Professional Documents
Culture Documents
Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah atau Muhammad ‘Abduh. lahir di
desa Mahallat Nashr Kota Al-Buhairah, Mesir pada tahun 1849 M dan wafat pada
tahun 1905 M. Beliau merupakan putra dari seorang petani berkebangsaan Turki yaitu
Abduh bin Hasan Khairullah, sedangkan ibunya masih mempunyai silsilah keturunan
dengan tokoh besar Islam, Umar bin Khattab.
Pendidikan pertama yang ditekuni Muhammmad Abduh adalah belajar Al Qur'an,
karena kemampuan yang dimilikinya memiliki otak yang cerdas maka hanya dalam
kurun waktu dua tahun, beliau telah hafal kitab suci dalam usia 12 tahun. Pendidikan
formalnya dimulai saat ia dikirim oleh ayahnya ke perguruan agama di masjid
Ahmadi yang terletak di desa Thantha. Namun karena sistim pembelajarannya yang
dirasa sangat membosankan, akhirnya ia memilih untuk menimba ilmu dari
pamannya, Syekh Darwisy Khidr di desa Syibral Khit yang merupakan seseorang
berpengetahuan luas dan penganut paham tasawuf. Selanjutnya, Muhammad Abduh
melanjutkan studinya ke Universitas Al Azhar, di Kairo dan berhasil menyelesaikan
kuliahnya pada tahun 1877.
Ketika menjadi mahasiswa di Al Azhar, pada tahun 1869 Abduh bertemu
dengan seorang ulama' besar yang disebvut-sebut sebagai pembaharu dalam Islam,
yaitu Jamaluddin Al Afghany, dirinya bertemu dengan Al-Afghani dalam sebuah
diskusi. Sejak itulah Abduh tertarik kepada Jamaluddin Al Afghany dan banyak
belajar darinya. Al Afghany adalah seorang pemikir modern yang memiliki semangat
tinggi untuk membuat paradigma baru yaitu memutuskan rantai pemikiran umat islam
yang ortodok dan cara berfikir yang fanatik.
Nuansa baru yang ditiupkan oleh Al Afghany, berkembang pesat di Mesir
terutama di kalangan mahasiswa Al Azhar yang langsung dipelopori oleh Muhammad
Abduh. Karena cara berpikir Abduh yang lebih maju dan sering bersentuhan dengan
jalan pikiran kaum rasionalis Islam atau Mu'tazilah, maka banyak yang menuduh
dirinya telah meninggalkan madzhab Asy'ariyah. Terhadap tuduhan itu ia menjawab:
"Jika saya dengan jelas meninggalkan taklid kepada Asy'ary, maka mengapa saya
harus bertaklid kepada Mu'tazilah? Saya akan meninggalkan taklid kepada siapapun
dan hanya berpegang kepada dalil yang ada".
B. Sejarah Perjuangan dan Kehidupan Politik
Setelah Abduh menyelesaikan studinya di al Azhar pada tahun 1877, atas usaha
Perdana Menteri Mesir, Riadl Pasya, ia di angkat menjadi dosen pada Universitas
Darul Ulum dan Universitas al Azhar. Dalam memangku jabatannya itu, beliau terus
mengadakan perubahan-perubahan yang radikal. Dia merubah model lama dalam
bidang pengajaran dan dalam memahami dasar-dasar keagamaan seperti yang
dialaminya sewaktu belajar di masjid al-Ahmadi dan di al Azhar. Dia menghendaki
adanya sistim pendidikan yang mendorong tumbuhnya kebebasan berpikir, menyerap
ilmu-ilmu modern dan membuang cara-cara lama yang kolot dan fanatik Sebagai
murid Jamaluddin al-Afghani, maka pemikiran politiknya pun sangat dekat dengan
Al Afghany yaitu berpikir secara revolusioner dengan serius memandang penting
bangkitnya bangsa-bangsa timur (usyruqiyyah) guna melawan dominasi Barat.
Pada tahun 1879, pemerintahan Mesir berganti seiring dengan turunnya Chedive
Ismail dan digantikan puteranya, Taufiq Pasya. Pemerintahan yang baru ini sangat
kolot dan monoton, sehingga memicu Abduh untuk mengkritisi pemerintahan, hal ini
tentu saja berdampak kepada Abduh hingga ia dipecat dari jabatannya dan
pengusiran terhadap al Afghany dari Mesir. Tetapi pada tahun berikutnya Abduh
kembali mendapatkan tugas dari pemerintah untuk memimpin penerbitan majalah "al
Wakai' al Mishriyah". Kesempatan ini dimanfaatkan Abduh untuk menuangkan isi
hatinya dalam bentuk artikel-artikel untuk mengkritisi pemerintah tentang nasib
rakyat, pendidikan dan pengajaran di Mesir.
Pada tahun 1882, Abduh dibuang ke Syiria (Beirut) karena dianggap ikut andil
dalam pemberontakan yang terjadi di Mesir pada saat itu. Disini ia mendapat
kesempatan untuk mengajar di Universitas Sulthaniyah selama kurang lebih satu
tahun.
Pada awal tahun 1884, Abduh pergi ke Paris atas panggilan al Afghany yang saat
itu telah berada disana. Bersama al Afghany, disusunlah sebuah gerakan untuk
memberikan kesadaran kepada seluruh umat Islam yang bernama "al 'Urwatul
Wutsqa". Untuk mencapai cita-cita gerakan tersebut, diterbitkanlah pula sebuah
majalah yang juga diberi nama "al 'Urwatul Wutsqa". Suara kebebasan berpendapat
yang digulirkan al Afghany dan Abduh melalui majalah ini menyebar ke seluruh
dunia dan memberikan ruh yang cukup kuat terhadap kebangkitan umat Islam.
Sehingga dalam waktu yang sangat singkat, kaum imperialis merasa khawatir atas
gerakan ini, akhirnya pemerintah Inggris melarang majalah tersebut masuk ke
wilayah Mesir dan India.
Akhir tahun 1884, setelah majalah tersebut terbit pada edisi ke-18, pemerintah
Perancis melarang diterbitkannya kembali majalah 'Urwatul Wutsqa. Kemudian
Abduh diperbolehkan kembali ke Mesir dan al Afghany melanjutkan
pengembaraannya ke Eropa.
Setelah kembali ke Mesir, Abduh kembali diberi jabatan penting oleh
pemerintah Mesir. Ia juga membuat beberapa perbaikan di Universitas al Azhar.
Puncaknya, pada tanggal 3 Juni 1899, Abduh mendapatkan kepercayaan dari
pemerintah Mesir untuk menduduki jabatan sebagai Mufti Mesir. Kesempatan ini
dimanfaatkan Abduh untuk kembali berjuang meniupkan ruh perubahan dan
kebangkitan kepada umat Islam.
Islam adalah agama yang terdiri dari beberapa aspek yang saling berhubungan,
satu dengan yang lainnya. Yaitu Aqidah (Teologi), Syariah (Hukum Islam), dan
Akhlak (tasawuf) bahkan untuk bertatanegara sekalipun hal ini kita kenal dengan
Shiyasah atrau politik. Namun dalam kesempatan ini, penulis memilih hanya
membahas beberapa manhaj pemikiran Muhammad Abduh secara singkat tentang ke
empat hal tersebutmudah-mudahan dapat menjadi suatu rujukan kita dalam
mengemukakan pendapat dan bertindak.
2. Bidang Aqidah
Sebagai seorang pemikir yang termasuk mengagungkan akal sebagai sumber
inspirasi kehidupan, pemikiran Abduh tidak bisa dipungkiri banyak dipengaruhi
pemikiran-pemikiran mu’tazilah. Hal ini terlihat dari buku-bukunya, di antaranya
Risâlah Tauhîd. Pemikiran Abduh mengenai qada dan qadar, sejalan dengan sikap dan
pandangan hidupnya yang dinamis. Di samping memandang qada dan qadar sebagai
salah satu bagian dari aqidah Islamiyah yang penting, ia juga menekankan pentingnya
pemahaman yang benar dalam masalah ini. Meskipun dia tidak menyebut soal qada
dan qadar sebagai salah satu pilar-pilar keimanan, tetapi dia memasukkan masalah ini
ke dalam aspek aqidah Islamiyah, bahkan cenderung sama dengan pendapat gurunya,
Jamaluddin al Afghany dalam masalah ini.
Menurutnya, bahwa keyakinan serta pemahaman yang benar tentang masalah
qada' dan qadar akan membawa kepada kejayaan umat Islam. Sebaliknya
pemahaman yang salah terhadap keduanya, akan menyebabkan mereka ke dalam
kehancuran. Seperti yang pernah terjadi dalam sejarah Islam.
Pemahaman Abduh tentang hal ini, mungkin disebabkan kondisi yang diamati
olehnya, baik dalam pengembaraannya ke negeri-negeri Barat, maupun kondisi Mesir
sendiri yang masih dalam jajahan Perancis. Dia melihat aqidah yang dianut umumnya
umat Islam ketika itu, yaitu paham qada' dan qadar yang telah berwujud fatalisme,
yang justru telah membuat mereka dalam keadaan statis. Konsekuensinya, umat
semakin mundur dan tidak ada kemauan untuk berbuat yang lebih baik.
Dalam bukunya,Risalah Tauhid, kita temukan bahwa qada' dan qadar dalam
pandangan dan pemikiran Abduh mempunyai pengertian yang berbeda dengan
muslimin pada umumnya. Qada' menurutnya berarti “terkaitnya Ilmu Tuhan dengan
sesuatu yang diketahui” (wuqûsysyai’ ‘alal-ilahi bi sysyai’). Sedangkan qadar adalah
"terjadinya sesuatu sesuai dengan ilmu Tuhan" (wuqû’ sysyai’ ‘alal Hasbililmi).
Dengan kata lain, segala sesuatu yang yang terjadi di alam ini hanya Tuhan
yang dapat mengetahui. Termasuk segala yang dipilih manusia sesuai kemauan dan
kebebasan yang diberikan Tuhan kepadanya. Hal ini berarti bahwa qada' dan qadar
tidak menunjukkan adanya paksaan kepada manusia untuk melakukan sesuatu
perbuatan. Tuhan hanya mengetahui segala yang dilakukan oleh manusia, bukan
berarti mengatur segala yang akan dialami manusia sejak di zaman azali.
Dari pendapat ini abduh mencoba memberikan pemahaman bahwa manusia bebas
menjatuhkan pilihannya. Serta apapun perbuatan yang dipilih dan dilakukannya,
Tuhan telah lebih mengetahuinya. Jadi, peran Tuhan dalam hal ini adalah mengetahui,
dan peran tersebut tidak menjadi penghalang bagi kebebasan manusia dalam memilih
perbuatan sesuai dengan kebebasan yang diberikan Tuhan.
Mempercayai qada' dan qadar, menurutnya adalah meyakini bahwa setiap
kejadian atau peristiwa dilatar belakangi oleh sebab (sebab-akibat). Rangkaian sebab-
sebab tersebut menciptakan suatu keteraturan. Sehingga kejadian atau peristiwa yang
telah berlalu dapat ditelusuri atau dipelajari. Sumber dari segala sebab tersebut,
menurut Abduh, adalah kebijaksanaan Allah, Dia menjadikan setiap peristiwa
menurut hukumnya sendiri yang merupakan komponen dari suatu kerangka atau
sistim yang tidak berubah-ubah. Itulah yang disebutnya dengan istilah sunnatullah
(hukum alam Tuhan), dan manusia harus tunduk kepada setiap sunnah yang
ditetapkan Tuhan. Maka, keyakinan yang kuat terhadap hukum alam bukanlah berarti
mengingkari adanya kekuasaan Tuhan, justru hal itu sejalan dengan keyakinan akan
kekuasaan-Nya yang telah menciptakan hukum alam tersebut.
Dengan demikian, nasib manusia akan sesuai dengan apa yang telah dipilihnya.
Pandangan Abduh yang demikian akan lebih jelas terlihat ketika dia membicarakan
masalah perbuatan manusia. Namun Abduh pun menyerukan, bahwa manusia tidak
mempunyai kebebasan tanpa batas atau kebebasan absolut. Abduh membatasi
kebebasan manusia dengan memberikan contoh yang tergambar dalam peristiwa-
peristiwa alamiah, seperti angin badai, kebakaran dan peristiwa-peristiwa lain yang
tak terduga.
Artinya, kebebasan manusia mempunyai batas-batasnya, di atas manusia masih
ada kekuasaan Tuhan. Kekuasaan Tuhan yang membatasi kemauan dan kebebasan
manusia itu terjadi melalui hukum ciptaan Tuhan. Tuhan menjadikan segala wujud di
alam ini di bawah hukum alam, dalam suatu sistim yang disebut ketetapan hukum
sebab akibat. Atas dasar itu, kiranya dapat dikatakan bahwa terjadinya peristiwa-
peristiwa yang mengakibatkan kerugian pada manusia sebenarnya disebabkan oleh
ketidakmampuan manusia itu sendiri dalam menguasai dan mengantisipasi hukum
alam yang berdasarkan hukum sebab akibat tersebut. Dengan kata lain, peristiwa
alam yang membawa kerugian bagi manusia disebabkan oleh manusia perilaku yang
pernah dilakukan manusia itu sendiri. Jadi, pada dasarnya hukum alamlah
sesungguhnya yang membatasi kemauan dan kebebasan manusia.
Dalam bidang politik, ia berpendapat bahwa terdapat hubungan yang erat antara
seseorang dengan tanah airnya. Oleh karena itu, seseorang harus mencintai dan
mempertahankan tanah airnya dengan alasan bahwa tanah air merupakan tempat
mencari penghidupan yang layak, memberikan makanan, perlindungan, dan tempat
tinggal. Demikian juga bahwa tanah air tempat memperoleh hak-hak dan kewajiban
yang merupakan dasar kehidupan politik yang akan menghubungkan seseorang untuk
bangga atau terhina karenanya.
Abduh pun menyuarakan bahwa prinsip demokrasi harus dilaksanakan secara
bersama-sama oleh rakyat dan pemerintah. Sejarah Islam telah membuktikan betapa
kuatnya demokrasi dipegang oleh kaum muslimin pada masa-masa kejayaan Islam.
Sebagai contoh dikemukakan masa Khalifah Umar bin Khattab. Menurut
pendapatnya, kalau prinsip demokrasi menjadi suatu kewajiban bagi rakyat dan
pemerintah maka kewajiban pemerintah terhadap rakyat ialah memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya untuk bekerja dengan cara yang benar agar dapat
mewujudkan kesejahteraan bagi dirinya dan masyarakat.
Dalam menyikapi Undang-Undang Negara, Muhamad Abduh berpendapat bahwa
tiap negara mempunyai Undang-undang yang sesuai dengan dasar-dasar kebudayaan
dan politik yang berlaku di tempat itu atas dasar perbedaan geografis. Perbedaan itu
juga disebabkan karena ada kebiasaan, akhlak dan kepercayaan yang dianut. Oleh
karena itu undang-undang yang sesuai dengan suatu bangsa di suatu Negara belum
tentu sesuai bagi bangsa yang lain. Maka dalam pembuatan undang-undang
diperlukan upaya untuk memperhatikan perbedaan-perbedaan di kalangan rakyat
baik strata kecerdasannya maupun keadaan sosialnya. Demikian juga perlu
memperhatikan adat-istiadatnya agar para pembuat undang-undang dapat
memperhatikan hubungan pekerjaan rakyatnya dengan batas-batas yang membawa
manfaat dan menghindari keburukan. Dengan batas-batas yang membawa manfaat
dan menghindari keburukan. dengan demikian bagi para penyusun undang-undang
tidak perlu meniru pembuatan undang-undang yangberlaku di Negara lain.
Mengenai bentuk undang-undang dan peraturan pada umumnya bagi suatu
bangsa, harus mencerminkan karakter rakyatnya sesuai dengan kebiasaan hidupnya.
Dalam arti kata lain, layaknya suatu peraturan yang bersifat horizontal maupun
vertikal tidak lepas dari karakter tersebut. Keadaan inilah yang harus diperhatikan
para pembuat undang-undang, maka hendaknya hal yang harus dilakukan sebelum
membuat suatu peraturan adalah usaha untuk membangun atau bahkan mengubah
karakter yang kokoh di masyarakat yang berkaitan dengan Undang-Undang. Dengan
demikian pendidikan mengenai undang-undang tersebutlah yang terlebih dahulu
digulirkan agar masyarakat sebagai objek undang-undang bisa mencapai tujuan.
Adapun fungsi dari undang-undang dikatakan Abduh, hanya untuk memelihara
keadaan yang sudah ada bukan untuk mengadakan suatu perubahan. Sedangkan
perubahan adat dan akhlak suatu umat dan pengarahan kepada suatu tujuan hanya
bisa dicapai dengan pendidikan bukan dengan undang-undang.
Abduh pun mencontohkan Undang-undang yang menentukan suatu hukuman atas
kejahatan atau pelanggaran tidak dapat mendidik umat untuk memperbaiki dirinya,
karena semua undang-undang di dunia dibuat untuk orang-orang yang menyeleweng
dan berbuat salah sedangkan undang-undang yang membawa perbaikan ialah
undang-undang pendidikan agama pada tiap umat.
Dengan ketiga hal tersebut yaitu tanah air, demokrasi dan pertalian undang-
undang dengan komponen tanah air seperti bahasa, agama, adat dan akhlak yang telah
membentuk kepribadian bangsa. Muhammad Abduh telah menawarkan suatu prinsip
bela Negara, yaitu seorang warga Negara tidak boleh mengorbankan tanah airnya,
bahasa, agama, akhlak dan tradisi bangsanya dalam keadaan seperti apapun. Seperti
dalam hal memegang prinsip demokrasi dalam suatu pemerintahan.
Dalam perjuangannya Muhammad Abduh bersama gurunya sangat istiqomah
dalam menggulirkan konsep Pan Islamisme (persatuan seluruh negeri muslim dalam
satu bendera), hal ini dilakukan sebagai tidak setujunya Abduh atas kekholifahan
Utsmany yang cenderung tiranik dan mengekor ke Barat melalui program Tanzimat
Sementara.
Muhamrnad Rasyid bin Al Ridha bin Syamsuddin bin Baha’uddin al-Qalmuni, al-
Husaini. Dari namananya jelas bahwa beliau merupakan salah satu keturunan Alul-
Bayt . Beliau dilahirkan pada tanggal 27-5-1282 H di sebuah desa bernama Qalmun,
di sebelah selatan kota Tharablas (Tripoli) atau Syam, ia mulai menuntut ilmu dengan
menghafal al-Qur’an, mempelajari khat dan ilmu berhitung.
“Dan derai air mata telah mendahuluiku akibat rasa takut terhadapMu
Beliau berhenti dan menolak untuk membacanya karena merasa air matanya
tidaklah berderai saat itu. Penolakannya ini semata karena merasa malu berdusta
kepada Allah sebab kenyataannya air matanya belum dan tidak berderai ketika
membaca bait itu. Setelah beliau menggali dan memperdalam ilmu dan ushuluddin,
sadarlah ia bahwa membaca wirid tersebut termasuk bid’ah. Karena itu, ia pun
meninggalkannya dan lebih memilih untuk membaca dan mempelajari al-Qur’an.
Beliau juga sempat belajar dengan gurunya yang lain, Abu al-Mahasin al-Qawiqji
hingga berhasil mendapatkan ijazah (semacam rekomendasi sah sebagai murid yang
berhak membaca buku gurunya-red) untuk kitab Dalal’il al-Khairat. Setelah
mempelajarinya, semakin nyata baginya bahwa kebanyakan isi buku tersebut
mengandung pendustaan terhadap Nabi Saw, maka beliaupun meninggalkannya. la
kemudian beranjak membaca dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang berisi shalawat
kepada Nabi Saw yang kualitasnya dapat dipertanggung jawabkan (valid). Bersama
Tarekat Naqsyabandiyyah. Mengenai hal ini, Syaikh Rasyid menyebutkan bahwa
yang membuatnya gandrung mempelajar tasawuf adalah pesona kitab Ihya Ulumud
ad-Diin karya Imam al-Ghazali.
“Wahai anakku, aku bukan orang yang tepat untuk mengabulkan permintaanmu itu.
Permadani ini telah dilipat dan para penganutnya telah berlalu”.
Syaikh Rasyid juga menyebutkan, ada temannya yang bernama Muhammad al-
Husaini berhasil menjadi seorang sufi terselubung dalam tarekat Naqsyabandiyyah.Ia
beranggapan dirinya telah mencapai tingkat mursyid sempurna. Oleh karena itu,
Rasyid mengikuti tarekat Naqsyabandiyyah ini melalui bimbingan Muhammad
Husaini, beliau akhirnya banyak menghabiskan usianya dalam tarekat ini. Mengenai
hal ini, beliau bertutur, ” Di sela-sela itu, aku melihat banyak sekali perkara-perkara
rohani yang terjadi di luar kebiasaan, dan banyak kejadian itu, aku berupaya
menafsirkannya namun sebagiannya tak berhasil aku ungkap, akan tetapi buah cita
rasa yang tidak lazim ini tidak sama sekali menunjukkan bahwa seluruh tata cara ini
tidak disyari’atkan sebagiannya bernuansa bid’ah atau dibolehkan, sepertinya aku
akan menelitinya kemudian.” Rasyid menyebut kegiatannya menjalani wirid harian
dalam tarekat Naqsyabandiyyah adalah dengan cara mengucapkan nama Al1ah di
dalam hati, tanpa ucapan lisan sebanyak 5000 kali seraya membelalakkan kedua
mata, menahan nafas sekuat daya dan mengikat hati dengan hati sang guru.
Di kemudian hari jelas baginya semua itu bid’ah, ia menyebutkan hal tersebut
dapat mencapai kesyirikan terselubung ketika seseorang mengikat hatinya dengan
hati sang guru. Sebab dalam tuntutan tauhid, seorang hamba di dalam setiap
ibadahnya harus menuju Allah semata, dengan lurus total dan tidak condong serta
berserah diri kepada-Nya dalam agama. Mengenai pengalamannya bersama aliran
tasawuf ini, Syaikh Rasyid kemudian menngungkap banyak hal, di antaranya, beliau
menyimpulkan, ” saya dulu berkeyakinan bahwa Thariqat (Tarekat/Jalan), Ma’rifah,
Penyucian jiwa dan mengetahui rahasia-rahasianya adalah dibolehkan secara syari’at,
tidak terlarang sama sekali dan dapat berguna seraya berharap mencapai ma’rifat
Allah, tanpa melakukannya tidak akan mencapai sasaran”.
Setelah banyak membaca dan mendapatkan ilmu dari bacaannya terhadap buku-
buku karya Syaikhul Islam, lbnu Taimiyyah dan muridnya, Ibn al-Qayyim, ditambah
buku karya Ibn Hajar az-Zawaajir An Iqtiraaf a1-Kabaa’ir, Rasyid terus menentang
tindakan para penyembah kuburan (Quburiyyun) dari kalangan aliran tasawuf dan
lainnya. la pun telah mengkaji secara seksama buku karangan al-Alusi, Jalaa’l al-
Ainain Fii Muhaakamati al-Ahmadiin.
Maka fanatisme madzhab yang biasanya terjadi di kalangan awam dapat dihindari
dan sikap taklid bisa diatasi. Akan tetapi, menurut Abduh, yang terjadi di masyarakat
adalah sebaliknya. Generasi sesudah mujtahid mengikuti hasil ijtihad yang mereka
dapatkan, bukan mengambil cara yang ditempuh oleh para imam. Akibatnya,
terjadinya perselisihan pendapat yang membawa perpecahan di kalangan muslimin
sendiri. Fanatisme madzhab pun mucul dan taklid tidak bisa dihindarkan.
Cita-cita yang ingin diwujudkan Rasyid Ridho saat itu, bukan saja membebaskan
bangsa Arab dari kolonialisme Eropa, lebih dari itu untuk kembali mewujudkan
keagungan peradaban Islam dengan menjadikan tatanan masyarakat Madinah di masa
Nabi Muhammad dan para khalifah yang empat pada abad pertama hijriah sebagai
model dan sumber otoritas.
Tapi dalam perkembangannya, tidak sedikit pun cita-cita itu terwujud. Padahal
dua pioner pemikir modern Islam, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho telah
membuka jalan bagi terjadinya Islamic Renaissance dengan mengupayakan
penyatuan modernitas Barat dengan tradisi Islam klasik pada fase kedua kebangkitan
Islam Arab yang terjadi antara tahun 1870 hingga 1900. Abduh dan Ridho saat itu
berupaya menafsirkan ulang Islam agar senantiasa sesuai dengan kehidupan modern.
Selanjutnya, era kolonial Eropa berakhir bersamaan dengan pecahnya Perang Dunia
Kedua. Pada saat yang bersamaan, kekuatan militer-ekonomi Uni Soviet dan Amerika
Serikat menggantikan kolonial Eropa. Proyek pemikiran Islamic Renaissance yang
telah digagas Abduh dan Ridho, juga diganti gerakan ‘ashabiyah nasionalisme Pan
Arab dengan gagasan pokoknya, semua negara Timur Tengah yang berbahasa Arab
adalah sebuah kesatuan politik, dan Islam Kafah yang diusung Ikhwanul Mislimin di
Mesir dengan gagasan, Islam menjadi satu-satunya dasar yang shahih dalam
pengaturan sosial dan politik. (Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab,
2004: xxii, alih bahasa). Jauh sebelumnya, Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab telah
memproklamerkan ideologi politik serupa di Saudi Arabia dengan Wahabismenya.
Peran dan kiprah Muhammad Abduh dalam mengangkat citra Islam dan kualitas
umatnya dari keterpurukan memang tak kecil. Dialah seorang mujaddid dan mujtahid
sekaligus, yang pada masanya, bukan saja mengalami tentangan internal maupun
eksternal. Berkat upayanya, meski belum begitu maksimal, modernisme
pemikirannya mulai kelihatan. Dalam pengamatan cendekiawan Muslim Dr
Nurcholish Madjid, 'modernisme' Abduh, antara lain, tercermin dalam sikapnya yang
apresiatif terhadap filsafat. Ia peroleh wawasan itu dari gurunya, Jamaluddin Al-
Afghani, seorang penganjur gigih Pan-Islamisme dan orator politik yang memukau.
IV. PENGARUH PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUH DAN RASYID
RIDHO DI INDONESIA
Dari pemikiran yang diusung oleh Muhammad Abduh telah berimplikasi positif
bagi tumbuhnya pembaharuan yang dipelopori oleh KH.M.Dahlan pendiri organisasi
Muhammadiyah pada tahun 1912 M.
”Hemat saya, pemerintah tidak perlu campur tangan. Biarkan saja demokrasi yang
sedang tumbuh ini menyajikan pasar bebas ide-ide keagamaan. Inilah tantangan
terberat dan terkini bagi NU dan Muhammadiyah untuk menanamkan kesadaran
kepada masyarakat muslim tentang pentingnya agama sebagai way of life, bukan
sebagai ideologi politik dalam kaitan hubungan Islam dan negara di Indonesia.”
Islam moderat sebagai modal kultural demokrasi kita butuhkan untuk membangun
kehidupan yang jauh lebih baik. Sejarah telah membuktikan bahwa Islam Indonesia
mengikuti hukum sejarah yang non-linear, mengalami kontinuitas, diskontinuitas dan
perubahan. Karena itu tidak seperti Islam di Timur Tengah, Islam di Indonesia
mampu merespon gerak sejarah secara terbuka dan adaptif, termasuk terhadap ide-ide
progesif dan demokrasi.
Islam Indonesia bukan saja telah mampu mendialogkan nilai-nilai progresif dan
demokratis di ruang publik, bahkan telah mampu mempraksiskannya. Kini, Islam
Indonesia tampil sebagai sebuah model masyarakat muslim demokratis atau muslim
demokrat bagi dunia Islam. Lebih dari itu, dengan karakternya demikian, Islam
Indonesia juga memiliki nilai tambah untuk menjembatani dan mendialogkan Barat
dan Islam.
V. KESIMPULAN
VI. REFERENSI
El Fadl, Khaled Abou, And God Knows The Solders, The Authoritative and The
Authoritarian in Islamic Discourses, (Maryland:University Press of America, rev.
ed.,1997:2).
Mallat, Chibli, The Renewall of Islamic Law, Muhammad Bager as-Sadr, Najaf and the
Shi’i International, (Cambridge: Cambridge University Press, 2003:4).
Hourani, Albert, alih bahasa, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, (Bandung: Penerbit
Mizan 2004: xxii).
Sukidi Mulyadi, artikel Defisit Demokrasi di Dunia Islam, dalam Islam Negara dan Civil
Society, Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 2005: 229).
Ahmad Sobandi. "Islam dan Tantangan Zaman". Bandung. Pustaka Hidayah, 1996.
Abdul Sani, Perkembangan Modern dalam Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998),
hal. 49.
ibid.
A. Hanafi, Op.Cit.
www.rakyatmerdeka.co.id