You are on page 1of 18

ATRESIA ANI

1. Definisi Atresia Ani Atresia ani berasal dari dari bahasa Yunani, artinya tidak ada, atresia artinya nutrisi atau makanan. Dalam istilah kedokteran atresia itu sendiri adalah keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal atau organ tubuler secara kongenital disebut juga clausura. Dengan kata lain, tidak adanya lubang di tempat yang seharusnya atau buntunya saluran atau rongga tubuh. Hal ini bisa terjadi karena bawaan sejak lahir atau terjadi kemudian karena proses penyakit yang mengenai saluran itu. Atresia ani yaitu tidak berlubangnya anus. Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus atau tertutupnya anus secara abnormal. Atresia ani adalah kondisi dimana rektal terjadi gangguan pemisahan kloaka selama pertumbuhan dalam kandungan.

2. Klasifikasi Atresia Ani 2.1 Secara Fungsional a. Tanpa anus tetapi dengan dekompresi adekuat traktus gastrointestinalis dicapai melalui saluran fistula eksterna. Kelompok ini terutama melibatkan bayi perempuan dengan fistula recto-vagina atau recto-fourchette yang relatif besar, dimana fistula ini sering dengan bantuan dilatasi, maka bisa didapatkan dekompresi usus yang adekuat sementara waktu. b. Tanpa anus dan tanpa fistula traktus yang tidak adekuat untuk jalan keluar tinja. Pada kelompok ini tidak ada mekanisme apapun untuk menghasilkan dekompresi spontan kolon, memerlukan beberapa bentuk intervensi bedah segera. 2.2 Berdasarkan Letak a. Anomali rendah Rektum mempunyai jalur desenden normal melalui otot puborektalis, terdapat sfingter internal dan eksternal yang berkembang baik dengan fungsi normal dan tidak terdapat hubungan dengan saluran genitourinarius. b. Anomali intermediet Rektum berada pada atau di bawah tingkat otot puborektalis; lesung anal dan sfingter eksternal berada pada posisi yang normal. c. Anomali tinggi Ujung rektum di atas otot puborektalis dan sfingter internal tidak ada. Hal ini biasanya berhubungan dengan fistuls genitourinarius-retrouretral (pria) atau

rectovagina (perempuan). Jarak antara ujung buntu rektum sampai kulit perineum lebih dari 1 cm. 2.3 Klasifikasi Wingspread 2.3.1 Jenis Kelamin Laki-laki Golongan I a. Kelainan fistel urin Jika ada fistel urin, tampak mekonium keluar dari orifisium eksternum uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke vesika urinaria. Cara praktis menentukan letak fistel adalah dengan memasang kateter urin. Bila kateter terpasang dan urin jernih, berarti fistel terletak uretra karena fistel tertutup kateter. Bila dengan kateter urin mengandung mekonuim maka fistel ke vesikaurinaria. Bila evakuasi feses tidak lancar, penderita memerlukan kolostomi segera. b. Atresia rektum Pada atresia rektum tindakannya sama pada perempuan. Pada atresia rektum, anus tampak normal tetapi pada pemerikasaan colok dubur jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2 cm. Tidak ada evakuasi mekonium sehingga perlu segera dilakukan kolostomi. c. Perineum datar Tidak ada keterangan lebih lanjut. d. Fistel tidak ada Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram, maka perlu segera dilakukan kolostomi. Golongan II a. Kelainan fistel perineum Fistel perineum sama dengan pada perempuan, lubangnya terletak lebih anterior dari letak anus normal, tetapi tanda timah anus yang buntu menimbulkan obstipasi.. c. Membran anal Pada membran anal biasanya tampak bayangan mekonium di bawah selaput. Bila evakuasi feses tidak ada sebaiknya dilakukan terapi definit secepat mungkin. d. Stenosis anus Pada stenosis anus, sama dengan perempuan. Pada stenosis anus, lubang anus terletak di tempat yang seharusnya, tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidak lancar sehingga biasanya harus segera dilakukan terapi definitif. e. Fistel tidak ada

Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram, maka perlu segera dilakukan kolostomi. 2.3.2 Jenis Kelamin Perempuan Golongan I a. Kelainan kloaka Bila terdapat kloaka maka tidak ada pemisahan antara traktus urinarius, traktus genetalis dan jalan cerna. Evakuasi feses umumnya tidak sempurna sehingga perlu cepat dilakukan kolostomi. b. Fistel vagina Pada fistel vagina, mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi feces menjadi tidak lancar sehingga sebaiknya dilakukan kolostomi. c. Fistel rektovestibular Pada fistel vestibulum, muara fistel terdapat di vulva. Umumnya evakuasi feses lancar selama penderita hanya minum susu. Evakuasi mulai terhambat saat penderita mulai makan makanan padat. Kolostomi dapat direncanakan bila penderita dalam keadaan optimal. d. Atresia rektum Pada atresia rektum, anus tampak normal tetapi pada pemerikasaan colok dubur jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2 cm. Tidak ada evakuasi mekonium sehingga perlu segera dilakukan kolostomi. e. Fistel tidak ada Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram, maka perlu segera dilakukan kolostomi. Golongan II a. Kelainan fistel perineum Lubang fistel perineum biasanya terdapat diantara vulva dan tempat letak anus normal, tetapi tanda timah anus yang buntu menimbulkan obstipasi. b. Stenosis anus Pada stenosis anus, lubang anus terletak di tempat yang seharusnya, tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidak lancar sehingga biasanya harus segera dilakukan terapi definitif. c. Fistel tidak ada Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram, maka perlu segera dilakukan kolostomi.

3. Etiologi Atresia Ani a. Faktor penyebab Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik di daerah usus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu ke-4 hingga ke-6 usia kehamilan. Berkaitan dengan Sindrom Down Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan Kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik b. Faktor predisposisi Faktor predisposisi terjadinya atresia ani dapat disebabkan oleh kelainan kongenital saat lahir seperti: Sindrom vactrel (sindrom dimana terjadi abnormalitas pada vertebral, anal, jantung, trachea, esofagus, ginjal, dan kelenjar limfe). Kelainan sistem pencernaan. Kelainan sistem pekemihan. Kelainan tulang belakang.

4. Patofisiologi Atresia Ani Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada kehidupan embrional. Anus dan rektum berkembang dari embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari bagian belakang berkembang menjadi kloaka yang merupakan bakal genitourinarius dan struktur anorektal. Terjadi stenosis anal karena adanya penyempitan pada kanal anorektal. Terjadi atresia ani karena tidak ada kelengkapan migrasi dan perkembangan struktur kolon antara minggu ke-7 dan ke-10 dalam perkembangan fetal. Kegagalan migrasi dapat juga dapat terjadi karena kegagalan dalam agenesis sakral dan abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak adanya pembukaan usus besar yang keluar anus menyebabkan feses tidak dapat dikeluarkan sehingga intestinal mengalami obstruksi. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula. Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan

diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses yang mengalir ke arah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ sekitarnya. Pada wanita 90% kasus atresia ani dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau perineum

(rektovestibuler). Pada laki-laki biasanya letak tinggi, umumnya fistula menuju ke vesika urinaria atau ke prostat (rektovesika). Pada letak rendah, fistula menuju ke uretra (rektouretralis).

5. Manifestasi Klinik Atresia Ani Mekonium tidak keluar dalam 24-48 jam pertama setelah kelahiran. Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi. Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang salah letaknya (vagina atau uretra) Distensi bertahap dan adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tidak ada fistula). Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam. Pada pemeriksaan rectal touch terdapat adanya membran anal. Perut kembung. Tidak bisa buang air besar Tidak adanya anus, dengan ada/tidak adanya fistula Pada atresia ani letak rendah elektrolit dan asam basa. distensi perut, muntah, gangguan cairan

6. Studi Diagnostik Spesifik Atresia Ani a. Pemeriksaan fisik rektum Pemeriksaan colok dubur dan inspeksi visual adalah pemeriksaan diagnostik yang umum dilakukan pada gangguan ini. Kepatenan rektal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau jari. b. Pemeriksaan radiologi Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk mengetahui jarak pemanjangan kantung rektum dari sfingternya. Pemeriksaan sinyal X lateral infeksi (teknik wangensteen-rice) dapat menunjukkan adanya kumpulan udara dalam ujung rektum yang buntu. Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan traktus urinarius. Pada pemeriksaan radiologis dapat ditemukan: Udara dalam usus berhenti tiba-tiba yang menandakan obstruksi di daerah

tersebut. Tidak ada bayangan udara dalam rongga pelvis pada bayi baru lahir dan gambaran ini harus dipikirkan kemungkinan atresia ani / anus imperforata. Udara berhenti tiba-tiba di daerah sigmoid, kolon / rektum. Dibuat foto anter-posterior (AP) dan lateral. Bayi diangkat dengan kepala dibawah dan kaki diatas pada anus benda bang radio-opak, sehingga pada foto daerah antara benda radio-opak dengan bayangan udara tertinggi dapat diukur. c. USG abdomen Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam system pencernaan dan mencari adanya faktor reversibel seperti obstruksi oleh karena massa tumor. USG dapat digunakan untuk menentukan letak kantong rektal. d. CT scan, Digunakan untuk menentukan lesi. e. Aspirasi jarum Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rektal dengan menusukan jarum tersebut sampai melakukan aspirasi, jika mekonium tidak keluar pada saat jarum sudah masuk 1,5 cm, defek tersebut dianggap defek tingkat tinggi. f. Pieolgrafi intravena, Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.

g. Pemeriksaan urine, Jika ada fistula, urin dapat diperiksa untuk memeriksa adanya sel-sel epitel mekonium.

7. Penatalaksanaan Atresia Ani 7.1 Penanganan secara preventif Ibu hamil hingga usia usia gestasi tiga bulan dianjurkan untuk berhati-hati terhadap obat-obatan, makanan awetan, dan alkohol yang dapat menyebabkan atresia ani. Memeriksa lubang dubur bayi saat baru lahir karena jiwanya terancam jika sampai tiga hari tidak diketahui mengidap atresia ani karena hal ini dapat berdampak feses atau tinja akan tertimbun hingga mendesak paru-parunya. Pengaturan diet yang baik dan pemberian laktulosa untuk menghindari konstipasi. 7.2 Rehabilitasi dan pengobatan Melakukan pemeriksaan colok dubur.

Melakukan pemeriksaan radiologik. Pemeriksaan foto rontgen bermanfaat dalam usaha menentukan letak ujung rektum yang buntu setelah berumur 24 jam, bayi harus diletakkan dalam keadaan posisi terbalik selama tiga menit, sendi panggul dalam keadaan sedikit

ekstensi lalu dibuat foto pandangan antero-posterior dan lateral setelah petanda diletakkan pada daerah lekukan anus. Melakukan tindakan kolostomi neonatus, tindakan ini harus segera diambil jika tidak ada evakuasi mekonium. Pada stenosis yang berat perlu dilakukan dilatasi setiap hari dengan kateter uretra, dilatasi hegar, atau spekulum hidung berukuran kecil selanjutnya orang tua dapat melakukan dilatasi sendiri di rumah dengan jari tangan yang dilakukan selama 6 bulan sampai daerah stenosis melunak dan fungsi defekasi mencapai keadaan normal. Melakukan operasi anapelasti perineum yang kemudian dilanjutkan dengan dilatasi pada anus yang baru pada kelainan adanya membran tipis yang menutupi anus. Pada kelainan anus tidak terbentuk dan rektum berakhir sebagai suatu suatu kantung yang buntu dilakukan pembedahan rekonstruktif melalui ano-proktoplasti pada masa neonatus. Melakukan pembedahan rekonstruktif antara lain: y y y Operasi abdominoperineum pada usia (1 tahun). Operasi anorektoplasti sagital posterior pada usia (8-12 bulan) Pendekatan sakrum setelah bayi berumur (6-9 bulan)

Penanganan pada saluran anus dan rektum bagian bawah yang membentuk suatu kantung buntu yang terpisah dilakukan dengan kolostomi, kemudian dilanjutkan dengan operasi "abdominalpull-through". Manfaat kolostomi a.L: y y Mengatasi obstruksi usus. Memungkinkan pembedahan rekonstruktif untuk dikerjakan dengan lapangan operasi yang bersih. y Memberi kesempatan pada ahli bedah untuk melakukan pemeriksaan lengkap dalam usaha menentukan letak ujung rektum yang buntu serta menemukan kelainan bawaan yang lain.

7.3 Prosedur operasi Teknik terbaru dari operasi atresia ani ini adalah teknik Postero Sagital Ano Recto Plasty (PSARP). Teknik ini punya akurasi tinggi untuk membuka lipatan bokong pasien. Teknik ini merupakan pengganti dari teknik lama, yaitu Abdomino Perineal Poli Through (APPT). Teknik lama ini punya resiko gagal tinggi karena harus membuka dinding perut. a. Teknik Operasi Dilakukan dengan general anestesi, dengan endotrakeal intubasi, dengan posisi

pasien tengkurap dan pelvis ditinggikan. Stimulasi perineum dengan alat Pena Muscle Stimulator untuk identifikasi anal dimple. Insisi bagian tengah sakrum ke arah bawah melewati pusat spingter dan berhenti 2 cm di depannya. Dibelah jaringan subkutis, lemak, parasagital fiber dan muscle complex. Os Coxigeus dibelah sampai tampak muskulus levator, dan muskulus levator dibelah tampak dinding belakang rektum. Rektum dibebaskan dari jaringan sekitarnya. Rektum ditarik melewati levator, muscle complex dan parasagital fiber. Dilakukan anoplasti dan dijaga jangan sampai ada tension.

b. Perawatan Pasca Operasi PSARP Antibiotik intravena diberikan selama 3 hari, salep antibiotik diberikan selama 810 hari. 2 minggu pasca operasi dilakukan anal dilatasi dengan heger dilatation, 2x sehari dan tiap minggu dilakukan anal dilatasi dengan anal dilator yang dinaikkan sampai mencapai ukuran yang sesuai dengan umurnya. Businasi dihentikan bila busi nomor 13-14 mudah masuk.

c. Skoring Klotz Penilaian hasil skoring: nilai scoring 7 21 <7 8-10 11-13 > 14 No. 1. = Sangat baik = Baik = Cukup = Kurang Variabel Defekasi Kondisi 1-2 kali sehari 2 hari sekali 3 5 kali sehari 3 hari sekali > 4 hari sekali Tidak pernah Kadang-kadang Terus-menerus Normal Lembek Encer Terasa Tidak terasa Tidak pernah Skor 1 1 2 2 3 1 2 3 1 2 3 1 3 1

2.

Kembung

3.

Konsistensi

4. 5.

Perasaan ingin BAB Soiling

6.

7.

Kemampuan menahan feses yang akan keluar Komplikasi

Terjadi bersama flatus Terus-menerus > 1 menit < 1 menit Tidak bisa menahan Tidak ada Komplikasi minor Komplikasi mayor

2 3 1 2 3 1 2 3

8. Komplikasi Pasien dengan Atresia Ani a. Asidosis hiperkioremia. b. Infeksi saluran kemih yang bisa berkepanjangan. c. Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah). d. Komplikasi jangka panjang. f. Eversi mukosa anal Stenosis (akibat konstriksi jaringan perut di-anastomosis)

e. Masalah atau keterlambatan yang berhubungan dengan toilet training. Inkontinensia (akibat stenosis awal atau impaksi).

g. Prolaps mukosa anorektal. h. Fistula kambuan (karena ketegangan diare pembedahan dan infeksi)

ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian a. Persepsi kesehatan: pola manajemen kesehatan Mengkaji kemampuan pasien dan keluarga untuk melanjutkan perawatan di rumah. b. Pola nutrisi: metabolik Anoreksia, penurunan BB dan malnutrisi umum terjadi pada pasien dengan atresia ani post-kolostomi. Keinginan pasien untuk makan mungkin terganggu oleh mual dan muntah sebagai dampak dari anestesi. c. Pola eliminasi Dengan pengeluaran melalui saluran kencing, usus, kulit dan paru maka tubuh dibersihkan dari bahan-bahan yang melebihi kebutuhan dan dari produk buangan. Pada atresia ani tidak terdapat lubang pada anus sehingga pasien akan mengalami kesulitan dalam defekasi. d. Pola aktivitas dan latihan Pola latihan dan aktivitas dipertahankan untuk menghindari adanya kelemahan otot. e. Pola persepsi kognitif Menjelaskan tentang fungsi penglihatan, pendengaran, penciuman, daya ingatan masa lalu dan ketanggapan dalam menjawab pertanyaan. f. Pola tidur dan istirahat Pada pasien mungkin pola istirahat dan tidur terganggu karena nyeri pada luka inisisi. g. Konsep diri dan persepsi diri Menjelaskan konsep diri dan persepsi diri misalnya body image, body comfort. Terjadi perilaku distraksi, gelisah, penolakan karena dampak luka jahitan operasi. h. Peran dan pola hubungan Bertujuan untuk mengetahui peran dan hubungan sebelum dan sesudah sakit. Perubahan pola biasa dalam tanggung jawab atau perubahan kapasitas fisik untuk melaksanakan peran. i. Pola pertahanan diri, stress dan toleransi Adanya faktor stress lama, efek hospitalisasi, masalah keuangan, rumah. j. Pola keyakinan dan nilai Untuk menerangkan sikap, keyakinan klien dalam melaksanakan agama yang dipeluk dan konsekuensinya dalam keseharian. Dengan ini diharapkan

perawat dalam memberikan motivasi dan pendekatan terhadap klien dalam upaya pelaksanaan ibadah. k. Pemeriksaan fisik Hasil pemeriksaan yang didapatkan: anus tampak merah, usus melebar, kadang-kadang tampak ileus obstruksi, termometer yang dimasukkan melalui anus tertahan oleh jaringan, pada auskultasi terdengar hiperperistaltik, tanpa mekonium dalam 24 jam setelah bayi lahir, tinja dalam urin dan vagina.

2. Diagnosa Keperawatan 1. Inkontinensia alvi berhubungan dengan tidak lengkapnya pembentukan anus. 2. Gangguan rasa nyaman: Nyeri berhubungan dengan trauma saraf jaringan, distensi abdomen. 3. Perubahan nutrisi: Kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, muntah. 4. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan, aliran feses ke traktus urinarius. 5. Pola pernapasan tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru (distensi abdomen). 6. Ketidakseimbangan asam-basa berhubungan dengan perubahan aliran urine ke rektum. 7. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kolostomi. 8. Kecemasan keluarga berhungan dengan prosedur pembedahan dan kondisi bayi. 9. Kurangnya pengetahuan keluarga berhungan dengan kebutuhan perawatan di rumah.

3. Rencana Intervensi Keperawatan


Dx. Inkontinensia alvi b.d tidak lengkapnya pembentukan anus.

Tujuan: Terjadi peningkatan fungsi usus

Kriteria hasil: Pasien menunjukkan konsistensi tinja lembek, terbentuknya tinja, tidak ada nyeri saat defekasi, tidak terjadi perdarahan. Intervensi Mandiri: Dilatasikan anal sesuai program. Rasional: Mencapai ukuran anus yang sesuai dengan usia anak.

Pertahankan puasa dan berikan terapi hidrasi IV sampai fungsi usus normal. Rasional: Menurunkan resiko iritasi mukosa.

Lakukan enema atau irigasi rektal sesuai order Rasional: Evaluasi bowel meningkatkan kenyamanan pada anak.

Kaji bising usus dan abdomen setiap 4 jam. Rasional: Meyakinkan berfungsinya usus.

Ukur lingkar abdomen Rasional: Pengukuran lingkar abdomen membantu mendeteksi terjadinya distensi

Dx. Gangguan rasa nyaman: Nyeri b.d trauma saraf jaringan, distensi abdomen.

Tujuan: Pasien akan melaporkan nyeri hilang atau terkontrol, akan tampak rileks.

Kriteria hasil: Ekspresi wajah pasien relaks, TTV normal.

Intervensi Mandiri: Kaji tingkat nyeri yang dirasakan pasien. Rasional: Membantu evaluasi derajat ketidaknyamanan. Tanyakan pada pasien tentang nyeri. Rasional: Menurunkan ansietas / takut dapat meningkatkan kenyamanan. Jelaskan penyebab nyeri dan awasi perubahan kejadian. Rasional: Menurunkan ansietas / takut dapat meningkatkan kenyamanan. Ajarkan dan anjurkan teknik relaksasi, distraksi. Rasional: Membantu pasien untuk istirahat lebih efektif sehingga menurunkan nyeri dan ketidaknyamanan. Berikan posisi yang nyaman pada pasien. Rasional: Menurunkan tegangan otot, meningkatkan relaksasi, dan

meningkatkan kemampuan koping. Intervensi Kolaborasi: Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi. Rasional: Menurunkan nyeri, meningkatkan kenyamanan, meningkatkan penyembuhan.
Dx. Perubahan nutrisi: Kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia, muntah.

Tujuan: Kebutuhan nutrisi tubuh tercukupi.

Kriteria hasil:

Menunjukkan peningkatan BB, nilai laboratorium normal, bebas tanda malnutrisi.

Intervensi Mandiri: Pantau masukan dan pengeluaran makanan / cairan. Rasional: Mengidentifikasi kekurangan / kebutuhan untuk membantu memilih intervensi. Kaji makanan kesukaan anak. Rasional: Meningkatkan nafsu makan dan jumlah intake makanan. Beri makan sedikit tapi sering. Rasional: Mencegah muntah sehingga meningkatkan intake nutrisi. Pantau berat badan secara periodik. Rasional: Mengidentifikasi status nutrisi dan memastikan kebutuhan metabolik. Libatkan orang tua, misal membawa makanan dari rumah, membujuk anak untuk makan. Rasional: Mendorong keinginan pasien untuk makan, menurunkan anoreksia. Beri perawatan mulut sebelum makan. Rasional: Memperbaiki kemampuan lidah untuk merasakan makanan, meningkatkan nafsu makan. Berikan isirahat yang adekuat. Rasional: Menurunkan resiko muntah setelah makan, menurunkan kebutuhan energi. Intervensi Kolaborasi: Pemberian nutrisi secara parenteral. Rasional: Mempertahankan kebutuhan kalori sesuai program diet.

Dx. Resiko tinggi infeksi b.d prosedur pembedahan, aliran feses ke traktus

urinarius. Tujuan: Tidak terjadi infeksi.

Kriteria hasil: Tidak ada tanda-tanda infeksi. TTV normal. Lekosit normal.

Intervensi Mandiri: Awasi pemasukan dan pengeluaran serta karakteristik urine.

Rasional: Adanya feses pada urine menunjukkan adanya fistel urine yang dapat menyebabkan infeksi berulang. Selidiki keluhan kandung kemih penuh. Rasional: Adanya retensi urine dapat meningkatkan resiko infeksi pada traktus urinarius. Pertahankan teknik septik dan aseptik secara ketat pada prosedur medis atau perawatan. Rasional: Menurunkan penyembuhan. Amati lokasi invasif terhadap tanda-tanda infeksi. Rasional: Adanya tanda kemerahan, bengkak, nyeri, eksudat / pus resiko infeksi silang, mempercepat proses

menunjukkan adanya infeksi. Pantau suhu tubuh. Rasional: Peningkatan suhu tubuh menunjukkan adanya infeksi. Pantau dan batasi pengunjung, beri isolasi jika memungkinkan. Rasional: Menurunkan resiko infeksi silang, meningkatkan istirahat pasien sehingga daya tahan tubuh adekuat. Intervensi Kolaborasi: Awasi / observasi hasil laboratorium (sel darah putih). Rasional: Adanya peningkatan sel darah putih menunjukkan adanya infeksi. Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi (misal: antibiotik). Rasional: Mempercepat komplikasi. proses penyembuhan, meminimalkan resiko agen

Pemberian

antibiotik dapat menghilangkan

penyebab infeksi.
Dx. Pola pernapasan tidak

efektif b.d penurunan ekspansi paru (distensi

abdomen). Tujuan: Pola pernapasan efektif sesuai pola pernapasan normal.

Kriteria hasil: Pasien mempertahankan ventilasi adekuat. Tidak mengalami sianosis atau tanda hipoksia lain, dengan GDA dalam rentang normal. Intervensi Mandiri: Awasi kecepatan / kedalaman pernapasan. Rasional: Adanya suara stridor menandakan adanya penurunan ventilasi dan dapat mengakibatkan hipoksia.

Auskultasi bunyi napas. Rasional: Adanya suara tambahan menunjukkan penurunan ventilasi paru. Tinggikan kepala tempat tidur 30o. Rasional: Mendorong pengembangan diafragma atau ekspansi paru optimal, meminimalkan tekanan isi abdomen pd rongga toraks.

Ubah posisi secara periodik. Rasional: Meningkatkan pengisian udara seluruh segmen paru.

Hindari penggunaan pengikat abdomen (misal: gurita, baju ketat). Rasional: Dapat membatasi ekspansi paru.

Intervensi Kolaborasi: Berikan oksigen tambahan. Rasional: Memaksimalkan sediaan oksigen untuk pertukaran dan penurunan kerja napas.
Dx. Ketidakseimbangan asam-basa b.d perubahan aliran urine ke rektum.

Tujuan: Keseimbangan asam-basa membaik. Bebas komplikasi.

Kriteria hasil: Nilai elektrolit dalam batas normal.

Intervensi Mandiri: Kaji tingkat kesadaran dan perhatikan kemajuan perubahan pada status neuromuskuler (misal: kekuatan, tonus, gerakan). Rasional: Asidosis dapat menyebabkan perubahan status mental karena penurunan pH cairan SSP. Pantau frekuensi / irama jantung. Rasional: Asidemia dapat dimanifestasikan oleh perubahan pada konfigurasi EKG dan adanya taki-disritmia atau bradi-disritmia serta

peningkatan iritabilitas ventrikel. Kaji suhu kulit, warna, dan pengisian kapiler. Rasional: Mengevaluasi status sirkulasi, perfusi jaringan, efek hipotensi. Auskultasi bising usus, ukur lingkar abdomen sesuai indikasi. Rasional: Menandakan adanya distress GIT. Tes / pantau pH urine. Rasional: Menandakan kompensasi asidosis dengan mengekskresi kelebihan hidrogen dalam bentuk asam lemah. Intervensi Kolaborasi:

Bantu dengan identifikasi / pengobatan penyebab dasar. Rasional: Pengobatan faktor penyebab dapat mengembalikan pH menjadi normal.

Ganti cairan sesuai indikasi. Rasional: Mengurangi asidosis.

Beri obat sesuai indikasi (misal: natrium bikarbonat, kalium klorida, fosfat, kalsium). Rasional: Membantu mengembalikan keseimbangan asam-basa pasien.

Dx. Gangguan integritas kulit b.d kolostomi.

Tujuan: Tidak terjadi kerusakan integritas kulit.

Kriteria hasil: Mempertahankan integritas kulit. Tidak terdapat tanda-tanda kerusakan integritas kulit. Mengindentifisikasi faktor resiko individu.

Intervensi Mandiri: Lihat stoma / area kulit peristomal pada setiap penggantian kantong. Rasional: Adanya tanda kemerahan, bengkak, nyeri, eksudat / pus

menunjukkan adanya infeksi. Ukur stoma secara periodik misalnya tiap perubahan kantong. Rasional: Pelebaran stoma menunjukkan adanya gangguan / keterlambatan penyembuhan luka. Berikan perlindungan efektif pada kulit. Rasional: Mempertahankan kulit tetap bersih, meminimalkan kerusakan pada kulit. Kosongkan irigasi dan bersihkan dengan rutin. Rasional: Mencegah terjadinya komplikasi infeksi akibat adanya timbunan sisa pencernaan. Awasi adanya rasa gatal disekitar stoma. Rasional: Adanya rasa gatal merupakan gejala infeksi. Intervensi Kolaborasi: Kolaborasi dengan ahli terapi. Rasional: Memberikan terapi yang sesuai dengan masalah kesehatan yang sedang dihadapi.
Dx. Kecemasan keluarga b.d prosedur pembedahan dan kondisi bayi.

Tujuan:

Memberi dukungan emosional pada keluarga.

Kriteria hasil: Keluarga akan mengekspresikan perasaan dan pemahaman terhadap kebutuhan intervensi perawatan dan pengobatan. Intervensi Mandiri: Ajarkan untuk mengekspresikan perasaan. Rasional: Mengidentifikasi rasa takut sebagai antisipasi terhadap prosedur pembedahan. Ajarkan keluarga untuk berpartisipasi dalam perawatan pasien. Rasional: Meningkatkan pemahaman terhadap kondisi anak sehingga dapat mengurangi kecemasan. Jelaskan dengan istilah yang dimengerti oleh orang tua tentang anatomi dan fisiologi saluran pencernaan normal. Gunakan alat, media dan gambar. Rasional: Agar orang tua mengerti kondisi klien. Beri jadwal studi diagnosa, jadwal operasi, identifikasi pasien, dan informed consent dengan orang tua. Rasional: Pengetahuan tersebut diharapkan dapat membantu menurunkan kecemasan karena mengurangi rasa takut akan kesalahan prosedur. Beri informasi pada orang tua tentang operasi kolostomi Rasional: Membantu mengurangi kecemasan klien
Dx. Kurangnya pengetahuan keluarga b.d kebutuhan perawatan di rumah.

Tujuan: Pasien dan keluarga memahami perawatan di rumah.

Kriteria hasil: Keluarga menunjukkan kemampuan untuk memberikan perawatan bayi di rumah. Intervensi Mandiri: Ajarkan perawatan kolostomi dan partisipasi dalam perawatan sampai mereka dapat melakukan perawatan. Rasional: Meningkatkan pelaksanaan perilaku positif, menurunkan resiko ketidaktepatan perawatan bedah atau perkembangan komplikasi. Ajarkan untuk mengenal tanda-tanda dan gejala yang perlu dilaporkan pada perawat. Rasional: Pengenalan awal dan pengobatan perkembangan komplikasi dapat mencegah perkembangan ke arah situasi yang lebih serius (membahayakan jiwa).

Ajarkan bagaimana memberikan pengamanan pada bayi dan melakukan dilatasi pada anal secara tepat. Rasional: Membantu mencapai ukuran anus yang sesuai dengan usia anak.

Ajarkan cara perawatan luka yang tepat. Rasional: Meningkatkan kompetensi perawatan diri dan meningkatkan kemandirian.

Latih pasien untuk kebiasaan defekasi. Rasional: Mengembalikan fungsi anus sesuai dengan kondisi normal.

Ajarkan pasien dan keluarga untuk memodifikasi diet (misalnya serat). Rasional: Menurunkan resiko obstruksi usus, membantu memperlancar BAB, meningkatkan kontrol usus lebih baik.

4. Evaluasi 1. Inkontinensia alvi tidak terjadi. 2. Nyeri berkurang atau hilang. 3. Nutrisi adekuat. 4. Infeksi tidak terjadi. 5. Pola pernapasan efektif. 6. Keseimbangan asam-basa adekuat. 7. Integritas kulit baik. 8. Kecemasan keluarga berkurang atau tidak ada. 9. Pengetahuan keluarga adekuat.

Buku Sumber: Suriadi dan Yuliani, Rita. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi I. Jakarta: Fajar Interpratama

You might also like