You are on page 1of 9

ASPEK BIOETIKA DALAM PENANGANAN KASUS PENYAKIT MENULAR SEKSUAL PADA REMAJA DI YOGYAKARTA Alfani Fajar Ilmawan1 Linda

Rosita2 Syaefuddin Ali Akhmad3 INTISARI Latar Belakang : Saat ini diperkirakan terdapat 340 juta kasus penyakit menular seksual yang dapat disembuhkan ditemukan setiap tahunnya di seluruh dunia. Proporsi terbesar kasus penyakit menular seksual terjadi di wilayah Asia Selatan dan Asia Tenggara. (WHO, 2007). Tingginya kasus penyakit menular seksual pada remaja dan usia muda tidak saja menimbulkan permasalahan kesehatan namun juga permasalahan etika dalam penanggulangan kasus-kasus ini. Tujuan Penelitian : Untuk mengetahui isu bioetik yang menonjol dalam penanganan kasus penyakit menular seksual pada remaja di Yogyakarta dan pandangan dokter terhadap isu-isu dan dilema-dilema bioetika yang muncul dalam pelayanan kesehatan penyakit menular seksual pada remaja. Metode Peneilitan : Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan triangulasi berupa pengambilan data sekunder, in-depth interview dan studi referensi dalam penyusunannya. Subjek penelitian adalah seluruh dokter pada Poli Kebidanan dan Kandungan serta Poli Kulit dan Kelamin di rumah sakit PKU Yogyakarta. Hasil Penelitian : Kasus penyakit menular seksual yang ditemukan dalam rentang waktu 1 Januari 2010 sampai 31 Desember di RS PKU Yogyakarta didapatkan sebanyak 24 dengan frekuensi tertinggi pada usia 25 sampai 45 tahun yakni sejumlah 14 kasus dan 6 kasus PMS diderita oleh pasien usia remaja ( 19 tahun). Kasus yang terbanyak ditemukan adalah Gonorrhea (87,5%), HIV (8,33%) dan Sifilis (4,16%). Isu etika yang ditemui dokter dalam penanganan PMS pada remaja terutama dalam hal penggalian informasi tentang perilaku seksual yang beresiko, penyampaian informasi kepada wali atau orang tua pasien, pengambilan keputusan terapi pada pasien remaja serta menjaga kerahasiaan pasien. Dilema bioetik yang ditemui dokter dalam penanganan kasus PMS pada remaja adalah adanya konflik dari aspek confidentiality, dengan aspek non maleficence. Dalam menangani dilema etik dalam kasus kasus sensitif seperti itu ketiga responden melakukan pendekatan dengan mempertimbangkan aspek autonomy dan confidentiality pasiennya. Kesimpulan : Isu etika yang ditemui dokter dalam penanganan PMS pada remaja terutama dalam hal penggalian informasi, penyampaian informasi, pengambilan keputusan terapi serta menjaga kerahasiaan pasien. Dilema bioetik yang terutama ditemui oleh dokter dalam penanganan kasus PMS pada remaja adalah adanya konflik dari aspek confidentiality, dengan aspek non maleficence. Kata Kunci
1 2 3

: Bioetik, Dilema bioetik, Penyakit Menular Seksual, Remaja

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia Kepala Prodi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia Staf Departemen Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia

BIOETHICAL ASPECTS ON SEXUAL TRANSMITTED INFECTIONS TREATMENT AMONG ADOLESCENCE IN YOGYAKARTA Alfani Fajar Ilmawan1 Linda Rosita2 Syaefuddin Ali Akhmad3 ABSTRACT Background : WHO estimates that 340 million new cases of STIs have occurred worldwide in
1999. The largest number of new infections occurred in the region of South Asia and Southeast Asia, (WHO, 2007). This high prevalence of sexual transmitted infections among adolescence, not only causing medical problems but also triggering various ethical problems to emerge.

Objectives : To know bioethical issues and dilemmas in the treatment of STIs among adolescence in Yogyakarta and the perspective of physician towards ethical issues and dilemmas occurs. Methods : This research uses a qualitative research method with a triangulations of secondary data, in-depth interview and references study. The research subjects are doctors at Genitourinary and Obstetric/Gynecology divisions of PKU Yogyakarta Hospital. Results : The data from PKU Yogyakarta Hospital there are 24 cases of STIs found from January 1st, 2010 until December 31st 2010. Most frequent cases are from Gonorrhea (87,5%), HIV (8,3%) and Syphilis (4,16%). Ethical issues that being countered by doctors when treating STIs among adolescents mainly around the history taking about high risk sexual activity, treatment decision making and confidentiality. While bioethical dilemma at the treatment of STIs among adolescents are mainly because the conflict of confidentiality and non maleficence. On overcoming this ethical dillema the three respondents examine the aspect of autonomy and confidentiality of their respective patients. Conclusions : Ethical issues that being countered by doctors when treating STIs among adolescents mainly around the history taking about high risk sexual activity, treatment decision making and confidentiality. While bioethical dilemma at the treatment of STIs among adolescents are mainly because the conflict of confidentiality and non maleficence. Keywords
1 2 3

: Bioethics, Bioethical dilemmas, Sexual Transmitted Infections, Adoslecence

Faculty of Medicine Student Islamic University of Indonesia Chief of Educational Programme Faculty of Medicine Islamic University of Indonesia Department of Biochemistry Faculty of Medicine Islamic University of indonesia

PENDAHULUAN Penyakit Menular Seksual adalah berbagai macam sindrom klinis yang disebabkan oleh pathogen yang didapat atau ditularkan melalui aktivitas seksual (CDC, 2010). Menurut WHO, Penyakit Menular Seksual adalah sekelompok penyakit infeksi yang penyebarannya terjadi melalui kontak seksual manusia dengan manusia. Saat ini diperkirakan terdapat 340 juta kasus penyakit menular seksual yang dapat disembuhkan ditemukan setiap

tahunnya di seluruh dunia pada pria dan wanita berusia 15-49 tahun, dengan angka kejadian tertinggi terjadi pada kelompok usia 20-24 tahun, diikuti dengan kelompok usia 15-19 tahun. Proporsi terbesar kasus penyakit menular seksual terjadi di wilayah Asia Selatan dan Asia Tenggara, diikuti Afrika sub Sahara, lalu Amerika Latin dan Karibia. Secara global infeksi ini menyebabkan beban ekonomi dan kesehatan yang besar, terutama di negaranegara berkembang dimana penyakit ini menyebabkan kerugian ekonomi hingga sebesar 17 % (WHO, 2007). Tingginya kasus penyakit menular seksual pada remaja dan usia muda tidak saja menimbulkan permasalahan kesehatan namun juga permasalahan etika dalam penanggulangan kasus-kasus ini. Hal ini menyebabkan seorang dokter tidak saja dituntut untuk memberikan penanganan kasus penyakit menular seksual pada remaja sesuai dengan aspek ilmu pengetahuannya saja tetapi juga sesuai dengan aspek etika yang sesuai dengan permasalahan etika yang dihadapi oleh dokter dalam prakteknya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui isu bioetik yang menonjol dalam penanganan kasus penyakit menular seksual pada remaja di Yogyakarta dan pandangan dokter terhadap isu-isu dan dilema-dilema bioetika yang muncul dalam pelayanan kesehatan penyakit menular seksual pada remaja. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan case study dan triangulasi sumber data berupa pengambilan data sekunder, in-depth interview dan studi referensi dalam penyusunannya. Subjek penelitian adalah seluruh dokter pada Poli Kebidanan dan Kandungan serta Poli Kulit dan Kelamin di rumah sakit PKU Yogyakarta. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling yaitu teknik

pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tersebut adalah dokter yang menangani kasus penyakit menular seksual dengan usia remaja. Jumlah sampel bersifat tentative, dengan perkiraan jumlah sampel sebanyak 3 orang. DEFINISI OPERASIONAL Remaja menurut Depkes RI adalah anak berusia 10 19 tahun. Dalam penelitian ini definisi remaja adalah anak berusia 10 19 tahun dengan riwayat Penyakit Menular Seksual. Penyakit menular seksual menurut WHO adalah berbagai macam sindrom klinis yang terutama ditularkan melalui aktivitas dan kontak seksual dari satu orang ke orang lainnya. Dokter adalah penyedia pelayanan kesehatan yang sudah menjalani pendidikan dan pelatihan khusus dan mempunyai gelar di bidang kedokteran. Dalam penelitian ini dokter yang dijadikan subjek penelitian adalah dokter spesialis Obstetri/Ginekologi serta spesialis Kulit dan Kelamin yang sebelumnya memiliki pengalaman menangani kasus penyakit menular seksual pada remaja HASIL DAN PEMBAHASAN Data kasus penyakit menular seksual diambil dari rumah sakit PKU Yogyakarta dengan ketentuan kasus penyakit menular seksual yang ditemukan dalam rentang waktu 1 Januari 2010 sampai 31 Desember 2010. Adapun kasus penyakit menular seksual yang digunakan adalah Gonorrhea, Sifilis, Klamidia, HIV/AIDS, Bakterial Vaginosis dan Trikomoniasis Data kasus penyakit menular seksual diambil dari rumah sakit PKU Yogyakarta dengan ketentuan kasus penyakit menular seksual yang ditemukan dalam rentang waktu 1 Januari 2010 sampai 31 Desember

2010. Adapun kasus penyakit menular seksual yang digunakan adalah Gonorrhea, Sifilis, Klamidia, HIV/AIDS, Bakterial Vaginosis dan Trikomoniasis. Tabel 1.Kasus PMS Berdasarkan Usia
Usia 0 14 15 24 25 45 >45 Total Frekuensi 0 8 14 2 24 Presentase (%) 0 33.3 58.3 8,3 100

tahun distribusi kasus PMS ditemukan berimbang antara jumlah pasien pria dan wanita. Gambar 2. Frekuensi Kasus PMS di RS PKU Yogyakarta
HIV; 8,33% Sifilis; 4,16%

Gonorrh ea; 87,50%

Pada pengambilan data di rumah sakit PKU Yogyakarta, didapatkan kasus sebanyak 24 dengan frekuensi tertinggi didapatkan pada pasien dengan rentang usia 25 sampai 45 tahun yakni sejumlah 14 kasus, sedangkan 6 kasus diantaranya diderita pasien berusia remaja. Tabel 3. Distribusi Pasien PMS Berdasarkan Jenis Kelamin
Usia 15 24 25 45 >45 Total Pria 4 13 2 19 Wanita 4 1 0 5

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa kasus Penyakit Menular Seksual di RS PKU Yogyakarta paling sering ditemui pada pasien dengan rentang usia 25 45 tahun dengan jumlah sebanyak 14 kasus (58,33%) diikuti kategori usia 15 24 tahun dengan 8 kasus (33,33%) dan pasien berusia >45 tahun dengan 2 kasus (8,33%) Distribusi kasus PMS di RS PKU Yogyakarta menunjukkan bahwa kasus PMS terutama ditemukan pada pasien pria dengan rentang usia 24 45 tahun, dimana ditemukan sebanyak 13 kasus, sedangkan pada pasien dengan rentang usia 15 -24

Kasus yang paling sering ditemui pada pasien Penyakit Menular Seksual di Rumah Sakit PKU Yogyakarta adalah Gonorrhea dengan 21 kasus (87,5%) diikuti dengan HIV sebanyak 2 kasus (8,33%) dan sifilis 1 kasus (4,16%). Berdasarkan data yang diperoleh dari data profil kesehatan Kab/Kota, pada tahun 2007, kasus HIV AIDS berjumlah 31 orang. Hal ini sangat jauh menurun dibanding tahun 2006 sebesar 69 kasus. Kasus terbesar sebanyak 11 orang yang terjadi di kabupaten Bantul dan Sleman. Sedangkan kasus Infeksi Menular di Provinsi D.I.Yogyakarta pada tahun 2007 berjumlah 260 orang, meningkat tajam dibanding tahun 2006 berjumlah 77 kasus. Kasus terbanyak ditemukan di Kota Yogyakarta berjumlah 202 kasus. Peningkatan jumlah kasus dimungkinkan karena semakin baiknya pelaporan serta hasil zero survai terutama di kota Yogyakarta. Ketiga responden sendiri memiliki pengetahuan dan pengalaman yang baik mengenai konsep etika dan bioetika serta dalam menangani kasus Penyakit Menular Seksual. Dan ketiganya mengakui adanya peningkatan jumlah kasus Penyakit Menular Seksual yang diderita usia remaja, seperti yang diungkapkan salah seorang responden berikut : ... ada kecenderungan meningkat ya dalam lima tahun terakhir ini. Terutama karena perilaku anak

anak muda saat ini yang cenderung lebih bebas dalam bergaul (NS2, 118 130) Dalam penuturannya ketiga responden terutama menghadapi isu dalam penggalian informasi tentang perilaku pasien, menjaga kerahasiaan pasien dan pengambilan keputusan penanganannya Ketiga responden juga mengungkapkan dilema etik yang ditemui dalam penanganan kasus Penyakit Menular Seksual pada remaja adalah timbulnya konflik antara keinginan seorang dokter untuk menyembuhkan dan mencegah penyebaran penyakit dengan hak sang pasien atas privasinya. Dalam menangani dilema etik dalam kasus kasus sensitif seperti itu ketiga responden melakukan pendekatan dengan mempertimbangkan aspek autonomy dan confidentiality pasiennya seperti yang diungkapkan seorang responden sebagai berikut : ... dalam kasus remaja yang didampingi orang tua, saya berusaha menjaga untuk tetap menghargai privasinya si anak tersebut. Jadi saya tanyakan kepada si anak apakah saya perlu memberitahukan pada orang tua kondisi ini pada orang tua atau tidak? Kalau dia keberatan ... (NS1, 101-116) Menurut Young (2010) terdapat empat area yang perlu dipertimbangkan dalam menganalisa atau menangani dilema etik yang muncul dalam kasus kasus sensitif dalam praktek kedokteran sehari hari. Hal tersebut antara lain adalah informasi faktual, kepercayaan dan nilai yang berlaku dalam masyarakat, prinsip prinsip rasional dan faktor ekstrinsik. Pertimbangan informasi aktual dalam penanganan dilema etik artinya dalam melakukan pendekatan penanganan mengunakan data data terbaru dari kasus yang serupa merupakan acuan yang utama dalam pertimbangan pengambilan keputusan. Informasi faktual bisa didapatkan melalui jurnal jurnal

penelitian yang dilakukan oleh para ahli maupun cara penanganan seorang dokter dalam menghadapi kasus kasus baru yang terjadi di masyarakat. Semakin jelas data yang digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan, maka semakin bertanggung jawab dan berhati hati kita dalam mengambil suatu keputusan tersebut. Kepercayaan dan nilai yang berlaku dalam masyarakat adalah aspek selanjutnya yang perlu dipertimbangkan. Menurut Young (2010) kita bertindak sesuai dengan nilai dan kepercayaan yang kita hargai karena hal inilah yang memberikan kita makna dalam hidup sehingga kedua hal ini kita pegang dengan teguh. Aspek ini menjadi pertimbangan karena dalam pengambilan keputusan hal hal yang berkaitan dengan kepercayaan dan nilai seseorang bisa amat berbeda dan bersifat prinsipal sehingga hampir tidak mungkin untuk dirubah. Prinsip prinsip rasional dalam penanganan dilema etik adalah prinsip utama bioetik yaitu Beneficence, Non maleficence, Justice dan Autonomy serta beberapa aturan turunannya yaitu Veracity, Fidelity, Privacy dan Confidentiality serta Informed Consent. Keempat prinisip dan aturan aturan turunannya merupakan prima facie yang mengikat. Keempatnya memiliki bobot yang sama tetapi dapat mengalahkan satu sama lain tergantung konteks permasalahan dan kebijakan yang dihadapi (Steinbock, 2007). Dalam prakteknya kerangka kerja dari prinsip prinsip diatas dapat saling bertentangan satu sama lain, contohnya antara pilihan untuk melakukan penatalaksanaan yang harus dilakukan pada seorang pasien yang menentang dilakukannya intervensi tersebut. Kasus seperti ini memunculkan konflik antara kedua prinsip utama bioetik yaitu Beneficence dengan Autonomy. Pada situasi seperti diatas, para ahli kerap melakukan pengambilan keputusan dengan pendekatan yang menitikberatkan pada

spesifikasi dan keseimbangan (Beauchamp & Childress, 2005). Pendekatan spesifikasi dalam mengatasi konflik antara dua prinsip yang bertentangan adalah dengan cara menjabarkan secara jelas makna dan cakupan suatu prinsip sehingga dapat diketahui batasan batasan maupun aturan yang berlaku dalam menghadapi suatu dilema etik yang terjadi. Di sisi lain, pendekatan keseimbangan adalah dengan cara mempertimbangkan derajat dan bobot kedua prinsip yang bertentangan tersebut sehingga salah satu dari kedua prinsip tersebut dapat diutamakan dalam pengambilan keputusan (Beauchamp & Childress, 2005) Dalam sudut pandang Islam, menjaga kerahasiaan yang dipercayakan seseorang kepada kita sebagai muslim merupakan hal yang diwajibkan. Terlebih dalam hal ini seorang dokter, karena seorang pasien akan dengan suka rela memberitahukan informasi yang dirahasiakan dan bersifat pribadi. Hal ini didasarkan pada hadits yang disabdakan rasulullah SAW tentang tanda tanda orang munafik, yaitu dia berdusta saat berkata kata, mengingkari janji janjinya dan dia berkhianat ketika diberi kepercayaan . Atas hal itu maka seorang dokter diwajibkan untuk tetap menjaga rahasia yang dia ketahui baik dari penglihatan, pendengaran maupun hasil deduksinya. Semangat Islam juga menekankan bahwa diperlukan adanya suatu hukum yang meliputi hak seorang pasien dalam melindungi rahasianya yang dipercayakan kepada seorang dokter yang menanganinya (Sachedina, 2009). Dalam aspek hukum perdata, hubungan antara dokter dan pasien merupakan suatu perikatan yang objeknya berupa pelayanan medis dan sebagai sahnya sebuah perjanjian, sebagaimana lazimnya ketentuan mengenai perjanjian harus memenuhi syarat syarat yang ditentukan dalam KUHPerd yaitu antara lain kesepekatan mereka yang mengikatkan diri, kecakapan dalam

membuat suatu perikatan, suatu pokok persoalan tertentu dan suatu sebab yang tidak terlarang. Kecakapan dalam membuat perjanjian pada dasarnya dimiliki oleh semua orang, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu, seperti yang diatur dalam KUHPerd pasal 1330, 1467 dan 1640, yaitu antara lain adalah anak yang belum dewasa, orang yang ditaruh dibawah pengampunan dan perempuan yang telah kawin dalam hal hal yang ditentukan undang undang. Dari pembahasan ini diketahui bahwa dalam aspek hukum, seorang anak yang belum dewasa dinyatakan belum cakap untuk mengambil keputusan maupun melakukan perikatan, dan karenanya tidak memenuhi persyaratan sahnya suatu perjanjian. Sehingga, idealnya pengambilan keputusan pemeriksaan dan penatalaksanaan pada pasien anak yang belum dewasa seharusnya diwakilkan dan diketahui oleh walinya. KESIMPULAN Kasus penyakit menular seksual yang ditemukan dalam rentang waktu 1 Januari 2010 sampai 31 Desember 2010 di RS PKU Yogyakarta didapatkan populasi sebanyak 24 dengan frekuensi tertinggi didapatkan pada pasien dengan rentang usia 25 sampai 45 tahun yakni sejumlah 14 kasus. Dengan kasus penyakit menular seksual yang dialami pasien dengan usia remaja ( 19 tahun ) terdapat 6 kasus. Kasus yang paling sering ditemui pada pasien penyakit menular seksual di rumah sakit PKU Yogyakarta adalah Gonorrhea dengan 21 kasus diikuti dengan HIV sebanyak 2 kasus dan sifilis 1 kasus dan kesemua penderita penyakit menular seksual pada usia remaja di rumah sakit PKU Yogyakarta didiagnosis dengan infeksi gonorrhea. Isu etika yang ditemui dokter dalam penanganan PMS pada remaja terutama dalam hal penggalian informasi

tentang perilaku seksual yang beresiko, penyampaian informasi kepada wali atau orang tua pasien, pengambilan keputusan terapi pada pasien remaja serta menjaga kerahasiaan pasien. Dilema bioetik yang terutama ditemui oleh dokter dalam penanganan kasus PMS pada remaja adalah adanya DAFTAR PUSTAKA Beauchamp, T. L., & Childress, J. F. (2005). Principles of Biomedical Ethics. Singapore: Oxford University Press. Bebear, C., & de Barbeyrac, B. (2009). Genital Chlamydia Trachomatis Infections. European Society of Clinical Microbiology and Infectious Diseases , 4-10. Black, C. M. (1997). Current Methods of Laboratory Diagnosis of Chlamydia trachomatis. Clinical Microbiology Review , 160-184. Blas, M. M., Canchihuaman, F. A., Alva, I. E., & Hawes, S. E. (2007). Pregnancy Outcome in Women Infected with Chlamydia trachomatis: a populationbased cohort study in Washington State. Sexual Transmitted Infections , 314-318. Burkhardt, M. A., & Nathaniel, A. K. (2002). Ethics and Issues in Contemporary Nursing. Singapore: Thomson Learning Asia. Callahan, D. (2004). Bioethics. Dalam S. G. Post, Encyclopedia of Bioethics (hal. 278-286). New York: Mac Millan Reference. Callahan, D., & Jennings, B. (2002). Ethics and Public Health: Forging a Strong Relationship. American Journal of Public Health , 169-176. CDC. (2010). Sexually Transmitted Diseases Treatment Guideline. Atlanta: Center For Disease Control and Prevention.

konflik dari aspek confidentiality, dengan aspek veracity dan non maleficence. Dalam menangani dilema etik dalam kasus kasus sensitif seperti itu ketiga responden terutama melakukan pendekatan dengan mempertimbangkan aspek autonomy dan confidentiality pasiennya

Cunningham, F., Leveno, K. J., Bloom, S. L., Hauth, J. C., Rouse, D. J., & Spong, C. Y. (2010). Williams Obstetric. New York: McGraw-Hill. DeCherney, A. H., Nathan, L., Goodwyn, T. M., & Laufer, N. (2007). Current Diagnosis and Treatment Obstetric and Gynecology. New York: McGraw-Hill. Dehne, K. L., & Riedner, G. (2005). Sexually Transmitted Infections Among Adolescents: The Need for Adequate Health Service. Geneva: WHO. Depkes RI. (2009). Indonesia : HIV Epidemiological Situation and Health Sector Response. Jakarta: Program AIDS Nasional, Departemen Kesehatan Indonesia. Dewi, A. I. (2008). Etika dan Hukum Kesehatan. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher. Dinas Kesehatan DIY. (2008). Profil Kesehatan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas Kesehatan DIY. Erlanger Medical Ethics Orientation Manual. (2000). Tennesse: University of Tennesse. Fauci, A. S., Braunwald, E., Kasper, D. L., & Hauser, S. L. (2008). Harrison's Principle of Internal Medicine 17th Ed. Singapore: McGraw-Hill.

Garrett, T. M., Bailie, H. W., & Garrett, R. M. (1993). Health Care Ethics: Principle and Problems. New Jersey: Prentice Hall. Gillespie, S. H., & Bamford, K. B. (2000). Medical Microbiology And Infection At A Glance. Atalanta: Blackwell Science. Hanafiah, M. J., & Amir, A. (2008). Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: EGC. Jacobalis, S. (2005). Perkembangan Ilmu Kedokteran, Etika Medis dan Bioetika. Jakarta: Sagung Seto. Kamus Saku Kedokteran Dorland. (1998). Jakarta: EGC. Kayser, F. H., Bienz, K. A., Eckert, J., & Zinkernagel, R. M. (2005). Color Atlas of Medical Microbiology. Stuttgart: Thieme. Klitzman, R., Marhefka, S., Mellins, C., & Wiener, L. (2008). Ethical Issues Concerning Disclosures of HIV Diagnoses to Perinatally Infected Children and Adolescents. Journal of Clinical Ethics , 31-42. Lawrence, D. J. (2007). The Four Principles of Biomedical Ethics: A Foundation for Current Bioethical Debate. Journal of Chiropractic Humanities , 3440. Macer, D. R. (2006). A Cross-Cultural Introduction to Bioethics. Eubios Ethics Institute. Macer, D. R., Pollard, I., Pollard, M., Azariah, J., Leavitt, F., Reiss, M., et al. (2005, November 15). Bioethics Dictionary. Dipetik June 6, 2011, dari Eubios: http://www.eubios.info/biodict.htm#dict Marcell, A. V. (2007). Nelson Textbook of Pediatrics. Philadelphia: Elsevier. Maskur, Z., & Makalew, H. L. (2005). Vaginosis Bakterial. Dalam S. F. Daili, W. I. Makes, F. Zubier, & J. Judanarso, Infeksi

Menular Seksual (hal. 102-107). Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Murray, P. R., Baron, E. J., Jorgensen, J. H., Landry, M. L., & Pfaller, M. A. (2007). Chlamydia and Chlamydophila. Washington: ASM Press. Paavonen, J., & Eggert-Kruse, W. (1999). Chlamydia trachomatis: Impact on Human Reproduction. Human Reproduction Update , 433-447. Rogstad, K. (2008). International Handbook of Chlamydia. Haslemere: Alden Press. Sachedina, A. (2009). Islamic Biomedical Ethics. Singapore: Oxford University Press. Sachrowardi, Q., & Basbeth, F. (2011). Bioetik Isu dan Dilema. Jakarta: Pensil234. Scott, R. (2009). Promoting Legal and Ethical Awareness. St Louis: Mosby Elsevier. Sherrad, J. (2007). United Kingdom National Guideline of The Management of Trichomonas Vaginalis. Oxford: British Association of Sexual Health and HIV. Sokol, D. (2008, October 26). BBC news: Health. Dipetik June 05, 2011, dari BBC news: http://news.bbc.co.uk/2/hi/7654432.stm Sokol, D. (2008). The Four Quadrant Approach to Clinical Ethics Case; an Application and Review. J Med Ethics , 513-516. Stebbing, J., Gazzard, B., & Douek, D. C. (2004). Mechanism of Disease: Where Does HIV Live? The New England Journal of Medicine , 1872-80. Steinbock, B. (2007). The Oxford Handbook of Bioethics. Oxford: Oxford University Press.

Sweet, R. L., & Gibss, R. S. (2009). Infectious Disease of The Female Genital Tract. New York: Wolters Kluwer. Thiele, F., & Ashcroft, R. E. (2005). Bioethics in A Small World. Berlin: Springer-Verlag. WHO. (2001, September 3). Global Prevalence and Incidence of Selected Curable Sexual Transmitted Infections : Overview and Estimates. Dipetik May 13, 2011, dari WHO: http://www.who.int/hiv/pub/sti/who_hiv_a ids_2001.02.pdf WHO. (2007, March 14). Global Strategy for The Prevention and Control of Sexually Transmitted Infections :20062015. Dipetik September 24, 2011, dari http://www.who.int/reproductivehealth/pu blications/rtis/RHR_06_10/en/ WHO. (2010, May 13). HIV/AIDS in the South-East Asia Region: progress report

2010. Dipetik May 17, 2011, dari WHO: http://www.who.int/hiv/pub/surveillance/s earo_2010/en/index.html WHO. (2007, October 24). Sexually Transmitted Disease. Dipetik May 9, 2011, dari WHO: http://www.who.int WHO. (1998). The Second Decade: Improving Adolescent Healt and Development. Geneva: WHO. WHO. (2007, July 5). WHO Case Definitions of HIV Survelliance and Revised Clinical Staging and Immunological Classification of HIVrelated Disease in Adults and Children. Dipetik June 27, 2011, dari WHO: http://www.who.int/hiv/pub/vct/hivstaging /en/index.html Williams, J. R. (2006). Panduan Etika Medis. Yogyakarta: Pusat Studi Kedokteran Islam Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

You might also like