You are on page 1of 30

Mukaddimah

Masyarakat kaum Muslimīn dewasa ini umumnya menghadapi kesenian


sebagai suatu masalah hingga timbul berbagai pertanyaan, bagaimana
hukum tentang bidang yang satu ini, boleh, makrūh atau harām? Di
samping itu dalam praktek kehidupan sehari-hari, sadar atau tidak,
mereka juga telah terlibat dengan masalah seni. Bahkan sekarang ini
bidang tersebut telah menjadi bagian dari gaya hidup mereka dan bukan
hanya bagi yang berdomisilli (bertempat kediaman tetap; bertempat
kediaman resmi) di kota. Umat kita yang berada di desa dan di kampung
pun telah terasuki.(penetrate, possess).

Media elektronika seperti radio, radiokaset, televisi, dan video telah


menyerbu pedesaan. Media ini telah lama mempengaruhi kehidupan
anak-anak mudanya. Kehidupan di kota bahkan lebih buruk lagi. Tempat-
tempat hiburan (ma‘shiat) seperti "night club", bioskop dan panggung
pertunjukkan jumlahnya sangat banyak dan telah mewarnai kehidupan
pemuda-pemudanya.

Sering kita melihat anak-anak muda berkumpul di rumah teman-


temannya. Mereka mencari kesenangan dengan bernyanyi, menari
bersama sambil berjoget tanpa mempedulikan lagi hukum halāl-harām.
Banyak di antara mereka yang berpikir bahwa hidup itu hanya untuk
bersenang-senang, jatuh cinta, pacaran, dan lain-lain.

Semua keadaan yang kami tuturkan di atas terjadi dan berawal dari
kejatuhan seni budaya dan peradaban Islam. Kita dapat menyaksikan
sendiri, seni dan budaya kita telah digantikan dan tergeser (shifted,
moved, removed) oleh seni budaya dan peradaban produk Barat yang
nota-benenya (perhatiannya) menekankan kehidupan yang bebas tanpa
ikatan agama apapun.

Cabang seni yang paling dipermasalahkan adalah nyanyian, musik dan


tarian. Ketiga bidang itu telah menjadi bagian yang penting dalam
kehidupan modern sekarang ini karena semua cabang seni ini dirasakan
langsung telah merusak akhlaq dan nilai-nilai keislāman.

Adanya dampak negatif dari bidang kesenian menyebabkan banyak orang


bertanya-tanya, khususnya dari kalangan pemuda yang masih memiliki
ghirah (cemburu terhadap musuh agama) Islam. Mereka bertanya:
bagaimana pandangan Islam terhadap seni budaya? Bolehkah kita
bermain gitar, piano, organ, drum band, seruling, bermain musik blues,
klasik, keroncong (popular Indineisan music originating from Portuguese
songs), musik lembut, musik rock, dan lain-lain? Bagaimana pula dengan
lirik lagu bernada asmara, porno, perjuangan, qashīdah, kritik sosial, dan
sejenisnya? Di samping itu, bagaimana pandangan hukum Islam dalam
seni tari. Apakah tarian Barat seperti Twist, Togo, Soul, Disko dan
sebagainya? Kalau tidak boleh dengan tarian Barat, bagaimana dengan
tari tradisional? Juga, bolehkan wanita atau lelaki menari di kalangan
mereka masing-masing?

Dalam buku ini akan dipaparkan pembahasan semua permasalahan para


fuqahā’, khususnya dari kalangan empat madzhab. Harapan penulis
semoga karya ini dapat menutupi kekurangan buku-buku bacaan tentang
hukum di bidang seni. Dengan segala kerendahan hati, penulis senantiasa
menghargai setiap kritik dan saran dari semua pihak demi
menyempurnakan risālah kecil ini.

Seni Musik dan Tari pada Bangsa Arab

Pada umumnya orang ‘Arab berbakat musik sehingga seni suara telah
menjadi suatu keharusan bagi mereka semenjak zamān jāhilliyah. Di Hijāz
kita dapati orang menggunakan musik mensural yang mereka namakan
dengan IQA (irama yang berasal dari semacam gendang, berbentuk
rithm). Mereka menggunakan berbagai intrusmen (alat musik), antara lain
seruling, rebana, gambus, tambur, dan lain-lain.

Setelah bangsa ‘Arab masuk Islam, bakat musiknya berkembang dengan


mendapat jiwa dan semangat baru. Pada masa Rasūlullāh, ketika Hijāz
menjadi pusat politik, perkembangan musik tidak menjadi berkurang.

Dalam buku-buku Hadīts terdapat nash-nash yang membolehkan


seseorang menyanyi, menari, dan memainkan alat-alat musik. Tetapi
kebolehan itu disebutkan pada nash-nash tersebut hanya ada pada acara
pesta-pesta perkawinan, khitanan, dan ketika menyambut tamu yang
baru datang atau memuji-muji orang yang mati syahīd dalam peperangan,
atau pula menyambut kedatangan hari raya dan yang sejenisnya.

Dalam tulisan ini kami kutipkan beberapa riwāyat saja, antara lain riwāyat
Bukhārī dan Muslim dari ‘Ā’isyah r.a. ia berkata (Lihat SHAHĪH BUKHĀRĪ,
Hadīts No. 949, 925. Lihat juga SHAHĪH MUSLIM, Hadīts No. 829 dengan
tambahan lafazh:((ِ‫ستَا ُمغَ ّن َيتَيْن‬
َ ْ‫"وَ َلي‬Kedua-duanya (perempuan itu) bukanlah
penyannyi"):

"Pada suatu hari Rasūlullāh masuk ke tempatku. Di sampingku ada dua


gadis perempuan budak yang sedang mendendangkan nyanyian (tentang
hari) Bu‘ats (Bu‘ats adalah nama salah satu benteng untuk Al-AWS yang
jaraknya kira-kira dua hari perjalanan dari Madīnah. Di sana pernah terjadi
perang dahsyat antara kabilah Aus dan Khazraj tepat 3 tahun sebelum
hijrah).(di dalam riwāyat Muslim ditambah dengan menggunakan rebana).
(Kulihat) Rasūlullāh s.a.w. berbaring tetapi dengan memalingkan
mukanya. Pada sā‘at itulah Abū Bakar masuk dan ia marah kepada saya.
Katanya: "Di tempat Nabi ada seruling setan?" Mendengar seruan itu,
Nabi lalu menghadapkan mukanya kepada Abū Bakar seraya bersabda:
"Biarkanlah keduanya, hai Abū Bakar!". Tatkala Abū Bakar tidak
memperhatikan lagi maka saya suruh kedua budak perempuan itu keluar.
Waktu itu adalah hari raya di mana orang-orang Sudan sedang (menari
dengan) memainkan alat-alat penangkis dan senjata perangnya (di dalam
masjid)....."

Dalam riwāyat lain Imām Bukhārī menambahkan lafazh (Lihat SHAHĪH


BUKHĀRĪ, Hadīts No. 509, 511):

‫ع ْيدًا َو هذَا عِيْدُنَا‬


ِ ٍ‫ل قَوْم‬
ّ ُ‫يَا َأبَا َبكْرٍ إِنّ ِلك‬

"Wahai Abū Bakar, sesungguhnya tiap bangsa punya hari raya. Sekarang
ini adalah hari raya kita (umat Islam)."

Hadīts Imām Ahmad dan Bukhārī dari ‘Ā’isyah r.a. (Lihat SHAHĪH BUKHĀRĪ
Hadīts No. 5162, TARTĪB MUSNAD IMĀM AHMAD, Jilid XVI, hlm. 213. Lihat
juga: Asy-Syaukānī, NAIL-UL-AUTHĀR Jilid VI, hlm. 187):

ُ‫ج ُبهُم‬
ِ ْ‫لنْصَا َر ُيع‬
َ ‫ن َمعَكُ ْم مِنْ َلهْ ٍو َفإِنّ ا‬
َ ‫لنْصَا ِر فَقَالَ ال ّنبِيّ (صلعَْمْ (يَا عَائِشَ ُة مَا كَا‬
َ ‫ل مِنَ ا‬
ٍ ُ‫ت امْرََأةً إِلى رَج‬
ِ ّ‫َأّنهَا َزف‬
ُ‫الّلهْو‬

"Bahwa dia pernah mengawinkan seorang wanita dengan seorang laki-laki


dari kalangan Anshār. Maka Nabi s.a.w. bersabda: "Hai ‘Ā’'isyah, tidak
adakah padamu hiburan (nyanyian) karena sesungguhnya orang-orang
Anshār senang dengan hiburan (nyanyian)."

Juga ada lafaz Hadīts riwāyat Imām Ahamd berbunyi (Lihat Asy-Syaukānī,
ibidem jilid VI, hlm. 187):

ٌ‫لنْصَا َر قَ ْو ٌم فِيْهِمْ َهزْل‬


َ ‫حيّيْكُ ْم فَإِنّ ا‬
َ ُ‫حيّوْنَا ن‬
َ َ‫ َأ َت ْينَاكُ ْم ف‬:ُ‫ن ُي َغنّيْهِمْ َو يَقُوْل‬
ْ َ‫َل ْو بَ َع ْثتُ ْم َمعَهَا م‬

"Bagaimana kalau diikuti pengantin itu oleh (oran-orang) wanita untuk


bernayanyi sambil berkata dengan senada: "Kami datang kepadamu.
Hormatilah kami dan kami pun menghormati kamu. Sebab kaum Anshār
senang menyanyikan (lagu) tentang wanita."

‘Abd-ul-Hayy Al-Kaththānī (Lihat ‘Abd-ul-Hayy Al-Kaththāīi, AT-TARĀTIB-UL-


IDĀRIYYAH, Jilid II, hlm. 121-126). mencatat nama-nama penyanyi wanita
di masa Rasūlullāh. Mereka ini suka menyanyi di ruang tertutup (rumah)
kalangan wanita saja pada pesta perkawinan dan sebagainya. Di
antaranya bernama Hammah (Lihat juga Ibnu Al-Asqalany, AN-NISĀ’,
AL-'ASHĀBAH FĪ TAMYĪZ ASH-SHAHĀBAH, Jilid IV, hlm. 274 dan 275) dan
Arnab (Lihat Ibnu Hajar Al-Asqalany, ibidem, hlm. 226).

Kaum lelaki masa Rasulullah dan sesudahnya suka memanggil penyanyi


budak (jawārī) ke rumah mereka jika ada pesta pernikahan. Buktinya Amir
bin Sa‘ad (seorang dari Tābi‘īn) pernah meriwayatkan tentang apa yang
terjadi dalam suatu pesta pernikahan. Ia berkata (Lihat SUNAN AN-NASĀ’I,
Jilid VI, hlm. 135):
ِ‫حبَا َرسُوْلِ ال‬ ِ ‫ َأ ْن ُتمَا صَا‬:ُ‫ن َفقُلْت‬
َ ْ‫ي فِيْ عُرْسٍ وَ ِإذَا جَوَارِيْ ُيغَنّي‬ ّ ِ‫لنْصَار‬َ ‫سعُوْدٍ ا‬
ْ َ‫دَخَ ْلتُ عَلى قُ َرظَ َة بْنِ َكعْبٍ وَ َأبِيْ م‬
َ‫ع ْند‬
ِ ِ‫ب َقدْ ُرخّصَ َلنَا فِي الّلهْو‬ ْ َ‫ت اذْه‬ َ ْ‫شئ‬
ِ ْ‫سمَعْ َم َعنَا وَ إِن‬
ْ ‫ت فَا‬
َ ْ‫شئ‬
ِ ْ‫ ِاجْلِسْ إِن‬:َ‫ع ْندَكُ ْم َفقَال‬
ِ ‫ل هذَا‬
ُ َ‫ل بَدْ ٍر يُ ْفع‬
ِ ‫(صلعَْمْ) َو مِنْ أَ ْه‬
ِ‫ا ْلعُ ْرس‬

"Saya masuk ke rumah Qurazhah bin Ka‘ab dan Abū Mas‘ūd Al-Anshārī.
Ketika itu sedang berlangsung pesta perkawinan. Tiba-tiba beberapa
perempuan budak (jawārī) mulai menyanyi-nyanyi. Maka saya bertanya:
:Kalian berdua adalah sahabat Rasūlullāh s.a.w. dan pejuang di perang
Badar. Kenapa hal yang begini kalian lakukan pula? Quraizhah menjawāb:
"Duduklah, kalau engkau mau. Mari kita dengar bersama. Kalau tidak,
silakan pergi. Sesungguhnya telah diperbolehkan bagi kita untuk
mengadakan hiburan (nyanyian) apabila ada pesta perkawinan." (H.R. An-
Nasai, lihat Bab Hiburan dan Nyanyian Pada Pesta Pernikahan).

Imām An-Nasā’i meriwayatkan dalam bāb Mengumumkan Pernikahan


Dengan Suara (Nyanyian) dan Rebana yang diriwayatkannya dari M. bin
Hathib bahwa Nabi s.a.w. bersabda (Lihat SUNAN AN-NASĀ’I, Jilid VI, hlm.
127):

ِ‫ت فِي ال ّنكَاح‬


ُ ْ‫ الدّفّ وَ الصّو‬:ِ‫ل مَا َبيْنَ الْحَلَلِ وَ الْحَرَام‬
ُ ْ‫َفص‬

"Tanda pemisah (pembeda) antara yang halāl dengan yang harām (dalam
suatu pernikahan) adalah (mengumumkanmua dengan) memainkan
rebana dan menyanyi."

1. KEHIDUPAN MASYARAKAT ISLAM PADA MASA RASŪLULLĀH S.A.W.

Walaupun demikian perlu juga diperhatikan, kehidupan masyarakat Islam


di masa Rasūlullāh s.a.w. ditandai oleh dua karakteristik, yaitu (1).
sederhana; (2). banyak berbuat untuk jihād fī sabīlillāh.

Membela Islam dan meluaskannya menghendaki seluruh pemikiran dan


usaha sehingga tidak ada sisa waktu lagi untuk bersenang-senang
menciptakan bentuk-bentuk keindahan (seni musik, lagu) apalagi
menikmatinya. Orang-orang Islam dengan lagu dan musik. Ini
membuktikan bahwa masyarakat Islam di masa Rasūlullāh bukan tanah
yang subur untuk kesenian. Tetapi ketika wilayah Islam meluas, kaum
Muslimīn berbaur dengan berbagai bangsa yang masing-masing
mempunyai kebudayaan dan kesenian sehingga terbukalah mata mereka
kepada kesenian suara baru dengan mengambil musik-musik Persia dan
Romawi.

2. PENGARANG TEORI MUSIK DARI KALANGAN KAUM MUSLIMĪN.

Pada waktu itu muncullah seorang ahli musik bernama Ibnu Misjah
(wafat tahun 705 M.). Setelah itu kaum Muslimin banyak yang
mempelajari buku-buku musik yang diterjemahkan dari bahasa Yunani dan
Hindia. Mereka mengarang kitab-kitab musik baru dengan mengadakan
penambahan, penyempurnaan, dan pembaharuan, baik dari segi alat-alat
instrumen maupun dengan sistem dan teknisnya.

Di antara pengarang teori musik Islam yang terkenal ialah:

1. Yunus bin Sulaimān Al-Khatīb (wafat tahun 785 M.). Beliau adalah
pengarang musik pertama dalam Islam. Kitāb-kitāb karangannya dalam
musik sangat bernilai tinggi sehingga penggarang-penggarang teori musik
Eropa banyak yang merujuk ke ahli musik ini.

2. Khalīl bin Ahmad (wafat tahun 791 M.). Beliau telah mengarang buku
teori musik mengenai not dan irama.

3. Ishāk bin Ibrāhīm Al-Mausully (wafat tahun 850 M.) telah berhasil
memperbaiki musik ‘Arab jāhilliyah dengan sistem baru. Buku musiknya
yang terkenal adalah KITĀB-UL-ALHAN WAL-ANGHĀM (Buku Not dan
Irama). Beliau sangat terkenal dalam musik sehingga mendapat julukan
IMĀM-UL-MUGHANNIYĪN (Raja Penyanyi).

3. PENDIDIKAN MUSIK DI NEGERI-NEGERI ISLAM.

Selain dari penyusunan kitāb musik yang dicurahkan pada akhir masa
Daulah Umayyah. Pada masa itu para khalīfah dan para pejabat lainnya
memberikan perhatian yang sangat besar dalam pengembangan
pendidikan musik. (Lihat Prof. A.Hasmy, Sejarah kebudayaan Islam, hlm.
320-321).

Banyak sekolah musik didirikan oleh negara Islam di berbagai kota dan
daerah, baik sekolah tingkat menengah maupun sekolah tingkat tinggi.
Sekolah musik yang paling sempurna dan teratur adalah yang didirikan
oleh Sa‘id ‘Abd-ul-Mu’mīn (wafat tahun 1294 M.).

Salah satu sebab mengapa dalam Daulah ‘Abbāsiyyah didirikan banyak


sekolah musik adalah karena keahlian menyanyi dan bermusik menjadi
salah satu syarat bagi pelayan (budak), pengasuh, dayang-dayang di
istana dan di rumah pejabat negara atau pun di rumah para hartawan
untuk mendapatkan pekerjaan. Karena itu telah menjadi suatu keharusan
bagi para pemuda dan pemudi untuk mempelajari musik. (Lihat Prof. A.
Hasjmy , ibidem, hlm. 322).

Di antara pelayan (jawārī) atau biduan dan biduanita yang menjadi


penyannyi di istana negara tercatat nama-namanya sebagai berikut (Lihat
Prof. A. Hasjmy, ibidem, hlm. 324-326):

Yang menjadi biduan antara lain: 1. Ma‘bad, 2. Al-Kharīd, 3. Dua


bersaudara Hakam dan ‘Umar Al-Wady, 4. Fulaih bin Abī ‘Aurā, 5. Siyāth,
6. Nasyīth, 7. Ibrāhīm al-Mausully dan puteranya Ishāk al-Mausully.
Adapun biduanitanya anatara lain: 1. Neam (biduanita istana Khalīfah
Makmun), 2. Bazel dan Zat-ul-Khal (biduanita istana di masa Khalīfah
Hārūn Ar-Rasyīd), 3. Basbas (biduanita istana di masa Khalīfah Al-Mahdi),
4. Habhabah (biduanita kesenangan Khalīfah Yazīd I), dan 5. Sallamah
(biduanita istana Khlīfah Yazīd II).

HALAL ATAU HARAM NYANYIAN DAN MEMAINKAN ALAT MUSIK?

Nyanyian yang bersifat vokal (suara manusia tanpa instrumen musik)


tidak diperselisihkan oleh para fuqaha. Mereka mengatakan bahwa
nyanyian semacam ini halal atau dibolehkan, sebagaimana yang dikutip
oleh Imam Asy-Syaukani dari berbagai kalangan ulama (Lihat Asy-
Syaukani , NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VIII,hlm. 114-115):

"Nyanyian tanpa instrumen musik, Al-Adhfawi dalam kitabnya AL-IMTA


menyebutkan bahwa Imam Al-Ghazali dalam berbagai karangan fiqihnya
menegaskan kesepakatan ulama tentang halalnya nyanyian jenis ini.
Begitu juga Ibnu Thahir berpendapat ada ijma' sahabat dan tabi'in tentang
halalnya nyanyian vokal ini. At-Taj-ul-Fazari dan Ibnu Qutaibah
menyebutkan adanya ijma' penduduk Mekah dan Madinah. Ibnu Thahir
dan Ibnu Qutaibah juga menyebutkan adanya ijma' penduduk Madinah
dalam hal tersebut. Sedangkan Imam Al-Mawardi mengatakan bahwa
penduduk Hijaz sejak dulu sampai sekarang (abad 5 H) membolehkan
nyanyian jenis ini pada hari-hari yang mulia dalam setahun yang (kaum
Muslimin) diperintahkan untuk melakukan nazam-nazam zikir dan ibadah."

Imam An-Nawawi dalam kitabnya Al-Umdah berkata:

"Telah diriwayatkan tentang halalnya nyanyian dan mendengarkannya


dari sekelompok sahabat dan tabi'in, di antaranya adalah Imam yang
empat, Ibnu "Uyainah, dan jumhur Syafi'yah."

Ini mengenai nyanyian vokal tanpa instrumen musik. Adapun nyanyian


yang disertai dengan alat musik maka ulama yang menghalalkannya
mengatakan bahwa semua Hadits yang membahas masalah ini nilainya
tidak sampai ke tingkat shahih maupun hasan. Inilah yang dikatakan oleh
Al-Qadhi Abu Bakar Ibn-ul-'Arabi (Lihat Abu Bakar Ibn-ul-'Arabi, AHKAM-UL-
QURAN, Jilid III, hlm. 1053-1054):

"Tidak terdapat satu dalil pun di dalam Al-Quran maupun Sunnah Rasul
yang mengharamkan nyanyian. Bahkan ada Hadits yang menunjukkan
bolehnya nyanyian. Hadits shahih itu mengatakan bahwa Abu Bakar
pernah masuk ke tempat Aisyah yang disampingnya ada dua jariyah
penyanyi dari kalangan Anshar yang sedang menyanyikan tentang hari
Bu'ats. Kemudian Abu Bakar berkata: "Di rumah Nabi s.a.w. ada seruling
syaitan?" Mendengar perkataan itu, Rasulullah s.a.w. bersabda:

"Biarkanlah keduanya, wahai Abu Bakar, sebab sesungguhnya hari ini


adalah hari raya."
Ibn-ul-'Arabi berkata: "Jika nyanyian itu haram, tentu di rumah Rasulullah
s.a.w. tidak akan ada sama sekali hal tersebut. Tetapi alasan yang
diberikan beliau (Nabi s.a.w.) untuk membolehkannya adalah karena
nyanyian itu dilakukan pada hari raya, yang hal tersebut menunjukkan
bahwa bila nyanyian itu dilakukan secara terus-menerus, maka hukumnya
makruh. Sedangkan rukhshah (keringanan) untuk melakukannya terbatas
pada saat-saat tertentu seperti hari raya, perkawinan, pulangnya
seseorang kekampung halamannya, dan sebagainya. Berkumpulnya
orang-orang (dalam acara tersebut) biasanya untuk menyenangkan hati
orang-orang yang sejak lama tidak bertemu atau berkumpul, baik
berkumpulnya kalangan kaum wanita maupun pria. Jadi, setiap Hadits
yang diriwayatkan maupun ayat dipergunakan untuk menunjukkan
keharaman nyanyian merupakan pendapat yang bathil atau tidak benar
dari segi sanad dan ijtihad, baik bertolak dari nash maupun suatu
takwilan."

Imam Ibnu Hazm juga memberikan komentar yang melemahkan semua


Hadits riwayat tentang nyanyian. Bahkan menurut beliau, sebagian di
antaranya adalah maudhu' (palsu). Inilah komentarnya. (Lihat Ibnu Hazm,
AL-MUHALLA, Jilid VI, hlm. 59):

"Jika belum ada perincian dari Allah s.w.t. maupun RasulNya tentang
haramnya sesuatu yang kita bincangkan di sini (dalam hal ini adalah
nyanyian dan menggunakan alat-alat musik), maka telah terbukti bahwa
ia adalah halal atau boleh secara mutlak."

Adapun orang yang bertolak dari pendapat Ibnu Mas'ud dan Ibnu 'Abbas
tentang firman Allah s.w.t. surat Luqman, ayat 6 tentang arti Lahw-ul-
hadits dalam ayat tersebut adalah 'nyanyian". Begitu juga pendapat Ibnu
'Abbas yang mengatakan bahwa memainkan alat musik rebana dan setiap
alat musik termasuk seruling, tambur, adalah haram. Maka Ibnu Hazm
membantah pendapat ini dengan mengatakan (Lihat Ibnu Hazm, AL-
MUHALLA, Jilid VI, hlm. 60). bahwa semua pendapat yang semacam ini
tidak dapat dijadikan sebagai hujjah atau bukti dengan sebab-sebab
sebagai berikut:

1. Tidak ada hujjah dalam ucapan manusia manapun selain ucapan


Rasulullah s.a.w.

2. Pendapat Ibnu 'Abbas dan Ibnu Mas'ud, Ibrahim, Mujahid, dan Ikrimah
tentang firman Allah s.w.t. dalam surat Luqman, ayat 6 yang menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah nyanyian, maka pendapat
ini bertentangan senga pendapat yang lainnya dari kalangan sahabat dan
tabi'in.

3. Teks ayat tersebut cukup untuk membatalkan hujjah mereka. Orang-


orang yang bertindak demikian, sebagaimana yang diterangkan dalam
ayat tersebut adalah orang-orang yang bila mengajarkannya telah
termasuk kafir tanpa ada selisih pendapat (khilaf). Mereka telah
menjadikan Sabil (Agama Allah s.w.t.) sebagai senda gurau. Andaikan Al-
Quran dibeli untuk menyesatkan orang-orang dari jalan Allah s.w.t. dan
dijadikannya sebagai bahan ejekan maka tentu orang-orang yang
melakukan hal tersebut telah menjadi kafir. Inilah yang dicela oleh Allah
s.w.t. melalui ayat tersebut. Arti ayat itu bukan ditujukan kepada orang-
orang yang menyibukkan dirinya dengan sesuatu untuk menghibur diri
tanpa bermaksud menyesatkan orang lain dari jalan Allah s.w.t. Dengan
demikian, hujjah mereka telah gugur. Begitu pula dengan orang-orang
yang sengaja menyibukkan diri dengan maksud tidak melakukan solat
walaupun apa yang dilakukannya adalah dengan membaca Al-Quran,
buku-buku Hadits, mencari bahan untuk pengajian, sibuk memandang
banyaknya uang, atau menyibukkan diri dengan nyanyian dan yang
serupa dengannya, maka orang tersebut adalah fasiq dan telah berbuat
maksiat. Adapun yang tidak meninggalkan sesuatu dari apa yang telah
diwajibkan walaupun ia sibuk dengan apa yang telah diuraikan di atas,
maka orang tersebut adalah muhsin (orang yang tidak salah melangkah).

Kemudian beliau melanjutkan bantahannya terhadap pendapat dari pihak


yang menanyakan, apakah nyanyian itu tergolong dalam Al-Haq (sesuatu
yang dibenarkan oleh agama) atau tidak? Ini disebabkan karena Allah
s.w.t. telah berfirman:

ِ‫َفمَاذَا َبعْدَ ا ْلحَقّ ِإلّ الضّلَل‬

"...maka tidak ada sesuatu kebenaran itu melainkan kesesatan." (10:32),


dengan mengatakan (Lihat Ibnu Hazm, AL-MUHALLA, Jilid VI, hlm. 60).

Rasulullah s.a.w. telah bersabda:

)‫ئ مَا نَوى) (متفق عليه‬


ٍ ِ‫ل امْر‬
ّ ُ‫ل بِال ّنيَاتِ وَ ِإنّمَا ِلك‬
ُ ‫عمَا‬
ْ َ‫(ِإّنمَا ال‬

"Sesungguhnya amal perbuatan (manusia) itu tergantung


niatnya. Bahwasanya apa yang diperoleh oleh seseorang adalah
sesuai dengan apa yang diniatkannya...."

Oleh karena itu siapa saja yang niatnya mendengar nyanyian untuk
melakukan suatu kemaksiatan kepada Allah, maka ia adalah seorang
fasiq.

Begitu pula halnya tiap sesuatu (hiburan) selain nyanyian. Sedangkan


orang yang berekreasi di kebun atau duduk-duduk di depan pintu rumah
sambil melihat orang-orang yang sedang berjalan, mencelup bajunya
dengan warna biru atau hijau, dan warna lainnya, atau ingin meluruskan
kaki atau menekuknya (fold s.t., bend s.t. over), begitu pula dengan
seluruh perbuatan yang serupa dengannya.

Bertolak dari keterangan di atas maka terbukti dengan pasti bathilnya


pendapat orang-orang yang meributkan masalah tersebut (yang
mengharamkan nyanyian).
Berdasarkan uraian-uraian di atas, ditambah dengan berbagai
keterangan sebelumnya maka dapat kita simpulkan bahwa para
ulama memang telah berselisih pendapat terhadap masalah
nyanyian.
Sebagian dari mereka tidak menganggap Hadits-Hadits yang
mengharamkan nyanyian adalah shahih.
Sedangkan yang lain telah menjadikan Hadits-Hadits tersebut
sebagai hujjah atau bukti untuk mengharamkan nyanyian.
Masing-masing mengikuti apa yang mereka tentukan sebagai
dasar pengambilan hukum sesuai dengan ijtihadnya.
Karenanya, siapa saja yang ijtihadnya telah menghasilkan suatu
dugaan yang kuat bahwa bernyanyi dan mendengarkannya
adalah haram, maka itulah hukum Allah terhadapnya, juga
terhadap setiap orang yang mengikutinya.

Sedangkan bagi orang-orang yang belum terbukti baginya keshahihan


Hadits-Hadits yang mengharamkan nyanyian yang disertai dengan
dugaan kuat dan dengan ijtihad yang benar, maka itulah hukum Allah
terhadapnya. Juga terhadap setiap orang yang mengikutinya sebab
masalah ini adalah masalah khilafiyah sebagaimana yang telah kami
uraikan pada bab-bab sebelumnya.

PANDANGAN ISLAM TERHADAP SENI TARI.

Seni tari dilakukan dengan menggerakkan tubuh secara berirama dan


diiringi dengan musik. Gerakannya bisa dinikmati sendiri, merupakan
ekspresi gagasan, emosi atau kisah. Pada tarian sufi (darwish), gerakan
dipakai untuk mencapai ekskatase (semacam mabuk atau tak sadar diri).

Sejak dahulu, seni tari telah memainkan peranan penting dalam upacara
kerajaan dan masyarakat maupun pribadi. Seni tari adalah akar tarian
Barat populer masa kini. Bangsa-bangsa primitif percaya pada daya magis
dari tari. Dari tarian ini dikenal tari Kesuburan dan Hujan, tari Eksorsisme,
dan Kebangkitan, tari Perburuan dan Perang. Tarian Asia Timur hampir
seluruhnya bersifat keagamaan, walaupun ada yang bersifat sosial. Selain
itu ada tarian rakyat yang komunal (folk dance). Tarian ini dijadikan
lambang kekuatan kerjasama kelompok dan perwujūdan saling
menghormati, sesuai dengan tradisi masyarakat.

Tarian tradisional seringkali mendapat sentuhan penata tari yang


kemudian menjadi tarian kreasi baru. Kita lantas mengenal adanya seni
tari modern yang umumnya digali dari tarian traditional. Tarian ini lebih
mengutamakan keindahan, irama gerak dan memfokuskan pada hiburan.

Seni sekarang berada halnya dengan tarian abad-abad sebelumnya.


Orang mengenal ada tari balet, tapdans, ketoprak atau sendratari Gaya
tarian abad XX berkembang dengan irama-irama musik pop singkopik,
misalnya dansa cha-cha-cha, togo, soul, twist, dan terakhir adalah disko
dan breakdance. Kedua tarian ini gerakannya menggila dan digandrungi
anak muda.

1. SENI TARI DALAM LINTASAN SEJARAH ISLAM.

Dalam sejarah Islam terdapat perbedaan pendapat antara yang pro


dengan yang kontra tentang seni tari. Seni tari pada permulaan Islam
berbentuk sederhana dan hanya dilakukan oleh orang-orang yang datang
dari luar jazīrah ‘Arab, seperti orang-orang Sudan, Ethiopia, dan lain-lain.
Menari biasa dilakukan pada hari-hari gembira, seperti hari raya dan hari-
hari gembira lainnya.

Salah satu contoh tentang hal ini adalah seperti yang diriwayatkan oleh
Abū Dāwūd dari ‘Anas r.a. yang berkata (Lihat SUNAN ABŪ DĀWŪD, Jilid IV,
hlm. 281):

)ْ‫ك لَ ِعبُوْا ِبحِرَاِب ِهم‬


َ ِ‫حبْشَةُ فَ ْرحًا بِذل‬
َ ‫(َلمّا َقدِمَ الّنبِ ّي (ص) اْل َمدِيَْنةَ لَ ِعَبتِ اْل‬

"Tatkala Rasūlullāh datang ke Madīnah, orang-orang Habsyah (Ethiopia


sekarang) menari dengan gembira menyambut kedatangan beliau sambil
memainkan senjata mereka."

Imām Ahmad dan Ibnu Hibbān juga meriwayatkan dengan sanad yang
shahih dari Anas r.a. Beliau berkata (Lihat MUSNAD IMĀM AHMAD, Jilid III,
hlm. 152; lihat juga Al-Qastallanī, IRSYĀD-US-SARI, SYARH-SHAHĪH
BUKHĀRĪ, Jilid II, hlm. 204-205):

)ٌ‫حمّدٌ َعْبدٌ صَالِح‬


َ ‫ ُم‬:َ‫شةُ يَزِْفنُوْ َن َبْينَ َيدَيْ َرسُوْ ِل الِ (ص) وَ يَ ْرقُصُوْ َن وَ َيقُوْلُو ْن‬
َ َ‫حب‬
َ ‫(كَاَنتِ اْل‬

"Orang-orang Habsyah (pada hari raya ‘Īd-ul-Adhhā) menari (dengan


memainkan senjata mereka) di hadapan Rasūlullāh s.a.w. Banyak anak-
anak berkumpul di sekitarnya karena ingin menonton tarian mereka.
Orang-orang Habsyah bernyanyi (dengan sya‘ir): "MUHAMMAD ADALAH
HAMBA YANG SHALEH...." (secara berulang-ulang).

Sesudah jaman Rasūlullāh s.a.w., khususnya di jaman Daulah ‘Abbāsiyyah,


seni tari berkembang dengan pesat. Kehidupan mewah yang dicapai kaum
Muslimīn pada waktu itu telah mengantarkan mereka kedalam suatu
dunia hiburan yang seakan-akan telah menjadi keharusan dalam
masyarakat yang ma‘mūr (Hukum mendengarkan alunan lagu adalah
mubah, tetapi ketika itu orang-orang telah melakukannya). Namun banyak
‘ulamā’ yang tidak setuju dengan tarian semacam itu, tercatat di
antaranya ialah Imām Syaikh-ul-Islam, Ahmad Ibnu Taimiyah (wafat tahun
1328 M). Beliau menentang keras seni tari dalam kitabnya yang berjudul
Risālah fī Simā‘i war-Raqs was-Surākh (Risālah tentang Mendengar Musik,
Tarian-Tarian dan Nyanyian). Namun ada juga kalangan ‘ulamā’ yang
membolehkan seni tari selama tidak melanggar norma-norma Islam. Yang
berpendapat begini di antaranya Ibrāhīm Muhammad Al-Halabī (wafat
tahun 1545 M.). Beliau mengarang kitāb yang berjudul Ar-Rahs Wal-Waqs
Limustahill-ir-Raqs (Benteng yang Kokoh bagi Orang yang Membolehkan
Tari-Tarian).

Pengarang kitāb ‘ilmu seni tari yang pertama di dalam Islam adalah Al-
Farābī (wafat tahun 950 M.), yang mengarang kitāb AR-RAQSU WAZ-
ZAFNU (Kitāb tentang Tari dan Gerak Kaki) (Lihat Prof. A. Hasjmy, Ibidem,
hlm. 326). Pengaruh kitāb ini masih dapat kita ketahui, Riau adalah pusat
kerajaan Melayu dan pernah memperoleh masa kejayaannya di sana.
Berbagai guru serta pelatih tari dan nyanyian dipelihara sultan di istana.
Begitu juga dengan perkembangan sya‘ir. Bentuk seni inipun berkembang
dengan baik dan mendapatkan perhatian sultan. Tari Zapin sampai
sekarang masih hidup subur di kepulauan Riau (Melayu). Bahkan banyak
tradisi yang sekarang berkembang di nusantara adalah hasil
perkembangan tari rakyat Riau yang diperagakan mulai dari lingkup
istana sampai kedai-kedai kopi. Serampang dua belas, misalnya, adalah
tarian populer peninggalan karya tersebut. Kata-kata pengiring tarian ini
masih menggunakan bahasa ‘Arab yang bercampur dengan bahasa
Melayu (Lihat Dr. Oemar A. Hoesin, KULTUR ISLAM, hlm. 466-467).

Dahulu, pada jaman khilafah ‘Abbāsiyah, seni tari telah mendapatkan


tempat yang istimewa di tengah masyarakat, baik di kalangan istana,
gedung-gedung khusus (rumah pejabat dan hartawan), maupun di
tempat-tempat hiburan lainnya (taman ria dan sebagainya). Pada akhir
masa khilafah ‘Abbāsiyah, kesenian tari mulai mundur ketika tentara
bangsa Mongol menguasai pusat peradaban Islam di Baghdād. Semua
hasil karya seni dirusak oleh tentara keji itu karena memang bangsa ini
tidak menyukai tarian. Kemudian pada masa khilafah ‘Utsmāniah
berikutnya, seni tari berkembang lebih pesat lagi, khususnya tarian sufi
yang biasa dilakukan oleh kaum pria saja. Sedangkan penari wanita
menarikan tarian di istana dan rumah-rumah para pejabat. Mereka ini
adalah penari "berkaliber tinggi".

Namun perlu diperhatikan di sini, dalam sejarah umat Islam yang panjang,
tari-tarian itu tidak pernah dilakukan di tempat-tempat terbuka yang
penontonnya bercampur-baur antara lelaki dengan wanita. Ini berbeda
halnya dengan nyanyian. Pada masa pemerintahan khilafah ‘Abbāsiyah,
para penyanyi diijinkan menyanyi menyanyi sambil menari di jalanan atau
di atas jembatan serta di tempat-tempat umum lainnya. Rumah-rumah les
privat menyanyi dan menari dibuka untuk umum, baik di rumah-rumah
orang kaya maupun miskin. (Lihat Abū Al-Farāj Al-Ishfahānī, AL-AGHĀNĪ,
Jilid XVIII, hlm. 128, dan Jilid XIII, hlm. 127). Tetapi tidak pernah dilakukan
di tempat-tempat khusus, seperti yang dilakukan sekarang ini (khususnya
anak-anak muda), misalnya di night club, panggung pertunjukan, dan
sebagainya.
Perlu diingat, tari-tarian pada masa lalu hanya dilakukan oleh wanita-
wanita budak saja yang bekerja di istana, di rumah para pejabat, atau di
rumah-rumah rakyat biasa. Namun ada juga penari dari kalangan pria,
misalnya Ibrāhīm Al-Maushili (wafat 235 H.), dan sekelompok penari
kawakan yang tercatat di dalam kitāb Al-Aghānī. (Lihat Abū Al-Farāj Al-
Ishfahānī, ibidem, Jilid V (Riwayat hidup Ibrāhīm Al-Maushili)).

Sebagaimana kami sebutkan di atas, tari-tarian dimasa permulaan Islam


tidak pernah dilakukan dalam keadaan kaum lelaki menari bercampur
dengan kaum wanita, kecuali sesudah kebudayaan Barat mulai mewarnai
dan mempengaruhi kebudayaan Islam. Sesudah itu baru muncul
kebiasaan menari dengan mengikuti para penari Barat dengan gaya
merangsang syahwat dan membangkitkan birahi, seperti tari balet, dansa,
joget, dangdut, atau tarian yang menimbulkan histeria seperti disko dan
break dance.

2. TANGGAPAN UTAMA ISLAM TERHADAP TARIAN.

Imām Al-Ghazālī dalam kitāb IHYĀ’-UL‘ULŪM-ID-DĪN, (Lihat Imam Al-


Ghazali, IHYĀ‘-UL-‘ULŪM-ID-DĪN, Jilid VI, hlm. 1141, 1142 dan 1187)
beranggapan bahwa mendengar nyanyian dan musik sambil menari
hukumnya mubāh. Sebab, kata beliau: "Para sahabat Rasūlullāh s.a.w.
pernah melakukan "hajal" (berjinjit) pada saat mereka merasa bahagia.
Imām Al-Ghazālī kemudian menyebutkan bahwa ‘Alī bin Abī Thālib pernah
berjinjit atau menari tatkala ia mendengar Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

)َ‫(َأْنتَ ِمنّيْ وَ َأنَا ِمنْك‬

"Engkau tergolong ke dalam golonganku, dan aku tergolong ke dalam


golonganmu."

Begitu juga Ja‘far bin Abī Thālib. Kata Imām Al-Ghazālī, dia pernah
melakukan hal yang sama (berjinjit) ketika mendengar sabda Rasūlullāh
s.a.w. :

)ْ‫(أَ ْشَب ْهتَ َخلْقِيْ وَ ُخلُقِي‬

"Engkau adalah orang yang paling mirip dengan corak dan tabiatku".

Juga Zaid bin Hāritsah pernah berjinjit tatkala mendengar sabda


Rasūlullāh s.a.w.:

)‫(َأْنتَ أَخُوْنَا وَ َم ْو َلنَا‬

"Engkau adalah saudara dan penolong kami."


Dalam kesempatan lain ‘Ā’isyah diijinkan Rasūlullāh s.a.w. untuk
menyaksikan penari-penari Habsyah. Kemudian Imām Al-Ghazālī
menyimpulkan bahwa menari bahwa menari itu hukumnya boleh pada
saat-saat bahagia, seperti hari raya, pesta pernikahan, pulangnya
seseorang ke kampung halamannya, saat walīmahan pernikāhan,
‘aqīqahan, lahirnya seorang bayi, atau pada waktu khitanan, dan setelah
seseorang hafal Al-Qur’ān. Semua ini hukumnya mubāh yang tujuannya
untuk menampakkan rasa gembira. Tetapi tari-tarian itu maupun jenis-
jenis hiburan lainnya tidak layak dilakukan para pejabat dan pepimpin
yang menjadi panutan masyarakat. Ini bertujuan agar mereka tidak
dikecilkan rakyat, tidak dijatuhkan martabatnya, atau tidak dijauhi oleh
rakyatnya.

Tentang riwāyat Imām Bukhārī dan Imām Ahmad yang berkaitan dengan
menarinya orang-orang Habsyah di hadapan Rasūlullāh s.a.w., Al-Qādhī
‘Iyādh berkata: "Ini merupakan dalīl yang paling kuat tentang bolehnya
tarian sebab Rasūlullāh s.a.w. membiarkan mereka melakukannya, bahkan
mendorong mereka untuk melanjutkan tariannya."

Akan tetapi Imām Ibnu Hajar menentang pengertian Hadīts yang


membolehkan tarian. Beliau berkata: "Sekelompok sufi telah berdalīl
kepada Hadīts tersebut untuk membolehkan tari-tarian dan
mendengarkan alat-alat musik. Padahal jumhur ulama telah menegur
pendapat ini dalam hal perbedaan maksud dan tujuan. Tujuan orang-
orang Habsyah yang bermain-main dengan perisai dan tombak
merupakan bagian dari latihan yang biasa mereka lakukan untuk
berperang. Oleh karenanya, hal ini tidak bisa dijadikan sebagai hujjah
untuk membolehkan tari-tarian yang tujuannya untuk menghibur diri."
(Lihat Ibnu Hajar Al-Asqalani, FATH-UL-BĀRI, Jilid VI, hlm. 553).

Adapun mengenai nukilan Imām Al-Ghazālī tentang "hajal" (berjinjitnya)


‘Alī, Ja‘far, dan Zaid, maka ditentang keras oleh Imām Ibn-ul-Jauzi (Lihat
Imām Ibn-ul-Jauzi TALBĪS IBLĪS, hlm. 258-260). Katanya, hajal tidak lebih
dari semacam cara dalam gerak kaki berjalan yang dilakukan pada saat
seseorang merasa gembira. Sedangkan tarian tidak demikian! Gerakan
Zafarnya orang-orang Habsyah adalah mendorong keras dan menyepak
dengan kaki. Maka inipun merupakan salah satu cara dalam berjalan pada
saat berhadapan dalam peperangan.

Kemudian Imām Ibn-ul-Jauzi berkata: "Menurut Abū Al Wafā Ibn-ul-‘Aqīl, Al-


Qur’ān telah mencantumkan keharaman tarian dengan nash yang tegas
seperti firman Allah s.w.t.:

)18:‫(وَ َل تَمْشِيْ فِي الَرْضِ َمرَحًا) (لقمن‬

"Dan janganlah kamu berjalan di bumi ini dengan angkuh." (31:18)


Allah s.w.t. juga mencela orang-orang yang sombong dengan firmanNya:

)18:‫ختَالٍ َفخُوْرٍ) (لقمن‬


ْ ‫حبّ ُكلّ ُم‬
ِ ‫ل لَ ُي‬
َ ‫(إِنّ ا‬

"Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang sombong lagi


membanggakan diri." (31:18).

Karena itulah menurut Abū Wafā Ibnul ‘Aqīl, menari merupakan cara
berjalan paling angkuh dan penuh dengan kesombongan. Kemudian Imam
Ibn-ul-Jauzi melanjutkan dengan mengomentari tarian orang sufi. Katanya,
dapatkah kita membayangkan suatu perbuatan keji yang dapat
menjatuhkan nilai akal dan kewibawaan bagi seseorang serta
menyebabkan ia terjatuh dari sifat kesopanan dan rendah hati, seperti
yang dilakukan oleh seorang (sufi yang ) berjanggot. Apalagi yang
melakukannya adalah kakek-kakek yang berjenggot, bertepuk tangan dan
mengikuti irama yang dinyanyikan para wanita dan anak-anak muda yang
belum tumbuh jenggotnya. Apakah layak bagi seseorang membanggakan
diri dengan menari seperti binatang dan menepuk dada seperti wanita
(sambil menari), yang sudah gaek dan hampir masuk liang kubur yang
nantinya akan diminta pertanggungjawabannya di Padang Mahsyar?

3. MENENTUKAN SIKAP DAN PENDIRIAN.

Keinginan untuk menari sama dengan keinginan manusia untuk berjalan,


bermain, dan seterusnya. Semua merupakan perbuatan yang biasa
dilakukan secara alami (fitri) dalam rangka menghibur diri atau mencari
kesenangan dan kebahagiaan.
Syara‘ tidak mengharāmkan seseorang untuk menggerakkan badan,
tangan, kaki, perut, dan sebagainya. Bahkan semua perbuatan itu akan
muncul secara alami.
Hukum asal untuk menari adalah mubāh selama dalīl-dalīl syara‘ tidak
mengharāmkan tari-tarian tertentu, baik yang berirama maupun yang
tidak diiringi musik.

Telah cukup banyak jenis tarian yang ada di tengah masyarakat saat ini.
Ada tarian dari masyarakat primitif yang berbentuk tarian upacara ritual.
Tarian ini tetap dilestarikan keberadaannya.
Ada tarian modern (tradisional daerah, tari Minang, Tari piring, tari rantak)
yang ditarikan oleh masyarakat setempat pada berbagai upacara
perayaan atau ketika menyambut tamu luar negeri.
Biasanya tari-tarian ini tidak terlepas dari iringan musik dan nyanyian
khas serta ciptaan daerah tertentu.

Tarian rakyat itu akhirnya tidak terlepas dari promosi atau pengenalan
negeri tempat asalnya. Tujuannya adalah untuk menarik pengunjung
(wisatawan – mancanegara atau domestic) untuk atau yang sedang
berkunjung ke negeri-negeri tertentu.
Bahkan terkadang, tarian dari negara tertentu dapat kita temukan di
negeri lain karena perwakilan konsulat bidang kebudayaan negara
tersebut dangan senanghati menggelar pertunjukannya (seperti telah kita
lihat adanya tarian-tarian Fandago dari Spanyol, Polka dari Bohemia,
Czardas dari Hongaria, Jig dari Irlandia, atau Fling dari Skotlandia).

Di kepulauan-kepulauan sekitar Pasifik dan negeri-negeri Timur lainnya,


terdapat tarian-tarian yang seluruhnya dilakukan dengan sikap duduk.
Ada tari perut di Timur Tengah, yang biasanya dilakukan dengan
penekanan gerak pada bagian perut, berputar atau menggelepar. Tarian
ini adalah jenis tarian hiburan semata. Ada juga tarian yang dilakukan
oleh wanita-wanita.

Tarian Barat juga banyak macamnya. Ada tari Balet yang merupakan
tarian drama tunggal yang diiringi musik. Tarian ini biasanya dilakukan
oleh sepasang manusia (lelaki-perempuan). Ini sama saja dengan dansa
Agogo, cha-cha-cha, twist, dan disko. Semua tarian ini sudah lazim
dilakukan oleh pasangan penari lelaki dan wanita. Lalu, bagaimana status
hukum syara‘ terhadap tari-tarian yang telah disebutkan di atas? Di
bawah ini akan di rinci pandangan syara‘ terhadap tarian sebagai berikut:

1. Syara‘ melarang kaum Muslimīn menyerupai orang kafir dalam hal-hal


yang menyangkut urusan agama. Dalam hal ini termasuk semua jenis
tarian upacara keagamaan dan primitif.

Rasūlullāh s.a.w. bersabda (Lihat SHAHĪH BUKHĀRĪ, Hadīts No. 7319):

‫لَ تَقُوْمُ السّا َعةُ حَتّى تَأْ ُخذَ أُمّتِيْ بِأَ ْخذِ الْقُرُوْنِ قَْبَلهَا شِبْرًا بِشِبْرٍ وَ ِذرَاعًا‬
‫ وَ َمنْ ِمنَ النّاسِ إِلّ أُولِئكَ؟‬:َ‫يَا َرسُوْلَ الِ كَفَارِسَ وَ الرّوْمَ؟ فَقَال‬:َ‫ِب ِذرَاعٍ فَقِيْل‬
"Tidak akan terjadi kiamat sebelum umatku mengambil apa-apa yang
dilakukan oleh bangsa-bangsa terdahulu (abad-abad silam) sejengkal
demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sampai-sampai ketika mereka
masuk ke liang biawak, kalian pun mengikutinya." Para sahabat
bertanya: "Ya Rasūlullāh, apakah yang (engkau) maksudkan di sini
adalah (seperti) bangsa-bangsa Persia dan Romawi?" Rasūlullāh
menjawab: "Siapa lagi kalau bukan mereka." (HR. BUKHĀRĪ).

Dalam riwāyat lain disebutkan bahwa yang di ikuti oleh kaun Muslimīn
adalah (budaya) orang-orang Nasrānī dan Yahūdī.(Lihat SHAHĪH BUKHĀRĪ,
Hadīts No. 7320).

2. Setiap tarian yang berpasangan lelaki wanita yang bercampur-baur


dan diiringi dengan instrumen musik, maka harām hukumnya, karena
Rasūlullāh s.a.w. bersabda (Lihat ‘Abd-ur-Ra’ūf Al-Manāwī, FAIDH-UL-
QĀDIR, Hadīts No. 5824):
(ِ‫)الْغِيْ َرةُ مِ َن الِيْمَانِ َو الْ ِمذَاءُ ِمنَ النّفَاق‬
"Ghīrah (cemburu) itu adalah bagian dari īmān, sedangkan Mizā’ adalah
bagian dari nifāq." (HR AL-BAZZĀR, BAIHAQĪ, dari Abū Sa‘īd Al-Khudrī).

Imām Ibnu ‘Atsīr menafsirkan Mizā’ dengan makna sebagai berikut:

a. Lelaki yang membawa sejumlah pria ke rumahnya untuk mencampuri


istrinya;

b. Ada yang mengatakan bahwa kata tersebut berasal dari "AMDZAIT-UL-


FARAS" yang artinya: "Aku telah melepaskan kudaku untuk
merumput."(Lihat Ibnul ‘Atsīr, AN-NIHĀYAH, Jilid IV, hlm. 312-313).

Dalam kitāb MUKHTASHAR-USY-SYU‘AB-IL-ĪMĀN, Imām Al-Qazwīnī menukil


pendapat Imām Al-Halīmī tentang arti Hadīts tersebut, yaitu (Lihat Imām
Al-Halīmī, MUKHTASHAR-USY-SYU‘AB-IL-ĪMĀN, hlm. 238). mengumpulkan
lelaki-perempuan agar masing-masing pasangan mencampuri pasangan
lainnya, atau membiarkan lelaki pergi bersama kaum wanita.

Berdasarkan keterangan di atas, maka bercampurnya kaum lelaki


dengan wanita yang bukan muhrim dalam bentuk apapun adalah
harām, baik mereka pergi bertamasya bersama-sama maupun barmain-
main seperti layaknya suami-istri. Termasuk dalam hal ini adalah
menari bersama dengan lelaki-perempuan dan mengikuti irama
musik.
Menurut ketentuan syara', setiap sesuatu yang menghantarkan kepada
perbuatan harām maka ia harām pula, sebagaimana kaidah syara‘ yang
berbunyi:

)ٌ‫(اْلوَسِيْلَةُ إِل اْلحَرَامِ َحرَام‬


"Sesuatu yang menghantarkan kepada yang harām maka ia harām pula
(dikerjakan)."

Tari-tarian masa sekarang sering dilakukan bersama-sama lelaki-wanita.


Bahkan acara tersebut tidak terlepas dari perbuatan-perbuatan harām
lainnya. Di samping itu, ditambah dengan menenggak minuman keras
sampai teler. Tidak jarang acara seperti itu akan menghantarkan kepada
perbuatan dosa besar, yaitu zina.

Ada dalīl lain yang mengharāmkan semua jenis tarian dari semua bangsa-
bangsa, yaitu (Lihat ‘Abd-ur-Ra’ūf Al-Manāwī, FAIDH-UL-QĀDIR, Hadīts No.
8593):
(ْ‫)مَنْ َتشَبّهَ بِ َقوْ ٍم َف ُهوَ مِْن ُهم‬
"Siapa saja yang menyerupai suatu kaum (dalam pola hidup dan adat
istiadat), maka ia (telah) tergolong ke dalam golongan mereka." (HR.
ABŪ DĀWŪD, THABRANĪ, dari Ibnu ‘Umar, dan Hudzaifah bin Al-Yaman).
Inilah larangan atau tegah menyerupai bangsa manapun dengan apa saja
secara mutlak, baik dalam urusan ‘aqīdah, ‘ibādah, nikāh, adat kebiasaan,
hidup bebas, dan sebagainya. Termasuk di sini hal-hal yang menyangkut
masalah tari-tarian.

3. Seorang wanita atau lelaki boleh bernyanyi dan menari di rumahnya


sendiri untuk anggota keluarga atau kerabat yang muhrim. Seorang istri
boleh bernyanyi dan menari untuk suami atau sebaliknya, khususnya
pada hari gembira, misalnya pesta pernikahan, lahirnya seorang bayi, hari
raya, dan sebagainya.

4. Bertolak dari umumnya nash-nash yang membolehkan menggerakan


kaki, seperti :
(15 :‫)فَامْشُوْا فِيْ مَنَاكِِبهَا) (اللك‬
"Berjalanlah di segala penjuru (bumi)...." (67:15).

atau:
(42 :‫)اُ ْركُضْ بِرِ ْجلِكَ) (ص‬
"Hentakkanlah kakimu...." (38:42).

atau Hadīts-Hadīts yang membolehkan seorang lelaki berjinjit, memainkan


tombak dan perisai dan senjata tajam lainnya sambil menarikannya.
Maka, hukum asal menari adalah mubāh selama tidak melampaui
batas-batas syara‘. Walaupun demikian, tidak boleh kaum lelaki muhrim
atau suami menari dengan tarian yang biasanya dilakukan oleh kaum
wanita, misalnya tari perut dan sejenisnya. Sebaliknya, kaum wanita tidak
boleh menarikan tarian lelaki, sebab Rasūlullāh s.a.w. melarang kaum
lelaki menyerupai wanita atau sebaliknya:
(ِ‫)لَ ْيسَ مِنّا َمنْ َتشَّبهَ بِالرّجَالِ ِمنَ الّنسَاءِ وَ لَ َمنْ َتشَّبهَ ِمنَ الّنسَاءِ بِالرّجَال‬
"Tidak termasuk golonganku wanita yang menyerupai lelaki, dan lelaki
yang menyerupai wanita." (HR. IMĀM AHMAD, dari Ibnu ‘Amru bin
Al-‘Āsh).

Hukum Menyanyi Dan Musik Dalam Fiqih Islam

Keprihatinan yang dalam akan kita rasakan, kalau kita melihat ulah generasi
muda Islam saat ini yang cenderung liar dalam bermain musik atau bernyanyi.
Mungkin mereka berkiblat kepada penyanyi atau kelompok musik terkenal yang
umumnya memang bermental bejat dan bobrok serta tidak berpegang dengan
nilai-nilai Islam. Atau mungkin juga, mereka cukup sulit atau jarang
mendapatkan teladan permainan musik dan nyanyian yang Islami di tengah
suasana hedonistik yang mendominasi kehidupan saat ini. Walhasil, generasi
muda Islam akhirnya cenderung membebek kepada para pemusik atau penyanyi
sekuler yang sering mereka saksikan atau dengar di TV, radio, kaset, VCD, dan
berbagai media lainnya.

Tak dapat diingkari, kondisi memprihatinkan tersebut tercipta karena sistem


kehidupan kita telah menganut paham sekularisme yang sangat bertentangan
dengan Islam. Muhammad Quthb mengatakan sekularisme adalah iqamatul
hayati ‘ala ghayri asasin minad dîn, artinya, mengatur kehidupan dengan tidak
berasaskan agama (Islam). Atau dalam bahasa yang lebih tajam, sekularisme
menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah memisahkan agama dari segala
urusan kehidupan (fashl ad-din ‘an al-hayah) (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani,
Nizhâm Al-Islâm, hal. 25). Dengan demikian, sekularisme sebenarnya tidak
sekedar terwujud dalam pemisahan agama dari dunia politik, tetapi juga nampak
dalam pemisahan agama dari urusan seni budaya, termasuk seni musik dan seni
vokal (nyanyian).

Kondisi ini harus segera diakhiri dengan jalan mendobrak dan merobohkan
sistem kehidupan sekuler yang ada, lalu di atas reruntuhannya kita bangun
sistem kehidupan Islam, yaitu sebuah sistem kehidupan yang berasaskan semata
pada Aqidah Islamiyah sebagaimana dicontohkan Rasulullah Saw dan para
shahabatnya. Inilah solusi fundamental dan radikal terhadap kondisi kehidupan
yang sangat rusak dan buruk sekarang ini, sebagai akibat penerapan paham
sekulerisme yang kufur. Namun demikian, di tengah perjuangan kita
mewujudkan kembali masyarakat Islami tersebut, bukan berarti kita saat ini
tidak berbuat apa-apa dan hanya berpangku tangan menunggu perubahan.
Tidak demikian. Kita tetap wajib melakukan Islamisasi pada hal-hal yang dapat
kita jangkau dan dapat kita lakukan, seperti halnya bermain musik dan bernyanyi
sesuai ketentuan Islam dalam ruang lingkup kampus kita atau lingkungan kita.

Tulisan ini bertujuan menjelaskan secara ringkas hukum musik dan menyanyi
dalam pandangan fiqih Islam. Diharapkan, norma-norma Islami yang
disampaikan dalam makalah ini tidak hanya menjadi bahan perdebatan
akademis atau menjadi wacana semata, tetapi juga menjadi acuan dasar untuk
merumuskan bagaimana bermusik dan bernyanyi dalam perspektif Islam. Selain
itu, tentu saja perumusan tersebut diharapkan akan bermuara pada pengamalan
konkret di lapangan, berupa perilaku Islami yang nyata dalam aktivitas bermain
musik atau melantunkan lagu. Minimal di kampus atau lingkungan kita.

2. Definisi Seni

Karena bernyanyi dan bermain musik adalah bagian dari seni, maka kita akan
meninjau lebih dahulu definisi seni, sebagai proses pendahuluan untuk
memahami fakta (fahmul waqi’) yang menjadi objek penerapan hukum. Dalam
Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa seni adalah penjelmaan rasa indah yang
terkandung dalam jiwa manusia, yang dilahirkan dengan perantaraan alat
komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni
suara), indera pendengar (seni lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak
(seni tari, drama) (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam,
hal. 13).

Adapun seni musik (instrumental art) adalah seni yang berhubungan dengan
alat-alat musik dan irama yang keluar dari alat-alat musik tersebut. Seni musik
membahas antara lain cara memainkan instrumen musik, cara membuat not,
dan studi bermacam-macam aliran musik. Seni musik ini bentuknya dapat berdiri
sendiri sebagai seni instrumentalia (tanpa vokal) dan dapat juga disatukan
dengan seni vokal. Seni instrumentalia, seperti telah dijelaskan di muka, adalah
seni yang diperdengarkan melalui media alat-alat musik. Sedang seni vokal,
adalah seni yang diungkapkan dengan cara melagukan syair melalui perantaraan
oral (suara saja) tanpa iringan instrumen musik. Seni vokal tersebut dapat
digabungkan dengan alat-alat musik tunggal (gitar, biola, piano, dan lain-lain)
atau dengan alat-alat musik majemuk seperti band, orkes simfoni, karawitan,
dan sebagainya (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam,
hal. 13-14). Inilah sekilas penjelasan fakta seni musik dan seni vokal yang
menjadi topik pembahasan.

3. Tinjauan Fiqih Islam

Dalam pembahasan hukum musik dan menyanyi ini, penulis melakukan


pemilahan hukum berdasarkan variasi dan kompleksitas fakta yang ada dalam
aktivitas bermusik dan menyanyi. Menurut penulis, terlalu sederhana jika
hukumnya hanya digolongkan menjadi dua, yaitu hukum memainkan musik dan
hukum menyanyi. Sebab fakta yang ada, lebih beranekaragam dari dua aktivitas
tersebut. Maka dari itu, paling tidak, ada 4 (empat) hukum fiqih yang berkaitan
dengan aktivitas bermain musik dan menyanyi, yaitu:

Pertama, hukum melantunkan nyanyian (ghina’).

Kedua, hukum mendengarkan nyanyian.

Ketiga, hukum memainkan alat musik.

Keempat, hukum mendengarkan musik.

Di samping pembahasan ini, akan disajikan juga tinjauan fiqih Islam berupa
kaidah-kaidah atau patokan-patokan umum, agar aktivitas bermain musik dan
bernyanyi tidak tercampur dengan kemaksiatan atau keharaman.

Ada baiknya penulis sampaikan, bahwa hukum menyanyi dan bermain musik
bukan hukum yang disepakati oleh para fuqaha, melainkan hukum yang
termasuk dalam masalah khilafiyah. Jadi para ulama mempunyai pendapat
berbeda-beda dalam masalah ini (Syaikh Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘Ala
al-Madzahib al-Arba’ah, hal. 41-42; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash
wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 96; Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan
Islam, hal. 21-25; Toha Yahya Omar, Hukum Seni Musik, Seni Suara, Dan Seni Tari
Dalam Islam, hal. 3). Karena itu, boleh jadi pendirian penulis dalam tulisan ini
akan berbeda dengan pendapat sebagian fuqaha atau ulama lainnya. Pendapat-
pendapat Islami seputar musik dan menyanyi yang berbeda dengan pendapat
penulis, tetap penulis hormati.

3.1. Hukum Melantunkan Nyanyian (al-Ghina’ / at-Taghanni)

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menyanyi (al-ghina’ / at-


taghanni). Sebagian mengharamkan nyanyian dan sebagian lainnya
menghalalkan. Masing-masing mempunyai dalilnya sendiri-sendiri. Berikut
sebagian dalil masing-masing, seperti diuraikan oleh al-Ustadz Muhammad al-
Marzuq Bin Abdul Mu’min al-Fallaty mengemukakan dalam kitabnya Saiful Qathi’i
lin-Niza’ bab Fi Bayani Tahrimi al-Ghina’ wa Tahrim Istima’ Lahu (Musik.
http://www.ashifnet.tripod.com),/ juga oleh Dr. Abdurrahman al-Baghdadi dalam
bukunya Seni dalam Pandangan Islam (hal. 27-3 , dan Syaikh Muhammad asy-
Syuwaiki dalam Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas (hal. 97-101):

A. Dalil-Dalil Yang Mengharamkan Nyanyian:

a. Berdasarkan firman Allah:

“Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak
berguna (lahwal hadits) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa
pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu ejekan. Mereka itu akan
memperoleh adzab yang menghinakan.” (Qs. Luqmân [31]: 6)

Beberapa ulama menafsirkan maksud lahwal hadits ini sebagai nyanyian, musik
atau lagu, di antaranya al-Hasan, al-Qurthubi, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud.

Ayat-ayat lain yang dijadikan dalil pengharaman nyanyian adalah Qs. an-Najm
[53]: 59-61; dan Qs. al-Isrâ’ [17]: 64 (Abi Bakar Jabir al-Jazairi, Haramkah Musik
Dan Lagu? (al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram), hal. 20-22).

b. Hadits Abu Malik Al-Asy’ari ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:

“Sesungguhnya akan ada di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina,


sutera, arak, dan alat-alat musik (al-ma’azif).” [HR. Bukhari, Shahih Bukhari,
hadits no. 5590].

c. Hadits Aisyah ra Rasulullah Saw bersabda:

“Sesungguhnya Allah mengharamkan nyanyian-nyanyian (qoynah) dan


menjualbelikannya, mempelajarinya atau mendengar-kannya.” Kemudian beliau
membacakan ayat di atas. [HR. Ibnu Abi Dunya dan Ibnu Mardawaih].

d. Hadits dari Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda:

“Nyanyian itu bisa menimbulkan nifaq, seperti air menumbuhkan kembang.” [HR.
Ibnu Abi Dunya dan al-Baihaqi, hadits mauquf].

e. Hadits dari Abu Umamah ra, Rasulullah Saw bersabda:

“Orang yang bernyanyi, maka Allah SWT mengutus padanya dua syaitan yang
menunggangi dua pundaknya dan memukul-mukul tumitnya pada dada si
penyanyi sampai dia berhenti.” [HR. Ibnu Abid Dunya.].

f. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Auf ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:

“Sesungguhnya aku dilarang dari suara yang hina dan sesat, yaitu: 1. Alunan
suara nyanyian yang melalaikan dengan iringan seruling syaitan (mazamirus
syaithan). 2. Ratapan seorang ketika mendapat musibah sehingga menampar
wajahnya sendiri dan merobek pakaiannya dengan ratapan syetan (rannatus
syaithan).”

B. Dalil-Dalil Yang Menghalalkan Nyanyian:

a. Firman Allah SWT:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik
yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas,
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-
Mâ’idah [5]: 87).

b. Hadits dari Nafi’ ra, katanya:

Aku berjalan bersama Abdullah Bin Umar ra. Dalam perjalanan kami mendengar
suara seruling, maka dia menutup telinganya dengan telunjuknya terus berjalan
sambil berkata; “Hai Nafi, masihkah kau dengar suara itu?” sampai aku
menjawab tidak. Kemudian dia lepaskan jarinya dan berkata; “Demikianlah yang
dilakukan Rasulullah Saw.” [HR. Ibnu Abid Dunya dan al-Baihaqi].

c. Ruba’i Binti Mu’awwidz Bin Afra berkata:

Nabi Saw mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di atas dipan
seperti dudukmu denganku, lalu mulailah beberapa orang hamba perempuan
kami memukul gendang dan mereka menyanyi dengan memuji orang yang mati
syahid pada perang Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berkata: “Di
antara kita ada Nabi Saw yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.”
Maka Nabi Saw bersabda:
“Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.” [HR.
Bukhari, dalam Fâth al-Bârî, juz. III, hal. 113, dari Aisyah ra].

d. Dari Aisyah ra; dia pernah menikahkan seorang wanita kepada pemuda
Anshar. Tiba-tiba Rasulullah Saw bersabda:

“Mengapa tidak kalian adakan permainan karena orang Anshar itu suka pada
permainan.” [HR. Bukhari].

e. Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Umar melewati shahabat Hasan


sedangkan ia sedang melantunkan syi’ir di masjid. Maka Umar memicingkan
mata tidak setuju. Lalu Hasan berkata:

“Aku pernah bersyi’ir di masjid dan di sana ada orang yang lebih mulia
daripadamu (yaitu Rasulullah Saw)” [HR. Muslim, juz II, hal. 485].

C. Pandangan Penulis

Dengan menelaah dalil-dalil tersebut di atas (dan dalil-dalil lainnya), akan


nampak adanya kontradiksi (ta’arudh) satu dalil dengan dalil lainnya. Karena itu
kita perlu melihat kaidah-kaidah ushul fiqih yang sudah masyhur di kalangan
ulama untuk menyikapi secara bijaksana berbagai dalil yang nampak
bertentangan itu.

Imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa tidak dibenarkan dari Nabi Saw ada dua
hadits shahih yang saling bertentangan, di mana salah satunya menafikan apa
yang ditetapkan yang lainnya, kecuali dua hadits ini dapat dipahami salah
satunya berupa hukum khusus sedang lainnya hukum umum, atau salah satunya
global (ijmal) sedang lainnya adalah penjelasan (tafsir). Pertentangan hanya
terjadi jika terjadi nasakh (penghapusan hukum), meskipun mujtahid belum
menjumpai nasakh itu (Imam asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul Ila Tahqiq al-Haq min
‘Ilm al-Ushul, hal. 275).

Karena itu, jika ada dua kelompok dalil hadits yang nampak bertentangan, maka
sikap yang lebih tepat adalah melakukan kompromi (jama’) di antara keduanya,
bukan menolak salah satunya. Jadi kedua dalil yang nampak bertentangan itu
semuanya diamalkan dan diberi pengertian yang memungkinkan sesuai
proporsinya. Itu lebih baik daripada melakukan tarjih, yakni menguatkan salah
satunya dengan menolak yang lainnya. Dalam hal ini Syaikh Dr. Muhammad
Husain Abdullah menetapkan kaidah ushul fiqih:

Al-‘amal bi ad-dalilaini —walaw min wajhin— awlâ min ihmali ahadihima


“Mengamalkan dua dalil —walau pun hanya dari satu segi pengertian— lebih
utama daripada meninggalkan salah satunya.” (Syaikh Dr. Muhammad Husain
Abdullah, Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh, hal. 390).

Prinsip yang demikian itu dikarenakan pada dasarnya suatu dalil itu adalah untuk
diamalkan, bukan untuk ditanggalkan (tak diamalkan). Syaikh Taqiyuddin an-
Nabhani menyatakan:

Al-ashlu fi ad-dalil al-i’mal lâ al-ihmal “Pada dasarnya dalil itu adalah untuk
diamalkan, bukan untuk ditanggalkan.” (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-
Syakhshiyah al-Islamiyah, juz 1, hal. 239).

Atas dasar itu, kedua dalil yang seolah bertentangan di atas dapat dipahami
sebagai berikut : bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan hukum umum
nyanyian. Sedang dalil yang membolehkan, menunjukkan hukum khusus, atau
perkecualian (takhsis), yaitu bolehnya nyanyian pada tempat, kondisi, atau
peristiwa tertentu yang dibolehkan syara’, seperti pada hari raya. Atau dapat
pula dipahami bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan keharaman
nyanyian secara mutlak. Sedang dalil yang menghalalkan, menunjukkan
bolehnya nyanyian secara muqayyad (ada batasan atau kriterianya) (Dr.
Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 63-64; Syaikh
Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 102-103).

Dari sini kita dapat memahami bahwa nyanyian ada yang diharamkan, dan ada
yang dihalalkan. Nyanyian haram didasarkan pada dalil-dalil yang
mengharamkan nyanyian, yaitu nyanyian yang disertai dengan kemaksiatan
atau kemunkaran, baik berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi’il), atau sarana
(asy-yâ’), misalnya disertai khamr, zina, penampakan aurat, ikhtilath (campur
baur pria–wanita), atau syairnya yang bertentangan dengan syara’, misalnya
mengajak pacaran, mendukung pergaulan bebas, mempropagandakan
sekularisme, liberalisme, nasionalisme, dan sebagainya. Nyanyian halal
didasarkan pada dalil-dalil yang menghalalkan, yaitu nyanyian yang kriterianya
adalah bersih dari unsur kemaksiatan atau kemunkaran. Misalnya nyanyian yang
syairnya memuji sifat-sifat Allah SWT, mendorong orang meneladani Rasul,
mengajak taubat dari judi, mengajak menuntut ilmu, menceritakan keindahan
alam semesta, dan semisalnya (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam
Pandangan Islam, hal. 64-65; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa
Ikhtilaf an-Nas, hal. 103).

3.2. Hukum Mendengarkan Nyanyian

a. Hukum Mendengarkan Nyanyian (Sama’ al-Ghina’)

Hukum menyanyi tidak dapat disamakan dengan hukum mendengarkan


nyanyian. Sebab memang ada perbedaan antara melantunkan lagu (at-taghanni
bi al-ghina’) dengan mendengar lagu (sama’ al-ghina’). Hukum melantunkan lagu
termasuk dalam hukum af-‘âl (perbuatan) yang hukum asalnya wajib terikat
dengan hukum syara’ (at-taqayyud bi al-hukm asy-syar’i). Sedangkan
mendengarkan lagu, termasuk dalam hukum af-‘âl jibiliyah, yang hukum asalnya
mubah. Af-‘âl jibiliyyah adalah perbuatan-perbuatan alamiah manusia, yang
muncul dari penciptaan manusia, seperti berjalan, duduk, tidur, menggerakkan
kaki, menggerakkan tangan, makan, minum, melihat, membaui, mendengar, dan
sebagainya. Perbuatan-perbuatan yang tergolong kepada af-‘âl jibiliyyah ini
hukum asalnya adalah mubah, kecuali adfa dalil yang mengharamkan. Kaidah
syariah menetapkan:

Al-ashlu fi al-af’âl al-jibiliyah al-ibahah “Hukum asal perbuatan-perbuatan


jibiliyyah, adalah mubah.” (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa
Ikhtilaf an-Nas, hal. 96).

Maka dari itu, melihat —sebagai perbuatan jibiliyyah— hukum asalnya adalah
boleh (ibahah). Jadi, melihat apa saja adalah boleh, apakah melihat gunung,
pohon, batu, kerikil, mobil, dan seterusnya. Masing-masing ini tidak memerlukan
dalil khusus untuk membolehkannya, sebab melihat itu sendiri adalah boleh
menurut syara’. Hanya saja jika ada dalil khusus yang mengaramkan melihat
sesuatu, misalnya melihat aurat wanita, maka pada saat itu melihat hukumnya
haram.

Demikian pula mendengar. Perbuatan mendengar termasuk perbuatan jibiliyyah,


sehingga hukum asalnya adalah boleh. Mendengar suara apa saja boleh, apakah
suara gemericik air, suara halilintar, suara binatang, juga suara manusia
termasuk di dalamnya nyanyian. Hanya saja di sini ada sedikit catatan. Jika suara
yang terdengar berisi suatu aktivitas maksiat, maka meskipun mendengarnya
mubah, ada kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, dan tidak boleh
mendiamkannya. Misalnya kita mendengar seseorang mengatakan, “Saya akan
membunuh si Fulan!” Membunuh memang haram. Tapi perbuatan kita
mendengar perkataan orang tadi, sebenarnya adalah mubah, tidak haram.
Hanya saja kita berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap
orang tersebut dan kita diharamkan mendiamkannya.

Demikian pula hukum mendengar nyanyian. Sekedar mendengarkan nyanyian


adalah mubah, bagaimanapun juga nyanyian itu. Sebab mendengar adalah
perbuatan jibiliyyah yang hukum asalnya mubah. Tetapi jika isi atau syair
nyanyian itu mengandung kemungkaran, kita tidak dibolehkan berdiam diri dan
wajib melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Nabi Saw bersabda:

“Siapa saja di antara kalian melihat kemungkaran, ubahlah kemungkaran itu


dengan tangannya (kekuatan fisik). Jika tidak mampu, ubahlah dengan lisannya
(ucapannya). Jika tidak mampu, ubahlah dengan hatinya (dengan tidak
meridhai). Dan itu adalah selemah-lemah iman.” [HR. Imam Muslim, an-Nasa’i,
Abu Dawud dan Ibnu Majah].

b. Hukum Mendengar Nyanyian Secara Interaktif (Istima’ al-Ghina’)

Penjelasan sebelumnya adalah hukum mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’).


Ada hukum lain, yaitu mendengarkan nyanyian secara interaktif (istima’ li al-
ghina’). Dalam bahasa Arab, ada perbedaan antara mendengar (as-sama’)
dengan mendengar-interaktif (istima’). Mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’)
adalah sekedar mendengar, tanpa ada interaksi misalnya ikut hadir dalam proses
menyanyinya seseorang. Sedangkan istima’ li al-ghina’, adalah lebih dari
sekedar mendengar, yaitu ada tambahannya berupa interaksi dengan penyanyi,
yaitu duduk bersama sang penyanyi, berada dalam satu forum, berdiam di sana,
dan kemudian mendengarkan nyanyian sang penyanyi (Syaikh Muhammad asy-
Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 104). Jadi kalau mendengar
nyanyian (sama’ al-ghina’) adalah perbuatan jibiliyyah, sedang mendengar-
menghadiri nyanyian (istima’ al-ghina’) bukan perbuatan jibiliyyah.

Jika seseorang mendengarkan nyanyian secara interaktif, dan nyanyian serta


kondisi yang melingkupinya sama sekali tidak mengandung unsur kemaksiatan
atau kemungkaran, maka orang itu boleh mendengarkan nyanyian tersebut.

Adapun jika seseorang mendengar nyanyian secara interaktif (istima’ al-ghina’)


dan nyanyiannya adalah nyanyian haram, atau kondisi yang melingkupinya
haram (misalnya ada ikhthilat) karena disertai dengan kemaksiatan atau
kemunkaran, maka aktivitasnya itu adalah haram (Syaikh Muhammad asy-
Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 104). Allah SWT berfirman:

“Maka janganlah kamu duduk bersama mereka hingga mereka beralih pada
pembicaraan yang lainnya.” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 140).

“…Maka janganlah kamu duduk bersama kaum yang zhalim setelah (mereka)
diberi peringatan.” (Qs. al-An’âm [6]: 6 .

3.3. Hukum Memainkan Alat Musik

Bagaimanakah hukum memainkan alat musik, seperti gitar, piano, rebana, dan
sebagainya? Jawabannya adalah, secara tekstual (nash), ada satu jenis alat
musik yang dengan jelas diterangkan kebolehannya dalam hadits, yaitu ad-duff
atau al-ghirbal, atau rebana. Sabda Nabi Saw:

“Umumkanlah pernikahan dan tabuhkanlah untuknya rebana (ghirbal).” [HR.


Ibnu Majah] ( Abi Bakar Jabir al-Jazairi, Haramkah Musik Dan Lagu? (Al-I’lam bi
Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram), hal. 52; Toha Yahya Omar, Hukum Seni Musik,
Seni Suara, Dan Seni Tari Dalam Islam, hal. 24).

Adapun selain alat musik ad-duff / al-ghirbal, maka ulama berbeda pendapat.
Ada yang mengharamkan dan ada pula yang menghalalkan. Dalam hal ini
penulis cenderung kepada pendapat Syaikh Nashiruddin al-Albani. Menurut
Syaikh Nashiruddin al-Albani hadits-hadits yang mengharamkan alat-alat musik
seperti seruling, gendang, dan sejenisnya, seluruhnya dha’if. Memang ada
beberapa ahli hadits yang memandang shahih, seperti Ibnu Shalah dalam
Muqaddimah ‘Ulumul Hadits, Imam an-Nawawi dalam Al-Irsyad, Imam Ibnu Katsir
dalam Ikhtishar ‘Ulumul Hadits, Imam Ibnu Hajar dalam Taghliqul Ta’liq, as-
Sakhawy dalam Fathul Mugits, ash-Shan’ani dalam Tanqihul Afkar dan Taudlihul
Afkar juga Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qayyim dan masih
banyak lagi. Akan tetapi Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam kitabnya Dha’if al-
Adab al-Mufrad setuju dengan pendapat Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla bahwa
hadits yang mengharamkan alat-alat musik adalah Munqathi’ (Syaikh
Nashiruddin Al-Albani, Dha’if al-Adab al-Mufrad, hal. 14-16).

Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla, juz VI, hal. 59 mengatakan:

“Jika belum ada perincian dari Allah SWT maupun Rasul-Nya tentang sesuatu
yang kita perbincangkan di sini [dalam hal ini adalah nyanyian dan memainkan
alat-alat musik], maka telah terbukti bahwa ia halal atau boleh secara mutlak.”
(Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 57).

Kesimpulannya, memainkan alat musik apa pun, adalah mubah. Inilah hukum
dasarnya. Kecuali jika ada dalil tertentu yang mengharamkan, maka pada saat
itu suatu alat musik tertentu adalah haram. Jika tidak ada dalil yang
mengharamkan, kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah.

3.4. Hukum Mendengarkan Musik

a. Mendengarkan Musik Secara Langsung (Live)

Pada dasarnya mendengarkan musik (atau dapat juga digabung dengan vokal)
secara langsung, seperti show di panggung pertunjukkan, di GOR, lapangan, dan
semisalnya, hukumnya sama dengan mendengarkan nyanyian secara interaktif.
Patokannya adalah tergantung ada tidaknya unsur kemaksiatan atau
kemungkaran dalam pelaksanaannya.

Jika terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, misalnya syairnya tidak


Islami, atau terjadi ikhthilat, atau terjadi penampakan aurat, maka hukumnya
haram.

Jika tidak terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka hukumnya


adalah mubah (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal.
74).

b. Mendengarkan Musik Di Radio, TV, Dan Semisalnya

Menurut Dr. Abdurrahman al-Baghdadi (Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 74-76)
dan Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki (Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 107-
108) hukum mendengarkan musik melalui media TV, radio, dan semisalnya,
tidak sama dengan hukum mendengarkan musik secara langsung sepereti show
di panggung pertunjukkan. Hukum asalnya adalah mubah (ibahah), bagaimana
pun juga bentuk musik atau nyanyian yang ada dalam media tersebut.

Kemubahannya didasarkan pada hukum asal pemanfaatan benda (asy-yâ’) —


dalam hal ini TV, kaset, VCD, dan semisalnya— yaitu mubah. Kaidah syar’iyah
mengenai hukum asal pemanfaatan benda menyebutkan:
Al-ashlu fi al-asy-yâ’ al-ibahah ma lam yarid dalilu at-tahrim “Hukum asal benda-
benda, adalah boleh, selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya.” (Dr.
Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 76).

Namun demikian, meskipun asalnya adalah mubah, hukumnya dapat menjadi


haram, bila diduga kuat akan mengantarkan pada perbuatan haram, atau
mengakibatkan dilalaikannya kewajiban. Kaidah syar’iyah menetapkan:

Al-wasilah ila al-haram haram “Segala sesuatu perantaraan kepada yang haram,
hukumnya haram juga.” (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur,
hal. 86).

4. Pedoman Umum Nyanyian Dan Musik Islami

Setelah menerangkan berbagai hukum di atas, penulis ingin membuat suatu


pedoman umum tentang nyanyian dan musik yang Islami, dalam bentuk yang
lebih rinci dan operasional. Pedoman ini disusun atas di prinsip dasar, bahwa
nyanyian dan musik Islami wajib bersih dari segala unsur kemaksiatan atau
kemungkaran, seperti diuraikan di atas. Setidaknya ada 4 (empat) komponen
pokok yang harus diislamisasikan, hingga tersuguh sebuah nyanyian atau alunan
musik yang indah (Islami):

1. Musisi/Penyanyi.

2. Instrumen (alat musik).

3. Sya’ir dalam bait lagu.

4. Waktu dan Tempat.

Berikut sekilas uraiannya:

1). Musisi/Penyanyi

a) Bertujuan menghibur dan menggairahkan perbuatan baik (khayr / ma’ruf) dan


menghapus kemaksiatan, kemungkaran, dan kezhaliman. Misalnya, mengajak
jihad fi sabilillah, mengajak mendirikan masyarakat Islam. Atau menentang judi,
menentang pergaulan bebas, menentang pacaran, menentang kezaliman
penguasa sekuler.

b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar (meniru orang kafir dalam masalah yang
bersangkutpaut dengan sifat khas kekufurannya) baik dalam penampilan
maupun dalam berpakaian. Misalnya, mengenakan kalung salib, berpakaian ala
pastor atau bhiksu, dan sejenisnya.

c) Tidak menyalahi ketentuan syara’, seperti wanita tampil menampakkan aurat,


berpakaian ketat dan transparan, bergoyang pinggul, dan sejenisnya. Atau yang
laki-laki memakai pakaian dan/atau asesoris wanita, atau sebaliknya, yang
wanita memakai pakaian dan/atau asesoris pria. Ini semua haram.

2). Instrumen/Alat Musik

Dengan memperhatikan instrumen atau alat musik yang digunakan para


shahabat, maka di antara yang mendekati kesamaan bentuk dan sifat adalah:

a) Memberi kemaslahatan bagi pemain ataupun pendengarnya. Salah satu


bentuknya seperti genderang untuk membangkitkan semangat.

b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar dengan alat musik atau bunyi instrumen
yang biasa dijadikan sarana upacara non muslim.

Dalam hal ini, instrumen yang digunakan sangat relatif tergantung maksud si
pemakainya. Dan perlu diingat, hukum asal alat musik adalah mubah, kecuali
ada dalil yang mengharamkannya.

3). Sya’ir

Berisi:

a) Amar ma’ruf (menuntut keadilan, perdamaian, kebenaran dan sebagainya)


dan nahi munkar (menghujat kedzaliman, memberantas kemaksiatan, dan
sebagainya)

b) Memuji Allah, Rasul-Nya dan ciptaan-Nya.

c) Berisi ‘ibrah dan menggugah kesadaran manusia.

d) Tidak menggunakan ungkapan yang dicela oleh agama.

e) Hal-hal mubah yang tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.

Tidak berisi:

a) Amar munkar (mengajak pacaran, dan sebagainya) dan nahi ma’ruf (mencela
jilbab,dsb).

b) Mencela Allah, Rasul-Nya, al-Qur’an.

c) Berisi “bius” yang menghilangkan kesadaran manusia sebagai hamba Allah.

d) Ungkapan yang tercela menurut syara’ (porno, tak tahu malu, dan
sebagainya).

e) Segala hal yang bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.


4). Waktu Dan Tempat

a) Waktu mendapatkan kebahagiaan (waqtu sururin) seperti pesta pernikahan,


hari raya, kedatangan saudara, mendapatkan rizki, dan sebagainya.

b) Tidak melalaikan atau menyita waktu beribadah (yang wajib).

c) Tidak mengganggu orang lain (baik dari segi waktu maupun tempat).

d) Pria dan wanita wajib ditempatkan terpisah (infishal) tidak boleh ikhtilat
(campur baur).

5. Penutup

Demikianlah kiranya apa yang dapat penulis sampaikan mengenai hukum


menyanyi dan bermusik dalam pandangan Islam. Tentu saja tulisan ini terlalu
sederhana jika dikatakan sempurna. Maka dari itu, dialog dan kritik konstruktif
sangat diperlukan guna penyempurnaan dan koreksi.

Penulis sadari bahwa permasalahan yang dibahas ini adalah permasalahan


khilafiyah. Mungkin sebagian pembaca ada yang berbeda pandangan dalam
menentukan status hukum menyanyi dan musik ini, dan perbedaan itu sangat
penulis hormati.

Semua ini mudah-mudahan dapat menjadi kontribusi —walau pun cuma secuil—
dalam upaya melepaskan diri dari masyarakat sekuler yang bobrok, yang
menjadi pendahuluan untuk membangun peradaban dan masyarakat Islam yang
kita idam-idamkan bersama, yaitu masyarakat Islam di bawah naungan Laa
ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah. Amin. [M. Shiddiq al-Jawi]

Wallahu a’lam bi ash-showab.

Daftar Bacaan

* Abdullah, Muhammad Husain. 1995. Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh. Cetakan II.


(Beirut : Darul Bayariq).

* Al-Amidi, Saifuddin. 1996. Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam. Juz I. Cetakan I. (Beirut :


Darul Fikr).

* Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1991. Seni Dalam Pandangan Islam. Cetakan I.


(Jakarta : Gema Insani Press).

* Al-Jazairi, Abi Bakar Jabir. 1992. Haramkah Musik dan Lagu ? (Al-I’lam bi Anna
Al-‘Azif wa Al-Ghina Haram). Alih Bahasa oleh Awfal Ahdi. Cetakan I. (Jakarta :
Wala` Press).
* Al-Jaziri, Abdurrahman. 1999. Kitab Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah. Juz II.
Qism Al-Mu’amalat. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr).

* Asy-Syaukani. Tanpa Tahun. Irsyadul Fuhul Ila Tahqiq Al-Haq min ‘Ilm Al-
Ushul.(Beirut : Darul Fikr).

* Asy-Syuwaiki, Muhammad. Tanpa Tahun. Al-Khalash wa Ikhtilaf An-Nas. (Al-


Quds : Mu`assasah Al-Qudsiyah Al-Islamiyyah).

* An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz III (Ushul Al-


Fiqh). Cetakan II. (Al-Quds : Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir).

* ———-. 1963. Muqaddimah Ad-Dustur.(t.t.p. : t.p.).

* ———-. 1994. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz I. Cetakan IV. (Beirut : Darul


Ummah).

* ———-.2001. Nizham Al-Islam. (t.t.p. : t.p.).

* Ath-Thahhan, Mahmud. Tanpa Tahun. Taysir Musthalah Al-Hadits. (Surabaya :


Syirkah Bungkul Indah).

* Bulletin An-Nur. Hukum Musik dan Lagu. http://www.alsofwah.or.id/

* Bulletin Istinbat. Mendengarkan Musik, Haram ? http://www.sidogiri.com/

* Fatwa Pusat Konsultasi Syariah. Lagu dan Musik. http://www.syariahonline.com/

* Kusuma, Juanda. 2001. Tentang Musik. http://www.pesantrenvirtual.com/

* “Norma Islam untuk Musisi, Instrumen, Sya’ir, dan Waktu”. Musik.


http://www.ashifnet.tripod.com/

* Omar, Toha Yahya. 1983. Hukum Seni Musik, Seni Suara, dan Seni Tari Dalam
Islam. Cetakan II. (Jakarta : Penerbit Widjaya).

* Santoso, Iman. Hukum Nyanyian dan Musik. http://www.ummigroup.co.id/

* Wafaa, Muhammad. 2001. Metode Tarjih Atas Kontradiksi Dalil-Dalil Syara’


(Ta’arudh Al-Adillah min Al-Kitab wa As-Sunnah wa At-Tarjih Baynaha). Alih
Bahasa oleh Muslich. Cetakan I. (Bangil : Al-Izzah).

You might also like