You are on page 1of 20

Mahasiswa Harus Bangun dan Pupuk Nasionalisme Lokal Konten Selasa, 13/09/2011 10:57 WIB haryadi 166 klik

lik Tegal, GMNI News - Mahasiswa sebagai intelektual muda yang merupakan generasi bangsa harus memiliki tekat bulat untuk menjaga dan melestarikan rasa nasionalisme. Khusus untuk mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) harus lebih mampu melahirkan dan mengembangkan rasa kebangsaan dan nasionalisme yang tercermin dari sikap dan perilaku keseharian. Demikian disampaikan Walikota Tegal H Ikmal Jaya SE Ak dalam sambutan singkatnya pada acara Halal Bi Halal dan Pelantikan Ketua GMNI cabang Kota Tegal, Heri Apriyanto, di pendopo Balaikota Tegal, Minggu 11 September 2011. Sebelum terjun ke masyarakat dan mentranformasikan semua ilmunya, mahasiswa harus lebih dulu memahami karakter dan jatidiri bangsa ini dalam bingkai Pancasila. Apalagi mahasiswa yang berada dalam GMNI, harus terpatri jelas di jiwanya rasa nasionalisme dan patriotic sejati serta menjunjung tinggi nilai-nilai pancasila, kata Ikmal. Hal senada disampaikan Ketua Presidium GMNI pusat Twedy Noviandi. Menurut Twedy, GMNI sebagai wadah gerakan mahasiswa hendaknya bisa menjadi kawah candradimukanya kaum intelektual muda untuk bersama-sama membangun bangsa dengan landasan nasionalisme yang kuat. Sementara, menurut panitia penyelenggara, Arif Nurfalah, selain dihadiri oleh ketua presidium GMNI pusat, gelar pelantikan GMNI cabang Kota Tegal itu juga dihadiri oleh unsur Departemen Pertanian dan Kelautan DPP PDI Perjuangan Damayanti Wisnu Putranti SIP. Juga dihadiri sejumlah ketua cabang GMNI dari Purwokerto, Semarang dan Cirebon. Sebagai ketua GMNI cabang Kota Tegal yang terlantik adalah Heri Apriyanto, salah seorang mahasiswa Universitas Pancasakti Tegal, jelas Arif.

http://www.gmninews.com/?news=berita&id=205

Nasionalisme & Mahasiswa Nasionalisme Kini dan Gerakan Mahasiswa


Dari preseden yang ada mengenai nasionalisme, musuh bersama menjadi sebuah kebutuhan jika nasionalsime ingin mempunyai tempat dalam kehidupan Indonesia. Namun pencarian terhadap musuh bersama ini tidaklah sekadar mencari subyek ataupun obyek yang sekadar dijadikan tumbal caci maki oleh civil society (yang di dalamnya terdapat juga gerakan mahasiswa), melainkan juga harus mencari subyek atau obyek yang memang harus dijadikan musuh bersama karena pengaruhnya yang buruk bagi masyarakat. Nasionalisme akan selalu berkaitan erat dengan masalah kedaulatan sebuah negara. Kedaulatan adalah sebuah hal yang mutlak dimiliki oleh sebuah negara dan tidak bisa diganggu gugat oleh negara atau pihak manapun. Pada perkembangan saat ini, kedaulatan negara tidaklah lagi menjadi hal yang mutlak untuk dipraktekkan. Karena dengan munculnya berbagai macam organisasi internasional (OI) dan

semakin kuatnya posisi tawar negara-negara maju di dalam OI tersebut, kedaulatan negara menjadi semakin kabur. Prinsip koordinatif yang dikembangkan ketika awal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) muncul menggantikan Liga Bangsa-bangsa (LBB) tidak lagi tegas jika sudah berhadapan dengan kepentingan negara-negara besar. Nasionalisme telah digantikan oleh globalisasi sedikit demi sedikit. Globalisasi yang lahir dari budaya sebuah bangsa, dan dijadikan budaya tunggal dunia. Indonesia terkena dampak dari globalisasi ini. Hukum positif Indonesia tidak lagi menjadi kewenangan legislatif, melainkan harus mematuhi regulasi internasional yang dihasilkan oleh OI yang dikontrol oleh negara-negara maju. Nasionalisme sebuah bangsa menentukan arah pergerakan bangsa tersebut kepada pilihan yang lebih buruk atau baik. Negara-negara maju pada saat ini menekankan pentingnya nasionalisme ketika mereka sedang berada dalam posisi sebagai negara sedang berkembang. Ketika posisi mereka berubah, nasionalisme mereka tidak ikut berubah dan justru berusaha menyebarkan nasionalisme mereka ke negara lain. Jadi, ketika muncul pertanyaan: masih relevankah nasionalisme untuk Indonesia, hal ini harus dijawab dengan mudah jika melihat preseden dan memiliki visi yang tegas mengenai bangsa ini. Bangsa yang tidak memiliki kedaulatan penuh atas wilayahnya, akan selalu menjadi bangsa kelas dua di lingkungan internasional, akan selalu menjadi bangsa konsumtif yang dependen terhadap negara lain. Kedaulatan penuh dapat diwujudkan jika masyarakat dalam suatu bangsa memiliki visi yang kuat untuk mengarahkan bangsanya menjadi lebih baik. Sebuah visi yang kuat dapat lahir jika dilandaskan dengan nasionalisme. Tanpa adanya nasionalisme, tidak akan ada visi, tidak akan ada kedaulatan, dan tidak akan ada perubahan bagi bangsa ini. Lalu bagaimana mahasiswa Indonesia (baca: mahasiswa UKSW) mewujudkan nasionalisme yang erat kaitannya dengan musuh bersama? Tindakan apa yang harus dilakukan oleh mahasiswa Indonesia? Berbagai cara diwujudkan oleh civil society dalam mencari musuh pada saat ini untuk menunjukkan nasionalisme mereka, terlepas dari kepentingan yang mereka usung. Ada yang melalui tindakan elitis, persuasif, underground, sampai pada taraf anarkis. Isu yang muncul pun semakin beragam seperti program peningkatan kualitas pendidikan, penghapusan utang luar negeri, nasionalisasi perusahaan multinasional, anti OI, dan lainnya. Tindakan mewujudkan nasionalisme melalui metode-metode dan isu-isu tersebut terjadi dengan mendasar pada kondisi yang berkembang pada saat ini. Mahasiswa Indonesia tidak harus terikat dengan metodemetode dan isu-isu yang ada. Kajian ilmiah menjadi sebuah keharusan bagi mahasiswa Indonesia yang merupakan civil society berbasis kaum intelektual untuk dapat mengidentifikasi musuh bersama yang ingin dikedepankan. Tanpa adanya kajian ilmiah yang mendalam, aksi dalam mengedepankan musuh bersama untuk membangkitkan kembali nasionalisme hanya akan menjadi aksi taktis yang tak ada kontinuitasnya. Kajian ini juga tidak hanya sekadar bergerak dalam isu-isu terkini saja, namun juga harus mampu mengantisipasi kemungkinan yang terjadi

pada masa yang akan datang, sehingga mahasiswa Indonesia tidak tergagap-gagap untuk menghadapi perubahan masyarakat yang drastis.

Mahasiswa dan Nasionalisme


Kajian ilmiah yang menjadi suatu keharusan bagi mahasiswa Indonesia dalam membangkitkan kembali nasionalisme, harus mampu diwujudkan jika mahasiswa Indonesia tidak ingin terjebak dalam romantisme masa lalu. Mahasiswa Indonesia harus sungguh-sungguh dalam mempersiapkan dan meningkatkan kualitas dirinya agar mampu membangkitkan kembali nasionalisme Indonesia. Ketika kualitas diri mahasiswa Indonesia meningkat dan kajian ilmiah semakin menguat, mahasiswa Indonesia (termasuk mahasiswa UKSW) akan mampu menjadi think tank bagi pergerakan nasionalisme di Indonesia. Semoga.

Nasionalisme Mahasiswa
Bentuk kecintaan kepada suatu Negara nya menjadi sebuah tanggungjawab yang seharusnya dimiliki oleh setiap warga Negara sebagai bentuk kontribusi terhadap wilayah tempat ia hidup dan berkehidupan. Sudah sewajaranya memang rasa cinta ini dikembangkan sejak dini untuk memberikan suatu semangat bela Negara dan semangat filantropi terhadap Negara tercinta. Makna mendalam ini tentunya bisa diimplementasikan dalam berbagai bentuk, akan tetapi semangat yang dibangun adalah semangat untuk senantiasa melakukan pengembangan diri dan pengembangan komunitas sebagai bentuk kecintaan terhadap Negara. Pemuda saat ini mempunya berbagai perspektif tentang apa itu cinta tanah air. Luasnya spectrum perspektif ini dikarenakan adanya suatu ketidakpercayaan pemuda terhadap negaranya sendiri. Hal ini bisa terbangun akibat pemuda tidak merasakan langsung apa yang telah diberikan oleh Negara untuk dirinya. Tentu sangat disayangkan jika semangat nasionalisme ini tidak terbangun, bisa jadi di masa yang akan datang, Indonesia akan diisi oleh orang-orang opurtunis yang hanya mementingkan keuntungan sesaat. Gejala seperti ini sudah terjadi, dimana bisa kita lihat para birokrat Negara ini tidak pernah mau untuk melakukan investasi jangka panjang untuk Indonesia, karena jelas tidak menguntungkan secara langsung untuk dirinya. Perlu diakui memang luasnya spectrum perspektif nasionalisme ini ternyata berdampak pada lebih banyaknya pemuda yang lebih mementingkan dirinya ketimbang Negara. Mereka hanya menganggap dirinya numpang hidup di suatu wilayah tanpa ada tanggung jawab untuk menjaga dan membela Negara nya. Permasalahan ini tentu harus diselesaikan dengan membangun jiwa Negarawan diantara para pemuda yang nantinya akan jadi agen pengubah bangsa di masa yang akan datang.

Langkah awal yang perlu dikembangkan adanya suatu proses pendidikan dan pembudayaan yang baik sejak sekolah dasar. Dimana pendidikan kewarganegaraan tidak hanya sebagai mata pelajaran yang lepas lalu saja. Akan tetapi, menjadi sebuah mata pelajaran untuk mendoktrin jiwa Negarawan diantara para pelajar di Indonesia. Cara ini terbukti sukses di Republik Rakyat Cina, dimana ada mata pelajaran khusus untuk menanamkan semangat komunisme. Sehingga di masa yang akan datang akan timbul suatu kecintaan mendalam terhadap Negara Indonesia. Bentuk dari pembuktikan rasa Nasionalisme kini tentu berbeda dengan yang dilakukan oleh pejuang kita di masa lalu. Pejuang kemerdekaan dan revolusi lebih banyak mengedepakan perjuangan fisik sebagai bentuk Nasionalisme. Atau saat pejuang reformasi melawan rezim, pergerakan dengan mobilisasi massa menjadi pilihan untuk menumbangkan rezim yang memimpin secara tidak adil. Masa kini adalah masa globalisasi informasi dan kompentensi. Sudah sewajarnya pembuktian Nasionalisme dilakukan dalam bentuk karya nyata dan prestasi yang mampu menjadikan sebuah Inspirasi bagi banyak orang. Mengejar prestasi secara akademik dengan pembuktian hasil yang memuaskan merupakan bentuk Nasionalisme jika diiringi dengan semangat inovasi dan kreatifitas untuk mengembangkan masyarakat. Mahasiswa kini dituntut mampu membuat karya nyata yang bisa bermanfaat untuk hajat hidup orang banyak. Mahasiswa tidak boleh lagi berpikir tentang pekerjaan apa yang akan didapatkannya setelah lulus, akan tetapi mahasiswa dituntut untuk berpikir keras agar mampu membuka lapangan pekerjaan untuk kesejahteraan masyarakat banyak. Disinilah peran mahasiswa masa kini dan masa depan, dimana mampu menjadi bagian dari solusi atas permasalahan masyarakat, mampu membangun opini positif di masyarakat dan mampu menginspirasi masyarakat agar memiliki suatu perspektif positif terhadap masa depan Indonesia yang lebih baik.

Nasionalisme Mahasiswa sebagai masyarakat umum


Sebagai masyarakat umum, saya menilai para mahasiswa lebih peduli dan lebih suka mendemo dan menghujat pemerintah, daripada memikirkan nasib bangsa yang terancam disintegrasi. Coba perhatikan, apa sumbangan pemikiran mahasiswa untuk memecahkan masalah separatis di Papua dan Aceh? Dan kalau kita ingat kelahiran Sumpah Pemuda, justru seharusnya dalam kondisi saat ini, para mahasiswa tampil di depan untuk mempertahankan NKRI. Seharusnya kan bisa bahu-membahu bersama pemerintah menemukan solusi yang terbaik untuk semuanya, itu baru kaum intelektual, jangan bisanya cuman menuntut, menuntut dan lagi2 menuntut. Bantulah pemerintah dengan solusi, Dewasalah dalam bersikap, Jangan tanya apa yang negara dapat berikan pada anda tapi tanyalah apa yang dapat anda berikan untuk negara ini. Ironis dan sangat ironis, ternyata BEM atau Kelompok lainnya lebih hobi berpolitik jalanan dari pada masalah krisis kedaulatan bangsa.

Kembalikan Semangat Nasionalisme Mahasiswa


Rumahku adalah istanaku Negaraku adalah istanaku Indonesiaku adalah istanaku PENANGGALAN kalimat ini menjadi penyemangat membangun komitmen bangsa dalam menghadapi globalisasi yang tidak bisa dihindari. Problematika bangsa juga nampak pada kesadaran hukum. Demokrasi pun dipandang dari kulit semata, tidak memerhatikan perwujudan civil society. Ini berakibat munculnya konflik seiring lemahnya pemahaman dan kesadaran jati diri bangsa. Hal ini dikemukakan pemateri tunggal, Drs Suparlan Al Hakim MSi, pada acara Studium General Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) bertajuk Menegaskan Kembali NKRI di aula utama Universitas Negeri Malang (UM), Selasa (19/2). Suparlan juga mengomentari lemahnya kesadaran hukum masyarakat. Penegak dan penikmat hukum belum mampu berperan sebagai kata kunci terwujudnya supremasi hukum, ujarnya Suparlan yang dosen di Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) UM ini juga menyarankan untuk membina jiwa nasionalis dalam makna konteks NKRI. Yang berbeda-beda seperti mari dipersatukan dengan lagu mengekspresikan simbolik identitas bangsa, bendera kebangsaan,

kebangsaan, serta lambang negara yakni garuda Pancasila, ajak Suparlan. Sementara itu, Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Mata Kuliah Umum, Dr Anang Santoso mengatakan, acara yang menginjak tahun keempat ini bertujuan memupuk rasa nasionalisme pada diri mahasiswa. Selain itu membuka wawasan secara komprehensif, sehingga diharapkan mahasiswa bisa memahami wacana nasionalisme dan bersikap arif

http://rachmadmicogayo.wordpress.com/2010/05/22/nasionalisme-mahasiswa/

Friday, 04 November 2011 11:45

Wajib Militer Bagi Mahasiswa?


Wajib militer bagi mahasiswa penting untuk meningkatkan rasa dan jiwa nasionalisme. Mahasiswa sebagai agent of change membutuhkan hal tersebut untuk pengganti OSPEK yang tidak jelas arah dan tujuannya, (Lukman Edy, Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) MPR RI) [1] Wacana wajib militer kembali menjadi sorotan bagi media-media tanah air. Wacana yang sempat menggelora pada tahun 2007 kembali terangkat

ke khalayak publik. Seperti pernyataan di atas, wajib militer kembali menjadi sorotan pemerintah dalam merespon rendahnya rasa nasionalisme yang terjadi pada kalangan pemuda, tidak terkecuali mahasiswa. Urgensinya, mahasiwa sebagai agent of changediharapkan menjadi pionir dalam menegakkan nasionalisme di tengah arus badai kapitalisme global melalui wajib militer. Hal ini kemudian yang menjadi pertanyaan, apakah wacana tersebut mampu menjawab degradasi rasa nasionalisme bagi mahasiswa?
Secara empiris, mungkin benar ketika ada pernyataan yang menyebutkan bahwa rasa nasionalisme bangsa Indonesia sudah semakin luntur. Data yang dihimpun oleh BPS menyatakan 27 % rakyat Indonesia merasa tidak memerlukan Pancasila.[2] Fakta tersebut menunjukkan bahwa rasa nasionalisme bangsa sudah mulai luntur. Ini bukan tanpa alasan, karena sistem demokrasi ditambah dengan derasnya arus globalisasi di berbagai sektor menjadi penyebabnya. Sehingga nasionalisme kian luntur oleh globalisme. Keresahan ini telah menjadi pikiran kritis bagi ilmuwan, cendekiawan, peneliti, hingga mahasiswa. Secara sadar, kaum-kaum tersebut mengerti bagaimana bahaya yang sedang mengintai, bahaya yang dapat menghilangkan titah Bangsa Indonesia. Keresahan tersebut mendorong para perumus kebijakan untuk kembali mengkaji dan menemukan solusi untuk meningkatkan rasa nasionalisme bagi mahasiswa. Upaya-upaya telah dilakukan termasuk wacana tentang penghapusan mata pelajaran pancasila. Terbaru, tentu saja mengenai wacana wajib militer yang sedang marak diperbincangkan ini. Sedikit aneh rasanya jika mengkorelasikan antara rasa nasionalisme dengan wajib militer. Inilah yang sebenarnya harus menjadi perhatian dan koreksi bagi pemerintah sebelum mengimplementasikan kebijakan wajib militer, terlebih bagi mahasiswa. Nasionalime merupakan sebuah paham akan kebangsaan yang berdasar atas Pancasila. Nasionalisme merupakan konsepsi pola pikir. Mengubah pol pikir bukanlah perkara mudah karena berkaitan dengan pengalaman empiris dan teoritis seseorang. Sedangkan, wajib militer lebih kepada self defence seseorang. Sehingga wajib militer bukanlah jalan yang tepat karena rasa nasionalisme dapat diekspresikan dalam banyak hal dan bertentangan dengan hak asasi manusia. Warga negara pun bebas dengan cara apa untuk memupuk nasionalisme dan mengekspresikannya dengan cara apapun. Mahasiswa, sebagai salah satu warga negara sendiri sebenarnya dirancang sebagai agent of change di bidang konseptor. Hal ini dikarenakan sistem pendidikan universitas yang menitikberatkan kepada pengajaran teori termasuk tentang nasionalisme. Pemahaman teoritis tersebut sebenarnya cukup memberi dasar bagi mahasiswa untuk berekspresi dalam hal nasionalisme. Rasa nasionalisme mahasiswa dapat diwujudkan dengan berbagai macam bentuk, salah satunya melestarikan kesenian tradisional. Dengan semikian mahasiswa dapat mengekspresikan nasionalisme dengan caranya sendiri, tidak harus melalui wajib militer. Terlalu naif ketika berharap mahasiswa akan semakin nasionalis setelah menjalani wajib militer. Bagaimana jika mahasiswa terpaksa melakukannya karena sistem dan begitu mereka selesai wajib militer, rasa nasionalisme tersebut menguap begitu saja? Hal ini sebenarnya menunjukkan kelatahan pemerintah dalam mengatasi persoalan publik. Patut dikaji kembali wacana ini mengenai output yang akan dihasilkan oleh wajib militer, apakah tepat sasaran atau tidak. Satria Aji Imawan Jurusan Manajemen Kebijakan Publik UGM
[1]

Penyataan dimuat di artikel metrotvnews.com pada 25 Oktober 2011 Situs

http://www.metrotvnews.com/read/news/2011/10/25/69444/Mahasiswa-Indonesia-Diusulkan-Jalani-Wajib-Militer

http://www.bulaksumurugm.com/index.php?option=com_k2&view=item&id=104:wajib-militerbagi-mahasiswa?&Itemid=88

Nasionalisme Mahasiswa Sebatas Kertas?


12-OCT-2011 OLEH WEBMASTER2 TIDAK ADA KOMENTAR POSTING DIDALAM : NASKAH, TAHUN 2009

Nasionalisme Mahasiswa Sebatas Kertas?[1] Oleh: Naelul Wardah[2], STAI Mathaliul Falah Pati. Nasionalisme di Indonesia mulai muncul sejak perang pra kemerdekaan hingga masa awal terlahirnya Republik ini. Hal ini diwujudkan dengan berbagai perlawanan terhadap para penjajah melalui peperangan. Bahkan melalui berbagai media komunikasi kala itu seperti radio dan surat kabar meski dalam bentuk yang serba terbatas. Namun nasionalisme meluntur selama beberapa kurun waktu. Semangat Nasionalisme Indonesia kembali diperdengarkan sejak harta karun kekayaan Indonesia diakui oleh Negara tetangga. Dari pengakuan wilayah NKRI hingga warisan-warisan leluhur seperti batik dan Reog Ponorogo. Nasionalisme kembali menjadi isu sentral setelah Indonesia meresahkan dirinya sendiri atas keteledorannya selama ini. Salah satu gambaran Nasionalisme tersebut digambarkan dengan berbagai demonstrasi yang terjadi di penjuru Indonesia seakan tidak ada jalan lain selain demonstrasi, misalnya melalui kertas (tulisan). Kini dengan adanya kemerdekaan, kebebasan berpikir dan berpendapat, masyarakat Indonesia khususnya mahasiswa dapat mengemukakan gagasannya baik lisan maupun tertulis sebagaiman bunyi UUD45 pasal 28 Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Sehingga dengan adanya payung hukum ini mahasiswa harus berani dan mau menuangkan gagasan serta pemikirannya khususnya mengenai Nasionalisme. Ironisnya tidak banyak mahasiswa yang emoh menulis, menuangkan gagasan dan pemikiran mereka dengan berbagai alasan basi, kecuali nulis tugas kuliah (itupun karena terpaksa). Namun benarkah dengan adanya kebebasan ini mahasiswa Indonesia mampu membebaskan nasionalismenya atau justru memenjarakannya dalam kertas?. Dengan arti lain nasionalisme yang hanya dibicarakan dalam lembaran kertas makalah, artikel dan sebagainya. Di kampus saya misalnya (mungkin di beberapa perguruan tinggi lainnya juga), pembicaraan mengenai nasionalisme hanya berbatas dalam diskusi kelas dan kertas makalah dalam mata kuliah civic education. Diskusi tentang nasionalisme dapat terlewati dengan begitu semangatnya selama dalam kelas, namun akan segera luntur setelah kelas usai. Begitupula dengan nasionalisme di sekolah-sekolah juga berbatas pada mata pelajaran PKN. Setelah itu mereka lupa, apa sebenarnya nasionalisme itu? Kompetisi Esai Mahasiswa 2009 menjadi Indonesia yang diselenggarakan Tempo Institute dalam rangka memperingati delapan windu kemerdekaan Indonesia menjadi semacam cambuk yang mampu memacu semangat nasionalisme mahasiswa melalui sumbangsih pemikiran dan gagasan mahasiswa mengenai nasionalisme itu sendiri. Namun bukan itu yang paling penting. Ada hal yang lebih penting dari itu semua niat awal penulisan naskah kompetisi. Nasionalisme yang terwujud dalam kertas (tulisan) ataukah nasionalisme sebatas kertas?, atau justru nasionalisme karena Laptop dan sejumlah uang yang dijanjikan?. Khawatirnya kreatifitas mahasiswa Indonesia, khususnya mengenai nasiaonalisme hanya sebatas hadiah yang diiming-imingkan. Hingga pada akhirnya terbentuk menjadi karakter yang justru hanya akan berkarya jika adaiming-iming saja.

Setidaknya penulis mengajak untuk merenungkan kembali bagaimana nasionalisme mahasiswa, khususnya para mahasiswa yang mengikuti kompetisi esai ini. Jangan-jangan niat awal saya juga karena laoptop juga juaan uang tersebut. Semoga saja tidak. Membangun Nasionalisme Mahasiawa melalui Kertas (Bukan Sebatas Kertas) Mengutip pemikiran Soekarno bahwa nasionalisme adalah Membentuk rasa percaya diri dan merupakan esensi mutlak jika kita mempertahankan diri dalam perjuangan melawan kondisi-kondisi yang menyakitkan. Begitu pula dengan Nasionalisme yang harus kita pertahankan melalui kertas, bukan sebatas kertas. Bahwa melalui gagasan-gagasan yang tertuang melalui kertas dan tulisan. Berbagai gagasan yang mampu membawa kemajuan bagi Indonesia. Tidak banyak para mahasiswa yang (kadang) justru malu ketika harus membicarakan tentang nasiomnalisme. Mereka menganggap bahwa nasionalisme hanyalah perbincangan basi, namun sejatinya mereka hanya kurang percaya diri akan hal ini dan inilah yang menjadi kritik bagi pribadi mahasiswa Indonesia. Sebagaimana penuturan Soekarno di atas atas tadi, bahwa kepercayaan diri adalah satu kunci saat kita harus berjuang dalam berbegai kondisi. Sehingga satu ucapan selamat yang saya sampaikan kepada para peserta kompetisi esai yang dengan percaya diri dan yakin untuk mengirimkan karyanya sesuai waktu yang telah dijadwalkan. Semangat, keyakinan dan kepercayaan diri ini yang harus tertanam dalam diri mahasiswa Indonesia sebagai wujud nasionalisme yang selama ini selalu dipertanyakan. Nasionalisme sebatas kertas yang saya maksud adalah nasionalisme yang hanya berhenti pada coretancoretan kertas dan tidak pernah ada aplikasinya. Bagi saya sangat menyenangkan ketika para mahasiswa diberi ruang khusus untuk menuangkan gagasannya. Namun sayang ruang tersebut masih sulit untuk ditembus. Justru Kompetisi inilah yang pada akhirnya memberi ruang itu. Namun sangat disayangkan jika kompetisi ini hanya berakhir pada sejauhmana gagasan dan pemikiran mahasiswa mengenai nasionalisme. Harus ada ruang lagi untuk mengembangkan gagasan-gagasan tersebut, sehingga nasionalisme mereka tidak hanya terpenjara dalam kertas tetapi mampu menghidupkan kembali nasionalisme Indonesia secara nyata. Yang menjadi persoalan dan perlu didiskusikan adalah dengan cara apa?. Semoga tidak hanya kemah menulis yang dikhususkan bagi beberapa pesertasaja, tetapi ada agenda-agenda lain yang dapat menumbuhkan semangat itu lagi. Nama: Naelul Wardah Universitas: STAI Mathaliul Falah Pati.

[1] Naskah Kompetisi Esai Mahasiswa 2009 [2] Mahasiswi STAI Mathaliul Falah Pati.

http://kem.ami.or.id/2011/10/nasionalisme-mahasiswa-sebatas-kertas/

Nasionalisme Mahasiswa Rantau


2-SEP-2011 OLEH WEBMASTER2 TIDAK ADA KOMENTAR POSTING DIDALAM : NASKAH, TAHUN 2009

Judul lengkap: Nasionalisme Mahasiswa Rantau: Mengikis Hedonisme Melalui Kepekaan Sosial terhadap Ruang Publik. Oleh: Yudi Kurniawan, Mahasiswa Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Jurusan Psikologi, Universitas Islam Indonesia. Banyak mahasiswa dan generasai muda yang merasa enggan untuk sekadar memperbincangkan masalah nasionalisme. Konsep nasionalisme dianggap terlalu berat untuk dipahami dan hanya layak menjadi santapan para politikus semata. Paradigma ini tidak salah, walaupun juga tidak sepenuhnya benar. Nasionalisme cenderung dipandang sebagai hal yang terlalu serius bagi generasi muda yang mayoritas masih menyukai aktivitas-aktivitas santai dan tidak memerlukan banyak pemikiran reflektif. Pada kenyataannya, nasionalisme adalah milik seluruh komponen bangsa, mulai dari pemimpin hingga rakyat jelata. Secara ringkas, nasionalisme dapat disebut sebagai satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Bagi penulis, ada hal mendasar yang mutlak dilakukan sebelum beranjak pada konsep identitas bersama dalam nasionalisme. Hal tersebut adalah kepekaan terhadap kondisi dan kebutuhan ruang publik yang ditempati oleh individu. Dalam bahasa yang lebih sederhana, hal tersebut adalah kepekaan sosial terhadap tetangga. Dalam konteks kehidupan sosial, ruang publik berfungsi mempertemukan masyarakat dalam satu wilayah yang sama. Interaksi yang terjadi di dalamnya bersifat santai namun sarat akan makna pluralitas. Apalagi bagi wilayah yang memang menjadi sentra pendidikan di Indonesia, ruang publik tak ubahnya seperti Indonesia mini yang menyediakan individu-individu dari berbagai latar belakang suku, agama, dan kebudayaan. Interaksi yang terjadi di sana diharapkan dapat memberikan pemahaman terhadap keberagaman Indonesia yang pada akhirnya mampu menumbuhkan kembali kebanggaan terhadap kemajemukan bangsa ini. Mengubah Hedonisme Menjadi Kecintaan terhadap Ruang Publik Ada hal menarik sekaligus menyedihkan ketika penulis sedang menghibur seorang sahabat yang baru saja kehilangan notebook-nya. Ia merasa jengkel dengan induk semang kos yang sama sekali tidak peduli dengan musibah yang sedang dialaminya. Menurutnya, sama sekali tidak ada respon kuratif dari si pemilik kos terhadap kasus pencurian notebook-nya. Sahabat penulis ini mencurigai anak kos yang berada di sebelah kamarnya sebagai pencuri notebook tersebut. Anehnya, sahabat penulis itu tidak mengenal siapa saja tetangga di sebelah kamar kosnya. Ironis, mengingat ia telah sekitar dua tahun berada di kosan tersebut. Ia mengatakan bahwa memang tidak pernah berusaha mengenal teman-teman kosnya yang lain. Tapi pada saat seperti ini, ketika ia mendapatkan musibah, tentu saja ia membutuhkan bantuan orang lain. Kisah di atas memang dialami oleh sahabat penulis, namun tidak mustahil juga bahwa banyak mahasiswa lain yang pernah mengalami kisah yang serupa. Alih-alih bersosialisasi dengan masyarakat di mana ia berdomisili, mahasiswa zaman sekarang bahkan banyak yang merasa tidak perlu lagi untuk bersosialisasi dengan penghuni kos yang lain. Kebetulan penulis sedang menempuh studi di Yogyakarta, dimana masyarakat aslinya sangat nrimo dan ramah terhadap pendatang. Masyarakat asli benar-benar menyediakan ruang yang nyaman untuk domisili para mahasiswa pendatang. Bahkan terkesan lebih mewah dan lebih nyaman daripada hunian masyarakat asli itu sendiri. Disadari atau tidak, situasi ini sebenarnya menyimpan potensi laten masalah sosial. Maksud baik dari masyarakat asli yang ingin memberikan kenyamanan bagi mahasiswa pendatang bisa saja disalahartikan. Banyak mahasiswa yang merasa status mereka lebih tinggi daripada masyarakat asli,

karena mereka dapat membayar apa yang telah disediakan oleh masyarakat asli. Mereka juga memiliki fasilitas yang sangat lengkap untuk lebih dari sekedar belajar, bahkan untuk berhura-hura sekalipun. Inilah awal dari masalah tersebut. Kenyamanan yang berlebihan cenderung memberikan penilaian status yang berlebihan pula pada mahasiswa. Efeknya adalah rasa hormat yang berkurang pada masyarakat asli. Ditambah lagi dengan kengganan masyarakat asli untuk menegur langsung perbuatan mahasiswa yang tidak sesuai norma sosial, membuat hilangnya fungsi kontrol sosial dalam ruang publik. Lalu apa hubungannya dengan nasionalisme? Dampak masalah ini memang tidak secara langsung terlihat. Namun efek dominonya sungguh mengerikan. Konsep identitas bersama bagi sekelompok masyarakat yang tinggal pada satu lingkungan akan luntur, bahkan hilang. Bagaimana benih nasionalisme dapat muncul jika identitas bersama saja sudah luntur? Mahasiswa sibuk dengan aktivitasnya sendiri, tanpa pernah peduli dengan aktivitas masyarakat asli di lingkungannya. Sementara masyakat asli pun terkesan membiarkan sikap apatis mahasiswa tersebut. Berdasarkan realita di atas, maka harus ada tindakan nyata yang segera dilakukan untuk kembali menumbuhkan kepekaan mahasiswa terhadap linghkungan sosial. Relasi Antara Masyarakat Pribumi dan Mahasiswa Rantau: Refleksi Nasionalisme di Akar Rumput Mahasiswa adalah generasi muda yang menjadi figur penerus bangsa dan diharapkandengan kematangan cara berpikirnya mampu menemukan solusi atas permasalahan yang muncul di masyarakat. Karena itulah kepekaan sosial menjadi hal yang mutlak dimiliki oleh mahasiswa. Berdasarkan teori psikososial yang dikemukakan oleh Erik H. Erikson (Santrock, 2002), Usia rerata mahasiswa berada pada kisaran masa remaja akhir (18-22 tahun) hingga dewasa awal (22-25 tahun). Pada masa perkembangan ini, pencapaian kemandirian dan identitas sangat menonjol; pemikiran menjadi semakin logis, abstrak, idealistis, dan kreatif. Lalu apa makna definisi tersebut terhadap semangat nasionalime pada mahasiswa? Perlu digarisbawahi pada pernyataan pencapaian kemandirian dan identitas yang menonjol. Dalam perkembangan sosialnya, mahasiswa secara alami memang membutuhkan pencapaian dan kejelasan terhadap fungsi identitas. Namun terkadang fungsi identitas tersebut terjebak pada pemahaman semu terhadap ekslusifitas kelompok, sehingga menimbulkan perilaku hedonis pada mahasiswa. Kegemaran untuk mengisi waktu dengan bersenang-senang telah melalaikan mahasiswa terhadap kewajibannya untuk membantu masyarakat melalui aplikasi ilmunya. Tidak perlu terlalu jauh pada tataran praktis keilmuan. Silakan tanyakan pada sekita sepuluh mahasiswa rantau, apakah mereka mengenal paling tidak dua puluh orang tetangga di sekitar tempat tinggalnya. Mungkin tidak sampai tiga orang yang bisa memenuhi kriteria tersebut. Jika seperti itu keadaannya, maka bagaimana dapat terbentuk identitas kebersamaan antara mahasiswa rantau dengan masyarakat asli? Padahal konsep identitas berasama adalah fondasi untuk membangun semangat nasionalisme yang kokoh. Daerah yang menjadi sentra pendidikan biasanya dihuni oleh mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia. Maka dengan sendirinya akan terjadi akulturasi budaya. Dalam artian positif, pembauran tersebut dapat meningkatkan pemahaman dan kebanggaan terhadap keberagaman sosial budaya di Indonesia. Sebagai seorang mahasiswa, penulis juga menyadari bahwa hampir mustahil untuk mengharapkan semua mahasiswa (dalam konteks ini adalah mahasiswa strata 1) yang ada di Indonesia dapat

memahami betapa pentingnya peranan ruang publik sebagai salah satu elemen pendukung nasionalisme. Sasaran dari ide ini adalah mahasiswa yang memang telah memiliki kepekaan sosial dan mahasiswa yang ingin melakukan perubahan namun belum mendapatkan jalannya. Biarkanlah kelompok ini yang menjadi motor perubahan dan pengusung konsep pemanfaatan ruang publik dalam menciptakan nasionalisme ala mahasiswa. Lalu bagaimana caranya? Ada dua hal sederhana yang dapat dilakukan: menggerakkan mahasiswa dan menghimbau masyarakat asli. Dalam masalah ini, mahasiswa tidak perlu membuat organisasi resmi semacam karang taruna. Cukup dengan menghidupkan ruang publik yang ada di lokasi tempat tinggalnya untuk diberdayakan sebagai sarana pertemuan antar masyarakat. Biasanya setiap desa selalu memiliki ruang publik, entah itu berbentuk balai desa ataupun lapangan kosong. Masyarakat setempat juga dapat membantu program ini. Ruang publik adalah media yang sangat efektif untuk mengeratkan kembali hubungan antar kelompok masyarakat yang berbeda di era digital seperti saat ini. Ruang publik juga menanamkan filosofi kesetaraan, dimana seluruh masyarakat dari berbagai latar belakang dapat berbaur dan bertukar pikiran. Mungkin perlu diciptakan satu wilayah yang menjadi percontohan untuk pemanfaatan ruang publik sebagai media menyatukan konsep identitas dalam masyarakat yang plural. Terkadang konsep di atas terkesan sepele, namun sebenarnya fakta di lapangan berbicara lain. Ketika banyak mahasiswa yang apatis terhadap kondisi sosial di lingkungannya, masyarakat setempat juga tidak nyaman dengan sikap seperti itu. Perspektif seperti ini hanya akan membuat masyarakat pribumi menjadi penyedia layanan dan jasa bagi mahasiswa. Akibatnya muncul keengganan untuk memahami budaya yang dibawa oleh tiap individu pada daerah tujuan pendidikannya. Perbedaan dalam memahami kebudayaan sangat rentan menimbulkan konflik dan degradasi rasa nasionalisme. Tidak Perlu Menjadi Politikus Untuk Memahami Nasionalisme Menukil penyataan pada alinea pertama tulisan ini, memahami nasionalisme tidaklah serumit yang dibayangkan. Nasionalisme berlaku untuk siapa saja, baik pemimpin, pekerja, mahasiswa, serta pelajar. Tidak perlu setumpuk buku untuk memahami konsep nasionalisme. Cukup dengan satu perbuatan dan konsistensi, maka nasionalime akan mengakar dalam keseharian kita. Menanamkan pemahaman terhadap konsep nasionalisme pada mahasiswa, terutama yang berkaitan terhadap masalah sosial kemasyarakatan, adalah hal yang sederhana sekaligus rumit. Mayoritas mahasiswa selalu ingin memperjuangkan suara masyarakat yang tertindas. Ironisnya, mereka justru buta terhadap kondisi masyarakat di sekitar lingkungan tempat tinggalnya. Bahkan saking sibuknya dengan aktivitas kampus, mahasiswa lupa berinteraksi dan berkomunikasi dengan pemilik kosnya. Mungkin mereka hanya bertemu ketika akan membayar tagihan listrik dan sebagainya. Ironis memang. Padahal lingkungan mahasiswa adalah miniatur bangsa Indonesia dalam memahami konsep nasionalisme. Meningkatkan kepekaan sosial melalui ruang publik adalah hal sederhana yang akan berdampak besar jika memang berhasil diaplikasikan. Ruang publik adalah rahim kemajemukan bangsa Indonesia. Ruang publik akan melahirkan kebanggan terhadap keberagaman budaya. Dari sinilah kami, mahasiswa, belajar memupuk kembali nasionalisme bangsa yang mulai terkikis. Satu harapan yang terpatri di benak penulis, kelak pemanfaatan ruang publik dapat menjadi salah satu pilar yang akan membangun semangat nasionalisme dalam wilayah sosial kemasyarakatan. *Mahasiswa Program Studi Psikologi Universitas Islam Indonesia Curriculum Vitae Penulis

Nama Lengkap NIM Jenis Kelamin Tempat/Tanggal Lahir Fakultas Jurusan Universitas Alamat Asal Rengat Barat, Alamat di Yogyakarta Ngemplak, Sleman E-mail/no ponsel

: Yudi Kurniawan : 07320112 : Laki-laki : Rengat (Riau), 27 Juni 1989 : Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya : Psikologi : Universitas Islam Indonesia : Jl. Pekan Heran Gg. Kelapa Sawit no. 2 Pematang Reba, Kec. Kab.Indragiri Hulu, Riau :Jl Kaliurang KM 15 RT 1 RW 15 Nglempong, Umbulmartani, Kec.

: yudi_psycho@yahoo.co.id/081371097820

Riwayat Pendidikan: TK Pertiwi Rengat, lulus tahun 1995 SDN 013 Pematang Reba, lulus tahun 2001 SMPN 1 Rengat, lulus tahun 2004 SMAN Plus Propinsi Riau, lulus tahun 2007 Program Studi Psikologi UII, 2007- Pengalaman Organisasi:

1. Pemimpin Redaksi Buletin Kobarkobari Lembaga Pers Mahasiswa HIMMAH UII, periode 20082009 2. Staf Divisi Media Lembaga Dakwah Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya JAFANA, tahun 2008 3. Direktur Laboratorium Mahasiswa UII, periode 2009 -2010 4. Pendampingan Mahasiswa Baru Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, tahun 2008 Pengalaman Kerja: 1. Asisten Peneliti DPPM UII, tahun 2008 2. Asisten Peneliti DPPM UII, tahun 2009 3. Asisten Penelitian Dosen Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII mengenai Long Distance Relationship, tahun 2009

Prestasi: 1. Juara II Lomba Karya Tulis Mahasiswa bidang Pendidikan tingkat Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia, tahun 2008 2. Juara I Lomba Karya Tulis Mahasiswa bidang Pendidikan tingkat Universitas Islam Indonesia, tahun 2008 3. Finalis Kompetisi Karya Tulis Mahasiswa bidang Pendidikan tingkat Kopertis Wilayah V Daerah Istimewa Yogyakarta, tahun 2008 4. Juara III Mahasiswa Berprestasi bidang Penelitian dan Karya Tulis Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia, tahun 2008 5. Penerima Dana Hibah DIKTI Program Kreativitas Mahasiswa bidang Pengabdian Masyarakat, tahun 2009. 6. Penerima Beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) Universitas Islam Indonesia tahun 2009. 7. Salah satu penulis dalam buku Cerita, Analisis, dan Gugatan Ke-Yogyaan hasil kerja sama antara Kantor Kesatuan Bangsa Pemerintah Kota Yogyakarta dengan IMPULSE (Institute for Multiculturalism and Pluralism Studies) 2009.

http://kem.ami.or.id/2011/09/nasionalisme-mahasiswa-rantau/

Mahasiswa; Sebuah Nasionalisme Laten


10-OCT-2011 OLEH WEBMASTER2 TIDAK ADA KOMENTAR POSTING DIDALAM : NASKAH, TAHUN 2009

Oleh: Nur Imroatun Sholihat, Mahasiswa Jurusan Akuntansi Pemerintahan, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Wahai kalian yang rindu kemenangan, wahai kalian yang turun ke jalan. Demi mempersembahkan jiwa dan raga untuk negeri tercinta (Totalitas Perjuangan) Betapa bangganya saya ketika mendengar lagu itu pertama kali sesaat setelah menjadi mahasiswa. Mahasiswa, status yang dalam benak saya adalah mereka yang idealis, nasionalis, dan patriotis. Sosok yang bergelut dalam pergulatan intelektual dan idealisme akan nasib bangsa ini. Sosok yang menangis ketika mendengar jerit rakyat. Sebuah ilusi yang nyaris sempurna ada di benak saya kala itu. Ternyata nasionalisme hanyalah sebuah kata sederhana yang hampir tidak pernah saya dengar dari rekan-rekan mahasiswa. Kata yang mungkin selalu dijauhi oleh sebagian besar pemuda, sekalipun pemuda yang dinyatakan sebagai agent of change, agent of development, stock of iron, agent of social control, moral force, dan segenap nama yang ditasbihkan lainnya. Sebagian mahasiswa telah kehilangan nasionalisme, sebagian yang lain mempunyai nasionalisme laten. Hanya segelintir dari mereka yang bisa dikatakan mempunyai nasionalisme sejati. Nasionalisme itupun masih perlu dipertanyakan sewaktu mereka masuk ke dalam sistem. Mahasiswa dengan nasionalisme instan, mahasiswa penuntut. Pemuda begitu banyak menyalahkan, terlalu banyak menuntut, tanpa melakukan apapun. Lihatlah ketika budaya kita diklaim oleh Malaysia, mahasiswa ramai-ramai berkomentar. Menuyudutkan dan menyalahkan, seolah-olah mereka cuci tangan tidak sedikitpun melakukan kesalahan. Padahal bila mereka mau mengoreksi diri sendiri, apa yang sudah mereka lakukan? Pemuda yang sudah tak peduli akan budaya nasional, yang lebih bangga bila disebuh fasih melafalkan lagu berbahasa asing, lebih suka melihat pameran budaya luar negeri, hingga fanatisme terhadap budaya asing, misal budaya Jepang.

Apa yang sudah mereka lakukan? Sebagai mahasiswa saya tak bangga sedikitpun ketika mahasiswa ramai-ramai turun ke jalan menyalahkan pemerintah. Saya justru malu karena hal itulah pengakuan pemuda tidak nasionalis yang tiba-tiba menasbihkan sepihak dirinya sebagai seorang nasionalis hanya dengan ikut dalam euforia aksi jalanan. Nasionalime bukan sekadar kata-kata sesaat saja, melainkan apa yang menyala dalam hati mereka. Mereka yang dalam kehidupan sehari-hari tidak berbangga akan identitas sebagai Indonesia, lalu ikut berteriak sewaktu aksi jalanan dengan embel-embel agar tampak nasionalis. Apa dengan menyalahkan berarti mahasiswa hebat? Malu aku jadi mahasiswa karena sibuk menyelamatkan budaya setelah bisa dikatakan hampir terlambat. Saya menghargai usaha mereka yang memang gagah menjadi benteng negara ketika kasus klaim budaya ini merebak, namun apa guna sekadar menyalahkan? Mengapa tidak dari awal mereka melestarikan budaya mereka sendiri. Kebakaran jenggot hanya saat budayanya diklaim. Aksi Himpunan Mahasiswa Islam UGM beberapa waktu yang lalu menyebarkan selebaran bertitel, Tolak Mahasiswa Malaysia Masuk Kampus UGM mungkin terdengar sangat nasionalis. Mahasiswa membela bangsanya ketika bertubi-tubi budayanya diklaim oleh Malaysia. Namun sungguh instan nasionalisme yang berkembang. Hanya bergema saat negara ini sudah genting. Mengapa tidak melakukan sejak awal dengan melestarikan budaya itu? Aksi hanyalah sebuah pertunjukkan nasionalisme laten. Nasionalisme yang kadang justru menunjukkan betapa tidak dewasanya mahasiswa kita. Membenci tindakan Malaysia tidak berarti boleh menghilangkan hak warga negara mereka untuk berkuliah di negara kita. Seharusnya mahasiswa kita berbangga karena kualitas pendidikan kita diakui oleh warga Malaysia. Apakah tidak lebih diplomatis jika kita mengusung dialog dengan kedutaan Malaysia daripada harus memboikot mahasiswa Malaysia untuk menuntut ilmu di Indonesia? Mahasiswa dengan rendahnya nasionalisme dan idealisme adalah cermin ketidaksiapan mereka memimpin bangsa di masa depan. Mereka yang pragmatis cenderung ingin cepat lulus sehingga tidak menyediakan ruang untuk mengembangkan idealisme. Mereka yang nasionalis laten terlalu banyak menuntut tanpa melakukan apapun. Mereka yang tidak dewasa bertindak asal-asalan guna berpura-pura nasionalis. Begitukah pemimpin? Mahasiswa Perguruan Tinggi Kedinasan adalah cermin pelayan masyarakat di masa depan. Budaya yang berkembang dalam kampus kedinasan jauh dari yang dibayangkan. Saya sangat malu ketika menyimak budaya mahasiswa PTK setelah saya menjadi bagiannya. Mahasiswa yang dikatakan sebagai calon birokrat sebagian besar telah kehilangan idealisme. Persoalannya tentu bukan terletak pada kampusnya, tetapi bagaimana mahasiswanya menempatkan diri. Mereka seolah-olah kehilangan jati diri sebagai mahasiswa yang kritis dan idealis. Mereka yang terjebak zona aman, lulus langsung menjadi pegawai negeri. Pragmatisme yang selalu saya dengar sebagai alasan mengapa mereka begitu apatis bahkan terhadap isu-isu yang membakar nurani mahasiswa kampus nonkedinasan. Mereka yang dikatakan sebagai calon birokrat pelayan masyarakat adalah mereka yang elitis, memisahkan diri dari kehidupan masyarakat banyak. Mungkin label kedinasan telah mengaburkan semangat mereka untuk peduli akan isu masyarakat nasional. Mungkin benar jika nasionalisme tidak melulu dikaitkan dengan kepedulian akan isu nasional. Namun, darimana nasionalisme itu ada jika selalu tak acuh dengan keadaan luar kampus? Begitu juga dengan kondisi idelisme mereka. Mereka yang akhirnya nanti akan menjadi pelayan masyarakat seharusnya mempersiapkan diri untuk bisa melayani masyarakat dengan baik. Namun, sebagian besar dari mereka bukanlah mereka yang berniat tulus menjadi pelayan publik yang baik, melainkan mencari kemudahan dengan langsung ditempatkan sebagai PNS. Jika boleh digambarkan dalam satu kalimat, mahasiswa kedinasan hanya punya satu dunia, lulus dan menjadi PNS. Dunia luar kampus tidak penting bagi mereka.

Dalam argumen saya, mahasiswa kedinasan bukan dibiayai oleh pemerintah, tapi dibiayai oleh uang rakyat. Lagi pula, sebelum mereka menjadi PNS, bukankah mereka tetap mahasiswa yang berhak menyuarakan suaranya. Bila rakyat tercekik oleh kebijakan pemerintah, siapa yang harus dibela? Sebagian teman berdalih, Kita akan menjadi bagian dari pemerintah, mengapa kita mengkritisi pemerintah?. Bila sudah demikian, apa artinya mahasiswa? Jangankan mimpi sebagai salah satu tiang demokrasi, menjadi harapan bangsa pun jangan. Tidak hendak menyalahkan mahasiswa kedinasan apalagi mempersalahkan kampusnya, lagipula adalah hak mereka untuk menentukan jalan hidup masing-masing. Justru bertanya dalam hati, mereka yang masa depannya sudah terjamin mengapa tak peduli akan nasib bangsa? Mahasiswa nonkedinasan saja yang bila kualitas akademisnya rendah, akan sulit memasuki dunia kerja berani mengorbankan waktu untuk membela rakyat. Mengapa mahasiswa kedinasan tidak berani berkorban untuk rakyat? Belum lagi dengan emblem Palestina yang ramai-ramai ditempel di jas almamater mahasiswa. Tidak ada yang salah seumpama ada juga emblem Indonesia di sana, minimal di hati mereka. Bagaimana jadinya suatu bangsa jika mahasiswanya lebih peduli terhadap solidaritas internasional daripada terhadap bangsanya sendiri? Sangat saya sayangkan, mereka yang ogah-ogahan mengikuti upacara bendera dengan bangga menggunakan emblem Palestina. Mereka yang tidak mempunyai sense of belonging terhadap Indonesia tetapi mengaku saudara terhadap Palestina. Lebih besar mana kepedulian mereka terhadap Indonesia atau Palestina? Kecintaan akan produk lokal juga tak luput dari pengertian denasionalisme pemuda. Mereka yang lebih bangga menonton film asing, berbelanja di luar negeri, hingga tepukan dada saat menggunakan merk asing. Mereka yang bertindak demikian tiba-tiba akan menjadi sangat nasionalis saat pertandingan olahraga antarnegara atau klaim budaya oleh negara lain. Itulah yang saya sebut dengan nasionalisme laten. Nasionalisme laten atau nasionalisme instan yang saya maksudkan adalah nasionalisme yang sangat menggebu-gebu di satu sisi. Di pihak lain sama sekali tak nampak. Banyak di antara mereka yang bahkan tak pernah bertanya, Apakah saya sudah berjiwa Indonesia? Bila sudah, apa yang sudah saya lakukan untuk negara saya?. Sebelum banyak berbicara mungkin mereka belum berkaca bahwa nihil yang mereka lakukan namun ingin banyak menuntut. Mahasiswa juga belum bisa menjembatani antara idealisme dan realisme. Lagipula di antara mahasiswa yang notabenenya idealis dan nasionalis sekalipun bila masuk sistem, akan menjadi juara diam dan tak berbeda dengan yang dia persalahkan sewaktu masih berdemonstrasi di jalanan. Seharusnya sebelum banyak menuntut, mahasiswa berpikir juga bahwa tidak semua yang ideal itu bisa diwujudkan. Jika mahasiswa tidak bisa menjembatani keduanya maka yang terjadi, setiap hari mereka hanya akan menjadi kritikus tanpa membantu pemerintah dalam aksi nyata sedikitipun. Demikian juga idealisme yang menurut mereka hidup di hati mereka, seharusnya mampu mereka pertahankan saat mereka masuk sistem praktis. Sesekali hati saya bertanya, masih adakah mereka yang hatinya tergetar setiap kali Indonesia Raya dikumandangkan. Kadang hati juga bertanya, masih adakah yang dadanya berkobar-kobar dengan lagu Totalitas Perjuangan yang merupakan lagu perjuangan mahasiswa. Nasionalisme hanyalah sebuah kata, tak kan hidup bila tidak dihidupkan oleh manusia. Tak kan menyala jika tidak di-person-kan dengan personifikasi. Kepemimpinan juga merupakan kata, tak kan hidup bila tidak dihidupkan oleh manusia. Keduanya harus dihidupkan dalam hati kita, agar menyala dan berkobar dalam keadaan apapun. Percayalah bukan nasionalisme laten yang dibutuhkan bangsa ini, tetapi mereka yang benar-benar menyala hatinya karena nasionalisme.

Kita tak perlu mengartikan nasionalisme sebagai suatu yang muluk-muluk bila memang pemuda menganggap kata itu suatu yang berat dan muluk-muluk. Nasionalisme dalam arti tersederhananya adalah hal yang terjadi setiap harinya. Nasionalisme sejati adalah adanya sense of belonging dan kesetiaan tertinggi pada negaranya, bersedia dengan bangga melekatkan identitas dan kepribadian nasional di dirinya. Nasionalisme di mata saya adalah melakukan apa yang bisa saya lakukan untuk negeri ini. Saya tidak ingin terlalu banyak menuntut, tidak berkoar-kar dalam euforia aksi jalanan jika memang ada hal lebih baik lainnya yang bisa saya lakukan. Nasionalisme dalam kehidupan saya adalah nasionalisme yang mengalir dalam darah di setiap hari. Tidak perlu terjadi sesuatu terlebih dahulu untuk menjadi nasionalis, karena nasionalisme terjadi setiap harinya. Tidak perlu menunggu pertandingan olahraga antarnegara atau klaim budaya untuk menunjukkan nasionalisme. Sedangkan nasionalisme praktis yang paling relevan bagi pemuda saat ini adalah memanfaatkan intelektualitas idealismenya untuk membangun bangsa baik melalui tulisan maupun lisan. Begitu pula bila kelak mereka menjadi pejabat atau pelayan publik lainnya, semoga mereka bisa menjalankan idealisme yang menggebu dalam pikirannya. Meskipun diwarnai rasa skeptis, bagi saya pemuda tetaplah harapan bangsa. pemuda tetap bisa diandalkan asal mereka mau sedikit belajar mengenai kepribadian seorang pemimpin. Pemuda begitu identik dengan kepemimpinan. Pemuda adalah pemimpin meskipun kepemimpinan muda sekian lama terlupakan oleh pemuda sendiri. Bagi saya, kepemimpinan bukan sekedar jabatan, melainkan masalah pengaruh. Oleh karena itu, meski tak memiliki jabatan, pemuda berhak disebut pemimpin karena pengaruhnya yang luar biasa dalam kehidupan berbangsa. Oleh karena layak bila pemuda diandalkan untuk menjadi pemimpin di masa depan asal mereka mau memperjuangkan diri untuk bisa menjadi pemuda ideal harapan bangsa Marilah berkhayal mengenai mereka yang berkubang dalam bangku kuliah berbarengan dengan keikutsertaan dalam komunitas intelektual. Budaya baca, budaya berpendapat, budaya berpikir, budaya bertindak, bahkan budaya memimpin ada pada mereka. Pemuda dalam impian kita semua tentunya mereka yang dibakar dalam kawah intelektualitas, dibesarkan oleh komunitas diskusi idealisme, dibimbing oleh kepribadian nasionalis dan patriotis. Pemuda yang percaya bahwa kepemimpinan negara harus menjadi tanggung jawab mereka. Pemuda kita bukannya tidak bisa, mereka hanya belum menyadari arah perjuangannya, merebut suratan sebagai pemimpin. Semoga tidak lama lagi, pemuda kita akan mencapai tataran pemuda ideal tersebut. Harapan terbesar Indonesia hanya sanggup digambarkan dalam satu kalimat. Mereka yang muda dan berjiwa nasional dalam idealisme mereka. Salam perjuangan! Hidup mahasiswa! Biodata Penulis Nama: Nur Imroatun Sholihat Tempat, tanggal lahir: Purworejo, 05 September 1990 Kampus: Sekolah Tinggi Akuntansi Negara Spesialisasi: Akuntansi Pemerintahan Alamat Rumah: Ds. Ngombol RT 01/02, Ngombol, Purworejo Alamat Kos: Jl Kabel Blok E8/9 Pondok Jaya No hp: 085695448090

Email/facebook: politica_accounter@yahoo.co.uk Riwayat Pendidikan: 1. 2. 3. 4. 5. 6. TK Srini Ngombol(1995-1996) SD N Ngombol(1996-2002) SMP N 11 Purworejo(2002-2005) SMA N 1 Purworejo(2005-2008) Hubungan Internasional UGM(2008) Akuntansi Pemerintahan STAN(2008- sekarang)

Prestasi: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Juara 1 Lomba Mapel IPS& PPKN se-kecamatan Ngombol Juara 2 Lomba Mapel UAN se-kecamatan Ngombol Juara Harapan 1 Lomba Cipta Artikel Kesenian Kabupaten Purworejo(2006) Runner Up Pemilihan Putri Ganeca SMA 1 Purworejo(2006) Juara 1 Lomba Karya Ilmiah Kesejarahan Tingkat Jateng, DIY,Jatim Balai Kesejarahan Yogyakarta (2007) Finalis Lomba Lari Pekan Olahraga Daerah Purworejo(2008) Juara Harapan 1 Lomba Karya Ilmiah Humaniora FBS UNNES Tingkat Jateng(2007) Juara Harapan 2 Lomba Karya Ilmiah Bio-fuel DEMA Fakultas Pertanian UGM ( 2008) Peserta Lomba Makalah Nasional tentang Kepemimpinan Muda Menpora(2008) Finalis 12 Besar ISMMED Accounting Championship (2009)

Riwayat Organisasi: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Editor Majalah Gamma Humas Karya Ilmiah Remaja SMA 1 Purworejo Seksi Publikasi Majalah Dinding SMA 1 Purworejo Redaksi Tidak Tetap Majalah Kiprah Anggota Pusat Kajian Akuntansi dan Keuangan Publik STAN Sekretaris Departemen Humas dan Politik BEM STAN Redaktur Pelaksana Pers Mahasiswa Warta Kampus STAN

Karya yang dipublikasikan: 1. 2. 3. 4. Purworejoku, Kota Budaya dan Pariwisata (2005) Menelusuri Alam Gaibmu (Majalah MOP, April 2006) Kediktatoran Pendidikan Anak di Indonesia (Majalah Kiprah, Januari 2007) Setiap Anak Adalah Emas( Majalah Kiprah, April 2007) 5. Nothing to Lose( Majalah Kiprah, November 2007) 6. Menggali Potensi Diri(Majalah Gemari, November 2007) 7. Integrasi Imtaq-Iptek sebagai Tonggak Peningkatan Keimanan dan Ketakwaan Siswa SMA 1 Purworejo(2007) 8. Pemuda 1928 dan Pemuda 2007: Sebuah Renungan(2007) 9. Menunggu Detik-Detik Punahnya Bahasa dan Sastra Jawa(2007) 10. Bioetanol sebagai Bahan Bakar Alternatif, Implementatif, dan Kompetitif (2008) 11. My Silent Love(Majalah Hello, 2008) 12. Pengaruh Pemuda sebagai Bentuk Nyata Kepemimpinan Muda( Majalah Kiprah, September 2008) 13. Mengapa Melawan, mengapa berontak (Warta Kampus, Agustus 2009)

14. Melawan Jejak Terorisme di Indonesia (Warta Kampu, Agustus 2009)

http://kem.ami.or.id/2011/10/mahasiswa-sebuah-nasionalisme-laten/

Nasionalisme Mahasiswa
POSTED BY ARIPRIPUH 28 MEI 2010 TINGGALKAN SEBUAH KOMENTAR

Nasionalisme berasal dari kata nation (Inggris) yang berarti bangsa. Nasionalisme dalam arti sempit adalah suatu sikap yang meninggikan bangsanya sendiri, sekaligus tidak menghargai bangsa lain sebagaimana mestinya. Sikap seperti ini jelas mencerai-beraikan bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Keadaan seperti ini sering disebut chauvinisme. Sedang dalam arti luas, nasionalisme merupakan pandangan tentang rasa cinta yang wajar terhadap bangsa dan negara, dan sekaligus menghormati bangsa lain. Sedangkan Mahasiswa dapat diartikan sebagai salah satu elemen yang terus bercita-cita

mewujudkan bangsa Indonesia ke depan menjadi lebih baik dan menjadi negara yang berprestasi dalam segala hal. Nasionalisme sebuah bangsa menentukan arah pergerakan bangsa tersebut kepada pilihan yang lebih buruk atau baik. Negara-negara maju pada saat ini menekankan pentingnya nasionalisme ketika mereka sedang berada dalam posisi sebagai negara sedang berkembang. Ketika posisi mereka berubah, nasionalisme mereka tidak ikut berubah dan justru berusaha menyebarkan nasionalisme mereka ke negara lain. Jadi, ketika muncul pertanyaan: masih relevankah nasionalisme untuk Indonesia, hal ini harus dijawab dengan mudah jika melihat preseden dan memiliki visi yang tegas mengenai bangsa ini. Bangsa yang tidak memiliki kedaulatan penuh atas wilayahnya, akan selalu menjadi bangsa kelas dua di lingkungan internasional, akan selalu menjadi bangsa konsumtif yang dependen terhadap negara lain. Kedaulatan penuh dapat diwujudkan jika masyarakat dalam suatu bangsa memiliki visi yang kuat untuk mengarahkan bangsanya menjadi lebih baik. Sebuah visi yang kuat dapat lahir jika dilandaskan dengan nasionalisme. Tanpa adanya nasionalisme, tidak akan ada visi, tidak akan ada kedaulatan, dan tidak akan ada perubahan bagi bangsa ini. Lalu bagaimana mahasiswa Indonesia mewujudkan nasionalisme yang erat kaitannya dengan musuh bersama. Tindakan apa yang harus dilakukan oleh mahasiswa Indonesia? Berbagai cara diwujudkan oleh civil society dalam mencari musuh pada saat ini untuk menunjukkan nasionalisme mereka, terlepas dari kepentingan yang mereka usung. Ada yang melalui tindakan elitis, persuasif, underground, sampai pada taraf anarkis. Isu yang muncul pun semakin beragam seperti program peningkatan kualitas pendidikan, penghapusan utang luar negeri, nasionalisasi perusahaan

multinasional, anti OI, dan lainnya. Tindakan mewujudkan nasionalisme melalui metode-metode dan isu-isu tersebut terjadi dengan mendasar pada kondisi yang berkembang pada saat ini. Mahasiswa Indonesia tidak harus terikat dengan metode-metode dan isu-isu yang ada. Kajian ilmiah menjadi sebuah keharusan bagi mahasiswa Indonesia yang merupakan civil society berbasis kaum intelektual untuk dapat mengidentifikasi musuh bersama yang ingin dikedepankan. Tanpa adanya kajian ilmiah yang mendalam, aksi dalam mengedepankan musuh bersama untuk membangkitkan kembali nasionalisme hanya akan menjadi aksi taktis yang tak ada kontinuitasnya. Kajian ini juga tidak hanya sekadar bergerak dalam isu-isu terkini saja, namun juga harus mampu mengantisipasi kemungkinan yang terjadi pada masa yang akan datang, sehingga mahasiswa Indonesia tidak tergagap-gagap untuk menghadapi perubahan masyarakat yang drastis. Bentuk kecintaan kepada suatu Negara nya menjadi sebuah tanggungjawab yang seharusnya dimiliki oleh setiap warga Negara sebagai bentuk kontribusi terhadap wilayah tempat ia hidup dan berkehidupan. Sudah sewajaranya memang rasa cinta ini dikembangkan sejak dini untuk memberikan suatu semangat bela Negara dan semangat filantropi terhadap Negara tercinta. Makna mendalam ini tentunya bisa diimplementasikan dalam berbagai bentuk, akan tetapi semangat yang dibangun adalah semangat untuk senantiasa melakukan pengembangan diri dan pengembangan komunitas sebagai bentuk kecintaan terhadap Negara. Langkah awal yang perlu dikembangkan adanya suatu proses pendidikan dan pembudayaan yang baik sejak sekolah dasar. Dimana pendidikan kewarganegaraan tidak hanya sebagai mata pelajaran yang lepas lalu saja. Akan tetapi, menjadi sebuah mata pelajaran untuk mendoktrin jiwa Negarawan diantara para pelajar di Indonesia. Cara ini terbukti sukses di Republik Rakyat Cina, dimana ada mata pelajaran khusus untuk menanamkan semangat komunisme. Sehingga di masa yang akan datang akan timbul suatu kecintaan mendalam terhadap Negara Indonesia. Bentuk dari pembuktikan rasa Nasionalisme kini tentu berbeda dengan yang dilakukan oleh pejuang kita di masa lalu. Pejuang kemerdekaan dan revolusi lebih banyak mengedepakan perjuangan fisik sebagai bentuk Nasionalisme. Atau saat pejuang reformasi melawan rezim, pergerakan dengan mobilisasi massa menjadi pilihan untuk menumbangkan rezim yang memimpin secara tidak adil. Masa kini adalah masa globalisasi informasi dan kompentensi. Sudah sewajarnya pembuktian Nasionalisme dilakukan dalam bentuk karya nyata dan prestasi yang mampu menjadikan sebuah Inspirasi bagi banyak orang. Mengejar prestasi secara akademik dengan pembuktian hasil yang memuaskan merupakan bentuk Nasionalisme jika diiringi dengan semangat inovasi dan kreatifitas

untuk mengembangkan masyarakat. Mahasiswa kini dituntut mampu membuat karya nyata yang bisa bermanfaat untuk hajat hidup orang banyak. Mahasiswa tidak boleh lagi berpikir tentang pekerjaan apa yang akan didapatkannya setelah lulus, akan tetapi mahasiswa dituntut untuk berpikir keras agar mampu membuka lapangan pekerjaan untuk kesejahteraan masyarakat banyak. Disinilah peran mahasiswa masa kini dan masa depan, dimana mampu menjadi bagian dari solusi atas permasalahan masyarakat, mampu membangun opini positif di masyarakat dan mampu menginspirasi masyarakat agar memiliki suatu perspektif positif terhadap masa depan Indonesia yang lebih baik. Ada beberapa penenggalan kalimat yang menjadi penyemangat membangun nasionalisme yang di kemukakan oleh pemateri tunggal, Drs Suparlan Al Hakim Msi. Rumahku adalah istanaku Negaraku adalah istanaku Indonesiaku adalah istanaku PENANGGALAN kalimat ini menjadi penyemangat membangun komitmen bangsa dalam menghadapi globalisasi yang tidak bisa dihindari. Problematika bangsa juga nampak pada kesadaran hukum. Demokrasi pun dipandang dari kulit semata, tidak memerhatikan perwujudan civil society. Ini berakibat munculnya konflik seiring lemahnya pemahaman dan kesadaran jati diri bangsa.

http://aripripuh.wordpress.com/2010/05/28/nasionalisme-mahasiswa/

You might also like