You are on page 1of 26

BIOGRAFI Tokoh ini dilahirkan pada tahun 1925 di Alberta, Canada.

Albert menempuh pendidikan kesarjanaannya di bidang psikologi klinis di Universitas Iowa dan mencapai gelar Ph.D setahun kemudian pada tahun 1952. Setelah menempuh pelatihan postdoktoral di bidang klinis selama satu tahun, pada tahun 1953 Bandura bekerja di Universitas Stanford, di mana kini ia menjadi Profesor David Starr dalam bidang Ilmu Pengetahuan Sosial. Ia pernah bekerja sebagai Ketua Jurusan Psikologi Stanford dan pada tahun 1974 terpilih menjadi Ketua American Psychological Association. Albert Bandura menjabat sebagai ketua APA pada tahun 1974 dan pernah dianugerahi penghargaan Distinguished Scientist Award pada tahun 1972. Pada bagian selanjutnya kelompok kami akan banyak membahas tentang teori kepribadian yang berprinsip pada belajar sosial (social learning). Teori belajar sosial (social learning theory) dari Bandura, didasarkan pada konsep saling menentukan (reciprocal determinism), tanpa penguatan (beyond reinforcement), dan pengaturan diri/berfikir (sel-regulation/cognition). Sumbangan Bandura, Bandura membuka perspektif baru dalam aliran behavioristik dengan menekankan pada aspek observasi dan proses internal individu. Bagi merekayang beraliran kognitif, pandangan ahli behavioristik lainnya. Teori ini juga didukung oleh percobaan eksperimental yang dapat dipertanggung jawabkan. Kritik terhadap Bandura, terutama datang dari kelompok aliran behavioristik keras, yang memandang Bandura lebih tepat untuk dimasukkan dalam kelompok aliran kognitif dan diakui sebagai bagian dari behavioristik. Penyebab utamanya karena pandangan Bandura yang kental aspek mentalnya. Pada makalah ini juga berisi jurnal dan beberapa kasus berhubungan dengan penerapan teori belajar sosial. (http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/behaviorisme.html)

LATAR BELAKANG TEORI Penelitian Bandura mencakup banyak masalah yang bersifat sentral untuk teori belajar sosial, dan lewat penelitian-penelitian itu teorinya dipertajam dan diperluas. Penelitian ini meliputi studi tentang imitasi dan identifikasi, Perkuatan Sosial, Perkuatan Diri dan Pemonitoran, serta Perubahan Tingkah Laku melalui pemodelan. Bersama Richard Wakters sebagai penulis kedua, Bandura menulis Adolescent Aggression (1959), suatu laporan terinci tentang sebuah studi lapangan dimana prinsipprinsip belajar sosial dipakai untuk menganalisis perkembangan kepribadian sekelompok remaja pria delinkuen dari kelas menengah, disusul dengan Social Learning and personality development (1963), sebuah buku dimana ia dan Walters memaparkan prinsip-prinsip belajar sosial yang telah mereka kembangkan beserta evidensi atau bukti yang menjadi dasar bagi teori tersebut. Pada tahun 1969, Bandura menerbitkan Principles of behavior modification, dimana ia menguraikan penerapan teknik-teknik behavioral berdasarkan prinsip-prinsip belajar dalam memodifikasi tingkah laku dan pada tahun 1973, Aggression: A social learning analysis. Dalam bukunya yang secara teoretis ambisius, Social Learning Theory (1977), ia telah berusaha menyajikan suatu kerangka teoretis yang terpadu untuk menganalisis pikiran dan tingkah laku manusia. Sama seperti halnya kebanyakan pendekatan teori belajar terhadap kepribadian, teori belajar sosial berpangkal pada dalil bahwa tingkah laku manusia sebagian besar adalah hasil pemerolehan, dan bahwa prinsip-prinsip belajar adalah cukup untuk menjelaskan bagaimana tingkah laku berkembang dan menetap. Akan tetapi, teori-teori sebelumnya selain kurang memberi perhatian pada konteks sosial dimana tingkah laku ini muncul, juga kurang menyadari fakta bahwa banyak peristiwa belajar yang penting terjadi dengan perantaraan orang lain. Artinya, sambil mengamati tingkah laku orang lain, individu-individu belajar mengimitasi atau meniru tingkah laku tersebut atau dalam hal tertentu menjadikan orang lain model bagi dirinya. Dalam bukunya terbutan 1941, Social larning and imitation, Miller dan Dollard telah mengakui peranan penting proses-proses imitatif dalam perkembangan kepribadian dan telah berusaha menjelaskan beberapa jenis tingkah laku imitatif tertentu. Tetapi hanya sedikit pakar lain peneliti kepribadian mencoba memasukan gejala belajar lewat observasi ke dalam teori-teori belajar mereka, bahkan Miller dan Dollard pun jarang menyebut imitasi dalam tulisan-tulisan mereka yang kemudian. Bandura tidak hanya berusaha

memperbaiki kelalaian tersebut, tetapi juga memperluas analisis terhadap belajar lewat observasi ini melampaui jenis-jenis situasi terbatas yang ditelaah oleh Miller dan Dollard.

I. PEMBAHASAN Belajar adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan dua unsur, yaitu jiwa dan raga. Gerak raga yang ditujukan harus sejalan dengan proses jiwa untuk mendapatkan perubahan. Tentu saja perubahan yang didapatkan itu bukan perubahan fisik akibat sengatan serangga, patah tangan, patah kaki, buta mata, tuli telinga, penyakit bisul, dan sebagainya bukanlah termasuk perubahan akibat belajar. Oleh karenanya, perubahan sebagai hasil dari proses belajar adalah jiwa yang mempengaruhi tingkahlaku seseorang. Drs. Slameto juga merumuskan pengertian tentang belajar. Menurutnya belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkahlaku yang baru dalam keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. (Syaiful Bahri Djamarah : 12-13). Bagi Bandura, walaupun prinsip belajar cukup untuk menjelaskan dan meramalkan perubahan tingkahlaku, prinsip itu harus memperhatikan dua fenomena penting yang diabaikan atau ditolak oleh paradikma behaviorisme. Pertama, Bandura berpebdapat bahwa manusia dapat berfikir dan mengatur tingkahlakunya sendiri, sehingga mereka bukan semata-mata bidak yang menjadi obyek pengaruh lingkungan. Sifat kausal bukan dimiliki oleh lingkungan, karena orang dan lingkungan saling mempengaruhi Kedua, Bandura menyatakan, banyak aspek fungsi kepribadian melibatkan interaksi orang satu dengan orang lain. Dampaknya, teori kepribadian yang memadai harus memperhitungkan konteks sosial di mana tingkahlaku itu diperoleh dan dipelihara. Teori belajar sosial (sosial learning theory) dari Bandura, didasarkan pada konsep saling menentukan (reciprocal determinism), tanpa penguatan (beyond reinforcement), dan pengaturan diri / berfikir (self-regulation cognition).

Berikut akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai determinan resiprokal, beyond reinforcement, dan self regulation.
1. Determinis Resiprokal Pendekatan yang menjelaskan tingkahlaku manusia dalam bentuk interaksi timbal-balik yang terus menerus antara determinan kognitif, begavioral, dan lingkungan. Orang menentukan / mempengaruhi tingkahlakunya dengan mengontrol kekuatan lingkungan, tetapi orang itu juga dikontrol oleh kekuatan lingkungan itu. Determinis resiprokal adalah konsep yang penting dalam teori belajar sosial Bandura, menjadi

pijakan Bandura dalam memahami tingkahlaku. Teori belajar sosial memaki saling deerminis sebagai prinsip dasar untuk menganalisis fenomena psiko-sosial diberbagai tingkat kompleksitas, dari perkembangan intrapersonal sampai tingkahlaku interpersonal serta fungsi interaktif dari organisasi dan sistem sosial. 2. Tanpa Reinforsemen Bandura memandang teori Skinner dan Hull terlalu bergantung kepada reinforsemen. Jika setiap unit respon sosial yang kompleks harus dipilah-pilih untuk direinforse satu persatu, bias jadi orang malah tidak belajar apapun. Menurutnya, reinforsemen penting dalam menentukan apakah suatu tingkahlaku akan terus terjadi atau tidak, tetapi itu bukan satu-satunya pembentuk tingkahlaku. Orang dapat belajar melakukan sesuatu hanya dengan mengamati dan kemudian mengulang apa yang dilihatnya. Belajar melalui observasi tanpa ada reinforsemen yang terlibat, berarti tingkahlaku ditentukan oleh antisipasi konsekuensi, itu pokok teori belajar mengajar. 3. Kognisi dan Regulasi diri Teori belajar tradisional sering terhalang oleh ketidak senangan atau ketidak mampuan mereka untuk menjelaskan proses kognitif. Konsep Bandura menempatkan manusia sebagai pribadi yang dapat mengatur diri sendiri (self regulation), mempengaruhi tingkahlakunya sendiri. Kemampuan kecerdasan untuk berfikir simbolik menjadi sarana yang kuat untuk menangani lingkungan, misalnya dengan menyimpan pengalaman (dalam ingatan) dalam wujud verbal dan gambaran imajinasi untuk kepentingan tingkahlaku pada masa yang akan datang. Kemampuan untuk menggambarkan secara imaginative hasil yang diinginkan pada masa yang akan datang mengembangkan strategi tingkahlaku yang membimbing kea rah tujuan jangka panjang.

II. STRUKTUR KEPRIBADIAN A. SISTEM SELF (SELF SISTEM) Tidak sepertinya Skinner yang teorinya tidak memiliki kontruks self, Bandura yakin bahwa pengaruh yang ditimbulkan oleh self sebagai salah satu determian tingkahlaku tidak dapat dihilangkan tanpa membahayakan penjelasan dan kekuatan peramalan. Dengan kata lain, self diakui sebagai unsur struktural kepribadian. Saling determinis menempatkan semua hal saling berinteraksi, di mana pusat atau pemulanya adalah sistem self. Sistem self itu bukan unsur psikis yang mengontrol tingkahlaku, tetapi mengacu ke struktur kognitif yang memberi pedoman mekanisme dan seperangkat fungsifungsi persepsi, evaluasi, dan pengaturan tingkahlaku. Pengaruh self tidak otomatis atau

mengatur tingkahlaku secara otonom, tetapi self menjadi bagian dari sistem interaksi resprokal. B. REGULASI DIRI Manusia mempunyai kemampuan berfikir, dan dengan kemampuan ini mereka memanupulasi lingkungan, sehingga terjadi perubahan lingkungan akibat kegiatan manusia. Balikannya dalam bentuk determinis resiprokal berarti orang dapat mengatur sebagaian dari tingkahlakunya sendiri. Menurut Bandura, akan terjadi strategi reaktif dan proaktif dalam regulasi diri. Strategi reaktif dipakai untuk mencapai tujuan, namun ketika tujuan hampir tercapai strategi proaktif menentukan tujuan baru yang lebih tingg. Orang memotivasi dan membimbing tingkahlakunya sendiri melalui strategi proaktif, menciptakan ketidakseimbangan, agar dapat memobilisasi kemampuan dan usahanya berdasarkan antisipasi apa saja yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Ada tiga proses yang dapat dipakai untuk melakukan pengaturan diri: memanipulasi faktor eksternal, memonitor dan resiprokal faktor eksternal dan faktor internal itu. 1. Faktor Eksternal dalam Regulasi diri Faktor eksternal mempengaruhi regulasi diri dengan dua cara, pertama Faktor eksternal memberi standar untuk mengevaluasi tingkahlaku. Faktor lingkungan berinteraksi dengan pengaruh-pengaruh pribadi, membentuk standar evaluasi diri seseorang, melalui orang tua dan guru anak-anak belajar baik-buruk, tingkahlaku yang dikehendaki dan tidak dikehendaki. Melalui pengalaman berinteraksi dengan lingkungan yang lebih luas anak kemudian mengembangkan standar yang dapat dipakai untuk menilai prestasi diri. Kedua, Faktor eksternal mempengaruhi regulasi diri dalam bentuk penguatan (reinforcement). Hadiah intrinsic tidak selalu memberi kepuasan, orang membutuhkan intensif yang berasal dari lingkungan eksternal. Standar tingkahlaku tertentu, perlu penguatan agar tingkahlaku semacam itu menjadi pilihan untuk dilakukan lagi. 2. Faktor internal dalam Regulasi Diri Faktor eksternal berinteraksi dengan Faktor internal dalam pengaturan diri sendiri, Bandura mengemukaka tiga bentuk pengaruh internal (lihat Tabel 1) : 1. Observasi diri (self observation) : dilakukan berdasakan Faktor kualitas penampilan, kuantitas penampilan, orisinalitas tingkahlaku diri, dan seterusnya. Orang harus mampu memonitor performansinya, walaupun tidak sempurna karena orang cenderung memilih beberapa aspek dari tingkahlakunya dan mengabaikan tingkahlaku lainnya. Apa yag diobservasi seseorang tergantung pada minat dan konsep dirinya.

2. Proses penilaian atau mengadili tingkahlaku (judgemental process) : adalah melihat kesesuaian tingkahlaku dengan standar pribadi, membandingkan tingkahlaku dengan norma standar pribadi, membandingkan tingkahlaku dengan norma standar atau dengan tingkahlaku orang lain, menilai berdasarkan pentingnya suatu aktivitas, dan memberi performasi. Standar pribadi bersumber dari pengalaman mengamati model misalnya orang tua atau guru, dan menginterpretasi balikan/penguatan dari performansi diri. Berdasarkan sumber model dan performansi yang mendapat penguatan, proses kognitif menyusun ukuran-ukuran atau norma yang sifatnya sangat pribadi, karena ukuran ini tidak selalu sinkron dengan kenyataan. Standar pribadi ini jumlahnya terbatas. Sebagian besar aktivitas harus dinilai dengan membandingkannya dengan ukuran eksternal, bias berupa norma standar.

Tabel 2 Proses Regulasi Diri Faktor Eksternal Self-observation Dimensi Performansi Kualita Keseringan Kuantita Orisinalita Kebenaran Bukti Dampak Standar masyarakat penguatan Penyimpangan Etika Menghargai Aktifitas Sangat dihormati Netral Direndahkan Faktor Internal Judgmental Process Standar Pribadi Sumber model Sumber penguat Pedoman Performansi Norma standar Perbandinga sosial Perbandingan personal Perbandingan kolektif Self-Response Reaksi evaluasi diri Positif Negatif Dampak terhadap self Dihadiahi Dihukum Tanpa respon self

Atribusi performansi Lokus pribadi Lokus eksternal

Perbandingan sosial, perbandingan dengan orang lain, atau perbandingan kolektif. Orang juga menilai seberapa besar arti penting dari aktivita itu bagi dirinya. Akhirnya, orang uga menilai seberapa besar dirinya menjadi penyebab dari suatu performansi, apakah kepada diri sendiri dapat dikenai atribusi (penyebab) tercapainya performansi, yang baik, atau sebaliknya justru dikenai atibusi terjadinya kegagalan dan performansi yang buruk 3. Reaksi-diri-afektif (self response) : akhirnya berdasarkan pengamatan dan judgement itu, orang mengevaluasi diri sendiri positif atau negatif, dan kemudian menghadiahi atau menghukum diri sendiri. Bisa jadi muncul reaksi afektif, karena fungsi kognitif membuat keseimbangan yang mempengaruhi evaluasi positif atau negatif menjadi kurang termakna secara individual. C. EFIKASI DIRI (SELF EFFICATION) Bagaimana orang bertingkahlaku dalam situasi tertentu tergantung kepada resiprokal antara lingkungan dengan kondisi kognitif, khususnya Faktor kognitif yang berhubungan dengan keyakinannya bahwa dia mampu atau tidak melalukan tindakan yang memuaskan. Bandura menyebut keyakinan atau harapan dari ini sebagai efikasi diri, dan harapan hasilnya disebut ekspektasi hasil. 1. Efikasi diri atau efikasi ekspektasi (self effication efficacy expectation) Adalah persepsi diri sendiri mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi dalam situasi tertentu. Efikasi diri berhubungan dengan keyakinan bahwa diri memiliki kemampuan melakukan tindakan yang diharakan. 2. Ekspektasi hasil (outcome expectation) : Adalah perkiraan atau estimasi diri bahwa tingkahlaku yang dilakukan diri itu akan mencapai hasil tertentu. Efikasi adalah penilaian diri, apakah dapat melakukan tindakan yang baik atau buruk, tepat atau salah, bias atau tidak bias mengerjakan sesuai dengan yang dipersyaratkan. Efikasi ini berbeda dengan aspirasi (cita-cita), karena cita-cita menggambarkan sesuatu yang ideal yang seharusnya (dapat dicapai), sedang efikasi menggambarkan penilaian kemampuan diri. Seseorang dokter ahli bedah, pasti mempunyai ekspektasi efikasi yang tinggi, bahwa dirinya mampu melaksanakan operasi tumor sesuai dengan standar professional. Namun ekspektasi hasilnya bias rendah, karena hasil operasi itu sangat tergantung kepada daya tahan jantung pasien, kemurnian obat antibiotic, sterilitas dan infeksi, dan sebagainya. Orang bisa memiliki ekspektasi hasilnya tidak realistic (apa yang

diharapkan sesuai dengan kenyataan hasilnya), atau sebaliknya ekspektasi hasilnya tidak realistic (mengharap terlalu tinggi dari hasil nyata yang dapat dicapai dengan tuntutan situasi) dan harapan hasilnya realistic (memperkirakan hasil sesuai dengan kemampuan diri), orang itu akan bekerja keras dan bertahan mengerjakan tugas sampai selesai. D. SUMBER EFIKASI DIRI Perubahan tingkahlaku, dalam system Bandura kuncinya adalah perubahan ekspektasi efikasi (efikasi diri). Efikasi diri atau keyakinan diri itu dapat diperoleh, diubah, ditingkatkan atau diturunkan, melalui salah satu atau kombinasi empat pengalaman vikarius (vicarious experience), persuasi sosial (sosial persuation) dan pembangkitan emosi (Emotional Physiological states). a. Pengalaman performansi Adalah prestasi yang pernah dicapai pada masa yang telah lalu. Sebagai sumber, performansi masa lalu menjadi pengubah efikasi diri yang paling kuat pengaruhnya. Prestasi (masa lalu) yang nbagus meningkatkan ekspektasi efikasi, sedang kegagalan akan menurunkan efikasi. Mencapai keberhasilan akan memberi dampak efikasi yang berbedabeda, tergantung proses pencapaiannya : 1. Semakin sulit tugasnya, keberhasilan akan memberi efikasi semakin tinggi. 2. Kerja sendiri, lebih meningkatkan efikasi disbanding kerja kelompok, dibantu orang lain 3. Kegagalan menurunkan efikasi, kalau orang merasa sudah berusaha sebaiknya mungkin. 4. Kegagalan dalam suasana emosional / stress, dampaknya tidak seburuk kalau kondisinya optimal. 5. Kegagalan sesudah orang memiliki keyakinan efikasi yang kuat, dampaknya tidak seburuk kalau kegagalan itu terjadi pada orang yang keyakinan efikasinya belum kuat. 6. Orang yang biasa berhasil, sesekali gagal tidak mempengaruhi efikasi.

Tabel 2 Strategi Pengubahan Sumber Ekspektasi Efikasi

sumber Participant modeling Performance desensition Pengalaman Performansi

Cara Induksi Meniru model yang berprestasi Menghilangkan pengaruh buruk prestasi masa lalu Performance exposure Menonjolkan keberhasilan yang pernah diraih Self-instructed performance Melatih diri untuk melakukan yang terbaik Mengamati model yang nyata Mengamati model simbolik, film, komik, cerita. Sugestion Mempengaruhi dengan kata-kata berdasar kepercayaan

Pengalaman Vikarius

Live-modeling Symbolic modeling

Persuasi Verbal

Exbortation

Nasihat, peringatan yang mendesak / memaksa

Self-instruction Interpretative-treatment

Memerintah diri sendiri Interpretasi baru memperbaiki interpretas lama yang salah

Attribution

Mengubah atribusi, penanggugjawab lama yang salah

Pembangkitan Emosi

Relaxation biofeedback Symbolic desensitization

Relaksasi Menghilangkan sikap emosional dengan modeling simbolik

Symbolic exposure b. Pengalaman Vikarius

Memunculkan emosi secara simbolik

Diperbolehkan melalui model sosial. Efikasi akan meningkat ketika mengamati keberhasilan orang lain, sebaliknya efikasi akan menurun jika mengamati orang yang kemampuannya kira-kira sama dengan dirinya ternyata gagal. Kalau figur yang diamati berbeda dengan diri sipengamat, pengaruh vikarius tidak besar. Sebaliknya ketika mengamati kegagalan figur yang setara dengan dirinya, bisa jadi orang tidak mau mengerjakan apa yang pernah gagal dikerjakan figur yang diamati itu dalam jangka waktu yang lama.

c. Persuasi Sosial Efikasi diri juga dapat diperoleh, diperkuat atau dilemahkan melalui persuasi sosial. Dampak dari sumber ini terbatas, tetapi pada kondisi yang tepat persuasi dari orang lain dapat mempengaruhi efikasi diri. Kondisi itu adalah rasa percaya kepada pemberi persuasi, dan sifat realistic dari apa yang dipersuasikan. d. Keadaan Emosi Keadaan emosi yang mengikuti suatu kegiatan akan mempengaruhi efikasi di bidang kegiatan itu. Emosi yang kuat, cemas, stress, dapat mengurangi efikasi diri. Namun bisa terjadi, peningkatan emosi (yang tidak berlebihan) dapat meningkatkan efikasi diri. Perubahan tingkahlaku akan terjadi kalau sumber ekspektasi berubah. Pengubahan self-efficacy banyak dipakai untuk memperbaiki kesulitan dan adaptasi tingkahlaku orang yang mengalami berbagai masalah behavioral. Keempat sumber itu diubah dengan berbagai strategi yang diringkas dalam tabel 2 E. EFIKASI DIRI SEBAGAI PREDIKTOR TINGKAHLAKU Menurut Bandura, sumber pengontrol tingkahlaku adalah resiprokal antara lingkungan, tingkahlaku, dan pribadi. Efikasi diri merupakan variable pribadi yang penting, yang kalau digabing dengan tujuan-tujuan spesifik dan pemahaman mengenai prestasi, akan menjadi penentu tingkahlaku mendatang yang penting, berbeda dengan konsep-diri (Roger) yang bersifat kesatuan umun, efiaksi diri bersifat fragmental. Setiap individu mempunyai efikasi diri yang berbeda-beda pada situasi yang berbeda, tergantung kepada: 1. kemampuan yang dituntut oleh situasi yang berbeda itu. 2. kehadiran orang lain, khususnya dalam situasi itu. 3. keadaan fisiologi dan emosional : kelelahan, kecemasan, apatis, murung. Efikasi yang tinggi atau rendah, dikombinasikan dalam lingkungan yang responsive atau tidak responsive, akan menghasilkan empat kemungkinan prediksi tingkahlaku. (Tabel 3) Tabel 3 Kombinasi Efikasi dengan Lingkungan sebagai prediktor tingkahlaku Efikasi Tinggi Lingkungan Responsive Prediksi hasil tingkahlaku Sukses, melaksanakan tugas yang sesuai dengan kemampuannya Rendah Tidak responsive Depresi, melihat orang lain sukses pada tugas yang dianggap sulit

10

Tinggi

Tidak responsive

Berusaha keras mengubah lingkungan menjadi responsive, melakukan protes, aktivitas sosial, bahkan melaksanakan perubahan

rendah

Responsive

Orang menjadi apatis, pasrah, merasa tidak mampu

F. EFIKASI KOLEKTIF (COLLECTIVE EFFICACY) Keyakinan masyarakat bahwa usaha mereka secara bersama-sama dapat menghasilkan perubahan sosial tertentu, disebut efikasi kolektif. Ini bukan jiwa kelompok tetapi lebih sebagai efikasi pribadi dari banyak orang yang bekerja sama. Bandura berpendapat, orang berusaha mengontrol kehidupan dirinya bukan hanya melalui efikasi diri individual, tetapi juga melalui efikasi kolektif. Misalnya, dalam bidang kesehatan, orang memiliki efikasi diri yang tinggi untuk berhenti merokok atau melakukan diet, tetapi mungkin memiliki efikasi kolektif yang rendah dalam hal mengurangi polusi lingkungan, bahaya tempat kerja, dan penyakit infeksi. Efikasi diri dan efikasi kolektif bersama-sama saling melengkapi untuk mengubah gaya hidup manusia. Efikasi kolektif timbul berkaitan dengan masalah-masalah perusakan hutan, kebijakan perdagangan internasional, perusakan ozone, kemajuan teknologi, hokum dan kejahatan, birokrasi, perang, kelaparan, bencana alam, dan sebagainya. G. DINAMIKA KEPRIBADIAN Menurut Bandura, motivasi konstruk kognitif yang mempunyai dua sumber, gambaran hasil pada masa yang akan datang (yang dapat menimbulkan motivasi tingkahlaku saat ini), dan harapan keberhasilan didasarkan pada pengalaman menetapkan dan mencapai tujuan-tujuan lainnya. Dengan kata lain, harapan mendapatkan reinforsemen pada masa yang akan datang memotivasi seseorang untuk bertingkahlaku tertentu. Juga, dengan menetapkan tujuan atau tingkat perfomansi yang diinginkan, dan kemudian mengevaluasi performansi dirinya, orang termotivasi untuk bertindak pada tingkat tertentu. Anak yang lemah dalam matematik, tampak meningkat performansinya ketika mereka menetapkan dan berusaha mencapai serangkaian tujuan yang berurutan yang memungkinkan evaluasi diri segera daripada menetapkan tujuan yang jauh dari membutuhkan tingkahlaku diri, akan memberi intensif-diri bertahan dalam berusaha mencapai standar yang telah ditentukan. Bandura setuju bahwaw penguatan menjadi penyebab belajar. Namun orang juga dapat belajar dengan penguat yang diwakilkan (vicarous reinforcement), penguat

11

yang ditunda (expectation reinforcement), atau bahkan tanpa penguat (beyond reinforcement) : 1. Penguatan Vikarius (vicarious reinforcement): mengamati orang lain yang mendapat penguatan, menbuat orang ikut puas dan berusaha belajar gigih agar menjadi seperti orang itu. 2. Penguatan yang ditunda (expectation reinforcement): orang terus menerus berbuat tanpa mendapat penguatan, karena yakin akan mendapat penguatan yang sangat memuaskan pada masa yang akan datang. 3. Tanpa penguatan (beyond reinforcement) : belajar tanpa ada reinforsemen sama sekali, mirip dengan konsep otonomi fungsional dari Allport.

Ekspektasi penguatan dapat dikembangkan dengan mengenali dampak dari tingkahlaku; pengamatan terhadap praktek mengganjar dan menghukum tingkahlakunya sendiri. Orang mengembangkan standar pribadi berdasarkan standar sosial melalui interaksinya dengan orang tua, guru, dan teman sebayanya. Orang dapat mengganjar dan menghukum tingkahlaku sendiri dengan menerima diri atau mengkritik diri. Penerimaan dan kritik diri ini sangat besar perannya dalam membimbing tngkahlaku, sehingga tingkahlaku orang menjadi tetap (konsisten), tidak terus menerus berubah akibat adanya perubahan sosial. Dalam penelitian ditemukan, anak-anak yang diganjar dan dipuji untuk pencapaian yang relatif rendah akan tumbuh dan mengembangkan self-reward yang murah disbanding anak yang standar pencapaiannya tinggi. Begitu pula anak yang mengamati model yang diganjar pada standar pencapaian yang rendah akan menjadi orang dewasa yang murah dalam mengganjar diri sendiri disbanding anak yang mengamati model dengan standar ganjaran tinggi. H. PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN BELAJAR MELALUI OBSERVASI Menurut Bandura, kebanyakan belajar terjadi tanpa reinforsemen yang nyata. Dalam penelitiannya, ternyata orang dapat mempelajari respon baru dengan melihat respon orang lain, bahkan belajar tetap terjadi tanpa ikut melakukan hal yang dipelajari itu, dan model yang diamati juga tidak mendapat reinforsemen dari tingkahlakunya. Melalui observasi orang dapat memperoleh respon yang tidak terhingga banyaknya, yang mungkin diikuti dengan hubungan atau penguatan.

12

a. Peniruan (Modeling) Inti dari belajar melalui observasi adalah modeling. Peniruan atau meniru sesungguhnya tidak tepat untuk mengganti apa yang dilakukan orang model (orang lain), tetapi modeling melibatkan penambahan dan atau pengurangan tingkahlaku yang teramati, menggeneralisir berbagai pengamatan sekaligus, melibatkan proses kognitif. Penelitian terhadap tiga kelompok anak taman kanak-kanak. Kelompok pertama disuruh mengobservasi model orang dewasa yang bertingkah laku agresif, fisik dan verbal, terhadap boneka karet. Kelompok kedua dimintai mengobservasi model orang dewasa yang duduk tenang tanpa menaruh perhatian terhadap boneka karet didekatnya. Kelompok ketiga menjadi kelompok kontrol yang tidak ditugasi mengamati dua jenis model itu. Ketiga kelompok anak itu kemudian dibuat mengalami frustasi ringan, dan setiap anak sendirian ditempatkan di kamar yang ada boneka karet seperti yang dipakai penelitian. Ternyata tingkahlaku setiap kelompok cenderung mirip dengan tingkahlaku model yang diamatinya. Kelompok pertama bertingkahlaku lebih agresif terhadap boneka dibandingkan kelompok lain. Kelompok kedua sedikit lebih agresif disbanding kelompok kontrol. b. Modeling tingkahlaku baru Melalui modeling orang dapat memperoleh tingkahlaku baru. Ini dimungkinkan karena adanya kemampuan kognitif. Stimuli berbentuk tingkahlaku model ditranformasi menjadi gambaran mental, dan yang lebih penting lagi ditranformasi menjadi simbol verbal yang dapat diingat suatu saat nanti. Ketampilan kognitif yang bersifat simbolik ini, membuat orang dapat mentranform apa yang dipelajarinya atau menggabung-gabung apa yang diamatinya dalam berbagai situasi menjadi pola tingkahlaku baru. c. Modeling mengubah tingkahlaku lama Di samping dampak mempelajari tingkahlaku baru, modeling mempunyai dua macam dampak terhadap tingkahlaku lama. Pertama, tingkahlaku model yang diterima secara sosial dapat memperkuat respon yang sudah dimiliki pengamat. Kedua, tingkahlakumodel yang tidak diterima secara sosial dapat memperkuat atau memperlemah pengamat untuk melakukan tingkahlaku yang tidak diterima secara sosial, tergantung apakah tingkahlaku model itu diganjar atau dihukum. Kalau tingkahlaku yang tidak dikehendaki itu justru diganjar, pengamat cenderung meniru tingkahlaku itu, sebaliknya kalau tingkahlaku yang tidak dikehendaki itu dihukum, respon pengamat menjadi semakin lemah.

13

d. Modeling simbolik Dewasa ini sebagian besar modeling tingkahlaku yang berbentuk simbolik. Film dan televise menyajikan contoh tingkahlaku yang tergantung yang mungkin mempengaruhi pengamatnua. Sajian itu berpotensi sebagai sumber model tingkahlaku. e. Medeling kondisioning Modeling dapat digabung dengan kondisioning klasik menjadi kondisioning klasik vikarius (vicarious classical conditioning). Modeling semacam ini banyak dipakai untuk mempelajari respon emosional. Pengamat mengobservasi model tingkahlaku emosional yang mendapat penguatan. Muncul respon esmosional yang sama di dalam diri pengamat, dan respon itu ditujukan ke obyek yang ada didekatnya(kondisioning klasik) saat dia mengamati model itu, atau yang dianggap mempunyai hubungan dengan obyek yang menjadi sasaran emosional model yang diamati. Emosi seksual yang timbul akibat menonton film cabul dilampiaskan ke obyek yang ada didekatnya saat itu (misalnya: menjadi kasus pelecehan dan perkosaan anak). I. FAKTOR-FAKTOR PENTING DALAM BELAJAR MELALUI OBSERVASI Tentu saja, mengamati orang lain melakukan sesuatu tidak mesti berakibat belajar, karena belajar melalui observasi memerlukan beberapa Faktor atau prakondisi. Menurut Bandura, ada empat proses yang penting agar belajar melalui observasi dapat terjadi, yakni: 1. Perhatian (attention process) : sebelum meniru orang lain, perhatian harus dicurahkan ke orang itu. Perhatian ini dipengaruhi oleh asosiasi pengamat dengan modelnya, sifat model yang atraktif, dan arti penting tingkahlaku yang diamati bagi si pengamat. 2. Representasi (representation process) : Tingkahlaku yang akan ditiru, harus disimbolisasikan dalam ingatan, baik dalam bentuk verbal maupun dalam bentuk gambaran/imajinasi. Representasi verbal memungkinkan orang mengevaluasi secara verbal tingkahlaku yang diamati, dan menentukan mana yang dibuang dan mana yang akan dicoba dilakukan. Representasi imajinasi memungkinkan dapat dilakukan latihan simbolik dalam fikiran, tanpa benar-benar melakukannya secara fisik. 3. Peniru tingkahlaku model (behavior product process) : sesudah mengamati dengan penuh perhatian, dan memasukkannya ke dalam ingatan, orang lalu bertingkahlaku. Mengubah dari gambaran fikiran menjadi tingkahlaku menimbulkan kebutuhan evaluasi; Bagaimana melakukannya? Apa yang harus dikerjakan? Apakah sudah benar? Berkaitan dengan kebenaran, hasil belajar melalui observasi tidak

14

dinilai berdasarkan kemiripan respon dengan tingkahlaku yang ditiru, tetapi lebih pada tujuan belajar dan efikasi dari belajar. 4. memotivasi dan penguatan (motivation and reinforcement process) : Belajar melalui pengmatan menjadi efektif kalau pebelajar memiliki motivasi yang tinggi untuk dapat melakukan tingkahlaku modelnya. Observasi mungkin memudahkan orang untuk menguasai tingkahlaku tertentu, tetapi kalau motivasi untuk itu tidak ada, tidak bakal terjadi proses belajar. Imitasi lebih kuat terjadi pada tingkah laku model yang diganjar, daripada tingkahlaku yang dihukum. Imitasi tetap terjadi walaupun model tidak diganjar, sepanjang pengamat melihat model mendapat cirri-ciri positif yang menjadi tanda dari gaya hidup yang berhasil, sehingga diyakini model umumnya akan diganjar. Motivasi banyak ditentukan oleh kesesuaian antara karakteristik pribadi pengamat dengan karateristik modelnya. Cirri-ciri model seperti usia, status sosial, seks, keramahan, dan kemampuan, penting dalam menentukan tingkat imitasi. Anak lebih senang meniru model seusianya daripada model dewasa. Anak juga cenderung meniru model yang standar prestasinya dalam jangkauannya, alih-alih model yang standarnya diluar jangkauannya. Anak yang sangat dependen cenderung mengimitasi model yang dependennya lebih ringan. Imitasi juga dipengaruhi oleh interaksi antara cirri-ciri model dengan observerbya. Anak cenderung mengimitasi orang tuanya yang hangat dan open (jw), gadis lebih mengimitasi ibunya. a. Dampak Belajar Setiap kali respon dibuat, akan diikuti dengan berbagai konsekuensi, ada yang konsekuensinya menyenangkan, ada yang tidak menyenangkan, ada yang tidak masuk kesadaran sehingga dampaknya sangat kecil. Penguatan baik positif maupun negatif dampaknya tidak otomatis sejalan dengan konsekuensi respon. Konsekuensi dari suatu respon mempunyai tiga fungsi: 1. Pemberi informasi: memberi informasi mengenai dampak dari tingkahlaku, informasi ini dapat disimpan untuk dipakai membimbing tingkahlaku pada masa yang akan datang. 2. Memotivasi tingkahlaku yang akan datang: Menyajikan data sehingga orang dapat membayangkan secara simbolik hasil tingkahlaku yang akan datang, di mana pemahaman mengenai apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang itu diperoleh dari pemahaman mengenai konsekuensi suatu tingkahlaku.

15

3. Penguat tingkahlaku: Keberhasilan akan menjadi penguat sehingga tingkahlaku menjadi berpeluang diulangi, sebaliknya kegagalan akan membuat tingkahlaku cenderung tidak diulang.

II. APLIKASI A. PSIKOPATOLOGI Bandura sependapat dengan Eysenck dan Wolpe bahwa terapi tingkahlaku dapat efektif mengurangi reaksi kecemasan. Dia tidak percaya bahwa tekanan emosional menjadi elemen kunci penyebab reaksi takut yang berlebihan, sehingga harus dihilangkan agar tingkahlaku dapat berubah. Menurutnya, masalah pokoknya adalah karena itu perlu dikembangkan self-efficacy, agar terjadi perubahan tingkahlaku. Konsep determinis resiprokal menganggap tingkahlaku dipelajari sebagai akibat dari interaksi antara pribaditingkahlaku-lingkungan, termasuk tingkahlaku yang menyimpang. Tingkahlaku patologis itu dipengaruhi oleh Faktor kognitif, proses neurofisiologis, pengalaman masa lalu yang mendapat penguatan, dan nilai fasilitatif dari lingkungan. 1. Reaksi Depresi : Standar pribadi dan penerapan tujuan yang terlalu tinggi, membuat orang rentan mengalami kegagalan, dan akan berakibat orang mengalami depresi. Sesudah dalam depresi, orang cenderung menilai rendah prestasinya, sehingga keberhsilan tetap dipandang sebagai kegagalan. Akibatnya terjadi kesengsaraan yang kronis, merassa tidak berharga, tidak mempunyai tujuan, dan depresi yang mendalam. Penderita depresi melakukan regulsi diri-pengamat diri, proses penilaian, reaksi diri dengan cara yang salah performansinya, atau mangaburkan ingatan prestasinya yang telah lalu. Mereka meremehkan (underestimate) keberhasilan sendiri, sebaliknya melebih-lebihkan (overestimate) kegagalan yang dilakukannya. Dalam proses penilaian, penderita depresi memasang standar yang sangat tinggi sehinggu apapun pencapaian yang diperoleh dinilai sebagai kegagalan, bahkan ketika orang lain memandang dia sangat berhasil, dia tetap menghina prestasinyasendiri. Penderita menempatkan standard an tujuan terlalu tinggi di atas kesadaran efikasi dirinya. Ketika melakukan reaksi-diri, penderita depresi mengadili dirinya secara kasar, buruk lebih-lebih terhadap kekurangan dirinya. Mereka menghukum diri sendiri secara berlebihan terhadap performansi diri yang kurang baik. 2. Fobia : Perasaan takut yang sangat kuat dan mendalam, sehingga berdampak buruk terhadap kehidupan sehari-hari seseorang. Negitu mendalamnya perasaan takut itu, sehingga obyek penyebabnya menjadi kabur, obyek itu digeneralisasikan secara

16

salah. Bandura mengemukakan bahwa media, seperti televise dan surat kabar tanpa sengaja menciptakan fobia. Cerita seram perkosaan, kekejaman perampok, pembunuhan berantai, meneror masyrakat sehinggan mereka (yang sebagian besar tidak pernah mengalami hal itu) tetap merasa tidak aman walaupun pintu-pintu rumah telah terkunci rapat-rapat. Fobia yang dipelajari dari pengamatan lingkungan, menjadi eksis akibat efikasi diri yang rendah, orang merasa tidak mampu menangani suatu masalah yang mengecam sehingga muncul perasaan takut yang kronis. 3. Agresi: Menurut Bandura, agresi diperoleh melalui pengamatan, pengalaman langsung dengan renforsemen positif dan negatif, latihan atau perintah, dan keyakinan yang ganjil (bandingkan dengan Freud dan kawan-kawannya yang menganggap agresi adalah dorongan bawaan). Agresi yang ekstrem menjadi disfungsi atau selahsuai psikologis. Dari penelitian yang dilakukan Bandura, observasi terhadap perilaku agresi akan menghasilkan respons peniruan yang berlebih. Pengamat akan bertingkah laku lebih agresif dibanding modelnya. B. PSIKOTERAPI Sama halnya dengan respons emosi yang dapat diperoleh secara langsung atau secara vicarious, menghilangkan tingkah laku (yang tidak dikehendaki) dapat dilakukan secara langsung atau secara vicarious pula. Penakut dapat mengubah rasa takutnya dengan melihat model yang tanpa rasa takut berinteraksi dengan hal yang ditakutkan itu. Secara umum, terapi yang dilakukan Bandura adalah terapi kognitif sosial. Tujuannya untuk memperbaiki regulasi self, melalui pengubahan tingkah laku dan mempertahankan perubahan tingkah laku yang terjadi. Ada tiga tingkatan keefektifan suatu tritmen yakni; tingkah induksi perubahan, generalisasi, dan pemeliharaan. 1. Tingkat induksi perubahan: Tritmen dikatakan efektif kalau dapat mengubah tingkah laku. Misalnya terapi menghilangkan takut ketinggian penderi akrofobia, sehingga dia berani naik tangga yang tinggi. 2. Tingkat Generalisasi: Tritmen yang lebih tinggi, memungkinkan terjadinya generalisasi. Penderita akrofobia itu bukan hanya berani naik tangga, dia juga berani naik lift, naik kapal terbang, dan membersihkan kaca gedung bertingkat. 3. Tingkat Pemeliharaan: Sering terjadi tingkah laku positif hasil terapi berubah kembali menjadi tingkah laku negatif (khususnya pada tingkah laku habit negatif,

17

merokok, alkoholik, narkotik). Terapi mencapai tingkat efektif yang tertinggi kalau hasil induksi dan generaslisai dapat terpelihara, tidak berubah menjadi negatif. Bandura mengusulkan tiga macam pendekatan tritmen, yakni; latihan penguasaan (desensitisasi modeling), modeling terbuka, dan modeling simbolik. 1. Latihan penguasaan (desensitisasi modeling); mengajari klien untuk menguasai tingkah laku yang sebelumnya tidak bisa dilakukan (misalnya karena takuti). Tritmen konseling dimulai dengan membantu klien mencapai relaksasi yang mendalam. Kemudian konselor meminta klien membayangkan hal yang menakutkannya secara bertahap. Misalnya, ular, dibayangkan melihat ular mainan di etalase toko. Kalau klien dapat membayangkan kejadian itu tanpa rasa takut, mereka diminta membayangkan bermain-main dengan ular mainan, kemudian melihat ular dikandang kebun binatang, kemudian menyentuh ular, sampai akhirnya menggendong ular. Ini adalah model desensitisasi sistematik yang pada paradigma behaviourisme desensitisasi sistematik dalam pikiran (karena itu teknik ini terkadang disebut: modeling kognitif) tanpa memakai penguatan yang nyata. 2. Modeling terbuka (modeling partisipan); Klien melihat model nyata, biasanya diikuti dengan klien berpartisipasi dalam kegiatan model, dibantu oleh modelnya meniru tingkah laku yang dikehendaki, sampai akhirnya mampu melakukan sendiri tanpa bantuan. 3. Modeling simbolik; Klien melihat model dalam film, atau gambar/cerita. Kepuasan vikarious (melihat model mendapat penguatan) mendorong klien untuk

mencoba/meniru tingkah laku modelnya. Ketika hasilnya dibandingkan, desensitisasi modeling dan modeling simbolik relatif sama kekuatannya untuk menghilangkan rasa takut. Namun yang paling berhasil menghilangkan rasa takut adalah modeling partisipan. III. METODOLOGI Bandura banyak meneliti masalah dunia nyata dalam laboratorium, seperti masalah agresi, fobia, penyembuhan dari serangan jantung, perolehan kemampuan matematik pada anak. Tujuan pokoknya adalah untuk menyatukan kerangka konseptual yang dapat mencakup berbagai hal yang mempengaruhi perubahan tingkah laku. Dalam

18

setiap kegiatan, keterampilan dan keyakinan diri yang menjamin pemakaian kemampuan secara optimal dibutuhkan agar diri dapat berfungsi sukses. Bandura mengembangkan microanalytic approach: riset yang mementingkan asesmen yang ditil sepanjang waktu untuk mencapai keselarasan antara persepsi diri dengan tingkah laku pada setiap tahap performasi tugas. Teknik ini cocok untuk strategi penelitian yang melacak perubahan setiap saat, penelitian yang menganalisis proses, bukan hasil. A. PENERAPAN TEORI BANDURA 1. Studi tentang Pendidikan moral Pendidikan moral sendiri begitu penting dalam kehidupan manusia dan pada saat ini telah terjadi dekadensi moral (penurunan nilai-nilai moral) yang sangat parah dalam kehidupan sehari-hari. Proses perkembangan sosial dan moral siswa menurut Albert Bandura selalu berkaitan dengan proses belajar sebab proses belajar tersebut sangat menentukan kemampuan siswa dalam bersikap dan berperilaku sosial yang selaras dengan norma moral agama, tradisi, hukum, dan norma moral lainnya yang berlaku dalam masyarakat siswa yang bersangkutan sehingga perkembangan sosial anak selalu dihubungkan dengan perkembangan perilaku moral yaitu perilaku baik dan buruk menurut norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. 2. Terorisme dan Persepsi Lama Barat Pada dasarnya perilaku seseorang bersandar pada ukuran-ukuran moral yang dia yakini (Albert Bandura, 2003). Menurut Bandura, seseorang tidak merasa nyaman jika perbuatan yang dilakukannya menyalahi atau melanggar nilai-nilai kebaikan yang diyakininya. Perasaan tidak nyaman tersebut mencegah seseorang dari perbuatan yang diyakininya tidak baik. Lalu bagaimana kaitannya dengan pelaku teror? Bandura menyebutkan bahwa perbuatan baik maupun jahat itu dapat diinterpretasi secara luwes. Perbuatan membunuh bagi seorang aktivis HAM adalah kejahatan besar, namun tidak demikian halnya bagi seorang prajurit yang sedang berada dalam medan peperangan. Contoh nyata digambarkan oleh Bandura pada kasus sersan York, salah seorang pejuang fenomenal dalam sejarah perang modern (Albert Bandura, 2003). Lantaran keyakinan agamanya yang kuat, sersan York tercatat sebagai penolak

19

wajib militer, tetapi segala pembelaan dirinya ditolak. Di tansi tentara, komandan Batalionnya mengutip surat dan ayat dari Injil untuk meyakinkan dia bahwa dalam keadaan-keadaan yang tepat agama Kristen memerintahkan untuk membunuh orang lain. Setelah itu akhirnya sersan York menjadi seorang prajurit yang bersemangat untuk membunuh. Penjelasan Bandura itu menerangkan bahwa pelaku teror memiliki landasan moral. Teror dinilai sebagai sebuah perbuatan baik bahkan mulia. Namun, jauh sebelum memasuki pandangan itu, pelaku teror mengalami pergulatan nilai. Proses transformasi tersebut tidak sederhana. Teror bom bunuh diri di Palestina dan Irak misalnya, adalah potret tentang pergulatan nilai yang sangat rumit. Mereka memilih bom bunuh diri setelah mengalami pergulatan panjang dengan kekerasan dan ketidakadilan. Jadi, perubahan interpretasi tentang aksi teror melibatkan pengalaman dan perspektif. Di sinilah terorisme menemukan kekuatan militansinya. 3. Hakikat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Albert Bandura (1969) menjelaskan sistem pengendalian perilaku Belajar adalah perubahan perilaku sebagai fungsi pengalaman. Didalamnya tercakup perubahanperubahan afektif, motorik dan kognitif yang tidak dihasilkan oleh sebab-sebab lain. Albert Bandura (1969) menjelaskan sistem pengendalian perilaku. Stimulus control. Perilaku yang muncul di bawah pengendalian stimulus eksternal, seperti bersin, bernafas dan mengedipkan mata. Outcome control. Perilaku yang dilakukan untuk mencapai hasilnya, berorientasi pada hasil yang akan dicapai. Symbolic control. Perilaku yang diarahkan oleh kata-kata yang dirumuskan, atau diarahkan oleh antisipasi yang diimajinasikan dari hasil yang akan dicapai. Beberapa ide umum tentang pengalaman belajar: 1. Keterlibatan dalam pengalaman belajar mempunyai pengaruh penting terhadap pembelajaran. 2. Suasana yang bebas dan penuh kepercayaan akan menunjang kehendak peserta didik untuk mau melaksanakan tugas sekalipun mengandung risiko. 3. Strategi yang mendalam dapat dipergunakan namun pengaruh penting terhadap beberapa aspek, seperti; usia, kematangan, kepercayaan dan penghargaan terhadap orang lain.

20

4. Pada umumnya pembelajaran berpengaruh kepada hal-hal khusus seperti menghargai orang lain dan bersikap hati-hati kepada yang baru dikenal. 5. Terdapat banyak pengaruh yang dapat dipelajari melalui model (orang tua dan guru) sedang peserta didik berusaha menirunya. Gaya belajar adalah kunci untuk mengembangkan kinerja dalam pekerjaan, di sekolah dalam situasi-situasi antara pribadi. Kepada guru diharapkan untuk menyadari bahwa setiap orang mempunyai cara yang tertentu untuk mempelajari informasi baru agar tercapai semaksimum mungkin. Pengalaman belajar seseorang sangat erat kaitannya dengan gaya belajar, cara belajarnya, yang dipengaruhi oleh berbagai variabel, yaitu faktor-faktor fisik, emosional, sosiologis dan lingkungan. Pada awal pengalaman belajar, langkah pertama yang perlu dilakukan ialah mengenali modalitas kita masing-masing yaitu bagaimana menyerap informasi dengan mudah. Apakah modalitas kita visual, yaitu belajar melalui apa yang dilihat, apakah auditorial yaitu belajar melalui apa yang didengar, apakah kinestetik, yaitu belajar melalui gerak dan sentuhan. Dalam mengajar, guru hendaknya mampu mengomunikasikan materi dan menyampaikan informasi dengan menggunakan berbagai metode mengajar agar setiap anak dapat menyerap dan memahaminya untuk kemudian digunakan pada saat diperlukan. Hal ini hanya dapat dicapai bila guru mengetahui karakteristik muridmuridnya yang visual, yang auditorial maupun yang kinestik. Konsepsi pengajaran tradisional yang mementingkan perkembangan intelektual kemudian berubah. Sekolah yang modern lebih memperhatikan seluruh pribadi anak itu, baik mengenai segi emosi, sosial, jasmani maupun segi intelektualnya. Sekolah berusaha dengan sengaja mengembangkan semua aspek pribadi anak dengan memberikan bahan pelajaran yang sesuai dan dengan cara penyampaian yang bervariasi. Sebenarnya pribadi anak itu tidak dapat dipecah-pecah beberapa bagian yang terpisah-pisah. Dalam segala tindakannya manusia itu bersikap sebagai suatu keseluruhan yang utuh. 4. Penyebaran Tv Kekerasan Melalui Modeling Bandura punya alasan utama bahwa kita dapat belajar mengamati oleh orang lain. Dia menganggap pengalaman yang menjadi cara yang khas manusia berubah. Dia menggunakan istilah pemodelan untuk menjelaskan Campbell dari dua midrange proses

21

akuisisi Tanggapan (pengamatan pihak lain respon dan pemodelan), dan ia mengklaim bahwa pemodelan dapat memiliki banyak dampak langsung sebagai pengalaman. Teori belajar sosial adalah teori umum dari perilaku manusia, tetapi Bandura dan orang-orang yang berkaitan dengan komunikasi massa telah menggunakannya secara khusus untuk menjelaskan efek media. Bandura peringatan bahwa anak-anak dan orang dewasa mendapatkan sikap, emosi tanggapan, dan gaya baru yang melakukan melalui televisi modeling dan film. Penelitian Bandura mengenai boneka Bobo merupakan demonstrasi dari belajar observasional dan ditunjukkan bahwa anak cenderung terlibat dalam perlakuan yang bengis terhadap boneka setelah melihat orang dewasa di televisi melakukan hal tersebut pada boneka yang sama. Bagimanapun, anak mungkin akan melakukan peniruan bila perilaku model mendapat penguatan. Permasalahannya, seperti diteliti oleh Otto Larson (1968), bahwa 56% karakter dalam acara televisi anak mencapai tujuannya melalui tindakan kekerasan. Gambar perampas, pidana atau menggunakan kekuatan untuk mendapatkan cara sendiri. Sosial belajar teori postulates tiga tahapan penting dalam hubungan antara sebabmusabab televisi dan kekerasan fisik sebenarnya berbahaya lain: perhatian, ingatan, dan motivasi. 5. Mereduksi Kecemasan Menurut Bandura Bandura mengatakan bahwa perkiraan individu terhadap kemampuan sendiri dalam mengatasi situasi merupakan salah satu faktor yang berguna dalam mereduksi kecemasan. Bandura menegaskan perkiraan yang positif terhadap kemampuan diri sendiri dalam mengatasi situasi dan perkiraan individu yang positif terhadap kemungkinan terjadinya akibat akibat tertentu pada situasi yang akan dihadapi akan berpengaruh menurunkan kecemasan. Lebih lanjut Bandura menjelaskan bahwa disfungsi dan penderitaan termasuk kecemasan yang dialami manusia disebabkan karena masalah cara berpikirnya hal ini disebabkan karena dalam berpikirnya sering mengingat pengalaman yang menyakitkan dan masa depan yang tidak pasti, yang diciptakan sendiri sehingga manusia meragukan diri sendiri dan mempunyai ide menyalahkan diri sendiri. (Rahayu, Iin Tri dkk (Fakultas Psikologi UIN Malang). Hubungan Pola Pikir Positif Dengan Kecemasan Berbicara di Depan Umum. Jurnal Psikologi UNDIP, V0l.1, No.2, Desember 2004)

22

Teori Bandura Dalam Penerapannya Dalam Bidang Computer Anxiety Dan Keahlian User Computing Dalam Penggunaan Teknologi Informasi Teori kognitif sosial oleh Bandura dikembangkan dalam dua set ekspektasi kekuatan kognitif utama yang menjadi guide perilaku. Pada seting pertama, ekspektasi dihubungkan dengan outcome. Para individu yang dapat lebih memahami aspek perilaku, akan percaya bahwa outcome yang lebih bernilai bila dibandingkan dengan individu yang tidak mampu memahami konsekuensi yang menguntungkan. Kedua, oleh Bandura (dalam Compeau dan Higgins, 1995) ekspektasi ini disebut sebagai self efficacy yang merupakan kepercayaan individu mengenai kemampuan untuk membentuk suatu perilaku tertentu. Adapun definisi self efficacy menurut Bandura (1986 dalam Campeau dan Higgins, 1995) adalah Peoples judgmentsof their capabilities to organize and executee courses of acion requird to attain designated types of performances. It is concernednot with the skills one has but with judgements of what one can do with whatever skills one possesses. Dari definisi tersebut menunjukan karakteristik kunci dari konstrak self efficacy yakni komponen skill/keahlian dan ability/kemampuan dalam hal mengorganisir dan melaksanakan suatu tindakan. Dalam konteks komputer, computer self efficacy menggambarkan persepsi individu tentang kemampuannya menggunakan komputer untuk menyelesaikan tugastugas seperti menggunakan paket-paket software untuk analisis data, menulis surat mail merge dengan menggunakan word processor lebih dari pada sekedar keahlian yang sederhana seperti memformat disket atau booting ulang komputer. Istilah self efficacy telah merupakan suatu konstrak penting dalam psikologi telah banyak digunakan para peneliti seperti yang dikutip oleh Compeau dan Higgins (1995) yang dikaitkan dengan variabel-variabel lain seperti untuk mempengaruhi keputusan perihal perilaku yang dilakukan (Bandura, dkk,1977; Betz dan Hackett,1981), tanggapan emosional (termasuk stres dan anxiety) dalam membentuk perilaku (Bandura, dkk1977; Stumpf,dkk, 1987), serta pencapaian kinerja aktual individu yang dihubungkan dengan perilaku (collins, 1985;Locke, dkk, 1984;Wood dan bandura, 1989).

23

IV. PENUTUP Evaluasi Teori kognitif sosial Bandura mengembangkan hipotesis dan riset yang paling banyak jumlahnya, dibanding teori kepribadian lainnya. Di antara ratusan penelitian yang menguji asumsi-asumsi Bandura, topik yang paling luas diteliti adalah efikasi diri dan modeling kekerasan. Ranah pendidikan dan dunia kerja memanfaatkan efikasi diri untuk meramalkan taraf sukses seseorang pada masa yang akan datang. Penelitian modeling yang paling penting dan banyak dikutip orang adalah menguji dampak kekerasan dan agresi film televisi dan film bioskop. Memang hanya 10 % dari penonton film kekerasan yang terpengaruh oleh film kekerasan, di mana mereka menjadi lebih agresif dibandingkan kalau mereka tidak menonton film itu. Jumlah prosentase itu kalau dikalikan dengan populasi, memberi angka yang sangat besar. Belum tentu yang 10 % itu menjadi Jahat namun paling tidak mereka mempunyai peluang yang lebih besar untuk mengekspresikan agresi yang salahsuai. Teori kognitif sosial dikelompokkan ke dalam paradigma behavioristik, karena hanya membahas aspek kepribadian yang ada di permukaan, tingkah laku yang tampak. Penekanan pada tingkah laku yang dapat diamati (observable) itu, berakibat Bandura melupakan atau mengabaikan aspek perbedaan manusia, kekuatan motivasi yang disadari dan tidak disadari. Fungsi kognitif sebagai wakil nilai-nilai kemanusiaan, penentu tingkah laku. Teori kognitif sosial mempelajari ekspektasi, kontrol, penguatan diri, kecemasan dan pertahanan, dan variabel yang terlibat dengan belajar melalui pengamatan. Namun semuanya dibiarkan dalam potongan-potongan dan tidak disatukan dalam satu sintesa yang komprehensif. Fungsi kognitif yang menjadi sentral dari variabel pribadi, tidak mendapat elaborasi yang cukup, sehingga cakupan proses kognitif bisa menjadi sangat luas semua atribut pribadi.

24

V. KESIMPULAN

Teori ini dikembangkan oleh Albert Bandura seorang psikolog pendidikan dari Stanford University, USA. Teori belajar ini dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana orang belajar dalam seting yang alami/lingkungan sebenarnya.

Bandura (1977) menghipotesiskan bahwa baik tingkah laku (B), lingkungan (E) dan kejadian-kejadian internal pada pembelajar yang mempengaruhi persepsi dan aksi (P) adalah merupakan hubungan yang saling berpengaruh (interlocking). Harapan dan nilai mempengaruhi tingkah laku. Tingkah laku sering dievaluasi, bebas dari umpan balik lingkungan sehingga mengubah kesan-kesan personal. Tingkah laku mengaktifkan kontingensi lingkungan. Karakteristik fisik seperti ukuran, ukuran jenis kelamin dan atribut sosial menumbuhkan reaksi lingkungan yang berbeda. Pengakuan sosial yang berbeda mempengaruhi konsepsi diri individu. Kontingensi yang aktif dapat merubah intensitas atau arah aktivitas.

Tingkah laku dihadirkan oleh model. Model diperhatikan oleh pelajar (ada penguatan oleh model). Tingkah laku (kemampuan dikode dan disimpan oleh pembelajar). Pemrosesan kode-kode simbolik Skema hubungan segitiga antara lingkungan, faktor-faktor personal dan tingkah laku, (Bandura, 1976). Skema Proses Kognitif Pembelajar Pembelajar mampu menunjukkan kompetensi/tingkah laku Performance/unjuk kerja Motivasi pembelajar mengolah tingkah laku Proses perhatian sangat penting dalam pembelajaran karena tingkah laku yang baru (kompetensi) tidak akan diperoleh tanpa adanya perhatian pembelajar. Proses retensi sangat penting agar pengkodean simbolik tingkah laku ke dalam visual atau kode verbal dan penyimpanan dalam memori dapat berjalan dengan baik. Dalam hal ini rehearsal (ulangan) memegang peranan penting.

Proses motivasi yang penting adalah penguatan dari luar, penguatan dari dirinya sendiri dan Vicarius Reinforcement (penguatan karena imajinasi).

Lebih lanjut menurut Bandura (1982) penguasaan skill dan pengetahuan yang kompleks tidak hanya bergantung pada proses perhatian, retensi, motor reproduksi dan motivasi, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur yang berasal dari diri pembelajar sendiri

25

yakni sense of self Efficacy dan selfregulatory system. Sense of self efficacy adalah keyakinan pembelajar bahwa ia dapat menguasai pengetahuan dan keterampilan sesuai standar yang berlaku.

Self regulatory adalah menunjuk kepada 1) struktur kognitif yang memberi referensi tingkah laku dan hasil belajar, 2) sub proses kognitif yang merasakan, mengevaluasi, dan pengatur tingkah laku kita (Bandura, 1978). Dalam pembelajaran sel-regulatory akan menentukan goal setting dan self evaluation pembelajar dan merupakan dorongan untuk meraih prestasi belajar yang tinggi dan sebaliknya. Menurut Bandura agar pembelajar sukses instruktur/guru/dosen/guru harus dapat menghadirkan model yang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pembelajar, mengembangkan self of mastery, self efficacy, dan reinforcement bagi pembelajar. Dari uraian tentang teori belajar sosial, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Belajar merupakan interaksi segitiga yang saling berpengaruh dan mengikat antara lingkungan, faktor-faktor personal dan tingkah laku yang meliputi proses-proses kognitif belajar. 2. Komponen-komponen belajar terdiri dari tingkah laku, konsekuensi-konsekuensi terhadap model dan proses-proses kognitif pembelajar. 3. Hasil belajar berupa kode-kode visual dan verbal yang mungkin dapat dimunculkan kembali atau tidak (retrievel). 4. Dalam perencanaan pembelajaran skill yang kompleks, disamping pembelajaranpembelajaran komponen-komponen skill itu sendiri, perlu ditumbuhkan sense of efficacy dan self regulatory pembelajar. 5. Dalam proses pembelajaran, pembelajar sebaiknya diberi kesempatan yang cukup untuk latihan secara mental sebelum latihan fisik, dan reinforcement dan hindari punishment yang tidak perlu.

26

You might also like