You are on page 1of 50

PEMBELAJARAN BERBASIS MULTIKULTURAL Dikutip dari : http://lubisgrafura.wordpress.

com/2007/09/10/pembelajaran-berbasismultikultural/

Apa itu Pembelajaran Berbasis Multikultural? Pembelajaran multikultural adalah kebijakan dalam praktik pendidikan dalam mengakui, menerima dan menegaskan perbedaan dan persamaan manusia yang dikaitkan dengan gender, ras, kelas, (Sleeter and Grant, 1988). Pendidikan multikultural adalah suatu sikap dalam memandang keunikan manusia dengan tanpa membedakan ras, budaya, jenis kelamin, seks, kondisi jasmaniah atau status ekonomi seseorang (Skeel, 1995). Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan strategi pendidikan yang memanfaatkan keberagaman latar belakang kebudayaan dari para peserta didik sebagai salah satu kekuatan untuk membentuk sikap multikultural. Strategi ini sangat bermanfaat, sekurang-kurangnya bagi sekolah sebagai lembaga pendidikan dapat membentuk pemahaman bersama atas konsep kebudayaan, perbedaan budaya, keseimbangan, dan demokrasi dalam arti yang luas (Liliweri, 2005). Pendidikan multuikultural didefinisikan sebagai sebuah kebijakan sosial yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemeliharaan budaya dan saling memiliki rasa hormat antara seluruh kelompok budaya di dalam masyarakat. Pembelajaran multikultural pada dasarnya merupakan program pendidikan bangsa agar komunitas multikultural dapat berpartisipasi dalam mewujudkan kehidupan demokrasi yang ideal bagi bangsanya (Banks, 1993). Dalam konteks yang luas, pendidikan multikultural mencoba membantu menyatukan bangsa secara demokratis, dengan menekankan pada perspektif pluralitas masyarakat di berbagai bangsa, etnik, kelompok budaya yang berbeda. Dengan demikian sekolah dikondisikan untuk mencerminkan praktik dari nilai-nilai demokrasi. Kurikulum menampakkan aneka kelompok budaya yang berbeda dalam masyarakat, bahasa, dan dialek; dimana para pelajar lebih baik berbicara tentang rasa hormat di antara mereka dan menunjung tinggi nilai-nilai kerjasama, dari pada membicarakan persaingan dan prasangka di antara sejumlah pelajar yang berbeda dalam hal ras, etnik, budaya dan kelompok status sosialnya. Pembelajaran berbasis multikultural didasarkan pada gagasan filosofis tentang kebebasan, keadilan, kesederajatan dan perlindungan terhadap hak-hak manusia. Hakekat pendidikan multikultural mempersiapkan seluruh siswa untuk bekerja secara aktif menuju kesamaan struktur dalam organisasi dan lembaga sekolah. Pendidikan multikultural bukanlah kebijakan yang mengarah pada pelembagaan pendidikan dan pengajaran inklusif dan pengajaran oleh propaganda pluralisme lewat kurikulum yang berperan bagi kompetisi budaya individual.

Pembelajaran berbasis multikultural berusaha memberdayakan siswa untuk mengembangkan rasa hormat kepada orang yang berbeda budaya, memberi kesempatan untuk bekerja bersama dengan orang atau kelompok orang yang berbeda etnis atau rasnya secara langsung. Pendidikan multikultural juga membantu siswa untuk mengakui ketepatan dari pandangan-pandangan budaya yang beragam, membantu siswa dalam mengembangkan kebanggaan terhadap warisan budaya mereka, menyadarkan siswa bahwa konflik nilai sering menjadi penyebab konflik antar kelompok masyarakat (Savage & Armstrong, 1996). Pendidikan multikultural diselenggarakan dalam upaya mengembangkan kemampuan siswa dalam memandang kehidupan dari berbagai perspektif budaya yang berbeda dengan budaya yang mereka miliki, dan bersikap positif terhadap perbedaan budaya, ras, dan etnis. (Farris & Cooper, 1994). Tujuan pendidikan dengan berbasis multikultural dapat diidentifikasi: (1) untuk memfungsikan peranan sekolah dalam memandang keberadaan siswa yang beraneka ragam; (2) untuk membantu siswa dalam membangun perlakuan yang positif terhadap perbedaan kultural, ras, etnik, kelompok keagamaan; (3) memberikan ketahanan siswa dengan cara mengajar mereka dalam mengambil keputusan dan keterampilan sosialnya; (4) untuk membantu peserta didik dalam membangun ketergantungan lintas budaya dan memberi gambaran positif kepada mereka mengenai perbedaan kelompok (Banks, dalam Skeel, 1995) Di samping itu, pembelajaran berbasis multikultural dibangun atas dasar konsep pendidikan untuk kebebasan (Dickerson, 1993; Banks, 1994); yang bertujuan untuk: (1) membantu siswa atau mahasiswa mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan untuk berpartisipasi di dalam demokrasi dan kebebasan masyarakat; (2) memajukan kekebasan, kecakapan, keterampilan terhadap lintas batas-batas etnik dan budaya untuk berpartisipasi dalam beberapa kelompok dan budaya orang lain.

Mengapa perlu Pembelajaran Berbasis Multikultural? Rasional tentang pentingnya pendidikan multikultural, karena startegi pendidikan ini dipandang memiliki keutamaan-keutamaan, terutama dalam: (1) memberikan terobosan baru pembelajaran yang mampu meningkatkan empati dan mengurangi prasangka siswa atau mahasiswa sehingga tercipta manusia (warga negara) antarbudaya yang mampu menyelesaikan konflik dengan tanpa kekerasan (nonviolent); (2) menerapkan pendekatan dan strategi pembelajaran yang potensial dalam mengedepankan proses interaksi sosial dan memiliki kandungan afeksi yang kuat; (3) model pembelajaran multikultural membantu guru dalam mengelola proses pembelajaran menjadi lebih efisien dan efektif, terutama memberikan kemampuan peserta didik dalam membangun kolaboratif dan memiliki komitmen nilai yang tinggi dalam kehidupan masyarakat yang serba majemuk; (4) memberikan kontribusi bagi bangsa Indonesia dalam penyelesaian dan mengelola konflik yang bernuansa SARA yang timbul di masyarakat dengan cara meningkatkan empati dan mengurangi prasangka.

Kondisi keberagaman masyarakat dan budaya, secara positif menggambarkan kekayaan potensi sebuah masyarakat yang bertipe pluralis, namun secara negatif orang merasa tidak nyaman karena tidak saling mengenal budaya orang lain. Setiap etnik atau ras cenderung mempunyai semangat dan ideologi yang etnosentris, yang menyatakan bahwa kelompoknya lebih superior daripada kelompok etnik atau ras lain (Jones, dalam Liliweri, 2003). Terjadinya tidak saling mengenal identitas budaya orang lain, bisa mendorong meningkatnya prasangka terhadap orang lain, berupa sikap antipati yang didasarkan pada kesalahan generalisasi yang diekspresikan sebagai perasaan. Prasangka juga diarahkan kepada sebuah kelompok secara keseluruhan, atau kepada seseorang hanya karena itu adalah anggota kelompok tertentu. Secara demikian, prasangka memiliki potensi dalam mengambinghitamkan orang lain melalui stereotipe, diskriminasi dan penciptaan jarak sosial (Bennet dan Janet, 1996) Melalui pembelajaran multikultural, subyek belajar dapat mencapai kesuksesan dalam mengurangi prasangka dan diskriminasi (Banks, 1996). Dengan kata lain, variabel sekolah terbentuk dimana besar kelompok rasial dan etnis yang memiliki pengalaman dan hak yang sama dalam proses pendidikan. Pelajar mampu mengembangkan keterampilannya dalam memutuskan sesuatu secara bijak. Mereka lebih menjadi suatu subyek dari pada menjadi obyek dalam suatu kurikulum. Mereka menjadi individu yang mampu mengatur dirinya sendiri dan merefleksi kehidupan untuk bertindak secara aktif. Mereka membuat keputusan dan melakukan sesuatu yang berhubungan dengan konsep, pokok-pokok masalah yang mereka pelajari. Mereka mengembangkan visi sosial yang lebih baik dan memperoleh ilmu pengetahuan dan keterampilan serta mengkonstruksinya dengan sistematis dan empatis. Seharusnya guru mengetahui bagaimana berperilaku terhadap para pelajar yang bermacam-macam kulturnya di dalam kelas. Mereka mengetahui perbedaanperbedaan nilai-nilai dan kultur dan bentuk-bentuk perilaku yang beraneka ragam.

Dimensi dan Pendekatan Pembelajaran Berbasis Multikultural James A. Banks (1993, 1994-a), mengidentifikasi ada lima dimensi pendidikan multikultural yang diperkirakan dapat membantu guru dalam mengimplementasikan beberapa program yang mampu merespon terhadap perbedaan pelajar (siswa), yaitu: 1. Dimensi integrasi isi/materi (content integration). Dimensi ini digunakan oleh guru untuk memberikan keterangan dengan poin kunci pembelajaran dengan merefleksi materi yang berbeda-beda. Secara khusus, para guru menggabungkan kandungan materi pembelajaran ke dalam kurikulum dengan beberapa cara pandang yang beragam. Salah satu pendekatan umum adalah mengakui kontribusinya, yaitu guru-guru bekerja ke dalam kurikulum mereka dengan membatasi fakta tentang semangat kepahlawanan dari berbagai kelompok. Di samping itu, rancangan pembelajaran dan unit pembelajarannya tidak dirubah. Dengan beberapa pendekatan, guru menambah beberapa unit atau topik secara khusus yang berkaitan dengan materi multikultural.

2. Dimensi konstruksi pengetahuan (knowledge construction). Suatu dimensi dimana para guru membantu siswa untuk memahami beberapa perspektif dan merumuskan kesimpulan yang dipengaruhi oleh disiplin pengetahuan yang mereka miliki. Dimensi ini juga berhubungan dengan pemahaman para pelajar terhadap perubahan pengetahuan yang ada pada diri mereka sendiri; 3. Dimensi pengurangan prasangka (prejudice ruduction). Guru melakukan banyak usaha untuk membantu siswa dalam mengembangkan perilaku positif tentang perbedaan kelompok. Sebagai contoh, ketika anak-anak masuk sekolah dengan perilaku negatif dan memiliki kesalahpahaman terhadap ras atau etnik yang berbeda dan kelompok etnik lainnya, pendidikan dapat membantu siswa mengembangkan perilaku intergroup yang lebih positif, penyediaan kondisi yang mapan dan pasti. Dua kondisi yang dimaksud adalah bahan pembelajaran yang memiliki citra yang positif tentang perbedaan kelompok dan menggunakan bahan pembelajaran tersebut secara konsisten dan terus-menerus. Penelitian menunjukkan bahwa para pelajar yang datang ke sekolah dengan banyak stereotipe, cenderung berperilaku negatif dan banyak melakukan kesalahpahaman terhadap kelompok etnik dan ras dari luar kelompoknya. Penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan teksbook multikultural atau bahan pengajaran lain dan strategi pembelajaran yang kooperatif dapat membantu para pelajar untuk mengembangkan perilaku dan persepsi terhadap ras yang lebih positif. Jenis strategi dan bahan dapat menghasilkan pilihan para pelajar untuk lebih bersahabat dengan ras luar, etnik dan kelompok budaya lain. 4. Dimensi pendidikan yang sama/adil (equitable pedagogy). Dimensi ini memperhatikan cara-cara dalam mengubah fasilitas pembelajaran sehingga mempermudah pencapaian hasil belajar pada sejumlah siswa dari berbagai kelompok. Strategi dan aktivitas belajar yang dapat digunakan sebagai upaya memperlakukan pendidikan secara adil, antara lain dengan bentuk kerjasama (cooperatve learning), dan bukan dengan cara-cara yang kompetitif (competition learning). Dimensi ini juga menyangkut pendidikan yang dirancang untuk membentuk lingkungan sekolah, menjadi banyak jenis kelompok, termasuk kelompok etnik, wanita, dan para pelajar dengan kebutuhan khusus yang akan memberikan pengalaman pendidikan persamaan hak dan persamaan memperoleh kesempatan belajar. 5. Dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial (empowering school culture and social structure). Dimensi ini penting dalam memperdayakan budaya siswa yang dibawa ke sekolah yang berasal dari kelompok yang berbeda. Di samping itu, dapat digunakan untuk menyusun struktur sosial (sekolah) yang memanfaatkan potensi budaya siswa yang beranekaragam sebagai karakteristik struktur sekolah setempat, misalnya berkaitan dengan praktik kelompok, iklim sosial, latihan-latihan, partisipasi ekstra kurikuler dan penghargaan staff dalam merespon berbagai perbedaan yang ada di sekolah.

Pendekatan yang bisa dipakai dalam proses pembelajaran di kelas multikultural adalah pendekatan kajian kelompok tunggal (Single Group Studies) dan pendekatan perspektif ganda (Multiple Perspektives Approach). Pendidikan multikultural di Indonesia pada umumnya memakai pendekatan kajian kelompok tunggal. Pendekatan ini dirancang untuk membantu siswa dalam mempelajari pandangan-pandangan kelompok tertentu secara lebih mendalam. Oleh karena itu, harus tersedia data-data tentang sejarah kelompok itu, kebiasaan, pakaian, rumah, makanan, agama yang dianut, dan tradisi lainnya. Data tentang kontribusi kelompok itu terhadap perkembangan musik, sastra, ilmu pengetahuan, politik dan lain-lain harus dihadapkan pada siswa. Pendekatan ini terfokus pada isu-isu yang sarat dengan nilai-nilai kelompok yang sedang dikaji. Sedangkan pendekatan perspektif ganda (Multiple Perspectives) adalah pendekatan yang terfokus pada isu tunggal yang dibahas dari berbagai perspektif kelompok-kelompok yang berbeda. Pada umumnya, guru-guru memiliki berbagai perspektif dalam pembelajarannya. Dalam kaitan ini, Bannet dan Spalding (1992) menyarankan agar pembelajaran menggunakan pendekatan perspektif ganda, dengan alasan pendekatan itu nampak lebih efektif. Pendekatan perspektif ganda membantu siswa untuk menyadari bahwa suatu peristiwa umum sering diinterpretasikan secara berbeda oleh orang lain, dimana interpretasinya sering didasarkan atas nilai-nilai kelompok yang mereka ikuti. Solusi yang dianggap baik oleh suatu kelompok (karena solusi itu sesuai dengan nilai-nilainya), sering tidak dianggap baik oleh kelompok lainnya karena tidak cocok dengan nilai yang diikutinya (Savage & Armstrong, 1996). Keunggulan pendekatan perspektif ganda ini terletak pada proses berpikir kritis terhadap isu yang sedang dibahas sehingga mendorong siswa untuk menghilangkan prasangka buruk. Interaksi dengan pandangan kelompok yang berbeda-bebada memungkinkan siswa untuk berempati. Hasil penelitian (Byrnes, 1988) membuktikan bahwa siswa yang rendah prasangkanya menunjukkan sikap yang lebih sensitif dan terbuka terhadap pandangan orang lain. Mereka juga mampu berpikir kritis, karena mereka lebih bersikap terbuka, fleksibel, dan menaruh hormat pada pendapat yang berbeda (Walsh, 1988). Bahan pelajaran dan aktivitas belajar yang kuat aspek afektifnya tentang kehidupan bersama dalam perbedaan kultur terbukti efektif untuk mengembangkan perspektif yang fleksibel (Byrnes, 1988). Siswa yang memiliki rasa empati yang besar memungkinkan dia untuk menaruh rasa hormat terhadap perbedaan cara pandang. Tentu saja hal itu akan mampu mengurangi prasangka buruk terhadap kelompok lain. Membaca buku sastra multietnik dapat mengurangi stereotipe negatif tentang budaya orang lain (Walker-Dalhouse, 1992). Pendekatan perspektif ganda mengandung dua sasaran yaitu meningkatkan empati dan menurunkan prasangka. Empati terhadap kultur yang berbeda merupakan prasyarat bagi upaya menurunkan prasangka.

Bagaimana Mengembangkan Pembelajaran Berbasis Multikultural? Ada beberapa hal yang perlu dijadikan perhatian dalam mengembangkan pembelajaran berbasis multikultural 1. Melakukan analisis faktor potensial bernuansa multikultural Analisis faktor yang dipandang penting dijadikan pertimbangan dalam mengembangkan model pembelajaran berbasis multikultural, yang meliputi: (a) tuntutan kompetensi mata pelajaran yang harus dibekalkan kepada peserta didik berupa pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), dan etika atau karakter (ethic atau disposition); (b) tuntutan belajar dan pembelajaran, terutama terfokus membuat orang untuk belajar dan menjadikan kegiatan belajar adalah proses kehidupan; (c) kompetensi guru dalam menerapkan pendekatan multikultural. Guru sebaiknya menggunakan metode mengajar yang efektif, dengan memperhatikan referensi latar budaya siswanya. Guru harus bertanya dulu pada diri sendiri, apakah ia sudah menampilkan perilaku dan sikap yang mencerminkan jiwa multikultural; (d) analisis terhadap latar kondisi siswa. Secara alamiah siswa sudah menggambarkan masyarakat belajar yang multikultural. Latar belakang kultural siswa akan mempengaruhi gaya belajarnya. Agama, suku, ras/etnis dan golongan serta latar ekonomi orang tua, bisa menjadi stereotipe siswa ketika merespon stimulus di kelasnya, baik berupa pesan pembelajaran maupun pesan lain yang disampaikan oleh teman di kelasnya. Siswa bisa dipastikan memiliki pilihan menarik terhadap potensi budaya yang ada di daerah masing-masing: (e) karakteristik materi pembelajaran yang bernuansa multikultural. Analisis materi potensial yang relevan dengan pembelajaran berbasis multikultural, antara lain meliputi: (1) menghormati perbedaan antar teman ( gaya pakaian, mata pencaharian, suku, agama, rtnis dan budaya); (2) menampilkan perilaku yang didasari oleh keyakinan ajaran agama masing-masing; (3) kesadaran bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; (4) membangun kehidupan atas dasar kerjasama umat beragama untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan; (5) mengembangkan sikap kekeluargaan antar suku bangsa dan antra bangsa-bangsa; (6) tanggung jawab daerah (lokal) dan nasional; (7) menjaga kehormatan diri dan bangsa; (8) mengembangkan sikap disiplin diri, sosial dan nasional; (9) mengembangkan kesadaran budaya daerah dan nasional; (10) mengembangkan perilaku adil dalam kehidupan; (11) membangun kerukunan hidup; (12) menyelenggarakan proyek budaya dengan cara pemahaman dan sosialisasi terhadap simbol-simbol identitas nasional, seperti bahasa Indonesia, lagu Indonesia Raya, bendera Merah Putih, Lambang negara Garuda Pancasila, bahkan budaya nasional yang menggambarkan puncak-pucak budaya di daerah; dan sebagainya.

2. Menetapkan strategi pembelajaran berkadar multikultural

Pilihan strategi yang digunakan dalam mengembangkan pembelajaraan berbasis multikultural, antara lain: strategi kegiatan belajar bersama-sama (Cooperative Learning), yang dipadukan dengan strategi pencapaian konsep (Concept Attainment) dan strategi analisis nilai (Value Analysis); strategi analisis sosial (Social Investigation). Beberapa Pilhan strategi ini dilaksanakan secara simultan, dan harus tergambar dalam langkahlangkah model pembelajaran berbasis multikultural. Namun demikian, masing-masing strategi pembelajaran secara fungsional memiliki tekanan yang berbeda. Strategi Pencapaian Konsep, digunakan untuk memfasilitasi siswa dalam melakukan kegiatan eksplorasi budaya lokal untuk menemukan konsep budaya apa yang dianggap menarik bagi dirinya dari budaya daerah masing-masing, dan selanjutnya menggali nilai-nilai yang terkandung dalam budaya daerah asal tersebut. Strategi cooperative learning, digunakan untuk menandai adanya perkembangan kemampuan siswa dalam belajar bersama-sama mensosialisasikan konsep dan nilai budaya lokal dari daerahnya dalam komunitas belajar bersama teman. Dalam tataran belajar dengan pendekatan multikultural, penggunaan strategi cooperative learning, diharapkan mampu meningkatkan kadar partisipasi siswa dalam melakukan rekomendasi nilai-nilai lokal serta membangun cara pandang kebangsaan. Dari kemampuan ini, siswa memiliki keterampilan mengembangkan kecakapan hidup dalam menghormati budaya lain, toleransi terhadap perbedaan, akomodatif, terbuka dan jujur dalam berinteraksi dengan teman (orang lain) yang berbeda suku, agama etnis dan budayanya, memiliki empati yang tinggi terhadap perbedaan budaya lain, dan mampu mengelola konflik dengan tanpa kekerasan (conflict non violent). Selain itu, penggunaan strategi cooperative learning dalam pembelajaran dapat meningkatkan kualitas dan efektivitas proses belajar siswa, suasana belajar yang kondusif, membangun interaksi aktif antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa dalam pembelajaran. Sedangkan strategi analisis nilai, difokuskan untuk melatih kemampuan siswa berpikir secara induktif, dari setting ekspresi dan komitmen nilai-nilai budaya lokal (cara pandang lokal) menuju kerangka dan bangunan tata pikir atau cara pandang yang lebih luas dalam lingkup nasional (cara pandang kebangsaan). Bertolak dari keempat strategi pembelajaran di atas, pola pembelajaran berbasis multikultural dilakukan untuk meningkatkan kesadaran diri siswa terhadap nilai-nilai keberbedaan dan keberagaman yang melekat pada kehidupan siswa lokal sebagai faktor yang sangat potensial dalam membangun cara pandang kebangsaan. Dengan kesadaran diri siswa terhadap nilai-nilai lokal, siswa di samping memiliki ketegaran dan ketangguhan secara pribadi, juga mampu melakukan pilihan-pilihan rasional (rational choice) ketika berhadapan dengan isu-isu lokal, nasional dan global. Siswa mampu menatap perspektif global sebagai suatu realitas yang tidak selalu dimaknai secara emosional, akan tetapi juga rasional serta tetap sadar akan jati diri bangsa dan negaranya. Kemampuan akademik tersebut, salah satu indikasinya ditampakkan oleh siswa dalam perolehan hasil pembelajaran yang dialami. Kriteria yang dapat digunakan untuk mengetahui keberhasilan kegiatan belajar siswa adalah laporan kerja (makalah), unjuk kerja dan partisipasi yang ditampilkan oleh siswa dalam pembelajaran dengan cara diskusi dan curah pendapat, yang meliputi rasional berpendapat, toleransi dan empati terhadap menatap nilai-nilai budaya daerah asal teman,

serta perkembangan prestasi belajar siswa setelah mengikuti tes di akhir pembelajaran. Selain itu, kriteria lain yang dapat digunakan adalah unjuk kerja yang ditampilkan oleh guru di dalam melaksanakan pendekatan multikultural dalam pembelajarannya. Guru yang bersangkutan selalu terlibat dalam setiap fase kegiatan pembelajaran, baik dalam kegiatan diskusi dan refleksi hasil temuan awal, penyusunan rencana tindakan, pelaksanaan tindakan, pengamatan dalam pelaksaan tindakan, diskusi dan refleksi hasil pelaksanaan tindakan, dan penentuan/penyususunan rencana tindakan selanjutnya dalam pencapain tujuan pembelajaran. 3. Menyusunan rancangan pembelajaran berbasis multikultural Penyusunan rancangan pembelajaran PKn yang bernuansa multikultural, dapat dilakukan melalui lima tahapan utama, yaitu: (1) analisis isi (content analysis); (2) analisis latar kultural (setting analysis); (3) pemetaan materi (maping contents); (4) pengorganisasian materi (contents organizing) pembelajaran PKn; dan (5) menuangkan dalam format pembelajaran. Kelima tahapan proses dalam merumuskan rancangan pembelajaran PKn tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut: a. Analisis isi, yaitu proses untuk melakukan identifikasi, seleksi, dan penetapan materi pembelajaran PKn. Proses ini bisa ditempuh dengan berpedoman atau menggunakan rambu-rambu materi yang terdapat dalam GBPP, antara lain mengenai materi standar minimal, urutan (sequence) dan keluasan (scope) materi, kompetensi dasar yang dimiliki, serta ketrampilan yang dikembangkan. Di samping itu, dalam menganalisis materi guru hendaknya juga menggunakan pendekatan nilai-moral, yang karakteristiknya meliputi pengetahuan moral, pengenalan moral, pembiasaan moral dan pelakonan moral (Depdiknas, 2000) b. Analisis latar kultural dikembangkan dari pendekatan kultural dan siklus kehidupan (life clycle), yang di dalamnya mengandung dua konsep, yaitu konsep wilayah atau lingkungan (lokal, regional, nasional dan global); dan konsep manusia beserta aktivitasnya yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Selain itu, analisis latar juga mempertimbangkan nilainilai kultural yang tumbuh dan berkembang serta dijunjung tinggi oleh suatu masyarakat serta kemungkinan kemanfaatannya bagi kehidupan siswa. c. Pemetaan materi pembelajaran yang berkaitan erat dengan prinsip yang harus dikembangkan dalam mengajarkan nilai dan moral, yaitu prinsip: dari yang mudah ke sukar; dari yang sederhana ke sulit; dari konkrit ke abstraks; dari lingkungan sempit/dekat menuju lingkungan yang meluas. d. Pengorganisasian Materi PKn, dengan pendekatan multikultural harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip 4 W dan 1 H, yaitu: What (apa), Why (mengapa), When (kapan), Where (di mana) dan How (bagaimana). Dalam rancangan pembelajaran PKn, kelima prinsip ini, harus diwarnai oleh ciri-ciri pembelajaran dengan multikultural, dalam menuju

pelakonan (experiences) nilai-moral yang berlandaskan pada asas empatisitas tinggi dan kejujuran serta saling menghargai keunggulan masing-masing. Selain itu, pengorganisasian materi pembelajaran perlu memperhatikan beberapa dimensi yang mampu menggambarkan karakteristik kerja multikultural, antara lain dimensi isi/materi (content integration), dimensi konstruksi pengetahuan (konwledge construction), dimensi pengurangan prasangka (prejudice reduction); dimensi pendidikan yang sama/adil (eguitable pedagogy), dan dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan sruktur sosial (empawering school culture and social structure) Kesemuanya dilakukan dengan memberdayakan metode pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk bermultikultural. e. Menuangkan ke dalam tahapan model pembelajaran berbasis multikultural.

Tahapan proses tindakan yang dilakukan dalam mengembangkan pembelajaran pembelajaran berbasis multikultural dikemukakan dalam matriks berikut.

No. Tahap Kegiatan Deskripsi Kegiatan 1. Studi eksplorasi diri dan lingkungan sosial-budaya (lokal) siswa yang potensial dengan substansi multikultural Menugaskan kepada siswa untuk melakukan eksplorasi lokal, yang meliputi diri sendiri dan lingkungan sosial-budaya bernuansa multikultural (daerah asal), dengan ketentuan: (a) memilih masalah yang menarik bagi mereka, bisa masalah stereotipe, suku, agama, ras/etnis, bahasa daerah, adat-kebiasaan, kesenian dan organisasi sosial setempat; (b) menggambarkan bagaimana ekspresinya (perangkat dan tampilan); (c) menggali nilai-nilai dan landasan filosofik yang digunakan oleh masyarakat asal siswa; dan (d) memproyeksikan prospek nilai-nilai dan filosofi dari masalah terpilih dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan berbangsa dan bernegara. 2. Presentasi hasil eksplorasi Siswa mempresentasikan hasil eksplorasi (bisa individual atau kelompok) terhadap masalah lokal yang menarik bagi dirinya, di hadapan teman atau kelompok lain.

3. Peer group analysis Teman lain atau siswa yang telah dibagi menjadi beberapa kelompok, dimohon untuk mengalisis dan memberi komentar terhadap presentasi hasil eksplorasi masalah terpilih. Secara bergiliran masing-masing siswa atau kelompok memprensentasikan hasil analisisnya. Guru merekam beberapa masukan dan komentar yang muncul di antara mereka. 4. Expert opinion Guru memberikan komentar mengenai hasil eksplorasi yang dipresentasikan dan beberapa komentar teman.

5. Refleksi, rekomendasi dan membangun komitmen Guru bersama siswa melakukan refleksi tampilan siswa dan rekomendasi terhadap keunggulan nilai-nilai budaya lokal yang diperkirakan memiliki potensi dan prospek dalam membangun komitmen nilai yang dapat digunakan sebagai perekat persatuan dan kesatuan baik dalam kehidupan lokal maupun kehidupan nasional (cara pandang kebangsaan)

f. Menyusun Rancangan Pembelajaran PKn dengan Pendekatan Multikultural

Beberapa perangkat yang diperlukan dala menyusun rancangan pembelajaran berbasis multikultural, antara lain, adalah menetapkan topik pembelajaran yang mengandung pesan multikultural, organisasi materi, penetapan strategi, metode dan teknik pembelajaran multikultural, penetapan media, dan evaluasi pembelajaran penuangan dalam format rancangan pembelajaran. Alternatif, topik yang diangkat dalam pembelajaran dengan pendekatan multikultural adalah Mengembangkan Kesadaran Berbudaya. Rancangan pembelajaran dengan pendekatan multikultural dapat dikemukakan sebagai berikut.

Pokok Bahasan/Topik: Mengembangkan Kesadaran Berbudaya Jenjang : SMP Kelas : III (tiga) Semester : 1 (satu)

I. Kompetensi Dasar Pembelajaran: Siswa dapat mendeskripsikan keanekaragaman budaya daerah sebagai kekayaan kebudayaan nasional. Menjelaskan alasan perlunya kesadaran membina dan melestarikan nudaya daerah dan nasional. Berperilaku dalam pengembangan dan pelestarian budaya daerah dan nasional. II. Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK): 1. Siswa dapat mengenali jenis-jenis budaya (adat kebiasaan, upacara adat/budaya, kesenian daerah dan benda-benda budaya yang berasal di lingkungan daerahnya.

2. Siswa dapat menunjukkan salah satu jenis kebudayaan yang paling disukai yang berasal dari daerahnya. 3. Siswa dapat menyebutkan nilai-nilai luhur budaya daerah yang paling disukai (misalnya: nilai religius/keagamaan, nilai sosial/kemanusiaan, nilai kerukunan/gotong royong/persatuan, nilai kerjasama/musyawarah, nilai ekonomi, pendidikan, dan keadilan). 4. Siswa dapat mengkomunikasikan jenis dan nilai-nilai dari budaya daerah yang disukainya. 5. Siswa dapat menemukenali jenis dan nilai-nilai luhur dari budaya daerah yang disukai oleh teman lain dari budaya daerah masing-masing. 6. Siswa dapat mencocokkan nulai-nilai budaya daerah teman lain dengan nilai-nilai budaya daerah sendiri. 7. Siswa dapat menentukan sikap terhadap nilai-nilai budaya daerahnya yang tidak cocok dengan nilai budaya daerah teman. 8. Siswa dapat menentukan sikap (kompromis) untuk memberlakukan nilai-nilai budaya yang cocok antara budaya daerah sendiri dan budaya daerah teman yang lain. 9. Siswa dapat menentukan kegiatan untuk mengembangkan nilai-nilai budaya daerah yang cocok baik budaya daerah sendiri maupun budaya daerah teman lain. 10. Siswa dapat melakukan komitmen untuk melestarikan nilai-nilai budaya bersama terhadap pengaruh negatif dan positif nilai-nilai budaya asing. III. Proses Belajar-Mengajar Hal-hal yang perlu dipersiapkan: a. Strategi pembelajaran yang digunakan adalah strategi analisis nilai b. Metode yang dominan: dialog/diskusi, resitasi (penugasan), curah pendapat, tanya jawab dan refleksi. c. Media dan mumber: (1) Puisi Bhinneka Tunggal Ika; (2) Gambar benda budaya daerah (diusahakan yang tidak sama dengan kebudayaan daerah siswa di kelas pembelajaran, agar pelakonan siswa lebih bersifat alamiah; (3) Buku-buku PKn untuk SMP Kelas III. 1. Kegiatan Awal Pembelajaran: 1. Kegiatan Awal Pembelajaran:

1. Guru mengkomunikasikan topik (pokok bahasan) pembelajaran kepada sisiwa. 2. Sebagai bahan apersepsi guru bercerita tentang keanekaragaman budaya di Nusantara. 3. Guru mengajak siswa untuk membaca puisi Bhinneka Tunggal Ika, dan selanjutnya curah pendapat isi kandungan puisi dalam kaitannya dengan keperluan pembelajaran. Puisi Bhinneka Tunggal Ika Bhinneka Tunggal Ika Lambang negara kita Republik Indonesia Beribu-ribu pulaunya Berjuta-juta rakyatnya Namun satu citanya Bhinneka Tunggal Ika Ikrar kita bersama Kita bina selamanya Persatuan bangsa Kesatuan jiwa Indonesia bahagia (Syair: A. Thalib) Penjelasan guru (alternatif): Dari syair puisi yang telah kita baca tadi, kamu dapat memetik makna realitas kehidupan bangsa kita (Indonesia), terutama semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yaitu yang berbeda-beda pada dasarnya adalah satu. Dalam semboyan itu mengandung makna pula adanya panggilan kita untuk membina budaya dalam arti memiliki kesadaran untuk mengembangkan serta melestarikannya. Persatuan dan kesatuan adalah jiwa kita, sedangkan keanekaragaman budaya daerah adalah kekayaan dan isi dari kehidupan berbangsa dan bermasyarakat Indonesia. 2. Kegiatan Inti Pembelajaran (1). Guru mengidentifikasi variasi perbedaan daerah asal siswa.

(2). Membentuk formasi kelas, jika memungkinkan dengan posisi melingkar, sehingga mempermudah untuk melakukan dialog secara mendalam. (3). Guru mempersilahkan siswa untuk memperkenalkan diri (nama, daerah asal, agama, etnis, dan sebagainya). (4). Melakukan kegiatan pembelajaran yang diadaptasi dari tuntutan tujuan pembelajaran (tujuan nomor 1 sampai dengan 10). a. Mempersilahkan siswa untuk mengkomunikasikan jenis budaya daerahnya dan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya kepada teman lain. (Guru atau bisa meminta teman untuk menuliskan di papan). b. Mempersilahkan siswa untuk menemukenali jenis dan nilai budaya daerah yang disukai teman lain dari budaya daerah masing-masing. Kegiatan ini dilakukan ketika kegiatan (d) dilakukan. Pada saat teman menyampaikan nilai-nilai budaya daerahnya, teman yang lain memperhatikan dan menulis jenis budaya dan nilai-nilai apa saja yang disampaikan oleh teman. c. Menugasi siswa untuk mengidentifikasi (menuliskan) nilai-nilai budaya daerah teman lain yang cocok (sama) dengan nilai budaya daerah sendiri. Guru atau menugasi seorang siswa mengidentifikasi dengan menuliskan di papan tulis. d. Guru memberikan penegasan kepada siswa bahwa nilai-nilai budaya yang sama itu termasuk sebagian nilai-nilai dari kebudayaan nasional. Jika kegiatan kitas (anak-anak), ditambah dengan menggali nilai-nilai budaya daerah lebih banyak lagi, maka akan semakin banyak nilai-nilai yang sama dan berlaku di seluruh Indonesia. Cara berpikir yang demikian inilah sebenarnya merupakan bagian dari cara pandang kebangsaan Indonesia. e. Menanyakan perasaan dan sikap siswa (satu persatu) terhadap nilai-nilai budaya daerah yang tidak cocok (tidak sama) dengan nilai budaya daerah teman. Misalnya guru mengajukan pertanyaan: Nilai-nilai daerah anak-anak yang kebetulan tidak sama dengan nilai budaya teman anda, lalu mau diapakan?. Pada saat satu teman menyampaikan perasaan dan sikapnya, teman lain diminta mencermati dan menyapaikan tanggapannya. Agar tidak rawan konflik, tanggapan bukan diartikan sebagai bantahan, tetapi lebih banyak digunakan sebagai media membanguh empati dalam menerima perbedaan nilainilai budaya. f. Menugasi siswa uintuk membangun sikap kompromis dalam memberlakukan nilai-nilai budaya yang cocok (sama) dari seluruh budaya daerah, baik dari udaya daerah sendiri maupun budaya daerah teman. Sikap kompromis seyogyanya diarahkan pada sikap positif untuk menerima niali-nilai budaya yang cocok (sama) dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Guru memfasilitasi, menuliskan hasil kompromis siswa di papan tulis dan meminta siswa menuliskan di buku masing-masing.

g. Menugasi siswa untuk melakukan curah pendapat (brainstorming), bagaimana caranya untuk mengembangkan nilai-nilai budaya daerah yang cocok (sama) baik budaya daerah sendiri maupun budaya dari daerah teman. Kegiatan ini senantiasa dipersepsikan untuk membangun kehidupan dalam lingkup yang levih luas (kehidupan nasional). h. Menugasi siswa untuk melakukan komitmen dalam melestarikan nilai-nilai budaya bersama (nasional) terhadap pengaruh dan komunikasi dengan nilai-nilai budaya asing. Guru memfasilitasi dengan mengajak anak-anak untuk mengidentifikasi dampak negatif dan positifnya nilai-nilai budaya asing, serta bagaimana menyikapi pengaruh negatif budaya asing dan pengaruh positif bagi kebudayaan nasional Indonesia. i. Guru memberikan pemantapan kepada siswa. Hal-hal yang perlu ditegaskan sekitar: Jika nilai-nilai budaya suatu daerah masih dipandang bermanfaat, seyogyanya perlu dilestarikan dan dikembangklan. Nilai-nilai budaya daerah yang memiliki kesamaan dengan nilai-nilai budaya daerah lain di nusantara, perlu dilestarikan dan dikembangkan, karena justru itu yang menggambarkan kehidupan budaya bangsa Indonesia. Nilai-nilai budaya asing yang bersifat positif perlu diterima untuk memperkuat kebudayaan nasional dan bukan untuk mengikis, menggusur dan bahkan mengganti kebudayaan nasional dengan nilai-nilai budaya asing. Kebudayaan nasional harus selalu tegar terhadap pengaruh kebudayaan asing bersifat negatif.

(5). Melakukan penilaian hasil belajar (diasumsikan penilaian proses telah dilakukan selama pembelajaran berlangsung). 3. Kegiatan Akhir Pembelajaran (1) Melakukan refleksi. Guru mempersilahkan beberapa siswa untuk melakukan refleksi sekitar kesan secara umum dari kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan. Misalnya apa yang dirasakan dan bisa didapatkan dari kegiatan pembelajaran ini, dan kesan cara belajar yang digunakan kegiatan pembelajaran. (2) Menyampaikan informasi tindak lanjut pembelajaran. Apa yang perlu dilakukan siswa terhadap materi yang telah dipelajari dan menganjurkan kepada siswa untuk selalu menghormati dan bersikap adaptif jika mereka hidup di masyarakat budaya daerah orang lain.

Guru Pengajar,

DAFTAR PUSTAKA

Al-Hakim, Suparlan. 2002. Strategi Pembelajaran Berdasarkan Deep Dialogue/Critical Thinking (DD/CT), P3G, Dirjen Dikdasmen. Ali, Muhamad. 2003. Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan. Jakarta. Penerbit Buku Kompas. Banks, J.A. 1993. Multicultural Educatian: Historical Development, Dimentions and Practrice In Review of Research in Education, vol. 19, edited by L. Darling- Hammond. Washington, D.C.: American Educational Research Association. Banks, J.A. 1991. Multicultural Education: Its Effects on Studies Racial and Gender Role Attitude In Handbook of Research on Sociel Teachng and Learning. New York: MacMillan. Banks, J.A. 1992. Multicultral Education: Historical Development, Dimentions and Practice In Review of Research in Education, Vol 19, edited by L Darling-Hammond, Washington, D.C.: American Educational Research Association. Banks, J.A. 1993. Multicultural Education: Its Effects on Studies Racial abd Gender Role Attitude In Handbook of Research on Social Teaching and Learning. New York.: MacMillan. Banks, J.A. 1994b. Multiethnic Education: Theory and Practice, 3rd ed. Boston: Allyn and Boston. Bennett,C. & Spalding,E. 1992. Teaching the Social Studies: Multiple Approaches for Multiple Perspectives. In Theory and Reseach in Social Education. XX:3(263-292). Byrnes, D.A. 1988. Children and Prejudice. Social Education. 52 (267-271). Dufty, D. 1986. Remodelling Australian Society and Culture: A Study in Education for a Pluralistic Society . In Modgil, C. & Verma S. & Modgil , S. (eds.) Multicultural Education , the Interminable Debate. London: The Falmer Press. Farris,P.J.&Cooper,S.M. 1994. Elementary Social Studies: a Whole language Approach. Iowa: Brown&Benchmark Publishers. Freedman, P.I. 1984. Multicultural Education: Establishing the Foundations. The Social Studies. 75 (200-203).

Geertz, Clifford, 1973. The Interpretation of Culture. New York. Basic Books. Inc. Gerlach, Venon S. & Donald Ely. 1971. Teaching and Media, A Systematic Approach. New Jersey. Englewood Cliff. Irawan, Prasetyo; Suciati; IGK Wardani. 1996. Teori Belajar, Motivasi dan Keterampilan Mengajar. Jakarta. PAU-UT. Joni, Raka, T. 1980. Strategi Belajar-Mengajar Suatu Tinjauan Pengantar. Jakarta. P3G. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Joyce, Bruce and Marsha Weil. 1992. Models of Teaching. New Jersey. Prentice Hall, Inc. Lickona, T. 1992. Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New York. Bantam Books. Liliweri, Alo. 2005. Prasangka & Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultural. Yogyakarta. LKiS. Savage, T.V.,& Armstrong, D.G. 1996. Effective Teaching in Elementary Social Studies. Ohio: Prentice Hall. Skeel, D.J. 1995. Elementary Social Studies: Challenge for Tomarrows World. New York: Harcourt Brace College Publishers. Sleeter, C.E. & Grant, C.A. 1988. Making Choice for Multicultural Education, File Approaches to Race, Class, and Gender. New York. MacMillan Publishing Compeny. Sleeter, C.E. & Grant. 1988. Making Choices for Multicultural Education, Fife Approaches to Race, Class, and Gender. New York: Macmillan Publishing Company. Sumpeno, W. 1996. Orientasi Pendidikan Politik dalam Membina Nilai-nilai Moral. Dalam Mimbar Pendidikan. Bandung. Jurnal Pendidikan No. 4 Tahun XV 1996. Walsh,K.& Agatucci,C. 2001. Mapping Theories Webmaster@cocc.edumailto:webmaster@cocc.edu of Multicultural Education.

Wiriaatmadja, R. 1996. Perspektif Multikultural dalam Pengajaran Sejarah. Dalam Mimbar Pendidikan. Bandung. Jurnal Pendidikan No. 4 Tahun XV 1996. BAB I KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM MERESPON TANTANGAN GLOBALISASI Analisis pemikiran H. A.R. Tilaar

A.Latar Belakang Masalah Indonesia adalah salah satu negara yang multikultural terbesar didunia, kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari sosio kultur maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Dengan jumlah yang ad diwilayah NKRI sekitar kurang lebih 13.000 pulau besar dan kecil, dan jumlah penduduk kurang lebih 200 juta jiwa,terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu juga menganut agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katholik, Kristen protestan, hindu,budha,konghucu, serta bnerbagai macam kepercayaan. Keragaman ini diakui atau tidak, akan dapat menimbulkan berbagai macam persoalan seprti yang sekarang ini dihadapi bangsa ini. Seperti korupsi, kolusi ,nepotisme, premanisme, perseteruan politik, kemiskinsn ,kekerasan, separatisme, perusakan lingkunghan dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk selalu menghargai hak-hak orang lain adalah bentuk nyata dari multikulturalisme itu. Contoh konkrit terjadinya tragedy pembunuhan besar-besaran tehadap pengikut partai PKI pada tahun 1965, kekerasan etnis cina di Jakarta pada bulan mei 1998 dan perang antara islam Kristen di maluku utara pada tahun 1999-2003. Berdasarkan permasalahan seperti diatas maka pendidikan multikulturalisme menawarkan satu altrnatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan berbasis pemanfaatan keragaman yang ada dimasyarakat. Khususnya yang ada pada siswa seperti: keragaman etnis, budaya ,bahasa ,agama, status sosial, gender, kemampuan umur dan ras. Walaupun pendidikan multikultural merupakan pendidikan relatif baru di dalam dunia pendidikan. Sebelum perang dunia II boleh dikatakan pendidikan multikultural belum dikenal. Malah pendidikan dijadikan sebagai alat politik untuk melanggengkan kekuasaan yang memonopoli sistem pendidikan untuk kelompok atau golongan tertentu. Dengan kata lain pendidikan multikultural meupakan gejala baru dalam pergaulan umat manusia yang mendambakan persaman hak, termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan yang sama untuk semua orang . Dalam penerapan strategi dan konsep pendidikan multikultural yang terpenting dalam strategi ini tidak hanya bertujuan agar supaya siswa mudah memahami pelajaran yang dipelajari, akan tetapi juga akan menigkatkan kesadaran mereka agar selalu berperilaku humanis, pluraklis dan demokratis. Begitu juga seorang guru tidak hanya menguasai materi secra professional tetapi juga harus mamapu meneanamkan nilai-nbilai inti dari pendidikan multikultural sepreti : humanisme, demokratis dan pluralisme. Wacana pendidikan multikultural salah satu isu yang mencuat kepermukan di era globalisasi seperti saat ini mengandaikan, bahwa pendidikan sebagai ruang tranformasi budaya hendaknya selalu mengedepankan wawasan multikultural, bukan monokultural. Untuk memperbaiki kekurangan dan kegagalan, serta memebongkar praktik-praktik diskriminatif dalam proses pendidikan. Sebagaimana yang masih kita ketahui peranginya dalam dunia pendidikan nasional kita,bahkan hingga saat inj.

Dalam konteks ini,pendidikan multikultural merupakan pendekatan progresif, pebndekatan ini sejalan dengan prinsif penyelenggaraan pendidikan yang termaktub dalam undang undang dan sistem pendidikan (SISDIKNAS) tahun 2003 pasal 4 ayat 1,yang berbunyi bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskrinminatif dengan menjunjung tinggi hak asai manusia (HAM), nilai agama, nilai kultur, dan kemajemukan bangsa. Pendidikan multikultural juga didasarkan pada keadilan sosial dan persamaan hak dalam pendidikan. Dalam doktrin islam,ada ajaran kita tidak boleh membeda-beda etnis, ras dan lain sebagainya. Manusia sama, yang membedakan adalah ketaqwaan kepada Allah SWT. Dalam kaitanya dengan pendidikan multikultural hal ini mencerminkan bagaimana tingginya penghargaan islam terhadap ilmu pengetahuan,dalam islam tidak ada pembedaan dan pembatasan diantara manusia dalam haknya untuk menuntut atau memperoleh ilmu pengetahusn. Wajah monokulturalisme didunia pendidikan kita masih kentara sekali bila kita tilik dari berbagai dimensi pendidikan. Mulai dari kuirikulum, materi pelajaran, hingga metode pengajaran yang disampaikan oleh guru dalam proses belajar mengajar (PBM) diruang kelas hingga penggalan-penggalan terakhir dari abad ke-20 sistem penyelenggaraan pendidikan di Indonesia masih didominasi oleh pendekatan keseragaman (Etatisme) lengkap dengan kekuassaan birokrasi yang ketat, bahkan otoriter. Dalam kondisi seperti ini, tuntutan dari dalam dan luar negeri akan pendekatan yang semakin seragam dan demokratis terus mendesak dan perlu di implementasikan. Dalam wacana pendidikan multikultural banyak dilakukan berbagai mcam cara diantaranya diadakan loka karya, seminar-seminar disekolah-sekol;ah, maupun dimasyarkat luas, untuk menigkatkan kepekaan sosial, toeransi dan mengurangi prasangka antar kelompok. Untuk mewujudkan model-model tersebut, maka pendidikan multikultural di Indonesia perlu mempertimbangkan kombinasi model yang ada, agar seperti yang diajukan Groski, pendidikan multicultural dapat mencakup tiga hal jenis tranformasi yaitu, trnformasi diri,tranformasi sekolah dan proses belajar mengajar serta tranformasi masyarakat. Dengan menggunakan berbagai macam cara dan strategi pendidikan serta mengimplementasikanya yang mempunyai visi dan misi yang selalu menegakan dan mnenghargai pluralisme, demkrasi dan humanisme. Diharapkan para generasi penerus menjadi Generasi Multikultural yang menghargai perbedaan, selalu menegakan nilainilai demokrasi, keadilan dan kemanusiaan yang akan datang. B. Rumusan Masalah Setiap masalah merupakan suatu problem yang memerlukan pemecahan agar arah dan tujuan penelitian dapat sesuai dengan apa yang diharapkn. Hal ini senada dengan pendapat Suharsini Arikunto bahwa masalah merupakan bagian kebutuhan seseorang untuk dipecahkan, orang lain mengadakan penelitian,karena ia mendapatkan jawaban yang dihadapinya.

Berdasarkan pendapat diatas dapat diambil suatu pengertian, bahwa masalah adalah ssuatu yang menjadi sasaran peneltian yang perlu dipecahkan melalui proses penelitian. Berpangkal pada latar belakangmasalah diatas,maka penulis dapat merumuskan penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagaimana konsep pendidikan multikulturalisme diindonesia 2. seberapa jauh signifikansi konsep pendidikan multikulturalime dalam problematika pendidikan C. Tujuan Penelitian 1. Ingin mengetahui seberapa jauh konsep pendidikan multicultural yang diterapkan diindonesia. 2. Ingin mengetahui seberapa jauh signifikansi konsep pendidikan multikultural dalam problematika pendidikan. D. Kegunaan Penelitian Dari kerangka pemikiran diatas,ada beberapa kegunaan yang penulis harapkan dalam penelitian. 1. Untuk melengkapi tufgas-tugas dan persyaratan dalm menempuh gelar sarjana PAI pada fakultas tarbiyah IAIT kediri. 2. Untuk mendapatkan pijakan dan landasan yang konkrit dalam rangka merumuskan tujuan penelitan. 3. Sebagai khasanah disiplin ilmu pendidikan bagi fakultas tarbiyah melangsungkan kegiatan pendidikan. E.Metode Penelitian dan Sumber data Data-data yang diperlukan dalam sebuah penelitian ini adalah hal-hal yang berkaitan dengan sebuah pemikiran tentang pendidikan kemudian dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian Librari reseach (Riset Kepustakaan) sebgai metode pengumpulan data drngan membaca dan menelaah literature-literatur yang berhubungan dengan permasalahan-permasalahan yang telah disebutkan diatas. Untuk sumber primer penulis menggunakan buku Multikulturalisme tantangan-tantangan Gelobal masa depan dalam tranformasi pendidikan nasional, yang ditulis oleh: H.A.R. Tilaar. Sedangkan sebagai sumber sekunder penulis menggunakan berbagai literature buku, majalah, internet, dan media-media lain yang berhubungan dengan rumusan masalah tersebut diatas. Bahan-

bahan itu penulis jadikan sebagai bahan yang melengkapi, agar penulis ini lebih dalam dan obyektif. F. Definisi Istilah Sesuai dengan judul penulis ajukan, agar tidak terjadi kesalah pahaman dalam memahami judul skripsi ini maka penulis jelaskan beberapa istilah untuk menyamakan pemahaman dalam judul skripsi ini yaitu: Konsep pendidikan Multikulturalisme dalam merespon tantangan globalisasi . 1.Konsep pendidikan : Suatu ide atau gagasan proses perubahan sikap dan tata laku seseoarang kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upanya pengajaran dan pelatihan. 2. Multikultural :Keanekaragaman kebudayaan dalam suatu komunitas atau bangsa. G. Sistematika Penulisan Untuk mencapai pembhasan yang sistematis dalam penelitian ini, maka perlu diberi gambaran secara singkat tentang sistematika pembahasan judul skripsi ini. Adapun sistematika dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: BAB I : Pendahuluan yang terdiri dari: Latar belakang masalah, tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Metode Penelitian dan Sumber data, Sistematika Penulisan. BAB II : Konsep Pendidikan Multikultural : Pengertian pendidikan Multikultural : Kondisi Masyarakat : Masyarakat Berbasis Ilmu Pengetahuan BAB III : Konsep Pendidikan Multikultural Dalam SISDIKANAS : Politik dan Multikultural :Pendidikan Multikultural dalam Dimensi Pendidikan Nasional. : Visi Dan Misi PendidikanNasional BAB IV : BAB V : Penutup Yang Berisi Kesimpulan dan Saran-Saran.

BAB II KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

A. Pengertian Pendidikan Multikultural Indonesia adalah merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia, kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas, selain itu, Indonesia termasuk salah satu dari sekian puluh negara berkembang. Sebagai negara berkembang, menjadikan pendidikan sebagai salah satu sarana startegis dalam upanya membangun jati diri bangsa adalah sebuah langkah yang bagus, relatif tepat, dan menjanjikan pendidikan yang layak dan kelihatannya tepat dan kompatibel untuk membangun bangsa kita adalah dengan model pendidikan multikultural. berkaitan dengan hal ini, maka pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis,budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur dan ras.1 Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan berikut. Satu, pendidikan multikultural secara inhern sudah ada sejak bangsa Indonesia ini ada. Falsafah bangsa Indonesia adalah bhineka tunggal ika, suka gotong royong, membantu, dan menghargai antar satu dengan yang lainnya.betapa dapat dilihat dalam potret kronologis bangsa ini yang sarat dengan masuknya berbagai suku bangsa asing dan terus berakulturasi dengan masyarakat pribumi. Misalnya etnis cina, etnis arab, etnis arya, etnis erofa, etnis afrika dan sebagainya. Semua suku itu ternyata secara kultural telah mampu beradaptasi dengan suku-suku asli negara Indonesia. Misalnya suku jawa, batak, minang, bugis, ambon, papua, suku dayak, dan suku sunda. Proses adaptasi dan akulturasi yang berlangsung di antara suku-suku tersebut dengan etnis yang datang kemudian itu, ternyata sebagian besar dilakukan dengan damai tanpa adanya penindasan yang berlebihan. Proses inilah yang dikenal dengan pendidikan multikultural. Hanya saja model pendidikan multikultural ini semakin tereduksi dengan adanya kolonialisasi di bibidang ploitik, ekonomi, dan mulai merambah ke bidang budaya dan peradaban bangsa. Dua, pendidikan multikultural memberikan secerah harapan dalam mengatasi berbagai gejolak masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini. Pendidikan multikultural, adalah pendidikan yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai, keyakinan, heterogenitas, pluralitas dan keragaman, apapun aspeknya dalam masyarakat. Dengan demikian, pendidikan multikultural yang tidak menjadikan semua manusia sebagai manusia yang

bermodel sama, berkepribadian sama, berintelektual sama, atau bahkan berkepercayaan yang sama pula. Tiga, pendidikan multikultural menentang pendidikan yang beroreintasi bisnis. Pada saat ini, lembaga pendidikan baik sekolah atau perguruan tinggi berlomba-lomba menjadikan lembaga pendidikannya sebagai sebuah institusi yang mampu menghasilkan income yang besar. Dengan alasannya, untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada peserta didik. Padahal semua orang tahu, bahwa pendidikan yang sebenarnya bagi bangsa Indonesia bukanlah pendidikan keterampilan belaka, melainkan pendidikan yang harus mengakomodir semua jenis kecerdasan.yang sering dikenal dengan nama kecerdasan ganda (multiple intelligence). Empat, pendidikan multikultural sebagai resistensi fanatisme yang mengarah pada berbagai jenis kekerasan. Kekersan muncul ketika saluran kedamaian sudah tidak ada lagi. Kekerasan tersebut sebagai akibat dari akumulasinya berbagai persoalan masyarakat yang tidak diselesaikan secara tuntas dan saling menerima. Ketuntasan penyelesaian berbagai masalah masyarakat adalah prasyarat bagi munculnya kedamaian. Fanatisme yang sempit juga bisa meyebabkan munculnya kekerasan. Dan fanatisme ini juga berdimensi etnis, bahasa, suku, agama, atau bahkan sistem pemikiran baik di bidang pendidikan, politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Pertimbangan-pertimbangan itulah yang barang kali perlu dikaji dan direnungkan ulang bagi subjek pendidikan di Indonesia. salah satunya dengan mengembangkan model pendidikan multikultural. Yaitu pendidikan yang mampu mengakomodir sekian ribu perbedaan dalam sebuah wadah yang harmonis, toleran, dan saling menghargai. Inilah yang diharapkan menjadi salah satu pilar kedamaian, kesejahteraan, kebahagian, dan keharmonisan kehidupan masyarakat Indonesia.2 Dengan demikian Pendidikan multikultural merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktifitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non eropa.3 Pada konteks Indonesia, perbincangan tentang konsep pendidikan multikultural semakin memperoleh momentum pasca runtuhnya rezim otoriter militeristik orde baru karena hempasan badai reformasi. Era reformasi ternyata tidak hanya membawa berkah bagi bangsa kita namun juga memberi peluang meningkatnya kecenderungan primordialisme. Untuk itu, dirasakan kita perlu menerapkan paradigma pendidikan multikultural untuk menangkal semangat primordialisme.4 Paradigma pendidikan multikultural dalam konteks ini memberi pelajaran kepada kita untuk memiliki apresiasi respek terhadap budaya dan agama-agama orang lain. Atas dasar ini maka penerapan multikulturalisme menuntut kesadaran dari masing-masing budaya lokal untuk saling mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya yang dibalut semangat kerukunan dan perdamain. Paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern dari pasal 4 UU No.20 tahun 2003 sistem pendidikan nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan

diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif, dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Dalam sejarahnya, pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep atau pemikiran yang tidak muncul dalam ruangan yang kosong, namun ada interes politik, sosial, ekonomi, dan intelektual yang mendorong kemunculannya.5 James banks (1994) menjelaskan: bahwa pendidikan multikultural memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan satu dengan yang lain, yaitu: Pertama, Content integration, yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran atau disiplin ilmu. Kedua, the knowledge construction process, yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya kedalam sebuah mata pelajaran (disiplin). Ketiga, an equity paedagogy, yaitu menyusuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka mempasilitasi prestasi akademik siswa yang beragambaik dari segi ras, budaya, (culture ) ataupun sosial. Keempat, prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka.

Pendidikan multikulturalisme biasanya mempunyai cirri-ciri sebagai berikut: 1. Tujuanya membentuk manusia budaya dan menciptakan masyarakat berbudaya (berperadaban). 2. Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusian, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis (cultural). 3. Metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis (multikulturalis). 4. Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.6 Dalam konteks ini dapat dikatakan, tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. dan yang terpenting dari strategi pendidikan multikultural ini tidak hanya bertujuan agar supaya siswa mudah memahami pelajaran yang dipelajarinya, akan tetapi juga untuk meningkatkan kesadaran mereka agar selalu berprilaku humanis, pluralis, dan demokrasi.7

B. Kondisi Masyarakat

Manusia yang hidup didalam milenium ketiga berada didalam suatu dunia yang jauh berbeda dengan masa sebelumnya. Belum pernah terjadi didalam sejarah umat manusia, seseorang menyadari bahwa dia tidak hidup terasing dari dunia dan masyarakat lainnya. Revolusi transfortasi dan informasi telah menyebabkan setiap individu menyadari akan dirinya sendiri, apakah dia terasing atau merupakan bagian dari umat manusia. Dunia berubah dengan sangat cepat sehingga muncullah suatu proses penyadaran diri dari setiap insane yang hidupdi bumi ini, bahwa dia adalah bagian dari kehidupan yang lebih besar yaitu kehidupan umat manusia yang mempunyai tujuan, cita-cita, rasa kebersamaan dalam suatu kelompok ataupun dalam ikatan suatu negara dan bangsa. Masyarakat dan bangsa Indonesia yang relatif aman, tidak bergejolak, dan bahkan dapat menerima penjajahan selama 350 tahun. Ada pameo pada masa kolonial yang mengatakan bahwa bangsa jawa adalah bangsa yang paling lembut di dunia. Bangsa yang lemah lembut, merupakan cirri dari masyarakat tradisional. Masyarakat tradisional adalah suatu bentuk masyarakat yang relatif stabil, terkontrol, hidup tenang penuh dengan kepastian, dan tertutup. Kehidupan masyarakat diikat oleh kesatuan tradisi yang sifatnya mengikat baik moral etis bahkan teologis. Kekuatan-kekuatan kramat mengikat masyarakat tradisional baik didalam hubungan kekuasaan maupun di dalam aspek kehidupan, semuanya diatur, baik oleh kekuatan natural seperti kekuasaan raja yang feudal sampai kepada kekuatan supernatural yang diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Di dalam suatu masyarakat tradisional, kesadaran akan kehidupan sangat terbatas, dan oleh sebab itu pula dunia kehidupannya bergerak dengan sangat lambat. Masyarakat yang stabil tersebut kini menjadi berantakan didalam kehidupan yang tidak menentu. Perubahan besar yang terjadi di muka bumi ini dengan lahirnya masyarakat industri pada abad ke-18 di eropa. Dengan demikian munculah gelombang modernisasi yang pertama. Gelombang modernisasi pertama seperti yang terlihat didalam masyarakat barat yang sifatnya sederhana, perubahan-perubahan linier, perkembangan industri yang menyerap lapangan kerja baru disamping pertanian.semua perubahan tersebut terjadi didalam ruang lingkup negara dan bangsa. Gelombang modernisasi pertama berjalan hampir dua abad lamanya. Namun dengan demikian munculnya gelombang modernitas kedua, kepastian yang dinikmati oleh manusia menghilang dan secara simultan lahirlah perubahan-perubahan sosial yang dahsyat dan tidak dapat diatasi lagi oleh manusia.modernisasi gelombang kedua ini membawa manusia kepada apa yang disebut suatu masyarakat penuh resiko. Menurut Ulrich Beck mengemukakan: Lima proses yang secara simultan menimpa masyarakat dunia dewasa ini, yaitu: globalisasi, individualisme, revolusi gender, pengangguran, dan resiko global karena krisis lingkungan dan krisis moneter seperti yang terjadi dinegara kita pada tahun 1997. Dalam perjalananya masyarakat Indonesia menuntut proses pengambilan keputusan yang tepat. Seperti yang telah dijelaskan didalam pendahuluan masyarakat yang dapat mengambil keputusan dengan tepat adalah masyarakat yang terdidik, yang menguasai ilmu

pengetahuan dan teknologi, serta dibimbing oleh moral untuk kemaslahatan masyarakat dan bangsanya, serta masyaraka dunia. Seiring dengan perkembangan dan tuntutan jaman maka lahirlah konsep masyarakat individualitas yang baru, sehingga konsep-konsep yang lama tidak dapat digunakan lagi. Hal ini disebabkan karena terjadi perubahan-perubahan yang dahsyat didalam masyarakat dunia akibat lahirnya demokrasi poltik, yang menuntut hak-hak politik dari warga negara, diikuti oleh demokrasi sosial yaitu keinginan untuk membangun suatu masyarkat sejahtera, dan lahirlah apa yang disebut demokrasi cultural yang mengubah dasar-dasar hidup keluarga yang stabil didalam masyarakat tradisional, perubahan peranan gender, perubahan relasi antar manusia didalam membangun keluarga, hingga mudah retaknya struktur keluarga inti yang dikenal didalam masyarakat tradisional.8

1. Masyarakat Masa Depan Masyarakat masa depan mengalihkan pemikiran manusia bukan kepada masa lalu tetapi kemasa yang akan datang. Masyarakat masa depan berorientasi kepada masa depan yang cerah yang telah diperhitungkan. Secara seksama apa yang akan terjadi dimasa depan, maka sekurang-kurangnya kita mempunyai pegangan hidup secara mantap untuk menghadapi masa depan yang lebih baik. Untuk mengetahui resiko masa depan adalah merupakan sintesa antara pengetahuan dan ketidaksadaran (unclearness). Konsep masa depan yang penuh resiko sangat perlu agar bisa membedakan dengan jelas antara yang alamiah (nature) dengan budaya (culture). Gelombang globalisaai yang mendapat reaksi dari kekuatan lokal atau lokalisme. Glokalisme merupakan sintesa antara Globalisasi dan lokalisme. Dengan demikian pengaruh dari Globalisasi yang berjalan sangat cepat sehingga menghancurkan sendi-sendi dan struktur kehidupan lokal. Berdasarkan uraian mengenai masyarakat masa depan yang penuh dengan resiko, kiranya manusia dapat mengikuti percaturan dunia adalah manusia-manusia yang mempunyai kualitas-kualitas tertentu. Dalam pengertian, tidak semua manusia dapat demikian. Adapun kualitas-kualitas yang dimaksud meliputi: kualitas fisik dan non fisik. Kualitas fisik menyangkut kualitas lahiriyah dan jasmaniyah seseorang. Kualitas demikian, diindikasikan oleh ukuran badannya, tenaga fisik, yang dimiliki, daya tahan tubuhnya kesehatan jasmaninya, kesegaran atau kebugaran raganya. Sementara kualitas non fisik berkaitan dengan hal-hal yang bersifat batiniah, non fisik dan kejiwaan. Kualitas non fisik demikian meliputi: kualitas pribadi, kualitas hubungan dengan pihak lain dan kualitas kekayaanya. Kedua kualitas tersebut, fisik dan non fisik, saling melengkapi, karena kualitas fisik diperlukan untuk diisi dengan kegiatan-kegiatan yang menyangkut dan mendukung bagi tercapainya kualitas non fisik.

Jika manusia Indonesia yang dibutuhkan di masa depan diindikasikan oleh kualitas-kualitas sebagaimana disebutkan diatas, maka harus ada kebijaksanaan pendidikan yang relevan adalah sebagai berikut: 1. Penigkatan kualitas pendidikan harus diprioritaskan. Kualitas pendidikan sangat penting artinya, karena hanya manusia yang berkualitas saja yang bisa bertahan hidup dimasa depan. 2. Peningkatan kesiapan peserta didik untuk menghadapi dunia yang selalu berubah dengan perkembangan jaman yang terus berkembang. 3. Peningkatan kemandirian anak melalui pengejaran. Ini harus menjadi kebijaksanaan pendidikan, mengingat manusia dimasa depan yang dapat berkompetensi serta membawa bangsanya dalam percaturan dunia yang sedang berubah, adalah manusia yang mandiri dan tidak bergantung pada orang lain ataupun negara lain. 4. Mengajarkan anak didik dilembaga pendidikan kearah karya nyata. Ini harus dilakukan agar anak didik sejak dini berlatih untuk banyak berkarya. 5. Penanaman kedisiplinan yang tinggi kepada peserta didik dilembaga-lembaga pendidikan. Dan, kedisiplinan demikian harus dimulai dari diri sendiri. 6. Penanaman keimanan, ketaqwaan kepada tuhan yang maha esa. Ini sangat diperlukan, agar ketika terlibat dalam arus percaturan dunia, dia senantiasa mengendalikan diri agar tidak terjerembab kedalam Lumpur kehidupan yang sesat. 7. Penanaman kesetiakawanan diantar teman sebangsa. Ini sangat penting oleh karena ia hidup dalam kerangka dan wadah nation yang hampir setiap harinya akan senantiasa berinteraksi dengan sesamanya.9

C. Masyarakat Berbasis Ilmu Pengetahuan Telah kita lihat transformasi masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern, antara lain disebabkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam masyarakat barat, peranan ilmu pengetahuan yang dimuali dari abad pencerahan telah melepaskan masyarakat tradisioanal yang terkungkung oleh tradisi dan kekuasaan Gereja yang koserfatif. Perkembangan ilmu pengetahuan yang menyebabkan penerapan teknologi didalam pengembangan industri telah melahirkan negara-negara industrsi pada abad ke-18. ilmu pengetahuan juga telah menyebabkan tuntutan terhadap pendidikan rakyat yang berwujud wajib belajar pada negara-negara maju dimulai pada abad ke-19. perkembangan ilmu pengetahuan pada negara-negara tersebut telah memasuki kebijakan politik kolonial dari para penjajah. Di Indonesia telah lahir apa yang disebut dengan politik etis yang memaksa untuk secara moral penghisapan yang dilakukanya dinegara jajahanya. Rakyat diberi pendidikan meskipun sangat terbatas untuk melepaskan diri dari kungkungan

kebodohan dan kemiskinan. Dengan pendidikan itu pulalah dilahirkan benih-benih nasionalisme yang kemudian menjadi kekuatan yang menghancurkan kolonialisme itu sendiri. Kemajuan pendidikan suatu bangsa juga merupakan dasar dari perkembangan demokrasi. Sejalan dengan meningkatnya tingkat pendidikan, terjadi pencerahan kehidupan suatu bangsa dan negara. Perkembangan demokrasi berjalan bersama-sama dengan kebangkitan nasionalisme, terutam didunia ke tiga. Didalam pembukaan undang-undang dasar 1945 dijelaskan bahwa salah satu tujuan utama kemerdekaan ialah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pencerdasan kehidupan bangsa antara lain berarti membangun suatu masyarakat yang berbasis ilmu pengetahuan. Didalam hal ini, bukan berarti bahwa yang dipentingkan ialah rasionalisme, melainkan peningakatan kemampuan analitis dari suatu bangsa untuk melihat perkembangan masyarakatnya, karena kemajuan pendidikan suatu bangsa juga merupakan dasar dari perkembangan demokrasi. Dengan pendidikan, maka kelas-kelas didalam masyarakat seperti kelas penjajah yang mempunyai hak-hak istimewa yang dibedakan dengan bangsa terjajah yang tidak mempunyai hak-hak seperti hak-hak yang diberikan kepada kaum penjajah (kaum putih). Kesadaran terhadap harga diri, kesadran terhadap tradisi dan kebudayaan sendiri terbuka karena pendidikan.10 salah satu program yang dapat menyiapkan dan merekayasa arah perkembangan masyarakat Indonesia untuk menjadikan masyarakat yang berbasis ilmu pengetahuan ialah dengan mengedepankan pendidikan. Malahan PBB menganggap program pendidikan merupakan salah satu dinamisator dalam pengembangan manusia. Masyarakat industri masa depan memberi peluang yang besar bagi pengembangan manusia. Namun dapat menjadi pembunuh pengembangan manusia apabila masyarakat tidak dipersiapkan untuk hidup dan menghidupi masyarakat industri tersebut. Didala konteks inilah dipertayakan tempat dan peranan lembaga pendidikan untuk ikut serta dalam masyarakat industri masa depan. Dalam kaitan ini, dengan lahirnya UU No.2 tahun 1989 tentang SISDIKNAS, kita telah mempunyai acuan bersama pengembangan system pendidikan nasional untuk menghadapi masyarakat masa depan.11

1. Globalisasi dan Kemajuan Ilmu Pengetahuan Salah satu gelombang dahsyat yang melanda kehidapn umat manusia dewasa ini adalah globalisai. Seperti telah dijelaskan, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi komunikasi, telah menyebabkan perubahan yang sangat besar dalam kehidupan manusia yang tidak diperkirakan sebelumnya. Diakui bahwa globalisasi telah memberikan banyak hal yang positif dalam kehidupan umat manusia, tapi disamping itu juga terdapat berbagai hal yang negatif. Globalisasi tidak lepas dari anomaly. Arus uang seharusnya bergerak dari negara kaya ke negara miskin, tetapi yang terakhir justru sebaliknya, globalisasi justru menjadi ajang mentransfer kekayaan dari simiskin kepada yang kaya.

Globalisasi menurut Stiglitz diyakini memiliki potensi besar jika ditata dan dikontrol. Agar globalisasi berjalan lebih manusiawi, dibutuhkan lembaga yang kuat dan transparan, seperangkat institusi yang dapat memandu kebijakan ekonomi, politik dan sosial lebih adil, sekaligus memihak dunia yang miskin. Dibawa komando supermasi kapitalisme global yang culas dan kejam, globalisasi yang manusiawi menjadi tuntutan zaman yang takan terelakan.12 Globalisasi telah melahirkan kapital internasional dari korporasi-korporasi besar yang ternyata hanya menguntungkan negara-negar besar yang bermodal, dan segelintir konglomerat dunia. Dipihak lain kemiskinan diseluruh dunia bukannya berkurang , malah semakin menjadi-jadi. Globalisasi itu sendiri dipelopri oleh negara-negara industri besar yang berakibat pemiskinan negara-negara yang sedang berkembang. Selain proses pembentukan korporasi internasional yang mematikan modal kecil, terutama di negaranegara berkembang, globalisasi juga secara radikal merubah kehidupan manusia. Perubahan radikal dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern merupakan Shock yang menghancurkan, bukan hanya perekonomian melainkan juga struktur soaial dan kebudayaan dari suku-suku di negara-negara terbelakang itu. Globalisasi telah menimbulkan ketidakpastian dan kegamangan dari rakyat yang berjuta-juta bahkan bermiliar-miliar di negara-negara berkembang.13 Gerakan globalisasi saat ini sangat terasa dampaknya pada system kehidupan sosial ekonomi kita. Bahkan nyata sekali, sumber daya manusia saat ini justru harus berkompetisi secara global. Kualitas pekerjaan yang menghasilkan barang untuk pasar global juga harus memiliki kualitas secara nasional. Tetapi lebih jauh dari itu, peserta didik kita perlu memiliki keunggulan kompotitif secara global. Komoditas ekspor kita kenegara-negara maju seperti alat-alat elektronika, kayu lapis, tekstil, kerajinan tangan, dan sebagainya, harus mengikuti standar interasional. Konsekuensinya, pendidikan kita harus menyiapkan tenaga kerja yang juga berkualitas internasional. Tanpa memperhatikan persyaran perdagangan internasional, kita sebagai bangsa tidak akan dapat mengambil bagian dalam tata perekonomian pasar global. Hal ini perlu diterjemahkan oleh sisitem pendidikan nasional kedalam program-program dan proses belajar mengajar secara operasional. Karena itu, sebenarnya pendidikan nasional kita juga perlu memikirkan muatan global dalam aspek pengajarannya untuk bidang-bidang studi yang relevan. Jika kita mengabaikan gerakan globalisasi, pendidikan kita dalam jangka panjang hanya akan menghasilkan SDM yang berkualitas lokal. Kondisi seperti ini cepat atau lambat akan mengisolasi bangsa kita dari proses transfer teknologi mutakhir yang dilahirkan oleh masyarakat dan peradaban dunia sebagai akibat tidak dimilikinya kemampuan komunikasi antar bangsa.14

BAB III

KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM SISDIKNAS

Pendidikan dan masyarakat multikultural memiliki hubungan timbal balik (reciprocalrelayionship). Artinya, bila pada satu sisi pendidikan memiliki peran signifikan guna membangun masyarakat multikultural, disisi lain masyarakat multikultural dengan segala karakternya memiliki potensi signifikan untuk mensukseskan fungsi dan peran pendidikan.itu berarti, penguatan disatu sisi, langsung atau tidak langsung, akan memberi penguatan pada sisi lain. Penguatan terhadap pendidikan, misalnya dengan memperbaiki sistem dan mengefektifkan kegiatan belajar, akan menambah keberhasilan dalam membangun masyarakat multikultural. Disisi lain, penguatan pada masyarakat multikultural, yaitu dengan mengelola potensi yang dimiliki secara benar, akan menambah keberhasilan fungsi dan peran pendidikan umumnya. Implikasinya, dilakukannya penguatan pada kedua sisi secara simultan akan memberi hasil yang optimal, baik dari sisi peran pendidikan maupun pembangunan masyarakat multikultural sendiri. Dalam konteks membangun masyarakat multikultural selain berperan meningkatkan mutu bangsa agar dapat duduk sama rendah, berdiri sama tinggi dengan negara-negara lain, pendidikan juga berperan memberi perekat berbagai perpedaan diantara komunitas kultural atau kelompok masyarakat yang memiliki latar belakang budaya berbeda agar lebih meningkat komitmennya dalam berbangsa dan bernegara. Adapun perekat pendidikan yang dipakai ialah pembangunan karakter dan semangat kebangsaan atau nation and character building (NCB). Dalam hal ini karakter kebangsaan merupakan penbembangan jati diri bangsa Indonesia yang pernah dikenal sebagai bangsa yang ramah, sopan, toleran, dan sebagainya. Sedangakan semangat kebangsaan adalah keinginan yang amat mendasar dari setiap komponen masyarakat untuk berbangsa.Karakter dan semangat seperti itu akan berkembang, baik secara natural maupun kultural, manuju tercapainya persatuan dan kesatuan bangsa.15 Multikulturalisme merupakan suatu perkembangan yang relatif baru dalam khasanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam ilmu-ilmu sosial. Namun dengan demikian multikulturalisme terus berkembang sesuai dengan perubahan sosial yang dihadapi oleh umat manusia khususnya didalam era dunia terbuka dan era demokritisai kehidupan.16 Pendidikan merupakan kebutuhan paling esensial bagi setiap manusia, negara, maupun pemerintah pada era reformasi ini, pendidikan harus selalu ditumbuhkembangkan secara sistematis oleh para pengambil kebijakan yang berwenang di negara ini. Transformasi dalam dunia pendidikan selalu harus diupayakan agar pendidikan benar-benar dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana telah diamanatkan oleh pendiri republik yang dituangkan dalam UUD 1945.17dengan demikian pendidikan tidak dapat dipisahkan dari perubahan sosial dan kehidupan manusia didalam berbgai kaitannya dengan masalah kebudayaan, maka pendidikan dalam multikulturalisme telah merupakn suatu realitas sosial yang akan dihadapi oleh dunia pendidikan dimasa-masa yang akan datang.

Peran pendidikan didalam multikuklturalisme hanya dapat dimengerti didalam kaitannya dengan falsafah hidup, kenyataan sosial, yang akan melipuiti disiplin-disiplin ilmu yang lain seperti ilmu politik, filsafat, khususnya falsafah posmoderenisme, antropologi, dan sosiologi. Dalam hal ini dimaksudkan agar dalam perjalanan sejarah pendidikan multikultural nantinya tidak kehilangan arah atu bahkan berlawanan dengan nilai-nilai dasar multikulturalisme. Oreintasi yang seharunya dibangun dan diperhatikan antara lain meliputi: 1. Orientasi kemanusiaan. Kemanusian atau humanisme merupakan sebuah nilai kodrati yang menjadi landasan sekaligus tujuan pendidikan. Kemanusian besifat universal, global, diatas semua suku, aliran, ras, golongan dan agama. 2. Orientasi kebersamaan. Kebersamaan atau kooperativisme merupakan sebuah nilai yang sangat mulia dalam masyarakat yang plural dan heterogen. Kebersamaan yang hakiki juga akan membawa kepada kedamaian yang tidak ada batasannya. Tentunya kebersamaan yang dibangun disini adalah kebersamaan yang sama sekali terlepas dari unsur kolutif maupun koruptif. Kebersamaan yang dibangun adalah kebersamaan yang masing-maising pihak tidak merasa dirugikan dirinya sendiri, orang lain, lingkungan, serta negara. 3. Orientasi kesejahteraan. Kesejahteraan atau welvarisme merupakan suatu kondisi sosial yang menjadi harapan semua orang. Kesejahteraan selama ini hanya dijadikan sebagai slogan kosong. Kesejahteraan sering diucapkan, akan tetapi tidak pernah dijadikan orientasi oleh siapapun. Konsistensi terhadap sebuah orientasi harus dibuktikan dengan prilaku menuju pada terciptanya kesejahteraan masyarakat. 4. Orientasi propesional. Propesional merupakan sebuah nilai yang dipandang dari aspek apapun adalah sangat tepat. Tepat landasan, tepat proses, tepat pelaku, tepat ruang, tepat waktu, tepat anggaran, tepat kualitatif, tepat kuantitatif, dan tepat tujuan. 5. Orientasi mengakui pluralitas dan heterogenitas. pluralitas dan heterogenitas merupakan sebuah kenyataan yang tidak mungkin ditindas secara fasis dengan memunculkan sikap fanatisme terhadap sebuah kebenaran yang diyakini oleh orang banyak. 6. Orientasi anti hegemoni dan anti dominasi. hegemoni dan dominasi hegemoni adalah dua istilah yang sangat populer bagi kaum tertindas. Hanya saja kedua istilah tersebut tidak pernah digunakan atau bahkan dihindari jauh-jauh oleh para pengikut paham liberalis, kapitalis, globalis, dan neoliberalis. Karena hegemoni bukan hanya dibidang politik, melainkan juga dibidang pelayanan terhadap masyarakat.18 Dengan demikian multikulturalisme dan pendidikan bukanlah masalah teknis pendidikan belaka, tetapi memerlukan suatu konsep pemikiran serta pengembangan yang meminta partisipasi antardisiplin.19 beberapa pemikiran besar dalam sejarah pemikiran kita lahir dari pergaulan para pemikir pada situasi politik dan kebudayaan. Pendidikan yang berpijak pada budaya pribumi bersemi ditengah dominanya model pendidikan belanda yang

beriorentasi barat dan diskriminatif. Fakta- fakta itu menegaskan hegemoni negara dalam kebijakan dan praktik pendidikan menjadi konteks jitu yang mengasah counter dis course bagi visi pendidikan penguasa. Dalam alam reformasi hegemoni negara relatif cair dan kebebasan berpendapat praktis lebih dijamin. Berbagai masalah pendidikan kita pada alam reformasi tidak berkurang, mungkin lebih kompleks karena prinsip kesetaraan kepentingan. Namun, ruang kontemplasi untuk memikirkan berbagai persoalan itu terlibas dalam kebisingan pembaruan. Akibatnya, pemetaan persoalan-persoalan pendidikan melulu bertolak dari hal-hal kasatmata.20 Multikulturalisme adalah keniscayaan yang tak bisa ditolak di indonesia. Indonesia adalah salah satu negara bangsa di dunia yang meniscayakan multietnik dan agama tumbuh dalam masyarakat yang pluralis. Karena itu, pendidikan yang mengacu kepada trans etnik dan agama harus diusung sedemikian rupa agar tercipta relasi yang dinamis dan harmonis. Ketetapan UU Sisdiknas 2003, sebagai usaha politik kearah cita-cita bersama yang mulia, ternyata menuai kontropersi dan kritik. Gelombang reaksi pro dan kontra begitu memanas dari masyarakat khususnya bagi para pelaku pendidikan dan pemuka agama yang masing-masing berseteru ingin menyampaikan dan sekaligus mempertahankan aspirasinya.21

A. Politik Dan Multikulturalisme Sejarah kehidupan bersama manusia ditandai oleh adanya kekuatan-kekuatan yang mengatur polarisasi antara hak dan kewajiban individu serta hak dan kewajiban kolektif atau masyarakat. Didalam polarisasi kekuatan inilah muncul berbagai bentuk pemerintahan yang mengatur kehidupan bersama manusia untuk mencapai kesejahteraan. Maka munculah berbagai teori, konsep, dan pelaksanaan bagaimana mencapai kebahagian tersebut. Didalam upanya untuk mengatur kehidupan bersama munculah teori-teori kehidupan bersama manusia dan cara mengatur serta memimpin kehidupan bersama tersebut. Salah satu konsep hidup bersama manusia, pemikiran mengenai demokrasi telah seumur dengan kehidupan manusia diatas muka bumi ini. Manusia bukanlah makhluk tak bernyawa atupun yang hidup bersama hanya berdasarkan insting belaka.manusia adalah makhluk yang mempunyai harga diri (dignity) yang meminta pengakuan dari sesamanya.22 Tapi akhir-akhir ini demokrasi sering dipahami dalam konteks yang salah, sehingga kebebasan berdemokrasi sering diartikan dengan kebebasan berdemontrasi, sehingga yang terjadi adalah pemaksaan kehendak dengan tekanan kekerasan dengan kelmpok tertentu terhadap seseorang atau kelompok lain. Padahal demokrasi yang sejati memerlukan warga negara yang baik. Demokrasi tidak hanya memerlukan hukum, lembaga, atau peraturan yang mantap, tetapi yang lebih penting darlam masyarakat yang demokratis adalah memiliki kebesaran hati, mau bekerja sama dengan kelompok lain untuk mencapai tujuan demi kesejahteraan bersama, atau mampu mengkombinasikan semangat untuk menegakan pendiriannya dengan suatu kesadaran bahea seseorang tidak dapat mewujudkan semua

yang diinginkannya. Untuk mendidik warga negara yang baik, pendidikan multikultural atau demokratis mutlak dibutuhkan.23 Didalam sejarah pembentukan suatu bangsa, pendidikan telah digunakan atau salah digunakan di dalam pembentukan bangsa tersebut. Bagi negar-negara baru yang terlepas dari kolonialisme seperti Indonesia, pendidikan nasional telah tumbuh bersama-sama dengan kebangkitan nasional. Bahkan pendidikan nasional telah dijadikan salah satu sarana untuk melawan kolonialisme. Pada masa sejak jaman kemerdekaan, pendidikan telah berperan penting didalam membangun masyarakat Indonesia. Keadaan bangsa Indonesia pada waktu terakhir ini tidak terlepas dari jasa maupun dosa yang diperbuat oleh pendidikan nasional. Pendidikan nasional telah berjasa melahirkan manusia-manusia masa kini, yang pendidikannya jauh lebih baik dari pendidikan pada zaman kolonial dalam arti kuantitatif. Pendidikan nasional tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab dalam proses pembusukan rasa nasionalime dewasa ini dan tanggung jawab moral terhadap gejala integrasi bangsa dewasa ini.24

B. Pendidikan Multikultural Dalam Dimensi Pendidikan Nasional Setelah kita ketahui, lahir dan berkembangnya multikulturalisme serta praktik pendidikan multikultural dibeberapa negara yang telah melaksanakan pendidikan multikultural, kini tibalah saatnya kita untuk mencoba menyusun konsep pendidikan multikultural yang sekiranya dapat dikembangkan ditanah air kita sesuai dengan kondisi sosial, budaya, dan politik ditanah air. Pendidikan multikultural mempunyai dimensi sebagai berikut: 1. Right to Culture dan identitas budaya lokal. Multikulturalisme meskipun didorong oleh pengakuan tergadap hak asasi manusia, namun akibat globalisasi pengakuan tersebut diarahkan juga kepada hak-hak yang lain yaitu hak akan kebudayaan (right to culture). Lahirnya identitas kesukuan sebagai perkembangan budaya mikro di indonesia, memang semuanya itu memerlukan masa transisi yaitu seakan-akan melorotnya rasa kebangsaan dan persatuan indonesia. Hal ini dapat dimengerti oleh karena apa yang disebut budaya indonesia sebagai budaya mainstream belum jelas bagi kita semua. Identitas budaya makro, yaitu budaya indonesia yang sedang menjadi memang harus terus menerus kita bangun atau merupakan suatu proses yang tanpa ujung. Namun demikian hal tersebut merupakan sesuatu yang harus diwujdkan oleh setiap insan indonesia dari generasi ke generasi. Upaya untuk membangun suatu masyarakat madani indonesisa yang berdasarkan kebudayaan indonesia. 2. Kebudayaan indonesia yang menjadi. Kebudayaan indonesia yang menjadi adalah suatu pegangan dari setiap insan dan setiap identitas budaya mikro indonesia. Hal tersebut merupakan suatu sistem nilai yang baru yang ini kemudian memerlukan suatu proses yang mana perwujudannya antara lain melalui proses dalam pendidikan nasional. Oleh sebab itu ditengah-tengah maraknya identitas kesukuan, sekaligus ditekankan sistem nilai baru yang

akan kita wujdkan, yaitu sistem nilai ke indonesiaan. Hal tersebut bukannya suatu yang mudah karena memerlukan paradigm shift didalam proses pendidikan bangsa indonesia. Sebagai suatu paradigma baru didalam sistem pendidikan nasional, maka perlu dirumuskan bagaimana sistem pendidikan nasional diarahkan kepada pemeliharaan dan pengembangan konsep negara-bangsa yaitu negara kesatuan republik indonesia yang didasarkan kepada kekayaan kebudayaan dari berbagai suku bangsa di indonesia. 3. Konsep pendidikan multikultural yang normatif, kita tidak bisa menerima konsep pendidikan multikultural yang deskriftif yaitu hanya sekedar mengakakui pluralitas budaya dari suku-suku bangsa di indonesia. Disamping pengakuan akan pluralitas budaya kita juga harus mampu mewujudkan kebudayaan indonesia yang dimiliki oleh suatu negara-bangsa. Adapun konsep pendidikan multikultural normatif adalah konsep yang dapat kita gunakan untuk mewujdkan cita-cita tersebut. Untuk mewujdkan semuanya jangan sampai konsep pendidikan multikultural normatif sebagai suatu paksaan yang menghilangkan keanekaragaman budaya-budaya lokal. Akan tetapi konsep pendidikan multikultural normatif harus mampu memperkuat identiatas suatu suku yang kemudian dapat menyumbangkan bagi terwujudnya suatu kebudayaan indonesia yang dimiliki oleh seluruh bangsa indonesia. 4. Pendidikan multikultural Merupakan suatu rekontruksi sosial, suatu rekontruksi sosial artinya, upaya untuk melihat kembalai kehidupan sosial yang ada dewasa ini. Salah satu masalah yang timbul akibat berkembangnya rasa kedaerahan, identitas kesukuan, dari perorangan maupun suatu suku bangsa indonesia, telah menimbulkan rasa kelompok yang berlebihan. Ini semua akan menyebabkan pergeseran-pergeseran horizontal yang tidak dikenal sebelumnya. 5. Pendidikan multikultural di indonesia memerlukan pedagogik baru. Jelas kiranya untuk melaksanakan konsep Pendidikan multikultural didalam masyarakat pluralitas tapi sekaligus diarahkan kepada terwujdnya masyarakat indonesia baru, maka pedagogik yang tradisional tidak dapat kita gunakan lagi. Pedagogik tradisional membatasi proses pendidikan didalam ruangan sekolah yang sarat dengan pendidikan intelektualistik. Sedangkan kehidupan sosial-budaya di indonesia menuntut pendidikan hati (Pedagogy of hert) yaitu diarahkan kepada rasa persatuan dari bangsa Indonesia yang pluralistiks 6. Pendidikan multikultural bertujuan untuk mewujdkan visi indonesia masa depan serta etika berbangsa. TAP/MPR RI Tahun 2001 No.VI dan VII mengenai visi indonesia masa depan serta etika kehidupan berbangsa perlu dijadikan pedoman yang sangat berharga dalam pengembangan konsep Pendidikan multikultural. Dalam hal ini perlu dipertimbangkan menghidupkan kembali pendidikan budi pekerti terutama ditingkat pendidikan dasar, melengkapi pendidikan agama yang sudah ditangani dengan UU No. 20 Tahun 2003.25

C. Pendidikan Nasional

Pendidikan merupakan institusi yang sangat penting bagi proses penyiapan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia indonesia yang benar-benar berkualitas. Mencerdaskan kehdupan bangsa, sebagaimana disebutkan dalam pembukaan UUD 1945, pada hakekatnya merupakan konsepsi tentang tujuan NKRI bidang pendidikan. Tujuan negara dalam pendidikan ini rumusannya telah benar-benar selaras dengan konsepsi kecerdasan ganda (multiple intelligence) yang dewasa ini sedang laris manis dibahas oleh para pakar psikologi dan pendidikan sebasgai wacana hangat dalam dun ia ilmu pengetahuan. Mengingat rumusan tujuan negara itu amat singkat dan filosofis akademis, maka rumusan tujuan negara dalam bidang pendidikan itu barangkali dapat dikategorikan sebagai filsafat pendidikan nasional, yang sejak tanggal 18 Agustus 1945 telah menjadi kesepakatan nasional. Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sesbagai penjelmaan dari amanat rakyat, telah mengesahkanya menjadi satu dari empat tujuan negara yang harus diusahakan atau diimplementasikan secara operasional dalam kegiatan pembangunan bidang pendidikan. Jika mencerdaskan kehidupan bangsa disepakati sebagai konsensus nasional sebagai tujuan pendidikan nasinal jangka panjang, secara operasional tujuan itu harus dijabarkan dalam rumusan tujuan pendidikan yang lebih operasional yang akan disusun oleh pihak eksekutif, dan selanjutnya dijabarkan lebih lanjut oleh para penyelenggara negara dalam bidang pendidikan dalam rumusan kebijakan, program, dan kegiatan. Jika mekanisme ini dapat diterima, kesimpang siuran tentang siapa yang berhak merumuskan tujuan pendidikan menjadi agak jelas. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) merumuskan filsafat pendidikan nasional, sedangkan tujuan pendidikan nasional yang lebih operasional disusun oleh pihak pelaksana (eksekutif), yakni presiden dan jajaranya bersama-sama dengan Dewan Perwakian Rakyat (DPR), yang dituangkan dalam ketentuan hukum yang disebut Undang-Undang tentang sistem pendidikan nasional.26 Dengan demikian kita perlu merenungkan kembali untuk menetapkan agenda esensial pendidikan nasional agar dapat mengisi dan merespon abad-21 yang dimana kita kenal dengan arus globalisasi dengan tanpa keraguan dengan masa depan anak muda penerus anak bangsa ini. Tanpa mempersiapkan masa depan mereka untuk hidup dimasa depan mereka untuk hidup diabad-21 dengan berbagai unggulan kompetitif yang harus dimiliki, bangsa kita akan tenggelam dalam setiap percaturan dunia yang semakin global. Saat ini pemerintah telah memiliki program pendidikan nasional yang amat strategis, yaitu peningkatan relevansi, efisiensi, dan kualitas pendidikan. Dari program itu memang bisa diyakinkan bahwa pendidikan nasional kita secara makro cukup menjanjikan penyediaan sumber daya manusia yang benar-benar memiliki kompetitif. Untuk dapat meningkatan relevansi, efisiensi, dan kualitas pendidikan, kita harus melakukan inovasi dunia pendidikan dalam arti yang luas secara terus menerus. Tanpa inovasi yang sistematis, mustahil sistem pendidikan nasional akan berhasil menyentuh dan memecahkan persoalan esensial yang berkaitan dengan aspek relevansi, efisiensi, dan kualitas pendidikan. Agar dapat melakukan inovasi, kita juga memerlukan penelitian diberbagai bidang dan jenjang pendidikan.

Penyelenggara pendidikan negara yang memiliki tanggung jawab yang besar dalam menata pendidikan sebagai bagian dari perencanaan sistem nasional. Berbagai pertimbangan menjadi perhatian untuk mengembangkan sistem tersebut, sehingga dalam penyelenggaraanya sisitem tersebut menjadi acuan secara nasional yang dapat menghadapi tantangan global yang menuntut pendidikan dapat berperan menyejahterakan umat manusia. Sistem pendidikan nasional UUSPN No. 2 / 1989 pasal 3 adalah untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional. Maka menurut fungsi tersebut jelas sekali bahwa pendidikan diselenggarakan adalah untuk: 1. mengembangkan kemampuan manusia Indonesia 2. meningkatkan mutu kehidupan manusia Indonesia 3. meningkatkan martabat manusia Indonesia Dan 4. mewujudkan tujuan nasional melalui manusia-manusia Indonesia oleh karena itu pendidikan di selenggarakan untuk setiap manusia Indonesia sehingga manusia Indonesia tersebut memiliki kemampuan mengembangkan diri, meningkatkan mutu kehidupan, meningkatkan martabat dalam rangka mencapai tujuan nasional.35 Upaya pencapaian tujuan nasional tersebut adalah untuk menciptakan masyarakat madan, yaitu suatu masyarakat yang berperadaban yang menjunjung tingggi nilai-nilai kemanusiaan, yang sadar akan hak dan kewajibannya, demokratis, bertanggung jawab, berdisiplin, mnenguasai sumber informsi dalam bidang iptek dan seni, budaya dan agama. Sisdiknas merupakan suatu sistem dari sistem kehidupan nasional. Hal ini berarti bahwa sistem pendidikan nasional merupakan subsistem dari pembangunan nasional. Sebagai suatu subsistem pembangunan, administrasi sebagai faktor karsa dari SISMENNAS yang meliputi dua hal: 1. Pengaturan partisipasi perorangan dan kelompok 2. Pengaturan kekuasaan dan kewenangan. Dalam pengaturan partisipasi perseorangan dan kelompok masyarakat, UU No. 2 Tahun 1989 beserta PP pelaksanaannya yang sudah ada (No. 27,28,29 dan 30 Tahun 1990) telah mengatur hak dan kewajiban perseorangan maupun kelompok masyarakat dalam pengembangan pendidikan misalnya mengenai pendidikan swasta atau pendidikan yang berdasarkan keyakinan tertentu serta fungsi pemerintah dalam mengatur berbagai jenis pendidikan.27

1. Visi dan Misi Pendidikan Nasional Secara nasional pendidikan harus mempunyai arti positif bagi bangsa. Yang dimaksud arti positif pendidikan disini adalah harapan bersama bangsa indonesia, bahkan merupakan kesepakatan hukum yang ditetapkan berdasarkan undang-undang yang resmi yang termuat dalam lembaran Negara Republik Indonesia No. 78 Tahun 2003, yakni Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dengan kedudukan seperti itu, maka pelaksanaan pendidikan nasioanl harus memiliki visi dan misi yang jelas dan tegas. Visi dan misi itu bertumpu pada kenyataan, bahwa: Pertama, pejalanan kehidupan berbangsa dinegara Indonesia telah dirundung konflikkonflik yang cukup tajam, bahkan bisa mencapai eskalasi demikian tinggi sehingga menimbulkan perpecahan dan sekaligus mengancam persatuan dan kesatuan bangsa dan negara. Dengan mempertimbangkan kondisi seperti ini, maka visi dan misi integrasi nasioanal menjadi prioritas pendidikan nasional. Dalam arti bahwa pendidikan nasional harus sanggup menjadi wahana dan sarana untuk merekatkan kembali hubungan individu, masyarakat, dan bangsa, demi tewujudnya cita-cita kemerdekaan, yakni integrasi nasional diseluruh tanah air Indonesia. Kedua, dalam suasana yang diliputi konflik dan perpecahan, maka tindak kekerasan pada berbagai lapangan kehidupan bisa mencapai besaran dan kedalaman yang membahayakan ketentraman, kedaimaian, dan kesejahteraan segenap lapisan bangsa. Sehingga tergambar martabat kemanusiaan bangsa ini demikian merosot. Pendidikan nasional dalam konteks demikian mengemban visi dan misi memulihkan dan meningkatkan martabat bangsa diseluruh wilayah Tanah Air, pada segenap lapisan masyarakatnya. Ketiga, krisis bangsa indonesia yang merambah hampir keseluruh sektor kehidupan pada akhirnya dan pada dasarnya menggambarkan kemerosotan spiritualitas dan moralitas luhur bangsa. Pencapaian kemajuan-kemajuan daya kemempuan dan kecerdasan sumberdaya manusia (SDM) yang diusahakan melalui pembangunan seakan terbenam dalam kerendahan budi. Untuk mengatasi persoalan ini maka keunggulan akhlak keagamaan dan budi pekerti merupakan visi dan misi pendidikan nasional Keempat, peradaban dan kebudayaan diseluruh penjuru bumi mengalami perkembangan secara berklanjutan yang salah satu dampaknya adalah munculnya persoalaln-persoalan kehidupan yang semakin meningkat, baik kualitas maupun kompleksitasnya. Kelangsungan hidup manusia sebagian besar amat bergangtung kepada kualitas kecerdasan sebagai modal dasar untuk memecahkan aneka ragam persoalan dimaksud. Maka sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang dasar 1945, pendidikan nasional harus menjadi wahana dan sarana menikatkan kecerdasan bangsa secara berkelanjutan dalam rangka pendidikan sepanjang hayat (life long education). Kelima, aneka ragam persoalan kehiduan yang semakin menigkat kualitas dan kompleksitasnya sebagai dampak dari perkembangan peradaban dan kebudayaan secara

berkelanjutan, akan mudah diatasi dan dipecahkan tidak saja dengan kualitas kecerdasan yang memadai, tapi harus juga disertai dengan kecakapan-kecakapan hidup spesifik yang tepat, sesuai, dan beragam. Karenanya pendidikan nasional harus sanggup menjadi wahana dan sarana untuk menawarkan berbagai kecakapan hidup (life skills) spesifik yang benarbear diperlukan. Singkatnya, pendidikan nasional mengemban visi dan misi integrasi nasional, martabat kemanusiaan, spiritual dan moralitas bangsa, kecerdasan, dan kecakapan hidup. Kelima visi dan misi ini harus mengejewantah kedalam seluruh satuan sistem pendidikan nasional sebagai sebuah usaha proyeksi masadepan bangsa yang lebih baik. Artinya, segenap manusia yang terlibat dalam proyek perndidikan harus mengacu kearah visi dan misi diatas. Mulai dari pemerintah, masyarakat, dan bangsa ini secara keseluruhan dan bersamabersama.28 Pameo umum mengatakan bahwa Indonesia tidak mempunyai tujuan pendidikan yang jelas. Setiap ganti pemerintahan, ganti menteri ganti kebijakan. Selain itu, tidak ada sesuatu yang mengikat dan menunjang sistem pendidikan nasional dalam mencapai tujuan nasional. Masing-masing sektor dikenal mempunyai egoisme sektoral yang sangat kuat sehingga berjalan sesuai keinginannya masing-masing. Sistem pendidikan nasional menunjang berbagai program dengan menyiapkan sumber daya manusia yang dibutuhkan. Sebaliknya sektor-sektor yang berjenis-berjenis itu membantu perkembangan suatu sistem pendidikan yang mantap dan berkelanjutan. Sarana pendidikan disediakan cukup, disertai dengan pengembangan sumberdaya manusia untuk melaksanakan program-program sistem nasional tersebut dengan penyediaan tenaga (guru) yang mendapat penghargaan yang setimpal. Amandemen IV Undang-Undang dasar 1945 dengan baik merumuskan pentingnya pendidikan didalam pembangunan bangsa. Untuk mencapai tujuan yang mulia tersebut ditentukan anggaran belanja pendidikan didalam APBN / APBD sekurang-kurangnya 20 %. Pada tahun 2004 angka 20 % APBN / APBD merupakan angin surga yang tidak terwujud. Bahkan ada beberapa daerah atau Kabupaten yang sangat minim memberikan perhatian terhadap pendidikan.29 Selain amandemen IV Undang-Undang Dasar 1945 maka pada Tahun 2003 kita mempunyai Undang-Undang sistem pendidikan yang baru. Kita masih ingat hiruk-pikuk dinamika masyarakat pada waktu persiapan dan pengesahan Undang-Undang tersebut. Salah satu yang mengganjal didalam proses pengesahan Undang-Undang tersebut adalah apa sebenarnya yang dimaksud denganpendidikan yang berkualitas akhirnya, UndangUndang tersbut dapat merumuskan tujuan pendidikan yang sangat ideal dan yang sangat bagus namun menimbulkan kesulitan didalam pelaksanaanya karena terlalu abstrak dan sangat sulit diwujudkan.

BAB IV

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM SISDIKNAS DI INDONESIA

Dalam bab ini penulis akan menganalisa tentang konsep pendidikan Multikultural dalam Sistem pendidikan nasional di Indonesia, Memperbincangkan konsep pendidikan multikultural ditengah kehidupan masyarakat yang masih rawan konplik bernuansa SARA seperti sekarang tentunya sangat signifikan. Mungkin dengan pendidikan multikultural dapt menjadi salah satu solusi bagi pendidikan di Indonesia. Apalagi semenjak ada himbauan presiden megawati sukarno putri kepada departemen agama untuk mengembangkan pola pendidikan agama yang berwawasan multikultural. Hingga kini belum muncul respon sungguh-sungguh untuk menindaklanjutinya. Wacana pendidikan multikulturalisme memang sempat menghangat di mass media dan banyak menjadi bahan diskusi di sejumlah forum, tapi sayangnya tidak diikuti dengan sejumlah upaya secara sungguh-sungguh dan kontinue untuk mempormulasikannya kedalam gagasan yang lebih aflikatif. Bahkan dapat dikatakan, upaya mempromosikan konsep pendidikan multikultural sebagai bagian dari upaya meredam potensi konflik horisontal maupun vertikal bangsa akibat salah paham soal SARA belum berjalan secara signifikan. Sebaliknya para elit politik dan elit agama, atau pakar ilmu sosial dalam menganalisis akar persoalan konplik cenderung menjadikan kesenjangan ekonomi dan sosial sebagai kambing hitam. Amat sedikit yang mau mengakui kalau persoalan kpnplik dan kekerasan itu berkait erat dengan praktik pengajaran (pendidikan) agama dan moral yang belum memupuk kerukunan bersama. Sebagai implikasinya, upaya-upaya memperlunak kebekuan dan mencairkan kekakuan pemikiran keagamaan dan kemanusiaan dari masing- masing agama dan budaya belum dianggap terlalu penting untuk digiring kearah pendidikan. Mulai dari segi materi dan metodelogi yang diajarkan disekolah, pesantren, seminar, dan masyarakat umumnya, memiliki kencenderungan untuk mengajarkan pendidikan agama secara parsial (kulitnya saja). Materi pendidikan agama, misalnya, lebih terfokus pada upaya mengurusi masalah keyakinan seorang hamba dengan tuhannya. Seakan-akan masalah surga atau kebahagian hanya dapat diperoleh dengan cara ibadah atau aqidah saja. Sebaliknya pendidikan agama kurang peduli dengan isu-isu umum semacam sikap antikorupsi, wajibnya transformasi sosial, dan kepadulian terhadap sesama. Multikulturalisme merupakan pilihan atau resiko yang perlu diambil oleh keputusan masyarakat bangsa indonesia agar dapat survive dimasa depan. Multikulturalisme merupakan suatu resiko yang perlu diambil didalam membina masyarakat bangsa Indonesia. Diatas konsep multikulturalisme inilah diambil keputusan-keputusan yang rasional, demokratis, paham pengembangan liberalisme yang tepat, pengakuan terhadap kebhinekaan budaya masyarakat dan bangsa Indonesia, adanya kebebasan beragama dan beribadah sesuai dengan keyakinannya, demikian pula membangun masyarakat Indonesia yang multikultural, serta menjaga persatuan dan kesatuan serta tekad untuk membangun suatu dunia yang lain, yaitu dunia yang bebas dari kemiskinan serta pengakuan terhadap hak asasi semua manusia Indonesia.

Fenomena diatas tentu saja patut disesalkan. Pasalnya, saat ini konsep pendidikan multikulturalisme yang berintikan penekanan upaya internalisasi dan karakterisasi sikap toleransi terhadap perbedaan agama, ras, suku, adat dan lain-lain dikalangan peserta didik sangat kita butuhkan. Alasannya, kondisi situasi bangsa saat ini belum benar-benar steril dari ancaman konplik etnis dan agama, radikalisme agama, separatisme, dan disintegrasi bangsa. Bahkan dapat dikatakan serangkaian kerusuhan yang memakan ribuan korban tewas seperti kasus pekalongan (1995), Tasikmalaya (1996), Rengasdengklok (1997), Sanggauledo, Kalimantan Barat (1996 dan1997), Ambon dan Maluku sejak 1999, sampai Sampit, Kalimantan Timur (2000) sewaktu-waktu bisa dapat terjadi jika tanpa antisipatif secara dini.untuk itu, menghadirkan konsep pendidikan multikultural merupakan bagian dari usaha komprensif dalam mencegah dan menanggulangi konflik bernuansa SARA. Disamping itu, kita juga telah berkomitmen untuk mewujudkan tatanan masyarakat indonesia baru yang lebih toleran dan dapat menerima dan memberi didalam perbedaan budaya (multikultural), demokratis dalam perikehidupannya (democratizatioan), mampu menegakkan keadilan dan hukum (law enforcement), memiliki kebangsaan diri baik secara individual maupun kolektif (human dignity) serta mendasarkan diri pada kehidupan beragama dalam pergaulannya (religionism).1 Menurut Zakiyuddin Baidhawy Menyatakan:s Bahwa paradigma pendidikan multikultural mencakup subjek-subjek tentang ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang sosial, budaya ekonomi, dan lain-lain. Pendidikan multikultural yang mulai berkembang di Indonesia lebih diarahkan agar semua entitas bangsa dapat masuk kedalam lembaga yang disebut pendidikan, tanpa memandang miskin, kaya, priyayi, santri, dan seterusnya. Mengajarkan multikulturalisme lebih dari memastikan bahwa peserta didik dalam suatu kelas atau sekolah belajar dar berbagai latar belakang.2

Kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia diberkahi dengan kenyataan adanya berbagai budaya etnis sebagaimana yang diakuai didalam lambang negara Bhineka Tunggal Ika. Lambang negara tersebut bukan sesuatu yang telah jadi tapi yang menjadi. Oleh sebab itu Bhineka Tunggal Ika merupakan pengertian kesejarahan masyarakat dan bangsa Indonesia karena menunjukan keadaan masa lalu, persoalan masa kini, dan tugas untuk mewujudkannya dimasa yang akan datang. Keanekaan Indonesia kemudian dikenali, diakui, dan dikukuhkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi pedoman kehidupan bangsa Indonesia secara menyeluruh dan yang berlaku hingga saat ini, sebagai realisasi dari rumusan abstrak pengenalan, pengakuan, dan pengukuhan keanekaan itu, di bangun berbagai program pendokumentasian, pemahaman dan pelestaraian aneka budaya bangsa Indonesia sebagaimana yang tampak dalam berbagai program pembangunan dimasa Orde Baru. Proses ini merupakan suatu proses yang berkisanambungan tanpa akhir, karena merupakan suatu tugas dari setiap anggota masyarakat Indonesia yang terdiri dari berjenisjenis etnis untuk bertekad membangun suatu masyarakat yang bersatu. Multikulturalisme

merupakan suatu masalah yang mendasar, yang berkesinambungan, dan yang menentukan mati hidupnya negara-bngsa Indonesia.

Menurut Franz Magnis Suseno: Didalam masa kritis yang dilewati oleh bngsa Indonesia pada akhir-akhir ini, dengan terjadinya berbagai gesekekan horizontal, menunjukan gejala-gejala pengkhianatan terhadap tiga asas kehidupan masyarakat bangsa Indonesia yaitu: Pertama, pengkhianatan terhadap sumpah pemuda tahun 1928, yaitu keinginan untuk membangun satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia. Kedua, pengkhianatan terhadap kesepakatan untuk hidup bersama dibawah payung Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terlihat gejala-gejala separatisme untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gerakan ini tentunya lahir karena kekhilafan-kekhilafan yang kita buat, antara lain dengan meremehkan eksistensi kebhinekaan budaya bangsa Indonesia dan terlalu mementingkan budaya dari satu-dua kelompok entis saja. Ketiga, penghianatan terhadap ikrar bersama untuk hidup rukun, penuh toleransi, karena diikat oleh satu tujuan yaitu ingin membangun satu masyarakat ynag adil dan makmur untuk seluruh masyarakat.2

Hingga saat ini, wacan pendidikan multikultural di Indonesia belum tuntas dikaji oleh berbagai kalangan, termasuk para pakar dan pemerhati pendidikan sekalipun. Penelitian ini dimaksudkan sebagai sumbangsih pemikiran terhadap fenomena aktual tentang wacana baru dalam dunia pendidikan di Indonesia, yakni pendidikan multikultural. Perlu diketahui, bahwa di Indonesia pendidikan multikultural relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagai masyarakat Indonesia yang heterogen, plural. Terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru diberlakukan sejak Tahun 1999 hingga saat ini. Pendidikan multikultural yang dikembngkan di Indonesia sejalan dengan pengembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desenttralisasi dan otonomi daerah (otoda).

Menurut Azumardi azra: pada level nasional, berakhirnya sentralisme kekuasaan yang pada masa orde baru memaksakan monokulturalisme yang nyaris seragam, memunculkan reaksi balik, yang mengandung implikasi negatif pada rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural. Berbarengan dengan otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan pemerintah, juga terjadi peningkatan fenomena atau gejala provinsialisme yang hampir tumpang tindih dengan etnisitas. Kecenderungan ini jika tidak terkendali, akan dapat menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosio-kultural yang amat parah, bahkan juga disintegrasi politik.3

A. Pendidikan Multikultural dan Tantangan Globalisasi Globalisai adalah proses pertumbuhan negara-negara maju, yaitu Amerika, Eropa dan jepang yang melakukan ekspansi besar-besaran. Kemudian berusaha mendominir dunia dengan kekuatan, globalisa juga merupakan proses yang berlangsung panjang dan bergerak maju secara dramastis dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini, dikendalikan oleh banyak kekuatan termasuk teknolgi baru dan bertambahnya arus modal secara bebas. Dalam menghadapi tantangan globalisasi yang sedang melanda dunia, Maka dunia pendidikan harus mempersiapkan untuk menghadapi tantangan globalisasi pada semua jenjang pendidikan yang dapat dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertarap internasional, baik oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah (pasal 50 ayat 3) untuk itu perlu dibentuk suatu badan hukum pendidikan, sehingga semua penyelenggara pendidikan dan satuan pendidikan formal, baik yang didirikan oleh pemerintah maupun masyarakat, harus berbentuk badan hukum pendidikan (pasal 53 ayat1). Badan hukum pendidikan yang dimaksud akan berfungsi memberikan pelayanan kepada peserta didik (pasal 53 ayat 2). Dengan demikian, badan hukum pendidikan akan memberikan landasan hukum yang kuat kepada penyelenggara pendidikan dan satuan pendidikan nasional yang bertaraf internasional dalam menghadapi persaingan global. Dalam menghadapi globalisasi, maka penyerapan tenaga kerja akan ditentukan oleh kompetensi, yang diberikan oleh penyelenggara satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi kepada peserta didik dan masyarakat yang dinyatakan lulus setelah mengikuti uji kompetensi tertentu (pasal 61 ayat 3). Kemajuan komunikasi yang global seperti internet, juga telah membawa dampak terhadap pendidikan moral kita, lihat saja dengan adanya internet dengan mudahnya gambar-gambarfornografi diakses oleh anakanak usia sekolah melalui teknologi informasi itu. Hal ini merupakan tantangan bagi dunia pendidikan kita, yang diamana di satu sisi harus mengikuti kemajuan ilmu dan teknologi disisi lain berimplikasi kepada rusaknya nilai-nilai moral akibat berbenturan dengan nilai budaya luar seiring dengan kemajuan informasi yang mengglobal. Adapun Dalam mengantisifasi perkembngan global dan kemajuan teknologi komunikasi, maka pendidikan jarak jauh diakomodasikan dalam Sisdiknas, sebagai paradigma baru pendidikan. Pendidikan jarak jauh tersebut dapat diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, yang berfungsi untuk memberi pelayanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler (pasal 31 ayat 1dan 2).4

Menurut Chirzin: Proses globalisasi dengan percepatan mengglindingnya liberalisasi ekonomi dan sistem perdagangan bebas secara global, menghadapkan dunia pendidikan pada tantangantantangan baru yang tidak sederhana. Globalisasi membuat dunia menjadi sebuah kampung

kecil yang memudahkan setiap warga dunia untuk berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Situasi yang demikian mengakibatkan terbukanya ide atau gagasan dari satu tempat ketempat lain sehingga sulit disensor jika bertentangan dengan nilai-nilai budaya penerima ide atau gagasan.5

Dalam perkembangannya pendidikan di Indonesia mengalami perubaha-perubahan yang boleh dikatakan agak lumayan maju,walaupun belum sepenuhnya memenuhi target dari tujuan bangsa Indonesia itu sendiri. Pendidikan hadir di tengah-tengah masyarakat memiliki banyak fungsi yang tidak hanya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga berfungsi sebagai pencerdasan diri, sosial, negara bangsa, bahkan dunia. Lebih khusus di Indonesia karena, Hal ini sangat relefan sekali dengan konsep pendidikan multikultural yang dimana pendidikan ini tidak mempeta-petakan baik itu bahasa, etnis, kultur, budaya, ras, agama, status sosial, dan lain sebagainya. Fungsi pendidikan sedikit disinggung pada babII pasal 3 dalam UU Sisdiknas 2003, bahwa fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.6 Ada beberapa fungsi pendidikan sebagaimana tela dikemukakan diatas. Setidaknya hal itu bisa dilihat dalam dua presfektif. Pertama, secara sempit, pendidikan berfungsi untuk membantu secara sadar perkembangan jasmani dan rohani para peserta didik. Kedua, secara luas, pendidikan berfungsi sebagai pengembangan pribadi, pengembangan warga negara, pengembangan kebudayaan dan pengembangan bangsa. Dalam pemaparan diatas maka jelas pendidikan sangat penting sekali untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makamur dan yang inklusif bagi semua lapisan masyarakat Indonesia. Pendidikan juga Selain berfungsi sebagaimana yang telah disebutkan diatas, pendidikan bisa juga berfungsi sebagai investasi jangka panjang.

Menurut Nurkolis: Pendidikan sebagai investasi jangka panjang sumber daya manusia (SDM) Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebannya pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Masyarakat Indonesia, mulai dari yanga awam hingga politisi hingga pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang.

B. UU Sisdiknas Kearah Pendidikan Multikultural

Pameo masyarakat mengenai sistem pendidikan nasional kita yang mengatakan, ganti mentri pendidikan, pasti bakal ganti peraturan, agaknya mengandung kebenaran. Kenyataan yang muncul setiap ganti mentri biasanya adalah berubahnya orientasi, alokasi anggaran, kurikulum baik mengenai volume kurikulum muatan nasional (kurnas) dan kurikulum muatan lokal (kurlok), atau mengenai prosentase jam mata pelajaran. Khususnya antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, dan atau mengenai penekanan-penekanan khusus orientasi kurikulum yang dibangun seperti metode CBSA, Manajemen Berbasis Sekolah (Scool Based Management), Sekolah Berbasis Kompetensi (School Based Competence), dan Sekolah Berbasis Masyarakat (Scool Based Community) dan aturanaturan lain kependidikan lainnya, seperti kepangkatan guru atau dosen, karakteristik kelulusan, akreditasi, dan kelayakan sistem sekolah. Kebijakan yang dikeluarkan tak pelak mengundang kritik dan sekaligus harapan bagi keberadaan sistem pendidikan yang lebih baik. UU Sisdiknas 2003, misalnya, adalah salah satu Undang-Undang yang sarat kontroversi. Hal ini terlihat dari proses pengesahan rancangan Undang-Undang tersebut. Masyarakat pendidikan terbelah antara yang pro dan yang kontra. Reaksi atas RUU Sisdiknas cukup masif, tidak saja dipusat(Jakarta), tetapi juga di beberapa daerah di Indonesia seperti Medan, Palembang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Manado, Makasar, dan Nusa Tenggara Timur. Semua sivitas akademika perguruan tinggi dan sekolah-sekolah berdemontrasi berkenaan dengan RUU Sisdiknas itu sebagai usaha memperjuangkan aspirasinya baik yang pro maupun yang kontra yang sesuai dengan visi, misi, dan tradisi yang dianutnya. Bahkan para pemuka agama dan mayarakat khususnya islam dan kristen tampil kepermukaan untuk menuarakan apa yang seharusnya dikukuhkan dalam RUU Sisdiknas. Jika dipetakan secara terbuka akan tersibak dua kubu yang kontroversial demikian, mayoritas penganut agama Islam cenderung menyetujui dan sedangkan penganut agama Kristen cenderung tidak setuju. Ketetapan UU Sisdiknas 2003, sebagai usahaPolitik kearah cita-cita bersama yang mulia, ternyata menuai kontraversi dan kritikan. Gelombang reaksi yang pro dan kontra begitu memanas dari masyarakat khususnya begitu juga bagi para pelaku pendidikan dan pemuka agama yang masing-masing berseteru ingin menyampaikan dan sekaligus mempertahankan aspirasinya. Pertama, RUU Sisdiknas mengemuka pertama kali karena adanya dua versi: Versi DPR (27 Mei 2002) dan Versi pemerintah (20 dan 28 Februari 2003). Dengan adanya dua versi ini kemudian melahirkan polemik yang membawa kontroversi dan kecurigaan dimasyarakat. Masyarakat menilai bahwa pembahasan RUU itu, baik di DPR maupun di pemerintah, sarat akan pelbagai kepentingan politik. Kedua, RUU Sisdiknas dinilai oleh mereka yang kontra bahwa negara ingin mengambil alih peran keluarga secara menyeluruh dalam konteks pendidikan agama. UU Pendidikan yang sejatinya perlu membangun sistem pendidikan yang membebaskan (Fredom for) dipandang menjadi kerdil karena terjebak pada sentralisme yang terlalu kuat (Pasal 58 Ayat 2, Pasal 6, dan Pasal 63).

Ketiga, RUU Sisdiknas mengesankan mengebiri dan mengerdilkan anak didik dalam pengetahuan keagamaan. Dalam pandangan mereka anak didik dinilai hanya diperkenalkan hanya mempelajari dan memahami agamanya sendiri. Namun dalam pandangan sebagian orang yang lain, bahwa didalam lembaga pendidikan terdapat unsur-unsur pembelajaran informal disamping formal. Keakraban yang dinamis dan harmonis dikalangan pelajar yang beragam akan terjalin bilamana masing-masing pelajar secara umum mengenal atau mengetahui ajaran agama lain. Dengan mengerti agama-agama lain maka dimungkinkan para anak didik dapat berkomunikasi dengan lebih berempati, saling terbuka, kerja sama lebih erat, dan lebih menerima dan menghargai kawan yang beragama lain. Tentu hal yang demikian akan mengharuskan adanya Guru atau peserta didik yang inklusif agar tercipta suasana keterbukaan yang menghargai antar sesama perbedaan, untuk mewujudkan masyarakat yang menerima atas segala perbedaan yang ada dalam masyarakat dan bangsa Indonesia kita ini.7

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan Dari pemaparan diatas, maka penulis memperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut: Krisis multidimensi yang dialami negeri ini, diakui atau tidak merupakan bagian dari problem kultural yang salah satu penyebabnya adalah keragaman kultur yang ada dalam masyasarakat kita. Keragaman itu sendiri adalah rahamat Tuhan yang dianugerahkan pada bangsa dan negeri ini. Karena dengan begitu, semua kita dapat saling mengenal dan bahu membahu dalam membangun sebuah negeri. Namun disisi lain, apabila kita tidak dapat melihat sisi positif didalamnya, keragaman itu dapat menjadi salah satu sumber malapetaka yang dapat mengakibatkan adanya kecurigaan dan rasa saling tidak percaya dari satu kelompok terhadap kelompok-kelompok yang lain. Diantaranya adalah diskriminasi, ketidak adilan, dan pelanggaran terhadap hak-hak azasi manusia (HAM) yang terus terjadi hiangga hari ini dengan segala bentuknya seperti kriminalitas, korupsi, politik uang, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap perempuan dan anak, pengesampingan hak-hak minoritas, pengesampingan terhadap nilainilai budaya lokal,,kekerasan antar pemeluk agama dan sebagainya adalah wujud nyata dari problematika kultural yang ada. Salah satu upaya preventif untuk membangun kesadaran dan pemahaman generasi masa depan akan pentingnya selalu menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, demokrasi, kemnusiaan dan pluralisme dalam pergaulan didalam masyarakat yang mempunyai latar belakang kultural yang beragam adalah dengan melalui penerapan pendidikan

multikultural. Karena strategi dan konsep pendidikan ini tidak hanya bertujuan agar peserta didik memahami dan ahli dalam disiplin ilmu yang dipelajarinya. Akan tetapi, juga bagaiman caranya agar siswa mempunnyai, sekaligus dapat mempraktekan nilai-nilai pluralisme, demokrasi, humanisme dan keadilan terkait dengan perbedaan kultural yang ada disekitar kita. Dengan diterapkannya konsep dan strategi ini, diharapkan segala bentuk diskriminasi, kekerasan dan ketidak adilan yang sebagian besar dilatar belakangi oleh adanya perbedaan kultural seper ti perbedaan agama, ras, etnis, bahasa, kemampuan, gender, umur dan kelas sosisal-ekonomi dapat diminimalkan. Agar tujuan pendidikan multikultural ini dapat dicapai, maka diperlukan adanya peran serta dan dukungan dari guru atau dosen, institusi pendidikan dan para pengambil kebijakan pendidikan lainya. Guru atau dosen perlu memahami konsep dan stategi pendidikan multikultural agar nilai-nilai utama yang terkandung dalam strategi dan konsep pendidikan tersebut seperti pluralisme, demokrasi, humanisme, dan keadilan dapat juga diajarkan sekaligus dipraktekkan dihadapan para siswa sedemikian rupa, seorang guru atau dosen tidak hanya bertanggung jawab agar peser ta didik mempunyai pemahaman dan keahlian terhadap mata pelajaran yang diajarkanya, akan tetapi juga bertanggung jawab untu k menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, demokrasi, keadilan dan pluralisme. Disamping itu, perlu juga dukungan dari sekolah atau kampus sebagai sebuah institusi pendidikan. Dukungan ini dapat diwujudkan dengan menerapkan konsep dan strategi pendidikan multikultural kedalam tujuan pembelajaran, kurikulum, dan menejemen pendidikan yang diterapkan sekolah. Dukungan lain yang akan sangat berarti bagi pengembangan pendidikan multikultural adalah dari para pengambil kebijakan baik dari pemerintah tingkat pusat, maupun di daerah ditingkatan institusi pendidikan itu sendiri, seperti kepala sekolah, komite sekolah maupun kepala adminstrasi sekolah. Dukungan ini sangat penting meskipun dalam era otonomi daerah sekarang ini para pengambil kebijakan di daerah mempunyai hak berinistiatif, membuat dan menerapkan kebijakan lokal masing-masing. Akan tetapi kerja sama dan kesamaan persepsi, serta tujuan para pengmbil kebijakan di daerah dan pusat dapat memaksimalkan pengemabngan pendidikan mmultikultural ini. Akhirnya, dengan adanya dukungan dari guru atau dosen institusi pendidikan dan para pengambil kebijakan lain, baik dipusat maupun daerah, diharapkan penerapan pendidikan multikultural ini dapat di implementasikan secara maksimal dan efektif. Harapan dari semua ini adalah bahwa institusi pendidikan kita, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, dapat menghasilkan lulusan sekolah atau universitas yang tidak hanya mempunyai kemampuan kognitif (pengetahuan), dan psikomotorik (keterampilan), melainkan juga mempunyai sikap (afektif) yang demokratis, humanis, pluralis dan adil. Bangunan Indonesia baru atau perombakan tatanan kehidupan orde baru adalah sebuah masyarakat multikultural Indonesia yang didirikan diatas puing-puing tatanan kehidupan orde baru yang bercorak masyarakat majemuk (plural society). Sehingga, corak masyarakat Indonesia yang bhineka tunggal ika bukan lagi keanekaragaman suku bangsa tetapi juga keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesi.

Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikutural yaitu, sebuah ideologi yang mengakui dan mengagumkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual dan secara kebudayaan. Dari ringakasan diatas, kita bisa mendapatkan gambaran secara umum tentang konsep pendidikan dan konsep multikulturalisme. Maka, penulis dapat menyimpulkan dari hasil pemaparan diatas tentang bagaimana konsep pendidikan multikultural dan signifikansinya di Indonesia yang diantaranya adalah: 1. Pendidikan multikultural sebagai sarana alternatif pemecahan konflik sosial. Spektrum kultur masyarakat Indonesia yang amat beragam menjadi tantangan bagi dunia pendidikan guna mengolah perbedaan tersebut menjadi suatu aset, bukan sumber perpecahan. Saat ini, pendidikan multikultural mempunyai dua tanggung jawab besar: menyaiapkan bangsa Indonesia untuk menghadapi arus budaya luar di era globalisasi dan menyatukan bangsa sendiri yang terdiri dari berbagai budaya. 2. pendidikan multikultural sebagai pembina agar sisiwa tidak tercerabut dari akar budayanya selain sebagai sarana alternatif perpecahan konflik, pendidikan multikultural juga signiifikan dalam membina siswa agar mereka tidak tercerabut dari akar budaya yang dimiliki sebelumnya tatkal berhadapan dengan realitas sosial dan budaya di era globalisasi. 3. sebagai landasan pengembangan kurukulum penidikan nasional. Daam melakukan pengembangan kurikulum sebagai titik tolak dalam proses belajar mengajar, atau guna memberikan sejumlah materi dan isiu pelajaran yang harus dikuasai siswa dengan ukuran atau tinfgakatan tertentu, maka pendidikan multikultural sebagai landasan pengembangan kurikulum menjadi sangat penting. 4. Menciptakan masyarakat multikultrural. Cita-cita reformasi untukl membangun Indonesia baru harus dilakukan dengan cara membangun kembali dari hasil perombakan terhadap keseluruhan tatanan kehidupan yang dibangun oleh orde baru. Inti dasri cita-cita tersebut adalah terwujudnya sebuah masyarakat sipil yang demokratis, ditegakkanya hukum untuk supremasi keadilan, pemerintah bebas KKN, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam kehidupan masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga madsyarakat, dan kehidupan ekonomi yang menyejahterakan rakyat Indonesia. B. Saran-Saran Dalam penulisan skripsi ini, perlu kiranya penulis memberikan saran kepada berbagai pihak, utamanya para stake holder, praktis, pemerhati masalah pendidikan dan multikulturalisme di Indonesia, sebagai berikut: 1. Kepada pemerintah khususnya, supaya merespon arus globalisasi yang secara langsung maupun tidak berdampak pada sendi-sendi dunia pendidikan nasionl di Indonesia. Utamanya, menyangkut isu global saat ini yaitu pendidikan multikultural. Maka,

pemerintah hendaknya mnemikirkan secara srius realitas multikultural di Indonesia dengan memasukkan kurikulum yang berdasar pada semangat multikulturalisme. 2. Kepada praktisi pendidikan (guru, dosen, staf pengajar, ustadz, dll), hendaknya hendaknya menanamkan nilaui-nilai multikulturalisme dalam proses belajar mengajar (PBM) dengan cara memberikan menyangkut relitas multikultural dan mempraktekkan dalam kehidupan nyata, sehingga peserta didik memiliki kompetensi nilai-nilai multikulturalisme. 3. Kepada pengamat dan pemerhati masalah pendidikan, agar terus berusaha membumikan wacana pendidikan multikultural melalui berbagai media, baik media massa maupun media elektronik, atau media-mesia lain yang lebih efektif dan efesien. 4. Dan kepada semua elemen masyarakat dan civil siciety, agar bekerja sama dalam mewujudkan masyarakat multikulturalisme (bhineka tunggal ika) sebagaimana telah diperjuangkan oleh para praktisi pendidikan negeri ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ainul, Yaqin. Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pilar Media, 2005.

Al Barry, M. Dahlan. Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arloka, 2001.

Arifin, Thoha, Zaenal. Kenylenehan Gusdur, Jakarta: Gama Media, 2005.

Batubara, Muhyi. Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Ciputat Press, 2004.

Cahyono, ImamMandeknya Pemikiran Pendidikan, Kompas, 18 Januari 2007.

Dawam, Ainurrofiq. Emoh Sekolah, Yogyakarta: Inspealahimas Karya Press, 2003.

, Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Inspeal, 2006.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996.

Fadjar,Malik. Holistika Pemikiran Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.

, Platform Reformasi Pendidikan Dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Idris, Jamaluddin. Kompilasi Pemikiran Pendidikan, Yogyakarta: Taufiqiyah Saadah, 2005.

Imron, Ali. Kebijaksanaan Pendidikan Di Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, 2002.

Kartono, Kartini. Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Pradnya Paramita, 2004.

Mahfud Choerul. Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006 . Mudyahardjo, Redja. Pengantar Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. IAIT Press, Kediri,2005.

Pidarta, Made. Landasan Kependidikan, Jakarta: Rineka Karya, 1997.

Saala, Saiful, H. Administrasi Pendidikan Kontemporer, Bandung: Alfa Beta, 2006.

Setiawan, Benni. Manifesto Pendidikan Di Indonesia, yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006.

Sumartana. Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama Di Indonesia, Yogyakarta: pustaka Pelajar, 2001.

Suharto, Toto. Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ar-ruz Media, 2006.

Standar nasional Pendidikan, Bandung: Fokus Mrdia, 2005. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem pendidikan asional, Surabaya: Media Centre, 2005.

Suparlan. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, Yogyakarta: Hikayat, 2004.

Susetyo, Benny. Politik Pendidikan penguasa, Yogyakarta: Lkis, 2005.

Suwignyo, Agus.Menuntut Globalisasi Yang Manusiawi, Kompas, 15 Februari 2007.

Suyanto. Pendidikan Di Indonesia Memasuki Milenium III, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2000.

Tilaar, H.A.R. Multikulturalisme tantangan-tantangan global masa depan dalam transformsi pendidikan nasional, Jakarta: Grasindo, 2004. , Manajemen Pendidikan Nasional, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003. , Pendidikan,Kebudayaan, dan masyarakat Madani Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2004.

Tholkhah, Imam. Membuka Jendela Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

Yunus Firdaus, M. Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2005.

Zuhairini. Filsafat pandidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.

Zubaedi. Pendidikan Berbasis Masyarakat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Transformer Ngelihat karya Bang Steven bikin aku tambah ngiler aja nanti filmnya yang lain, keren banget-banget-banget-banget ga ampe kepikiran Film kartun bisa dibikin animasi kaya gitu bikinnya pake flash apa ya' apa 3Dmax he-he-he.

You might also like