, Kota Bandung hanya diperuntukkan bagi 600 ribu penduduk dan kini jumlah sudah mencapai 3,5 juta. Karena itu, munurut Mubiar, penataan kembali ekosistem harus dimulai dengan pemulihan infrastruktur alam berupa hutan, sungai, danau, pesisir, dan sejenisnya. Infrastruktur buatan hendaknya dibangun justru untuk menguatkan dan menjaga kesinambungan manfaat infrastruktur alam, bukan untuk menggantikannya, karena investasi dan biaya operasi infrastruktur alam adalah yang paling murah. Gunakan phytotechnology atau teknologi ramah lingkungan lainnya untuk maksud tersebut. Secara khusus, Kota Bandung harus melakukan penataan ekosistemnya berdasarkan batas-batas alamnya sebagai bagian dari sebuah cekungan

alami cekungan Bandung, yang juga merupakan hulu dari sebuah daerah aliran sungai yang sangat penting yaitu Sungai Citarum. Secara regional Cekungan Bandung harus memiliki kawasan lindung seluas 54 persen, termasuk di dalamnya adalah Kota Bandung, sehingga pengkajian luasan hutan kota di Kota Bandung menjadi sangat menentukan. Potensi luas taman di Kota Bandung saat ini mencapai 115,25 ha, bila ditambah dengan potensi ruang terbuka hijau lainnya seperti jalur hijau, pemakaman, jalur tegangan tinggi, jalur kereta api, kawasan konservasi termasuk Punclut, pekarangan rumah, perkantoran dan industri seluruhnya bisa mencapai luas 8.336,48 ha. Ini berarti hampir separoh dari luas Kota Bandung yang mencapai 16.729 ha. Konsep ruang Kota Bandung pasca-reformasi mestinya merupakan sebuah kota hutan yang sangat ditentukan oleh jumlah dan jenis tegakkan pohonnya, dan bukan lagi kota taman sekedar untuk keindahan. Sumber : Cecep Sukmara, Kelompok Kerja Komunitas Air
Source: http://www.pdamtirtamayang.com

Kebutuhan air bersih Kota Bandung semakin meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan kota. Saat ini penyediaan air bersih diselenggarakan oleh PDAM, akan tetapi kapasitasnya belum bisa mencukupi seluruh kebutuhan warga kota, agar bisa mencukupi, maka sistem penyediaan air bersih tersebut perlu dikembangkan, salah satu diantaranya adalah dengan cara mencari sumber air baku yang barn. Sesumber air baku yang ada di Kota Bandung kapasitasnya sangat terbatas, oleh karena itu perlu dicarikan sesumber air baku barn yang berlokasi di wilayah Kabupaten Bandung (wilayah yang paling dekat dengan Kota Bandung). Dalam era Otonomi Daerah berdasarkan UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, pemerintahan Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan penuh dalam penyelenggaraan pemerintahannya, diantaranya didalam pengelolaan sumber daya air atau sesumber air untuk dijadikan salah satu sumber Pendapatan Ash Daerah. Pokok permasalahan yang dihadapi adalah adanya sesumber air yang akan digunakan sebagai sumber air balm secara bersama-sama antara PDAM Kabupaten Bandung dan PDAM Kota Bandung yang berlokasi di Wilayah Kabupaten Bandung serta perbedaan kepentingan antara "pemilik" sesumber air (Pemerintah Kabupaten Bandung dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat) dan "pemanfaat" (PDAM Kabupaten Bandung dan PDAM Kota Bandung). "Pemilik" sesumber air cenderung kearah kepentingan ekonomi (pemasukan PAD), sedangkan "pemanfaat" cenderung ke arah kepentingan sosial dan pelayanan masyarakat. Oleh karena itu perlu dirumuskan pola kerjasama yang saling menguntungkan dalam pengelolaan/pemanfaatan sesumber air yang akan digunakan sebagai sumber air baku bagi sistem penyediaan air bersih lintas batas Kabupaten/Kota dalam rangka Otonomi Daerah. Berdasarkan proyeksi jumlah penduduk Kota Bandung sampai dengan tahun 2015 sebesar 2.271.485 jiwa, kebutuhan air bersih mencapai sebesar 6.379 1/det. Saat ini kapasitas air bersih yang ada sebesar 3.183 1/clet, jadi kekurangan sebesar 3.196 l/det. Potensi sesumber air yang ada di Wilayah Kota Bandung sudah habis, maka untuk menutupi kekurangan kebutuhan tersebut diambil dari wilayah lain. Sesumber air yang berpotensi berada di Wilayah Kabupaten Bandung, yaitu dan Sungai Cikapundung dan Sungai Cisangkuy. Basil analisis SWOT, PDAM Kabupaten Bandung memiliki peluang besar, walaupun ada kelemahan/kendala internal. PDAM Kota Bandung memiliki peluang yang sangat baik. Sinergi kedua PDAM akan berpeluang besar dalam mengembangkan sumber air bersama. Untuk mengelola sesumber air yang ada di Wilayah Kabupaten Bandung, dan akan dijadikan sebagai

sumber air balm bagi PDAM Kabupaten Bandung dan PDAM Kota Bandung, perlu dibentuk Badan Thalia Milik Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang berbadan hukum, yaitu Perseroan Terbatas (PT), dengan sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Kabupaten Bandung, dan Pemerintah Kota Bandung. Pemerintah Provinsi Jawa Barat memiliki saham terbesar, agar supaya bisa bertindak sebagai penengah bila ada perselisihan antara Pemerintah Kabupaten Bandung dengan Pemerintah kota Bandung.

Source: http://eprints.undip.ac.id

CIMAHI- Pemerintah Kota(Pemkot) Cimahi mendorong Pemerintah Provinsi(Pemprov)Jawa Barat, segera merealisasi program pengadaan air bersih yang sudah mulai diwacanakan sejak tahun lalu. Rencana tersebut yakni berupa pemanfaatan air waduk Saguling. Ketergangungan warga pada ketersediaan air bersih sangatlah besar, maka kami berharap kerjasama Pemkot dengan Pemprov Jabar melalui fasilitasi Kementerian Pekerjaan Umum ini cepat terwujud, ujar Kepala Bidang Penyehatan Lingkungan dan Pemukiman pada Dinas Penyehatan Lingkungan dan Kebersihan (DPLK) Kota Cimahi Ade Ruhiyat kepada wartawan belum lama ini. Menurut Ade, penggunaan air waduk Saguling dapat menjadi alternatif penyediaan air bersih di Kota Cimahi. Sedangkan rencananya, Cimahi bakal mengambil air waduk Saguling dengan debit sekitar 800 liter/detik. Pengadaan air bersih dari waduk Saguling ini tak hanya untuk Kota Cimahi, namun daerah lain di Jawa Barat, sedangkan pemerintah daerah (Pemda) berkewajiban untuk membuatkan jaringan pipa untuk mengalirkan air dari reservoir menuju rumah penduduk, katanya. Dikatakannya, selain untuk mengatasi kritis sumber air bersih, pemanfaatan air waduk Saguling juga diperlukan guna mengejar target program Millenium Development Goal's (MDG's), dimana program tersebut menargetkan cakupan layanan penyediaan air bersih sebesar 50 persen dari jumlah penduduk. Data yang diperoleh, saat ini layanan air bersih di Kota Cimahi baru sekitar 31 persen, bersumber dari PDAM Tirta Raharja sebesar 17 persen dan pengadaan air bersih lainnya seperti pengadaan air bersih melalui program instalasi pengelolaan air sederhana (IPAS) sekitar 14 persen. Sementara itu sedikitnya ada sepuluh titik rawan daerah kurang air bersih di Kota Cimahi, di antaranya meliputi Kelurahan Cipageran, Cibabat, Cibeureum, dan Kelurahan Cigugur.(caf)

Source:

http://radarbandung.co.id

JAKARTA, KOMPAS.com - Kesulitan air bersih yang menimpa masyarakat di Bandung merupakan sebuah ironi di tengah keadaan tanah Bandung yang seharusnya subur. Pikiran dasar seperti itulah yang kemudian diangkat wartawan Pikiran Rakyat,Zaky Yamani, dan akhirnya memenangkan Mochtar Lubis Fellowship 2010. "Bandung dulu tempat yang subur, tapi ternyata sulit air. Bahkan di tengah kota, ada orang harus ambil dari air comberan karena sudah tidak ada lagi air bersih," ujar Zaky saat menerima penghargaan Mochtar Lubis Award 2010, Kamis (22/7/2010), di Jakarta. Mochtar Lubis Award 2010 adalah penghargaan tahunan yang tahun 2010 ini baru ketiga kalinya. Lazim diketahui, Mochtar Lubis (1922-2004) adalah nama besar dalam jurnalisme di Indonesia. Pemimpin Harian Indonesia Raya itu setia membela kepentingan publik lewat pemberitaan yang gencar dalam melawan korupsi dan sejenisnya. Zaky Yamani mengaku, proposal untuk mengungkap tentang krisis air bersih di Bandung ini sudah dipersiapkan sejak dua tahun lalu. "Sebelumnya pernah diterbitkan pada tahun 2006 tapi saya lihat masih banyak kurang dan perlu dikembangkan," ujar Zaky. Proposal bertajuk "Para Pemburu Air: Kesalahan Pengelolaan Air Bersih di Kota Bandung dan Dampak Sosial yang Diakibatkannya" itu akhirnya mendapat Mochtar Lubis Fellowship 2010. Dengan begitu, Zaky berhak melanjutkan laporan jurnalistiknya dengan bantuan dari Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) dan akan diterbitkan dalam bentuk buku. Perwakilan dewan juri, Toriq Hadad, menilai, karya yang menang untuk kategori ini lebih memfokuskan pada unsur kepentingan publik yang digali. "Bobot kepentingan publik sampai 10," ujar Toriq. Variabel penilaian lain dalam kategori ini adalah magnitude keluasan perhatian publik pada topik kelengkapan proposal, tingkat kesulitan, dan metode kerja yang digunakan. Kegiatan semacam ini untuk memacu prestasi para wartawan agar menghasilkan karya-karya jurnalistik terbaik yang berguna untuk kepentingan publik. Di tahun ini, panitia menyeleksi 32 karya berita pelayanan publik, 69 karya features, 63 karya foto jurnalistik, 27 karya investigasi, dan 21 karya liputan mendalam bagi wartawan televisi.

Source: http://regional.kompas.com

Bandung, JM--Tingginya urbansasi dan jumlah penduduk yang semakin bertambah tidak sebanding dengan daya tampung dan daya dukung lingkungan sehingga berakibat timbul pemukiman padat dan kumuh, sehingga diperlukan program percepatan pembangunan sanitasi. Luas Kota Bandung 16.729.650 Ha dengan jumlah penduduk 2,5 Juta Jiwa, mempunyai kepadatan 156 Jiwa/Ha, menjadikan sumber air baku untuk air bersih dari hari kehari menjadi semakin langka, PDAM sebagai penyedia layanan air bersih belum mampu memenuhi kualitas standar baku, baru mencapai cakupan pelayanan 52% untuk Kota Bandung. Dikatakan Wakil Walikota Bandung, Ayi Vivananda, Kebutuhan sanitasi kota seiring dengan jumlah pertambahan penduduk, kelahiran dan migrasi, diperumahan kumuh, pemukiman padat dan bantaran sungai air baku terindikasi tercemar 40%, salah satunya dengan bakteri e-coli Katanya saat membuka Konsultasi Publik Strategi Sanitasi Kota Bandung di Auditorium Rosada, Jalan Wastukancana No.2 Bandung (10/12) Taufik Rachman ketua pelaksana Pokja Sanitasi Kota Bandung, melaporkan Kota Bandung sebagai kota metropolitan dihadapkan dengan berbagai permasalahan, salah satunya permasalahan serius kondisi sanitasi lingkungan kota yang merupakan kombinasi persoalan dari keterbatasan infrastruktur, ekonomi, Lingkungan serta sosial budaya, Sungai Cikapundung salah satu sumber air baku andalan masyarakat Kota Bandung, tercemar limbah cair domestik dan sampah dari sebagian masyarakat yang belum paham tentang pentingnya sanitasi yang baik serta kurangnya sarana dan prasarana sehingga dikhawatirkan berpengaruh menurunnya derajat kesehatan masyarakat, katanya. Ayi menjelaskan dengan menjaga lingkungan sesungguhnya mengurangi biaya kesehatan, Persoalan sanitasi yang kurang memadai menjadi isu lingkungan yang berpotensi menyebabkan penyakit, dan area yang beresiko tinggi sanitasi umumnya di daerah pemukiman kumuh dan sepadan sungai ungkapnya Sekretaris Pokja Sanitasi Kota Bandung, Gunadi Sukma Bhinekas menyampaikan isu pokok dalam pembangunan sanitasi Kota Bandung, Rendahnya tingkat pemenuhan kebutuhan sanitasi yang layak, menurunnya kualitas sanitasi kota bandung, terbatasnya akses masyarakat berpenghasilan rendah terhadap sumber daya sanitasi, masih rendahnya kemampuan masyarakat dalam pembangunan sanitasi serta belum terintegrasinya pengembangan sanitasi kota bandung menjadi isu pokok sanitasi, lapornya. Gunadi melanjutkan dampak dari buruknya sanitasi, Akibat sanitasi yang buruk khususnya sektor drainase lingkungan dan persampahan dapat menyebabkan penyakit diare, ISPA, TBC, FLU dan tingkat penyakit demam berdarah yang tinggi Jelasnya.

Didalam laporannya ketua tim penggerak PKK Kota Bandung diwalikili Ida Gunadi menyampaikan, sebagai bagian pokja, organisasi TP PKK memiliki struktur yang lengkap di seluruh wilayah kota, sebagai motivator dan penyampai informasi mengenai pembangunan sanitasi dengan menggerakan kader2 sebagai relawan, mengingat TP PKK memahami kaum perempuan, Sampainya.
Source: http://www.satuportal.net

Air bersih adalah salah satu jenis sumberdaya berbasis air yang bermutu baik dan biasa dimanfaatkan oleh manusia untuk dikonsumsi atau dalam melakukan aktivitas mereka sehari-hari termasuk diantaranya adalah sanitasi[1]. Untuk konsumsi air minum menurut departemen kesehatan, syarat-syarat air minum adalah tidak berasa, tidak berbau, tidak berwarna, dan tidak mengandung logam berat. Walaupun air dari sumber alam dapat diminum oleh manusia, terdapat risiko bahwa air ini telah tercemar oleh bakteri(misalnya Escherichia coli) atau zat-zat berbahaya. Walaupun bakteri dapat dibunuh dengan memasak air hingga 100 C, banyak zat berbahaya, terutama logam, tidak dapat dihilangkan dengan cara ini.
Daftar isi
[sembunyikan]

1 Sumber air bersih 2 Penyalah gunaan dan pencemaran air

o
bersih

2.1 Akibat ketiadaan air

3 Kontroversi air bersih 4 Lihat pula 5 Referensi

[sunting]Sumber Sungai

air bersih

Rata-rata lebih dari 40.000 kilometer kubik air segar diperoleh dari sungai-sungai di dunia. Ketersediaan ini (sepadan dengan lebih dari 7.000 meter kubik untuk setiap orang) sepintas terlihat cukup untuk menjamin persediaan yang cukup bagi setiap penduduk, tetapi kenyataannya air tersebut seringkali tersedia di tempat-tempat yang tidak tepat. Sebagai contoh air bersih di lembah sungai Amazon walupun ketersediaannya cukup, lokasinya membuat sumber air ini tidak ekonomis untuk mengekspor air ke tempat-tempat yang memerlukan. Curah hujan

Dalam pemanfaatan hujan sebagai sumber dari air bersih, individu perorangan/ berkelompok/ pemerintah biasanya membangun bendungan dan tandon air yang mahal untuk menyimpan air bersih di saat bulan-bulan musim kering dan untuk menekan kerusakan musibah banjir.

Air permukaan dan air bawah tanah.

[sunting]Penyalah

gunaan dan pencemaran air

Sumber-sumber air bersih ini biasanya terganggu akibat penggunaan dan penyalahgunaan sumber air seperti:

1.

Pertanian. Penghamburan air akibat ketiadaannya penyaluran air yang baik pada

lahan yang diairi dengan irigasi (untuk penghematan dalam jangka pendek) dapat berakibat terjadinya kubangan dan penggaraman yang akhirnya dapat menyebabkan hilangnya produktivitas air dan tanah[2] 2. Industri. Walaupun industri menggunakan air jauh lebih sedikit dibandingkan dengan

irigasi pertanian, namun penggunaan air oleh bidang industri mungkin membawa dampaknya yang lebih parah dipandang dari dua segi. Pertama, penggunaan air bagi industri sering tidak diatur dalam kebijakan sumber daya air nasional, maka cenderung berlebihan. Kedua, pembuangan limbah industri yang tidak diolah dapat menyebabkan pencemaran bagi air permukaan atau air bawah tanah, seihingga menjadi terlalu berbahaya untuk dikonsumsi. Air buangan industri sering dibuang langsung ke sungai dan saluran-saluran, mencemarinya, dan pada akhirnya juga mencemari lingkungan laut, atau kadang-kadang buangan tersebut dibiarkan saja meresap ke dalam sumber air tanah tanpa melalui proses pengolahan apapun. Kerusakan yang diakibatkan oleh buangan ini sudah melewati proporsi volumenya. Banyak bahan kimia modern begitu kuat sehingga sedikit kontaminasi saja sudah cukup membuat air dalam volume yang sangat besar tidak dapat digunakan untuk minum tanpa proses pengolahan khusus. 3. Eksploitasi sumber-sumber air secara masal oleh rumah tangga.

* Di negara berkembang: Di beberapa tempat di negara bagian Tamil Nadu di India bagian selatan yang tidak memiliki hukum yang mengatur pemasangan penyedotan sumur pipa atau yang membatasi penyedotan air tanah, permukaan air tanah anjlok 24 hingga 30 meter selama tahun 1970-an sebagai akibat dari tak terkendalikannya pemompaan atau pengairan. Pada sebuah konferensi air di tahun 2006 wakil dari suatu negara yang kering melaporkan bahwa 240.000 sumur pribadi yang dibor tanpa mengindahkan kapasitas jaringan sumber air mengakibatkan kekeringan dan peningkatan kadar garam. * Di negara maju seperti Amerika Serikat seperlima dari seluruh tanah irigasi di AS tergantung hanya pada jaringan sumber air (Aquifer) Agallala yang hampir tak pernah menerima pasok secara alami. Selama 4 dasawarsa terakhir terhitung dari tahun 2006, sistem jaringan yang tergantung pada sumber ini meluas dari 2 juta hektar menjadi 8 juta, dan kira-kira 500 kilometer kubik air telah tersedot. Jaringan sumber ini sekarang sudah setengah kering kerontang di bawah sejumlah negara bagian. Sumber-sumber air juga

mengalami kemerosotan mutu, di samping pencemaran dari limbah industri dan limbah perkotaan yang tidak diolah, seperti pengotoran berat dari sisa-sisa dari lahan pertanian. Misalnya, di bagian barat AS, sungai Colorado bagian bawah sekarang ini demikian tinggi kadar garamnya sebagai akibat dari dampak arus balik irigasi sehingga di Meksiko sudah tidak bermanfaat lagi, dan sekarang AS terpaksa membangun suatu proyek besar untuk memurnikan air garam di Yuma, Arizona, guna meningkatkan mutu sungainya. Situasi di wilayah perkotaan jauh lebih jelek daripada di daerah sumber dimana rumah tangga yang terlayani terpaksa merawat WC dengan cara seadanya karena langkanya air, dan tanki septik membludak karena layanan pengurasan tidak dapat diandalkan, atau hanya dengan menggunakan cara-cara lain yang sama-sama tidak tuntas dan tidak sehat. Hal ini tidak saja mengakibatkan masalah bagi penggunanya sendiri, tetap juga sering berbahaya terhadap orang lain dan merupakan ancaman bagi lingkungan karena limbah mereka lepas tanpa proses pengolahan. [sunting]Akibat

ketiadaan air bersih

Program percontohan penyediaan air bersih melalui sambungan saluran rumah tangga olehUSAID dan ESP.

Ketiadaan air bersih mengakibatkan:

1.

Penyakit diare[3]. Di Indonesia diare merupakan penyebab kematian kedua

terbesar bagi anak-anak dibawah umur lima tahun. Sebanyak 13 juta anakanak balita mengalami diare setiap tahun. Air yang terkontaminasi dan pengetahuan yang kurang tentang budaya hidup bersih ditenggarai menjadi akar permasalahan ini. Sementara itu 100 juta rakyat Indonesia tidak memiliki akses air bersih [4].

2. 3.

Penyakit cacingan[5]. Pemiskinan. Rumah tangga yang membeli air dari para penjaja membayar

dua kali hingga enam kali dari rata-rata yang dibayar bulanan oleh mereka yang mempunyai sambungan saluran pribadi untuk volume air yang hanya sepersepuluhnya [6]

[sunting]Kontroversi

air bersih

Walaupun air meliputi 70% permukaan bumi dengan jumlah kira-kira 1,4 ribu juta kilometer kubik, namun hanya sebagian kecil saja dari jumlah ini yang dapat benar-benar dimanfaatkan, yaitu kira-kira hanya 0,003%. Sebagian besar air, kira-kira 97%, ada dalam samudera atau laut, dan kadar garamnya terlalu tinggi untuk kebanyakan keperluan. Dari 3% sisanya yang ada, hampir semuanya, kira-kira 87 persennya,tersimpan dalam lapisan kutub atau sangat dalam di bawah tanah. Keributan masalah air bersih bisa terjadi dalam suatu negara, kawasan, ataupun berdampak ke benua luas karena penggunaan air secara bersama-sama. Di Afrika, misalnya, lebih dari 57 sungai besar atau lembah danau digunakan bersama oleh dua negara atau lebih; Sungai Nil oleh sembilan, dan Sungai Niger oleh 10 negara. Sedangkan di seluruh dunia, lebih dari 200 sungai, yang meliputi lebih dari separo permukaan bumi, digunakan bersama oleh dua negara atau lebih. Selain itu, banyak lapisan sumber air bawah tanah membentang melintasi batasbatas negara, dan penyedotan oleh suatu negara dapat menyebabkan ketegangan politik dengan negara tetangganya. Di seluruh dunia, kira-kira 20 negara, hampir semuanya di kawasan negara berkembang, memiliki sumber air yang dapat diperbarui hanya di bawah 1.000 meter kubik untuk setiap orang, suatu tingkat yang biasanya dianggap kendala yang sangat mengkhawatirkan bagi pembangunan, dan 18 negara lainnya memiliki di bawah 2.000 meter kubik untuk tiap orang. Penduduk dunia yang pada 2006 berjumlah 5,3 miliar diperkirakan akan meningkat menjadi 8,5 miliar pada tahun 2025 akan didera oleh ketersediaan air bersih. Laju angka kelahiran yang tertinggi justru terjadi tepat di daerah yang sumber-sumber airnya mengalami tekanan paling berat, yaitu di negara-negara berkembang.

Evaluasi Sumber Air Baku PDAM Bandung


Posted on September 25, 2010 by Chrysanthee

Rate This Sumber air baku IPA Dago Pakar berasal dari sungai Cikapundung, seperti yang telah dijelaskan di bab III. Pertambahan penduduk yang semakin hari semakin meningkat menyebabkan kebutuhan akan air bersih menjadi meningkat pula. Saat ini kondisi sungai Cikapundung telah banyak mengalami perubahan baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Dilihat dari segi kuantitas, setiap harinya debit yang masuk memang mampu mencapai 600 l/det. Akan tetapi, terkadang saat musim kemarau debit air mengalami penurunan. Kondisi ini memicu adanya kekurangan air produksi sehingga menyebabkan PDAM melakukan pengaliran secara bergiliran. Penurunan kuantitas ini disebabkan pula oleh perubahan kondisi topografi dan tata guna lahan di bagian hulu sungai Cikapundung. Bagian hulu sungai Cikapundung yang berada di daerah Lembang, banyak mengalami perubahan tata guna lahan. Saat ini area pinggiran sungai sudah banyak berubah menjadi perumahan-perumahan warga bahkan hingga beberapa meter ke badan sungai. Hal ini menyebabkan luas area sungai menyempit dari kapasitas seharusnya. Selain penyempitan badan sungai, terjadi pula kondisi pendangkalan akibat banyaknya sampah yang dibuang sembarangan ke sungai dan terjadinya algae blooming (eutrofikasi) akibat banyaknya limbah organik dari industri makanan yang berkembang di daerah hulu sungai. Pendangkalan dan penyempitan ini menyebabkan kapasitas penampungan air menjadi berkurang. Ketika musim kering debit akan berkurang, sedangkan saat musim basah (penghujan) debit menjadi berlebih dan tidak tertampung. Selain itu adanya masalah tersebut menyebabkan perubahan kualitas air baku. Biasanya saat musim penghujan, kekeruhan air meningkat disebabkan banyaknya lumpur (tanah yang tergerus air hujan) yang masuk ke badan air. Kondisi ini seringkali menyebabkan pihak IPA menaikkan dosis koagulan yang digunakan.

Masalah yang terjadi ini tidak hanya berhubungan dengan lingkungan saja tetapi juga berkaitan dengan masalah sosial kemasyarakatan. Masyarakat seyogyanya mampu berinteraksi dengan alam sesuai dengan kapasitas alam. Tidak berlebihan dalam mengeksploitasi alam dan mulai hidup sesuai dengan wawasan lingkungan. Pengaruh sosial ini pun berakaitan dengan ketersediaan air. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa pola hidup masyarakat dalam memelihara lingkungan di daerah hulu sungai kurang baik. Saat ini pihak PDAM Kota Bandung sedang giat mencari sumber air baku yang baru untuk memenuhi kebutuhan konsumen akan air bersih.
Source: http://chrysanthee.wordpress.com

Program Air Bersih dan Sanitasi


Akses terhadap air bersih dan sanitasi merupakan salah satu fondasi inti dari masyarakat yang sehat, sejahtera dan damai. Hampir 50 persen rumah tangga di wilayah perkotaan dan pedesaan di Indonesia kekurangan layanan-layanan dasar seperti ini. Sistem air bersih dan sanitasi yang baik akan menghasilkan manfaat ekonomi, melindungi lingkungan hidup, dan vital bagi kesehatan manusia. Masyarakat tidak selalu menyadari pentingnya kebersihan. Praktik-praktik kebersihan yang ada seringkali tidak kondusif bagi kesehatan yang baik, dan kakus tidak dipelihara atau digunakan dengan baik. Tingginya angka kejadian diare, penyakit kulit, penyakit usus dan penyakit-penyakit lain yang berasal dari air di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah tetap menjadi halangan yang seringkali terjadi dalam upaya meningkatkan kesehatan anak secara umum. Selain akses yang buruk terhadap air bersih, kegagalan untuk mendorong perubahan perilakukhususnya di kalangan keluarga berpenghasilan rendah dan penduduk di daerah kumuhtelah memperburuk situasi air bersih dan sanitasi di Indonesia. Sebuah studi Bank Dunia yang disebarluaskan bulan Agustus 2008 menemukan bahwa kurangnya akses terhadap sanitasi menyebabkan biaya finansial dan ekonomi yang berat bagi ekonomi Indonesia, tidak hanya bagi individu tetapi juga bagi sektor publik dan perdagangan. Sanitasi yang buruk, termasuk kebersihan yang buruk, menyebabkan sedikitnya 120 juta kasus penyakit dan 50.000 kematian dini setiap tahun, dengan dampak ekonominya senilai lebih dari 3,3 miliar dolar AS per tahun. Sanitasi yang buruk juga menjadi penyumbang signifikan dari polusi airyang menambah biaya air yang aman bagi rumah tangga, dan menurunkan produksi perikanan di sungai dan danau. Biaya ekonomi yang terkait dengan polusi air oleh karena sanitasi yang buruk saja telah melampaui 1,5 miliar dolar AS per tahun. Tahun 2006, Indonesia kehilangan 2,3 persen produk domestik bruto yang disebabkan oleh sanitasi dan kebersihan yang buruk. Sepanjang sejarahnya selama 10 tahun di Indonesia, IRD telah berada di garis depan dalam bekerja bersama masyarakatmasyarakat lokal untuk membangun dan memperbaiki infrastruktur air dan sanitasi, mendidik penduduk mengenai kebersihan yang lebih baik, berkontribusi pada perlindungan lingkungan hidup, dan membantu masyarakat memperoleh pendapatan dari penyediaan layanan-layanan dasar.

Baru-baru ini, Program Restorasi Masyarakat Perkotaan dan Pedesaan memperbaiki status kesehatan jangka panjang dari masyarakat yang terkena dampak tsunami, khususnya perempuan dan anak-anak, di propinsi Aceh melalui kombinasi antara peningkatan akses terhadap air bersih dan sanitasi dan pendidikan mengenai praktik-praktik kesehatan dan kebersihan yang baik. Berkolaborasi dengan UNICEF, pihak berwenang setempat, dan perusahaan penyedia layanan publik, IRD telah bekerja untuk menyediakan air bersih kepada lebih dari 300.000 penduduk.

Atas: Staf IRD dan pejabat setempat meletakkan batu pertama untuk sistem distribusi air yang baru. Bawah: Menguji hasilnya. Setiap intervensi oleh IRD dimulai dengan melibatkan pemerintah setempat dan tokoh-tokoh masyarakat untuk membangkitkan minat dan kepercayaan pada program serta pemikiran mengenai keberlanjutan program. Para penerima manfaat dari kegiatan IRD dilibatkan secara aktif dalam keseluruhan proses mulai dari perencanaan dan pembangunan hingga penyuluhan mengenai pengoperasian dan pemeliharaan sistem. Hal ini dicapai melalui pembentukan komite air desa, dimana penduduk memutuskan bagaimana cara menggalang sumbangan dari desa terhadap proyek tersebut. Ini biasanya dilakukan dengan menerapkan iuran bulanan dimana setiap rumah tangga menyumbang sejumlah kecil uang selama empat hingga enam bulan. IRD bekerja bersama komite tersebut untuk mengkaryakan dan mengatur kontraktor-kontraktor serta pekerja-pekerja lokal dan menyediakan pelatihan bagi para pekerja untuk membanguna atau merestorasi sistem pasokan air kecil, koneksi ke rumah-rumah, sistem sanitasi dan pembuangan, serta septic tank yang baik. Sebagian besar pekerjaan tersebut dilakukan secara manual, sehingga mengurangi biaya dan dampak terhadap lingkungan.

Atas: Mempraktekkan kebersihan yang baik di sebuah sekolah.

Instalasi-instalasai pengolahan air dan jaringan-jaringan distribusi air telah menghubungkan sekolah-sekolah dan rumah-rumah ke pasokan air yang berkesinambungan yang sebelumnya tidak ada. Di Aceh, IRD merestorasi dan memperbaiki empat sistem pasokan air besar bagi 197.000 penduduk. Pihak berwenang setempat, PDAM, diberi pelatihan untuk mengoperasikan dan memelihara sarana-sarana ini dengan baik. IRD juga bekerja bersama masyarakat di 20 desa untuk membangun sarana pasokan air dan sanitasi desa yang baik yang akan dijalankan dan dipelihara oleh masyarakat itu sendiri. Selain itu, sarana sanitasi air di 20 sekolah di desa-desa tersebut juga direhabilitasi. IRD melibatkan siswa dan tokoh masyarakat dalam mempromosikan kebersihan yang baik pada saat infrastruktur yang baru telah berfungsi. Tanpa pemahaman dan kesadaran akan praktik-praktik kebersihan yang baik, perbaikan infrastruktur saja tidak akan cukup untuk memelihara kesehatan dalam jangka panjang. IRD melatih bidan-bidan, baik di puskesmas maupun di tingkat desa, serta kelompok-kelompok perempuan dan komite-komite sanitasi air desa dalam hal metodologi peningkatan kebersihan. IRD melaksanakan program WASH di sekolah-sekolah setempat, melatih guru-guru dan siswa-siswa untuk menjadi pendidik sebaya mengenai prakti-praktik kebersihan yang baik dengan menggunakan metodologi pembelajaran aktif.

Siswa menggunakan drama, lagu dan tarian untuk mempromosikan kebersihan yang baik di sekolah dan dalam acara masyarakat setempat

Source: http://www.ird.or.id

You might also like