You are on page 1of 20

Modernitas, Mesianisme, Mukjizat Walter Benjamin dan Carl Schmitt

Oleh Akhmad Sahal*

.... netralisasi dan depolitisasi, dengan kata lain liberalisme, itulah yang bagi Schmitt menjadi penyebab utama kebekuan dan kenormalan modernitas. Dan kenormalan ini perlu didobrak dengan cara memberi peluang bagi munculnya the sovereign yang bisa mengambil keputusan pada/tentang state of exception. Memakai ungkapannya sendiri, kita bisa mengatakan bahwa Schmitt mendambakan suatu dunia yang tidak lagi dikuasai oleh deisme yang tidak mengenal mukjizat atau intervensi dari luar sejarah. Tulisan ini sebelumnya adalah makalah yang dipresentasikan pada diskusi Ramadan di Komunitas Salihara, 2009. ______________________ Membaca esai Walter Benjamin Theses on the Philosophy of History (1940), saya langsung disergap oleh pertanyaan: ke manakah kesetiaan filosof Yahudi Jerman ini pada akhirnya dilekatkan: ke materialisme historis atau teologi; dan siapakah tokoh sentral baginya, malaikat sejarah atau sang Messiah. Esai yang ditulis menjelang Benjamin bunuh diri karena gagal melarikan diri dari cengkraman Nazi itu memang dengan jelas menunjukkan pertautan Benjamin pada materialisme historis, meski yang ia maksudkan dengan terma itu sangat berbeda dari apa yang selama ini dipahami oleh kaum Marxis lain . Sementara kaum Marxis pada umumnya mendefinisikan materialisme historis dalam kerangka revolusi sosialis untuk menciptakan masa depan yang lebih baik, Benjamin memaknainya sebagai upaya menyelamatkan dan mengingat masa lalu dan menyusun kembali fragmenfragmen sejarah yang ditenggelamkan dan dibungkam agar menjadi utuh kembali. Para penganut doktrin materialisme historis, yang nota bene merupakan anak kandung Pencerahan, memeluk teguh the idea of progress. Tapi Benjamin justru bersikap sebaliknya. Ia skeptis dengan optimisme semacam itu karena menurutnya, kemajuan tidak lain hanyalah akumulasi reruntuhan masa lalu, yang tegak berdiri di atas tumpukan korban yang terbungkam. Tulisnya, there is no document of civilization which is not at the same time a document of barbarism. Sejarah baginya selalu ditulis oleh mereka yang menang. Akibatnya, mereka yang kalah, yang mati, dilupakan, dianggap tidak pernah ada. Oleh karena itu, revolusi dalam bingkai materialisme historis dalam versi Benjamin adalah semacam , untuk meminjam istilah Milan Kundera, perjuangan ingatan dalam melawan lupa. Tugas materialisme historis menyerupai malaikat keadilan seperti pada lukisan Angelus Novus karya Paul Klee, yang wajahnya mengarah ke masa lalu dan berkehendak untuk membangunkan yang mati dan membuat utuh kembali apa yang telah dihancurkan.

Materialisme historis versi Benjamin ini kerap dibaca sebagai ihtiar menampik dominasi ide kemajuan yang menjadi ciri modernitas, yang atas nama rasionalitas universal mendesakkan suatu narasi sejarah universal dan memaksakan suatu konsep waktu yang seragam, yakni waktu yang kosong dan homogen, yang pada gilirannya akan membungkam keragaman dan menekan suara-suara lain. Tidak heran kalau pandangan Benjamin ini disejajarkan dengan konsep heteroglosia dan karnaval dari Michael Bakhtin. Benjamin juga dianggap sebagai salah satu sumber inspirasi pascastrukturalisme, terutama konsep genealogi Michael Foucault yang menekanakan pentingnya insurrection of subjugated knowledges sebagai misi utama perjuangan pascastrukturalisme. Kesimpulan semacam itu dalam batas tertentu memang memkiat. Tapi sejauh menyangkut esai Theses, ada pokok soal yang tampaknya kurang mendapatkan perhatian. Dalam esai tersebut, Benjamin memang banyak merujuk kepada materialisme historis. Tapi perlu diingat, Benjamin juga menegaskan bahwa materialisme historis mesti mendapat bimbingan dari teologi jika ingin menang. Sejarah di mata Benjamin adalah semacam permainan catur, di mana materialisme historis sepintas lalu tampak memegang kendali permainan, padahal yang terjadi ia hanyalah bidak yang dikontrol oleh tangan tersembunyi teologi. Lagipula, malaikat sejarah ternyata gagal karena ketika ia hendak menjalankan misinya, ia tibatiba terbawa badai yang meniupnya dari surga, badai yang dinamai kemajuan. Benjamin lantas berharap kepada sang Messiah, yang dalam teologi Yahudi diyakini bisa melakukan intervensi terhadap sejarah kapan saja dan karena itu mampu menghindarkan masa depan Yahudi dari cengkeraman waktu modern, ymenurutnya ditandai dengan karakternya yang homoge dan kosong. Sang Messiah inilah yang pada akhirnya, dalam pandangan Benjamin, berhasil menunaikan tugas yang gagal ditunaikan oleh malaikat keadilan. Atas dasar itulah Gershom Scholem, pemikir Judaisme yang juga sobat karib Benjamin, mengklaim bahwa menjelang akhir hayatnya, kesetiaan Benjamin sesungguhnya lebih condong ke Messianisme teologi Yahudi ketimbang ke materialisme historis. Bahkan dalam amatan Scholem, titik temu antara Benjamin dan kaum Marxis lain dalam soal materialisme historis hanyalah sebatas kesamaan dalam sebutan saja. Tapi apa peran sang Mesiah dalam kritik Benjamin terhadap modernitas? Perlu diingat, Walter Benjamin adalah seorang Yahudi sekuler yang tumbuh dalam tradisi kiri di Jerman awal abad 20. Ia tentu tidak mengartikan kehadiran Mesiah secara harfiah sepertihalnya kaum ultra-Orthodox. Selain itu, di antara Yahudi Marxis di Eropa saat itu, bukan hanya Benjamin yang menaruh iman dan harapan kepada mesianisme sekular. Ambil contoh George Lukacs, Marxis dari Hungaria yang terkenal lewat bukunya History and Class Consciousness. Lukacs percaya bahwa kelas proletar merupakan manifestasi nyata dari mesiah sekular karena kelas proletarlah yang mampu melepaskan diri dari antinomi kultur borjuasi dan membebaskan masyarakat dari reifikasi dan fetishisme komoditas yang mencirikan kapitalisme.

Namun berbeda dengan Lukacs, Benjamin tidak mengaitkan Mesianisme dengan proletariat. Bahkan ia, begitu juga koleganya di Mazhab Frankfurt, termasuk dianggap sebagai kaum Marxis yang skeptis dengan peran revolusioner kaum buruh. Lantas apa arti Mesianisme bagi Benjamin? Ia mengatakan di bagian akhir Theses on The Philosophy of History bahwa konsep waktu di masa depan dalam eskatologi Yahudi sama sekali bukanlah seperti konsep waktu modernitas, yang homogenous, empty time. Karena, kata Benjamin, di masa depan, for every second of time was the strait gate througth which the Messiah might enter Bagaimana kita mesti memaknai ungkapan tersebut? Apakah itu berarti bahwa bagi Benjamin, untuk bisa bebas dari terkaman waktu modern yang hampa dan homogen kita memerlukan sang Mesiah yang bisa melakukan intervensi dari luar tatanan itu sendiri, dari luar sejarah, dari wilayah yang transenden. Dikotomi antara modernitas dan mesianisme ini buat saya menarik karena pandangan Benjamin tersebut punya kemiripan dengan konsep Carl Schmitt tentang dikotomi antara situasi normal dengan situasi darurat. Pada titik inilah saya tertarik untuk membandingkan Walter Benjamin dengan Carl Schmitt dalam hal kritiknya terhadap modernitas dan konsep waktu modern. Selintas perbandingan ini terdengar aneh. Bukankah Benjamin adalah penentang dan sekaligus korban Nazisme sedangkan Schmitt adalah pemikir Jerman pro-Nazi, yang digelari sebagai sang ahli hukum the Third Reich? Menurut saya perbandingan semacam itu tidak aneh sama sekali. Simaklah, misalnya, surat Walter Benjamin kepada Schmitt pada Desember 1930 yang mendedahkan utang teoritis Benjamin kepada Schmitt: Esteemed Professor Schmitt, You will receive any day from now from the publisher my book The Origin of the German Mourning PlayYou will very quickly recognize how much my book is indebted to you for its presentation of the doctrine of sovereignty in the seventeenth century. Perhaps I may also say, in addition, that I have also derived from your later works, especially the Diktatur, a confirmation of my modes of research in the philosophy of art from yours in the philosophy of the state With my expression of special admiration Your very humble Walter Benjamin Dari surat Benjamin kita tahu betapa konsep Schmitt mengenai kedaulatan punya pengaruh besar terhadap telaah Benjamin mengenai drama tragedi Jerman. Tapi lebih dari itu, pandangan Schmitt tentang state of exception yang menjadi dasar bagi konsep kedaulatan dan distingsi yang dibuat Schmitt antara waktu normal dan waktu darurat juga membayang-bayangi Benjamin dalam esai-esainya, termasuk Theses. Dalam Political Theology: Four Chapters on the Concept of Sovereignty (1922), Schmitt menyatakan diktumnya yang terkenal, yang berdaulat adalah yang memutuskan tentang/pada situasi darurat. Dengan diktum itu Schmitt menegaskan kedaulatan tidak bisa didasarkan pada

norma atau aturan dalam situasi normal karena kedaulatan itu justru sumber dari norma tersebut. Bahkan ia punya kekuatan untuk memutuskan kapan situasi normal bermula dan kapan berakhir. Lantas dari mana kedaulatan muncul? Bagi Schmitt, kedaulatan terletak pada situasi darurat, yang di luar normal, yang abnormal yang tidak bisa disandarkan pada norma apapun. Bahkan bisa dikatakan ia bersandar pada ketiadaan, semacam creatio ex nihilo. Karena kedaulatan berada di luar wilayah situasi normal, maka keberadaannya berkaitan erat dengan waktu darurat, waktu abnormal. Dan karena kerangka normalitas tidak bisa dipecah/dihentikan dari dalam, situasi darurat mesti dideklarasikan oleh pihak dari luar situasi/masa normal tadi. Yang menarik, Schmitt menganalogkan state of exception dengan mukjizat yang datang dari Tuhan untuk menginterupsi jalannya hukum alam yang normal. Sepertihalnya mukjizat, situasi darurat yang menginterupsi jalannya situasi normal juga datang dari the sovereign yang berada di luar. Bertolak dari klaim tersebut Schmitt kemudian menggebuk liberalisme, paham yang bagi Schmitt paling merepresentasikan modernitas. Di mata Schmitt, sistem demokrasi liberal yang mendasarkan diri pada konstitusi modern demi melindungi hak-hak individu adalah sistem yang memposisikan dirinya sebagai sistem yang otonom karena ia berdasar pada rule of law yang netral. Dengan sendirinya, liberalisme menegasikan state of exception yang menjadi lokus bagi kedaulatan yang sesungguhnya. Paham semacam ini dalam pandangan Schmitt mirip dengan paham deisme yang melihat alam semesta seperti mesin yang berjalan dengan sendirinya. Dalam dunia deistis, mukjizat tidak punya tempat, dan peran Tuhan untuk melakukan intervensi terhadap alam semesta juga ditampik. Di sini kita bisa melihat sejumlah paralelisme yang menarik antara Schmitt dan Benjamin. Kalau Benjamin dalam Theses mengaitkan materialisme historis dengan teologi, maka Carl Schmitt juga menekankan betapa teori politik juga berimpitan dengan teologi. Bahkan Schmitt lebih jauh mengklaim bahwa hampir seluruh konsep dalam tatanan politik modern tidak lain adalah konsepkonsep teologi yang sudah tersekulerkan. Paralelisme yang lain, sementara bagi Benjamin dibutuhkan Mesiah untuk keluar dari dominasi waktu modern yang homogen dan kosong, di mata Schmitt dibutuhkan situasi darurat untuk memecah kebekuan situasi normal dari modernitas. Schmitt menulis dalam Political Theology, in the time of exception, the power of true life breaks through the crust of a mechanics caught in a continuous repetition. Dengan kata lain, baik Benjamin dan Schmitt sebenarnya bersandar pada kekuatan di luar sejarah dalam upayanya untuk membongkar modernitas yang beku dan repetitif (Schmitt) atau mengelak dari dominasi modernitas yang mendesakkan konsep waktu yang homogen dan kosong (Benjamin). Menariknya, tendensi semacam ini, meski dengan fromulasi dan alur argumen yang berbeda, bisa kita temukan padanannya dalam sejumlah kritik mutakhir terhadap modernitas dan liberalisme, seperti Alan Badiou dan para pemikir demokrasi radikal. Di mata mereka, problem

modernitas yang cenderung mengeksklusi the other tidak bisa diatasi dengan memperbaiki prosedur dan mekanisme konsensus dalam sistem tersebut atau dengan mengacu kepada prinsip rasionalitas yang mendasarinya, seperti yang ditawarkan oleh Juergen Habermas dengan rasionalitas komunikatifnya atau John Rawls dengan liberalisme politiknya. Kenapa? Karena di mata mereka, solusi semacam ini pada akhirnya akan semakin meringkus kenyataan yang majemuk ke dalam kesatuan, narasi tunggal yang universal. Dan ini bertentangan secara diametral dengan esensi demokrasi yang merayakan pluralisme. Oleh karena itu, penyakit modernitas hanya bisa disembuhkan dengan antidot (penawar) yang transendental, yang datang dari luar sistem itu dan mengintervensinya. Itulah yang ditawarkan oleh para penyokong ide demokrasi radikal seperti Chantal Mouffe dan Ernesto Laclau ketika mereka menyerukan dibangkitkannya kembali watak antagonisme yang hakiki dari the political. Begitu juga ketika Alan Badiou berbicara tentang perlunya Kejadian dalam politik, yakni sesuatu peristiwa yang mengguncang dan menerobos situasi yang ada,yang memaksakan kebetulan (forcer le hasard) ke dalam saat yang sudah matang untuk diiintervensi, tampaknya ia bersepakat dengan gagasan state of exception-sebagai-mukjizat dari Carl Schmitt. Pertanyaannya kemudian, mengapa Schmitt dan Benjamin, yang sama-sama bersandar pada kekuatan di luar sejarah sebagai pijakan kritiknya terhadap modernitas, menempuh jalur yang jauh berbeda, bahkan bertentangan satu sama lain? Schmitt menjadi pro fasisme sementara Benjamin justru bunuh diri karena ancaman fasisme. Apakah Mesianisme Benjamin yang bersumber dari agama Yahudi dan mukjizat Schmitt yang bertolak dari Katholik memang secara intrinsik berbeda satu sama lain? Mungkin saja. Tapi bagaimana kita menjelaskan fenomena George Lukacs, filosof Marxis Yahudi yang mengacu pada Mesianisme sekular untuk membela komunisme dan akhirnya berujung sebagai apologis bagi totalitarianisme Soviet? Bagaimana pula menjelaskan sejumlah pemikir Katholik Jerman yang dengan keras menentang Nazisme? Saya kira perbedaan trajectory antara Schmitt dan Benjamin dalam hal kritik mereka terhadap modernitas perludilihat dalam perspektif yang lebih luas, sebagai faset dari diskursus tentang modernitas di kalangan pemikir Eropa pada awal abad 20, baik yang di kiri maupun kanan, yang secara umum berada dalam bayang-bayang Max Weber. Kita tahu, Weber melihat penyebaran rasionalitas ke pelbagai sektor kehidupan yang menjadi ciri modernitas sebagai proses disenchantment of the world. Dan proses ini, terutama dalam sektor ekonomi, terkait dengan naiknya asketisme Protestan yang lebih menekankan pentingnya logika kalkulatif dan rasionalitas instrumental. Ironisnya, proses rasionalisasi yang menyeluruh pada masyarakat Eropa dalam perkembangannya mengubah kehidupan menjadi semacam iron cage yang mencengkeram (misalnya birokrasi, kapitalisme), yang justru menimbulkan ketidakbebasan. Dan proses sepertinya tak terelakkan dan tak bisa dibalikkan. Tapi menurut Weber, irasionalitas yang keras kepala ini hanyalah reaksi belaka terhadap gencarnya rasionalisasi itu sendiri, yang muncul dari wilayah di luar atau pra sistem rasional. Para pemikir dari kiri (misalnya Mazhab Frankfurt) dan kanan (Carl Schmitt) banyak dipengaruhi oleh analisis Weber, tapi pada saat yang sama mereka menolak kesimpulannya,

tentu dengan alur argumen yang tidak selalu serasi satu sama lain. Carl Schmitt, konon pernah menjadi murid Weber, menolak pandangan Weber bahwa irasionalitas yang menyertai modernitas hanya reaksioner sifatnya. Menurut Schmitt, pangkal persoalannya justru terletak pada proyek rasionalisasi itu sendiri. Dalam hemat Schmitt, tren rasionalisasi tidak bisa dilepaskan dari menguatnya fenomena netralisasi yang menyertai semakin kukuhnya modernitas di Eropa. Dalam esainya The Age of Neutralizations and Depolitizations, (1929) Schmitt mengungkapkan bahwa dinamika sejarah Barat modern dipacu oleh hasrat untuk mencari wilayah netral yang sepenuhnya bebas dari konflik dan perseteruan. Sebagai respon terhadap perseteruan agama dan perang antar negara yang tak henti-henti, Eropa sejak abad 16 terus mencari semacam prinsip pengendali utamasuatu ruang pusat (Zentralgebiet)yang bisa berperan sebagai sumber perdamaian dan kesepakatan bersama. Ruang pusat tersebut bisa saja berganti setiap abad, tapi tujuan utamanya tetap, yaitu sebagai sarana netralisasi dan depolitisasi. Demikianlah, maka teologi yang sering menjadi sumber konflik sampai abad 16 diganti pada abad 17 oleh metafisika, yang perannya sebagai ruang pusat jelas lebih netral. Berikutnya, metafisika kemudian diganti oleh etika dan moralitas humanitarian pada abad 18, yang kemudian bergeser ke wilayah ekonomi pada abad 19, dan akhirnya teknologi menempati peran sebagai ruang sentral yang lebih netral lagi pada abad 20. Gejala netralisasi yang menandai semakin kukuhnya modernitas menurut Schmitt terbukti melahirkan dua anak kembar yang sekilas bertentangan satu sama lain, tapi sesungguhnya keduanya saling mengandaikan dan punya perangai yang sama: Yang pertama adalah ekonomisme yang berbasiskan cara berpikir yang kalkulatif, kuantitatif dan positivistik yang kemudian disokong oleh teknologisme. Schmitt menegaskan bahwa dominasi dua cara berpikir ini tidak hanya terlihat pada praktek kapitalisme modern, melainkan juga pada demokrasi liberal di Barat. Menurut cara bepikir ini, negara dilihat sebagai berdiri di atas rule of law yang netral.Menurut Schmitt, implikasi dari pandangan semacam ini adalah bahwa elemen fundamental dari negara itu sendiri, yang oleh Schmitt disebut sebagai the political, yakni distingsi antara kawan dan lawan, menjadi hilang atau terabaikan. Menurut Schmitt, dengan matinya the political, dengan hilangnya kemampuan untuk menentukan mana kawan mana lawan, maka kaum liberal melihat politik dan urusan negara sebagai sekadar teknologi, sebagai mesin yang netral. Gejala kedua adalah romantisisme yang muncul sebagai antitesis yang ekstrim terhadap ekonomisme. Berbeda denganekonomisme yang bersandar pada rasionalitas instrumental, romantisisme di Eropa yang meletakkan perasaan, emosi dan subjektivitas yang irasional sebagai tolok ukur dalam menghadapi kenyataan. Dalam bacaan Schmitt, ekonomisme dan romantisisme sesungguhnya merupakan dua sisi dari koin yang sama karena keduanya sama-sama mengabaikan realitas yang kongkret. Ekonomisme melihat kenyataan sebagai komoditas, produk yang bisa diperjualbelikan. Karena itu, ia jelas mengabaikan kekhasan dan kualitas yang kongkret dari kenyataan. Sebaliknya, para penganut

romantisisme mengklaim menghargai partikularitas dan kekongkretan kenyataan. Tapi berhubung yang jadi ukuran adalah subjektivitas mereka sendiri, maka objek-objek yang ada hanya menjadi kendaraan belaka bagi ekpresi mereka sendiri. Dengan begitu, kekhasan setiap objek juga dikorbankan. Tapi dosa tak terampunkan dari kaum romantis adalah kepasifan mereka, yang juga berujung pada pengabaian terhadap the political. Singkat kata, netralisasi dan depolitisasi, dengan kata lain liberalisme, itulah yang bagi Schmitt menjadi penyebab utama kebekuan dan kenormalan modernitas. Dan kenormalan ini perlu didobrak dengan cara memberi peluang bagi munculnya the sovereign yang bisa mengambil keputusan pada/tentang state of exception. Memakai ungkapannya sendiri, kita bisa mengatakan bahwa Schmitt mendambakan suatu dunia yang tidak lagi dikuasai oleh deisme yang tidak mengenal mukjizat atau intervensi dari luar sejarah. Tapi itu tidak berarti Schmitt adalah pendukung teokrasi atau semacamnya. Jauh dari itu. Saya kira yang didambakan Schmitt adalah tatanan a la republik klasik seperti Sparta, yang memberi tempat kepada state of exception dan punya kemampuan menarik garis batas mana kawan mana lawan. Dengan kata lain, Schmitt ingin melakukan radikalisasi demokrasi dengan membuang jauh-jauh elemen liberalisme darinya, dan kemudian membangkitkan kembali the political. Dan inilah saya kira salah satu pijakan pemikiran yang ia gunakan ketika memutuskan untuk menjadi pendukung Hitler. Hal semacam itu sulit kita bayangkan terjadi pada Walter Benjamin. Memang benar bahwa Benjamin juga kenormalan modernitas, kehidupan yang dikuasai oleh konsep waktu yang homogen dan kosong, perlu didobrak dengan intervensi sang Mesiah, tapi sosok sang Mesiah dalam bayangan Benjamin bukan the sovereign yang memutuskan pada momen darurat. Penekanan Carl Schmitt yang berlebihan kepada the political buat Benjamin sama halnya dengan estetisasi politik, yang dengan gampang membuka peluang bagi fasisme. Schmitt ternyata terjebak dalam mistifikasi the political dan meletakkannya dalam status yang sakral dan irasional. Dan ini justru bertentangan dengan niatnya semula yang ingin mentransedir diri dari irasionalitas dalam kategori modernitas Weberian. Lalu siapakah sang Mesiah menurut Benjamin? Dalam Theses, Benjamin menyatakan bahwa setiap generasi, setiap era, termasuk era sekarang, selalu dianugerahi dengan kekuatan mesianik yang lemah, dan karena itulah ia menaruh harapan agar materialisme historis tidak terpaku pada proyek membangun masa depan, melainkan menyelamatkan masa lalu, dengan cara mengingat momen-momen Mesianistik pada setiap zaman. Wallahu Alam.

Tentang Iman dan Anti-Theodise


Oleh Evi Rahmawati*

Bagi Moqsith, sikap yang ditampilkan GM melalui patahan-patahan kata yang terkadang muram itu, justru tampak sebagai sebuah upaya untuk mengatasi arogansi manusia dalam membahasakan Tuhan. Menurut Moqsith, jika seseorang mengerti bahasa Arab, maka ia akan tahu bahwa arti dari Allahu Akbar bukanlah Allah maha besar sebagaimana sering diterjemahkan kebanyakan orang. Allahu Akbar, menurut Moqsith, memiliki arti Allah lebih besar. Lantas dengan cergas Moqsith menafsirkan Allahu Akbar sebagai Allah yang lebih besar, termasuk lebih besar dari segala konsep yang dirumuskan manusia tentang-Nya. Sang interogator mengambil keputusan: Sri dan si pengkhianat ditelanjangi dan dipukuli. Sri tetap tak mau mengaku. Hari semakin malam. Kedua orang itu pun diikat tergantung di sebatang pohon, dengan kaki hampir menyentuh tanah. Sampai pagi. Tapi tetap saja Sri Ambar tak mengaku. Berhari-hari penyiksaan berlangsung, dan tak ada hasilnya. Opsir di tempat tahanan itu, Acep, memerintahkan seorang petugas menghunjamkan sebilah pisau ke pantat kiri Sri Ambar. Seorang tahanan lain yang melihat itu jatuh pingsan tak tahan melihat begitu banyak darah keluar. Tapi Sri seperti tak merasakan sakit. Ia malah berteriak, Kamu sadis!, dan dengan setengah sadar mengatupkan luka tubuhnya itu agar darah tertahan mengalir. Acep tak menghentikan siksaan. Ia memerintahkan si penikam melakukannya sekali lagi di pantat Sri yang kanan. Perempuan setengah baya itu akhirnya pingsan, karena terlalu banyak darah mengalir. (Petikan dari buku Goenawan Mohamad, Debu, Duka, dsb.: Sebuah Pertimbangan AntiTheodise) Siapapun akan terkesiap manakala pekikan Sri Ambar yang diulas begitu lugasnya dalam buku Goenawan Mohamad (selanjutnya disingkat GM) dibacakan Septemmy E. Lakawa dengan khidmat. Maka terpahamilah manakala Septemmy meyakini bahwa kisah ini adalah penubuhan dari apa yang disebut sebagai ringkihnya hipotesa akan kebaikan Tuhan atau anti-theodise GM. Kisah tersebut menguraikan tentang Sri Ambar, perempuan pesakitan yang mengalami penyiksaan sangat keji dari militer karena dipandang mengkhianati Pancasila dengan statusnya sebagai aktivis Gerwani. Anti-theodise yang merupakan gejala pesimisme akan kemahabijakan dan adilnya Tuhan itu dapat kita iyakan (afirmasi) melalui jerit pedih Sri Ambar dalam menjalani kisah tragisnya. Apalagi, ketika Septemmy dengan lirih membacakan Chairil Anwar tentang Isa yang seolah ia dengar melalui kisah tersebut dalam debu, duka, dsb.: ISA Itu Tubuh Mengucur darah Mengucur darah Roboh Patah Mendampar Tanya: aku salah?

Kulihat Tubuh mengucur darah Aku berkaca dalam darah Terbayang terang di mata masa Bertukar rupa ini segera Mengatup luka Aku bersuka Itu Tubuh Mengucur darah Mengucur darah Anti-theodise bukanlah persoalan yang benar-benar baru dalam tradisi Kristiani, demikan ungkap Septemmy, yang menjadi pembicara dalam diskusi dengan tajuk, Iman dan AntiTheodise. Diskui ini diselenggarakan di Serambi Salihara dalam rangka membedah dua buku GM, Debu, Duka, dsb. dan Teks dan Iman pada 14 Desember 2011 lalu. Bagi Septemmy, membedah buku GM memiliki tingkat kesulitan tersendiri, terutama dalam menjabarkan katakata rumit yang kerap dimunculkannya. Karenanya, Septemmy mencoba bersikap rileks dengan membiarkan buku tersebut membedah dirinya sendiri, lepas dari segala keidentikan penulisnya dan latar belakang Septemmy sebagai pembacanya, sehingga, dengan sendirinya buku tersebut membantu Septemmy bahkan membedah teologinya sendiri (Protestan). Yang khas dari Goenawan Mohamad ketika membicarakan anti-theodise adalah caranya menulis melalui bahasa, syair, puisi, disertai ungkapan-ungkapan yang seringkali membuat orang tercengang sembari bertanya-tanya, apakah kata-kata yang dimunculkannya itu benar-benar ada? Dengan kata lain, GM kerap menghadirkan kata (bahkan memproduksinya, mungkin) yang tak biasa, tak umum di masyarakat, ungkap Septemmy. Untuk lebih memahami persoalan yang disingkapkan melalui buku GM tersebut, Septemmy mengawali langkahnya dengan bertolak dari pertanyaan-pertanyaan mengenai eksistensi teologi Kristiani tanpa theodise serta kemungkinan kebermaknaan iman seorang Kristen, khususnya Protestan, yang mendasarkan diri pada sola scriptura, sola fide, dan sola gratia. Pertanyaannya: Apa artinya teologi Kristen, khususnya teologi Protestan dalam garis Calvinisme, tanpa theodise? Apa artinya membicarakan teologi tanpa bisa mengasumsikan bahwa Tuhan itu adil? Apa artinya jika dalam tradisi Calvinisme menjadi tidak mungkin lagi membicarakan Tuhan itu maha kuasa mengatasi segala sesuatunya di hadapan realitas penderitaan? Lantas, apakah iman orang Kristen yang sifatnya tekstual (sola scriptura) masih bisa bermakna tanpa theodise? Bertolak dari pertanyaan-pertanyaan tersebut Septemmy akhirnya berpandangan bahwa Goenawan Mohammad membaca teks kitab suci dengan cara berbeda. Sebuah cara yang ingin berkelit dari kepercayaan Leibniz mengenai keadilan Tuhan. Dalam tesisnya di buku tersebut, menurut Septemmy, GM tidak setuju dengan Leibniz yang dengan theodise-nya menyatakan bahwa Tuhan itu adil dan harus dibela sifat keadilannya di hadapan fakta adanya evil (kejahatan dan penderitaan). Tuhan harus diberi maaf sebesar-besarnya, bahkan di hadapan penderitaan yang tidak terperikan. Inilah yang disebut theodise. Melalui kisah-kisah dan lirih kata yang dihadirkan GM, tidak menutup kemungkinan seorang pembaca akan merasa digiring untuk bertanya-tanya, di manakah letak keadilan Tuhan? Mungkin dari sanalah benih anti-theodise mulai menjangkiti kepercayaan seseorang.

Buku Debu, Duka, dsb. yang ditulis GM terkait dengan pristiwa tsunami Aceh 24 Desember 2004 silam itu merupakan sebuah penolakan atas kepercayaan orang-orang masa itu yang mengasalkan bencana besar tersebut sebagai akibat dari ketidakpatuhan manusia atas ketentuan Tuhan. Dengan sendirinya tesis yang dibangun tersebut membentuk sebuah kepercayaan theodise yang ingin disangkal oleh GM. Dalam hal ini, kemudian Septemmy mengambil posisi tersendiri: tetap mengusulkan middlespace yang dengan begitu bisa mempertimbangkan akibat dari konstruk yang ingin dibangun anti-theodise; betapa iman dan teks telah demikian ditutup. Lantas Septemmy mengutip GM: Maka lebih baik kita hidup dengan keterbatasan karena bahasa, dengan kata lain hidup dengan janji. Kelak ada Makna Terang yang akan datang betapapun mustahil. Hidup dengan janji berarti hidup dalam iman, tetapi bukan iman pada Tuhan yang telah selesai diketahui. Bagi Septemmy, kata-kata GM yang menjadi favoritnya itu menggiringnya pada satu kesimpulan: teologi harus berganti fungsi, dia bukan lagi seperti hakim di ruang sidang yang mengontrol apa yang benar, apa yang salah. Agama harus berganti fungsi. Ini merupakan paradigma pergeseran dalam teologi Kristen, yang semula berujud truth menjadi good lalu bergeser pada ruang-ruang yang disebut beauty, mystic-poetic. Karena itulah dua buku GM tengah membedah teologi saya, ujar Septemmy. Septemmy menutup pembicaraannya dengan kisah Maria Magdalena pada hari kebangkitan Yesus. Ketika Maria Magdalena melihat kehadiran Yesus, nalurinya menuntun ia untuk memeluk Yesus, namun kalimat pertama yang diungkapkan Yesus justru: Jangan sentuh aku! Bagi saya ini adalah sebuah penolakan terhadap teologi. Teologi selalu berusaha menangkap, merumuskan. Agama selalu berusaha mengungkung yang sangat transenden itu, lalu mengatur sedemikian rupa. Padahal pasca kebangkitan, pesan Sang Ilahi justru: Jangan, jangan sentuh aku! Ini iman dalam kekurangan dan kedaifan ikhtiar yang tak henti-hentinya, sabar dan tawakal, karena Tuhan adalah Tuhan yang akan datang, Tuhan dalam ketidakhadiran, demikian Septemmy mengutip kalimat GM. Ini adalah teologi via negativa. Kerinduan untuk menyentuh Tuhan, namun penolakannya untuk disentuh dapat menjadi metafor yang lain tentang teologi, sebagai ekspresi dari rindu rasa, rindu rupa yang ditolak oleh Tuhan justru di dalam kehadiran Tuhan sebagai saksi atas karibnya kematian dengan kehidupan. Jika demikian, maka dalam berteologi saya mesti belajar lagi bertutur dalam bahasa yang retak, bahasa yang rindu untuk menyentuh Tuhan yang hidup. Itu tubuh mengucur darah, demikian Septemmy menutup ulasannya yang sangat khidmat dalam diskusi tersebut, sebagaimana sang pendeta menyampaikan khutbahnya. Pada kesempatan itu, hadir pula pembicara selanjutnya, Abdul Moqsith Ghazali, yang memperkuat ulasan Septemmy tentang ketaktersentuhan Tuhan oleh realitas bahasa. Sembari mengungkapkan kekagumannya atas GM yang selalu memberi titik tekan berbeda ketika membicarakan konsep ketuhanan, Moqsith merujuk pemikiran GM dalam tulisan GM tentang konsep keimanan yang disodorkan al-Ghazali. Bagi Moqsith, GM selalu memiliki pandangan tersendiri manakala mengulik konsep ketuhanan yang disuguhkan al-Ghazali, yang karenanya orang bisa memahami mengapa kemudian GM lebih memilih sikap seperti al-Ghazali dan alHallaj ketimbang Ibn Arabi yang sibuk mengkonseptualisasikan Tuhan secara rasional.

Soal pembahasaan Tuhan itu, kemudian Moqsith mengutip GM: Maka tiap kali Tuhan kita sebut, maka sebenaranya kita tak menyebutnya. Ini selaras dengan kutipan lain yang berasal dari sebuah Sutra dalam kepercayaan Budha. Moqsith mengutip demikian: Budha bukanlah Budha, dan sebab itu ia Budha. Ketaktersentuhan Tuhan oleh bahasa memang kerap kita baca pada tulisan-tulisan GM yang tersebar luas selama ini. Termasuk dalam buku ini, inti dari antitheodise yang ingin dikemukakan GM tampaknya berlabuh pada sebuah gerak yang lebih leluasa dalam menangguhkan makna Tuhan yang paten, yang telah selesai. Kita bisa melihatnya dari ungkapan jujur GM: Konsepsi manusia tentang Tuhan adalah fantasi manusia tentang Tuhan itu sendiri. Bagi Moqsith, sikap yang ditampilkan GM melalui patahan-patahan kata yang terkadang muram itu, justru tampak sebagai sebuah upaya untuk mengatasi arogansi manusia dalam membahasakan Tuhan. Ketika kita menyadari bahwa Budha atau Tuhan yang kita acu dalam kata itu sebenarnya tak terwakili oleh kata tersebut, maka kita pun akan menyadari tentang Sang Budha dan Sang Tuhan yang tak terwakili olehnya. Ini berarti bahwa energi para filsuf dan para teolog dalam merumuskan sebuah konsepsi tentang ketuhanan memang tak akan pernah selesai, karena kata-kata selalu terbatas untuk menjangkau kemisteriusan Tuhan, demikian Moqsith menambahkan. Lalu, telah menjadi khas Moqsith membawa persoalan pada akar bahasanya, terutama persoalan dalam Islam yang dirujukkan ke dalam bahasa Arab. Mencoba mengaitkan dengan theodise, Moqsith memberi paparan mengenai sebuah kata yang begitu agung dan teramat sering diserukan orang Islam: Allahu Akbar. Menurut Moqsith, jika seseorang mengerti bahasa Arab, maka ia akan tahu bahwa arti dari Allahu Akbar bukanlah Allah maha besar sebagaimana sering diterjemahkan kebanyakan orang. Allahu Akbar, menurut Moqsith, memiliki arti Allah lebih besar. Lantas dengan cergas Moqsith menafsirkan Allahu Akbar sebagai Allah yang lebih besar, termasuk lebih besar dari segala konsep yang dirumuskan manusia tentang-Nya. Di samping itu, Moqsith memaparkan ayat al-Quran yang mengungkapkan bahwa kata Allah sendiri sesungguhnya telah mengakar kuat dalam tradisi ketuhanan masyarakat Arab, jauh sebelum Islam datang: Wa la in sa-altahum man khalaqa as-samawati wal ardla, la yaqulunnallah (Apabila kamu, Muhammad, bertanya kepada masyarakat sebelum Islam, siapa yang menciptakan langit dan bumi, pastilah mereka akan menjawab: Alah). Panggilan untuk Tuhan masyarakat Arab pada masa itu adalah Alah, belum ditebalkan: Allah. Lalu, Moqsith menambahkan, ketika kemudian Islam datang, Muhammad menghendaki penggunaan kata lain untuk menyebut Tuhan, lantas turun wahyu yang juga masih menyebut Alah. Hingga Umar bin Khattab mengajukan keberatan mengenai kesamaan nama Tuhannya dengan Tuhan yang disembah umat lain, maka berubahlah kata Alah yang dibaca tipis tersebut menjadi Allah. Lalu, pada perkembangan selanjutnya, dalam al-Quran muncul kata al-Rahman. Menjawab keheranan masyarakat akan nama Tuhan yang berganti-ganti itu, maka turunlah ayat: Qul idullaha aw idurrahman (berdoalah dengan menyebut nama Allah atau al-Rahman). Kalau begitu, demikian Moqsith menegaskan, kata Allah sendiri itu sebenarnya adalah ruang kosong, yang makna dan pengertiannya sangat ditentukan oleh subjek pembaca itu sendiri, tergantung bagaimana kita mengisinya. Demikian juga, dalam pandangan Moqsith, Tuhan bisa pula menghadirkan diri sebagai yang antagonis, Tuhan yang maha ganas; al-jabbar al-muntaqim, syadidul iqab. Ini adalah Tuhan

yang hadir pada Bani Israil misalnya, atau Tuhan yang hadir pada nabi-nabi sebelum Islam, yang ketika menemukan manusia melanggar ketentuan-Nya, maka serta merta mereka dijungkirbalikkan, dibumihanguskan. Oleh karena itu, Tuhan kemudian bergerak di antara dua ketegangan, antara hadir-Nya sebagai yang protagonis dan antagonis, urai Moqsith. Karena keterbatasan bahasa yang dimiliki manusia, maka tak mengherankan jika pemaknaan Tuhan yang merupakan hasil dari perjumpaan akal manusia dengan bahasa itu pun melahirkan pengertian yang berbeda-beda. Dengan kata lain, pemaknaan Tuhan kemudian menjadi sangat subjektif. Jika Tuhan Rabiah Adawiyah adalah Tuhan yang penuh cinta, lain halnya dengan Tuhan yang hadir di antara para ahli fikih yang terkesan ganas dan buas. Tuhan yang seakanakan hadir untuk memberikan sanksi kepada manusia yang tidak memenuhi kewajiban-Nya. Tetapi, lanjut Moqsith, selalu para sufi menghadirkan jenis Tuhan yang lain. Begitu pula para teolog. Yakni, bukan Tuhan yang buas, tetapi Tuhan yang penuh kasih dan penyayang. Karena itulah, kembali Moqsith menegaskan, bahwa Tuhan tidak bisa dirumuskan dan dikerucutkan maknanya melalui proses pembahasaan. Ia mengamini ungkapan GM, Masalah bahasa itulah yang membuat aqidah dan teologi menjadi problematik. Moqsith pun mengutip Al-Busthamy yang menyatakan: Taubatun nas min dzunubihim, wa taubaty min qauli la ilaha illa allah, li anna allaha kharijun an al hurufi wa al-alat. (Manusia lumrah bertaubat dari dosadosanya. Tetapi aku [Al-Busthami] bertaubat dari perkataan la ilaha illa allah). Karena begitu kita mengkonseptualisasikan tuhan ke dalam sebuah kata, maka sebenarnya allah, dzat yang tak bernama itu, telah keluar dari kata-kata itu. Karenanya, bagi Moqsith, mengkonseptualisasikan Tuhan ke dalam sebuah kata, sebuah bahasa, hanya akan membatasi Tuhan itu sendiri, sebagaimana termaktub dalam hadis qudsi, Kuntu kanzan makhfiyan (Aku adalah khazanah kesunyian). Moqsith menutup ulasannya dengan mensarikan ajaran Islam yang teramat luhur, jika dipahami dan dihayati dengan baik pula: Islam menganjurkan agar umat muslim membaca bismillahirrahmanirrahim dalam memulai segala aktivitasnya. Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih dan penyayang, dengan begitu, orang Islam yang baik tidak akan menggunakan kekerasan atas nama Tuhan, karena Tuhan kemudian dipahami sebagai yang maha pengasih dan penyayang. Oleh karena itu, umat Islam yang menggunakan kekerasan atas nama Tuhan, maka Tuhan mereka itu bukanlah arrahman dan arrahim.

Tatkala Tuhan Memerintah* Beberapa Pemikiran Al-Razi


Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Perintah Tuhan tidaklah sesuatu yang sederhana. Di dalamnya ada dimensi-dimensi semantis dan kebahasaan yang rumit. Kenapa hal ini terjadi? Saya kira alasannya adalah karena perintah Tuhan disampaikan melalui medium bahasa manusia yang mengandung elemen ambiguitas di dalamnya. Saat Tuhan memakai bahasa manusia, tidak dengan sendirinya watak bahasa itu berubah total hanya gara-gara Dia telah memakainya. Bahasa manusia tetaplah bahasa manusia seperti apa adanya. Pesan Tuhan, dalam bentuk bayan seperti dikatakan Al-Shafii, terpaksa harus tunduk pada hukum-hukum kebahasaan yang terkandung dalam bahasa manusia itu. Usaha para sarjana ushul fiqh untuk memahami firman Tuhan dalam bentuk perintah seperti saya sebutkan di atas, hanyalah cerminan dari usaha manusia untuk menjadikan firman itu bisa masuk akal, dapat dipahami, dalam konteks konvensi kebahasaan yang sudah ada pada bahasa manusia itu sendiri. Di sini berlangsung apa yang pernah disebut oleh Prof. Hamid Abu Zayd sebagai dialektika antara teks dan konteks (jadaliyyat al-nass wa al-waqi). Atau, kita bisa mengatakan: dialektika antara kehendak Tuhan dan realitas empiris dalam sejarah manusia; dialektika antara yang transenden dan immanen. Apakah Tuhan terlibat dalam kehidupan manusia? Menurut keyakinan orang-orang beriman, tentu jawabannya jelas: Ya. Dalam konsepsi umat beriman, Tuhan terlibat aktif dalam mengarahkan kehidupan manusia, memberikan panduan moral dan etis untuknya, serta memberikan ancaman-ancaman agar manusia tidak berjalan melenceng, walau seincipun, dari panduan itu. Ini berbeda, misalnya, dengan Tuhan kaum deis: Tuhan yang istirahat total setelah menciptakan alam dan segala isinya, sebab alam, termasuk manusia di dalamnya, bisa berjalan dengan sendirinya (bak sebuah otomaton) sesuai dengan hukum-hukum tertentu yang sudah pasti kerap disebut dengan hukum alam atau hukum kodrat. Bagaimana Tuhan terlibat dalam kehidupan manusia? Sebagaimana diyakini oleh umat-umat agama lain, umat Islam memiliki kepercayaan, Tuhan adalah Mutakallim, Zat Yang Mengujar speech producing God. Tuhan berbicara kepada manusia. Secara teologis, ini menimbulkan soalan yang menjadi bahan perdebatan panjang dalam khazanah ilmu kalam atau teologi Islam. Jika Tuhan berbicara, maka dalam bahasa apakah Dia berbicara? Jika jawabannya, Tuhan berbicara dalam bahasa A, taruhlah bahasa Arab, pertanyaan yang segera menunggu di belokan gang adalah: Apakah Tuhan mempunyai bahasa? Pertanyaan berikutnya lagi: bukankah bahasa apapun yang dipakai Tuhan adalah bahasa manusia? Jika Tuhan memakai bahasa itu, bukankah Tuhan terperangkap dalam suatu wadah duniawi yang serba terbatas? Bukankah Tuhan adalah Maha Tak Terbatas? Dengan memakai bahasa tertentu, bukankah Tuhan akan terjebak dalam suatu finitude, keterbatasan? Ini perdebatan teologis yang pada suatu zaman di masa lampau menimbulkan heboh bahkan gejolak politik yang disebut dengan mihnah atau inkwisisi yakni pengadilan atas keyakinan.

Kita tak usah terseret terlalu jauh dalam labirin perdebatan ini, toh tak terlalu banyak manfaatnya. Yang lebih menarik adalah melihat bagaimana sarjana dan ulama Islam meletakkan dasar-dasar dalam memahami ujaran atau firman Tuhan. Dalam disipilin pengetahuan yang disebut ushul fiqh (teori hukum Islam), firman Tuhan biasa disebut dengan khithab atau wacana. Persisnya, khithab adalah proses suatu pesan disampaikan dari satu ujung (yaitu pengujar) kepada ujung yang lain (pendengar atau lawan bicara interlocutor). Usaha pertama untuk membuat teoretisasi atas khithab atau firman Tuhan dilakukan oleh AlShafii (w. 820), pendiri mazhab Shafii yang terkenal itu. Al-Shafii berangkat dari pertanyaan dasar: kenapa Tuhan berbicara kepada manusia? Apa tujuan pokoknya? Jawabannya adalah karena Tuhan ingin menjelaskan suatu pesan tertentu kepada manusia. Istilah menjelaskan menjadi kata kunci di sini. Dia menciptakan istilah yang ia pinjam dari Quran, yaitu bayan. Kata itu secara harafiah artinya adalah keterangan, atau menerangkan, atau bisa juga membuat sesuatu yang semula remang-remang menjadi terang, alias klarifikasi. Kita simak bagaimana Al-Shafii menjelaskan pengertian bayan dalam traktatnya yang terkenal, Al-Risalah. Kata Al-Shafii, bayan adalah istilah yang mencakup pengertian yang begitu bermacam-macam, meskipun bisa dirangkum dalam konsep-konsep kunci tertentu (ism jami li maan mujtamiat al-ushul, mutashaibat al-furu). Penjelasan Al-Shafii ini sangat menarik karena mengandung embrio yang belakangan akan dikembangkan oleh para pengikutnya menjadi suatu arsitekur teori yang canggih tentang bagaimana memahami ujaran Tuhan. Dalam khithab Tuhan, terdapat keragaman, tetapi juga ada buhul-buhul yang mempersatukannya. Ada pokok, ada cabang. Ada ushul, ada furu. Inilah pesan pokok yang dapat kita tangkap dari penjelasan Al-Shafii tersebut. Dengan kata lain, Tuhan berbicara kepada manusia dengan sebuah perantara linguistis yang disebut bahasa. Tuhan berbicara kepada manusia dengan bahasa karena hendak menyampaikan suatu keterangan, bayan. Bagaimana bayan itu terselenggara melalui medium bahasa, bisa bermacam-macam (mutashaib). Tetapi manusia bisa menemukan pokokpokok (ushul mujtamia) yang dengannya ia bisa memahami firman Tuhan itu dengan masuk akal. Kata masuk akal di atas sangat penting. Kata itu saya pakai di sini sebagai padanan untuk istilah yang biasa dipakai dalam bahasa Inggris: intellegibility kenyataan bahwa suatu ujaran bisa dipahami. Jika Tuhan hendak menyampaikan suatu bayan kepada manusia, maka asumsi dasar yang harus diterima adalah bahwa khithab atau ujaran Tuhan itu bisa dipahami oleh manusia. Jika firman gelap total seperti kaca yang tak tembus pandang, maka apa gunanya ia diujarkan kepada manusia. Di sini juga terkandung suatu asumsi lain bahwa Tuhan bertindak karena suatu alasan yang masuk akal. Tuhan menyampaikan ujaran kepada manusia karena ada alasan yang masuk akalbahwa firman itu mengandung potensi untuk bisa dipahami, tentu oleh manusia. Ushul fiqh sebetulnya adalah upaya manusia, dalam hal ini para sarjana fikih, untuk melakukan konseptualisasi atas cara-cara yang mungkin dan sistematis guna memahami bayan atau keterangan Tuhan. Sejak awal, para fukaha sadar bahwa dalam firman Tuhan terkandung keragaman, tetapi juga sekaligus kesatuan. Keragaman itu bisa kita lihat dalam berbagai segi; yang paling utama adalah segi tematik. Ada banyak hal yang dibicarakan dalam kanon yang menghimpun firman Tuhan, yaitu Kitab Suci atau Quran. Ada ayat-ayat yang berbicara tentang

fenomena alam, sejarah masa lampau, eskatologi atau akhir zaman; tetapi ada juga ayat tentang petunjuk moral bagi manusia agar bisa bertindak secara benar dan tepat. Keragaman juga bisa ditinjau dari segi yang lain, yaitu segi literer: secara kebahasaan, sejumlah tema-tema di atas disamapaikan dengan strategi kebahasaan yang bermacam-macam. Keragaman ini tentu akan membingungkan kalau tak diikat dengan pengikat tertentu yang bisa menyatukan keseluruhannya. Di sinilah ushul fiqh masuk. Sejauh menyangkut firman Tuhan yang berkaitan dengan tuntutan moral, ada dua jenis khithab Tuhan: firman yang menuntut, dan firman yang membiarkan. Yang pertama biasa disebut dengan iqtidha, yang kedua takhyir. Ada firman yang menuntut untuk bertindak (ini melahirkan konsep tentang wajib), atau menuntut untuk menjauhi sesuatu (ini melahirkan konsep tentang haram). Ada juga firman yang tak muntuntut apa-apa, tetapi membiarkan suatu tindakan dalam keadaan primitifnya, keadaan asalnya: yakni netral, boleh dijalankan atau diabaikan (dari sini lahir konsep tentang mubah [netralitas total], makruh [netralitas yang mendekati pendulum haram] dan mandub [netralitas yang mendekati pendulum wajib]). Fokus utama para juris Islam adalah pada jenis firman yang pertama itu firman yang memuat kandungan etis dan moral yang tinggi, firman yang menuntut (khithab al-iqtidha). Jika firman Tuhan menuntut sesuatu dari kita, entah secara positif (perintah) atau negatif (larangan), maka bagaimana firman itu harus dipahami? Apa hakikat dari suatu perintah? Bagaimana perintah itu diungkapkan? Apa jenis-jenis perintah itu? Pertanyaan-pertanyaan ini, menurut saya, merupakan salah satu bagian yang paling menarik dalam disiplin ushul fiqh. Ini dijelaskan dalam bab tentang amr dan nahy, tentang perintah dan larangan. Al-Razi (w. 1209) mengulas masalah ini dalam jilid kedua dari Al-Mahsul (dalam edisi Taha Jabir Alwani) dengan judul: Al-Kalam fi alAwamir wa al-Nawahi (pembahasan tentang perintah-perintah dan larangan-larangan). Isu pertama yang langsung menyergap kita dalam pembahasan ini adalah karakter dari perintah: apakah perintah itu harus diujarkan, atau bisa sekedar dicontohkan dalam tindakan. Pertanyaan ini tampak seolah-olah sepele, tapi baru terlihat penting saat kita berhadapan dengan contoh yang empirik. Jika Nabi melakukan sesuatu, misalnya makan dan minum, apakah itu sebuah perintah, dan karena itu harus dicontoh, atau bukan. Pendapat sebagian besar sarjana Sunni, termasuk AlRazi, adalah bahwa perintah pada dasarnya adalah suatu kategori ujaran. Oleh karena itu, pengertian tahap pertama (makna konototatif/haqiqat) dari suatu perintah adalah bahwa ia haruslah sebuah ujaran, bukan tindakan. Tindakan bisa dipahami sebagai sebuah perintah, tapi dalam pengertiannya yang metaforik (makna kelas dua, majazi). Tuhan bisa disebut sebagai menuntut sesuatu jika itu diselenggarakan dalam suatu kerangka linguistis, dalam bentuk ujaran. Nabi, sebagai otoritas kedua setelah Tuhan dalam konteks meletakkan dasar-dasar moral dan etis bagi tindakan seorang beriman, bisa pula disebut menuntut sesuatu secara moral jika tuntutannya itu dikemukakan dalam suatu ujaran. Di sini, kita melihat suatu konstruksi ontologis yang menarik tentang ujaran dan tindakan. Dalam konstruski ini, ujaran mempunyai nilai yang lebih tinggi daripada tindakan. Karena itu, dari sudut hirarki moral, ujaran berada satu tingkat di atas tindakan. Ini tentu nyaris serupa dengan hirarki epistemologis dalam filsafat Yunani, di mana teori diletakkan dalam level yang lebih tinggi daripada praksis.

Konstruksi semacam ini sebetulnya tidak terlalu mengejutkan, sebab bisa kita pahami dalam konteks kehidupan sehari-hari yang kongkret. Kalau saya berkata kepada seseorang, Ambilkan buku! dengan nada tertentu yang dapat dipahami sebagai suatu perintah, maka ujaran itu memiliki kandungan moral yang jelas: yakni perintah mengambil buku kepada orang tersebut. Akan tetapi, jika di hadapan orang itu saya menulis suatu pesan pendek di telpon genggam, maka tindakan saya itu tak punya kandungan moral apa-apa, alias kosong: bukan suatu perintah, bukan pula suatu larangan. Paling jauh, jika ada suatu kandungan tertentu yang bisa dikeluarkan dari tindakan saya itu, ialah bahwa menulis pesan pendek di telpon genggam adalah tindakan yang boleh-boleh saja. Ini pun masih harus dikaitkan dengan konteks yang ada di sekitar. Jika di samping saya ada tanda Dilarang menulis sms di ruangan ini, maka tindakan saya itu memang mengandung kandungan moral, tetapi dalam pengertian yang negatif, yakni saya melanggar larangan untuk menulis pesan pendek di sebuah tempat. Tetapi apakah sesungguhnya perintah itu? Tatkala kita mendengar ucapan Bacalah, tanpa kita ketahui siapa pengujar kalimat itu, apakah itu bisa disebut perintah? Jika saya berkata kepada teman sejawat saya di kantor, Ambilkan laptop itu, bisakah ini disebut sebagai perintah, atau hanyalah permohonan biasa saja? Ternyata perkara perintah yang di permukaan kelihatan sepele dan ringan ini, menimbulkan kerumitan jika kita masuk ke dalamnya dan mencoba melakukan konseptualisasi teoritis. Dan, aha!, memang segala hal yang nampak sepele di permukaan tidak selalu demikian dalam kenyataannya. Al-Razi menyebut dua versi definisi tentang perintah, pertama dari tokoh penting dalam sekte Ashariyyah, yaitu Al-Qadhi Abu Bakr al-Baqillani (w. 1013). Al-Baqillani mengatakan: Perintah ialah ujaran yang menuntut seseorang yang di-perintah untuk menaatinya dengan cara melakukan apa yang di-perintah-kan oleh ujaran itu (al-qawl al-muqtadli thaat al-mamur bi fil al-mamur bihi). Definisi di atas, sekilas, tentu baik-baik saja dan masuk akal, tapi tidak di mata Al-Razi. Di manakah letak persoalannya? Adalah karena ia memuat kata yang sama dengan kata yang dedefinisikan. Fungsi definisi adalah menjelaskan suatu konsep tertentu. Karena itu, jika definisi memuat kata yang sama dengan kata yang hendak didefinisikan, maka akan terjadi lingkaran setan atau siklus bolak-balik tanpa henti (al-dawr). Mari kita telaah definisi di atas: di sana terkandung kata perintah diulang-ulang sebanyak dua kali diperintah dan diperintahkan. Kita sedang ingin mencari kejelasan tentang apa makna perintah, tetapi kata perintah dipakai untuk menjelaskan dirinya sendiri. Ini tentu tak masuk akal. Sesuatu tak bisa menjelaskan dirinya sendiri. Penjelasan harus diambil dari sumber eksternal. Begitulah aturan main yang dibuat oleh kaum logician, ahli logika Aristotelian. Karena itu, harus dicari definisi lain yang jauh lebih cespleng. Muncul definisi kedua dari kalangan Mutazilah. Perintah, bagi mereka, ialah ucapan seseorang yang lebih tinggi derajatnya kepada yang lebih rendah, Lakukanlah! atau kata lain yang pengertiannya sama. Definisi yang di permukaan tampak baik-baik saja ini, oleh Al-Razi juga dianggap mengandung soalan. Mari kita dengarkan bagaimana dia mengajukan keberatan. Pertama: taruhlah kata Lakukanlah itu tidak mengandung makna apa-apa dari sudut konvensi kebahasaan, kata yang kosong makna (muhmal), apakah seseorang yang mengucapkan kata itu bisa dianggap memerintah? Tentu tidak. Ini jelas. Keberatan kedua: seandainya kata

Lakukanlah itu diucapkan oleh seseorang yang sedang tidur, dianggap perintahkah ia? Tentu tidak. Jadi, ucapan Lakunkanlah yang menjadi kunci dalam definisi kelompok Mutazilah itu tak memiliki bobot apa-apa. Jadi, bagaimana definisi perintah yang paling baik menurut Al-Razi? Perintah, menurut dia, ialah: menuntut (seseorang) melakukan sesuatu melalui ujaran dengan cara meninggi (thalab alqawl bi l-fil ala sabil al-istila). Yang dimaksud meninggi di sini bukan nada ujaran, tetapi ujaran itu disampaikan dengan cara yang mengindikasikan bahwa seorang pengujar memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari lawan bicara yang diujari. Dengan kata lain, perintah mengandaikan situasi komunikasi yang hirarkis si pembicara berada pada level yang lebih tinggi dari lawan bicara. Ada empat elemen penting dalam perintah: ujaran (qawl), tuntutan (thalab), tindakan (fil), hirarki (istila). Jika perintah adalah tuntutan atau thalab, apakah tuntutan itu? Apakah ia itu sesuatu yang terkandung secara intrinsik dalam sutau ujaran, ataukah ia pengertian eksternal yang bersemayam dengan damai di luarnya, sementara ujaran hanyalah ia pakai sebagai baju untuk mengungkapkan diri agar keluar dari dunia kegaiban ke dunia pencerapan yang bisa dirasakan oleh indera kita? Kita coba ikuti konseptualisasi yang dibuat Al-Razi. Menurut dia: pengertian tuntutan yang dikandung dalam suatu ujaran (misalnya tuntutan minum dalam ujaran Minumlah!) bukanlah sesutau yang terdapat secara intrinsik dalam ujaran itu. Kenapa? Sebab pengertian tuntutan yang terkandung dalam satu ujaran bersifat universal dan seragam dari bahasa satu ke bahasa lain. Entah anda mengatakan Minumlah! (bahasa Indonesia), Drink! (Inggris), Trinke! (Jerman), Ishrab! (Arab) semuanya memuat pengertian yang sama, yakni tuntutan untuk minum, meskipun diujarkan dalam bentuk luaran yang berbeda-beda. Dengan demikian, kata Al-Razi, pengertian yang terkandung dalam perintah tidak terdapat secara intrinsik dalam suatu ujaran atau bahasa, tetapi berada di luarnya. Konsepsi Al-Razi ini bisa diungkapkan dengan cara lain: Hubungan antara pengertian dan kata adalah arbitrer. Persis seperti dalam konsepsi modern yang pernah diungkapkan oleh kaum linguisstrukturalis seperti Ferdinand de Saussure. Ada soal kecil yang menyangkut perkara perintah ini dan menjadi pertengkaran antara kaum Sunni dan Mutazilah. Saya ingin menyinggung sedikit di sini. Soal yang diperdebatkan mereka ialah: apakah perintah (amr) sama dengan kehendak (iradah). Jika Tuhan memerintahkan sesuatu, apakah Dia juga menghendakinya? Jika saya mengatakan kepada anak saya, Bacalah! apakah saya menghendaki tindakan membaca dari anak saya atau tidak? Jawaban yang segera meloncar ke pikiran awam kita adalah: Tentu saja. Manakala seseorang memerintahkan sesuatu, sudah tentu ia menghendaki sesautu itu terjadi. Apalah gunanya ia memerintah kalau tak menghendakinya. Kalau anda berpendapat demikian, dan inilah pendapat yang paling sesuai dengan akal sehat secara selintas, maka anda, tanpa anda sadari, telah bergabung dengan kubu Mutazilah. Al-Razi, juga para sarjana Sunni yang lain, bersikeras menolak identifikasi antara perintah dengan kehendak. Jika Tuhan memerintahkan sesuatu, salat atau puasa, misalnya, maka itu bukan berarti Dia menghendakinya. Kenapa demikian? Marlah kita dengar penjelasan kubu Sunni di bawah ini.

Kita semua tahu, Tuhan memerintahkan orang-orang kafir untuk beriman, salat, puasa, dan sebagainya. Tetapi Tuhan tak menghendaki mereka untuk melakukan itu semua. Sebab, jika Tuhan menghendaki, maka kehendakNya sudah pasti terjadi. Karena orang-orang itu tetap saja kafir, tak salat, tak puasa, walaupun sudah menerimah perintah dari Tuhan, maka, demikian nalar yang dipakai oleh Al-Razi dan kubu Sunni, perintah dan kehendak tak identik, tetapi dua hal yang berbeda. Jika keduanya identik, maka begitu mendapatkan perintah beriman dari Tuhan, orang-orang kafir itu akan dengan sendirinya langsung berubah sikap, dari kekafiran menuju kepada keimanan. Tapi yang terjadi toh tidaklah demikian. Ini memperlihatkan bahwa kehendak dan perintah bukanlah dua hal yang sama. Perbedaan ini sebetulnya bersumber dari wawasan teologis yang berbeda yang memandu pandangan kaum Sunni dan Mutazilah, tentang status tindakan manusia. Apakah manusia menciptakan tindakan mereka sendiri, memiliki kehendak sendiri yang bebas, atau tindakan dan kehendak mereka seluruhnya diciptakan oleh Tuhan? Dengan kata lain, perbedaan pandangan mengenai status perintah dan kehendak itu berkaitan dengan wawasan teologis soal kehendak bebas (hurriyyat al-iradah, free will). Kubu Mutazilah, sebagaimana kita tahu, menganut pandangan bahwa manusia punya kehendak bebas. Jika Tuhan memerintahkan sesuatu, maka Dia juga sekaligus menghendakinya. Tetapi karena manusia memiliki kehendak sendiri yang terpisah dari kehendak Tuhan, maka ia bisa menolak perintah itu. Dalam pandangan semacam ini, tidak ada masalah untuk menyamakan antara kehendak dan perintah. Dalam pandangan kubu Sunni, kehendak seluruhnya berada pada tangan Tuhan. Manusia tak mampu menciptakan atau menimbulkan kehendak dari dirinya sendiri. Karena itu, identifikasi antara kehendak dan perintah, jika dilihat dari sudut pandang teologis seperti ini, menjadi bermasalah. Itulah sebabnya, para sarjana Sunni seperti Al-Razi memisahkan antara perintah dan kehendak. Dalam hampir semua literatur klasik ushul fiqh, kita akan menjumpai pembahasan soal perintah dan kehendak ini. Di permukaan, isu ini tampak abstrak serta tak mengandung konsekwensi praktis apapun. Tetapi, isu ini menjadi bahan debat yang sengit, karena menyangkut meminjam istilah yang kerap kita dengar akhir-akhir ini pokok keyakinan yang mendasar mengenai status kehendak bebas manusia. Jika kita mengejar lebih jauh lagi dengan sebuah pertanyaan: kenapa soal kehendak bebas ini menjadi isu yang penting? Apakah konsekwensi praktis dari sana? Tentu saja sudah jelas dengan sendirinya bahwa tak ada konsekwensi praktis dari pertanyaan-pertanyaan abstrak semacam ini. Namun, di sana, soal yang lebih mendasar dipertengkarkan, yakni soal konsepsi ketuhanan. Pandangan dunia Sunni disusun begitu rupa sehingga menempatkan Tuhan sebagai Agen Kehendak yang sepenuhnya bebas, bahkan Tuhan sendiri tak bisa diatur dan diikat oleh hukum alam yang Ia ciptakan sendiri. Hanya dengan konsepsi tentang Tuhan Yang Maha Bebas seperti inilah, kaum Sunni bisa menjelaskan kenapa ada mukjizat yang menjadi fondasi kebenaran fenomena kenabian (nubuwwah). Menghilangkan konsep tentang Kehendak Bebas pada Tuhan sama saja menghancurkan seluruh bangunan keyakinan Islam itu sendiri. Perdebatan-perdebatan semacam ini jelas menunjukkan bahwa disiplin ushul fiqh seperti dikerjakan oleh para sarjana seperti Al-Razi dan umumnya para ulama di lingkungan mazhab Syafii, mencampuradukkan antara isu hukum dan teologi. Praksis intelektual semacam ini jauh berbeda dengan apa yang kita lihat pada sarjana ushul fiqh di lingkungan mazhab Hanafi yang

cenderung meminimalisir diskusi isu-isu teologis dalam ushul fiqh. Ini yang menjelaskan adanya dua pendekatan dalam disiplin ushul fiqh: pendekatan para mutakallimun atau teolog, seperti pada kasus Al-Razi dan lain-lain, dan pendekatan para fuqaha seperti yang kita lihat pada karya ushul fiqh yang dikarang oleh sarjana mazhab Hanafi Al-Dabbusi (w. 1039) berjudul Taqwim alAdillah fi Ushul al-Fiqh. ****

Fondasi utama dalam hukum Islam, sekali lagi, adalah tuntutan, baik secara positif dalam bentuk perintah, atau negatif dalam bentuk larangan. Entah perintah atau larangan hanya bisa diketahui melalui petanda kebahasaan (signifier) yang disebut perintah. Tetapi di sini, muncul pertanyaan: jika suatu ujaran Minumlah! diucapkan oleh seseorang yang derajatnya lebih tinggi kepada yang lebih rendah, apakah ia dengan sendirinya bermakna perintah yang mengharuskan? Ataukah ada makna-makan lain yang dikandungnya? Menurut Al-Razi, sekurang-kurangnya tiga pendapat utama: pendapat pertama, ujaran Lakukanlah atau semacamnya, jika dilepaskan dari konteks apapun, maka ia mengandung makna keharusan (wujub); kedua, ia mengandung makna anjuran saja (nadb); ketiga, kandungan maknanya tak jelas, dan karena itu kita tak bisa memastikannya.Yang paling banyak diikuti oleh para sarjana ushul fiqh adalah pendapat yang pertama. Pandangan yang ketiga memang nampak nihilistis, karena tak memberikan isyarat yang jelas tentang kandungan semantis dari ujaran perintah. Tetapi, kelompok ketiga ini tentu tak hanya berhenti pada sikap nihil yang total. Mereka berpendapat bahwa kandungan semantis suatu perintah hanya bisa diketahui melalui konteksnya. Ia bisa mengandung makna keharusan, atau sekedar anjuran saja, tergantung konteks yang spesifik. Dengan kata lain, perintah Tuhan tidaklah sesuatu yang sederhana. Di dalamnya ada dimensidimensi semantis dan kebahasaan yang rumit. Kenapa hal ini terjadi? Saya kira alasannya adalah karena perintah Tuhan disampaikan melalui medium bahasa manusia yang mengandung elemen ambiguitas di dalamnya. Saat Tuhan memakai bahasa manusia, tidak dengan sendirinya watak bahasa itu berubah total hanya gara-gara Dia telah memakainya. Bahasa manusia tetaplah bahasa manusia seperti apa adanya. Pesan Tuhan, dalam bentuk bayan seperti dikatakan Al-Shafii, terpaksa harus tunduk pada hukum-hukum kebahasaan yang terkandung dalam bahasa manusia itu. Usaha para sarjana ushul fiqh untuk memahami firman Tuhan dalam bentuk perintah seperti saya sebutkan di atas, hanyalah cerminan dari usaha manusia untuk menjadikan firman itu bisa masuk akal, dapat dipahami, dalam konteks konvensi kebahasaan yang sudah ada pada bahasa manusia itu sendiri. Di sini berlangsung apa yang pernah disebut oleh Prof. Hamid Abu Zayd sebagai dialektika antara teks dan konteks (jadaliyyat al-nass wa al-waqi). Atau, kita bisa mengatakan: dialektika antara kehendak Tuhan dan realitas empiris dalam sejarah manusia; dialektika antara yang transenden dan immanen. Saya hanya mengambil sampel kecil saja dari sejumlah tema yang dibahas dalam ushul fiqh, yaitu tema tentang perintah. Sebab inilah fondasi hukum agama sebagaimana kita kenal dalam

fikih Islam selama ini. Sampel kecil ini memperlihatkan suatu watak penting dalam teks Kitab Suci. Kaum fundamentalis agama, pada umumnya, memandang teks agama sebagai sesuatu yang transparan, tembus pandang, tanpa mengandung ambiguitas dan keremang-remangan sedikitpun. Prinsip yang kerap dipakai oleh kelompok fundamentalis dalam agama apapun adalah apa yang disebut perspicuitas: bahwa Kitab Suci sudah terang-benderang maknanya. Prinsip ini pertama kali dikenalkan oleh para kaum reformis Protestan pada abad ke-16. Prinsip ini, meskipun dikemukakan pertama-partama oleh kalangan Protestan, tetapi ia ada sebagai tendensi yang dominan dalam hampir semua gejalan keagamaan yang fundamentalistis dalam agama manapun. Asumsi yang terkandung di balik prinsip perspikuitas ialah bahwa teks agama tak bisa ditafsirkan dengan cara yang beragam. Makna teks agama sudah jelas, seperti kaca tembus pandang, hanya satu saja. Keragaman pemahaman harus diusir jauh-jauh. Kesatuan makna dalam sebuah teks dipandang sebagai satu-satunya jalan untuk menjamin kesatuan sosiologis-empiris, yakni kesatuan umat Islam. Keragaman pemahaman akan mengancam kesatuan semacam itu. Sebagaimana kita lihat dalam pembahasan mengenai tema perintah dalam ushul fiqh, kita melihat sautu petualangan hermeneutis yang dilakukan oleh sarjana ushul fiqh untuk memahami kandungan semantis dari ujaran yang sederhana, Lakukanlah!, ujaran yang mengandung pengertian perintah atau tuntutan (thalab). Hasil petualangan mereka ini menghasilkan khazanah intelektual yang sangat menarik sekali, serta membawa pesan yang sangat sederhana: betapa tak sederhananya perkara perintah Tuhan itu. Ini terjadi karena perintah Tuhan terperangkap dalam formula kebahasaan yang bersumber dari konvensi masyarakat manusia, dengan seluruh kerumitan di dalamnya, juga evolusi di dalamnya yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Dengan kata lain, Tuhan memerintah manusia, melalui medium bahasa, dengan cara yang ternyata tak sederhana. Manusia harus merumuskan skema tertentu agar perintah itu bisa dipahami dengan masuk akal. Apa yang berasal dari Tuhan kemudian juga harus dioleh melalui suatu medium historis yang bernama human agency, keagenan manusia. Yang transenden dan immanen bertaut-berkelindan dalam cara yang unik: absolut dan relatif sekaligus.[] *Makalah ini disampaikan dalam diskusi bulan Ramadan di Jaringan Islam Liberal (JIL) tentang Fakhr al-Din al-Razi pada Jumat, 12 Agustus 2011 di Utan Kayu.

You might also like