Professional Documents
Culture Documents
Semua keadaan yang kami tuturkan di atas terjadi dan berawal dari
kejatuhan seni budaya dan peradaban Islam. Kita dapat menyaksikan
sendiri, seni dan budaya kita telah digantikan dan tergeser (shifted,
moved, removed) oleh seni budaya dan peradaban produk Barat yang
nota-benenya (perhatiannya) menekankan kehidupan yang bebas tanpa
ikatan agama apapun.
Pada umumnya orang ‘Arab berbakat musik sehingga seni suara telah
menjadi suatu keharusan bagi mereka semenjak zamān jāhilliyah. Di Hijāz
kita dapati orang menggunakan musik mensural yang mereka namakan
dengan IQA (irama yang berasal dari semacam gendang, berbentuk
rithm). Mereka menggunakan berbagai intrusmen (alat musik), antara lain
seruling, rebana, gambus, tambur, dan lain-lain.
Dalam tulisan ini kami kutipkan beberapa riwāyat saja, antara lain riwāyat
Bukhārī dan Muslim dari ‘Ā’isyah r.a. ia berkata (Lihat SHAHĪH BUKHĀRĪ,
Hadīts No. 949, 925. Lihat juga SHAHĪH MUSLIM, Hadīts No. 829 dengan
tambahan lafazh:((ِستَا ُمغَ ّن َيتَيْن
َ ْ"وَ َليKedua-duanya (perempuan itu) bukanlah
penyannyi"):
"Wahai Abū Bakar, sesungguhnya tiap bangsa punya hari raya. Sekarang
ini adalah hari raya kita (umat Islam)."
Hadīts Imām Ahmad dan Bukhārī dari ‘Ā’isyah r.a. (Lihat SHAHĪH BUKHĀRĪ
Hadīts No. 5162, TARTĪB MUSNAD IMĀM AHMAD, Jilid XVI, hlm. 213. Lihat
juga: Asy-Syaukānī, NAIL-UL-AUTHĀR Jilid VI, hlm. 187):
ُج ُبهُم
ِ ْلنْصَا َر ُيع
َ ن َمعَكُ ْم مِنْ َلهْ ٍو َفإِنّ ا
َ لنْصَا ِر فَقَالَ ال ّنبِيّ (صلعَْمْ (يَا عَائِشَ ُة مَا كَا
َ ل مِنَ ا
ٍ ُت امْرََأةً إِلى رَج
ِ َّأّنهَا َزف
ُالّلهْو
Juga ada lafaz Hadīts riwāyat Imām Ahamd berbunyi (Lihat Asy-Syaukānī,
ibidem jilid VI, hlm. 187):
"Saya masuk ke rumah Qurazhah bin Ka‘ab dan Abū Mas‘ūd Al-Anshārī.
Ketika itu sedang berlangsung pesta perkawinan. Tiba-tiba beberapa
perempuan budak (jawārī) mulai menyanyi-nyanyi. Maka saya bertanya:
:Kalian berdua adalah sahabat Rasūlullāh s.a.w. dan pejuang di perang
Badar. Kenapa hal yang begini kalian lakukan pula? Quraizhah menjawāb:
"Duduklah, kalau engkau mau. Mari kita dengar bersama. Kalau tidak,
silakan pergi. Sesungguhnya telah diperbolehkan bagi kita untuk
mengadakan hiburan (nyanyian) apabila ada pesta perkawinan." (H.R. An-
Nasai, lihat Bab Hiburan dan Nyanyian Pada Pesta Pernikahan).
"Tanda pemisah (pembeda) antara yang halāl dengan yang harām (dalam
suatu pernikahan) adalah (mengumumkanmua dengan) memainkan
rebana dan menyanyi."
Pada waktu itu muncullah seorang ahli musik bernama Ibnu Misjah
(wafat tahun 705 M.). Setelah itu kaum Muslimin banyak yang
mempelajari buku-buku musik yang diterjemahkan dari bahasa Yunani dan
Hindia. Mereka mengarang kitab-kitab musik baru dengan mengadakan
penambahan, penyempurnaan, dan pembaharuan, baik dari segi alat-alat
instrumen maupun dengan sistem dan teknisnya.
1. Yunus bin Sulaimān Al-Khatīb (wafat tahun 785 M.). Beliau adalah
pengarang musik pertama dalam Islam. Kitāb-kitāb karangannya dalam
musik sangat bernilai tinggi sehingga penggarang-penggarang teori musik
Eropa banyak yang merujuk ke ahli musik ini.
2. Khalīl bin Ahmad (wafat tahun 791 M.). Beliau telah mengarang buku
teori musik mengenai not dan irama.
3. Ishāk bin Ibrāhīm Al-Mausully (wafat tahun 850 M.) telah berhasil
memperbaiki musik ‘Arab jāhilliyah dengan sistem baru. Buku musiknya
yang terkenal adalah KITĀB-UL-ALHAN WAL-ANGHĀM (Buku Not dan
Irama). Beliau sangat terkenal dalam musik sehingga mendapat julukan
IMĀM-UL-MUGHANNIYĪN (Raja Penyanyi).
Selain dari penyusunan kitāb musik yang dicurahkan pada akhir masa
Daulah Umayyah. Pada masa itu para khalīfah dan para pejabat lainnya
memberikan perhatian yang sangat besar dalam pengembangan
pendidikan musik. (Lihat Prof. A.Hasmy, Sejarah kebudayaan Islam, hlm.
320-321).
Banyak sekolah musik didirikan oleh negara Islam di berbagai kota dan
daerah, baik sekolah tingkat menengah maupun sekolah tingkat tinggi.
Sekolah musik yang paling sempurna dan teratur adalah yang didirikan
oleh Sa‘id ‘Abd-ul-Mu’mīn (wafat tahun 1294 M.).
"Tidak terdapat satu dalil pun di dalam Al-Quran maupun Sunnah Rasul
yang mengharamkan nyanyian. Bahkan ada Hadits yang menunjukkan
bolehnya nyanyian. Hadits shahih itu mengatakan bahwa Abu Bakar
pernah masuk ke tempat Aisyah yang disampingnya ada dua jariyah
penyanyi dari kalangan Anshar yang sedang menyanyikan tentang hari
Bu'ats. Kemudian Abu Bakar berkata: "Di rumah Nabi s.a.w. ada seruling
syaitan?" Mendengar perkataan itu, Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Jika belum ada perincian dari Allah s.w.t. maupun RasulNya tentang
haramnya sesuatu yang kita bincangkan di sini (dalam hal ini adalah
nyanyian dan menggunakan alat-alat musik), maka telah terbukti bahwa
ia adalah halal atau boleh secara mutlak."
Adapun orang yang bertolak dari pendapat Ibnu Mas'ud dan Ibnu 'Abbas
tentang firman Allah s.w.t. surat Luqman, ayat 6 tentang arti Lahw-ul-
hadits dalam ayat tersebut adalah 'nyanyian". Begitu juga pendapat Ibnu
'Abbas yang mengatakan bahwa memainkan alat musik rebana dan setiap
alat musik termasuk seruling, tambur, adalah haram. Maka Ibnu Hazm
membantah pendapat ini dengan mengatakan (Lihat Ibnu Hazm, AL-
MUHALLA, Jilid VI, hlm. 60). bahwa semua pendapat yang semacam ini
tidak dapat dijadikan sebagai hujjah atau bukti dengan sebab-sebab
sebagai berikut:
2. Pendapat Ibnu 'Abbas dan Ibnu Mas'ud, Ibrahim, Mujahid, dan Ikrimah
tentang firman Allah s.w.t. dalam surat Luqman, ayat 6 yang menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah nyanyian, maka pendapat
ini bertentangan senga pendapat yang lainnya dari kalangan sahabat dan
tabi'in.
Oleh karena itu siapa saja yang niatnya mendengar nyanyian untuk
melakukan suatu kemaksiatan kepada Allah, maka ia adalah seorang
fasiq.
Sejak dahulu, seni tari telah memainkan peranan penting dalam upacara
kerajaan dan masyarakat maupun pribadi. Seni tari adalah akar tarian
Barat populer masa kini. Bangsa-bangsa primitif percaya pada daya magis
dari tari. Dari tarian ini dikenal tari Kesuburan dan Hujan, tari Eksorsisme,
dan Kebangkitan, tari Perburuan dan Perang. Tarian Asia Timur hampir
seluruhnya bersifat keagamaan, walaupun ada yang bersifat sosial. Selain
itu ada tarian rakyat yang komunal (folk dance). Tarian ini dijadikan
lambang kekuatan kerjasama kelompok dan perwujūdan saling
menghormati, sesuai dengan tradisi masyarakat.
Salah satu contoh tentang hal ini adalah seperti yang diriwayatkan oleh
Abū Dāwūd dari ‘Anas r.a. yang berkata (Lihat SUNAN ABŪ DĀWŪD, Jilid IV,
hlm. 281):
Imām Ahmad dan Ibnu Hibbān juga meriwayatkan dengan sanad yang
shahih dari Anas r.a. Beliau berkata (Lihat MUSNAD IMĀM AHMAD, Jilid III,
hlm. 152; lihat juga Al-Qastallanī, IRSYĀD-US-SARI, SYARH-SHAHĪH
BUKHĀRĪ, Jilid II, hlm. 204-205):
Pengarang kitāb ‘ilmu seni tari yang pertama di dalam Islam adalah Al-
Farābī (wafat tahun 950 M.), yang mengarang kitāb AR-RAQSU WAZ-
ZAFNU (Kitāb tentang Tari dan Gerak Kaki) (Lihat Prof. A. Hasjmy, Ibidem,
hlm. 326). Pengaruh kitāb ini masih dapat kita ketahui, Riau adalah pusat
kerajaan Melayu dan pernah memperoleh masa kejayaannya di sana.
Berbagai guru serta pelatih tari dan nyanyian dipelihara sultan di istana.
Begitu juga dengan perkembangan sya‘ir. Bentuk seni inipun berkembang
dengan baik dan mendapatkan perhatian sultan. Tari Zapin sampai
sekarang masih hidup subur di kepulauan Riau (Melayu). Bahkan banyak
tradisi yang sekarang berkembang di nusantara adalah hasil
perkembangan tari rakyat Riau yang diperagakan mulai dari lingkup
istana sampai kedai-kedai kopi. Serampang dua belas, misalnya, adalah
tarian populer peninggalan karya tersebut. Kata-kata pengiring tarian ini
masih menggunakan bahasa ‘Arab yang bercampur dengan bahasa
Melayu (Lihat Dr. Oemar A. Hoesin, KULTUR ISLAM, hlm. 466-467).
Namun perlu diperhatikan di sini, dalam sejarah umat Islam yang panjang,
tari-tarian itu tidak pernah dilakukan di tempat-tempat terbuka yang
penontonnya bercampur-baur antara lelaki dengan wanita. Ini berbeda
halnya dengan nyanyian. Pada masa pemerintahan khilafah ‘Abbāsiyah,
para penyanyi diijinkan menyanyi menyanyi sambil menari di jalanan atau
di atas jembatan serta di tempat-tempat umum lainnya. Rumah-rumah les
privat menyanyi dan menari dibuka untuk umum, baik di rumah-rumah
orang kaya maupun miskin. (Lihat Abū Al-Farāj Al-Ishfahānī, AL-AGHĀNĪ,
Jilid XVIII, hlm. 128, dan Jilid XIII, hlm. 127). Tetapi tidak pernah dilakukan
di tempat-tempat khusus, seperti yang dilakukan sekarang ini (khususnya
anak-anak muda), misalnya di night club, panggung pertunjukan, dan
sebagainya.
Perlu diingat, tari-tarian pada masa lalu hanya dilakukan oleh wanita-
wanita budak saja yang bekerja di istana, di rumah para pejabat, atau di
rumah-rumah rakyat biasa. Namun ada juga penari dari kalangan pria,
misalnya Ibrāhīm Al-Maushili (wafat 235 H.), dan sekelompok penari
kawakan yang tercatat di dalam kitāb Al-Aghānī. (Lihat Abū Al-Farāj Al-
Ishfahānī, ibidem, Jilid V (Riwayat hidup Ibrāhīm Al-Maushili)).
Begitu juga Ja‘far bin Abī Thālib. Kata Imām Al-Ghazālī, dia pernah
melakukan hal yang sama (berjinjit) ketika mendengar sabda Rasūlullāh
s.a.w. :
"Engkau adalah orang yang paling mirip dengan corak dan tabiatku".
Tentang riwāyat Imām Bukhārī dan Imām Ahmad yang berkaitan dengan
menarinya orang-orang Habsyah di hadapan Rasūlullāh s.a.w., Al-Qādhī
‘Iyādh berkata: "Ini merupakan dalīl yang paling kuat tentang bolehnya
tarian sebab Rasūlullāh s.a.w. membiarkan mereka melakukannya, bahkan
mendorong mereka untuk melanjutkan tariannya."
Karena itulah menurut Abū Wafā Ibnul ‘Aqīl, menari merupakan cara
berjalan paling angkuh dan penuh dengan kesombongan. Kemudian Imam
Ibn-ul-Jauzi melanjutkan dengan mengomentari tarian orang sufi. Katanya,
dapatkah kita membayangkan suatu perbuatan keji yang dapat
menjatuhkan nilai akal dan kewibawaan bagi seseorang serta
menyebabkan ia terjatuh dari sifat kesopanan dan rendah hati, seperti
yang dilakukan oleh seorang (sufi yang ) berjanggot. Apalagi yang
melakukannya adalah kakek-kakek yang berjenggot, bertepuk tangan dan
mengikuti irama yang dinyanyikan para wanita dan anak-anak muda yang
belum tumbuh jenggotnya. Apakah layak bagi seseorang membanggakan
diri dengan menari seperti binatang dan menepuk dada seperti wanita
(sambil menari), yang sudah gaek dan hampir masuk liang kubur yang
nantinya akan diminta pertanggungjawabannya di Padang Mahsyar?
Telah cukup banyak jenis tarian yang ada di tengah masyarakat saat ini.
Ada tarian dari masyarakat primitif yang berbentuk tarian upacara ritual.
Tarian ini tetap dilestarikan keberadaannya.
Ada tarian modern (tradisional daerah, tari Minang, Tari piring, tari rantak)
yang ditarikan oleh masyarakat setempat pada berbagai upacara
perayaan atau ketika menyambut tamu luar negeri.
Biasanya tari-tarian ini tidak terlepas dari iringan musik dan nyanyian
khas serta ciptaan daerah tertentu.
Tarian rakyat itu akhirnya tidak terlepas dari promosi atau pengenalan
negeri tempat asalnya. Tujuannya adalah untuk menarik pengunjung
(wisatawan – mancanegara atau domestic) untuk atau yang sedang
berkunjung ke negeri-negeri tertentu.
Bahkan terkadang, tarian dari negara tertentu dapat kita temukan di
negeri lain karena perwakilan konsulat bidang kebudayaan negara
tersebut dangan senanghati menggelar pertunjukannya (seperti telah kita
lihat adanya tarian-tarian Fandago dari Spanyol, Polka dari Bohemia,
Czardas dari Hongaria, Jig dari Irlandia, atau Fling dari Skotlandia).
Tarian Barat juga banyak macamnya. Ada tari Balet yang merupakan
tarian drama tunggal yang diiringi musik. Tarian ini biasanya dilakukan
oleh sepasang manusia (lelaki-perempuan). Ini sama saja dengan dansa
Agogo, cha-cha-cha, twist, dan disko. Semua tarian ini sudah lazim
dilakukan oleh pasangan penari lelaki dan wanita. Lalu, bagaimana status
hukum syara‘ terhadap tari-tarian yang telah disebutkan di atas? Di
bawah ini akan di rinci pandangan syara‘ terhadap tarian sebagai berikut:
لَ تَقُوْمُ السّا َعةُ حَتّى تَأْ ُخذَ أُمّتِيْ بِأَ ْخذِ الْقُرُوْنِ قَْبَلهَا شِبْرًا بِشِبْرٍ وَ ِذرَاعًا
وَ َمنْ ِمنَ النّاسِ إِلّ أُولِئكَ؟:َيَا َرسُوْلَ الِ كَفَارِسَ وَ الرّوْمَ؟ فَقَال:َِب ِذرَاعٍ فَقِيْل
"Tidak akan terjadi kiamat sebelum umatku mengambil apa-apa yang
dilakukan oleh bangsa-bangsa terdahulu (abad-abad silam) sejengkal
demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sampai-sampai ketika mereka
masuk ke liang biawak, kalian pun mengikutinya." Para sahabat
bertanya: "Ya Rasūlullāh, apakah yang (engkau) maksudkan di sini
adalah (seperti) bangsa-bangsa Persia dan Romawi?" Rasūlullāh
menjawab: "Siapa lagi kalau bukan mereka." (HR. BUKHĀRĪ).
Dalam riwāyat lain disebutkan bahwa yang di ikuti oleh kaun Muslimīn
adalah (budaya) orang-orang Nasrānī dan Yahūdī.(Lihat SHAHĪH BUKHĀRĪ,
Hadīts No. 7320).
Ada dalīl lain yang mengharāmkan semua jenis tarian dari semua bangsa-
bangsa, yaitu (Lihat ‘Abd-ur-Ra’ūf Al-Manāwī, FAIDH-UL-QĀDIR, Hadīts No.
8593):
(ْ)مَنْ َتشَبّهَ بِ َقوْ ٍم َف ُهوَ مِْن ُهم
"Siapa saja yang menyerupai suatu kaum (dalam pola hidup dan adat
istiadat), maka ia (telah) tergolong ke dalam golongan mereka." (HR.
ABŪ DĀWŪD, THABRANĪ, dari Ibnu ‘Umar, dan Hudzaifah bin Al-Yaman).
Inilah larangan atau tegah menyerupai bangsa manapun dengan apa saja
secara mutlak, baik dalam urusan ‘aqīdah, ‘ibādah, nikāh, adat kebiasaan,
hidup bebas, dan sebagainya. Termasuk di sini hal-hal yang menyangkut
masalah tari-tarian.
atau:
(42 :)اُ ْركُضْ بِرِ ْجلِكَ) (ص
"Hentakkanlah kakimu...." (38:42).
Keprihatinan yang dalam akan kita rasakan, kalau kita melihat ulah generasi
muda Islam saat ini yang cenderung liar dalam bermain musik atau bernyanyi.
Mungkin mereka berkiblat kepada penyanyi atau kelompok musik terkenal yang
umumnya memang bermental bejat dan bobrok serta tidak berpegang dengan
nilai-nilai Islam. Atau mungkin juga, mereka cukup sulit atau jarang
mendapatkan teladan permainan musik dan nyanyian yang Islami di tengah
suasana hedonistik yang mendominasi kehidupan saat ini. Walhasil, generasi
muda Islam akhirnya cenderung membebek kepada para pemusik atau penyanyi
sekuler yang sering mereka saksikan atau dengar di TV, radio, kaset, VCD, dan
berbagai media lainnya.
Kondisi ini harus segera diakhiri dengan jalan mendobrak dan merobohkan
sistem kehidupan sekuler yang ada, lalu di atas reruntuhannya kita bangun
sistem kehidupan Islam, yaitu sebuah sistem kehidupan yang berasaskan semata
pada Aqidah Islamiyah sebagaimana dicontohkan Rasulullah Saw dan para
shahabatnya. Inilah solusi fundamental dan radikal terhadap kondisi kehidupan
yang sangat rusak dan buruk sekarang ini, sebagai akibat penerapan paham
sekulerisme yang kufur. Namun demikian, di tengah perjuangan kita
mewujudkan kembali masyarakat Islami tersebut, bukan berarti kita saat ini
tidak berbuat apa-apa dan hanya berpangku tangan menunggu perubahan.
Tidak demikian. Kita tetap wajib melakukan Islamisasi pada hal-hal yang dapat
kita jangkau dan dapat kita lakukan, seperti halnya bermain musik dan bernyanyi
sesuai ketentuan Islam dalam ruang lingkup kampus kita atau lingkungan kita.
Tulisan ini bertujuan menjelaskan secara ringkas hukum musik dan menyanyi
dalam pandangan fiqih Islam. Diharapkan, norma-norma Islami yang
disampaikan dalam makalah ini tidak hanya menjadi bahan perdebatan
akademis atau menjadi wacana semata, tetapi juga menjadi acuan dasar untuk
merumuskan bagaimana bermusik dan bernyanyi dalam perspektif Islam. Selain
itu, tentu saja perumusan tersebut diharapkan akan bermuara pada pengamalan
konkret di lapangan, berupa perilaku Islami yang nyata dalam aktivitas bermain
musik atau melantunkan lagu. Minimal di kampus atau lingkungan kita.
2. Definisi Seni
Karena bernyanyi dan bermain musik adalah bagian dari seni, maka kita akan
meninjau lebih dahulu definisi seni, sebagai proses pendahuluan untuk
memahami fakta (fahmul waqi’) yang menjadi objek penerapan hukum. Dalam
Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa seni adalah penjelmaan rasa indah yang
terkandung dalam jiwa manusia, yang dilahirkan dengan perantaraan alat
komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni
suara), indera pendengar (seni lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak
(seni tari, drama) (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam,
hal. 13).
Adapun seni musik (instrumental art) adalah seni yang berhubungan dengan
alat-alat musik dan irama yang keluar dari alat-alat musik tersebut. Seni musik
membahas antara lain cara memainkan instrumen musik, cara membuat not,
dan studi bermacam-macam aliran musik. Seni musik ini bentuknya dapat berdiri
sendiri sebagai seni instrumentalia (tanpa vokal) dan dapat juga disatukan
dengan seni vokal. Seni instrumentalia, seperti telah dijelaskan di muka, adalah
seni yang diperdengarkan melalui media alat-alat musik. Sedang seni vokal,
adalah seni yang diungkapkan dengan cara melagukan syair melalui perantaraan
oral (suara saja) tanpa iringan instrumen musik. Seni vokal tersebut dapat
digabungkan dengan alat-alat musik tunggal (gitar, biola, piano, dan lain-lain)
atau dengan alat-alat musik majemuk seperti band, orkes simfoni, karawitan,
dan sebagainya (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam,
hal. 13-14). Inilah sekilas penjelasan fakta seni musik dan seni vokal yang
menjadi topik pembahasan.
Di samping pembahasan ini, akan disajikan juga tinjauan fiqih Islam berupa
kaidah-kaidah atau patokan-patokan umum, agar aktivitas bermain musik dan
bernyanyi tidak tercampur dengan kemaksiatan atau keharaman.
Ada baiknya penulis sampaikan, bahwa hukum menyanyi dan bermain musik
bukan hukum yang disepakati oleh para fuqaha, melainkan hukum yang
termasuk dalam masalah khilafiyah. Jadi para ulama mempunyai pendapat
berbeda-beda dalam masalah ini (Syaikh Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘Ala
al-Madzahib al-Arba’ah, hal. 41-42; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash
wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 96; Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan
Islam, hal. 21-25; Toha Yahya Omar, Hukum Seni Musik, Seni Suara, Dan Seni Tari
Dalam Islam, hal. 3). Karena itu, boleh jadi pendirian penulis dalam tulisan ini
akan berbeda dengan pendapat sebagian fuqaha atau ulama lainnya. Pendapat-
pendapat Islami seputar musik dan menyanyi yang berbeda dengan pendapat
penulis, tetap penulis hormati.
“Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak
berguna (lahwal hadits) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa
pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu ejekan. Mereka itu akan
memperoleh adzab yang menghinakan.” (Qs. Luqmân [31]: 6)
Beberapa ulama menafsirkan maksud lahwal hadits ini sebagai nyanyian, musik
atau lagu, di antaranya al-Hasan, al-Qurthubi, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud.
Ayat-ayat lain yang dijadikan dalil pengharaman nyanyian adalah Qs. an-Najm
[53]: 59-61; dan Qs. al-Isrâ’ [17]: 64 (Abi Bakar Jabir al-Jazairi, Haramkah Musik
Dan Lagu? (al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram), hal. 20-22).
“Nyanyian itu bisa menimbulkan nifaq, seperti air menumbuhkan kembang.” [HR.
Ibnu Abi Dunya dan al-Baihaqi, hadits mauquf].
“Orang yang bernyanyi, maka Allah SWT mengutus padanya dua syaitan yang
menunggangi dua pundaknya dan memukul-mukul tumitnya pada dada si
penyanyi sampai dia berhenti.” [HR. Ibnu Abid Dunya.].
f. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Auf ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya aku dilarang dari suara yang hina dan sesat, yaitu: 1. Alunan
suara nyanyian yang melalaikan dengan iringan seruling syaitan (mazamirus
syaithan). 2. Ratapan seorang ketika mendapat musibah sehingga menampar
wajahnya sendiri dan merobek pakaiannya dengan ratapan syetan (rannatus
syaithan).”
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik
yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas,
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-
Mâ’idah [5]: 87).
Aku berjalan bersama Abdullah Bin Umar ra. Dalam perjalanan kami mendengar
suara seruling, maka dia menutup telinganya dengan telunjuknya terus berjalan
sambil berkata; “Hai Nafi, masihkah kau dengar suara itu?” sampai aku
menjawab tidak. Kemudian dia lepaskan jarinya dan berkata; “Demikianlah yang
dilakukan Rasulullah Saw.” [HR. Ibnu Abid Dunya dan al-Baihaqi].
Nabi Saw mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di atas dipan
seperti dudukmu denganku, lalu mulailah beberapa orang hamba perempuan
kami memukul gendang dan mereka menyanyi dengan memuji orang yang mati
syahid pada perang Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berkata: “Di
antara kita ada Nabi Saw yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.”
Maka Nabi Saw bersabda:
“Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.” [HR.
Bukhari, dalam Fâth al-Bârî, juz. III, hal. 113, dari Aisyah ra].
d. Dari Aisyah ra; dia pernah menikahkan seorang wanita kepada pemuda
Anshar. Tiba-tiba Rasulullah Saw bersabda:
“Mengapa tidak kalian adakan permainan karena orang Anshar itu suka pada
permainan.” [HR. Bukhari].
“Aku pernah bersyi’ir di masjid dan di sana ada orang yang lebih mulia
daripadamu (yaitu Rasulullah Saw)” [HR. Muslim, juz II, hal. 485].
C. Pandangan Penulis
Imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa tidak dibenarkan dari Nabi Saw ada dua
hadits shahih yang saling bertentangan, di mana salah satunya menafikan apa
yang ditetapkan yang lainnya, kecuali dua hadits ini dapat dipahami salah
satunya berupa hukum khusus sedang lainnya hukum umum, atau salah satunya
global (ijmal) sedang lainnya adalah penjelasan (tafsir). Pertentangan hanya
terjadi jika terjadi nasakh (penghapusan hukum), meskipun mujtahid belum
menjumpai nasakh itu (Imam asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul Ila Tahqiq al-Haq min
‘Ilm al-Ushul, hal. 275).
Karena itu, jika ada dua kelompok dalil hadits yang nampak bertentangan, maka
sikap yang lebih tepat adalah melakukan kompromi (jama’) di antara keduanya,
bukan menolak salah satunya. Jadi kedua dalil yang nampak bertentangan itu
semuanya diamalkan dan diberi pengertian yang memungkinkan sesuai
proporsinya. Itu lebih baik daripada melakukan tarjih, yakni menguatkan salah
satunya dengan menolak yang lainnya. Dalam hal ini Syaikh Dr. Muhammad
Husain Abdullah menetapkan kaidah ushul fiqih:
Prinsip yang demikian itu dikarenakan pada dasarnya suatu dalil itu adalah untuk
diamalkan, bukan untuk ditanggalkan (tak diamalkan). Syaikh Taqiyuddin an-
Nabhani menyatakan:
Al-ashlu fi ad-dalil al-i’mal lâ al-ihmal “Pada dasarnya dalil itu adalah untuk
diamalkan, bukan untuk ditanggalkan.” (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-
Syakhshiyah al-Islamiyah, juz 1, hal. 239).
Atas dasar itu, kedua dalil yang seolah bertentangan di atas dapat dipahami
sebagai berikut : bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan hukum umum
nyanyian. Sedang dalil yang membolehkan, menunjukkan hukum khusus, atau
perkecualian (takhsis), yaitu bolehnya nyanyian pada tempat, kondisi, atau
peristiwa tertentu yang dibolehkan syara’, seperti pada hari raya. Atau dapat
pula dipahami bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan keharaman
nyanyian secara mutlak. Sedang dalil yang menghalalkan, menunjukkan
bolehnya nyanyian secara muqayyad (ada batasan atau kriterianya) (Dr.
Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 63-64; Syaikh
Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 102-103).
Dari sini kita dapat memahami bahwa nyanyian ada yang diharamkan, dan ada
yang dihalalkan. Nyanyian haram didasarkan pada dalil-dalil yang
mengharamkan nyanyian, yaitu nyanyian yang disertai dengan kemaksiatan
atau kemunkaran, baik berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi’il), atau sarana
(asy-yâ’), misalnya disertai khamr, zina, penampakan aurat, ikhtilath (campur
baur pria–wanita), atau syairnya yang bertentangan dengan syara’, misalnya
mengajak pacaran, mendukung pergaulan bebas, mempropagandakan
sekularisme, liberalisme, nasionalisme, dan sebagainya. Nyanyian halal
didasarkan pada dalil-dalil yang menghalalkan, yaitu nyanyian yang kriterianya
adalah bersih dari unsur kemaksiatan atau kemunkaran. Misalnya nyanyian yang
syairnya memuji sifat-sifat Allah SWT, mendorong orang meneladani Rasul,
mengajak taubat dari judi, mengajak menuntut ilmu, menceritakan keindahan
alam semesta, dan semisalnya (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam
Pandangan Islam, hal. 64-65; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa
Ikhtilaf an-Nas, hal. 103).
Maka dari itu, melihat —sebagai perbuatan jibiliyyah— hukum asalnya adalah
boleh (ibahah). Jadi, melihat apa saja adalah boleh, apakah melihat gunung,
pohon, batu, kerikil, mobil, dan seterusnya. Masing-masing ini tidak memerlukan
dalil khusus untuk membolehkannya, sebab melihat itu sendiri adalah boleh
menurut syara’. Hanya saja jika ada dalil khusus yang mengaramkan melihat
sesuatu, misalnya melihat aurat wanita, maka pada saat itu melihat hukumnya
haram.
“Maka janganlah kamu duduk bersama mereka hingga mereka beralih pada
pembicaraan yang lainnya.” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 140).
“…Maka janganlah kamu duduk bersama kaum yang zhalim setelah (mereka)
diberi peringatan.” (Qs. al-An’âm [6]: 6 .
Bagaimanakah hukum memainkan alat musik, seperti gitar, piano, rebana, dan
sebagainya? Jawabannya adalah, secara tekstual (nash), ada satu jenis alat
musik yang dengan jelas diterangkan kebolehannya dalam hadits, yaitu ad-duff
atau al-ghirbal, atau rebana. Sabda Nabi Saw:
Adapun selain alat musik ad-duff / al-ghirbal, maka ulama berbeda pendapat.
Ada yang mengharamkan dan ada pula yang menghalalkan. Dalam hal ini
penulis cenderung kepada pendapat Syaikh Nashiruddin al-Albani. Menurut
Syaikh Nashiruddin al-Albani hadits-hadits yang mengharamkan alat-alat musik
seperti seruling, gendang, dan sejenisnya, seluruhnya dha’if. Memang ada
beberapa ahli hadits yang memandang shahih, seperti Ibnu Shalah dalam
Muqaddimah ‘Ulumul Hadits, Imam an-Nawawi dalam Al-Irsyad, Imam Ibnu Katsir
dalam Ikhtishar ‘Ulumul Hadits, Imam Ibnu Hajar dalam Taghliqul Ta’liq, as-
Sakhawy dalam Fathul Mugits, ash-Shan’ani dalam Tanqihul Afkar dan Taudlihul
Afkar juga Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qayyim dan masih
banyak lagi. Akan tetapi Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam kitabnya Dha’if al-
Adab al-Mufrad setuju dengan pendapat Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla bahwa
hadits yang mengharamkan alat-alat musik adalah Munqathi’ (Syaikh
Nashiruddin Al-Albani, Dha’if al-Adab al-Mufrad, hal. 14-16).
Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla, juz VI, hal. 59 mengatakan:
“Jika belum ada perincian dari Allah SWT maupun Rasul-Nya tentang sesuatu
yang kita perbincangkan di sini [dalam hal ini adalah nyanyian dan memainkan
alat-alat musik], maka telah terbukti bahwa ia halal atau boleh secara mutlak.”
(Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 57).
Kesimpulannya, memainkan alat musik apa pun, adalah mubah. Inilah hukum
dasarnya. Kecuali jika ada dalil tertentu yang mengharamkan, maka pada saat
itu suatu alat musik tertentu adalah haram. Jika tidak ada dalil yang
mengharamkan, kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah.
Pada dasarnya mendengarkan musik (atau dapat juga digabung dengan vokal)
secara langsung, seperti show di panggung pertunjukkan, di GOR, lapangan, dan
semisalnya, hukumnya sama dengan mendengarkan nyanyian secara interaktif.
Patokannya adalah tergantung ada tidaknya unsur kemaksiatan atau
kemungkaran dalam pelaksanaannya.
Menurut Dr. Abdurrahman al-Baghdadi (Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 74-76)
dan Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki (Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 107-
108) hukum mendengarkan musik melalui media TV, radio, dan semisalnya,
tidak sama dengan hukum mendengarkan musik secara langsung sepereti show
di panggung pertunjukkan. Hukum asalnya adalah mubah (ibahah), bagaimana
pun juga bentuk musik atau nyanyian yang ada dalam media tersebut.
Al-wasilah ila al-haram haram “Segala sesuatu perantaraan kepada yang haram,
hukumnya haram juga.” (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur,
hal. 86).
1. Musisi/Penyanyi.
1). Musisi/Penyanyi
b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar (meniru orang kafir dalam masalah yang
bersangkutpaut dengan sifat khas kekufurannya) baik dalam penampilan
maupun dalam berpakaian. Misalnya, mengenakan kalung salib, berpakaian ala
pastor atau bhiksu, dan sejenisnya.
b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar dengan alat musik atau bunyi instrumen
yang biasa dijadikan sarana upacara non muslim.
Dalam hal ini, instrumen yang digunakan sangat relatif tergantung maksud si
pemakainya. Dan perlu diingat, hukum asal alat musik adalah mubah, kecuali
ada dalil yang mengharamkannya.
3). Sya’ir
Berisi:
e) Hal-hal mubah yang tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.
Tidak berisi:
a) Amar munkar (mengajak pacaran, dan sebagainya) dan nahi ma’ruf (mencela
jilbab,dsb).
d) Ungkapan yang tercela menurut syara’ (porno, tak tahu malu, dan
sebagainya).
c) Tidak mengganggu orang lain (baik dari segi waktu maupun tempat).
d) Pria dan wanita wajib ditempatkan terpisah (infishal) tidak boleh ikhtilat
(campur baur).
5. Penutup
Semua ini mudah-mudahan dapat menjadi kontribusi —walau pun cuma secuil—
dalam upaya melepaskan diri dari masyarakat sekuler yang bobrok, yang
menjadi pendahuluan untuk membangun peradaban dan masyarakat Islam yang
kita idam-idamkan bersama, yaitu masyarakat Islam di bawah naungan Laa
ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah. Amin. [M. Shiddiq al-Jawi]
Daftar Bacaan
* Al-Jazairi, Abi Bakar Jabir. 1992. Haramkah Musik dan Lagu ? (Al-I’lam bi Anna
Al-‘Azif wa Al-Ghina Haram). Alih Bahasa oleh Awfal Ahdi. Cetakan I. (Jakarta :
Wala` Press).
* Al-Jaziri, Abdurrahman. 1999. Kitab Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah. Juz II.
Qism Al-Mu’amalat. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr).
* Asy-Syaukani. Tanpa Tahun. Irsyadul Fuhul Ila Tahqiq Al-Haq min ‘Ilm Al-
Ushul.(Beirut : Darul Fikr).
* Omar, Toha Yahya. 1983. Hukum Seni Musik, Seni Suara, dan Seni Tari Dalam
Islam. Cetakan II. (Jakarta : Penerbit Widjaya).