You are on page 1of 19

RESUME KASUS 1 : SEVERE SEPSIS DIFFUSE POST LE ec PERITONITIS

KONSEP PERITONITIS DEFINISI Peritonitis adalah peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi pada selaput rongga perut (peritoneum). Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam. Peritonitis adalah inflamasi peritoneum, lapisan membrane serosa rongga abdomen dan meliputi visera yang merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronik / kumpulan tanda dan gejala, diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans muscular dan tanda tanda umum inflamasi. ( Santosa, Budi. 2005) Peritonitis adalah peradangan peritoneum, suatu lapisan endotelial tipis yang kaya akan vaskularisasi dan aliran limpa. (Soeparman, dkk) Peritonitis adalah suatu peradangan dari peritoneum, pada membrane serosa, pada bagian rongga perut ( Andra) Peritonitis adalah peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi pada selaput rongga perut (peritoneum) lapisan membrane serosa rongga abdomen dan dinding perut bagian dalam. KLASIFIKASI Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Peritonitis bakterial primer Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen. Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli, Sreptococus atau Pneumococus. Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu: a) Spesifik: misalnya Tuberculosis b) Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis dan Tonsilitis. Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi. Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites. 2. Peritonitis bakterial akut sekunder (supurativa) Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakteri anaerob, khususnya spesies Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi. Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat suatu peritonitis. Kuman dapat berasal dari: 1. Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam cavum peritoneal. 2. Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang disebabkan oleh bahan kimia, perforasi usus sehingga feces keluar dari usus. 3. Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya appendisitis. 4. Peritonitis tersier Peritonitis tersier, misalnya: 1. Peritonitis yang disebabkan oleh jamur. 2. Peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan. Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii misalnya empedu, getah lambung, getah pankreas, dan urine. 3. Peritonitis Bentuk lain dari peritonitis: 1. Aseptik/steril peritonitis. 2. Granulomatous peritonitis. 3. Hiperlipidemik peritonitis. 4. Talkum peritonitis. ETIOLOGI Bila di tinjau dari penyebabnya, infeksi peritonitis terbagi atas penyebab primer (peritonitis spontan), sekunder (berkaitan dengan proses patologis pada organ viseral) atau penyebab tersier (infeksi rekuren atau persisten sesudah terapi awal yang adekuat). Secara umum, infeksi pada abdomen dikelompokkan menjadi peritonitis infektif (umum) dan abses abdomen. Infeksi peritonitis relative sulit ditegakkan dan tergantung dari penyakit yang mendasarinya. Penyebab utama peritonitis adalah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hati yang kronik. SBP terjadi bukan karena infeksi intrabdomen, namun biasanya terjadi pada pasien dengan asites akibat penyakit hati kronik. Akibat asites akan terjadi kontaminasi hingga ke rongga peritoneal sehingga terjadi translokasi bakter menuju dinding perut atau pembuluh limfe mensenterium, kadang kadang terjadi juga penyebaran hematogen bila telah terjadi bakterimia. Pathogen yang paling sering menyebabkan infeksi ialah bakteri gram negative (40%), escheria choli (7%), klebsiella pnemunae, sepsis psedomonas, proteus dan gram negatif lainnya (20%). Sementara gram positif, yakni streptococcus (3%), mikroorganisme anaerob (kurang dari 5%) dan infeksi campuran beberapa mikroorganisme (10%). Penyebab lain yang menyebabkan peritonitis sekunder ialah perforasi appendiksitis, perforasi ulkus peptikum dan duodenum, perforasi kolon akibat devertikulisis, volvusus atau kanker dan strangulasi colon asenden. Peritonitis sekunder yang paling sering terjadi disebabkan oleh perforasi atau nekrosis (infeksi transmural) organ organ dalam dengan inokulasi bakteri rongga peritoneal.

Adapun penyebab spesifik dari peritonitis adalah : 1. Penyebaran infeksi dari organ perut yang terinfeksi. Yang sering menyebabkan peritonitis adalah perforasi lambung, usus, kandung empedu atau usus buntu. Sebenarnya peritoneum sangat kebal terhadap infeksi. Jika pemaparan tidak berlangsung terus menerus, tidak akan terjadi peritonitis, dan peritoneum cenderung mengalami penyembuhan bila diobati. 2. Penyakit radang panggul pada wanita yang masih aktif melakukan kegiatan seksual 3. Infeksi dari rahim dan saluran telur, yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis kuman (termasuk yang menyebabkan gonore dan infeksi chlamidia) 4. Kelainan hati atau gagal jantung, dimana cairan bisa berkumpul di perut (asites) dan mengalami infeksi 5. Peritonitis dapat terjadi setelah suatu pembedahan. Cedera pada kandung empedu, ureter, kandung kemih atau usus selama pembedahan dapat memindahkan bakteri ke dalam perut. Kebocoran juga dapat terjadi selama pembedahan untuk menyambungkan bagian usus. 6. Dialisa peritoneal (pengobatan gagal ginjal) sering mengakibatkan peritonitis. Penyebabnya biasanya adalah infeksi pada pipa saluran yang ditempatkan di dalam perut. 7. Iritasi tanpa infeksi. Misalnya peradangan pankreas (pankreatitis akut) atau bubuk bedak pada sarung tangan dokter bedah juga dapat menyebabkan peritonitis tanpa infeksi. Peritonitis tersier dapat terjadi karena infeksi peritoneal berulang setelah mendapatkan terapi SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, sering bukan berasal dari kelainan organ. Pasien dengan peritonitis tersier biasanya timbul abses atau flegmen, dengan atau tanpa fistula. Peritonitis tersier timbul lebih sering pada pasien dengan kondisi komorbid sebelumnya dan pasien dengan imunokompromis. Selain tiga bentuk diatas, terdapat pula bentuk peritonitis steril atau kimiawi. Peritonitis ini dapat terjadi karena iritasi bahanbahan kimia, misalnya cairan empedu, barium dan substansi kimia lain atau proses inflamasi transmural dari organ dalam (mis. Penyakit crohn) tanpa adanya inokulasi bakteri di rongga abdomen. Adapun etiologi dibagi menjadi : 1. Infeksi bakteri Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal Appendisitis yang meradang dan perforasi Tukak peptik (lambung / dudenum) Tukak thypoid Tukan disentri amuba / colitis Tukak pada tumor Salpingitis Divertikulitis Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus dan b hemolitik, stapilokokus aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah clostridium wechii. 2. Secara langsung dari luar. Operasi yang tidak steril Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida, terjadi peritonitisyang disertai pembentukan jaringan granulomatosa sebagai respon terhadap benda asing, disebut juga peritonitis granulomatosa serta merupakan peritonitis lokal. Trauma pada kecelakaan seperti rupturs limpa, ruptur hati Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis. Terbentuk pula peritonitis granulomatosa. 3. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang saluran pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis. Penyebab utama adalah streptokokus atau pnemokokus. MANIFESTASI KLINIS Gejala peritonitis tergantung pada jenis dan penyebaran infeksinya. Biasanya penderita muntah, demam tinggi dan merasakan nyeri tumpul di perutnya. Bisa terbentuk satu atau beberapa abses. Infeksi dapat meninggalkan jaringan parut dalam bentuk pita jaringan (perlengketan, adhesi) yang akhirnya bisa menyumbat usus. Bila peritonitis tidak diobati dengan seksama, komplikasi bisa berkembang dengan cepat. Gerakan peristaltik usus akan menghilang dan cairan tertahan di usus halus dan usus besar. Cairan juga akan merembes dari peredaran darah ke dalam rongga peritoneum. Terjadi dehidrasi berat dan darah kehilangan elektrolit. Selanjutnya bisa terjadi komplikasi utama, seperti kegagalan paru-paru, ginjal atau hati dan bekuan darah yang menyebar. Tanda-tanda peritonitis relatif sama dengan infeksi berat yaitu demam tinggi atau pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat tertentu sebagai sumber infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena mekanisme antisipasi penderita secara tidak sadar untuk menghindari palpasinya yang menyakinkan atau tegang karena iritasi peritoneum. Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada penderita dalam keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat, penggunaan steroid, pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan kesadaran (misalnya trauma cranial, ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan analgesic), penderita dengan paraplegia dan penderita geriatric. Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda tanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan defans muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara usus. Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok. Rangsangan ini menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran peritonium

dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya. Diagnosis peritonitis ditegakkan secara klinis dengan adanya nyeri abdomen (akut abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan tidak terlalu jelas lokasinya (peritoneum visceral) yang makin lama makin jelas lokasinya (peritoneum parietal). KOMPLIKASI 1. Ketidakseimbangan elektrolit 2. Dehidrasi 3. Asidosis metabolik 4. Alkalosis respiratonik 5. Syok septik 6. Obstruksi usus Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu: 1. Komplikasi dini. 1. Septikemia dan syok septic. 2. Syok hipovolemik. 3. Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan multisystem. 4. Abses residual intraperitoneal. 5. Portal Pyemia (misal abses hepar). 2. Komplikasi lanjut. 1. Adhesi. 2. Obstruksi intestinal rekuren. Komplikasi lainnya : a. Penumpukan cairan mengakibatkan penurunan tekanan vena sentral yang menyebabkan gangguan elektrolit bahkan hipovolemik, syok dan gagal ginjal. b. Abses peritoneal c. Cairan dapat mendorong diafragma sehingga menyebabkan kesulitan bernafas. d. Sepsis PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK 1. Tes laboratorium GDA : alkaliosis respiratori dan asidosis mungkin ada. SDP meningkat kadang kadang lebih besar dari 20.000 SDM mungkin meningkat, menunjukkan hemokonsentrasi. Hemoglobin dan hematokrit mungkin rendah bila terjadi kehilangan darah. 2. Protein / albumin serum : mungkin menurun karena penumpukkan cairan (di intra abdomen) 3. Amilase serum : biasanya meningkat 4. Elektrolit serum : hipokalemia mungkin ada 5. X ray a. Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral) didapatkan : Distensi usus dan ileum Usus halus dan usus besar dilatasi Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi. b. Foto dada : dapat menyatakan peninggian diafragma c. Parasentesis : contoh cairan peritoneal dapat mengandung darah, pus / eksudat, emilase, empedu dan kretinum. d. CT abdomen dapat menunjukkan pembentukan abses. 6. Pembedahan PENATALAKSANAAN/TERAPI/PENGOBATAN Penggantian cairan, koloid dan elektroli adalah focus utama. Analegesik diberikan untuk mengatasi nyeri antiemetik dapat diberikan sebagai terapi untuk mual dan muntah. Terapi oksigen dengan kanula nasal atau masker akan meningkatkan oksigenasi secara adekuat, tetapi kadang-kadang inkubasi jalan napas dan bantuk ventilasi diperlukan. Tetapi medikamentosa nonoperatif dengan terapi antibiotic, terapi hemodinamik untuk paru dan ginjal, terapi nutrisi dan metabolic dan terapi modulasi respon peradangan. Penatalaksanaan pasien trauma tembus dengan hemodinamik stabil di dada bagian bawah atau abdomen berbeda-beda namun semua ahli bedah sepakat pasien dengan tanda peritonitis atau hipovolemia harus menjalani explorasi bedah, tetapi hal ini tidak pasti bagi pasien tanpa-tanda-tanda sepsis dengan hemodinamik stabil. Semua luka tusuk di dada bawah dan abdomen harus dieksplorasi terlebih dahulu. Bila luka menembus peritoniummaka tindakan laparotomi diperlukan. Prolaps visera, tanda-tanda peritonitis, syok, hilangnya bising usus, terdaat darah dalam lambung, buli-buli dan rectum, adanya udara bebas intraperitoneal dan lavase peritoneal yang positif juga merupakan indikasi melakukan laparotomi. Bila tidak ada, pasien harus diobservasi selama 24-48 jam. Sedangkan pada pasien luka tembak dianjurkan agar dilakukan laparotomi. Keperawatan perioperatif merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan keragaman fungsi keperawatan yang berkaitan dengan pengalaman pembedahan pasien yang mencakup tiga fase yaitu : 1. Fase praoperatif dari peran keperawatan perioperatif dimulai ketika keputusan untuk intervensi bedah dibuat dan berakhir ketika pasien digiring kemeja operasi. Lingkup aktivitas keperawatan selama waktu tersebut dapat mencakup penetapan pengkajian dasar pasien ditatanan kliniik atau dirumah, menjalani wawancaran praoperatif dan menyiapkan pasien untuk anastesi

yang diberikan dan pembedahan. Bagaimanapun, aktivitas keperawatan mungkin dibatasi hingga melakukan pengkajian pasien praoperatif ditempat ruang operasi. 2. Fase intraoperatif dari keperawatan perioperatif dimulai dketika pasien masuk atau dipindah kebagian atau keruang pemulihan. Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan dapat meliputi: memasang infuse (IV), memberikan medikasi intravena, melakukan pemantauan fisiologis menyeluruh sepanjang prosedur pembedahan dan menjaga keselamatan pasien. Pada beberapa contoh, aktivitas keperawatan terbatas hanyapada menggemgam tangan pasien selama induksi anastesia umum, bertindak dalam peranannya sebagai perawat scub, atau membantu dalam mengatur posisi pasien diatas meja operasi dengan menggunakan prinsip-prinsip dasar kesejajaran tubuh. 3. Fase pascaoperatif dimulai dengan masuknya pasien keruang pemulihan dan berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan kliniik atau dirumah. Lingkup keperawatan mencakup rentang aktivitas yang luas selama periode ini. Pada fase pascaoperatif langsung, focus terhadap mengkaji efek dari agen anastesia dan memantau fungsi vital serta mencegah komplikasi. Aktivitas keperawatan kemudian berfokus pada penyembuhan pasien dan melakukan penyuluhan, perawatan tindak lanjut dan rujukan yang penting untuk penyembuhan yang berhasil dan rehabilitasi diikuti dengan pemulangan. Setiap fase ditelaah lebih detail lagi dalam unit ini. Kapan berkaitan dan memungkinkan, proses keperawatan pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi dan evaluasi diuraikan. Biasanya yang pertama dilakukan adalah pembedahan eksplorasi darurat, terutama bila terdapat apendisitis, ulkus peptikum yang mengalami perforasi atau divertikulitis. Pada peradangan pankreas (pankreatitis akut) atau penyakit radang panggul pada wanita, pembedahan darurat biasanya tidak dilakukan. Diberikan antibiotik yang tepat, bila perlu beberapa macam antibiotik diberikan bersamaan. antibiotik yang diberikan seperti Golongan sefalosporin : Cefotiam , Ceftriaxone , Ceftazidime , Cefotaxime , Cefepime Golongan aminoglikosida : Gentamicin ,Ampicillin , Tobramycin Golongan kuinolon : Norfloxacin , Ofloksacin , Levofloxacin , Ciprofloxacin Golongan beta laktam : Meropenem , imipenem Cairan dan elektrolit bisa diberikan melalui infus.

KONSEP SEPSIS DEFINISI Kata sepsis berasal dari istilah Yunani yaitu busuk atau "untuk membuat busuk". Sepsis yang didefinisikan sebagai sistemik respon host terhadap mikroorganisme dalam jaringan steril yang sebelumnya adalah suatu sindrom yang berhubungan dengan infeksi berat dan ditandai oleh disfungsi organ akhir dari situs utama infeksi. Tingkat keparahan dan kematian meningkat ketika ini Kondisi ini dipersulit oleh disfungsi organ yang telah ditetapkan (sepsis berat) dan kardiovaskular runtuh (septik syok). [Yoshida, M. "Infections in Patients with Hematological Diseases: Recent Advances in Serological Diagnosis and Empiric Therapy." International Journal of Hematology 66 (1997): 279-289]. Sepsis merupakan respons sistemik terhadap infeksi dimana pathogen atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivitas proses inflamasi. (infeksi dan inflamasi). Widodo D, Pohan HT (editor). Bunga rampai penyakit infeksi. Jakarta: 2004; h.54-88. Definisi untuk sepsis dan gagal organ serta petunjuk penggunaan terapi inovatif pada sepsis berdasarkan Bone et al. Systemic Inflammatory Respons Syndrome adalah pasien yang memiliki dua atau lebih kriteria sebagai berikut: Suhu >380C atau < 360C Denyut jantung >90 denyut/menit Respirasi >20/menit atau PaCO2 < 32 mmHg Hitung leukosit > 12.000/mm3 atau > 10 % sel imatur (band) Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui (ditentukan dengan biakan positip terhadap organisme dari tempat tersebut). Biakan darah tidak harus positip. Meskipun SIRS, sepsis dan syok septik biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri, tidak harus terdapat bakteriemia. Bakteriemia adalah keberadaan bakteri hidup dalam komponen cairan darah. Bakteriemia bersifat sepintas, seperti biasanya dijumpai setelah jejas pada permukaan mukosa, primer (tanpa fokus infeksi teridentifikasi) atau sering kali sekunder terhadap fokus infeksi intravaskuler atau ekstravaskuler. Sepsis berat adalah sepsis yang berkaitan dengan disfungsi organ, kelainan hipoperfusi atau hipotensi. Kelainan hipoperfusi meliputi (tetapi tidak terbatas) pada: Asidosis laktat Oliguria Atau perubahan akut pada status mental Berdasarkan pada konferensi internasional pada tahun 2001, terdapat tambahan terhadap kriteria sebelumnya. Dimana pada konferensi tahun 2001 menambahkan beberapa kriteria diagnostik baru untuk sepsis. Bagian yang terpenting adalah dengan memasukan petanda biomolekuler yaitu procalcitonin (PCT) dan C-reactive protein (CPR), sebagai langkah awal dalam diagnosa sepsis. Rekomendasi yang utama adalah implementasi dari suatu sistem tingkatan Predisposition, insult infection, response, and organ disfunction (PIRO) untuk menentukan pengobatan secara maksimum berdasarkan karakteristik pasien dengan stratifikasi gejala dan resiko yang individual.

P Predispotion I Infection R Response O Organ Disfunction

Genetic susceptibility Resistance to antimicrobials Coexisting, health complications

Pathogen, toxicity and immunity Location and comparmentalization

Increased blomarkers/blomediators Manifested physiologic symptoms

Number of falling organs

Optimum Induvidualized Treatment Gambar 1. Faktor predisposisi, infeksi, respon klinis, dan disfungsi organ pada sepsis (PIRO) (Dikutip dari levy MM, et all.1256) ETIOLOGI Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram (-) dengan prosentase 60 sampai 70 % kasus, yang menghasilkan berbagai produk dapat menstimulasi sel imun. Sel tersebut akan terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi. Produk yang berperan penting terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS). LPS atau endotoksin glikoprotein kompleks merupakan komponen utama membran terluar dari bakteri gram negatip. LPS merangsang peradangan jaringan, demam, dan syok pada penderita yang terinfeksi. Struktur lipid A dalam LPS bertanggung jawab terhadap reaksi dalam tubuh penderita. Staphlococci, Pneumococci, Streptococci dan bakteri gram positif lainnya jarang menyebabkan sepsis, dengan angka kejadian 20 sampai 40 % dari keseluruhan kasus. Seain itu jamur oportunistik, virus (Dengue dan Herpes) atau protozoa (Falciparum malariae) dilaporkan dapat menyebabkan sepsis, walaupun jarang. Peptidoglikan merupakan komponen dinding sel dari semua kuman, pemberian infuse substansi ini pada binatang akan memberikan gejala mirip pemberian endotoksik. Peptidoglikan diketahui dapat memberikan agregasi trombosit.Eksotoksik yang dihasilkan oleh berbagai macam kuman, misalnya -hemolisin (S. Aurens), E. Coli hemolisin (E. coli) dapat merusak integritas membrane sel imun secara langsung. Dari semua factor diatas, factor yang paling penting adalah LPS endotoksik gram negatip dan dinyatakan sebagai penyebab sepsis terbanyak. LPS dapat langsung mengaktifkan system imun seluler dan humoral, yang dapat menimbulkan perkembangan gejala septicemia. LPS sendiri tidak mempunyai sifat toksik, tetapi merangsang pengeluaran mediator inflamasi yang bertanggung jawab terhadap sepsis. Makrofag mengeluarkan polipeptida, yang disebut factor nekrosis tumor (Tumor nekrosis factor/TNF) dan interleukin 1 (IL-1), IL-6 dan IL-8 yang merupakan mediator kunci dan sering meningkat sangat tinggi pada penderita immunocompromise (IC) yang mengalami sepsis. Mayoritas dari kasus-kasus sepsis disebabkan oleh infeksi-infeksi bakteri, beberapa disebabkan oleh infeksi-infeksi jamur, dan sangat jarang disebabkan oleh penyebab-penyebab lain dari infeksi atau agen-agen yang mungkin menyebabkan SIRS. a) Semua infeksi pada neonatus dianggap oportunisitik dan setiap bakteri mampu menyebabkan sepsis. b) Streptococcus grup B merupakan penyebab umum sepsis diikuti dengan Echerichia coli, malaria, sifilis, dan toksoplasma. Streptococcus grup A, dan streptococcus viridans, patogen lainnya gonokokus, candida alibicans, virus herpes simpleks (tipe II) dan organisme listeria, rubella, sitomegalo, koksaki, hepatitis, influenza, parotitis. c) Penyakit infeksi yang diderita ibu selama kehamilan. d) Perawatan antenatal yang tidak memadai. e) Ibu menderita eklampsia, diabetes melitus. f) Pertolongan persalinan yang tidak higiene, partus lama, partus dengan tindakan. g) Kelahiran kurang bulan, BBLR, cacat bawaan. h) Adanya trauma lahir, asfiksia neonatus, tindakan invasid pada neonatus. Agen-agen infeksius, biasanya bakteri-bakteri, mulai menginfeksi hampir segala lokasi organ atau alat-alat yang ditanam (contohnya, kulit, paru, saluran pencernaan, tempat operasi, kateter intravena, dll.). Agen-agen yang menginfeksi atau racun-racun mereka (atau kedua-duanya) kemudian menyebar secara langsung atau tidak langsung kedalam aliran darah. Ini mengizinkan mereka untuk menyebar ke hampir segala sistim organ lain. Kriteria SIRS berakibat ketika tubuh mencoba untuk melawan kerusakan yang dilakukan oleh agen-agen yang dilahirkan darah ini. Penyebab-penyebab bakteri yang umum dari sepsis adalah gram-negative bacilli(contohnya, E. coli, P. aeruginosa, E. corrodens), S. aureus, jenis-jenisStreptococcus dan jenis-jenis Enterococcus; bagaimanapun, ada sejumlah besar jenis bakteri yang telah diketahui menyebabkan sepsis.

Jenis-jenis Candida adalah beberapa dari jamur yang paling sering menyebabkan sepsis. Pada umumnya, seseorang dengan sepsis dapat menular, sehingga tindakan-tindakan pencegahan seperti mencuci tangan, sarung-sarung tangan steril, masker-masker, dan penutup baju harus dipertimbangkan tergantung pada sumber infeksi pasien. KLASIFIKASI & STADIUM Pasien sepsis memiliki dua atau lebih kriteria yaitu a. Suhu (T) >38 atau <36 b. Denyut jantung (HR) >90 x/menit (tachycardia) c. Laju respirasi (RR) >20x/menit atau PaCO2 <32 mmHg d. Leukosit >12.000/mm3 atau >10% sel imatur/band Sepsis secara klinis dibagi berdasarkan beratnya kondisi, yaitu a. sepsis b. sepsis berat, infeksi dengan adanya bukti kegagalan organ akibat hipofungsi Kelainan hipoperfusi meliputi (tetapi tidak terbatas) pada: Asidosis laktat Oliguria Atau perubahan akut pada status mental c. syok sepsis, adalah sepsis berat dengan hipotensi yang persisten setelah siberikan resusitasi cairan dan menyebabkan hipoperfusi jaringan. pada kasus 10%-30% kasus syok septik didapatkan bakteremia kultur positif dengan mortalitas mencapai 40%-50% Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui (ditentukan dengan biakan positip terhadap organisme dari tempat tersebut). Biakan darah tidak harus positip. Meskipun SIRS, sepsis dan syok septik biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri, tidak harus terdapat bakteriemia. Konferensi tahun 2001 menambahkan beberapa kriteria diagnostik baru untuk sepsis. Bagian yang terpenting adalah dengan memasukan petanda biomolekuler yaitu procalcitonin (PCT) C-reactive protein (CPR) MANIFESTASI KLINIS Manifestasi klinik sepsis biasanya tidak spesifik, biasanya di dahului oleh tanda-tanda sepsis non spesifik, meliputi Demam, Menggigil, Gejala konstitutif seperti lelah, malaise gelisah dan kebingungan. Gejala tersebut tidak khusus untuk infeksi dan dapat dijumpai pada banyak macam kondisi inflamasi non-infeksius. Tempat infeksi yang paling sering: paru, fraktur digestifus, traktus urinarius, kulit, jaringan lunak dan saraf pusat. Sumber infeksi merupakan determinan penting untuk terjadinya berat dan tidaknya gejala-gejala sepsis. Gejala sepsis tersebut akan menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal organ utama, dan pasien dengan granulosiopenia. a. Tanda dan Gejala Umum - Hipertermia (jarang) atau hipothermia (umum) atau bahkan normal. - Aktivitas lemah atau tidak ada - Tampak sakit - Menyusun buruk/intoleransi pemberian susu. b. Sistem Pernafasan - Dispenu - Takipneu - Apneu - Tampak tarikan otot pernafasan - Merintik - Mengorok - Pernapasan cuping hidung - Sianosis c. Sistem Kardiovaskuler - Hipotensi - Kulit lembab dan dingin - Pucat - Takikardi - Bradikardi - Edema - Henti jantung d. Sistem Pencernaan - Distensi abdomen - Anoreksia - Muntah - Diare - Menyusu buruk - Peningkatan residu lambung setelah menyusu

- Darah samar pada feces - Hepatomegali e. Sistem Saraf Pusat - Refleks moro abnormal - Intabilitas - Kejang - Hiporefleksi - Fontanel anterior menonjol - Tremor - Koma - Pernafasan tidak teratur - High-pitched cry f. Hematologi - Ikterus - Petekie - Purpura - Prdarahan - Splenomegali - Pucat - Ekimosis KOMPLIKASI Sindrom Distress Pernapasan Dewasa (ARDS/Adult Respiratory Disease Syndrome) Koagualasi Intravascular Diseminata (KID) Gagal Ginjal Akut (ARF/Acute Renal Failure) Perdarahan Usus Gagal Hati Disfungsi System Saraf Pusat Gagal Jantung Kematian Insidensi komplikasi tersebut yang dilaporkan pada SIRS dan sepsis dalam penelitian berbeda adalah 19% untuk disfungsi CNS, 2-8% untuk ARDS, 12% untuk gagal hati, 9-23% untuk ARF, dan 8-18% untuk DIC. Pada syok septic, ARDS dijumpai pada sekitar 18%, DIC pada 38%, gagal ginjal 50%. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK 1. Pemeriksaan Fisis Perlu dilakukan pemeriksaan fisik yang menyeluruh. Pada semua pasien neutropenia dan pasien dengan dugaan infeksi pelvis dan genital. Pemeriksaan tersebut akan mengungkap abses rectal, perirektal, dan/atau perineal, penyakit dan/atau abses inflamasi pelvis, prostatitis. 2. Pemeriksaan laboratorium a. Uji laboratorium meliputi Complete Blood Count (CBC) dengan hitung diferensial, urinalisis, gambaran koagulasi, glukosa, urea darah, nitrogen, kreatinin, elektolit, uji fungsi hati, kadar asam laktat, gas darah arteri, elektrokardiogram, dan ronsen dada.biakan darah, sputum, urin, dan tempat lain yang terinfeksi harus dilakukan. b. Lakukan Gram stain ditempat yang biasanya steril (darah, CSF, cairan artikular, ruang pleura) dengan aspirasi. Minimal 2 set (ada yang menganggap 3) biakan darah harus diperoleh dalam periode 24 jam. Volume sampel sering terdapat kurang dari 1 bakterium/ml pada dewasa (1-5ml pada anak) dan inokulasikan dengan trypticase soy broyh dan thioglycolate soy broth. Waktu sampel untuk spike demam intermiten, bakterimia dominan 0,5 jam sebelum spike. Jika terapi antibiotic sudah dimulai, beberapa macam antibiotic dapat dideaktivasi di laboratorium klinis. Tergantung pada status klinis pasien dan risiko-risiko terkait, penelitian dapat juga menggunakan c. foto abdomen, d. CT Scanning, e. MRI, f. elektrokardiografi, g. dan/atau lumbar puncture. Temuan laboratorium lain : Sepsis Awal. Leukositosis dengan shift kiri, trombositopenia, hiperbilirubinemia, dan proteinuria. Dapat terjadi leucopenia. Neutrofil mengandung granulasi toksik, badan dohle, atau vakuola sitoplasma. Hiperventilasi menimbulkan alkalosis respirator. Hipoksemia dapat dikoreksi dengan oksigen. Penderita diabetes dapat mengalami hiperglikemia. Lipida serum meningkat. Trombositopenia memburuk disertai perpanjangan waktu thrombin, penurunan fibrinogen, dan keberadaan D-dimer yang menunjukkan DIC. Azotemia dan hiperbilirubinemia lebih dominan. Aminotransferase (enzim liver) meningkat. Bila otot pernapasan lelah, terjadi akumulasi laktat serum. Asidosis metabolic (peningkatan gap anion) terjadi setelah alkalosis respirator Hipoksemia tidak dapat menimbulkan ketoasidosis yang memperburuk hipotensi. Mortalitas meningkat sejalan dengan peningkatan jumlan gejala SIRS dan berat proses penyakit.

Data Laboratorium Uji laboratorium meliputi Complete Blood Count (CBC) dengan hitung diferensial, urinalisis, gambaran koagulasi, glukosa, urea darah, nitrogen, kreatinin, elektolit, uji fungsi hati, kadar asam laktat, gas darah arteri, elektrokardiogram, dan ronsen dada.biakan darah, sputum, urin, dan tempat lain yang terinfeksi harus dilakukan. Lakukan Gram stain ditempat yang biasanya steril (darah, CSF, cairan artikular, ruang pleura) dengan aspirasi. Minimal 2 set (ada yang menganggap 3) biakan darah harus diperoleh dalam periode 24 jam. Volume sampel sering terdapat kurang dari 1 bakterium/ml pada dewasa (1-5ml pada anak) dan inokulasikan dengan trypticase soy broyh dan thioglycolate soy broth. Waktu sampel untuk spike demam intermiten, bakterimia dominan 0,5 jam sebelum spike. Jika terapi antibiotic sudah dimulai, beberapa macam antibiotic dapat dideaktivasi di laboratorium klinis. Tergantung pada status klinis pasien dan risiko-risiko terkait, penelitian dapat juga menggunakan foto abdomen, CT Scanning, MRI, elektrokardiografi, dan/atau lumbar puncture. Temuan laboratorium lain : Sepsis Awal. Leukositosis dengan shift kiri, trombositopenia, hiperbilirubinemia, dan proteinuria. Dapat terjadi leucopenia. Neutrofil mengandung granulasi toksik, badan dohle, atau vakuola sitoplasma. Hiperventilasi menimbulkan alkalosis respirator. Hipoksemia dapat dikoreksi dengan oksigen. Penderita diabetes dapat mengalami hiperglikemia. Lipida serum meningkat. Selanjutnya. Trombositopenia memburuk disertai perpanjangan waktu thrombin, penurunan fibrinogen, dan keberadaan D-dimer yang menunjukkan DIC. Azotemia dan hiperbilirubinemia lebih dominan. Aminotransferase (enzim liver) meningkat. Bila otot pernapasan lelah, terjadi akumulasi laktat serum. Asidosis metabolic (peningkatan gap anion) terjadi setelah alkalosis respirator. Hipoksemia tidak dapat menimbulkan ketoasidosis yang memperburuk hipotensi. Mortalitas meningkat sejalan dengan peningkatan jumlan gejala SIRS dan berat proses penyakit. TERAPI/PENGOBATAN Penatalaksanaan sepsis yang optimal mencakup eliminasi patogen penyebab infeksi, mengontrol sumber infeksi dengan tindakan drainase atau bedah bila diperlukan, terapi antimikroba yang sesuai, resusitasi bila terjadi kegagalan organ atau renjatan. Vasopresor dan inotropik, terapi suportif terhadap kegagalan organ, gangguan koagulasi dan terapi imunologi bila terjadi respons imun maladaptif host terhadap infeksi. 1. Resusitasi Mencakup tindakan a) airway (A), b) breathing (B), c) circulation (C) Dengan oksigenasi, terapi cairan (kristaloid dan/atau koloid), vasopresor/inotropik, dan transfusi bila diperlukan. Tujuan resusitasi pasien dengan sepsis berat atau yang mengalami hipoperfusi dalam 6 jam pertama adalah CVP 8-12 mmHg, MAP >65 mmHg, urine >0.5 ml/kg/jam dan saturasi oksigen >70%. Bila dalam 6 jam resusitasi, saturasi oksigen tidak mencapai 70% dengan resusitasi cairan dengan CVP 8-12 mmHg, maka dilakukan transfusi PRC untuk mencapai hematokrit >30% dan/atau pemberian dobutamin (sampai maksimal 20 g/kg/menit). 2. Eliminasi sumber infeksi Tujuan: menghilangkan patogen penyebab, oleh karena antibiotik pada umumnya tidak mencapai sumber infeksi seperti abses, viskus yang mengalami obstruksi dan implan prostesis yang terinfeksi. Tindakan ini dilakukan secepat mungkin mengikuti resusitasi yang adekuat. 3. Terapi antimikroba Merupakan modalitas yang sangat penting dalam pengobatan sepsis. Terapi antibiotik intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama sejak diketahui sepsis berat, setelah kultur diambil. Terapi inisial berupa satu atau lebih obat yang memiliki aktivitas melawan patogen bakteri atau jamur dan dapat penetrasi ke tempat yang diduga sumber sepsis. Oleh karena pada sepsis umumnya disebabkan oleh gram negatif, penggunaan antibiotik yang dapat mencegah pelepasan endotoksin seperti karbapenem memiliki keuntungan, terutama pada keadaan dimana terjadi proses inflamasi yang hebat akibat pelepasan endotoksin, misalnya pada sepsis berat dan gagal multi organ Pemberian antimikrobial dinilai kembali setelah 48-72 jam berdasarkan data mikrobiologi dan klinis. Sekali patogen penyebab teridentifikasi, tidak ada bukti bahwa terapi kombinasi lebih baik daripada monoterapi. 4. Terapi suportif a. Oksigenasi Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan penurunan kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik segera dilakukan. b. Terapi cairan Hipovolemia harus segera diatasi dengan cairan kristaloid (NaCl 0.9% atau ringer laktat) maupun koloid. 1,6 Pada keadaan albumin rendah (<2 g/dL) disertai tekanan hidrostatik melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan. Transfusi PRC diperlukan pada keadaan perdarahan aktif atau bila kadar Hb rendah pada kondisi tertentu, seperti pada iskemia miokard dan renjatan septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis masih kontroversi antara 8-10 g/dL. c. Vasopresor dan inotropik Sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan pemberian cairan adekuat, akan tetapi pasien masih hipotensi. Vasopresor diberikan mulai dosis rendah dan dinaikkan (titrasi) untuk mencapai MAP 60 mmHg atau tekanan darah sistolik 90mmHg. Dapat dipakai dopamin >8g/kg.menit,norepinefrin 0.031.5g/kg.menit, phenylepherine 0.5-8g/kg/menit atau epinefrin 0.1-0.5g/kg/menit. Inotropik dapat digunakan:

dobutamine 2-28 g/kg/menit, dopamine 3-8 g/kg/menit, epinefrin 0.1-0.5 g/kg/menit atau fosfodiesterase inhibitor (amrinone dan milrinone) d. Bikarbonat Secara empirik bikarbonat diberikan bila pH <7.2 atau serum bikarbonat <9 mEq/L dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan hemodinamik e. Disfungsi renal Akibat gangguan perfusi organ. Bila pasien hipovolemik/hipotensi, segera diperbaiki dengan pemberian cairan adekuat, vasopresor dan inotropik bila diperlukan. Dopamin dosis renal (1-3 g/kg/menit) seringkali diberikan untuk mengatasi gangguan fungsi ginjal pada sepsis, namun secara evidence based belum terbukti. Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan hemodialisis maupun hemofiltrasi kontinu. f. Nutrisi Pada metabolisme glukosa terjadi peningkatan produksi (glikolisis, glukoneogenesis), ambilan dan oksidasinya pada sel, peningkatan produksi dan penumpukan laktat dan kecenderungan hiperglikemia akibat resistensi insulin. Selain itu terjadi lipolisis, hipertrigliseridemia dan proses katabolisme protein. Pada sepsis, kecukupan nutrisi: kalori (asam amino), asam lemak, vitamin dan mineral perlu diberikan sedini mungkin. g. Kontrol gula darah Terdapat penelitian pada pasien ICU, menunjukkan terdapat penurunan mortalitas sebesar 10.6-20.2% pada kelompok pasien yang diberikan insulin untuk mencapai kadar gula darah antara 80-110 mg/dL dibandingkan pada kelompok dimana insulin baru diberikan bila kadar gula darah >115 mg/dL. Namun apakah pengontrolan gula darah tersebut dapat diaplikasikan dalam praktek ICU, masih perlu dievaluasi, karena ada risiko hipoglikemia. h. Gangguan koagulasi Proses inflamasi pada sepsis menyebabkan terjadinya gangguan koagulasi dan DIC (konsumsi faktor pembekuan dan pembentukan mikrotrombus di sirkulasi). Pada sepsis berat dan renjatan, terjadi penurunan aktivitas antikoagulan dan supresi proses fibrinolisis sehingga mikrotrombus menumpuk di sirkulasi mengakibatkan kegagalan organ. Terapi antikoagulan, berupa heparin, antitrombin dan substitusi faktor pembekuan bila diperlukan dapat diberikan, tetapi tidak terbukti menurunkan mortalitas. i. Kortikosteroid Hanya diberikan dengan indikasi insufisiensi adrenal. Hidrokortison dengan dosis 50 mg bolus IV 4x/hari selama 7 hari pada pasien dengan renjatan septik menunjukkan penurunan mortalitas dibandingkan kontrol. Keadaan tanpa syok, kortikosteroid sebaiknya tidak diberikan dalam terapi sepsis. 5. Modifikasi respons inflamasi Anti endotoksin (imunoglobulin poliklonal dan monoklonal, analog lipopolisakarida); antimediator spesifik (anti-TNF, antikoagulan-antitrombin, APC, TFPI; antagonis PAF; metabolit asam arakidonat (PGE1), antagonis bradikinin, antioksidan (Nasetilsistein, selenium), inhibitor sintesis NO (L-NMMA); imunostimulator (imunoglobulin, IFN-, G-CSF, imunonutrisi); nonspesifik (kortikosteroid, pentoksifilin, dan hemofiltrasi). Endogenous activated protein C memainkan peranan penting dalam sepsis: inflamasi, koagulasi dan fibrinolisis. Drotrecogin alfa (activated) adalah nama generik dari bentuk rekombinan dari human activated protein C yang diindikasikan untuk menurunkan mortalitas pada pasien dengan sepsis berat dengan risiko kematian yang tinggi. Penanganan Severe sepsis dan syok septik saat ini bertujuan untuk mangatasi infeksi, mencapai hemodinamik yang stabil, meningkatkan respon imunitas, dan memberikan support untuk organ dan metabolisme. Surviving Sepsis Campaign (SSC) adalah prakarsa global yang terdiri dari organisasi internasional dengan tujuan membuat pedoman yang terperinci berdasarkan evidencebased dan rekomendasi untuk penanganan Severe sepsis dan syok septik. Penanganan berdasarkan SSC: 1. Sepsis Resuscitation Bundle (initial 6 h) Resusitasi awal pasien sepsis harus dikerjakan dalam waktu 6 jam setelah pasien didiagnosis sepsis. Hal ini dapat dilakukan di ruang emergensi sebelum pasien masuk di ICU. IdenTIfi kasi awal dan resusitasi yang menyeluruh sangat mempengaruhi outcome. Dalam 6 jam pertama Golden hours merupakan kesempatan yang kritis pada pasien. Resusitasi segera diberikan bila terjadi hipotensi atau peningkatan serum laktat > 4mmol/l. Resusitasi awal tidak hanya stabilisasi hemodinamik tetapi juga mencakup pemberian antibiotik empirik dan mengendalikan penyebab infeksi. Resusitasi Hemodinamik Resusitasi awal dengan pemberian cairan yang agresif. Bila terapi cairan tidak dapat memperbaiki tekanan darah atau laktat tetap meningkat maka dapat diberikan vasopressor. Target terapi CVP 8-12mmHg, MAP 65mmHg, produksi urin 0,5 cc/kg/jam, oksigen saturasi vena kava superior 70% atau saturasi mixed vein 65% Terapi inotropik dan Pemberian PRC Jika saturasi vena sentral <70% pemberian infus cairan dan/atau pemberian PRC dapat dipertimbangkan. Hematokrit 30% diinginkan untuk menjamin oxygen delivery. Meningkatkan cardiac index dengan pemberian dobutamin sampai maksimum 20ug/kg/m. Terapi Antibiotik Antibiotik segera diberikan dalam jam pertama resusitasi awal. Pemberian antibiotik sebaiknya mencakup patogen yang cukup luas. Terdapat bukti Bahwa pemberian antibiotik yang adekuat dalam jam pertama resusitasi mempunyai korelasi dengan mortalitas. Identifikasi dan kontrol penyebab infeksi Diagnosis tempat penyebab infeksi yang tepat dan mengatasi penyebab infeksi dalam 6 jam pertama. Prosedur bedah dimaksudkan untuk drainase abses, debridemen jaringan nekrotik atau melepas alat yang potensial terjadi infeksi. 2. Sepsis Management Bundle (24 h bundle)

Steroid Steroid diberikan bila pemberian vasopressor tidak respon terhadap hemodinamik pada pasien syok septik. Hidrokortison intravena dosis rendah (<300mg/hari) dapat dipertimbangkan pada pasien syok septik dengan hipotensi yang tidak respon terhadap resusitasi cairan dan vasopressor. Ventilasi Mekanik Lung Proteti ve strategies untuk pasien dengan ALI/ARDS yang menggunakan ventilasi mekanik sudah diterima secara luas. Volume tidal rendah (6cc/kg) dan batas plateau pressure 30 cmH2O diinginkan pada pasien dengan ALI/ARDS. Pola pernapasan ini dapat meningkatkan PaCO2 atau hiperkapnia permisif. Pemberian PEEP secara titrasi dapat dicoba untuk mencapai sistem pernapasan yang optimal. Kontrol Gula Darah Beberapa penelitian menunjukkan penurunan angka kematian di ICU dengan menggunakan terapi insulin intensif. Peneliti menemukan target GD < 180mg/ dl menurunkan mortalitas daripada target antara 80- 108mg/dl. Banyaknya episode hipoglikemia ditemukan pada kontrol GD yang ketat. Rekomendasi SSC adalah mempertahankan gula darah < 150 mg/dl. Recombinant Human-Activated Protein C (rhAPC) Pemberian rhAPC tidak dianjurkan pada pasien dengan risiko kematian yang rendah atau pada anak-anak. SSC merekomendasikan pemberian rhAPC pada pasien dengan risiko kematian tinggi (APACHE II25 atau gagal organ multipel) Pemberian Produk darah Pemberian PRC dilakukan bila Hb turun dibawah 7.0 g/dl. Direkomendasikan target Hb antara 7-9 g/ dl pada pasien sepsis dewasa. Tidak menggunakan FFP untuk memperbaiki hasil laboratorium dengan masa pembekuan yang abnormal kecuali ditemukan adanya perdarahan atau direncanakan prosedur invasif. Pemberian trombosit dilakukan bila hitung trombosit < 5000/mm3 tanpa memperhatikan perdarahan. Tiga prioritas utama dalam terapi sepsis: 1. Stabilisasi Pasien Langsung Masalah mendesak yang dihadapi pasien dengan sepsis berat adalah pemulihan abnormalitas yang membahayakan jiwa (ABC: airway, breathing, circulation). Perubahan status mental atau penurunan tingkat kesadaran akibat sepsis memerlukan perlindungan langsung terhadap jalan napas klien. Intubasi diperlukan juga untuk memberikan kadar oksigen lebih tinggi. Ventilasi mekanis dapat membantu menurunkan konsumsi oksigen oleh otot pernapasan dan peningkatan ketersediaan oksigen untuk jaringan lain. Peredaran darah terancam, dan penurunan bermakna pada tekanan darah memerlukan terapi empirik gabungan yang agresif dengan cairan (ditambah kristaloid atau koloid) dan inotop/vasopresor (dopamine, dobutamin, fenilefrin, epinefrin, atau norefinefrin). Pada sepsis berat diperlukan pemantauan peredaran darah. CVP (central venous arteri) normal 10-15 cm dari NaCLl; PAW normal (wedge pressure artery paru) 14-18mmHg, pertahankan volume plasma yang adekuat dengan infuse cairan. Pasien dengan sepsis berat harus dimasukkan dalam ICU. Tanda vital pasien (tekanan darah, denyut jantung, laju napas, dan suhu badan) harus dipantau. Frekuensinya tergantung pada berat sepsis. Pertahankan curah jantung dan ventilasi yang memadai dengan obat. Pertimbangkankan dialysis untuk membantu fungsi ginjal. Pertahankan tekanan darah arteri pada pasien hipotensif dengan obat vasoaktif, missal, dopamin, dobutamin, atau norepinefrin. 2. Darah harus cepat dibersihkan dari mikroorganisme Agen antimicrobial tertentu dapat memperburuk keadaan pasien. Diyakini bahwa antimikrobial tertentu menyebabkan pelepasan lebih banyak LPS sehingga menimbulkan lebih banyak masalah bagi pasien. Antimicrobial yang tidak menyebabkan pasien memperburuk adalah: karbapenem, seftriakson, safepim, glikopeptida, aminoglikosida, dan quinolon. Perlu segera diberikan perawatan empiric dengan antimicrobial. Pemberian antimicrobial secara dini diketahui menurunkan perkembangan syok dan angka mortalitas. Setelah sampel didapatkan dari pasien, diperlukan regimen antimicrobial dengan spectrum aktivitas luas. Hal ini karena terapi antimicrobial hampir selalu diberikan sebelum organisme yang menyebabkan sepsis di identifikasi. Obat yang digunakan tergantung sumber sepsis adalah: Untuk pneumonia dapatan komunitas biasanya digunakan 2 regimen obat. Biasanya sefalosporin generasi ketiga (seftriakson) atau keempat (sefepin) diberikan dengan aminoglikosida (biasanya gentamisin). Pneumonia nosokomial: sefipin atau iminemsilastatin dan aminoglikosida Infeksi abdomen : iminepem-silastatin atau pipersilintazobaktam dan aminoglikosida. Infeksi abdomen nosokomial: imipenem-silastatin atau piperasilintazobaktam dan amfoterisin-B. Kulit/jaringan lunak: vankomisin dan imipenem-silastatin atau pipersilintazobaktam. Kulit/jaringan lunak nosokomial: vankomisin dan sefipim. Infeksi SPP: vankomisin dan sefalosporin generasi ketiga atau meropenem. Infeksi SSP nosokomial SSP: meropenem dan vankomisin. Obat berubah sejalan dengan waktu. Pilihan obat tersebut hanya untuk menunjukkan bahwa bahan antimicrobial yang berbeda dipilih tergantung pada penyebab sepsis. Regimen obat tunggal biasanya hanya diindikasikan bila organisme penyebab sepsis telah diidentifikasi dan uji sensitivitas antibiotic menunjukkan macam antimicrobial yang terhadapnya organisme memiliki sensitivitas.

3. Fokus Infeksi Awal Harus Diobati Hilangkan benda asing. Salurkan eksudat purulen, khususnya untuk infeksi anaerobic. Angkat organ yang tak terinfeksi, hilangkan atau potong jaringan yang ganggren. OBAT-OBATAN GAWAT DARURAT Epinephrin Indikasi : henti jantung (VF, VT tanpa nadi, asistole, PEA) , bradikardi, reaksi atau syok anfilaktik, hipotensi. Dosis 1 mg iv bolus dapat diulang setiap 35 menit, dapat diberikan intratrakeal atau transtrakeal dengan dosis 22,5 kali dosis intra vena. Untuk reaksi reaksi atau syok anafilaktik dengan dosis 0,3-0,5 mg sc dapat diulang setiap 15-20 menit. Untuk terapi bradikardi atau hipotensi dapat diberikan epinephrine perinfus dengan dosis 1mg (1 mg = 1 : 1000) dilarutka dalam 500 cc NaCl 0,9 %, dosis dewasa 1 g/mnt dititrasi sampai menimbulkan reaksi hemodinamik, dosis dapat mencapai 2-10 g/mnt Pemberian dimaksud untuk merangsang reseptor adrenergic dan meningkatkan aliran darah ke otak dan jantung Lidokain (lignocaine, xylocaine) Pemberian ini dimaksud untuk mengatasi gangguan irama antara lain VF, VT, Ventrikel Ekstra Sistol yang multipel, multifokal, konsekutif/salvo dan R on T Dosis 1 1,5 mg/kg BB bolus i.v dapat diulang dalam 3 5 menit sampai dosis total 3 mg/kg BB dalam 1 jam pertama kemudian dosis drip 2-4 mg/menit sampai 24 jam dapat diberikan intratrakeal atau transtrakeal dengan dosis 22,5 kali dosis intra vena Kontra indikasi : alergi, AV blok derajat 2 dan 3, sinus arrest dan irama idioventrikuler Sulfas Atropin Merupakan antikolinergik, bekerja menurunkan tonus vagal dan memperbaiki sistim konduksi AtrioVentrikuler Indikasi : asistole atau PEA lambat (kelas II B), bradikardi (kelas II A) selain AV blok derajat II tipe 2 atau derajat III (hati-hati pemberian atropine pada bradikardi dengan iskemi atau infark miokard), keracunan organopospat (atropinisasi) Kontra indikasi : bradikardi dengan irama EKG AV blok derajat II tipe 2 atau derajat III. Dosis 1 mg IV bolus dapat diulang dalam 3-5 menit sampai dosis total 0,03-0,04 mg/kg BB, untuk bradikardi 0,5 mg IV bolus setiap 3-5 menit maksimal 3 mg. dapat diberikan intratrakeal atau transtrakeal dengan dosis 22,5 kali dosis intra vena diencerkan menjadi 10 cc Dopamin Untuk merangsang efek alfa dan beta adrenergic agar kontraktilitas miokard, curah jantung (cardiac output) dan tekanan darah meningkat Dosis 2-10 g/kgBB/menit dalam drip infuse. Atau untuk memudahkan 2 ampul dopamine dimasukkan ke 500 cc D5% drip 30 tetes mikro/menit untuk orang dewasa Magnesium Sulfat Direkomendasikan untuk pengobatan Torsades de pointes pada ventrikel takikardi, keracunan digitalis.Bisa juga untuk mengatasi preeklamsia Dosis untuk Torsades de pointes 1-2 gr dilarutkan dengan dektrose 5% diberikan selama 5-60 menit. Drip 0,5-1 gr/jam iv selama 24 jam Morfin Sebagai analgetik kuat, dapat digunakan untuk edema paru setelah cardiac arrest. Dosis 2-5 mg dapat diulang 5 30 menit Kortikosteroid Digunakan untuk perbaikan paru yang disebabkan gangguan inhalasi dan untuk mengurangi edema cerebri Natrium bikarbonat Diberikan untuk dugaan hiperkalemia (kelas I), setelah sirkulasi spontan yang timbul pada henti jantung lama (kelas II B), asidosis metabolik karena hipoksia (kelas III) dan overdosis antidepresi trisiklik. Dosis 1 meq/kg BB bolus dapat diulang dosis setengahnya. Jangan diberikan rutin pada pasien henti jantung. Kalsium gluconat/Kalsium klorida Digunakan untuk perbaikan kontraksi otot jantung, stabilisasi membran sel otot jantung terhadap depolarisasi. Juga digunakan untuk mencegah transfusi masif atau efek transfusi akibat darah donor yang disimpan lama Diberikan secara pelahan-lahan IV selama 10-20 menit atau dengan menggunakan drip Dosis 4-8 mg/Kg BB untuk kalsium glukonat dan 2-4 mg/Kg BB untuk Kalsium klorida. Dalam tranfusi, setiap 4 kantong darah yang masuk diberikan 1 ampul Kalsium gluconat Furosemide Digunakan untuk mengurangi edema paru dan edema otak Efek samping yang dapat terjadi karena diuresis yang berlebih adalah hipotensi, dehidrasi dan hipokalemia Dosis 20 40 mg intra vena Diazepam Digunakan untuk mengatasi kejang-kejang, eklamsia, gaduh gelisah dan tetanus Efek samping dapat menyebabkan depresi pernafasan Dosis dewasa 1 amp (10 mg) intra vena dapat diulangi setiap 15 menit. Dosis pada anak-anak Epinephrin Dosis 0,01/Kg BB dapat diulang 3-5 menit dengan dosis 0,01 mg/KgBB iv (1:1000)

Atropin

Dosis 0,02 mg/KgBB iv (minimal 0,1 mg) dapat diulangi dengan dosis 2 kali maksimal 1mg Dosis 1 mg/KgBB iv Dosis 1 meq/KgBB iv Dosis 20-25 mg/KgBB iv pelan-pelan Dosis 60100 mg/KgBB iv pelan-pelan Dosis 0,3-0,5 mg/Kg BB iv bolus Dosis 0,5-1 mg/KgBB iv bolus

Lidokain Natrium Bikarbonat Kalsium Klorida Kalsium Glukonat Diazepam Furosemide AMINOVEL

AMINOVEL Infus AMINOVEL 600 adalah campuran asam amino tipe L yang seimbang dan dalam perbandingan yang optimal untuk keperluan sintesis protein. Sorbitol, vitamin dan elektrolit ditambahkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh. Infus AMINOVEL 600 adalah larutan steril yang dapat mensuplai 600 kalori per liter. Komposisi : Tiap 1000 ml AMINOVEL 600 mengandung : Amino acids (L form) : 50 g D-Sorbitol : 100 g Ascorbic acid : 400 mg Inositol : 500 mg Nicotinamide : 60 mg Pyridoxine HCl : 40 mg Riboflavin Sodium Phosphate : 2.5 mg Electrolytes Na+ : 35 mEq K+ : 25 mEq Mg++ : 5 mEq Acetate- : 35 mEq Malate- : 22 mEq Cl- : 38 mEq Indikasi : AMINOVEL 600 direkomendasikan sebagai nutrisi parenteral pada kondisi dibawah ini : 1. Sebagai nutrisi tambahan pada gangguan saluran cerna seperti short bowel syndrome, anoreksia dan kelainan saluran cerna yang berat 2. Puasa saluran cerna yang lama seperti pada fistulae enterokutan & kondisi yang mengenai saluran cerna. 3. Kebutuhan metabolik yang meningkat seperti pada luka bakar berat, trauma dan setelah pembedahan. 4. Pada keadaan kritis lainnya yang membutuhkan asupan nutrisi eksogen seperti pada tumor, infeksi berat, stres berat dan defisiensi protein. Dosis dan pemberian : Untuk kelainan internal atau defisiensi protein pra pembedahan : dosis dewasa yang lazim adalah 500 ml AMINOVEL 600 melalui drip intravena selama 4-6 jam (20-30 tetes/menit) secara bersamaan atau kemudian diikuti dengan pemberian dekstrosa 10% 500 ml selama 2 jam (60-80 tetes/menit). Pemberian larutan infus ini dapat diulangi setelah 12 jam selama 5 7 hari. Interval waktu pemberian dapat ditingkatkan menjadi 24 jam tergantung kondisi dan respon penderita. Untuk sintesis protein setelah pembedahan : dosis dewasa yang lazim adalah 500 ml AMINOVEL 600 melalui drip intravena selama 4-6 jam (20-30 tetes/menit) setelah pemberian infus larutan Darrow 1000 ml selama 4 jam (60-100 tetes/menit) dan diikuti oleh infus larutan dekstrosa 10% 500 ml selama 2 jam (60-100 tetes/menit). Larutan infus ini diberikan pada hari ke-3 pasca operasi, dan diulangi dalam 24 jam selama 5-7 hari) Mekanisme kerja & Karakteristik : Infus AMINOVEL 600 mensuplai unsur-unsur penting sebagai nutrisi parenteral : 1. Kedelapan asam amino esensial : Isoleusin, Leusin, Lisin, Metionin, Fenilalanin, Treonin, Triptopan dan Valin sangat dibutuhkan untuk sintesis protein. 2. Sorbitol sebagai sumber kalori untuk memenuhi kebutuhan energi metabolik.

3. 4.

Vitamin untuk mencegah defisiensi dan meningkatkan biosintesis protein. Mineral untuk memelihara keseimbangan elektrolit dan meningkatkan sintesis protein.

Penyimpanan : Simpan dibawah suhu 30oC, lindungi dari cahaya. Kemasan : 500 ml dalam Soft Bag. Reg. No. DKL 9218702749A1 KSR TABLET KOMPOSISI KCl. INDIKASI Pengobatan & pencegahan hipokalemia. KONTRA INDIKASI Gagal ginjal yang telah lanjut, hiperkalemia, penyakit Addison yang tidak diobati, dehidrasi akut, penyumbatan saluran pencernaan. PERHATIAN Kerusakan ginjal, gagal jantung kongestif. Interaksi obat : meningkatkan resiko hiperkalemia jika digunakan dengan ACE inhibitor, silosporin, diuretika hemat Kalium. EFEK SAMPING Mual, muntah, diare, nyeri perut. Jarang : ulserasi saluran pencernaan. KEMASAN Tablet salut film SR 600 mg x 100 biji. DOSIS 2-3 kali sehari 1-2 tablet . PENYAJIAN Dikonsumsi bersamaan dengan makanan

CALOS 500Mg Kandungan Ca Carbonate (setara dengan elemen Ca 500 mg). Indikasi Pencegahan dan terapi untuk gangguan metabolisme atau defisiensi Ca seperti rickets, osteomalasia, karena malabsorbsi, osteoporosis. Kontra Indikasi Hiperkalsimea berat dan hierkalsiurea. Insufisiensi ginjal berat. Efek Samping Perhatian Dosis 1-2 kapl/hr. Interaksi Mengurangi absorbsi enteral dari tetrasiklin dan preparat fluorida. Kemasan Kaplet 60 BISOLVON 60 ML Bromhexine HCI Komposisi : Tiap tablet mengandung Bromhexine HCI 5 ml eliksir mengandung Bromhexine HCI (mengandung etil alkohol 3,72% v/v) 5 ml sirup mengandung Bromhexine HCI Khasiat : BISOLVON bekerja dengan mengencerkan sekret pada saluran pernafasan dengan jalan menghilangkan serat-serat mukoprotein dan mukopolisakaridayangterdapat pada sputum/dahaksehingga lebih mudah dikeluarkan. Indikasi : Bekerja sebagai mukolitikuntukmeredakan batuk berdahak Efek Samping : Dapat terjadi efek samping sebagai berikut : mual, diare, gangguan pencemaan, perasaan penuh di perut, tetapi biasanya ringan.

Pernah dilaporkan efek samping: sakit kepala, vertigo, berkeringat banyakdan ruam kulit, juga dapat terjadi kenaikan transaminase. Kontraindikasi : Penderita yang hipersensitif terhadap Bromhexine HCI. PERHATIAN : Hindari penggunaan BISOLVON pada tiga bulan pertama kehamilan dan pada masa menyusui. Hati-hati penggunaan pada penderita tukak lambung. Aturan Pakai : Tablet Dewasa dan anak > 10 tahun Anak 5 - 10 tahun Anak 2 - 5 tahun Atau menurut petunjuk dokter. Eliksir Dewasa dan anak >10 tahun Anak 5- 10 tahun Anak 2 - 5 tahun Atau menurut petunjuk dokter. Sirup Dewasa dan anak >10 tahun: 3 x 10 ml per hari Anak 5- 10 tahun: 3 x 5 ml per hari Anak 2-5 tahun: 2 x 5 ml per hari Atau menurut petunjuk dokter. Interaksi : Pemberian bersamaan dengan antibiotika (amoksisilin, sefuroksim, doksisiklin) akan meningkatkan konsentrasi antibiotika pada jaringan paru. Kemasan : Tablet 8 mg Dus berisi 10 strip @ 10 tablet Dus berisi 10 catch cover @ 4 tablet Eliksir 4 mg/5 ml Botol 125 ml Botol 60 ml Sirup rasa strawberry 4 mg/5 ml Botol 125 ml Botol 50 ml dobutamin Mekanisme Kerja: Bekerja langsung pada betha reseptor menghasilkan efek inotropik (peningkatan kontraksi jantung). Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap Dobutamin Idiopathic subaortic stenosis Obstructive cardiomyopathy Efek Samping: Oleh karena efek samping sangat tergantung dari dosis, maka dapat dikontrol dengan penurunan kecepatan infuse. Dobutamin dieliminasi dalam 10 menit sehingga efek samping akan segera hilang bila kecepatan infuse diturunkan atau dihentikan. Efek samping yang biasa dilaporkan terjadi : mual, sakit kepala, palpitasi, dyspnoea dan nyeri jantung. ceftriaxone Ceftriaxone merupakan golongan sefalosporin yang mempunyai spektrum luas dengan waktu paruh eliminasi 8 jam. Efektif terhadap mikroorganisme gram positif dan gram negatif. Ceftriaxone sangat stabil terhadap enzim ?-laktamase. Komposisi: Tiap vial mengandung ceftriaxone sodium setara dengan ceftriaxone 1,0 g. Indikasi: Untuk infeksi-infeksi berat dan yang disebabkan oleh kuman-kuman gram positif maupun gram negatif yang resisten terhadap antibiotika lain : - Infeksi saluran pernafasan - Infeksi saluran kemih - Infeksi gonoreal - Septisemia bakteri - Infeksi tulang dan jaringan - Infeksi kulit Dosis: Dewasa dan anak-anak diatas 12 tahun : 1-2 g sekali sehari secara intravena Dosis lebih dari 4 g sehari harus diberikan dengan interval 12 jam. Bayi dan anak-anak di bawah 12 tahun : - Bayi 14 hari : 20 50 mg/kg berat badan sekali sehari

- Bayi 15 hari s/d 12 tahun : 20 80 mg/kg berat badan sekali sehari - Anak-anak dengan berat badan 50 kg atau lebih : dapat digunakan dosis dewasa melalui infus paling sedikit > 30 menit. Pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal, kliren creatinin tidak lebih dari 10 ml/menit, dosis tidak lebih dari 2 g sehari. Ketorolac .: Kemasan & No Reg :. Ketorolac 10 mg injeksi (1 box berisi 6 ampul @ 1 mL), No. Reg. : GKL0808514843A1 Ketorolac 30 mg injeksi (1 box berisi 6 ampul @ 1 mL), No. Reg. : GKL0808514843B1 .: Farmakologi :. Farmakodinamik Ketorolac tromethamine merupakan suatu analgesik non-narkotik. Obat ini merupakan obat anti-inflamasi nonsteroid yang menunjukkan aktivitas antipiretik yang lemah dan anti-inflamasi. Ketorolac tromethamine menghambat sintesis prostaglandin dan dapat dianggap sebagai analgesik yang bekerja perifer karena tidak mempunyai efek terhadap reseptor opiat. Uji Klinis Beberapa penelitian telah meneliti efektivitas analgesik Ketorolac tromethamine intramuskular pada dua model nyeri pasca bedah akut; bedah umum (ortopedik, ginekologik dan abdominal) dan bedah mulut (pencabutan M3 yang mengalami impaksi). Penelitian ini merupakan uji yang dirancang paralel, dosis tunggal primer, yang membandingkan Ketorolac tromethamine dengan Meperidine (Phetidine) atau Morfin yang diberikan secara intramuskular. Pada tiap model, pasien mengalami nyeri sedang hingga berat pada awal penelitian. Jika dibandingkan dengan Meperidine 50 dan 100 mg, atau Morfin 6 dan 12 mg pada pasien yang mengalami nyeri pasca bedah, Ketorolac tromethamine 10, 30 dan 90 mg menunjukkan pengurangan nyeri yang sama dengan Meperidine 100 mg dan Morfin 12 mg. Onset aksi analgesiknya sebanding dengan Morfin. Durasi analgesia Ketorolac tromethamine 30 mg dan 90 mg lebih lama daripada narkotik. Berdasarkan pertimbangan efektivitas dan keamanan setelah dosis berulang, dosis 30 mg menunjukkan indeks terapetik yang terbaik. Suatu penelitian multisenter, multi-dosis (20 dosis selama 5 hari), pasca bedah (bedah umum) membandingkan Ketorolac tromethamine 30 mg dengan Morfin 6 dan 12 mg dimana tiap obat hanya diberikan bila perlu. Efek analgesik keseluruhan dari Ketorolac tromethamine 30 mg berada di antara Morfin 6 mg dan 12 mg, walaupun perbedaan antara Ketorolac tromethamine 30 mg dan Morfin 12 mg tidak bermakna secara statistik. Tidak tampak adanya depresi napas setelah pemberian Ketorolac tromethamine pada uji klinis kontrol. Ketorolac tromethamine tidak menyebabkan konstriksi. Pada pasien pasca bedah, dibandingkan dengan plasebo : Ketorolac tromethamine tidak menyebabkan kantuk dan dibandingkan dengan Morfin, Ketorolac lebih sedikit menyebabkan kantuk. Farmakokinetik Ketorolac tromethamine diserap dengan cepat dan lengkap setelah pemberian intramuskular dengan konsentrasi puncak rata-rata dalam plasma sebesar 2,2 mcg/ml setelah 50 menit pemberian dosis tunggal 30 mg. Waktu paruh terminal plasma 5,3 jam pada dewasa muda dan 7 jam pada orang lanjut usia (usia rata-rata 72 tahun). Lebih dari 99% Ketorolac terikat pada konsentrasi yang beragam. Farmakokinetik Ketorolac pada manusia setelah pemberian secara intramuskular dosis tunggal atau multipel adalah linear. Kadar steady state plasma dicapai setelah diberikan dosis tiap 6 jam dalam sehari. Pada dosis jangka panjang tidak dijumpai perubahan bersihan. Setelah pemberian dosis tunggal intravena, volume distribusinya rata-rata 0,25 L/kg. Ketorolac dan metabolitnya (konjugat dan metabolit para-hidroksi) ditemukan dalam urin (rata-rata 91,4%) dan sisanya (rata-rata 6,1%) diekskresi dalam feses. Pemberian Ketorolac secara parenteral tidak mengubah hemodinamik pasien. .: Indikasi :. Ketorolac diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut sedang sampai berat setelah prosedur bedah. Durasi total Ketorolac tidak boleh lebih dari lima hari. Ketorolac secara parenteral dianjurkan diberikan segera setelah operasi. Harus diganti ke analgesik alternatif sesegera mungkin, asalkan terapi Ketorolac tidak melebihi 5 hari. Ketorolac tidak dianjurkan untuk digunakan sebagai obat prabedah obstetri atau untuk analgesia obstetri karena belum diadakan penelitian yang adekuat mengenai hal ini dan karena diketahui mempunyai efek menghambat biosintesis prostaglandin atau kontraksi rahim dan sirkulasi fetus. .: Kontra Indikasi :. Pasien yang sebelumnya pernah mengalami alergi dengan obat ini, karena ada kemungkinan sensitivitas silang. Pasien yang menunjukkan manifestasi alergi serius akibat pemberian Asetosal atau obat anti-inflamasi nonsteroid lain. Pasien yang menderita ulkus peptikum aktif. Penyakit serebrovaskular yang dicurigai maupun yang sudah pasti. Diatesis hemoragik termasuk gangguan koagulasi. Sindrom polip nasal lengkap atau parsial, angioedema atau bronkospasme. Terapi bersamaan dengan ASA dan NSAID lain. Hipovolemia akibat dehidrasi atau sebab lain. Gangguan ginjal derajat sedang sampai berat (kreatinin serum >160 mmol/L). Riwayat asma. Pasien pasca operasi dengan risiko tinggi terjadi perdarahan atau hemostasis inkomplit, pasien dengan antikoagulan termasuk Heparin dosis rendah (2.5005.000 unit setiap 12 jam). Terapi bersamaan dengan Ospentyfilline, Probenecid atau garam lithium. Selama kehamilan, persalinan, melahirkan atau laktasi. Anak < 16 tahun. Pasien yang mempunyai riwayat sindrom Steven-Johnson atau ruam vesikulobulosa. Pemberian neuraksial (epidural atau intratekal). Pemberian profilaksis sebelum bedah mayor atau intra-operatif jika hemostasis benar-benar dibutuhkan karena tingginya risiko perdarahan.

.: Dosis :. Ketorolac ampul ditujukan untuk pemberian injeksi intramuskular atau bolus intravena. Dosis untuk bolus intravena harus diberikan selama minimal 15 detik. Ketorolac ampul tidak boleh diberikan secara epidural atau spinal. Mulai timbulnya efek analgesia setelah pemberian IV maupun IM serupa, kira-kira 30 menit, dengan maksimum analgesia tercapai dalam 1 hingga 2 jam. Durasi median analgesia umumnya 4 sampai 6 jam. Dosis sebaiknya disesuaikan dengan keparahan nyeri dan respon pasien. Lamanya terapi : Pemberian dosis harian multipel yang terus-menerus secara intramuskular dan intravena tidak boleh lebih dari 2 hari karena efek samping dapat meningkat pada penggunaan jangka panjang. Dewasa Ampul : Dosis awal Ketorolac yang dianjurkan adalah 10 mg diikuti dengan 1030 mg tiap 4 sampai 6 jam bila diperlukan. Harus diberikan dosis efektif terendah. Dosis harian total tidak boleh lebih dari 90 mg untuk orang dewasa dan 60 mg untuk orang lanjut usia, pasien gangguan ginjal dan pasien yang berat badannya kurang dari 50 kg. Lamanya terapi tidak boleh lebih dari 2 hari. Pada seluruh populasi, gunakan dosis efektif terendah dan sesingkat mungkin. Untuk pasien yang diberi Ketorolac ampul, dosis harian total kombinasi tidak boleh lebih dari 90 mg (60 mg untuk pasien lanjut usia, gangguan ginjal dan pasien yang berat badannya kurang dari 50 kg). Instruksi dosis khusus Pasien lanjut usia Ampul : Untuk pasien yang usianya lebih dari 65 tahun, dianjurkan memakai kisaran dosis terendah: total dosis harian 60 mg tidak boleh dilampaui (lihat Perhatian). Anak-anak : Keamanan dan efektivitasnya pada anak-anak belum ditetapkan. Oleh karena itu, Ketorolac tidak boleh diberikan pada anak di bawah 16 tahun. Gangguan ginjal : Karena Ketorolac tromethamine dan metabolitnya terutama diekskresi di ginjal, Ketorolac dikontraindikasikan pada gangguan ginjal sedang sampai berat (kreatinin serum > 160 mmol/l); pasien dengan gangguan ginjal ringan dapat menerima dosis yang lebih rendah (tidak lebih dari 60 mg/hari IV atau IM), dan harus dipantau ketat. Analgesik opioid (mis. Morfin, Phetidine) dapat digunakan bersamaan, dan mungkin diperlukan untuk mendapatkan efek analgesik optimal pada periode pasca bedah awal bilamana nyeri bertambah berat. Ketorolac tromethamine tidak mengganggu ikatan opioid dan tidak mencetuskan depresi napas atau sedasi yang berkaitan dengan opioid. Jika digunakan bersama dengan Ketorolac ampul, dosis harian opioid biasanya kurang dari yang dibutuhkan secara normal. Namun efek samping opioid masih harus dipertimbangkan, terutama pada kasus bedah dalam sehari. .: Efek Samping :. Efek samping di bawah ini terjadi pada uji klinis dengan Ketorolac IM 20 dosis dalam 5 hari. Insiden antara 1 hingga 9% : Saluran cerna : diare, dispepsia, nyeri gastrointestinal, nausea. Susunan Saraf Pusat : sakit kepala, pusing, mengantuk, berkeringat. Ranitidin Deskripsi - Nama & Struktur Kimia Ranitidin : NN-Dimethyl-5-[2-(1-methylamino-2-nitrovinylamino)ethylthiomethyl]furfurylamine ; : Ranitidin hidroklorida. (C13H22N4O3S), C13H22N4O3S,HCl. (1) - Sifat Fisikokimia Ranitidin hidroklorida (USP 29) : serbuk kristalin berwarna putih sampai kuning pucat, praktis tidak : berbau. Sangat mudah larut dalam air, agak sukar larut dalam alkohol. Larutan 1% dalam air mempunyai pH 4,5-6,0. Penyimpanan (serbuk) : dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya - Keterangan :Golongan/Kelas Terapi Obat Untuk Saluran Cerna Indikasi 1. Terapi jangka pendek dan pemeliharaan untuk tukak lambung, tukak duodenum, tukak ringan aktif 2. Terapi jangka pendek dan pemeliharaan untuk refluks gastroesofagus dan esofagitis erosif. 3. Terapi jangka pendek dan pemeliharaan kondisi hipersekresi patologis. 4. Sebagai bagian regimen multiterapi eradikasi H. pylori untuk mengurangi risiko kekambuhan tukak. 5. Meringankan heartburn, acid indigestion, dan lambung asam. Dosis, Cara Pemberian dan Lama Pemberian (a)Tukak lambung dan duodenum:anak (1 bulan-16 tahun) oral:2-4 mg/kg/hari dibagi menjadi 2 kali sehari; dosis terapi maksimum:300 mg/hari. Dosis pemeliharaan:2-4 mg/kg sekali sehari; dosis pemeliharaan maksimum:150 mg/hari. IV:2-4 mg/kg/hari dibagi setiap 6-8 jam, maksimum 150 mg/hari. Tukak duodenum:dewasa:oral:150 mg 2 kali sehari atau 300 mg sekali sehari setelah makan malam atau sebelum tidur malam. Dosis pemeliharaan:150 mg sekali sehari sebelum tidur malam. Tukak lambung ringan:dewasa:oral:150 mg 2 kali sehari; dosis pemeliharaan 150 mg sekali sehari sebelum tidur malam (b) Refluks gastroesofagus dan esofagitis erosif:anak 1 bulan-16 tahun:oral:5-10 mg/kg/hari dibagi menjadi 2 kali sehari; dosis maksimum:refluks gastroesofagus:300 mg/hari, esofagitis erosif:600 mg/hari. IV:2-4 mg/kg/hari dibagi tiap 6-8 jam, maksimum:150 mg/hari atau sebagai suatu alternatif infus kontinu:dosis awal:1 mg/kg/dosis untuk satu dosis diikuti oleh infus 0,08-0,17 mg/kg /jam atau 2-4 mg/kg/hari. Esofagitis erosif:dewasa:oral:150 mg 4 kali/hari; dosis pemeliharaan 150 mg 2 kali sehari. (c) Dewasa:oral:150 mg 2 kali sehari, dosis atau frekuensi disesuaikan dengan petunjuk dokter; dapat digunakan dosis sampai dengan 6g/hari. (d) Eradikasi Helicobacter pilory:150 mg 2 kali sehari; membutuhkan terapi kombinasi. (e) Untuk mencegah heartburn:anak>=12 tahun dan dewasa:75 mg 30-60 menit sebelum mengkonsumsi makanan atau minuman yang dapat memicu heartburn; maksimum:150 mg/24 jam;jangan digunakan lebih dari 14 hari.

(f) Untuk pasien yang tidak dapat menggunakan obat secara oral:IM:50 mg tiap 6-8 jam;IV:intermittent bolus atau infus:50 mg tiap 6-8 jam; Infus IV kontinu:6,25 mg/jam. (g) Injeksi ranitidin dapat diberikan IM atau IV. Injeksi IM diberikan tanpa pengenceran. Injeksi IV harus diencerkan, dapat diberikan melalui IVP (intravenous pyelogram) atau IVPB (intravenous piggy back) atau infus IV kontinu. Untuk IVP:ranitidin(biasanya 50 mg)harus diencerkan sampai total 20 ml dengan normal saline atau larutan dekstrosa 5% dalam air dan diberikan selama minimal 5 menit. IVPB:diberikan selama 15-20 menit. Infus IV kontinu:diberikan dengan kecepatan 6,25 mg/jam dan titrasi dosis berdasarkan pH lambung selama 24 jam. Unlabeled/investigational use:tukak yang kambuh setelah operasi; perdarahan saluran cerna bagian atas; pencegahan penumonitis aspirasi asam selama pembedahan, dan pencegahan tukak yang disebabkan oleh stres

Asuhan Keperawatan Gawat Darurat sepsis 1. Cari tahu sumber infeksi utama. Dalam kasus ini yang menjadi penyebab utama infeksi adalah Infeksi intra abdomen (Laparatomi : Insisi dinding abdomen. Biasanya hanya dilakukan untuk operasi eksploratif.(kamus keperawatan, edisi 17). 2. Pada kasus ditemukan a. Perubahan sirkulasi b. Penurunan perfusi perifer c. Tachycardia d. Tachypnea e. Hypotensi (67/40 mmHg) Pengkajian primary survei Selalu menggunakan pendekatan ABCDE. Airway a. Yakinkan kepatenan jalan napas b. Berikan alat bantu napas jika perlu (guedel atau nasopharyngeal) c. Jika terjadi penurunan fungsi pernapasan segera kontak ahli anestesi apakah perlu dilakukan intubasi atau tidak. Breathing a. Kaji jumlah pernapasan lebih dari 24 kali per menit merupakan gejala yang signifikan b. Kaji saturasi oksigen c. pada kasus ini RR=43x/menit dan saturasi O2=88% intervensi yang dilakukan adalah pemberian 100% oksigen melalui non re-breath mask d. Periksa gas darah arteri untuk mengkaji status oksigenasi dan kemungkinan asidosis e. Auskulasi dada, untuk mengetahui adanya infeksi di dada Circulation a. Kaji denyut jantung, pada kasus ini terjadi ketidakstabilan nadi dari 100x/menit40x/menit b. Monitoring tekanan darah, tekanan darah pada kasus ini terjadi hipotensi 67/40 mmHg pada kasus ini terapi obat yang diberikan dobutamin. c. Periksa waktu pengisian kapiler d. Pasang infuse dengan menggunakan canul yang besar e. Berikan cairan koloid gelofusin atau haemaccel f. Pasang kateter g. Lakukan pemeriksaan darah lengkap h. Siapkan untuk pemeriksaan kultur i. Catat temperature, pada kasus ini suhunya 36.5 j. Berikan antibiotic spectrum luas dalam kasus ini diberikan ceftriaxon 1x2 gr. Disability Kaji tingkat kesadaran dengan menggunakan AVPU.pada kasus ini pasiennya koma. Exposure Jika sumber infeksi tidak diketahui, cari adanya cidera, luka dan tempat suntikan dan tempat sumber infeksi lainnya. Secondary survey 1.kaji TTV 2.pemeriksaan head to toe. Diagnosa Keperawatan: 1. Risiko tinggi terhadap infeksi [progresi dari sepsis ke syok septik, perkembangan infeksi oportunistik] b.d Prosedur invasif Kriteria Hasil: - Klien dapat menunjukan perkembangan penyembuhan, seiring perjalanan waktu, bebas dari sekresi, purulen, drainase atau eritema dan afebris Tujuan: - Infeksi teratasi - Homeostasis dapat dipertahankan - Komplikasi dicegah/diminimlkan INTERVENSI Mandiri 1. Berikan isolasi/pantau pengunjung sesuai indikasi Rasional: melindungi pasien imunosupresi, mengurangi risiko kemungkinan infeksi 2. Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas walaupun menggunakan sarung tangan steril Rasional: mengurangi kontaminasi silang 3. Dorong penggantian posisi sering Rasional: bersihan paru yang baik mencegah pneumonia 4. Batasi penggunaan alat/prosedur invasif jika memungkinkan Rasional: Mengurangi jumlah lokasi yang dapat menjadi tempat organisme 5. Gunakan teknik steril pada saat penggantian balutan dan perawatan kolostomi.

Rasional: Mencegah masuknya bakteri, mengurangi risiko infeksi nosokomial Gunakan sarung tangan pada waktu merawat stoma yang terbuka/antisipasi dari kontak langsung dengan sekresi atau pun eksresi Rasional: Mencegah penyebaran infeksi/kontaminasi silang 7. Buang balutan/bahan kotor dalam kantung ganda Rasional: mengurangi kontaminasi/area kotor, membatasi penyebaran organism melalui udara 8. Pantau kecenderungan suhu Rasional: Hipotermi (< 36o) tanda-tanda genting merefleksikan perkembangan status syok/penurunan perfusi 9. Pantau tanda-tanda penyimpangan kondisi/kegagalan untuk membaik selama masa terapi Rasional: dapat menunjukan ketidakpatenan/ketidakadekuatan terapi antibiotic atau pertumbuhan berlebihan dari organism resisten/oportunistik 10. Inspeksi rongga mulut terhadap plak putih (sariawan), selidiki laporan rasa gatal atau peradangan vagina/perineal Rasional: depresi system imun dan penggunaan dari antibiotic dapat meningkatkan risiko infeksi sekunder, terutama ragi Kolaborasi 11. Berikan obat anti infeksi sesuai petunjuk: antibiotic spectrum luas- sefalosparin generasi ketiga seperti sefotaksimseftazidim dan suatu amino glikosida seperti gentisin atau amikasin. 6. 2. Risti terhadap perubahan perfusi jaringan b.d Hipovolemia relative/aktual Kriteria Hasil: - Klien dapat menunjukan perfusi adekuat yang dibuktikan dengan TTV stabil, nadi perifer jelas, kulit hangat dan kering, tingkat kesadaran umum, haluaran urinarius individu yang sesuai dan bising usus aktif INTERVENSI Mandiri 1. Pertahankan tirah baring klien bantu dengan aktivitas perawatan Rasional : menurunkan beban kerja miokard dan konsumsi O 2, memaksimalkan efektifitas dari perfusi jaringan. 2. Pantau kecenderungan pada tekanan darah, mencatat perkembangan seperti hipotensi, dan perubahan pada tekanan denyut Rasional : hipotensi akan berkembang bersama dengan mikroorganisme menyerang aliran darah, menstimulasi pelepasan atau aktivitas dari substansi hormonal maupun kimiawi yang umumnya menghasilkan vasodilatasi perifer penurunan tahapan sistemik dan hipovolemi relative. 3. Pantau frekuensi dan irama jantung, perhatikan disritmia Rasional : bila terjadi takikardi, mengacu pada stimulasi sekunder system syaraf simpatis untuk menegakan respond dan untuk menggantikan kerusakan pada hipovolemia relative dan hipertensi. 3. Kaji frekuensi pernapasan, kedalaman dan kualitas. Perhatikan dispneu berat Rasional : peningkatan pernafasan terjadi sebagai respon tehadap efek-efek langsung dari endotoksin pada pusat pernafasan di dalam otak dan juga perkembangan hipoksia, stress dan demam. 4. Selidiki pada sensorium, misalnya kesuraman mental, agitasi, tidak dapat beristirahat, perubahan kepribadian, delirium, stupor, komapada kasus ini pasien koma. Rasional : perubahan menunjukan penyimpangan perfusi serebral, hipoksemia dan atau asidosis. 5. Kaji kulitn rerhadap perubaha warna, suhu, kelembaban Rasional : mekanisme kompensasi dari vasodilatasi mengakibatkan kulit hangat,merah muda, kering adalah karakteristik dari hiperfusi pada fase hiperdinamik dan syok. 6. Catat haluaran urin setiap jam Rasional : penurunan haluaran urin dengan peningkatan berat jenis akan mengindikasikan penurunan perfusi ginjal yang dihubungkan dengan perpindahan cairan dan vasokonstriksi selektif. 7. Auskultasi bising usus (pada kasus bising usus +) Rasional : Penurunan aliran darah pada mesenterium (vasokonstriksi splanknik) menurunkan peristaltic dan dapat menimbulkan ileus paralitik. 8. Evaluasi kaki dan tangan bagian bawah untuk pembengkakan jaringan local, eritema, tanda human positif Rasional : koagulopati / KID dapat terjadi, dihubungkan dengan akselerasi pembekuan pada mikrosirkulasi (aktifitas dari mediator kimiawi, inssufisiensi vascular dan destruksi sel) Kolaborasi 9. Berikan obat-obat sesuai petunjuk 10. Pantau pemeriksaan lab. 11. Berikan suplai O2 (pada kasus ini pasien terpasang ventilator. Rasional : memaksimalkan oksigen yang tersedia untuk masukan seluler

You might also like