You are on page 1of 9

http://swadiri.blogspot.com/2010/07/eksekusi-dalam-ptun.

html EKSEKUSI DALAM PTUN PELAKSANAAN PUTUSAN (EKSEKUSI) Dalam Pasal 115 UU PTUN disebutkan bahwa hanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan. Putusan pengadilan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap tidak memiliki kekuatan eksekusi atau dengan kata lain putusan pengadilan yang masih mempunyai upaya hukum tidak dapat dimintakan eksekusinya. Pelaksanaan putusan pengadilan menurut ketentuan Pasal 116 UU PTUN-04 memiliki persamaan dan perbedaan. Perbedaan tersebut membawa implikasi hukumnya masing-masing. Untuk memahami hal itu, berikut dibawah ini akan dikemukakan pelaksanaan putusan menurut Pasal 116 UU PTUN dan menurut Pasal 116 UU PTUN-04. Hal ini perlu dikemukakan agar dapat diketahui apakah perubahan tersebut menjadi lebih baik atau sebaliknya. Lebih lanjut mengenai pelaksanaan putusan pengadilan TUN dalam Pasal 116 disebutkan: Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh panitera pengadilan setempat atas perintah ketua pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari. Dalam hal 4 bulan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, maka KTUN yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum. Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 3 bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut. Jika tergugat masih tetap tidak mau melaksanakannya, ketua pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan. Instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dalam waktu 2 bulan setelah menerima pemberitahuan dari ketua pengadilan harus sudah memerintahkan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) melaksanakan putusan pengadilan tersebut. Dalam hal instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), tidak mengindahkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), maka ketua pengadilan mengajukan hal ini kepada presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan tersebut. Berdasarkan ketentuan Pasal 116 tersebut diatas, maka menurut Paulus Effendie Lotulung, sesungguhnya ada dua jenis eksekusi yang kita kenal di peradilan tata usaha Negara : Eksekusi terhadap putusan pengadilan yang berisi kewajiban sebagaiman dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, yaitu kewajiban berupa pencabutan KTUN yang bersangkutan. Eksekusi terhadap putusan pengadilan yang berisi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 (9) huruf b dan huruf c, yaitu : huruf b : pencabutan KTUN yang bersangkutan dan menerbitkan KTUN yang baru;atau huruf c : penerbitan KTUN dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3. Selanjutnya Lotulung menjelaskan bahwa apabila terdapat adanya eksekusi jenis pertama, maka diterapkanlah ketentuan Pasal 116 ayat (2), yaitu 4 bulan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan, tergugat tidak melaksanakan kewajibannya, maka KTUN yang disengketakan

itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Dengan demikian tidak perlu lagi ada tindakantindakan ataupun upaya-upaya lain dari pengadilan, misalnya surat peringatan dan sebagainya. Sebab KTUN itu dengan sendirinya akan hilang kekuatan hukumnya. Cara eksekusi seperti ini disebut dengan eksekusi otomatis. Sebaliknya apabila terdapat adanya eksekusi jenis kedua, maka diterapkanlah ketentuan Pasal 116 ayat (3) sampai dengan ayat (6), yaitu dengan cara adanya surat perintah dari ketua pengadilan yang ditujukan kepada pejabat TUN yang berssangkutan untuk melaksanakan eksekusi putusan pengadilan tersebut, dan apabila tidak ditaati, maka ketua pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasan pejabat TUN tersebut menurut jenjang jabatan, yang dapat diteruskan sampai ke Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi untuk memerintahkna pejabat TUN tersebut melaksanakan putusan pengadilan itu. Cara eksekusi seperti ini disebut dengan eksekusi hierarkis. Lebih lanjut lagi Lotulung menjelaskan bahwa pada dasarnya eksekusi di PTUN menekankan pada asas self respect dan kesadaran hukum dari pejabat TUN terhadap isi putusan hakim untuk melaksanakannya dengan sukarela tanpa adanya upaya pemaksaan yang langsung dapat dirasakan dan dikenakan oleh pihak pengadilan terhadap pejabat TUN yang bersangkutan. Meskipun dikatakan bahwa proses eksekusi yang ditempuh menurut cara tersebut diatas merupakan orisinal buah fikiran pembuat undang-undang di Indonesia, sebab sistem seperti itu tidak dikenal di luar negeri. Namun ketentuan tersebut sekaligus merupakan suatu kekurangan, kalau tidak boleh dikatakan justru sebagai suatu kesalahan. Karena, normativisasi hukum tidak cukup hanya sekedar memuat perintah dan larangan. Dibalik larangan, terutamanya harus ada ketentuan sanksi atas ketidakpatuhan. sanksi hukum sampai saat ini masih merupakan alat yang paling ampuh untuk menjaga wibawa hukum atau dengan kata lain agar setiap orang patuh terhadap hukum. Ketidakpatuhan badan atau pejabat TUN untuk melaksanakan putusan pengadilan TUN sedikit banyak dapat mempengaruhi kewibawaan pengadilan, pelecehan terhadap peradilan, dan bukan mustahil jika ketidakpatuhan itu terjadi berulang-ulang, maka masyarakat semakin tidak percaya kepada pengadilan, dan apabila masyarakat cenderung main hakim sendiri bukanlah merupakan perbuatan yang beridiri sendiri. Dalam Pasal 17 PP 43/1991 jo Pasal 5 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan 1129/1991, memang mengatur dapat diberikannya sanksi administrative terhadap badan atau pejabat TUN yang bersangkutan, tetapi penjatuhan sanksi administrative itu limitative hanya berkaitan dengan kelalaiannya mengakibatkan Negara membayar ganti kerugian. Jadi tidak ada kaitannya dengan perbuatan yang tidak mau melaksanakan putusan pengadilan yang telah mempunyai keuatan hukum tetap tersebut. Pelaksanaan putusan pengadilan dibidang kepegawaian yang berkaitan dengan kewajiban tergugat untuk melakukan rehabilitasi dan membayar sejumlah uang atau kompensasi lain, apabila tergugat tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap disebabkan oleh berubahnya keadaan dalam Pasal 117 UU PTUN. Dalam ketentuan Pasal tersebut, jelas bahwa pemberian kompensasi berkaitan dengan sengketa kepegawaian. kompensasi diberikan, sebagai konsekuensi badan atau pejabat TUN yang bersangkutan tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna melaksanakan putusan PTUN. Kompensasi itu berbentuk sejumlah uang yang besarnya berdasarkan Pasal 14 PP No. 43/1991 adalah paling sedikit Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah), dengan memperhatikan keadaan nyata. Besarnya jumlah minimal dan maksimal kompensasi tersebut sangat tidak memadai dibandingkan dengan kerugian yang mungkin dapat menimpa pegawai yang bersangkutan. Kelemahan lain dari ketentuan pasal tersebut adalah tidak tersedianya upaya pemaksa agar badan atau pejabat TUN agar membayar kompensasi, dan sanksi yang dapat diberikan kepada

badan atau pejabat TUN yang bersangkutan, apabila tidak mematuhi putusan pengadilan atau Mahkamah Agung tentang pembayaran kompensasi tersebut. Memang ada yang mengatakan bahwa penentuan jumlah kompensasi itu dikaitkan dengan anggaran Negara atau keuangan Negara yang sangat terbatas, sehingga apabila tidak dibatasi Negara dikhawatirkan tidak mampu untuk membayarnya. Pendapat ini sepenuhnya tidak dapat diterima, dengan perhitungan ganti rugi atau kompensasi dengan memperhatikan keadaan nyata, setiap badan atau pejabat TUN akan bertindak lebih hati-hati. Setelah berlakunya UU PTUN-04, maka ketentuan Pasal 116 menjadi berbunyi sebagai berikut : (1) Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari. (2) Dalam hal 4 (empat) bulan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikirimkan, tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. (3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) agar Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut. (4) Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif. (5) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Dari ketentuan Pasal 116 UU PTUN-04 tersebut diatas, dapat diketahui bahwa perbedaan antara ketentuan Pasal 116 UU PTUN dan ketentuan Pasal 116 UU PTUN-04 ada pada ayat (4) dan ayat (5), aedangkan ketentuan ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) antara ketentuan Pasal 116 UU PTUN dan Pasal 116 UU PTUN-04 sama sekali tidak ada perbedaan. sebagaimana yang tlah dikemukakan ketentuan Pasal 116 UU PTUN, dikenal adanya istilah eksekusi otomatis sebagaimana yang terkandung dalam ayat (2) dan eksekusi hirarkis sebagaimana yang terkandung dalam ayat (4), ayat (5), dan ayat (6). Maka apabila diperhatikan ketentuan Pasl 116 UU PTUN-04 dapat disimpulkan bahwa ketentuan ayat (2) masih mengandung eksekusi otomatis. Sedangkan ketentuan ayat (4) dan ayat (5) tidak mengandung eksekusi hirarkis. Tetapi, pada ayat (4) memuat sanksi yang dapat dijatuhkan oleh hakim kepada badan atau pejabat TUN yang tidak mau melaksanakan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang berupa uang paksa. Yakni berupa pembayaran sejumlah uang yang ditetapkan oleh hakim yang dicantumkan dalam amar putusan pada saat mengabulkan gugatan penggugat. Namun sayangnya pasal ini maupun penjelasannya tidak ada penjelasan bagaimana cara atau pedoman yang digunakan oleh hakim untuk menentukan besarnya uang paksa itu. Bagaimana pula kalau besarnya uang paksa yang ditetapkan oleh hakim itu menurut penggugat sangat kecil atau tidak sebanding dengan nilai tuntutan pokok dari gugatan yang diajukannya. Disamping itu, digantinya tuntutan pokok (tuntutan agar KTUN yang dikeluarkan oleh tergugat tidak sah atau tuntutan agar KTUN yang dimohonkan oleh penggugat dikabulkan oleh tergugat) dengan sejumlah uang sebagaimana disebutkan dalam ayat (4) tersebut tidak masuk akal dan cenderung tidak menyelesaikan masalah. Karena, yang menjadi obyek sengketa adalah KTUN

bukan tuntutan ganti kerugian. Sementara itu, yang berkaitan dengan penjatuhan sansi administrative sebagaimana juga yang disebutkan dalam ayat (4) tidak jelas apa bentuknya, bagaimana implementasinya, dan siapa yang berwenang menjatuhkan sanksinya. Begitu juga halnya dengan ketentuan ayat (5) yang menyebutkan apabila tergugat tidak juga mau membayar sejumlah uang tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), maka akan diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera. Sanksi yang tercantum dalam ayat (5) ini juga tidak sama baiknya dengan sanksi yang tercantum dalam ayat (4). Kelemahan utama yang akan muncul dalam penerapan sanksi ini adalah bahwa tujuan utama dari penggugat untuk menggugat dan menuntut menjadi tetap saja tidak tercapai sebagaimana mestinya. Disamping itu, juga tidak jelas apa tujuan dari pengumuman itu terutama dalam kaitannya dengan pemenuhan kepentingan dari penggugat. Oleh karena itu, perubahan terhadap ketentuan Pasal 116 tersebut tidak dapat dikatakan telah menjadi lebih baik, tetapi tetap saja belum memberikan perlindungan hukum yang semestinya menjadi hak penggugat. http://albatrozz.wordpress.com/2008/08/21/efektivitas-eksekusi-pada-pasal-116-uu-no-5tahun-1986-yang-telah-diubah-menjadi-uu-no-9-tahun-2004-tentang-ptun/ Keputusan Tata Nsaha Negara adalah : suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha Negara yang berisi tindakan hokum tata usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang undangan yang berlaku, yang bersifat kongkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hokum bagi seorang atau badan hokum perdata. Eksekusi dapat diartikan suatu tindakan lanjutan dalam hal melaksanakan putusan perngadilan yang telah mempunyai kekuatan hokum yang sah (in kracht). Eksekusi putusan pengadilan adalah, pelaksanaan putusan Pengadilan oleh atau dengan bantuan pihak luar dari para pihak. Hal-hal yang berkaitan dengan eksekusi adalah ; eksekusi putusan untuk, membayar sejumlah uang, dan menyerahkan suatu barang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Sarana-sarana yang tersedia untuk melaksanakan suatu putusan yang bersifat langsung yang berupa, kuasa yang diberikan hakim untuk membatalkan sesuatu yang sebenarnya tidak boleh dilakukan (pasal 1240 KUH Pdt), eksekusi oleh juru sita, penyitaan yang diikuti dengan pelelangan dimuka umum, suatu putusan yang menggantikan akte atau pernyataan pihak terhukum. Bersifat langsung berupa, penyanderaan dan pembebanan uang paksa. http://rudini76ban.wordpress.com/2009/09/29/%E2%80%9Cpelaksanaan-putusanhakim-eksekusi%E2%80%9D/ Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan sebuah interaksi dengan sesamanya. Dan proses interaksi itu tidak selamanya berjalan dengan baik, namun ada kalanya dihiasi dengan konflik horizontal sehingga dalam kasus ini diperlukan adanya suatu institusi yang menjadi pemutus konflik tersebut. Dalam kehidupan bernegara, institusi ini menjelma dalam bentuk Lembagalembaga peradilan. Di dalam dunia pengadilan, sebenarnya hanya ada satu hal pokok yang dicari para justiabalance (pencari keadilan) yaitu Putusan Hakim.Setelah putusan tersebut sudah final dan berkekuatan hokum sacara tetap maka akan dilaksanakan eksekusi(akibat dari putusan tersebut). Tujuan pihak-pihak yang berperkara menyerahkan perkara-perkaranya kepada pengadilan adalah untuk menyelesaikan perkara mereka secara tuntas dengan putusan pengadilan.Tetapi dengan adanya putusan pengadilan bukan berarti sudah menyelesaikan perkara secara tuntas, akan tetapi perkara akan dianggap selesai apabila ada pelaksanaan putusan atau eksekusi. Dengan kata lain pencari keadilan mempunyai tujuan akhir yaitu agar segala hak-haknya yang dirugikan oleh pihak lain dapat dipulihkan melalui putusan pengadilan/hakim dan pemulihan

tersebut akan tercapai apabila putusan dapat dilaksanakan. Dan dalam makalah singkat ini akan mengemukakan sedikit pembahasan mengenai pelaksanaan putusan/eksekusi. Pelaksanaan putusan /eksekusi adalah putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan. Dan putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) . Putusan yang sudah berkekuatan tetap adalah putusan yang sudah tidak mungkin lagi dilawan dengan upaya hukum verzet, banding, dan kasasi. Pengadilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman dapat melaksanakan segala putusan yang dijatuhkannya secara mandiri tanpa harus melalui bantuan Pengadilan Negeri. Hal ini berlaku setelah ditetapkannya UU No. 7/1989. Dan sebagai akibat dari ketentuan UU Peradilan Agama diatas adalah: Ketentuan tentang eksekutoir verklaring dan pengukuhan oleh Pengadilan Negeri dihapuskan. Pada setiap Pengadilan Agama diadakan Juru Sita untuk dapat melaksanakan putusanputusannya. Pelaksanaan putusan hakim dapat Secara sukarela,atau Secara paksa dengan menggunakan alat Negara,apabila pihak terhukum tidak mau melaksanakan secara sukarela.Semua keputusan pengadilan mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakan secara paksa oleh alat-alat Negara .Keputusan pengadilan bersifat eksekutorial adalah karena pada bagian kepala keputusannya berbunyi Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa . Putusan yang dapat dieksekusi adalah yang memenuhi syarat-syarat untuk dieksekusi, yaitu: Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, kecuali dalam hal: Pelaksanaan putusan serta merta, putusan yang dapat dilaksanakan lebih dulu. Pelaksanaan putusan provisionil. Pelaksanaan Akta Perdamaian. Pelaksanaan (eksekusi) Grose akta Putusan tidak dijalankan oleh pihak terhukum secara sukarela meskipun ia telah diberi peringatan (aan maning) oleh Ketua Pengadilan Agama. Putusan hakim yang bersifat kondemnatoir adalah Putusan yang bersifat deklaratoir atau konstitutif tidak diperlukan eksekusi. Putusan kondemnatoir tidak mungkin berdiri sendiri, dan merupakan bagian dari putusan deklaratoir, karena sebelum bersifat menghukum terlebih dahulu ditetapkan suatu keadaan hukum. Eksekusi dilakukan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Agama. Terdapat beberapa macam pelaksanaan putusan,yaitu: Putusan yang menghukum salah satu untuk membayar sejumlah uang. Hal ini diatur dalam pasal 196 HIR, pasal 208 R.Bg. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk melakukan suatu perbuatan. Hal ini diatur dalam pasal 225 HIR, pasal 259 R.Bg. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk mengosongkan suatu benda tetap. Putusan

ini disebut juga Eksekusi Riil. Hal ini diatur dalam pasal 1033 Rv. Eskekusi riil dalam bentuk penjualan lelang. Hal ini diatur dalam pasal 200 ayat (1) HIR, pasal 218 ayat (2) R.Bg. Pasal 196 HIR/207 R.Bg mengatur tentang pelaksanaan putusan yang diakibatkan dari tindakan tergugat/enggan untuk secara suka rela melaksanakan isi putusan untuk membayar sejumlah uang, sehingga pihak penggugat sebagai pihak yang dimenangkan mengajukan permohonan secara lisan atau tertulis kepada Ketua Pengadilan Agama agar putusan dapat dijalankan. Pasal 225 HIR/259 R.Bg berkaitan dengan pelaksanaan putusan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu yang tidak ditaati, sehingga dapat dimintakan pemenuhan tersebut dinilai dalam bentuk uang. Maksud pelaksanaan putusan yang diatur dalam ketentuan ini adalah untuk menguangkan bagian tertentu dari harta kekayaan pihak tergugat sebagai pihak yang dikalahkan dengan tujuan guna memenuhi isi putusan sebagai termuat dalam amarnya, yang telah memenangkan pihak penggugat sebagai pemohon eksekusi.Yang dimaksudkan eksekusi riil dalam ketentuan pasal 1033 Rv. adalah dilaksanakan putusan yang memerintahkan pengosongan atas benda tidak bergerak. Dalam praktek di pengadilan,tergugat yang dihukum untuk mengosongkan benda tidak bergerak tersebut setelah terlebih dahulu ditegur, untuk mengosongkan dan menyerahkan benda tidak bergerak tersebut kepada penggugat selaku pihak yangdimenangkan.Apabila tidak bersedia melaksanakan perintah tersebut secara sukarela, maka Ketua Pengadilan dengan penetapan akan memerintahkan Panitera atau Juru Sita, kalau perlu dengan bantuan alat negara (Polisi/ABRI) dengan paksa melakukan pengosongan terhadap tergugat dan keluarga serta segenap penghuni yang ada, ataupun yang mendapat hak dari padanya, dengan menyerahkannya kepada Penggugat selaku pemohon eksekusi. Adapun mengenai cara melakukan penjualan barang-barang yang disita dalam hal pelaksanaan eksekusi riil dalam bentuk penjualan lelang diatur dalam pasal 200 HIR. Ketentuan pokoknya antara lain berisi: Penjualan dilakukan dengan pertolongan Kantor Lelang; Urutan-urutan barang yang akan dilelang ditunjuk oleh yang terkena lelang jika ia mau; Jika jumlah yang harus dibayar menurut putusan da biaya pelaksanaan putusan dianggap telah tercapai, maka pelelangan segera dihentikan. Baran-barang selebihnya segera dikembalikan kepada yang terkena lelang; Sebelum pelelangan, terlebih dahulu harus diumumkan menurut kebiasaan setempat dan baru dapat dilaksanakan 8 hari setelah penyitaan; Jika yang dilelang terasuk benda yang tidak berberak maka harus diumumkan dalam dua kali dengan selang waktu 15 hari; Jika yang dilelang menyangkut benda tidak bergerak lebih dari Rp.1000.- harus diumumkan satu kali dalam surat kabar yang terbit di kota itu paling lambat 14 hari sebelum pelelangan; Jika harga lelang telah dibayar, kepada pembeli diberikan kwitansi tanda lunas dan selain itu pula hak atas barang tidak bergerak tersebut beralih kepada pembeli; Orang yang terkena lelang dan keluarganya serta sanak saudaranya harus menyerahkan barang tidak bergerak itu secara kosong kepada pembeli. http://advokatku.blogspot.com/2010/02/syarat-pelaksanaan-putusan-pengadilan.html Selanjutnya didalam mengeksekusi putusan pengadilan, ada beberapa syarat yang harus

diperhatikan antara lain : Putusan telah berkekuatan hukum tetap kecuali dalam hal : pelaksanaan putusan serta merta, putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu. pelaksanaan putusan provinsi. pelaksanaan akta perdamaian. pelaksanaan Grose Akta. Putusan tidak dijalankan oleh pihak terhukum secara suka rela meskipun ia telah diberi peringatan (aan maning) oleh ketua pengadilan. Putusan hakim yang bersifat kondemnatoir, sehingga dalam putusan diklaratoir dan konstitutif tidak diperlukan eksekusi. Eksekusi dilakukan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan. Sedangkan yang berwenang melaksanakan eksekusi hanyalah pengadilan tingkat pertama, Pengadilan Tinggi tidak berwenang melaksanakaan eksekusi. Sedangkan tata cara sita eksekusi sebagai berikut: Ada permohonan sita eksekusi dari pihak yang bersangkutan. Berdasarkan surat perintah Ketua Pengadilan, surat perintah Ketua Pengadilan dikeluarkan apabila: tergugat tidak mau menghadiri panggilan peringatan tanpa alasan yang sah. tergugat tidak mau memenuhi perintah dalam amar putusan selama masa peringatan. Dilaksanakan oleh panitera atau juru sita. Pelaksanaan sita eksekusi harus dibantu oleh dua orang saksi : Keharusan adanya dua saksi merupakan syarat sah sita eksekusi. Dua orang saksi tersebut berfungsi sebagai pembantu sekaligus sebagai saksi sita eksekusi. Nama dan pekerjaan kedua saksi tersebut harus dicantumkan dalam berita acara sita eksekusi. Saksi-saksi tersebut harus memenuhi syarat: telah berumur 21 tahun. berstatus penduduk Indonesia. memiliki sifat jujur. Sita eksekusi dilakukan di tempat obyek eksekusi. Membuat berita acara sita eksekusi yang memuat: nama, pekerjaan dan tempat tinggal kedua saksi. merinci secara lengap semua pekerjaan yang dilakukan. berita acara ditanda tangani pejabat pelaksana dan kedua saksi (pihak tersita dan juga kepala desa tidak diharuskan, menurut hukum, untuk ikut menanda tangani berita acara sita). Isi berita acara sita harus diberi tahukan kepada pihak tersita, yaitu segera pada saat itu juga apabila ia hadir pada eksekusi penyitaan tersebut, atau jika tidak hadir maka dalam waktu yang secepatnya segera diberitahukan dengan menyampaikan di tempat tinggalnya. Penjagaan yuridis barang yang disita diatur sebagai berikut: Penjagaan dan penguasaan barang sita eksekusi tetap berada di tangan tersita. Pihak tersita tetap bebas memakai dan menikmatinya sampai pada saat dilakukan penjualan lelang. Penempatan barang sita eksekusi tetap diletakkan di tempat mana barang itu disita, tanpa mengurangi kemungkinan memindahkannya ke tempat lain. Penguasaan penjagaan tersebut harus disebutkan dalam berita acara sita. Mengenai barang yang bisa habis dalam pemakaian, maka tidak boleh dipergunakan dan dinikmati oleh tersita. Ketidak hadiran tersita tidak menghalangi sita eksekusi. http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/hukum/hukum4.htm

Pelaksanaan Putusan PTUN dan Otonomi Daerah Sebagai Wujud Supremasi Hukum Selama empat belas tahun eksistensi PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) di Indonesia, dirasakan masih belum memenuhi harapan masyarakat pencari keadilan. Banyaknya putusan PTUN yang tidak dapat dieksekusi telah menimbulkan pesimisme dan apatisme dalam masyarakat. Masalahnya adalah tidak adanya kekuatan eksekutorial dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN. Kondisi ini merupakan suatu fakta yang memprihatinkan bahwa keberadaan PTUN belum dapat membawa keadilan bagi masyarakat dalam lingkup administratif pemerintahan. Prinsip adanya peradilan TUN, untuk menempatkan kontrol yudisial dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik menjadi bias dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Bila suatu putusan PTUN tidak memiliki kekuatan eksekutorial, bagaimana mungkin hukum dan masyarakat dapat mengawasi jalannya pemerintah yang dilaksanakan oleh pejabat-pejabat TUN. Permasalahan eksekusi putusan PTUN ini juga dapat timbul terkait dengan diberlakukannya otonomi daerah, karena dengan adanya otonomi daerah seluruh pejabat kepala daerah di tingkat II memiliki kewenangan yang luas dalam mengelola daerahnya dan hal tersebut pasti menggunakan metode keputusan-keputusan administratif. Sebagai negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) tentunya tindakan dari pemerintah tersebut harus berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Dibutuhkan suatu pengujian yuridis terhadap tindakan pemerintah dan pengujian yang dilakukan terhadap tindakan pemerintah itu harus dapat menghasilkan perlindungan bagi kepentingan rakyat. Apabila tindakan tersebut bertentangan dengan kepentingan rakyat, maka kepentingan rakyat tidak semena-mena dapat dikorbankan begitu saja. Demikian juga semangat prinsip dari PTUN tersebut harus diterapkan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Dengan kewenangan yang besar dan luas menimbulkan potensi penyelewenangan seperti abuse of power dan excessive power sehingga dibutuhkan pengawasan yang serius dalam hal ini. Salah satu yang menyebabkan lemahnya pelaksanaan putusan PTUN adalah karena tidak terdapatnya lembaga eksekutorial dan kekuatan memaksa dalam pelaksanaan putusan PTUN sehingga pelaksanaan putusan PTUN tergantung dari kesadaran dan inisiatif dari pejabat TUN. Dengan penegoran sistem hirarki seperti diatur dalam UU No. 5 tahun 1996 terbukti tidak efektif dalam pelaksaan putusan PTUN. Baru-baru ini pemerintah telah sadar akan tumpulnya pelaksanaan putusan PTUN yang hanya menyandarkan pada kesadaran yang dirasa kurang efektif sehingga pemerintah mengundangkan UU No. 9 tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Adapun perubahan yang mendasar dalam UU No. 9 tahun 2004 terletak pada Pasal 116 ayat (4) dan ayat (5) yaitu adanya penjatuhan uang paksa bagi pejabat TUN yang tidak melaksanakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap berupa pembayaran uang paksa (dwangsom) dan/atau sanksi administratif serta publikasi di media cetak. Pemberlakuan uang paksa merupakan salah satu tekanan agar orang atau pihak yang dihukum mematuhi dan melaksanakam hukuman. Namun, dalam penerapannya pemberlakuan uang paksa (dwangsom) masih menimbulkan permasalahan antara lain jenis putusan apa yang dapat dikenakan uang paksa (dwangsom), siapa yang akan dibebankan uang paksa (dwangsom), dan sejak kapan uang paksa (dwangsom) diberlakukan. Bahwa penerapan dwangsom tidak dapat dapat diterapkan pada semua putusan PTUN. Penerapan dwangsom hanya dapat dibebankan pada putusan PTUN yang bersifat penghukuman (putusan condemnatoir). Pejabat TUN yang sedang menjalankan tugasnya dalam kedinasan dan kemudian menimbulkan suatu kerugian bagi masyarakat, namun tugas tersebut dilaksanakan sesuai dengan hukum maka kerugian yang dialami masyarakat haruslah dibebankan kepada negara. Karena merupakan kesalahan teknis dalam menjalankan dinas. Lain halnya jika pada saat pejabat TUN tidak patuh untuk melaksanakan putusan PTUN maka pada saat tersebut pejabat TUN tidak sedang melaksanakan peran negara. Apabila terjadi hal

demikian maka pertanggung jawabannya dibebankan secara pribadi kepada pejabat TUN yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan teori kesalahan yang dikembangkan dari Yurisprudensi Counsil dEtat yang membedakan kesalahan dinas (Faute de serve) dan kesalahan pribadi (Faute de personelle). Dalam pelaksanaan penerapan uang paksa. mekanisme pembayaran uang paksa juga perlu diperhatikan, karena yang dihukum untuk melaksanakan putusan PTUN adalah pejabat TUN yang masih aktif yang masih mendapatkan gaji secara rutin. Maka akan lebih efektif jika pengenaan dwangsom diambil dari gaji bulanan pejabat TUN yang bersangkutan. Dan perintah pemotongan gaji dalam amar putusan hakim diperintahkan kepada Kepala Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN). Namun untuk melaksanakan pembayaran uang paksa yang dikenakan kepada pejabat TUN yang bersangkutan masih menimbulkan kendala. Kendala yang pertama adalah apabila dalam pelaksanaan eksekusi ternyata pejabat TUN yang bersangkutan dipindah tugaskan ke tempat wilayah kerja KPKN yang berbeda. Upaya yang dapat dilakukan untuk menghadapi kendala pertama adalah dengan adanya koordinasi antara PTUN yang satu dengan PTUN yang lain, dan antara PTUN dengan Pengadilan Negeri jika ternyata pejabat TUN bersangkutan pindah ditempat yang tidak ada PTUN. Kendala selanjutnya adalah apabila gaji pejabat yang bersangkutan tidak mencukupi untuk membayar uang paksa. Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk menghadapi hal ini adalah dengan cara pejabat bersangkutan dapat mengangsur setiap bulan dengan mempertimbangkan sisa gaji yang layak untuk biaya hidup. Lalu satu lagi sanksi yang dapat dikenakan pada pejabat TUN yang membandel adalah sanksi administratif. Sanksi administratif yang dapat diberikan berdasarkan PP No. 30 tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri adalah hukuman disiplin berupa penurunan pangkat, pembebasan dari Jabatan, pemberhentian dengan hormat, dan pemberhentian tidak dengan hormat. Sanksi administratif berupa pembebasan dari jabatan adalah paling tepat karena pada saat ia tidak mematuhi putusan PTUN maka pada saat itu ia tidak mau menggunakan kewenangan jabatannya. Perintah penjatuhan sanksi administratif ditujukan kepada pejabat yang berwenang untuk menghukum pejabat TUN tersebut. Namun, dalam hal apabila pejabat TUN adalah gubernur dan bupati karena sesuai dengan UU Otonomi Daerah secara hirarki ia tidak mempunyai atasan sebagai pejabat yang berwenang untuk menghukum, maka dalam hal ini tentunya hakim dapat memilih pengenaan uang paksa (dwangsom). Langkah yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk merevisi Pasal 116 UU No. 9 tahun 2004 merupakan salah satu kemajuan dari perkembangan kepastian hukum. Namun ketentuan Pasal 116 UU No. 9 tahun 2004 tersebut masih belum efektif dilaksanakan. Untuk melaksanakan Pasal 116 UU No. 9 tahun 2004 tersebut diperlukan adanya petunjuk pelaksanaan dan petujnjuk teknis. Diharapkan dengan adanya revisi tersebut pelaksanaan otonomi daerah dapat terkontrol dengan seimbang dan adil sehingga membawa kemakmuran bagi masyarakat. Pada hakekatnya supremasi hukum hanya dapat tercapai kalau putusan pengadilan c.q. putusan PTUN dapat dieksekusi sehingga menimbulkan efek jera kepada para pejabat yang menyalahgunakan wewenang. Oleh: Frans Hendra Winarta

You might also like