You are on page 1of 12

Penataan Lokasi Tambang dan Pencegahan AAT

wan Makhwan HAMBALI

Dalam kegiatan penambangan secara umum dapat dirinci termasuk di dalamnya adalah, sistem dan metode penambangan, persiapan penambangan, jadwal penambangan, tingkat produksi dan umur tambang, penanganan tanah pucuk (zona pengakaran), batuan penutup, dan air asam tambang, serta upaya pengendalian erosi dan sedimentasi. Dalam kegiatan Evaluasi Air Asam Tambang pada Lahan Bekas Tambang Yang Ditinggalkan, pembahasan akan dibatasi hanya pada Sistem dan Metoda Penambangan, Penanganan Tanah Pucuk (Zona Pengakaran), Batuan Penutup, dan Air Asam Tambang yang dapat diamati langsung di lapangan selama kegiatan. Pada saat ini metode penambangan dan manajemen material galian menjadi perhatian besar karena berkaitan dengan isu AAT (Air Asam Tambang). Salah satu implementasi pengelolaan lingkungan hidup harus mencakup berbagai upaya yang dilaksanakan untuk meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif terhadap lingkungan hidup, baik secara fisik, kimia, biologi, dan sosial, ekonomi, budaya, serta terhadap kesehatan masyarakat. Isu AAT berkembang luas dan berkaitan dengan isu lingkungan hidup lainnya. AAT dianggap sebagai dampak kegiatan pertambangan yang paling sulit diprediksi. Kegiatan pertambangan membuka batuan yang berpotensi teroksidasi karena kontak dengan O2 udara bebas. Bahaya AAT bukan hanya pada keasaman tetapi lebih pada kelarutan logam berat yang masuk ke dalam jaringan dan menyebar melalui rantai makanan. Ekosistem Kalimantan yang rawan mudah rusak dan terbongkar oleh kegiatan baik alamiah maupun oleh manusia, sehingga pengupasan/ekspose batuan dasar mudah terjadi dan mempengaruhi ekosistem secara keseluruhan. Pembentukan AAT berjalan bersama dengan perubahan iklim dan terus menerus. Upaya pencegahan yang perlu dilakukan adalah mengelola batuan yang terbongkar, memisahkan batuan yang berpotensi teroksidasi dan menghasilkan asam, dan melindungi batuan yang berpotensi asam untuk tidak kontak secara langsung dengan udara dan air sehingga tidak terjadi oksidasi. Tugas paling berat adalah memonitor dan mengawasi bagaimana kegiatan pertambangan mengelola material batuan yang dibongkar. Kegiatan penyimpanan material dalam kegiatan usaha pertambangan tertuang dalam regulasi diatur melalui Keputusan Mentamben Nomor 1211 Tahun 1995 tentang pencegahan dan penanggulangan perusakan dan

pencemaran lingkungan pada kegiatan usaha pertambangan umum. Dalam keputusan itu selain mengatur tatacara kegiatan penambangan yang baik, dalam Pasal 15 menyatakan bahwa, dalam pelaksanaan penambangan, pembukaan lahan harus dilakukan sesuai dengan kebutuhan penambangan. Tanah pucuk (top soil) hasil pengupasan harus segera dimanfaatkan untuk keperluan revegetasi. Tanah penutup hasil pengupasan dan material buangan lainnya harus ditimbun dengan cara yang benar dan pada tempat yang aman. Timbunan tanah penutup dan material buangan lainnya harus dipantau secara berkala. Gangguan keseimbangan hidrologis harus seminimal mungkin. Kegiatan penambangan dan penimbunan bahan galian, limbah serta penampungan air limpasan harus dilakukan sedemikian rupa sehingga air tanah terhindar dari pencemaran. Hingga saat ini Keputusan Menteri Pertambangan No. 1211 Tahun 1995 ini masih menjadi acuan, meskipun tatacara pelaksanaannya belum memiliki acuan. Hingga saat ini, pelaksanaan manajemen material bahan galian atau overburden dan tanah pucuk secara sukarela (voluntary) diusahakan oleh kegiatan usaha pertambangan sepenuhnya sebagai inisiatif perusahaan untuk menerapkan kegiatan usaha pertambangan yang baik dan peduli terhadap lingkungan hidup. Industri pertambangan perlu menunjukkan bahwa polusi tidak akan terjadi. Meskipun dalam upaya ini, pembentukan AAT bisa terjadi secara umum di tambang permukaan atau open pit. Isu AAT menjadi berkembang besar umumnya karena masalah yang dihadapi oleh kegiatan usaha pertambangan kurang perhatian dalam memprediksi kualitas air pascatambang. Akibatnya, industri akan menghabiskan lebih banyak biaya membeli bahan kimia untuk mengobati air yang sudah terkontaminasi dan tidak bisa dihentikan. Di tambang permukaan dengan strata materi geokimia overburden didominasi oleh salah satu batuan piritik atau batuan berkapur yang bersifat sangat alkali, prediksi kualitas air pasca-tambang relatif mudah. Namun, di lokasi dengan dominasi formasi batuan yang sebaliknya (tidak), maka kemungkinan untuk memprediksi kualitas air pasca tambang dapat menjadi sangat kompleks. Prosedur analisis material batuan atau overburden umumnya digunakan untuk memprediksi kualitas air pasca tambang. Hingga saat ini diperkirakan hanya sedikit kegiatan pertambangan yang mampu mengantisipasi dan berhasil menghidari munculnya AAT. Namun, banyak orang bisa menilai bahwa dunia pertambangan saat ini sudah sangat jauh melangkah dan berusaha terutama dalam memprediksi dan mencegah munculnya AAT.

Pada umumnya metode penambangan di lahan pertambangan batubara dan mineral di lakukan dengan metode open pit, yaitu dengan cara terlebih dahulu mengupas tanah lapisan penutup atau overburden atau tanah pucuk, biasanya pada lapisan atas tanah penutup masih mengandung unsur hara sehingga perlu ditimbun dan diletakkan di tempat tersendiri yang kelak akan dipakai kembali pada waktu proses reklamasi. Setelah tanah penutup terkupas, baru kegiatan penambangan dilakukan untuk mengambil bahan tambang yang ditentukan. Dalam sistem operasi penambangan yaitu dengan membuat beberapa lokasi lahan operasi, dapat dilakukan 2 operasi penambangan sekaligus, yaitu dengan membuka batuan penutup dan mengambil batubaranya. Dalam kegiatan ini, batuan penutup dan tanah pucuk di letakkan di suatu tempat secara terpisah, dan jenis batuan juga dipisahkan berdasarkan kandungan PAF (Potencial Acid Formating) atau NAF (Non Potential Acid Formating) nya. Sedangkan air tambang yang muncul di dasar pit, di hisap oleh pompa air untuk dialirkan ke kolam penampungan untuk diolah agar kandungan asam nya menjadi netral kembali. Setelah operasi penambangan selesai keseluruhannya baru dilakukan reklamasi, yaitu dengan mengembalikan lapisan-lapisan tanah penutup ke tempat semula. Pengembalian tanah dan batuan, tentunya tidak bisa kembali seperti semula. Material balance dari yang dikupas dan yang diambil dengan yang dikembalikan akan tidak sama. Kondisi ini mengakibatkan ada bagian dari bekas lahan tambang akhirnya tetap terbuka dan menjadi kolam atau danau bekas tambang. Lahan lainnya yang dapat di reklamasi dan dapat dilakukan penghijauan, dengan menanam kembali tanaman yang cocok untuk kawasan tersebut. Memperkirakan potensi AAT Tatacara penambangan yang saat ini diterapkan pada kawasan pertambangan yang dikunjungi dalam kegiatan ini, bisa dilihat pada skema.

GAMBAR . SKEMA PREDIKSI PAF DAN NAF PADA OPERASI PENAMBANGAN Untuk memperkirakan potensi AAT di lokasi pertambangan saat ini umumnya sudah dilakukan dengan cara analisis karakteristik geokimia tanah dan batuan melalui uji yang dikenal dengan Uji STATIK dan uji KINETIK. UJI STATIK dilakukan dengan metode Acid Base Accounting (ABA), dikenal juga dengan metode perhitungan asam basa. Perhitungan ini didasarkan pada potensi pembentukan asam netto yang dinyatakan dalam NAPP (net acid producing potential). NAPP dinyatakan dalam satuan kg H2SO4/ton. NAPP juga merupakan neraca antara MPA (maximum potential acid atau potensi pembentukan asam maksimum) terhadap KPA (kapasitas penetralan asam atau ANC/Acid Neutralizing Capacity). MPA dihitung dari kandungan sulfur total, dengan asumsi bahwa semua sulfur dalam sampel terdapat sebagai pirit. Berdasarkan reaksi stokiometri, 1 ton batuan dengan kandungan pirit 1% akan menghasilkan 30,6 kg H2SO4/ton. Asam yang terbentuk sebagai akibat dari oksidasi mineral pirit di dalam batuan akan bereaksi dengan mineral-mineral lain dan hal ini dikuantifikasikan dalam parameter ANC. Mineral utama yang menetapkan kapasitas penetralan asam biasanya menggunakan mineral karbonat seperti kalsit dan dolomit. Penentuan ANC dilakukan dengan cara mereaksikan per-sampel batuan dengan HCL standar dan selanjutnya dititrasi dengan NaOh standar. Jumlah asam yg dikonsumsi selama pengujian menggambarkan kapasitas penetralan asam yg dinyatakan dalam kg H2SO4/ton. NAPP adalah neraca teoritis yg tidak

mempertimbangkan reaksi kinetika pembentukan asam, maka NAPP = MPA ANC. Jika NAPP positif, maka per-sampel batuan memiliki potensi sebagai pembentuk asam. Jika NAPP negatif, maka per-sampel batuan memiliki potensi penetral asam. Satu jenis pengujian yang dikembangkan di Australia adalah NAG (net acid generation) atau pembentukan asam bersih, yg dianggap dapat membantu memperkuat hasil NAPP sehingga kesimpulan tentang karakterisitik geokimia batuan dapat lebih akurat. Uji Kinetik adalah suatu uji pembentukan air asam tambang secara kinetik, yaitu merupakan pengujian untuk mendapatkan gambaran tentang laju reaksi pembentukan asam. Salah satu bentuk ujinya adalah column leaching test. Dalam uji ini sampel batuan dimasukan ke dalam suatu tabung/botol, kemudian dialiri dengan air atau melalui titrasi dengan laju tertentu. Air hasil pelindian kemudian diukur pH-nya, serta parameter lainnya spt Fe2+, SO42+, Fe3+, konduktivitas, dan logam larut lainnya. Predikisi untuk mengaktisipasi terjadinya AAT melibatkan pengukuran banyak variabel penting, membuat asumsi tertentu yang berkaitan dengan variabel kurang penting, mengekstrapolasi pengalaman-pengalaman yang diterpkan di tempat lain, dan kadang-kadang membuat simulasi laboratorium untuk mengevaluasi aspek kinetik. Umumnya satu usaha untuk memprediksi bagaimana suatu lokasi akan menghasilkan air asam atau alkali, meskipun suatu kawasan menghasilkan air alkali mungkin masih membutuhkan treatmen kimia atau penanganan khusus untuk menangani mengangkat kontaminasi logam yang ada. Saat ini lebih sering dilakukan, prediksi kualitas air setelah penambangan dengan melakukan analisa sampel OB atau material galian. Sampel bisa dianalisa menggunakan beberapa tes statik, semuanya melibatkan penentuan dan perbadingan sejumlah batuan yang memiliki potensi asam dan alkali. Beberapa perusahaan juga sudah melakukan uji kinetik, yang secara prinsip menggunakan metoda leaching pada batuan contoh yang diambil dari kawasan yang akan ditambang dan kemudian digambarkan secara simulasi dari keadaan di wilayah tersebut dan lechate kemudian dianalisa di laboratorium dengan menggunakan parameter untuk AAT.Tes kinetik bisa dilakukan di laboratorium maupun di lapangan, dan hasilnya dievaluasi secara sendiri-sendiri atau terintegrasi dengan statik tes pada sampel batuan yang sama. Sebagai pendekatan alternatif, predikisi kualitas air dari kualitas air yang berasal dari alam di sekitar kawasan atau dari kimia air pada kawasan tambang yang telah diolah menggunakan pertimbangan ilmiah dan pendapat umum. Jika sampel yang mewakili air permukaan dan air tanah diambil pada atau dekat kawasan, maka sampel itu diasumsikan akan

menunjukkan sesuatu hal yang berkaitan dengan geologi di kawasan tersebut dan menujukkan kualitas air tambang yang akan dihasilkan setelah kegiatan pertambangan berlangsung. Hampir di semua kegiatan pertambangan yang diamati dalam kegiatan ini, sekarang sudah melakukan uji pendugaan atau prediksi AAT. Jika manajemen pengelolaan tambang berjalan baik, hasil prediksi AAT akan digunakan menjadi data untuk perencanaan penambangan dan manajemen penyimpanan material galian. Manajemen penyimpanan material galian meliputi pemisahan material yang berpotensi asam atau PAF (Potensial Acid Formation) dan material yang tidak berpotensi asam atau NAF (Non Potensial Acid Formation) serta tatacara pengkapsulan material PAF agar tidak teroksidasi dengan udara bebas. Dari hasil pengukuran pH tanah dan batuan di sekitar lokasi penambangan menunjukkan bahwa kegiatan penambangan umumnya memang sudah melakukan pemisahan material galian menjadi material yang berpotensi PAF dan NAF. Di beberapa lokasi material PAF memiliki pH di bawah 4 dan umumnya di bawah 5. Material yang termasuk dalam kategori PAF jika tidak dilakukan pengkapsulan akan berpotensi menghasilkan AAT. Dari pengamatan lapangan menunjukkan bahwa kegiatan pengkapsulan seringkali mengalami kendala terutama jika jumlah material PAF ternyata lebih banyak dari material NAF. Pada umumnya material PAF jumlahnya jauh lebih besar dari material NAF. Secara material balance untuk pertambangan batubara, ketidakimbangan ini akan menghasilkan cekungan yang dalam atau jika terisi oleh air hujan menjadi danau tambang atau void. Pengukuran pH di lokasi sekitar tambang yang ditinggalkan dilakukan dengan pengukuran pada air dan tanah secara langsung di lapangan menggunakan indikator pH universal dan mengambil sampel yang kemudian dianalisis di laboratorium. Sampel diambil dari kolam dan saluran air, atau perairan yang ada di lokasi. Sampel air diambil menggunakan botol sampel 300 ml. Contoh tanah diambil dari material timbunan pada kedalaman sekitar >30cm diambil dengan menggunakan cangkul. Sampel tanah dimasukkan ke dalam kantong plastik 5 kg dan dibawa ke laboratorium untuk dianalisa. Hasil analisa kualitas tanah yang dilakukan oleh perusahaan memang menunjukkan bahwa pH tanah di lokasi pertambangan yang dikunjungi dari sejak awal ada pada kisaran 4-5. Angka tersebut menunjukkan bahwa kualitas tanah berdasarkan pH pada lokasi pengamatan umumnya adalah masam sampai sangat masam. Hasil analisa yang dilakukan dalam kegiatan ini dapat dilihat pada tabel.

Lokasi penimbunan PAF dan NAF pada saat kegiatan pertambangan yang masih aktif dan memiliki manajemen pemisahan PAF dan NAF yang baik akan membuat lokasi penimbunan PAF yang terpisah. Pemindahan dan penimbunan tanah penutup ini tetap memperhatikan kemiringan lereng dan sistem drainase untuk menjaga potensi longsor yang dapat terjadi selama kegiatan masih ada. Penentuan metode pemindahan tanah mekanis dari batuan penutup sangat dipengaruhi oleh kondisi material batuan itu sendiri. Lapisan batuan yang tergolong lunak dan tidak terlalu kompak atau lapuk, dapat digunakan metode penggalian secara langsung atau dengan digaruk terlebih dahulu menggunakan bulldozer yang dilengkapi pisau bajak (ripper blade). Penanganan Drainase Air limbah dan semua air yang mengalir yang berasal dari lokasi kegiatan sebelumnya ditampung lebih dahulu dialirkan ke dalam kolam (pond). Pengukuran baku mutu air limbah di lokasi tambang biasanya dilakukan di titik penaatan (point of compliance) untuk pemantauan yang sudah ditentukan sebelumnya. Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib mengelola air yang terkena dampak dari kegiatan penambangan melalui kolam pengendapan (settling pond/ sediment pond). Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan wajib melakukan kajian lokasi titik penaatan (point of compliance) air limbah yang berasal dari kegiatan pertambangan. Lokasi titik penaatan (point of compliance) ada pada saluran air limbah yang ke luar dari kolam pengendapan (pond) air limbah sebelum dibuang ke perairan umum dan tercampur dengan air permukaan dan tidak terkena pengaruh dari kegiatan lain dan atau sumber air lain selain dari kegiatan penambangan. Demikian juga air yang keluar dari unit pengelola air limbah dari proses kegiatan pengolahan/pencucian, sebelum air itu mengalir dibuang ke air permukaan dan tidak terkena pengaruh dari kegiatan lain dan atau sumber air lain selain dari kegiatan pengolahan tersebut. Berdasarkan hasil kajian penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan dapat mengajukan permohonan penetapan lokasi titik penaatan (point of compliance) kepada Bupati/Walikota. Bupati/Walikota menetapkan dan mencantumkan dalam izin pembuangan air limbah mengenai lokasi titik penaatan (point of compliance). Di sekitar lahan yang dibongkar dibuat saluran pintas (cut-off drains) untuk mengalihkan aliran air yang berasal dari sekeliling areal bekas tambang. Pada saluran air (lateral drainage) dibuat tanggul agar tidak menyebar liar. Seluruh air yang berasal dari kegiatan tambang dan mengandung sedimen

kemudian dialirkan ke dalam kolam pengendapan (settleng pond). Di dalam kolam pengendapan jika pH air ada di bawah ambang batas baku mutu maka dilakukan penambahan kapur di pintu masuk saluran kolam atau langsung pada kolam agar pH air yang akan mengalir ke perairan umum sudah memenuhi baku mutu yang ditentukan. Pada kolam pengendapan dilakukan pengapuran pada saat ada kegiatan saja atau pengapuran hanya dilakukan pada saat pH rendah. Pada lahan yang sudah berhasil dilakukan reklamasi dan material batuan pembentuk asam sudah tertutup tanah pucuk, biasanya pH air sudah terlihat naik. Kegiatan pengapuran akan terus dilanjutkan jika nilai pH masih di bawah standard baku mutu. Untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya air asam tambang, beberapa perusahaan dalam melakukan penimbunan tanah dan batuan penutup di waste dump/disposal area dilakukan pemadatan untuk mencegah terjadinya infiltrasi, serta dengan menerapkan metode dry covering dengan cara encapsulaption (pengkapsulan batuan) yaitu menimbun batuan yang berpotensi asam dengan batuan yang berpotensi menetralkan asam. Dalam beberapa hal karena kelemahan manajemen biasanya perlu dikontrol dengan ketat. Dalam pelaksanaannya di lapangan seringkali mengalami penyimpangan. Salah satu cara untuk mencegah terbentuknya AAT dengan cepat, perusahaan juga menerapkan kebijakan penambangan pada saat tidak hujan. Antisipasi dilakukan juga dengan melakukan kegiatan penambangan secara selektif, bertahap dan sesuai dengan arah kemajuan penambangan. Melakukan pengaturan kemiringan lereng dan dengan pembuatan teras (jenjang) untuk areal bukaan tambang. Membuat sumur (sump) pada lantai bukaan tambang untuk menampung air tirisan yang masuk di lokasi bukaan tambang, dan kemudian air tirisan dipompa ke kolam pengendapan (sediment pond/settling pond). Membuat parit/saluran di kiri dan kanan jenjang dan di sekeliling jenjang atau lereng diatas bukaan tambang untuk menyalurkan larian air permukaan dan kemudian disalurkan ke kolam pengendapan (sediment pond/settling pond). Penanganan Air Limbah Penanganan air limbah yang berasal dari lokasi penambangan dilakukan dengan cara pembuatan settling pond yang berfungsi untuk menetralkan air limbah dan mengendapkan logam berat (Fe, Mn dan Cd) dari kegiatan penambangan, sehingga air limbah yang dikeluarkan dapat memenuhi Baku Mutu Lingkungan yang ditetapkan. Untuk mengurangi terjadinya air asam tambang, dilakukan juga study dan pelaksanaan pengelolaan terhadap batuan yang berpotensi membentuk asam (PAF/Potentially Acid

Forming) yaitu dengan cara mengisolir area penimbunan batuan tersebut untuk mencegah terjadinya oksidasi oleh air dan udara sesuai dengan prosedur yang dimiliki perusahaan. Pengelolaan air limbah dari kegiatan penambangan diprioritaskan untuk menetralkan keasaman air (pH), mengurangi konsentrasi logam berat seperti Mangan (Mn), Besi (Fe), Cadmiun (Cd) dan pengelolaan terhadap padatan tersuspensi (TSS/Total Suspended Solids) sehingga ke lima parameter air limbah yang dialirkan ke lingkungan sudah sesuai dengan peraturan pemerintah. Kualitas air yang berada di pit pada umumnya bersifat asam karena kondisi batuan yang terdapat di tambang banyak mengandung unsur-unsur yang berpotensi membentuk senyawa pyrite (FeS2) yang merupakan material pembentuk air asam tambang (AAT). Untuk meningkatkan kualitas air buangan dilakukan pengelolaan air limbah secara fisik dan kimia. Secara fisik adalah dengan mendesain settling pond sebagai tempat pengendapan air limbah dengan tanah dasar yang ada di settling pond harus mengandung NAF dan memperhitung kapasitas tampungan air agar proses pengendapan dapat berlangsung dengan baik. Sedangkan secara kimia adalah dengan mencampurkan kapur tohor ke air limbah. Secara umum tahapan pengelolaan air limbah adalah sebagai berikut. Pertama air limbah dari pit dipompakan menuju ke settling pond. Setiap settling pond memiliki tiga kompartemen. Pada kompartemen pertama atau kedua dilakukan pemberian kapur secara manual atau dengan alat pencampur. Jumlah kapur yang digunakan ditentukan berdasarkan jar test yang dilakukan secara periodik. Dari hasil pengukuran jar test kebutuhan kapur untuk setiap lokasi bervariasi yaitu 0.1-0.4 kg/m3. Hal ini mengindikasikan kondisi geologi batuan di setiap lokasi juga bervariasi. Untuk memudahkan pelaksanaan pengapuran dibuatkan alat pencampur dengan menggunakan sebuah tangki berkapasitas 10.000 liter. Pencampuran kapur ditangki ini menggunakan turbin yang digerakkan oleh aliran air secara gravitasi. Dengan metode ini pengelolaan air limbah dapat lebih ditingkatkan termasuk mengefisiensikan penggunaan kapur. Pada tempat penumpukan batubara (stock pile) yang ada di lokasi pelabuhan biasanya terdapat juga proses pengolahan (crushing) untuk memperkecil ukuran batubara sesuai dengan permintaan pasar. Di tempat itu Stockpile ditempatkan pada daerah yang datar dan terhindar dari kemungkinan erosi dan kontaminasi dari material lain untuk menjaga kualitas. Lokasi tersebut juga harus disesuaikan dengan ketinggian dari jalan angkut yang ada. Tumpukan ini diupayakan tidak terjal untuk mempermudah pengangkutan disesuaikan dengan alat muat yang dipergunakan juga untuk menghindari terjadinya kebakaran. Setiap pembuatan stockpile akan dilengkapi dengan pembuatan sistem drainase yang mengarahkan semua air limpasan ke kolam pengendapan.

Kolam Pengendap (settling pond/Sediment Pond) Air limbah dari proses pemompaan dari bukaan tambang yang mengandung lumpur dan juga mengandung air asam dialirkan masuk ke dalam kolam-kolam pengendapan. Untuk menetralkan pH dan menurunkan konsentrasi logam berat yaitu Fe,Mn,dan TSS digunakan kapur tohor. Sehingga air limbah tambang yang dialirkan menuju perairan umum memenuhi baku mutu lingkungan yang ditetapkan. Endapan atau padatan akan ada di bagian bawah kolam pengendapan, sedangkan air akan ada di atasnya. Pada setiap Pit penambangan disediakan settling pond yang terdiri dari tiga kompartemen, untuk menampung air dari dalam tambang sebelum dialirkan ke badan air guna mencegah terjadi peningkatan kekeruhan, padatan tersuspensi, kemasaman dan perubahan warna air Sungai. Padatan yang telah terakumulasi di dalam kolam pengendap akan dikeruk dengan excavator bila satu kompartemen sudah penuh, kemudian dikumpulkan di dekat kolam agar mengering dan selanjutnya diangkut dengan dump truck ke lokasi bekas penambangan atau lokasi penimbunan. Reklamasi. Kegiatan reklamasi dilaksanakan sesuai dengan kemajuan tahapan penambangan. Reklamasi bisa dikatakan sebagai pembenahan pada tambang yang akan ditinggalkan. Kegiatan reklamasi ini meliputi penataan kembali area bekas tambang dengan cara penimbunan lahan bekas tambang dan membentuk kontur seperti kondisi permukaan aslinya. Setelah itu bentuk permukaannya dilapisi dengan tanah pucuk yang subur dengan ketebalan sekitar 50 cm. Lokasi penambangan yang telah selesai harus segera direklamasi dan direvegetasi. Pelaksanaan reklamasi dan revegetasi dapat dilakukan bersamaaan dengan kemajuan penambangan. Untuk lahan bekas tambang yang tidak bisa ditutup kembali bisa pemanfaatan sebagai kolam cadangan air, pengembangan wisata air, pembudidayaan ikan ataupun pemanfaatan merupakan suatu alternatif pemanafaatan lahan bekas tambang terutama yang berlokasi di daerah KBNK (Kawasan budidaya non kehutanan) atau sesuai dengan peruntukan lahannya. Reklamasi berkaitan dengan penataan lahan. Dalam kegiatan pengupasan lahan, tanah yang berpotensi asam atau PAF harus segera ditutup menggunakan tanah yang tidak berpotensi asam atau NAF. Dalam reklamasi lokasi itu akan membutuhkan tanah pucuk untuk menumbuhkan tanaman.

Pada saat melakukan penimbunan, timbunan material batuan harus diatur sesuai dengan elevasi dan kemiringannnya. Ketebalan rata-rata tanah pucuk yang disebarkan adalah sekitar 1,25m. Lahan yang telah dilapisi tanah pucuk dirapikan, dibuat drainase dan dibuat jalan akses untuk kegiatan penanaman dan pemeliharaan tanaman reklamasi. Ketinggian jenjang antar disposal atau hamparan dibuat sekitar kurang dari 10 m dengan kemiringan lereng 25o dan kemiringan bidang datar rata-rata 2%. Lahan siap tanam ini akan segera ditanamani dengan menggunakan tanaman penutup tanah (cover corps) dari jenis polong-polongan seperti Centrosema pubescens, Calopogonium mucoides, Mucuna, dan lainnya untuk mengurangi potensi terjadinya erosi dan memperbaiki kesuburan tanah. Dalam rangka reklamasi, dibuat juga tempat pembibitan untuk memproduksi bibit tanaman anakan atau semai untuk keperluan revegetasi di lapangan. Tanaman yang dibibitkan di lokasi pembibitan berupa jenis tanaman pioner dan cepat tumbuh, tanaman perkebunan, buah-buahan dan tanaman kehutanan dari jenis lokal maupun tanaman penghijauan yang cepat tumbuh, seperti kaliandra, sengon, johar, angsana, trembesi, ketapang, jabon, laban, gmelina, macaranga, mahoni, sawit, kakao, sungkai, Shorea leprosula, S. Parvifolia, S. Balengeren, Dryobalanops, dan lainnya. Jika direncanakan dengan baik, kegiatan reklamasi dan revegetasi bisa dilakukan bersamaan dengan kemajuan operasi penambangan, dan akan mengurangi total jumlah daerah yang terganggu selama umur tambang (LOM). Reklamasi juga akan mengurangi potensi terjadinya erosi aliran permukaan di daerah yang terbuka dan akan menurunkan dampak jumlah material yang tererosi dan menurunkan tingkat pemeliharaan pada kolam pengendapan sedimen. Dengan menurunnya potensi erosi yang terjadi di daerah reklamasi, akan menurunkan potensi dampak terhadap kualitas air dibagian hilir sungai atau kawasan perairan. Reklamasi juga akan menurunkan risiko terbentuknya,AAT. Reklamasi yang dilakukan di lahan bekas tambang (pit) dilakukan dengan metode back filling atau out pit dump. Lubang bekas tambang ditutup kembali dengan batuan penutup sesuai dengan perencanaan. Bentuk rupa bumi setelah reklamasi dibentuk serata mungkin dengan kemiringan maksimal 25% untuk meminimalisasi terjadinya erosi permukaan. Sedangkan pola aliran air permukaan dibentuk selandai mungkin dengan kemiringan kurang dari 5%. Di lapangan, perusahaan merencanakan bentuk lahan akhir (topografi) dirancang sedemikian rupa hingga mendekati topografi awal di sekitar

daerah tambang. Drainase alami diposisikan kembali semaksimal mungkin mendekati kondisi sebelum penambangan dan mencapai kestabilan lahan yang aman. Pemantauan Kualitas Air Untuk memantau kualitas lingkungan, perusahaan melakukan pemantauan terhadap kualitas tanah, air, dan udara secara berkala. Untuk pemantauan kualitas air, pengambilan contoh air (air limbah dan air permukaan) dilakukan secara grap sampling untuk seluruh titik pentaatan dan titik yang telah ditentukan berdasarkan dokumen AMDAL. Tolok ukur dampak kualitas air permukaan mengacu pada peraturan perundang-undangan. Jika di daerah kegiatan pertambangan sudah memiliki peraturan sendiri maka kegiatan pemantauan dan baku mutu akan menggunakan peraturan dari pemerintah daerah setempat. Lokasi pemantauan atau titik pentaatan didasarkan pada ijin dan persetujuan pemerintah daerah setempat.

You might also like