You are on page 1of 2

Suku-suku di Bengkulu

Suku-suku bangsa yang mendiami Provinsi Bengkulu dapat dikelompokkan menjadi suku asli dan pendatang, meskipun sekarang kedua kelompok ini mulai bercampur baur. Bahasa yang dominan dipakai adalah bahasa Rejang, yang banyak dipahami oleh sebagian besar penduduk, selain bahasa Melayu (bahasa Indonesia) dan bahasa Serawai. Di Pulau Enggano dipakai bahasa Enggano. Suku-suku pribumi mencakup suku-suku berikut: 1) Mukomuko, mendiami wilayah Kabupaten Mukomuko; 2) Pekal, mendiami wilayah Kabupaten Mukomuko dan Kabupaten Bengkulu Utara; 3) Rejang, mediami wilayah Kabupaten Bengkulu Utara, Kepahiang, Rejang Lebong dan Lebong; 4) Lembak, mendiami wilayah Kota Bengkulu dan Kabupaten Rejang Lebong; 5) Serawai, mendiami wilayah Kabupaten Seluma dan Bengkulu Selatan; 6) Pasemah, mendiami wilayah Kabupaten Bengkulu Selatan dan Kaur; 7) Kaur, mendiami wilayah Kabupaten Kaur; 8) suku-suku pribumi Enggano (ada enam puak), mendiami Pulau Enggano. Suku bangsa pendatang meliputi Melayu, Jawa (dari Banten), Bugis, Madura, Minangkabau, Batak, Sunda, dan lain-lain.

Status Sosial
Secara tradisional, yang disebut elite pribumi adalah para kepala pribumi yang berstatus sebagai kepala adat dalam komunitasnya masing-masing. Komunitas-komunitas itu pada umumnya mereka sebut sebagai /karajaan atau negari/. Dalam masyarakat tradisional, tidak ada status sosial yang lebih tinggi dari kepala adat, baik dalam komunitas yang kecil maupun dalam tingkat yang lebih besar yang mencakup konfederasi dari beberapa marga atau suku. Sebagai kepala adat, maka sumber kekuasaannyapun tidak lepas dari lingkup adatnya. Dengan bahasa lain, bahwa sumber kekuasaannya ditentukan oleh norma-norma sosial yang berlaku dan diyakini bersama dalam masyarakatnya. Dalam kaitannya dengan status sosial tersebut, Francis (mantan asisten residen Bengkulu periode 1828-1831, dan tahun 1833), melaporkannya lengkap dengan peran sosialnya, yaitu sebagai berikut: Alle de voor voornoemde hoofden zijn de bevoegde uitleggers der voorvaderlijke wetten en gebruiken onder de bevolking, waaromtrent geene geschriften bestaan, doch die door hen bij overlevering worden onderhoeden, zij beslissen ook, bij wege van reconsiliatie, alle geschillen tusschen hunne anak boeas, en regelen alle festiviteiten en andere volksplegtigheden (Francis, 1842: 437) Dari laporan tersebut diketahui, bahwa para kepala pribumi Bengkulu adalah cikal-bakal yang berperan sebagai juru penerang yang mempunyai wewenang dalam hukum adat penduduk setempat yang tak tertulis yang dilaksanakan secara turun-temurun, dan juga berperan dalam menentukan cara-cara untuk merekonsiliasi terhadap perbedaan atau /perselisihan/ di antara anak-buahnya, serta mengatur pesta-pesta, dan upacara-upacara adat lainnya. Dengan berbagai macam peran yang disandangnya, para kepala adat ini tidak hanya sekedar mengandalkan status sosialnya, tetapi juga dituntut untuk memiliki kemampuan, pengalaman, dan keterampilan terhadap wawasan adat (Miriam Budiardjo, 1991:13). Oleh karenanya, untuk menjadi seorang raja (kepala adat), harus memenuhi empat persyaratan seperti yang ditawarkan menurut konsepsi adat raja-raja Melayu (Panuti Sudjiman, 1983: 133), yaitu sebagai berikut:

/Sebermula adapun sarat/ /mendjadi radja itu, sekurang-kurangnja mau atas empat perkara: pertama, tua hati betul, dan kedua bermuka manis, dan ketiga berlidah/ /fasih, dan keempat bertangan murah adanja./ Syarat pertama mengandung arti, bahwa seorang raja (kepala adat) harus bersikap dewasa dalam bertindak selaku patron (pelindung). Syarat kedua, seorang kepala adat juga harus bersikap ramah dalam setiap penampilan di tengahtengah masyarakatnya. Syarat ketiga, menuntut adanya kecakapan dan ketrampilan berbicara, serta berwawasan luas mengenai pengetahuan adatnya. Syarat keempat, menuntut loyalitas sosial yang tinggi, yaitu kemampuan untuk menempatkan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi.

Hubungan Sosial (patron-klien)


Hubungan sosial (patron-klien) dalam masyarakat tradisional Bengkulu lebih dikenal dengan sebutan hubungan /kepala-anak buah/. Sebutan /kepala /mengacu pada posisi seseorang sebagai kepala pribumi (kepala adat), sedangkan sebutan /anak buah/ mengacu pada rakyatnya. Hubungan patron-klien (/kepala-anak buah/) dalam masyarakat tradisional Bengkulu lebih bersifat /personalized relationships /(hubungan yang memribadi) atau juga disebut /face to face relationships /(hubungan tatap muka). Sifat hubungan sosial yang demikian mengandung konsekuensi logis adanya saling tukar-menukar sumber daya yang masing-masing mempunyai sistem nilai yang sama. Dalam bahasa sosiologi, hubungan sosial yang demikian ini bersifat /horizontal-oriented /(Keith R. Legg, 1983: 12-20; James C. Scott, 1993: 7-23). Selaku patron, mereka berkewajiban menyediakan fasilitas-fasilitas umum yang dapat dimanfaatkan sebagai perlindungan dan kesejahteraan masyarakatnya. Sementara masyarakat sebagai klien, selain mengakui dan menghormati martabat patronnya, juga menyediakan pelayanan-pelayanan yang seimbang dengan fasilitas-fasilitas yang telah dimanfaatkannya. Menurut hasil laporan J.R. Abegg, pelayanan terhadap kepala pribumi itu dilakukan atas dasar kesetiaan dan sukarela, antara lain: menyambut kedatangannya di dusun, menyediakan makanan dan peralatan dalam perjalanan keliling, atau dalam kesempatan pesta, membantu mengolah ladangnya, membantu membangun rumahnya, serta membantu sejumlah pekerjaan kecil lainnya (J.R. Abegg, 1862: 262, 277, 309, 330). Sebaliknya, pihak /patron/ (para kepala adat) juga memberikan layanan-layanan seperti; pemberian restu atau izin membuka ladang atau hutan, mengatur upacara kelahiran , pesta perkawinan , upacara kematian , perceraian, menyelenggarakan peradilan adat, dan lain-lain (E. Francis, 1829, Arsip Nasional RI, no. B:6/9). Akan tetapi hubungan sosial yang (/horizontal-oriented/) tersebut selanjutnya berubah menjadi /vertical-oriented /karena selain faktor alamiah, juga masuknya pengaruh budaya koto piliang-nya ranah Minang serta akibat transformasi sistem politik kolonial terutama pada abad ke 19.

You might also like