Professional Documents
Culture Documents
Karya: S. Menno dan Mustamin Alwi Oleh: Agung Wibowo Pada awal perkembangannya, Antropologi memusatkan perhatiannya kepada masyarakat primitif. Perhatian ini timbul karena ada sesuatu yang dianggap sebagai keganjilan pada tingkah laku masyarakat tertentu, yaitu pada masyarakat pedalamanpedalaman. Akan tetapi lama-kelamaan, mereka tidak lagi melihat tingkah laku itu sebagai sesuatu yang ganjil, melainkan sebagai sesuatu yang masih dekat dengan alam, dan masih berada dalam tahap perkembangan. Dan pada saat itu Antropologi memusatkan perhatiannya pada masyarakat tersebut. Karena ternyata masyarakat primitif itu telah semakin maju dan teradaptasi ke dalam masyarakat modern, maka perhatian antropologi selanjutnya beralih pada masyarakat pedesaan. Hampir seluruh aspek kehidupan desa telah diteliti dan diungkapkan. Karena itu, perhatian para antropolog pada tahap berikutnya, mulai beralih ke kota. Ada beberapa alasan yang digunakan untuk mengalihkan dan memperluas perhatian mereka ke kota-kota. 1. Masyarakat kota mempunyai pola-pola budaya dan tingkah laku, lembaga, pranata, serta struktur sosial yang berbeda dari masyarakat primitif maupun masyarakat desa. 2. Terjadinya urbanisasi yang semakin meningkat. Pada umumnya mereka mereka pergi ke kota tanpa membawa bekal ketrampilan kecuali tenaga. Setibanya di kota, mereka dapati dirinya berada pada situasi dan kondisi yang berbeda dari pada sewaktu berada di desa. Bagaimana reaksi dan respon mereka itulah yang menarik perhatian para antropolog. 3. Semakin luasnya pengaruh kehidupan kota atas kehidupan daerah pedesaan yang berada di sekitarnya, baik positif maupun negatif. 4. Semakin merosotnya nilai-nilai manusiawi oleh berkembangnya teknologi di kota. Antropologi perkotaan tidak sama dengan sosiologi perkotaan, karena bersifat induktif, analisisnya berdasarkan keadaan di lapangan dan merencanakan keadaan ke depan, bukan seperti pada sosiologi perkotaan yang bersifat deduktif, dan analisisnya berdasarkan teori sosiologi. Pada awal abab 20 dimana antropoli perkotaan mulai dikembangkan. Seorang antropolog yang mencoba menerapkannya adalah Cliford Gertz, dalam penelitiannya di
sebuah daerah yang berada di Jawa Timur yang dalam hasil penelitiannya disamarkan dengan nama Mojokuto. Dalam penelitiannya itu Gertz mencoba menganalisis sistem stratifikasi sosial masyarakat Jawa yang didasarklan pada kepercayaannya. Masyarakat Jawa dalam kaca mata Gertz terbagi dalam tiga golongan yaitu Priayi, Santri, dan Abangan. Dengan diterbitkannya hasil penelitiannya yang dilakukan kurun waktu 1940 an, antropologi perkotaan di Asia umumnya dan di Indonesia mulai berkembangan
Para peneliti itu telah berusaha untuk membahas keseluruhan struktur sosial dan kebudayaan komunitas di daerah penelitian mereka (jadi,hollistik). Mereka telah secara ekstensif menggunakan metode-metode etnografis yakni residensi dan observasi jangka panjang, serta teknik-teknik yang intensif.
Terdapat tiga sosiolog yang telah melakukan penelitian kota-kota di Amerika Serikat dan hasil-hasil penelitian mereka dikenal aliran chicago atau aliran human ecology. Mereka adalah R.E Park, E.W.Burgess dan R.E. Mc Kenzie. Mereka menunjukkan bahwa persebaran kelompok heterogen dalam kota tidak berlangsung secara liar, seperti dugaan sebelumnya. Nyatanya ada pengelompokan berdasarkan ras atau keagamaan ataupun pekerjaan. Dua yang pertama dapat saja berdempetan sehingga merupakan natural area yang merangkap pula cultural area. Adapun yang dimaksud dengan natural area ada 2 macam. Pertama berdasarkan tujuan penggunaan tanah. Kedua, berdasarkan tipe penduduk atau penghunian. Acap kali, tipe kedua ini memiliki adat istiadat, gagasan dan pandangan hidup yang khas karena latar belakangnya yang kultural, sehingga daerah demikian disebut cultural area. Luasnya bidang yang dicakupi oleh penelitian dan kajian antropologi ini telah menimbulkan pertanyaan mengenai apakah antropologi mempunyai sumbangan yang terpisah dari ilmu politik, ekonomi dan khususnya sosiologi?. Pembenaran atas pandangan ini harus di cari di dalam kenyataan bahwa antropologi telah membawa suatu sudut pandangan yang lain terhadap masalah urban/perkotaan.
Salah satu ciri utama studi antropologis ialah pendekatannya whollistik yang melihat kota sebagai suatu entitas atau suatu bentuk sosio-kultural yang khas. Karena perkembangan studi antropologi perkotaan ini banyak memfokuskan perhatiannya terhadap permasalahan yang terdapat atau timbul dalam kehidupan komunitas perkotaan, maka antropologi perkotaan dapat dikategorikan sebagai studi terapan.
2. Penguasaan atas alam lingkungan . 3. Kemajuan teknologi, dan 4. Kemajuan dalam organisasi sosial Suatu hipotesis tentang perkembangan kota juga dikemukakan oleh Kenneth Ee. Boulding. Menurut perkembangannya, ia membagi kota-kota itu ke dalam kota politik dan kota ekonomi .
1. Eopolis: Merupakan suatu pusat dari daerah-daerah pertanian dan mempunyai adat istiadat yang bercorak kedesaan dan sederhana. 2. Polis: merupakan tempat berpusatnya kehidupan keagamaan dan pemerintahan. 3. Metropolis: Dicirikan oleh ole wilayahnya yang kurang luas dan penduduknya yang banyak terdiri atas orang-orang dari berbagai bangsa. Percampuran perkawinan antar bangsa dan ras. Perkembangan menjadi metropolis menunjukkan kemegahan, tetapi dari segi sosial memperlihatkan adanya kekontrasan antara golongan kaya dan golongan miskin. 4. Megalopolis: Pada tahap ini gejala sosio-patologis sangat menonjol, di satu pihak terdapat kekayaan dan kekuasaan yang didukung oleh birokrasi yang ketat, tapi di pihak lain terdapat kemiskinan mendorong terjadinya pemberontakan proletar. 5. Tiranopolis: Ditandai oleh adanya degenerasi, merosotnya moral penduduk, timbulnya kekuatan politik baru dari kaum proletar. 6. Nekropolis: Kota yang sedang mengalami kehancuran. Peradabannya menjadi runtuh dan kota menjadi puing-puing reruntuhan.
akan timbul dua proses yang yang akibatnya berlawanan yakni intensifikasi sub kultur dan difusi kebudayaan. N. Daldjoeni (Seluk Beluk Masyarakat, 1978) mengatakan bahwa kota dapat didekati dari dua aspek, yakni aspek fisik (pengkotaan fisik) dan aspek mental (pengkotaan mental). Yang disebut pertama bersangkut paut dengan luas wilayah, kepadatan penduduk, tata guna tanah yang non agraris. Aspek kedua bertalian dengan orientasi nilai serta kebiasaan hidup orang kota. John Gullick merumuskan bahwa keenam kota kecil itu mempunyai beberapa ciri khas atau esensi urban yang sama : a. Adanya perantara (brokers). b. Kehadiran orang asing atau orang luar. c. Adanya hubungan diantara klas-klas atas di kota kota dengan pribadi-pribadi atau asosiasi-asosiasi di kota-kota lain yang lebih besar. d. Adanya hubungan-hubungan pribadi yang impersonal, rasionalistik berorientasi tujuan, atau interpersonal tunggal. e. Mudah terpengaruh oleh perubahan-perubahan. f. Adanya heterogenitas kultural. Jadi, setiap kota yang berukuran bagaimanapun masyarakatnya adalah produk behavioural (perilaku) dari suatu sistem sosial budaya yang lebih besar. Suatu masalah dalam kehidupan dengan kehidupan perkotaan ialah sekularisasi dan sekularisme. Sekularisasi dirimuskannya sebagai seperangkat aspek yang saling berkaitan : (1) tipe aspek sosial, (2) diferensiasi dan spesialisasi pranata-pranata, dan (3) institusionalisasi perubahan.
PERADABAN KOTA
Pada umumnya, orang mengidentikkan kota dengan peradaban (civilization), karena memang sulit untuk mengatakan bahwa suatu kota memiliki kebudayaan, sebab tentunya masih dapat dipertanyakan apakah kehidupan komunitas urban memenuhi kriteria definisi maupun unsur-unsur kebudayaan (culture). Ada dua definisi yang dapat digunakan untuk menentukan apakah kota dapat dikategorikan sebagai mempunyai kebudayaan yang khas. Definisi yang pertama, dalam arti luas, misalnya yang dikemukakan E.B. Taylor:
Kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Secara lebih khusus, peradaban dapat juga dirimuskan sebagai tingkat kemampuan seseorang atau masyarakat untuk menciptakan atau merumuskan ketentuan-ketentuan bagi pengaturan tata kehidupannya dalam hubungannya dengan lingkungan sosial maupun lingkungan alam, serta tingkat kemampuan seseorang atau masyarakat itu untuk mematuhi dan menaati ketentuan-ketentuan itu. Bertolak dari rumusan di atas, maka komunitas kota dapat dikatakan memiliki peradaban yang lebih tinggi, bukan kebudayaan. Seperti dikemukakan oleh Robert Redfield, komunitas kota lebih berorientasi kepada hal-hal yang bersifat material dan rasional sehingga hubungan menjadi impersonal dan sekunder, bukan lagi relation oriented . Individu menjadi teratomisasi dan teranomisasi sehingga masing-masing harus mencari jalannya sendiri-sendiri untuk tetap hidup. Karena banyaknya dan bervariasinya tuntutan dalam bertingkah laku dan bertindak sebagai anggota masyarakat yang berorientasi pada (goal) dan pencapaian (achievement) maka gaya hidup masyarakat kota lebih diarahkan pada penampilan fisik dan kualitas fisik sehingga tampak civilized. Gejala lain dalam komunitas kota adalah adanya kecenderungan masyarakat menjadi masyarakat massa (mass society) dimana individu kehilangan identitas pribadinya. Tapi, di balik apa yang dikemukakan di atas, terdapat pandangan yang melihat kota sebagai mempunyai peranan yang penting di dalam kehidupan masyarakat umum dan bangsa. Karena kota merupakan pusat kekuasaan, ekonomi, pengetahuan, inovasi, dan peradaban maka kehidupan kota dapat membawa dan mengarahkan kehidupan masyarakat umum kepada peningkatan kualitas hidup manusia. Keadaan ini sebanding dengan arti sivilitas yang berarti kualitas tertinggi pada masyarakat manusia. Sekularisasi mencapai puncaknya dalam masyarakat modern, yang mempengaruhi hampir semua bidang perilaku, dan meluas ke kalangan penduduk. Pendekatan kehidupan kota sebagai jaringan sistem yang utuh memang diperlukan untuk memperoleh pengertian yang jelas dan mendalam mengenai kondisi dan proses kemajuan dan atau kemunduran kehidupan dan peradaban kota.
Pada masyarakat pra modern, kelompok kekerabatan dan kekeluargaan memang mempunyai peranan yang penting sebagai organisasi yang mempunyai berbagai fungsi, termasuk fungsi kontrol atas perilaku individu. Karena itu posisi individu, sebagian besar ditentukan oleh kelompok kerabat dan keluarga dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. Goode menemukan adanya beberapa kekuatan dalam masyarakat industri yang menggerogoti organisasi keluarga nasional yakni : a. Adanya keharusan mobilitas horizontal atau geografik sehingga kontak antar keluarga menjadi kurang teratur dan menjadi agak jarang. b. Besarnya kesempatan mobilitas sosial (vertikal). Keadaan ini membuat sulitnya kontak-kontak sosial. c. Tumbuhnya organisasi kota dan organisasi industri yang mengambil alih berbagai fungsi kelompok kerabat. d. Diutamakannya prestasi (achievement) bila dibandingkan keturunan (ascription) e. Dilakukannya spesialisasi sehingga ikatan kekerabatan tidak lagi memegang peranan yang menentukan dalam kedudukan sosial. Karena itu, dalam banyak masyarakat, kelompok keluarga besar menjadi kurang artinya, organisasi klen menjadi cair dan keluarga besar menjadi kabur. Namun demikian, perlu diingatkan bahwa keadaan tersebut di atas tidak secara otomatis berlaku dalam organisasi sistem kekerabatan yang modern, atau secara otomatis memperlemah ikatan-ikatan kekerabatan itu. Hal di atas baru akan terjadi bila mobilitas sosial dan geografik mendapat arti yang baru, misalnya pergeseran ke dalam suatu (sub) kebudayaan yang lain dan yang memberi identitas baru. Dalam hal demikian, hubungan antar anggota-anggota keluarga dapat menjadi renggang. Sedang dalam berbagai situasi sosial, kekerabatan masih dimanfaatkan, misalnya untuk mengelola perusahaan, kekuasaan, ataupun permodalan. Juga dalam situasi tertentu, misalnya dalam hal ancaman terhadap kedudukan dalam usaha untuk memperoleh pekerjaan atau perumahan dan fasilitas-fasilitas lainnya, ataupun jaminan hukum, maka kekerabatan dapat berfungsi sebagai penolong. Sejalan dengan berkembangnya kota, terutama dalam hal jumlah penduduknya, maupun tuntutan sejumlah kebutuhan (ekonomi, politik, dan sosial budaya lainnya ) maka organisasi-organisasi keluarga juga cenderung berkembang meluas menjadi organisasi regional, yang tentunya mempunyai fungsi-fungsi yang harus dipenuhi, kalau tidak mau tenggelam dalam situasi anomik, individualisme, dan lain-lainnya yang bersifat disintegratif. Dengan kata lain alasan-alasan fundamental pembentukan asosiasi regional ialah karena asosiasi ini dapat berfungsi secara efektif sebagai suatu
mekanisme adaptif dalam kota-kota yang besar. Asosiasi-asosiasi regional lebih bertujuan untuk memodernisasi dan menempatkan kesejahteraan umum para anggotanya. Di dalamnya terdapat suatu perasaan persaudaraan tanpa memandang pada kekayaan, pendidikan, ataupun jabatan. Sehingga keadaan itu akan meratakan jalan bagi terbentuknya status urban yang dibedakan dari status rural , dan menimbulkan kesadaran klas, bukannya kesadaran kesukuan.
n. Kehidupan keluarga adalah otoriter. o. Penyerahan diri pada nasib atau fatalisme. p. Besarnya hypermasculinity complex di kalangan pria dan martyr complex di kalangan kaum wanita. Dikemukakannya, misalnya bahwa kegagalan kebijaksanaan pemerintah terhadap kemiskinan adalah disebabkan karena kebijaksanaan itu didasarkan atas asumsi adanya suatu kebudayaan yang self-perpetuating itu. Struktur kekuasaan lokal maupun nasional tidak berubah, demikian pula dalam distribusi sumber-sumber material dan psikik. Depriviasi utama kaum miskin dari posisi kultural mereka di dalam sistem sosial, menurut Valentino, bersumber dari tindakan-tindakan dan sikap golongan bukan miskin. Karena itu untuk mengatasi hal itu perlu ada suatu sikap berpihak kepada kaum miskin di dalam pekerjaan dan pendidikan, yang disebutnya radical egalitarism. Jadi kondisi kemiskinan yang demikian itu, berdasarkan uraian Gladwin dan Valentine tersebut di atas disebut sebagai kemiskinan struktural, yakni kemiskinan yang tercipta dan kekal yang disebabkan oleh mereka yang berada dalam struktur sosial yang lebih tinggi dalam masyarakat, yang dengan berbagai usaha tidak memberi kesempatan kepada segmen di bawah beranjak ke atas guna memperbaiki taraf hidup mereka. Sejalan dengan masalah kemiskinan itu adalah segmen pemukiman kota yang disebut squatter s town, ghetto, dan daerah etnis lainnya, sebagai fenomena struktural yang sering dijumpai di kota-kota besar. Squatter s town adalah pemukiman (settlement) yang berupa pemukiman di bawah standar, sering tanpa status yang jelas mengenai tanahnya, dan berlokasi di dalam atau di batas-batas pinggiran kota. Ghetto adalah pemukiman yang dihuni oleh suatu etnis tertentu yang dipandang sebagai etnis yang kurang disenangi oleh mayoritas kelompok masyarakat lainnya karena dipandang jorok dan mempunyai cara hidup yang aneh. Ada beberapa antropolog yang telah meneliti fenomena pemukiman /penghunian liar di berbagai kota besar. Fokus penelitian mereka terutama diarahkan kepada asal-usul masing-masing daerah penghunian liar, organisasi dan asosiasi di dalamnya, aturanaturan setempat, serta fungsi semua itu bagi penghuninya, maupun bagi para migran baru.
URBANISASI
Penelitian urbanisasi itu dapat dirinci ke dalam pengertian-pengertian berikut : a. Arus perpindahan penduduk dari desa ke kota.
b. Bertambah besarnya jumlah tenaga kerja non agraris di sektor industri dan sektor tersier. c. Tumbuhnya pemukiman menjadi kota. d. Meluasnya pengaruh kota di daerah-daerah pedesaan dalam segi ekonomi, sosial, budaya dan psikologi. Tetapi pada umumnya orang mengartikan urbanisasi itu hanya sebagai mengalirnya perpindahan penduduk dari pedesaan ke kota-kota, dan dipandang sebagai penyebab utama terjadinya berbagai masalah sosial. Hasil dari penelitian dan pengidentifikasian itu telah dikategorikan ke dalam dua kelompok penyebab, yakni faktor pendorong dan faktor penarik . Perkembangan dan kemajuan alat komunikasi dan transportasi juga turut berpengaruh atas perpindahan kota, sehingga memperbesar kesempatan dan kemungkinan orang pedesaan tinggal di kota karena dengan mudah dan cepat dapat pulang pergi dari dan ke desa asal. G. Germani (migration and acculturation,1965) berpendapat bahwa segala perpindahan itu harus dianalisis atas dasar yang lebih luas. Untuk itu digunakannya 3 tingkat analisis : a. Tingkat Obyektif, dimana faktor pendorong dan penarik, bersama-sama dengan cara penyelenggaraan hubungan kota dan pedesaan ikut dipertimbangkan. b. Tingkat Normatif dan Sosio-psikologik, dimana diperhatikan kondisi obyektif yang berfungsi dalam masyarakat : norma, nilai, kepercayaan, juga sikap dan tata kelakuan yang berpengaruh atas perpindahan itu. c. Analisis tingkat psiko-sosial, yang mencakup sikap dan harapan individuindividu konkrit, yang memutuskan untuk pindah ke kota atau tidak. Dari studi itu disimpulkannya suatu konsep yang disebut step by step, yakni perpindahan yang besar cenderung untuk menciptakan gerakan perpindahan tandingan, bahwa di kalangan para migran yang berpindah dalam suatu jarak yang jauh dari komunitas mereka sendiri terdapat kecenderungan untuk berpindah ke pusatpusat industri dan niaga yang besar, bahwa penduduk kota yang lebih kecil kurang berminat berimigrasi bila dibandingkan dengan mereka di pedesaan, dan bahwa kaum wanita lebih berkeinginan untuk berimigrasi bila dibandingkan kaum pria.
Ada banyak bukti bahwa kota lebih banyak menarik kaum wanita muda bila dibandingkan dengan kaum pria muda, karena pedesaan kurang memberikan kesempatan ekonomi. Ada banyak orang pergi ke pusat-pusat urban semata-mata karena desakan ekonomi, karena tingkat kelahiran di pedesaan lebih tinggi dan lapangan pekerjaan berkurang. Di pihak lain, sebagian orang menemukan bahwa kemampuan mereka tertekan, dan ambisi mereka terhalang di lingkungan pedesaan dan karena itu, mereka berpaling kepada kemungkinan-kemungkinan yang ada di kota-kota. Di antara mereka ini sebagian besar adalah penduduk desa yang lebih berbakat. Tentu saja, terdapat pula banyak dari mereka yang berimigrasi ke kota karena tertarik oleh alasan lain, misalnya melarikan diri dari tekanan politik dan sosial, mencari hiburan, petualangan, dan mereka yang suka pada kehidupan kerumunan, serta alasan kriminal dan sebagainya. Kesimpulan lain yang dapat ditarik mengenai urbanisasi adalah eratnya hubungan urbanisasi itu dengan mobilitas sosial. Semakin tinggi mobilitas sosial yang terdapat dalam suatu masyarakat semakin tinggi pula dorongan atau motivasi untuk bermigrasi dan berurbanisasi. Mobilitas sosial dapat dibagi ke dalam 2 bentuk yakni : mobilitas fisik dan mobilitas mental . Mobilitas fisik adalah gerak perpindahan penduduk (individual maupun kelompok). Dari ruang sosial yang satu ke ruang sosial yang lain. Sementara mobilitas mental adalah gerak perubahan atau peralihan (transformasi) aspek-aspek sosio-psikologis pada manusia, dari pola satu ke pola yang lain.
Kontrol sosial dalam kota, khususnya bila komunitas kota telah mencapai dimensidimensi metropolis modern akan mencerminkan beraneka ragam kontak sosial, aneka ragam tata krama sosial dan predominansi hubungan sekunder, yang menandai masyarakat yang kompleks. Pengendalian sosial sebagian besar dijalankan oleh asosiasi yang terspesialisasi dengan norma-norma yang bersifat asosiasional, termasuk badanbadan hukum interpersonal. Beberapa ciri struktur sosial kota sebagai berikut : yDiferensiasi ekonomik yang menjadi landasan terjadinya pengelompokan sosial, baik secara vertikal maupun horizontal. ySpesialisasi kerja ke dalam semi skilled dan skilled, yang menjurus kepada perkembangan profesionalisme . yHubungan-hubungan sosial yang bersifat kompetitif yang mendorong individu atau anggota masyarakat mencapai prestasi tinggi. yIndividu mendapat tempat yang utama dalam kegiatan-kegiatan untuk memperoleh status, sesuai dengan prestasi yang dicapainya. yMobilitas yang tinggi baik vertikal maupun horizontal karena status lebih didasarkan pada prestasi dan perhatian. yKecenderungan terjadinya pengelompokan penduduk ke dalam lokasi pemukiman yang disesuaikan pada kekhasan sosial budaya. yMemudarnya perbedaan status kelamin dalam kedudukan dan posisi serta status dalam semua aspek kehidupan. yHubungan sosial menjadi lebih bersifat sekunder. Suatu akibat dari oleh adanya struktur sosial dengan ciri-ciri tersebut di atas adalah bahwa penduduk kota semakin terkelompok oleh asosiasi sekunder dan berdasarkan pada kepentingan tertentu. Jarak sosial antar individu semakin besar sehingga membentuk individualisme. Namun demikian tidak berarti bahwa individu akan terlepas dari masyarakat dan dari hubungan kerja sama dengan individu lain melainkan sebaiknya bergeser associative individualism yakni bahwa individu dengan spesialisasi dan kebebasannya yang semakin besar itu malah semakin bergantung pada spesialisasi pihak atau individu lainnya. Semakin besar suatu kota, semakin besar dan tajam spesialisasi itu sehingga menyebabkan terbentuknya struktur ekologis yakni terbagi-baginya ruang menjadi
zone-zone kegiatan-kegiatan niaga dan bisnis, zone pemikiman berpenghasilan rendah, yang padat sesak, zone pemukiman kelas menengah, zone konsentrasi industri.