You are on page 1of 4

Tabung Reaksi

Di dalam mikrobiologi, tabung reaksi digunakan untuk uji-uji biokimiawi dan menumbuhkan mikroba.Tabung reaksi dapat diisi media padat maupun cair. Tutup tabung reaksi dapat berupa kapas, tutup metal, tutup plastik atau aluminium foil. Media padat yang dimasukkan ke tabung reaksi dapat diatur menjadi 2 bentuk menurut fungsinya, yaitu media agar tegak (deep tube agar) dan agar miring (slants agar). Untuk membuat agar miring, perlu diperhatikan tentang kemiringan media yaitu luas permukaan yang kontak dengan udara tidak terlalu sempit atau tidak terlalu lebar dan hindari jarak media yang terlalu dekat dengan mulut tabung karena memperbesar resiko kontaminasi. Untuk alas an efisiensi, media yang ditambahkan berkisar 1012 ml tiap tabung. Laju pertukaran H2O dalam ion terhidrasi. Klasifikasi laju pertukaran yang diusulkan oleh H. Taube (1952) adalah inert, pertengahan, dan labil. Laju pertukaran ion logam golongan utama dan transisi terhidrasi (ion yang terkoordinasi pada air) sangat berbeda bergantung pada identitas spesi logamnya. Karena laju pertukaran ligan air berhubungan erat dengan laju pertukaran ligan lain, sangat bermanfaat untuk perbandingan umum laju pertukaran kompleks ion logam yang berbeda. Untuk logam alkali dan alkali tanah, laju pertukaran sangat tinggi (105-109 s-1), dan kompleks logam ini diklasifikasikan labil. Karena mekanisme disosiatif biasanya dijumpai dalam kasus ini, ion dengan derajat ion yang kecil dan ukuran yang lebih besar menarik ligan air lebih lemah dan laju pertukarannya menjadi lebih besar. Dalam ion logam golongan 12 Zn2+, Cd2+, Hg2+, logam golongan 13 Al3+, Ga3+, In3+, dan ion logam golongan 3 Sc3+, Y3+, pertukaran ligan yang cepat terjadi dengan mekanisme disosiatif. Di pihak lain, laju pertukaran ion M(II) dari logam transisi blok d nilainya sedang (10-104 s-1) dan laju pertukaran ion M(III) lebih rendah lagi. Laju pertukaran ion d3 Cr3+ dan d6 Co3+ sangat rendah (10-1-10-9 s-1) dan kompleksnya dikatakan inert. Telah banyak studi reaksi pertukaran ligan yang dilakukan. Laju pertukarannya bertambah lambat dengan semakin besarnya energi

penstabilan medan ligan. Oleh karena itu, laju pertukaran ligan kompleks logam transisi 4d dan 5d biasanya lambat. Percobaan tabung reaksi Reaksi biologis atau kimia yang mudah dilakukan di tabung reaksi sering disebut dengan percobaan tabung reaksi. Larutan dicampurkan dalam tabung reaksi pada suhu dan tekanan kamar dan diaduk untuk diamati perubahan warnanya, pembentukan endapannya, dan hasil rekasinya diterka-terka. Guru besar di universitas kadang-kadang melakukan percobaan seperti ini. Walaupun mudah, percobaan sederhana seperti ini hanya menunjukkan efek absorpsi sinar tampak dan pembentukan endapan. Namun, karena penemuan hebat dapat diperoleh dari percobaan seperti ini, percobaan mudah ini jangan disepelekan. H. Taube menuliskan bahwa ia menemukan isyarat mekanisme transfer electron koordinasi dalam (inner-sphere electron transfer mechanism) dalam percobaan tabung reaksi. Ia mencampurkan Cr2+(aq) dan I2 dalam tabung reaksi untuk mengklarifikasi oksidasi Cr2+(aq) dan mengamati bahwa perubahan warna [Cr(H2O)6]3+ melalui warna hijau. Warna hijau disebabkan oleh [(H2O)5CrI]2+ yang tidak stabil dan berubah menjadi [Cr(H2O)6]3+ + I-. Ia mengasumsikan bahwa hal ini disebabkan oleh pembentukan ikatan Cr-I sebelum Cr(II) dioksidasi oleh I2. Selanjutnya, ia melakukan percobaan tabung reaksi lain menggunakan [(NH3)5CoCl]2+ sebagai oksidator dan menemukan bahwa Cr2+(aq) diubah menjadi [Cr(H2O)6]3+ melalui [(H2O)5CrCl]2+ yang bewarna hijau. Reaksi ini didapatkan mengikuti mekanisme transfer elektron koordinasi dalam dengan pembentukan jembatan Co-Cl-Cr antara Co3+ dan Cr2+ dan menyebabkan Taube menerima hadiah Nobel beberapa tahun kemudian. Sekelompok peneliti dari The Scripps Research Institute telah merancang permodelan mikroskopik yang menyerupai Kepulauan Galapagos. Tabung-tabung reaksi mereka menampung ekosistem buatan di mana molekul-molekul berevolusi menjadi berbagai macam relung; mirip dengan burung-burung Finch yang diceritakan Charles Darwin 150 tahun silam dalam bukunya yang terkenal, The Origin of Species.

Ekosistem mikroskopik tersebut mengalami beragam fenomena evolusi, di antaranya teori survival of the fittest yang menunjukkan bahwa dalam memperebutkan sumber daya alam yang terbatas, hanya individu paling kuatlah yang akan bertahan. Di sisi lain, jika terdapat berbagai sumber daya alam, individu-individu tersebut akan berdiferensiasi dan terspesialisasi menjadi relung-relung dengan ciri khas ekosistem yang berbeda. Eksperimen yang dipimpin oleh Sarah Voytek, Ph.D. ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap teori evolusi Darwin. Beliau menggunakan molekul untuk mendapatkan hasil yang lebih cepat dibandingkan dengan menggunakan hewan. Perubahan struktur molekul dan evolusi yang terjadi di dalam masing-masing ekosistem buatan dapat dilihat hasilnya hanya dalam hitungan hari. Dalam perjalanannya menaiki HMS Beagle, Darwin mengumpulkan dan mempelajari berbagai spesies burung Finch dari beberapa pulau di Kepulauan Galapagos. Burung-burung tersebut memiliki bentuk paruh yang beraneka rupa; sebagian tebal dan kuat, sedangkan yang lain tipis dan lembut. Darwin menemukan bahwa perbedaan itu ternyata dipicu oleh adaptasi mereka terhadap berbagai bentuk biji-bijian yang mereka konsumsi sehari-hari. Semakin besar biji yang harus mereka pecah, semakin besar dan kuat pula bentuk paruhnya. Darwin menduga burungburung tersebut berasal dari nenek moyang yang sama, namun seiring dengan berjalannya waktu, mereka terpisah menjadi spesies-spesies yang berbeda. Hal inilah yang melandasi teori klasiknya berjudul Niche Partitioning atau pembagian relung, yaitu dua spesies yang hidup dengan sumber daya alam yang sama akan berdiferensiasi menjadi dua spesies berbeda sehingga mereka dapat menggunakan sumber daya yang berbeda pula. Selama beberapa tahun, Gerald Joyce, M.D., Ph.D. selaku pembimbing riset Voytek, telah bereksperimen dengan sejenis molekul RNA enzimatik yang dapat berevolusi secara kontinu di dalam tabung reaksi. Basis dari evolusi ini adalah kemungkinan terjadinya mutasi setiap kali molekul tersebut bereplikasi. Bahkan, kemungkinannya terhitung minimal satu kali per siklus replikasi sehingga karakteristik populasinya semakin lama akan semakin beragam. Dua tahun silam, Voytek berhasil menemukan molekul RNA enzimatik lainnya dengan kemampuan evolusi yang sama.

Dengan demikian, ia dapat menggabungkan RNA temuan Joyce dengan RNA temuannya sendiri untuk berkompetisi dalam ajang evolusi selayaknya dua spesies di Kepulauan Galapagos. Limit yang diberikan untuk memicu peristiwa tersebut adalah sumber makanan berupa molekul esensial yang dibutuhkan masing-masing RNA untuk bereplikasi. RNA yang berhasil melekat dengan molekul tersebut akan bereplikasi, dan dalam siklus tersebut mereka akan bermutasi menjadi strain-strain RNA dengan sifat-sifat yang lebih kuat. Dalam riset mereka, Voytek dan Joyce melakukan dua set eksperimen. Pertama, mereka mengadu kedua molekul RNA untuk memperebutkan satu sumber makanan. Hasilnya, hanya salah satu molekul RNA yang bisa bertahan hidup sementara yang lainnya perlahan punah. Percobaan kedua menempatkan kedua molekul RNA dalam lingkungan berisi 5 macam sumber makanan yang asing bagi mereka. Pada awalnya, tiap RNA mampu menguraikan kelimanya, namun belum secara sempurna. Setelah ratusan generasi selanjutnya, masing-masing RNA berubah menjadi dua jenis molekul independen dengan kebutuhan makanan yang berbeda satu sama lain. Mereka hanya menggunakan sumber makanan pilihan mereka, dan menghindari sama sekali sumber makanan lainnya. Dalam proses kedua tersebut, masing-masing molekul mengalami diferensiasi yang khas. Satu molekul RNA mengurai makanan seratus kali lebih cepat, sementara molekul RNA lainnya menghasilkan replika tiga kali lebih banyak. Keseluruhan hasil eksperimen tersebut merupakan contoh nyata teori evolusi klasik dalam mempertahkan hidup.

You might also like