You are on page 1of 85

PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT, PENGETAHUAN GIZI DAN POLA ASUH KAITANNYA DENGAN DIARE ANAK BALITA,

DI DESA CIKARAWANG BOGOR

IMA MARYANA ULFAH

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

ABSTRAK
IMA MARYANA ULFAH. Clean and Health Behavior, Nutritional Knowledge, and Caring Pattern, of Which Its Relation with Diarrhoea in Five-Year Babies in Cikarawang Village, Bogor. Supervised by CLARA M. KUSHARTO and SITI MADANIJAH Five-year babies are susceptible group for health and nutritional troubles. Mostly (70-80%), diarrhoea patients are five-year babies and 1-2% from those patients have a risk to experient dehydration. If they are not being help, they possibly will be die. Research general purpose is studied about the clean and health behavior, nutritional knowledge, and caring pattern of which its relation with diarrhoea in five-year babies in Cikarawang village, Bogor. Research design is Cross Sectional Study. Location of research is selected in purposive. Number of example is 56 five-year babies. Data is analysed descriptively and inferensia by Spearmanns correlation test. Result of research shows that approximately half of examples (46,4%) suffers from diarrhoea. Nutritional status (p<0,05) and age from examples (p<0,01) have negatively and significantly correlation with diarrhoea. Environmental sanitary landfill--distance between water source and septic tank is less 10 m-- and dismissal of garbages are conditions that cause high case of diarrhoea. Mother who did not give exclusive ASI also causes infected diseases as diarrhoea. Self hygiene of five-year babies, accustoms to clean hand before eating and after, accustoms in bathroom, and wear sandals when out of the house must be considered to be not easy to come down with diarrhoea. Key words : diarrhoea, five-year babies, nutritional status, exclusive ASI, environmental sanitary

RINGKASAN
IMA MARYANA ULFAH. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, Pengetahuan Gizi, dan Pola Asuh Kaitannya dengan Diare Anak Balita di Desa Cikarawang, Bogor. Dibimbing oleh CLARA M. KUSHARTO dan SITI MADANIJAH. Diare merupakan salah satu contoh penyakit infeksi, sehingga akan menular. Menurut Harianto (2004) angka kesakitan diare mencapai 200-400 tiap 1000 penduduk setiap tahunnya. Sebagian besar (70%-80%) penderita diare adalah anak balita dan sebanyak 1%-2% dari penderita akan jatuh ke dalam dehidrasi dan bila tidak tertolong akan meninggal. Anak balita merupakan kelompok penduduk pasif dan rentan terhadap gangguan kesehatan dan gizi. Oleh karena itu, diperlukan peran serta orang dewasa khususnya ibu dalam hal perawatan baik fisik maupun makannya. Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), pengetahuan gizi dan pola asuh kaitannya dengan diare anak balita di Desa Cikarawang, Bogor. Adapun tujuan khususnya yaitu (1) Mengidentifikasi karakteristik anak balita, (2) Mengidentifikasi status gizi dan kesehatan anak balita, (3) Mengidentifikasi karakteristik keluarga, (4) Mengidentifikasi PHBS, pengetahuan gizi, pola asuh makan dan pola asuh kesehatan, (5) Menganalisis kaitan antara karakteristik anak balita dengan diare anak balita, (6) Menganalisis kaitan antara karakteristik keluarga dengan PHBS, pengetahuan gizi, pola asuh makan dan pola asuh kesehatan, dan (7) Menganalisis kaitan antara PHBS, pengetahuan gizi, pola asuh makan dan pola asuh kesehatan dengan diare anak balita. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study. Lokasi penelitian dipilih secara purposive di Kampung Carang Pulang, Desa Cikarawang, Bogor pada bulan Desember 2007 sampai April 2008. Contoh adalah anak balita dengan responden dalam penelitian ini adalah ibu contoh yang bersedia untuk diwawancarai. Jumlah contoh yang diambil dalam penelitian ini adalah 10% dari total populasi yaitu sebanyak 56 contoh. Pengambilan contoh dilakukan dengan metode acak sederhana yang dilakukan di lima Posyandu yang terdapat di Kampung Carang Pulang, Desa Cikarawang. Data yang dikumpulkan adalah data primer dan sekunder. Data primer meliputi karakteristik anak balita (jenis kelamin dan umur), status gizi dan kesehatan anak balita, karakteristik keluarga (besar keluarga, umur, pendidikan, pekerjaan orang tua dan pendapatan keluarga), PHBS ibu, pengetahuan gizi ibu, pola asuh makan dan pola asuh kesehatan. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan responden menggunakan kuesioner terstruktur dan pengamatan langsung. Data sekunder meliputi lokasi penelitian yang diperoleh dari data monografi Desa Cikarawang dan berat badan lahir anak balita dari KMS. Data-data tersebut diolah dan dianalisis secara statistik deskriptif dan inferensia dengan menggunakan bantuan program komputer Microsoft Excel dan Statistical Program for Social Science (SPSS) for window versi 11,5. Keterkaitan antar variabel dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji korelasi Spearman. Sebanyak 46,4% anak balita mengalami diare selama tiga bulan terakhir. Lebih dari separuh anak balita (66,1%) adalah perempuan. Umur anak balita berkisar antara 10-58 bulan dengan rata-rata 30,211,7 bulan. Proporsi terbesar umur anak balita (39,3%) berkisar antara 24-36 bulan, sisanya berumur 23 bulan (32,1%) dan berumur 37 bulan (28,6%). Terdapat hubungan yang negatif dan sangat signifikan (p<0,01) antara umur anak balita dengan diare. Sebagian

besar anak balita (96,4%) memiliki berat badan lahir cukup (2,5 kg) dan sebanyak 3,6% anak balita memiliki berat badan lahir rendah (<2,5 kg). Hasil analisis tidak menunjukkan hubungan yang signifikan antara berat badan lahir anak balita dengan diare. Berdasarkan indeks BB/TB dan BB/U, sebagian besar anak balita memiliki status gizi normal, sedangkan menurut indeks TB/U berstatus gizi kurang. Hasil analisis menunjukkan terdapat hubungan negatif dan signifikan antara status gizi anak balita (BB/TB dan TB/U) dengan diare (p<0,05). Sebanyak 91,1% anak balita mengalami sakit selama tiga bulan terakhir. Diare merupakan jenis penyakit ke tiga terbesar (46,4%) yang dialami anak balita selama tiga bulan terakhir setelah panas (71,4%) dan ISPA (73,2%) dengan frekuensi tertinggi yaitu 1-2 kali dan lama sakit 1-3 hari. Lebih dari separuh responden (60,7%) merupakan keluarga besar dengan jumlah anggota keluarga >4 orang. Rata-rata jumlah anggota keluarga adalah 5,31,8 orang. Proporsi terbesar umur baik ayah maupun ibu berturutturut sebanyak 39,3% dan 44,6% berkisar antara 20-30 tahun (dewasa muda). Rata-rata umur ayah yaitu 33,06,8 tahun dan rata-rata umur ibu yaitu 27,75,7 tahun. Proporsi terbesar tingkat pendidikan ayah (35,7%) yaitu SLTA/sederajat dan ibu (51,8%) yaitu SD/sederajat. Proporsi terbesar pekerjaan ayah adalah pegawai negeri/swasta dan jasa angkutan (33,9% dan 28,6%) dan sebagian besar ibu (75,0%) tidak bekerja. Proporsi terbesar pendapatan perkapita perbulan keluarga responden (58,9%) adalah >Rp150 000.00. Proporsi terbesar responden (69,6%) memiliki PHBS kategori tinggi dan 30,4% kategori sedang. Proporsi terbesar responden (48,2%) memiliki tingkat pengetahuan gizi kategori sedang, sisanya tinggi dan rendah (42,9% dan 8,9%). Sebanyak 71,4% responden memiliki pola asuh makan kategori sedang dan 28,6% kategori tinggi. Lebih dari separuh responden (55,4%) memiliki pola asuh kesehatan kategori tinggi dan 44,6% kategori sedang. Hasil analisis menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan PHBS dan pengetahuan gizi ibu. Sedangkan umur ibu tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan PHBS, pengetahuan gizi, pola asuh makan dan pola asuh kesehatan. PHBS, pengetahuan gizi, pola asuh makan dan pola asuh kesehatan ibu tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan diare anak balita. Penyediaan fasilitas pembuangan sampah yang memadai serta Sistem Pembuangan Air Limbah (SPAL) yang memenuhi kriteria kesehatan merupakan salah satu cara untuk mengurangi kejadian diare anak balita. Selain itu, jarak sumber air dengan tempat penampungan kotoran harus selalu diperhatikan agar tidak terjadi kontaminasi mikroorganisme. Kebersihan diri (personal hygiene) ibu dan anak balita sangat penting diperhatikan seperti menggunakan sumber air bersih dan sehat untuk Mandi, Cuci, dan Kakus (MCK), membiasakan Buang Air Besar (BAB) di kamar mandi, mencuci tangan dengan sabun sebelum makan dan sesudah BAB, menjaga kebersihan kamar mandi dan selalu menggunakan alas kaki khususnya ketika ke luar rumah. Serta, pendidikan gizi bagi ibu sangat dianjurkan untuk dilakukan khususnya yang berkaitan dengan PHBS (sanitasi lingkungan, personal hygiene, dan pelayanan kesehatan) dan pentingnya ASI eksklusif.

PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT, PENGETAHUAN GIZI DAN POLA ASUH KAITANNYA DENGAN DIARE ANAK BALITA, DI DESA CIKARAWANG BOGOR

IMA MARYANA ULFAH

Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Judul Skripsi

: Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, Pengetahuan Gizi, dan Pola Asuh Kaitannya dengan Diare Anak Balita di Desa Cikarawang, Bogor

Nama NIM

: Ima Maryana Ulfah : A54104065

Disetujui Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. drh. Clara M. Kusharto, MSc NIP 131 414 958

Dr. Ir. Siti Madanijah, MS NIP 130 541 472

Diketahui Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, MAgr NIP 131 124 019

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur kehadirat Allah swt senantiasa penulis panjatkan. Alhamdulillah, sungguh luar biasa karena atas rahmat, hidayah dan kehendakNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, Pengetahuan Gizi, dan Pola Asuh Kaitannya dengan Diare Anak Balita di Desa Cikarawang, Bogor. Proses penulisan skripsi ini tidak luput dari dukungan beberapa pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan atas semua keikhlasan bantuan yang telah diberikan, yaitu kepada: 1. Prof. Dr. drh. Clara M. Kusharto, MSc selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, arahan dan dukungan semangat yang luar biasa kepada penulis. 2. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS selaku dosen pembimbing skripsi sekaligus dosen pembimbing akademik yang dengan sabar dan penuh pengertian mendengarkan curahan hati serta memberikan bimbingan dan dorongan semangat yang luar biasa kepada penulis. 3. Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS selaku dosen pemandu seminar dan Katrin Roosita, SP, MSi selaku dosen penguji atas arahan dan saran yang diberikan. 4. Dr. Ir. Dadang Sukandar, MSc, Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, MKes, Tien Herawati SP, MS dan Megawati Simanjuntak SP atas arahan dan saran selama proses pengolahan dan analisis data penelitian. 5. Seluruh staf pengajar dan komisi pendidikan Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. 6. Pihak Desa Cikarawang, Puskesmas Cangkurawok dan ibu-ibu kader Kampung Carang Pulang, Desa Cikarawang atas bantuannya selama proses pengambilan data penelitian. 7. Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur khususnya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan serta Dinas Kesejahteraan Rakyat yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menuntut ilmu di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD).

8. Abah, Mama, Teteh Milah, Kakang Rizki, Dede Aab serta keluarga besar di Cianjur atas semua kasih sayang, dukungan semangat, perhatian, dan doa untuk keberhasilan penulis. 9. Sahabat seperjuangan penulis Angelica Gabriel My Beloved Friend, atas bantuan, saran, dorongan semangat, tumpangan kamar, curahan hati dan keceriaan sampai terselesaikannya skripsi ini. 10. Rekan-rekan pembahas Edo Rizky Fernando, Firdaus, dan Ibnu Akbar atas saran-saran yang telah diberikan untuk kesempurnaan penulisan skripsi. 11. Sahabat-sahabat terbaik penulis Eka, Rizka, Devita, Dhyta, Dedew, Nur, MpokIde, Noorma, Tiche, DausBek, Rika, Adin, Any, Venny, Ira, Mei, Yesa, Lola, Noni, Henny, Friska, Arina, Sri, Yuli, Yulia, Ari dan Gamasakers 41 atas bantuan, kebersamaan yang indah dan keceriannya. 12. Bapak Mashudi dan Bapak Dian atas dorongan semangatnya, GMSK 39, 40 dan GM 42, 43, BKGers (Semangat yo), teman-teman relawan Klaten, teman-teman pameran PIMNAS XXI di Semarang, Dini, Maul, Ardi, Vina dan Emil. 13. Teman-teman BUD Cianjur (Dini dan Ade), OMDA CIANJUR, temen seperjuangan KKP, RHEMAND (Nda, Ena, Ati, Manto, Once, Bung), penghuni AS-SAKINAH, Wisma JASMINE dan FAIRUSH terima kasih atas kebersamaan yang indah. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Agustus 2008

Ima Maryana Ulfah

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cianjur pada tanggal 02 Maret 1986 dari ayah H. Hasan Mulyadi dan Ibu Hj. Siti Romlah. Penulis merupakan putri ke dua dari empat bersaudara. Tahun 2004 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Cibeber, Cianjur dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Kabupaten Cianjur. Penulis memilih Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga (GMSK), Fakultas Pertanian. Tahun 2006 penulis pernah mengikuti Pekan Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang penelitian dengan judul Persepsi dan Sikap Mahasiswa Calon Bapak terhadap Pemberian ASI oleh Ibu kepada Bayi yang berhasil didanai oleh pihak DIKTI. Pada tahun yang sama penulis pernah menjadi relawan pada Posko Penanganan Tumbuh Kembang Anak Korban Gempa di Kabupaten Klaten yang diadakan oleh Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen (IKK), Fakultas Ekologi Manusia (FEMA). Tahun 2007 penulis mengikuti Lomba Karya Tulis Mahasiswa (LKTM) bidang pendidikan dengan judul Reformasi Pendidikan dan Perubahan Kurikulum serta Aplikasinya terhadap Pembentukan Kualitas Bangsa Indonesia dan lolos sebagai 10 besar terbaik di IPB. Pada tahun yang sama penulis mengikuti PKM bidang ilmiah dengan judul Kajian Keadaan Lingkungan Kaitannya dengan Kualitas Hidup Sehat Keluarga di Kampung Carang Pulang, Desa Cikarawang, Bogor dan berhasil didanai oleh pihak DIKTI. Tahun 2008 penulis memperoleh kesempatan terlibat dalam tim pameran PIMNAS XXI di Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA), Semarang. Tahun 2006-2008 penulis aktif dalam organisasi otonom yaitu Badan Konsultasi Gizi (BKG). Selain itu, penulis juga aktif dalam beberapa kepanitiaan seperti Masa Perkenalan Fakultas dan Departemen FEMA, Divisi Hubungan Masyarakat dan Publikasi dalam Seminar Nasional Nuansa Pangan, Gizi dan Keluarga X (NPGK X), Divisi Dana Usaha dalam Seminar Konsultasi Gizi yang berjudul Control Yourself From 3 Hypers (Hipertensi, Hiperkolesterol dan Hiperglikemia). 2007/2008. Serta, selama masa perkuliahan penulis mendapatkan kesempatan untuk menjadi asisten Mata Kuliah Pendidikan Gizi tahun ajaran

DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL............................................................................................. vi DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ viii DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................... ix PENDAHULUAN ............................................................................................ 1 Latar Belakang ...................................................................................... 1 Tujuan.................................................................................................... 2 Hipotesis................................................................................................ 3 Kegunaan Penelitian ............................................................................. 3 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 4 Karakteristik Anak balita ........................................................................ 4 Status Gizi dan Kesehatan Anak balita ................................................. 5 Penyakit Diare ....................................................................................... 6 Karakteristik Keluarga ........................................................................... 7 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).............................................. 9 Pengetahuan Gizi .................................................................................. 16 Pola Asuh .............................................................................................. 16 Pola Asuh Makan.......................................................................... 17 Pola Asuh Kesehatan ................................................................... 18 KERANGKA PEMIKIRAN............................................................................... 19 METODE PENELITIAN .................................................................................. 22 Disain, Tempat dan Waktu .................................................................... 21 Jumlah dan Cara Penarikan Contoh ..................................................... 21 Jenis dan Cara Pengumpulan Data....................................................... 21 Pengolahan dan Analisis Data .............................................................. 22 Definisi Operasional .............................................................................. 24 HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 26 Keadaan Umum Daerah Penelitian ....................................................... 26 Karakteristik Anak Balita........................................................................ 28 Status Gizi dan Kesehatan Anak Balita ................................................. 29 Karakteristik Keluarga Contoh............................................................... 32 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).............................................. 35 Pengetahuan Gizi .................................................................................. 45 Pola Asuh ............................................................................................. 47 Pola Asuh Makan.......................................................................... 47 Pola Asuh Kesehatan ................................................................... 51 Kaitan antara Karakteristik Anak Balita dengan Diare Anak Balita........ 54 Kaitan antara Karakteristik Keluarga dengan PHBS, Pengetahuan

Gizi, Pola Asuh Makan dan Pola Asuh Kesehatan................................ 55 Kaitan antara PHBS, Pengetahuan Gizi, Pola Asuh Makan dan Pola Asuh Kesehatan dengan Diare Anak Balita .......................................... 56 Kaitan antara PHBS dengan Diare Anak Balita ........................... 56 Kaitan antara Pengetahuan Gizi Ibu dengan Diare Anak Balita .. 57 Kaitan antara Pola Asuh Makan dengan Diare Anak Balita......... 58 Kaitan antara Pola Asuh Kesehatan dengan Diare Anak Balita .. 58 KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 60 Kesimpulan............................................................................................ 60 Saran ..................................................................................................... 61 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 62 LAMPIRAN ..................................................................................................... 66

DAFTAR TABEL
Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Jenis dan cara pengumpulan data .......................................................... 21 Cara pengolahan dan analisis data .......................................................... 23 Luas wilayah Desa Cikarawang berdasarkan penggunaannya................ 26 Jumlah penduduk menurut golongan usia dan jenis kelamin................... 27 Sebaran anak balita berdasarkan jenis kelamin, umur dan berat badan lahir.......................................................................................................... 28 Sebaran anak balita berdasarkan status gizi............................................ 29 Sebaran anak balita berdasarkan status kesehatan tiga bulan terakhir... 30 Sebaran anak balita berdasarkan jenis penyakit...................................... 31 Sebaran anak balita berdasarkan frekuensi sakit..................................... 31

10 Sebaran anak balita berdasarkan lama sakit ........................................... 32 11 Sebaran responden berdasarkan besar keluarga .................................... 32 12 Sebaran orangtua berdasarkan umur....................................................... 33 13 Sebaran orangtua berdasarkan tingkat pendidikan.................................. 34 14 Sebaran orangtua berdasarkan jenis pekerjaan....................................... 34 15 Sebaran responden berdasarkan pendapatan perkapita perbulan .......... 35 16 Sebaran responden berdasarkan PHBS aspek higiene ........................... 36 17 Sebaran responden berdasarkan PHBS aspek gizi seimbang................. 37 18 Hubungan antara menu makan keluarga dengan pendapatan perkapita perbulan responden ................................................................................. 37 19 Sebaran responden berdasarkan PHBS aspek rumah sehat................... 38 20 Sebaran responden berdasarkan PHBS aspek sanitasi air ..................... 40 21 Sebaran responden berdasarkan PHBS aspek kepemilikan jamban....... 40 22 Sebaran responden berdasarkan PHBS aspek penanganan sampah..... 41 23 Sebaran responden berdasarkan PHBS aspek SPAL ............................. 42 24 Sebaran responden berdasarkan PHBS aspek pelayanan kesehatan dalam hal pemeriksaan kehamilan ........................................................... 42 25 Sebaran responden berdasarkan PHBS aspek pelayanan kesehatan dalam hal membantu persalinan .............................................................. 44 26 Sebaran responden berdasarkan PHBS aspek pelayanan kesehatan dalam hal program KB, penimbangan anak balita dan berobat ketika sakit................................................................................................ 45 27 Sebaran responden berdasarkan kategori PHBS .................................... 45 28 Sebaran responden berdasarkan tingkat pengetahuan gizi ..................... 46 29 Hubungan antara tingkat pengetahuan gizi dengan pendidikan

responden ................................................................................................ 46 30 Sebaran responden berdasarkan riwayat menyusui dan penyapihan anak balita ................................................................................................ 47 31 Sebaran responden berdasarkan cara memperkenalkan makan anak balita......................................................................................................... 48 32 Sebaran responden berdasarkan cara mempersiapkan makan anak balita........................................................................................................ 49 33 Sebaran responden berdasarkan cara memberikan dan mengapresiasi makan anak balita..................................................................................... 50 34 Sebaran responden berdasarkan kategori pola asuh makan................... 51 35 Sebaran responden berdasarkan kategori pola asuh kesehatan ............. 53 36 Kaitan antara umur anak balita dengan diare anak balita ........................ 54 37 Kaitan antara berat badan lahir anak balita dengan diare anak balita ..... 54 38 Kaitan antara karakteristik keluarga dengan PHBS ................................. 55 39 Kaitan antara PHBS responden dengan diare anak balita ....................... 56 40 Kaitan antara pengetahuan gizi responden dengan diare anak balita ..... 57 41 Kaitan antara pola asuh makan dengan diare anak balita ....................... 58 42 Kaitan antara pola asuh kesehatan dengan diare anak balita.................. 58

DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Masalah Determinan Kesehatan Henrik L Blum ........................................ 10 2 Kerangka Pemikiran PHBS, Pengetahuan Gizi, Pola Asuh Makan dan Pola Asuh Kesehatan Kaitannya dengan Diare Anak Balita ...................... 20

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Sebaran responden berdasarkan ketersediaan pelayanan kesehatan dalam hal kunjungan, jarak dan daya jangka ............................................. 67 2 Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap petugas gizi dan kesehatan dalam hal informasi gizi, kemudahan dihubungi dan cara pelayanan .................................................................................... 67 3 Sebaran responden berdasarkan jawaban benar pengetahuan gizi .......... 67 4 Sebaran responden berdasarkan pola asuh kesehatan.......................... .. 68 5 Hasil analisis uji korelasi Spearman antar variabel .................................... 70

PENDAHULUAN
Latar Belakang Salah satu aspek penting kesejahteraan adalah kualitas fisik penduduk yang dapat dilihat dari derajat kesehatan penduduk menggunakan indikator utama angka kematian bayi dan angka harapan hidup. Untuk melihat gambaran tentang kemajuan upaya peningkatan status kesehatan masyarakat dapat dilihat dari penolong persalinan bayi, ketersediaan sarana kesehatan dan jenis pengobatan yang dilakukan (BPS 2002). Selain itu, sanitasi lingkungan dan perilaku hidup bersih pun sangat diperlukan dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Menurut Henrik L. Blum diacu dalam Topatimasang (2005) derajat kesehatan dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya lingkungan (30%), perilaku hidup sehat (40%), pelayanan kesehatan (10%), dan keturunan (20%). Dari keempat faktor tersebut, faktor lingkungan dan perilaku hidup sehat sangat mempengaruhi derajat kesehatan. Anonymous (2000) diacu dalam Sari (2004) menyatakan bahwa yang termasuk lingkungan adalah keadaan pemukiman atau perumahan, tempat kerja, sekolah dan tempat umum, serta air dan udara yang bersih. Contoh perilaku tergambar dalam kebiasaan sehari-hari seperti pola makan, kebersihan perorangan, gaya hidup, dan perilaku terhadap upaya kesehatan. Dampak kesehatan lingkungan yang buruk adalah tingginya angka kesakitan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan air (water related diseases) dan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan tinja (excreta-related diseases) sepert diare, kulit dan hepatitis A (Cairncross dan Feachem 1993 diacu dalam Irianti et al. 2002). Badan Amerika Serikat untuk bantuan pembangunan internasional (U.S. AID) telah merangkum hasil dari berbagai penelitian mengenai dampak perbaikan keadaan air bersih dan sanitasi di negara-negara sedang berkembang yang menyatakan bahwa perbaikan kualitas dan kuantitas air bersih dapat menurunkan angka kesakitan diare dengan median 37%. Serta perbaikan pembuangan tinja dapat menurunkan angka kesakitan diare dengan median 22% (World Bank 1992 diacu dalam Irianti et al. 2002). Menurut Harianto (2004) angka kesakitan diare mencapai 200-400 tiap 1000 penduduk setiap tahunnya. Sebagian besar (70%-80%) penderita diare adalah anak balita dan sebanyak 1%-2% dari penderita akan jatuh ke dalam

dehidrasi dan bila tidak tertolong akan meninggal. Kosek et al. (2003) diacu dalam Rimbatmaja (2007), secara umum lebih dari dua juta anak meninggal akibat diare setiap tahunnya. Di Indonesia, diare adalah pembunuh anak balita nomor dua terbesar setelah ISPA (Rimbatmaja 2007). Mencuci tangan dengan sabun merupakan metode paling sederhana untuk menanggulangi masalah diare. Praktik mencuci tangan dengan sabun oleh pengasuh anak balita dapat mengurangi risiko anak balita terkena diare sebesar 42-47% (Curtis dan Cairncross 2003 diacu dalam Rimbatmaja 2007). Anak balita merupakan kelompok penduduk yang paling rentan terhadap gangguan kesehatan dan gizi. Beberapa alasan yang memperkuat pernyataan tersebut yaitu status imunisasi, diet dan psikologi anak belum matang atau masih dalam taraf perkembangan yang pesat dan kelangsungan hidup anak balita sangat tergantung pada penduduk dewasa terutama keluarga dan ibunya (Sukarni 1989). Menurut Soekirman (2000) pola asuh adalah dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh dan berkembang sebaik-baiknya secara fisik, mental, dan sosial. Pola pengasuhan anak berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan anak, merawat anak, kebersihan anak, memberi kasih sayang kepada anak dan sebagainya. Ibu memainkan peranan yang sangat penting dalam mendidik anak terutama pada masa anak balita. Masa anak balita merupakan masa yang sangat ideal untuk mulai menanamkan pada anak tentang perilaku-perilaku gaya hidup sehat. Dalam hal ini, orang tua dan guru harus mulai menstimulasi kesadaran anak mengenai isu-isu lingkungan (Marotz et al. 2005). Berdasarkan fakta-fakta yang telah disebutkan, penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai aspek Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), pengetahuan gizi dan pola asuh yang diduga menyebabkan terjadinya diare pada anak balita. Tujuan Tujuan Umum Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), pengetahuan gizi dan pola asuh kaitannya dengan diare anak balita di Desa Cikarawang, Bogor.

Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah untuk : 1. Mengidentifikasi karakteristik anak balita. 2. Mengidentifikasi status gizi dan kesehatan anak balita. 3. Mengidentifikasi karakteristik keluarga. 4. Mengidentifikasi PHBS, pengetahuan gizi, pola asuh makan dan pola asuh kesehatan. 5. Menganalisis kaitan antara karakteristik anak balita dengan diare anak balita. 6. Menganalisis kaitan antara karakteristik keluarga dengan PHBS, pengetahuan gizi, pola asuh makan dan pola asuh kesehatan. 7. Menganalisis kaitan antara PHBS, pengetahuan gizi, pola asuh makan dan pola asuh kesehatan dengan diare anak balita. Hipotesis 1. Terdapat kaitan antara karakteristik anak balita dengan diare anak balita. 2. Terdapat kaitan antara karakteristik keluarga dengan PHBS, pengetahuan gizi, pola asuh makan dan pola asuh kesehatan. 3. Terdapat kaitan negatif antara PHBS, pengetahuan gizi, pola asuh makan dan pola asuh kesehatan dengan diare anak balita. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan kepada instansi terkait khususnya Puskesmas dan Dinas Kesehatan dalam menindak lanjuti perihal yang menyebabkan terjadinya diare pada anak balita. Informasi-informasi tersebut diharapkan dapat dijadikan pertimbangan dan bahan masukan untuk menyusun kembali perencanaan dan strategi dalam penentuan kebijakan. Serta bagi masyarakat Desa Cikarawang khususnya, supaya lebih memperhatikan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) untuk keberlangsungan hidup yang berkualitas.

TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Anak Balita Jenis Kelamin Anak perempuan khususnya anak sulung diharapkan membantu pekerjaan rumah tangga dan menjaga adik-adiknya. Sedangkan jika anak yang lahir pertama kali adalah anak laki-laki, maka mereka memiliki keistimewaan karena memperoleh pekerjaan rumah tangga yang lebih sedikit dibandingkan yang perempuan serta diberi kesempatan untuk mengabaikannya (Hurlock 1982). Umur Menurut Hurlock (1982) sikap, kebiasaan, dan pola perilaku yang dibentuk selama tahun-tahun pertama, sangat menentukkan seberapa jauh individu-individu berhasil menyesuaikan diri dalam kehidupan ketika mereka bertambah tua. Pada tahun kedua tingkat pertumbuhan cepat menurun. Akan tetapi, selama tahun pertama peningkatan berat tubuh lebih besar daripada peningkatan tinggi. Masa kanak-kanak merupakan masa yang paling ideal untuk mulai memperkenalkan kepada anak tentang perilaku-perilaku dasar yang berhubungan dengan gaya hidup sehat. Orang tua harus dapat memanfaatkan rasa ingin tahu anak dan menggunakan kesempatan ini untuk mengajarkan masalah kesehatan, keselamatan dan gizi. Orang tua harus dapat meningkatkan kesadaran anak-anak mengenai isu lingkungan yang kompleks serta pengaruhpengaruhnya (Marotz et al. 2005). Berat Badan Lahir Bayi yang dilahirkan prematur atau dengan berat badan rendah memiliki risiko tinggi terhadap mortalitas dan morbiditas akut dalam jangka panjang (Alberman 1994 diacu dalam Rahayu 2006). Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) mempunyai risiko kematian, gangguan pertumbuhan dan gangguan perkembangan mental dan intelektual yang lebih tinggi dengan berat badan lahir normal (Utomo 1998 diacu dalam Firlie 2001). Bayi BBLR mortalitasnya lebih tinggi, daya tahan terhadap penyakit lebih rendah, pertumbuhan dan perkembangan lebih lamban dibandingkan bayi dengan berat badan lahir cukup (Alisyahbana 1983 diacu dalam Firlie 2001).

Status Gizi dan Kesehatan Anak Balita Menurut BPS (2002) aspek yang mempengaruhi kualitas fisik penduduk yaitu status kesehatan yang antara lain diukur melalui angka kesakitan dan status gizi. Riyadi (2001) menyatakan status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi makanan yang dapat dinilai dengan berbagai cara, salah satunya dengan antropometri. Status gizi anak dinilai dengan mengunakan indeks berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Menurut Riyadi (2001) berat badan merupakan salah satu ukuran antropometri yang memberi gambaran tentang masa tubuh (otot dan lemak). Karena massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan keadaan mendadak seperti penurunan nafsu makan dan terserang penyakit infeksi. Oleh karena itu, berat badan merupakan ukuran antropometri yang sangat labil. Indeks BB/U mampu menggambarkan status gizi pada saat kini. Indeks ini juga dapat digunakan untuk mendeteksi underweight dan overweight. Menurut Riyadi (2001) tinggi badan merupakan ukuran antropometri yang mengambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Dalam keadaan normal tinggi badan tumbuh bersamaan dengan pertambahan umur. Indeks TB/U mengambarkan status gizi masa lalu (stunting). Lebih lanjut Riyadi (2001) menyatakan kenaikan berat badan tiap bulan adalah indikator kesehatan anak yang paling peka. Oleh karena itu, berat badan merupakan satu-satunya ukuran tunggal yang ekonomis dan paling peka untuk digunakan bila dibandingkan tinggi badan. Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menyatakan status gizi masa kini, dan biasanya digunakan bila data umur yang akurat sulit diperoleh. Indeks BB/TB dapat memberikan gambaran proporsi BB relatif terhadap TB, maka indeks ini merupakan ineks kekurusan (wasting). Status kesehatan penduduk memberikan gambaran mengenai kondisi kesehatan penduduk dan biasanya dapat dilihat melalui indikator angka kesakitan yaitu persentase penduduk yang mengalami gangguan kesehatan sehingga mampu mengganggu aktivitas sehari-hari. Status kesehatan anak balita merupakan aspek dari kualitas fisik anak balita yang dapat mempengaruhi status gizi (BPS 2002).

Penyakit Diare Penyakit diare merupakan penyakit infeksi, sehingga akan menular. Penyakit diare dapat menular apabila adanya kontak dengan tinja yang terinfeksi secara langsung seperti pada makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi baik oleh serangga maupun tangan yang tidak bersih. Penggunaan air yang sudah tercemar juga dijadikan media pencemaran penyakit diare, apalagi air yang digunakan tidak dimasak sampai mendidih terlebih dahulu. Perilaku hidup bersih seperti kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dan sesudah buang air besar juga ikut mempengaruhi penularan atau penyebaran penyakit diare (Suririnah 2007). Selain itu, menurut Dinkes (2003) penyakit diare juga dapat ditularkan melalui beberapa cara diantaranya pemakaian botol susu yang tidak bersih, menggunakan sumber air yang tercemar, buang air besar bukan pada tempatnya dan pencemaran makanan oleh serangga (kecoa, lalat) atau oleh tangan yang kotor. Menurut Latifah et al. (2002d) diare adalah suatu kondisi buang air besar dengan konsistensi yang lembek sampai encer, bahkan dapat berupa air saja, yang terjadi lebih sering dari biasanya (3 kali atau lebih dalam sehari). Penyebab diare diantaranya yaitu virus, bakteri, parasit (jamur, cacing, protozoa), keracunan makanan atau minuman yang disebabkan oleh bakteri maupun bahan kimia, alergi terhadap susu, kurang gizi dan daya tahan tubuh rendah (Saroso 2007). Diare ada dua jenis yaitu diare akut dan diare kronis. Diare kronis adalah diare yang berlangsung lebih dari tiga minggu yang disebabkan oleh makanan tercemar atau penyebab lainnya. Sedangkan diare akut adalah diare yang timbul dengan tiba-tiba dan berlangsung beberapa hari. Diare akut lebih sering terjadi pada bayi dan anak kecil daripada anak yang lebih besar (Suharyono 1988 diacu dalam Asad 2002). Suharyono (1988) diacu dalam Asad (2002) penyebab prevalensi yang tinggi dari penyakit diare di negara yang sedang berkembang yaitu kombinasi dari sumber air yang tercemar, defisiensi zat gizi yang menyebabkan turunnya daya tahan tubuh. Kuman yang paling sering menjadi penyebab diare akut pada anak yaitu Rotavirus (30,4-36.6%), E. coli (20-30%), Salmomella (5-18%), Vibrio cholera (5%), dan Shigella (2-5%). Kuman-kuman tersebut ditularkan secara faecal-oral melalui makanan dan minuman yang tercemar. Ditinjau dari sudut patofisologi, penyebab diare akut yaitu:

1. Diare sekresi (Secretory diarrhea) yang disebabkan oleh: - Infeksi virus, kuman-kuman patogen dan apatogen - Hiperperistaltik usus yang dapat disebabkan oleh bahan-bahan kimia, makanan (misalnya keracunan makanan, makanan yang pedas, makanan yang terlalu asam), gangguan psikis (ketakutan, gugup), gangguan syaraf, hawa dingin, alergi dan sebagainya. - Defisiensi imun terutama Sig A (Secretory Immunoglobulin A) yang mengakibatkan terjadinya pelipatgandaan bakteri atau flora usus dan jamur terutama Candida. 2. Diare osmotic (Osmotic diarrhea) yang disebabkan oleh: - Malabsorpsi makanan - Kekurangan kalori protein dan mineral - BBLR dan bayi baru lahir Bahaya utama diare adalah kematian yang disebabkan karena tubuh banyak kehilangan air dan garam yang terlarut yang disebut dengan dehidrasi. Kematian lebih mudah terjadi pada anak yang mengalami gizi buruk, karena gizi yang buruk menyebabkan penderita tidak merasa lapar dan orang tuanya tidak segera memberi makanan untuk menggantikan cairan tubuh yang hilang (Anonymous 1985 diacu dalam Harianto 2004). Kematian diare akibat dehidrasi (kehilangan banyak cairan tubuh) dapat dicegah dengan Oral Rehydration Therapy (ORT). ORT dapat dilakukan dengan memberikan cairan (air) melalui mulut selama anak mengalami diare (Santrock 2002). Karakteristik Keluarga Besar Keluarga Menurut Suhardjo (1989) jumlah anggota keluarga mempunyai andil dalam permasalahan gizi. Keluarga yang memiliki anggota keluarga yang jumlahnya banyak akan berusaha membagi makanan yang terbatas sehingga makanan yang dikonsumsi tidak sesuai dengan kebutuhan masing-masing anggota keluarga. Besar keluarga akan mempengaruhi kesehatan seseorang atau keluarga. Hal ini disebabkan bahwa besar keluarga akan mempengaruhi konsumsi zat gizi di dalam satu keluarga. Selain itu, besar keluarga juga akan mempengaruhi luas per penghuni di dalam suatu bangunan rumah yang secara tidak langsung akan mempengaruhi kesehatan baik anak-anak maupun ibu (Sukarni 1989). Rumah

yang padat penghuninya akan menyebabkan berkurangnya konsumsi oksigen dan memudahkan penularan penyakit (Notoatmodjo 1997). Umur Orangtua Orangtua muda terutama ibu cenderung kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam mengasuh anak sehingga umumnya mereka mengasuh dan merawat anak didasarkan pada pengalaman orangtuanya terdahulu. Umur ibu berkaitan dengan pengalaman ibu mengasuh anaknya dimana ibu yang relatif muda memungkinkan ibu kurang berpengalaman dalam mengasuh anaknya (Hurlock 1993). Pendidikan Orangtua Pendidikan merupakan salah satu faktor yang penting dalam proses tumbuh kembang anak. Ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima pesan dan informasi mengenai gizi dan kesehatan anak (Rahmawati 2006). Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor penentu mortalitas bayi dan anak, karena tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap tingkat pemahamannya Pengetahuan dan terhadap perawatan formal kesehatan, serta hygiene dan dalam kesadarannya terhadap kesehatan anak dan keluarga (Madanijah 2003). pendidikan keikutsertaan pendidikan non formal dari orang tua dan anak-anak sangat penting dalam menentukkan status kesehatan, fertilitas, dan status gizi keluarga seperti halnya pelayanan kesehatan dan keluarga berencana. Dengan demikian, informasi tentang masalah kesehatan dapat lebih mudah diterima oleh keluarga atau masyarakat (Sukarni 1989). Tingkat pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas makanan, karena dengan tingkat pendidikan tinggi diharapkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki tentang gizi menjadi lebih baik (Berg 1986). Pekerjaan Orangtua Pada masyarakat tradisional, biasanya ibu tidak bekerja di luar rumah melainkan hanya sebagai ibu rumah tangga (Rahmawati 2006). Menurut Satoto (1990) diacu dalam Rahmawati (2006) seorang ibu yang tidak bekerja di luar rumah akan memiliki waktu yang lebih banyak dalam mengasuh serta merawat anak dibandingkan ibu yang bekerja di luar rumah. Pekerjaan memiliki hubungan dengan pendidikan dan pendapatan serta berperan penting dalam kehidupan

sosial ekonomi dan memiliki keterkaitan dengan faktor lain seperti kesehatan (Sukarni 1989). Perempuan yang bekerja di luar rumah dan mendapatkan penghasilan, akan meningkatkan pengaruhnya dalam alokasi pendapatan keluarga. Pendapatan yang berasal dari perempuan berkorelasi erat dengan semakin membaiknya derajat kesehatan dan status gizi anak. Hal ini tidak terlepas dari naluri keibuan yang dimiliki untuk mendapatkan anak yang selalu sehat (Khomsan 2005). Pendapatan Orangtua Kondisi ekonomi keluarga adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kehidupan keluarga lainnya, diantaranya pendidikan keluarga, kesehatan dan gizi balita, serta kualitas tumbuh kembang anak balita (Gunarsa & Gunarsa 1985). Pendapatan berhubungan dengan tingkat kesejahteraan keluarga. Keluarga dengan pendapatan terbatas besar kemungkinan kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya sejumlah yang diperlukan tubuh. Dengan demikian, kondisi ini menyebabkan keanekaragaman bahan makanan kurang terjamin, karena dengan keterbatasan uang itu menyebabkan tidak banyaknya pemilihan dalam hal makanan (Madihah 2002). Pendapatan keluarga akan menentukan alokasi pengeluaran pangan dan non pangan sehingga apabila pendapatan keluarga rendah maka akan mengakibatkan penurunan daya beli (Firlie 2001). Pada tingkat keluarga, penurunan daya beli akan menurunkan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan serta aksesibilitas pelayanan kesehatan, terutama bagi warga kelas ekonomi bawah. Hal ini akan berdampak negatif terhadap kesehatan anak yang rentan terhadap gangguan kesehatan dan gizi (Hardinsyah 1997). Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Sehat menurut UU Pokok Kesehatan no. 9/1969 adalah keadaan yang sempurna jasmani, rohani, dan sosial (Widyati & Yuliarsih 2002). Ada tiga faktor yang mempengaruhi kesehatan seseorang yaitu penyebab penyakit, manusia sebagai tuan rumah, dan lingkungan hidup (Entjang 1985). Usaha kesehatan pokok (Basic Health Services) yang diajukan organisasi kesehatan sedunia (WHO) sebagai dasar pelayanan kesehatan kepada masyarakat diantaranya yaitu higiene dan sanitasi lingkungan, kesejahteraan ibu dan anak, perawatan kesehatan dan pemeriksaan, serta pengobatan dan perawatan (Entjang 1985).

Masalah determinan kesehatan, menurut Henrik L. Blum diacu dalam Topatimasang (2005) ada beberapa determinan derajat kesehatan penduduk yaitu genetik dan kependudukan (20%), lingkungan kesehatan (30%), perilaku kesehatan (40%), dan program dan pelayanan kesehatan (10%).
Kependudukan/ keturunan

Lingkungan kesehatan

Derajat kesehatan morbiditas dan mortalitas

Program dan pelayanan kesehatan

Perilaku kesehatan

Gambar 1 Masalah Determinan Kesehatan Henrik L Blum. Kebijakan Indonesia sehat 2010 menetapkan tiga pilar utama yaitu lingkungan sehat, perilaku sehat, dan pelayanan kesehatan yang bermutu adil dan merata. Untuk mendukung pencapaian Visi Indonesia sehat 2010 telah ditetapkan Sistem Kesehatan Nasional (SKN) dengan Keputusan Menteri Kesehatan No. 131/Menkes/SK/II/2004 dan salah satu subsistem dari SKN adalah Subsistem Pemberdayaan Masyarakat. Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan untuk mendukung upaya peningkatan perilaku sehat ditetapkan Visi Nasional Promosi Kesehatan sesuai Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1193/MENKES/SK/X/2004 yaitu Perilaku Hidup Bersih dan Sehat 2010 (PHBS 2010) (Manda et al. 2006). Program Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) merupakan bentuk perwujudan paradigma sehat, terutama pada aspek budaya perorangan, keluarga dan masyarakat. Program PHBS adalah tindakan yang dilakukan oleh perorangan, kelompok, masyarakat yang sesuai dengan norma-norma kesehatan, menolong dirinya dan berperan aktif dalam pembangunan kesehatan untuk memperoleh derajat kesehatan yang tinggi (Sinaga et al. 2005). Menurut Depkes RI (2006) indikator PHBS antara lain mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, cuci tangan dengan sabun dan air setelah buang air besar, makan dengan gizi seimbang, menghuni rumah sehat, memiliki akses dan menggunakan air bersih, memiliki akses dan menggunakan jamban,

membuang sampah dan limbah pada tempat yang semestinya, memanfaatkan sarana kesehatan, memeriksakan kehamilan, persalinan ditolong tenaga kesehatan, menimbang balita setiap bulan, ikut keluarga berencana dan lain sebagainya. Higiene dan Sanitasi Higiene adalah suatu pencegahan penyakit yg menitikberatkan pada usaha kesehatan perseorangan atau manusia beserta lingkungan tempat orang tersebut berada. Sanitasi adalah suatu usaha pencegahan penyakit yang menitik beratkan kegiatan pada usaha kesehatan lingkungan hidup manusia (Widyati & Yuliarsih 2002). Higiene dan sanitasi lingkungan merupakan pengawasan lingkungan fisik, biologi, sosial, dan ekonomi yang mempengaruhi kesehatan manusia, dimana lingkungan yang berguna ditingkatkan dan diperbanyak sedangkan lingkungan yang merugikan diperbaiki atau dihilangkan (Entjang 1985). Menurut Widyati & Yuliarsih (2002) kesehatan masyarakat dibagi menjadi dua yaitu kesehatan kuratif (penyembuhan penyakit), preventif (pencegahan penyakit). Usaha higiene sanitasi adalah usaha kesehatan preventif (mencegah supaya tidak sakit). Usaha kesehatan preventif dibagi menjadi tiga kelompok yaitu : 1. Usaha pengebalan atau imunisasi, diberikan saat balita (BCG, MMR, hepatitis, dan folio) untuk mencegah datangnya penyakit 2. Usaha kesehatan perorangan (personal hygiene) yaitu mandi minimal 2kali sehari, menyikat gigi, pakaian bersih, olahraga dan lain-lain. 3. Usaha kesehatan lingkungan hidup (lingkungan tempat tinggal atau lingkungan kerja). Cara menjaga lingkungan hidup yang sehat yaitu dengan cara tidak membuang sampah sembarangan, menjaga saluran air agar tidak mampet, menjaga kerja bakti dengan masyarakat setempat untuk membersihkan lingkungan. Gizi Seimbang Perilaku gizi seimbang yaitu pengetahuan, sikap dan praktik keluarga yang mampu mengonsumsi makanan yang mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan, dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan setiap individu dalam keluarga dan bebas dari pencemaran. Aneka ragam makanan yaitu makan sebanyak 2-3 kali sehari yang terdiri dari 4 macam kelompok bahan makanan (Dinkes DKI Jakarta 2002).

Kelompok bahan makanan tersebut adalah 1) makanan pokok sebagai sumber zat tenaga seperti beras, jagung, ubi, singkong, mie; 2) lauk pauk sebagai sumber zat pembangun seperti ikan, telur, ayam, daging, tempe, kacang-kacangan, tahu; dan 3) sayuran dan buah-buahan sebagai sumber zat pengatur seperti bayam, kangkung, wortel, buncis, kacang panjang, sawi, daun singkong, daun katuk, pepaya, pisang, jeruk, semangka, nanas (Dinkes DKI Jakarta 2002). Kebiasaan mengonsumsi makanan yang beragam sangat baik dilakukan untuk keberlangsungan hidup seseorang. Hal ini disebabkan oleh fungsi dari makanan yang beragam yaitu untuk melengkapi zat-zat gizi yang diperlukan oleh tubuh, sehinga dapat meningkatkan kualitas kerja dan terhindar dari penyakit kekurangan gizi. Akibat tidak mengonsumsi makanan yang beraneka ragam, maka akan terjadi gangguan pada pertumbuhan dan perkembangan anggota tubuh khususnya balita. Perubahan berat badan menggambarkan perubahan konsumsi makanan atau gangguan kesehatan (Dinkes DKI Jakarta 2002). Rumah Sehat Menurut Latifah et al. (2002b) rumah adalah tempat manusia berlindung dari panas terik matahari, hujan dan hal-hal lain yang dapat mengganggu kesehatan, keamanan, dan kenyamanan manusia. Rumah dikatakan sehat jika memenuhi beberapa persyaratan di bawah ini, diantaranya: 1. Lantai rumah harus mudah dibersihkan misalnya lantai yang terbuat dari keramik, teraso, tegel atau semen, dan kayu atau bambu. Lantai tanah tidak memenuhi syarat kesehatan karena dapat menjadi sumber penyakit seperti cacing dan bakteri penyebab sakit perut. 2. Atap rumah harus kuat dan tidak mudah bocor misalnya genteng, asbes gelombang, seng, sirap dan nipah. 3. Dinding rumah yang baik adalah tembok yang dapat dicat dan dibersihkan dengan mudah. 4. Ventilasi udara biasanya berupa jendela yang dilengkapi dengan lubang angin. Fungsi ventilasi udara adalah untuk pertukaran udara agar udara di dalam rumah tetap bersih dan segar. Sebaiknya setiap ruangan mempunyai sedikitnya satu buah jendela yang bisa dibuka dan ditutup sehingga udara dapat mengalir lancar. 5. Rumah harus memiliki sumber air bersih dan sehat.

6. Jumlah kamar mandi sebaiknya disesuaikan dengan jumlah anggota keluarga. Jika anggota keluarga ada empat orang, maka paling sedikit harus ada satu kamar mandi. Setiap kamar mandi biasanya dilengkapi dengan jamban atau WC (Water Closet). 7. Rumah harus memiliki sarana pembuangan air limbah dan sampah. 8. Kandang ternak harus terpisah cukup jauh dari rumah agar rumah terjaga kebersihan dan kesehatannya. Selain itu kandang ternak harus memiliki tempat penampungan kotoran. Sanitasi Air Air bersih dan sehat merupakan air yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari yang tidak mengandung kotoran dan kuman, sehingga aman untuk dikonsumsi dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan (Latifah et al. 2002b). Selain itu, menurut Widyati & Yuliarsih (2002) air bersih dan sehat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Syarat fisik: syarat air yang dilihat dari fisiknya antara lain jernih, tidak berwarna, tidak berasa, dan tidak berbau. b. Syarat kimiawi: tidak mengandung zat-zat berbahaya seperti zat-zat racun atau zat-zat organik lebih tinggi dari jumlah yang ditentukan. c. Syarat bakteriologis: air yang tidak mengandung penyakit. Air bersih belum tentu dikatakan sehat, karena menurut Entjang (1993) untuk memperoleh air minum yang sehat dapat diperoleh melalui 1) sumber air yang bersih; 2) tangan dan tempat penampungan air bersih; 3) wadah penampung air disertai dengan tutup dan sering dibersihkan; 4) memasak air sampai mendidih sebelum diminum; 5) menggunakan alat-alat minum yang bersih (termasuk gayung sebagai alat pengambil air harus bersih). Menurut Subandriyo et al. (1997) sumber air minum yang bersih dan sehat dapat diperoleh dari air pompa, air ledeng, sumur yang terlindungi, dan mata air yang terlindungi. Sumur yang baik harus memenuhi syarat antara lain jarak sumur dengan kamar mandi minimum 10 meter dan dinding sumur 1 meter di atas tanah dan 3 meter dalam tanah serta harus dibuat dari tembok yang tidak tembus air agar perembesan air dari sekitar tidak terjadi. Jamban Jamban keluarga adalah suatu bangunan yang digunakan untuk membuang dan mengumpulkan najis manusia yang biasa disebut WC atau

kakus. Kotoran-kotoran tersebut tersimpan dalam suatu tempat tertentu dan tidak menjadi penyebab penyakit dan mengotori lingkungan (Depkes RI 1995 diacu dalam Amperansyah 1999). Tinja dari jamban dalam kamar mandi harus disalurkan melalui pipa dan ditampung di tangki septik (Latifah et al. 2002a). Menurut Sukarni (1989) sarana pembuangan kotoran harus memenuhi persyaratan yaitu bangunan jamban harus mempunyai rumah kakus, lantai yang disemen, pijakan kaki, kloset (lubang tempat masuk feses), sumur penampungan feses dan lubang resapan. Sampah Sampah adalah segala sesuatu yang tidak terpakai lagi dan harus dibuang. Jangan membiarkan sampah terlalu lama pada tempat pengumpulan sampah dan sebaiknya tidak melebihi 3x24 jam (Widyati & Yuliarsih 2003). Bahaya sampah yang tidak ditangani dengan baik mengakibatkan tumbuhnya kuman sebagai penyebab terjadinya diare, juga mengandung lalat yang mengakibatkan terjadinya penyakit (Latifah et al. 2002c). Tempat yang dijadikan pembuangan sampah harus jauh jaraknya dari pemukiman, tidak pada tempat yang sering digunakan orang untuk lalu lintas, tidak boleh mengotori sumber air minum seperti mata air atau sungai yang digunakan untuk mandi dan mencuci serta tidak pada tempat yang sering terkena banjir (Latifah et al. 2002c). Sistem Pembuangan Air Limbah (SPAL) Menurut Latifah et al. (2002c) air limbah merupakan air buangan yang kotor dan sangat berbahaya bagi kesehatan. Sumber air limbah yaitu 1) air limbah yang berasal dari rumah tangga (air dari kamar mandi, air buangan dapur, air bekas mencuci pakaian); 2) air limbah yang berasal dari perusahaan atau pusat perdagangan (air buangan dari hotel, dari restoran dan dari kolam renang); dan 3) air limbah yang berasal dari industri atau pabrik (air buangan dari pabrik tahu dan tapioka, dari pabrik tinta, pabrik cat, pabrik kertas, pabrik baja, pabrik kimia). Pembuangan air limbah harus memenuhi syarat kesehatan agar tidak menimbulkan gangguan terhadap kehidupan manusia. Bahaya yang ditimbulkan air limbah jika tidak ditangani dengan baik antara lain dapat menjadi tempat perkembangan bibit penyakit (seperti cacing, kuman penyakit diare dan penyakit kulit) dan tempat berkembangbiaknya lalat yang bisa menularkan penyakit diare.

Syarat-syarat pembuangan air limbah diantaranya tidak mengotori sumber air bersih, tidak menjadi tempat berkembang biak serangga perantara penyakit (lalat dan nyamuk) dan tidak menimbulkan bau dan merusak pemandangan (Latifah et al. 2002c). Ada dua jenis sistem pembuangan air limbah yaitu menyalurkan air limbah tanpa diolah sebelumnya dan menyalurkan air limbah dengan diolah terlebih dahulu. Penyaluran air limbah tanpa diolah dapat dilakukan dengan menggunakan tanki septik dan sistem riol. Sedangkan, pembuangan air limbah dengan diolah terlebih dahulu, biasanya digunakan untuk membuang air limbah yang berasal dari industri/pabrik dan peternakan atau rumah pemotongan hewan (Latifah et al. 2002c). Pelayanan Kesehatan Menurut Azwar (1979) pelayanan kesehatan yang baik harus memenuhi minimal tiga persyaratan pokok yaitu sesuai dengan kebutuhan jasa pemakai pelayanan, terjangkau oleh pemakai jasa pelayanan serta terjamin mutunya. Akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan sangat tergantung oleh keadaan ekonomi, oleh karena itu sulit memenuhi tiga syarat tersebut. Untuk memenuhi syarat sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan keterjaminan mutu, maka pelayanan kesehatan tersebut akan mahal, sehingga sulit dijangkau oleh masyarakat miskin. Pelayanan kesehatan dibagi menjadi dua yaitu pelayanan kesehatan tradisional dan pelayanan kesehatan modern. Berdasarkan hasil penelitian Sirajudin (1981) diacu dalam Herman (2005) masyarakat lebih banyak memanfaatkan pelayanan kesehatan tradisional. Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu rendahnya tingkat pendidikan kepala keluarga dan tingkat pendapatan perkapita keluarga, jarak fisik dan sarana perhubungan yang tidak lancar antara pusat pelayanan kesehatan dengan tempat tinggal penduduk. Pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan oleh masyarakat belum optimal. Hal ini menurut Sukarni (1994) disebabkan oleh beberapa hal, antara lain sistem pelayanan yang ada selama ini belum diterima oleh masyarakat, lokasi pusat-pusat pelayanan tidak terjangkau oleh masyarakat banyak atau lebih banyak berada di kota-kota besar, secara ekonomis, pelayanan tidak terjangkau oleh masyarakat banyak dan belum seluruh Puskesmas dipimpin oleh dokter. Menurut BPS (2002) fasilitas kesehatan yang paling banyak digunakan oleh penduduk desa untuk berobat adalah Puskesmas, petugas kesehatan dan praktek dokter. Menurut BPS (2005) pada tahun 2005 secara umum persalinan

balita ditolong oleh tenaga medis diantaranya oleh dokter, bidan dan tenaga medis lainnya. Persalinan oleh dokter, bidan atau tenaga medis lainnya relatif lebih aman dibandingkan oleh dukun atau tenaga bukan medis lainnya. Pemantauan pertumbuhan dan perkembangan kesehatan yaitu mengikuti perkembangan kesehatan dan pertumbuhan anggota keluarga, terutama bayi, balita dan ibu hamil. Kegunaan dari pemantauan ini adalah untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan bayi dan balita, mencegah memburuknya keadaan gizi, mengetahui kesehatan ibu hamil dan perkembangan janin, mencegah ibu melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah dan terjadinya pendarahan pada saat melahirkan, dan mengetahui kesehatan anggota keluarga dewasa dan usia lanjut (Dinkes DKI Jakarta 2002). Pengetahuan Gizi Menurut Notoatmodjo (1993) pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui indera mata dan telinga. pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting bagi terbentuknya suatu tindakan. Tindakan yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan. Cicely William diacu dalam Berg (1986) melaporkan studi di Afrika Barat bahwa gizi kurang tidak terjadi karena kemiskinan harta, akan tetapi disebabkan oleh kemiskinan pengetahuan tentang gizi dan kesehatan keluarga khususnya anak-anak. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nutrition Assesment Educational Project di Washington (1999) diacu dalam Madihah (2002) menyatakan bahwa rendahnya perhatian terhadap masalah gizi sebagian besar disebabkan oleh rendahnya pengetahuan atau pemahaman tentang gizi yang baik. Pola Asuh Anak balita merupakan kelompok penduduk yang paling rentan terhadap gangguan kesehatan dan gizi. Beberapa alasan yang memperkuat pernyataan tersebut yaitu status imunisasi, diet dan psikologi anak belum matang atau masih dalam taraf perkembangan yang pesat dan kelangsungan hidup anak balita sangat tergantung pada penduduk dewasa terutama keluarga dan ibunya (Sukarni 1989). Ibu memainkan peranan yang sangat penting dalam mendidik anak terutama pada masa balita. Mendidik menyangkut pola ajar (proses sosialisasi),

pengertian dan perasaan serta keterampilan dan pengetahuan, melalui berbagai bentuk interaksi antara ibu dan anak. Marotz et al. (2005) menyatakan bahwa masa balita merupakan masa yang sangat ideal untuk mulai menanamkan pada anak tentang perilaku-perilaku gaya hidup sehat. Dalam hal ini, orang tua dan guru harus mulai menstimulasi kesadaran kepada anak mengenai isu-isu lingkungan. Masa seorang anak berada pada usia kurang dari lima tahun termasuk salah satu masa yang tergolong rawan (Hardinsyah & Martianto 1992). Hal terpenting yang perlu diperhatikan pada anak balita yaitu gizi anak, kesehatan anak, imunisasi, stimulasi dini, perumahan, keluarga berencana, sanitasi lingkungan dan lainnya (Soendjojo, Hikmat & Soemartono 2000 diacu dalam Adnyadewi 2004). Menurut Soekirman (2000) pola asuh adalah dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh dan berkembang sebaik-baiknya secara fisik, mental, dan sosial. Pola pengasuhan anak berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan anak, merawat anak, kebersihan anak, memberi kasih sayang kepada anak dan sebagainya. Pola asuh dalam penelitian ini meliputi pola asuh makan dan pola asuh kesehatan. Pola Asuh Makan Pola asuh makan adalah praktik yang diterapkan ibu khususnya yang berkaitan dengan situasi dan cara makan, dapat memberikan suasana yang menyenangkan bagi anak, maka ibu dengan mudah memberikan makan kepada anaknya dan dapat merasakan bahwa situasi waktu makan adalah saat-saat yang mambahagiakan (Tambingon 1999). Membentuk pola makan yang baik untuk seorang anak menuntut kesabaran seorang ibu. Pada usia pra sekolah, anak-anak sering mengalami fase sulit makan. Apabila masalah makan ini berkepanjangan maka dapat mengganggu tumbuh kembang anak karena jumlah dan jenis gizi yang masuk dalam tubuhnya kurang. Masalah makan pada anak dapat terjadi karena anak meniru pola makan orang tuanya yang makan pada saat menjalani diet untuk menurunkan berat badan (Khomsan 2004). Menurut Hurlock (1982) penurunan nafsu makan anak disebabkan oleh penurunan tingkat pertumbuhan dan sebagian anak sudah mengembangkan jenis makanan yang disukai dan yang tidak disukai. Menurut Hardinsyah & Martianto (1992) pada usia anak di bawah lima tahun merupakan masa yang

tergolong rawan. Pada umumnya anak mulai susah makan atau suka pada makanan jajanan yang rendah energi dan tidak bergizi. Oleh karena itu, perhatian terhadap makanan dan kesehatan bagi anak pada usia ini sangat diperlukan. Menurut Khomsan (2004) orang tua yang pilih-pilih makanan (picky eaters) dan tidak suka sayur secara tidak langsung akan menyebabkan anak berperilaku makan seperti orang tuanya. Selain itu, suasana makan haruslah menyenangkan sehingga anak tidak seperti pesakitan di meja makan. Ketika anak sedang makan, orang tua jangan terlalu banyak memberi nasehat. Anak seyogiayanya diberi kesempatan untuk memilih makanan sendiri yang disukai dengan pengawasan seperlunya dari orangtua. Pola Asuh Kesehatan Menurut Rahayu (2006) pola asuh kesehatan yang dilakukan terhadap anak balita perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh karena ia belum sanggup untuk merawat dirinya sendiri, kondisi fisik masih lemah, kepekaan terhadap serangan penyakit juga tinggi. Perawatan kesehatan anak balita akan mempengaruhi tingkat morbiditasnya. Anak balita yang tidak terawat baik fisik maupun makanannya akan mudah terserang penyakit. Kebersihan adalah faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap kesehatan, hal ini terlihat dari banyaknya orang yang terkena penyakit karena tidak memperhatikan faktor kebersihan (Depkes RI 1995 diacu dalam Rahayu 2006). Higiene diri sangat penting diketahui dan dipraktikan oleh setiap orang untuk kesehatan dirinya maupun kesehatan masyarakat. Higiene diri adalah pengetahuan yang sifatnya individualistis, artinya sangat tergantung dari diri sendiri yang praktiknya harus diketahui, dimengerti, dan dilaksanakan oleh setiap individu (Suklan 2000 diacu dalam Rahayu 2006). Mengingat bayi dan anak adalah individu pasif, maka penjagaan kesehatannya merupakan tanggungjawab individu dewasa di sekitarnya, terutama oleh orang tuanya (Depkes RI 1997 diacu dalam Rahayu 2006). Ibu berperan secara konsisten bertanggung jawab terhadap pengasuhan dan perawatan fisik anak. Sedangkan ayah berperan dalam hal interaksi sosial dan mengajarkan norma budaya kepada anak baik laki-laki maupun perempuan yang ada di lingkungannya (Santrock 2002). Pendidikan dan kekuasaan orang tua mampu meningkatkan kemampuan pengasuhan dan perawatan anak dengan lebih baik dalam suatu keluarga (Aronson 1991).

KERANGKA PEMIKIRAN
Sehat menurut UU Pokok Kesehatan no. 9/1969 adalah keadaan yang sempurna jasmani, rohani, dan sosial (Widyati & Yuliarsih 2002). Masalah kesehatan merupakan masalah yang komplek karena terkait dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya. Menurut Henrik L. Blum diacu dalam Topatimasang (2005) ada beberapa determinan derajat kesehatan penduduk yaitu genetika dan kependudukan, lingkungan kesehatan, perilaku kesehatan serta pelayanan kesehatan. Dari keempat faktor tersebut, faktor lingkungan dan perilaku sangat mempengaruhi derajat kesehatan. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah sekumpulan perilaku yang dipraktikan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran yang menjadikan seseorang atau keluarga dapat menolong diri sendiri di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakatnya (Depkes RI 2006). PHBS yang disertai dengan pengetahuan gizi yang baik mampu membentuk perilaku yang baik pula. Menurut Notoatmodjo (1993) pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting bagi terbentuknya suatu tindakan. Tindakan yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan. Pengetahuan seseorang erat kaitannya dengan tingkat pendidikan. Berg (1986) menyatakan bahwa dengan tingkat pendidikan tinggi diharapkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki tentang gizi menjadi lebih baik. Menurut Madanijah (2003) pendidikan ibu merupakan salah satu faktor penentu mortalitas bayi dan anak, karena tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap tingkat pemahamannya terhadap perawatan kesehatan, higiene dan kesadarannya terhadap kesehatan anak dan keluarga. Mengingat anak balita merupakan kelompok individu pasif dan merupakan kelompok penduduk yang paling rentan terhadap gangguan kesehatan dan gizi. Oleh karena itu, diperlukan peran serta orang dewasa khususnya ibu dalam hal perawatan baik fisik maupun makan bagi anak balita. Anak balita yang tidak terawat baik fisik mapun makannya akan mudah terserang penyakit infeksi contohnya diare. Penyakit diare yang diderita oleh anak balita akan mempengaruhi status gizinya, sehingga akan berdampak pada proses pertumbuhan dan perkembangannya.

Karakteristik Keluarga - Besar Keluarga - Umur Orangtua - Pendidikan Orangtua - Pekerjaan Orangtua - Pendapatan Keluarga

Pengetahuan Gizi Ibu

Karakteristik Anak Balita - Jenis Kelamin - Umur - Berat Badan Lahir

Pola Asuh - Pola Asuh Makan - Pola Asuh Kesehatan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Ibu

Status Gizi Anak Balita

Diare Anak Balita


Keterangan:

= Variabel yang diteliti

= Hubungan yang dianalisis

Gambar 2 Kerangka pemikiran PHBS, pengetahuan gizi, pola asuh makan dan pola psuh kesehatan kaitannya dengan diare anak balita.

METODE PENELITIAN
Desain, Tempat dan Waktu Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional study yaitu data diambil pada waktu tertentu secara bersamaan. Lokasi penelitian dipilih secara purposive di Kampung Carang Pulang, Desa Cikarawang, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2007 sampai bulan April 2008. Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Contoh adalah anak balita dengan responden dalam penelitian ini adalah ibu contoh yang bersedia untuk diwawancarai. Jumlah contoh yang diambil dalam penelitian ini adalah 10% dari total populasi yaitu sebanyak 56 contoh. Menurut Nasution (2003) jumlah sampel 10% dari total populasi dianggap cukup memadai dalam sebuah penelitian. Pengambilan contoh dilakukan dengan metode acak sederhana yang dilakukan di lima Posyandu yang terdapat di Kampung Carang Pulang, Desa Cikarawang. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Berdasarkan Tabel 1 data primer meliputi karakteristik anak balita (jenis kelamin dan umur), status gizi dan kesehatan anak balita, karakteristik keluarga (besar keluarga, umur, pendidikan, pekerjaan orang tua dan pendapatan keluarga). Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data
No 1 Variabel Karakteristik anak balita Status gizi anak balita Status kesehatan (diare anak balita) Karaktersitik keluarga PHBS ibu Pengetahuan gizi ibu Pola asuh Lokasi penelitian Pola asuh makan Pola asuh kesehatan Data - Jenis kelamin - Umur - Berat badan lahir BB/TB BB/U TB/U Pernah/tidak sakit Frekuensi sakit Lama sakit Besar keluarga Umur orang tua Pendidikan orangtua Pekerjaan orangtua Pendapatan keluarga Jenis data Primer, sekunder Primer Cara pengumpulan data Wawancara Wawancara dan antropometri Alat ukur Kuesioner, KMS Kuesioner, timbangan injak dan mikrotoa Kuesioner

Primer

Wawancara

Primer

Wawancara Wawancara, observasi Pengisian kuesioner Wawancara Monografi Desa Cikarawang

Kuesioner

5 6 7 8

Primer Primer Primer Sekunder

Kuesioner Kuesioner Kuesioner

Selain itu, data primer juga meliputi PHBS ibu, pengetahuan gizi ibu, pola asuh makan dan pola asuh kesehatan. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan responden menggunakan kuesioner terstruktur dan pengamatan langsung. Data sekunder meliputi lokasi penelitian yang diperoleh dari data monografi Desa Cikarawang dan berat badan lahir anak balita dari KMS (Tabel 1). Pengolahan dan Analisis Data Data yang terkumpul diolah dan dianalisis secara statistik deskriptif dan inferensia. Program komputer yang digunakan adalah Microsoft Excel dan Statistical Program for Social Science (SPSS) for Window versi 11,5. Status gizi anak balita dikategorikan menjadi gizi kurang (z-score <-2 SD), gizi normal (zscore -2SD-+2 SD) dan gizi lebih (z-score >+2 SD). Sedangkan status kesehatan diperoleh dengan menanyakan pernah dan tidaknya sakit, jenis penyakit, frekuensi dan lama sakit selama tiga bulan terakhir (Tabel 2). Total skor PHBS dikategorikan menjadi tiga berdasarkan rumus interval yaitu PHBS rendah (24-38), PHBS sedang (39-53) dan PHBS tinggi (54-67). PHBS aspek pelayanan kesehatan meliputi ketersediaan, kunjungan ke pelayanan kesehatan, persepsi jarak, persepsi daya jangkau, akses terhadap sumber informasi, persepsi terhadap kemudahan petugas kesehatan, serta persepsi cara pelayanan petugas kesehatan disajikan dalam bentuk deskriptif (Tabel 2). Pengetahuan gizi dinilai dengan pemberian skor 1 untuk jawaban yang benar dan skor 0 untuk jawaban yang salah. Menurut Khomsan (2000) jawaban pengetahuan gizi diklasifikasikan ke dalam 3 kriteria, yaitu pengetahuan gizi baik (>80%), pengetahuan gizi sedang (60%-80%) dan pengetahuan gizi kurang (<60%) (Tabel 2). Data pola asuh makan diperoleh dengan memodifikasi kuesioner dari penelitian yang telah dilakukan oleh Khairunnisak (2004) yaitu dengan memberikan 16 pertanyaan yang berkaitan dengan riwayat menyusui dan penyapihan, cara memperkenalkan makan, cara mempersiapkan makan, cara memberikan makan dan cara mengapresiasi proses makan pada anak balita. Total skor yang diperoleh diklasifikasikan menjadi tiga berdasarkan rumus interval yaitu rendah (0-6), sedang (7-11) dan tinggi (12-16). Data pola asuh kesehatan disajikan dalam bentuk pertanyaan tertutup sebanyak 24 pertanyaan. Total skor dari pertanyaan tersebut dikategorikan

menjadi tiga berdasarkan rumus interval yaitu rendah (24-39), sedang (40-55), dan tinggi (56-72). Tabel 2 Cara pengolahan dan analisis data
No Variabel Sub Variabel a. Jenis kelamin b. Umur (bulan) Kategori 23 24-36 37 (Turner & Helms 1991) BBLR (<2,5) Non BBLR (2,5) Gizi kurang (z-score <-2SD) Gizi normal (z-score -2SD-+2SD) Gizi lebih (z-score >+2SD) 1 2 3 1-3 4-7 8-14 >14 Remaja (13-19) Dewasa muda (20-30) Dewasa madya (31-50) (Turner & Helms 1991) Kecil (4) Besar (>4) Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD SD/sederajat SLTP/sederajat SLTA/sederajat Akademi/Diploma/Perguruan Tinggi Buruh tani/kebun Petani pemiliki Pedagang/wiraswasta Pegawai negeri/swasta Jasa angkutan Pembantu Rumah Tangga (PRT) Ibu Rumah Tangga (IRT) Lainnya Rp 100 000.00 Rp 100 001.00-150 000.00 >Rp 150 000.00 Rendah (24-38) Sedang (39-53) Tinggi (54-67) (Subandriyo et al. 1997) Rendah (<60%) Sedang (60%-80%) Tinggi (>80%) (Khomsan 2000) Rendah (0-6) Sedang (7-11) Tinggi (12-16) (Slamet 1993) Rendah (24-39) Sedang (40-55) Tinggi (57-72) (Slamet 1993)

Karakteristik anak balita

c. Berat badan lahir (kg) 2 Status gizi anak balita BB/TB, BB/U, TB/U a. Pernah/tidak sakit b. Frekuensi sakit (kali/3 bulan)

Status kesehatan anak balita (diare)

c. Lama sakit (hari)

a. Umur orangtua (tahun)

b. Besar keluarga (orang)

c. Pendidikan orangtua 4 Karakteristik keluarga

d. Pekerjaan orangtua

e. Pendapatan keluarga

PHBS ibu

Pengetahuan gizi ibu

a. Pola asuh makan 7 Pola asuh b. Pola asuh kesehatan

Definisi Operasional Contoh adalah anak yang berada pada golongan usia satu sampai dengan lima tahun yang akan diamati status gizi dan status kesehatannya khususnya diare. Status gizi anak balita adalah kondisi kesehatan tubuh anak balita yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi makanan yang diperoleh dengan menggunakan metode antropometri. Indikator status gizi yang digunakan adalah BB/TB, BB/U, dan TB/U. Status gizi dibagi dalam tiga kelompok berdasarkan perhitungan zskor yaitu gizi kurang (z-score <-2 SD), gizi normal (z-score -2 SD-+2 SD) dan gizi lebih (z-score >+2 SD). Status kesehatan anak balita adalah kondisi kesehatan (riwayat sakit) anak balita dalam tiga bulan terakhir yang meliputi jenis penyakit, frekuensi sakit (berapa kali sakit) dan lama sakit (dalam hari) dengan menggunakan kuesioner. Diare pada anak balita adalah kejadian buang air besar dengan konsistensi yang lembek sampai encer bahkan dapat berupa air saja sebanyak 3 kali atau lebih dalam sehari pada anak balita. Besar keluarga adalah banyaknya orang yang tinggal (hidup) di bawah satu atap yang sama dan makan dari satu dapur yang sama. Pendidikan orang tua adalah lama pendidikan formal (pendidikan terakhir) ayah dan ibu, diklasifikasikan menjadi tidak pernah sekolah, tidak tamat SD, SD/sederajat, SLTP/sederajat, SLTA/sederajat, dan Akademi/Diploma/Perguruan Tinggi (PT). Pekerjaan orang tua adalah jenis pekerjaan yang dimiliki ayah dan ibu yang dapat menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga meliputi buruh tani atau kebun, petani pemilik, pedagang atau wiraswasta, pegawai negri/swasta, jasa angkutan, Pembantu Rumah Tangga (PRT), Ibu Rumah Tangga (IRT). Pendapatan perkapita perbulan adalah jumlah pendapatan yang dinilai dengan uang (rupiah) perbulan yang dibagi dengan besar keluarga dan diklasifikasikan menjadi <Rp100 000.00, Rp100 001.00-150 000.00 dan >Rp150 000.00. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) ibu adalah tindakan atau aktivitas ibu tentang pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Berdasarkan

rumus interval total skor PHBS diklasifikasikan menjadi rendah (2438), sedang (39-53) dan tinggi (54-67). Pengetahuan gizi ibu adalah pengetahuan yang berkaitan dengan gizi dan kesehatan meliputi definisi dan fungsi zat gizi, sumber pangan dengan kandungan zat gizi tertentu, akibat defisiensi zat gizi, akibat mengonsumsi makanan yang tidak bersih, waktu pemberian ASI eksklusif dan MP-ASI, definisi dan pencegahan diare, serta penanganan saat anak balita mengalami diare. Pengetahuan gizi diklasifikasikan menjadi tiga menurut Khomsan (2000) yaitu baik (>80%), sedang (60%-80%) dan kurang (<60%). Pola asuh makan adalah cara dan kebiasaan ibu dalam memenuhi kebutuhan makan anak balita yang meliputi riwayat menyusui dan penyapihan, cara memperkenalkan makan, cara mempersiapkan makan, cara memberikan makan dan cara mengapresiasi proses makan pada anak balita. Total skor yang diperoleh diklasifikasikan menjadi tiga berdasarkan rumus interval yaitu rendah (0-6), sedang (7-11) dan tinggi (12-16). Pola asuh kesehatan adalah cara dan kebiasaan ibu memperlakukan anak balita dalam penerapan kebersihan diri dan perilaku kesehatan lingkungan. Total skor dari aspek pola asuh kesehatan yaitu 24-72 yang dikategorikan menjadi tiga berdasarkan rumus interval yaitu rendah (24-39), sedang (40-55), dan tinggi (56-72).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Keadaan Umum Daerah Penelitian Berdasarkan data dasar profil desa tahun 2007/2008 luas wilayah Desa Cikarawang yaitu 225, 84 ha, yang dipergunakan untuk pemukiman umum, bangunan-bangunan (sekolah, masjid, perkantoran, kuburan, jalan, dan lain-lain), pertanian sawah, perkebunan, dan lain sebagainya (Tabel 3). Desa Cikarawang merupakan daerah dataran yang berada pada ketinggian 700 m dpl. Tabel 3 Luas wilayah Desa Cikarawang berdasarkan penggunaannya Penggunaan Pertanian Sawah a. Sawah pengairan teknis (irigasi) b. Sawah pengairan setengah teknis c. Sawah tadah hujan d. Sawah pasang surut Perkebunan a. Perkebunan rakyat b. Perkebunan Negara c. Perkebunan swasta Pemukiman Umum Bangunan a. Perkantoran b. Sekolah c. Pertokoan/perdagangan d. Pasar e. Terminal f. Tempat peribadatan (masjid, gereja, pura, vihara, dll) g. Kuburan/makam h. Jalan i. Lain-lain Perikanan Darat/Air Tawar a. Tambak b. Kolam c. Empang/tebat Total
Sumber: Data dasar profil desa 2007/2008

Luas ha 0 25,070 52,455 75,260 18,226 8 0 38,075 0,016 0,430 0 0 0 0,073 2 0,800 4,925 0 0 0,510 225,84 % 0,0 11,10 23,23 33,32 8,07 3,54 0,0 16,86 0,007 0,19 0,0 0,0 0,0 0,03 0,88 0,35 2,18 0,0 0,0 0,22 100,0

Batas wilayah Desa Cikarawang yaitu sebelah Utara berbatasan dengan Sungai Cisadane, sebelah Selatan berbatasan dengan Sungai Ciapus, sebelah Barat berbatasan dengan Sungai Cisadane-Ciapus dan sebelah Timur berbatasan dengan Desa Situ Gede. Jarak dari desa ke ibukota kecamatan adalah sejauh 3 km dan dapat ditempuh selama setengah jam. Sedangkan dari desa ke ibukota kabupaten sejauh 35 km dan dapat dicapai selama dua jam.

Desa Cikarawang terdiri dari tiga Dusun, tujuh Rukun Warga (RW) dan 32 Rukun Tetangga (RT). Dusun I terdiri dari RW 1 dan 2, Dusun II terdiri dari RW 3 dan 4, dan Dusun III terdiri dari RW 5, 6 dan 7. RW 1 dan 2 berada di Kampung Cangkrang, sisanya berada di Kampung Carang Pulang. Jumlah penduduk Desa Cikarawang seluruhnya adalah sebanyak 8 175 jiwa dengan jumlah kepala keluarga 2 000 KK. Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa jumlah penduduk Desa Cikarawang paling banyak berada pada golongan usia anak balita. Tabel 4 Jumlah penduduk menurut golongan usia dan jenis kelamin Umur (Tahun) 0-5 6-10 11-15 16-20 21-25 26-30 31-35 36-40 41-45 46-50 51-55 56-60 61-65 66-70 Jumlah Laki-Laki 443 408 392 379 389 398 304 311 261 215 183 158 189 144 4 174 Perempuan 515 366 389 369 374 378 285 288 251 193 160 141 147 145 4 001 Jumlah 958 774 781 748 763 776 589 599 512 408 343 299 336 289 8 175

Sumber : Data dasar profil desa 2007/2008

Penggolongan penduduk berdasarkan tingkat kesejahteraan keluarga dibagi ke dalam empat kelompok yaitu keluarga pra sejahtera (900 KK), keluarga sejahtera I (700 KK), keluarga sejahtera II (300 KK), dan keluarga sejahtera III (100 KK). Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan aparat desa, fasilitas penyediaan air bersih di Desa Cikarawang sebagian besar berasal dari sumur pribadi atau mata air pribadi. Selain itu, sampai saat ini Desa Cikarawang telah memiliki fasilitas Mandi Cuci Kakus (MCK) yang diperuntukkan bagi masyarakat secara umum di dua belas tempat. Kedua belas MCK tersebut dibangun berdasarkan bantuan pemerintah daerah Kabupaten Bogor (PKPS BBMIP) tahun 2005. Namun, hanya sepuluh bangunan MCK yang sudah ditembok rapi dan sisanya belum ditembok. Kedua belas bangunan MCK yang dibangun tersebut masih belum mencukupi kebutuhan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari masih terdapatnya masyarakat

yang menggunakan air sungai/hujan/sumur dan mata air yang tidak terlindungi sebagai sumber air minum, mandi, cuci dan kakus. Karakteristik Anak Balita Karakteristik anak balita dalam penelitian ini menjelaskan mengenai jenis kelamin, umur, dan berat badan lahir. Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa lebih dari separuh anak balita (66,1%) berjenis kelamin perempuan. Hal ini sesuai dengan data yang diperoleh dari Puskesmas Cangkurawok bahwa proporsi anak balita yang berjenis kelamin perempuan di Kampung Carang Pulang lebih banyak dibandingkan laki-laki. Umur anak balita berkisar antara 10-58 bulan dengan rata-rata 30,211,7 bulan. Proporsi terbesar umur anak balita (39,3%) berkisar antara 24-36 bulan, sisanya berumur 23 bulan (32,1%) dan berumur 37 bulan (28,6%). Berat badan lahir anak balita berkisar antara 2-4 kg dengan rata-rata 3,10,4 kg. Berdasarkan Tabel 5, sebagian besar anak balita (96,4%) memiliki berat badan lahir cukup (2,5 kg). Akan tetapi, sebanyak 3,6% anak balita memiliki Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) yaitu bayi dengan berat badan <2,5 kg. Menurut Alisyahbana (1983) diacu dalam Firlie (2001) bayi dengan BBLR memiliki mortalitas lebih tinggi dan daya tahan terhadap penyakit lebih rendah serta pertumbuhan dan perkembangan lebih lamban dibandingkan bayi yang memiliki berat badan lahir cukup. Tabel 5 Sebaran anak balita berdasarkan jenis kelamin, umur dan berat badan lahir Karakteristik Anak balita Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total Umur (bulan) 23 24-36 37 Total Berat Badan Lahir (kg) <2,5 2,5 Total n 19 37 56 18 22 16 56 2 54 56 % 33,9 66,1 100,0 32,1 39,3 28,6 100,0 3,6 96,4 100,0

Status Gizi dan Kesehatan Anak balita Status Gizi Anak balita Berdasarkan perhitungan z-score indeks BB/TB pada Tabel 6 sebagian besar anak balita (92,9%) memiliki status gizi yang tergolong normal. Sisanya sebanyak 5,4% anak balita memiliki status gizi kurang dan 1,8% berstatus gizi lebih. Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi makanan yang dapat dinilai dengan berbagai cara, salah satunya dengan antropometri. Berat badan merupakan satu-satunya ukuran tunggal yang ekonomis dan paling peka untuk digunakan apabila dibandingkan tinggi badan. Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menyatakan status gizi masa kini (Riyadi 2001). Berdasarkan indeks BB/U sebagian besar anak balita (76,8%) termasuk ke dalam status gizi normal dan 23,2% berstatus gizi kurang (Tabel 6). Riyadi (2001) menyatakan bahwa indeks BB/U sebagai indikator status gizi mampu menggambarkan status gizi pada masa kini. Berbeda halnya dengan status gizi anak balita berdasarkan indeks TB/U, proporsi terbesar anak balita (57,1%) termasuk ke dalam status gizi rendah, sisanya 42,9% berstatus gizi normal. Menurut Riyadi (2001) dalam keadaan normal tinggi badan tumbuh bersamaan dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan kurang sensitif terhadap defisiensi gizi dalam jangka pendek dibandingkan dengan berat badan. WHO (1983) diacu dalam Riyadi (2001) interpretasi status gizi anak balita dari ketiga indikator gabungan yaitu BB/TB normal, BB/U normal dan TB/U rendah dapat dikategorikan ke dalam status gizi normal, akan tetapi mengalami malnutrisi pada masa lalu. Tabel 6 Sebaran anak balita berdasarkan status gizi Status Gizi Gizi kurang Gizi normal Gizi lebih Total n 3 52 1 56 BB/TB % 5,4 92,9 1,8 100,0 Indeks Antropometri BB/U TB/U n % n % 13 23,2 32 57,1 43 76,8 24 42,9 0 0,0 0 0,0 56 100,0 56 100,0

Status gizi erat kaitannya dengan penyakit infeksi. Hiswani (2003) menyatakan bahwa masalah kesehatan dan pertumbuhan anak sangat dipengaruhi oleh dua persoalan utama yaitu keadaan gizi yang tidak baik dan

masalah penyakit infeksi. Anak yang mengalami gizi kurang memiliki kesempatan lebih besar menderita penyakit infeksi terutama penyakit diare. Hasil analisis menunjukkan terdapat hubungan negatif dan signifikan antara status gizi anak balita (BB/TB dan TB/U) dengan diare (p<0,05). Aritonang (1996) dan Victoria et al (1999) diacu dalam Briawan & Herawati (2005) menyatakan kurang gizi adalah faktor pra kondisi yang memudahkan anak menderita penyakit infeksi khususnya infeksi saluran pernapasan dan diare. Anak-anak yang kurang gizi menyebabkan rusaknya sistem imun sehingga mudah terkena penyakit. Status Kesehatan Anak balita Status kesehatan anak balita merupakan aspek dari kualitas fisik anak balita yang dapat mempengaruhi status gizi. Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui bahwa hampir seluruh anak balita (91,1%) mengalami sakit dan hanya 8,9% anak balita tidak mengalami sakit selama tiga bulan terakhir. Tabel 7 Sebaran anak balita berdasarkan status kesehatan tiga bulan terakhir Status Kesehatan Sakit Tidak Sakit Total N 51 5 56 % 91,1 8,9 100

Menurut Soendjojo, Hikmat & Soemartono (2000) diacu dalam Adnyadewi (2004) untuk meningkatkan status kesehatan anak balita diperlukan suatu perhatian dalam hal gizi, kesehatan, imunisasi, stimulasi dini, perumahan, keluarga berencana, sanitasi lingkungan dan lainnya. Menurut BPS (2002) status gizi merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi kualitas fisik penduduk. Oleh karena itu, status gizi yang baik akan mempengaruhi status kesehatan seseorang. Jenis penyakit yang paling banyak dialami anak balita selama tiga bulan terakhir dapat dilihat pada Tabel 8 yaitu panas (71,4%), ISPA (73,2%) dan diare (46,4%). Tabel 8 menunjukkan bahwa penyakit yang tidak pernah dialami seluruh anak balita adalah campak. Penyakit kulit yang dialami anak balita antara lain panu, kurap, bisul, borok dan alergi terhadap beberapa jenis pangan seperti ikan asin.

Tabel 8 Sebaran anak balita berdasarkan jenis penyakit Jenis Penyakit Panas ISPA TBC Campak Cacar Diare Kulit Lainnya n 40 41 2 0 3 26 6 2 % 71,4 73,2 3,6 0,0 5,4 46,4 10,7 3,6

Frekuensi sakit anak balita selama tiga bulan terakhir cukup bervariasi, tergantung dari jenis penyakit yang dideritanya. Sebagian besar anak balita menderita penyakit panas sebanyak 1-2 kali (35%), ISPA 2 kali (30,4%) dan diare 1 kali (32,1%). Sedangkan frekuensi untuk jenis penyakit lainnya adalah 1 kali (Tabel 9). Tabel 9 Sebaran anak balita berdasarkan frekuensi sakit Jenis Penyakit Panas ISPA Campak Cacar Diare Kulit Lainnya Frekuensi Sakit (kali) 1 2 % N % n 35,0 14 35,0 12 23,2 17 30,4 11 0,0 0 0,0 0 100,0 0 0,0 0 32,1 7 12,5 1 50,0 1 16,7 2 100,0 0 0,0 0 3 % 30,0 19,7 0,0 0,0 1,8 33,3 0,0

N 14 13 0 3 18 3 2

Tabel 10 menunjukkan sebagian besar anak balita menderita sakit selama 1-3 hari yaitu panas (57,1%), ISPA (44,6%), diare (30,4%) dan kulit (5,4%). Penyakit kulit erat kaitannya dengan kebersihan diri seseorang. Anak balita adalah individu pasif, sehingga yang bertanggungjawab dalam hal kebersihan diri adalah orang dewasa khususnya ibu dari anak balita. Mandi minimal 2 kali sehari dengan menggunakan air bersih dan sabun merupakan salah satu cara agar terhindar dari penyakit kulit.

Tabel 10 Sebaran anak balita berdasarkan lama hari sakit Jenis Penyakit Panas ISPA Campak Cacar Diare Kulit Lainnya 1-3 N 32 25 0 0 17 3 1 % 57,1 44,6 0,0 0,0 30,4 5,4 1,8 n 7 13 0 1 8 2 0 Lama Sakit (hari) 4-7 8-14 % n % 12,5 1 1,8 23,2 3 5,4 0,0 0 0,0 1,8 2 3,6 14,3 1 1,8 3,6 0 0,0 0,0 0 0,0 >14 n 0 0 0 0 0 1 1 % 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 1,8 1,8

Selain jenis penyakit di atas, frekuensi penyakit TBC tidak diikut sertakan dalam tabel frekuensi sakit (Tabel 9) dikarenakan penyakit tersebut sudah berlangsung cukup lama yaitu selama 32 hari dan saat penelitian dilaksanakan penyakit tersebut masih diderita kedua anak balita. TBC termasuk ke dalam jenis penyakit ISPA yang bersifat kronis. Lama hari penyakit TBC lebih dari 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari. Responden menyatakan untuk penyakit TBC, kedua anak balita sedang melakukan pengobatan rutin sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan oleh dokter hingga benar-benar kedua anak balita tersebut dinyatakan sembuh. Karakterisitik Keluarga Contoh Besar Keluarga Jumlah anggota keluarga contoh berkisar antara 3-10 orang dengan ratarata 5,31,8 orang. Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa lebih dari separuh responden (60,7%) merupakan keluarga besar dengan jumlah anggota keluarga >4 orang. Tabel 11 Sebaran responden berdasarkan besar keluarga Besar Keluarga Kecil (4 orang) Besar (>4 orang) Total n 22 34 56 % 39,3 60,7 100,0

Puspitawati (2007) menyatakan keluarga merupakan salah satu lembaga sosial yang tidak dapat berdiri sendiri. Keluarga sangat tergantung dengan dan juga mempengaruhi lingkungan di sekitarnya (mikro, meso dan makro). Seorang anak akan memperoleh hubungan antar pribadi pertama kali dalam lingkungan

keluarga. Jumlah keluarga yang banyak dapat mempengaruhi kondisi gizi dan kesehatan dari anggota keluarga. Suhardjo (1989) menyatakan bahwa besar keluarga mempunyai andil dalam permasalahan gizi sedangkan menurut Suharini (1998) diacu dalam Madihah (2002) bahwa jumlah anggota keluarga yang besar disertai dengan distribusi makanan yang tidak merata akan menyebabkan anak dalam keluarga menderita kurang gizi. Selain itu, besar keluarga juga akan mempengaruhi luas per penghuni di dalam suatu bangunan rumah yang secara tidak langsung akan mempengaruhi kesehatan baik anak-anak maupun ibu (Sukarni 1989). Rumah yang padat penghuninya akan menyebabkan berkurangnya konsumsi oksigen dan memudahkan penularan penyakit (Notoatmodjo 1997). Umur Orang Tua Umur ayah berkisar antara 23-50 tahun dengan rata-rata 33,06,8 tahun. Sedangkan umur ibu berkisar antara 19-47 tahun dengan rata-rata 27,75,7 tahun. Tabel 12 menunjukkan bahwa proporsi terbesar baik ayah (39,3%) maupun ibu (44,6% ) berumur antara 20-30 tahun. Umur pada kisaran tersebut termasuk dalam kategori dewasa muda (Turner & Helms 1991). Menurut Hurlock (1993) orang tua muda, terutama ibu, cenderung kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam mengasuh anak, sehingga umumnya mereka mengasuh dan merawat anak didasarkan pada pengalaman orangtuanya terdahulu. Tabel 12 Sebaran orangtua berdasarkan umur Umur (tahun) 13-19 20-30 31-50 Total Pendidikan Orang Tua Berdasarkan Tabel 13, tingkat pendidikan ayah lebih tinggi dibandingkan dengan ibu, proporsi terbesar tingkat pendidikan ayah (35,7%) yaitu SLTA/sederajat, sedangkan ibu (51,8%) yaitu SD/sederajat. Secara keseluruhan tingkat pendidikan baik ayah maupun ibu masih rendah karena keduanya masih banyak yang berpendidikan SD/sederajat dan hanya 3,6% saja ayah dan 1,8% ibu yang berpendidikan akademi/diploma/PT. Ayah n 18 22 16 56 % 32,1 39,3 28,6 100,0 n 18 25 13 56 Ibu % 32,1 44,6 23,3 100,0

Tabel 13 Sebaran orangtua berdasarkan tingkat pendidikan Tingkat Pendidikan SD/sederajat SLTP/sederajat SLTA/sederajat Akademi/Diploma/PT Total Ayah n 18 16 20 2 56 % 32,1 28,6 35,7 3,6 100,0 n 29 20 6 1 56 Ibu % 51,8 35,7 10,7 1,8 100,0

Menurut Sukarni (1989) pendidikan orang tua akan menentukan status kesehatan, fertilitas, dan status gizi keluarga seperti halnya pelayanan kesehatan dan keluarga berencana. Dengan demikian, informasi tentang masalah kesehatan dapat lebih mudah diterima oleh keluarga atau masyarakat yang memiliki pendidikan tinggi daripada yang berpendidikan rendah. Pekerjaan Orang Tua Berdasarkan Tabel 14 dapat diketahui bahwa proporsi terbesar pekerjaan ayah adalah pegawai negeri/swasta (33,9%) dan jasa angkutan (28,6%). Sedangkan, sebagian besar ibu (75,0%) tidak bekerja atau berstatus sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT). Hasil penelitian ini sesuai dengan penjelasan sebelumnya bahwa proporsi terbesar tingkat pendidikan ibu (51,8%) adalah SD/sederajat. Oleh karena itu, secara tidak langsung tingkat pendidikan ibu akan berpengaruh terhadap jenis pekerjaan yang dimilikinya. Tabel 14 Sebaran orangtua berdasarkan jenis pekerjaan Jenis Pekerjaan Buruh tani/kebun Pedagang/wiraswasta Pegawai negri/swasta Jasa angkutan PRT IRT Lainnya Total Ayah n 10 8 19 16 0 0 3 56 % 17,9 14,3 33,9 28,6 0,0 0,0 5,4 100,0 n 0 7 1 0 6 42 0 56 Ibu % 0,0 12,5 1,8 0,0 10,7 75,0 0,0 100,0

Menurut Rahmawati (2006) pada masyarakat tradisional, biasanya ibu tidak bekerja di luar rumah melainkan hanya sebagai ibu rumah tangga. Selain itu, menurut Satoto (1990) diacu dalam Rahmawati (2006) menyatakan bahwa seorang ibu yang tidak bekerja di luar rumah akan memiliki waktu yang lebih banyak dalam mengasuh serta merawat anak dibandingkan ibu yang bekerja di

luar rumah. Sukarni (1989) menyatakan bahwa pekerjaan memiliki hubungan dengan pendidikan dan pendapatan serta berperan penting dalam kehidupan sosial ekonomi dan memiliki keterkaitan dengan faktor lain seperti kesehatan. Pendapatan Keluarga Pendapatan keluarga perbulan berkisar antara Rp300 000.00 sampai Rp2 620 000.00 dengan rata-rata Rp1 073 393.00Rp597 650,8.00. Pada Tabel 15 dapat dilihat bahwa lebih dari separuh responden (58,9%) memiliki pendapatan perkapita perbulan sebesar >Rp150 000.00. Sebanyak 23,2% responden memiliki pendapatan perkapita perbulan sebesar Rp100 001.00-Rp150 000.00 dan sebanyak 17,9% berpendapatan <Rp100 000.00. Rata-rata pendapatan perkapita perbulan responden yaitu Rp210 113,9.00Rp106 712,3.00. Menurut BPS (2005), garis kemiskinan untuk Kabupaten Bogor yaitu Rp150 000.00/kapita/bulan. Dengan demikian, lebih dari separuh responden (58,9%) memiliki pendapatan perkapita perbulan di atas garis kemiskinan. Tabel 15 Sebaran responden berdasarkan pendapatan perkapita perbulan Kategori pendapatan (Rp/kap/bln) <100 000.00 100 001.00-150 000.00 >150 000.00 Total n 10 13 33 56 % 17,9 23,2 58,9 100,0

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Higiene Tabel 16 menunjukkan bahwa lebih dari separuh responden (58,9%) selalu mencuci tangan dengan sabun sebelum makan dan sesudah buang air besar serta melakukan aktivitas mandi dua kali setiap harinya. Proporsi terbesar responden (55,4%) menggosok gigi dua kali setiap harinya. Kebiasaan menggosok gigi merupakan salah satu usaha kesehatan seseorang supaya terhindar dari penyakit khususnya sakit gigi. Perilaku hidup bersih seperti kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dan sesudah buang air besar ikut mempengaruhi penularan atau penyebaran penyakit diare (Suririnah 2007). Kebiasaan mandi minimal dua kali dalam sehari merupakan salah satu usaha kesehatan seseorang supaya terhindar dari sakit sehingga dapat meningkatkan kualitas hidupnya.

Tabel 16 menunjukkan bahwa seluruh responden menyatakan selalu memasak air sampai mendidih sebelum diminum, dengan alasan agar terhindar dari penyakit khususnya sakit diare karena kuman dalam air tersebut mati. Menurut Suririnah (2007) air yang tidak dimasak sampai mendidih maka akan menjadi media pencemaran untuk penyakit diare. Oleh karena itu, salah satu cara untuk menurunkan tingkat kesakitan khususnya diare pada diminum. Frekuensi responden membersihkan kamar mandi dalam satu minggu terlihat pada Tabel 16 yaitu satu kali (32,1%), dua kali (30,4%) dan tiga kali (37,5%). Lebih dari separuh responden (67,9%) melakukan aktivitas mencuci di kamar mandi pribadi, akan tetapi masih ada responden yang melakukan aktvitas mencuci di sungai yaitu sebanyak 21,4% dan di kamar mandi umum sebanyak 10,7%. Tabel 16 Sebaran responden berdasarkan PHBS aspek higiene PHBS aspek Higiene Mencuci tangan dengan sabun sebelum makan dan sesudah buang air besar a. Tidak b. kadang-kadang c. ya Kebiasaan mandi dalam sehari? a. 1 kali/hari b. 2 kali/hari c. 3 kali/hari Kebiasaan menggosok gigi dalam sehari? a. 1 kali b. 2 kali c. 3 kali Memasak air untuk minum a. tidak memasak air b. memasak tetapi tidak sampai mendidih c. memasak sampai mendidih Membersihkan kamar mandi dalam seminggu a. 1 kali b. 2 kali c. 3 kali Melakukan aktivitas mencuci a. sungai b. kamar mandi umum c. kamar mandi pribadi n 1 22 33 0 33 23 0 31 25 0 0 56 18 17 21 12 6 38 % 1,8 39,3 58,9 0,0 58,9 41,1 0,0 55,4 44,6 0,0 0,0 100,0 32,1 30,4 37,5 21,4 10,7 67,9 anak balita dapat dilakukan dengan membiasakan memasak air sampai mendidih sebelum

Gizi Seimbang Berdasarkan Tabel 17 dan Tabel 18 sebagian besar responden (89,3%) menyatakan bahwa menu makan yang biasa disajikan untuk keluarga yaitu makanan pokok, protein nabati dan sayur. Hanya 3,6% responden yang biasa menyediakan menu makan beragam yaitu nasi, lauk pauk, sayur dan buah. Tabel 17 Sebaran responden berdasarkan PHBS aspek gizi seimbang PHBS aspek gizi seimbang Menu makan keluarga sehari-hari a. nasi, protein hewani b. nasi, protein nabati, sayur c. nasi, lauk pauk, sayur dan buah Berdasarkan Tabel 18, sebanyak 6,1% n 4 50 2 responden % 7,1 89,3 3,6 yang selalu

menyediakan menu makan keluarga secara beragam (nasi, lauk pauk, sayur dan buah) adalah berasal dari keluarga dengan pendapatan perkapita perbulan >Rp150 000.00 atau di atas garis kemiskinan menurut BPS Kabupaten Bogor tahun 2005. Pendapatan berhubungan dengan tingkat kesejahteraan keluarga. Keluarga dengan pendapatan terbatas, besar kemungkinan kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya sejumlah yang diperlukan tubuh. Kondisi ini menyebabkan keanekaragaman bahan makanan kurang terjamin, karena dengan keterbatasan uang itu menyebabkan tidak banyaknya pemilihan dalam hal makanan (Madihah 2002). Tabel 18 Hubungan antara menu makan keluarga dengan pendapatan per kapita perbulan responden
Menu Makan Keluarga Nasi, protein hewani Nasi, protein nabati dan sayur Nasi, lauk pauk, sayur dan buah Total Pendapatan Perkapita Perbulan (Rp/Kap/Bln) 100 001.00-150 <100 000.00 >150 000.00 000.00 N % n % n % 1 9 0 10 10,0 90,0 0,0 100,0 0 13 0 13 0,0 100,0 0,0 100,0 3 28 2 33 9,1 84,8 6,1 100,0 Total n 4 50 2 56 % 7,1 89,3 3,6 100,0

Mengonsumsi

makanan

yang

beragam

sangat

baik

untuk

keberlangsungan hidup seseorang atau sekelompok orang. Hal ini disebabkan oleh fungsi dari makanan yang beragam yaitu untuk melengkapi zat-zat gizi yang diperlukan oleh tubuh, sehingga dapat meningkatkan kualitas kerja dan terhindar dari penyakit kekurangan gizi. Akibat tidak mengonsumsi makanan yang

beraneka ragam yaitu akan terjadi gangguan pada pertumbuhan dan perkembangan anggota tubuh khususnya anak balita (Dinkes DKI Jakarta 2002). Rumah Sehat Tabel 19 memperlihatkan bahwa separuh responden (51,8%) memilik luas hunian 10,0 m2 perkapita. BPS (2004) menyatakan bahwa salah satu indikator rumah sehat menurut WHO adalah rumah yang memiliki luas lantai minimal 10 m2 perkapita. Luas hunian yang tidak sesuai dengan jumlah anggota keluarga menyebabkan penularan pertukaran penyakit oksigen diantara kurang anggota optimal keluarga. sehingga Menurut memudahkan

Notoatmodjo (1997) rumah yang padat penghuninya akan menyebabkan berkurangnya konsumsi oksigen dan memudahkan penularan penyakit. Tabel 19 Sebaran responden berdasarkan PHBS aspek rumah sehat PHBS aspek rumah sehat Luas hunian a. <7,5 m2 b. 7,5- 9,9 m2 c. 10,0 m2 Jenis lantai rumah a. seluruhnya tanah/lainnya b. kayu/ bambu c. marmer/keramik/ubin/tegel/ teraso/semen Jendela rumah a. tidak ada b. ada, tertutup c. ada, terbuka Atap rumah a. ijuk/daun-daunan/lainnya b. seng/asbes/kayu c. beton/genteng Dinding rumah a. bambu/lainnya b. kayu c. tembok Letak kandang ternak a. <10 m dari rumah b. >10 m dari rumah c. tidak punya n 6 21 29 0 2 54 1 39 16 0 2 54 0 3 53 20 2 34 % 10,7 37,5 51,8 0 3,6 96,4 1,8 69,6 28,6 0 3,6 96,4 0 5,4 94,6 35,7 3,6 60,7

Tabel 19 menunjukkan sebagian besar jenis lantai rumah responden (96,4%) adalah berjenis marmer/keramik/ubin/tegel/teraso/semen. Hal ini sesuai dengan pernyataan Latifah et al. (2002b) bahwa salah satu syarat rumah sehat yaitu lantai rumah harus mudah dibersihkan misalnya lantai yang terbuat dari keramik, teraso, tegel atau semen, dan kayu atau bambu. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa tidak ada satu responden pun memiliki jenis lantai rumah berupa tanah. Menurut Latifah et al. (2002b) lantai rumah berupa tanah tidak memenuhi syarat kesehatan karena dapat menjadi sumber penyakit seperti cacing dan bakteri penyebab sakit perut. Rumah yang sehat memerlukan jendela yang cukup untuk jalan masuknya cahaya ke dalam rumah. Lebih dari separuh jendela responden (69,6%) berada dalam keadaan tertutup (Tabel 19). Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkat kesadaran responden dalam menjaga kenyamanan serta kebersihan rumah masih rendah. Ada tidaknya jendela di setiap ruangan yang dapat dibuka dan ditutup berhubungan dengan ventilasi udara. Latifah et al. (2002b) menyatakan fungsi ventilasi udara adalah untuk pertukaran udara agar udara di dalam rumah tetap bersih dan segar. Atap rumah sebagian besar responden (96,4%) berupa genteng/beton, dan sebanyak 94,6% dinding rumah responden berupa tembok (Tabel 19). Menurut Latifah et al. (2002b) atap rumah harus kuat dan tidak mudah bocor misalnya genteng, asbes gelombang, seng, sirap dan nipah. Serta dinding rumah yang baik adalah tembok yang dapat dicat dan dibersihkan dengan mudah. Hal senada juga diungkapkan oleh Notoatmodjo (2003) bahwa dinding yang paling baik adalah tembok. Keberadaan kandang ternak di sekitar rumah juga berpengaruh terhadap kesehatan karena memudahkan penyebaran penyakit yang disebabkan oleh kotoran ternak. Lebih dari separuh responden (60,7%) tidak memiliki kandang ternak dan sebanyak 35,7% responden memiliki kandang ternak dengan jarak antara kandang ternak dengan rumah yaitu <10 m (Tabel 19). Menurut Latifah et al. (2002b) syarat rumah sehat lainnya yaitu kandang ternak harus terpisah cukup jauh dari rumah agar rumah terjaga kebersihan dan kesehatannya. Sanitasi Air Air merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Air yang digunakan sehari-hari harus bersih dan memenuhi syarat kesehatan. Sumber air minum yang digunakan sebagian besar responden (78,6%) yaitu ledeng/sumur terlindung/mata air terlindung (Tabel 20). Menurut Latifah et al. (2002b) air bersih dan sehat merupakan air yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari yang tidak mengandung kotoran dan kuman, sehingga aman untuk dikonsumsi dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan (Latifah et al. 2002b). Lebih lanjut Subandriyo et al. (1997) menyatakan bahwa sumber air minum yang

bersih dan sehat dapat diperoleh dari air pompa, air ledeng, sumur yang terlindungi dan mata air yang terlindungi. Proporsi terbesar responden (53,6%) dalam hal jarak sumber air dengan tempat penampungan kotoran ternak/tinja/air limbah terdekat masih kurang baik karena berjarak <10 m (Tabel 20). Kondisi tersebut menyebabkan sumber air tercemar oleh bakteri yang dapat dijadikan media penularan penyakit diare. Menurut Subandriyo et al. (1997) sumur yang baik harus memenuhi syarat antara lain jarak sumur dengan tempat penampungan kotoran minimum 10 m. Tabel 20 Sebaran responden berdasarkan PHBS aspek sanitasi air PHBS aspek sanitasi air Sumber air minum, mandi, cuci, dan kakus a. air sungai/air hujan/lainnya b. sumur tak terlindungi/mata air tak terlindungi c. ledeng/sumur terlindungi/mata air terlindungi Jarak sumber air dengan tempat penampungan kotoran ternak/tinja/air limbah terdekat a. Tidak punya b. <10 m c. 10 m Jamban Jamban keluarga adalah suatu bangunan yang digunakan untuk membuang dan mengumpulkan najis manusia yang biasa disebut kakus. Sebagian besar keluarga responden (80,4%) melakukan aktivitas buang hajat yaitu di tempat kakus sendiri/kakus bersama dengan tangki septik (Tabel 21). Menurut Depkes RI (1995) diacu dalam Amperansyah (1999) kakus digunakan untuk menyimpan kotoran (hajat), sehingga tidak menjadi penyebab penyakit dan mengotori lingkungan. Oleh karena itu, sangat disarankan bagi masyarakat memiliki kakus yang dilengkapi dengan tangki septik. Tabel 21 Sebaran responden berdasarkan PHBS aspek kepemilikan jamban PHBS aspek kepemilikan jamban Tempat keluarga biasa buang hajat a. sungai b. kakus sendiri/kakus bersama tanpa tangki septik c. kakus sendiri/kakus bersama dengan tangki septik Tempat keluarga mandi a. Sungai/pancuran b. Kamar mandi umum c. Kamar mandi pribadi n 9 2 45 7 2 47 % 16,1 3,6 80,4 12,5 53,6 83,9 n 2 10 44 7 30 19 % 3,6 17,9 78,6 12,5 53,6 33,9

Berdasarkan Tabel 21 sebagian besar responden (83,9%) melakukan aktivitas mandi di kamar mandi pribadi, akan tetapi sebanyak 12,5% responden melakukan aktivitas mandi di sungai/pancuran. Perilaku tersebut masih jauh dari perilaku hidup bersih dan sehat. Air sungai/pancuran bukan merupakan sumber air yang bersih dan sehat. Hal ini disebabkan oleh tidak terlindunginya air tersebut dari kotoran baik tinja, sampah maupun air limbah. Sehingga, kemungkinan air sungai/pancuran tercemar oleh bakteri lebih tinggi dibandingkan dengan air di kamar mandi pribadi yang sumber airnya berasal dari ledeng atau sumur yang terlindungi. Menurut Dinkes DKI Jakarta (2003) sumber air yang tercemar merupakan salah satu media yang dapat menularkan penyakit diare. Sampah Seluruh responden terbiasa membuang sampah bukan pada tempat yang semestinya. Lebih dari separuh responden (60,7%) terbiasa membuang sampah di tempat terbuka/di pekarangan dan tanpa dikumpulkan dan sebanyak 39,3% responden membuang sampah pada lubang terbuka (Tabel 22). Perilaku tersebut belum mencerminkan perilaku hidup bersih dan sehat, sehingga berdampak terhadap status kesehatan keluarga. Menurut Latifah et al. (2002c) sampah yang tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan tumbuhnya kuman sebagai penyebab terjadinya diare. Selain itu, mampu mengundang lalat yang mengakibatkan terjadinya penyakit. Tabel 22 Sebaran responden berdasarkan PHBS aspek penanganan sampah PHBS aspek penanganan sampah Tempat pembuangan sampah a. tempat terbuka di pekarangan dan tanpa dikumpulkan b. lubang sampah terbuka c. lubang sampah tertutup/dibuat kompos Sistem Pembuangan Air Limbah (SPAL) Lebih dari separuh responden (67,9%) terbiasa membuang air limbah di pekarangan/pada lubang terbuka dekat sumber air (Tabel 23). Kondisi ini tidak sesuai dengan syarat kesehatan, sehingga dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Menurut Latifah et al. (2002c) bahaya yang ditimbulkan air limbah jika tidak ditangani dengan baik yaitu dapat menjadi tempat berkembangnya bibit penyakit (seperti cacing, kuman penyakit diare dan penyakit kulit) dan tempat berkembangbiaknya lalat yang dapat menularkan penyakit diare. N 34 22 0 % 60,7 39,3 0,0

Tabel 23 Sebaran responden berdasarkan PHBS aspek SPAL PHBS aspek SPAL Sistem Pembuangan Air Limbah (SPAL) a. di pekarangan/pada lubang terbuka dekat sumber air b. ke dalam lubang tertutup tanpa tangki septik c. ke dalam tangki septik Pelayanan Kesehatan Berdasarkan Tabel 24 dapat diketahui bahwa seluruh responden biasa melakukan pemeriksaan kehamilan di Posyandu, Puskesmas dan praktik bidan. Pemeriksaan kehamilan bertujuan untuk menjaga kondisi kesehatan ibu hamil dan janinnya. Kondisi janin yang sehat akan berdampak terhadap tumbuh kembang anak selanjutnya. Menurut Fogel dan Woods (1995) hal 431 diacu dalam Satoto (2004) perempuan yang tidak pernah melakukan pemeriksaan kehamilan tiga kali lebih besar untuk melahirkan bayi dengan berat badan rendah daripada yang memperoleh perawatan kehamilan yang memadai. Tabel 24 Sebaran responden berdasarkan PHBS aspek pelayanan kesehatan dalam hal pemeriksaan kehamilan Pelayanan kesehatan Pemeriksaan kehamilan a. Dukun b. Posyandu/Puskesmas/praktik bidan n 0 56 % 0,0 100,0 n 38 0 18 % 67,9 0,0 32,1

Nadesul (2005) menyatakan bahwa kehamilan merupakan masa yang sangat penting karena pada saat itu mutu seorang anak ditentukan. Pemeliharaan kehamilan dimulai dari perencanaan menu yang benar, pemeliharaan kesehatan, pemeliharaan kebersihan dan sebagainya. Menurut Azwar (1979) pelayanan kesehatan yang baik harus memenuhi minimal tiga persyaratan pokok yaitu sesuai dengan kebutuhan jasa pemakai pelayanan, terjangkau oleh pemakai jasa pelayanan serta terjamin mutunya. Lebih lanjut Satoto (2004) menyatakan jarak rumah dengan tempat pelayanan kesehatan juga menjadi pertimbangan dalam memilih tempat pemeriksaan kehamilan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa alasan utama responden mengunjungi ketiga fasilitas pelayanan kesehatan tersebut adalah jarak yang dekat dan terjangkau. Berdasarkan Lampiran 1, sebagian besar responden menyatakan bahwa jarak ke Posyandu (96,4%), Puskesmas (76,8%) dan praktik bidan (51,8%) adalah dekat.

Selain jarak, daya jangkau (biaya) juga dijadikan pertimbangan dalam melakukan pemeriksaan kehamilan. Berdasarkan Lampiran 1, proporsi terbesar responden menyatakan bahwa daya jangkau ke Posyandu (98,2%), Puskesmas (83,9%) dan praktik bidan (64,3%) adalah mudah. Satoto (2004) menyatakan bahwa biaya pemeriksaan kehamilan di Posyandu, Puskesmas dan bidan desa sangat murah karena pasien hanya membayar retribusi. Apalagi di Posyandu, pasien sama sekali tidak dipungut biaya, bahkan mereka akan memperoleh vitamin secara gratis. Berdasarkan Lampiran 2 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden pernah mendapatkan informasi gizi dari kader Posyandu (92,9%). Selain itu, seluruh responden menyatakan bahwa kader Posyandu mudah dihubungi dan cara pelayanannya pun baik. Hal ini disebabkan oleh tempat tinggal antara kader Posyandu dan responden yang berdekatan karena merupakan warga setempat, sehingga rasa kekeluargaan diantara mereka masih cukup tinggi. Hal inilah yang menyebabkan hubungan antara kader Posyandu dan responden dapat terjalin dengan baik. Tidak berbeda halnya dengan dokter dan bidan Puskesmas serta praktik bidan. Berdasarkan Lampiran 2, lebih dari separuh responden pernah mendapatkan informasi gizi dari ketiga petugas pelayanan kesehatan tersebut yaitu dokter Puskesmas (57,1%), bidan Puskesmas (73,2%) dan praktik bidan (64,3%). Selain itu, proporsi terbesar responden menyatakan bahwa ketiga petugas pelayanan kesehatan tersebut juga mudah dihubungi yaitu dokter Puskesmas (62,5%), bidan Puskesmas (94,6%), dan praktik bidan (67,9%). Pada umumnya baik bidan Puskesmas maupun praktik bidan lebih mudah dihubungi dibandingkan dengan dokter Puskesmas. Hal ini disebabkan oleh pembagian jadwal tugas dokter yang berbeda antara kedua Puskesmas yang berada di Desa Cikarawang. Hampir seluruh responden menyatakan bahwa cara pelayanan dokter Puskesmas (96,4%), bidan Puskesmas (94,6%) dan praktik bidan (75,0%) adalah baik. Berdasarkan Tabel 25, lebih dari separuh responden (69,6%) saat persalinan dibantu oleh bidan baik oleh bidan Puskesmas maupun praktik bidan. Akan tetapi, sebanyak 30,4% responden menyatakan bahwa saat persalinan dibantu oleh dukun paraji. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, selain membantu persalinan dukun paraji juga ikut membantu memandikan bayi dan ngurut ibu setelah melahirkan sampai usia 40 hari kelahiran. Satoto (2004)

menyatakan bahwa dukun akan melakukan pemijatan pasca melahirkan untuk mengembalikan stamina tubuh ibu dan bayinya akan memperoleh perawatan sampai tali pusatnya lepas. Perawatan tersebut dilakukan sampai 40 hari dengan biaya yang relatif murah. Tabel 25 Sebaran responden berdasarkan PHBS aspek pelayanan kesehatan dalam hal pertolongan persalinan Pelayanan kesehatan Pertolongan saat persalinan a. Dukun b. Puskesmas/praktik bidan n 17 39 % 30,4 69,6

Alasan utama responden menggunakan tenaga bukan kesehatan (dukun paraji) saat persalinan yaitu jarak yang dekat dan terjangkau. Berdasarkan Lampiran 1 dapat diketahui bahwa lebih dari separuh responden menyatakan bahwa jarak ke tempat dukun paraji dekat (66,1%) dan mudah dijangkau (69,6%). Berdasarkan Lampiran 2, proporsi terbesar responden (44,6%) menyatakan tidak pernah mendapatkan informasi gizi dari dukun paraji. Secara umum responden hanya mendapatkan nasihat-nasihat berupa pantangan setelah melahirkan seperti tidak boleh makan yang manis (bolu), talas, ubi, buah nangka, durian, pisang, mie instan, roti, daging kambing, ikan asin, kangkung dan sebagainya. Alasan dukun paraji yang mendasari pantangan tersebut yaitu rahim ibu masih luka. Sehingga, makanan-makanan tersebut tidak baik dikonsumsi. Berdasarkan Tabel 26 dapat diketahui bahwa seluruh responden ikut dalam program Keluarga Berencana (KB). Menurut BPS (2006) program KB merupakan salah satu cara untuk menekan laju pertumbuhan penduduk. Oleh karena itu, sangat dianjurkan untuk seseorang yang sudah menikah atau Wanita Usia Subur (WUS) menerapkan program KB. Seluruh responden selalu membawa anak balita ke Posyandu untuk dilakukan penimbangan berat badan (Tabel 26). Menurut BPS (2004) penimbangan anak balita merupakan salah satu upaya dari pemeriksaan kesehatan yang bertujuan untuk melihat tumbuh kembangnya. Tabel 26 menunjukkan bahwa seluruh responden menyatakan selalu berobat ke tenaga medis ketika anggota keluarga sakit. Berdasarkan hasil wawancara, responden lebih sering mengunjungi Puskesmas untuk berobat ketika sakit dibandingkan rumah sakit. Hal ini disebabkan oleh jarak dan daya jangkau ke rumah sakit jauh

dan sulit. Pada umumnya responden mengunjungi rumah sakit ketika anggota keluarga mengalami sakit yang cukup parah sehingga membutuhkan pengawasan dan perawatan dokter yang cukup intensif. Tabel 26 Sebaran responden berdasarkan PHBS aspek pelayanan kesehatan dalam hal program KB, penimbangan anak balita dan berobat ketika sakit Pelayanan kesehatan Program Keluarga Berencana (KB) a. Tidak b. Ya Penimbangan anak balita di Posyandu a. Tidak b. Ya Tempat berobat keluarga ketika sakit a. Dukun b. Puskesmas/praktik bidan/klinik/rumah sakit n 0 56 0 56 0 56 % 0,0 100,0 0,0 100,0 0,0 100,0

Berdasarkan pemaparan di atas mengenai aspek PHBS yang meliputi higiene, gizi seimbang, rumah sehat, sanitasi air, kepemilikan jamban, penanganan sampah dan SPAL serta pelayanan kesehatan dapat diketahui bahwa proporsi terbesar responden (69,6%) memiliki PHBS termasuk dalam kategori tinggi dan sebanyak 30,4% kategori sedang. Tidak ada satu responden pun yang memiliki kategori PHBS rendah, ini menunjukkan bahwa kesadaran responden dalam berperilaku hidup bersih dan sehat sudah cukup baik (Tabel 27). Tabel 27 Sebaran responden berdasarkan kategori PHBS Kategori PHBS Rendah (24-38) Sedang (39-53) Baik (54-67) Total n 0 17 39 56 % 0,0 30,4 69,6 100,0

Pengetahuan Gizi Tabel 28 menunjukkan bahwa proporsi terbesar responden (48,2%) memiliki tingkat pengetahuan gizi yang termasuk dalam kategori sedang dan sebanyak 42,9% kategori tinggi. Akan tetapi, masih ada responden dengan tingkat pengetahuan gizi rendah yaitu sebanyak 8,9%. Notoatmodjo (1993) menyatakan bahwa pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting bagi terbentuknya suatu tindakan. Tindakan yang didasari oleh

pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan. Tabel 28 Sebaran responden berdasarkan tingkat pengetahuan gizi Tingkat Pengetahuan Gizi Rendah (<60%) Sedang (60%-80%) Tinggi (>80%) Total n 5 27 24 56 % 8,9 48,2 42,9 100,0

Tabel 29 menunjukkan bahwa secara umum responden dengan tingkat pengetahuan gizi rendah memiliki tingkat pendidikan rendah (SD/sederajat) juga. Uji korelasi Spearman menunjukkan terdapat hubungan positif dan sangat signifikan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan gizi responden (p<0,01). Semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin tinggi pula tingkat pengetahuan gizi responden atau sebaliknya. Tabel 29 Hubungan antara tingkat pengetahuan gizi dengan pendidikan responden
Tingkat Pengetahuan Gizi Rendah Sedang Tinggi Total Tingkat Pendidikan SD/sederajat N 5 17 7 29 % 17,2 58,6 24,1 100,0 SLTP/sederajat n 0 7 13 20 % 0,0 35,0 65,0 100,0 SLTA/sederajat n 0 3 3 6 % 0,0 50,0 50,0 100,0 Akademi/Dip loma/PT N % 0 0 1 1 0,0 0,0 100,0 100,0 Total n 5 27 24 56 % 8,9 48,2 42,9 100,0

Berg (1986) menyatakan bahwa dengan tingkat pendidikan tinggi diharapkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki tentang gizi pun menjadi lebih baik. Hal senada juga diungkapkan oleh Rahmawati (2006) bahwa ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima pesan dan informasi mengenai gizi dan kesehatan. Berdasarkan Lampiran 3 dapat diketahui bahwa terdapat lima pertanyaan pengetahuan gizi yang dapat dijawab responden kurang dari 60%. Hal ini mengindikasikan bahwa kelima pertanyaan tersebut memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi dibandingkan dengan pertanyaan lainnya. Kelima pertanyaan tersebut adalah zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh (53,6%), zat gizi untuk pertumbuhan (44,6%), jenis pangan karbohidrat (44,6%), jenis pangan sumber Fe (57,1%) dan pemberian ASI eksklusif (41,1%).

Pada umumnya responden mengetahui lama pemberian ASI eksklusif yaitu empat bulan. Akan tetapi, lama pemberian ASI eksklusif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah enam bulan. Hanya 41,1% responden yang dapat menjawab pertanyaan tersebut dengan benar. Ketidakmampuan responden menjawab kelima pertanyaan tersebut dengan benar kemungkinan besar disebabkan oleh rendahnya pendidikan responden. Menurut Sukarni (1989) dan Madanijah (2003) tingkat pendidikan seseorang erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan. Karena pendidikan akan mempengaruhi tingkat pemahaman seseorang yang akan berdampak terhadap status kesehatan dan status gizi keluarga. Pola Asuh Menurut Soekirman (2000) pola asuh adalah dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh dan kembang sebaik-baiknya secara fisik, mental, dan sosial. Ibu memainkan peranan yang sangat penting dalam mendidik anak terutama pada masa anak balita. Marotz et al. (2005) menyatakan bahwa masa anak balita merupakan masa yang sangat ideal untuk mulai menanamkan tentang perilakuperilaku gaya hidup sehat. Dalam hal ini, orang tua harus mulai menstimulasi kesadaran anak mengenai isu-isu lingkungan. Pola asuh yang dibahas dalam penelitian ini meliputi pola asuh makan dan pola asuh kesehatan. Pola Asuh Makan Pola asuh makan pada penelitian ini meliputi riwayat menyusui dan penyapihan, cara memperkenalkan makan, cara mempersiapkan makanan, cara memberikan makan dan cara mengapresiasi proses makan pada anak balita. Tabel 30 menunjukkan bahwa sebanyak 75,0% responden tidak memberikan ASI eksklusif (6 bulan). Pada umumnya setelah anak berusia empat bulan bahkan kurang, responden sudah memberikan makanan pendamping ASI seperti pisang, biskuit, susu formula, bubur bayi dan lainnya. Tabel 30 Sebaran responden berdasarkan riwayat menyusui dan penyapihan anak balita Riwayat menyusui dan penyapihan anak balita Anak diberi ASI eksklusif (ASI saja hingga 6 bln) Anak diberi kolostrum? ASI diberikan sesuai permintaan bayi? ASI diberikan sampai anak berusia 2 tahun? Ya n 14 48 38 30 % 25,0 85,7 67,9 53,6 Tidak n % 42 75,0 8 14,3 18 32,1 26 46,4

Pemberian ASI eksklusif sangat bermanfaat karena ASI merupakan makanan yang paling sempurna untuk bayi, bahkan sangat mudah dan murah memberikannya kepada bayi (Dinkes DKI Jakarta 2002). Menurut Soekirman (2000) ASI mengandung zat kekebalan yang mampu melindungi anak dari penyakit infeksi terutama diare dan ISPA. Hal senada diungkapkan oleh Masithah, Soekirman dan Martianto (2005) bahwa ASI dapat melindungi bayi dari infeksi intestinal, sehingga dapat mengurangi risiko terserang diare. Berdasarkan Tabel 30, sebagian besar responden (85,7%) memberikan kolostrum kepada anaknya. Lebih dari separuh responden (67,9%) memberikan ASI sesuai dengan permintaan dan memberikan ASI sampai usia 2 tahun (53,6%). Krisnatuti & Yenrina (2000) menyatakan bahwa kolostrum merupakan ASI yang dihasilkan selama beberapa hari pertama setelah kelahiran. Kolostrum mengandung zat gizi untuk sistem kekebalan tubuh anak dari penyakit. Sehingga tidak satu pun susu buatan manusia (susu formula) yang dapat menggantikan perlindungan kekebalan tubuh seorang bayi seperti yang diperoleh dari kolostrum. Cara memperkenalkan makan untuk anak balita meliputi membiasakan mengonsumsi makanan beragam, pertimbangan dalam hal memberikan makan karena faktor gizi, frekuensi memberikan makanan utama dan memberikan makanan kudapan. Tabel 31 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (92,9%) memberikan makanan yang beragam kepada anak balita. Kebiasaan ini sangat baik karena dengan memberikan makanan beragam mampu memperbaiki status gizi anak balita sehingga terhindar dari gizi kurang. Tabel 31 Sebaran responden berdasarkan cara memperkenalkan makan anak balita Cara memperkenalkan makan anak balita Anak dibiasakan mengonsumsi makanan beragam Pertimbangan ibu dalam memperkenalkan makan kepada anak berdasarkan faktor gizi Ibu membiasakan menyediakan kudapan untuk anak setiap hari Ibu memberikan makan kepada anak sebanyak tiga kali sehari Ya n 52 23 26 54 % 92,9 41,1 46,4 96,4 Tidak n % 4 33 30 2 7,1 58,9 53,6 3,6

Menurut Dinkes DKI Jakarta (2002) fungsi dari makanan yang beragam yaitu untuk melengkapi zat-zat gizi yang diperlukan oleh tubuh, sehingga dapat meningkatkan kualitas kerja dan terhindar dari penyakit kekurangan gizi. Akibat

tidak mengonsumsi makanan yang beraneka ragam, maka akan terjadi gangguan pada pertumbuhan dan perkembangan anggota tubuh khususnya anak balita. Kurang dari separuh responden (41,1%) sudah memperhatikan faktor gizi sebagai pertimbangan dalam memberikan makan kepada anak balita (Tabel 31). Sesuai dengan jawaban yang diperoleh dari responden saat wawancara dapat diketahui bahwa sebanyak 58,9% responden memberikan makan anak balita sesuai dengan kondisi keuangan keluarga. Keadaan ini berdampak pada kebiasaan responden yaitu sebanyak 53,6% tidak memberikan makanan kudapan setiap harinya kepada anak balita. Akan tetapi, sebagian besar responden (96,4%) memberikan makan utama untuk anak balita yaitu tiga kali dalam sehari (Tabel 31). Berdasarkan Tabel 32 sebagian besar responden (87,5%) mencuci tangan sebelum mempersiapkan makan untuk anak balita. Menurut Krisnatuti & Yenrina (2000) ada dua faktor yang harus diperhatikan untuk membentuk kondisi anak sehat yaitu makanan bergizi dan sanitasi (kebersihan). Faktor kebersihan harus selalu dijaga pada setiap tahapan penyediaan makanan bayi. Mulai dari tahap persiapan, pengolahan, sampai penyajian termasuk kebersihan peralatan makanan yang akan digunakan. Tabel 32 Sebaran responden berdasarkan cara mempersiapkan makan anak balita Cara mempersiapkan makanan anak balita Ibu mencuci tangan sebelum mempersiapkan makan untuk anak Ibu memasak makanan dalam sehari dilakukan secara bertahap (pagi, siang, sore/malam) Ibu terbiasa memanaskan/menghangatkan kembali makanan sesaat sebelum dikonsumsi Ibu selalu menutup makanan sebelum dihidangkan Ya n 49 8 50 55 % 87,5 14,3 89,3 98,2 Tidak n % 7 48 6 1 12,5 85,7 10,7 1,8

Berbeda halnya dengan kebiasaan memasak responden yaitu sebanyak 85,7% tidak melakukan aktivitas memasak tiga kali sehari (Tabel 32). Pada umumnya responden memasak satu sampai dua kali sehari, sehingga sebanyak 89,3% responden menghangatkan kembali makanan sebelum dikonsumsi. Menurut Pujiarto (2007) makanan yang dibiarkan lebih dari 2 jam mengakibatkan kuman tumbuh subur dalam makanan tersebut. Kuman-kuman tersebut akan membentuk toksin yang tahan panas, sehingga tidak dapat

dihancurkan dengan memasak makanan tersebut. Kebiasaan memasak secukupnya sesuai dengan kebutuhan, lebih baik dibandingkan dengan menghangatkan kembali makanan tersebut. Kalaupun makanan yang diolah bersisa, maka sebelum dilakukan proses menghangatkan makanan harus terlebih dahulu disimpan dalam lemari pendingin. Sebagian besar responden (98,2%) selalu menutup makanannya sebelum disajikan/disantap (Tabel 32). Hal ini bertujuan agar makanan tetap terjaga kebersihannya. Membiasakan menutup makanan sebelum dihidangkan dapat mengurangi kontak fisik serangga (kecoa, lalat) dengan makanan, sehingga makanan tersebut cukup aman untuk dikonsumsi dan mampu mengurangi penyebaran penularan penyakit yang membahayakan manusia. Tabel 33 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (80,4%) sudah mulai membiasakan anak balita untuk makan sendiri. Hal ini bertujuan untuk melatih kemandirian anak balita. Akan tetapi, sebanyak 73,2% responden masih memberikan makan kepada anak balita dengan cara disuapi. Hal ini dikarenakan anak balita tersebut belum bisa memegang sendok dengan benar sehingga saat memasukkan makanan ke dalam mulut masih tumpah. Tabel 33 Sebaran responden berdasarkan cara memberikan dan mengapresiasi makan anak balita Cara memberikan makan anak balita Ibu membiasakan anak makan sendiri dengan asumsi sudah dapat memegang sendok dan memasukkan makanan ke mulut tanpa tumpah Ibu memberikan makan kepada anak dengan cara disuapi Ibu memberikan makan pada anak di meja makan (makan bersama) Cara mengapresiasi proses makan anak balita Ibu selalu berusaha agar anak menghabiskan makanannya (membujuk, merayu) Ya n 45 41 9 53 % 80,4 73,2 16,1 94,6 n 11 15 47 3 Tidak % 19,6 26,8 83,9 5,4

Tabel 33 menunjukkan sebanyak 83,9% responden belum membiasakan anak balita makan di meja makan (makan bersama). Responden mengeluh anak balita mulai sulit makan, kalaupun mau makan itupun dalam jumlah yang sedikit, pilih-pilih serta jarang habis. Oleh karena itu, agar anak balita mau makan, pada umumnya responden memberikan makan sambil jalan-jalan atau aktivitas lainnya. Sehingga, sebanyak 94,6% responden selalu melakukan kegiatan

apersepsi supaya anak balita mau makan misalnya dengan cara membujuk, merayu atau memberikan pujian. Menurut Khomsan (2004) membentuk pola makan yang baik untuk seorang anak menuntut kesabaran seorang ibu. Pada usia pra sekolah, anak sering mengalami fase sulit makan. Apabila masalah makan ini berkepanjangan maka dapat mengganggu tumbuh kembang anak karena jumlah dan jenis gizi yang masuk dalam tubuhnya kurang. Lebih lanjut Hurlock (1982) menyatakan penurunan nafsu makan anak disebabkan oleh penurunan tingkat pertumbuhan dan sebagian anak sudah mengembangkan jenis makanan yang disukai dan yang tidak disukai. Oleh karena itu, menurut Hardinsyah & Martianto (1992) perhatian terhadap makanan dan kesehatan bagi anak pada usia ini sangat diperlukan. Berdasarkan pemaparan di atas dari ke lima aspek pola asuh makan dapat diketahui bahwa sebanyak 71,4% responden memiliki pola asuh makan kategori sedang dan sebanyak 28,6% kategori tinggi. Tidak ada satu responden pun yang memiliki pola asuh makan kategori rendah. Hasil penelitian mengenai kategori pola asuh makan dapat dilihat pada Tabel 34. Tabel 34 Sebaran responden berdasarkan kategori pola asuh makan Pola Asuh Makan Rendah (0-6) Sedang (7-11) Tinggi (12-16) Total Pola Asuh Kesehatan Berdasarkan Lampiran 4 dapat diketahui bahwa sebanyak 80,4% responden membiasakan anak balita mandi dua kali dalam sehari dan sebanyak 94,6% selalu menggunakan sabun ketika memandikan anak balita. Seluruh responden menyatakan bahwa selalu mengganti pakaian anak balita sehabis mandi dan sebanyak 91,1% responden membiasakan anak balita agar menggunakan handuk yang sama dan milik pribadi (tidak gonta-ganti). Lebih dari separuh responden (52,6%) membiasakan anak balita menggosok gigi 2 kali/sehari dan sebanyak 64,9% anak balita selalu menggunakan pasta gigi ketika menggosok gigi. Akan tetapi, sebanyak 77,2% responden belum membiasakan anak balita menggosok gigi sebelum tidur dan setelah makan dan hanya 21,1% responden mulai membiasakan gosok gigi saat berusia 1 tahun (Lampiran 4). n 0 40 16 56 % 0,0 71,4 28,6 100,0

Sebanyak 77,2% responden membiasakan mencuci rambut anak balita (keramas) sebanyak 3 kali/minggu dan sebagian besar anak balita (92,9%) keramas menggunakan sampo. Selain itu, sebanyak 64,3% responden membiasakan menyisir rambut anak balita 2-3 kali/hari. Walaupun masih ada responden sebanyak 21,4% yang menyisir rambut anak balita hanya 1 kali/hari. Hal ini sesuai dengan keterangan yang diperoleh saat wawancara bahwa rambut anak balita tipis dan pendek sehingga tidak perlu disisir untuk merapikannya, akan tetapi cukup dengan menggunakan tangan responden yaitu dengan cara dielus-elus (Lampiran 4). Kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dan sesudah buang air besar dengan sabun dan air bersih sangat penting dilakukan karena dapat menghilangkan kuman-kuman yang menempel di tangan. Menurut Tjitarsa (1992), kebiasaan tersebut mampu mencegah terjadinya penyakit diare. Sebanyak 46,4% responden membiasakan mencuci tangan anak balita sebelum makan dan sebanyak 87,5% menggunakan air bersih untuk mencuci tangannya. Serta sebanyak 51,8% responden sudah membiasakan mencuci tangan anak balita sebelum makan saat berusia 1-2 tahun. Lebih dari separuh responden (64,3%) selalu menggunakan sabun ketika mencuci tangan anak setelah buang air besar dan sebagian besar responden (82,1%) sudah membiasakan anak untuk buang air besar pada tempat semestinya yaitu kamar mandi (Lampiran 4). Menurut Notoatmodjo (2003) kotoran manusia (tinja) adalah sumber penyebaran penyakit yang dapat ditularkan melalui tangan manusia. Curtis & Cairncross (2003) diacu dalam Rimbatmaja (2007) mencuci tangan dengan sabun merupakan metode paling sederhana untuk menanggulangi masalah diare. Praktik mencuci tangan dengan sabun oleh pengasuh anak balita dapat mengurangi risiko anak balita terkena diare sebanyak 42-47% Kebersihan kuku juga sangat penting untuk diperhatikan, karena kuku yang panjang dan tidak terawat mampu menularkan penyakit. Sebanyak 71,4% responden sudah membiasakan anak balita menggunting kuku 3 kali dalam satu bulan dan sebanyak 39,3% anak balita dibiasakan selalu menggunakan alas kaki ketika bermain atau berada di luar rumah. Sebanyak 67,9% anak balita sudah dibiasakan mencuci kaki sebelum pergi tidur oleh responden dan lebih dari separuh anak balita (53,6%) kadang-kadang dibiasakan untuk mencuci kakinya setelah bermain. Sebagian besar responden (89,3%) tidak memperbolehkan

anak balita bermain tanpa memakai celana dan separuh responden (50,0%) kadang-kadang memperbolehkan anak balita bermain tanah (Lampiran 4). Masa balita merupakan masa yang sangat ideal untuk mulai menanamkan tentang perilaku-perilaku gaya hidup sehat, sebagai contoh yaitu mulai membiasakan anak untuk membuang sampah pada tempat semestinya. Lebih dari separuh responden (58,9%) sudah membiasakan anak balita untuk membuang sampah pada tempatnya (Lampiran 4). Pola asuh kesehatan seperti ini cukup baik, karena dengan membuang sampah pada tempatnya mampu menjaga kebersihan lingkungan rumah dan sekitarnya. Lingkungan rumah yang bersih akan menciptakan lingkungan nyaman yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap kondisi kesehatan seseorang. Menurut Entjang (1985) lingkungan hidup merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesehatan seseorang. Berdasarkan pemaparan di atas dapat diketahui bahwa proporsi terbesar responden (55,4%) memiliki pola asuh kesehatan termasuk dalam kategori tinggi dan sebanyak 44,6% kategori sedang (Tabel 35). Menurut Rahayu (2006), pola asuh kesehatan yang dilakukan terhadap anak balita perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh karena anak balita belum mampu untuk merawat dirinya sendiri, kondisi fisik masih lemah dan kepekaan terhadap serangan penyakit juga tinggi. Tabel 35 Sebaran responden berdasarkan kategori pola asuh kesehatan Pola Asuh Kesehatan Rendah (24-39) Sedang (40-55) Tinggi (56-72) Total n 0 25 31 56 % 0,0 44,6 55,4 100,0

Hasil analisis menunjukkan terdapat hubungan yang sangat signifikan antara PHBS ibu dengan pola asuh makan dan pola asuh kesehatan (P<0,01), sedangkan pengetahuan gizi ibu tidak berhubungan signifikan dengan kedua pola asuh tersebut. Akan tetapi, terdapat kecenderungan apabila pengetahuan gizi ibu baik maka kedua pola asuh tersebut pun akan baik. Pengetahuan gizi ibu yang baik akan membentuk perilaku yang baik pula seperti dalam hal perilaku bersih dan sehat, memberikan makan dan menjaga kebersihan anak balita. Menurut Notoatmodjo (1993) tindakan yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan.

Kaitan antara Karakteristik Anak Balita dengan Diare Anak Balita Tabel 36 menunjukkan bahwa anak balita dengan umur 23 bulan mengalami diare lebih tinggi (66,7%) dibandingkan dengan anak balita yang memiliki umur >23 bulan. Persentase anak balita yang mengalami diare dengan umur 24-36 bulan dan 37 bulan berturut-turut yaitu 45,5% dan 25,0%. Tabel 36 Kaitan antara umur anak balita dengan diare anak balita Diare Diare Tidak Diare Total n 12 6 18 23 % 66,7 33,3 100,0 Umur (bulan) 24-36 37 N % N % 10 45,5 4 25,0 12 54,5 12 75,0 22 100,0 16 100,0 Total n 26 32 56 % 53,6 46,4 100,0

Uji korelasi Spearman menunjukan terdapat hubungan yang negatif dan sangat signifikan (p<0,01) antara umur anak balita dengan diare. Semakin tinggi umur anak balita maka tingkat diare semakin rendah. Muniasir (2007) menyatakan bahwa umur seseorang erat kaitannya dengan sistem imunitas tubuh. Sistem imunitas tubuh berkembang sesuai dengan umur seseorang. Bayi dan balita memiliki sistem imunitas tubuh yang masih lemah, sehingga sangat mudah terserang penyakit infeksi, salah satunya diare. Tabel 37 menunjukkan bahwa secara umum anak balita dengan riwayat berat badan lahir rendah (BBLR) mengalami diare selama tiga bulan terakhir. Namun, hasil analisis korelasi Spearman tidak menunjukkan hubungan yang signifikan antara berat badan lahir anak balita dengan diare. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh variasi data penelitian mengenai BBLR yang relatif kecil. Alisyahbana (1983) diacu dalam Firlie (2001) menyatakan bahwa bayi dengan berat badan lahir rendah memiliki daya tahan terhadap penyakit juga lebih rendah. Tabel 37 Kaitan antara berat badan lahir anak balita dengan diare anak balita Diare Diare Tidak Diare Total N 2 0 2 Berat Badan Lahir BBLR Non BBLR % n % 100,0 24 44,4 0,0 30 55,6 100,0 54 100,0 Total n 26 32 56 % 46,4 53,6 100,0

Kaitan antara Karakteristik Keluarga dengan PHBS, Pengetahuan Gizi, Pola Asuh Makan dan Pola Asuh Kesehatan Tabel 38 menunjukkan sebagian besar responden (76,5%) dengan tingkat pendidikan rendah (SD/sederajat) memiliki PHBS kategori sedang. Responden dengan tingkat pendidikan di atas SLTP/sederajat, sebagian besar memiliki PHBS kategori tinggi yaitu SLTP/sederajat (41,0%), SLTA/sederajat (15,4%) dan akademi/diploma/PT (2,6%). Hasil analisis menunjukkan terdapat hubungan positif dan signifikan antara tingkat pendidikan dengan PHBS responden (p<0,01). Semakin tinggi pendidikan responden maka PHBSnya pun semakin tinggi pula. Tabel 38 Kaitan antara karakteristik keluarga dengan PHBS PHBS Karakteristik Keluarga Tingkat pendidikan ibu SD/sederajat SLTP/sederajat SLTA/sederajat Akademi/Diploma/PT Total Umur (tahun) 13-19 20-30 31-50 Total Sedang n % 13 4 0 0 17 6 9 2 17 76,5 23,5 0,0, 0,0 100,0 35,3 52,9 11,8 100,0 Tinggi n 16 16 6 1 39 12 16 11 39 % 41,0 41,0 15,4 2,6 100,0 30,8 41,0 28,8 100,0 n 29 20 6 1 56 18 25 13 56 Total % 51,8 35,7 10,7 1,8 100,0 32,1 44,6 23,2 100,0

Tabel 38 juga menunjukkan responden dengan umur 13-19 tahun (30,8%) dan 20-30 tahun (41,0%) memiliki PHBS kategori tinggi. Persentase tersebut lebih besar dibandingkan dengan responden yang berumur 31-50 tahun (28,8%). Hasil analisis menunjukkan umur responden tidak berhubungan signifikan dengan PHBS. Hasil analisis juga menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan tingkat pengetahuan gizi responden (p<0,01). Tingkat pendidikan erat kaitannya dengan tingkat pemahaman atau pengetahuan seseorang terhadap perawatan kesehatan dan kesadarannya terhadap kesehatan anak-anak dan keluarga. Menurut Notoatmodjo (1993) tindakan yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan.

Namun, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara umur dengan tingkat pengetahuan gizi responden. Selain itu juga, hasil analisis menunjukkan bahwa umur dan tingkat pendidikan responden tidak memiliki hubungan yang signifikan baik dengan pola asuh makan maupun dengan pola asuh kesehatan. Kaitan antara PHBS, Pengetahuan Gizi, Pola Asuh Makan dan Pola Asuh Kesehatan dengan Diare Anak Balita Kaitan antara PHBS dengan Diare Anak Balita Berdasarkan Tabel 39 dapat diketahui bahwa kecenderungan anak balita dengan PHBS responden kategori tinggi mengalami diare lebih besar (73,1%) dibandingkan anak balita dengan PHBS responden kategori sedang (26,9%). Analisis korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara PHBS responden dengan diare anak balita. PHBS adalah sekumpulan perilaku yang dipraktikan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran yang menjadikan seseorang atau keluarga dapat menolong diri sendiri di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakatnya (Depkes RI 2006). Tabel 39 Kaitan antara PHBS responden dengan diare anak balita PHBS Diare Diare Tidak Diare Total n 7 10 17 Sedang % 26,9 33,3 100,0 n 19 20 39 Tinggi % 73,1 66,7 100,0 n 26 30 56 Total % 46,4 53,6 100,0

Aspek PHBS yang diduga menjadi penyebab tingginya diare anak balita antara lain jarak sumber air dengan tempat penampungan kotoran, kebiasaan membuang sampah dan SPAL responden yang belum sesuai dengan perilaku hidup bersih dan sehat. Hasil penelitian menunjukkan proporsi terbesar responden dalam hal jarak sumber air dengan tempat penampungan kotoran ternak/tinja/air limbah terdekat masih kurang baik karena berjarak <10 m. Menurut Subandriyo et al. (1997) sumur yang baik harus memenuhi syarat antara lain jarak sumur dengan kamar mandi (tempat penampungan kotoran) minimum 10 m. Tujuannya adalah supaya tidak terjadi interaksi antara mikroorganisme dengan air yang biasa digunakan untuk kebutuhan hidup seharihari. Sehingga, air tetap terjaga kebersihannya dan aman untuk dikonsumsi atau digunakan untuk kebutuhan hidup sehari-hari (minum, mandi, cuci dan kakus).

Berdasarkan yang telah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya mengenai aspek PHBS, dapat diketahui bahwa seluruh responden tidak membuang sampah pada tempat yang semestinya. Akan tetapi, secara umum mereka membuang sampah di pekarangan dan lubang sampah terbuka. Perilaku seperti ini sangat jauh dari indikator perilaku hidup bersih dan sehat. Sampah yang dibiarkan di tempat terbuka dapat dijadikan media berkembangbiaknya lalat yang bisa menularkan penyakit diare. Selain itu, sampah juga mampu mencemari sumber air. Menurut Dinkes DKI Jakarta (2003) penggunaan air yang sudah tercemar tersebut dapat dijadikan media pencemaran penyakit diare. Tidak berbeda halnya dengan SPAL responden, sebagian besar responden membuang air limbah bukan pada tempat semestinya yaitu di pekarangan. Keadaan ini juga mampu mencemari sumber air. Menurut Latifah et al. (2002c) air limbah merupakan air buangan yang kotor dan sangat berbahaya bagi kesehatan. Pembuangan air limbah harus memenuhi syarat kesehatan agar tidak menimbulkan gangguan terhadap kehidupan manusia. Bahaya yang ditimbulkan air limbah jika tidak ditangani dengan baik antara lain dapat menjadi tempat perkembangan bibit penyakit (seperti cacing, kuman penyakit diare dan penyakit kulit) dan penyakit diare. Kaitan antara Pengetahuan Gizi Ibu dengan Diare Anak Balita Tabel 40 menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan anak balita dengan tingkat pengetahuan gizi ibu rendah mengalami diare lebih besar (60,0%.) dibandingkan anak balita dengan tingkat pengetahuan gizi ibu kategori sedang (33,3%) dan tinggi (58,3%). Namun, hasil uji korelasi Spearman tidak menunjukkan hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan gizi ibu dengan diare anak balita. Tabel 40 Kaitan antara pengetahuan gizi ibu dengan diare anak balita Diare Diare Tidak Diare Total Pengetahuan Gizi Rendah Sedang Tinggi n % n % N % 3 60,0 9 33,3 14 58,3 2 40,0 18 66,7 10 41,7 5 100,0 27 100,0 24 100,0 Total n 24 32 56 % 46,4 53,6 100,0 tempat berkembangbiaknya lalat yang bisa menularkan

Kaitan antara Pola Asuh Makan dengan Diare Anak Balita Tabel 41 menunjukkan bahwa ibu dengan pola asuh makan kategori tinggi memiliki anak balita yang mengalami diare lebih besar (62,5%) apabila dibandingkan dengan ibu yang memiliki pola asuh makan kategori rendah (40,0%). Dengan demikian, hasil analisis juga tidak menunjukkan hubungan yang signifikan antara pola asuh makan dengan diare anak balita. Tabel 41 Kaitan antara pola asuh makan dengan diare anak balita Diare Diare Tidak Diare Total Pola asuh makan Sedang Tinggi n % n % 16 40,0 10 62,5 24 60,0 6 37,5 40 100,0 16 100,0 Total n 26 30 56 % 46,4 53,6 100,0

Aspek pola asuh makan yang diduga menjadi penyebab tingginya diare anak balita antara lain mengenai pemberian ASI eksklusif. Sebagian besar ibu tidak memberikan ASI eksklusif kepada anak balita. Pemberian ASI eksklusif erat kaitannya dengan meningkatnya kekebalan tubuh seorang anak. Menurut Soekirman (2000) ASI mengandung zat kekebalan yang mampu melindungi anak dari penyakit infeksi terutama diare dan ISPA. Kaitan antara Pola Asuh Kesehatan dengan Diare Anak Balita Tabel 42 menunjukkan ada kecenderungan ibu dengan pola asuh kesehatan kategori sedang memiliki persentase anak balita yang mengalami diare lebih besar (48,0%) apabila dibandingkan dengan ibu yang memiliki pola asuh kesehatan kategori tinggi (45,2%). Namun, hasil analisis korelasi tidak menunjukkan hubungan yang signifikan antara pola asuh kesehatan dengan diare anak balita. Tabel 42 Kaitan antara pola asuh kesehatan dengan diare anak balita Diare Diare Tidak Diare Total Pola asuh kesehatan Sedang Tinggi n % n % 12 48,0 14 45,2 13 52,0 17 54,8 25 100,0 31 100,0 Total n 26 30 56 % 46,4 53,6 100,0

Aspek pola asuh kesehatan yang diduga menjadi penyebab tingginya diare anak balita yaitu kebiasaan ibu dalam hal mencuci tangan anak balita sebelum makan. Rendahnya kesadaran ibu dalam hal pembiasaan mencuci

tangan anak balita sebelum makan diduga menjadi penyebab tingginya diare pada anak balita. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir separuh ibu menyatakan kadang-kadang membiasakan anak balita mencuci tangan sebelum makan. Bahkan masih ada beberapa ibu yang tidak membiasakan mencuci tangan anak balita. Menurut Dinkes DKI Jakarta (2003) tangan yang kotor dapat menjadi media penularan penyakit diare. Hal senada juga diungkapkan oleh Suririnah (2007) bahwa perilaku hidup bersih seperti kebiasaan mencuci tangan sebelum makan ikut mempengaruhi penularan atau penyebaran penyakit diare. Selain kebersihan tangan anak balita, kebersihan kaki pun harus diperhatikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kurang dari separuh contoh belum dibiasakan menggunakan alas kaki (sandal) ketika keluar rumah. Lingkungan yang tidak bersih, kemudian tidak membiasakan menggunakan sandal ketika keluar rumah dapat menjadi sumber penyebaran kuman dan apabila tidak dihambat penyebarannya maka dapat menimbulkan penyakit seperti diare. Selain kebersihan tangan dan kaki, membiasakan anak balita menggunakan kamar mandi ketika buang air besar merupakan salah satu cara untuk menurunkan tingkat kejadian diare. Hasil penelitian menunjukkan masih ada beberapa ibu yang belum membiasakan anak balita buang air besar di kamar mandi. Menurut Sadeque dan Ghosh (2005) salah satu kebersihan diri yang harus diperhatikan untuk meningkatkan kesehatan anak balita yaitu dengan membiasakan anak balita buang air besar di kamar mandi.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan 1. Lebih dari separuh anak balita (66,1%) adalah perempuan. Proporsi terbesar umur anak balita (39,3%) berkisar antara 24-36 bulan dan 96,4% anak balita memiliki berat badan lahir cukup (2,5 kg). 2. Status gizi anak balita dari ketiga indikator gabungan yaitu BB/TB normal, BB/U normal dan TB/U rendah dapat dikategorikan ke dalam status gizi normal, akan tetapi mengalami malnutrisi pada masa lalu. Hampir seluruh anak balita (91,1%) mengalami sakit selama tiga bulan terakhir dan hampir 50% anak balita mengalami diare dengan frekuensi tertinggi yaitu 2 kali dan lama sakit 1-3 hari. Hasil analisis menunjukkan terdapat hubungan negatif dan signifikan antara status gizi anak balita (BB/TB, TB/U) dengan diare (p<0,05). 3. Lebih dari separuh responden (60,7%) merupakan keluarga besar (>4orang) dan hampir separuh umur baik ayah (39,3%) maupun ibu (44,6%) berada pada kategori usia muda (20-30 tahun). Tingkat pendidikan pegawai ayah lebih tinggi dan (SLTA/sederajat) angkutan dibandingkan dan ibu (SD/sederajat). Dengan demikian, proporsi terbesar pekerjaan ayah yaitu negeri/swasta jasa (33,9% 28,6%), sedangkan ibu (75,0%) tidak bekerja. Proporsi terbesar (58,9%) pendapatan perkapita perbulan responden adalah >Rp 150 000.00. 4. Secara umum responden memiliki PHBS, pola asuh makan dan pola asuh kesehatan yang baik. Proporsi terbesar responden memiliki PHBS (69,6%) dan pola asuh kesehatan kategori tinggi (55,4%) serta pola asuh makan kategori sedang (71,4%). Hampir 50% ibu memiliki tingkat pengetahuan gizi kategori sedang, sisanya tinggi dan rendah (42,9% dan 8,9%). 5. Hasil analisis menunjukkan umur anak balita berhubungan sangat signifikan dengan diare (p<0,01). Sedangkan anak balita dengan riwayat berat badan lahir rendah tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan diare. 6. Tingkat pendidikan ibu berhubungan signifikan dengan PHBS dan pengetahuan gizi, dan tidak berhubungan signifikan dengan pola asuh makan dan pola asuh kesehatan. Sedangkan umur ibu tidak berhubungan

signifikan baik dengan PHBS, pengetahuan gizi, pola asuh makan maupun pola asuh kesehatan. 7. PHBS, pengetahuan gizi ibu, pola asuh makan dan pola asuh kesehatan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan diare anak balita. Aspek PHBS yang diduga menyebabkan diare anak balita adalah jarak sumber air dengan tempat penampungan kotoran <10 m, pembuangan sampah dan limbah bukan pada tempatnya. Sedangkan, aspek pola asuh makan yang diduga menyebabkan diare anak balita yaitu sebagian besar ibu tidak memberikan ASI eksklusif kepada anaknya. Aspek pola asuh kesehatan yang diduga menyebabkan diare anak balita yaitu berkenaan dengan kebersihan tangan dan kaki serta kebiasaan Buang Air Besar (BAB) bukan pada tempatnya. Saran Faktor-faktor yang diduga menjadi penyebab meningkatnya diare pada anak balita hendaknya menjadi perhatian bagi pengambil kebijakan. Pemerintah harus memprioritaskan penanganan masalah diare dengan membangun fasilitas pembuangan sampah yang memadai dan memenuhi persyaratan. Selain itu, masyarakat setempat hendaknya memperhatikan jarak sumber air dengan tempat penampungan kotoran dan Sistem Pembuangan Air Limbah (SPAL) yang memenuhi kriteria kesehatan. Kebersihan diri (personal hygiene) ibu dan anak balita sangat penting diperhatikan seperti menggunakan sumber air bersih dan sehat untuk Mandi, Cuci, dan Kakus (MCK), membiasakan BAB di kamar mandi, mencuci tangan dengan sabun sebelum makan dan sesudah BAB, menjaga kebersihan kamar mandi dan selalu menggunakan alas kaki khususnya ketika keluar rumah. Selain itu, pendidikan gizi bagi ibu sangat dianjurkan untuk dilakukan khususnya yang berkaitan dengan PHBS (sanitasi lingkungan, personal hygiene, dan pelayanan kesehatan) serta pola asuh makan dalam hal pemberian ASI eksklusif dan penyiapan makanan sehari-hari. Penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan menganalisis faktor-faktor risiko kejadian diare anak balita dengan menggunakan analisis regresi logistik. Sehingga, diperoleh informasi mengenai faktor dominan yang lebih berpengaruh terhadap kejadian diare anak balita.

DAFTAR PUSTAKA
Adnyadewi IGA. 2004. Faktor-faktor yang mempengaruhi status kesehatan anak usia 3-5 tahun pada keluarga miskin di Kota Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas pertanian, Institut Pertanian Bogor. Amperansyah. 1999. Faktor risiko penyakit diare pada bayi di Provinsi Kalimantan Selatan: analisis data sekunder SDKI tahun 1997 [skripsi]. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Aronson SS. 1991. Health and Safety in Child Care. New York: HarperCollins. Asad S. 2002. Gizi-Kesehatan Ibu dan Anak. Makasar: Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Azwar A. 1979. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Penerbit Mutiara. Berg A. 1986. Peranan Gizi dalam Pembangunan Nasional. Zahara DN, penerjemah. Jakarta: CV Rajawali. Terjemahan dari: The Nutrition Factor, Its Role in National Development. Briawan D, Herawati T. 2005. Laporan akhir penelitian studi kajian wanita. Peran anggota rumah tangga di dalam pengasuhan pertumbuhan dan perkembangan anak balita. Bogor: Institut Pertanian Bogor. [BPS] Biro Pusat Statistik. 2002. Indikator Kesejahteraan Rakyat. Jakarta: BPS. _____. 2004. Statistik Kesehatan. Jakarta: BPS. . 2005. Statistik Indonesia. Jakarta: BPS. . 2006. Statistik Indonesia. Jakarta: BPS. [Depkes] Departemen Kesehatan RI. 2006. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Rumah Tangga. Jakarta: Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI. [Dinkes] Dinas Kesehatan DKI Jakarta. 2002. Konseling Keluarga Mandiri Sadar Gizi (KADARZI). [terhubung berkala] www.gizi.html [9 November 2007]. . 2003. Diare. [terhubung berkala]. www.diare.html [3 Oktober 2007]. Entjang I. 1985. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung: Penerbit Alumni. . 1993. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Citra Aditya Bakti. Firlie D. 2001. Faktor-faktor yang mempengaruhi morbiditas anak baduta pada keluarga miskin dan tidak miskin [skripsi]. Bogor: Fakultas pertanian, Institut Pertanian Bogor. Gunarsa, Gunarsa. 1985. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia. Hardinsyah, Martianto D. 1992. Gizi Terapan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi. Hardinsyah. 1997. Ekonomi Gizi. Diktat Mata Kuliah yang tidak dipublikasikan. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Harianto. 2004. Penyuluhan penggunaan oralit untuk menanggulangi diare di masyarakat. Majalah Ilmu Kefarmasian 1(1): 27-33. [terhubung berkala].

www.jurnal.farmasi.ui.ac.id/pdf/2004/v01n01/Harianto010104.pdf. Oktober 2007].

[3

Hiswani. 2003. Diare merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang kejadiaannya sangat erat dengan keadaan sanitasi lingkungan. [terhubung berkala]. http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-hiswani7.pdf. [23 uli 2008]. Herman. 2005. Pengetahuan, sikap dan perilaku pengguna tanaman obat di desa Sukajadi, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor dan faktor-faktor yang mempengaruhinya [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hurlock EB. 1982. Psikologi Perkembangan. Ed ke-5. Jakarta: Erlangga. _________. 1993. Perkembangan Anak Jilid 2. M Tjandrasa, M Zarkasih, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Irianti S, Zalbawi S, dan Suprapti. 2000. Penelitian dalam rangka penerapan sistem pembuangan tinja dan sampah tepat guna Desa Pantai di Kabupaten Rembang dan Kabupaten Lamongan. Buletin Penelitian Kesehatan 27(3 dan 4-1999/2000): 346-363. Khairunnisak I. 2004. Hubungan kualitas pengasuhan dan perilaku hidup sehat dengan status gizi dan kesehatan anak usia 3-5 tahun pada keluarga miskin di Kecamatan Bogor Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut pertanian Bogor. Khomsan A. 2004. Peranan Pangan dan Gizi untuk Kualitas Hidup. Jakarta : PT Grasindo Anggota Ikapi. . 2005. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Krisnatuti D dan Yenrina R. 2000. Menyiapkan Makanan Pendamping ASI. Jakarta: Puspa Swara. Latifah M, MD Djamaludin, Evi D, Sumali MA. 2002a. Buku 1 Kebersihan Diri dan Lingkungan. Bogor: Kerjasama Pusat Kurikulum Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dengan Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor. . 2002b. Buku 5 Rumah Sehat. Bogor: kerjasama pusat kurikulum Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dengan Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor. . 2002c. Buku 8 Pengenalan Sampah dan Air Limbah. Bogor: Kerjasama Pusat Kurikulum Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dengan Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor. . 2002d. Buku 10 Mengenal Berbagai Penyakit dan Pertolongan Pertama pada Kecelakaan. Bogor: Kerjasama Pusat Kurikulum Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dengan Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor. Manda S, Nurahmi, Wahida S. 2006. Pedoman pengembangan kabupaten/kota percontohan program Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. [terhubung berkala]. www.dinkes-sulsel.go.id/pdf/Perilaku_hidup_bersih_&_sehat.pdf [15 November 2007]. Madihah. 2002. Faktor-faktor predisposisi yang berhubungan dengan keluarga mandiri sadar gizi (KADARZI) di Kecamatan Banua Lawas, Kabupaten

Tabalong Kalimantan Selatan tahun 2002 [skripsi]. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Madanijah S. 2003. Model pendidikan G1-PSI-SEHAT bagi ibu serta dampaknya terhadap perilaku ibu, lingkungan pembelajaran, konsumsi pangan, dan status gizi anak usia dini [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Marotz LR, Marie ZC, Jeanettia MR. 2005. Health, Safety, and Nutrition for Young Child. Edisi ke-6. United State: Thomson Delmar Learning. Masithah T, Soekirman, Drajat M. 2005. Hubungan pola asuh makan dan kesehatan dengan status gizi anak batita di Desa Mulya Harja. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat dan Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Media Gizi dan Keluarga 29 (2):29-39. Muniasir Z. 2007. Imunomodulator, Bukan Suplemen!. [terhubung berkala].

parentsguide.co.id/dsp_content.php?kat=3&emonth=02&eyear=2007 &pg=hns-23k.
Nadesul H. 2005. Makanan Sehat untuk Ibu Hamil. Jakarta: Puspa Swara. Nasution. 2003. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia. Notoatmodjo S. 1993. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. . 1997. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Yogyakarta: Ando Offset. ___________ . 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta. Pujiarto P. 2007. Pola Asuh-Asupan Nutrisi dan Pertumbuhan Anak. Makalah Seminar Sehari. Kemitraan dalam Mengatasi Masalah Gizi di Indonesia. Jakarta: Koalisi untuk Indonesia Sehat. Puspitawati H. 2007. Pengantar Ekologi Keluarga. Diktat Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rahayu S. 2006. Pola asuh dan status gizi anak balita keluarga penerima dan bukan penerima Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin (JPKMM) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rahmawati D. 2006. Status gizi dan perkembangan anak usia dini di taman pendidikan karakter sutera alam, Desa Sukamantri, Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rimbatmaja, R. 2007. Tantangan bernama higinitas. [terhubung berkala]. www.koalisi.org. [15 November 2007]. Riyadi. 2001. Buku Ajar Metode Penilaian Status Gizi Secara Antropometri. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sadeque MU, Ghosh SK. 2005. Environmental Sanitation Promotion: A Social, Institutional and Legal Challenge for the Rural Poor. [terhubung berkala]. www.mosleh@bdonline.com. Santrock JW. 2002. Life-Span Development. Ed ke-8. New York: McGraw-Hill

Sari RA. 2004. Kondisi geografis dan sosial ekonomi hubungannya dengan pembangunan kesehatan serta kondisi rumah rehat di Desa Gasol dan Cijedil, Kecamatan Cugenang, Cianjur, Jawa Barat [skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Saroso S. 2007. Diare. [terhubung berkala]. www.diare.articles.php.htm. [3 Oktober 2007]. Satoto. 2004. Kualitas Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil dan Bersalin: Antara Harapan Hidup dan Kenyataan Kematian. Bandung: Eja Insani. Sinaga D, Dewi MDH, Mubasysyir H. 2005. Program Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS): studi kasus di Kabupaten Bantul 2003. JMPK 8(2). [terhubung berkala]. www.jmpk-online.net/files/vol-08-02-2005-4.pdf. [3 Oktober 2007]. Slamet Y. 1993. Analisis Kuantitatif untuk Data Sosial. Solo: Dabara Publiser. Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Subandriyo VU, Sumali MA, dan Yekti HE. 1997. Petunjuk Praktikum Kesehatan Masyarakat. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Suhardjo. 1989. Sosial Budaya Gizi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat antar Universitas Pangan dan Gizi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sukarni. 1989. Kesehatan Keluarga dan Lingkungan. Bogor: Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor. ______. 1994. Kesehatan Keluarga dan Lingkungan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Suririnah. 2007. Diare mendadak dan penanganannya. [terhubung berkala]. www.infoibu.com. [3 Oktober 2007]. Tambingon HN. 1999. Pola pengasuhan ibu anak berdasarkan gender dalam keluarga ibu bekerja dan tidak bekerja serta kaitannya dengan status gizi anak balita di Kota Madya Manado, Provinsi Sulawesi Utara [tesis]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tjitarsa IB. 1992. Pendidikan Kesehatan: Pedoman Pelayanan Kesehatan Dasar. Bandung: Penerbit ITB dan Universitas Udayana. Topatimasang. 2005. Sehat itu Hak: Panduan Advokasi Kebijakan Kesehatan. Jakarta: Koalisi untuk Indonesia Sehat. Turner JS, Helms DB. 1991. Life-Span Development. Ed ke-4. Fortworth: Rinehart and Winston. Widyati R, Yuliarsih. 2002. Hygiene dan Sanitasi Umum dan Perhotelan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

LAMPIRAN

Lampiran 1 Sebaran responden berdasarkan ketersediaann pelayanan kesehatan dalam hal kunjungan, jarak dan daya jangkau
Jenis Pelayanan Kesehatan n Praktek Dukun Paraji Posyandu Puskesmas Praktek Bidan Klinik/Balai Pengobatan Rumah Sakit 31 56 56 21 26 11 Kunjungan Tidak Pernah pernah % 55,4 100,0 100,0 37,5 46,4 19,6 n 25 0 0 35 30 45 % 44,6 0,0 0,0 62,5 53,6 80,4 n 37 54 43 29 5 0 Jarak Dekat % 66,1 96,4 76,8 51,8 8,9 0,0 n 19 2 13 27 51 56 Jauh % 33,9 3,57 23,2 48,2 91,1 100 n 39 55 47 36 9 4 Daya Jangkau Mudah % 69,6 98,2 83,9 64,3 16,1 7,1 n 17 1 9 20 47 52 Sulit % 30,4 1,8 16,1 35,7 83,9 92,9

Lampiran 2 Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap petugas gizi dan kesehatan dalam hal informasi gizi, kemudahan dihubungi dan cara pelayanan
Petugas Gizi dan Kesehatan Dokter RS Dokter Puskesmas Bidan Puskesmas Bidan Desa/Praktik Bidan Kader posyandu Mantri Dukun Paraji Informasi Gizi Tidak Pernah Pernah n % n % 9 32 41 36 52 6 8 16,1 57,1 73,2 64,3 92,9 10,7 14,3 4 24 15 7 4 7 25 7,1 42,9 26,8 12,5 7,1 12,5 44,6 Kemudahan Dihubungi Mudah n 8 35 53 38 56 6 28 % 14,3 62,5 94,6 67,9 100 10,7 50 n 5 21 3 5 0 7 5 Sulit % 8,93 37,5 5,36 8,93 0 12,5 8,93 n 12 54 53 42 56 7 32 Cara Pelayanan Baik % 21,4 96,4 94,6 75 100 12,5 57,1 Kurang n 1 2 3 2 0 6 1 % 1,8 3,6 5,4 3,6 0 11 1,8

Lampiran 3 Sebaran responden berdasarkan jawaban pengetahuan gizi


No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. Pertanyaan Apakah yang dimaksud dengan zat gizi? Zat-zat gizi apa saja yang dibutuhkan oleh tubuh? Apa zat gizi yang berfungsi untuk pertumbuhan anak? Apakah ibu dapat menyebutkan jenis pangan yang termasuk sumber karbohidrat? Dapatkah ibu menyebutkan kelompok bahan pangan mana yang banyak mengandung zat gizi protein hewani? Apakah ibu dapat menyebutkan susunan menu yang baik? Dapatkah ibu menyebutkan jenis makanan sumber zat besi? Apa nama kondisi ibu jika selama masa kehamilan ibu mengalami pusing, cepat lelah dan lesu? Garam dapur yang bagaimana yang baik untuk digunakan? Apa yang terjadi pada bayi yang dilahirkan apabila selama masa kehamilan terjadi kekurangan zat besi? Apa akibat yang ditimbulkan bila anak kekurangan makan dalam jangka waktu yang lama? Apa akibat dari makanan dan minuman yang tidak bersih? Bagaimana cara yang baik dalam mempersiapkan botol atau tabung susu bayi? Sampai umur berapa sebaiknya bayi diberi ASI saja? Jawaban Benar n % 43 76,8 30 53,6 25 44,6 25 48 43 32 39 54 49 53 52 48 23 44,6 85,7 76,8 57,1 69,6 96,4 87,5 94,6 92,9 85,7 41,1

No 15. 16. 17. 18. 19. 20.

Pertanyaan Pada usia berapa anak boleh diberikan makanan seperti orang dewasa? Apa yang dimaksud dengan diare? Apa yang ibu lakukan ketika anak mengalami diare? Kemana ibu biasa membawa anak berobat saat mengalami diare? Apa yang ibu berikan saat anak mengalami diare? Apakah kegunaan sabun yang dipakai saat cuci tangan?

Jawaban Benar n % 46 40 53 53 54 54 82,1 71,4 94,6 94,6 96,4 96,4

Lampiran 4 Sebaran responden berdasarkan pola asuh kesehatan


No 1. Pola Asuh Kesehatan Berapa kali anak dibiasakan mandi setiap hari? a. 1 kali/hari b. 2 kali/hari c. 3 kali/hari Apakah anak setiap mandi menggunakan sabun mandi? a. Tidak pernah b. Kadang-kadang c. Selalu Apakah anak dibiasakan menggosok gigi setiap hari? a. Tidak b. Ya, 1 kali/hari c. Ya, 2 kali/hari Sejak kapan ibu membiasakan anak menggosok gigi? a. Sejak anak berusia > 2 tahun b. Sejak anak berusia 1-2 tahun c. Sejak anak berusia 1 tahun Apakah anak setiap menggosok gigi menggunakan pasta gigi? a. Tidak pernah b. Kadang-kadang c. Selalu Apakah anak dibiasakan menggosok gigi sebelum tidur? a. Tidak pernah b. Kadang-kadang c. Selalu Apakah anak dibiasakan menggosok gigi setelah makan? a. Tidak pernah b. Kadang-kadang c. Selalu Berapa kali anak dibiasakan keramas setiap minggu? a. 1 kali/minggu b. 2 kali/minggu c. 3 kali/minggu Apakah anak setiap keramas menggunakan sampo? a. Tidak pernah b. Kadang-kadang c. Selalu Apakah anak dibiasakan menyisir rambut? a. Ya, 1 kali/hari b. Ya, 2-3 kali/hari c. Ya, 4 kali/hari Apakah anak dibiasakan mengganti pakaian setelah mandi? a. Tidak b. Ya, 1 kali/hari c. Ya, 2 kali/hari Apakah anak dibiasakan menggunakan handuk bersih yang sama (tidak gonta-ganti) setelah mandi? a. Tidak pernah b. Kadang-kadang c. Selalu n 0 45 11 0 3 53 16 10 30 25 19 12 16 3 37 44 5 7 44 11 1 4 8 44 0 4 52 12 36 8 0 0 56 3 2 51 % 0,0 80,4 19,6 0,0 5,4 94,6 28,1 17,5 52,6 43,9 33,3 21,1 28,1 5,3 64,9 77,2 8,8 12,3 77,2 19,3 1,8 7,0 14,0 77,2 0 7,1 92,9 21,4 64,3 14,3 0,0 0,0 100,0 5,4 3,6 91,1

2.

3,

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

No 13.

Pola Asuh Kesehatan Apakah anak dibiasakan mencuci tangan sebelum makan? a. Tidak pernah b. Kadang-kadang c. Selalu Sejak kapan ibu membiasakan anak mencuci tangan sebelum makan? a. Sejak anak berusia > 2 tahun b. Sejak anak berusia 1-2 tahun c. Sejak anak berusia 1 tahun Apakah anak setiap mencuci tangan sebelum makan menggunakan air bersih? a. Tidak pernah b. Kadang-kadang c. Selalu Apakah anak setiap mencuci tangan setelah buang air besar menggunakan sabun dan air bersih? a. Tidak pernah b. Kadang-kadang c. Selalu Apakah anak dibiasakan buang air besar pada tempat semestinya (kakus,/WC, jamban)? a. Tidak pernah b. Kadang-kadang c. Selalu Apakah anak dibiasakan untuk menggunting kukunya setiap bulan? a. Tidak b. Ya, 1-2 kali/bulan c. Ya, 3 kali/bulan Apakah anak dibiasakan memakai alas kaki ketika bermain/berada diluar rumah? a. Tidak pernah b. Kadang-kadang c. Selalu Apakah anak dibiasakan untuk mencuci kaki setelah bermain? a. Tidak pernah b. Kadang-kadang c. Selalu Apakah ibu meperbolehkan anak bermain tanpa memakai celana? a. Tidak pernah b. Kadang-kadang c. Selalu Apakah anak dibiasakan untuk mencuci kaki sebelum tidur? a. Tidak pernah b. Kadang-kadang c. Selalu Apakah ibu mencegah anak bermain tanah? a. Tidak pernah b. Kadang-kadang c. Selalu Apakah anak dibiasakan membuang sampah pada tempatnya? a. Tidak pernah b. Kadang-kadang c. Selalu

n 6 24 26 18 29 9 6 1 49 3 17 36

% 10,7 42,9 46,4 32,1 51,8 16,1 10,7 1,8 87,5 5,4 30,4 64,3

14.

15.

16.

17.

6 4 46 0 16 40 2 32 22 9 30 17 50 0 6 1 17 38 15 28 13 12 11 33

10,7 7,1 82,1 0,0 28,6 71,4 3,6 57,1 39,3 16,1 53,6 30,4 89,3 0,0 10,7 1,8 30,4 67,9 26,8 50,0 23,2 21,4 19,6 58,9

18.

19.

20.

21.

22.

23.

24.

Lampiran 5 Hasil analisis uji korelasi Spearman antar variabel


Variabel Umur contoh BBLR Status gizi (BB/TB) Status gizi (TB/U) Umur ibu Pendidikan ibu PHBS ibu Pengetahuan gizi ibu Pola asuh makan Pola asuh kesehatan Diare anak balita Umur contoh BBLR p= 0,408 r= 0,113 Status gizi (BB/TB) p= 0,791 r= 0,036 p= 0,095 r= 0,226 Status gizi (TB/U) p= 0,370 r= -0,122 p= 0,134 r= 0,203 p= 0,000 r= -615** Umur ibu p= 0,055 r= 0,258 p= 0,184 r= 0,180 p= 0,310 r= 0,138 p= 0,576 r= 0,076 Pendidikan ibu p= 0,186 r= -0,179 p= 0,999 r= 0,000 p= 0,403 r= 114 p= 0,228 r= 0,164 p= 0,020 r= -0,311 PHBS ibu p= 0,275 r= 0,148 p= 0,961 r= -0,007 p= 0,852 r= 0,026 p= 0,485 r= -0,095 p= 0,619 r= 0,068 p= 0,004 r= 0,384** Pengetahuan gizi ibu p= 0,191 r= -0,177 p= 0,050 r= 0,264* p= 0,413 r= 0,112 p= 0,134 r= 0,203 p= 0,087 r= -0,231 p= 0,000 r= 0,476** p= 0,029 r= 0,292* Pola asuh makan p= 0,915 r= -0,015 p= 0,586 r= 0,074 p= 0,655 r= 0,059 p= 0,643 r= -0,063 p= 0,905 r= 0,016 p= 0,369 r= 0,122 p= 0,000 r= 0,531** p= 0,227 r= 0,164 Pola asuh kesehatan p= 0,391 r= 0,117 p= 0,988 r= 0,002 p= 0,865 r= 0,023 p= 0,286 r= 0,145 p= 0,476 r= 0,097 p= 0,061 r= 0,252 p= 0,000 r= 0,486** p= 0,334 r= 0,131 p= 0,001 r= 0,440** Diare anak balita p= 0,008 r= -0,350** p= 0,100 r= -0,222 p= 0,013 r -0,330* p= 0,029 r= -0,293* p= 0,052 r= -0,261 p= 0,428 r= 0,108 p= 0,356 r= 0,126 p= 0,486 r= 0,095 p= 0,258 r= 0,154 p= 0,897 r= -0,018 -

Keterangan:** Signifikan pada 1% * Signifikan pada 5%

You might also like