You are on page 1of 38

http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgibin/content.cgi/artikel/teologi_politik-konsep_negara_dalam_quran.

single Masalah negara merupakan urusan duniawi yang bersifat umum, karena itu ia termasuk wilayah ijtihad umat Islam. Mereka harus berusaha untuk menjadikan al-Qur'n sebagai sistem yang konkrit supaya dapat diterjemahkan dalam pemerintahan sepanjang zaman. Dalam rangka menyusun teori politik mengenai konsep negara yang ditekankan bukanlah struktur "negara Islam", melainkan substruktur dan tujuannya. Struktur negara termasuk wilayah ijtihad kaum muslimin sehingga bisa berubah. Sementara substruktur dan tujuannya tetap menyangkut prinsip-prinsip bernegara secara Islami. Namun penting untuk dicatat, bahwa al-Qur'n mengandung nilai-nilai dan ajaran yang bersifat etis mengenai aktifitas sosial-politik umat manusia. Ajaran ini mencakup prinsip-prinsip tentang keadilan, persamaan, persaudaraan, musyawarah, dan lain-lain. Untuk itu, sepanjang negara berpegang kepada prinsip-prinsip tersebut maka pembentukan "negara Islam" dalam pengertian yang formal dan ideologis bukanlah kebutuhan yang urgen.

Pendahuluan
Kesimpulan yang terlalu gegabah jika Islam (al-Qur'n) dikatakan agama yang hanya mengatur persoalan ritual semata. Islam adalah agama universal, agama yang membawa misi rahmatan lil lamn. Islam juga memberikan konsep kepada manusia mengenai persoalan yang terkait dengan urusan duniawi, seperti, bagaimana mengatur sistem perekonomian, penegakan hukum, konsep politik, dan sebagainya. Salah satu bukti tercatat dalam sejarah, ketika Nabi hijrah ke kota Madinah beliau mampu menyatukan masyarakat yang majemuk, terdiri dari berbagai agama dan peradaban yang berbeda dalam satu tatanan masyarakat madani. Dan perjanjian yang belliau deklarasikan dengan orang-orang Yahudi adalah satu cermin terbentuknya negara yang berciri demokrasi. Perjanjian itu mengandung kebijaksanaan politik Nabi untuk menciptakan kestabilan bernegara. Politik yang dimaksud, sebagaimana ungkap Ramlan Surbakti dimaknai sebagai upaya manusia meraih kesempurnaannya atau perjalanan menuju kemaslahatan. Atau, dalam bahasa Aristoteles mengajarkan bagaimana bertindak tepat dan hidup bahagia. Dengan pemahaman ini, politik bernilai luhur, sakral dan tidak bertentangan dengan agama. Setiap manusia yang beragama niscaya berpolitik. Karena itu berpolitik merupakan sesuatu yang inheren dengan kemanusiaan. Pemikiran politik di kalangan umat Islam, khususnya dalam sistem pergantian kepala negara (khalfah) mencuat pada saat Nabi saw wafat. Munculnya pemikiran di bidang ini paling awal jika dibandingkan dengan pemikiran dalam bidang teologi dan hukum. Sebab, kebutuhan akan adanya seorang pemimpin untuk meneruskan misi yang dibangun Nabi sangat mendesak dan tidak bisa ditunda. Sehingga tidak mengherankan kalau masyarakat Madinah sibuk memikirkan penggantinya, dan penguburan Nabi menjadi soal kedua bagi mereka. Dalam makalah ini penulis ingin membaca dan mengkaji kembali konsep negara dalam al-Qur'n yang diyakini sebagai kitab hudan (petunjuk) dan menaburkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia.

Embrio Pemikiran Politik Islam

Pemikiran di bidang politik sebagai cikal bakal diskursus konsep negara baru muncul pada periode dinasti 'Abbasiyah. Karya-karya intelektual muslim (Sunni) sebelumnya lebih terfokus pada persoalan fiqh, kalam, dan hadis. Hal ini terjadi karena meskipun faktor yang menyebabkan munculnya kelompok-kelompok atau aliran-aliran dalam Islam adalah persoalan politik, tetapi wacana intelektual yang mengemuka lebih awal adalah masalah teologi yang kemudian diikuti masalah hukum. Ada dua faktor yang menyebabkan terabaikannya disiplin ilmu politik pada periode ini.

Pertama, meskipun paham-paham Islam lahir dari sebuah pergolakan politik, implikasi dari lahirnya kelompok politik yang ada adalah munculnya persoalan teologis. Karena persoalan ini membutuhkan pemecahan yang serius pada saat itu. Kedua, hubungan intelektual dunia Islam dengan dunia luar, khususnya peradaban Yunani belum berjalan secara intens.

Namun tidak bisa disangkal walaupun diskursus konsep negara baru muncul pada periode dinasti 'Abbasiyah tetapi ketegangan dan benturan internal mengenai pengganti kedudukan Nabi sebagai pemimpin merupakan awal sumber konflik berbias politik di kalangan umat Islam. Dalam pertemuan yang berlangsung di Saqfah Ban Sa'dah muncul tiga ide politik, yaitu: Kembali ke Sistem Kabilah Setiap kabilah mengangkat pemimpin mereka sendiri. Ide ini muncul dari kalangan Ban Khazraj dan kaum separatis (riddah). Sistem Hak Warisan Ide ini lahir dari kalangan Ban Hsyim berdasarkan pemikiran dan kebiasaan orang Arab selatan. Tokoh terkemuka pendukukng ide ini ialah al-Abbs, 'Al, dan Zubair. Ide Persatuan Melalui Permusyawaratan Ide ini didukung kaum muhajirin, kecuali Ban Hsyim. Ide ini selain sesuai dengan perintah alQur'n agar umat Islam tidak terpecah belah dan selalu bermusyawarah atas asas persatuan yang berkeadilan dalam memecahkan setiap persoalan. Sebenarnya pemikiran politik Islam sejak awal sampai dengan masa Ibn Taimiyah merupakan produk teori yang lahir dari kelompok dalam tubuh umat Islam, dan secara umum merupakan tanggapan pada suasana sejarah yang spesifik. Dua dari kelompok tersebut adalah Khawrij dan Syi'ah, mereka mengajukan pandangannya tentang ciri-ciri pemerintahan Islam pada awal sejarah negara Islam dengan menghasilkan teori immah bagi Syi'ah yang bersifat mistis, dan kecendrungan berpikir revolusioner bagi Khawrij. Kelompok yang ketiga hadir adalah Sunni yang mengedepankan teori kekhilafahannya. Di bawah pemerintahan 'Abbasiyah dunia ilmu pengetahuan mengalami masa keemasan, khususnya dalam dua ratus tahun pertama dari lima ratus tahun keemasan dinasti itu. Berkat kelonggaran dan bahkan dukungan dari para penguasa waktu itu di mana kegiatan para ilmuwan

dari berbagai disiplin amat melonjak. Dengan demikian, perkenalan para ilmuwan Islam dengan alam pikiran Yunani makin meluas dan mendalam. Proses ini pada gilirannya menimbulkan masalah kenegaraan secara rasional dan kemudian lahirlah sejumlah pemikir Islam beserta gagasannya. Misalnya, Syihb al-Dn Ahmad Ibn Ab Rbi' kemudian disusul al-Farabi, alMwardi, al-Ghazali, Ibn Taimiyah yang hidup setelah runtuhnya kekuasaan 'Abbasiyah di Baghdad, dan Ibn Khaldn yang hidup pada abad XIV M. Mereka itu dapat dianggap sebagai eksponen yang mewakili pemikiran politik umat Islam pada zaman pertengahan. Munawir Sjadzali berpendapat, terdapat dua ciri umum mengenai gagasan politik dari enam pemikir di atas.

Pertama, pada pendapat mereka tampak jelas adanya pengaruh alam pikiran Yunani, terutama pandangan Plato meskipun kadar pengaruh itu tidak sama antara satu pemikir dengan pemikir yang lain. Kedua, selain al-Farabi, mereka mendasarkan pemikirannya atas penerimaan terhadap sistem kekuasaan yang ada pada zaman mereka masing-masing.

Jatuhnya Baghdad pada pertengahan abad XIII M yang menandai tamatnya dinasti 'Abbasiyah yang disebabkan faktor-faktor internal, yang kemudian disusul munculnya problem baru dari luar maka muncullah gerakan pembaharuan atau mungkin lebih tepat pemurnian kembali ajaran Islam dengan pengertian dasar dan sasaran yang tidak selalu sama antara satu gerakan dengan gerakan yang lain. Juga dalam pandangan Munawir terdapat tiga hal yang melatarbelakangi pemikiran politik Islam kontemporer yang muncul setelah jatuhnya Baghdad atau pada waktu menjelang akhir abad XIX M.

Pertama, kemunduran dan kerapuhan dunia Islam yang disebabkan faktor-faktor internal yang berakibat munculnya gerakan pembaharuan dan pemurnian. Kedua, rongrongan Barat terhadap keutuhan kekuasaan politik dan wilayah dunia Islam yang berakhir dengan dominasi atau penjajahan negara Barat atas sebagian besar wilayah dunia Islam, dengan akibat rusaknya hubungan yang selama ini baik antara dunia Islam dan Barat, dan berkembangnya di kalangan umat Islam semangat permusuhan dan sikap anti Barat. Ketiga, keunggulan Barat dalam bidang ilmu, teknologi, dan organisasi.

Para pemikir politik Islam pada periode pembaharuan (purifikasi) ini dapat dikategorikan dalam tiga varian besar, yaitu: Kelompok Konservatif Ciri yang menonjol dari kelompok ini adalah adanya aksioma ideologis yang dibangun berdasarkan ajaran Islam bahwa, Islam adalah agama yang sempurna, lengkap, komprehensip, dan berlaku universal untuk seluruh umat manusia di semua tempat dan waktu. Tokoh kelompok ini, Sayyid Quthb, Hasan al-Bann, Hasan al-Turab, dan Abul A'l al-Maudud.

Kelompok Modernis Kelompok ini mengajukan upaya reformasi dalam rangka menemukan kembali rasionalisme, saintisme, dan progesivisme dalam Islam. Tokoh kelompok ini, Jamaluddn al-Afghan dan Muhammad 'Abduh. Kelompok Liberal Kelompok ini pada intinya ingin melihat perubahan radikal-fundamental dalam pola berpikir umat Islam yang dianggap stagnan dengan mengedepankan semangat dekonstruksi pemikiran Islam yang telah mapan. Tokoh kelompok ini adalah 'Ali 'Abd al-Rziq dan Thah Husein.

Konsep Negara dalam al-Qur'n


Para pemikir politik Islam abad pertengahan banyak mengadopsi pikiran Plato dan Aristoteles mengenai konsep terbentuknya negara. Mereka berangkat dari asumsi dasar bahwa manusia adalah makhluk sosial. Seperti dikatakan al-Ghazal, manusia itu tidak dapat hidup sendirian yang disebabkan oleh dua hal.

Pertama, kebutuhan akan keturunan demi kelangsungan hidup umat manusia, hal itu hanya mungkin melalui pergaulan antara laki-laki dan perempuan serta keluarga. Kedua, saling membantu dalam penyediaan bahan makanan, pakaian, dan pendidikan anak.

Kebutuhan akan kerja sama untuk mengadakan segala yang diperlukan bersama akan berakibat timbulnya semacam pembagian tugas di antara anggota masyarakat, kemudian lahirlah kelompok petani, pekerja, dan sebagainya. Semua faktor ini memerlukan kerja sama yang baik antar sesamanya. Untuk itu diperlukan tempat tertentu, dan dari sinilah lahir suatu negara. Dalam pandangan Ibn Taimiyah negara dan agama saling berkelindan, tanpa kekuasaan negara yang bersifat memaksa agama berada dalam bahaya. Tanpa disiplin hukum wahyu, negara pasti menjadi sebuah organisasi yang tiranik. Juga dengan Ibn Khaldn, organisasi kemasyarakatan suatu kemestian bagi manusia. Tanpa itu eksistensi mereka tidak akan sempurna, sebagaimana kehendak Allah menjadikan mereka sebagai khalfah-Nya untuk memakmurkan bumi. Dalam dunia Islam, ungkap Din Syamsuddin, secara umum kita menemukan tiga bentuk paradigma tentang hubungan agama dan negara. Paradigma pertama memecahkan masalah dikotomi dengan mengajukan konsep bersatunya agama dan negara. Agama dan negara dalam hal ini tidak dapat dipisahkan. Wilayah agama juga meliputi politik atau negara, karenanya menurut paradigma ini negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Paradigma ini dianut kelompok Syi'ah, di mana pemikiran politiknya memandang bahwa negara (immah atau kepemimpinan) adalah lembaga keagamaan dan mempunyai fungsi kenabian. Dalam pandangannya, legitimasi keagamaan berasal dari Tuhan dan diturunkan lewat garis

keturunan Nabi. Legitimasi politik harus berdasarkan legitimasi keagamaan, dan hal ini hanya dimiliki para keturunan Nabi SAW. Berbeda dengan pemikiran politik Sunni, kelompok ini menekankan ijma' (konsesus) dan bai'ah (penbaiatan) kepada kepala negara. Sementara Syi'ah menekankan wilyah (kecintaan dan pengabdian kepada Tuhan) dan ishmah (kesucian dari dosa) yang hanya dimiliki para keturunan Nabi yang berhak dan absah untuk menjadi kepala negara (imm). Sebagai lembaga politik yang didasarkan atas legitimasi keagamaan dan mempunyai fungsi menyelenggarakan "kedaulatan Tuhan" dalam perspektif syi'ah, negara bersifat teokrasi. Menurut salah seorang kelompok ini, al-Maudud (w. 1979 M), syari'at tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik (negara). Syari'at adalah skema kehidupan yang sempurna dan meliputi seluruh tatanan kemasyarakatan, tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang. Namun dia menolak istilah teokrasi, dan memilih istilah teodemokrasi, karena konsepsinya memang mengandung unsur demokrasi, yaitu adanya peluang bagi rakyat untuk memilih pemimpin negara. Paradigma kedua memandang agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yaitu berhubungan erat secara timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral. Al-Mward (w. 1058 M) menegaskan bahwa kepemimpinan negara merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia. Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia merupakan dua jenis aktivitas yang berbeda, namun berhubungan secara simbiotik. Keduanya merupakan dua dimensi dari misi kenabian. Seorang pemikir lain yang juga dapat disebut sebagai pembawa pandangan simbiosa agama dan negara adalah al-Ghazal (w. 1111 M). Konsep far'i izd yang menjadi dasar simbiosa agama dan negara dalam pemikirannya mempunyai akar sejarah pada pemikiran pra-Islam Iran. Konsep ini mengandung arti kualitas tertentu yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin atau kepala negara, seperti pengetahuan, keadilan, dan kearifan. Kualitas demikian diyakini bersumber pada Tuhan dan bersifat titisan. Peradigma ketiga bersifat sekuralistik. Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun simbiotik antara agama dan negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekuralistik menolak pendasaran agama pada negara, atau paling tidak menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu pada negara. Pada tahun 1925 'Ali Abdur Raziq menerbitkan risalah yang berjudul al-Islm Wa ushl alHukm, dikatakan bahwa Islam (al-Qur'n) tidak mempunyai kaitan apapun dengan sistem pemerintahan kekhalifahan, termasuk dengan khulafur rsyidn bahwa aktivitas mereka bukan sebuah sistem politik keagamaan, tetapi sebuah sistem duniawi. Islam tidak menetapkan rezim pemerintahan tertentu, tidak pula mendesak kepada kaum muslimin tentang sistem pemerintahan tertentu lewat mana mereka harus diperintah, tetapi Islam telah memberikan kebebasan mutlak untuk mengorganisasi negara sesuai dengan kondisi intelektual, sosial, dan ekonomi serta mempertimbangkan perkembangan sosial dan tuntutan zaman. Bahkan ia menolak keras

pendapat yang mengatakan bahwa Nabi pernah mendirikan suatu negara di Madinah. Menurutnya, Nabi adalah utusan Allah, bukan seorang kepala negara atau pemimpin politik. Dari pandangannya dapat disimpulkan, masyarakat Islam bukanlah masyarakat politik. Akan tetapi selalu ada peluang bagi masyarakat untuk mewujudkan bentuk pemerintahan Islam yang sesuai dengan konteks budaya. Ia sebenarnya tidak bermaksud mengatakan bahwa Islam tidak menganjurkan pembentukan suatu negara. Sebaliknya, Islam memandang penting kekuasaan politik. Tetapi hal ini tidak berarti pembentukan negara merupakan salah satu ajaran dasar Islam. Dengan lain ungkapan, kekuasaan politik diperlukan umat Islam, tetapi bukan karena tuntutan agama, melainkan tuntutan situasi sosial dan politik itu sendiri. Dalam perspektif teologis dan historis untuk membuktikan bahwa tindakan politik Nabi seperti, melakukan perang, mengumpulkan jizyah (pajak), dan bahkan jihad tidak berhubungan dan tidak merefleksikan fungsinya sebagai utusan Tuhan. Persoalan negara adalah persoalan duniawi yang telah diserahkan Tuhan kepada akal manusia untuk mengaturnya sesuai dengan arah kecendrungan akal dan pengetahuannya. Beberapa kalangan pemikir muslim berpendapat bahwa Islam tidak meletakkan suatu pola baku tentang teori negara yang harus dijalankan umat. Seorang pemikir muslim Mesir, Muhammad 'Imarah, sebagaimana dikutip Bahtiar Effendy mengatakan, Islam sebagai agama tidak menentukan suatu sistem pemerintahan tertentu bagi kaum muslim, karena logika tentang kesesuaian agama ini untuk sepanjang masa dan tempat menuntut agar permasalahan yang selalu berubah secara evolusi diserahkan kepada akal pikiran manusia menurut kepentingan umum yang telah digariskan agama. Pendapat di atas ada kemiripan dengan 'Abduh, menurut 'Abduh Islam tidak menetapkan suatu bentuk pemerintahan. Jika sistem khalfah masih tetap menjadi pilihan sebagai model pemerintahan maka bentuk demikianpun harus mengikuti perkembangan masyarakat dalam kehidupan materi dan kebebasan berpikir. Ini mengandung makna, 'Abduh menghendaki suatu pemerintahan yang dinamis. Dengan demikian ia mampu mengantisipasi perkembangan zaman. Menurut aliran pemikiran ini, istilah "daulah" yang berarti negara tidak ditemukan dalam alQur'n. Meskipun terdapat berbagai ungkapan yang merujuk kepada kekuasaan politik dan otoritas, akan tetapi ungkapan tersebut hanya bersifat insidental dan tidak ada pengaruhnya terhadap mekanisme teori politik atau model tertentu dari sebuah negara. Secara umum, polarisasi kecenderungan para pemikir politik Islam dalam memandang konsep negara dapat dikelompokkan kepada: 1. Skripturalistik dan rasionalistik Kecenderungan skripturalistik menampilkan pemahaman yang bersifat tekstual dan literal, yaitu penafsiran terhadap al-Qur'n dan Hadis yang mengandalkan pengertian bahasa. Sedangkan kecenderungan rasionalistik menampilkan penafsiran yang rasional dan kontekstual. 2. Idealistik dan realistik Pendekatan pertama cenderung melakukan idealisasi terhadap sistem pemerintahan

dengan menawarkan nilai-nilai Islam yang ideal. Kaum idealis cenderung menolak format kenegaraan yang ada, sementara kaum realis cenderung untuk menerimanya, karena orientasi mereka yang bersifat realistik terhadap kenyataan politik. 3. Formalistik dan substantivistik Pendekatan formalistik cenderung mementingkan bentuk dari pada isi, yang pada gilirannya menampilkan konsep negara dan simbolisasi keagamaan. Sebaliknya, pendekatan substantivistik cenderung menekankan isi dari pada bentuk. Kelompok ini tidak mempersoalkan bagaimana bentuk dan format sebuah negara, tetapi lebih memusatkan perhatian pada bagaimana mengisinya dengan etika dan moralitas agama. Sebenarnya masalah politik atau pengaturan negara termasuk urusan duniawi yang bersifat umum. Panduan al-Qur'n juga sunnah bersifat umum. Karena itu, permasalahan politik termasuk wilayah ijtihad umat Islam. Tugas cendekiawan muslim adalah berusaha secara terus menerus untuk menjadikan al-Qur'n sebagai sistem yang konkrit supaya dapat diterjemahkan dalam pemerintahan sepanjang zaman. Inilah yang dilakukan empat khalfah sesudah Nabi, sehingga walaupun mereka berada dalam rangka pengamalan ajaran Islam, pengorganisasian pemerintahnya berbeda antara satu dengan lainnya. Dalam rangka menyusun teori politik Islam mengenai konsep negara yang ditekankan bukanlah struktur "negara Islam", melainkan substruktur dan tujuannya. Sebab struktur negara akan berbeda di satu tempat dan tempat lainnya. Ia termasuk wilayah ijtihad kaum muslimin sehingga bisa berubah. Sementara substruktur dan tujuannya tetap menyangkut prinsip-prinsip bernegara secara Islami. Namun penting untuk dicatat, bahwa al-Qur'n mengandung nilai-nilai dan ajaran yang bersifat etis mengenai aktifitas sosial politik umat manusia. Ajaran ini mencakup prinsip-prinsip tentang keadilan, persamaan, persaudaraan, musyawarah, dan lain-lain. Untuk itu sepanjang negara berpegang kepada prinsip-prinsip tersebut maka pembentukan "negara Islam" dalam pengertian yang formal dan ideologis tidaklah begitu penting. Ada beberapa ayat al-Qur'n yang menggambarkan prinsip-prinsip di atas, atau secara implisit menampilkan sebagai ciri negara demokrasi di antaranya adalah: 1. Keadilan (QS. 5:8) Berlaku adillah kalian karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. 2. Musyawarah (QS. 42:38) Sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka. 3. Menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran (QS. 3:110) Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, dan berimanlah kepada Allah. 4. Perdamaian dan persaudaraan (QS. 49:10) Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqkwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. 5. Keamanan (QS. 2:126) Dan ingatlah ketika Ibrahim berdo'a, Ya Tuhanku jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa.

6. Persamaan (QS. 16:97 dan 40:40) Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (QS. 16:97). Penulis berkeyakinan, apabila prinsip-prinsip di atas benar-benar ditegakkan dalam sebuah negara, tanpa melihat simbol atau bentuk legal-formal negara itu sendiri maka apa yang Allah telah lukiskan dalam al-Qur'n surat Saba' ayat 15 akan dapat dirasakan. Firman Allah tersebut: Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): Makanlah olehmu rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun (QS. 34:15). Apa yang dikatakan Ibn Taimiyah, negara sebagai sesuatu yang perlu untuk menegakkan suruhan agama, tetapi eksistensinya adalah sebagai alat belaka dan bukan lembaga keagamaan itu sendiri. Jadi, kalau negara adalah alat yang perlu untuk menegakkan agama, maka manusia tentu tidak akan menggunakan alat yang sama dari suatu masa ke masa yang lain. Suatu alat dalam makna yang lazim dipahami mungkin akan lebih canggih berbanding dengan alat yang lain yang dipergunakan di masa silam meskipun keduanya dipergunakan untuk mencapai maksud yang sama. Tuhan akan melanggengkan suatu negara yang menjaga prinsip keadilan, walaupun negara tersebut secara formal bukan negara Islam. Tetapi sebaliknya, Tuhan akan menghancurkan apabila nilai-nilai tersebut dikesampingkan.

Penutup
Al-Qur'n maupun sunnah tidak memiliki preferensi terhadap sistem politik yang mapan untuk menetukan bentuk legal-formal negara yang ideal. Islam hanya memiliki seperangkat nilai etis yang dapat dijadikan rujukan dalam penyelenggaraan negara yang sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Persoalan politik (negara) lebih merupakan urusan kreatifitas manusia, atau kerangka wilayah fiqh yang perlu dilakukan ijtihad. Sebagai wilayah fiqh maka setiap rumusan dan interpretasi yang dihasilkan tentu berbeda, karena paradigma yang digunakan pun juga berbeda. Sepanjang negara berpegang kepada nilai-nilai yang ada dalam al-Qur'n maka pembentukan "negara Islam" dalam pengertian yang formal dan ideologis tidaklah begitu penting. Yang penting adalah substansinya, artinya nilai-nilai al-Qur'n seperti, musyawarah (syr), keadilan ('adlah), persamaan (muswah), hak-hak asasi manusia (huqq al-adam), perdamaian (shalh), keamanan (aman) dan lain-lain bisa direalisasikan dalam konteks bernegara. Sehingga pada akhirnya baldatun toyyibatun wa robbun ghafur bukan hanya sekedar ide dan cita-cita, tetapi sebuah realita yang bisa dirasakan.

Buku Bacaan
'Imrah, Muhammad, al-Islm Wa Ushl al-Hukm L 'Ali 'Abdur Rziq (beirut: Dr al-Fikr, 1972) Al-Qur'an al-Karim,

terj. Departemen Agama, RI, 2000 Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998) Jindan, Khalid Ibrahim, Teori Politik Islam Telaah Kritis Ibn Taimiyah Tentang Pemerintahan Islam, ter. Masrohin (Surabaya: Risalah Gusti, 1995) Khan, Qamaruddin, Political Concepts in the Qur'an (Lahore: Islamic Book Foundation, 1982) ______________, Pemikiran politik Ibn Taimiyah, terj. Anas Mahyudin (Bandung: Pustaka, 1995) Madjid, Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan kemodernan (Jakarta: Paramadina, 1992) Mahendra, Yusril Ihza, "Islamika Jurnal Dialog Pemikiran Islam" (kerja sama Mizan dan Missi, Januari-Maret 1994), No. 3. Masdar, Umaruddin, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) Nasution, Harun, Teologi Islam, Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986) Pulungan, J. Suyuthi, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995) Rahman, Fazlur, Islam (New Tork: The Chicago University Press, 1966) Shiddiqi, Nourouzzaman, Jeram-Jeram Peradaban Muslim (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1996) Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1991) Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Grafindo, 1992), 2. Syamsuddin, M. Din, "Usaha Pencarian konsep Negara dalam sejarah Pemikiran Politik Islam", ed. Abu Zahra dalam Politik Demi Tuhan (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999) Thaba, Abdul Azz, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (Jakarta: Gema Insani Press, 1996) Penulis: Akhmad Muzakki Rois Qismut Tarbiyah wat Ta'lim Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Nurul Huda Mergosono-Malang, sekarang sedang menimba ilmu pada PPs (S3) IAIN Sunan Ampel Surabaya.

http://zulchizar.wordpress.com/2010/07/09/konsep-pemerintahan-islamdalam-perspektif-ibnu-taimiyah Konsep Pemerintahan Islam dalam Perspektif Ibnu Taimiyah


Juli 9, 2010 oleh zulchizar Oleh : Achmad Fauzi Zulchizar Islam merupakan agama sempurna yang menginginkan manusia hidup dalam kebaikan dan kesejahteraan baik di dunia maupun di akhirat. Sebagai panduan hidup maka islam menjadikan Alquran dan sunnah sebagai dasar menyelesaikan semua masalah. Dalam hal ini, islam mengatur dua macam hukum, yaitu hukum yang berkenaan dengan manusia dengan Allah dan hukum tentang hubungan manusia dengan manusia. Oleh karena kompleksnya persoalan yang diatur oleh islam, maka disyariatkan bahwa pemimpin adalah seorang mujtahid yang paham dengan islam dan benar-benar konsisten untuk memperjuangkan agama ini. Beberapa kriteria dari mujtahid tersebut antara lain adalah: 1. Mampu berijtihad artinya mempunyai pengetahuan, keahlian dan kemampuan untuk memahami berbagai persoalan yang muncul melalui pemahaman berdasarkan Alquran dan sunnah. 2. Adil maksudnya bahwa ia merupaan seorang yang mampu menempatkan kebenaran di atas segalanya, terhindar dari dosa atau upaya untuk menempatkan seseorang atau sekelompok orang pada posisi yang tidak tepat. Dalam hal ini, prinsipnya adalah apabila ada hanya satu orang yang mempunyai kriteria sebagaimana tersebut di atas, maka dialah yang paling tepat untuk dijadikan sebagai pemimpin. Adapun jika lebih dari satu orang mujtahid, maka perlu dilakukan pemilihan, baik secara langsung (untuk masyarakat yang sudah paham islam) atau pun diwakili oleh para dewan sebagai kelompok orang yang paling mengerti tentang syariat. Dalam hal ini pemilihan murni atas dasar syariat dan tidak ada hubungannya dengan masalah bangsa, ras, suku, keturunan, dan sejenisnya. Seseorang yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana tersebut di atas tidak berhak memimpin. Jika sudah menjadi pemimpin, layaknya diturunkan. Hal ini penting dilakukan sebagai upaya untuk menjaga tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintahan Islam. Artinya bahwa tidak boleh karena kesalahan dalam strategi menyebabkan tujuan yang ingin dicapai terbengkalai. Beberapa tujuan yang ingin diwujudkan dari pemerintahan islam, antara lain: a).sebagai sarana dan upaya untuk mewujudkan sistem sosial, ekonomi, politik dan semua aspek kehidupan agar selalu berada dalam batasan syariat Allah.

b).Menggerakkan dawah amar maruf nahi mungkar sehingga orang-orang tertarik dengan kemuliaan islam. c)Menghindarkan terjadinya berbagai tindakan tidak adil dan kejahatan akibat pemerintahan yang otoriter. d).Mewujudkan masyarakat madani yang selalu berpegang pada Alquran dan sunnah. e).Memberikan manusia kesempatan untuk selalu berkembang misalnya dalam bidang pertanian, perdagangan, media, maupun lainnya selama tidak bertentangan dengan syariat Allah. Lantas bagaimana bentuk pemerintahan Islam yang pas untuk menerapkan syariat Islam ?, penulis lebih tertarik dengan buku karya Ibnu Taimiyah yang berjudul as-Siyasah asy-Syariyyah (Pemerintahan menurut syariat) untuk menjawab pertanyaan ini. Buku ini sedikitpun tidak menyinggung tentang bentuk konstitusi negara Islam. Buku ini hanya menampilkan bahasan mengenai urgensi kekuasaan dalam menerapkan syariat dan kewajiban ummat untuk mematuhinya. Menurut pandangan Ibnu Taimiyah, tidak ada dasar dalam Al-Quran dan As-Sunnah tentang teori khilafah tradisional maupun teori imamah yang mutlak. ia melihat Islam sebagai suatu tata sosial yang mempunyai hukum tertinggi, yaitu hukum Allah. Oleh sebab itu, ia sama sekali tidak tertarik pada negara dan formasinya meskipun menerima negara itu sebagai sebuah kebutuhan agama. Artinya, negara Islam yang dianggap memenuhi syarat adalah sebuah pemerintahan yang mendasarkan pada syariat sebagai penguasa tertinggi. Lebih lanjut, konsep Ibnu Taimiyah mengenai kebutuhan manusia akan negara didasarkan pada akal dan hadist. Argumen rasionalnya terletak pada kebutuhan universal semua manusia untuk tergabung, bekerja sama dan menikmati berbagai manfaat kepemimpinan tanpa peduli apakah mereka menganut suatu agama atau tidak. Argumen rasional itu juga diperkuat oleh beberapa landasan Sunnah Nabi saw. Contohnya adalah sabda Nabi saw, bila ada tiga orang melakukan perjalanan, maka salah seorang di antara mereka selayaknya menjadi pemimpin, dan juga sabda beliau Enam puluh tahun berada di bawah tirani lebih baik daripada semalam tanpa pemerintahan. Itulah dua contoh dari hadist-hadist yang dikemukakan. Meskipun Ibnu taimiyah tidak begitu memikirkan mengenai masalah format bentuk pemerintahan tetapi Ia lebih melihat kepada urgensi dari kekuasaan pemerintah untuk mendukung tegaknya syariat Islam. Hal ini disebabkan karena berbagai tugas keagamaan penting yang ditentukan dalam Al-Quran dan As-Sunnah seperti mengumpulkan zakat, menghukum tindakan kriminal, distribusi manfaat di kalangan yang berhak menerimanya. tidak dapat terlaksana dengan sempurna tanpa intervensi penguasa politik yang resmi. Aspek fungsional negara inilah yang seringkali ditekankan Ibnu Taimiyah dalam berbagai pandangan tentang negara. Ia mengatakan bahwa negara dan agama sesungguhnya saling berkaitan. Tanpa kekuasaan negara agama berada dalam keadaan bahaya sedangkan tanpa disiplin hukum wahyu, negara pasti menjadi sebuah organisasi yang tirani.

Konsep Praktis Negara Khilafah (Negara Islam) Oleh: Ust. A. Syaifullah Mukadimah Meskipun institusi Daulah Khilafah Islamiyah baru dihancurkan pada awal abad ini, negara-negara kafir imperialis telah berhasil meracuni kaum Muslim tentang gambarannya dengan gambaran yang sangat buruk sedemikian rupa. Akibatnya, sebagian besar kaum Muslim menjauhkan diri serta mencampakkan institusi tersebut seraya berpaling pada institusi lain yang dianggapnya lebih modern, lebih layak, dan lebih beradab, yaitu sistem republik yang diciptakan Barat. Barat berhasil memanipulasi sejarah, lalu mengemasnya dengan indah melalui tangan-tangan terampil intelektual maupun ulama kaum Muslim yang pemikiran-pemikiran maupun pandanganpandangannya berhasil mereka racuni. Cara ini memudahkan mereka untuk meyakinkan kaum Muslim bahwa Islam tidak memiliki konsep negara. Malah, mereka berani menegaskan bahwa di dalam al-Quran tidak ada dan tidak ditemukan konsep tentang negara. Mengumpulkan Kekeliruan Banyak intelektual Muslim yang melontarkan pendapat-pendapat bernada miring terhadap eksistensi dan praktik Rasulullah saw. dalam perkara pemerintahan. Ini membuahkan kebingungan di tengahtengah umat yang sedang limbung, lalu memunculkan perdebatan-perdebatan yang tidak perlu dan berujung pada makin lemahnya kekuatan kaum Muslim. Sebut saja pendapat Abdul Razzaq Naufal1 yang mengatakan, Dewasa ini, sistem pemerintahan yang mendekati sistem pemerintahan di zaman Rasulullh saw. dan para sahabat utama adalah sistem pemerintahan republik yang memilih kepala negaranya melalui pemilihan umum. Demikian juga pernyataan Dr. Abdoerraoef SH,2 yang mengatakan, Hukum al-Quran tidak menetapkan bagaimana mestinya negara menurut ilmu hukum negara ini, apakah harus berbentuk republik, kerajaan, atau fuehrerstaat (fascis). Terserah kepada manusia untuk memilih bentuk negara masing-masing asal alat organisasi dan cara-cara bekerjanya sesuai dengan apa yang ditentukan oleh hukum al-Quran. Tuduhan miring yang sangat masyhur dan menyesatkan datang dari Ali Abdul Raziq.3 Ia menyatakan, Bentuk pemerintahan Islam dapat berbentuk apa saja: otokrasi, birokrasi, monarkhi, republik, diktator, konstitusional, pemerintahan yang berdasarkan atau musyawarah sosial (Bolsyewik). Pendapat-pendapat serupa muncul di negeri ini melalui corong Dr. Nurcholis Majid c.s. maupun Gus Dur. Meskipun suara-suara mereka tidak bergaung di tengah-tengah masyarakat dan hampir pasti tidak

menampakkan bekasnya sama sekali, pemikiran-pemikiran seperti itu tergolong pemikiran yang menyesatkan dan keliru yang kepalsuan dan bahayanya harus diungkapkan. Mereka berusaha meragukan sistem pemerintahan Islam dengan pernyataan bahwa Islam tidak mempunyai konsep yang baku mengenai negara.4 Islam hanya mengajarkan prinsip-prinsip yang harus dipenuhi oleh negara. Bahkan, mereka mengatakan bahwa masalah inti yang tidak dapat dipenuhi oleh Islam adalah masalah bentuk negara dan pengadilan kekuasaan. Apa yang mereka lakukan sesungguhnya bertujuan untuk mengebiri vitalitas ajaran Islam. Mereka menghendaki agar Islam yang dipahami oleh kaum Muslim adalah Islam spiritual, sebagaimana sikap Barat terhadap agamanya (Nasrani). Pemikiran-pemikiran Islam-ideologi, Islam-politik, Islamnegara dan sejenisnya mereka telikung dan mereka jauhkan dari umat ini sejauh mungkin. Mereka pun menyadari, bahwa umat Islam akan menjadi ancaman besar dan lawan yang paling tangguh serta akan mengancam eksistensi dan kepentingan-kepentingan mereka apabila kaum Muslim mulai menyentuh perkara-perkara Islam-ideologi, Islam-politik, Islam-negara, dan sejenisnya. Sikap Umat Islam Sayangnya, sikap sebagian kaum Muslim terhadap tuduhan-tuduhan menyesatkan itu juga keliru. Di antara mereka lalu bersikap defensif apologetik (membela diri dengan cara keliru), ada pula yang menggabungkan antara pemikiran Islam dengan pemikiran kufur. Muncullah kemudian pernyataanpernyataan menyesatkan seperti, Islam mengenal sistem republik, tetapi republik Islam, Syura dalam sistem pemerintahan Islam sama dengan demokrasi dalam sistem pemerintahan sekular, dll. Padahal seharusnya, seorang Muslim hanya merujuk pada sumber-sumber hukum yang menjadi harta berharga milik seluruh kaum Muslim. Dengan begitu, argumentasi dan dasar pijakan dalam setiap aspek dan aktivitas kehidupan hanya mengacu pada nash-nash syariat saja. Seorang Muslim tidak perlu mendengarkan atau memperhatikan komentar maupun reaksi orang-orang (kafir) lain tatkala menjalankan hukum-hukum Allah Swt. Sebab, penerapan hukum-hukum Allah Swt. dan RasulNya (yang dijamin kebenarannya) tidak akan berubah menjadi salah atau tidak layak meskipun seluruh bangsa-bangsa di dunia mencapnya sebagai salah atau tidak layak. Ketika seseorang ingin membahas tentang hukum syariat, apa pun perkaranya, ia wajib membatasi persoalan tersebut dengan dalil-dalil syariat saja tanpa perlu memperhatikan sikap orang-orang lain. Jika seseorang terpengaruh dengan tuduhan terhadap Islam, lalu dia bersikap membela (diri terhadap) Islam, hal itu adalah sesuatu yang salah dan berbahaya, karena dapat mendorong untuk tidak memperhatikan nash-nash apa adanyasesuai dengan makna syariat dan bahasanya (dalalah syariyyah dan lughawiyyah). Lebih dari itu, sikap membela Islam ini akan bermuara pada pemahaman atas nash-nash seperti yang diinginkan oleh para orientalis karena adanya rasa takut terhadap serangan para orientalis sehingga sampai pada pendapat yang lain. Orang-orang yang berdiri pada posisi membela Islam ini sesungguhnya telah kalah secara rhiyah maupun aqliyyah. Mereka berbicara dan menulis di bawah tekanan realitas menyedihkan yang menyelimuti kaum Muslim, yang tidak tersisa lagi dari keislaman mereka kecuali hanya sekadar

namanya saja. Contoh yang paling baik tentang perkara ini adalah sikap sebagian intelektual Muslim terhadap tudingan Barat bahwa jihad itu adalah tindakan bar-bar dan tidak menghargai hak-hak dan kedaulatan negara lain. Tudingan tersebut lalu dikomentari oleh sebagian intelektual Muslim yang membatasi jihad dengan pengertian perang defensif saja. Mereka menganggap bahwa pengertian jihad seperti itu akan membebaskan kita dari sesuatu yang dapat mendiskreditkan Islam di mata musuh-musuhnya. Tujuannya adalah untuk melepaskan diri dari tuduhan-tuduhan musuh, bukan untuk memahami nash apa adanya. Konsep Negara Menurut al-Quran dan as-Sunnah Al-Quran sebagai pedoman dan asas kehidupan bagi negara dan masyarakat telah menentukan sistem kehidupan dan negara (pemerintahan) dalam bentuk konsep dan prinsip-prinsip asasinya. Penjelasan al-Quran dalam hal ini sama halnya dengan penjelasan hukum-hukum Islam lainnya semisal shalat, zakat, jual-beli, dan seterusnya. Al-Quran menjelaskan pokok-pokok permasalahan pemerintahan Islam dalam bentuk fondasi (sebagai sumber pokok legislasi) bagi penjelasan yang terperinci oleh Rasulullah saw.. Penjelasan Rasul ini dituangkan melalui praktik (Sunnah Rasulullah saw.) dalam aktivitas pemerintahan beliau dan masa sesudahnya (kekhilafahan). Pada kenyataannya, dalam memaparkan hukum-hukumnya, al-Quran tidak menerangkan secara pan legistik, yaitu tidak menetapkan seluruh rincian aturan kehidupan (layaknya ensiklopedi seperti dalam masalah sosial, politik, budaya, hukum, ekonomi, pemerintahan, dan seterusnya). Oleh karena itu, keadaan tersebut memerlukan adanya penjelasan dari Rasulullah saw. secara menyeluruh dan detil yang notabene tidak keluar dari ketentuan Allah Swt.5 Jika kita membahas tentang sistem pemerintahan, kita pasti berhadapan dengan beberapa hal yang prinsipil, antara lain: 1. Masalah kedaulatan. Islam memerintahkan kepada kaum Muslim dan negara agar hanya tunduk pada hukum syariat Islam dan menjadikan Asy-Syri (Allah Swt.) sebagai pihak yang berdaulat, bukan manusia. Allah Swt. berfirman:

Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik. (QS al-Anam [6]: 57). Rasulullah saw. menjelaskan seraya menegaskan masalah ini ketika beliau menjelaskan ayat-ayat hukum yang bersifat pan legistik tersebut. Dalam suatu riwayat Abu Ubaid al-Qasimi, dari Ali bin Abi Thalib, disebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:5

Kewajiban imam (pemimpin atau khalifah) adalah menjalankan urusan (hukum terhadap umat dan negara) sesuai dengan wahyu yang telah diturunkan Allah dan menyampaikan amanat. Apabila ia menjalankan hukum tersebut, maka kewajiban rakyat untuk mennaatinya. Dengan demikian, kewajiban kepala negara adalah menerapkan hukum Allah Swt. di muka bumi dan menjadikannya sebagai landasan dalam roda pemerintahannya. 2. Masalah kekuasaan. Islam telah menyerahkan hak dalam kekuasaan ini kepada umat. Lalu umat menyerahkan hak pengaturan dan pemeliharaan urusan mereka kepada kepala negara (khalifah) yang terpilih dalam pemilihan umum dan dibaiat oleh mereka.

Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang shalih di antara kalian (kaum Muslim yang menerapkan syariat Islam), bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. (QS an-Nur [24]: 55). Ayat ini menegaskan bahwa kekuasaan itu berada (diserahkan kepada) kaum Muslim.6 Sesungguhnya banyak hadis yang menjelaskan tentang metode pengangkatan khalifah. Metode ini ditegaskan hanya dengan (satu) jenis, yaitu dengan baiat.7 Sistem ini dilakukan melalui pemilihan umum yang bebas dari unsur paksaan dan intimidasi. Imam Muslim meriwayatkan dari Ubadah ibn Shamit:

Kami telah membaiat Rasulullah saw. untuk setia mendengarkan dan menaatinya, baik dalam keadaan susah maupun mudah, baik dalam keadaan yang kami senangi ataupun yang tidak kami senangi. (HR Muslim). 3. Kewajiban mengangkat seorang khalifah (kepala negara) Dalam al-Quran ada beberapa ayat yang berkaitan dengan masalah pemerintahan, kekuasaan, dan ketaatan kepada ulil amri serta keterkaitannya dengan hukum syariat dan penolakan terhadap hukum thght (kufur). Dari rangkaian ayat tersebut, ada dua hal yang penting untuk dikaji. Pertama, kewajiban mengangkat seorang pemimpin (kepala negara); kedua, semua hal selalu terkait dengan hukum syariat.

Menyangkut yang pertama, kaum Muslim wajib mengangkat seorang ulil amri dan menaatinya.

Hai orang-orang beriman, taatilah Allah serta taatilah Rasul dan ulil amri di antara kalian. (QS anNisa [4]: 59). Ulil amri adalah penguasa yang mempunyai kedudukan paling tinggi dalam kepemimpinan Islam. Ia adalah khalifah (Imam al-Azham) yang mengatur seluruh urusan umat Islam (waliy[u] al-amri). Oleh karena itu, taat kepada khalifah adalah suatu kewajiban syariat atas kaum Muslim. Dalil di atas sekaligus sebagai kewajiban bagi kaum Muslim untuk mewujudkan adanya khalifah karena Allah tidak memerintahkan untuk menaati sesuatu yang wujudnya tidak ada. Dalam menafsirkan ayat tersebut, Ibn Hazm8) berkata bahwa ayat ini menunjukkan kewajiban adanya seorang imam. Penafsiran seperti itu banyak terdapat pada kitab-kitab tafsir besar lainnya. Mufasirin sepakat mengatakan bahwa ulil amri adalah khalifah atau umara (amir). Menyangkut yang kedua, Allah Swt. memerintahkan kepada Rasulullah saw. untuk mengatur seluruh urusan kaum Muslim dan memutuskan seluruh perkara mereka berdasarkan perintah-Nya, berupa hukum-hukum syariat Islam.9 Perintah pada ayat ini merupakan perintah wajib bagi Rasulullah saw. Walaupun merupakan seruan kepada Rasulullah saw, menurut kaidah ushul,10 ia juga merupakan yang berlaku bagi seluruh kaum Muslim, kecuali ada dalil yang men-takhsis-nya. Pada kenyataannya, dalil itu tidak ada takhsis-nya. Artinya, selain kepada Rasulullah saw., seruan itu ditujukan kepada seluruh kaum Muslim (khiththb m). Karena itu, menegakkan hukum-hukum-Nya berarti pula menegakkan sistem kekhilafahan. Sebab, hanya sistem inilah yang mampu menegakkan sistem hukum Islam. Keberadaan sistem ini menjadikannya sebagai kewajiban utama bagi seluruh kaum Muslim untuk mewujudkannya, yaitu adanya sebuah institusi pemerintahan Islam yang menegakkan sistem hukum Islam dan tersebarnya dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Di samping itu, kaum Muslim harus memahami bahwa kewajiban mewujudkan khalifah dibatasi obyeknya hanya untuk seorang khalifah yang menjadi pemimpin kaum Muslim di seluruh dunia. Rasulullah saw. bersabda:11

Jika ada dua khalifah yang dibaiat (pada waktu yang bersamaan), bunuhlah orang terakhir yang dibaiat. Ini adalah dalil yang tegas yang menunjukkan bahwa hanya satu kepemimpinan dalam Dunia Islam,

yaitu seorang khalifah yang diangkat dengan cara baiat. Dalil tersebut sekaligus menghendaki adanya kesatuan Dunia Islam dan mengharamkan adanya perpecahan dengan adanya dua atau lebih sistem kepemimpinan/pemerintahan di Dunia Islam. Kewajiban ini juga telah disepakati oleh seluruh sahabat (Ijma Sahabat). Dalam masalah kepemimpinan ini, para sahabat sepakat untuk tidak membuat kevakuman dengan tidak adanya seorang khalifah pun lebih dari 3 (tiga) hari.12 Perhatian utama ini jelas terlihat ketika pengangkatan (pembaitan) Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai khalifah. Saat itu, Said ibn Zaid berkata,13 Mereka (kaum Muslim) tidak suka hidup barang sehari pun tanpa adanya pemimpin jamaah (khalifah). 4. Kepala negara wajib dari kalangan kaum Muslim. Al-Quran telah melarang kaum Muslim mengangkat kepala negara dari kalangan non-Muslim seperti dari kalangan Nasrani, Yahudi, Budha, Hindu, Komunis, dan lain-lain. Dengan kata lain, kepala negara tidak boleh dijabat dari kalangan yang tidak meyakini akidah Islam. Allah Swt. berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin) kalian dengan meninggalkan orang-orang Mukmin. Inginkah kalian mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksa kalian)? (QS an-Nisa [4]: 144). Ayat ini juga mengharamkan kaum Muslim untuk mengangkat orang-orang kafir sebagai penguasa, baik sebagai kepala negara maupun pejabat tingkat daerah. Al-Quran menyebutkan bahwa khalifah (ulil amri) wajib diangkat dari kalangan kaum Muslim semata. Allah Swt. berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah serta taatilah Rasul dan ulil amri di antara kalian. (QS an-Nisa [4]: 59). Pada ayat tersebut dan ayat al-Quran lainnya, kata ulil amri selalu dikaitkan dengan kaum Muslim. Ulil amri adalah pengatur urusan umat Islam. Oleh karena itu, adalah aneh rasanya kalau kepala negara diangkat dari kalangan non-Muslim. Sebab, bagaimana mungkin mereka dapat melaksanakan sistem hukum Islam dan mau mengurusi urusan kaum Muslim di tengah kebencian yang ada pada hati mereka.14

Wajibnya persyaratan kepala negara dari kalangan kaum Muslim dan bukan dari kalangan nonIslam adalah perintah Allah Swt. dan Rasul-Nya. Para mufassir tidak berselisih tentang hal ini.15 Para sahabat serta para ulama fikih dan ushul juga memiliki pandangan yang sama tanpa adanya perbedaan pendapat. 5. Kepala negara wajib dari kalangan laki-laki. Rasulullah saw. telah menentukan syarat ini sebagai salah satu dari beberapa syarat kepala negara. Perempuan tidak dibenarkan menduduki jabatan kepala negara dan jabatan dalam struktur pemerintahan di bawahnya yang selalu berhubungan keputusan dan kebijakan. Artinya, perempuan tidak dibenarkan menjadi kepala negara, wakil kepala negara, pembantu kepala negara (wazir), wali suatu negeri, ketua mahkamah mazhlim,17 dan yang sejenisnya. Rasulullah saw. bersabda:18

Tidak akan beruntung suatu kaum (dalam mengurusi pemerintahan) bila mereka memilih perempuan menjadi pemimpin mereka. Kata walla jika dikaitkan dengan kata al-amr maknanya adalah menjadikan penguasa atau pemerintah. Karena itu, frasa wallaw amrahum imrat[an] mengandung makna menjadikan wanita sebagai penguasa atau pemegang jabatan pemerintahan. Dengan demikian, hadis tersebut secara tegas menyatakan keharaman menjadikan wanita sebagai penguasa/pemerintah. Dalam masalah ini, Ibn Hazm berkata, Seluruh golongan kalangan kaum Muslim (dari berbagai mazhab dan firqah) tidak ada di antara mereka yang membolehkan perempuan menjadi imam (pemimpin).19 Badan-badan dalam Struktur Negara 1. Majlis Syura (Majelis Umat) Al-Quran tidak menjelaskan secara rinci setiap struktur yang ada pada sistem pemerintahan Islam. Al-Quran hanya menentukannya secara global saja dan menganjurkan kaum Muslim untuk selalu bermusyawarah. Allah Swt. berfirman:

Bermusyawarahlah engkau dengan mereka dalam urusan itu (ekonomi, politik, dan lain-lain). Kemudian, jika engkau membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya. (QS Ali Imran [3]: 159). Dalam ayat ini, Allah Swt. memerintahkan Nabi saw. untuk bermusyawarah dan meminta pendapat kaum Muslim. Rasulullah saw. merinci dalam Sunnahnya (bagaimana beliau melakukan musyawarah,

dalam perkara apa saja, dan kapan hasil permufakatan itu beliau ambil sebagai keputusan). Ketika itu, beliau mengangkat tujuh orang dari kalangan Muhajirin dan tujuh orang lainnya dari kalangan Anshar.20 Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Hamzah, Ibn Masud, Abu Dzar, Bilal, Saad bin Ubadah, Muadz bin Jabal, Abdurrahman bin Auf, Abu Ubaidah, Ubay bin Khalaf, dan Zaid bin Tsabit. 2. Para Amir. Menurut istilah syariat, amir adalah pejabat pemerintahan yang diangkat untuk mengatur dan memelihara salah satu urusan kaum Muslim. Ketika Rasulullah saw. masih berada di tengah-tengah umat Islam, istilah amir dipergunakan untuk nama beberapa jabatan yang mengurusi suatu urusan. Ketika itu dikenal amir yang menjabat komandan perang (amir as-sariyah), amir yang menjabat komandan pasukan panah (amir ar-rumt), amir wilayah (amir al-wilyah), dan amir haji (amir alhajj). Al-Quran menyebutkan istilah ini pada surat an-Nisa (4) ayat 59. Berdasarkan pengertian syariat di atas, istilah ulil amri yang tercantum di dalam al-Quran adalah setiap orang yang diangkat sekaligus menjabat, mengepalai, dan mengatur suatu urusan negara. Ulil amri dibantu oleh kepala bagian dan bawahan lainnya. Sebatas inilah yang dipahami oleh para sahabat dan tbin. Abu Hurairah berpendapat bahwa ulil amri adalah orang yang menjabat sebagai amir.21 Sementara itu, Maimun bin Mahran (sahabat) dan Maqhal (tokoh tbin) berpendapat bahwa ulil amri adalah orang yang menjabat sebagai komandan pasukan perang ketika Nabi saw masih hidup.22 Pendapat terakhir ini adalah pendapat hampir sebagian besar ahli tafsir.23 Said Hawwa mengatakan bahwa waliy al-amri adalah Khalifah yang diangkat berdasarkan hasil musyawarah kaum Muslim,24 sedangkan ash-Shabuni mengatakan bahwa ulil amri adalah para penguasa.25 Sementara itu, Imam asy-Syaukani berpendapat bahwa ulil amri adalah para imam (sultan atau khalifah,26 para qdh, dan setiap pejabat yang mempunyai kekuasaan syar (berdasarkan ketentuan syariat). Dari sekian pendapat, istilah ulil amri ternyata mencakup seluruh aparat/pejabat negara yang memiliki wewenang/kekuasaan (dan pejabat peradilan). Pada masa Khulafa ar-Rasyidin, kedudukan Khalifah dikenal sebagai Amirul Mukminin. Bahkan, pada kurun sesudahnya, istilah amir juga dipakai untuk jabatan kepala staf keamanan (shhib asy-syurthah), atau berkedudukan setingkat dengan bupati (amir al-istn), camat (amir ath-thusuh), atau kepala desa (amir ar-rustaq). Pada masa tersebut bertambah jabatan setingkat jaksa agung (amir al-qadh), ketua seluruh pejabat (amir alumara), dan wakil khalifah di bagian Timur dan Barat. Dalam perkembangannya, istilah ulil amri di dalam al-Quran berlaku untuk pejabat negara atau penguasa dan tidak boleh diartikan secara sempit atau terbatas untuk masa tertentu. Dengan demikian, istilah ini atau istilah lain di dalam al-Quran memiliki pengertian yang luas. Sebab, istilah di dalam al-Quran yang dijelaskan secara garis besar (global) selalu diikuti dengan penjelasan mendalam oleh Sunnah Rasul.

3. Wakil Khalifah. Jabatan ini diperlukan apabila khalifah berhalangan atau tidak berada di tempat (pusat) pemerintahan. Pejabat ini diharuskan keberadaannya dalam pemerintahan Daulah Islamiyah. Keharusan ini berlaku karena pada masa Rasulullah saw., pejabat ini diperlukan ketika beliau ke luar menuju medan perang atau karena ada urusan lainnya yang menyebabkan beliau tidak berada di pusat pemerintahan, misalnya, ketika memimpin jamaah haji. Saad bin Ubadah pernah diangkat untuk jabatan ini pada tahun pertama Hijrah, yakni tatkala Rasulullah saw. sibuk memimpin dalam Perang al-Abwa. Dalam Perang Tabuk, beliau mengangkat Muhammad bin Maslamah sebagai pengganti beliau dalam mengurusi pemerintahan.27 4. Kepala negara wajib dari kalangan kaum Muslim. Al-Quran telah melarang kaum Muslim mengangkat kepala negara dari kalangan non-Muslim seperti dari kalangan Nasrani, Yahudi, Budha, Hindu, Komunis, dan lain-lain. Dengan kata lain, kepala negara tidak boleh dijabat dari kalangan yang tidak meyakini akidah Islam. Allah Swt. berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin) kalian dengan meninggalkan orang-orang Mukmin. Inginkah kalian mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksa kalian)? (QS an-Nisa [4]: 144). Ayat ini juga mengharamkan kaum Muslim untuk mengangkat orang-orang kafir sebagai penguasa, baik sebagai kepala negara maupun pejabat tingkat daerah. Al-Quran menyebutkan bahwa khalifah (ulil amri) wajib diangkat dari kalangan kaum Muslim semata. Allah Swt. berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah serta taatilah Rasul dan ulil amri di antara kalian. (QS an-Nisa [4]: 59). Pada ayat tersebut dan ayat al-Quran lainnya, kata ulil amri selalu dikaitkan dengan kaum Muslim. Ulil amri adalah pengatur urusan umat Islam. Oleh karena itu, adalah aneh rasanya kalau kepala negara diangkat dari kalangan non-Muslim. Sebab, bagaimana mungkin mereka dapat melaksanakan sistem hukum Islam dan mau mengurusi urusan kaum Muslim di tengah kebencian yang ada pada hati mereka.14

Wajibnya persyaratan kepala negara dari kalangan kaum Muslim dan bukan dari kalangan nonIslam adalah perintah Allah Swt. dan Rasul-Nya. Para mufassir tidak berselisih tentang hal ini.15 Para sahabat serta para ulama fikih dan ushul juga memiliki pandangan yang sama tanpa adanya perbedaan pendapat. 5. Kepala negara wajib dari kalangan laki-laki. Rasulullah saw. telah menentukan syarat ini sebagai salah satu dari beberapa syarat kepala negara. Perempuan tidak dibenarkan menduduki jabatan kepala negara dan jabatan dalam struktur pemerintahan di bawahnya yang selalu berhubungan keputusan dan kebijakan. Artinya, perempuan tidak dibenarkan menjadi kepala negara, wakil kepala negara, pembantu kepala negara (wazir), wali suatu negeri, ketua mahkamah mazhlim,17 dan yang sejenisnya. Rasulullah saw. bersabda:18

Tidak akan beruntung suatu kaum (dalam mengurusi pemerintahan) bila mereka memilih perempuan menjadi pemimpin mereka. Kata walla jika dikaitkan dengan kata al-amr maknanya adalah menjadikan penguasa atau pemerintah. Karena itu, frasa wallaw amrahum imrat[an] mengandung makna menjadikan wanita sebagai penguasa atau pemegang jabatan pemerintahan. Dengan demikian, hadis tersebut secara tegas menyatakan keharaman menjadikan wanita sebagai penguasa/pemerintah. Dalam masalah ini, Ibn Hazm berkata, Seluruh golongan kalangan kaum Muslim (dari berbagai mazhab dan firqah) tidak ada di antara mereka yang membolehkan perempuan menjadi imam (pemimpin).19 Badan-badan dalam Struktur Negara 1. Majlis Syura (Majelis Umat) Al-Quran tidak menjelaskan secara rinci setiap struktur yang ada pada sistem pemerintahan Islam. Al-Quran hanya menentukannya secara global saja dan menganjurkan kaum Muslim untuk selalu bermusyawarah. Allah Swt. berfirman:

Bermusyawarahlah engkau dengan mereka dalam urusan itu (ekonomi, politik, dan lain-lain). Kemudian, jika engkau membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya. (QS Ali Imran [3]: 159). Dalam ayat ini, Allah Swt. memerintahkan Nabi saw. untuk bermusyawarah dan meminta pendapat kaum Muslim. Rasulullah saw. merinci dalam Sunnahnya (bagaimana beliau melakukan musyawarah, dalam perkara apa saja, dan kapan hasil permufakatan itu beliau ambil sebagai keputusan). Ketika

itu, beliau mengangkat tujuh orang dari kalangan Muhajirin dan tujuh orang lainnya dari kalangan Anshar.20 Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Hamzah, Ibn Masud, Abu Dzar, Bilal, Saad bin Ubadah, Muadz bin Jabal, Abdurrahman bin Auf, Abu Ubaidah, Ubay bin Khalaf, dan Zaid bin Tsabit. 2. Para Amir. Menurut istilah syariat, amir adalah pejabat pemerintahan yang diangkat untuk mengatur dan memelihara salah satu urusan kaum Muslim. Ketika Rasulullah saw. masih berada di tengah-tengah umat Islam, istilah amir dipergunakan untuk nama beberapa jabatan yang mengurusi suatu urusan. Ketika itu dikenal amir yang menjabat komandan perang (amir as-sariyah), amir yang menjabat komandan pasukan panah (amir ar-rumt), amir wilayah (amir al-wilyah), dan amir haji (amir alhajj). Al-Quran menyebutkan istilah ini pada surat an-Nisa (4) ayat 59. Berdasarkan pengertian syariat di atas, istilah ulil amri yang tercantum di dalam al-Quran adalah setiap orang yang diangkat sekaligus menjabat, mengepalai, dan mengatur suatu urusan negara. Ulil amri dibantu oleh kepala bagian dan bawahan lainnya. Sebatas inilah yang dipahami oleh para sahabat dan tbin. Abu Hurairah berpendapat bahwa ulil amri adalah orang yang menjabat sebagai amir.21 Sementara itu, Maimun bin Mahran (sahabat) dan Maqhal (tokoh tbin) berpendapat bahwa ulil amri adalah orang yang menjabat sebagai komandan pasukan perang ketika Nabi saw masih hidup.22 Pendapat terakhir ini adalah pendapat hampir sebagian besar ahli tafsir.23 Said Hawwa mengatakan bahwa waliy al-amri adalah Khalifah yang diangkat berdasarkan hasil musyawarah kaum Muslim,24 sedangkan ash-Shabuni mengatakan bahwa ulil amri adalah para penguasa.25 Sementara itu, Imam asy-Syaukani berpendapat bahwa ulil amri adalah para imam (sultan atau khalifah,26 para qdh, dan setiap pejabat yang mempunyai kekuasaan syar (berdasarkan ketentuan syariat). Dari sekian pendapat, istilah ulil amri ternyata mencakup seluruh aparat/pejabat negara yang memiliki wewenang/kekuasaan (dan pejabat peradilan). Pada masa Khulafa ar-Rasyidin, kedudukan Khalifah dikenal sebagai Amirul Mukminin. Bahkan, pada kurun sesudahnya, istilah amir juga dipakai untuk jabatan kepala staf keamanan (shhib asy-syurthah), atau berkedudukan setingkat dengan bupati (amir al-istn), camat (amir ath-thusuh), atau kepala desa (amir ar-rustaq). Pada masa tersebut bertambah jabatan setingkat jaksa agung (amir al-qadh), ketua seluruh pejabat (amir alumara), dan wakil khalifah di bagian Timur dan Barat. Dalam perkembangannya, istilah ulil amri di dalam al-Quran berlaku untuk pejabat negara atau penguasa dan tidak boleh diartikan secara sempit atau terbatas untuk masa tertentu. Dengan demikian, istilah ini atau istilah lain di dalam al-Quran memiliki pengertian yang luas. Sebab, istilah di dalam al-Quran yang dijelaskan secara garis besar (global) selalu diikuti dengan penjelasan mendalam oleh Sunnah Rasul. 3. Wakil Khalifah.

Jabatan ini diperlukan apabila khalifah berhalangan atau tidak berada di tempat (pusat) pemerintahan. Pejabat ini diharuskan keberadaannya dalam pemerintahan Daulah Islamiyah. Keharusan ini berlaku karena pada masa Rasulullah saw., pejabat ini diperlukan ketika beliau ke luar menuju medan perang atau karena ada urusan lainnya yang menyebabkan beliau tidak berada di pusat pemerintahan, misalnya, ketika memimpin jamaah haji. Saad bin Ubadah pernah diangkat untuk jabatan ini pada tahun pertama Hijrah, yakni tatkala Rasulullah saw. sibuk memimpin dalam Perang al-Abwa. Dalam Perang Tabuk, beliau mengangkat Muhammad bin Maslamah sebagai pengganti beliau dalam mengurusi pemerintahan.27 4. Pembantu Umum Pemerintahan. Dalam masa pemerintahan Rasulullah Saw., para mudir (setingkat dengan direktur) dipilih dari para sahabat utama untuk membantu urusan kenegaraan. Rasulullah saw. bersabda, sebagaimana dituturkan Abi Said al-Khudri:

Pembantuku dari penduduk bumi (Madinah) adalah Abu Bakar dan Umar. (HR at-Tirmidzi). Dalam sejarah, kedua orang tersebut giat membantu Rasulullah saw. dalam berbagai urusan; mulai urusan perang, pengadilan, sampai mengumumkan sesuatu kepada kaum Muslim. 5. Sekretaris Negara (Amir as-Sirr). Rasulullah saw. mengangkat Hudzaifah bin al-Yaman sebagai amir as-sirr28 (semacam Setneg). Pejabat ini memiliki tugas yang penting. Hampir semua rahasia dan kebijakan negara dipegang orang ini. Pejabat ini pula yang memegang cap/stempel negara. 6. Penguasa Daerah. Pemerintahan Rasulullah saw. pada masa lampau memiliki daerah yang terus meluas. Karena itu, beliau membagi wilayah tersebut menjadi 12 wilayah. Setiap wilayah dibagi lagi menjadi bagianbagian kecil yang disebut imlah. Setiap kawasan besar dipimpin oleh seorang wali (gubernur) dan setiap kawasan kecil yang berada di bawah pengawasan wali dipimpin oleh seorang amil. Dalam catatan sejarah, Atab bin Usaid diangkat sebagai wali di Makkah setelah ditaklukkan. Mantan Wakil Raja Kisra, yaitu Badzan bin Sassan, diangkat sebagai wali untuk daerah Yaman setelah ia masuk Islam.29 Muadz bin Jabal serta Hudzaifah bin al-Yaman juga pernah diangkat oleh Rasulullah saw. sebagai wali di daerah Yaman. Untuk pejabat setingkat amil, beliau mengangkat Amr bin Said di kawasan Wadi al-Qurra, dan Qadaah ad-Dausi sebagai amil untuk kabilah Bani Asad.30 Dalam menjalankan tugasnya, para wali kadang-kadang diberikan kewenangan untuk mengatur masalah administrasi dan mengurusi urusan

negara di wilayahnya seperti urusan peradilan, pengaturan keuangan, dan lain-lain. Para fukaha menyebut kewenangan ini dengan sebutan wilyah al-mah (kekuasaan menyeluruh). Namun demikian, ada pula wali yang diberikan kewenangan untuk tugas yang terbatas, misalnya hanya mengurusi administrasi keuangan saja atau bidang peradilan saja di wilayahnya. Pada keadaan pertama (waliy al-mah), Muadz bin Jabal pernah diangkat sebagai wali sekaligus qdh untuk wilayah Yaman serta diberi wewenang sebagai komandan perang, mengatur masalah keuangan, dan administrasi lainnya. Pada keadaan kedua, Rasulullah saw. mengangkat Farwah bin Sahal menjadi wali di Murad, Mishaj, dan Zubaid. Khalid bin Said al-Ash menjadi wali di Hadramaut. Seluruh wali ini hanya mengatur masalah keuangan.31 Dalam pengangkatan pejabat daerah tersebut, Rasulullah saw. menentukan mekanisme tugas dan pola pelaksanaan hukum, di antaranya, tidak memaksakan kehendak terhadap Ahlul Kitab untuk meninggalkan agamanya. Setiap Muslim atau mereka yang telah Islam memiliki kewajiban dan hak yang sama.32 7. Badan Peradilan (al-Qadh). Semua kasus peradilan pada masa Rasulullah saw. dijalankan berdasarkan perintah Allah Swt.:

Hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut wahyu yang telah Allah turunkan kepadamu dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. (QS al-Maidah [5]: 49). Ada beberapa orang penjabat wali yang juga mempunyai tugas sebagai qdh seperti Muadz bin Jabal dan Ali bin Abi Thalib di Yaman (Selatan dan Utara). Rasulullah saw. pernah berkata kepada Ali ketika ia diangkat untuk menjabat sebagai hakim di Yaman (yang artinya), Ajarkan kepada mereka hukum syariat (Islam) dan putuskanlah perkara (berdasarkan syariat) di antara mereka. (HR al-Hakim dengan sanad sahih).33 Menurut riwayat ath-Thabrani dari Masruq, hakim pada masa Rasulullah saw ada enam orang. Keenam orang itu adalah Umar, Ali, Abdullah bin Masud, Ubay bin Kaab, Zaid bin Tsabit, dan Abu Musa al-Asyari.34 Dalam urusan peradilan, yang bertugas mencegah kezaliman di tengah-tengah masyarakat, Rasulullah saw. mengangkat Rasyid bin Abdillah sebagai amir untuk keperluan pengadilan dan kezaliman serta bertindak untuk mengawasi dan mencegah kezaliman. Namun demikian, kadangkadang tugas tersebut diambil-alih sendiri oleh Rasulullah saw.35 Selain tugas-tugas peradilan di atas, ada tugas yang disebut qadh al-hisbah, yaitu langsung mengadili pelakunya di tempat untuk kasus-kasus pelanggaran yang mengganggu hak-hak masyarakat secara luas. Pada masa Rasulullah saw., Said bin al-Ash bertugas di pasar kota Makkah,

sedangkan Umar bertugas di pasar kota Madinah.36 8. Bidang Administrasi. Struktur administrasi ini dijalankan juga oleh Rasulullah saw. Untuk keperluan ini, beliau banyak mengangkat jurutulis untuk membantu administrasi. Tugas jurutulis ini setara dengan dirjen. Ali bin Abi Thalib pernah bertugas sebagai jurutulis untuk keperluan perjanjian antar negara, Muaiqib bin Abi Fathimah bertugas sebagai jurutulis untuk urusan ghanmah (harta rampasan perang), Zubair bin Awwam jurutulis keuangan untuk bidang zakat, serta Mughirah bin Syubah jurutulis untuk bidang simpan-pinjam dan bidang muamalah.37 Dr. Mustafa al-Azhami38 mencatat tidak kurang dari 61 jurutulis yang bertugas pada masa Rasulullah saw. Ada urusan administrasi negara yang terkenal dan dijalankan pada masa Rasulullah saw. yaitu dewan pertahanan negara dengan beberapa seksinya, antara lain: seksi pencatatan sukarelawan militer; seksi logistik (amunisi, harta rampasan perang, dan lain-lain), seksi tata administrasi perkantoran (dwan al-insy); yang tugasnya mencatat wahyu yang turun, menyelamatkan arsip (dokumen), penterjemah bahasa, konseptor surat, dan lain-lain.39 9. Angkatan Bersenjata. Rasulullah saw. telah membagi angkatan bersenjata ke dalam beberapa induk pasukan tempur (sariyyah). Setiap induk pasukan dikepalai oleh satu komandan pasukan. Dalam hal hak dan kewajiban militer, seluruh kaum Muslim dapat (boleh) dilatih oleh negara untuk keperluan perang. Kaum Muslim yang mendaftar dan dilatih oleh negara kelak menjadi tentara cadangan. Tentara cadangan ini memudahkan mobilisasi tentara untuk keperluan perang. Ketika Rasulullah saw. wafat, jumlah tentara Muslim sekitar 30.000 personil pasukan infanteri dan 6.000 pasukan penunggang kuda (kavaleri) yang semuanya siap tempur.40 Setiap induk pasukan ini memiliki dua bendera, yaitu bendera berwarna putih (liwa) dan bendera berwarna hitam (rayah). Kedua bendera tersebut bertuliskan kalimat syahadat.41 Dalam hal pertahanan dan keamanan negara, kadang-kdang Rasulullah saw. terjun langsung ke medan perang. Ketika itu, beliau selalu menugaskan sebagian tentara (semacam polisi kota) untuk menjaga ketertiban dan keamanan kota.42 Untuk keperluan ini, Rasulullah saw. mengangkat Qaisy bin Saad sebagai pejabat (komandan) yang mengendalikan polisi kota (shhib asy-syurthah).43 Penutup Dari seluruh uraian di atas, jelas terbukti bahwa Rasulullah saw. telah membangun suatu kerangka struktur pemerintahan Daulah Islamiyah yang sangat kokoh. Sungguh sangat keliru, berlebih-lebihan, dan sangat awam terhadap sejarah/sirah Rasulullah saw.jika tidak dikatakan bodohjika ada sebagian orang (terutama intelektual Muslim maupun sebagian ulama) yang menyebutkan bahwa pemerintahan pada masa Rasulullah saw. itu setingkat dengan RT/RW. Sungguh sangat keliru

apabila seseorang berani mengatakan bahwa Islam tidak mempunyai konsep kenegaraan yang baku atau menyatakan bahwa bentuk pemerintahan Islam diserahkan kepada manusia untuk menentukannya sesuai dengan kehendaknya. Sesungguhnya suara-suara seperti itu terasa ganjil, apalagi disuarakan oleh orang-orang yang mengaku cendekiawan Muslim. Apakah mereka tidak mengetahui, bahwa dalam catatan sejarah Islam, pemerintahan Islam (Daulah Islamiyah) sanggup bertahan sampai 13 abad lamanya sebelum para penjajah Barat menghancurkannya melalui tipudaya dan makar jahatnya. Lagi pula, berapa ribu ayat al-Quran maupun hadis-hadis Nabi saw. yang akan dicampakkanyang seluruhnya menyerukan kaum Muslim untuk menerapkan hukumhukum Islam dalam aspek jihad (aktivitas militer), politik luar dan dalam negeri, ekonomi dan perdagangan, pendidikan, sosial, peradilan, pengaturan dan pelayanan masyarakat, dan lain-lain jika tidak ada institusi negara yang menerapkannya. Mahabenar Allah Yang berfirman:

Sesungguhnya pada hal yang demikian terdapat peringatan bagi orang-orang yang memiliki akal atau menggunakan pendengarannya, sedangkan dia menyaksikan semua itu. (QS Qaf [50]: 37). Ya Allah, saksikanlah, kami telah menyampaikan! Catatan kaki: 1) Abdur Razzaq Naufal, Al-Quran dan Masyarakat Modern, hlm. 101. 2) Abdoerraoef, Al-Quran dan Ilmu Hukum, hlm. 261. 3) Ali Abdur Raziq, Al-Islm wa Ushl al-Hukm, hlm. 82-83 (Edisi Beirut). 4) Lihat: Kompas dalam artikel, Islam Tak Punya Konsep Baku Mengenai Negara, tanggal18 November 1986, hlm. I dan V. 5) Lihat: Abu Ubaid al-Qasimy dalam, Kitb al-Amwl, hlm. 12 pada hadis no. 11. 6) Said Hawwa, Al-Asas f at-Tafsr, jld. VII, hlm. 3572. 7) Dalam pengertian bahasa, baiat diartikan sebagai sumpah. Akan tetapi, bagi kaum Muslim, pengertian bahasa tidak dapat dipakai dalam pemahaman tentang hal ini. 8) Ibn Hazm, Al-Fishl, jld. IV, hlm. 87. 9) Perhatikan QS al-Maidah 48-49. 10) Lihat: Al-Amidi, Al-Ihkm f Ushl al-Ahkm, jld I, hlm. 130-131.

11) Lihat: Shahh Muslim bi Syarh an-Nawaw, vol. XII, hlm. 241. 12) Untuk jelasnya, lihat: Ibn Quthaybah, Al-Immah wa as-Siysah, jld. I, hlm. 28-29. 13) Lihat: Trkh at-Thabar, jld. II, hlm. 447. 14) Sinyalemen ini banyak terbukti untuk periode sekarang, bahwa kebanyakan kaum Muslim minoritas (bahkan mayoritas) yang berada di bawah pemimpin non-Muslim, selalu ditindas dan teraniaya. 15) Lihat: Tafsr Zamakhsyari, jld. I, hlm. 535; Tafsr ath-Thabar, jld. V, hlm. 147-150; Tafsr Qurthub, jld. V, hlm. 259-261; dan Ibn al-Arabi, Ahkm al-Quran, jld. I, hlm. 251-252. 16) Lihat: Imam Nasafi, Syarh Aqid an-Nasafiyah, hlm. 185; Ibn Hazm, Al-Fishl, jld. IV, hlm. 110; alAiji, Al-Musmarah, hlm. 16217 Badan ini mirip Mahkamah Agung. Namun, perempuan tidak dibenarkan menduduki jabatan kepala Mahkamah Mazhalim. Ia hanya dibenarkan menjadi hakim di bidang pengadilan lainnya. 18 Lihat: Shahh al-Bukhr, hadis no. 4425 dan 7099. 19 Lihat: Ibn Hazm, Al-Fishl, jld. IV, hlm. 110. 20 Lihat: Musnad Imam Ahmad, jld. V, hlm. 314. 21 Lihat: Tafsr at-Thabar, hadis no. 9856. 22 Lihat: Imam as-Suyuthi, Ad-Durr al-Manstr, jld. II, hlm. 574. 23 Lihat, misalnya, Tafsr ath-Thabar, jld. V, hlm. 147; Tafsr az-Zamakhsyari, jld. I, hlm. 525; Ibn Arabi, Ahkm al-Qurn, jld. I, hlm. 451. 24 Lihat: Said Hawwa, Al-Ass f at-Tafsr, jld. II, hlm. 1103. 25 Lihat: Ash-Shabuni, Safwt at-Tafsr, jld. I, hlm. 285. 26 Lihat: Asy-Syaukani, Fath al-Qadr, jld. I, hlm. 481. 27 Lihat: Srah Ibn Hisym, jld. I, hlm. 591, dan jld. II, hlm. 519. 28 Lihat: Muhammad Abdullah asy-Syabani, Nizhm al-Hukm wa al-Idrah f ad-Dawlah alIslmiyyah, hlm. 24.

29 Lihat: Al-Qattani, Nizhm al-Hukumah an-Nabawiyyah, jld. I, hlm. 241. 30 Ibid, hlm. 243-244. 31 Wali-wali tersebut diperintahkan untuk memungut zakat di wilayahnya. Lihat: Taqiyuddin anNabhani, Nizhm al-Hukm f Islm, hlm. 69-71. 32 Teladan untuk hal ini adalah surat Rasulullah saw. kepada Amr bin Hazm yang memerintahkan agar memberikan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Lihat: Muhammad Hamidullah, al-Watsiq as-Siysiyyah li al-Ahdi an-Nabawi, hlm. 206-209. 33 Hadis ini dikutip oleh al-Qattani, dalam kitab, Nizhm, jld. I, hlm. 247. 34 Ibid, hlm. 258. 35 Lihat: Taqiyuddin an-Nabhani, Nizhm al-Hukm f al-Islm, hlm. 95. 36 Lihat: Al-Qattani, op.cit., jld. I, hlm. 287. 37 Ibid, hlm. 114-180. 38 Dr. Muhammad Mustafa al-Azhami, Kuttb an-Nabi, hlm. 19-26. 39 Lihat: Al-Qalqasyandi, Shubh al-Asy, jld. II, hlm. 91-92; al-Juhasyiari, Al-Wuzr wa al-Kuttb, hlm. 12-13. 40 Lihat: Anwar ar-Rifai, An-Nuzhum al-Islmiyyah, hlm. 141. 41 Lihat: Al-Qattani, op.cit., jld. I, hlm. 318. 42 Ibid, hlm. 385. 43 Ia dan anak buahnya bertugas menjaga keamanan; menangkap, mengadili, dan menjaga penjara. Lihat hadis riwayat al-Bukhari dari Anas bin Malik, no. 7155, dan hadis riwayat at-Tirmidzi, no. 3939. http://www.facebook.com/search/?init=srp&sfxp&q=ulil+jil#/note.php?note_id=169398934525&ref= nf

http://brigdhero.wordpress.com/2010/09/23/al-ahkam-assuthoniyyah-dan-konsepsi-negaramenurut-perspektif-al-qur%E2%80%99an-dan-assunnah/

Al-Ahkam Assuthoniyyah dan Konsepsi Negara Menurut perspektif alQuran dan Assunnah
Posted on September 23, 2010 by brigdhero

by; Iman Munandar (makalah ini pernah disampaikan untuk mengikuti DM 3 KAMMI) ABSTRAKSI Quran Surat an-Anisa ayat 58-59 menunjukkan bahwa kedudukan kedaulatan atau dikenal dengan Negara dalam Islam sangat strategis. Karena Negara sebagai alat yang sangat mampu mengimplementasikan wahyu-wahyu Allah dalam kehidupan umat manusia. Hal ini didukung oleh Sunnah/piqih siroh mengenai gagasan Rosul dalam rangka mempersatukan masyarakat madinah yang heterogen, yang lebih dikenal dengan piagam madinah. Ini menunjukkan bahwa telah ada pada zaman Rasulullah praktek bernegara. Islam adalah ajaran yang universal dan integral. Islam mengatur seluruh kehidupan manusia baik di bidang Politik, pemerintahan, ekonomi, social, budaya, ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya. Islam tidak dapat dipisahkan dari politik, ekonomi, hukum, social, budaya, system pemerintahan. Negara ialah sebuah alat yang sangat efektif untuk mengimplementasikan wahyu-wahyu Allah ke dalam kehidupan umat manusia. Praktek bernegara dalam Islam telah ada pada zaman Rosulullah hingga runtuhnya Khilafah Utsmaniyyah runtuh pada tahun 1924M. Pasca khilafah runtuh dan munculnya Negara bangsa, banyak para ulama yang melakukan redefinisi tentang konsep Negara dan bentuknya, walaupun terjadi perbedaan pendapat. Namun masalah tersebut masih wajar. Yang terpenting bagi aktivis gerakan Islam ialah memasukkan nilai-nilai Islam dalam konstitusi menuju Khilafah Islamiyyah manhaj Nubuwwah yang dirindukan itu. Kata Pengantar Untaian puja dan puji hanya bagi Allah, Rabb semesta alam, yang telah memberikan segala kenikmatan kepada penyusun sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah ini untuk memenuhi persyaratan administrasi Dauroh Marhalah 3 (DM3) yang diadakan oleh KAMMI Teritorial IV. Terima kasih banyak kepada akh Kadir atas dorongan untuk mengikuti DM3 dan gagasangagasan yang sangat luar biasa dalam menjemput masa depan Islam. Dan semua pengurus dan kader KAMMI UNISBA atas doanya. Dalam makalah ini penyusun menyadari masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi siapa pun

juga yang ingin terus menggali potensinya dalam bidang ilmu pengetahuan dalam rangka redefinisi kembali Negara Islam. Semoga Allah Swt. Menjadikan kita sebagai hamba-hambaNya yang tangguh dalam amar maruf nahi munkar. Amiin.. 14 Desember 2008 Penyusun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah konsep Negara menurut perspektif Islam hingga kini masih menjadi perdebatan. Setidaknya ada dua kelompok yang berpendapat, yaitu yang pertama; bahwa Islam dan Negara merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Sedangkan kelompok kedua; berpendapat Islam dan Negara harus dipisahkan[1]. Di sini tidak akan menjelaskan perbedaan pendapat dua kelompok tersebut, namun dalam makalah ini mencoba menguraikan dan menganalisa teori-teori ulama klasik mengenai konsep daulah menurut Islam, khususnya buku tentang al-Ahkam al-Suthoniyyah fi al-Wilayah adDiniyyah karya imam al-Mawardi yang fenomenal dan mencoba mengaitkannya dengan konsep Negara Islam menurut para ahli lainnya. Yang menarik dalan tulisan Anis Matta; ..bahwa era konsep Negara-bangsa (Nation State) yang menjadikan nasionalisme sebagai ruhnya telah berakhir. Sebagai gantinya muncul konsep Negara etnis dan konsep Negara Agama[2]. Konsep Negara Agama, khususnya konsep Negara islam kini banyak bermunculan, ini didasari rindu akan peradaban Islam yang telah lama hilang. Namun sekali lagi, dalam makalah ini akan mencoba menguraikan dan menganalisa teori-teori tentang konsep atau Hukum Tata Negara menurut perspektif al-Quran dan Sunnah. B. Perumusan Masalah Dalam perumusan masalah ini dibagi ke dalam dua bagian sebagai berikut: 1. Identifikasi Masalah

Wilayah penelitian : Wilayah penelitian dari makalah ini adalah konsep dan bentuk Negara dalam Islam yang terdapat dalam literature-literatur konsep Negara baik klasik muapun modern. Pendekatan penelitian : pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan komparatif normatif Jenis masalah : jenis masalah dalam penelitian ini adalah masalah hukum Islam maupun pendapat para ahli Hukum Islam dan ilmuwan

II. Rumusan masalah Untuk mengarahkan makalah ini, maka dibuatlah rumusan masalah sebagai berikut : 1. 2. 3. Bagaimana konsep dan bentukNegara perspektif al-Quran dan Sunnah? Bagaimana kedudukan Negara dalam Islam? Bagaimana konsep Islam mengenai politik, system pemerintahan, ekonomi, dan hukum

C.Anggapan Dasar b) !$# N.Bt br& (#rxs? MuZtBF{$# # n<) $yg=dr& #s)ur OFJs3ym tt/ $Z9$# br& (#qJ3trB A y9$$/ 4 b) !$# $KR /3t m/ 3 b) !$# tb%x. $J x #Z t/ 58. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat. (Q.S. an-Nisa :58) $pkrt t%!$# (#qYtB#u (#q r& !$# (#q r&ur tAq9$# <r&ur DF{$# O3ZB ( b*s LtuZs? &x nrs n<) !$# Aq 9$#ur b) LY. tbqZBs? !$$/ Qqu 9$#ur zFy$# 4 y79s yz `|mr&ur xrs? 59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(Q.S. anNisa:59) Ayat di atas menunjukkan bahwa kedudukan kedaulatan atau dikenal dengan Negara dalam Islam sangat strategis. Karena Negara sebagai alat yang sangat mampu mengimplementasikan wahyu-wahyu Allah dalam kehidupan umat manusia. Hal ini didukung oleh Sunnah/piqih siroh mengenai gagasan Rosul dalam rangka mempersatukan masyarakat madinah yang heterogen, yang lebih dikenal dengan piagam madinah. Ini menunjukkan bahwa telah ada pada zaman Rasulullah praktek bernegara. Islam adalah ajaran yang universal dan integral. Islam mengatur seluruh kehidupan manusia baik di bidang Politik, pemerintahan, ekonomi, social, budaya, ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya. D.Tujuan Penulisan Tujuan penulisan ini dimaksudkan sebagai berikut;

1. untuk mengetahui konsep dan bentuk Negara perspektif al-Quran dan Sunnah 2. untuk mengetahui kedudukan Negara dalam Islam 3. untuk mengetahui konsep Islam mengenai politik,system pemerintahan, ekonomi, dan hukum. E. Sistematika Penulisan Systematika penulisan terdiri dari sub bab sebagai berikut ; BAB 1 PENDAHULUAN Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, identifikasi atau rumusan masalah, tujuan penulisan, anggapan dasar, metode penelitian dan sistematika pembahasan. BAB II PEMBAHASAN DAN ANALISA Bab ini menguraikan pembahasan tentang konsep dan bentuk Negara, kedudukan Negara, dan konsep Islam mengenai system pemerintahan, ekonomi, dan hukum. Dan menganalisa masalahmasalah tersebut. BAB III KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan bab penutup, berisi kesimpulan dan saran yang kiranya bermanfaat untuk aktivis gerakan mahasiswa dalan redefinisi tentang konsep Negara yang berdasarkan al-Quran dan Sunnah. BAB II PEMBAHASAN DAN ANALISA A.Definisi dan Bentuk Negara Banyak pendapat para sarjana dan tokoh gerakan Islam merumuskan definisi dan bentuk Negara menurut perspektif Islam. Ada yang menyatakan bentuk khilafah, republic, Negara bangsa, dan lain sebagainya. Negara merupakan sarana atau alat untuk mengimplementasi kehendak dan cita cita warga negaranya, bisa dilihat dari tujuan setiap Negara. Definisi Negara yang dikemukakan oleh Roger H. Soltau ialah : Negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat[3] Menurut Anton Minardi, bahwa prinsip prisnsip bernegara telah dipraktekkan oleh Rosulullah Saw, faktanya ialah piagam madinah dan menjadikan semua persoalan yang tidak bisa diatasi

dikembalikan kepada Rosulullah untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Ini menunjukkan bahwa praktek bernegara telah ada pada zaman Rosulullah. Hal ini diakui oleh para orientalis seperti; Robert N Bellah, Montgomery Watt, John L. Esposito, Antony Black, dan lain lain[4]. Sedangkan bentuk Negara yang dikatakan oleh Hasan al-Banna ialah; Negara Islam adalah Negara yang merdeka, tegak di atas syariat Islam, bekerja dalam rangka menerapkan system sosialnya, memproklamasikan prinsip prinsip yang lurus, dan melakukan dakwah yang bijak ke segenap umat manusia. Negara islam berbentuk khilafah. Khilafah adalah kekuasaan umum yang paling tinggi dalam agama Islam. Khilafah Islam didahului oleh berdirinya pemerintahan islam di Negara Negara Islam. Fazlur Rahman berpendapat bawa ; Negara Islam ialah Negara yang didirikan atau dihuni oleh umat Islam dalam rangka memenuhi keinginan mereka untuk melaksanakan perintah Allah melalui wahyu-Nya. Implementasi Negara tidak ditentukan secara khusus, tetapi yang paling penting yang hars dimiliki ialah syuro / musyarah.[5] Dalam buku al-Ahkam Suthoniyyah, karya imam al-Mawardi, tidak menjelaska definisi tentang Negara Islam, namun bisa dilihat dari bab tentang Pengangkatan Imam hingga bab Ketentuanketentuan seputar Hisbah menunjukkan bawa praktek bernegara dalam Islam telah ada sejak zaman Rosulullah Saw. Yang menjadi pertanyaan kenapa tidak dijelaskan tentang Negara dalam Islam? Sebetulnya dalam literature-literatur klasik secara implicit menjelaskan tentang konsep Negara dan bentuknya. B.Kedudukan Negara dalam al-Quran dan Sunnah Kedudukan Negara dalam Islam sangat penting, karena menegakkan hukum Islam dalam kehidupan masyarakat secara sempurna dan efektif melalui Negara. Banyak dalil-dalil untuk menegakkan dan menetapkan suatu perkara dengan hukum Allah. Ini menunjukkan bahwa menerapkan hukum Allah dalam kehidupan manusia ini membutuhkan sebuah alat kekuasaan, yaitu; Negara. Diantara dalil yang berbicara masalah tersebut ialah : * b) !$# N.Bt br& (#rxs? MuZtBF{$# #n<) $yg=dr& #s)ur OFJs3ym tt/ $Z9$# br& (#qJ3trB A y9$$/ 4 b) !$# $KR /3t m/ 3 b) !$# tb%x. $J x #Z t/ 58. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat. $pkrt t%!$# (#qYtB#u (#qr& !$# (#qr&ur tAq9$# <r&ur DF{$# O3ZB ( b*s Lt uZs? &x nr s n<) !$#

Aq 9$#ur b) LY. tbqZBs? !$$/ Qqu 9$#ur zFy$# 4 y79s yz `|mr&ur xrs? 59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. Di atas menunjukkan bahwa kedudukan Negara dalam Islam sangatlah penting. Masih banyak dalil-dalil al-Quran dan Sunnah yang membicarakan praktek bernegara. C.Sistem Pemerintahan Islam Dalam buku al-Ahkam Suthoniyyah menunjukkan bahwa system pemerintahan Islam ialah berbentuk Khilafah. Ini dipengaruhi pada masa hidup imam al-Mawardhi system pemerintahan yang berlaku pada saat itu ialah khilafah kerajaan, yaitu bani Abbasiyyah. Buku tersebut menjadi fenomenal karena berani mendobrak system status quo, yaitu kekuasaan turun menurun. Boleh dikatakan bahwa konsep pemerintahan yang ditawarkan oleh imam al-Mawardi mendekati pada system demokrasy tidak langsung. Bisa dilihat dari pengangkatan Imam/Kholifah, criteriakriteria kholifah, hingga pemilihan kholifah dipilih dengan dua cara, yaitu ; pertama, pemilihan oleh ahlu al-aqdi wa al-hal (Parlemen). Kedua, penunjukkan imam sebelumnya[6], Atau lebih tepatnya disebut system pemerintahahn khilafah ala manhaj nubuwwah yaitu pemerintahan yang pernah diterapkan oleh para sahabat, disebut juga Khulafaur Rasyidin. System khilafah ala manhaj nubuwwah sebagai berikut;pertama, khilafah berdasarkan pemilihan. Kedua, pemerintahan berdasarkan musyawarah[7]. Setelah Khilafah Ustmaniyyah runtuh pada tahun 1924 Masehi, maka yang terjadi ialah bentuk Negara Bangsa yang sekuler. System Khilafah kerajaan tenggelam, muncullah nation state yang sekuler[8]. Pada masa transisi itu lewat, dan nation state yang sekuler tidak membawa harapan bagi umat Islam untuk menyelesaikan permasalahan yang komplek dan sesak. Muncullah gagasan-gagasan Negara Bangsa yang relegius yang diusung oleh aktivis gerakan Islam untuk menjawab tantangan yang dihadapi oleh umat Islam. Ada juga gerakan Islam yang tidak sepakat dengan system Negara bangsa yang relegius. Pada dasarnya semua gerakan Islam ingin menegakkan system pemerintahan khilafah ala manhaj nubuwwah, namun dalam tahap implementasi berbeda-beda. Ada yang melalui legal formal; partisipasi dalam pesta demokrasi, ada juga melalui non legal formal. D.Konsep Islam mengenai Sistem Ekonomi System ekonomi Islam tidak termasuk pada system ekonomi liberal atau pasar maupun system ekonomi sosialis maupun Social Market yang bermula di Jerman kemudian berkembang di negra Eropa. Ekonomi Islam atau lebih sering di sebut Ekonomi Syariah sebagai alternatif dari system ekonomi yang ada.[9] Abdillah Toha menyatakan bahwa;

Ekonomi Syariah bukanlah sebuah bangunan teori ekonomi yang membahas hukum penawaran dan permintaan umpamanya, lebih pantas disebut sebagai Ekonomi Politik Islam. Ekonomi Syariah bertumpu kepada suatu system ekonomi tanpa riba atau bunga bank, karena riba dianggap sebagai salah satu unsure yang menghalangi tujuan utama Ekonomi Syariah, yakni adanya keadilan bagi distribusi pendapatan dan kekayaan. [10] Sebagaimana firman Allah Swt. Sebagai berikut : %!$# tbq=2t (#4qt/h9$# w tbqBq)t w) $yJx. Pq)t %!$# m6ytFt `s9$# z`B byJ9$# 4 y79s NgRr/ (#q9$s% $yJR) t79$# @WB (#4qt/h9$# 3 @ymr&ur !$# y t79$# tPymur (#4qt/h9$# 4 `yJs nu!%y` psqtB `iB mn/ 4 ygtFR$$s &s#s $tB y#n=y nBr&ur n<) !$# ( tBur y$t y7s9rs =ysr& $Z9$# ( Nd $pk cr$#yz 275. Orang-orang yang Makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orangorang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. [174] Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah. [175] Maksudnya: orang yang mengambil Riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan. [176] Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan. Hingga kini banyak Negara Islam menerapkan system ekonomi Syariah menjadi legal dalam kontsitusi. Seperti di Indonesia UU RI Nomor 21 Tahun 2008 yang mengatur Perbankan Syariah. E.Konsep Islam mengenai Peradilan Peradilan sebagai tempat untuk menyelesaikan suatu perkara baik perdata maupun pidana dan memberi keputusan terhadap perkara tersebut. Dalam literature-literatur klasik Peradilan Islam dikenal dengan istilah Qodhi atau lembaga kehakiman.

Pada masa Rosulullah, semua persoalan hukum dikembalikan kepada beliau dan beliau menyelesaikan perkara-perkara tersebut. Setelah Rosulullah wafat, yang mengambil peran sebagai hakim ialah para sahabat yang faqih dalam bidang Hukum Islam dalam, misal ibnu Masud, Zaid bin Tsabit, dan lain-lain. Hakim-hakim pada masa Khulafaur Rasyidin maupun Tabiin dalam menyelesaikan suatu perkara mereka berpedoman pada al-Quran, as-Sunnah, Ijtihad, Qiyas, dan lain sebagainya[11]. Lembaga kehakiman atau yudikatif telah ada pada zaman Rosulullah, sebelum muncul teori Trias Polika yang digagas oleh Montesquieu pada abad 19 Masehi. Teori trias politika yang memisahkan kekuasaan eksekutif, legistatif, dan yudikatif[12]. Syarat-syarat Hakim dalam buku al-Ahkam as-Suthoniyyah sebagai berikut; 1. Laki-laki yang baligh

2. Mempunyai akal untuk mengetahui taklif (perintah), harus mempunyai pengetahuan tentang hal-hal dzaruri(urgen) untuk diketahui, hingga ia cerdas membedakan segala sesuatu yang benar. 3. 4. 5. 6. Merdeka Islam Adil Sehat pendengaran, penglihatan, dan jasmani

7. Mengetahui hukum-hukum syariat; ilmu-ilmu dasar (ushul) dan cabang-cabangnya (furu)[13] . BAB III KESIMPULAN DAN SARAN Dalil-dalil al-Quran berbicara tentang masalah Negara sebagai alat implementasi wahyu-wahyu Allah dalam kehidupan umat manusia. Hal ini juga didukung oleh hadis nabi Saw. Baik hadist Qauliyah maupun filiyah. Dalam perkembangannya para ahli berbeda pendapat mengenai konsep dan bentuk Negara menurut Islam. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh perkembangan politik pada masa hidup para ahli, hal ini dalam Islam ialah wajar. Pada dasarnya pendapat para ahli mengenai konsep dan Negara berdasarkan al-Quran, Sunnah, dan Ijtihad. Dan mereka telah sepakat bawa pada zaman Rosulullah Saw. Telah ada praktek bernegara. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi aktivis gerakan Islam maupun masyarakat pada umumnya. Saran-saran dalam rangka fastabiqul khoirot dalam ilmu pengetahuan sangat diharapkan. Wallahu alam bi showab.

DAFTAR PUSTAKA Anis Matta, Menikmati Demokrasi, Insan Media; Jakarta, 2007 Anton Minardhi, Konsep Negara dan Gerakan Baru Islam menuju modern sejahtera, Prisma Press; Bandung, 2008 Bahsan Mustofa, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, Citra Aditya bakti;Bandung,2001 Imam al-Mawardi, al-Ahkam as-Suthoniyyah,Darul Falah; Jakarta, 2000 Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, ROSDA;Bandung, 2003 Miriam Budiarjo, Dasar dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia, 2003 Paul M. Johnson, kamus Ekonomi Politik, TERAJU;Jakarta, 2003. Yusuf Qardhawy, Pedoman Bernegara dalam Islam, Pustaka kaustar;Jakarta, 1999

[1] Anton Minardi, Konsep Negara dan Gerakan Baru Islam, (Bandung:Prisma Press, 2008) hal.54-55

[2] Anis Matta, menikmati Demokrasi, (Jakarta : Insan Media Publising House, 2007) hal. 54 [3] Miriam Budiarjo, Dasar dasar Ilmu Politik (Jakarta : Gramedia, 2003) hal.39 [4] Op.cit, Anton Minardhi. Hal. 31-34 [5] Op.cit hal 35-36 [6] Imam Mawardi, ahkam suthoniyyah, (Jakarta:Darul Falah, 2000) hal.1-6 [7] Op.cit. Anton Minardi.hal. 85-86 [8] Salah satu contohnya ialah Negara Turki, yang dipelopori oleh Kemal Attaturk yang meminggirkan system Islam dari wilayah public. Lihat buku Berperang Demi Tuhan, Karen Amstrong. [9] Paul M. Johnson, KAMUS Ekonomi Politik, (TERAJU:Jakarta, 2003) hal. v-xii. [10] Ibid. hal.viii

[11] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (ROSDA;Bandung, 2003) hal.358. [12] Bahsan Mustafa, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Citra Aditya Bakti:Bandung, 2001) hal.1-3 [13] Op.cit. Imam al-Mawardi.hal.122-125.

You might also like