You are on page 1of 9

Kedudukan Surat Edaran Dirjen Dikti Dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara.

Oleh : S.Nur Hari Susanto A.Pengantar. Padepokan Perguruan Tinggi baik PTN maupun PTS se Indonesia belakangan ini terasa heboh, terkait dikeluarkannya Surat Edaran Dirjen Dikti (S.E No.2050/E/T/2011 tentang Kebijakan Unggah Karya Ilmiah dan Jurnal) yang berisi kewajiban bagi Dosen yang akan mengusulkan kenaikan pangkat/jabatan harus mempublikasikan karya ilimahnya ke jurnal (yang bisa diakses secara public melalui website internet). Demikian juga kepada para mahasiswa (S1, S2 dan S3), dalam surat edaran (S.E No. 152/E/T/2012 tentang Publikasi Karya Ilmiah), mahasiswa diwajibkan mengunggah (upload) karya ilmiahnya ke jurnal (S1 dan S2 jurnal nasional dan S3 jurnal internasional) sebagai pelengkap dalam kelulusannya. Kebijakan yang dikeluarkan sang Dirjen ini banyak dianggap sebagai Jurus Lo-Thian-Tung (Tongkat Pengacau Langit) yang dapat membuat sesak dada para dosen yang mau mengajukan kenaikan pangkat/jabatan (di UNDIP sendiri ada berkas kenaikan pangkat yang diajukan guru besar dikembalikan lantaran karya ilmiahnya tidak bisa diunggah lewat website/portal), maupun para mahasiswa yang hampir lulus. Menyikapi situasi seperti ini, kita sebagai insan yang hidupnya berada dalam padepokan pendidikan tinggi tidak perlu terburu-buru unjuk emosi, tetapi perlu dicerna terlebih dahulu dengan kepala dingin. Bisa jadi jurus yang dilakukan sang Dirjen itu bukan jurus Lo-Thian-Thung, tetapi jurus I-Jwe-Hoan-Hiat (Ganti Sumsum Tukar Darah). Artinya public boleh memantau dan mengganti sumsum, lalu tukar darah birokrasi bila birokrasi bertingkah.Tetapi kalau jurus ini yang dipakai, tentunya sang Dirjen harus bisa memperkirakan terlebih dahulu tentang jumlah jurnal yang ada di Indonesia dan bagaimana status akreditasinya. Sesungguhnya apakah yang dimaksud dengan SE (Surat Edaran bukan Surat Edan) ini dapat diketemukan pengertiannya dalam beberapa peraturan seperti : 1.Dalam buku Pedoman Umum Tata Naskah Dinas Edisi I, Januari 2004 dan Permen No. 22 Tahun 2008 yang diterbitkan oleh KeMenpan, Pengertian Surat Edaran adalah Naskah Dinas
1

yang memuat PEMBERITAHUAN TENTANG HAL TERTENTU YANG DIANGGAP PENTING DAN MENDESAK. 2. Permendagri No. 55 Tahun 2010 pada Pasal 1 butir 43 disebutkan :

Surat Edaran adalah naskah dinas yang berisi pemberitahuan, penjelasan dan/atau petunjuk cara melaksanakan hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak Mengingat isi Surat Edaran hanya berupa pemberitahun, maka dengan sendirinya materi muatannya tidak merupakan norma hukum sebagaimana norma dari suatu peraturan perundanganundangan. Oleh karena itu Surat Edaran tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menganulir peraturan Menteri, apalagi Perpres, PP, UU, tetapi semata-mata hanya untuk memperjelas makna dari peraturan yang ingin diberitahukan. Surat Edaran mempunyai derajat lebih tinggi dari surat biasa, karena surat edaran memuat petunjuk atau penjelasan tentang hal-hal yang harus dilakukan berdasarkan peraturan yang ada. Surat Edaran bersifat pemberitahuan, tidak ada sanksi hukum bagi yang tidak melaksanakan, karena S.E bukan norma hukum. Sekarang mari kita analisis bersama keabsahan terhadap keberadaan 2 bentuk Surat Edaran Dirjen Dikti di atas, terkait dengan kepentingan para dosen dan mahasiswa
B. S.E Dirjen Dikti No. 2050/E/T/2011 tentang Penggunggahan Karya Ilmiah Untuk

Kenaikan Pangkat/Jabatan Dosen. Surat Edaran Dirjen Dikti No. 2050/E/T/2011 tentang Penggunggahan Karya Ilmiah Untuk Kenaikan Pangkat adalah Surat pemberitahuan yang berisi penjelasan/petunjuk pelaksana Permendiknas No. 17 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat Di Lingkungan Perguruan Tinggi, adalah dalam posisi melaksanakan perintah dari UU dan Permendiknas di atas. Jadi yang berkekuatan hukum adalah Permendiknas No. 17 Tahun 2010 sebagai pelaksana UU No. 19 Tahun 2002, UU No. 20 Tahun 2003 dan UU No. 14 Tahun 2005, bukan S.E nya itu sendiri. Oleh karena itu S.E Dirjen Dikti tersebut halal (sah) untuk melaksanakan unggah karya ilmiah sebagai persyaratan kenaikan jabatan/pangkat. Pasal 7 Ayat (2) Permendiknas No.17 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat Di Lingkungan Perguruan Tinggi merumuskan :Pimpinan Perguruan
2

Tinggi wajib mengunggah secara elektronik semua karya ilmiah mahasiswa/ dosen/peneliti/tenaga kependidikan yang telah dilampiri pernyataan sebagaimana di maksud pada ayat (1) melalui portal Garuda (Garba Rujukan Digital) sebagai titik akses terhadap karya ilmiah mahasiswa/dosen/peneliti/tenaga kependidikan Indonesia, atau portal lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi. Pertanyaan : Apakah kalau karya ilmiah yang dimasukkan di Jurnal dan dapat diakses public, tetapi Jurnal tersebut bukan melalui portal Garuda karena Dirjen Dikti belum menetapkan Jurnal yang lain akan menjadikan karya ilmiah menjadi tidak diakui (tidak sah) ? Hal ini tentu menjadi tugas dan tanggungjawab bagi setiap pimpinan perguruan tinggi (PTN dan PTS) untuk memperjuangkan kepentingan para dosen-dosennya. Peraturan Mendiknas No.17 Tahun 2010 di atas sebenarnya merupakan pelaksanaan dari beberapa ketentuan yang diatur dalam beberapa undang-undang, seperti :
1. UU No.19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta :

Pasal 12 merumuskan sebagai berikut : (1). Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup: a. buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) , karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain; b. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu; c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; d. lagu atau musik dengan atau tanpa teks; e. drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim; f. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni, pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan; g. arsitektur; h. peta; i. seni batik; j. fotografi; k. sinematografi;
3

l. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalih wujudan. (2) Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf i dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli. (3) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk juga semua Ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan Perbanyakan hasil karya itu. 2. UU No.14 Tahun 2005 Tetang Guru dan Dosen : Pasal 60 merumuskan sebagai berikut : Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dosen berkewajiban: butir (c) : meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; butir (e) : menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik, serta nilai-nilai agama dan etika; Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar tertulis yang berkedudukan sebagai hukum dasar bagi setiap pembentukan Peraturan Perundangundangan yang ada di bawahnya. Hierarki peraturan perundang-undangan baru mulai dikenal sejak dibentuknya Undang-Undang No.1 Tahun 1950 yaitu Peraturan tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat dan ditetapkan pada tanggal 2 Februari 1950. Dalam Pasal 1 Undang-Undang No.1 tahun 1950 tersebut dirumuskan sebagai berikut: Pasal 1 :Jenis peraturan-peraturan Pemerintah Pusat ialah: a. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang b. Peraturan Pemerintah c. Peraturan Menteri
4

Selanjutnya hierarki peraturan perundang-undangan diatur dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/ 1966 sebagai berikut: 1) Undang Undang Dasar 1945 2) TAP MPR 3) Undang Undang/Perpu 4) Peraturan Pemerintah 5) Keputusan Presiden 6) Peraturan Pelaksana lainnya misalnya Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan lain lain. Selanjutnya tata urutan peraturan perundang-undangan diubah lagi dengan TAP MPR No.III/ MPR/2000 menjadi: 1) Undang Undang Dasar 1945 2) TAP MPR 3) Undang Undang 4) Perpu 5) Peraturan Pemerintah 6) Keputusan Presiden 7) Perda Kemudian diperbaharu lagi dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 7 menyebutkan: (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah.

(2) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. (3) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Terakhir UU No. 12 Tahun 2011 merupakan UU yang mengatur tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku saat ini. Pasal 7 : (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. (2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 8 : (1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten / Kota, Bupati / Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia, norma hukum mencakup: a. Norma tingkah laku yang terbagi menjadi 4: - Larangan - Perintah (harus atau wajib) - Ijin (dapat atau boleh melakukan sesuatu) - Pembebasan dari suatu perintah (pengecualian) b. Norma kewenangan yang terbagi menjadi 3: - Berwenang - Tidak Berwenang - Dapat tetapi tidak perlu dilakukan c. Norma penetapan yang terbagi menjadi 2: - Kapan mulai berlaku suatu peraturan perundang-undangan - Penentuan tempat kedudukan suatu lembaga dsb. Surat Edaran merupakan suatu peraturan kebijakan yang diterbitkan semata-mata berdasarkan kewenangan bebas (vrijebevoegheid) namun perlu memperhatikan beberapa faktor sebagai dasar pertimbangan penerbitannya, seperti : a. Hanya diterbitkan karena keadaan mendesak; b. Terdapat peraturan terkait yang tidak jelas yang butuh ditafsirkan; b. Substansi tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; c. Dapat dipertanggung jawabkan secara moril dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik. C. S.E No. 152/E/T/2012 tentang Publikasi Karya Ilmiah (Mahasiswa S1, S2, S3).

S.E Dirjen tentang Publikasi Karya Ilmiah (Mahasiswa S1, S2, S3). sebagai syarat kelulusan pada dasarnya tidak bisa dibawa ke wilayah hukum, sehingga tidak dilaksanakannya Surat Edaran oleh PTN dan PTS, lembaga PTN dan PTS tetap bisa meluluskan mahasiswa (bisa menerbitkan ijazah karena hal ini menjadi kewajiban dan tanggungjawabnya). Dasar kelulusan bagi mahasiswa adalah telah diselesaikannya kurikulum yang ditetapkan oleh masing-masing PTN dan PTS. Kewajiban publikasi sebagai persyaratan lulus sampai saat ini tidak pernah disebut dalam peraturan perundangan. Lain halnya dengan akreditasi, jelas ada disebut di UU Sisdiknas dan PP 19 Tahun 2005. Sebagai contoh, bagi Program Studi tidak bisa menerbitkan ijazah, bila sampai pertengahan tahun 2012 tidak terakreditasi. Walaupun Surat Edaran tidak berkekuatan hukum, tetapi sering secara tidak langsung dijadikan sarana untuk memberi sanksi ke dalam (penyalahgunaan wewenang ?), umpamanya PTN dan PTS yang tidak memiliki portal jurnal atau transkrip mahasiswa yang tidak mencantumkan publikasi, bisa melemahkan peringkat komponen lulusan dalam proses akreditasi, atau dijadikan sebagai alasan penolakan suatu produk Dikti dsb. Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) telah memutuskan sikap melalui sidang pleno, yang secara tegas menyatakan menolak kebijakan mempublikasi karya ilmiah mahasiswa di jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan. Akan tetapi, turut mendorong lulusan program pascasarjana dan doktor untuk menulis karya ilmiah dan itu pun tidak dilekatkan sebagai syarat kelulusan. Dalam surat edarannya, Ditjen Dikti menyatakan, kewajiban publikasi karya ilmiah itu berlaku bagi mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 yang lulus setelah Agustus 2012. Ada beberapa langkah yang sebenarnya bisa dilakukan Ditjen Dikti sebelum mengeluarkan kebijakan publikasi karya ilmiah ini di seluruh perguruan tinggi. Jika memungkinkan, penerapan kebijakan ini dimundurkan untuk mempersiapkan daya dukung,
salah satunya perangkat jurnal untuk mempublikasi karya tulis mahasiswa. Mungkin tidak termonitor dalam pelaksanaannya, namun

sewaktu ada sesuatu penawaran dari Dikti maka laporan publikasi mahasiswa bisa saja dijadikan sebagai persyaratan. Tidak ada dasar hukum apapun yang dilakukan Dirjen untuk menjatuhkan sanksi atau melarang PTN dan PTS untuk tidak meluluskan mahasiswanya bila tidak ada publikasi. Jika S.E ini dipaksakan dalam berlakunya, maka dapat tak terbantahkan kalau dari kalangan mahasiswa
8

akan muncul gelombang reaksi dengan menggunakan jurus Cui-Beng-Sai-Kong (Kakek Muka Singa Pengejar Arwah) yang jingkrak-jingkrak dan bangkit dari peristirahatannya (ketenangannya). Yang penting bagi lembaga PTN dan PTS adalah harus mampu mem-persiapkan fasilitas terlebih dahulu bagi mahasiswanya dengan menyediakan jurnal yang bisa diakses lewat portal, jika Dirjen Dikti tetap memaksakan jurus Bi-Ciong-Kun (Ilmu Silat Menyesatkan) nya itu. Sebab UU No.20 tahun 2003 Tentang Sisdiknas, dalam Pasal 25 Ayat (1) menegaskan :Perguruan tinggi menetapkan persyaratan kelulusan untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi. Dengan demikian yang memiliki kewenangan untuk menyatakan kelulusan adalah perguruan tinggi bukan Surat Edaran dan ini merupakan amanat undang-undang. D. Kesimpulan.
1. Surat Edaran Dirjen Dikti No. 2050/E/T/2011 tentang Penggunggahan Karya Ilmiah untuk

kenaikan pangkat bagi Dosen adalah surat yang bersifat pemberitahuan yang berisi penjelasan/petunjuk pelaksana dari Permendiknas No. 17 Tahun 2010 dalam posisi melaksanakan perintah dari UU dan PP di atas. Jadi yang berkekuatan hukum adalah Permendiknas No. 17 Tahun 2010 sebagai pelaksana UU No. 19 Tahun 2002, UU No. 20 Tahun 2003, UU No. 14 Tahun 2005. Dengan demikian keberadaannnya sah secara hukum.
2. Sementara Surat Edaran Dirjen Dikti No. 152/E/T/2012 yang berisi ketentuan publikasi

sebagai syarat lulus untuk program S1/S2/S3 sama sekali tak ada pijakan dasar hukumnya (peraturan perundang-undangan mana yang akan dijelaskannya : UU, Perpu, PP, Perpres, Permendikbud yang mana semuanya tidak ada yang mengatur). Dibawa ke ranah hukum, Surat Edaran tetap tidak bisa dijadikan peraturan, apalagi menjadikan publikasi ilmiah sebagai syarat kelulusan yang berlaku secara nasional, adalah masalah besar yang harus ada pijakan peraturan perundang-undangan nya terlebih dahulu. Semarang, Sabtu Legi jam 02.25 ***********************************************

You might also like