You are on page 1of 20

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam kacamata sosiolinguistik, bahasa tidak didekati atau dilihat sebagai bahasa, sebagaimana dilakukan oleh linguistik struktural/umum, melainkan dilihat sebagai sarana interaksi di dalam masyarakat. Karenanya, semua rumusan mengenai sosiolinguistik yang diberikan para pakar tidak akan terlepas dari persoalan hubungan bahasa dengan kegiatan atau aspek-aspek kemasyarakatan. Ada empat kemungkinan yang menggambarkan hubungan antara bahasa dengan masyarakat, yaitu: (a) Struktur sosial akan mempengaruhi atau menentukan struktur perilaku linguistik; tingkatan usia, etnis, status sosial, jenis kelamin, dan lain-lain, (b) Struktur linguistik akan mempengaruhi struktur sosial (misalnya hipotesis Sapir-Whorf), (c) Bahasa dan masyarakat akan saling mempengaruhi, (d) tidak ada hubungan antara keduanya, seperti teori Chomsky yang asosial; akan tetapi, analisa yang seperti ini lemah sifatnya dan banyak dikritik oleh para linguis. Bahasa sebagai alat komunikasi yang terdiri dari sistem lambang, yang dikomposisikan pada kerangka hubungan kelompok sosial, dapat berimbas pula pada struktur interaksi kebudayaan secara menyeluruh. Antropolog Amerika Serikat Clifford Geertz dan Antropolog Perancis Claud Levi-Strauss sepakat mendefinisikan kebudayaan sebagai sebuah sistem struktur yang terdiri dari simbol-simbol, perlambang dan makna-makna yang dimiliki secara komunal atau bersama, yang dapat diidentifikasi, sekaligus bersifat publik. Bahasa terlibat dalam semua aspek kebudayaan, paling sedikit dengan cara mempunyai nama atau istilah dari unsurunsur dari semua aspek kebudayaan itu. Lebih penting lagi, kebudayaan manusia tidak akan mungkin terjadi tanpa bahasa karena bahasalah faktor yang menentukan terbentuknya kebudayaan. Untuk mengadakan interaksi dan komunikasi, manusia memerlukan bahasa. Bahasa merupakan kebudayaan yang pertama dimiliki setiap

manusia dan bahasa itu dapat berkembang karena akal atau sistem pengetahuan manusia. Menurut Robert Sibarani (2002), fungsi bahasa dalam kebudayaan dapat diperinci: (a) bahasa sebagai sarana pengembangan kebudayaan, (b) bahasa sebagai penerus kebudayaan, (c) bahasa sebagai inventaris ciri-ciri kebudayaan. Bahasa sebagai sarana pengembangan kebudayaan mengandung makna bahwa bahasa berperan sebagai alat atau sarana kebudayaan, untuk mengembangkan kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan Indonesia dikembangkan melalui bahasa Indonesia. Khazanah kebudayaan Indonesia dijelaskan dan disebarkan melalui bahasa Indonesia, sebab penerimaan kebudayaan hanya bisa terwujud apabila kebudayaan itu dimengerti, dipahami dan dijunjung masyarakat itu sendiri. Sarana untuk memahami kebudayaan adalah bahasa. Bahasa sebagai jalur penerus kebudayaan mengandung makna bahwa bahasa berperan sebagai sarana pewarisan kebudayaan dari generasi ke generasi. Menurut Robert Sibarani (2002), kebudayaan nenek moyang yang meliputi pola hidup, tingkah laku, adat istiadat, cara berpakaian, dan sebagainya dapat kita warisi dan wariskan kepada anak cucu kita melalui bahasa. Bahasa sebagai inventaris ciri-ciri kebudayaan mengandung makna bahwa bahasa berperan dalam penamaan atau pengistilahan suatu unsur kebudayaan baru sehingga dapat disampaikan dan dimengerti. Menurut Robert Sibarani (2002), setiap unsur kebudayaan, mulai dari unsur terkecil sampai unsur terbesar diberi nama atau istilah. Dalam proses pembelajaran dan pengajaran kebudayaan, nama atau istilah pada unsur kebudayaan sekaligus berfungsi sebagai inventarisasi kebudayaan tersebut, yang berguna untuk pengembangan selanjutnya. Sementara itu, menurut Gorys Keraf, fungsi bahasa dalam arti luas dapat dipergunakan sebagai media komunikasi untuk menyampaikan segala perlambang kebudayaan antar anggota masyarakat. Sifat khas suatu kebudayaan memang hanya bisa dimanifestasikan dalam beberapa unsur yang terbatas dalam suatu kebudayaan, yaitu dalam bahasanya, keseniannya, dan dalam adat istiadat upacaranya. Bahasa dan budaya, sangat sarat dengan daya-daya kohesif dan saling mempengaruhi, serta boleh

dikatakan bahwa masing-masing entitas yang satu tidak bisa berdiri sendiri tanpa peranan yang lain. Pembelajaran budaya suatu masyarakat hendaknya mengutamakan unsur-unsur bahasa yang digunakan dalam masyarakat tersebut. Budaya dan bahasa merupakan dua hal yang saling berkaitan erat. Untuk belajar suatu budaya sekelompok masyarakat, seseorang harus menguasai bahasa sekelompok masyarakat

tersebut. Abdul Chaer mengatakan bahwa bahasa itu bersifat unik dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya masyarakat pemakainya, maka analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain. Sebagai contoh, perkataan village, dalam bahasa Inggris tidaklah sama dengan desa dalam bahasa Indonesia. Sebab konsep village dalam bahasa Inggris adalah lain sekali dari desa dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu ungkapan yang pernah di keluarkan oleh penulis asing menyebut kota Jakarta sebagai big village akan hilang maknanya jika diterjemahkan dengan desa yang besar. Hal ini menegaskan pada hubungan antara bahasa dan kebudayaan, yaitu bahwa kunci bagi pengertian yang mendalam atas suatu kebudayaan adalah melalui bahasanya. Semua yang di bicarakan dalam suatu bahasa, terkecuali ilmu pengetahuan yang kita anggap universal, adalah tentang hal-hal yang ada dalam kebudayaan bahasa itu. Oleh karena itu maka perlu mempelajari bahasa jika kita ingin mendalami suatu kebudayaan ialah melalui bahasanya. Bahasa itu adalah produk budaya dan sekaligus wadah penyampai kebudayaan dari masyarakat bahasa yang bersangkutan. Sebagai bagian dari kebudayan dapat kita lihat bahwa: (1) bahasa merupakan bentuk perilaku terlatih, artinya penguasaan kita atas suatu bahasa bukanlah karena keturunan, melainkan melalui proses belajar, (2) pemakaian bahasa terbatas pada manusia, dengan demikian dimiliki oleh semua anggota masyarakat. Benjamin Lee Whorf berpendapat bahwa manusia terkungkung oleh bahasa. Bahasa mempengaruhi pandangan hidup mereka. Mereka tidak dapat berpikir kecuali dalam bahasanya. Edward Sapir berpendapat bahwa masyarakat yang berbeda bahasanya boleh dikatakan hidup dalam dunia realitas berbeda, dalam arti bahwa

bahasa mempengaruhi cara berpikir masyarakat. Dari dua pendapat ini dapat dikatakan bahwa bahasa mempengaruhi cara bagaimana masyarakat melihat dunia sekelilingnya. Pandangan berikut adalah yang menganggap bahwa kebudayaan atau masyarakatlah yang mempengaruhi bahasa. Alasannya antara lain : (1) Banyak contoh yang menunjukkan bahwa lingkungan dalam suatu masyarakat dicerminkan dalam bahasanya, terutama dalam leksikonnya. Bahasa Indonesia misalnya, mengenal kata-kata padi, gabah, beras, dan nasi, sedangkan bahasa Inggris hanya mengenal kata rice. Bagi orang Indonesia pembedaan ini sangat penting, tetapi bagi orang Inggris tidaklah penting. (2) Penilaian yang diberikan masyarakat pada suatu hal dapat mempengaruhi bahasa. Hal ini terlihat pada gejala pemakanaan kata tabu. Dalam bahasa Indonesia, kata tabu dihubungkan dengan hal-hal yang tidak boleh disebut atau dengan kata-kata yang tidak boleh dipakai.

1.2 Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat disimpulkan rumusan masalahnya, yaitu: a. Bagaimanakah hubungan bahasa dan kebudayaan?. b. Bagaimana aturan-aturan etika berbahasa?.

1.3 Tujuan Penulisan Tujuan penulisan makalah ini adalah : a. Mendeskripsikan hakikat kebudayaan. b. Mendeskripsikan hubungan bahasa dan kebudayaan. c. Mendeskripsikan aturan-aturan etika berbahasa.

1.4 Manfaat Penulisan Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberi manfaat akademik kepada para mahasiswa untuk menambah pengetahuan tentang perkembangan budaya di masyarakat yang mempengaruhi bahasa.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Hakikat Kebudayaan Kebudayaan pada hakekatnya sangat kompleks, sehingga para ahli selalu memberikan pengertian, pemahaman, dan batasan yang bervariasi terhadapnya. Dalam berbagai literatur antropologi, ada berbagai definisi kebudayaan yang berbeda. Hal ini disebabkan para ahli melihat kebudayaan dari aspek yang berbedabeda. Salah satu di antara banyak definisi kebudayaan adalah keseluruhan dari kelakuan dan hasil manusia, yang diatur oleh tata kelakuan, yang harus didapatnya dengan belajar, dan yang tersusun dalam kehidupan masyarakat. Kebudayaan dapat dibagi lagi menjadi unsur-unsur kebudayaan yang bersifat universal, artinya unsur kebudayaan itu ada dalam semua masyarakat di dunia. Unsur kebudayaan tersebut adalah : (1) peralatan dan perlengkapan hidup manusia, (2) mata pencarian hidup, (3) sistem kemasyarakatan, (4) bahasa, (5) kesenian, (6) sistem pengetahuan, (7) religi. Budaya adalah pikiran, akal budi, yang di dalamnya juga termasuk adat istiadat (KBBI, 2005:169). Dengan demikian, budaya dapat diartikan sebagai sesuatu yang dihasilkan dari pikiran atau pemikiran. Maka tatkala ada ahli menyebutkan bahwa bahasa dan pikiran memiliki hubungan timbal-balik dapat dipahami bahwa pikiran di sini dimaksudkan sebagai sebuah perwujudan kebudayaan. Kebudayaan menurut Clifford Geertz (dalam Fedyani Syaifuddin), yaitu sistem simbol yang terdiri dari simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat diindentifikasi, dan bersifat publik. Senada dengan pendapat di atas Claud Levi-Strauss memandang kebudayaan sebagai sistem struktur dari simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat diindentifikasi, dan bersifat publik. Dalam konsep ini kebudayaan dapat dimaknai sebagai fenomena material, sehingga pemaknaan kebudayaan lebih banyak dicermati sebagai keseluruhan sistem

gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat. Karenanya tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat akan terikat oleh kebudayaan yang terlihat wujudnya dalam berbagai pranata yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi tingkah laku manusia. Adapun Menurut Canadian Commision for UNESCO seperti yang dikutip oleh Nur Syam mengatakan kebudayaan adalah sebuah sistem nilai yang dinamik dari elemen-elemen pembelajaran yang berisi asumsi, kesepakatan, keyakinan dan atauran-atauran yang memperbolehkan anggota kelompok untuk berhubungan dengan yang lain serta mengadakan komunikasi dan membangun potensi kreatif mereka. Kroeber dan Kluckhom (1952) telah mengumpulkan berpuluh-puluh definisi mengenai kebudayaan, dan mengelompokkannya menjadi enam golongan menurut sifat definisi itu, yakni (1) definisi yang deskriptif, yakni definisi yang menekankan pada unsur-unsur kebudayaan; (2) definisi yang historis, yakni definisi yang menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi secra kemasyarakatan; (3) definisi normatif, yakni definisi yang menekankan hakikat kebudayaan sebagai aturan hidup dan tingkah laku; (4) definisi yang psikologis, yakni definisi yang menekankan pada kegunaan kebudayaan dalam penyesuaian diri terhadap lengkungan, pemecahan persoalan, dan belajar hidup; (5) definisi yang struktural, yakni definisi yang menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu sistem yang berpola dan teratur; (6) definisi yang genetik, yakni definisi yang menekankan pada terjadinya kebudayaan sebagai hasil karya manusia. Nababan (1984) menunjukkan bahwa kebudayaan itu melingkupi segala aspek dan unsur kehidupan manusia. Nababan mengelompokkan definisi kebudayaan atas empat golongan, yaitu (1) definisi yang melihat kebudayaan sebagai pengatur dan pengikat masyarakat; (2) definisi yang melihat kebudayaan sebagai hal-hal yang diperoleh manusia melalui belajar atau pendidikan; (3) definisi yang melihat kebudayaan sebagai kebiasaan dan perilaku manusia; (4) definisi yang melihat kebudayaan sebagai sistem komunikasi yang dipakai masyarakat untuk memperoleh kerjasama, kesatuan, dan kelangsungan hidup masyarakat dunia.

Nababan (1984:49) secara gamblang menyatakan bahwa kebudayaan adalah sistem aturan-aturan komunikasi dan interaksi yang memungkinkan suatu masyarakat terjadi, terpelihara, dan dilestarikan. Termasuk aturan atau hukum yang berlaku dalam masyarakat, hasil-hasil pendidikan, dan kebiasaan dan perilaku. Dengan kata lain, kebudayaan itu adalah segala hal yang menyangkut kehidupan manusia, termasuk aturan atau hukum yang berlaku dalam masyarakat. Koentjaraningrat (1992) mengatakan bahwa kebudayaan itu hanya dimiliki manusia, dan tumbuh bersama dengan berkembangnya masyarakat manusia. Untuk memahaminya Koentjaraningrat, menggunakan sesuatu yang disebutnya kerangka kebudayaan, yang memiliki dua aspek tolak, yaitu (1) wujud kebudayaan, dan (2) isi kebudayaan. Yang disebut wujud kebudayaan itu berupa (a) wujud gagasan, (b) perilaku, dan (c) fisik atau benda. Ketiga wujud itu berurutan disebutnya juga (a) sistem budaya, yang bersiat abstrak; (b) sistem sosial, yang bersifat agak konkret; dan (c) kebudayaan fisik, yang bersifat sangat konkret. Isi kebudayaan itu terdiri dari tujuh unsur yang bersifat universal, artinya, ketujuh unsur itu terdapat dalam setiap masyarakat manusia yang ada di dunia ini. Ketujuh unsur itu adalah (1) bahasa, (2) sistem teknologi, (3) sistem mata pencaharian hidup atau ekonomi, (4) organisasi sosial, (5) sistem pengetahuan, (6) sistem religi, dan (7) kesenian. Tylor mengatakan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan bidang yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, dan kemampuankemampuan serta kebiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat (Sibarani, 1992:94) Wilson (1966:51) mengatakan bahwa kebudayaan adalah pengetahuan yang ditransmisikan dan disebarkan secara sosial, baik bersifat ekstensial, normatif, maupun simbolis, yang tercermin dalam tindakan dan benda-benda hasil karya manusia. Uraian Tylor dan Wilson mengacu pada kebudayaan dalam arti yang khusus atau yang biasa disebut dengan high culture. Gooddenough (dalam Mudjia Rahardjo) mengatakan bahwa budaya suatu masyarakat adalah apa saja yang harus diketahui dan dipercayai seseorang sehngga dia bisa bertindak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku di dalam masyarakat, bahwa pengetahuan itu merupakan sesuatu yang

harus dicari dan perilaku harus dipelajari dari orang lain bukan karena keturunan. Karena itu budaya merupakan cara yang harus dimiliki seseorang untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari dalam hidupnya. Perilaku-perilaku yang berguna harus dipelajari dan bukan berasal dari tradisi genetik. Dengan demikian, kebudayaan adalah cara mengetahui yang harus dimiliki seseorang untuk menjalani tugas-tugas kehidupan sehari-hari dan kebudayaan mencakup pengetahuan tentang musik, sastra, dan seni (Wardhaugh, 1986:211).

2.2 Hubungan Bahasa dan Kebudayaan

Bahasa adalah hasil budaya suatu masyarakat yang kompleks dan aktif. Bahasa dikatakan kompleks karena di dalamnya tersimpan pemikiran-pemikiran kolektif dan semua hal yang dimiliki oleh suatu masyarakat. Bahasa dikatakan aktif karena bahasa terus berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat. Oleh karena sifatnya tersebut, bahasa adalah aspek terpenting dalam mempelajari suatu kehidupan dan kebudayaan masyarakat. Ada beberapa teori mengenai hubungan bahasa dengan kebudayaan. Secara garis besar, teori-teori tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu menyatakan hubungan bersifat subordinatif, di mana bahasa di bawah lingkup kebudayaan, dan hubungan yang bersifat koordinatif, yakni hubungan yang sederajat dengan kedudukannya yang sama tinggi. Koentjaraningrat dalam bukunya Sosiolinguistik (1985), bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Artinya, kedudukan bahasa berada pada posisi subordinat di bawah kebudayaan, tetapi sangat berkaitan. Namun, beberapa pendapat lain mengatakan bahwa hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang bersifat koordinatif, sederajat dan kedudukannya sama tinggi. Masinambouw (1985) juga mempersoalkan bagaimana hubungan antara bahasa dan kebudayaan itu, apakah bersifat subordinatif, ataukah koordinatif. Kalau bersifat subordinatif, mana yang menjadi main system dan manapula yang menjadi subsystem. Kebanyakan ahli mengatakan bahwa kebudayaan menjadi mainsystem,

sedangkan bahasa hanya merupakan subsystem, tidak ada atau belum ada yang mengatakan yang sebaliknya.

2.1.1 Hubungan Subordinatif Menurut Koentjaraningrat bahasa bagian dari kebudayaan, jadi hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif, di mana bahasa berada di bawah lingkup kebudayaan. Menurutnya pula, buruknya kemampuan berbahasa Indonesia sebagian besar orang Indonesia, termasuk kaum intelektualnya, adalah karena adanya sifat-sifat negatif yang melekat pada mental sebagian besar orang Indonesia. Sifat-sifat negatif itu adalah (a) Suka meremehkan mutu. Sifat ini tercermin dalam perilaku berbahasa yang pokoknya mengerti. Sikap ini menyebabkan bahasa yang digunakan menjadi asal saja, tanpa mempedulikan bahasa yang digunakan itu benar atau salah. Yang penting adalah bahasa yang digunakan itu dimengerti, soal benar atau salah itu adalah soal guru bahasa atau penyuluh bahasa. (b) Sikap mental menerabas; tercermin dalam perilaku berbahasa berupa adanya keinginan untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik, tetapi tanpa keinginan untuk belajar. Bahasa Indonesia dianggap sebagai bahasa yang ada secara alami, yang akan dikuasai tanpa harus dipelajari. (c) Sikap tuna harga diri; berarti tidak mau menghargai milik diri sendiri, tetapi sangat menghargai diri orang lain. Sikap ini tercermin dalam perilaku berbahasa di mana karena ingin selalu menghargai orang asing, maka selalu menggunakan bahasa asing. Lihat saja buktinya, demi menghargai orang asing, keset-keset di depan pintu kantor pemerintah pun bertuliskan kata WELLCOME bukan SELAMAT DATANG. (d) Sikap menjauhi disiplin; tercermin dalam perilaku bahasa yang tidak mau atau malas mengikuti aturan atau kaidah bahasa. Ujaran seperti Dia punya mau tidak begitu, yang harusnya berbunyi Kemauannya tidak demikian, dan lain-lain. (e) Sikap tidak mau bertanggung jawab; tercermin dalam perilaku berbahasa yang tidak mau memperhatikan penalaran bahasa yang benar. Kalimat Uang iuran anggota terpaksa dinaikkan karena sudah lama tidak naik, sudah sering kita dengar.

Kalau mau bernalar dan bertanggung jawab, alasan kenaikan itu bukanlah karena sudah lama tidak naik, mungkin, misalnya, karena sudah tidak sebanding lagi dengan biaya-biaya yang harus dikeluarkan. Jadi, bertanggung jawab dalam berbahasa, artinya, dapat mempertanggungjawabkan kebenaran isi kalimat. (f) Sifat latah atau ikut-ikutan; tercermin dalam berbahasa dengan selalu mengikuti saja ucapan orang lain (biasanya ucapan pejabat atau pimpinan) yang sebenarnya secara gramatikal tidak benar. Umpamanya pada semboyan memasyarakatkan olahraga, dan mengolahragakan masyarakat. Secara semantik dan gramatikal memasyarakatkan olahraga memang benar, yakni berarti menjadikan olahraga menjadi kebiasaan dalam masyarakat, tetapi ungkapan mengolahragakan masyarakat, tidak benar, karena ungkapan itu berarti masyarakat itu jadi olahraga, padahal yang dimaksud adalah menjadikan masyarakat melakukan kegiatan olahraga, maka bentuknya haruslah memperolahragakan masyarakat. Uraian di atas yang diberikan Koentjaraningrat (1990), memberi kesimpulan bahwa yang mempengaruhi perilaku berbahasa adalah budaya. Budaya di sini dalam arti luas, termasuk sifat dan sikap yang dimiliki penutur. Beberapa hal yang dapat diklasifikasikan pada pola hubungan subordinatif antara bahasa dan kebudayaan, yaitu: 1) Hubungan bahasa dengan kebudayaan yang berkaitan dengan perubahan bahasa yang diakibatkan perubahan budaya. Hal ini lebih menonjol pada aspek morfologis daripada aspek-aspek linguistik yang lain. Perubahan bahasa secara morfologis dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu (a) penghilangan, (b) penambahan, (c) perluasan, (d) penyempitan, dan (e) pertukaran. Sebagai contoh dapat diambilkan dalam buku Robert Sibarani (1992) tentang hasil penelitiannya pada suku Batak Toba, sebagai berikut :

Penghilangan, misalnya hasil penelitian Robert terhadap beberapa kosakata bahasa Batak Toba yang sudah hilang dan ia temukan ketika meneliti salah satu naskah Batak Toba yang ditulis pada pertengahan abad ke-19, antara lain : Palias Pokpang penangkal bencana tanda gencatan senjata

Martaban Mangobol

menawan kena tembak tanpa luka.

Penambahan, biasanya dikarenakan munculnya konsep-konsep budaya baru akibat pengaruh teknologi baik di bidang pertanian, ekonomi, sosial budaya, transportasi, dan lain sebagainya. Misalnya: Taraktor Keredit traktor kredit, dan lain-lain.

Perluasan, berupa perluasan makna berhubungan dengan kosakata yang dipengaruhi oleh perubahan budaya. Perluasan makna kata-kata yang mengatakan hubungan kekerabatan sangat tinggi intensitasnya dalam bahasa Batak Toba, misalnya: Kata lae (dulu) putra saudara perempuan ayah/saudara laki-laki Ibu (sekarang) untuk menyapa semua laki-laki yang kira-kira sebaya dan tidak mempunyai hubungan geneologis dan tidak semarga Kata ompung (dulu) (sekarang) orangtua ayah atau ibu untuk menyapa setiap orang yang sudah tua

Penyempitan makna, yaitu pergeseran makna sebuah unsur bahasa menjadi lebih sempit atau lebih terbatas daripada makna sebelumnya. Misalnya: Kata datu (dulu) (sekarang) orang cerdik pandai dukun

Pertukaran. Yang difokuskan pada pertukaran adalah pergantian simbol/tanda untuk mengacu konsep yang sama akibat perubahan budaya. Misalnya:

Bahul-bahul, adalah tempat padi di rumah yang terbuat dari pandan. Karena mudah rusak, sekarang orang lebih banyak menggunakan poti (peti kayu), karena tahan lama dan tikus dapat melubangi poti.

Sibaso, sebutan bagi wanita yang membantu melahirkan, sekarang disebut bidan.

b) Tunduknya tindak komunikasi pada norma-norma kebudayaan; tata cara berbahasa harus sesuai dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat, tempat hidup dan dipergunakannya bahasa tersebut.

c) Hubungan langsung yang menyatakan bahwa bahasa adalah hasil kebudayaan (Levi-Strauss, 1963, dalam Sibarani, 1992). Bahasa yang diucapkan atau dipergunakan oleh suatu kelompok masyarakat adalah suatu refleksi keseluruhan kebudayaan masyarakat tersebut. Dengan kata lain, bahasa hanya akan mempunyai makna dalam latar kebudayaan yang menjadi wadahnya.

2.1.2 Hubungan Koordinatif Mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan yang bersifat koordinatif ada dua hal yang perlu dicatat. Pertama, ada yang mengatakan hubungan kebahasaan dan kebudayaan itu seperti anak kembar siam, dua fenomena yang terikat erat, seperti dua sisi pada sekeping mata uang. Sisi yang satu adalah sistem kebahasaan, dan sisi yang lain adalah sistem kebudayaan (Silzer, 1990). Pendapat Slizer ini sejalan dengan pendapat Masinambouw (1985) yang menyebutkan bahwa bahasa (istilah beliau kebahasaan) dan kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat pada manusia. Kalau kebudayaan itu adalah suatu sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi. Kedua, yang menarik dalam hubungan koordinatif ini adalah adanya hipotesis yang sangat kontroversial, karena itu hipotesis ini dikenal dengan nama hipotesis SapirWhorf, dan lazim juga disebut relativitas bahasa. Menurut Sapir dan Whorf, bahasa bukan hanya menentukan corak budaya, tetapi juga menentukan cara dan

jalan pikiran manusia; dan oleh karena itu, mempengaruhi pula tindak lakunya. Dengan kata lain, suatu bangsa yang berbeda bahasanya dari bangsa lain, akan mempunyai corak budaya dan jalan pikiran yang berbeda pula. Jadi, perbedaanperbedaan budaya dan jalan pikiran manusia itu bersumber dari perbedaan bahasa, atau tanpa adanya bahasa manusia tidak mempunyai pikiran sama sekali. Kalau bahasa itu mempengaruhi kebudayaan dan jalan pikiran manusia, maka ciri-ciri yang ada dalam suatu bahasa akan tercermin pada sikap dan budaya penuturnya. Pandangan Sapir dan Whorf tersebut dapat diperjelas dengan mengambil contoh perbedaan bahasa di Indonesia dengan bahasa di Eropa (Inggris). Dalam bahasa Inggris mengenal adanya kala, sedangkan di Indonesia tidak mengenal adanya kala. Tidak adanya kala dalam bahasa Indonesia inilah yang menyebabkan mengapa orang-orang di Eropa berbeda dengan orang-orang Indonesia dalam melihat waktu. Kalau hipotesis Sapir-Whorf ini diterima, maka implikasinya dalam ilmu pengetahuan amat sangat jauh, karena bagi ilmu pengetahuan, manusia itu mempunyai satu jalan pikiran yang sama. Pendapat Sapir-Whorf tidak banyak diikuti orang, alasannya, (a) karena sejak semula orang meragukan bahwa manusia mempunyai perbedaan sejauh itu, (b) diketahui kemudian bahwa Whorf telah melakukan beberapa kesalahan teknis dalam kajiannya. Meskipun begitu masih ada juga sarjana yang secara prinsip dapat membenarkan pendapat Sapir-Whorf ini, dan mempertahankan sifat relativitas pada kebudayaan umat manusia. Dewasa ini secara terbuka hipotesis ini tidak dipermasalahkan lagi, tetapi dalam kutipan-kutipan masih disebut-sebut orang.

2.3 Etika Berbahasa

2.3.1 Tindak Laku dalam Berbahasa Berkomunikasi dengan menggunakan simbol-simbol bahasa melalui lisan atau tulisan dikenal dengan komunikasi verbal. Komunikasi ini erat kaitannya dengan bahasa, yaitu kata-kata yang kita gunakan untuk berhubungan dengan orang lain, dan berfungsi untuk :

a. Memberikan nama; yang berfungsi untuk mengenal orang, perilaku, dan objek. b. Bergaul dengan orang lain; hal ini berkaitan dengan mengekspresikan perasaan dalam pergaulan. c. Menyampaikan berita/informasi; menceritakan semua hal yang terjadi di masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Etika, jelas memainkan peranan penting dalam pergaulan sehari-hari, khususnya ketika kita bertemu, menyapa, dan bercakap-cakap dengan orang lain. Tindak laku kita dalam berbahasa tentunya akan mencerminkan bagaimana sikap dan sifat diri kita yang sebenarnya. Masinambouw (1984) mengatakan bahwa sistem bahasa mempunyai fungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi manusia di dalam masyarakat, maka berarti di dalam tindak laku berbahasa haruslah disertai norma-norma yang berlaku di dalam budaya itu. Sistem tindak laku berbahasa menurut norma-norma budaya ini disebut etika berbahasa. Kajian mengenai etika berbahasa lazim disebut etnografi berbahasa. Etika berbahasa memiliki kaitan erat dengan pemilihan kode bahasa, normanorma sosial, dan sistem budaya yang berlaku dalam satu masyarakat. Etika berbahasa akan mengatur:

(a) Apa yang harus kita katakan pada waktu dan keadaan tertentu kepada partisipan tertentu berkenaan dengan status sosial dan budaya dalam masyarakat itu. Dalam hal ini menjelaskan siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, tentang apa, kapan, di mana, dan dengan tujuan apa. Sebagai contoh, apabila kita hendak menyapa seseorang, maka kita harus ketahui siapa orang itu, di mana, kapan, dan dalam situasi yang bagaimana. Baru kemudian kita memilih kata sapaan yang tersedia. Menurut Kridalaksana (1982:14) dalam bahasa Indonesia ada 9 jenis kata untuk menyapa seseorang, yaitu (1) kata ganti orang, yakni engkau dan kamu; (2) nama diri, seperti Dika dan Nita; (3) istilah perkerabatan, seperti bapak, ibu, kakak, dan adik; (4) gelar dan pangkat, seperti dokter, profesor, letnan, dan kolonel; (5) bentuk nomina pelaku (pe+verba), seperti penonton, pendengar, dan peminat; (6) bentuk nomina +ku, seperti Tuhanku, bangsaku, dan anakku; (7) kata-kata deiktis,

seperti sini, situ, atau, di situ; (8) bentuk nomina lain, seperti awak, bung, dan tuan; (9) bentuk zero, tanpa kata-kata.

(b) Ragam bahasa apa yang paling wajar digunakan dalam situasi sosiolinguistik dan budaya tertentu. Penjelasan ini sama halnya seperti pada penjelasan (a) di atas.

(c) Kapan dan bagaimana kita menggunakan giliran berbicara, dan menyela pembicaraan orang lain.

(d) Kapan kita harus diam. Butir (c) dan (d) juga merupakan aturan dalam etika berbahasa yang perlu dipahami agar kita bisa disebut sebagai orang yang dapat berbahasa. Kita tidak dapat seenaknya menyela pembicaraan seseorang; untuk menyela harus diperhatikan waktunya yang tepat, dan tentunya juga dengan memberikan isyarat terlebih dahulu.

(e) Bagaimana kualitas suara dan sikap fisik kita di dalam berbicara. Kualitas suara berkenaan dengan volume dan nada suara. Setiap budaya mempunyai aturan yang berbeda dalam mengatur volume dan nada suara. Para penutur dari Sumatera Utara pada umumnya terlihat menggunakan volume suara yang lebih tinggi dibanding dengan penutur dari bahasa Sunda dan Jawa. Selain itu, untuk tujuan tertentu volume dan nada suara ini juga biasanya berbeda.

2.3.2 Kinesik dan Prosemik Perilaku nonverbal mempunyai peranan penting dalam berkomunikasi dengan orang lain. Dalam suatu komunikasi, biasanya kita lebih cenderung mengungkapkan pikiran dan perasaan dengan kata-kata. Tingkah laku nonverbal merupakan bagian yang penting dalam berkomunikasi dengan orang lain. a. Kinesik Yang dimaksud dengan kinesik adalah, antara lain gerakan mata, perubahan ekspresi wajah, perubahan posisi kaki, gerakan tangan bahu, kepala, dan sebagainya.

Berikut adalah beberapa contoh yang menunjukkan adanya perbedaan makna kinesik dalam komunikasi masyarakat di suatu daerah dengan daerah lain :

(1) Di Amerika dalam interaksi perseorangan adalah biasa bagi pendengar untuk memperhatikan mata dan mulut si pembicara. Dengan memandang mata dan mulut si pembicara, maka si pembicara akan merasa bahwa si pendengar memperhatikan ujarannya. Di Indonesia, (bagi orang Jawa) budaya memandang mata ini tidak biasa. Malah jika dilakukan dianggap tidak sopan, tidak berbudaya. (2) Gerakan kepala. Bagi orang Yunani kuno gerakan kepala ke bawah berarti ya, dan gerakan kepala ke atas berarti tidak. Di Indonesia, gerakan kepala ke bawah berarti ya, dan untuk menyatakan tidak dengan menggelengkan kepala. (3) Lambaian telapak tangan ke bawah digunakan orang Amerika untuk menyatakan selamat tinggal disertai ucapan selamat tinggal, tetapi orang Eropa melakukan hal itu dengan telapak tangan ke atas, disertai dengan gerakan jari-jari tangan ke muka ke belakang. (4) Menggaruk dagu bagi masyarakat Amerika Utara merupakan hal yang biasa. Namun, bagi masyarakat Italia hal itu sama dengan arti fuck you (persetan). Di Amerika, kata kasar tersebut diisyaratkan dengan kepalan tangan sambil menunjukkan jari tengah.

b. Prosemik Yang dimaksud dengan prosimik adalah jarak tubuh di dalam berkomunikasi atau bercakap-cakap. Prosemik adalah studi yang mempelajari posisi tubuh dan jarak tubuh (ruang antar tubuh sewaktu orang berkomunikasi antarpersonal).

Adalah Edward T.Hall sebagai bapak dari studi prosemik yang mengenalkan teori ini. Sebuah definisi khusus lagi tentang proksemik adalah studi tentang bagaimana seorang secara tidak sadar terlibat dalam struktur ruang atau jarak fisik antara manusia sebagai sesuatu keteraturan, tertib pergaulan setiap harinya.

Di Amerika Utara dalam pembicaraan antara dua orang yang belum saling kenal biasanya berjarak empat kaki. Bila yang seorang mendekat, maka yang lain akan mundur untuk menjaga jarak. Hal ini berbeda dengan orang Amerika Latin yang jaraknya dua atau tiga kaki. Oleh karena itu bila orang Amerika Latin berbicara dengan orang Amerika Utara keduanya akan saling merasa canggung, jika si Amerika Latin maju untuk mencapai jarak yang enak baginya, maka si Amerika Utara akan mundur. Malah Miller (1974:266) menyebutkan untuk menjaga jarak dalam berbicara dengan orang Amerika Latin, orang Amerika Utara membuat halangan dengan meja atau bangku, tetapi kadang-kadang orang Amerika Latin memanjatnya untuk mencapai jarak yang enak.

BAB III SIMPULAN

Dari uraian pembahasan di atas, dapatlah diambil beberapa kesimpulan, diantaranya : a. Kebudayaan pada hakekatnya sangat kompleks, sehingga para ahli selalu memberikan pengertian, pemahaman, dan batasan yang bervariasi terhadapnya. Dalam berbagai literatur antropologi, ada berbagai definisi kebudayaan yang berbeda. Hal ini disebabkan para ahli melihat kebudayaan dari aspek yang berbeda-beda. b. Salah satu di antara banyak definisi kebudayaan adalah keseluruhan dari kelakuan dan hasil manusia, yang diatur oleh tata kelakuan, yang harus didapatnya dengan belajar, dan yang tersusun dalam kehidupan masyarakat. c. Kebudayaan dapat dibagi lagi menjadi unsur-unsur kebudayaan yang bersifat universal, artinya unsur kebudayaan itu ada dalam semua masyarakat di dunia. Unsur kebudayaan tersebut adalah : (1) peralatan dan perlengkapan hidup manusia, (2) mata pencarian hidup, (3) sistem kemasyarakatan, (4) bahasa, (5) kesenian, (6) sistem pengetahuan, (7) religi. d. Secara garis besar, teori tentang hubungan bahasa dan kebudayaan dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu : 1) menyatakan hubungan bersifat subordinatif, di mana bahasa di bawah lingkup kebudayaan, 2) menyatakan hubungan yang bersifat koordinatif, yakni hubungan yang sederajat dengan kedudukannya yang sama tinggi. e. Komunikasi verbal erat kaitannya dengan bahasa, yaitu kata-kata yang kita gunakan untuk berhubungan dengan orang lain, dan berfungsi untuk : 1) memberikan nama; berfungsi untuk mengenal orang, perilaku, dan objek, 2) bergaul dengan orang lain; hal ini berkaitan dengan mengekspresikan perasaan dalam pergaulan,

3) menyampaikan berita/informasi; menceritakan semua hal yang terjadi di masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. f. Etika berbahasa akan mengatur: 1) apa yang harus kita katakan pada waktu dan keadaan tertentu kepada partisipan tertentu berkenaan dengan masyarakat itu, 2) ragam bahasa apa yang paling wajar digunakan dalam situasi status sosial dan budaya dalam

sosiolinguistik dan budaya tertentu, 3) kapan dan bagaimana kita menggunakan giliran berbicara, dan menyela pembicaraan orang lain, 4) kapan kita harus diam, dan 5) bagaimana kualitas suara dan sikap fisik kita di dalam berbicara. g. Tingkah laku dalam komunikasi nonverbal dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu : 1) Kinesik; antara lain gerakan mata, perubahan ekspresi wajah, perubahan posisi kaki, gerakan tangan bahu, kepala, dan sebagainya. 2) Proksemik; jarak tubuh di dalam berkomunikasi atau bercakap-cakap.

You might also like