You are on page 1of 28

HAKIKAT, PERMASALAHAN, DAN TAHAP-TAHAP PEMEROLEHAN BAHASA PERTAMA HAKIKAT, PERMASALAHAN, DAN TAHAP-TAHAP PEMEROLEHAN BAHASA PERTAMA KATA

PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Adapun tujuan penulis membuat makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikolinguistik dan juga menambah wawasan tentang ilmu pengetahuan. Diharapkan makalah ini dapat memberikan manfaat dan peranan penting dalam pembentukan kepribadian kita sebagai mahasiswa yang cinta tanah air dan berbudi luhur. Penulis sadar bahwa sebagai manusia biasa pasti punya kesalahan. Oleh sebab itu saya berharap sekali akan kritik dan saran dari para pembaca demi perbaikan makalah di masa yang akan datang. Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak ysng telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini, semoga makalah ini bermanfaat bagi segenap pembaca, terima kasih.

Semarang, Penulis

10

September

2009

PEMBAHASAN A. HAKIKAT PEMEROLEHAN BAHASA PERTAMA Bahasa adalah segala komunikasi dimana pikiran dan perasaan seseorang disimbolisasikan agar dapat menyampaikan arti kepada orang lain. Oleh karena itu, perkembangan bahasa dimulai dari tangisan pertama sampai anak mampu bertutur kata. Perkembangan bahasa terbagi atas dua periode besar, yaitu: periode Prelinguistik (0-4 tahun) dan Linguistik (1-5 tahun). Istilah pemerolehan merupakan padanan kata acquisition. Istilah ini dipakai dalam proses penguasaan bahasa pertama sebagai salah satu perkembangan yang terjadi pada seorang manusia sejak lahir (Darmojuwono dan Kushartanti, 2005: 24). Secara alamiah anak akan mengenal bahasa sebagai cara berkomunikasi dengan orang di sekitarnya. Bahasa pertama yang dikenal dan selanjutnya dikuasai oleh seorang anak disebut bahasa ibu (native language). Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dengan pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seorang kanak-kanak mempelajari bahasa kedua setelah dia memperoleh bahasa pertamanya. Jadi, pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa pertama, sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua (Chaer, 2003:167). Pada hakekatnya, proses pemerolehan bahasa itu pada setiap anak sama, yaitu melalui pembentukan dan pengujian hipotesis tentang kaidah bahasa. Pembentukan kaidah itu

dimungkinkan oleh adanya kemampuan bawaan atau struktur bawaan yang secara mental dimiliki oleh setiap anak. Inilah yang disebut dengan alat pemerolehan bahasa (Language Acquisition Devical/ LAD). Dengan ini setiap anak dapat memperoleh bahasa apa saja serta ditentukan oleh faktor lain yang turut mempengaruhinya. Data kebahasaan yang harus diproses lebih lanjut oleh anak merupakan hal yang penting. B. PERMASALAHAN PEMEROLEHAN BAHASA PERTAMA Hal yang patut dipertanyakan dalam pemerolehan bahasa pertama adalah bagaimana strategi si anak dalam memperoleh bahasa pertamanya dan apakah setiap anak memiliki strategi yang sama dalam memperoleh bahasa pertamanya? Berkaitan dengan hal ini, Dardjowidjojo, (2005:243-244) menyebutkan bahwa pada umumnya kebanyakan ahli kini berpandangan bahwa anak di mana pun juga memperoleh bahasa pertamanya dengan memakai strategi yang sama. Kesamaan ini tidak hanya dilandasi oleh biologi dan neurologi manusia yang sama, tetapi juga oleh pandangan mentalistik yang menyatakan bahwa anak telah dibekali dengan bekal kodrati pada saat dilahirkan. Di samping itu, dalam bahasa juga terdapat konsep universal sehingga anak secara mental telah mengetahui kodrat-kodrat yang universal ini. Chomsky mengibaratkan anak sebagai entitas yang seluruh tubuhnya telah dipasang tombol serta kabel listrik: mana yang dipencet, itulah yang akan menyebabkan bola lampu tertentu menyala. Jadi, bahasa mana dan wujudnya seperti apa ditentukan oleh input sekitarnya. C. TAHAP-TAHAP PEMEROLEHAN BAHASA PERTAMA Perlu untuk diketahui adalah seorang anak tidak dengan tiba-tiba memiliki tata bahasa B1 dalam otaknya dan lengkap dengan semua kaidahnya. B1 diperolehnya dalam beberapa tahap dan setiap tahap berikutnya lebih mendekati tata bahasa dari bahasa orang dewasa. Menurut para ahli, tahap-tahap ini sedikit banyaknya ada ciri kesemestaan dalam berbagai bahasa di dunia. Tahap-tahap pemerolehan bahasa pertama adalah sebagai berikut: 1. Fase satu kata atau Holofrase Pada fase ini anak mempergunakan satu kata untuk menyatakan pikiran yang kornpleks, baik yang bcrupa keinginan, perasaan atau temuannya tanpa perbedaan yang jelas. Misalnya kata duduk, bagi anak dapat berarti saya mau duduk, atau kursi tempat duduk, dapat juga berarti mama sedang duduk. Orang tua baru dapat mengerti dan memahami apa yang dimaksudkan oleh anak tersebut, apabila kita tahu dalam konteks apa kata tersebut diucapkan, sambil mengamati mimik (raut muka) gerak serta bahasa tubuh lainnya. Pada umumnya kata pertama yang diucapkan oleh anak adalah kata benda, setelah beberapa waktu barulah disusul dengan kata kerja. 2. Fase lebih dari satu kata. Fase dua kata muncul pada anak berusia sekitar 18 bulan. Pada fase ini anak sudah dapat membuat kalimat sederhana yang terdiri dari dua kata. Kalimat tersebut kadang-kadang terdiri dari pokok kalimat dan predikat, kadang-kadang pokok kalimat dengan obyek dengan tata bahasa yang tidak benar. Setelah dua kata, muncullah kalimat dengan tiga kata, diikuti oleh empat kata dan seterusnya. Pada periode ini bahasa yang digunakan oleh anak tidak lagi egosentris, dari dan untuk dirinya sendiri. Mulailah mcngadakan komunikasi dengan orang lain secara lancar. Orang tua mulai melakukan tanya jawab dengan anak secara sederhana. Anak pun mulai dapat bercerita dengan kalimat-kalimatnya sendiri yang sederhana. 3. Fase ketiga adalah fase diferensiasi Periode terakhir dari masa balita yang berlangsung antara usia dua setengah sampai lima tahun. Keterampilan anak dalam berbicara mulai lancar dan berkembang pesat. Dalam berbicara anak bukan saja menambah kosakatanya yang mengagumkan akan tetapi anak mulai mampu mengucapkan kata demi kata sesuai dengan jenisnya, terutama dalam pemakaian kata benda dan kata kerja. Anak telah mampu mempergunakan kata ganti orang saya untuk menyebut dirinya, mampu mempergunakan kata dalam bentuk jamak, awalan,

akhiran dan berkomunikasi lebih lancar lagi dengan lingkungan. Anak mulai dapat mengkritik, bertanya, menjawab, memerintah, memberi tahu dan bentuk-bentuk kalimat lain yang umum untuk satu pembicaraan gaya dewasa. Cara memahami dan menganalisis bahasa antara lain: a. Bahasa Tubuh Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa salah satu jenis bahasa adalah bahasa tubuh. Bahasa tubuh adalah cara seseorang berkomunikasi dengan mempergunakan bagian-bagian dari tubuh, yaitu melalui gerak isyarat, ekspresi wajah, sikap tubuh, langkah serta gaya tersebut pada umumnya disebut bahasa tubuh. Bahasa tubuh sering kali dilakukan tanpa disadari. Sebagaimana fungsi bahasa lain, bahasa tubuh juga merupakan ungkapan komunikasi anak yang paling nyata, knrena merupakan ekspresi perasaan serta keinginan mereka terhadap orang lain, misalnya terhadap orang tua (ayah dan ibu) saudara dan orang lain yang dapat mememuhi atau mengerti akan pikiran anak. Melalui bahasa tubuh anak, orang tua dapat mempelajari apakah anaknya menangis karena lapar, sakit, kesepian atau bosan pada waktu tertentu. b. Bicara Bicara merupakan salah satu alat komunikasi yang paling efektif. Semenjak anak masih bayi sering kali menyadari bahwa dengan mempergunakan bahasa tubuh dapat terpenuhi kebutuhannya. Namun hal tersebut kurang mengerti apa yang dimaksud oleh anak. Oleh karena itu baik bayi maupun anak kecil selalu berusaha agar orang lain mengerti maksudnya. Hal ini yang mendorong orang untuk belajar berbicara dan membuktikan bahwa berbicara merupakan alat komunikasi yang paling efektif dibandingkan dengan bentuk-bentuk komunikasi yang lain yang dipakai anak sebelum pandai berbicara. Oleh karena bagi anak bicara tidak sekedar merupakan prestasi akan tetapi juga berfungsi untuk mencapai tujuannya, misalnya: 1) Sebagai pemuas kebutuhan dan keinginan. Dengan berbicara anak mudah untuk menjelaskan kebutuhan dan keinginannya tanpa harus menunggu orang lain mengerti tangisan, gerak tubuh atau ekspresi wajahnya. Dengan demikian kemampuan berbicara dapat mengurangi frustasi anak yang disebabkan oleh orang tua atau lingkungannya tidak mengerti apa saja yang dimaksudkan oleh anak. 2) Sebagai alat untuk menarik perhatian orang lain Pada umumnya setiap anak merasa senang menjadi pusat perhatian orang lain. Dengan melalui keterampilan berbicara anak berpendapat bahwa perhatian orang lain terhadapnya mudah diperoleh melalui berbagai pertanyaan yang diajukan kepada orang tua misalnya apabila anak dilarang mengucapkan kata-kata yang tidak pantas. Di samping itu berbicara juga dapat untuk menyatakan berbagai ide, sekalipun sering kali tidak masuk akal bagi orang tua, dan bahkan dengan mempergunakan keterampilan berbicara anak dapat mendominasi situasi sehingga terdapat komunikasi yang baik antara anak dengan teman bicaranya. 3) Sebagai alat untuk membina hubungan social. Kemampuan anak berkomunikasi dengan orang lain merupakan syarat penting untuk dapat menjadi bagian dari kelompok di lingkungannya. Dengan keterampilan berkomunikasi anakanak lebih mudah diterima oleh kelompok sebayanya dan dapat memperoleh kesempatan lebih banyak untuk mendapat peran sebagai pemimpin dari suatu kelompok, jika dibandingkan dengan anak yang kurang terampil atau tidak memiliki kemampuan berkomunikasi dengan baik. 4) Sebagai alat untuk mengevaluasi diri sendiri. Dari pernyataan orang lain anak dapat mengetahui bagaimana perasaan dan pendapat orang tersebut terhadap sesuatu yang telah dikatakannya. Di samping anak juga mendapat kesan bagaimana lingkungan menilai dirinya. Dengan kata lain anak dapat mengevaluasi diri melalui orang lain.

5) Untuk dapat mcmpengaruhi pikiran dan perasaan orang lain Anak yang suka berkomentar, menyakiti atau mengucapkan sesuatu yang tidak menyenangkan tentang orang lain dapat menyebabkan anak tidak populer atau tidak disenangi lingkungannya. Sebaliknya bagi anak yang suka mengucapkan kata-kata yang menyenangkan dapat merupakan modal utama bagi anak agar diterima dan mendapat simpati dari lingkungannya. 6) Untuk mempengaruhi perilaku orang lain Dengan kemampuan berbicara dengan baik dan penuh rasa percaya diri anak dapat mempengaruhi orang lain atau teman sebaya yang berperilaku kurang baik menjadi teman yang bersopan santun. Kemampuan dan keterampilan berbicara dengan baik juga dapat merupakan modal utama bagi anak untuk menjadi pemimpin di lingkungan karena teman sebayanya menaruh kepercayaan dan simpatik kepadanya. Selain tahap pemerolehan bahasa yang disebutkan di atas, ada juga para ahli bahasa seperti Aitchison mengemukakan beberapa tahap pemerolehan bahasa anak sebagai berikut : Tahap 1: Mendengkur, tahap ini mulai berlangsung pada anak usia sekitar enam minggu. Bunyi yang dihasilkan mirip dengan vokal tetapi tidak sama dengan bunyi vokal orang dewasa. Tahap 2: Meraban, tahap ini berlangsung ketika usia anak mendekati enam bulan. Tahap meraban merupakan pelatihan bagi alat-alat ucap. Vokal dan konsonan dihasilkan secara serentak. Tahap 3: Pola intonasi, anak mulai menirukan pola-pola intonasi. Tuturan yang dihasilkan mirip dengan yang diucapkan ibunya. Tahap 4: Tuturan satu kata, pada umur satu tahun sampai delapan belas bulan anak mulai mengucapkan tuturan satu kata. Pada usia ini anak memperoleh sekitar lima belas kata meliputi nama orang, binatang, dan lain-lain. Tahap 5: Tuturan dua kata, umumnya pada usia dua setengah tahun anak sudah menguasai beberapa ratus kata. Tuturan hanya terdiri atas dua kata. Tahap 6: Infleksi kata, kata-kata yang dianggap remeh dan infleksi mulai digunakan. Dalam bahasa Indonesia yang tidak mengenal istilah infleksi, mungkin berwujud pemerolehan bentuk-bentuk derivasi, misalnya kata kerja yang mengandung awalan atau akhiran. Tahap 7: Bentuk Tanya dan bentuk ingkar, anak mulai memperoleh kalimat tanya dengan kata tanya seperti apa, siapa, kapan, dan sebagainya. Di samping itu anak juga sudah mengenal bentuk ingkar. Tahap 8: Konstruksi yang jarang atau kompleks, anak sudah mulai berusaha menafsirkan meskipun penafsirannya dilakukan secara keliru. Anak juga memperoleh kalimat dengan struktur yang rumit, seperti pemerolehan kalimat majemuk. Tahap 9: Tuturan yang matang, pada tahap ini anak sudah dapat menghasilkan kalimatkalimat seperti orang dewasa. a. Perkembangan Produksi Bahasa Perkembangan produksi bahasa antara lain : 1. Pemerolehan dalam bidang fonologi Perkembangan fonologi meliputi bidang fonetik, fonemik dan fonotaktik. Roman Jakobson, seorang linguis besar dan terkemuka mengemukakan bahwasanya bahwa bahasa anak di seluruh dunia mengembangkan suatu sistem yang sama, fonemik yang sama. Ia menyatakan bahwa anak-anak mengembangkan satu sistem fonemik yang umum terdapat dalam semua bahasa di dunia dan baru ke dalam bahasa ibu atau bahasa warisannya. Beberapa kaidah yang dikemukakan oleh Jakobson antara lain: Konsonan /p,m,t/ adalah tiga konsonan yang diperoleh pertama kali oleh anak-anak dan ketiganya hampir terdapat dalam semua proses berbahasa.

Fonem pertama yang dikuasai oleh anak-anak adalah fonem-fonem yang secara artikulatoris dapat dengan mudah dibedakan dan dipertentangkan. Vokal pertama yang dikuasai oleh anak-anak adalah vocal /a/. Selanjutnya vocal /a/ tersebut akan pecah menjadi vocal /i/ dan pecah lagi menjadi /u/. Konsonan /p/ akan segera dipertentangkan dengan konsonan bilabial nasal /m/. Kemudian konsonan /p/ juga akan dipertentangkan lagi dengan konsonan /t/. Anak menggunakan bunyi-bunyi yang telah dipelajarinya dengan bunyi-bunyi yang belum dipelajari, misalnya menggantikan bunyi /l/ yang sudah dipelajari dengan bunyi /r/ yang belum dipelajari. Pada akhir periode berceloteh, anak sudah mampu mengendalikan intonasi, modulasi nada, dan kontur bahasa yang dipelajarinya. 2. Pemerolehan dalam bidang morfologi dan sintaksis Kita mengetahui bahwa aspek morfologi dalam berbagai bahasa tidak sama. Bahasa Inggris misalnya mengenal modifikasi yang berhubungan dengan kata, jumlah, kasus, orang, yang berbeda dengan kenyataan-kenyataan yang terdapat di dalam bahasa Indonesia. Pada aspek ini, anak-anak mula-mula belajar dengan cara meniru. Bagi anak-anak Inggris atau yang orang tuanya tahu lalu berbahasa Inggris, kita akan selalu mendengar kata bantu to be, to do, to have, dan modifikasi kata kerja. Sampai umur 3 tahun anak mencoba terus yang tentunya mendapat pengukuhan orang di sekelilingnya. Pada usia 3 tahun anak sudah membentuk beberapa morfem yang menunjukkan fungsi gramatikal nomina dan verba yang digunakan. Kesalahan gramatika sering terjadi pada tahap ini karena anak masih berusaha mengatakan apa yang ingin dia sampaikan. Anak terus memperbaiki bahasanya sampai usia sepuluh tahun. Alamsyah (2007:21) menyebutkan bahwa anak-anak mengembangkan tingkat gramatikal kalimat yang dihasilkan melalui beberapa tahap, yaitu melalui peniruan, melalui penggolongan morfem, dan melalui penyusunan dengan cara menempatkan kata-kata secara bersama-sama untuk membentuk kalimat. 3. Pemerolehan tata bahasa pada anak. Pada tahun 1963 Martin Braine, Universitas California di Santa Barbara, mendapati dalam penelitiannya bahwa urutan dua kata yang dipakai anak ternyata mengikuti aturan tertentu. Kata-kata tertentu selalu berada pada tempat tertentu pula dan ada kata-kata yang tidak pernah muncul sendirian. Ketiga anak yang dia selidiki tampaknya membagi kata-kata mereka menjadi dua kelompok: a. Kata-kata yang sering muncul, yang tidak pernah sendirian, dan muncul pada posisi tertentu. b. Kata-kata yang jumlahnya lebih besar, yang munculnya tidak sesering seperti yang ada pada (a), posisinya juga dimana saja dan bias muncul sendirian. b. Perkembangan Keterampilan Berbicara Perkembangan keterampilan berbicara antara lain : 1. Hubungan produksi, komprehensi, dan pemikiran Manusia, baik anak maupun dewasa mempunyai dua tingkat kemampuan yang berbeda dalam berbahasa. Sebagai orang dewasa, kita menyadari bahwa jumlah kosakata yang kita pakai secara aktif adalah lebih rendah daripada kata-kata yang dapat kita mengerti. Begitu juga anak, dimanapun juga kemampuan anak untuk memahami apa yang dikatakan orang jauh lebih cepat dan jauh lebih baik daripada produksinya. Sebagian peneliti mengatakan bahwa kemampuan anak dalam komprehensi adalah lima kali lipat dibandingkan dengan produksinya (Benedict 1979 dalam Fletcher dan Garman 1981:6). Sementara itu Fenson dkk (dalam Barret 1995:363) mengatakan bahwa pada saat anak dapat memproduksi 10 kata, komprehensinya adalah 110 kata; jadi 11 kali lipat daripada produksinya. Ketidak-seimbangan antara komprehensi dengan produksi ini tampak pada perilaku bahasa sehari-hari si anak. Dia telah akan bias memahami perintah untuk menaruh bungkus makanan

ke tempat sampah, misalnya meskipun dia belum dapat mengucapkan satu kata pun dengan baik. Dia akan menangis kalau dimarahi ibu atau ayahnya: dia akan dating kalau dipanggil; dst. 2. Bahasa sang ibu dan ujaran sang bayi. Bahasa sang ibu adalah bahasa yang dipakai oleh orang dewasa pada waktu berbicara dengan anak yang sedang dalam proses memperoleh bahasa ibunya. Bahasa seorang anak umur 15 tahun, waktu bicara dengan adiknya yang berumur 2 tahun adalah juga bahasa sang ibu. Bahasa sang ibu mempunyai ciri-ciri khusus: a. kalimatnya umumnya pendek-pendek b. nada suaranya biasanya tinggi c. intonasinya agak berlebihan d. laju ujaran agak lambat e. banyak redundansi (pengulangan) f. banyak memakai kata sapaan (Moskowitz 1981; Pine 1994:15; Barton dan Tomasello 1994:109) Ciri-ciri ini makin lama makin berkurang sesuai dengan perkembangan anak. Dalam hal ujaran, misalnya, kecepatan ujaran orang dewasa pada anak adalah 50% dari kecepatan waktu bicara dengan orang dewasa yang lain. Prosentase pada anak ini naik secara gradual. Intonasi orang dewasa juga makin lama akan kurang berlebihan; demikian juga nada suaranya tidak lagi tinggi terus, dst. Menurut Chomsky bahasa sang ibu itu amburadul (degenerate), artinya bahasa yang kita pakai tidak selamanya apik. Akan tetapi, dari input yang tidak apik ini anak dapat menyaringnya menjadi system yang apik. Kualitas input ini menjadi bahan yang controversial. Orang-orang seperti Gleitman (1977) dan Snow (1997) menemukan dalam penelitian mereka bahwa bahasa sang ibu itu ternyata tidak sejelek seperti yang dinyatakan Chomsky.

DAFTAR

PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta Dardjowidjojo. 2005. Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta. Yudibrata, Karna, Andoyo Sastromiharjo, Kholid A. Harras. 1997/1998. Psikolinguistik. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Jakarta. http://massofa.wordpres.com/2008/04/29/perkembangan-bahasa-anak/ http://whandi.net/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=recommend&id=105 http://nahulinguistik.wordpress.com/2009/04/14/pemerolehan-bahasa-pertama/ http://yanris.wordpress.com/katalanjang/kelahiran-bahasa-dan-pemerolehan-bahasa-padaanak/

http://www.infodiknas.com/pemerolehan-bahasa-anak-usia-tiga-tahundalam-lingkungankeluarga/ http://sobariari.blogspot.com/2010/04/hakikat-permasalahan-dan-tahap-tahap.html 20.40 kamis

HAKIKAT BAHASA DAN TEORI PEMEROLEHAN BAHASA By Mudji on Selasa, 08 Februari 2011 1. 1.1 HAKIKAT BAHASA DAN TEORI PEMEROLEHAN BAHASA

Hakikat Bahasa Pada hakikatnya bahasa merupakan alat komunikasi yang memiliki beberapa karakteristik, yaitu: sistemik, manasuka/arbitrer, bunyi ujaran, manusiawi, dan komunikatif. Bahasa bersifat sistemik karena bahasa diatur oleh sistem bunyi dan sistem makna. Bahasa terdiri atas rangkaian bunyi/bunyi bahasa yang mempunyai makna atau arti tertentu. Misalnya, rangkaian bunyi a n m k a adalah rangkaian bunyi bahasa yang belum bermakna, sedangkan rangkaian bunyi m a k a n merupakan rangkaian bunyi bahasa yang bermakna, yaitu bermakna memasukkan sesuatu ke dalam mulut, mengunyah, dan menelannya. Selain itu bahasa bersifat sistemik karena penyusunan suatu bahasa harus mengikuti kaidah tertentu. Misalnya, kaidah dalam bahasa Indonesia diatur dalam tata bahasa Indonesia yang terdiri atas tatabunyi/fonologi, tatabentuk kata/morfologi, tatakalimat/sintaksis, dan tatamakna/semantik. Kaidah lain, misalnya kaidah penulisan yang diatur dalam tataejaan yang tertuang dalam buku Ejaan Yang Disempurnakan. Suatu bahasa juga bersifat manasuka/arbitrer, artinya unsur suatu bahasa yang dipilih secara acak tanpa dasar yang pasti oleh masyarakat pemakai bahasa. Maksud dari pernyataan tersebut adalah tidak adanya hubungan yang logis antara bunyi bahasa dengan makna yang disimbolkannya. Misalnya, kenapa bunyi k u r s i mengarah kepada makna tempat untuk duduk, bukan mengarah pada makna lain alat untuk menulis, dsb. Hubungan antara bunyi bahasa dan maknanya tersebut terserah/tergantung pada masyarakat pemakai bahasa yang bersangkutan. Bahasa berupa bunyi ujaran, artinya berupa ucapan sedangkan media bahasa adalah bunyi-bunyi bahasa secara lisan dan berupa lambang bunyi/tulisan. Bahasa bersifat manusiawi, artinya bahasa menjadi berfungsi selama manusia yang memanfaatkannya, bukan makhluk lain. Ada binatang tertentu yang dapat berbahasa seperti manusia, misalnya burung beo. Namun binatang tersebut hanya dapat mengucapkan kosa kata tertentu dan kosa katanya tidak dapat berkembang. Bahasa bersifat komunikatif karena digunakan untuk berkomunikasi masyarakat pemakai bahasa. Selain berkaitan dengan pengertian, hakikat bahasa juga berkaitan dengan fungsi bahasa. Fungsi bahasa di antaranya, fungsi informasi, fungsi ekspresi, fungsi adaptasi dan integrasi, serta fungsi kontrol sosial. Fungsi informasi, artinya bahasa berfungsi untuk menyampaikan informasi timbal balik antar anggota masyarakat. Fungsi ekspresi, artinya bahasa berfungsi untuk menyalurkan atau mengungkapkan perasaan, sikap, gagasan, dll. Fungsi adaptasi dan integrasi, artinya bahasa berfungsi untuk menyesuaikan dan membaurkan diri dengan anggota masyarakat. Fungsi kontrol sosial, artinya bahasa berfungsi untuk mempengaruhi sikap dan pendapat orang lain. 1.2 Pemerolehan Bahasa

a.

Hakikat Perkembangan Bahasa Anak Pada hakikatnya, bahasa anak berkembang sejalan dengan perkembangan biologisnya, baik secara fisik maupun psikis. Bahasa anak berkembang secara bertahap sesuai dengan perkembangan bahasa dan pikiran anak. Anak memperoleh bahasa melalui segala sesuatu yang didengar, dilihat, diraba, dirasakan, dan melalui indra penciuman. b. Peranan Bahasa dalam Perkembangan Pikiran anak Menurut Piaget, pikiran anak berkembang melalui jenjang/periode sesuai dengan tingkat kematangan anak secara keseluruhan dan interaksinya dengan lingkungan. Terdapat dua jenis proses dalam berinteraksi dengan lingkungan, yaitu proses penyesuaian/adaptasi dan pengorganisasian. Proses penyesuaian terdiri atas proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi artinya anak mengenali dan memahami objek-objek dalam lingkungannya sesuai dengan pola pikiran yang telah ada. Akomodasi yaitu terjadinya penyesuaian antara pemahaman suatu objek dalam pola pikiran anak sesuai dengan tuntutan lingkungan. Pengorganisasian yaitu proses interaksi dengan lingkungan melalui hal-hal yang bersifat refleks kemudian berkembang menjadi kata dan kalimat yang terkoordinasi. Piaget berpendapat bahwa pikiran yang dimiliki anak/kemampuan berpikir dapat mendorong perkembangan bahasa. Menurut Vigotsky, bahasa orang dewasa sangat berpengaruh pada perkembangan bahasa dan pikiran anak. Bahasa yang dimiliki anak dapat mendorong perkembangan pikiran anak. Pendapat lain berkaitan tentang bahasa dan pikiran dikemukakan oleh J.S. Bruner. Bruner berpendapat bahwa (1) bahasa merupakan pendorong perkembangan pikiran. (2) pikiran dapat berkembang bila sebelumnya mendapat pengalaman-pengalaman dari lingkungan. (3) perkembangan bahasa dan pikiran saling mendukung. c. Aspek Bahasa yang Berperan dalam Perkembangan Pikiran Anak Aspek bahasa yang berperan dalam perkembnagan pikiran anak adalah aspek kelambangan, aspek kategorisasi, dan dan aspek proposisi. (1) Aspek Kelambangan Bahasa adalah lambang bunyi yang bersistem yang dapat diubah menjadi hurufhuruf/lambang tulisan dan mengandung makna/arti. Aspek kelambangan iinilah yang memungkinkan anak dapat berpikir secara abstrak. (2) Aspek Kategorisasi Kategorisasi adalah proses penggolongan objek/suatu hal berdasarkan kesamaan atau kemiripan ciri-cirinya. Contoh: Kendaraan Kendaraan Bermesin Kendaraan Tidak Bermesin Kend. Beroda Kend. Beroda Kend.Dgn grakn Mnsia Dgn gerakan Hewan Dua Tiga Empat Spd Spd Mtr Pedati Andong Bemo Bjy Bus Truk Colt Becak gerobak perahu dayung Dokar

http://schnipers-01.blogspot.com/2011/02/1-hakikat-bahasa-dan-teori-pemerolehan_08.html 20.46

PROSES PEMEROLEHAN BAHASA: KEKURANGMAMPUAN BERBAHASA Rohmani Nur Indah

DARI

KEMAMPUAN

HINGGA

Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Humaniora dan Budaya, Universitas Islam Negeri (UIN) Malang e-mail: < rn.indah@gmail.com> Abstract Studies on language acquisition become the pillar of Psycholinguistics as a branch of Applied Linguistics that deals with the relationship between humans thought and language as well as how human beings comprehend, acquire and develop their language. Language acquisition does not merely involve childrens first or second language development, but also temporer language disorder which does not belong to permanent language disorder. Deviation on language development to some extent gets little attention from psycholinguists. Most references on psychology of language discuss language disorder in general, whereas the current issues on this area are still rarely found. The following article deciphers what and how language acquisition can be done and cannot be completed. Keywords Language Acquisition, Psycolinguistics, Children Pendahuluan Manusia berbahasa ibarat burung bersayap, demikian kata George H. Lewis. Bahasa tak terlepas dari hakikat keberadaan manusia karena itulah yang menjadi piranti komunikasi antar manusia. Pada ungkapan di atas nampak bahwa manusia tanpa bahasa sama seperti burung tanpa sayap, karena sayaplah yang mecirikan burung dan bahasalah yang mencirikan manusia. Noam Chomsky, bapak Linguistik dunia, menyebutkan bahwa jika kita mempelajari bahasa maka pada hakikatnya kita sedang mempelajari esensi manusia, yang menjadikan keunikan manusia itu sendiri. Manusia dirancang untuk berjalan, tetapi tidak diajari agar bisa berjalan. Demikian pula dalam berbahasa, tidak seorangpun bisa diajari bahasa karena manusia diciptakan untuk berbahasa. Dalam artian bahwa pada kenyataannya manusia akan berbahasa tanpa bisa dicegah agar dia tidak memperoleh bahasa. Bahasa dikatakan menjadi keunikan yang mencirikan manusia dan membedakannya

dengan makhluk hidup lainnya. Pernyataan ini tidak berarti bahwa hanya manusia yang memiliki piranti komunikasi. Binatang disebut tidak berbahasa tapi tetap bisa berkomunikasi. Ocehan burung kakatua yang bisa menyerupai ucapan manusia; perintah duduk atau kejar yang dipahami anjing; kemampuan monyet untuk memahami perintah ujaran manusia; nyanyian burung yang berirama; tempo bunyi yang didengungkan lebah; suara-suara yang dikeluarkan ikan paus; semua itu adalah contoh piranti komunikasi binatang. Piranti ini tidak serta merta disebut bahasa walaupun memang menyerupai bahasa. Contoh piranti komunikasi di atas tidak menyandang sebutan bahasa karena tidak memenuhi prasyarat bahasa seperti: unsur pertukaran pesan dari pembicara pada pendengar dan sebaliknya; adanya umpan-balik dari pembicara; kebermaknaan dan pembedaan unit-unit kosakata; adanya proses transmisi kultural yang melatarbelakangi ujaran; munculnya kreatifitas dan kemampuan pemolaan unit bahasa; pengendalian maksud bicara dan peralihan giliran bicara, serta penggunaan ungkapan yang bukan bermakna literal. Ciri-ciri di atas dicetuskan pertama kali oleh Charles Hockett (1963) yang kemudian melahirkan pro-kontra seputar pengistilahan bahasa. Linguis lain menyebutkan bahwa keutamaan bahasa adalah pada kebermaknaan dan fungsi komunikatifnya. Namun demikian kompleksitas berbahasa kurang menjadi titik tekannya. Field kemudian mengkategorikan ciriciri tersebut ke dalam kelompok-kelompok yang meliputi saluran bahasa, ciri-ciri semantis, pembelajaran, struktur, dan fungsi (Field, 2003:40). Dari paparan di atas, nyatalah bahwa hanya manusia yang layak disebut berbahasa mengingat kompleksnya kebahasaan itu sendiri. Kembali pada pendapat Chomsky tadi, manusia sejak lahir akan mempelajari bahasa dengan sendirinya, meski serumit apapun anak akan memperoleh bahasa. Proses pemerolehan ini berlangsung secara alami, tidak dengan cara menghapalkan kosakata, aturan-aturan gramatika, dan aplikasi secara sosial. Kamus bahasa dalam otak anak tersusun secara otomatis tanpa teori, sedangkan kemampuan gramatika anak terasah dari pemerolehan yang disimaknya. Perihal pemerolehan bahasa dan seluk beluknya menjadi tema kajian Psikolinguistik yang merupakan studi psikologi bahasa yang mengulas proses mental yang terjadi pada penggunaan dan pemerolehan bahasa. Studi ini terkait dengan disiplin ilmu lainnya, misalnya: linguistik, yang mengkaji struktur dan perubahan bahasa; neurolinguistik, yang mempelajari hubungan antara otak dan bahasa; serta sosiolinguistik, yang membahas tentang hubungan antara bahasa dan perilaku sosial (Field, 2003:40). Dalam pembahasan berikut ini akan dikupas perkembangan bahasa pada anak yang kemudian mengarah pada paparan tentang pemerolehan bahasa pertama dan kedua pada anak sebelum pada akhirnya mengangkat tentang gangguan berbahasa. Perkembangan Bahasa pada Anak dan Ragamnya Perkembangan bahasa merupakan salah satu mata rantai pertumbuhan anak selain perkembangan lain seperti perkembangan motorik kasar, perkembangan pemecahan masalah visuo-motor yang merupakan gabungan fungsi penglihatan dan motorik halus, serta perkembangan sosial.

Perkembangan bahasa sering menjadi tolok ukur tingkat intelejensi anak meskipun pada hakikatnya perkembangan seorang anak merupakan suatu kesatuan yang utuh dan saling melengkapi. Artinya seorang anak tidak dapat dikatakan cerdas jika dia hanya bisa memecahkan masalah visuo-motor dan fasih berbahasa tanpa diimbangi kemampuan bersosialisasi. Setiap anak yang normal pertumbuhan pikirannya akan belajar B1 atau bahasa ibu dalam tahun-tahun pertama dalam hidupnya, dan proses ini terjadi hingga kira-kira umur 5 tahun. Sesudah itu pada masa pubertas (sekitar 12-14 tahun) hingga menginjak dewasa (sekitar 18-20 tahun), anak itu akan tetap belajar B1. Sesudah pubertas ketrampilan bahasa anak tidak banyak kemajuannya, meskipun dalam beberapa hal, umpamanya dalam kosakata, ia belajar B1 terus menerus selama hidupnya. Pemerolehan B1 kita anggap bahasa yang utama bagi anak karena bahasa ini yang paling mantap pengetahuan dan penggunaannya. Ketika seorang anak sedang memperoeh bahasa B1-nya, terjadi dua proses, yaitu proses kompetensi dan proses performasi. Kedua proses ini merupakan dua proses yang berlainan. Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang berlangsung secara tidak disadari. Proses kompetensi ini menjadi syarat untuk terjadinya proses performasi yang menyangkut proses pemaham dan proses memproduksi ujaran. Proses pemahaman melibatkan kemampuan mempersepsi kalimat yang didengar. Sedangkan proses memproduksi ujaran menjadi kemapuan linguistik selanjutnya. Fungsi berbahasa merupakan fungsi yang paling kompleks di antara seluruh faset perkembangan sebagaimana yang dijabarkan di atas. Indikator perkembangan bahasa ini meliputi fungsi reseptif yaitu kemampuan anak untuk mengenal dan bereaksi terhadap seseorang, terhadap kejadian lingkungan sekitarnya, mengerti maksud mimik dan suara dan akhirnya kata-katadan fungsi ekspresif, yaitu Kemampuan anak mengutarakan keinginannya dan pekirannya. Fungsi ekspresif ini dipengaruhi fungsi reseptif dan merupakan kemampuan yang lebih kompleks mengingat anak memulai dengan komunikasi preverbal, dilanjutkan komunikasi dengan ekspresi wajah, gerakan tubuh, dan pada akhirnya dengan menggunakan kata-kata atau komunikasi verbal (Pusponegoro, 1997:80). Tabel berikut meringkas tahapan perkembangan bicara pada anak yang meliputi fungsi reseptif dan ekspresif dimulai sejak bayi baru lahir hingga berumur 4 tahun. Tabel.1 Tahap perkembangan bicara pada anak Fungsi reseptif Perkembangan Bereaksi terhadap suara Tersenyum sosial Orientasi terhadap suara Usia lahir 5 minggu 4 bulan Fungsi ekspresif Perkembangan Oooo-ooo Guu-guu A-guu, a- guu Mengoceh Usia 6 minggu 3 bulan 4 bulan 4 6 bulan

Menoleh pada 5 bulan

suara bel - Fase I - Fase II - Fase III Mengerti perintah tidak boleh Mengerti perintah ditambah mimic Mengerti perintah tanpa mimik Menunjuk 5 bagian badan yang disebutkan

7 bulan 9 bulan Dadada (menggumam)

6 bulan

Da-da tanpa arti 8 bulan Ma-ma tanpa arti 11 bulan 14 bulan 17 bulan Dada Mama, pertama Kata kedua ketiga 4 6 kata 10 bulan kata 11 bulan dan 12 13 bulan 8 bulan

15 bulan 17 7 10 kata bulan Kalimat pendek 2 21 kata bulan 50 kata, kalimat 2 tahun terdiri dari 2 kata 250 kata, kalimar terdiri dari 3 kata Kalimat terdiri dari 4-5 kata, bercerita Menanyakan kata Menghitung sampai 20 arti 3 tahun

4 tahun

Dengan mengacu pada tabel perkembangan bicara di atas, maka anak dikatakan mengalami keterlambatan bicara atau kesulitan berbahasa jika kemampuannya menyimpangan dari standar tersebut. Keterlembatan bicara terjadi pada 3-15% anak, dan merupakan kelainan perkembangan yang paling sering terjadi. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1% anak yang mengalami keterlambatan bicara tetap tidak dapat berbicara. 30% dari anak dengan keterlambatan ringan akan sembuh -atau menjadi normal- dengan sendirinya. Sisanya, 70% akan mengalami kesulitan berbahasa, kurang pandai, atau mengalami kesulitan

belajar lainnya. Penyebab keterlambatan bicara dan berbahasa secara umum sangat beragam, diantaranya: 1) retardasi mental yang menyebabkan kurangnya kepandaian anak dibandingkan anak lain seusianya, 2) gangguan pendengaran, 3) kelainan organ bicara, 4) mutisme selektif atau ketidakmauan berbicara pada keadaan tertentu, 5) deprivasi atau kurangnya stimuli dari lingkungan, 6) kekurangan gizi yang mengakibatkan kelainan saraf, dan 7) autisme atau deviansi komunikasi baik dalam berbahasa maupun bertingkah laku yang sedang tren dibicarakan saat ini (Sutardi, 1997:67). Kajian tentang keterlambatan atau gangguan bicara di beberapa literatur psikologi bahasa masih terbatas pada kesulitan berbicara dalam tataran umum. Kesulitan berbicara yang megkerucut pada kemampuan berbahasa dari tinjauan sitaksis dan pragmatis belum banyak diangkat. Carrol (1986:30) menggolongkan gangguan bicara menjadi 4 (empat), yaitu: 1) gangguan bicara pada anak dengan keterlambatan mental, 2) gangguan bicara pada anak-anak penderita tunarungu, 3) gangguan bicara pada anak penyandang autisma, dan 4) gangguan bicara pada anak yang mengalami cidera otak. Pemerolehan Bahasa Pertama pada Masa Awal Pemerolehan bahasa pada anak yang baru lahir berawal dari suara tangisnya yang menjadi bentuk respon terhadap stimuli dari lingkungannya. Caranya merespon akan berkembang seiring kematangan mentalnya. Selanjutnya anak akan terus menyimpan stimuli bahasa pada memorinya. Pemerolehan bahasa pertama, atau yang kerap disebut bahasa ibu, merupakan proses kreatif dimana aturan-aturan bahasa dipelajari anak berdasarkan input yang diterimanya dari bentuk tersederhana hingga bentuk yang paling kompleks. Anak akan lebih cepat menguasai bahasa jika ia memperoleh bahasa dalam masa emas atau periode ideal (critical age) yaitu usia 6-15 tahun. Pada teori lain diasumsikan bahwa usia kritis tersebut berkisar 0-6 tahun, namun pada intinya batasan periode ideal yang dimaksud adalah prapubertas. Menurut Lanneberg (dalam Subyakto, 1992) pada masa emas otak manusia masih sangat elastis sehingga memungkinkan seorang anak memperoleh bahasa pertama dengan mudah dan cepat. Adapun pada usia pubertas telah dicapai kematangan kognitif pada saat selesainya fungsi-fungsi otak tertentu, khususnya fungsi verbal yang menjadi mantap di bagian otak sebelah kiri. Hal inilah yang disebut lateralisasi. Masa kritislah yang bertanggung jawab atas lateralisasi yang membuat proses pemerolehan bahasa secara alamiah akan berkurang hingga akhirnya hilang sama sekali. Efektifnya pemerolehan bahasa pada usia tersebut telah diujikan dalam beberapa penelitian. Hipotesis bahwa periode usia di atas disebut masa emas pemerolehan bahasa diperkuat oleh beberapa kasus keterlambatan bicara pada orang dewasa yang memperoleh bahasa di atas usia 15 tahun. Sebut saja beberapa nama seperti Amila dan Kayla yang ditemukan di belantara India pada tahun 1920; Genie yang terisolir dari kehidupan manusia dan segala kontak sosial hingga tahun 1970; dan Victor yang ditemukan di hutan Aveyson pada tahun 1978. Nama yang terakhir ini kisah hidupnya difilmkan dimana diceritakan tentang betapa sulitnya mengembalikan anak pada kemampuan berbahasa dan berkomunikasi

secara sosial dengan seutuhnya. Keterlambatan pemerolehan bahasa berakibat ketidakmampuan secara sepenuhnya penguasaan morfologis dan sintaktika bahasa (Field, 2003:73). Contoh kasus keterlambatan pemerolehan bahasa terjadi pada Chelsea yang mulai memperoleh bahasa saat berusia 31 tahun. Bermula dari kecerobohan diagnosis dokter yang menyebutkan bahwa Chelsea mengalami keterlambatan mental, dia tidak pernah dilibatkan dalam kontak sosial yang memungkinkan pemerolehan bahasanya. Setelah beranjak dewasa baru diketahui bahwa Chelsea menderita tuli yang sebetulnya bisa diatasi dengan diajari bahasa isyarat. Setelah dipasang alat bantu dengar, ternyata Chelsea bisa berbicara dan menirukan ucapan orang lain. Waktu yang dibutuhkan Chelsea lebih lama dibandingkan waktu pemerolehan bahasa anak pada masa emas. Hasil penelitian lain menyebutkan bahwa anak yang diajarkan menggunakan bahasa isyarat pada usia 0-6 tahun lebih baik dalam pemahaman dan produksi kata daripada yang belajar pada usia 12 tahun ke atas. Kesimpulannya, di atas masa emas otak manusia tidak bisa secara maksimal memperoleh kemampuan sintaktik dan morfologis. Dus, adalah benar bahwa ada ungkapan mengajari (bahasa, membaca, mengaji, dll.) anak kecil adalah bagaikan menulis di atas batu dan mengajari orang tua bagaikan menulis di atas air. Kemampuan menggunakan bahasa dalam proses pemerolehan bahasa secara sistimatis dan akurat memang tidak mudah. Pernyataan ini diperkuat oleh studi Bellugi dan Klima (dalam Fromkin, 1999) yang menunjukkan bahwa anak tunarungu yang tumbuh dan dibesarkan oleh orang tua tunarungu dapat menguasai bahasa isyarat. Kemampuan memproduksi kata anak tunarungu ternyata lebih cepat dibandingkan kemampuan memproduksi kata pada anak normal. Tidak mudahnya pemerolehan kemampuan ini membuktikan bahwa pengendalian otot larinks dan organ bicara pada anak normal lebih kompleks jika dibandingkan dengan pengendalian otot tangan pada anak tunarungu. Pada kasus di atas tidak bisa diasumsikan bahwa bahasa isyarat lebih mudah dibandingkan bahasa lisan karena keduanya memiliki kesamaan dalam hal universalitas linguistik, sistim gramatika, memungkinkan terjadinya perkembangan dan perubahan kebahasaan, dan tidak terlepas dari adanya faktor kesilapan berbahasa. Pemerolehan Bahasa Kedua dan Kesulitannya Pemerolehan bahasa selain penguasaan bahasa ibu atau bahasa pertama disebut bahasa kedua, ketiga dan seterusnya. Dalam masyarakat Jawa misalnya, bahasa Indonesia disebut sebagai bahasa kedua jika anak dibesarkan dalam komunitas wicara bahasa Jawa. Pemerolehan bahasa lebih baik jika diawali sejak dini. Mc Laughin dan Genesee, pakar psikolinguistik, berpendapat bahwa anak akan lebih cepat belajar bahasa tanpa kesukaran dibandingkan dengan orang dewasa. Selain itu Eric H. Lennenberg, seorang pakar neurolinguistik, juga menegaskan bahwa kondisi otak mendukung pendapat tersebut. Sebelum masa pubertas, otak atau daya pikir anak lebih lentur dan plastis sehingga dapat diajari bahasa apapun dengan lebih mudah. Daya penyerapan bahasa pada anak berfungsi secara otomatis, cukup dengan self-exposure atau dilibatkan dalam komunikasi partisipatif dalam bahasa target. Pasca pubertas kelenturan ini akan berkurang dan pencapaiannya tidak

maksimal (Field, 2003:84). Secara umum ada dua pendapat mengenai pemerolehan bahasa kedua. Pertama, anak sejak lahir sudah dibiasakan terekspos dengan berbagai bahasa. Kedua, anak belajar bahasa kedua setelah bahasa ibu dapat diucapkan dengan baik. Kedua pendapat ini sama baiknya, namun demikian tetap memiliki kekurangan. Metode pertama dapat berakibat munculnya keterlambatan berbicara karena otak anak bekerja keras memetakan bahasa apa yang digunakan oleh orang yang mengajaknya berbicara. Namun hal ini tidak berlangsung lama, saat anak makin besar kemampuan itu akan terasah dengan sendirinya. Metode kedua mengakibatkan pelafalan bahasa kedua akan lebih buruk daripada anak dengan metode pertama. Anak dalam metode pertama akan terbiasa dengan pengucapan dan aksen yang lebih jelas. Sungguhpun begitu, kedua metode ini dapat dipakai dengan catatan memperhatikan suasana pemerolehan bahasa yang bersifat interaktif, motivatif dan atraktif. Kesulitan pada pemerolehan bahasa kedua masih terkait dengan teori masa emas seperti yang dijelaskan di atas. Secara umum kita melihat bahwa kemudahan anak belajar bahasa makin lama makin berkurang setelah umur 5-7 tahun, sampai menjadi agak sukar dan lambat setelah pubertas sehingga orang jarang mencapai kefasihan fonologi bahasa kedua jika ia mempelajarinya sesudah pubertas atau setelah berakhirnya masa emas. Namun demikian, menurut Schovel dan Krashen kemampuan belajar bahasa kedua tidak berkurang terlalu banyak meskipun proses laterlisasi telah usai (Subyakto-Nababan, 1992:66) Gangguan Berbahasa Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah bahwa gangguan berbahasa berdampak pada 2 (dua) hal. Pertama, Lambat dalam pemerolehan bahasa sebagai contoh, anak berusia lima tahun memiliki kompetensi bahasa setara dengan anak usia dua tahun. Kedua, Menyimpang dari bentuk baku pada anak yang memperoleh bahasa dengan urutan yang berbeda dari kebanyakan anak, atau anak tersebut memiliki kemampuan yang sangat berbeda dari penutur asli bahasanya sendiri. Adapun jika ditinjau dari asalnya, gangguan berbahasa dapat dikategorikan kedalam 2 (dua) kelompok. Pertama, gangguan berbahasa yang berkembang, artinya gangguan akibat kelainan yang dibawa sejak lahir. Pada sebagian anak, terjadi kesulitan dalam pemerolehan bahasa akibat kelainan tumbuh kembang. Kedua, gangguan berbahasa yang diperoleh, artinya gangguan akibat operasi, stroke, kecelakaan atau penuaan. Gangguan berbahasa dan berkomunikasi dapat diakibatkan faktor medis dan faktor lingkungan. Faktor medis berimplikasi pada gangguan berbicara, gangguan berbahasa dan gangguan berpikir. Contoh faktor medis yaitu gangguan sebagai akibat cidera otak yang menyebabkan kerusakan sistem syaraf, gangguan psikogenik, dan gangguan pada sistem mekanisme organ wicara. Demikian pula halnya dengan kerusakan sistem saraf yang menyebabkan terputusnya jaringan antara wilayah auditori dan produksi tutur sehingga pesan ujaran tidak tersampaikan. Permasalahan berbicara sebagaimana yang dijelaskan di atas bersifat permanen yang menyebabkan ketidakmampuan berbahasa secara baik dan benar. Adapun beberapa gangguan lain bersifat temporer sehingga mengakibatkan kekurangmampuan berbahasa. Disebut kurang

karena tidak mengacu pada kata tidak melainkan belum. Misalnya pada penderita gagap yang disebabkan pengaruh perasaan afektif sehingga pikiran dan ucapan tidak bersambung dengan baik, kesukaran melafalkan kata-kata tertentu dan kurang menguasai topik pembicaraan (Gleason dan Ratner, 1998:75). Kekurangmampuan berbahasa sebagaimana dijelaskan di atas pada hakikatnya dapat terjadi pada tiga tahapan rekonstruksi ingatan kebahasaan yang membangun proses pemerolehan bahasa secara lengkap. Tahapan pertama yaitu masukan. Pada saat seseorang mendengar atau membaca suatu wacana ia membuat catatan mengenai isi atau pesan kebahasaan sekaligus membuat interpretasi. Pada penderita gangguan neurologis tahap ini mempersulit proses interpretasi sehingga menghalangi keberlangsungan proses selanjutnya. Tahapan kedua yaitu penyimpanan. Para ahli membedakan dua konsep penyimpanan yaitu penyimpanan jangka pendek dan jangka panjang. Penyimpanan jangka pendek berupa katakata atau angka sejumlah maksimal 7 frase sehingga orang dapat mengingat 7 digit nomor telepon dalam jangka waktu pendek. Adapun penyimpanan jangka panjang menyangkut pesan kalimat yang dapat dipelihara untuk jangka waktu lama yang berbeda dari satu individu ke individu yang lain. Yang terakhir yaitu tahap hasil dimana terjadi kontras antara kedua jenis ingatan, artinya makin lama seorang pendengar mendapat kesempatan mengingat suatu ujaran, makin sedikit bentuk yang diingat, sebaliknya makin banyak makna yang diingat. Baik ketidakmampuan maupun kekurangmampuan berbahasa yang diartikan sebagai gangguan bicara permanen dan temporer dapat dikategorikan ke dalam 3 (tiga) jenis. Pertama, gangguan dalam mengkondisikan ketidaksempurnaan organ. Kedua, gangguan berkognisi. Ketiga, gangguan mengolah informasi linguistik. Contoh kategori pertama di atas yaitu yang dialami tunarungu, tunanetra dan penyandang gangguan mekanisme berbicara. Ketidaksempurnaan organ menyebabkan pendidikan tunarungu diprioritaskan pada pengajaran bahasa isyarat. Dengan menggunakan bahasa isyarat sebagai bahasa ibu, tunarungu kemudian memahami bahasa lisan dan tulis sebagai bahasa kedua. Dewasa ini mengajarkan pemahaman membaca gerak bibir lebih ditekankan. Namun demikian bagi penderita tunarungu dengan kerusakan pendengaran yang sangat parah hanya dapat diajari dengan bahasa isyarat. Mengingat rumitnya fase belajar bahasa anak tunarungu yang bertingkat dari bahasa isyarat dan membaca gerak bibir, sebagai imbasnya dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk belajar membaca dan menulis. Oleh karenanya kemampuan baca tulis anak tunarungu lebih lambat dibandingkan anak normal. Keterampilan komunikasi yang dicapai terbatas pada komunikasi tatap muka atau face-to-face, dengan demikian tanpa teknologi visual sulit dilakukan percakapan pertelepon. Secara umum perkembangan bahasa pada anak tunarungu ditentukan oleh 3 (tiga) faktor mendasar, yaitu: 1) tingkat kerusakan pendengaran, 2) status pendengaran orang tua (apakah normal atau tunarungu), dan 3) usia diperkenalkan pada sistem komunikasi tertentu serta konsistensi latihan berkomunikasi (Carrol, 1986:65). Pada penderita tunanetra beberapa keraguan mengenai kemampuannya berbahasa kerap dilontarkan. Salah satu pertanyaan yang sering muncul yaitu apakah kelainan visual mengakibatkan keterlambatan dalam memperoleh bahasa? Hal ini mengingat kondisi anak

yang tidak terbantu dengan ekspresi wajah, bahasa tubuh atau pandangan pada obyek disekitarnya. Riset membuktikan bahwa anak tunanetra ternyata memperoleh sistem fonologi lebih lambat daripada anak normal. Anak tunanetra kadang-kadang bingung dengan fonem yang mirip dalam pengucapan, misalnya /n/ dan /m/. Kemampuan anak tunanetra sama dengan anak normal ketika mulai meracau dan mengatakan kata-kata pertama. Namun demikian terdapat perbedaan pada isi kosakata awal mereka. Anak tunanetra umumnya kurang memvariasikan kata kerja, hal ini menunjukkan bahwa mereka memiliki keterbatasan pengkategorian yang berdampak pada keberagaman kosakatanya. Ketidaksempurnaan organ wicara menghambat kemampuan seseorang memproduksi ucapan (perkataan) yang sejatinya terpadu dari pita suara, lidah, otot-otot yang membentuk rongga mulut serta kerongkongan, dan paru-paru. Hal ini disebut gangguan mekanisme berbicara. Menurut Chaer (2002) berdasarkan mekanismenya, gangguan berbicara dapat terjadi akibat kelainan pada paru-paru (pulmonal), pada pita suara (laringal), pada lidah (lingual), serta pada rongga mulut dan kerongkongan (resonental) Pada kategori kedua, gangguan berbahasa terjadi karena adanya gangguan berkognisi. Hal ini terjadi pada orang yang pikun (demensia), penderita sisofrenia dan depresif. Pada penderita demensia, gangguan berpikir menyebabkan ekspresi verbalnya diwarnai dengan kesukaran menemukan kata-kata yang tepat. Kalimat seringkali diulang-ulang, pembicaraan sering terputus karena arah pembicaraan tidak teringat atau sering berpindah ke topik lain. Artikel ini menitikberatkan pada kekurangmampuan berbahasa pada anak, sehingga gangguan akibat demensia tidak dibahas secara detail. Sisofrenik dan depresif mengalami hambatan dalam melakukan curah verbal yang sesuai dengan konteks akibat gangguan berpikir. Curah verbal deprefis umpamanya, dicoraki topik yang menyedihkan, menyalahi dan mengutuk diri sendiri, kehilangan semangat bekerja dan gairah hidup, tidak mampu menikmati kehidupan, malah cenderung berupaya mengakhirinya. Contoh yang disebutkan di atas jarang ditemui pada anak-anak. Gangguan berbahasa karena kognisi yang lebih umum ditemui yaitu pada penderita Down Syndrome dan Autisma. Pada penderita Down Syndrome kemampuan intelektualnya sangat beragam dan salah jika kita menganggap kemampuan berbahasa semua penderitanya sama. Menurut Kendler (Carrol, 1986:95) tingkatannya terbagi atas: ringan (IQ 53-68), sedang (IQ 36-52), berat (IQ 20-35) dan parah (IQ di bawah 20). Dengan demikian kemampuan linguistiknya mengacu pada kelainan kognitif yang dialaminya. Kajian tentang Down Syndrome atau keterbelakangan mental menunjukkan adanya hubungan antara kelainan kognitif dengan kegagalan memperoleh kompetensi linguistik sepenuhnya. Secara umum perkembangan fonologisnya lambat. Hanya sedikit kosakata dapat dikuasai dan ucapannya cenderung pendek dan telegrafis (tanpa imbuhan dan kata sambung, mirip bahasa dalam telegram). Anak sindrom down juga bermasalah dengan pelafalan. Dengan suaranya yang khas parau, intonasinya tergolong abnormal.Komunikasi dengan menggunakan bahasa tubuh (gesture) lebih dipilih oleh anak dengan sindroma down berat dan parah. Adapun kemampuan sintaksisnya dapat dicapai pada usia dewasa, meskipun mereka lebih dapat menangkap kontruksi kalimat afirmatif daripada negasi. Secara umum dapat disimpulkan bahwa gangguan berbahasa, yang dialami penderita sindroma down baik anak-anak maupun dewasa, hanya bersifat terlambat (bukan bersifat kurang atau tidak mampu). Artinya dengan perkembangan yang berlangsung lamban, proses

pemerolehan bahasa yang dilaluinya mirip dengan urutan normal meskipun pada sebagian penderita tidak dapat mencapai kompetensi penuh sebagai mana pembicara dewasa normal. Hal ini tergantung tingkat parahnya kelainan yang diderita. Pada kasus Autisma terjadi kombinasi antara kelainan kognitif dan sosial. Penyandang autisma bisa jadi membisu hingga usia lima tahun, atau hanya membeo kata-kata orang dewasa yang didengarnmya. Hal ini mengindikasikan bahwa penyandang autisma memiliki keterbatasan alam pikir, artinya mereka tidak mampu memahami dunia dari sudut pandang orang lain. Segala aspek komunikasi sulit dicapai penyandang autisma, kecuali aspek fonologis yang pada sebagian penyandang tetap dapat dikuasai. Perkembangan ketrampilan bahasanya tidak saja mengalami keterlambatan tetapi juga penyimpangan. Secara fonologis, artikulasinya cukup jelas meskipun sering muncul beragam kesalahan dalam penyebutan obyek. Misalnya substitusi atau menyebut dengan kata lain, menghilangkan suku kata tertentu, asimilasi dengan kata lain, menambahkan dengan suku kata yang salah. Intonasinya cenderung datar dan salah dalam membuat penekanan ucapan. Kemampuan sintaksisnya sangat lamban karena sering muncul kalimat peniruan atau echolalia, yaitu mengulang-ulang kalimat yang tidak relevan dengan konteks. Kemampuan memahami semantik juga lamban, misalnya membedakan antara The girl feeds the baby dengan The baby feeds the girl. Pada kategori ketiga, anak dapat mengalami gangguan berbahasa secara linguistik yaitu ketidakmampuan dalam pemerolehan dan pemrosesan informasi linguistik. Misalnya masalah kefasihan yang terjadi pada anak yang gagap dan latah atau pada penderita gangguan fisiologis yang menyangkut kesalahan formasi dan pengolahan organ artikulasi (seperti mulut, lidah, langit-langit, pangkal tenggorok dll.). Selain itu anak dapat menghadapi masalah baca tulis. Disini perlu dibedakan antara disleksia dan disgrafia. Disleksia atau kesulitan membaca kerap diikuti dengan disgrafia atau kesulitan menulis. Tingkat kelainan dan gejalanya bervariasi antar individu. Sebagian penderita disleksia juga mengalami keterbatasan fonologis misalnya tidak bisa menduga bagaimana membedakan ejaan kata atau bukan kata. Penderita lain sekedar menghafal ejaan kata dan tidak dapat mengingat ejaan kata-kata lain. Secara umum penderita disleksia mengalami kesulitan pada area kognitif tertentu, termasuk membedakan kiri/kanan, barat/timur; juga konsep waktu seperti hari, tanggal, bulan, tahun; serta pengolahan secara matematis. Penutup Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan berkomunikasi ditunjang dari proses pemerolehan kecakapan berbahasa. Kompleksitas bahasa menuntut akumulasi pemerolehan yang juga berkesinambungan dari tataran tersederhana hingga yang membutuhkan gabungan kemampuan berbahasa dan bersosialisasi. Mata rantai pertumbuhan kemampuan berbahasa tidak seragam pada satu orang dengan orang lainnya. Variasi inilah yang menghasilkan perbedaan pencapaian kemahiran kognitif yang difasilitasi kompetensi dan performasi berbahasa. Mutlaknya kebutuhan akan kemampuan berbahasa membuat tidak tepatnya sebutan ketidakmampuan berbahasa melainkan menyebutnya sebagai kekurangmampuan berbahasa. Kekurangmampuan ini hanya bersifat gangguan atau

DAFTAR PUSTAKA

Carrol, David W. 1986. Psychology of Language. Pacific Grove-California: Brooks/Cole Publishing Company. Field, John. 2003. Psycholinguistics: a resource book for students. New York: Routledge. Fromkin, Victoria; Blair, David and Collins, Peter. 1999. An Introduction to Language. Sydney: Harcourt, Ltd. Gleason, Jean Berko dan Ratner, Nan Bernstein. 1998. Psycholinguistics. Victoria: Wadsworth Thomson Learning. Hatch, Evelyn Macussen. 1983. Psycholinguistics: a second language perspective. Rowley: Newbury House Publisher, Inc. Pusponegoro, H.D. 1997. Apakah Perkembangan Anak Anda Normal? Dalam Simposium Autisme: Gangguan Perkembangan Pada Anak. Jakarta: Yayasan Autisme Indonesia. Sutardi, Rudi. 1997. Autisme: Gangguan Perkembangan pada Anak. Dalam Simposium Autisme: Gangguan Perkembangan Pada Anak. Jakarta: Yayasan Autisme Indonesia. Subyakto-Nababan, Sri Utari. 1992. Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

PEMEROLEHAN BAHASA (LANGUAGE ACQUISITION)

A. HAKEKAT PEMEROLEHAN BAHASA (LANGUAGE ACQUISITION ) Istilah pemerolehan bahasa atau language acquisition biasanya diikuti oleh kata pertama atau kedua , sehingga kita kenal istilah pemerolehan bahasa pertama (PB1) atau first language acqisition dan pemerolehan bahasa kedua (PB2) atau second language acquisition . Pemerolehan bahasa pertama berkaitan dengan segala aktivitas seseorang dalam menguasai bahasa ibunya. Jalur kegiatannya dapat melalui pendidikan informal dan pendidikan formal. Pemerolehan bahasa kedua berlangsung setelah seseorang menguasai atau mempelajari bahasa pertama. Jalur kegiatannya dapat melalui pendidikan informal dan pendidikan formal. Istilah pendidikan informal itu, dalam bukunya Henry Guntur Tarigan (1995:4), biasa juga disebut learning a language at home (Harding & Riley, 1986:21) atau untutored or naturalistic acquisition (Ellis, 1987:5); sedangkan pendidikan formal disebut oleh pakar ersebut sebagai learning a language at school atau tutored or classroom acquisition . Henry Guntur Tarigan menyebut pendidikan informal itu sebagai pengajaran bahasa secara alamiah dan pendidikan formal sebagai pengajaran bahasa secara ilmiah . Dulay [et al], (1981:11) dalam bukunya Henry Guntur Tarigan (1995:5) berpendapat bahwa pengajaran bahasa secara alamiah sama dengan pengajaran bahasa secara ilmiah. Demikian pula menurut Ellis dalam buku yang sama bahwa kedua istilah itu dapat dipertukarkan dengan pengertian yang ku rang lebih sama. Para pakar tersebut sependapat bahwa pengajaran bahasa secara alamiah disebut pemerolehan bahasa (language acquisition) dan pengajaran bahasa secara ilmiah disebut pemelajaran bahasa (language learning). Mereka yang beranggapan bahwa pengajaran bahasa secara informal tidak sama dengan pengajaran bahasa secara formal memberikan argumentasi sebagai berikut: belajar bahasa secara informal itu tidak berencana,

kebetulan, tidak disengaja, dan tidak disadari; sedangkan belajar bahasa secara formal berdasarkan perencanaan yang matang, disengaja, dan di disadari. Dari gambar diatas dapat disimpulkan bahwa pemerolehan bahasa (language acquisition) diperoleh melalui pendidika n informal yaitu pedidikan yang didapat dirumah atau dipelajari secara alamiah dengan tidak direncanakan dan tidak disengaja bisa dengan sendirinya dengan tidak disadari. Sementara pemelajaran bahasa didapat dengan melalui pendidikan formal tentunya dengan cara direncanakan dan disengaja dan juga disadari.

B.

PEMEROLEHAN BAHASA PERTAMA (FIRST LANGUAGE ACQUISITION ) Seperti apa yang telah diuraikan diatas bahwa pemerolehan bahasa pertama diperoleh melalui aktivitas seseorang dalam menguasai bahasa ibunya. Dimana jalur kegiatannya bisa didapat melalui pendidikan informal dan pendidikan formal. Dibawah ini dibahas tentang teori-teori dan juga pendekatan-pendekatan pada pemerolehan bahasa pertama (first language acquisition) yang diambil dari Brown (1980) dalam bukunya yang berjudul Principles of Language Learning and Teaching.

1. Teori Behavioristik (Behavioristc Theories ) Pada teori ini bahwa bahasa adalah bagian yang fundamental pada segenap sikap manusia dan ahli si kap telah menguji bahwa eori ini digunakan untuk memformulasikan teori-teori pemerolehan bahasa yang konsisten. Pendekatan behavioristik berfokus pada aspek-aspek perilaku linguistik yang dapat dimengerti

atau direspon yang bisa diamati secara umum dan hubungan respon-respon tersebut dengan peristiwa yang ada didunia yang melingkupinya. Salah satu upaya yang sangat terkenal pada konstruksi sebuah model behavioristik pada behavior linguistik adalah Verbal Behavior oleh klasiknya Skinner (1957) yang dengan eksperimennya yaitu binatang didalam Skinners boxes atau boks-boks Skinner. Teori Skinner pada verbal behaviour merupakan perluasan dari teori umumnya pada teori belajar Operant Conditioning, yaitu pengkondisian organisme manusia untuk memancarkan sebuah respon, atau operant.

2. Teori Generatif Bertolak pada rangkaian teoritis kita menjumpai teori-teori pada bahasa anak, dengan pendekatan rasionalistiknya. Ada dua tipe teori generatif yang menandai pada penelitian bahasa anak, dan keduanya memberikan rankaian yang sama. Tipe pertama adalah pendekatan nativis (nativeist approach) dimana dalam pendekatan ini bahwa pemerolehan bahasa ditentukan melalui bawaan sejak lahir (innate) dengan berjenis alat yang membangun yang merupakan konstruksi sistem terdalam dari bahasa untuk memberi kecenderungan memperoleh bahasa, termasuk persepsi sistematis bahasa sekitar kita. dan yang kedua adalah yang disebut pendekatan kognitif (cognitive approach) dimana pada pendekatan ini yang menurut Brown (1980:25) bahwa pendekata n kognitif lebih menekankan pada tingkatan terdalam dari bahasa dimana memori, persepsi, pikiran, makna dan emosi secara saling bergantung dan tersusun dalam superstruktur otak manusia. Para ahli bahasa mulai melihat bahwa bahasa merupakan manifestasi perkembangan umum suatu aspek kemampuan kognitif dan afektif untuk berhubungan dengan dunia dan diri sendiri.[1]

C. BAGAIMANA ANAK-ANAK MEMPEROLEH BAHAS A PERTAMA Ketika baru dilahirkan, bayi tidak bisa bicara atau terdiam. Kata infant berasal dari kata Latin yang artinya Tanpa bahasa. Pelan-pelan bayi itu berkembang dari

uca pan yang tidak mempunyai arti sampai pada satu atau dua ucapan kata dan akhirnya pada ucapan dalam bentuk kalimat yang lengkap sesuai dengan stuktur bahasa. Pada usia empat atau lima tahun, semua anak-anak diseluruh dunia mempunyai perintah (commands) pada bahasa utamanya. Secara neurologi anak sudah dilengkapi dengan kemampuan berbahasa. Seorang anak sudah memperoleh bahasanya, sesuai dengan bahasa yang dipakai di lingkungannya. Chomsky (1972, 1975, 1979) berpendapat bahwa pemerolehan bahasa adalah proses pendewasaan. Menurutnya seorang anak sudah dibekali dengan kemampuan berbahasa di dalam otaknya, karena otak kita sudah mempunyai susunan bahasa yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan manusia. Sebaliknya, Skinner berpendapat bahwa proses pemerolehan bahsa diawali dengan proses meniru sebagaimana bayi meniru apa yang diucapkan ibunya. Para behavioris sependapat dengan hal ini dan percaya bahasa harus diperoleh dengan proses belajar. Para ahli psikologi berpendapat bahwa memperoleh bahasa tidak cukup dengan reinforcement (penguasaan tata bahasa) tetapi harus diikuti dengan penguatan pemahaman. Seorang anak yang sudah menguasai bahasanya tidak hanyabisa mengungkapkan apa yang dilihat di sekitarnya sekarang, tetapi mereka juga bisa mengungkapkan hal-hal yang berada di tempat lain dan hal-hal yang ada dalam imajinasi mereka. Hal ini karena bahasa dan pikiran mereka saling berhubungan. Bahasa berpengaruh terhadap pikiran, melalui penguasaan kosakata yang kita pelajari akan menentukan kategori yang kita gunakan untuk mengerti jalan pikiran kita tentang waktu, tuang, dan permasalahan karena tata bahasa memberikan pengertian yang berbeda-beda.

D. LANGKAH-LANGKAH PEMEROLEHAN BAHASA PERTAMA

Meskipun perbedaan yang luas didalam budaya, anak-anak di setiap masyarakat nampaknya memperoleh bahasa dengan cara yang sama (Brown and Fraser, 1963; Bloom, 1970; Brown and Hanlon, 1970; Brown, 1973)[2] . Meskipun seorang anak mungkin mulai menggunakan kata-kata lebih awal dari pada yang lain untuk bicara lebih lancar. Semua anak normal menguasai kaedah-kaedah dasar bahasa apa saja yang mereka dengar.

Prespeech Communication Dari minggu-minggu awal, suara bayi akan menarik perhatian yang lain dan meskipun mereka tidak bermaksud untuk berkomunkasi, suaranya berhasil didalam memberi informasi kepada orangtuanya tentang keperluan yang dia inginkan. Ada tiga pola menangis yang dimiliki oleh masing-masing bayi; pola ritme dasar (the basic rhythmical pattern) yang sering disebut sebagai menangis karena lapar (the hunger cry); menangis karena marah (the anger cry) dan menagis karena kesakitan (the pain cry). Seorang ibu dengan cepat belajar untuk mendeteksi perbedaanperbedaan tersebut pada bunyi yang maknanya menangis dan memberi tanggapan kepadanya dengan semestinya. Misalnya, memberi tanggapan pada tangisan rasa sakit, dia segera menuju ke ruangan bayi (Wolff, 1969) Suara-suara lain segera nampak menjelang usia tiga bulan, bayi tersebut mulai merengek pada usia lima atau enam bulan. Mereka mulai babbling (ngoceh), mengucapkan kata-kata terus menerus dengan menggunakan suku katanya yang sama. Tidak lama setelah enam bulan bayi yang bisu berhenti babbling dimungkinkan karena tidak pernah dirangsang oleh pendengaran ucapan manusia. Dalam ucapan awal, bayi membuat suara-suara dari semua bahasa, ucapan mbabling bayi dari China tidak bisa dibedakan dari ucapan babbling bayi dari Amerika. Lama kelamaam anak-anak mengembangkan pengendalian melalui suara yang mereka buat dan mulai meniru suara yang dibuat oleh yang lain.

Bayi tidak terbatas pada pengucapan/suara, tapi juga menggunakan gerak tubuh (gesture) untuk berkomunikasi. Pada usia sepuluh bulan, bayi mulai mencari bantuan dari orang dewasa, mencari mainan yag diluar jangkauannya, melihat lagi ke orang dewasa dan membuat babbling yang teratur yang semakin keras jika orang dewasa yang ada didekatnya tidak menanggapinya.

First words

Sekitar tahun-tahun petamanya, anak-anak mengerti nama-nama untuk

beberapa orang-orang atau benda-benda, dan banya yang telah memproduksi kata-kata pertamanya. Umumnya, kata-kata tersebut merupakan nama-nama benda-benda yang layak dibicarakan dan mempunyai nama (Nelson and Nelson, 1978). Kata-kata pertama yang menunjukkan dengan cepat bisa disentuh dan bisa dilihat; bahasa anak belum mengenal salah penempatan pada kata-kata. pada tahap kata tunggal, bayi sering menggunakan sebuah kata untuk banyak tujuan, mengutamakan pada intonasi untuk mendapatkan arti. Misalnya, seorang bayi yang telah belajar kata door dapat, dengan menggunakan informasi, membuat sebuah pernyataan (Thats a door); menanyakan sebuah pertanyaan (Is that a door?) ;atau menyatakan sebuah tuntutan (Open the door!) (Menyuk and Bernholtz, 1969). Pengucapan kata-kata tunggal tersebut hanya bisa dimengerti melalui konteks. Jika anak kecil yang baru belajar berjalan ingin mencapai tombol pintu, dia lebih aman ntuk menekankan pada kata Door! yang maksudnya Open the door! Namun demikian, keberhasilan dari ucapan kata-kata tunggal tersebut tergantung pada kemampuan dari orang-orang lain untuk menggunakan konteks, intonasi, dan gerak tubuh (gestures) untuk menginterpretasikan keinginan pragmatis anak. Kepemilikan kosakata dasar tidak sama seperti pemerolehan bahasa. Bahasa memerlukan kata-kata untuk digabung menurut aturan-aturan tertentu, tapi Tatabahasa (Grammar) tidak bisa mendekat sampai anak telah sampai pada sebuah level tertentu pada pemahaman. Akan tetapi, hanya dengan merangkak mempersiapkan bayi untuk berjalan, pengucapan satu kata mempersiapkan mereka untuk bicara dengan cara seperti pada manusia seutuhnya.

First Sentences

Pada masa anak-anak mencapai usia dua tahun, mereka mulai

menggunakan dua kata bersama-sama, tidak ada jedah (pause) antara kata dan intonasi yang turun yang menyeluruh pada segenap pengucapannya. Mereka sekarang bicara dalam bentuk kalimat, dan kemampuan ini menunjukkan kemampuan untuk meningkatkan didalam daya ingat yang singkat; sekarang mereka bisa merencanakan dan memproduksi sebuah pernyataan sebelum kata pertama dilupakan. Pada tahap dua-kata ini, pola dasar pada tata bahasa (grammar) ini telah nampak didalam ucapan anak-anak. Anak-anak tidak sekedar hanya menjalankan ucapannya, namun mereka mengikuti aturan sintaksisnya mengenai susunan katanya (word order) yang didalam bahasa Inggris akan menentukan urutan Subject-verb-object untuk menunjukkan arti. Sehingga anak pada usia dua tahun akan mengucapkan eat cake (verb-object tapi bukan cake eat (object-verb) (Brown, 1973).

Acquiring complex Rules

Seperti pada ucapan satu kata, kalimat dua kata

sesungguhbya tidak mungkin untuk diinterpretasikan pada konteks. Misalnya, Mommy shoe bisa berarti This is Mommys shoe atau Mommy is wearing her shoe atau Theres mud on Mommys shoe atau Mommy, Put on your shoe! Meskipun apa yang telah kita lihat, konteks merupakan sangat penting didalam percakapan orang dewasa, bahasa anak-anak menjadi kurang kontekstual seperti kalimat-kalimat yang panjang dan mereka mulai menggunakan kata depan (preposition), konjungsi (conjunction), infleksi kata kerja (verb inflection) dan yag lainnya. Seperti mereka menguasai aturan tatabahasa yang compleks, anak-anak bisa berkomunikasi tentang apa yang terjadi kemarin dan apa yang mungkin akan terjadi besok. Didalam menguasai aturan tatabahasa, anak-anak mungkin akan melalui beberapa strategi. Didalam belajarnya (Bever, 1970), anak-anak yag berumur dua, tiga dan empat tahun menggunakan sebuah mainan seperti mainan kuda-kudaan dan mainan sapi-sapian untuk memperagakan kalimat-kalimat berikut ini; 1. The cow kisses the horse. 2. Its the cow that kisses the horse. 3. Its the horse that the cow kisses.

4. The horse is kissed by the cow. Anak-anak umur dua tahun memperagakan ketiga kalimat pertama diatas dengan benar, tapi pada kalimat 4, mereka seperti mengucapkan kuda mencium sapi (The horse kisses the cow) yang seharusnya sapi yang mencium kuda (The cow kisses the horse) . Menurut sipeneliti, anak umur dua tahun menduga bahwa ketika kata benda diikuti oleh kata kerja, kata benda itu adalah sebagai pelakunya. Tapi jika kata-kata lain memotong urutannya, seperti pada kalimat 4, anak umur dua tahun dengan sederhana akan menebak. Anak umur empat thaun juga memperagakan dua kalimat pertama dengan benar, tapi didalam kalimat 4 mereka membalikan interpretasinya, dengan konsisten akan mengatakan bahwa kuda mencium sapi. Mereka juga menentukan kuda sebagai pelakunya didalam kalimat 3, dimana anak umur dua tahun mengintepretasikan dengan benar. Menurut sipeneliti, bahwa anak pada usia empat tahun mengadopsi strategi yang berbeda. Mereka mendengar kata benda pertama didalam sebuah kalimat sebagai pelaku dan kata benda yang mengikutinya kata kerja sebagai objek dari sasaran pelaku. Strategi semacam ini akan mengarahkan mereka menginterpretasikan kalimat seperti pada kalimat 3 dan 4. salah dalam

You might also like