You are on page 1of 9

Latar Belakang

Setiap manusia menghasilkan sampah, yaitu suatu bahan yang terbuang atau dibuang
dari sumber hasil aktifitas manusia maupun alam yang belum memiliki nilai ekonomis.
Menurut Wikipedia1, sampah merupakan material sisa yang tidak diinginkan setelah
berakhirnya suatu proses. Sampah memiliki berbagai macam wujud, yaitu padat, cair, atau
gas. Ketika dilepaskan dalam dua wujud yang disebutkan terakhir, terutama gas, sampah
dapat dikatakan sebagai emisi. Emisi biasa dikaitkan dengan polusi.
Beberapa dekade ini kita telah mengalami kemajuan teknologi yang memungkinkan
manusia untuk memproduksi berbagai macam alat pemenuh kebutuhan baik berasal dari
bahan alami mau pun sintetis. Kemajuan teknologi mempengaruhi pola dan tingkat konsumsi
manusia. Dalam kehidupan manusia, sampah dalam jumlah besar datang dari aktivitas
industri, misalnya pertambangan, manufaktur, dan konsumsi. Hampir semua produk industri
akan menjadi sampah pada suatu waktu, dengan jumlah sampah yang kira-kira mirip dengan
jumlah konsumsi. Sedangkan efek buruk sampah adalah mencemari rantai makanan,
menimbulkan gas metana yang beracun, polusi udara dan air serta memungkinkan timbulnya
berbagai penyakit. Oleh karena itu, permasalahan sampah bukan merupakan permasalahan
yang sederhana karena terkait dengan gaya hidup dan kelangsungan hidup manusia.
Sayangnya, di Indonesia pengelolaan sampah belum maksimal baik dari segi
teknologi, manajemen maupun hukum. Pengelolaan sampah belum menjadi prioritas bagi
pemerintah dan masyarakat. Gaya hidup konsumtif dibarengi dengan budaya apatis menjadi
kesatuan harmonis untuk menciptakan lingkungan yang tidak ramah. Oleh karena itu, kiranya
perlu untuk mencari suatu model pengelolaan sampah dari hulu ke hilir sebagai salah satu
upaya menjaga keberlanjutan lingkungan hidup.

Teknologi dan Konsumsi


Kemajuan pesat di bidang iptek amat berpengaruh pada tingkah laku manusia.
Kemajuan teknologi memungkinkan terjadinya pergeseran nilai – nilai, salah satunya nilai
interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya. Tingkah laku yang dipengaruhi kemajuan
teknologi memberikan tekanan yang besar bagi daya dukung lingkungan karena manusia
yang semula hanya mengambil dan mengumpulkan kebutuhan hidupnya dari lingkungan
alam kemudian mempergunakan teknologi sebagai sarana yang efektif untuk memenuhi dan

1
diunduh dari http://id.wikipedia.org/wiki/Sampah dengan perubahan seperlunya, diakses tanggal 3 Mei 2008

1
memuaskan keinginan manusia. Jadi, teknologi membuat manusia tidak sekedar memenuhi
needs tapi juga wants yang seringkali tanpa batas.
Technology has a central role in all human culture and society2. Teknologi
mempengaruhi gaya hidup manusia, salah satunya dalam mengkonsumsi. Sociotechnical
system memperlihatkan bentuk – bentuk konsumsi baru atau harapan – harapan tertentu
dalam penggunaan teknologi. Penemuan berbagai teknologi yang time saving telah
memanjakan manusia, baik laki – laki maupun perempuan dan menjadi kebiasaan yang
dilakukan setiap hari. Teknologi yang menekankan efisiensi waktu membuat manusia kurang
memperhatikan dampak buruknya bagi lingkungan, yaitu meningkatkan konsumsi listrik, air,
berbagai produk olahan minyak bumi serta berbagai jenis sumber daya lainnya.
Teknologi plastik, styrofoam, dll memberi gambaran bagaimana teknologi
memudahkan kehidupan manusia dengan menyisakan residu yang tidak mudah diolah dan
memberi efek dalam jangka panjang. Kita ketahui bersama, plastik memerlukan waktu
bertahun-tahun untuk hancur dan terurai. Sebagai sampah sintetis, pada waktu terurai plastik
akan meracuni tanah dan air disekitarnya. Selain itu, plastik dibuat dari sumber alam yang
tidak dapat digantikan, yaitu minyak yang berpotensi menimbulkan gas beracun kalau
dibakar dan menyumbang pemanasan global karena energi yang dipakai pada waktu
memproduksinya dan panas pada waktu penimbunan dan pembakaran sampahnya3.
Kemajuan teknologi informasi membuat jenis dan motif iklan makin bervariasi. Iklan
memainkan peranan penting dalam memasarkan produk. Didukung oleh kapital yang
memadai, perusahaan multinasional berhasil memperdayai masyarakat untuk berlomba-
lomba menciptakan persaingan dalam gaya hidup: antargolongan, antarkelas, antarusia, dan
sebagainya. Dengan lain kata, konsentrasi ekonomi masyarakat kapitalisme lanjut terfokus
pada pengembangan strategi produksi dan perluasan korporasi melalui manajemen konsumsi
massa lewat penciptaan kebaruan-kebaruan produk bagi makna-makna simbolik tertentu
(prestise, status, kelas). Keinginan berskala masif lekat dengan kehendak akan sesuatu yang
baru. Inilah budaya konsumerisme.

Sampah Teknologi
2
Anonim, What Fuels Technology Change? Materi suplemen mata kuliah Dimensi Sosial Teknologi
3
Informasi menarik mengenai fakta sampah plastik, tingkat penggunaan di seluruh dunia serta dampak
negatifnya dapat dilihat di situs www.coolcitibags.com

2
Keserasian dan keseimbangan lingkungan hidup pada hakikatnya berproses melalui
interaksi yang didasarkan pada hukum-hukum keseimbangan dan keteraturan yang bersifat
alami4. Jika salah satu elemen mengalami gangguan, maka elemen lain akan mengalami
gangguan. Keruwetan pengelolaan persampahan setidaknya disebabkan oleh dua faktor
pokok: (a) perilaku produsen yang kontraproduktif dalam menjaga kelestarian ekologis, dan
(b) perilaku konsumtif konsumen yang tak berkesadaran ekologis. Produsen menghasilkan
barang dengan proses yang tidak ramah lingkungan. Tidak diperhatikannya pembuangan
limbah dan AMDAL menyebabkan efek beruntun bagi lingkungan hidup. Limbah yang
dibuang ke sungai akan mengotori air dan meracuni ikan. Padahal, manusia mengkonsumsi
air dan ikan tersebut. Efek bumerang ini dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar
tempat produksi dan tidak mustahil, ke masyarakat luas.
Budaya konsumsi ditopang proses penciptaan terus-menerus lewat penggunaan citra,
tanda, dan makna simbolis dalam proses konsumsi. Budaya belanja juga lebih didorong oleh
logika hasrat (desire) dan keinginan (want) daripada logika kebutuhan (need). Satu hal yang
tidak banyak disadari, petaka konsumerisme menimbulkan petaka ekologis (tumpukan
sampah). Padahal, hambatan terbesar pengelolaan persampahan adalah membludaknya
produk sekali pakai (disposable), misalnya plastik pembungkus makanan atau kertas nota.
Teknologi membuat permasalahan sampah menjadi tidak mudah diselesaikan. Dahulu,
permasalahan sampah dapat diselesaikan dengan cara menimbun atau membakar. Saat ini
penyelesaian sampah tidak sesederhana itu. Berbagai bahan sintetis yang digunakan untuk
membuat benda – benda konsumsi membuat sampah teknologi memiliki berbagai implikasi
negatif terhadap alam dalam jangka panjang. Ironisnya, tidak sedikit sampah teknologi yang
sebelumnya hanya bermanfaat dalam waktu singkat dan digunakan dalam jumlah besar.
Plastik, sampah elektronika, lapisan alumunium foil merupakan contoh barang sehari – hari
yang memberi kontribusi cukup besar bagi bertambahnya sampah dunia.

Tabel : Jenis sampah dan waktu yang dibutuhkan untuk penguraian

4
Harun M. Husein, SH, Lingkungan Hidup : Masalah, Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya, Jakarta : PT
Bumi Aksara, Mei 1993

3
Jenis Sampah Waktu Urai
1. kertas 2,5 bulan
2. kardus 5 bulan
3. kulit jeruk 6 bulan
4. busa sabun (detergen) 20-25 tahun
5. sepatu kulit 20-40 tahun
6. kain nilon 30-40 tahun
7. plastik 50-80 tahun
8.aluminium 80-100 tahun
9. styrofoam tidak bisa hancur
Diolah dari berbagai sumber

Tabel tersebut menunjukkan fakta tidak semua sampah jika dibuang ke alam akan
mudah hancur. Butuh waktu berbulan-bulan, bahkan ada yang puluhan tahun baru bisa
hancur. Jika volume sampah yang dihasilkan warga kota banyak dan lama hancur, maka
dibutuhkan lahan yang luas untuk TPA. Tentu saja hal ini akan berdampak pada living space
dan supply depot yang semakin ketat berkompetisi5 dalam memenuhi kebutuhan manusia.
Berbicara mengenai sampah berarti bicara soal gaya hidup yang memang sengaja
direkayasa oleh pasar, sehingga budaya konsumtif begitu dilanggengkan dan dipelihara dalam
kehidupan masyarakat. Pencemaran lingkungan yang terjadi bukan semata – mata disebabkan
oleh kemiskinan atau ketidaktahuan masyarakat Indonesia. Persoalan sampah terkait erat
dengan pola konsumsi yang ada dalam masyarakat. Pola konsumsi yang berlebihan dari
sebagian masyarakat turut mendorong hal ini, terlebih masyarakat cenderung menyukai pola
kehidupan modern yang boros energi dan sumber alam.
Pola konsumsi masyarakat dibentuk oleh sebuah sistem pasar yang bernama sistem
kapitalisme, yang melakukan serangkaian rekayasa gaya hidup masyarakat sehingga begitu
menjadi sangat konsumtif, dengan sejumlah reklame-reklame iklan gaya hidup yang
dipertontonkan oleh industri yang sesungguhnya menjadi kontributor besar ditengah
timbunan sampah. Tidak bisa kemudian gaya hidup konsumtif hanya diselesaikan dengan
teknologi, terlebih belum pernah ada sejarah yang menunjukkan keberhasilan Indonesia
mengelola sampah, karena teknologi canggih yang ditawarkan bisa mengatasi persoalan
sampah juga belum terbukti.
Ironisnya, masih banyak warga kota yang belum memiliki kesadaran lingkungan dan
membuang sampah di sembarang tempat, misalnya sungai, saluran drainase atau rawa-rawa.
Akibatnya sampah akan menyumbat saluran sehingga menyebabkan banjir. Di sisi kesehatan

5
Dunlap (1993) dalam John A. Hannigan.1995. Environmental Sociology. London and New York : Routledge

4
tumpukan sampah tersebut akan menjadi salah satu sumber penularan penyakit seperti
disentri, kolera, pes dan lain-lain.

Sukunan dan Tanggung Jawab Pengelolaan Sampah


“Kebudayaan plastik” atau kebudayaan barang – barang sintetis adalah
kecenderungan masyarakat untuk semakin mendewakan teknologi6. Meningkatnya
kemakmuran seiring dengan industrialisasi barang – barang sintetis, polusi plastik, detergen
dan polutan – polutan lain menyebabkan kuantitas sampah meningkat dalam jumlah yang
signifikan. Bersamaan dengan itu, lingkungan hidup mulai diperlakukan sebagai tong sampah
raksasa yang mampu menampung setiap limbah yang dihasilkan industri maupun masyarakat.
Pihak produsen maupun masyarakat yang berperan besar dalam menyumbang volume
sampah di muka bumi seharusnya bertanggungjawab terhadap sampah-sampah yang mereka
miliki.
Sukunan, kampung kecil yang terletak di Sleman mempelopori pemberdayaan
masyarakat dan lingkungan dengan menggerakkan warganya untuk mengelola sampah agar
bernilai guna secara mandiri. Proyek pengolahan di Sukunan berawal dari kesadaran Iswanto
– salah satu tokoh masyarakat yang berprofesi sebagai dosen Ilmu Kesehatan Lingkungan
yang menimba ilmu pengolahan sampah di Surabaya dan kemudian menyebarkan ilmunya ke
masyarakat untuk diterapkan. Saat ini Siswanto hanya berperan selaku pemrakarsa program
karena masyarakat sudah mendapat edukasi yang memadai mengenai pengolahan sampah.
Tahun 2001 Sukunan mendapat sumbangan AUD 9,000 atau sekitar Rp60 juta dari
seorang antropolog Australia, Lea yang tertarik kepada konsep pemberdayaan masyarakat
yang sayangnya belum menyeluruh karena minimnya dana dan pengetahuan masyarakat
lokal. Sumbangan dana dipergunakan warga untuk mengelola sampah secara swakarsa,
misalnya dengan menyediakan dua drum komposter di tiap rumah. Lea juga memberi
penyuluhan kepada masyarakat bahwa pembakaran sampah akan meningkatkan jumlah CO2
di udara, sedangkan logam yang ditanam di tanah akan mempengaruhi kesuburan tanah dan
karatnya dapat meresap di air tanah.

6
George Junus Aditjondro. Korban – Korban Pembangunan : Tilikan terhadap Beberapa Kasus Perusakan
Lingkungan di Tanah Air. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Februari 2003

5
gb. Drum komposter (alat untuk membuat kompos) yang terdapat di setiap rumah warga Sukunan

Pengelolaan sampah oleh masyarakat merupakan salah satu solusi yang cukup tepat
dalam mengatasi permasalahan sampah, terutama sampah anorganik. Paguyuban Sukunan
Bersemi telah berhasil memobilisasi warga dusun Sukunan untuk mengolah sampah menjadi
kompos dan berbagai macam kerajinan yang layak jual. Menggunakan prinsip 3R (reuse,
reduce, recycle)7, warga Sukunan mengurangi tingkat konsumsi masyarakat terhadap barang
– barang anorganik sekaligus meningkatkan fungsi barang tersebut. Pasalnya, semakin
banyak kita menggunakan material, semakin banyak pula sampah yang dihasilkan. UU
Pengelolaan Sampah Pasal 15 “Setiap produsen harus mencantumkan label atau tanda yang
berhubungan dengan pengurangan dan penanganan sampah pada kemasan dan/atau
produknya, serta wajib mengelola kemasan dari barang yang diproduksinya yang tidak dapat
atau sulit terurai oleh proses alam” yang belum banyak disadari oleh produsen besar maupun
kecil menjadi dasar warga untuk mengelola sampah anorganik (plastik pembungkus, dll)
menjadi berbagai barang kerajinan, furnitur dan batako (dari styrofoam).
Setiap rumah tangga diwajibkan memilih sampah sebelum dibuang ke tempat
pembuangan sampah sementara (TPS). Dan setiap TPS harus menyediakan tempat sampah
yang berbeda untuk sampah organik dan sampah anorganik dengan warna yang berbeda pula.
Untuk sampah anorganik, berupa plastik dan kertas, dapat dijual kiloan ke pengepul atau
diolah menjadi barang kerajinan tangan. Sampah organik adalah sampah yang dapat
7
Reduce : Melakukan minimalisasi barang yang dipergunakan
Reuse : Memilih barang-barang yang bisa dipakai kembali, hindari pemakaian barang yang hanya bisa sekali
dipakai
Recycle : Barang-barang yang sudah tidak terpakai didaur ulang atau dijadikan barang baru yang lebih berguna

6
diuraikan oleh mikroba atau yang dapat membusuk (daun, sisa makanan, sayuran dll)
sedangkan sampah anorganik adalah sampah yang sukar diuraikan (plastik, karet, dll).
Hingga kini, Karang Taruna mengurus pembuatan kompos, sedangkan 17 ibu rumah
tangga berperan dalam pembuatan kerajinan tangan dari plastik ber-alumunium foil yang
tidak laku jika dijual ke pengepul. Hampir seluruh sampah yang diproduksi warga Sukunan
dipergunakan ulang dan diperjualbelikan. Efeknya, tidak kurang dari 7 juta rupiah mengalir
ke kas desa tiap tahunnya dan warga dibebaskan dari retribusi sampah. Pengelolaan
organisasi pengelolaan sampah pun cukup profesional. Pembagian warga menjadi divisi
Bengkel (membuat dan memperbaiki alat), divisi Diklat (edukasi pengelolaan sampah kepada
pihak luar), dll membuat pengelolaan sampah berjalan berkesinambungan dan menghasilkan
hasil yang maksimal.
Uniknya, tidak ada konsep pengumpulan sampah door-to-door di Sukunan. Setiap
warga bertanggung jawab terhadap sampah miliknya. Mereka harus membersihkan dan
memilah sampah sesuai kategori sebelum ‘menitipkan’ sampahnya di tempat yang telah
disediakan. Konsep pengumpulan sampah seperti ini ‘memaksa’ warga untuk memiliki
kesadaran mengenai pembuangan sampah sekaligus meringankan tugas pengurus paguyuban
untuk mengumpulkan sampah sebagai bahan baku produksi.

gb. Tiga macam tempat sampah yang tersebar di wilayah Sukunan

Langkah positif lainnya, Sukunan mengadakan edukasi dan pelatihan pembuatan


kompos dan kerajinan kepada pihak luar, baik personal, instansi maupun desa dengan
harapan semua orang dapat mengelola sampahnya secara mandiri dan tepat guna.

7
Kesimpulan
Budaya konsumerisme semakin mengakar di dalam kehidupan masyarakat yang
mengagungkan time saving dan kemudahan hidup oleh berbagai penemuan barang-barang
berteknologi tinggi di era kebudayaan plastik, yaitu era dimana terdapat banyak barang
sehari-hari yang terbuat dari barang sintetis dan kadangkala hanya dipergunakan dalam waktu
singkat. Padahal, sampah sintetis yang dihasilkan tidak serta merta dapat diolah oleh alam
(diuraikan) atau dapat diuraikan dalam waktu lama dan merusak lingkungan. Oleh karena itu,
perlu ada suatu kesadaran untuk bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan dengan
mengatur konsumsi barang dan produsi sampah, baik secara personal maupun oleh
masyarakat.
Menggunakan prinsip 3R, warga Sukunan konsisten menerapkan gaya hidup peduli
sampah dan ramah lingkungan dengan meminimalisir sampah yang dihasilkan dan mengolah
sampah menjadi sesuatu yang bernilai guna dan dapat dimanfaatkan lagi. Pengelolaan
organisasi dan konsep yang terarah membuat pengelolaan sampah berbasis masyarakat di
Sukunan berjalan berkesinambungan dan memberikan keuntungan yang besar kepada
masyarakat, baik berupa lingkungan yang bersih maupun keuntungan ekonomi. Masyarakat
pun diberdayakan karena mereka mandiri dan berperan secara aktif dalam pengumpulan
sampah, pembuatan kompos dan kerajinan serta edukasi pengelolaan sampah.

Referensi :

Aditjondro, George Junus. 2003. Korban – Korban Pembangunan : Tilikan terhadap


Beberapa Kasus Perusakan Lingkungan di Tanah Air. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Anonim. 2007. Anti Sampah Plastik. Diakses dari http://www.angelfire.com/ tanggal 26 Mei
2008

. 2005. Belajar Mengelola Sampah di Sukunan Sleman. Diakses dari


http://digilib.ampl.or.id tanggal 14 Mei 2008

. 2007. Masalah Plastik. Diakses dari www.coolcitibags.com tanggal 3 Mei 2008

Ansorullah, Najmudin. 2007. Menuju Masyarakat Sadar Lingkungan. Diakses dari


http://jurnalnajmu.wordpress.com tanggal 3 Mei 2008

G, Indra. Pengelolaan Sampah. Diakses dari http://1ndra.iblog.com tanggal 3 Mei 2008

Hannigan, John A. 1995. Environmental Sociology. London and New York : Routledge

8
Irianingsih, Emmy. 2007. Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat. Diakses dari
www.wawasandigital.com tanggal 3 Mei 2008

Husein, Harun M. Lingkungan Hidup : Masalah, Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya,


Jakarta : PT Bumi Aksara, Mei 1993

Khalid, Khalisah. 2007. Kompleksitas Persoalan Sampah. Diakses dari www.walhi.or.id/


tanggal 3 Mei 2008

Kuswardono, Torry. 2007. Sampah dan Tanggung Jawab Produsen. Diakses dari
www.walhi.or.id tanggal 3 Mei 2008

Tenawin, Deirdre. 2007. Problem Sampah. Diakses dari www.wikimu.com tanggal 7 Mei
2008

You might also like