You are on page 1of 17

1

Tindakan - Tindakan Amerika Serikat dalam Membendung Pengaruh Cina di Asia Pasifik

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Normalisasi hubungan Republik Rakyat Cina dengan Amerika Serikat sejak berdirinya Republik Rakyat Cina tersebut, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Amerika sudah memulai mencairkan hubungan mereka sejak masa kepemimpinan Presiden Nixon1, namun pihak Amerika sendiri malah tersandung akan tiga tuntutan yang diberikan oleh pihak Beijing akan masalah antara Republik Rakyat Cina dengan Republik Cina yang menguasai Kepulauan Taiwan, Kepulauan Pescadores, Quemoy, dan Kepulauan Matsu. Hubungan ini mulai mencair sejak kepemimpinan Presiden Jimmy Carter, di Amerika Serikat, dengan menyepakati revisi perjanjian normalisasi hubungan kedua Negara, meskipun hal tersebut berarti pelanggaran janji Amerika Serikat terhadap Taiwan. Normalisasi hubungan kedua Negara ini tidak lain turut memepengaruhi kenaikan perdagangan internasional Cina hingga mencapai angka US$82,68 miliar pada tahun 1989. Akan tetapi terjadilah peristiwa dalam negeri Cina yang tidak terduga, yaitu Peristiwa Tiananmen. Hal ini detengarai akibat adanya Politik Pintu
1

Ivan Taniputera, HISTORY OF CHINA (Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2007), hlm. 592

Terbuka yang diterapkan oleh Republik Rakyat Cina. Politik Pintu Terbuka memberi kesempatan bagi masuknya pemikiran-pemikiran asing, termasuk demokrasi Barat yang membuat kaum mahasiswa semakin berpikir kritis terhadap pemerintah. Yang tidak lain merupakan konsekuensi dari reformasi di bidang ekonomi sendiri yang menimbulkan inflasi sekitar 20 hingga 25%, sehingga muncul berbagai macam demonstrasi dan blockade oleh kaum-kaum mahasiswa dan intelektual Cina. Namun pemerintah Cina ternyata memutuskan untuk menyelesaikan konflik tersebut dengan kekerasan militer. Akibat dari peristiwa tersebut, Cina dijatuhi embargo perdagangan oleh negara-negara Barat. Keterpurukan Republik Rakyat Cina akan adanya isolasi dari lingkungan internasional dengan adanya embargo dari Negara-negara Barat -yang berdalih merupakan sanksi yang dijatuhkan- akibat adanya Peristwa Tiananmen tersebut, hingga mengakibatkan ditolaknya permintaan Cina untuk menjadi anggota GATT oleh Amerika2 ini tidaklah berlangsung lama. Sebaliknya Cina mengalami masa keemasannya seiring dengan berawalnya abad baru, abad XXI. Yang diawali dengan perjalanan Deng Xiaoping ke Selatan, yang membawa Cina kepada keterbukaan, ditambah lagi dengan penerapan kebijakan gaige-kaifangnya kembali, pembangunan ekonomi Cina mengalami grafik yang terus menanjak akibat derasnya arus foreign direct investment yang masuk ke Cina. Kembalinya Hong Kong ke Republik Rakyat Cina pada tahun 1997, turut membawa kembali masa kejayaan Cina dan seakan menghapuskan bainan guochi yang menjadikan abad penghinaan bagi Cina. Hingga kemudian resmi diterimanya Cina menjadi anggota World Trade Organization pada akhir 2001 2

I Wibowo & Syamsul Hadi, Merangkul Cina: Hubungan Indonesia-Cina Pasca-Soeharto (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 2

lembaga dunia terakhir yang belum dimasuki oleh Cina3-, membuat Negara ini terus berkembang dan menjalin kembali hubungan perdagangan dengan Negara-negara Eropa Barat, bahkan dengan Amerika Serikat. Walaupun sebelum Cina bergabung dengan WTO dan mengintegrasikan ekonominya ke dalam ekonomi global, isu-isu domestik sangat dipengaruhi oleh bagaimana dunia berdampak pada Cina daripada Cina berdampak pada dunia. Sekarang, Cina menjadi isu penting dalam internasional karena dampak keajaibannya tersebut pada dunia. Hal ini tak lepas dari reformasi ekonomi dan politik yang dilakukan Cina pada era Deng Xiaoping yang masih menegakkan ideologi Komunisnya. Pemerintah Cina sendiri berhasil menjadikan Cina sebagai negara yang maju secara ekonomi. Pemerintah Cina, yang menjalankan prinsip pragmatisme dan kompetensi, telah berhasil membawa Cina ke dalam suatu bentuk kapitalisme dengan karakteristik Cina. Bergabungnya Republik Rakyat Cina ke dalam WTO tak terlepas dari kemajuan ekonomi Cina sendiri yang sangat signifikan. Dimana WTO bagi Negara-negara berkembang tidak menyediakan lapangan permainan yang rata, namun Cina mampu memanfaatkan WTO secara maksimal. Bahkan Cina dapat membuat Negara-negara lain kewalan menghadapi banjir kiriman ekspor dari Cina, termasuk Amerika Serikat. Tidak hanya itu, Cina bahkan mampu ikut mempengaruhi WTO, salah satunya dengan mematahkan perundingan WTO tentang subsidi pertanian hingga membawanya pada deadlock. Ekspor Cina terhadap Amerika Serikat bahkan melibihi impornya sehingga timbul defisit perdagangan yang terus membesar dari tahun ke tahunnya.

Ibid. hlm. 42

Dengan semakin maju, kuat, dan kondusif ekonominya, Cina semakin gencar melakukan ekspansi pasar ke luar negeri, seperti Asia, Amerika, Afrika, dan Eropa untuk memperluas hubungan dagangnya dengan negara lain. Tentunya, ekspansi pasar yang dilakukan oleh Cina semakin mudah dan efisien sejak bergabung dengan WTO karena sejumlah keuntungan perdagangan yang diperoleh Cina dalam prinsip-prinsip sistem perdagangan multilateral yang dikembangkan WTO, seperti tarif dan pajak perdagangan. Namun, ekspansi pasar yang dilakukan Cina tersebut mengakibatkan sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, kewalahan dan geram terhadap produk-produk Cina yang masuk ke dalam negaranya. Dengan produk-produk yang secara kualitas bisa bersaing, Cina praktis mengekspor deflasi karena harga produk-produk Cina yang sangat murah, bahkan ada yang lebih murah dari biaya produksi produk sejenis di banyak negara lainnya. Walaupun pihak Amerika tegas dalam menghambat derasnya arus produk Cina, namun pihak Amerika sendiri seakan-akan menghujati Republik Rakyat Cina dengan berbagai tindakan yang dari pihak Amerika Serikat sendiri mengetahui bahwa hal tersebut akan menimbulkan protes dan memburuknya hubungan diplomatic kedua Negara. Seakan-akan pihak Amerika Serikat mencari-cari kesempatan akan Peristiwa Tiananmen II sehingga mampu menghambat perkembangan ekonomi Cina kembali. Hal inilah yang akan penulis bahas dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah Dari latar belakang tersebut kami akan merumuskan masalah, yaitu:

Bagaimana hubungan diplomatik Republik Rakyat Cina - Amerika Serikat

dibalik pesatnya hubungan ekonomi kedua Negara tersebut?

C. Kerangka Teori Hubungan ekonomi suatu Negara dengan Negara lainnya tidaklah akan luput dari hubungan politik Negara-negara yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan salah satu ilmu studi Ilmu Hubungan Internasional, yakni Ekonomi Politik Internasional. Dalam analisa ekonomi dan analisa mencoba menjawab pertanyaan yang sama, tetapi analisa ekonomi tidak menaruh perhatian pada alokasi power, sebaliknya politik juga tidak menaruh perhatian pada alokasi alokasi sumber daya ekonomi. Dengan menggunakan pemahaman ekonomi politik ini, penulis diharapkan mampu mengkombinasikan kedua analisa tersebut untuk memperoleh pemahaman yang komperhensif terkait masalah-masalah hubungan diplomatic Republik Rakyat Cina dengan Amerika Serikat dibalik perkembangan hubungan ekonomi kedua Negara tersebut. Dalam pembahasan selanjutnya, penulis membatasi masalah ini terkait dengan hal diterimanya cina secara resmi dalam WTO. Yang kemudian hal tersebut membawa kesulitan bagi Negara-negars Barat, khususnya Amerika Serikat yang semakin tersaingi dengan musuh lamanya dalam hal ideology semasa Perang Dingin.

BAB II. PEMBAHASAN

A. Kepentingan Amerika Serikat dalam Pemberian Kesempatan Cina Menjadi Anggota Resmi WTO Pada tahun 2000, Amerika resmi mencabut UU tahun 1974. UU ini mengatur kewajiban Kongres AS untuk tiap tahun mengambil suara dalam rangka memperpanjang hubungan dagang normal dengan Cina atau tidak. Hal ini juga turut menjadi akar ketegangan hubungan Amerika dan Cina. Maka setelah UU ini dicabut, langkah Cina untuk bergabung dalam WTO semakin terbuka dimana selama ini Amerika Serikat selalu menjadi hambatan bagi Cina. Pada akhir tahun 2001 Republik Rakyat Cina resmi menjadi anggota WTO. Hal ini membuka peluang besar bagi Cina untuk terjun ke dalam perdagangan global. Dengan jumlah penduduk mendekati setengah populasi dunia dan kemampuan produksi yang efisien, Cina siap menjadi kompetitor yang patut diperhitungkan. Bagi Amerika sendiri pada mulanya, bergabungnya Cina ke dalam WTO akan memberi keuntungan ganda bagi perdagangan Amerika Serikat sendiri. Selain berhasil menembus pasar ekspor Cina, Amerika juga mendapat kesempatan untuk mengikat Cina dengan kebijakan-kebijakan WTO yang mendukung liberalisasi perdagangan. Dengan terikatnya Cina pada ketentuan organisasi, maka Amerika bisa mengarahkan Cina untuk tidak lagi menjadi kompetitor, melainkan partner. Melalui Kebijakan Quotas and Tariffs, Cina diwajibkan untuk menurunkan tarif atau menambah kuota produk yang diimpornya dari sesama anggota WTO. Hal ini berarti harga produk-produk dari

Amerika Serikat akan mampu bersaing dengan harga produk domestik Cina. Selain menurunkan tarif atau menambah kuota, Cina juga wajib memberikan kesempatan yang sama pada eksportir dan internal supplier. Sedangkan melalui kebijakan Most Favored Nation, Cina tidak diperbolehkan memberikan prioritas perdagangan kepada satu negara tertentu, melainkan membuka kesempatan bagi negara-negara lain untuk bergabung, termasuk Amerika Serikat Selain itu, WTO juga mewajibkan Cina dan negara-negara anggota lainnya untuk melakukan standarisasi dan mengumumkan persyaratan produkproduk yang akan diimpor melalui kebijakan Non Tariff Barriers. Kebijakan ini dimaksudakan agar terjadi transparansi perdagangan dan para pedagang internasional mengerti standar dan persyaratan produk impor mitra dagangnya. Kebijakan lainnya, yaitu Anti-Dumping, melarang Cina, juga negara peserta lainnya, untuk mengekspor produk dengan harga di bawah harga domestik. Hal ini berarti satu keuntungan lagi bagi Amerika Serikat, karena dengan adanya kebijakan anti-dumping diharapkan barang-barang Cina tidak akan membanjiri pasar Amerika. Satu kebijakan WTO lainnya yang juga turut memberikan keuntungan bagi Amerika Serikat adalah Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights Policy. Selama ini Cina mengizinkan pembajakan barang teknologi atau merk apapun. Oleh karena itu, dengan adanya kebijakan ini, produk ekspor Amerika akan dilindungi hak paten dan identitasnya dari pembajakan. Maka bergabungnya Cina ke dalam WTO tidak bisa dilepaskan dari kepentingan Amerika Serikat untuk mengubah kompetitornya menjadi mitra. Tindakan Amerika Serikat tersebut malah berbalik menyerang pihak Amerika. Keterbukaan dan strategi masalisasi produk yang dilakukan Cina

membuat produk-produk Cina semakin kompetitif dan membanjiri pasar internasional sehingga mengungguli produk negara industri lainnya, khususnya Amerika Serikat, ditambah lagi dengan berbagai kemudahan yang Cina dapatkan setelah resmi menjadi anggota WTO. Cina mengancam eksistensi negara industri yang telah mapan sebelumnya karena Cina telah menggeser fokus perekonomiannya dari sektor pertanian menjadi sektor industri manufaktur dan jasa. Kehebatan dan ketangguhan China sudah tidak lagi diragukan. Bahkan Napoleon Bonaparte mengatakan biarkan China terlelap, sebab jika China terbangun, dia akan mengguncang dunia.

B. Berbaliknya

Hubungan

Diplomatik

Cina

Amerika

Serikat

akan

Pertumbuhan Hubungan Ekonomi Kedua Negara Amerika Serikat dalam konstelasi politik internasional, kemajuan pesat ekonomi Cina lantas melahirkan kekhawatiran pada beberapa kalangan AS, yang mulai melihat Cina sebagai ancaman terhadap kepentingan nasional Amerika Serikat. Seiring perkembangan waktu, pertumbuhan hubungan ekonomi Cina Amerika Serikat menjadi berbanding terbalik dengan hubungan diplomatic kedua negara tersebut. Perkembangan ekonomi Cina yang semakin pesat dan tak terkontrol membuat Amerika Serikat merasa kewalahan, bahkan produk Cina mampu membanjiri Amerika sendiri. Keberadaan Cina sebagai ancaman ini, lebih merupakan ancaman yang sifatnya non-militer, dimana kekuatan ekonomilah yang digunakan. Pengaruh WTO terhadap Cina pun menjadi terbalik. Pihak Amerika dan Negara-negara Eropa Barat menganggap Cina berulang kali melanggar

ketentuan-ketentuan WTO. Khususnya pemberian subsidi oleh pemerintah Cina terhadap pengusaha-pengusahanya. Dibalik berkembangnya pertumbuhan ekonomi kedua Negara akibat kerjasama ekonomi yang telah terjalin, ternyata terdapat banyak kerikil terjal persaingan politis diantara keduanya. Hubungan baik Cina dengan Amerika Serikat sesungguhnya telah berakhir sejak peristiwa pembantaian Tiananmen 1989. Sejak saat itu Amerika Serikat melancarkan aneka kritik terhadap Cina, baik berupa pelanggaran hakhak asasi manusia, pelanggaran Non-proliferatin Treaty, pelanggaran hak kekayaan intelektual, dan sebagainya. Amerika Serikat menuduh Cina sengaja mengendalikan nilai mata uang Yuan yang sangat rendah guna memeperoleh kepentingan ekspor, dan berbagai percekcokan lainnya dibelakang hubungan ekonomi Republik Rakyat Cina dengan Amerika Serikat yang terus meningkat di awal abad XXI ini. Pemerintah Amerika Serikat sejauh ini gencar mengungkapkan protesnya ke Cina berkaitan dengan serbuan produk murah yang artifisial ke pasar Amerika Serikat. Murah artifisial karena harga yang rendah ini berkaitan dengan kebijakan Pemerintah Cina. Pemerintah Cina, melalui Partai Komunis dapat mengintervensi pasar bahkan mengatur segala aktivitas dan transaksi yang terjadi. Melalui kebijakannya, Pemerintah Cina memberikan suatu mekanisme aturan main bagi seluruh perusahaan yang ada di Cina termasuk perusahaan asing yang ingin berinvestasi ke Cina. American Federation of Labor and Congress of Industrial Organization, Serikat buruh terbesar di Amerika Serikat, mengajukan petisi kepada Presiden Bush agar mengenakan tarif hingga 77% atas semua produk impor asal Cina. Kebijakan tenaga kerja Cina telah menyingkirkan ratusan ribu pekerja manufaktur

10

di Amerika Serikat. Hal ini kemudian meningkatkan biaya produksi perusahaan manufaktur Amerika Serikat sebesar 20 persen. Presiden Bush menolak petisi ini dengan alasan bahwa kondisi ini akan menghentikan seluruh kemajuan menuju pasar bebas bagi produk Amerika Serikat di Cina. Meski demikian, Bush tetap mengirim menteri kabinetnya ke Cina untuk membahas berbagai keprihatinan kalangan buruh dan manufaktur di Amerika Serikat dengan para penguasa Cina. Hal ini terkait dengan 70% lapangan kerja bagi tenaga kerja Amerika Serikat dan tulang punggung perekonomian Amerika Serikat, sebagian besar disumbangkan oleh perusahaan kecil dan menengah. Membanjirnya produk Cina ke pasar Amerika Serikat telah meningkatkan angka defisit perdagangan di pihak Amerika Serikat mencapai US$124 miliar pada tahun 2003. Pada bulan April 2004, defisit perdagangan Amerika Serikat dengan Cina membengkak dari US$10,44 miliar pada bulan Maret menjadi US$11,98 miliar. Implikasinya adalah semakin meningkatnya jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan dari 1,3 juta jiwa menjadi 35,9 juta. Dan angka pengangguran meningkat tajam menjadi 14,5% dari sebelumnya 5% pada pertengahan 2005.4 Jika dilihat dari daya beli masyarakatnya, pada tahun 2006 Cina dapat dikatakan sebagai kekuatan ekonomi terbesar kedua setelah Amerika Serikat, apalagi pada tahun yang sama surplus neraca pembayaran yang diperoleh Cina mencapai US$180 miliar yang merupakan nilai tertinggi di dunia. Selain itu, Cina telah menjadi exportir terbesar ketujuh dan importir terbesar kedelapan untuk perdagangan barang, serta termasuk dalam 12 eksportir dan importir terbesar untuk bidang jasa. Kemudian, akibat adanya deficit

perdagangan yang terus membesar, dengan sendirinya cadangan devisa Cina


4

M. Edy Sentosa Jk., Di Balik Bergabungnya China Ke Dalam WTO Di Era Interdependence Dan Implikasinya (theglobalgenerations.blogspot.com, Juli 2008), di akses pada 11 Maret 2010

11

semakin menanjak tiap tahunnya, hingga akhir tahun 2008 telah mendekati angka US$2 triliun. Hal inilah yang dipandang sebagai ancaman terbesar bagi Amerika Serikat dan negara maju lainnya karena sebelumnya, negara-negara Utara inilah yang menguasai perdagangan dunia sehingga dapat menyetir tiap kebijakan dan perundingan yang berjalan di WTO, seperti misalnya perundingan di Doha tentang pencabutan subsidi pertanian di Doha yang berjalan cukup alot karena pihak Utara yang tidak mau mengabulkan keinginan negara berkembang untuk mencabut subsidi pertanian negara maju. Dengan munculnya Cina sebagai negara Selatan yang mampu menguasai perekonomian dunia, maka negara maju, khususnya Amerika, khawatir bila kepentingannya yang selama ini telah mapan kemudian tereduksi dengan kedatangan Cina. Apalagi dengan kenyataan bahwa produk industri yang selama ini menjadi ladang emas negara Barat ternyata menjadi kurang kompetitif ketika Cina muncul di pasaran. Hal ini kemudian membawa pihak Amerika Serikat menganggap Cina penuh dengan kebijakan ekonomi subsidi dan regulasi. Untuk itu, Amerika Serikat mendesak Beijing agar memenuhi komitmennya pada WTO untuk membuka pasar bagi perdagangan yang fair. Misalnya, berkaitan dengan kebijakan mematok kurs mata uang pada 8,28 per US$, dinilai membuat produk China relatif murah di pasar Amerika Serikat dan internasional. Kalangan Kongres Amerika Serikat sejak lama mendesak Gedung Putih agar mendesak Cina menerapkan kebijakan mata uang yang lebih fleksibel (floating-exchange rate) dan agar Beijing memenuhi semua komitmennya sebagai anggota WTO. Sekalipun berjanji akan menjalankan semua ketentuan WTO, tetapi dalam praktiknya Cina tetap saja tidak berubah. Semisal dalam penerapan perlindungan

12

hak cipta dan milik serta kebijakan perlindungan hak-hak para pekerja, dan pembentukan serikat buruh independen, maupun organisasi-organisasi LSM, masih belum mendapat perhatian serius pemerintah Cina. Tentunya, Cina tidak akan memperbolehkan pembentukan serikat buruh independen karena mereka mungkin akan menentang otoritas Partai Komunis. Juga, tidak mungkin Cina membiarkan terjadinya fluktuasi fleksibel mata uangnya karena hal itu akan berakibat pada penurunan margin laba perusahaan-perusahaan China apabila terjadi apreasisi sekecil mungkin terhadap mata uang yuan. Hal-hal tersebut tidak lain merupakan salah satu tindakan yang dilakukan Amerika Serikat guna menghambat lajuperkembangan pesaingnya. Amerika Serikat sendiri tidak lain juga melakukan berbagai tindakan yang dengan sendirinya membuat pemerintah Cina menjadi gusar, diantaranya dengan: a) Penjualan senjata Amerika Serikat ke Taiwan. Cina dengan tegas menentang penjualan senjata Amerika Serikat ke Taiwan. Penjualan ini terkuak setelah adanya laporan bahwa Departemen Pertahanan AS atau Pentagon memberikan kepada Lockheed Martin Corp. kontrak penjualan rudal Patriot ke Taiwan dalam jumlah yang tidak ditentukan.5 Dikabarkan penjualan senjata ke Taiwan tersebut mencapai US$6,4 milar yang mencakup rudal anti rudal, helikopter, kapal penyapu ranjau dan perangkat komunikasi untuk pesawat tempur F 16. Pihak Cina merasa garang dan mengancam hal tersebut akan memperburuk hubungan Cina Amerika Serikat memburuk, namun dilain pihak Amerika Serikat sendiri tampak dingin dan tak acuh. Tidak hanya itu, jauh kembali di tahun 1995, kedatangan Presiden

Addy Hasan, Amerika Jual Rudal ke Taiwan, Cina Meradang (berita.liputan6.com, 13 Januari 2010) di akses pada 14 Maret 2010

13

Republik Cina, Lee Teng Hui, ke Amerika, ditafsirkan oleh Cina sebagai tahap awal Amerika Serikat dalam mengingkari One China Policy. Sejak saat itu sendiri, bila ada pesta demokrasi di Taiwan, Cina selalu beralih melakukan latihan militer di kawasan kepulauan Formosa tersebut, bahkan tidak segansegan mengarahkan moncong meriam ke arah kepulauan tersebut dan menghujani sekitar pulau tersebut dengan peluru kendali.6 Bentuk kebijakan luar negeri AS dalam konflik Cina-Taiwan periode 2000-2005 berupa kebijakan ganda, kebijakan AS terhadap Taiwan tetap berdasarkan pada Taiwan Relation Act, kebijakan AS ke Cina tetap pada Komunike Shanghai. b) Diterimanya kunjungan Tenzin Gyatso, Dalai Lama XIV, oleh Presiden Amerika Serikat Presiden Barack Obama menggunakan pertemuan kepresidenannya yang pertama dengan Dalai Lama untuk menekan Beijing guna mempertahankan identitas Tibet dan menghormati hak asasi manusia. Cina yang memandang Dalai Lama sebagai tokoh separatis memperingatkan bahwa pertemuan tersebut akan merusak hubungan kedua belah pihak. Cina yang mengambil alih Tibet tahun 1950 menganggap Dalai Lama adalah seorang separatis. Beijing berusaha mengisolasi pemimpin spiritual itu dengan meminta pemimpin asing tidak menemuinya. Dalai Lama meninggalkan Tibet tahun 1959 setelah gagalnya perlawanan terhadap kekuasaan Cina dan sejak itu tinggal di India. Kunjungan ini bagaikan duri dalam daging bagi Cina. Sebelumnya pun Cina dibuat Gerang oleh Presiden Bush, karena menerima kunjungan Dalai Lama di Gedung Putih. c) Trans-Pacific Partnership Agreement

I Wibowo & Syamsul Hadi, Op. Cit., hlm. 6.

14

Persaingan kedua Negara pun memuncak di awal tahun 2010, Cina dan Amerika Serikat saling melakukan peperangan blok perdagangan bebas. Setelah resminya China-ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA), Amerika Serikat tidak segan-segan akan memperluas pengaruhnya di Negara-negara se-Asia Pasifik dengan membentuk Transpacific Partnership,7 yang dimulai dengan kunjungan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, ke Indonesia pada akhir bulan Maret tahun 2010. Pihak Amerika sengaja membuat Cina geram, dimana kawasan regional Asia Pasifik yang di dalamnya meliputi Negara-negara Asia Tenggara adalah kawasan yang sedang dituju oleh Cina.

Tindakan-tindakan Amerika Serikat tersebut tidak lain merupakan salah satu aplikasi dari strategi yang dibuat oleh pembuat kebijakan Amerika Serikat guna menghadapi Cina dalam dokumen Tuntunan Perencanaan Pertahanan yang merupakan bentuk pernyataan resmi Amerika Serikat pada masa paska runtuhnya Uni Sovyet. Juga tertulis dalam dokumen terebut:
Kita harus sekuat mungkin mencegah kekuatan asing manapun yang bisa mendominasi suatu wilayah yang sumber alamnya, ketika terkontrol secara solid, akan mampu mendukung terbentuknya kekuatan global.
8

Ketika George Bush menjadi Presiden Amerika Serikat, hanya Cina yang memiliki kapasitas ekonomi dan militer yang mampu mengimbangi Amerika sebagai negara adidaya. Amerika Serikat membuat kebijakan yang mengisolasi Cina supaya tetap pada perbatasannya, ketimbang menghadapinya secara langsung karena hanya akan menghabiskan energi Amerika sendiri.
7

www.ustr.gov, USTR FACT SHEET: Trans-Pacific Partnership (www.ustr.gov, 8 Desember 2009) di akses pada 16 Maret 2010 8 Rizkilesus, Antara Barat dan Timur,Cina sampai Amerika,FTA hingga WTO (rizkilesus.wordpress.com, 27 Januari 2010) di akses pada 9 Maret 2010

15

Dalam kasus Taiwan, penjualan senjata Amerika itu tidak datang tiba-tiba, tindakan itu tidak dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan perdagangan penjualan senjata ke Taiwan. Melainkan dengan tindakan itu Amerika ingin menekan Cina agar memenuhi permintaan Amerika dalam berbagai persoalan diantaranya menaikkan kurs yuan terhadap dolar dan masalah-masalah perdagangan lainnya. Begitu pula masalah kontrol terhadap mesin pencari Amerika Google dimana dalam masalah itu negara Amerika melakukan intervensi secara langsung. Amerika Serikat menginginkan dukungan Cina di PBB berkaitan dengan sanksi terhadap Iran tentang program nuklir negara itu.

16

BAB III. KESIMPULAN

World Bank menilai bahwa kemajuan ekonomi Cina saat ini karena Cina bergabung menjadi anggota resmi WTO, sehingga berbagai keuntungan perdagangan internasional diperoleh oleh Cina. Namun, pernyataan Bank Dunia tersebut tak sepenuhnya benar. Memang, berbagai keuntungan perdagangan diperoleh Cina tetapi hal tersebut tak terlepas dari semakin kuatnya ekonomi domestik Cina sehingga ekonomi dalam negerinya benar-benar kondusif dan memiliki multi-player-effect bagi penduduknya. Dengan semakin maju, kuat, dan kondusifnya ekonomi domestic Cina, maka Cina kemudian berani

mengintegrasikan ekonominya ke dalam WTO. Dapat diketahui bahwa keanggotaan Cina dalam WTO selain karena tumbuh dan majunya ekonomi Cina serta adanya keinginan Cina untuk memperkuat pengaruhnya di forum-forum internasional terkait dengan masalah perdagangan dan ekonomi, juga karena adanya desakan diplomatik dan kepentingan Amerika Serikat untuk mengontrol pasar dan produk-produk Cina yang kompetitif di pasar internasional tersebut. Sehingga ekonomi Amerika Serikat tetap stabil dan mendominasi pasar internasioal. Karena, pada awalnya Amerika Serikat menolak keanggotaan Cina dalam WTO tetapi akhirnya Amerika Serikat merasa kewalahan dan terancam ketika produk-produk Cina membanjiri pasar dalam negeri Amerika Serikat dan internasional.

17

DAFTAR PUSTAKA

Sentosa, Edy. 2008. DI BALIK BERGABUNGNYA CHINA KE DALAM WTO DI ERA INTERDEPENDENCE DAN IMPLIKASINYA.

theglobalgenerations.blogspot.com (di akses pada 11 Maret 2010). Taniputera, Ivan. 2007. HISTORY OF CHINA. Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA. Wibowo, I & Syamsul Hadi. 2009. MERANGKUL CINA Hubungan Indonesia-Cina Pasca-Soeharto. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

You might also like