You are on page 1of 38

MODUL PENYUSUNAN RENCANA ZONASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PROPINSI DAN KABUPATEN/KOTA

MODUL 5
PANDUAN PENYUSUNAN RENCANA KAWASAN LINDUNG

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN PESISIR DAN PULAUPULAU KECIL DIREKTORAT TATA RUANG LAUT PESISIR DAN PULAUPULAU KECIL

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Wilayah laut dan pesisir di Indonesia dikenal mempunyai keanekaragaman hayati (biodiversity) terbesar di dunia karena memiliki ekosistem mangrove, terumbu karang, dan padang lamun. Semakin tingginya pertumbuhan penduduk dan kegiatan pembangunan di wilayah pesisir untuk berbagai kepentingan, mengakibatkan tekanan ekologis terhadap ekosistem dan sumberdaya laut pesisir dan pulau-pulau kecil semakin meningkat pula. Hal ini tentunya dapat mengancam kelangsungan ekosistem pesisir serta biota biota pesisir yang tinggal di dalamnya. Adanya sedimentasi dan pencemaran, pembukaan lahan di upland untuk berbagai kepentingan merupakan sumber sedimen dan pencemaran ekosistem di wilayah laut, pesisir dan pulau-pulau kecil. Degradasi habitat yang banyak ditimbulkan oleh aktivitas manusia seperti pembukaan hutan mangrove untuk pertambakan, permukiman, industri, dll; penambangan/penggalian karang, pembuangan jangkar di daerah terumbu karang, eksploitasi intensif ikan-ikan karang; reklamasi pantai, pembangunan infrastruktur dan lain-lain. Degradasi ini akan menyebabkan hilangnya fungsi dari habitat itu sendiri dalam melindungi pantai dan sumberdaya. Ekosistem dan sumberdaya pesisir dan laut merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati dan non hayati yang saling berinteraksi dan berhubungan. Bila terjadi perubahan pada salah satu dari kedua komponen tersebut, maka akan mempengaruhi keseluruhan sistem yang akan mengakibatkan terganggunya sistem fungsional dan keseimbangan. Sehingga diperlukan perlindungan ekosistem dan sumberdaya laut, pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam usaha melestarikan ekosistem dan sumberdaya alam kawasan laut, pesisir dan pulau-pulau kecil serta
Panduan Teknis Perencanaan Kawasan Lindung

pemberdayaan masyarakat pesisir, maka diperlukan penaatan ruang kawasan pesisir untuk memilah antara area yang harus dilindungi (kawasan lindung) dan area yang dapat dikembangkan secara lestari dan berkelanjutan (kawasan budidaya). Penyusunan ruang kawasan lindung baik di wilayah laut, pesisir maupun pulau-pulau kecil yang berguna untuk melindungi habitat-habitat kritis, mempertahankan dan meningkatkan kualitas sumberdaya, melindungi keanekaragaman hayati dan melindungi proses-proses ekologi. Dalam UU No. 27 Tahun 2007 dan PP No. 26 Tahun 2008 adalah Terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang wilayah pada kawasan lindung dan kawasan budidaya. Merujuk pada pernyataan ini maka kawasan lindung mempunyai peran yang sangat penting sehingga diamanatkan untuk mengatur pemanfaatan ruangnya. 1.2. Tujuan dan Sasaran 1.2.1 Tujuan 1. Memberikan kesadaran kepada masyarakat pentingnya menjaga dan memelihara ekosistem lingkungan kawasan laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil, sehingga potensi sumberdaya alam (hayati dan non hayati) setempat tetap terjaga dan berkelanjutan; Memberikan penjelasan secara teknis mengenai penerapan Kepmen KP no. 34 tahun 2001 tentang Pedoman Penataan Ruang Laut Pesisir dan Pulau Pulau Kecil kepada stakeholder terkait.

2.

1.2.2 Sasaran 1. Tersusunnya petunjuk pelaksanaan mengenai penyusunan Rencana Penataan Ruang untuk Kawasan Lindung. 1.3. Ruang Lingkup Dalam petunjuk pelaksanaan ini akan dibahas mengenai : 1. 2. 3. Karakteristik kawasan lindung Fungsi dan potensi pemanfaatan kawasan lindung Pemilihan kawasan lindung 2

Panduan Teknis Perencanaan Kawasan Lindung

4. 5. 6. 7. 8.

Prinsip Rencana Tata Ruang/Rencana Zonasi Kawasan Lindung Kebutuhan data dan metode pengumpulan data Model Struktur Ruang Kawasan Lindung Model Rencana Detail Kawasan Lindung Prinsip Rencana Pengelolaan Kawasan Lindung Gambar 1 Ruang Lingkup Pedoman Penataan Ruang Kawasan Lindung

Panduan Teknis Perencanaan Kawasan Lindung

BAB II KONSEP DASAR KAWASAN LINDUNG WILAYAH PESISIR

2.1 Kategori Kawasan Lindung Kawasan lindung yang dimaksud dalam bahasan ini adalah suatu kawasan di wilayah laut dan pesisir yang mencakup daerah intertidal, subtidal, dan kolom air di atasnya, dengan beragam flora dan fauna yang berasosiasi di dalamnya yang memiliki nilai ekologis, ekonomis, sosial dan budaya. Menurut Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 dan IUCN, tentang Kawasan Lindung, terdapat 4 (empat) kategori kawasan lindung, yaitu : 1. Kawasan Yang Memberikan Perlindungan Kawasan Bawahnya a. Kawasan Hutan Lindung Kriteria kawasan hutan lindung adalah : Kawasan hutan dengan faktor-faktor lereng lapangan, jenis tanah, curah hujan yang melebihi nilai skor 175, dan/atau Kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40 % atau lebih, dan/atau Kawasan hutan yang mempunyai ketinggian di atas permukaan laut 2.000 meter atau lebih. Kawasan Hutan yang terletak di pesisir dan telah ditetapkan sebagai Hutan Lindung (Perda RTRW); b. Kawasan Bergambut Kriteria kawasan bergambut adalah kawasan yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. c. Kawasan resapan air atau sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS). Kriteria kawasan resapan air adalah kawasan dengan curah hujan yang tinggi, struktur tanah yang mudah
Panduan Teknis Perencanaan Kawasan Lindung

meresapkan air dan bentuk geomofologi yang mampu meresapkan air hujan secara besar-besaran. 2. Kawasan Perlindungan Setempat a. Sempadan Pantai Kriteria sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya propesional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai (oseanografi, geologi dan geomorfologi pantai) minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. b. Sempadan Sungai Kriteria sempadan sungai adalah : Sekurang-kurangnya 100 meter di kiri kanan sungai besar dan 50 meter di kiri kanan anak sungai yang berada di luar pemukiman. Untuk sungai di kawasan permukiman berupa sempadan sungai yang diperkirakan cukup untuk dibangun jalan inspeksi antara 10 15 meter. 3. Kawasan Suaka Alam Dan Cagar Budaya a. Kawasan Suaka Alam Kawasan suaka alam terdiri dari cagar alam, suaka margasatwa, hutan wisata, daerah perlindungan plasma nutfah dan daerah pengungsian satwa. (1) Kriteria kawasan cagar alam adalah : Kawasan yang ditunjuk mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa dan tipe ekosistemnya; Mewakili formasi biota tertentu dan/atau unit-unit penyusunan; Mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia; Mempunyai luas dan bentuk, tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dengan daerah penyangga yang cukup luas.
Panduan Teknis Perencanaan Kawasan Lindung

Mempunyai ciri khas dan dapat merupakan satusatunya contoh di suatu daerah serta keberadaannya memerlukan upaya konservasi; (2) Kriteria kawasan suaka margasatwa adalah : Kawasan yang ditunjuk merupakan tempat hidup dan perkembangbiakan dari suatu jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasinya: Memiliki keanekaragaman dan populasi satwa yang tinggi; Merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu; Mempunyai luas yang cukup sebagai habitat jenis saitwa yang bersangkutan. (3) Kriteria hutan wisata adalah : Kawasan yang ditunjuk memiliki keadaan yang menarik dan indah baik secara alamiah maupun buatan manusia; Memenuhi kebutuhan manusia akan rekreasi dan olah raga serta terletak dekat pusat-pusat pemukiman penduduk; Mengandung satwa buru yang dapat dikembangbiakkan sehingga memungkinkan perburuan secara teratur dengan mengutamakan segi rekreasi, olah raga dan kelestarian satwa; Mempunyai luas yang cukup dan lapangannya tidak membahayakan. (4) Kriteria daerah perlindungan plasma nutfah adalah: Areal yang ditunjuk memiliki jenis plasma nutfah tertentu yang belum terdapat di dalam kawasan konservasi yang telah ditetapkan; Merupakan areal tempat pemindahan satwa yang merupakan tempat kehidupan baru bagi satwa tersebut; Mempunyai luas cukup dan lapangannya tidak membahayakan.
Panduan Teknis Perencanaan Kawasan Lindung

(5) Kriteria daerah pengungsian satwa adalah: Areal yang ditunjuk merupakan wilayah kehidupan satwa yang sejak semula menghuni areal tersebut; Mempunyai luas tertentu yang memungkinkan berlangsungnya proses hidup dan kehidupan serta berkembangbiaknya satwa tersebut. b. Kawasan Suaka Alam laut dan Perairan lainnya Kriteria kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya adalah kawasan berupa perairan laut, perairan darat, wilayah pesisir, muara sungai, gugusan karang dan atol yang mempunyai ciri khas berupa keragaman dan/atau keunikan ekosistem. c. Kawasan Pantai Berhutan Mangrove (Bakau) Kriteria kawasan pantai berhutan mangrove adalah minimal 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah ke arah darat. Sedangkan lebar sabuk hijau pada hutan mangrove, yaitu selebar 200 m di sepanjang tepi sungai (Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan No. KB.550/264/Kpts/4/1984 dan No. 082/Kpts-II/1984) d. Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam Kriteria taman nasional, taman hutan raya dan taman nasional dan wisata alam adalah kawasan berhutan atau bervegetasi tetap yang memiliki tumbuhan dan satwa yang beragam, memiliki arsitektur benteng alam yang baik dan memiliki akses yang baik untuk keperluan pariwisata. e. Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan Kriteria kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan adalah tempat serta ruang disekitar bangunan bernilai budaya tinggi, situs purbakala dan kawasan dengan
Panduan Teknis Perencanaan Kawasan Lindung

bentukan geologi tertentu yang mempunyai manfaat tinggi untuk pengembangan ilmu pengetahuan. 4. Kawasan Rawan Bencana Alam Kriteria kawasan rawan bencana alam adalah kawasan yang diidentifikasi sering dan berpotensi tinggi mengalami bencana alam seperti letusan gunung, gempa bumi, dan tanah longsor. 5. Kawasan Lindung Lain Didasarkan Atas Kategori IUCN a. Kawasan Monumen Alam (Natural Monument) Kawasan yang dilindungi untuk konservasi komponen alami tertentu yang khas dan unik karena kelangkaan wilayah dan jenis biotanya, kualitas ekstetikanya atau kepentingan budaya. b. Kawasan Pengelolaan Habitat/Spesies tertentu Merupakan kawasan lindung yang dikelola untuk kegiatan konservasi. Pada kawasan ini terdapat unsur intervensi manusia. c. Kawasan Perlindungan Bentang Alam/Bentang Laut Kawasan yang dilindungi dengan tujuan konservasi bentang alam dan bentang laut. d. Kawasan Perlindungan bagi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kawasan lindung yang dikelola untuk keberlanjutan pemanfaatan ekosistem pesisir. 2.2 Karakteristik Kawasan Lindung Wilayah Pesisir Secara garis besar kawasan lindung wilayah pesisir dibedakan dalam 3 jenis yaitu : ekosistem pesisir, morfologi pantai dan situs bersejarah. Ekosistem wilayah pesisir secara umum dapat dibagi dalam : 1. Ekosistem mangrove 2. Ekosistem terumbu karang 3. Ekosistem Estuaria dan Laguna 4. Ekosistem Pulau pulau sangat kecil
Panduan Teknis Perencanaan Kawasan Lindung

Morfologi wilayah pesisir yang di jadikan kawasan lindung adalah jenis morfologi yang khusus (khas) serta morfologi yang dapat mengakibatkan ketidakseimbangan dinamika pesisir jika unit morfologi tersebut hilang / rusak. Morfologi tersebut antara lain : 1. Pantai tebing; merupakan kawasan marginal yang tidak dapat dimanfaatkan untuk kegiatan yang bersifat permanen karena sifatnya yang labil. 2. Gumuk pasir; merupakan unit morfologi yang langka 3. Mata air Situs sejarah di kawasan pesisir juga dapat di kategorikan sebagai kawasan yang harus dilindungi antara lain: 1. Bangunan bersejarah 2. Pelabuhan pelabuhan bersejarah 3. Kapal karam bersejarah 2.2.1. Ekosistem Mangrove Hutan mangrove memiliki beberapa fungsi ekologis penting, yaitu : Sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur, dan perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air permukaan; Penghasil sejumlah besar detritus; Daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makan (feeding ground), dan daerah pemijahan (spawning ground) bermacam biota perairan (ikan, udang, dan kerang-kerangan) baik yang hidup di perairan pantai maupun lepas pantai. Hutan mangrove di Indonesia pada umumnya didominasi oleh empat genera, yaitu : Rhizopora, Avicennia, Bruguiera dan Sonneratia. 2I.2.2. Ekosistem Terumbu Karang Pada dasarnya terumbu terbentuk dari endapan-endapan masif kalsium karbonat (CaCO3) yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (karang hermatipik) dari filum Cnidaria, ordo Scleractinia yang hidup bersimbiosis dengan zooxanthellae dan sedikit tambahan dari algae Panduan Teknis Perencanaan Kawasan Lindung 9

berkapur serta organisme lain yang menyekresi kalsium karbonat. Untuk dapat membentuk terumbu, karang memerlukan persyaratan hidup tertentu, diantaranya adalah faktor cahaya, suhu, salinitas, kejernihan air, arus, dan substrat. Terdapat hubungan fungsional (fisika, kimiawi, dan biologis) antara ekosistem terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove. Hubungan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1 Hubungan Fungsional Ekosistem Terumbu Karang, Padang Lamun, dan Hutan Mangrove

Fungsi Fisika

Terumbu karang Memecah gelombang/ombak dari laut terbuka sehingga mengurangi pengaruh ombak dan gelombang terhadap ekosistem lamun dan hutan mangrove. Mengikat dan memanfaatkan unsur hara secara efisien sehingga unsur hara tidak mudah lepas ke laut terbuka dan termanfaatkan dengan baik. Tempat induk ikan dan hewan karang lainnya mencari makan dan bertelur.

Padang lamun Meredam gelombang/ombak sebelum sampai ke pantai sehingga mengurangi pengaruh gelombang/ombak terhadap ekosistem hutan mangrove. Menghasilkan unsur hara dan mendistribusikann ya ke ekosistem terumbu karang

Hutan mangrove Meredam pengaruh erosi daratan dan gelombang/ombak yang sampai ke pantai sehingga mengurangi pengaruh buruk erosi terhadap ekosistem terumbu karang dan hutan mangrove.

Kimiawi

Menghasilkan unsur hara dan mendistribusikannya ke ekosistem padang lamun dan terumbu karang.

Biologis

Tempat asuhan dan mencari makan bagi anak ikan dan hewan karang lainnya.

Tempat asuhan dan mencari makan bagi anak ikan dan hewan karang lainnya.

Panduan Teknis Perencanaan Kawasan Lindung

10

2.2.3. Ekosistem Estuaria Estuaria adalah suatu perairan semi tertutup yang berada di bagian hilir sungai dan masih berhubungan dengan laut, sehingga memungkinkan terjadinya percampuran antara air tawar dan air laut. Kebanyakan estuaria didominasi oleh substrat lumpur yang berasal dari endapan yang dibawa oleh air tawar maupun air laut. Karena partikel yang dibawa bersifat organik, biasanya substrat dasar estuaria kaya akan bahan organik yang menjadi cadangan makanan utama bagi organisme estuaria. Parameter lingkungan utama untuk ekosistem estuaria adalah (1) sirkulasi air, yang dipengaruhi oleh pasang surut dan aliran sungai (2) partikel tersuspensi dan (3) kandungan polutan. 2.3. Konsep Penataan Tata Ruang/Rencana Zonasi Kawasan Lindung Salah satu tujuan penataan ruang dalam UU No. 27 Tahun 2007 dan PP No. 26 Tahun 2008 adalah Terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang wilayah pada kawasan lindung dan kawasan budidaya. Merujuk pada pernyataan ini maka kawasan lindung mempunyai peran yang sangat penting sehingga diamanatkan untuk mengatur pemanfaatan ruangnya. Tujuan dari pengelolaan kawasan lindung adalah untuk mencegah timbulnya kerusakan fungsi lingkungan hidup (Keppres no. 32 tahun 1990). Adapun sasaran dari pengelolaan kawasan lindung tersebut adalah meningkatkan fungsi lindung terhadap tanah, air, iklim, tumbuhan dan satwa serta nilai sejarah dan budaya bangsa dan mempertahankan keanekaragaman tumbuhan, satwa, tipe ekosistem dan keunikan alam. Ruang lingkup kawasan lindung terdiri atas : Kawasan yang memberikan perlindungan ke bawahnya; terdiri dari kawasan perlindungan setempat yang mencakup kawasan hutan lindung, kawasan bergambut dan kawasan resapan air. Panduan Teknis Perencanaan Kawasan Lindung 11

Kawasan perlindungan setempat yang terdiri dari sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar waduk/danau dan kawasan sekitar mata air. Kawasan suaka alam dan cagar budaya yang mencakup kawasan suaka alam, kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam serta kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan. Adapun kedudukan kawasan lindung dalam penataan ruang dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2 Posisi Kawasan Lindung dalam Penataan Ruang

ASPEK PRODUK RTRW Nasional

ASPEK LEGAL

Kawasan Lindung Nasional

Keppres No. 47 Tahun 1997

RTRW Provinsi

Kawasan Lindung Propinsi

Perda Provinsi ttg RTRW

Petunjuk Teknis Kepmen 34 tahun 2002


RTRW Kabupaten / Kota

Lokasi kawasan lindung

Perda Kab/ Kota ttg RTRW

RDTR Kawasan

RDTR Kawasan Konservasi

Perda Kab/ Kota ttg RDTR

2.4. Potensi Pengembangan Kawasan Lindung Kawasan konservasi di laut, pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki peran utama sebagai berikut (Argady, 1997; Barr et al, 1997) : 1. Melindungi keanekaragaman hayati serta struktur, fungsi dan integritas ekosistem. Kawasan lindung dapat berkontribusi untuk mempertahankan keanekaragaman hayati pada semua tingkat trifik ekosistem, melindungi hubungan jaringan makanan, dan proses-proses ekologis di dalam ekosistem;
Panduan Teknis Perencanaan Kawasan Lindung

12

2. Meningkatkan hasil perikanan, kawasan lindung dapat melindungi daerah pemijahan, pembesaran, dan mencari makanan; meningkatkan kapasitas reproduksi dan stok sumberdaya ikan; 3. Menyediakan tempat rekreasi dan pariwisata (Eco tourism), kawasan lindung dapat menyediakan tempat untuk kegiatan rekreasi dan pariwisata alam yang bernilai ekologis dan estetika. Perlindungan terhadap tempattempat khusus bagi kepentingan rekreasi dan pariwisata (seperti pengaturan dermaga perahu/kapal, tempat jangkar dan jalur pelayaran) akan membantu mengamankan kekayaan dan kergaman daerah rekreasi dan pariwisata yang tersedia di sepanjang pesisir, laut dan pulau-pulau kecil; 4. Memeperluas pengetahuan dan pemahaman tentang ekosistem, kawasan lindung dapat meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap ekosistem laut, pesisir dan pulau-pulau kecil; menyediakan tempat yang relatif tidak terganggu untuk observasi dan monitoring jangka panjang; dan berperan penting bagi pendidikan masyarakat yang berkaitan dengan pentingnya konservasi laut dan dampak aktivitas manusia terhadap keanekaraman hayati laut; 5. Memberikan manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat pesisir, kawasan lindung dapat membantu masyarakat pesisir dalam mempertahankan basis ekonomisnya melalui pemanfaatan sumberdaya dan jasa-jasa lingkungan secara optimal dan berkelanjutan.

Panduan Teknis Perencanaan Kawasan Lindung

13

BAB III RENCANA TATA RUANG/RENCANA ZONASI KAWASAN LINDUNG WILAYAH PESISIR 3.1. Prinsip Penyusunan Rencana Tata Ruang/Rencana Zonasi Kawasan Lindung Prinsip-prinsip penataan ruang untuk kawasan lindung adalah: 1. Mengenali Tipe/Klasifikasi Calon Kawasan Lindung; o Tidak berpenghuni dan jarang dikunjungi o Tidak berpenghuni dan dikunjungi secara reguler o Berpenghuni dengan kegiatan ekonomi subsisten o Berpenghuni dengan kegiatan ekonomi perdagangan dan tercipta aktivitas ekspor/import kebutuhan pokok 2. Menetapkan desain dan strategi pengelolaan berdasarkan klasifikasi pulau / lokasi; 3. Mengenali ancaman terhadap habitat pulau dari aktivitas manusia/lingkungan; 4. Penetapan Calon Kawasan Lindung 5. Ekosistem / biota / habitat apa saja yang akan dilindungi 6. Luasan Kawasan Lindung 3.2. KERANGKA BERFIKIR Dalam menyusun Rencana Tata Ruang/Rencana Zonasi Kawasan Lindung maka harus mengacu pada Rencana Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau pulau Kecil Wilayah (RTRW)/ Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Propinsi / Kabupaten / Kota wilayah tersebut. Unit unit wilayah untuk kawasan lindung dalam RTRW Propinsi / Kabupaten / Kota adalah : 1. Kawasan sepadan pantai dan sepadan sungi 2. Kawasan hutan yang terletak di pesisir 3. Kawasan bergambut 4. Kawasan suaka alam 5. Kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya 6. Kawasan pantai berhutan mangrove (bakau 7. Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam 8. Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan Panduan Teknis Perencanaan Kawasan Lindung 14

9. Kawasan rawan bencana alam Kawasan kawasan lindung ini akan dapat di detailkan dalam suatu Rencana Detail Tata Ruang (RDTR)/Rencana Zonasi Rinci (RZR) Kawasan Lindung, dimana mempunyai skala perencanaan yang lebih besar. Alur berfikir penyusunan tata ruang suatu kawasan lindung sehingga menjadi suatu rencana detail adalah sebagai berikut
Gambar 3 Alur Berfikir Penataan Ruang Kawasan Lindung
Keterwakilan ekosistem Keaslian (originality) Keunikan (uniquiness) Kelangkaan (rarity) Laju Kepunahan Keberadaan/Keutuhan Ekosistem Keutuhan Kawasan Luasan Keindahan alam Kenyamanan alam (nature amenites) Aksesibilitas Nilai sejarah Tekanan penduduk Aspirasi masyrakat

Penilaian Kawasan Lindung

Unit unit Wilayah Untuk kawasan Lindung

Kawasan Lindung

PARAMETER

Penyusunan RTRW Pesisir Propinsi / Kota

RDTR Kawasan Lindung

3.3. Pemilihan Lokasi Kawasan Lindung Parameter pemilihan kawasan lindung di Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengacu pada Penetapan Kriteria Baku Kawasan Konservasi Laut yang dikeluarkan Ditjen PHPA (1995) adalah : 1. Kehendak Politik. Parameter ini dinilai dengan memberikan jawaban YA atau TIDAK terhadap penunjukkan atau penetapan kawasan konservasi. Apabila pemerintah menyatakan YA maka penilaian/proses penunjukkan dilakukan dengan menilai karakteristik kawasan. Sebaliknya, apabila pemerintah menyatakan TIDAK maka proses penilaian tidak dilanjutkan.
Panduan Teknis Perencanaan Kawasan Lindung

15

2. Keperwakilan Parameter ini dinilai dengan mempertimbangkan apakah ekosistem/habitat yang bersangkutan sudah termasuk kedalam jaringan kawasan yang dilindungi (konservasi) di suatu wilayah biogeografi atau pulau. Jika sudah termasuk, maka untuk menghitung keperwakilan ini dapat menggunakan rumus : Pr = { 1 (Eec/Ees)} x 100 %.

Dimana : Pr = Keperwakilan dalam persen Eec Ees = = Jumlah ekosistem yang dinilai dan sudah tercakup kawasan konservasi Jumlah sebaran ekosistem yang dinilai di suatu wilayah atau pulau.

Nilai yang diberikan terhadap hasil perhitungan keperwakilan di atas adalah : > 80 % 60 79 % 40 59 % 20 39 % < 20 % = sangat mewakili = lebih dari mewakili = mewakili = kurang mewakili = tidak mewakili =5 =4 =3 =2 =1

3. Keaslian (originality) Parameter ini dinilai dengan menghitung persentase campur tangan manusia pada ekosistem/habitat yang bersangkutan. Dalam hal ini, campur tangan manusia dinilai dengan menghitung luasan ekosistem/kawasan yang digunakan. Perhitungan keaslian ekosistem/habitat dilakukan dengan menggunakan rumus : Or = { 1 (Am/An)} x 100 %

Panduan Teknis Perencanaan Kawasan Lindung

16

Dimana : Or = Am = An =

dalam proses luasan ekosistem binaan/buatan luasan ekosistem yang dinilai

Apabila persen keaslian telah didapat, maka dinilai sebagai berikut : > 80 % 60 79 % 40 59 % 20 39 % < 20 % = sangat asli =5 = lebih dari asli = 4 = asli = kurang asli = tidak asli

=3 =2 =1

4. Keunikan/Kekhasan (uniquiness) Parameter ini dinilai dengan melihat keberadaan atau kekayaan jenis satwa dan atau tumbuhan pada suatu kawasan/habitat yang dinilai atau ekosistem di dalam suatu wilayah biogeografi atau pulau. Nilai keunikan ini diperhitungkan dengan memperhatikan jenis satwa atau tumbuhan atau ekosistem yang dinilai terdapat di tempat lain atau tidak. Nilai yang diberikan untuk masing-masing tingkatan adalah : Internasional/regional Nasional Wilayah biogeografi Propinsi Lokal = sangat unik = lebih dari unik = 4 = unik = kurang unik = tidak unik =5 =3 =2 =1

5. Kelangkaan (rarity) Parameter ini dinilai dengan menghitung penyebaran jenis satwa atau tumbuhan atau ekosistem/habitat di dalam suatu wilayah biogeografi. Perhitungan dilakukan dengan memperbandingkan jumlah ekosistem yang dinilai dengan/terhadap jumlah seluruh jenis satwa atau tumbuhan atau ekosistem/habitat yang terdapat di dalam wilayah biogeografi yang bersangkutan.
Panduan Teknis Perencanaan Kawasan Lindung

17

Perhitungan kelangkaan dilakukan dengan menggunakan rumus : Section 1.01 Dimana : La = Ee = Eat = La = Ee/Eat x 100 %

kelangkaan dalam proses jumlah ekosistem yang dinilai jumlah seluruh ekosistem wilayah/pulau.

dalam

suatu

Nilai yang diberikan terhadap hasil perhitungan keperwakilan di atas adalah : > 80 % = sangat langkai =5 60 79 % = lebih dari langka =4 40 59 % = langka =3 20 39 % = kurang langka = 2 < 20 % = tidak langka =1 6. Laju Kepunahan (rate of exhaustion) Parameter ini dinilai dengan menghitung kecepatan berkurangnya suatu jenis satwa dan atau tumbuhan atau ekosistem/habitat dalam suatu satuan waktu tertentu. Untuk ini diperlukan data keberadaan kawasan yang merupakan data seri. Laju kepunahan dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : (Eao Eai) = ------------------ x 100 % I

Lk

laju kepunahan jumlah jenis atau luasan ekosistem pada tahun ke 0 Eai = jumlah jenis atau luasan ekosistem pada tahun ke I I = jumlah tahun perubahan berlangsung. Panduan Teknis Perencanaan Kawasan Lindung 18

Dimana : Lk = Eao =

Selain itu, diperlukan pengetahuan mengenai keberadaan jenis satwa atau tumbuhan atau ekosistem/habitat yang sama di wilayah biogeografi yang bersangkutan. 7. Keberadaan/Keutuhan integrity) Ekosistem (ecosystem

Parameter ini dinilai dengan melihat kelengkapan rantai/siklus makanan (food cycle), yaitu dengan melihat mangsa/makanan dan pemangsa dari suatu jenis satwa sebagai komponen penyusun suatu ekosistem. Oleh karena itu nilai keutuhan ekosistem merupakan nilai relatif yang harus dikaitkan dengan tujuan utama penetapan kawasan yang bersangkutan. Nilai yang diberikan untuk parameter ini adalah : sangat lengkap =5 lebih dari lengkap =4 lengkap =3 kurang lengkap =2 tidak lengkap =1 8. Keutuhan kawasan (intactness) Parameter ini dinilai dengan menghitung persentase jenis atau kawasan yang telah dimanfaatkan oleh manusia. Cara perhitungan keutuhan kawasan adalah dengan menggunakan rumus : Section 1.02 Dimana : In = Esm Eso = = In = (Esm/Eso) x 100 %

keutuhan kawasan/sumberdaya alam persen jumlah sumberdaya yang dimanfaatkan jumlah sumberdaya asal

dalam

Nilai yang diberikan terhadap hasil perhitungan di atas adalah : > 80 % = tidak utuh =5 60 79 % = kurang utuh =4
Panduan Teknis Perencanaan Kawasan Lindung

19

40 59 % 20 39 % < 20 %

= utuh = lebih dari utuh = 2 = sangat utuh

=3 =1

9. Luasan (size of area) Parameter ini dinilai dengan mempertimbangkan wilayah jelajah (home range) dari satu atau beberapa jenis satwa yang menjadi target perlindungan atau dengan melihat luasan asosiasi/habitat jenis tumbuhan atau ekosistem dimaksud. Nilai yang diberikan didasarkan pada persen peliputan dari wilayah jelajah dan atau ekosistem/habitat. Rumus yang digunakan adalah :

L Dimana : L = Ele = Elk =

= (Ele/Elk) x 100 %

nilai luasan dalam persen luasan wil;ayah jelajah/ekosistem/habitat luasan kawasan yang diusulkan.

Nilai yang diberikan terhadap hasil perhitungan di atas adalah > 80 % = sangat terliput = 5 60 79 % = lebih dari terliput =4 40 59 % = terliputi =3 20 39 % = kurang terliput =2 < 20 % = tidak terliput =1 10. Keindahan alam (natural beauty). Untuk menilai keindahan alam, diperlukan daftar pertanyaan (questionaire) terhadap para pengunjung kawasan yang dinilai atau masyarakat yang mengetahui keadaan kawasan secara tepat. Hal ini mengingat keindahan merupakan nilai relatif yang diberikan oleh seseorang. Nilai yang diberikan untuk parameter ini sangat bergantung pada jumlah responden yang menyepakati bahwa kawasan yang dinilai termasuk dalam kategori indah. Perhitungan keindahan alam dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Panduan Teknis Perencanaan Kawasan Lindung 20

Ka Dimana : Ka = Ers = Ero =

= (Ers/Ero) x 100 %

nilai keindahan alam dalam persen jumlah responden yang sepakat mengatakan indah jumlah seluruh responden

Keindahan yang dipertimbangkan/dinilai adalah keindahan alami, tidak termasuk buatan manusia/binaan. Nilai yang diberikan untuk hasil perhitungan di atas adalah : > 80 % = sangat indah =5 60 79 % = lebih dari indah =4 40 59 % = indah =3 20 39 % = kurang indah =2 < 20 % = tidak indah =1

Penjabaran/pendetailan pengaturan ruang suatu kawasan lindung dituangkan dalam Rencana Detail Tata Ruang/Rencana Zonasi Kawasan Lindung dengan skala 1 : 25.000 dan atau lebih besar. 3.4. Kriteria Penentuan Zonasi Kawasan Lindung Dalam menentukan zonasi kawasan lindung beberapa kriteria yang harus diperhatikan yaitu : terdapat

1. Kriteria Ekologi; Keanekaragaman hayati didasarkan pada keanekaragaman atau kekayaan ekosistem, habitat, komunitas dan jenis biota. Lokasi dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, harus memperoleh nilai paling tinggi. Kealamian didasarkan pada tingkat degradasi. Kawasan pesisir yang terdegradasi mempunyai nilai yang rendah, misalnya bagi kegiatan perikanan atau wisata, dan sedikit berkontribusi dalam proses-proses biologis. Panduan Teknis Perencanaan Kawasan Lindung 21

Ketergantungan didasarkan pada tingkat ketergantungan spesies pada lokasi, atau tingkat dimana ekosistem tergantung pada proses-proses ekologis yang berlangsung di lokasi. Keterwakilan didasarkan pada tingkat dimana satu lokasi mewakili suatu tipe habitat, komunitas biologi, ciri biologi dengan proses ekologisnya atau karakteristik alam lainnya. Keunikan didasarkan keberadaan suatu spesies endemik atau yang hampir punah. Integritas didasarkan pada tingkat dimana satu lokasi merupakan suatu unit fungsional dari entitas ekologi. Produktivitas : didasarkan pada tingkat dimana proses-proses produktif di lokasi memberikan manfaat atau keuntungan bagi jenis-jenis biota tertentu dan manusia. Kerentanan : didasarkan pada kepekaan lokasi terhadap degredasi lingkungan yang berasal dari pengaruh alam atau akibat aktivitas manusia.

2. Kriteria Oseanografi Berjarak aman dari sumber kegiatan/aktivitas manusia yang dapat menimbulkan dampak negatif. Jarak aman ini ditentukan oleh tipe pasang surut (pasut) dan kecepatan arus pasut di kawasan tersebut; Berjarak aman dari muara sungai yang berpotensi menurunkan mutu kondisi lingkungan dimana kawasan lindung itu berada. Jarak aman ini ditentukan oleh tipe pasang surut (pasut) dan kecepatan arus pasut di kawasan tersebut; Sirkulasi massa air laut yang baik; Lokasi kawasan lindung harus sesuai dengan peruntukannya. Misalnya untuk kawasan terumbu karang berlokasi di perairan terbuka, sedangkan untuk hutan mangrove berada pada daerah yang terlindung; Batimetri dan keadaan geografis yang sesuai dengan peruntukan kawasan lindungnya. Untuk kawasan terumbu karang batimetrinya cukup dalam dan curam, sedangkan untuk hutan mangrove dangkal dan landai; Karakteristik fisik perairan yang sesuai untuk peruntukannya. Misalnya untuk kawasan terumbu Panduan Teknis Perencanaan Kawasan Lindung 22

karang arus yang deras dan gelombang besar, sedangkan untuk hutan mangrove berlaku sebaliknya.
Tabel 2 Parameter Utama Baku Mutu Pemilihan Lokasi Perairan Untuk Kawasan Lindung

3. Kriteria Sosial Tingkat dukungan masyarakat sekitar, yaitu sejauh mana masyarakat lokal mendukung keberadaan kawasan lindung tersebut. Kesehatan masyarakat, yaitu sejauh mana keberadaan kawasan lindung dapat mengurangi
Panduan Teknis Perencanaan Kawasan Lindung

23

dampak polusi atau faktor penyakit yang dapat mengancam kesehatan masyarakat. Rekreasi, yaitu sejauh mana kawasan lindung dapat digunakan sebagai tempat rekreasi bagi masyarakat. Budaya, yaitu nilai-nilai religi, sejarah, seni dan budaya yang dimiliki oleh kawasan tertentu. Estetika, yaitu nilai keindahan yang dimiliki oleh kondisi alam kawasan tersebut. Konflik kepentingan, yaitu sejauh mana kawasan lindung mempengaruhi kegiatan masyarakat lokal. Keamanan, yaitu tingkat bahaya yang dapat ditimbulkan dan dapat membahayakan masyarakat (akibat arus kuat, ombak, longsoran tanah dan bahaya lainnya). Aksesibilitas, yaitu tingkat kemudahan akses baik melalui daratan dan lautan. Penelitian dan Pendidikan, yaitu sejauh mana suatu daerah dengan kekayaan karakteristik ekologis dapat digunakan sebagai sumber penelitian dan ilmu pengetahuan. Kesadaran publik, didasarkan pada tingkat kesadaran masyarakat, dimana monitoring, penelitian, pendidikan atau pelatihan di dalam lokasi dapat berkontribusi pada pengetahuan, apresiasi nilai-nilai lingkungan dan tujuan konservasi.

4. Kriteria Ekonomi Spesies penting : didasarkan pada tingkat dimana spesies dengan nilai ekonomis penting sangat bergantung pada satu lokasi. Kepentingan perikanan : didasarkan pada jumlah nelayan yang tergantung pada lokasi penangkapan serta volume hasil tangkapan. Bentuk ancaman : didasarkan pada luasnya perubahan pola pemanfaatan ruang yang mengancam keseluruhan nilai lokasi bagi manusia. Manfaat ekonomi : didasarkan pada tingkat dimana perlindungan suatu lokasi akan berpengaruh pada nilai ekonomi lokal dalam jangka panjang. Pariwisata : didasarkan pada nilai keberadaan atau potensi lokasi bagi pengembangan pariwisata. Panduan Teknis Perencanaan Kawasan Lindung 24

5. Kriteria Regional Tingkat Kepentingan Regional Mewakili karakteristik regional setempat, baik itu alam, proses ekologis, maupun budaya. Merupakan daerah migrasi beberapa spesies, serta dapat memberikan kontribusi untuk pemeliharaan berbagai spesies. Tingkat Kepentingan Sub-Regional Memiliki dampak posistif terhadap sub regional lainnya yang tidak dijadikan kawasan lindung. 3.5. Analisis Penentuan Zonasi Kawasan Lindung Dalam menentukan lokasi mana yang sesuai (suitable) untuk dijadikan sebagai kawasan konservasi pesisir dan laut digunakan pendekatan spasial, dengan memasukkan kriteria kriteria kesesuaian ruang untuk kawasan konservasi pesisir dan laut. Secara garis besar alur pemikiran yang digunakan dalam menentukan zonasi kawasan lindung dapat dilihat padagambar berikut :
Gambar 4 Alur Berfikir Penyusunan RDTR Kawasan Lindung

Panduan Teknis Perencanaan Kawasan Lindung

25

Untuk penentuan zona inti, zona penyangga dan zona pemanfaatan terbatas, disesuaikan dengan kriteria masing masing tipe kawasan lindung. 3.6 Rencana Detail Tata Ruang/Rencana Zonasi Rinci Kawasan Lindung 3.6.1. Struktur Ruang Kawasan Lindung Struktur Ruang Kawasan Lindung secara umum dibagi dalam 3 (tiga) zona yaitu : Zona Inti : Zona inti merupakan area yang memiliki nilai konservasi tinggi yang sangat rentan terhadap gangguan dari luar sehingga diupayakan intervensi manusia di dalamnya seminimal mungkin. Dalam pengelolaannya, zona ini harus mendapat perlindungan yangmaksimum. Kegiatan yang dapat dilakukan pada zona ini antara lain penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan; ilmu pengetahuan; pendidikan; kegiatan penunjang budidaya; dan wisata alam terbatas.

Zona Penyangga : Zona penyangga merupakan zona perlindungan yang didalamnya terdapat satu atau lebih zona inti. Zona ini biasanya terdiri dari satu atau lebih vegetasi alamiah yang harus disisakan di sepanjang perairan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Zona ini berfungsi untuk menjebak sedimentasi dan melindungi kualitas air. Zona penyangga dapat dimanfaatkan secara sangat terbatas, yang didasarkan atas pengaturan yang ketat. Zona Pemanfaatan Terbatas : Zona ini masih memiliki nilai konservasi tertentu, tapi dapat mentolerir berbagai tipe pemanfaatan oleh manusia, dan layak bagi beragam kegiatan eksploitasi yang diizinkan dalam suatu kawasan lindung. Zona ini didapatkan melalui proses pemilihan secara akademis dan kemauan politik. Panduan Teknis Perencanaan Kawasan Lindung 26

Sumber : Modifikasi dari Salm dan Clark Vide Satria et.al (2002)

Adapun model struktur ruang dijelaskan dalam gambar berikut :

kawasan

lindung

dapat

Gambar 5 Model Struktur Ruang Kawasan Lindung

Berikut ditunjukkan melalui tabel dibawah ini hubungan antar komponen untuk kegiatan konservasi
Panduan Teknis Perencanaan Kawasan Lindung

27

Tabel 3 Hubungan Antar Komponen Konservasi

3.6.2. Aplikasi Rencana Detail Kawasan Lindung untuk Terumbu Karang Secara khusus penataan ruang Kawasan Lindung Terumbu Karang bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara tingkat kehilangan spesies dengan migrasi spesies pengganti, atau terjadinya suatu EQUILIBRIUM. (Salm & Clark, 2000) Untuk itu dalam menyusun RDTR Kawasan Lindung Terumbu Karang perlu diperhatikan prinsip prinsip berikut : Wilayah perencanaan untuk kawasan lindung terumbu karang tidak hanya meliputi area yang terdapat terumbu karang tapi juga wilayah sekitarnya yang dapat memberikan pengaruh terhadap ekosistem terumbu karang

Panduan Teknis Perencanaan Kawasan Lindung

28

Terumbu karang sangat terkait dengan proses dinamis perairan (arus, sungai, pergerakan spesies, perubahan suhu, perubahan kualitas air) Zona inti sebaiknya dapat melindungi seluruh terumbu karang Pengguna terumbu karang tradisional hendaknya ikut berpartisipasi dan terintegrasi dalam manajemen pengelolaan terumbu karang.

Dalam menyusun RDTR Kawasan Lindung Terumbu Karang langkah pertama yang harus dilakukan adalah menentukan batas luar suatu kawasan lindung yang nantinya akan menghasilkan luas keseluruhan suatu kawasan lindung. Pendekatan yang digunakan dalam menentukan luas optimum dapat melalui kedua pendekatan berikut : Pendekatan keanekaragam biologi Ukuran optimal adalah wilayah dimana seluruh spesies terumbu karang dapat memperbarui dirinya sendiri. Dengan menggunakan pendekatan ini maka wilayah batas perencanaan meliputi ekosistem ekosistem yang mempengaruhi kehidupan ekosistem terumbu karang, seperti ekosistem mangrove, estuary dan laguna Pendekatan spesies khusus Ukuran optimal dapat lebih kecil karena hanya mempertimbangkan wilayah pembiakan / pembesaran populasi spesies tersebut Langkah selanjutnya adalah menentukan luas zona inti. Luasan zona inti dapat dilakukan dengan menentukan batas kritis minimum dengan langkah langkah berikut : 1. Wilayah sampel seluas sekitar 300 ha. 2. Tentukan transek, dengan total tutupan genera dan sub genera mencapai 95 % atau sampai ditemukan tipe karang baru 3. Jika tutupan 95 % tidak tercapai, perluas wilayah terumbu karang dan ulangi langkah 1 & 2 4. Jika tutupan 95 % terpenuhi, pilih terumbu karang lain pada wilayah tersebut yang memiliki ciri ciri khusus (unik) dan ulangi langkah 1 & 2

Panduan Teknis Perencanaan Kawasan Lindung

29

5. Jika kedua terumbu karang tersebut tidak mencapai 95 % tutupan, maka kedua terumbu karang tersebut dilakukan langkah 1, 2 & 3 6. Jika kedua terumbu karang tersebut mencapai 95 % tutupan, maka pilih terumbu karang ketiga dan ulangi langkah 1, 2 & 3 7. Jika ketiga terumbu karang tersebut tidak mencapai 95 % tutupan, maka perluas wilayah, sampai mencapai tutupan 95 %. Rata rata luas dari ketiga terumbu karang tersebut adalah luas zona inti. Setelah ditentukan batas zona inti maka zona penyangga dan pemanfaatan terbatas ditentukan berdasarkan tingkat keterpengaruhan terhadap zona inti. Zona inti difokuskan untuk menjaga keseimbangan biota, zona inti merupakan yang bebas dari kegiatan manusia, kecuali untuk penelitian dengan izin dan pengawasan khusus. Untuk kegiatan diving spot di kawasan terumbu karang, perlu diatur mengenai penurunan jangkar kapal atau berlabuhnya kapal pada radius aman dan tidak merusak terumbu karang. Selain itu harus ada peraturan dan perundang-undangan yang memberikan sanksi berat kepada pelaku pemboman, peracunan dan kegiatan perusakan di daerah zona inti. Peraturan dan perundangan tersebut harus diimbangi dengan pengawasan yang tegas dan ketat. Sementara arahan kegiatan untuk zona penyangga adalah kegiatan yang tidak bersifat permanen dan memberikan dampak langsung terhadap ekosistem terumbu karang. Kegiatan yang direkomendasikan untuk zona penyangga ini adalah kegiatan wisata bahari dan perikanan tradisional. Kegiatan wisata yang dapat dilakukan di zona penyangga adalah menyelam, snorkeling. Wisatawan tidak di izinkan menginap di zona penyangga. Lokasi buang jangkar untuk penyelam harus pada lokasi yang tidak terdapat terumbu karang. Jika tidak memungkinkan dapat dilakukan pelampung tambatan di kedalaman air lebih dari 20 meter bagi kapal atau perahu yang berukuran di atas 10 GT;
Panduan Teknis Perencanaan Kawasan Lindung

30

Untuk kegiatan perikanan tradisional di zona ini harus diatur mengenai alat tangkap yang digunakan. Jaring pukat sebaiknya tidak diizinkan digunakan di zona ini, begitu juga dengan jaring dengan pemberat besi yang akan menyapu dasar laut. Penangkapan dengan pengeboman atau dengan meracun ikan sangat terlarang. Penangkapan ikan hias juga harus dibatasi dengan kuota. Kegiatan perikanan budidaya dapat dilakukan selama tidak menghasilkan limbah. Tambak tidak diperbolehkan di zona penyangga. Kegiatan perikanan tangkap yang dapat dikembangkan di wilayah perairan yang termasuk zona konservasi atau zona pemanfaatan di kawasan lindung bersifat terbatas dengan menggunakan teknologi penangkapan spesifik sesuai dengan karakteristik sumberdaya ikan dan kondisi perairannya, sehingga tidak menimbulkan gangguan yang berarti terhadap ekosistem perairan tersebut. Untuk pengembangan dan alokasi aktivitas pennagkapan di kawasan lindung, diperlukan data potensi sumberdaya ikan atau stok ikan yang ada di suatu perairan termasuk kelimpahan dan jenisnya, karakteristik hidro-oseanografi, musim dan daerah penangkapan ikan, jenis teknologi penangkapan yang sesuai, ketersediaan sumberdaya manusia (nelayan), sarana dan prasrana penunjang, serta akses pasar. Hal lain yang harus diperhatikan adalah pengaturan moda transportasi. Dalam desain rencana pengaturan ruang harus terdapat jalur kapal boat untuk menuju zona penyangga dan jalur dalam zona penyangga. Jenis kapal boat yang dizinkan harus termuat dalam dokumen RDTR. Pada zona pemanfaatan terbatas maka jenis kegiatan yang dapat dilakukan sedikit lebih longgar, tetapi dengan pengaturan yang ketat. Pada zona ini maka kegiatan yang bersifat permanen dapat dilakukan sebagai zona pendukung untuk zona inti dan zona penyangga. Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain : 1. Lokasi kantor pengelola Kawasan Lindung 2. Cottage, penginapan dan tourist center untuk kegiatan wisata; 3. Permukiman nelayan Panduan Teknis Perencanaan Kawasan Lindung 31

4. 5. 6. 7.

Budidaya perikanan Pertanian non intensif Industri rumah tangga Pengaturan limbah
Gambar 6. Model Rencana Pengaturan Ruang Kawasan Lindung Terumbu Karang

3.6.3. Aplikasi Rencana Detail Kawasan Lindung untuk Estuaria Konsep Pendekatan dalam menyusun Rencana Detail Kawasan Lindung Estuaria adalah : Pada wilayah estuaria yang kecil dan tidak mengalami konflik dengan pemanfaatan ruang yang berorientasi ekonomi tinggi, maka pendekatan ekologi lebih mudah untuk diterapkan Sementara pada kawasan yang luas dan memiliki konflik dengan pemanfaatan ruang yang berorientasi ekonomi
Panduan Teknis Perencanaan Kawasan Lindung

32

tinggi seperti pelabuhan, industri dan permukiman maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan institusi Wilayah perencanaan kawasan estuari memungkinkan kawasan diluar estuaria sebagai kawasan pengaruh. Pendekatan ZOI (Zone of Influence) atau wilayah pengaruh dapat diterapkan. Wilayah ZOI bisa sangat luas tergantung sejauh mana wilayah hulu memberikan pengaruh terhadap estuaria. Dalam Jaringan ZOI terdiri dari institusi institusi yang memiliki kewenangan di daerah yang mempengaruhi estuaria dan juga kewenangan di laut. Pendekatan ini memungkinkan pengelola kawasan lindung untuk bernegosiasi dalam mengontrol kegiatan diluar kawasan estuari Adapun prinsip prinsip dalam menyusun Rencana Detail Kawasan Lindung Estuaria adalah : Aktivitas diluar estuary yang dapat mempengaruhi keseimbangan air (kualitas & kuantitas) harus dikelola dengan baik Tidak semua laguna dan estuaria mempunyai nilai untuk semua kegiatan Zonasi kawasan lindung harus didasarkan pada survey untuk mengklasifikasi habitat berdasarkan nilai dan kegunaan Langkah awal dalam menyusun Rencana Detail Kawasan Lindung Estuaria adalah menentukan batas luar wilayah. Pendekatan dalam menentukan batas luar wilayah yaitu : Seluruh estuaria adalah kawasan lindung Hanya sebagian dari estuaria yang dijadikan kawasan lindung Setelah menentukan luasan dan batas luar wilayah perencanaan maka disusun suatu struktur ruang kawasan lindung. Berbeda dengan model struktur ruang kawasan lindung pada umumnya maka untuk kawasan estuari struktur ruangnya terdiri dari : 1. Zona Inti 2. Zona Penyangga 3. Wilayah Pengaruh;
Panduan Teknis Perencanaan Kawasan Lindung

33

Zona Inti pada kawasan lindung estuari terdiri dari wilayah wilayah : 1. Wetland 2. Mangrove 3. Rumput dan alang alang 4. Spesies khusus 5. Wilayah yang menghadap ke laut Zona inti merupakan kawasan bebas kegiatan manusia kecuali untuk penelitian dan pendidikan. Zona penyangga merupakan zona yang mendukung keberadaan kawasan lindung, yang terdiri dari habitat habitat sekitar estuaria, yaitu : 1. Padang lamun 2. Algae 3. Terumbu Karang 4. Gumuk pasir 5. Pulau penghalang 6. Pantai 7. Daerah Endapan Kegiatan yang dapat dilakukan di kawasan penyangga ini adalah : 1. Wisata Pantai dan Wisata Bahari; Di kawasan penyangga ini dapat di alokasikan untuk cottage dalam jumlah yang tidak masif. Kuota pengunjung juga perlu diterapkan untuk menghindari dampak negatif. Jenis atraksi wisata yang dapat dilakukan antara lain menyelam, berenang, snorkling, sight seeing. 2. Perikanan tradisional; untuk menjaga keseimbangan air di kawasan estuari maka kegiatan perikanan yang akan menghasilkan limbah cair sebaiknya tidak diizinkan, seperti tambak. Budidaya rumput laut, keramba jaring, rakit kerang dapat di lakukan. Untuk kegiatan penangkapan tradisional dapat dilakukan pada zona penyangga dengan pengaturan alat tangkap yang ketat. 3. Penelitian dan pendidikan 4. Kantor pengelola kawasan lindung

Panduan Teknis Perencanaan Kawasan Lindung

34

Wilayah pengaruh dapat meliputi daerah yang sangat luas. Penarikan batas wilayah pengaruh didasarkan pada prinsip bahwa suplai air adalah sangat vital bagi kelangsungan kawasan estuari. Sumber air bagi kawasan estuari adalah : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Daerah resapan sungai badan air air tanah air permukaan (run off) hujan air laut

Wilayah pengaruh secara legal tidak termasuk kawasan lindung estuari, tetapi perlu ada pengaturan karena pengaruhnya yang besar terhadap kelangsungan kawasan estuari. Pendekatan ZOI dapat diterapkan dalam wilayah pengaruh ini.
Gambar 7 Model Rencana Pengaturan Ruang Kawasan Lindung Estuaria

Panduan Teknis Perencanaan Kawasan Lindung

35

DAFTAR PUSTAKA Anonimous, 1998. Small Island Enviromental Management. UNEP Earthwatch, Geneva Dahuri R, 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta John Clark, 1996, Coastal Zone Management Handbook. CRC Press Inc. Florida. Salm R V, John Clark and Erkki Sirilia, 2000. Marine and Coastal Protected Areas. IUCN, Washington DC Tomascik T, Janice Mah M, Nontji A, Kasim Moosa, 1997.The Ecology of The Indonesian Seas Part Two. Periplus Edition. Syd

Panduan Teknis Perencanaan Kawasan Lindung

36

You might also like