You are on page 1of 12

MODEL EVALUASI KURIKULUM

Model Evaluasi Kuantitatif 1. Model Tyler Model Tyler lebih dikenal dengan black box karena tidak mengutamakan proses. Hal ini dikemukan dalam buku basic principles off curriculum and instruction. Model ini dibangun atas dua dasar yaitu pada tingkah laku dan evaluasi kurikulum sebagai renacana yang dinamakan intermedidiate preliminary stages of evaluation(Tyler, 1949:104). Dalam pelaksanaan evalusi kurikulum dijabarkan dalam tiga prosedur utama yaitu :

Menentukan tujuan kurikulum yang akan dievaluasi. Dalam menetukan tujuan kurikulum tidak selalu berhubungan dengan tujuan yang bersifat kognitif saja, akan tetapi juga bersifat afektif dan psikimotorik.

Menentukan situasi dimana siswa mendapatkan kesempatan untuk memperlihatkan tingkah laku yang berhubungan dengan tujuan. Situasi yang dijelaskan disini adalah sebuah perlakukuan yang diberikan evaluator kepada siswa untuk mengetahui tingkat penguasaan siswa dalam kurikulum yang telah dibuat. Dalam artian hanya berupa tes akhir yang berupa tes tertulis, tes lisan, tes performance, dan lain-lainnya. Dalam menentukan situasi ini diperlukan kegitan ekstra karena bila tidak model yang digunakan atau tingkah laku yang diharapkan mungkin tidak akan terlaksana dengan baik.

Menetukan alat evaluasi yang akan dipergunakan untuk mengukur tingkah laku siswa. Alat evalusi tidak serta merta merupakan tes-tes yang dapat langsung digunakan akan tetapi evaluator disini mengembangkan instrument-instrumen yang dipakai agar tujuan kurikulum yang telah dibuat tercapai dengan maksimal. Dalam mengembangkan instrument harus memenuhi persyaratan objektif, terandal(reliable) dan sahih(valid).

Proses pengembangan criteria evaluasi model ini mendekati pada pendekatan preordinate maupun fidelity oleh karena itu evaluator diberi keleluasaan dalam menentukan tujuan yang dibuat bersama dengan pengembang kurikulum. Keunggulan dari model ini adalah kesederhanaan dalam prosedur

pengembangannya karena tidak mempedulikan pada proses. Oleh karena itulah menjadi sebuah kelemahan yang model ini hanya terpusat pada kurikulum sebagai hasil belajar.

2. Model Teoritik Taylor dan Maguire Kedua pengembang model ini lebih mendasarkan dirinya pada pertimbangan teoritik. Suatu metode evaluasi kurikulum mencoba menerapkan apa yang seharusnya terjadi pada suatu proses pelaksanaan evaluasi. Unsur unsur yang ada dalam model ini diantaranya sumber sosial, tujuan, dan tujuan yang akan dikembangkan berdasarkan pendekatan behavioral, pengembangan strategi, dan semangat psikometrik. Ada dua kegiatan utama yang dilakukan evaluator dalam model ini yaitu : Pertama, mengumpulkan data objektif yang di hasilkan dari berbagai sumber mengenai komponen tujuan, lingkungan, personalia, metode dan konten, serta hasil belajar. Baik hasil belajar langsung maupun hasil belajar dalam jangka panjang. Kedua, pengumpulan data yang merupakan hasil pertimbangan individual terutama mengenai kualitas dari tujuan, masukan dan hasil belajar. Menurut Taylor dan Maguire terdapat tingkat tugas evaluatir yaitu :

memberikan pertimbangan mengenai nilai tujuan umum yang terdapat pada matrik pertama, hal ini ditujukan untuk membandingkan data observasi yang dilakukan evaluator terhadap pola kehidupan masyarakat.

Mencari data mengenai keserassian antara tujuan umum dangan tujuan behavioral. Evaluator mencari relevansi antara dua tingkat tujuan yang berbeda dalam tingkat abtraksinya.

Tugas evaluator terbagi atas dua kegiatan, kegiatan pertama berhubungan penelaahan pengembangan dokumen tertulis, kegiatan kedua adalah menghubungkan strategi yang dikembangkan dalam dokumen dengan strategi yang di kembangkan dalam realita interaksi.

Evaluator menelaah hasil belajar siswa, evaluator tidak hanya melihat hasil belajar yang bersifat langsung tetapi juga harus melihat apakah hasil belajar yang diperoleh mempunyai daya pindah kepada persoalan persoalan yang lebih umum.

Model teoritik juga mengundang beberapa masalah jika diterapkan secara utuh dalam pendidikan di indonesia. Pengembangan model di indonesia menggunakan perumusan tujuan yang bersifat umum karena belum dikembangkan tujuan yang bersifat bahavioral. Oleh karena itu tujuan yang dikembngkan adalah tujuan instraksional umum yang belum bersifat operasional. Model ini memberikan kelelusaan untuk :

menerapkan kajian evaluasi secara komprehensif mengkaji setiap komponen dan dimensi kurikulum yang ada. Aplikasi ide dasar dilakukan secara universal terlepas dari pendidikan yang berlaku.

3. Model Pendekatan Sistem Alkin Pendekatan Alkin juga disebut dengan pendekatan system karena mengutamakan system yang berjalan seperti halnya pendidikan yang diartikan sebagai sebuah system. Model Alkin selalu memasukkan unsure pendekatan ekonomi mikro dalam pekerjaan evaluasi. Alkin membagi model ini menjadi masukan, proses atau perantara dan keluaran. Model ini dikembangkan berdasarkan 4 asumsi yaitu :

Variable perantara adalah satu-satunya kelompok variable yang dapat dimanipulasi. System luar secara tidak langsung dipengaruhi oleh keluaran system. Para pengambil keputusan sekolah tidak memiliki kontrol mengenai pengaruh yang diberikan system luar terhadap sekolah.

Factor masukan mempengaruhi aktivitas factor perantara dan pada gilirannya factor perantara berpengaruh terhadap factor keluaran.

Untuk lebih jelasnya seperti dijabarkan dalam gambar dibawah ini.

System luar 1 System luar 2 Masukan siswa Masukan keungan Sistem (Faktor perantara) Keluaran siswa Keluaran bukan siswa

Keterangan :

Masukan siswa Masukan keuangan System luar 1 dan 2

Termasuk didalamnya semua informasi tentang siswa yang masuk dalam system yang dijalankan. Semua bantuan keuangan yang diterima sekolah baik dari siswa, industry maupun pihak-pihak lainnya. Pengaruh lingkungan sekitar terhadap jalannya system, misalnya industry, pemerintahan, komunitas masyarakat dan lain-lainnya. Merupakan kelompok variable yang mempengaruhi keluaran misalnya, administrasi sekolah, jumlah siswa dalam satu kelas, guru, prosedur pengajaran, dll. Bagaimana suatu system itu berjalan dengan baik bila siswa atau tingkah laku siswa yang dibina tersebut berubah sehingga apa yang diharapkan dapat terlaksana dengan benar sesuai tujuan yang ditetapkan. Kelanjutan dari keluaran siswa dimana ini lebih berpengaruh pada apresiasi masyarakat terhadap sekolah. Misalnya citra sekolah dimata orang tua siswa bahwa anaknya dapat lulus dengan baik dan memuaskan karena menempuh pendidikan disekolah yang tepat, dll.

Factor perantara

Keluaran siswa

Keluaran siswa

bukan

Kekuatan model ini adalah keterikatannya dengan system. Sehingga semuanya terorganisir dengan baik tidak boleh melenceng pada yang lainnya karena akan mempengaruhi semua aspek yang ada.

Kelemahannya terutama pada keterbatasannya dalam focus kajian. Focus kajian yang ada hanya pada kegiatan persekolahan. Dengan demikian model ini hanya dapat digunakan untuk mengevaluasi kurikulum yang sudah siap dilaksanakan disekolah.

4. Model Countenance Stake Merupakan model pertama evaluasi kurikulum yang dikembangkan Stake. Dalam tulisannya, nama Countenance dipergunakan dan disesuaikan dengan judul artikelnya yang mempunyai makna ambiguous. Stake mendasarkan dirinya pada evaluasi formal yaitu sebagai suatu kegiatan evaluasi yang sangat tergantung pada pemakaian. Dan dikembangkan atas keyakinan bahwa, suatu evaluasi haruslah memberikan deskripsi dan pertimbangan sepenuhnya mengenai evaluan. Peran evaluator dalam pengembangan tujuan kurikulum menjadi tujuan khusus yang terukur. Antecedent adalah keadaan sebelum suatu kegiatan kelas berlangsung. Transactions adalah kegiatan interaksi yang terjadi di sekolah. Antecedent,transaction, dan hasil(outcomes) terbagi 2 kategori :

Kategori pertama ialah apa yang diinginkan (intent) oleh pengembang program. Entry behaviours adalah minat, kemampuan,dan pengalaman.

Kategori kedua ialah kategori yang berhubungan dengan yang sesungguhnya terjadi. Stake membuat kategorinya berdasarkan apa yang dilakukan evaluator yang di namakan observasi. Observasi adalah data yang mengungkapkan tentang apa dan bagaimana kurikulum.

Data pertimbangan meliputi 3 jenjang yaitu antecedent, transactions, dan hasil yang diperoleh.

INTENT OBSERVASI STANDAR PERTIMBANGAN RASIONAL Antecedents Transactions

Hasil Matrik deskripsi Matriks pertimbangan

Evaluator mendengarkan dan mencatat apa yang dikemukakan oleh pengembangan kurikulum/program. Semua itu perlu diperhatikan meskipun dalam gambar kotak rasional sebelah kiri matriks deskripsi, hal itu tidak berarti pengumpulan data tentang rasional dilakukan terlebih dahulu. Contingency dipergunakan untuk menganalisis data secara vertical. Analisis kedua adalah analisis emperik contingency. Dasar bekerjanya sama dengan analisis logis tapi data yang dipergunakan adalah data emperik. Analisis data deskriptif tsb digambarkan Stake sebagai berikut :

Antecedents yang diharapkan

Antecedents yang diamati (observasi)

congruence Contingency logis contingency empirik

Transaksi yang diharapkan

Transaksi yang diamati Congruence

Contingency logis contingency empirik

Congruence hasil yang diharapkan

hasilyang diamati

Tugas evaluator ialah memberikan pertimbangan mengenai program yang sedang dikaji.dalam model keseluruhan digambarkan bahwa dalam matriks pertimbangan ada yang dinamakan standar dan pertimbangan. Standar mutlak adalah standar yang di anggap berlaku untuk suatu kurikulum/program. Standar relative adalah komparasi antara satu program dengan program lainnya dalam satu bidang studi yang sama. Adanya beberapa program dalam satu bidang studi yang sama disebut jamak. Pada waktu evaluator memberikan umpan balik kepada pembuat keputusan, pertimbangan yang diberikan nya adalah pertimbangan yang bersifat menyeluruh(komprehensif). Model Stake dapat dipergunakan dalam pengembangan kurikulum di tingkat nasional apabila eksperimen dilakukan. Pengembangan kurikulum dapat menerapkan model ini sepenuhnya karena semua persyaratan Stake terpenuhi.

5. Model CIPP Model ini bertitik tolak pada pandangan bahwa keberhasilan progran pendidikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti : karakteristik peserta didik dan lingkungan, tujuan program dan peralatan yang digunakan, prosedur dan mekanisme pelaksanaan program itu sendiri. Evaluasi model ini bermaksud membandingkan kinerja (performance) dari berbagai dimensi program dengan sejumlah kriteria tertentu, untuk akhirnya sampai pada deskripsi dan judgment mengenai kekuatan dan kelemahan program yang dievaluasi. Model ini kembangkan oleh Stufflebeam (1972) menggolongkan program pendidikan atas empat dimensi, yaitu : Context, Input, Process dan Product. Menurut model ini keempat dimensi program tersebut perlu dievaluasi sebelum, selama dan sesudah

program pendidikan dikembangkan. Penjelasan singkat dari keempat dimensi tersebut adalah, sebagai berikut :

Context; yaitu situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan strategi pendidikan yang akan dikembangkan dalam program yang bersangkutan, seperti : kebijakan departemen atau unit kerja yang bersangkutan, sasaran yang ingin dicapai oleh unit kerja dalam kurun waktu tertentu, masalah ketenagaan yang dihadapi dalam unit kerja yang bersangkutan, dan sebagainya.

Input; bahan, peralatan, fasilitas yang disiapkan untuk keperluan pendidikan, seperti : dokumen kurikulum, dan materi pembelajaran yang dikembangkan, staf pengajar, sarana dan pra sarana, media pendidikan yang digunakan dan sebagainya.

Process; pelaksanaan nyata dari program pendidikan tersebut, meliputi : pelaksanaan proses belajar mengajar, pelaksanaan evaluasi yang dilakukan oleh para pengajar, penglolaan program, dan lain-lain.

Product; keseluruhan hasil yang dicapai oleh program pendidikan, mencakup : jangka pendek dan jangka lebih panjang. Keuntungan model ini adalah dari segi konten sangat jelas terlihat cara-cara

pengerjaannya dan juga bila digabungkan keempatnya akan lebih maksimal lagi. Yang kedua adalah peran aktif para evaluator sejak awal. Kelemahan model ini adalah apabila diterapkan setengah-setengah atau parsial. Dengan demikian hubungan antara satu keputusan dengan keputusan lain dapat kehilangan kesinambungan.

6. Model Ekonomi Mikro Model ini diartikan sebagai kegiatan perekonomian dalam arti sempitnya, maka pendidikan sebagai suatu lembaga social-budaya, mempunyai karakteristik khusus yang tidak selalu mendasarkan dirinya atas perhitungan ekonomi akan tetapi pendidikan yang didukung financial akan lebih berarti lagi.

Terdapat 4 model yang dikembangan oleh Levin (1983:17), yaitu :

Cost-effectiveness Dalam model ini dijelaskan bahwa evaluator yang menerapkan model ini harus dapat membandingkann dua program atau lebih dalam segi dana yang digunakan untuk setiap program. Contohnya dalam penelitian yang dilakukan semuanya harus terinci dari awal penggunaan dana sampai selesai eksperimen tersebut dan hasilnya apakah sebanding dengan dana yang dikeluarkan. Model ini menggunakan pendekatan pre-ordinate, dengan demikian karakteristik masing-masing kurikulum yang dibandingkan tidak diperhitungkan.

Cost-benefit Pada model ini lebih pada unit uang dalam mengukur hasilnya, hal ini sangat berbeda dari model sebelumnya. Dan perbedaan yang kedua adalah dari segi waktu. Bila mungkin untuk model cost-efectiveness waktu yang digunakan relative singkat tetapi untuk cost-benefit sangat lama. Contohnya antar program A dan B, masukan pertama untuk A adalah Rp 100.000.000,- sedangkan B adalah Rp 150.000.000. setelah diukur keuntungannya diperoleh hasil antara A maupun B menghasilkan Rp 200.000.000,-. Kemudian dirasiokan dan diperoleh hasil bahwa program A lebih menguntungkan dari program B.

Cost-utility Bahwa sebuah evaluasi memerlukan kajian lebih jauh, sehingga evaluator dapat menggunakan data kuantitatif maupun kualitatif. Cara menentukan cost-utylity dari sebuah program adalah dengan membandingkan antara nilai rata-rata yang diperoleh suatu program dengan costnya, bukan meminta nilai tujuan yang akan dicapai tapi meminta pendapat pakar mengenai kemungkinan yang lebih rumit yang akan dihadapi,menggabungkan kedua cara sebalumnya,

Cost-feasibility Berbeda dari ketiga model sebelumnya, model ini tidak berusaha mencari hubungan antara biaya dengan hasil tertentu, akan tetapi menjawab permasalahan evaluasi misalnya apakah biaya yang akan digunakan tersedia telah cukupi?

7. Model Evaluasi Kulitatif Dalam metode kualitatif ini memiliki sifat komunikatif dengan para pemakai hasil evaluasi dan gambaran kuat yang diberikannya mengenai suatu pelaksanaan kurikulum di lingkungan pendidikan tertentu dan terbatas. Dengan gambaran itu rincian masalah yang dihadapi oleh pelaksana kurikulum segera dapat dikenal oleh para ahli sehingga arah putusan yang diambil segera menjadi lebih jelas. Ciri khas dari evaluasi ini ialah fokus perhatian utamanya dari proses pelaksanaan kurikulum. Model ini ialah apa yang dikenal dengan nama studi kasus (case study). 8. Model Studi Kasus Model ini memusatkan perhatiannya hanya pada kegiatan kurikulum di satu unit kegiatan pendidikan. Unit tersebut dari apa saja, contoh dapat berupa dari satu sekolah, satu guru atau satu kelas. Karakteristik dari model ini ialah data yang dikumpulkan terutama data kualitatif, karena data kualitatif dianggap dapat mengungkapkan apa yang ada di lapangan karena proses yang direkam tidak dapat dinyatakan dengan angka kecuali dengan ungkapan proses pula. Karakteristik selanjutnya ialah kenyataanya yang tidak sepihak(multiple realistis) Patton,1980; Kemmis,1982 maksudnya kenyataan adalah sesuatu yang berhubungan dengan konteks dan persepsi individu yang terlibat di dalamya, jadi bukan hanya kenyatannya yang dipersepsi oleh evaluator atau orang yang memberi tugas kepada evaluator. Dalam menggunakan model ini evaluator harus familiarisasi. Familiarisasi dibagi menjadi dua yaitu familiarisasi terhadap kurikulum sebagai ide dan rencana, familiarisasi yang kedua evaluator sudah berada di lapangan. Dengan ini evaluator dapat mengobservasi dengan baik. Dalam model ini teknik pengumpulan data sangat dianjurkan untuk menggunakan observasi, wawancara dan koesioner. Data yang sudah terkumpul langsung diolah, jadi pengolahan data dilakukan ketika evaluator masih dalam proses pengumpulan data, cara ini memiliki beberapa keuntungan yaitu persoalan baru yany mungkin muncul dari hasil analisis data dapat

segera ditelusuri, hal-hal yang tidak jelas segera dikomunikasikan kembali ke responden untuk mendapatkan kejelasan, waktu untuk kegiatan evaluasi dapat dipersingkat mengingat hakekat data kualitatif yang dikumpulkan.

9. Model Ilmunatif Model ini memberikan perhatiannya terhadap lingkungan luas dimana suatu inovasi kurikulum dilakukan. Ini merupakan salah satu kekuatan model ini dalam aplikasi di Indonesia dimana suatu inovasi yang dikembangkan di tingkat pusat diimplementasikan di berbagai ragam lingkungan sosial budaya. Model ini ditegakkan atas dasar konsep sistem instruksi dan lingkungan belajar. Dalam pengertian metodologis dikatakan bahwa model ilminatif ini bukanlah suatu paket model yang standar, menurut kedua model pengembangannya, model ini bersifat adaptik dan eklektik. Oleh karena ini metode apa saja dapat digunakan asalakan dapat sesuai dengan persoalan yang dihadapi. Metode kualitatif dan kuantitatif kedudukannya sama dan saling mengisi. Observasi merupakan langkah yang memegang peranan penting, metode ini adalah langkag awal dari evaluator untuk mendapatkan data. Evaluator dapat menggunakan teknik wawancara dan koesioner. Evaluator berusahan menemukan isu poko, kecenderungan yang sering muncul dll. Langkah kedua evaluator mungkin terjadi perubahan, maksudnya mungkin sekali isu telah ditemukan dalam langkah pertama kurang relevan, sehingga terjadi fokus baru yang diperhatikan evaluator. Langkah ketiga evaluator harus menemukan prinsipprinsip umum yang mendasari kurikulum tersebut. Dan evaluator harus dapat menemukan pola hubungan sebab akibat. Model ini juga memberikan peluang dalam menggunakan data kuantitaif kepeduliannya yang utama adalah data kualitatif karena dari segi pendekatan pengembangan kriteria, jelas model ini mendasarkan dirinya pada pendekatan proses. 10. Model Responsive Model ini dikembangkan Stake merupakan model yang mengembangkan lebih lanjut dari model countenancenya, meskipun dalam beberapa hal terdapat perbedaan yang prinsipiil. Perbedaan pertama adalah dalam fokus yang menjadi fokus adalah pada kurikulum, dalam dimensi proses. Apa yang terjadi di lapangan dijadikan dasar dalam mengembangkan model ini. Perbedaan yang kedua yaitu pendekatan kriteria. Model ini mengembangkan kriteria berdasarkan pendekatan proses. Dalam model responsive tidak

menggunakan instrumen standar (Stake,1976;20). Dan model ini memberikan perhatiannya yang besar terhadap interaksi antara evaluator dengan pelaksana kurikulum. Tanpa interaksi seorang evaluator jangan mengharapkan keberhasilan, dan interaksi yang dapat diungkapkan. Hal tersebut dapat terlihat 12 peristiwa evaluasi yang merupakan kegiatan yang harus dilakuka oleh evaluator yaitu: Berbicara dengan Nasabah, staff,program, pemakai Satukan Identifikasi laporan resmi ruang lingkup (kalau ada) program Ringkasan Overview format untuk aktifitas digunakan pemakai program Validasi, konfirmasi, Temukan usaha untuk tujuan tidak dikonfirmasi keperhatian Temasiasi: Konseptuali Persiapan potrayal, sasikan Studi kasus keperhatian isu masalah Observasi antecedents Identifikasi data transaksi dan hasil yang diperlukan yang diharapkan isu, masalah mengenai isu Pilih pengamat hakim, instrumen, bila diperlukan

Kedua belas evaluasi dalam Stake bukan merupakan urutan. Seorang evaluator dapat saja memulai dri suatu kegiatan peristiwa lainnya yang bukan merupakan peristiwa berikutnya.

http://belajarkuilmuku.blogspot.com/2010/03/model-evaluasi-kurikulum.html

You might also like