You are on page 1of 101

PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2

“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

BIO-01
IMPROVE RESULT LEARNS BIOLOGY BY APPLYING STUDY NUMBERED HEADS
TOGETHER (NHT) AT CLASS X1 STUDENT SMA MUHAMMADIYAH 3 OF SURAKARTA

Hariyatmi
Lecturer of Biology Education, FKIP
Muhammadiyah University of Surakarta

ABSTRACT
In conducting process of teacher study can select and use some method or strategy of teach. The
aims of this research is to know result improvement learns student with study NHT at class student X1
SMA Muhammadiyah of Surakarta. This study applied classroom action research design through three
circles. In each circles consist of: (1) planning, (2) action, (3) observation and evaluation, (4)
reflection Result data learns biology is taken by using tes, observation. Data Analysis from this
research by descriptive qualitative by analysis of student growth data from cycle I till cycle III.
Research result indicates that happened activity improvement and result learn student. Strategy
applying NHT at study have an effect on positive to the rising value early student as high as 0,31
points or 31%, and can be concluded that study with NHT improve result learns student biology as
high as 0,31 points or 31%.
Key words : strategy NHT, result learns biology

PENDAHULUAN
Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan biologi adalah menggunakan
pembelajaran aktif, dimana siswa melakukan sebagian besar pekerjaan yang harus dilakukan, siswa
menggunakan otak untuk mempelajari berbagai masalah dan menerapkan apa yang mereka pelajari.
Belajar aktif merupakan langkah cepat, menyenangkan, mendukung dan menarik hati dalam belajar. Untuk
mempelajari suatu dengan baik. Belajar aktif membantu untuk mendengar, melihat, menyampaikan
pertanyaan tentang pelajaran tertentu dan mendiskusikan dengan yang lain. Dalam belajar aktif yang
paling penting siswa memecahkan masalah sendiri, menemukan contoh-contoh, mencoba ketrampilan dan
melaksanakan tugas yang tergantung pada pengetahuan yang telah mereka miliki atau yang akan dicapai
(Silberman, 2001).
Dewasa ini para ahli pendidikan memandang bahwa siswa adalah seorang individu yang aktif, oleh
karena itu peran guru bukan sebagai pengajar, tetapi sebagai pembimbing, fasilitator dan pengarah.
Belajar memang besifat individual, oleh karena itu belajar berarti suatu keterlibatan langsung atau
perolehan pengalaman individual yang unik. Belajar juga tak terjadi sekaligus tetapi akan berlangsung
penuh perulangan berkali-kali, berkesinambungan tanpa henti (Dimyati, 1999).

Menurut Johnson D. W dan Johnson P.T (1997), suasana pembelajaran aktif menghasilkan prestasi
belajar yang lebih baik daripada suasana belajar yang penuh dengan persaingan dan pengisolasian siswa.
Dalam pembelajaran Biologi diharapkan siswa benar-benar aktif yang menyebabkan ingatan siswa
mengenai apa yang dipelajarinya akan lebih lama dan pembelajaran akan lebih luas jika dibandingkan
belajar secara pasif, disamping itu juga menumbuhkan sikap kreatif pada siswa.
Berdasarkan observasi, proses belajar Biologi di kelas SMA Muhammadiyah 5 Surakartan di kelas
XB SMA Muhammadiyah Surakarta tahun ajaran 2007/2008 masih bersifat teacher oriented dan terdapat
beberapa kelemahan yang mempengaruhi hasil belajar siswa. Kelemahan-kelemahan yang ditemukan
yaitu : (1) siswa selalu ramai pada saat pembelajaran berlangsung, sehingga konsentrasi siswa tidak
terfokus, (2) keberadaan guru pada waktu pembelajaran kurang mendapat perhatian siswa, (3) siswa

425
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

menjadi bosan dengan guru dalam menyampaikan materi (metode ceramah ) yang menunjukkan pola
pembelajaran teacher oriented, (4) siswa tidak berani mengajukan pertanyaan maupun menjawab, (5)
pembelajaran biologi menjadi tidak menarik. Kelemahan-kelemahan di atas merupakan masalah yang perlu
adanya pola pembelajaran (strategi pembelajaran) yang memberikan motivasi kepada siswa agar
pembelajaran biologi menjadi menarik, menantang dan menyenangkan. Salah satu alternatif strategi
pembelajaran yang dapat digunakan adalah pembelajaran aktif ( active learning), agar permasalahan
tersebut dapat dipecahkan dapat digunakan pembelajaran Numbered Heads Together (NHT).

NHT pada dasarnya merupakan sebuah varian diskusi kelompok, dengan ciri khasnya adalah guru
hanya menunjuk salah satu siswa yang dapat mewakili kelompoknya tanpa memberi tahu dahulu siapa
yang akan mewakili kelompoknya. Cara ini menjamin keterlibatan otak semua siswa. Cara ini juga
merupakan suatu upaya individual dalam diskusi kelompok. NHT merupakan salah satu pendekatan
struktural dalam pembelajaran kooperatif. Metode ini dikembangkan oleh Spencer Kagan dalam Arends
(1997) untuk lebih melibatkan siswa dari awal sampai materi pelajaran. Dalam memberikan pertanyaan
atau soal pada siswa, guru menggunakan 4 tahap yang tersusun : 1) Numbering; 2) Questioning; 3) Heads
Together; 4) Answering.

Tahap 1 : Numbering

Guru membagi siswa dalam kelompok yang terdiri dari 3-5 orang anggota dan masing-masing anggota
dalam kelompok mendapatkan nomor antara satu sampai lima.

Tahap 2 : Questioning

Guru memberi sebuah pertanyaan atau tugas pada tiap-tiap kelompok. Pertanyaan bisa bervariasi dari
mulai pertanyaan yang bersifat umum hingga yang bersifat spesifik.

Tahap 3 : Heads Together

Semua anggota kelompok mendiskusikan pertanyaan dari guru dan memastikan setiap anggota
mengetahui jawaban dari pertanyaan tersebut.

Tahap 4 : Answering

Guru memanggil salah satu nomor. Siswa dengan nomor yang dipanggil mengangkat tangan dan
menjawab pertanyaan yang diberikan guru untuk seluruh kelas.

Teknik ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling membagikan ide-ide dan
mempertimbangkan jawaban yang paling tepat. Selain itu, teknik ini juga mendorong siswa untuk
meningkatkan semangat kerjasama mereka (Lie, 2004).

Pembelajaran NHT merupakan salah satu strategi kooperatif yang dilakukan dengan cara
mengelompokkan siswa ke dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4 – 6 siswa. Kesulitan pemahaman
materi yang dialami dapat dipecahkan bersama dengan anggota kelompok dengan bimbingan guru. Untuk
itu pembelajaran NHT menitik beratkan pada keaktifan siswa dan memerlukan interaksi sosial yang baik
antara semua kelompok. Pembelajaran NHT memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling
membagikan ide-ide dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat. Selain itu, pembelajaran NHT
juga mendorong siswa untuk meningkatkan semangat kerja sama siswa. Pembelajaran ini dikembangkan
untuk mencapai 3 tujuan yaitu; hasil belajar kognitif, penerimaan tentang keragaman pendapat dan
pengembangan ketrampilan membaca, menjawab pertanyaan, menerima jawaban teman. Pembelajaran

426
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

dengan NHT mengutamakan kerja kelompok daripada individual, sehingga siswa bekerja dalam suasana
gotong-royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk menyalurkan informasi dan meningkatkan
ketrampilan berkomunikasi (Lie, 2004).

Berkaitan dengan latar belakang di atas maka dilakukan penelitian Aplikasi Pembelajaran Numbered
Heads Together (NHT) untuk meningkatkan Hasil Belajar Biologi Siswa SMA Muhammadiyah 3 Surakarta
Tahun Ajaran 2006/2007.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan Penelitian tindakan kelas dengan mengaplikasikan pembelajaran NHT,
yang dilakukan di kelas X1 (N: 29 siswayang tediri dari 26 putri dan 3 orang putra) SMA Muhammadiyah 5
Surakarta Tahun Ajaran 2007/2008. Pada peleksaanan NHT siswa dikelompokan dengan beranggotakan
lima siswa. Penelitian ini berbasis kelas-kelas kolaboratif, kerja sama dengan guru bidang studi Biologi
untuk memperoleh hasil yang optimal melalui cara dan prosedur paling efektif. Kerja sama dengan guru
bidang studi Biologi, mulai dari 1) dialog awal, 2) perencanaan tindakan, 3) pelaksanaan tindakan, 4)
pemantauan (observasi), 5) perenungan (refleksi) pada setiap tindakan yang dilakunan, 6) penyimpulan
hasil berupa pengertian dan pemahaman dengan prosedur dirancang sebagai berikut

Disain Penelitian Tindakan Kelas

Plan

Reflection Siklus 1
Action/
Observation
Revised Plan

Reflection

Action/ Siklus 2
Observation
Gambar 1. Desain Penelitian Tindakan Kelas
Revised Plan
Reflection

Action/
Observation

Gambar 1 : Disain Penelitian Tindakan Kelas

Siklus tindakan dilakukan sebanyak tiga kali, pada saat penelitian materi yang dibelajarkan adalah
Keanekaragaman hayati. Data dikumpulkan menggunakan observasi dan catatan lapangan untuk
memperoleh data aktivitas siswa selama proses pembelajaran, serta untuk melihat bagaimana hasil belajar
siswa menggunakan NHT setelah pembelajaran setiap siklus dilakukan tes berupa post test. Data yang
diperoleh kemudian dianalisis dengan cara deskriptif dan regresi

427
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

HASIL DAN PEMBAHASAN


Data hasil penelitian yang mengungkap aktifitas belajar siswa setiap siklus diperlihatkan tabel 1.
Setiap aktifitas siswa diberi skor dengan rentang skor antara 1-5, (skor nilai : 5 = Sangat Baik; 4 =
Baik; 3 = Cukup; 2 = Kurang Baik; 1 = Tidak Baik). Menggunakan grafik ( gambar 2), diperlihatkan
bahwa semua aktifitas belajar siswa mengalami peningkatan dari sklus I ke siklus III, dengan peningkatan
yang berbeda. Aktifitas yang mengalami peningkatan pada setiap siklus ada pada aktifitas diskusi,
menjawab pertanyaan, menghargai teman bicara, memperhatikan saat belajar. Maka dari delapan aktifitas
belajar siswa yang diamati ada empat aktifitas yang meningkat dilakukan siswa ke arah yang lebih baik.

Tabel 1 : Skor rata-rata aktifitas belajar siswa dengan mengaplikasikan pembelajaran NHT

Memperhat
Pertanyaan

Mengharga

Kedisiplina
Kerjasama
Berdiskusi

Menjawab

Tanggung
Membaca

i Teman

Jawab
bicara
Buku

ikan

n
Siklus I 4,04 3,85 3,19 3,07 3,19 4,22 4 3,81
Siklus II 3,81 4,08 4,04 3,62 3,85 3,73 3,69 3,73
Siklus III 4,39 4,79 4,71 4,29 4,5 4,14 4,11 4,07
Rata-rata 4,08 4,24 3,98 3,66 3,84 4,03 3,93 3,87

Maka, jika di perhatikan temuan ini, aktifitas belajar siswa yang ditemui pada observasi awal yaitu :
(1) siswa selalu ramai pada saat pembelajaran berlangsung, sehingga konsentrasi siswa tidak terfokus, (2)
keberadaan guru pada waktu pembelajaran kurang mendapat perhatian siswa, (3) siswa menjadi bosan
dengan guru dalam menyampaikan materi (metode ceramah ) yang menunjukkan pola pembelajaran
teacher oriented, (4) siswa tidak berani mengajukan pertanyaan maupun menjawab, (5) pembelajaran
biologi menjadi tidak menarik. Pembelajaran dengan mengaplikasikan NHT memperlihatkan adanya :
1. Peningkatkan aktifitas siswa menjadi lebih konsentrasi, diperlihatkan dengan adanya peningkatan
pada aktifitas siswa mau memperhatikan saat belajar ( 3,19; 3,85; 4,71) dan mau menghargai
teman yang bicara saat diskusi mauun saat bertanya maupun menjawab pertanyaan. Hal ini
diperlihatkan dengan adanya peningkatan skor dari tiap siklus ( 3,07; 3,62; 4,29)
2. Perubahan pola belajar siswa dari teacher oriented menjadi student oriented diperlihatkan dengan
adanya peningkatan siswa yang terlibat diskusi (3,85; 4,08; 4,79)
3. Peningkatan keberanian menjawab pertanyaan, diperlihatkan dengan adanya peningkatan skor dari
tiap siklus (3,19; 4,04; 4,71)

Dengan demikian empat kelemahan pembelajaran yang selama ini berlangsung pada mata pelajaran
Biologi, dengan mengaplikasikan NHT dpat diatasi.

428
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

Skor rata-rata aktivitas belajar siswa menggunkan pembelajaran


NHT

5 Membaca Buku
Skor rata‐rata
4 Berdiskusi
Menjawab Pertanyaan
3
Menghargai Teman bicara
2
Memperhatikan
1 Kerjasama
0 Kedisiplinan
Siklus I Siklus II Siklus III
Tanggung Jawab

Gambar 2 : Grafik Skor rata-rata aktifitas siswa belajar dengan mengaplikasikan pembelajaran NHT

Hasil belajar kognitif siswa setelah diaplikasikan pembelajaran menggunakan NHT, diperlihatkan
tabel 2 dan gambar 3.

Tabel 2 : Skor rata-rata hasil belajar kognitif siswa setelah diaplikasikan pembelajaran NHT

Skor Awal Siklus I Siklus II Siklus III


Hasil tes 6,73 6,57 7,72 7,83

Skor Rata-rata hasil belajar kognitif siswa

8
Rata‐rata Skor

7.5
7
6.5
6
5.5
Skor awal Siklus I Siklus II Siklus III

Gambar 3 : Skor rata-rata hasil kognitif belajar siswa setelah diaplikasikan pembelajaran
menggunakan NHT

Berdasarkan data tabel 2, dapat dikemukakan bahwa ada peningkatan hasil belajar kognitif
menggunkan NHT. Hal ini dibuktikan dengan analisis regresi skor siklus II dibandingkan dengan skor awal.
Berdasarkan perhitungan persamaan regresi besarnya koefisien regresi pengaruh hasil belajar (kognitif)
siklus III terhadap kognitif awal adalah sebagai berikut :

429
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

Kognitif siklus III = a + b Kognitif awal


Kognitif siklus III = 5,41 + 0,31 Kognitif awal
Dari persamaan regresi diatas dapat diketahui :
a. Nilai a (konstan) sebesar 5,41, menunjukan bahwa sebelum dilakukan pembelajaran dengan NHT pada
siklus III, skor kognitif awal siswa sebesar 5,41point.
b. Koefisien regresi sebesar 0,31, menunjukkan bahwa setelah dilakukan pembelajaran dengan NHT pada
siklus III, berpengaruh positif terhadap peningkatan skor kognitif awal siswa sebesar 0,31 point atau
31%.
Dari hasil uji regresi linier tersebut diperoleh hasil bahwa pembelajaran NHT dapat meningkatkan
hasil belajar siswa kelas X1 SMA Muhammadiyah 3 Surakarta Tahun Ajaran 2007/2008 sebesar 0,31 point
atau 31%. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di duga peningkatan sebesar 31% adalah dari adanya
peningkatan pada aktifitas belajar siswa pada aktifitas diskusi, menjawab pertanyaan, menghargai teman
bicara, memperhatikan saat belajar.
Aktifitas yang ditemukan adanya peningktan tidak lain adalah pembelajaran aktf yang dilakkan
siswa, dimana pembelajaran aktif merupakan pembelajaran yang mengajak siswa belajar secara aktif.
Belajar aktif berarti belajar untuk mendominasi aktivitas pembelajaran sehingga secara aktif menggunakan
otak, baik untuk menemukan ide pokok, memecahkan persoalan, atau mengaplikasikan apa yang baru
dipelajari. Dengan belajar aktif siswa diajak untuk turut serta dalam proses pembelajaran, siswa akan
merasakan suasana yang lebih menyenangkan sehingga hasil belajar dapat dimaksimalkan (Zaini, 2004)
dan salah satu pembelajaran aktif yang daat dilaksanakan adalah pembelajaran NHT.

PENUTUP
Penerapan strategi NHT pada pembelajaran di SMA Muhammadiyah 3 Surakarta berpengaruh positif
terhadap peningkatan aktifitas siswa pada diskusi, menjawab pertanyaan, menghargai teman bicara,
memperhatikan saat belajar. Peningkatan aktifitas belajar siswa tersebut dapat meningkatkan hasil belajar
kognitif siswa sebesar 31%

DAFTAR PUSTAKA

Arends, R. I. 1992. Classroom Instruction and Management. New Jersey: The Mc Graw Hill Companies
Dimyati, Mudjiono. 1999. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Lie, Anita. 2004. Cooperative Learning: Mempraktikan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas.
Jakarta: PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia.
Slavin, E.R. 1995. Cooperative Learning. Teory, Research and Practice. Seccond Edition. Boston: Allyn and
bacon
Silberman, Melvin. 2001. Active Learning :101 Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta : Yappendis.
Zaini, Hisyam. 2004. Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta : Institut Agama Islam Negeri Yogyakarta

430
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

BIO-02
IMPLEMENTATION OF 5E LEARNING CYCLE TO INCREASE
STUDENTS’ INQUIRY SKILLS AND BIOLOGY UNDERSTANDING
Diah Aryulina
(Universitas Bengkulu)

ABSTRACT
Unsatisfying students’ biology concept understanding and inquiry skills have been a problem in
biology teaching at SMPN 11 Bengkulu. The purpose of this classroom action research was to improve
teaching strategy by implementing 5E Learning Cycle model at the school as an effort to increase the
students’ biology competency. The subjects were three biology teachers and students of VIIB, VIIIC,
and IXB classes. The study was carried out on three lesson topics, except in IXB class. Improvement
of the model implementation was done on each lesson topic which was consisted of several lessons.
In each lesson, planning, action, observation, and evaluation-reflection as steps of classroom action
research were conducted. Students’ worksheets, teaching-learning observation guidance, and tests
were used as instruments to collect data. The result of this study showed that the implementation of
5E Learning Cycle model was getting better after improvement action based on reflections. During the
lesson planning, teachers generally faced challenges on the development of student worksheet which
should have inquiry characteristics. Teachers also described facing some difficulties in the explanation
and elaboration phase of the 5E Learning Cycle model, especially in the first implementation.
Improvement in students’ concept understanding was not always showed in every consecutive cycle,
especially on VIIIC students. However, students’ inquiry skills such as data collection skill, data
analysis skill, and conclusion drawing skill were increased after several lessons.
Keyword: inquiry skill, concept understanding, learning cycle

PENDAHULUAN

Pembelajaran IPA-Biologi yang dapat mengembangkan pemahaman konsep dan juga keterampilan
inkuiri siswa merupakan harapan guru biologi SMPN 11 Kota Bengkulu. Kompetensi pemahaman konsep
maupun kompetensi inkuiri perlu dikuasai agar siswa dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pemahaman konsep IPA-Biologi dan keterampilan inkuiri siswa SMPN 11 masih belum memuaskan.
Belum memuaskannya kompetensi pemahaman konsep siswa dan kompetensi kerja ilmiah dapat
disebabkan oleh beberapa faktor. Guru mengidentifikasi faktor penyebabnya adalah pasifnya siswa dan
sulitnya guru mengaktifkan siswa. Berdasarkan diskusi lanjutan dengan guru, pasifnya siswa disebabkan
karena siswa belum terbiasa belajar aktif seperti bertanya, mengemukakan pendapat, dan menemukan
konsep sendiri melalui penyelidikan. Terbiasanya siswa pasif tampaknya terkait juga dengan strategi
pembelajaran yang diterapkan guru. Seorang guru berpendapat strategi pembelajarannya masih berupa
50% guru aktif menyampaikan materi pelajaran ke siswa.
Untuk itu perlu diterapkan upaya perbaikan pembelajaran dengan menerapkan strategi
pembelajaran yang dapat meningkatkan keterampilan inkuiri dan pemahaman konsep siswa. Strategi
pembelajaran yang sesuai untuk pelajaran IPA antara lain adalah model Siklus Belajar.
Siklus Belajar adalah model pembelajaran yang berpusat pada kegiatan penyelidikan sebelum
konsep ilmiah diperkenalkan kepada siswa (Tobin, Tippins, dan Gallard, 1994). Dalam model Siklus Belajar,
siswa mengembangkan pemahaman konsep melalui pengalaman langsung yang bertahap dan bersiklus.
Proses belajar dimulai dengan eksplorasi ‘penemuan konsep’ oleh siswa. Selanjutnya, berdasarkan hasil
eksplorasi siswa, guru memperkenalkan konsep atau istilah ilmiah. Siswa kemudian memerkuat
pemahaman konsepnya dengan menerapkan konsep tersebut untuk memecahkan masalah. Pemahaman

431
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

suatu konsep menjadi dasar untuk mengeksplorasi fenomena lain atau untuk ‘menemukan’ konsep baru.
Demikian proses belajar berlanjut secara siklik. Dengan ciri pembelajaran demikian, menurut Abraham
(1997), Siklus Belajar merupakan model pembelajaran berdasarkan inkuiri.
Model Siklus Belajar terdiri atas tahap-tahap yang saling terkait. Siklus belajar 5E (SB-5E) yang
dikembangkan oleh Roger Bybee (Bybee dkk, 2006; Collete dan Chiapetta, 1994; Songer dan Ho, 2005)
terdiri atas lima tahap yang yaitu tahap engage (pelibatan), tahap explore (penyelidikan/eksplorasi), tahap
explain (penjelasan/ pengenalan konsep), tahap elaborate (penggalian), dan tahap evaluate (penilaian).
Hasil penelitian menunjukkan model Siklus Belajar dapat meningkatkan keterampilan inkuiri dan
pemahaman konsep. Implementasi Siklus Belajar oleh Wasih (1999) menunjukkan peningkatan pada
pemahaman konsep siswa. Penelitian oleh Lawson (2001) dan Rehorek (2004) juga menunjukkan
peningkatan keterampilan inkuiri di samping pemahaman konsep pada pembelajaran biologi yang
menerapkan Siklus Belajar. Begitu pula hasil penelitian Songer dan Ho (2005) yang menunjukkan
berkembangnya keterampilan bernalar siswa. Hasil penelitian yang dikutip Barbra (1998) menunjukkan
bahwa siklus belajar terutama bermanfaat dalam pembelajaran sains untuk: (1) meningkatkan interaksi
sosial antarsiswa, (2) memberi kesempatan pada siswa melakukan kegiatan secara langsung, (3)
membimbing siswa mengembangkan kosakata ilmiah, (4) mendorong pengembangan keterampilan
memecahkan masalah, (5) membantu pertumbuhan kognitif, (6) memerbaiki sikap terhadap sains, serta
(7) membantu siswa membangun gambaran mental dari gagasan baru.
Tujuan penelitian tindakan ini adalah memerbaiki strategi pembelajaran dengan menerapkan
model SB-5E untuk meningkatkan keterampilan inkuiri dan pemahaman konsep siswa SMPN 11 Bengkulu.
Penelitian bermanfaat tidak saja bagi siswa dan guru, namun juga pengelola sekolah, dosen, dan
perguruan tinggi terkait.

METODE PENELITIAN
Penelitian tindakan ini dilaksanakan di SMPN 11 Kota Bengkulu pada semester ganjil tahun
pelajaran 2007/2008. Subyek penelitian adalah tiga guru IPA-Biologi dan siswa kelas VIIB, VIIIC, dan IXB.
Penelitian dilaksanakan dalam tiga siklus berkesinambungan, kecuali di kelas IXB karena keterbatasan
waktu. Setiap siklus tindakan terdiri atas empat langkah yaitu perencanaan, pelaksanaan tindakan,
observasi, dan evaluasi-refleksi (Elliot, 1991). Pada siklus I, tindakan yang diterapkan adalah model SB-5E
dengan bimbingan penuh dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan penuntun selama tahap pengumpulan
data/informasi, pembahasan, dan penarikan kesimpulan pada Lembar Kegiatan Siswa (LKS). Pada siklus II,
tindakan yang diterapkan berupa penghilangan pertanyaan-pertanyaan penuntun untuk menarik
kesimpulan pada LKS. Selanjutnya, pada siklus III, pertanyaan-pertanyaan penuntun pembahasan/analisis
dan penarikan kesimpulan ditiadakan. Selain itu, pada siklus II dan III juga dilaksanakan perbaikan tahap-
tahap pembelajaran dengan model SB-5E berdasarkan refleksi pembelajaran di siklus sebelumnya.
Pada tahap perencanaan di setiap siklus dilakukan penyiapan perangkat pembelajaran dan
instrumen evaluasi. Perangkat pembelajaran yang disiapkan adalah rencana pelaksanaan pembelajaran
(RPP), LKS, dan media pembelajaran. Selain berfungsi memandu siswa melakukan kegiatan, LKS juga
merupakan lembar evaluasi unjuk kerja keterampilan inkuiri secara kelompok. Keterampilan inkuiri yang
dievaluasi adalah keterampilan mengumpulkan data, keterampilan menganalisis data, dan keterampilan
menarik kesimpulan. Instrumen evaluasi yang dikembangkan adalah pedoman observasi pembelajaran
model SB-5E, tes keterampilan inkuiri, tes pemahaman konsep. Pedoman observasi dikembangkan
berdasarkan tahap-tahap pembelajaran model SB-5E dalam Collete dan Chiapetta (1994). Pedoman
observasi mencakup pedoman observasi kegiatan guru dan pedoman observasi keterampilan ilmiah berupa

432
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

sikap ilmiah siswa. Sikap ilmiah siswa yang diamati adalah bekerjasama, jujur terhadap fakta, bertanya,
dan disiplin.
Pelaksanaan tindakan dilakukan di kelas VIIB, VIIIC, dan IXB. Observasi dilaksanakan terhadap
pelaksanaan pembelajaran model SB-5E dan sikap ilmiah siswa. Evaluasi kegiatan guru dan aspek sikap
ilmiah dari keterampilan inkuiri siswa dilaksanakan selama pembelajaran. Evaluasi pemahaman konsep
serta aspek kognitif dari keterampilan inkuri dilaksanakan pada akhir pembelajaran topik tertentu. Evaluasi
berupa pemberian tugas rumah dan tes tulis. Hasil observasi dan evaluasi dianalisis secara deskriptif,
kemudian digunakan sebagai bahan refleksi untuk didiskusikan oleh pengamat dan guru dalam
menentukan tindakan perbaikan di siklus selanjutnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL
Hasil penelitian tindakan kelas di kelas VIIB, kelas VIIIC, dan kelas XIB diuraikan berikut ini.

1. Hasil Penelitian di Kelas VIIB


Siklus I di kelas VIIB dilaksanakan pada pembelajaran IPA-Biologi untuk mencapai kompetensi
dasar ‘Mengidentifikasi Ciri-Ciri Makhluk Hidup’. Proses pembelajaran oleh guru secara keseluruhan
dikategorikan cukup dengan skor 10 dari skor maksimum 18. Tahap pembelajaran model SB-5E yang
tampak perlu ditingkatkan adalah tahap pelibatan terutama saat membimbing siswa mengaitkan
pengetahuan, tahap eksplorasi, tahap pengenalan konsep, dan tahap penggalian. Pada tahap pelibatan,
guru tidak bertanya tentang pelajaran sebelumnya yang terkait dengan pelajaran yang akan dipelajari,
meskipun guru telah mengaitkan dengan informasi yang dikenal siswa sehari-hari. Materi pelajaran
dijelaskan dengan metode ceramah pada tahap ini. Pada tahap eksplorasi, guru kurang memonitor
kegiatan seluruh kelompok siswa. Tahap pengenalan konsep dan tahap penggalian tidak dilaksanakan.
Siklus II dilaksanakan masih untuk mencapai kompetensi dasar ‘Mengidentifikasi ciri-ciri makhluk
hidup’. Pada siklus ini, tindakan yang dilakukan selain menghilangkan pertanyaan penuntun pada bagian
kesimpulan di LKS adalah dengan memerbaiki penerapan tahap pembelajaran model SB-5E yang masih
lemah di siklus I Tindakan perbaikan Proses pembelajaran oleh guru secara keseluruhan dikategorikan baik
dengan skor 17. Materi pelajaran sudah dijelaskan pada tahap pengenalan konsep. Namun penjelasannya
masih berpola deduktif. Pertanyaan-pertanyaan penuntun untuk pembahasan dan penarikan kesimpulan
hasil pengamatan masih dilakukan secara lisan.
Siklus III dilakukan untuk mencapai kompetensi dasar ‘Mengklasifikasikan makhluk hidup
berdasarkan ciri-ciri yang dimiliki’. Tindakan yang dilakukan di siklus II selain menghilangkan pertanyaan
penuntun pada bagian pembahasan dan kesimpulan di LKS adalah dengan merancang secara tertulis
penjelasan konsep yang berpola induktif pada RPP. Proses pembelajaran oleh guru secara keseluruhan
dikategorikan baik dengan skor 17. Meskipun telah dirancang secara tertulis, pada siklus ini guru tampak
masih memerkenalkan konsep baru secara deduktif. Hasil angket yang diberikan pada siswa pada akhir
siklus III menunjukkan bahwa seluruh siswa (35 siswa) senang belajar dengan alasan banyak kegiatan
(89%), banyak kesempatan diskusi (51%), banyak memeroleh kesempatan berbicara, mengeluarkan
pendapat, atau bertanya kepada guru atau teman (80%), dan menjadi aktif di kelas (70%). Nilai
keterampilan inkuiri dan pemahaman konsep siswa pada siklus I, II, dan III dirangkum pada Tabel 1.

433
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

Tabel 1: Perbandingan Rerata Nilai dan Persentase Ketuntasan Pemahaman Konsep


dan Keterampilan Inkuiri Siswa Kelas VIIB

Aspek dan Proporsi Siklus I Siklus II Siklus III


Komponen Penilaian Nilai Ketuntasan Nilai Ketuntasan Nilai Ketuntasan
Penilaian (%) (%) (%) (%)
1. Pemahaman
konsep 80 92 86 100 90 100
a. Tugas 50 85 91 99
b. Tes 50 75 80 81
2. Keterampilan
Inkuiri 77 86 84 100 84 100
a. LKS 30 83 89 96
b. Observasi 20 87 94 98
c. Tes 50 70 77 81

2. Hasil Penelitian di Kelas VIIIC


Siklus I di kelas VIIIC dilaksanakan pada pembelajaran dengan kompetensi dasar ‘Mendeskripsikan
sistem gerak pada manusia dan hubungannya dengan kesehatan’. Proses pembelajaran oleh guru secara
keseluruhan dikategorikan baik (rerata nilai 16). Semua tahap pembelajaran dilaksanakan sesuai rencana,
kecuali tahap pengenalan konsep. Pada tahap pengenalan konsep, guru tidak menekan konsep yang
dipelajari siswa melalui kegiatan.
Siklus II dilaksanakan untuk mencapai kompetensi dasar ‘Mendeskipsikan sistem pencernaan pada
manusia dan hubungannya dengan kesehatan’. Tindakan yang dilakukan pada siklus ini selain
menghilangkan pertanyaan penuntun pada bagian kesimpulan di LKS adalah dengan merancang
penjelasan konsep secara tertulis pada RPP. Proses perbaikan pembelajaran secara keseluruhan
dikategorikan baik yaitu bernilai rerata 17. Meskipun penjelasan konsep sudah dirancang oada RPP, pada
pelaksanaannya penjelasan guru pada tahap pengenalan konsep masih kembali ke pola deduktif.
Siklus III dilaksanakan untuk mencapai kompetensi dasar ‘Mendeskripsikan bahan kimia alami dan
bahan kimia buatan dalam kemasan yang terdapat dalam bahan makanan’. Tindakan yang dilakukan pada
siklus III selain menghilangkan pertanyaan penuntun pada bagian pembahasan dan kesimpulan di LKS
adalah dengan memerbaiki pola penjelasan pada tahap pengenalan konsep. Pembelajaran pada siklus III
ini dinilai baik dengan mencapai nilai maksimum 18. Pada siklus ini, secara umum guru sudah
menunjukkan penjelasan konsep berpola induktif. Hasil angket yang diberikan pada siswa di akhir siklus
III menunjukkan bahwa 31 dari 37 siswa berpendapat senang belajar dengan alasan banyak kegiatan
(55%), banyak kesempatan diskusi (55%), banyak memeroleh kesempatan berbicara, mengeluarkan
pendapat, atau bertanya kepada guru atau teman (71%), dan menjadi aktif di kelas (69%). Enam siswa
berpendapat biasa-biasa saja terhadap pembelajaran. Nilai keterampilan inkuiri dan pemahaman konsep
siswa pada siklus I, II, dan III ditunjukkan pada Tabel 2.

434
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

Tabel 2 : Perbandingan Rerata Nilai dan Persentase Ketuntasan Pemahaman Konsep


dan Keterampilan Inkuiri Siswa Kelas VIIIC

Aspek dan Proporsi Siklus I Siklus II Siklus III


Komponen Penilaian Nilai Ketuntasan Nilai Ketuntasan Nilai Ketuntasan
Penilaian (%) (%) (%) (%)
1. Pemahaman
konsep 80 89 75 81 79 89
a. Tugas 50 77 73 80
b. Tes 50 83 78 79
2. Keterampilan
Inkuiri 79 84 73 62 75 73
a. LKS 30 75 76 79
b. Observasi 20 81 86 85
c. Tes 50 80 67 68

3. Hasil Penelitian di Kelas IXB


Siklus I di kelas IXB dilaksanakan pada pembelajaran dengan kompetensi dasar ‘Mendeskripsikan
sistem reproduksi dan penyakit yang berhubungan dengan sistem reproduksi manusia’. Penerapan
pembelajaran dengan model SB-5E rata-rata dikategorikan baik dengan nilai rerata 15. Berdasarkan hasil
pengamatan, tahap pelibatan terutama pada tahap membimbing siswa mengaitkan dengan pelajaran
sebelumnya tidak dilaksanakan. Pada tahap penggalian, guru sudah mengajukan pertanyaan namun
pertanyaan yang diajukan bukan merupakan pertanyaan tingkat aplikasi.
Siklus II dilaksanakan untuk mencapai kompetensi dasar ‘Mengidentifikasi kelangsungan makhluk
hidup melalui adaptasi, seleksi alam, dan perkembangbiakan’. Tindakan yang dilakukan pada siklus ini
selain menghilangkan pertanyaan penuntun pada bagian kesimpulan di LKS adalah dengan merancang
pertanyaan aplikasi secara tertulis pada RPP. Proses perbaikan pembelajaran secara keseluruhan
dikategorikan baik yaitu bernilai rerata 18. Pertanyaan lisan yang diajukan guru pada tahap penggalian
sudah merupakan pertanyaan aplikasi. Penjelasan konsep sebagain besar sudah berpola induktif.
Penelitian tindakan di kelas IXB ini hanya terlaksana hingga siklus II karena di samping kendala kondisi
waktu pembelajaran, masing-masing materi di siklus I dan II memerlukan waktu pembelajaran lebih lama
dibandingkan materi kelas VII dan VIII. Hasil angket yang diberikan pada siswa di akhir siklus II
menunjukkan bahwa 24 dari 37 siswa kelas IXB berpendapat senang belajar dengan alasan banyak
kegiatan (67%), banyak kesempatan diskusi (58%), banyak memeroleh kesempatan berbicara,
mengeluarkan pendapat, atau bertanya kepada guru atau teman (51%), dan menjadi aktif di kelas (51%).
Tiga belas (35%) siswa berpendapat biasa-biasa saja terhadap pembelajaran. Nilai keterampilan inkuiri dan
pemahaman konsep siswa pada siklus I dan siklus II ditunjukkan pada Tabel 3.

435
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

Tabel 3 : Perbandingan Rerata Nilai dan Persentase Ketuntasan Pemahaman Konsep


dan Keterampilan Inkuiri Siswa Kelas IXB

Aspek dan Proporsi Siklus I Siklus II Siklus III


Komponen Penilaian Nilai Ketuntasan Nilai Ketuntasan Nilai Ketuntasan
Penilaian (%) (%) (%) (%)
1. Pemahaman
konsep 71 72 80 92 - -
a. Tugas 50 67 84
b. Tes 50 75 75
2. Keterampilan
Inkuiri 78 89 80 92 - -
a. LKS 30 80 83
b. Observasi 20 80 83
c. Tes 50 76 76

PEMBAHASAN
Berikut ini diuraikan pembahasan hasil penelitian berdasarkan tiga aspek yaitu proses
pembelajaran dengan model SB-5E, keterampilan inkuiri siswa, dan pemahaman konsep siswa.

1. Proses pembelajaran dengan SB-5E


Proses pembelajaran dengan model SB-5E yang dilakukan guru kelas VII, VIII, dan IX secara
umum menjadi lebih baik pada siklus akhir penerapannya. Perbaikan tampak pada tahap-tahap
pembelajaran SB-5E yang sebelumnya masih belum optimal yaitu tahap pelibatan, tahap pengenalan
konsep, dan tahap penggalian. Pada tahap pelibatan, guru mengaitkan informasi pengetahuan baru tidak
saja dengan pengetahuan sehari-hari namun juga dengan pengetahuan dari pelajaran sebelumnya yang
relevan. Contohnya, guru kelas VIIB mengajukan pertanyaan ‘Apa saja perbedaan ciri antara tumbuhan
dengan hewan?’ untuk membantu siswa mengaitkan materi pelajaran sebelumnya yaitu ‘Ciri-ciri makhluk
hidup’ dengan materi yang akan dipelajari yaitu ‘Klasifikasi makhluk hidup’.
Pada tahap pengenalan konsep, guru sudah lebih sering menunjukkan pola induktif saat
menjelaskan atau menekankan konsep baru yang dipelajari siswa. Contoh penjelasan atau penekanan
konsep pada pembelajaran materi ‘Alat-alat pencernaan pada manusia’ yang dilakukan guru kelas VIIIC
adalah “Organ seperti saluran yang berada memanjang dari bagian dalam leher hingga bawah dada
disebut kerongkongan”. Pengenalan konsep dilakukan dengan lebih dahulu mengungkapkan apa yang
dipelajari siswa pada kegiatannya dalam bentuk pengajuan pertanyaan-pertanyaan terkait pengamatan
fenomena langsung atau gambar dan pertanyaan kesimpulan kegiatan. Sebagai contoh, pertanyaan terkait
pengamatan gambar yang dilakukan guru kelas VIIIC adalah “Apakah bentuk alat-alat pencernaan sama?”,
“Bagaimana letak dan bentuk masing-masing alat pencernaan pada manusia yang ditunjuk dengan angka
pada gambar?”, “Apakah bentuk alat-alat pencernaan tersebut dapat terkait dengan fungsinya?”
Pada tahap penggalian, guru mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang seringkali sudah berupa
pertanyaan tingkat aplikasi. Contohnya, pertanyaan penggalian yang dilakukan guru kelas VIIIC pada
materi ‘Sistem gerak pada manusia’ adalah “Otot apakah yang digerakkan saat kalian mengangkat barbel?
Otot manakah yang berelaksasi dan otot manakah yang berkontraksi?’ Pertanyaan penggalian yang
diajukan guru kelas IXB pada materi ‘Kelangsungan hidup organisme’ adalah “Bagaimana cara tumbuhan di
halaman rumahmu berkembang biak?

436
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

Pembelajaran model SB-5E yang diterapkan guru menjadi lebih baik karena dilakukan tindakan
perbaikan berdasarkan refleksi. Menurut Elliot (1991) dan Hopkins (1993), kemampuan guru berefleksi
mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan pembelajarannya diperlukan untuk melaksanakan tindakan
perbaikan. Guru-guru menyadari belum terbiasanya menerapkan pembelajaran berpola induktif yang
merupakan ciri model SB-5E seringkali mengakibatkan pembelajaran pada tahap-tahap awal dilaksanakan
dengan pola deduktif yang biasa dilakukannya. Pola pembelajaran yang dilakukan guru dapat dikaitkan
dengan struktur kognitif guru. Struktur kognitif ini, menurut Posner, Strike, Hewson, dan Gertzog (1982)
sulit diubah tanpa adanya empat kondisi diri yaitu 1) ketidakpuasan dengan pengetahuan yang dimiliki; 2)
kemudahan pengetahuan baru untuk dapat dipahami; 3) kelogisan pengetahuan baru, 4) kebermanfaatan
pengetahuan baru.

2. Keterampilan inkuiri siswa


Keterampilan inkuiri siswa di kelas VIIB dan kelas IXB pada siklus perbaikan pembelajaran
berikutnya secara keseluruhan meningkat. Namun di kelas VIIIC, keterampilan inkuiri siswa fluktuatif.
Peningkatan keterampilan proses di kelas VIIB tampak pada proses pembelajaran yang ditunjukkan dari
LKS dan observasi sikap ilmiah siswa, serta produk pembelajaran yang ditunjukkan dari hasil tes tulis. Di
kelas IXB, peningkatan keterampilan proses hanya pada hasil tes tulis, sedangkan pada proses
pembelajaran yang ditunjukkan pada LKS dan observasi sikap ilmiah adalah tetap. Di kelas VIIIC,
keterampilan inkuiri cenderung meningkat pada proses pembelajaran, namun menurun pada hasil tes tulis.
Penurunan keterampilan ilmiah pada tes tulis yang terjadi pada siswa kelas VIIIC tersebut dapat
dipengaruhi oleh beberapa aspek. Aspek yang mungkin berperan adalah kondisi siswa saat tes
dilaksanakan dan kejelasan butir tes.
Peningkatan keterampilan inkuiri siswa selama proses pembelajaran dan pada akhir pembelajaran
tampaknya terkait dengan strategi pembelajaran yang memberikan kesempatan pada siswa melatih
keterampilan inkuirinya secara bertahap. Melakukan inkuiri itu sendiri, yang antara lain mencakup
pengamatan, menganalisis dan mengevaluasi, merupakan cara mengembangkan keterampilan inkuiri
(Collete dan Chiapetta, 1994). Pengajuan pertanyaan-pertanyaan selama pembelajaran sejalan dengan
pendapat Poedjiadi (2005) bahwa bagian dari cara mengembangkan sikap selalu ‘berinkuiri’ adalah dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan problematik. Penerapan model siklus belajar menurut Lawson (2001)
dan Rehorek (2004) meningkatkan keterampilan inkuiri. Barbra (1998) yang mengutip berbagai hasil
penelitian merinci keterampilan inkuiri yang dapat ditingkatkan melalui Siklus Belajar di antaranya adalah
kemampuan melakukan pengamatan, kemampuan mengembangkan kosakata ilmiah, keterampilan
memecahkan masalah, dan sikap ilmiah.
Strategi pembelajaran yang diterapkan tersebut juga berperan memotivasi belajar siswa.
Berdasarkan respon siswa terhadap angket yang diberikan, lebih dari 50% siswa kelas VIIB, VIIIC, dan IXB
senang karena pembelajaran banyak kegiatan, banyak kesempatan diskusi, dan banyak memeroleh
kesempatan berbicara, mengeluarkan pendapat, atau bertanya kepada guru atau teman. Kesenangan
membangkitkan motivasi yang berperan dalam proses belajar (Elliot, Kratochwill, Cook, Travers, 2000).

3. Pemahaman konsep siswa


Seperti pada keterampilan inkuiri, pemahaman konsep siswa kelas VIIB dan kelas IXB pada siklus
perbaikan pembelajaran berikutnya secara keseluruhan meningkat. Pemahaman konsep siswa kelas VIIIC
secara keseluruhan menurun di siklus II dan meningkat sedikit di siklus III. Di kelas VIIB, kemampuan
pemahaman konsep pada tugas dan tes meningkat. Di kelas IXB, pemahaman konsep pada tugas

437
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

meningkat, sedangkan pada tes tetap. Seperti kelas IXB, pemahaman konsep siswa kelas VIIIC pada tugas
meningkat, namun pada tes menurun di siklus II dan relatif tetap di siklus III.
Pemahaman konsep berhubungan dengan proses pembelajaran yang dilaksanakan guru (Barbra,
1998; Collete dan Chiapetta, 1994). Pemahaman konsep siswa lebih tertanam kuat jika siswa aktif dalam
belajarnya termasuk ‘menemukan’ konsep. Hal ini sesuai dengan pendapat siswa melalui angket yang
menunjukkan bahwa lebih dari 50% siswa kelas VIIB, VIIIC, dan IXB berpendapat mereka menjadi
terdorong untuk aktif di kelas.
Hasil penelitian ini yang sebagian menunjukkan peningkatan pada pemahaman konsep siswa
sejalan dengan penelitian yang dilakukan Lawson (2001), Rehorek (2004), Songer dan Ho (2005), serta
Wasih (1999). Penelitian mereka menunjukkan bahwa selain meningkatkan keterampilan inkuiri, siklus
belajar juga meningkatkan pemahaman konsep. Pemahaman konsep yang meningkat pada tugas dari
siswa kelas VIIB, VIIIC, dan IXB tampaknya terkait dengan pelaksanaannya. Tugas pemahaman konsep
merupakan tugas individu, namun siswa masih memiliki kesempatan untuk bekerja sama dengan
temannya. Berbeda dengan tes yang dilaksanakan siswa secara individual. Namun berdasarkan
perbandingan nilai tugas dan tes, siswa yang memeroleh nilai baik pada tes umumnya juga baik pada nilai
tugasnya.

PENUTUP
Penerapan model pembelajaran SB-5E menjadi lebih baik setelah dilakukan tindakan perbaikan
berdasarkan refleksi. Keterampilan inkuiri siswa di kelas VIIB dan kelas IXB pada siklus perbaikan II dan III
secara keseluruhan meningkat. Namun di kelas VIIIC, keterampilan inkuiri siswa fluktuatif. Seperti pada
keterampilan inkuiri, pemahaman konsep siswa kelas VIIB dan kelas IXB pada siklus perbaikan
pembelajaran berikutnya juga meningkat. Pemahaman konsep siswa kelas VIIIC secara keseluruhan
menurun di siklus II dan meningkat sedikit di siklus III.

DAFTAR PUSTAKA

Abraham, M.R. 1997. The Learning Cycle Approach to Science Instruction. Research Matters - to the
Science Teacher: No. 9701, Jan. 2, 1997.
Barbra, R.H. 1998. Science in the Multicultural Classroom: A Guide to Teaching and Learning. Needham
Heights, M.A.: Allyn and Bacon.
Bybee, R.W. dkk. 2006. The BSCS 5E Instructional Model: Origins, Effectiveness, and Applications.
Diakses pada tanggal 31 Juli 2007 di http://bscs.org/pdf/bscs5eexecsummary.pdf.
Collette, A.T. dan E.L. Chiappetta. 1994. Science Instruction in the Middle and Secondary Schools, 3rd
ed. New York: Merril.
Elliot, J. 1991. Action Research for Educational Change. Philadelphia: Open University Press.
Elliot, S.N., T.R. Kratochwill, J.L. Cook, J.F. Travers. 2000. Educational Psychology: Effective Teaching,
Effective Learning, 3th edition. Boston: McGraw Hill.
Hopkins, D. 1993. A Teacher's Guide to Classroom Research, 2nd edition. Philadelphia : Open University
Press.
Lawson, A. E. 2001. Using The Learning Cycle to Teach Biology Concepts and Reasoning Patterns.
Journal of Biological Education, 35(4): 165-169.
Poedjiadi, A., (2005). Sains Teknologi Masyarakat: Model Pembelajaran Kontekstual Bermuatan Nilai.
Bandung: Remaja Rosdakarya.

438
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

Posner, G.J., K.A. Strike, P.W. Henson, dan W.A. Gertzoq. 1992. Accomodation of a scientific conception:
Toward a theory of conceptual change. Dalam M.K. Pearsall (Ed.): Scope, Sequence, and
Coordination of Secondary School Science, Vol. II: Relevant Research: 253-270. Washington, DC:
The National Science Teachers Association.
Rehorek, S.J. 2004. Inquiry-Based Teaching: An Example of Descriptive Science in Action. The American
Biology Teacher, 66(7): 493-499.
Songer, N.B. dan P.S. Ho. 2005. Guiding the “Explain”: A Modified Learning Cycle Approach Towards
Evidence of the Development of Scientific Explanations. Diakses pada tanggal 1 Juli 2006 di
http://www.biokids.umich.edu/about/papers/Guiding explainaera.pdf.
Tobin, K., D.J. Tippins, A.J. Gallard. 1994. Research on Instructional Strategies for Teaching Science.
Dalam Handbook of Research on Science Teaching and Learning. D.L. Gabel (Ed.) 1994. New York:
Macmillan Publishing Company.
Wasih, D.S. 1999. Peningkatan Kemampuan Guru Membelajarkan Siswa dalam Matapelajaran IPA Melalui
Pendekatan Daur Belajar. Ilmu Pendidikan, 26 (2): 144-153.

439
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

BIO-3
THE USE OF INTERACTIVE MULTIMEDIA IN LEARNING OF ANIMAL REPRODUCTION
TO IMPROVE CONCEPT MASTERY AND CRITICAL THINKING OF 9TH GRADE STUDENT
Gita Nurul Puspita (1), Ari Widodo (2), Topik Hidayat (2)
(1)
SMP Negeri 2 Cimahi, (2) SPS Program Studi IPA UPI Bandung

ABSTRACT
Research about the use of interactive multimedia (IMM) in learning of animal reproduction to improve
concept mastery and critical thinking of 9th grade student has been done. As a background, the use of
computer in biology instruction in Junior High School has not much drawn attention to teachers. The
IMM Program used in this research include animation-video and static illustration. Quasi experimental
method was used and involved 44 students who learned with animation and video illustration,
whereas 44 students who learned with static one. Based on the pre and the post test data which were
analyzed by Z two-tailed test, it was found that students who learned by using animation and video
illustration was significantly superior in concept mastery and critical thinking. The calculation of
statistical correlation indicates there was low correlation (r = 0,321) between concept mastery and
critical thinking in experimental group and adequate high correlation (r= 0,677) in comparison group.
Those school which has sufficient computer facilities should be consider to increase its used in various
learning activities so that the students can be more familiar with the operation button, moreover
learning activities individually by using computer program can work properly.
Key word: Animation and video illustration, static illustration, concept mastery, critical thinking.

PENDAHULUAN
Berdasarkan studi pendahuluan di dua SMP di kota Cimahi, diketahui bahwa komputer jarang
dipergunakan dalam pembelajaran biologi. Jarangnya penggunaan komputer dalam pembelajaran di kelas,
dapat disebabkan oleh kekurangmampuan guru dalam mengoperasikan program-program komputer
(Priyono, 2004). Padahal komputer memiliki kemampuan mengkombinasikan teks, suara, warna, gambar,
grafik, dan video serta mampu menyajikan proses interaktif. Di sisi lain, guru sebagai fasilitator dan
kreator kegiatan pembelajaran diamanatkan oleh Undang-undang Sisdiknas Tahun 2003 Pasal 40 Ayat 2
untuk dapat menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis.
Suasana pembelajaran yang menyenangkan dapat diwujudkan dengan memanfaatkan multimedia
komputer dalam pembelajaran (Universitas Negeri Jakarta, 2005). Multimedia merupakan gabungan teks,
suara, gambar, warna, animasi, dan video dengan alat bantu (tool) dan koneksi (link) untuk dapat
menyampaikan informasi sehingga pengguna dapat bernavigasi (The Florida Center for Instructional
Technology University of South Florida, 2007).
Satu jenis multimedia yang dianjurkan dipergunakan dalam pembelajaran adalah multimedia
interaktif (MMI). MMI memungkinkan pengguna dapat memilih apa yang akan dikerjakan selanjutnya,
bertanya atau mendapatkan jawaban yang mempengaruhi komputer untuk mengerjakan fungsi selanjutnya
(Sutopo, 2003; Ariasdi, 2008).
MMI setidaknya memiliki dua elemen penting. Keduanya adalah animasi dan video (Reiber, 1994
dalam Nurtjahjawilasa, 2004; Chia, 2003). Animasi merupakan kumpulan gambar yang diolah sedemikian
rupa sehingga menimbulkan kesan bahwa gambar-gambar yang ditampilkan bergerak (Suheri, 2006;
Utami, 2007). Di sisi lain, video ‘menangkap’ citra yang bergerak untuk selanjutnya disimpan dalam
rangkaian foto yang diam dan diputar kembali menjadi gerak sesuai durasi yang dikehendaki (Ariasdi,
2008).
Dengan karakteristik yang demikian, animasi dan video dapat menjadi media pembelajaran yang
baik karena dapat memperlihatkan aspek-aspek yang dinamik. Keunggulan ini menyebabkan keduanya

440
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

lebih informatif, lebih jelas menampilkan materi subjek sehingga siswa mampu membuat interpretasi yang
benar. Animasi dan video tidak memerlukan pemakaian simbol tambahan (tanda panah, garis putus-putus,
dan lain-lain) seperti yang sering digunakan pada ilustrasi statis. Dengan demikian, siswa yang belajar
dengan memanfaatkan animasi dan video tidak perlu melakukan proses dekoding untuk
menginterpretasikan simbol agar dapat memahami materi. Selain itu tampilan keduanya yang memikat
dapat menarik perhatian siswa karena pada dasarnya manusia lebih menyukai sesuatu yang dinamis
daripada statis (Rieber 1990 dalam Chan dan Black, 2005; Park dan Gittelman 1992 dalam Chan dan Black,
2005; Lowe, 2001; Nurtjahjawilasa, 2004; Suheri, 2006; Utami 2007).
Keistimewaan-keistimewaan yang dimiliki oleh animasi pada intinya diperlukan untuk
memvisualisasikan konsep-konsep yang abstrak dan sulit untuk dipraktekkan di kelas (Tapilouw et al.,
2007). Salah satu materi biologi yang tersusun atas konsep-konsep abstrak adalah reproduksi hewan.
Konsep reproduksi hewan, tiga di antaranya adalah materi tentang reproduksi aseksual, ovulasi,
dan fertilisasi, merupakan materi yang sulit dipahami oleh siswa SMP karena di dalamnya terkandung
konsep yang bersifat abstrak dan sulit dijelaskan, sehingga tak ayal lagi pemahaman siswa terhadap
konsep ini masih belum optimal. Walaupun anak yang berusia di atas 11 tahun berada pada tahap berpikir
operasional formal (Piaget, 1950 dalam Setiono, 1983), namun siswa SMP seringkali masih mengalami
kesulitan dalam memahami konsep-konsep yang bersifat abstrak (Tapilouw et al., 2007).
Ovulasi dan fertilisasi di dalam organ reproduksi wanita sulit untuk dieksplorasi secara detil karena
tidak ada obyek langsung yang dapat dipelajari. Reproduksi aseksual hewan vertebrata sulit dipraktekkan
di sekolah, sebab terkendala dengan sumber belajar yang terbatas dari lingkungan. Kondisi demikian dapat
menyebabkan kesulitan bagi siswa untuk menguasai dan memahami konsep-konsep tersebut yang dapat
memancing terjadinya miskonsepsi (Surbakti, 2000). Oleh sebab itu, pembelajaran konsep reproduksi pada
hewan dianggap perlu dibantu dengan menggunakan ilustrasi animasi dan video.
Akan tetapi, selama ini banyak program multimedia pembelajaran dengan ilustrasi animasi hanya
dirancang untuk meningkatkan penguasaan konsep siswa (Meranti et al., 2007). Padahal pembelajaran di
sekolah diharapkan mampu membekali siswa dengan berbagai kemampuan yang dapat dipergunakan
untuk memecahkan permasalahan dalam kehidupannya di masa depan, diantaranya adalah berpikir kritis
yang termasuk kegiatan berpikir kompleks (Cohen 1971 dalam Costa, 1985).
Berpikir kritis merupakan berpikir reflektif yang difokuskan pada membuat keputusan mengenai
apa yang dipikirkan atau yang diyakini (Ennis, 1985 dalam Costa, 1985), melalui interpretasi, analisis, dan
evaluasi, maupun pemaparan menggunakan suatu bukti, konsep, metodologi, kriteria, atau pertimbangan
kontekstual (Facione, 2006).

METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di SMPN Y Kota Cimahi. Sebanyak dua kelas dipilih secara acak dari sepuluh
kelas IX yang ada. Masing-masing kelas terdiri atas 44 orang siswa. Oleh karena itu jenis penelitian yang
dilakukan tergolong quasi experiment. Siswa di kelas eksperimen belajar dengan memanfaatkan Program
Multimedia Interaktif (MMI) Reproduksi Hewan dengan ilustrasi animasi dan video, sedangkan siswa di
kelas pembanding memanfaatkan MMI dengan ilustrasi statis. Pengumpulan data utama dilakukan melalui
pelaksanaan tes awal dan akhir penguasaan konsep berbentuk pilihan ganda, tes awal dan akhir berpikir
kritis berbentuk pilihan ganda, sedangkan pengumpulan data pendukung dilakukan menggunakan angket,
pedoman wawancara, dan lembar observasi.

441
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Penguasaan Konsep
Berikut ini ditampilkan statistik nilai penguasaan konsep siswa di kedua kelas.

80
68,75
70
59,091
60
Rerata Nilai Siswa

49,148 48,182
50
Eksperimen
40 36,2
Pembanding
30
20,4
20

10

0
Tes Awal Tes Akhir Rerata N-Gain

Gambar 1 : Statistik Nilai Penguasaan Konsep Siswa di Kedua Kelas

Nilai tes akhir siswa di kedua kelas selanjutnya diuji menggunakan uji Z dua pihak. Diperoleh hasil
bahwa penguasaan konsep siswa di kelas pembanding unggul signifikan (α = 0,05). N-Gain siswa di kedua
kelas juga diuji menggunakan uji Z satu pihak, disimpulkan bahwa ilustrasi animasi dan video efektif dan
efisien untuk meningkatkan penguasaan konsep siswa. Ilustrasi animasi dan video mampu membantu
54,550% siswa di kelas eksperimen untuk mencapai nilai 68 yang ditentukan sebagai Kriteria Ketuntasan
Minimum. Siswa di kelas eksperimen unggul dalam semua jenjang berpikir kognitif (C1-C5) serta unggul
dalam lima sub-konsep (definisi dan fungsi reproduksi, reproduksi aseksual, reproduksi seksual, reproduksi
hewan vertebrata, dan reproduksi manusia), sedangkan siswa kelas pembanding unggul pada sub-konsep
pengendalian kelahiran dan kontrasepsi serta penyakit menular seksual.
Lebih unggulnya penguasaan konsep siswa di kelas eksperimen dikarenakan kemampuan animasi
dan video sebagai gabungan media gambar dan suara (Chia, 2003) lebih informatif dan menarik (Lowe,
2001). Materi ajar di kelas eksperimen disajikan dengan didukung ilustrasi animasi mengenai reproduksi
aseksual (meliputi proses pembelahan pada Anemon Laut, pertunasan pada Hydra, dan fragmentasi pada
Planaria), ovulasi, perjalanan sperma, fertilisasi internal, dan menstruasi.
Rieber (1990 dalam Chan dan Black, 2005), Park dan Gittelman (1992 dalam Chan dan Black,
2005), Lowe (2001), Nurtjahjawilasa (2004), Suheri, (2006), Utami (2007), dan Ariasdi (2008)
mengemukakan bahwa animasi dan video dapat lebih jelas dan lebih dekat menampilkan materi subjek
yang sebenarnya melalui penggambaran aspek-aspek dinamis. Belajar dengan ilustrasi animasi dan video
memperkecil kemungkinan siswa merasa bosan menyimak materi. Demikian yang diungkapkan oleh 88,636
% siswa di kelas eksperimen dalam Angket.
Sebenarnya pencapaian konsep siswa di kedua kelas belum menunjukkan hasil yang maksimal.
Hanya 54,550 % siswa di kelas eksperimen yang mampu mencapai KKM. Persentase tersebut belum
memenuhi kriteria ketuntasan klasikal yang ditetapkan oleh Depdiknas, yaitu sebesar 75 %. Akan tetapi
persentase tersebut masih jauh lebih besar daripada persentase siswa yang mencapai KKM di kelas
pembanding, yaitu sebesar 18,182%. Ada tiga faktor yang mengakibatkan diperolehnya hasil demikian di

442
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

kelas eksperimen. Pertama, pembelajaran secara mandiri menggunakan ilustrasi animasi dan video dalam
format flash baru pertama kali dilaksanakan. Kedua, tidak semua materi ajar didukung ilustrasi animasi
atau video. Ketiga, keterbatasan komputer dalam menyelesaikan permasalahan individual.

2. Berpikir Kritis
Berikut disajikan statistik nilai berpikir kritis siswa di kedua kelas.

60 56,818
50,379
50 45,265
42,614
Rata-rata Nilai Siswa

40

Eksperimen
30
Pembanding
19,2
20

10
4,3

0
Tes Awal Tes Akhir N-Gain

Gambar 4 : Statistik Nilai Berpikir Kritis Siswa di Kedua Kelas

Berdasarkan hasil uji Z dua pihak terhadap nilai tes akhir, diketahui bahwa rata-rata nilai berpikir kritis
siswa di kelas eksperimen unggul signifikan (α = 0,05). Hasil uji Z satu pihak terhadap N-Gain,
membuktikan ilustrasi animasi dan video efektif dan efisien meningkatkan berpikir kritis siswa (α = 0,05).
Berikut ditampilkan rata-rata nilai tes akhir siswa pada setiap indikator berpikir kritis yang diadopsi dari
Ennis (1085 dalam Costa, 1985).

80 73,295
70 61,364
59,091 59,091 56,818 59,659
60
Rata-rata Nilai

47,727
50 40,909 Eksperimen
40
28,409 Pembanding
30 23,864
20
10
0
alternatif

Berpikiran

Fokus pada
Mencari

Menganalisis
Mencari

pertanyaan
alasan

terbuka

sebuah

argumen

Indikator Berpikir Kritis

Gambar 5 : Statistik Nilai Berpikir Kritis Siswa di Kedua Kelas

443
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

Siswa di kelas eksperimen unggul dalam tiga indikator, yaitu mencari alternatid, berpikiran terbuka, fokus
pada sebuah pertanyaan, dan menganalisis argumen.
Lebih tingginya berpikir kritis siswa di kelas eksperimen yang belajar memakai ilustrasi animasi
berformat DMA dan video ini sejalan dengan pendapat Uhlig (2002). Ia menyatakan bahwa berpikir kritis
yang termasuk kemampuan berpikir tingkat tinggi memerlukan banyak sumber kognitif.
Animasi dan video terdiri atas informasi audio dan gambar dinamik. Kedua komponen tersebut
mampu menyediakan muatan kognitif lebih banyak kepada pembelajar. Animasi dapat lebih menjelaskan,
karena animasi menyediakan multiple visual dan perspektif konseptual terhadap materi subjek.
Karakteristik-karakteristik tersebut mampu memperluas cakrawala berpikir siswa yang penting untuk
meningkatkan berpikir kritis siswa (Bittner dan Tobin, 1998 dalam Simpson dan Courtney, 2001). Kendala
yang menyebabkan siswa di kelas eksperimen mencapai nilai yang rendah pada indikator mencari alasan
dikarenakan sedikitnya waktu yang tersedia untuk belajar.

3. Korelasi antara Penguasaan Konsep dan Berpikir Kritis Siswa


Berikut merupakan tabel korelasi dan penafsiran korelasi yang terjadi antara penguasaan konsep
dan berpikir kritis.

Tabel 1: Korelasi antara Penguasaan Konsep dan Berpikir Kritis Siswa di Kedua Kelas

Korelasi (X-Y) r Kategori


Kelas Eksperimen
PK-BK 0,321 Rendah

Kelas Pembanding
PK-BK 0,677 Cukup tinggi

Berpikir kritis merupakan berpikir reflektif yang difokuskan pada membuat keputusan mengenai
apa yang dipikirkan atau yang diyakini (Ennis, 1985 dalam Costa, 1985), melalui interpretasi, analisis, dan
evaluasi, maupun pemaparan menggunakan suatu bukti, konsep, metodologi, kriteria, atau pertimbangan
kontekstual (Facione, 2006). Berpikir kritis juga merupakan proses berpikir kompleks (Cohen, 1985 dalam
Costa, 1985). Jelaslah bahwa berpikir kritis termasuk berpikir tingkat tinggi, lebih tinggi daripada hanya
sekedar menghapal (mengingat) atau memahami informasi. Menghapal dan memahami termasuk indikator
penguasaan konsep menurut Bloom (Rustaman et al., 2003). Padahal lebih dari 50 % soal yang digunakan
dalam penelitian dimaksudkan untuk menguji penguasaan konsep siswa pada kedua indikator tersebut.
Korelasi yang cukup tinggi sebesar 0,677 terjadi antara penguasaan konsep dengan berpikir kritis
siswa yang belajar menggunakan Program MMI dengan ilustrasi statis. Hasil demikian dapat diperoleh
karena penguasaan konsep siswa yang rendah dimana hanya delapan orang siswa yang mencapai kriteria
ketuntasan minimum juga diikuti dengan hasil tes akhir berpikir kritis siswa dengan rerata nilai 50,379 yang
lebih rendah daripada nilai di kelas eksperimen. Rendahnya penguasaan konsep dan berpikir kritis siswa
disebabkan ilustrasi statis kurang informatif dengan ketiadaan aspek dinamik, sehingga siswa perlu
melakukan proses dekoding untuk menginterpretasikan gambar beserta simbol tambahan yang
dipergunakan untuk memperjelas materi sehingga memungkinkan terjadinya miskonsepsi yang cukup

444
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

besar (Lowe, 2001). Padahal untuk berpikir kritis siswa memerlukan sumber informasi yang lengkap (Uhlig,
2002).

PENUTUP
Siswa yang mempelajari materi Reproduksi Hewan dengan memanfaatkan Program MMI ilustrasi
animasi dan video unggul secara signifikan dalam penguasaan konsep dan berpikir kritis dibandingkan
siswa yang belajar dengan menggunakan ilustrasi statis. Uji statistik korelasi menunjukkan terdapat hubungan
yang rendah antara penguasaan konsep dengan berpikir kritis di kelas eksperimen (r = 0,321) dan
hubungan yang cukup tinggi antara keduanya di kelas pembanding (0,677).
Sekolah yang memiliki sarana komputer yang memadai, hendaknya memaksimalkan
pemanfaatannya dalam berbagai kegiatan pembelajaran agar siswa menjadi lebih akrab dengan tombol-
tombol pengoperasian sehingga kegiatan pembelajaran secara mandiri dengan menggunakan program
komputer dapat berjalan lancar.

PERNYATAAN TERIMA KASIH


Prof. Dr. Liliasari, M. Pd., Ketua Program Studi Pendidikan IPA SPs UPI atas fasilitas yang diberikan dalam
pengembangan Program MMI. Prof Dr. Hj. Sri Redjeki, Prof. Dr. Hj. Nuryani Y. Rustaman, Dra. Soesy Asiah
MS., dan Drs. Dadang Machmudin, M. Si, atas pertimbangan yang diberikan dalam mengoreksi instrumen
penelitian. Drs. H. Tonton Rustono, MM. dan Ni Nyoman Sitiari, S. Pd., selaku kepala sekolah dan guru
bidang studi yang telah berkenan mengizinkan penelitian dilaksanakan di kelasnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ariasdi. (2008). Panduan Pengembangan Multimedia Pembelajaran. [Online]. Tersedia:


http://ariasdimultimedia.wordpress.com/2008/02/12/panduan-pengembangan-multimedia-
pembelajaran.html. Download: 10 Mei 2008.
Chan, M. dan Black, J. (2005). When Can Animation Improve Learning? Some Implications for Human
Computer Interaction and Learning. [Online]. Tersedia: http://www.ilt.columbia.edu. Download:10
Mei 2008.
Chia, H. (2003). Perancangan dan Pembuatan Program Aplikasi Alkitab Multimedia. [Online]. Tersedia:
http://digilib.petra.ac.id. Download: 4 Juni 2008.
Costa, A. (1985). Developing Minds. Virginia: Association for Supervision and Curriculum Development.
Ena, O. (2006). Membuat Media Pembelajaran Interaktif dengan Piranti Lunak Presentasi. [Online].
Tersedia: www.ialf.edu. Download: 14 September 2007.
Facione, P. (2006). Critical Thinking: What It Is and Why It Counts. [Online]. Tersedia: www.aacu.org.
Download: 26 Februari 2007.
Lowe, R. (2001). Beyond “Eye-Candy”: Improving Learning with Animations. [Online]. Tersedia: http://
auc.uow.edu.au. Download: 10 Mei 2008.
Meranti, D. et al. (2007). “The Use of Computer Animation in Learning Process of Electrolysis Topic for
Supporting Practical Activity to Improve Conceptual Understanding and Basic Skill of Scientific
Work (BSSW)”. Makalah pada Seminar Internasional Pendidikan IPA I SPs UPI, Bandung.
Nurtjahjawilasa. (2004). Efektifitas Multimedia dalam Menunjang Pembelajaran. [Online]. Tersedia:
www.pusdiklathut.com. Download: 26 Februari 2007.
Priyono, E. (2004, 28 Agustus). Muh. Saefudin Guru Berprestasi Tingkat Nasional. Suara Merdeka [Online],
halaman 1. Tersedia: http://www.suaramerdeka.com. Download: 14 September 2007.

445
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

Rustaman, N. Et al. (2003). Strategi Belajar Mengajar Biologi. Bandung: Jurusan Pendidikan Biologi
FPMIPA UPI.
Setiono, K. (1983). Teori Perkembangan Kognitif. Bandung: Fakultas Psikologi Unpad.
Simpson, E. dan Courtney, M. (2001). Critical Thinking in Nursing Education: A literature review. [Online].
Tersedia: http://eprints.qut.edu.au. Download: 4 Juni 2008.
Suheri, A. (2006). Animasi dalam Pembelajaran. Dalam Animasi dalam Pembelajaran [Online], Vol 2 (1), 7
halaman. Tersedia: http:// unsur.ac.id. Download: 2 Juni 2007.
Surbakti, R. (2000). Analisis Miskonsepsi Siswa Madrasah Aliyah tentang Konsep Reproduksi Sel. Tesis IPA
SPs UPI: Tidak diterbitkan.
Sutopo, A. (2003). Multimedia Interaktif dengan Flash. Jakarta: Graha Ilmu.
Tapilouw, F. et al. (2007). “Analisis Pembelajaran Biologi Berbasis Multimedia Interaktif Pada Berbagai
Jenjang Pendidikan”. Makalah pada Seminar Internasional Pendidikan IPA I SPS UPI, Bandung.
The Florida Center for Instructional Technology University of South Florida. (2007). Multimedia in The
Classroom. [Online]. Tersedia: http://fcit.usf.edu/multimedia/overview/overviewa.html. Download:
22 Mei 2007.
Uhlig, G. (2002). Teaching Critical Thinking Online. [Online]. Tersedia:
http://www.freelibrary.com/2002/june.htm. Download: 28 Mei 2008.
Universitas Negeri Jakarta. (2005). Pemanfaatan Teknologi Informasi dan
Multimedia dalam Pembelajaran. [Online]. Tersedia: http://www.unj.ac.id Download: 5 Juni 2008.
Utami, D. (2007). Animasi dalam Pembelajaran. [Online]. Tersedia: http://www.uny.ac.id. Download: 14
September 2007.

446
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

BIO-04
KEMAMPUAN SISWA MENERAPKAN KERJA ILMIAH
PADA TOPIK CIRI-CIRI MAKHLUK HIDUP
MELALUI PENDEKATAN KETERAMPILAN PROSES
DI SMP NEGERI 14 PONTIANAK
Reni Marlina, S.Pd
(Tanjungpura University Pontianak)

ABSTRACT
This Research is entittled ” The students’ ability in applying the scientific work with topic of
creatures types by the process of tbe ability approach in the seventh grade of SMP 14 Pontianak”. The
purpose of this research is to know the students’ ability in applying the scientific work with the topic
of creatures types by the process of tbe ability approach in the seventh grade of SMP 14 Pontianak.
This research is quasy experiment with the pre-test design and post test one group design.The
subject in this research is the student of the seventh grade of SMP 14 Pontianak in the year of
2006/2007 who is learning the creature types topic. The object of this research is applying the
scientific work by the approach of the ability process. The tools to collect data is the students’ ability
test in essay. It consist of 10 questions. The test is validated by three validator. The result is valid and
after the examination it requires 0,4995 medium of the reliability.
The information that is required from this analysis result shows that the students’ ability in
applying th creatures types by the process of the ability approach is good enough (66,47%). From the
Wilcoxon accounting test, it required Zhitung (4.92) > Ztabel (1.64), therefore we can conclude that the
aplication of the scientific work in the topic of creatures types by the process of tbe ability approach
has influences to the students of grade seventh of SMP Negeri 14 Pontianak.
Key words : The scientific work, the process of tbe ability approach

PENDAHULUAN
Kemampuan dasar kerja ilmiah merupakan kompetensi yang harus dicapai oleh siswa dalam setiap
pembelajaran sains (IPA Biologi). Soetardjo (1998: 4) mengatakan bahwa dalam satuan pelajaran yang
menggunakan pendekatan keterampilan proses siswa dibimbing menemukan sendiri produk dengan
keterampilan prosesnya sendiri. Dengan demikian, diperlukan adanya pendekatan yang dapat membantu
siswa untuk memahami konsep-konsep IPA Biologi. Salah satu pendekatan yang sesuai adalah pendekatan
keterampilan proses.
Kenderungan pembelajaran IPA Biologi saat ini adalah siswa hanya mempelajarinya sebagai produk,
menghapalkan konsep dan teori. Hal ini belum sesuai dengan tuntutan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) yang mengutamakan pembelajaran IPA Biologi pada empat unsur utama yaitu sikap
ilmiah, proses ilmiah, produk ilmiah dan aplikasinya (Depdiknas, 2006: 4-5). Sehingga dalam penelitian ini
peneliti tertarik untuk meneliti dan memilih menerapkan kerja ilmiah pada topik ciri-ciri makhluk hidup
melalui pendekatan keterampilan proses di kelas VII SMP Negeri 14 Pontianak.

A. Masalah Penelitian
1. Bagaimana kemampuan siswa menerapkan tahapan kerja ilmiah pada topik ciri-ciri makhluk hidup
melalui pendekatan keterampilan proses di kelas VII SMP Negeri 14 Pontianak?
2. Adakah pengaruh penerapan kerja ilmiah melalui pendekatan keterampilan proses terhadap
kemampuan siswa kelas VII SMP Negeri 14 Pontianak?
B. Tujuan Penelitian

447
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan siswa menerapkan kerja ilmiah pada
topik ciri-ciri makhluk hidup melalui pendekatan keterampilan proses di kelas VII SMP Negeri 14
Pontianak.

C. Manfaat penelitian
Penelitian ini bermanfaat sebagai alternatif pembelajaran oleh guru IPA Biologi untuk mengetahui
kemampuan siswa menerapkan kerja ilmiah. Selain itu, dapat pula dijadikan sebagai masukan bagi
guru IPA Biologi untuk mengetahui pengaruh penerapan kerja ilmiah melalui pendekatan keterampilan
proses terhadap kemampuan siswa.

METODE PENELITIAN

A. Bentuk Penelitian.
Bentuk penelitian yang dipandang cocok adalah penelitian semu (quasy eksperimen). dengan
menggunakan model rancangan eksperimen semu yaitu Pre-test and Post-test One Group Design
(Arikunto, 1998: 79). Pola dari rancangan penelitian ini dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 1 : Pola Rancangan Penelitian

Pre-test Perlakuan Pos-test


O1 X O2

Keterangan:
O1 = Pre-test
X = Penerapan kerja ilmiah melalui pendekatan keterampilan proses
O2 = Post-test

B. Prosedur Penelitian
1. Tahap Persiapan.
2. Tahap Pelaksanaan
Jadwal kegiatan penelitian dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2 : Jadwal Kegiatan Pelaksanaan Penelitian

No Kegiatan Tanggal Waktu


1. Pre-test 4 April 2007 60 menit (09.55-10.55)
2. Pertemuan I 11 April 2007 80 menit (09.55-11.15)
3. Pertemuan II 12 April 2007 80 menit (07.00-08.20)
4. Pos-test 17 April 2007 60 menit (07.00-08.00)

C. Instrumen Penelitian
Pada penelitian ini instrumen yang digunakan sebagai alat pengumpul data berupa tes yang
berbentuk esai sebanyak 10 soal.

Langkah-langkah penyusunan tes adalah sebagai berikut:

448
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

1. Penulisan Butir Soal


2. Validitas Tes
3. Uji Coba Tes
4. Reliabilitas Tes
Rumus yang digunakan untuk mengukur reliabilitas tes adalah rumus Alpha sebagai berikut:

 k  ∑ σ b 
2

r11 =   1 −
 (k − 1)  σ t2 

Keterangan :
r11 = Reliabilitas instrumen
k = Banyaknya butir pertanyaan atau soal.
∑σ 2
b
= Jumlah varians butir

∑ 2
t = Varians total
Selanjutnya dalam pemberian interpretasi terhadap koefisien reliabilitas tes (r) digunakan patokan menurut
Arifin (1988: 124) sebagai berikut:
0,00 ≤ r < 0,20 sangat rendah
0.20 ≤ r < 0,40 rendah
0.40 ≤ r < 0,70 sedang
0.70 ≤ r < 0,90 tinggi
0.90 ≤ r < 1,00 sangat tinggi
Dari hasil uji coba yang diberikan pada siswa kelas VII A SMP Negeri 14 Pontianak, diperoleh koefisien
reliabilitas tes sebesar 0,4995 tergolong sedang.

D. Analisis Data
(Oi − Ei ) 2
1) Menghitung nilai chi-kuadrat χ2 = ∑ Ei
2) Menentukan χ 2 dari daftar statistik.
Apabila data berdistribusi normal maka dilanjutkan dengan uji-t,
a) Melakukan perbandingan antara thitung dengan ttabel dengan patokan sebagai berikut:
o Jika thitung ≥ ttabel maka Ho ditolak, sebaliknya Ha diterima atau disetujui. Berarti antara kedua
variabel yang sedang diteliti secara signifikan memang terdapat perbedaan.
o Jika thitung < ttabel maka Ho diterima atau disetujui, sebaliknya Ha ditolak. Berarti perbedaan antara
pre-test dan post-test bukanlah perbedaan yang berarti atau bukan perbedaan yang signifikan.
b) Menarik kesimpulan hasil penelitian (Sudjana, 2000:132).
Apabila data tidak berdistribusi normal, maka dilanjutkan dengan uji statistik nonparametrik yaitu uji
wilcoxon.
Untuk mengetahui kemampuan siswa dalam menerapkan kerja ilmiah melalui pendekatan keterampilan
proses dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
• Menyajikan skor hasil pre-test dan post-test dalam bentuk tabel.
• Menyatakan skor kemampuan tiap siswa dalam bentuk persentase dengan rumus:
R
NP = x100%
SM

Keterangan:

449
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

NP = Persentase kemampuan siswa


R = Skor yang diperoleh siswa
SM = Skor maksimum siswa (Purwanto, 1991:102).
• Mencari persentase rata-rata kemampuan seluruh siswa dengan rumus:

X =
∑X i
(Arikunto, 1990: 271).
N
• Menafsirkan kemampuan seluruh siswa dengan kriteria:
86% - 100% Sangat Baik
76% - 85% Baik
60% - 75% Cukup
55% - 59% Kurang
≤ 54% Kurang Sekali (Purwanto, 1991: 103).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kemampuan seluruh siswa dalam menerapkan kerja ilmiah pada topik ciri-ciri makhluk hidup melalui
pendekatan keterampilan proses dapat dilihat pada table di bawah ini:

Tabel 3 : Persentase Kemampuan Seluruh Siswa Menerapkan Kerja Ilmiah


Melalui Pendekatan Keterampilan Proses

Jumlah Persentase Kategori


No Nama
Skor Kemampuan (%) Kemampuan
1 Aina.R. 10 71,43 Cukup
2 Mukhsin 10 71,43 Cukup
3 Trisnawati 10 71,43 Cukup
4 Putri.A.N. 10 71,43 Cukup
5 Ahmad 8 57,14 Kurang
6 Yuniar.D. 6 42,86 Kurang Sekali
7 Aditya 6 42,86 Kurang Sekali
8 Evita Sari 9 64,29 Cukup
9 Irfan 10 71,43 Cukup
10 Fajar 8 57,14 Kurang
11 Angga.R. 8 57,14 Kurang
12 Herti.M. 9 64,29 Cukup
13 Fera.Y. 6 42,86 Kurang Sekali
14 Artia.R. 6 42,86 Kurang Sekali
15 Syf.Fahruri 9 64,29 Cukup
16 Kurnia 9 64,29 Cukup
17 Wandi 8 57,14 Kurang
18 Dede.S. 8 57,14 Kurang
19 Risky.W. 9 64,29 Cukup
20 Herianto 9 64,29 Cukup
21 Maman.B. 8 57,14 Kurang

450
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

22 Viky 11 78,57 Baik


23 Ririn.N. 9 64,29 Cukup
24 Sumelly 9 64,29 Cukup
25 Dede.A. 9 64,29 Cukup
26 Yuliana 9 64,29 Cukup
27 Fauziah 11 78,57 Baik
28 Rini.A. 9 64,29 Cukup
29 Dany.F. 11 78,57 Baik
30 Liliani 11 78,57 Baik
31 Lidia 11 78,57 Baik
32 Mahsun 11 78,57 Baik
33 Khifdatul.H. 12 85,71 Baik
34 Iin.D. 12 85,71 Baik
35 Dede.H. 12 85,71 Baik
36 Surahmawati 12 85,71 Baik
JUMLAH 335
Cukup
Rata-rata (%) 66,47

Rata-rata kemampuan seluruh siswa dalam menerapkan kerja ilmiah pada topik ciri-ciri makhluk
hidup melalui pendekatan keterampilan proses sebesar 66,47% dengan kategori cukup. Persentase
kemampuan seluruh siswa dalam menerapkan kerja ilmiah pada topik ciri-ciri makhluk hidup melalui
pendekatan keterampilan proses yang paling tinggi adalah 85,71% dengan kategori Baik. Sedangkan
persentase kemampuan seluruh siswa dalam menerapkan kerja ilmiah pada topik ciri-ciri makhluk hidup
melalui pendekatan keterampilan proses yang paling rendah adalah 42,86% dengan kategori kurang
sekali.
Setelah dilakukan uji statistic nonparametric dengan menggunakan uji wilcoxon dapat diketahui
adanya pengaruh penerapan kerja ilmiah pada topik ciri-ciri makhluk hidup melalui pendekatan
keterampilan proses terhadap kemampuan siswa kelas VII B SMP Negeri 14 Pontianak.
Rata-rata skor yang diperoleh seluruh siswa pada pre-test sebesar 19,69 dan post-test sebesar
29,67. Ini menunjukkan bahwa skor hasil kemampuan siswa dengan menerapkan kerja ilmiah melalui
pendekatan keterampilan proses meningkat sebanyak 9,98. Hal ini juga telah dibuktikan melalui
perhitungan untuk mencari kesimpulan yang lebih akurat dengan menganalisis data menggunakan uji
statistik non parametrik yaitu uji wilcoxon. Uji wilcoxon menunjukkan bahwa Zhitung (4.61) > Ztabel (1.64)
maka dapat disimpulkan bahwa penerapan kerja ilmiah pada topik ciri-ciri makhluk hidup melalui
pendekatan keterampilan proses berpengaruh terhadap kemampuan siswa di kelas VII B SMP Negeri 14
pontianak.

PENUTUP
1. Kemampuan siswa dalam menerapkan kerja ilmiah pada topik ciri-ciri makhluk hidup melalui
pendekatan keterampilan proses pada tahapan penulisan rancangan percobaan 76,85% dengan
kategori cukup, penulisan cara kerja 72,22% dengan kategori cukup, penulisan hasil percobaan
88,89% dengan kategori sangat baik, penulisan pembahasan 49,44% dengan kategori kurang sekali
dan penulisan hasil kesimpulan 69,44% dengan kategori cukup.

451
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

2. Adanya pengaruh penerapan kerja ilmiah melalui pendekatan keterampilan proses terhadap
kemampuan siswa kelas VII B SMP Negeri 14 Pontianak. Pengaruh ini dilihat dari peningkatan skor
rata-rata pos-test (29.67) sebanyak 9.98 (99,8%) dari pre-test (19.69) yang diuji secara statistik
menunjukkan Zhitung (4.61) > Ztabel (1.64). Maka dapat disimpulkan bahwa penerapan kerja ilmiah pada
topik ciri-ciri makhluk hidup melalui pendekatan keterampilan proses berpengaruh terhadap
kemampuan siswa kelas VII B SMP Negeri 14 Pontianak.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Zainal. 1988. Evaluasi Instruksional. Remaja Rosdakarya: Bandung.


Arikunto, S. 1993. Dasar- Dasar Evaluasi Pendidikan (Cetakan Ke-10). Bumi Aksara: Yogyakarta.
Arikunto, S. 1990. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Rineka Cipta: Jakarta.
Budikase. E dan Abdurrahman. 1993. Telaah Kurikulum IPA SMP 1. Depdikbud: Jakarta.
Danapriana, D dan Rony Setiawan. 2004. Pengantar Statistika. Graha Ilmu: Bekasi.
Depdiknas. 2006. Model Pengembangan Silabus Mata Pelajaran Dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
IPA Terpadu. Balitbang Depdiknas: Jakarta.
Nugroho. G.W., 2007. Penerapan Pembagian Dengan Menjumlahkan Kembali Sebagai Alternatif
Meningkatkan Kemampuan Pembagian Bilangan Pada Siswa SD. Skripsi, Pontianak: FKIP UNTAN.
Haryati, M. 2006. Sistem Penilaian Berbasis Kompetensi. Gaung Persada Press: Jakarta.
Herawati, S. 2000. Kapita Selekta Pembelajaran Biologi. Pusat Penerbitan Universitas terbuka: Jakarta.
Indrawati. 2000. Keterampilan Proses Sains: Tinjauan Kritis Dari Teori Ke Praktis. Depdikbud: Bandung.
Nawawi, H. 1987. Metode Penelitian Bidang Sosial. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.
Nazir, M. 1993. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia: Jakarta.
Pratiwi, 2004. Buku Penuntun Biologi SMP 1. Erlangga: Jakarta.
Prawironegoro, P. 1985. Evaluasi Hasil Belajar Khusus Analisis Soal Untuk Bidang Studi Matematika.
Fortuna: Jakarta.
Purwanto, M.N. 1991. Prinsip- Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. P.T. Remaja Rosdakarya: Bandung.
Semiawan, C. 1986. Pendekatan Keterampilan Proses. P.T. Gramedia: Jakarta.
Soetardjo. 1998. Proses Belajar Mengajar Dengan Metode Pendekatan Keterampilan Proses. SIC:
Surabaya..
Sudjana. 2000. Metode Statistika. Tarsito: Bandung.
Sudjana, N. dan Ibrahim. 2001. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Sinar Baru Argensindo: Bandung.
Sugiarto, 2001. Teknik Sampling. P.T. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Sugiyono. 1999. Statistika Untuk penelitian. C.V. Alfabeta: Bandung.
Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Administrasi. Alfabeta: Bandung.
Sugiyanto. 2004. Analisis Statistika Sosial. Bayumedia: Malang.
Sukandarrumidi. 2004. Metodologi Penelitian. Universitas Gadjah Mada Press: Yogyakarta.
Sukmadinata, N.S., 2005. Metode Penelitian Pendidikan. Remaja Rosdakarya: Bandung.
Suryabrata, S. 1983. Metodologi Penelitian. P.T. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Susilo,S. 1993. Kapita Selekta Pembelajaran Biologi. Pusat Penerbitan Universitas Terbuka: Jakarta.
Winataputra, U. , 1994. Strategi Belajar Mengajar IPA. Depdikbud: Jakarta
http//id.Wikipedia.org/wiki/metode_ilmiah (20 oktober 2006).

452
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

BIO-05

TESTING EVOLUTIONARY HYPOTHESES IN THE CLASSROOM USING PHENETIC


METHOD

Topik Hidayat

Jurusan Pendidikan Biologi, FPMIPA, Universitas Pendidikan Indonesia


JL. Dr. Setiabudi 229 Bandung 40154 Indonesia
E-mail: topikhidayat@upi.edu

ABSTRACT
Phenetic is one of method in systematic to reconstruct evolutionary relationships of groups of
biological organism in order to understand the biodiversity. This paper described a novel and effective
exercise that allows undergraduate biology majors to test a hypothesis about evolutionary
relationships in higher plant. The exercise is derived from a real data set resulted from student
observation of morphological characters. This provides students with opportunity to learn firsthand
how scientists/taxonomists evaluate hypotheses about patterns of classification. The exercise can be
modified to fit the needs of particular classes. In general, phenetic method offers the biology teacher
a wide variety of instructional possibilities in order to improve student understanding on biological
diversity and evolution as well.
Key words : Biodiversity, Classification, Evolution, Phenetic analysis, Taxonomy

PENDAHULUAN

Evolusi tidak diragukan lagi merupakan kerangka teoritik dan praktik yang terpenting dalam
biologi modern (Brewer, 1996). Dalam taksonomi misalnya, sistem klasifikasi yang dipercaya memiliki
tingkat kevalidan yang tinggi adalah sistem yang dibangun berdasarkan pada hubungan
evolusi/kekerabatan. Melalui kajian evolusi ini, pola-pola alami dari obyek organisme yang sedang dipelajari
akan muncul, yang mengarah kepada pemahaman yang komprehensif tentang status keanekaragaman
organisme tersebut.

Dalam dunia pendidikan kita, taksonomi dan evolusi telah menjadi bagian terpenting dalam
kurikulum dari mulai tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi dengan berbagai modifikasi yang
disesuaikan dengan perkembangan intelektual mereka. Meskipun belum ada data yang signifikan,
perhatian mahasiswa biologi terhadap materi kuliah tentang taksonomi dan evolusi cenderung rendah.
Mereka memandang kedua materi kuliah ini penuh dengan hapalan. Kebanyakan mahasiswa berpendapat
bahwa taksonomi dan evolusi hanya bersifat teoritis sehingga membosankan. Tidak salah kalau mereka
melihat kedua subyek kuliah ini bersifat deskriptif dan spekulatif, sulit untuk dibuktikan.

Menurut Harvey dan Pagel (1991) inti permasalahan tidak terletak pada mahasiswa, tetapi lebih
pada kurangnya penugasan (workable assignments) yang diberikan oleh dosen kepada mahasiswa selama
berlangsungnya pembelajaran di kelas. Penugasan yang diberikan semestinya mengilustrasikan bagaimana
para ilmuwan biologi atau ahli taksonomi bekerja untuk melakukan pengujian terhadap hipotesis tentang

453
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

pola hubungan evolusi/kekerabatan dalam sebuah kelompok organisme biologi sebelum sebuah sistem
klasifikasi diusulkan. Dalam makalah ini akan dibahas kemungkinan penggunaan metode fenetik sebagai
bentuk penugasan untuk menguji hubungan evolusi/kekerabatan dalam kelompok tumbuhan berbiji.

SISTEMATIK DAN FENETIK

Sistematik memiliki peran sentral di dalam Biologi dalam menyediakan sebuah perangkat
pengetahuan untuk mengkarakterisasi organisme dan sekaligus merekognisinya dalam rangka memahami
keanekaragaman. Secara fundamental, sistematik bertujuan untuk memahami dan mendeskripsikan
keanekaragaman suatu organisme dan merekonstruksi hubungan kekerabatannya terhadap organisme
lainnya (Gravendeel, 2000), dan juga mendokumentasikan perubahan-perubahan yang terjadi selama
evolusinya dan merubahnya ke dalam sebuah sistem klasifikasi yang mencerminkan evolusinya tersebut
(Systematics Agenda, 2000). Oleh karena itu, salah satu tugas yang penting dari sistematik adalah
merekontruksi hubungan evolusi (evolutionary relationship) dari kelompok-kelompok organisme biologi.
Sebuah hubungan evolusi yang direkontruksi dengan baik dapat digunakan sebagai landasan untuk
melakukan penelitian-penelitian komparatif (comparative investigations) misalnya dalam bidang ekologi
dan biogeografi.
Ada dua metode untuk merekonstruksi hubungan evolusi dari sebuah kelompok organisme biologi,
yaitu kladistik dan fenetik. Kalau metode pertama mendasari sebuah hubungan pada perjalanan evolusi
karakter atau ciri dari setiap anggota suatu kelompok yang sedang dipelajari, maka yang kedua menaksir
hubungan evolusi berdasarkan kepemilikan karakter atau ciri yang sama (overall similarity) dari anggota-
anggota suatu kelompok.

Terdapat lima langkah dalam melakukan analisis fenetik. Pertama, menyeleksi organisme yang
akan dianalisis (disebut Taksa), karakter, dan ciri (character state). Taksa dimaksud bisa berupa
divisi/filum, kelas, bangsa, famili, marga, jenis, varitas, dll. Karakter dan ciri dapat bersumber dari
morfologi organ vegetatif dan generatif. Karakter biasanya meliputi hanya dua ciri, ada (diberi kode 1) dan
tidak ada (diberi kode 0). Tetapi, karakter bisa memiliki banyak ciri (multistate characters).

Kedua, menentukan tingkat kesamaan antara pasangan taksa dengan menghitung koefisien
kesamaan. Saat ini telah banyak formula untuk menghitung koefisien kesamaan, tetapi secara sederhana
koefisien kesamaan dihitung berdasarkan hasil bagi antara jumlah karakter yang sama dengan total
karakter yang digunakan. Langkah ketiga adalah menyusun koefisien kesamaan di atas ke dalam bentuk
matriks kesamaan.

Keempat, nilai-nilai kesamaan dalam matriks kesamaan selanjutnya dibuat klastering. Langkah ini
dilakukan dengan cara mengidentifikasi pasangan taksa yang memiliki koefisien kesamaan tertinggi,
selanjutnya disusun sampai pada pasangan taksa yang memiliki kesamaan terendah. Terakhir, menghitung
kembali koefisien kesamaan pasangan taksa yang tersisa dan menyusun kembali matriks kesamaan yang
baru.

Kelima, merekonstruksi pohon kekerabatan fenetik (biasa disebut Fenogram). Fenogram dibentuk
berdasarkan klastering yang telah dilakukan. Pohon fenetik memiliki skala 0-1, yang mencerminkan jarak
fenetik (phenetic distance).

454
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

LATIHAN UJI HIPOTESIS DI DALAM KELAS

Dalam bagian ini akan dibahas bagaimana mahasiswa yang mengambil mata kuliah Botani
Phanerogame (Bophan) melakukan analisis fenetik terhadap beberapa marga tumbuhan dari subkelas
Zingiberidae (kelas Magnoliopsida; divisi Magnoliophyta) berdasarkan karakter morfologi. Bophan, yang
merupakan mata kuliah wajib di Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA UPI Bandung, memfokuskan diri pada
sistematik, taksonomi, dan evolusi dari kelompok tumbuhan berbiji (divisi Pinophyta dan Magnoliophyta).

Mahasiswa menyeleksi empat marga, yaitu Musa (A), Heliconia (B), Zingiber (C), Costus (D), dan
menyeleksi lima karakter yaitu spata (1), aromatis (2), perbungaan jantung (3), perbungaan tegak (4), dan
rizoma (5). Di bawah ini merupakan matriks taksa x karakter.

1 2 3 4 5

A 1 0 1 0 0

B 1 0 0 0 0

C 0 1 0 0 1

D 0 1 0 1 1

0 = tidak ada 1 = ada

Langkah selanjutnya mahasiswa menghitung koefisien kesamaan.

Kesamaan AB = 4/5 = 0,8

Kesamaan AC = 1/5 = 0,2

Kesamaan AD = 0

Kesamaan BC = 2/5 = 0,4

Kesamaan BD = 1/5 = 0,2

Kesamaan CD = 4/5 = 0,8

Matriks kesamaan akan disusun menjadi:

A B C D

A 1

B 0,8 1

C 0,2 0,4 1

D 0 0,2 0,8 1

455
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

Selanjutnya klastering dilakukan dengan mengidentifikasi pasangan taksa yang memiliki kesamaan
yang tinggi. Klastering-1 adalah pasangan taksa AB, dan untuk memudahkan disebut P.

P C D

P 1

C ? 1

D ? 0,8 1

Selanjutnya dihitung kembali koefisien kesamaan:

Kesamaan PC = 0,2+0,4 = 0,6/2 = 0,3

Kesamaan PD = 0+0,2 = 0,2/2 = 0,1

Maka matriksnya menjadi:

P C D

P 1

C 0,3 1

D 0,1 0,8 1

Klastering-2 adalah pasangan taksa CD, dan disebut Q.

P Q

P 1

Q ? 1

Selanjutnya koefisien kesamaan PQ dihitung, dan diperoleh:

Kesamaan PQ = 0,3+0,1 = 0,4/2 = 0,2

Maka matriksnya akan menjadi:

P Q

P 1

Q 0,2 1

Langkah terakhir adalah merekonstruksi pohon finetik (fenogram), dan dapat dilihat pada gambar
di bawah ini:

456
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

A B C D

0,8

0,2

Gambar 1 : Rekonstruksi Pohon Finetik

Melalui latihan ini, mahasiswa dituntut untuk menguji hipotesis yang menyatakan bahwa marga Musa dan
Heliconia memiliki hubungan evolusi/kekerabatan yang sangat dekat, sehingga pada sistem klasifikasi yang
lama keduanya ditempatkan dalam satu famili, yaitu Musaceae. Kondisi yang sama terjadi pada dua marga
yang lain, yaitu Zingiber dan Costus. Pada sistem klasifikasi yang lama Zingiber dan Costus termasuk ke
dalam famili Zingiberaceae. Dan hasilnya, mahasiswa dapat membuktikan hipotesis di atas melalui analisis
fenetik yang dilakukannya.

Karena ilmu dan pengetahuan manusia terus berkembang, saat ini keempat marga di atas
terpisah ke dalam empat famili yang berbeda, berturut-turut adalah Musaceae, Heliconiaceae,
Zingiberaceae, dan Costaceae. Pemanfaatan data molekuler (DNA) telah menguatkan entiti dari keempat
famili di atas di dalam taksonomi kontemporer magnoliophyta.

STRATEGI EVALUASI

Tingkat kepercayaan (reliability level) dari fenogram yang dihasilkan tergantung kepada jumlah
spesimen yang terlibat, jumlah karakter yang digunakan, akurasi dan presisi dari pengamatan terhadap
karakter yang dipilih, kerunutan langkah-langkah yang telah ditetapkan, dan jenis software komputer yang
digunakan (kalau melibatkan data yang massif maka untuk memudahkan analisis sering digunakan
software komputer). Tentu saja semakin banyak jumlah spesimen dan karakter yang digunakan, maka
tingkat kepercayaan akan semakin tinggi.

Dalam konteks pembelajaran di kelas, evaluasi dapat diterapkan dengan mengacu kepada
informasi yang telah disebutkan di atas. Komponen evaluasi dapat meliputi:

457
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

1. Karakter yang dipilih (karakter hendaknya bersifat variatif; lihat kembali contoh di atas)
2. Akurasi pengamatan terhadap karakter yang dipilih (dosen hendaknya memonitor apakah pengamatan
dilakukan dengan benar)
3. Kerunutan langkah-langkah yang telah ditetapkan (karena analisis fenetik merupakan sebuah proses
yang satu sama lain saling berhubungan, maka kesalahan satu langkah akan menimbulkan efek
domino)
4. Topologi fenogram yang dihasilkan (topologi fenogram yang terbentuk mengacu kepada hipotesis yang
akan diuji)

PENUTUP

Meskipun contoh latihan analisis fenetik yang disampaikan dalam makalah singkat ini dilakukan
oleh mahasiswa, tidak menutup kemungkinan dapat diterapkan di lingkungan sekolah menengah, terutama
SMA/sederajat. Metode fenetik diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif pengajaran dan/atau
penugasan khususnya pada materi keanekaragaman makhluk hidup. Pemberian metode pembelajaran
yang bervariasi dapat membantu peserta didik untuk lebih memahami materi ajar (Topik dan Kusumawaty,
2008). Tentu saja guru harus melakukan beberapa modifikasi yang disesuaikan dengan tingkat intelektual
dan kebutuhan siswanya. Modifikasi awal yang bisa diterapkan misalnya, guru melakukan sendiri analisis
fenetik terhadap beberapa spesimen dan hasilnya dipresentasikan di dalam kelas. Pada gilirannya nanti,
guru bisa menugaskan ke siswa untuk melakukan analisis fenetik, yang bisa dilakukan di luar jam
pelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Brewer S (1996) A problem-solving approach to the teaching of evolution. BIOSCENE, 22, 11-33

Harvey PH dan Pagel MD (1991) The comparative method in evolutionary biology. Oxford, UK: Oxford
University Press

Gravendeel B (2000) Reorganising the orchid genus Coelogyne: a phylogenetic classification based on
morphology and molecules. National Herbarium Nederland

Systematics Agenda (2000) Charting the Biosphere. Technical Report. Herbarium, New York Botanical
Garden, USA

Topik H dan Kusumawaty D (2008) Catatan kuliah online dosen: pentingkah bagi mahasiswa?. Mimbar
Pendidikan, 4, 77-80

458
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

BIO-06
METAPHORIC METHOD AS AN ALTERNATIVE METHOD OF APERCEPTION IN
LEARNING CELL BIOLOGY
Yanti Herlanti
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

ABSTRACT
Apperception, a term to describe the process of understanding by which newly observed qualities of
an object is related to experience. In learning and teaching apperception is used by teacher to recall
what knowledge has known by students. Most of teacher in Indonesia use “answer question” method
to recall student’s knowledge in the past. This method makes students bored and less participated. In
this study, we used metaphoric method as an alternative to use in apperception activity. About 36 (in
2007) and 31 (in 2008) students teacher in department science education, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta involved of this research. All students teacher (100%) liked this method. They wrote and
said, “this method was very effective and joyful to recall last knowledge especially function of cell
organelles”. The most students teachers used nucleus and mitochondria to metaphor themselves.
Key words : apperception, metaphoric method, answer question method

PENDAHULUAN
Apersepsi beperan penting dalam pembelajaran, Apersepsi adalah proses terasosiasinya gagasan-
gagasan baru dengan gagasan lama yang sudah membentuk pikiran. Oleh karena itu pada setiap rencana
pembelajaran yang dibuat guru, pada kegiatan pendahuluan atau kegiatan awal selalu mencantumkan
apersepsi.
Lama kegiatan apersepsi yang dilakukan oleh guru umumnya berlangsung kurang dari lima belas
menit. Umumnya metode yang digunakan guru dalam kegiatan apersepsi adalah mengajukan pertanyaan
dan menjelaskan. Hasil analisa terhadap Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Sains: Biologi kelas 1 SMA
Semester 2, yang dibuat oleh Riandari (2007), menunjukkan tiga metode yang ada pada kegiatan
apersepsi yang dibuat untuk enam belas kali pertemuan. Metode tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 1 : Metode yang digunakan dalam Apersepsi oleh Riandari (2007)


Metode Jumlah
dalam (presentasi)
No Contoh yang tertulis dalam RPP
kegiatan
apressepsi
Kegiatan Awal (waktu: 10 menit)
Mengajukan
1. 10 (62,5%) Apersepsi: Guru bertanya mengapa daging yang hendak
pertanyaan
dimakan harus dimasak terlebih dahulu.
Kegiatan Awal (waktu: 10 menit)
Meminta Apersepsi: Guru meminta siswa menyebutkan lima hewan
2. 5 (31.25%)
menyebutkan langka yang terdapat di Indonesia beserta lingkungan tempat
tinggalnya.
Kegiatan Awal (waktu: 10 menit)
Meminta siswa Apersepsi: Guru meminta siswa menggambarkan beberapa
3. 1 (6.25%)
menggambar organisme yang dapat ditemukan di Taman Laut Bunaken,
Manado.
Jumlah pertemuan 16 (100%)

459
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

Hal yang sama ditunjukkan oleh Doroji dan Haryati (2007), ketika membuat RPP Sains Biologi untuk kelas
2 SMP. Lebih dari 60% mengajukan pertanyaan digunakan sebagai metode dalam apersepsi.

Tabel 2 : Metode yang digunakan dalam Apersepsi oleh Doroji & Haryati (2007)
Metode Jumlah
dalam (presentasi)
No Contoh yang tertulis dalam RPP
kegiatan
apressepsi
1. Mengajukan 19 (67,86%) Pendahuluan
pertanyaan Guru memberi apersepsi dengan pertanyaan, misalnya,
”Makanan apakah yang paling sering kalian konsumsi?”
2. Penjelasan dan 5 (17.86%) Pendahuluan
pengajuan Guru memberi apersepsi tentang pertumbuhan dan
pertanyaan perkembangan pada manusia. Kemudian, guru bertanya,
”Berapa berat badan kalian ketika lahir? Berapa berat badan
kalian saat ini? Berapa kalikah kenaikan berat
badan kalian saat ini jika dibandingkan saat kalian lahir?”
3 Penjelasan 4 (`4,28%) Pendahuluan
Guru menyampaikan apersepsi tentang macam-macam otot.
Jumlah pertemuan 28 (100%)

Pada RPP yang termuat pada Tabel 1 dan 2, tampak bahwa aktifitas pembelajaran dalam apersepsi masih
terpusat pada guru, dan kurang melibatkan siswa secara aktif untuk mengeluarkan dan mengaktifkan
pengetahuan awalnya. Padahal dalam konteks paradigma konstruktivisme, apersepsi dianggap sebagai
kegiatan awal untuk mengaktifkan pengetahuan awal siswa. Oleh karena itu beragam metode yang lahir
dari basis paradigma konstruktivisme, sebenarnya tidak hanya ditempatkan pada kegiatan inti, tetapi dari
sejak awal kegiatan pembelajaran, yaitu apersepsi. Untuk itu penelitian ini bertujuan memberikan
gambaran, penggunaan metode metapora yang digunakan pada saat apersepsi, pada pembelajaran biologi
sel.

METODE PENELITIAN
Penelitian bersipat penelitian kelas dan dilakukan secara deskriptif, dengan melibatkan mahasiswa
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang mengambil mata kuliah biologi sel pada tahun 2007 dan 2008. Pada
2007 sebayak 36 mahasiswa calon guru terlibat dalam penelitian ini, dan pada tahun 2008 sebanyak 31
mahasiswa calon guru terlibat pada penelitian ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Metafora adalah mengkiaskan satu hal dalam terminologi yang lain (Rachel, 2005). Mark Johnson
seorang filosof pun menyatakan, “The essence of metaphor is understanding and experiencing one kind of
thing in terms of another” (Lawlwy & Tompkins, 2000). Pada pembelajaran di kelas biologi sel, para
mahasiswa diintruksikan untuk membuat sebuah gambar organel dalam sel yang menggambarkan kondisi
dirinya, kemudian menjelaskan mengapa dirinya tersebut dikiaskan dengan organel tersebut. Gambaran
penggunaan metode metafora yang digunakan selama apersepasi adalah sebagai berikut:

460
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

1. Dosen menampilkan gambar bunga. Kemudian membagikan kertas pada mahasiswa, yang diibaratkan
sebagai “bunga” . Setiap mahasiswa akan senang mendapatkan “bunga”, sehingga selembar kertas,
yang dibagikan itu tidak dianggap sebagai “tugas” tetapi “hadiah”. Pengibaratan ini akan memberi
motivasi awal dalam pembelajaran dan memberi kesan menyenangkan dalam belajar.
2. Mahsiswa menggambar sesuatu yang berkaitan dengan sel, yang sesuai dengan pribadinya.
3. Mahasiswa menuliskan alasan, mengapa mengibaratkan dirinya sebagai ”sesuatu” yang ada di dalam
sel.
4. Mahasiswa membuat lingkaran besar, sambil membawa kertas yang berisi gambar dan tulisan yang
telah dibuatnya.
5. Mahasiswa pertama menceritakan apa yang telah dibuat dan digambarnya, kemudian setelah selesai
menunjuk mahasiswa lain, begitu seterusnya. Waktu yang dibutuhkan seorang mahasiswa untuk
mengungkapkan apa yang tertera dikertas yang ditulis berkisar antara 20 – 48 detik, dengan rata-rata
29.5 detik.
Adapun hal yang paling banyak diambil oleh mahasiswa untuk mengibaratkan dirinya terlihat pada
Tabel 3. Pada kelas 2007, organel yang paling banyak digunakan oleh mahasiswa untuk mengibaratkan
dirinya adalah nukleus (39%) dan mitokondria (19%). Sedangkan pada kelas 2008, organel yang paling
banyak digunakan adalah mitokondria (45%), ribosom (16%), dan nukleus (13%).
Nukleus banyak digunakan untuk mengibaratkan diri mahasiswa karena metafora dengan fungsi
“leadership”, sedangkan mitokondria banyak digunakan karena metafora dengan fungsi “social
responsibility” sebagai manusia yang harus bermanfaat bagi manusia lain. Salah satu contoh yang
diungkapkan mahasiswa adalah sebagai berikut:

Saya ingin seperti mitokondria. Mitokondria menhasilkan energy (ATP), energi yang
dialirkan ke organel lain. Saya pun ingin mengalirkan energy-energi positif bagi semua
orang, sebagaimana hadits “sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi
manusia lain”

Saya mengibaratkan diri saya seperti nukleus sebagai pengatur sel, karena sebagai
manusia kita ditentukan untuk menjadi pemimpin, minimalnya pemimpin bagi diri sendiri.
Dan tidak bias dipungkiri bahwa sebagian besar manusia lebih suka berperan sebagai
pengendali/sutradara. Paling tidak saya bias mengeluarkan ide-ide untuk dilakukan orang
lain.

Tabel 3 : Bagian Sel/Sel yang Digunakan untuk Mengibaratkan Diri Mahasiswa

Jumlah
Bagian sel/sel yang digunakan untuk
No Kelas 2007 Kelas 2008
mengibaratkan diri mahasiswa

1. Nukleus 14 4
2. Mitokondria 7 14
3. Kloroplas 3 1
4. Membran sel 3 -

461
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

5. Kromosom 2 -
6. Ribosom 2 5
7. Sitosol 2 -
8. Dinding sel 1 -
9. DNA 1 -
10. Lisosom 1 -
11. RE - 2
12. Dinding sel - 1
13. Vakuola - 1
14. Badan sel syaraf - 1
15. Sel secara keseluruhan - 1
16. Organel sel secara keseluruhan - 1
Jumlah 36 31

Penggunaan metafora dalam apersepsi selain menyenangkan bagi mahasiswa (100% mahasiswa
menuliskan menyukai metode metafora), juga memudahkan bagi guru/dosen untuk mengukur
pengetahuan awal siswa/mahasiswa dari ungkapan metafora yang dikemukan mahasiswa. Berdasarkan
ungkapan metafora yang dikemukan mahasiswa, pada kelas 2008 diketahui sebanyak 32% mahasiswa
mempunyai pengetahuan awal yang minum tentang sel, sehingga penjelasan terlalu dangkal, contoh
ungkapannya adalah
Pengetahuan awal yang minim,
Saya mengibaratkan diri saya sebagai organel sel karena hidup ini dinamis, tak bisa
ditebak, misterius, ada kelebihan dan kekurangan.
(Karena mahasiswa tidak begitu hapal, organel dan fungsi yang ada di dalamnya, maka ia
mengibaratkan dirinya dengan organel secara umum dan metafora yang digunakan pun menjadi
dangkal dan tidak tepat sasaran)
Penjelasan terlalu dangkal,
Vakuola, saya ingin menyimpan sesuatu yang dapat saya gunakan untuk kelangsungan
hidup nanti sebagai bekal diakherat.
(Karena mahasiswa tidak terlalu paham fungsi vakuola secara detail, sehinggga ia mengambil
fungsi umumnya saja, yaitu tempat menyimpan sesuatu)
Ketika guru/dosen mengintruksikan membuat sebuah metafora organel sel dengan kondisi
personal siswa/mahasiswa, maka proses kognitif yang terjadi pada mahasiswa/siswa melakukan
adalah:
1. mengingat kembali (recalling) terhadap pengetahuan yang telah dimilikinya dalam konsep
sel,
2. menyadari fakta dan harapan tentang dirinya (self awareness)
3. memilih (selecting) hasil recalling dan kondisi/harapan yang ingin ditampilkan
4. mengubungkan (connecting) antara pengetahuannya tentang sel dan kondisi/harapan
dirinya.

Jika dikembalikan fungsi engagement menurut Bybee (1997), maka apersepsi


menggunakan metafora telah mampu:
• Memfokuskan perhatian siswa pada topic yang akan dipelajari

462
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

• Menilai pengetahuan awal siswa


• Memberikan masalah sebagai pemanasan untuk tahap pembelajaran selanjutnya yaitu eksplorasi

Urgensi penerapan metode metafora pada mahasiswa calon guru


Menurut Mellando (1998), mahasiswa calon guru lebih banyak belajar dari bagaimana mereka
diajar oleh para dosennya dan bukan dari apa yang dipaparkan dosen tentang cara mengajar yang baik.
Penyataan yang sama juga dinyatakan oleh Hinduan (2005) program pendidikan dalam program
pendidikan pra jabatan (pre-service training) yang telah ada memisahkan metode mengajar dengan materi.
Pembahasan tentang metode biasanya kurang disertai dengan contoh nyata dan latihan sedangkan materi
pelajaran yang dibahas sangat akademis dan lepas dari konteks pembelajaran. Kondisi ini menyebabkan
calon guru kesulitan dalam menerapkan apa yang diperolehnya dalam pendidikan.
Para calon guru memerlukan pemberian pengalaman belajar secara aktif. Itulah sebabnya metoda
ini diterapkan pada pembelajaran biologi sel bagi mahasiswa keguaruan. Tujuannya, agar mereka
memperoleh contoh dan pengalaman menerapkan metode ini, sehingga tidak akan mengalami kesulitan
menerapkannya kelak pada para siswanya di SLTP/SLTA.

PENUTUP
Metode metafora adalah metode yang dapat digunakan guru dalam memberikan apersepsi pada
siswa/mahasiswa. Sehingga apersepsi yang diberikan guru/dosen lebih bervariatif, tidak hanya tanya
jawab atau penjelasan saja.
Metode metafora pada apersepsi pembelajaran biologi sel, menyajikan empat proses kognitif yaitu
recalling, self awareness, selecting, dan connecting. PEnggunaan metode metafora dalam apersepsi pun
telah mampu memfokuskan perhatian siswa pada topic yang akan dipelajari, menilai pengetahuan awal
siswa, dan memberikan masalah sebagai pemanasan untuk tahap pembelajaran selanjutnya yaitu
eksplorasi.
Pemberian contoh dan pengalaman menggunakan metode ini pada para calon guru memberikan
efek domino, yaitu para calon guru ini akan menerapkan metode serupa pada para siswanya.

DAFTAR PUSTAKA
Ausuble, D.P. (1960). “The Use of Advance Organizers in the Learning and Retention of Meaningful Verbal
Material. Journal of Education Psycology, 51, 267-272
__________. (1963). The Psycology of Meaningful Verbal Learning. New York: Grund & Straton.
Bybee. (1997). Constructivism is a DynamicaAnd Interactive Model of How Humans Learn. Tersedia on line
di http://agpa.uakron.edu/p16/btp.php?id=learning-cycle
Dahar. (1996). Teori-teori Belajar. Jakarta: PT. Erlangga.
Doroji & Haryati. (2007). Konsep dan Penerapan Sains Biologi 2 untuk Kelas VII SMP dan MTS. Solo: PT
Tiga Serangkai.
Hinduan, A. A.(2005). Meningkatkan Profesionalisme guru IPA di Sekolah. Makalah Disajikan dalamSeminar
Nasional Pendidikan IPA II, Bandung, 23 Juli 2005.
Lawlwy & Tompkins. (2000). Metaphor and Online Learning Communities. Tersedia online di
www.editlib.org

463
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

Mellado, V. (1998). The classroom practice of preservice teachers and their conceptions of teaching and
learning. Science Education, 82, 197-214.
Posner, G. J., Strike, K. A., Hewson, P. W., & Gertzog, W. A. (1982). Accommodation of a scientific
conception: Toward a theory of conceptual change. Science Education, 66(2), 211-227.
Rachel, H.E. (2005). Evaluating a Virtual Learning Environment in Medical Education. Thesis. Edinburgh,
Scotland: The University of Edinburgh. Tersedia on line di http://www.lts.mvm.ed.ac.uk.
Riandari, H. (2007). Model Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Sains: Biologi 2B untuk Kelas X
SMA dan MA Semester 2. Solo: PT. Tiga Serangkai.

464
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

BIO-08
THE EFFECTS OF GROUP INVESTIGATION AND PROBLEM BASED LEARNING MODEL
TO THE STUDENT THINKING ABILITY OF JUNIOR HIGH SCHOOL IN SIDOARJO

Raharjo
(Surabaya State University)

ABSTRACT
This research purpose is explaining the impact of implementation of student-centered learning model
(Group Investigation and Problem Based Learning model) to the students thinking ability at
Sidoarjo’s Junior High Schools in class VII.
Based on result of data analysis and the discussion, it can be conclude as follow (1) There is a
difference thinking ability of the students in each chapter/ subject matter. (2) There is thinking ability
differences between students which learn using the Problem Based Instruction (PBI) model and
student which learn with the Group Investigation Co-operative Learning model (GI). (3) There are
students thinking ability differences as effects of interaction between school category and kind of
chapter. (4) There are students thinking ability differences as being an effect of interaction between
kinds of chapter. (5) There is a tendency that any chapter, conducted with the model of GI have
higher learning outcomes than PBI model. (6) There is students thinking ability differences as a result
of an interaction between school category and the constructivistic model (PBI and GI model). (7)
There is students thinking ability difference as a result of an interaction among three factors, i.e,
school categorize and kinds of chapter.
Key words : group investigation, problem based learning, thinking ability

PENDAHULUAN
Di era globalisasi manusia Indonesia perlu meningkatkan keterampilan berpikir, agar mampu memecahkan
masalah-masalah yang ada di sekitarnya. Pengembangan keterampilan berpikir sudah menjadi kebutuhan
yang tidak dapat ditunda lagi, karena tuntutan dunia menghendaki demikian. Costa (1985) menyatakan
bahwa sumber daya terbesar bangsa adalah pemikiran anak-anak.
Abad milenium adalah abad pengetahuan (Galbreath 1999). Pada abad ini diperlukan sumberdaya
manusia yang berkualitas tinggi, memiliki keahlian, mampu bekerjasama dengan orang lain, terbiasa
berpikir kritis, terampil, kreatif, memahami berbagai budaya, memiliki kemampuan komunikasi, dan
komputer, serta mampu belajar mandiri (Trilling dan Hood, 1999). Pada abad pengetahuan kecakapan
berpikir merupakan kebutuhan utama sebagai tenaga kerja. Kemampuan intelektual diwujudkan dalam
kemampuan berpikir seseorang merupakan modal dasar di abad pengetahuan (Galbreath, 1999).
Berpikir sangat berperan dalam menentukan prestasi belajar, penalaran formal, keberhasilan
belajar, dan kreativitas karena berpikir merupakan inti pengatur tindakan siswa. Jadi apabila masalah
berpikir tidak dipecahkan dapat dipastikan siswa akan bermasalah dengan hal-hal di atas (Tindangen,
2006). Makin baik kemampuan berpikir siswa, makin baik pula kemampuannya dalam menyusun strategi
dan taktik untuk meraih peluang menang dalam persaingan global. Dengan demikian saat ini mutlak
diperlukan pemberdayaan kemampuan berpikir siswa agar memiliki ketangguhan menghadapi persaingan.
Pengembangan kemampuan atau pemberdayaan berpikir adalah sesuatu yang mutlak harus dilakukan. Bila
tidak dikembangkan maka lambat laun Indonesia akan kalah bersaing dan makin terpuruk kualitas lulusan
di dunia pendidikan internasional. Di samping itu, siswa-siswa akan menjadi generasi yang kurang peka
terhadap keadaan sekitarnya, kurang cerdas dalam menyelesaikan masalah-masalah nyata yang dihadapi

465
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

sehari-hari, yang pada skala yang besar dapat berdampak keterpurukan bangsa Indonesia di masa
mendatang.
Terdapat beberapa model pembelajaran berpusat pada siswa berbasis konstruktivis yang dapat
digunakan untuk melatih keterampilan berpikir, antara lain Pembelajaran Kooperatif Tipe Investigasi
Kelompok dan Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Slavin, 2000). Kategori sekolah diduga berhubungan
langsung dengan tingkat kemampuan akademik siswa dan berpengaruh terhadap kemampuan berpikir.
Materi pelajaran diduga berkaitan dengan minat dan motivasi siswa, dan akan diuji pengaruhnya terhadap
kemampuan berpikir siswa.

Untuk mengetahui keunggulan-keunggulan komparatif tiap-tiap perangkat model tersebut


terhadap pemberdayaan berpikir dilakukan pembandingan antara dua model tersebut. Rumusan masalah
umum adalah “Apakah implementasi model pembelajaran berpusat pada siswa berpengaruh terhadap
kemampuan berpikir pada siswa Sekolah Menengah Pertama? Sedangkan tujuan umum penelitian ini
adalah menjelaskan dampak implementasi strategi pembelajaran berpusat pada siswa terhadap
kemampuan berpikir pada siswa Sekolah Menengah Pertama.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini terbagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu penelitian pengembangan perangkat dan
penelitian eksperimen untuk mengetahui pengaruh penggunaan perangkat pembelajaran biologi model
Pembelajaran Berdasarkan Masalah, dan Pembelajaran Kooperatif Tipe Investigasi kelompok terhadap
kemampuan berpikir.
Pengembangan ini dilakukan mengikuti model 4-D (Define, Design, Develop, and Dessiminate) oleh
Thiagarajan, et al., 1974 atau diadaptasi menjadi model 4-P, yaitu Penetapan, Perancangan,
Pengembangan, dan Penyebaran. Perangkat yang dikembangkan meliputi Buku Siswa, Lembar Kegiatan
Siswa, Rencana Pelajaran, dan Evaluasi untuk Kelas VIII Sekolah Menengah Pertama. Perangkat
pembelajaran hasil pengembangan ini divalidasi pada pakar dan diujicobakan secara terbatas di sekolah
melalui simulasi dan real teaching.
Tahap eksperimen adalah implementasi perangkat pembelajaran serta merupakan kelanjutan dari
pengembangan perangkat. Pada tahap ini diharapkan guru sudah tepat dalam mengimplementasikan
perangkat pembelajaran.
Penelitian ini menggunakan teknik pengukuran 3 faktor dalam versi faktorial 2 X 3 X 4. Dalam
rancangan penelitian the nonequivalent control group design (Tuckman, 1999). Rancangan ini merupakan
quasi experiment yang bertujuan untuk menyelidiki tingkat kesamaan antar kelompok dan skor-skor prates
postes berfungsi
Populasi penelitian adalah semua siswa SMP klelas VIII di Kabupaten Sidoarjo. Kabupaten Sidoarjo
mempunyai 44 SMP Negeri yang tersebar di 18 kecamatan. Dari sejumlah SMPN tersebut diambil 6 sampel
sekolah untuk penelitian. Unit analisis penelitian ini adalah siswa yang belajar biologi di SMP.
Sampel penelitian adalah siswa-siswi kelas VIII di semester 1 dan 2 SMPN 3 Sidoarjo, SMPN 1 Candi,
SMPN 1 Porong, SMPN 2 Tanggulangin, SMPN 2 Buduran dan SMPN 2 Jabon. Guru mitra adalah 6 orang
guru biologi kelas masing-masing sekolah. Keenam sekolah tersebut diambil sebagai sampel dari SMPN
di Kabupaten Sidoarjo. Untuk mendapatkan hasil yang representative, dilakukan pengambilan sample
berstrata. Dasar strata yang digunakan adalah peringkat sekolah berdasarkan ranking yang sudah disusun
oleh Diknas Propinsi Jawa Timur tahun 2002. Sekolah berkategori baik, diwakili oleh SMPN 3 Sidoarjo dan
SMPN 1 Candi, sekolah berkategori sedang diwakili oleh SMPN Porong 1 dan SMPN 2 Tanggulangin, dan
sekolah berkategori kurang diwakili oleh SMPN 2 Buduran dan SMPN 2 Jabon.

466
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

Pengumpulan data dilakukan melalui tes awal dan tes akhir untuk mengetahui kemampuan berpikir
tingkat rendah dan tinggi setelah menyelesaikan pokok bahasan tertentu, observasi kelas untuk
mendapatkan data aktivitas guru dan siswa, pengumpulan hasil kinerja baik berupa laporan praktikum
maupun poster, dan angket respon siswa dan guru untuk mengetahui tanggapan terhadap pembelajaran
yang dilaksanakan. Analisis data dilakukan secara kuantitatif dengan statistik inferensial dan kualitatif.
Teknik analisis statistik inferensial digunakan adalah ANACOVA dalam program SPSS versi 12,0 for
Windows.yang kemudian dilanjutkan dengan uji beda LSD (Sujana, 1994; Sastrosupadi, 1994). Uji
prasyarat yang digunakan adalah uji normalitas dan homogenitas varian menggunakan uji One-Sample
Kolmogorov-Smirnov Test dan uji Leven’s Test of Equality of Error Variances.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Penelitian pengembangan menghasilkan perangkat pembelajaran model Kooperatif tipe Investigasi
Kelompok dan model Pembelajaran Berbasis Masalah. Perangkat yang telah dikembangkan meliputi silabus,
Rencana Pengajaran, Buku Siswa, Lembar Kegiatan Siswa, Panduan Lembar Kegiatan Siswa, Evaluasi, dan
Panduan Evaluasi. Hasil penelaahan isi oleh ahli kependidikan biologi dan keterbacaan oleh guru
menunjukkan bahwa perangkat yang dikembangkan layak digunakan dalam penelitian setelah dilakukan
revisi sesuai dengan saran dari penilai tersebut.
Uji Anacova faktorial 2 X 3 X 4 dilakukan untuk menguji pengaruh variabel model pembelajaran
(PBM dan Kooperatif tipe IK), kategori sekolah (baik, sedang, kurang), dan materi pokok bahasan (Sistem
Pencernaan, Pernapasan, Transportasi, dan Eksresi) terhadap kemampuan berpikir disajikan dalam
Tabel 1

Tabel 1 : Ringkasan Hasil Uji Anacova Pengaruh Materi Pokok Bahasan, Kategori Sekolah, dan Model
Pembelajaran terhadap Kemampuan Berpikir

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Nilai pasca tes total


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 122808,353a 24 5117,015 54,206 ,000
Intercept 63184,488 1 63184,488 669,333 ,000
PRETOT 11615,833 1 11615,833 123,050 ,000
MATERI 1176,125 3 392,042 4,153 ,006
KAT 5009,277 2 2504,638 26,532 ,000
MODEL 12949,630 1 12949,630 137,179 ,000
MATERI * KAT 42338,838 6 7056,473 74,751 ,000
MATERI * MODEL 3596,633 3 1198,878 12,700 ,000
KAT * MODEL 571,049 2 285,524 3,025 ,049
MATERI * KAT * MODEL 7101,756 6 1183,626 12,539 ,000
Error 82504,875 874 94,399
Total 2908822,131 899
Corrected Total 205313,228 898
a. R Squared = ,598 (Adjusted R Squared = ,587)

Hasil analisis data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa macam materi pokok bahasan berpengaruh
terhadap kemampuan kemampuan berpikir siswa. Selanjutnya, untuk mengetahui materi pokok bahasan
manakah yang mempunyai pengaruh paling besar, maka dilakukan uji lanjut dengan uji LSD, yang hasilna
disajikan pada Tabel 2.

467
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

Tabel 2 : Hasil Uji Lanjut Perbedaan Mean Pengaruh Materi Pokok Bahasan
terhadap Kemampuan berpikir

MEAN Notasi
MATERI AWALTOT AKHIRTOT SELISIH
TERKOREKSI LSD0.01
PERNAPASAN 53,5708 57,2946 3,7238 52,8762 a
TRASPORTASI 39,8122 53,0710 13,2588 53,9646 a b
PENCERNAAN 32,1648 51,8605 19,6957 55,7066 a b
EKSKRESI 40,8546 55,6001 14,7455 56,0912 b

Berdasarkan Tabel 2 terungkap bahwa antara materi Sistem Ekskresi dengan Pencernaan tidak
terdapat perbedaan signifikan, demikian pula antara materi Sistem Pencernaan dan Transportasi.
Perbedaan yang signifikan terdapat antara mean Sistem Ekskresi dengan Sistem Pernapasan.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa kategori sekolah berpengaruh terhadap kemampuan
berpikir siswa. Selanjutnya, untuk mengetahui kategori sekolah manakah yang mempunyai pengaruh
paling besar, maka dilakukan uji LSD yang hasilnya disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 : Hasil Uji Lanjut Perbedaan Mean Kategori Sekolah terhadap Kemampuan Berpikir

MEAN Notasi
KATEGORI AWALTOT AKHIRTOT SELISIH
TERKOREKSI LSD0.01
SEDANG 35,6023 49,0756 13,4734 51,5946 a
KURANG 37,8026 52,1846 14,3819 53,8540 b
BAIK 51,3968 62,1094 10,7126 58,5304 c

Berdasarkan Tabel 3 diperoleh selisih nilai mean terkoreksi antara sekolah berkategori baik dan
yang kurang sebesar 4,68. Dalam hal ini sekolah berkategori baik mempunyai mean 8,68% lebih tinggi
jika dibandingkan dengan yang berkategori kurang. Di lain pihak antara sekolah berkategori kurang dengan
yang sedang terdapat selisih 2,26. Hal ini memperlihatkan bahwa sekolah berkategori kurang mempunyai
nilai 4,38 % lebih baik daripada yang berkategori sedang.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa model pembelajaran berpengaruh terhadap kemampuan
berpikir siswa. Untuk mengetahui model pembelajaran manakah yang mempunyai pengaruh lebih besar,
maka dilakukan perbandingan antara mean yang telah terkoreksi seperti pada Tabel 4.

Tabel 4 : Perbedaan Mean Model Pembelajaran terhadap Kemampuan Berpikir

MEAN
MODEL AWALTOT AKHIRTOT SELISIH TERKOREKSI
PBM 39,0109 49,4983 10,4873 50,7012
IK 44,1902 59,4148 15,2246 58,6181

468
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

Tabel 4 menunjukkan ada perbedaan mean terkoreksi sebesar 7,92 yang memperlihatkan bahwa
model pembelajaran Kooperatif tipe IK memiliki nilai 15,61%. lebih tinggi dibanding model pembelajaran
PBM.
Hasil analisis menunjukkan bahwa interaksi antara materi pokok bahasan dan kategori sekolah
berpengaruh terhadap kemampuan berpikir. Hasil analisis lanjut untuk mengetahui perbedaan mean
interaksi antar materi pokok bahasan dengan kategori sekolah disajikan dalam ringkasan hasil analisis LSD
pada Tabel 5
Berdasar hasil uji lanjut pada Tabel 5 nilai kemampuan berpikir yang tertinggi adalah pada
kombinasi materi Sistem Ekskresi dengan sekolah berkategori baik, sedangkan yang terendah pada
kombinasi materi Sistem Pernapasan dengan sekolah berkategori sedang. Selanjutnya untuk melihat ada
tidaknya pola-pola atau kecenderungan tertentu dari hasil Tabel 5 maka dilakukan modifikasi berdasar
macam materi pelajaran seperti pada Tabel 6.
Setelah dilakukan modifikasi pada pokok bahasan dan Sistem Ekskresi dan Sistem Pernapasan
tampak ada pola tertentu; sekolah berkategori baik selalu terlihat memiliki kemampuan berpikir yang lebih
tinggi. Di lain pihak pada pokok bahasan Sistem transportasi dan Sistem Pencernaan tidak terlihat ada pola
tertentu. Dalam hubungan ini terlihat juga bahwa kategori sekolah, terutama yang sedang dan kurang
tidak konsisten.

Tabel 5 : Hasil Uji Lanjut Perbedaan Mean Pengaruh Interaksi Materi dan Kategori
terhadap Kemampuan berpikir

KATEGO MEAN Notasi


MATERI CODE AWAL AKHIR SELISIH
RI TERKOREKSI LSD0.01
PERNAPASAN SEDANG 8 45,9717 48,3441 2,3724 46,8596 a
PENCERNAAN KURANG 3 29,5219 42,0834 12,5615 46,9499 a
EKSRESI SEDANG 11 39,0161 46,0205 7,0044 47,2214 a
TRANSPORTASI SEDANG 5 31,2929 43,4101 12,1173 47,5929 a
TRANSPORTASI BAIK 4 52,3120 54,4022 2,0902 50,4699 ab
EKSRESI KURANG 12 33,2992 47,4007 14,1015 50,8088 ab
RESPIRASI KURANG 9 52,5578 57,8535 5,2957 53,8263 bc
PENCERNAAN BAIK 1 40,8440 54,9704 14,1264 55,4656 cd
RESPIRASI BAIK 7 62,1827 65,6861 3,5034 57,9428 d
TRANSPORTASI KURANG 6 35,8317 61,4007 25,5691 63,8311 e
PENCERNAAN SEDANG 2 26,1284 58,5277 32,3993 64,7044 e
EKSRESI BAIK 10 50,2485 73,3790 23,1305 70,2433 f

Tabel 6 : Hasil Modifikasi Berdasar Variabel Urutan Materi

MEAN Notasi
MATERI KATEGORI CODE AWAL AKHIR SELISIH TERKOREKSI LSD0.01
PENCERNAAN KURANG 3 29,5219 42,0834 12,5615 46,9499 a
PENCERNAAN BAIK 1 40,8440 54,9704 14,1264 55,4656 b
PENCERNAAN SEDANG 2 26,1284 58,5277 32,3993 64,7044 c
TRANPORTASI SEDANG 5 31,2929 43,4101 12,1173 47,5929 a

469
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

TRANPORTASI BAIK 4 52,3120 54,4022 2,0902 50,4699 a


TRANPORTASI KURANG 6 35,8317 61,4007 25,5691 63,8311 b
PERNAPASAN SEDANG 8 45,9717 48,3441 2,3724 46,8596 a
PERNAPASAN KURANG 9 52,5578 57,8535 5,2957 53,8263 b
PERNAPASAN BAIK 7 62,1827 65,6861 3,5034 57,9428 c
EKSKRESI SEDANG 11 39,0161 46,0205 7,0044 47,2214 a
EKSKRESI KURANG 12 33,2992 47,4007 14,1015 50,8088 a
EKSKRESI BAIK 10 50,2485 73,3790 23,1305 70,2433 b

Hasil analisis data menunjukkan bahwa interaksi antara materi pokok bahasan dan model
pembelajaran berpengaruh terhadap kemampuan berpikir. Hasil analisis lanjut untuk mengetahui
perbedaan mean interaksi antar materi pokok bahasan dengan model pembelajaran disajikan dalam
ringkasan hasil analisis LSD pada Tabel 7.

Tabel 7 : Hasil Uji Lanjut Perbedaan Mean Pengaruh Interaksi Materi dan Model
terhadap Kemampuan berpikir.

MEAN Notasi
MATERI MODEL CODE AWAL AKHIR SELISIH
TERKOREKSI LSD0.01
EKSKRESI PBM 7 38,5281 47,6113 9,0831 49,0006 a
TRANSPORTASI PBM 3 38,4191 48,2907 9,8716 49,7221 a
PERNAPASAN PBM 5 53,5643 55,1923 1,6280 50,7765 a b
PENCERNAAN PBM 1 25,5322 46,8989 21,3667 53,3057 bc
PERNAPASAN IK 6 53,5772 59,3968 5,8197 54,9760 cd
PENCERNAAN IK 2 38,7973 56,8221 18,0248 58,1075 d
TRANSPORTASI IK 4 41,2052 57,8514 16,6461 58,2071 d
EKSKRESI IK 8 43,1810 63,5889 20,4078 63,1818 e

Berdasar hasil uji lanjut pada Tabel 7 nilai kemampuan berpikir tertinggi terdapat pada kombinasi
materi pokok bahasan Sistem Ekskresi dengan model Kooperatif IK, sedangkan terendah pada kombinasi
materi Sistem Ekskresi dengan model PBM. Secara umum tampak bahwa semua materi pokok bahasan
yang dilakukan dengan model Kooperatif tipe Investigasi Kelompok mempunyai mean yang lebih tinggi
dibanding model PBM. Dalam hubungan ini terlihat jelas bahwa untuk semua materi kamampuan berpikir
siswa yang mengalami pembelajaran dengan model Kooperatif IK selalu lebih tinggi dibanding yang
menjalani dengan model PBM.
Selanjutnya, untuk melihat ada tidaknya pola-pola tertentu dari hasil Tabel 7 dilakukan modifikasi
berdasarkan macam materi pelajaran. Setelah dilakukan modifikasi tampak ada pola tertentu dari variabel
materi dan model pembelajaran. Dapat diinterpretasikan bahwa skor kemampuan berpikir pada pokok
bahasan Sistem Ekskresi dengan model Kooperatif IK 28,94% lebih tinggi bila dibanding model PBM.
Skor kemampuan kemampuan berpikir pada pokok bahasan Pernapasan dengan model Kooperatif IK
lebih tinggi 8,27% dibanding model PBM. dan pada Sistem Transportasi dengan model kooperatif IK
17,06% lebih tinggi bila dibanding model PBM. Skor kemampuan berpikir pada pokok bahasan Sistem
Pencernaan dengan model kooperatif IK lebih tinggi 9% lebih tinggi dibanding model PBM. Secara
keseluruhan juga terlihat bahwa untuk tiap materi pokok bahasan kemampuan berpikir siswa mengalami

470
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

pembelajaran dengan model Kooperatif IK selalu lebih tinggi dibanding yang menjalani pembelajaran
dengan model PBM.
Hasil analisis menunjukkan bahwa interaksi antara kategori sekolah dan model pembelajaran
berpengaruh terhadap kemampuan berpikir Hasil analisis lanjut untuk mengetahui perbedaan mean
interaksi antar kategori sekolah dengan model pembelajaran disajikan dalam ringkasan hasil analisis LSD
pada Tabel 9

Tabel 9 : Hasil Uji Lanjut Perbedaan Mean Pengaruh Interaksi Kategori dan Model
terhadap Kemampuan berpikir.

MEAN Notasi
KATEGORI MODEL CODE AWAL AKHIR SELISIH
TERKOREKSI LSD0.05
SEDANG PBM 3 35,3775 45,9016 10,5241 48,5073 a
KURANG PBM 5 36,1269 46,4831 10,3562 48,7995 a
SEDANG IK 4 35,8270 52,2496 16,4226 54,6818 b
BAIK PBM 1 45,5284 56,1102 10,5817 54,7968 b
KURANG IK 6 39,4784 57,8861 18,4077 58,9085 c
BAIK IK 2 57,2652 68,1087 10,8435 62,2640 d

Berdasar hasil uji lanjut pada Tabel 9 nilai kemampuan berpikir tertinggi terdapat pada kombinasi
sekolah berkategori baik dengan model Kooperatif tipe IK, sedangkan yang terendah pada kombinasi
sekolah berkategori sedang dengan model pembelajaran PBM. Secara umum tampak pada berbagai
ketagoari sekolah, model pembelajaran IK lebih berpengaruh dalam menentukan kemampuan berpikir.
Selanjutnya untuk melihat ada tidaknya pola-pola tertentu dilakukan modifikasi berdasar urutan kategori
sekolah. Setelah dilakukan modifikasi tabel terlihat bahwa skor kemampuan berpikir pada siswa di sekolah
berkategori kurang dengan model IK menunjukkan hasil 20,72% lebih baik dibanding model PBM. Skor
kemampuan berpikir dari siswa di sekolah berkategori sedang dengan model pembelajaran Kooperatif IK
menunjukkan hasil 12,73% lebih baik dibanding PBM, sedangkan skor sekolah berkategori baik dengan
model Kooperatif IK menunjukkan hasil 13,63% lebih baik dibanding dengan PBM.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa interaksi antara materi pokok bahasan, kategori sekolah
dengan model pembelajaran berpengaruh terhadap kemampuan berpikir. Hasil analisis lanjut untuk
mengetahui perbedaan mean interaksi antara materi, kategori sekolah dengan model pembelajaran
disajikan dalam ringkasan hasil analisis LSD pada Tabel 10.
Berdasarkan data hasil uji lanjut pada Tabel 10 diketahui bahwa nilai kemampuan berpikir tertinggi
pada kombinasi materi Sistem Ekskresi, kategori sekolah baik dengan model pembelajaran Kooperatif tipe
IK, sedangkan nilai terendah pada kombinasi materi pokok bahasan Sistem Ekskresi, sekolah berkategori
kurang, dan model PBM. Secara umum tampak bahwa sebagian besar nilai mean rendah diperoleh oleh
sekolah kategori kurang dan sedang, kecuali untuk materi Sistem Transportasi, Ekskresi. Disamping itu
juga tampak bahwa model IK secara umum mempunyai nilai mean lebih tinggi bila dibanding PBM.
Selanjutnya untuk dapat melihat lebih jelas ada tidaknya pola-pola tertentu dari hasil di atas, maka
dilakukan modifikasi tabel berdasarkan urutan variabel yang lain
Berdasarkan hasil modifikasi tampak ada pola khusus pada materi pokok bahasan Sistem
Pencernaan. Sebagian besar data menunjukkan bahwa nilai kemampuan berpikir yang diperoleh melalui
model PBM lebih rendah dari IK, namun pola tersebut tidak diikuti oleh teraturnya pola pada kategori

471
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

sekolah. Urutan skor tertinggi hingga terendah kemampuan berpikir pokok bahasan Sistem Pencernaan
yang dilakukan dengan model PBM dan IK mempunyai urutan kategori sekolah sedang, baik, dan kurang.

Tabel 10 : Hasil Uji Lanjut Perbedaan Mean Pengaruh Interaksi Materi, Kategori dan Model
terhadap Kemampuan berpikir.

MEAN
KATE CO SELI-
MATERI MODEL AWAL AKHIR TERKO-
GORI DE SIH LSD0,01
REKSI

EKSKRESI KRNG PBM 23 29,8686 34,5451 4,6765 39,2777 a

PERNAPASAN SDNG PBM 15 46,6369 43,2750 -3,3619 41,5337 ab

TRANSPORTASI SDNG PBM 9 31,0624 39,3595 8,2971 43,6312 abc

PENCERNAAN KRNG PBM 5 20,2474 36,2963 16,0489 44,7435 abc

TRANSPORTASI BAIK PBM 7 43,6384 46,8119 3,1735 46,2282 bcd

EKSKRESI SDNG IK 22 39,3732 46,0187 6,6455 47,0818 bcde

EKSKRESI SDNG PBM 21 38,6590 46,0223 7,3633 47,3611 cde

PENCERNAAN KRNG IK 6 38,7964 47,8706 9,0742 49,1563 cdef

TRANSPORTASI SDNG IK 10 31,5233 47,4608 15,9374 51,5545 defg

PERNAPASAN KRNG PBM 17 53,8349 56,3903 2,5554 51,8700 defg

PERNAPASAN SDNG IK 16 45,3065 53,4132 8,1068 52,1856 efg

PENCERNAAN BAIK PBM 1 31,1974 49,4508 18,2533 53,6703 fgh

TRANSPORTASI BAIK IK 8 60,9856 61,9926 1,0069 54,7115 fghi


PERNAPASAN KRNG IK 18 51,2808 59,3168 8,0359 55,7825 ghij
PERNAPASAN BAIK IK 14 64,1443 65,4605 1,3162 56,9599 ghijk
PENCERNAAN BAIK IK 2 50,4906 60,4900 9,9994 57,2609 ghijk
PERNAPASAN BAIK PBM 13 60,2212 65,9116 5,6905 58,9257 hijk
TRANSPORTASI KRNG PBM 11 40,5566 58,7006 18,1441 59,3068 hijk
EKSKRESI BAIK PBM 19 47,0568 62,2664 15,2095 60,3629 ijk
PENCERNAAN SDNG PBM 3 25,1518 54,9497 29,7979 61,5034 j k
EKSKRESI KRNG IK 24 36,7297 60,2562 23,5265 62,399 kl
PENCERNAAN SEDANG IK 4 27,1050 62,1058 35,0008 67,9054 lm
TRANSPORTASI KURANG IK 12 31,1068 64,1008 32,9941 68,3554 m
EKSKRESI BAIK IK 20 53,4402 84,4917 31,0515 80,1238 n

Strategi kooperatif IK secara signifikan memberikan pengaruh lebih baik dibanding PBM, sekalipun
kedua model tersebut memiliki dasar filosofi konstruktivisme. Pada proses pembelajaran yang didasari
filosofi tersebut siswa membangun sendiri pengetahuannya dan peranan guru hanya sebagai fasilitator
saja. Dalam kooperatif IK kelompok siswa dihadapkan pada masalah, menentukan sendiri masalah yang
akan dibahas, merancang investigasi, melakukan investigasi, menganalisis data investigasi dan akhirnya
menarik kesimpulan. Siswa terlibat aktif dalam model IK baik secara mental maupun jasmani sehingga
pemahaman siswa akan materi pelajaran diharapkan dapat menjadi lebih baik.

472
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

Dalam model pembelajaran Kooperatif tipe IK ternyata kemampuan berpikir siswa tinggi, hal ini
sesuai dengan pendapat Slavin (1995) yang menyatakan bahwa dalam proses pembelajaran kooperatif tipe
IK terjadi peningkatan kemampuan untuk melakukan analisis dan sintesis terhadap segala informasi
sehingga penguasaan akan materi menjadi lebih baik. Proses belajar seperti itu membuat siswa
membangun sendiri pengetahuannya secara langsung menggunakan pengetahuannya untuk membahas
permasalahan yang diangkat, sehingga pembelajaran menjadi sangat bermakna. Model kooperatif IK dapat
menggunakan masalah otentik maupun akademik untuk diangkat sebagai bahan diskusi atau proyek (Nur
dan Ibrahim 200).
Kelebihan dari model Kooperati IK dalam meningkatkan hasil belajar diutarakan oleh Lord, 2001,
Kooperatif IK dapat membantu siswa memahami konsep-konsep yang sulit. Hal ini didukung oleh pendapat
Lord 2001 yang menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan hasil belajar akademik
siswa. Pembelajaran kooperatif dapat memberikan keuntungan bagi semua siswa baik yang pandai
maupun yang kurang pandai. Siswa yang pandai akan menjadi tutor sebaya bagi siswa yang kurang
pandai. Sebagai tutor siswa akan bertambah mantap pengetahuannya, dan sebagai siswa yang mendapat
bantuan akan memperoleh informasi dengan bahasa yang mudah dimengerti.
Model Kooperatif tipe IK mendorong terjadinya kerjasama yang sangat intensif antar anggota
kelompok maupun antar kelompok. Bentuk interaksi ini dapat menumbuhkan hubungan sosial diantara
anggota kelompok sehingga terjalin hubungan yang erat diantara mereka. Keadaan tersebut mendukung
pendapat Slavin, 1995 yang mengemukakan bahwa kegiatan pembelajaran dengan model Kooperif IK
dapat meningkatkan keterampilan sosial dan kemampuan akademis siswa. Dengan meningkatnya
keterampilan tersebut akan memicu terjadinya komunikasi yang lebih baik antar anggota kelompok,
akibatnya akan terjadi pertukaran pengetahuan yang berdampak pada meningkatnya penguasan materi
yang dipelajari.
Dalam penerapan model Kooperatif IK guru membagi kelas menjadi kelompok-kelomok dengan
anggota 5-6 siswa yang heterogen. Namun bisa juga mempertimbangkan keakraban persahabatan atau
minat yang sama dalam topik tertentu. Topik yang diangkat dapat berupa topik yang akademik maupun
otentik. Selanjutnya siswa memilih topik untuk diselidiki, kemudian melakukan penyelidikan atas topik yang
dipilih itu. Selanjutnya menyiapkan dan mempresentasikan laporannya kepada seluruh kelas (Sharan dalam
Arends 1997).
Model pembelajaran Kooperatif IK dalam kaitannya dengan pengembangan kemampuan berpikir,
menurut (Nur 2000) mempunyai manfaat antara lain: (a) mengurangi sifat apatis, (b) Meningkatkan
pemahaman siswa, (c) meningkatkan motivasi, (d) meningkatkan hasil belajar dan (e) menambah retensi.
Nilai kemampuan berpikir tertinggi terdapat pada kombinasi materi pokok bahasan Sistem Ekskresi
dengan model Kooperatif IK, sedangkan terendah pada kombinasi materi Sistem Ekskresi dengan model
PBM. Secara umum tampak bahwa semua materi pokok bahasan yang dilakukan dengan model Kooperatif
tipe Investigasi Kelompok mempunyai mean yang lebih tinggi dibanding model PBM. Untuk semua model
pembelajaran, materi Sistem Ekskresi dianggap paling mudah diikuti kemudian dengan materi Sistem
Pernapasan, Sistem Transportasi, dan Sistem Pencernaan.
Kegiatan dalam Sistem Ekskresi meliputi merancang percobaan untuk mengetahui perbandingan
kepadatan kelenjar keringat (kelas Kooperatif IK) dan menghitung kepadatan kelenjar keringat pada
daerah-daerah yang telah ditentukan, dengan menggunakan alat bantu sederhana berupa cairan betadin
dan kertas saring. Dengan menggunakan alat tersebut mayoritas siswa tertarik karena tidak menduga
sebelumnya bahwa alat yang sudah mereka ketahui sehari-hari dapat digunakan untuk keperluan lain yang
menurut siswa cukup mengagumkan, yaitu sebagai alat yang mampu memetakan titik-titik kelenjar
keringat pada permukaan kulit. Kegiatan pada Pokok Bahasan Sistem Pernapasan cukup menarik karena

473
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

siswa diajak untuk membuat poster ( kelas PBM) dan merancang alat ukur volume udara pernapasan
(Kooperatif IK).

Saat ini telah ada Peraturan Pemerintah (PP) No 19 Tahun 2005 tentang Ujian Akhir Nasional.
Dalam peraturan itu, bisa diketahui hakikat UAN itu sesungguhnya untuk mencapai standar minimun yang
harus dicapai oleh setiap sekolah di Indonesia dan bisa digunakan untuk meningkatkan mutu, meskipun
tidak secara langsung. Dikatakan secara langsung karena guru akan termotivasi meningkatkan kualitas diri
dan siswanya setelah mendapat masukan dari hasi UAN secara umum di sekolah tersebut.

Ada beberapa hal yang menyebabkan hasil rerata mean sekolah berturut-turut dari nilai tinggi ke
rendah adalah Sekolah Kategori Baik, Kurang, dan Sedang. Alasan yang pertama, ada kemungkinan bahwa
asumsi nilai UAN tinggi mencerminkan kemampuan yang tinggi pula untuk mata pelajaran yang lain (selain
Bahasa Indonesia, Matematika, dan Bahasa Inggris) adalah salah. Hal tersebut ditandai dengan
berubahnya urutan kategori sekolah bila yang digunakan adalah nilai dari mata pelajaran IPA Biologi.
Alasan yang kedua, perubahan urutan kategori mencerminkan keberhasilan model pembelajaran berbasis
konstruktivis dalam membangkitkan kemampuan berpikir pada siswa sekolah kategori kurang, sehingga
kenaikan nilai yang didapatkan bisa lebih besar dari sekolah berkategori sedang. Keberhasilan ini ditandai
dengan beradanya sekolah berkategori kurang pada urutan kedua. Hal tersebut sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Corebima (2007) yang menemukan bahwa dari 10 penelitian yang dibimbingnya
terdapat 21 macam kombinasi strategi pembelajaran yang berpotensi meningkatkan kemampuan berpikir
siswa, terungkapn bahwa penerapan model pembelajaran berbasis konstruktivis akan lebih berhasil bila
diterapkan pada siswa dengan kemampuan akademis rendah. Siswa dengan kategori akademis rendah
memperoleh kenaikan hasil belajar yang lebih besar bila dibanding siswa berkategori kemampuan
akademis tinggi. Kemampuan berpikir siswa pada kelompok akademik rendah akan tidak berbeda secara
signifikan dengan kelompok akademis yang lebih tinggi.
Ada kecenderungan bahwa kemampuan berpikir berkait dengan urutan materi pokok bahasan
dengan tingkat kategori sekolah. Materi Sistem Pernapasan dan Ekskresi terkait dengan kategori sekolah
dapat diinterpretasikan bahwa skor kemampuan berpikir pada pokok bahasan Sistem Ekskresi dengan
kategori sekolah baik lebih tinggi bila dibanding kategori kurang, sedangkan antara sekolah berkategori
kurang dengan sedang tidak ada perbedaan mean yang cukup signifikan. Skor kemampuan berpikir tingkat
tinggi pada pokok bahasan Pernapasan dengan kategori sekolah baik lebih tinggi dibanding kategori
kurang, dan sekolah kategori kurang lebih baik daripada kategori sedang, sedangkan untuk materi pokok
bahasan Transportasi dan Pencernaan dikaitkan dengan kategori sekolah tidak menunjukkan pola tertentu.
Siswa yang termotivasi untuk belajar sesuatu akan menggunakan proses kognitif yang lebih tinggi
dalam mempelajari materi itu, sehingga dia akan menyerap dan mengendapkan materi itu lebih baik
(Slavin 1995, Nur 2000). Berdasarkan data tampak bahwa siswa menganggap materi pokok bahasan
Sistem Eksresi relatif lebih disukai dibanding Sistem Pernapasan. Menurut siswa materi Sistem Ekskresi
dianggap lebih menarik dan familier dibandingkan Sistem Pernapasan. Faktor ketertarikan dan kesukaan
pada materi Sistem Ekskresi dapat membuat siswa termotivasi secara internal (Slavin, 1995) sehingga ia
mau belajar dengan tingkat kognitif yang lebih tinggi. Ketertarikan siswa salah satu disebabkan oleh
adanya pengetahuan baru bahwa Betadin yang biasa dikenal oleh siswa sebagai obat luka, bisa digunakan
pula untuk mengetahui letak kelenjar keringat. Dengan mengetahui letak kelenjar siswa antusias untuk
mengetahui apakah kepadatan kelenjar keringat merata pada seluruh tubuh. Adanya pengetahuan baru
disertai model pembelajaran yang ”berbeda” dengan yang biasa siswa ikuti menjadikan pembelajaran lebih
dinamis. Berbeda dengan kegiatan dalam pokok bahasan Sistem Pernapasan yang diisi dengan kegiatan

474
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

merancang alat untuk mengukur volume udara pernapasan untuk IK dan menyusun poster anti rokok
untuk PBM siswa tidak menemukan pengetahuan praktis baru seperti penggunaan betadin di atas.
Pengajaran Berdasarkan Masalah (PBM) adalah pengajaran yang dirancang berdasarkan masalah
riil kehidupan yang bersifat tidak tentu (ill-defined), terbuka, dan mendua. Masalah yang tidak tentu adalah
masalah yang kabur, tidak jelas, atau belum didefenisikan. PBM dapat membangkitkan minat siswa, nyata,
dan sesuai untuk mengembangkan intelektual serta memberikan kesempatan agar siswa belajar dalam
situasi kehidupan nyata (Fogarty 1997, Jones 1996). Ada perbedaan utama pada model pembelajaran PBM
dan Kooperatif KI, yakni sifat masalah yang diangkat untuk dipecahkan. Pada PBM masalah yang diangkat
harus masalah otentik yang sedang terjadi di sekitar siswa, sedangkan pada Kooperatif IK masalah bisa
bersifat otentik, maupun akademik yang langsung berkaitan dengan konsep-konsep pokok pada suatu
pokok bahasan tertentu.
Dalam model Pembelajaran PBM cenderung mengangkat masalah otentik yang hanya merupakan
satu bagian kecil dari bagian yang harus dituntaskan dalam pembelajaran satu topik/pokok bahasan
tertentu, sehingga memerlukan waktu khusus untuk memberikan penjelasan kaitan antara masalah otentik
tersebut dengan prinsip maupun konsep yang terdapat dalam pokok bahasan tersebut. Untuk
memungkinkan terjadinya pelatihan kemampuan berpikir tampaknya masih memerlukan tambahan waktu
lagi untuk mengembangkan lingkungan kelas yang memungkinkan terjadinya pertukaran ide secara
terbuka. Setelah itu guru masih harus bekerja keras untuk memberikan informasi tentang kaitan antara
kegiatan pada LKS dengan konsep-konsep yang terkait dengan pokok bahasan. Kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa waktu yang tersedia bagi satu pokok bahasan sekitar 3 kali tatap muka termasuk
pretes dan postes, sehingga setelah dilakukan penerapan PBM cenderung guru kehabisan waktu untuk
memberikan kaitan-kaitan dengan konsep-konsep essensial pada pokok bahasan tersebut. Akibatnya ketika
siswa diberikan tes tentang materi pokok bahasan, ia kurang menguasai konsep-konsep essensial tersebut.
Hal ini sesuai dengan pendapat Arends, 1997 yang menyatakan kelemahan PBM karena tidak mencakup
sejumlah informasi besar atau pengetahuan dasar, apalagi bila sekolah bertarget pada ketuntasan materi.
Walaupun dalam PBM juga terjadi elaborasi kognitif dimana siswa pintar akan memberikan penjelasan
kepada siswa kurang pintar, akibatnya penguasaan materi pelajaran pada siswa pintar maupun kurang
keduanya akan meningkat. (Slavin, 1995) namun fokus dari pembicaraan siswa hanya diarahkan pada
masalah otentik yang sedang dipecahkan dalam diskusi tersebut. Untuk menambah wawasan siswa
tentang konsep-konsep pokok yang terkait dengan masalah yang dipecahkan siswa pada suatu bahasan
tertentu, guru harus memberikan waktu khusus diluar kegiatan PBM tersebut. Apa bila hal ini tidak
dilakukan maka siswa akan terbatas sekali pemahan konsep-konsepnya.
PBM diterapkan untuk merangsang berpikir tingkat tinggi dalam situasi berorientasi masalah,
termasuk di dalamnya belajar bagaimana belajar. Peran guru dalam pembelajaran ini adalah menyajikan
masalah , mengajukan pertanyaan, dan memfasilitasi penyelidikan dan dialog. Lebih penting lagi, guru
melakukan scaffolding, yaitu suatu kerangka dukungan yang memperkaya inkuiri dan pertumbuhan
intelektual siswa. PBM tidak dapat terjadi tanpa guru mengembangkan lingkungan kelas yang
memungkinkan terjadinya pertukaran ide secara terbuka. PBM terdiri dari penyajian masalah kepada siswa
situasi yang autentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada mereka untuk melakukan
penyelidikan dan inkuiri (Ibrahim dan Nur 2000).
PBM mempunyai beberapa keunggulan menurut Arends (1997) adalah (a) Pendidikan di sekolah
menjadi lebih relevan dengan kehidupan, (b) Membiasakan siswa menghadapi masalah dan terampil
memecahkannya, apabila ia menghadapi permasalahan di kehidupan keluarga, masyarakat dan di dunia
kerja kelak dan (c) Merangsang pengembangan kemampuan berpikir secara kreatif dan menyeluruh karena

475
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

siswa banyak melakukan kerja mental dengan melihat permasalahan dari berbagai segi dlam rangka
mencari pemecahan.
Menurut Arends (1997) PBM juga mempunyai kelemahan apabila diaplikasikan di : (a) sekolah
yang kurang memiliki perpustakaan dan sumber-sumber teknologi untuk mendukung penyelidikan, (b)
memberlakukan standar waktu 1 jam pelajaran 45 menit, sehingga tidak memberi cukup waktu kepada
siswa untuk terlibat secara penuh dalam aktivitas di luar sekolah dan (c) karena tidak mencakup sejumlah
informasi besar atau pengetahuan dasar, beberapa sekolah yang mentarget materi harus selesai tidak
mendukung penggunaan model ini. Berdasarkan pendapat Arends tersebut tampaknya proses agar PBM
menjadi salah satu bentuk model pembelajaran inovatif di sekolah harus terkendala oleh keterbatasan
waktu, apalagi bila sekolah mentargetkan pada ketuntasan materi. Waktu yang diperlukan untuk
melaksanakan PBM secara tuntas sampai siswa memahami konsep-konsep terkait dengan masalah otentik
yang sedang dipecahkan harus cukup, tidak bisa terselesaikan pada 2-3 kali tatap muka, dimana waktu
tatap muka tersebut masih dikurangi dengan waktu untuk pretes dan postes. Tidak demikian halnya bila
menggunakan model Pembelajaran Kooperatif IK dimana konsep-konsep akan mudah dipahami oleh siswa
seiring dengan kerja siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas proyek dengan menggunakan masalah-
masalah akademik yang dikerjakannya baik di dalam kelas maupun di luar jam pelajaran (Slavin, 1995, Nur
2001). Sehingga kesempatan untuk memantapkan konsep-konsep akademik suatu pokok bahasan menjadi
relatif lebih banyak bila dibanding dengan model PBM. Hal senada juga disampaikan oleh Ibrahim dan Nur
2000 yang menyatakan bahwa PBM tidak dapat terjadi tanpa guru mengembangkan lingkungan kelas yang
memungkinkan terjadinya pertukaran ide secara terbuka.
Berdasarkan pendapat Arends (1997) PBM menjadi salah satu bentuk model pembelajaran inovatif
di sekolah harus terkendala oleh keterbatasan waktu, apalagi bila sekolah mentargetkan pada ketuntasan
materi. Waktu yang diperlukan untuk melaksanakan PBM secara tuntas sampai siswa memahami konsep-
konsep terkait dengan masalah otentik yang sedang dipecahkan harus cukup, tidak bisa terselesaikan pada
2-3 kali tatap muka, dimana waktu tatap muka tersebut masih dikurangi dengan waktu untuk pretes dan
postes. Tidak demikian halnya bila menggunakan model Pembelajaran Kooperatif IK dimana konsep-
konsep akan mudah dipahami oleh siswa seiring dengan kerja siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas
proyek dengan menggunakan masalah-masalah akademik yang dikerjakannya baik di dalam kelas maupun
di luar jam pelajaran (Slavin, 1995, Nur 2001).

PENUTUP
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan terhadap hasil penelitian maka disimpulkan bahwa (1)
Siswa yang belajar dengan menggunakan model IK mempunyai kemampuan berpikir yang lebih baik
daripada siwa yang belajar dengan menggunakan model PBM. (2) Hasil belajar kognitif yang tertinggi
adalah kombinasi Sistem Ekskresi dengan sekolah kategori kurang, sedangkan terendah adalah kombinasi
pokok bahasan Sistem Pernapasan dengan sekolah berkategori sedang. (3) Jenis materi berpengaruh
sangat signifikan terhadap kemampuan berpikir rendah. (4) Ada perbedaan kemampuan berpikir siswa
sebagai akibat interaksi antara macam pokok bahasan (Sistem Pencernaan, Sistem Transportasi, Sistem
Pernapasan, dan Sistem Ekskresi) dengan model pembelajaran konstruktivis (Pengajaran Berdasarkan
Masalah dan Kooperatif Tipe Investigasi Kelompok). (5) Ada kecenderungan bahwa semua materi
pelajaran Pencernaan, Transportasi, Pernapasan, dan Ekskresi yang dilakukan dengan model pembelajaran
Investigasi Kelompok mempunyai hasil yang lebih tinggi daripada model PBM. (6) Ada perbedaan
kemampuan berpikir siswa sebagai interaksi akibat antara kategori sekolah (baik, sedang, kurang) dengan
model pembelajaran konstruktivis (Pengajaran Berdasarkan Masalah dan Kooperatif Tipe Investigasi
Kelompok). (7) Sebagian besar menunjukkan ada kecenderungan bahwa nilai kemampuan berpikir yang

476
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

diperoleh melalui model PBM lebih rendah dari IK, namun pola tersebut tidak diikuti oleh teraturnya pola
pada kategori sekolah.
Di samping itu terdapat temuan bahwa pembejaran berbasis konstruktivis memberikan hasil yang
lebih baik bila diterapkan pada sekolah yang berkategori kurang. Hal ini ditunjang fakta bahwa
penambahan nilai kemampuan berpikir yang diperoleh oleh sekolah kategori kurang lebih besar dari pada
sekolah berkategori sedang dan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Arends L. R., 1997 Classroom Instruction and Management, New York: Mc.Graw-Hill Book Co.
Corebima, 1999. Proses dan Hasil Pembelajaran IPA di SD, SLTP, dan SMU: Perkembangan Penalaran
Siswa Tidak Dikelola Secara Terencana. Proceeding Seminar Quality Improvement of Mathematics
and Science Education in Indonesia (JICA). Bandung, Agust 11.
Corebima, 2002. Pemberdayaan Berpikir Melalui Pertanyaan (PBMP) Sebagai Alat Pembelajaran IPA-Biologi
Konstruktivistik Untuk Meningkatkan Penalaran Siswa SLTP di Jawa Timur. Laporan Riset Unggulan
Terpadu VIII Bidang Dinamika Sosial, Ekonomi dan Budaya. Malang: Lemlit Universitas Negeri
Malang.
Corebima, A.D., Susilo, H., Hedi Sutomo. 2004. Pengembangan Model Pembelajaran IPA Biologi SMP
Konstruktivistik Kontekstual Berorientasi Life Skill dengan Pola PBMP di Kota dan Kabupaten
Malang. Laporan Penelitian Akhir Tahun 2004. Kementrian Riset dan Teknologi Lembaga Ilmu
Pengetahuan Alam.
Corebima, A.D., Susilo, H., Hedi Sutomo. 2006. Pengembangan Model Pembelajaran IPA Biologi SMP
Konstruktivistik Kontekstual Berorientasi Life Skill dengan Pola PBMP di Kota dan Kabupaten
Malang. Laporan Penelitian Akhir Tahun 2006. Kementrian Riset dan Teknologi Lembaga Ilmu
Pengetahuan Alam.
Corebima, A.D., 2007. Review on Learning Strategies Having Bigger Potency to Empower Thinking Skill and
Concept Gaining of Lower Academic Students. Makalah disampaikan dalam Seminar Internasional
di Singapura, tidak dipublikasikan.
Costa, L. Arthur, 1985, Developing Minds, Resource Book For Teaching Thinking., Virginia: Association for
Supervision and Curriculum Developments..
Galbreath, J. 1999. Preparing the 21st Century Worker: The Link Between Computer-Based Technology and
Future Skills Sets. Educational Technology/ November December.
Howe, A.C., & Jones, L. 1993. Engaging Children in Science. New York: Macmillan Publishing Company.
Ibrahim, M. 1999. “Pelatihan Pemandu Bidang Studi BIOLOGI Melalui Penerapan Prinsip Modelling.” Jurnal
Riset. No. 10/Th. V, pp. 55 – 67.
Ibrahim, M., dan Nur, M., 2000. Pengajaran Berdasarkan Masalah, Surabaya: Pusat Sains dan Matematika
Sekolah Program Pascasarjana Unesa.
Liliasari. 2000. Model Pembelajaran untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Konseptual Tingkat Tinggi
calon Guru IPA. Proseding Seminar Nasional 23 Pebruari 2000, Malang: Dirjen Dikti Depdiknas-
JICA – IMSTEP . h. 135-140.
.Santoso, Singgih, 2004, SPSS Versi 10 Mengolah Data Statistik Secara Profesional, Jakarta: Elexmedia
Komputindo.
Sastrosupadi, A. 1995. Rancangan Percobaan Praktis untuk Bidang Pertanian, Yogyakarta:Penerbit
Kanisius.
Slavin, R.E. 1994. Educational Psychology: Theory and Practice. (4th Ed.). Massachutssets: Allyn and Bacon
Publishers.

477
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

Slavin, R. E. 1995. Cooperative Learning Theory, Research and Practice. 2nd Ed. Boston: Allyn Bacon.
Sudjana, 1991, Desain dan Analisis Eksperimen, Edisi ke-3, Bandung: Tarsito
Thiagarajan, S. D., Semmel, S. & Semmel. M.L., 1974. Instructional Development for Training Teacher of
Exceptional Children, A Source Book Bloomington: Center for Innovation on Teaching the
Handicapp.
Trilling, B. dan Paul Hood 1999. Learning Technology and Education Reform in the Knowledge Age or “
We’re Wired, Webbed, and Windowed, Now What?” Educational Technology/ May-June: 5-18
Tindangen, Makrina. 2006. Implementasi Pembelajaran Kontekstual Peta Konsep Biologi SMP pada Siswa
Berkemampuan Awal Berbeda di Kota Malang dan Pengaruhnya terhadap Kemampuan Berpikir
Tingkat Tinggi dan Kemampuan berpikir. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri
Malang.
Tuckman, B. W. 1999. Conducting Educational Research, 5th edition, San Diego: Harcourt Brace Jovanovich
Publisher.

478
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

BIO-09
THE ABILITY OF ELEMENTARY SCHOOL PRESERVICE TEACHER IN ENVIRONMENTAL
EDUCATION

Risda Amini1), Nuryani Y. Rustaman2), Mulyati Arifin2), A. Munandar2)


(1) State University of Padang, 2) Indonesia University of Education)

ABSTRAK
Pentingnya melestarikan lingkungan hidup menunjukkan bahwa manusia harus menyelamatkan
lingkungan hidup secara berkesinambungan. Pendidikan lingkungan hidup harus diberikan sejak dini
dan berkelanjutan agar generasi muda memiliki pemahaman tentang lingkungan hidup. Untuk itu
calon guru SD harus dibekali dengan pendidikan lingkungan. Salah satu bentuk pembelajaran
pendidikan lingkungan adalah melalui pembelajaran berbasis outdoor. Setelah mengikuti
pembelajaran berbasis outdoor dalam penelitian ini, calon guru SD memiliki penguasaan konsep
pendidikan lingkungan yang termasuk kategori baik. Terdapat peningkatan kemampuan calon guru SD
dalam menguasai konsep pendidikan lingkungan. Evaluasi proses pembelajaran menunjukkan bahwa
kemampuan calon guru SD dalam: 1) menjaga kebersihan tempat kegiatan/ percobaan termasuk
kategori baik, 2) bekerjasama dalam kelompok termasuk kategori baik, 3) melakukan pengamatan
termasuk kategori baik, 4) menyusun hasil percobaan dalam bentuk laporan termasuk kategori sangat
baik, dan 5) menjelaskan hasil percobaan termasuk kategori baik.
Kata kunci : kemampuan calon guru SD, pendidikan lingkungan hidup, pembelajaran berbasis
outdoor.

PENDAHULUAN
Kemajuan teknologi dan industri, serta pertambahan penduduk membawa dampak yang besar
terhadap kondisi udara. Penipisan lapisan ozon, pemanasan global, terkurasnya sumber daya hayati
merupakan bencana besar yang disebabkan oleh tindakan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup
yang tidak memperhatikan lingkungan. Penggunaan CFC atau freon dalam berbagai peralatan pendingin
(lemari es, air conditioner) menyebabkan menipisnya lapisan ozon di stratosfer. Akibat yang ditimbulkan
karena menipisnya lapisan ozon adalah sinar ultraviolet lebih banyak menembus permukaan bumi sehingga
dapat mengakibatkan kanker kulit, katarak, dan menurun daya tahan tubuh (Choesin, 2004). Ancaman
serius lain dari aktivitas manusia berkaitan dengan kondisi udara adalah pemanasan global. Gas yang
paling banyak berperan dalam pemanasan global adalah CO2 yang banyak dikeluarkan oleh asap dari
industri, kendaraan motor, dan pembakaran hutan. Menumpuknya CO2 dapat menimbulkan efek rumah
kaca (green-house effect) yang menyebabkan lapisan atmosfer menjadi bertambah panas. Apabila panas
lapisan atmosfer semakin meningkat akan mengakibatkan melelehnya lapisan es di kutub. Hal ini akan
mengganggu keseimbangan kehidupan ekosistem, diantaranya terjadi peningkatan permukaan air laut.
Permukaan air laut terus meningkat hingga tahun 2100 (Choesin, 2004). Menurut Sugandhi (2007) dampak
pemanasan global adalah muncul penyakit seperti malaria dan TBC di daratan Eropa (Irlandia, Norwegia,
Polandia).
Kerusakan lingkungan akibat aktivitas manusia, jika diidentifikasi umumnya disebabkan oleh: 1)
Ketidaktahuan masyarakat terhadap akibat dari tindakannya, misalnya kebiasaan membuang sampah ke
sungai atau sembarang tempat yang tidak disadari akan menyebabkan pencemaran. 2) Desakan
kebutuhan hidup sehingga tanpa disadari kegiatan merusak lingkungan terus berlangsung, seperti
penebangan kayu untuk pembakaran batu bata yang telah menjadi pekerjaan dan penghasilan keluarga.
3) Kurangnya pengetahuan tentang keseimbangan ekosistem, misalnya penggunaan pestisida yang tanpa
disadari mengakibatkan musnahnya organisme lain. 4) Kepedulian yang rendah terhadap kelestarian

479
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

lingkungan, misalnya industri membuang limbahnya tanpa mempertimbangkan akibat pada lingkungan. 5)
Kurang memasyarakatnya ketentuan hukum tentang lingkungan hidup dan kurang tegasnya penerapan
sangsi hukum bagi pelanggar (Suranto, 1993).
Ditinjau dari penyebab kerusakan lingkungan sebagai langkah antisipasi dalam upaya menjaga
kelestarian lingkungan hidup, perlu dilakukan pembinaan yang berkelanjutan. Pembinaan ini dapat
dilakukan melalui pendidikan formal (Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi), pendidikan informal, dan
nonformal. Sehubungan dengan hal ini, pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan tentang
pendidikan lingkungan hidup. Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah (menengah umum dan
kejuruan), pelajaran tentang kependudukan dan lingkungan hidup secara integratif dituangkan dalam
kurikulum tahun 1984 dengan memasukkan materi kependudukan dan lingkungan hidup ke dalam hampir
semua mata pelajaran. Pada tanggal 21 Mei 1996, terbit Memorandum Bersama antara Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 0142/U/1996 dan No.
Kep. 89/MENLH/5/1996 tentang Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan Lingkungan Hidup. Sejalan
dengan diterbitkannya memorandum ini, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Depdikbud
terus berupaya mengembangkan dan memantapkan pelaksanaan pendidikan lingkungan hidup di sekolah
antara lain melalui penataran guru, bulan bakti lingkungan, menyiapkan buku Pedoman Pelaksanaan
Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) untuk guru SD, SLTP, SMU, SMK, dan program
sekolah asri. Selanjutnya pada tanggal 5 Juli 2005, Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Pendidikan
Nasional mengeluarkan SK bersama No. Kep.07/MenLH/06/2005 dan No. 05/VI/KB/2005 untuk pembinaan
dan pengembangan pendidikan lingkungan hidup. Di dalam keputusan bersama ini, sangat ditekankan
bahwa pendidikan lingkungan hidup dilakukan secara terintegrasi dengan mata pelajaran yang telah ada
(Timpakul, 2007).
Schatz (2000) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pendidikan lingkungan berguna untuk
meningkatkan kesadaran siswa terhadap lingkungan dan mengembangkan keterampilan berekreasi.
Pendidikan lingkungan bermanfaat untuk memberikan kesempatan pada siswa belajar lingkungan. Dengan
memasukkan rekreasi ke dalam pendidikan lingkungan, dapat membantu siswa untuk menyesuaikan diri
dengan alam sekitarnya sehingga proses belajar lebih menyenangkan. Lingkungan sekolah dapat
memberikan kesempatan belajar lingkungan dengan baik. Siswa dapat memperoleh pengalaman praktis
sehubungan dengan konservasi lingkungan (Miller, 1998). Swartland (Coyle, 2004) menggunakan istilah
pendidikan lingkungan berbasis sekolah. Tujuannya adalah untuk merangsang minat siswa dan mendorong
keingintahuan mereka terhadap lingkungan. Neal (1995) menyatakan untuk meningkatkan kesadaran siswa
terhadap lingkungan maka siswa perlu dimotivasi untuk tertarik, kemudian dibimbing untuk melakukan
observasi.
Kerusakan lingkungan fisik sekolah sudah mencapai kategori memprihatinkan. Atap sekolah yang
bocor dibiarkan saja hingga bocorannya melebar, tiang bangunan sekolah yang goyah tidak diperbaiki
hingga patah, meja dan kursi yang rusak dibiarkan saja, WC sekolah kotor dan berbau. Dari hasil
wawancara dengan beberapa guru SD terungkap bahwa guru kurang tertarik melakukan pembenahan
kebersihan sekolah karena hal itu bukan tugas mereka. Tugas mereka adalah mengajar setiap harinya,
sehingga tidak ada waktu untuk melakukan pekerjaan lain.
Pendidikan lingkungan adalah sebuah proses yang komprehensif untuk menolong manusia
memahami lingkungannya dan isu yang terkait (NAAEE, 2001). Lieberman (1998) berpendapat lingkungan
sebagai konteks terpadu dalam pembelajaran memiliki strategi sebagai berikut: 1) memberikan pengalaman
belajar hands-on melalui pemecahan masalah dan kegiatan berbasis proyek, 2) percaya pada pengajar,
3) mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan apresiasi untuk komunitas lingkungan dan alam
sekitar. Sementara itu Dumouchel (2003) menyatakan bahwa pendidikan di luar kelas (outdoor) bertujuan

480
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

untuk meningkatkan kesadaran siswa terhadap: 1) diri melalui masalah sehari-hari yang ditemui, 2) orang
lain melalui permasalahan kelompok dan dalam pengambilan keputusan, 3) alam melalui pengamatan
secara langsung.
Penanaman fondasi pendidikan lingkungan sejak dini menjadi solusi utama yang harus dilakukan,
agar generasi muda memiliki bekal pemahaman tentang lingkungan hidup. Pendidikan lingkungan
diharapkan mampu mendidik siswa agar berperilaku bijak. Hal ini diperkuat Waryono (Putri, 2006) yang
menyatakan bahwa masa anak-anak merupakan perjalanan yang kritis, sebagai generasi bangsa di masa
mendatang. Dengan demikian sangatlah strategis pembekalan pengetahuan dasar tentang lingkungan
hidup sejak dini, karena generasi muda sebagai aset pelaku pembangunan di masa datang perlu mendapat
prioritas dalam memperoleh pendidikan lingkungan agar mereka peduli dan berperilaku ramah pada
lingkungannya.
Rendahnya sikap dan kepedulian siswa terhadap lingkungan tentu mengundang keprihatinan,
karena melalui pendidikan di sekolah semestinya tindakan dan sikap positif terhadap lingkungan hidup
telah ditanamkan. Kenyataannya, meskipun mata pelajaran IPA diberikan sejak sekolah dasar, tetapi belum
mampu membekali siswa dengan pengetahuan dan sikap yang positif terhadap lingkungan. Untuk
mengatasi masalah tersebut, calon guru SD perlu memahami pengetahuan pendidikan lingkungan dan
pengelolaan pembelajaran pendidikan lingkungan, agar mereka dapat mengajarkan pengetahuan
lingkungan, menanamkan sikap, dan mampu melakukan tindakan peduli terhadap lingkungan. Melalui mata
kuliah Basic Pendidikan Lingkungan, calon guru SD (mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar/PGSD)
diberi bekal pengetahuan tentang konsep dasar lingkungan. Untuk dapat mengajarkan konsep dasar
lingkungan kepada siswa SD, calon guru SD dilatih dalam mata kuliah Pendidikan Lingkungan untuk SD. Di
jurusan PGSD, kedua mata kuliah ini disajikan dalam dua semester yang berbeda (semester IV dan V).
Walaupun sudah mengikuti kedua mata kuliah ini, kenyataannya setelah menjadi guru, mereka belum
mampu untuk menanamkan sikap dan tindakan peduli terhadap lingkungan kepada siswa. Permasalahan
ini mungkin disebabkan oleh kurangnya penguasaan calon guru SD terhadap konsep dasar pendidikan
lingkungan, kurangnya kemampuan calon guru SD dalam menguasai metode pembelajaran pendidikan
lingkungan, kurangnya motivasi calon guru SD dalam mengelola pembelajaran pendidikan lingkungan, dan
sebagainya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan masalah dalam dilakukan penelitian ini, yaitu:
Bagaimana kemampuan calon guru SD dalam pendidikan lingkungan? Masalah dalam penelitian ini
dijabarkan menjadi tiga pertanyaan penelitian, yaitu: 1) Bagaimana kemampuan calon guru SD dalam
menguasai konsep pendidikan lingkungan? 2) Bagaimana peningkatan penguasaan konsep pendidikan
lingkungan bagi calon guru SD? 3) Bagaimana kemampuan calon guru SD dalam proses pembelajaran
pendidikan lingkungan? Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui kemampuan calon guru SD dalam
pendidikan lingkungan.

METODE PENELITIAN
Penelitian merupakan penelitian eksperimen kuasi dengan desain satu grup pre-test post-test
(Creswell, 1994). Penelitian dilakukan terhadap 27 mahasiswa PGSD Fakultas Ilmu Pendidikan yang
mengikuti kuliah basic pendidikan lingkungan. Pre-test dan post-test diberikan pada kelas eksperimen
dengan menggunakan soal yang sama. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa tes
penguasaan konsep pendidikan lingkungan. Materi pendidikan lingkungan yang diujikan adalah
pencemaran air, udara, tanah, dan penghematan energi listrik. Sebelum digunakan, instrumen penelitian

481
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

diujicobakan. Hasil ujicoba menunjukkan bahwa semua item soal adalah valid dan reliabel. Data dianalisis
dengan menggunakan statistik deskriptif dan gains score dinormalisasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Instrumen untuk mengungkapkan penguasaan konsep pendidikan lingkungan bagi calon guru SD
berupa tes tertulis yang diberikan sebelum dan sesudah pelaksanaan pembelajaran berbasis outdoor. Tes
tertulis yang dimaksud adalah tes penguasaan konsep pendidikan lingkungan yang lebih menekankan pada
pemecahan masalah lingkungan hidup. Pembelajaran dilaksanakan sebanyak empat kali pertemuan (empat
pokok bahasan). Data penelitian dan hasil analisis data dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Peningkatan Penguasaan Konsep Pendidikan Lingkungan

Subyek Pre-test Post-test NG


Mhs 1 57.9 70.2 0.29
Mhs 2 56.7 73.9 0.40
Mhs 3 63.3 76.3 0.35
Mhs 4 50.7 60.9 0.21
Mhs 5 63.4 70.6 0.20
Mhs 6 50.7 58.9 0.17
Mhs 7 80.1 94.5 0.72
Mhs 8 64.7 76.8 0.34
Mhs 9 63.3 74.3 0.30
Mhs 10 60 72.1 0.30
Mhs 11 62.9 61.3 -0.04
Mhs 12 75.6 87.1 0.47
Mhs 13 70 78.3 0.28
Mhs 14 81.2 92.8 0.62
Mhs 15 68.7 79.1 0.33
Mhs 16 57.4 66.5 0.21
Mhs 17 76.8 83.8 0.30
Mhs 18 74.8 90 0.60
Mhs 19 81.5 87.2 0.31
Mhs 20 70 75.6 0.19
Mhs 21 67.3 78.5 0.34
Mhs 22 80.4 84.4 0.20
Mhs 23 81.2 95 0.73
Mhs 24 57.6 65 0.17
Mhs 25 67.6 75.2 0.23
Mhs 26 68.3 75.4 0.22
Mhs 27 75.3 87.5 0.49
Rata-rata 67.68 77.45 0.33
Std deviasi 9.38 10.18 0.18

482
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

Pada Tabel 1 dapat dilihat hasil analisis data pre-test dan post-test untuk calon guru SD. Calon
guru memperoleh rata-rata skor pre-test sebesar 67,68 dengan standar deviasi 9,38 dan rata-rata skor
post-test sebesar 77,45 dengan standar deviasi 10,18. Berdasarkan kategori penilaian dalam buku
pedoman Universitas Pendidikan Indonesia, dapat disimpulkan bahwa kemampuan calon guru SD dalam
menguasai konsep pendidikan lingkungan termasuk kategori baik.
Peningkatan penguasaan konsep pendidikan lingkungan dapat diketahui dengan menghitung rata-
rata skor gain dinormalisasi (NG) dari skor pre-test dan post-test. Setelah melalui proses analisis data
seperti pada Tabel 1 diperoleh rata-rata skor NG sebesar 0,33. Peningkatan penguasaan konsep pendidikan
lingkungan bagi calon guru SD termasuk kategori sedang. Rata-rata skor peningkatan penguasaan konsep
pendidikan lingkungan dalam Tabel 1 dapat divisualisasikan dengan grafik seperti terlihat pada gambar 1.

100
90
80
70
Rata-rata Skor

60
50
40

30
20
10
0
Pre-test Post-test

Gambar 1 : Grafik Peningkatan Penguasaan Konsep Pendidikan Lingkungan

Berdasarkan hasil analisis data dalam Tabel 1 dan grafik dalam gambar 1 dapat diketahui bahwa
terdapat peningkatan kemampuan calon guru dalam menguasai konsep pendidikan lingkungan, setelah
mengikuti pembelajaran pendidikan lingkungan berbasis outdoor. Hasil yang diperoleh ini sesuai dengan
hasil penelitian American Institutes for Research (2005) yang meneliti pengaruh program pendidikan
outdoor bagi siswa sekolah menengah di California.
Dalam pelaksanaan pembelajaran berbasis outdoor dilakukan evaluasi proses pembelajaran.
Instrumen untuk mengungkapkan kemampuan calon guru dalam pelaksanaan pembelajaran berupa format
penilaian proses pembelajaran. Data yang diperoleh melalui format penilaian ini dikelompokkan
berdasarkan pada kategori kemampuan calon guru dalam pelaksanaan pembelajaran. Rata-rata skor
kemampuan calon guru dalam pelaksanaan pembelajaran dapat dilihat dalam Tabel 2.
Tabel 2 : Kemampuan Calon Guru dalam Pelaksanaan Pembelajaran

Rata-rata Skor Kemampuan


Subyek
1 2 3 4 5
Mhs 1 78 79 67 70 65
Mhs 2 68 85 70 85 65
Mhs 3 75 88 85 70 70

483
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

Rata-rata Skor Kemampuan


Subyek
1 2 3 4 5
Mhs 4 61 65 62 75 64
Mhs 5 60 80 80 80 65
Mhs 6 50 65 60 74 62
Mhs 7 89 84 92 95 85
Mhs 8 80 75 75 80 70
Mhs 9 77 80 85 73 55
Mhs 10 45 73 55 91 78
Mhs 11 65 85 77 65 55
Mhs 12 87 75 84 90 86
Mhs 13 64 83 71 79 70
Mhs 14 90 85 86 90 87
Mhs 15 54 80 65 95 90
Mhs 16 73 86 54 70 62
Mhs 17 70 82 78 82 85
Mhs 18 95 84 79 88 85
Mhs 19 80 87 85 76 79
Mhs 20 77 75 75 70 68
Mhs 21 70 86 60 85 85
Mhs 22 83 79 75 79 80
Mhs 23 95 84 92 95 85
Mhs 24 66 64 75 73 64
Mhs 25 68 82 64 82 67
Mhs 26 70 71 76 80 75
Mhs 27 80 78 81 85 80
Rata-rata 72.96 79.26 74.37 80.63 73.41
Std deviasi 12.82 6.87 10.65 8.63 10.50

Keterangan: 1 = menjaga kebersihan tempat percobaan


2 = bekerjasama dalam kelompok
3 = melakukan pengamatan
4 = menyusun hasil percobaan dalam bentuk laporan
5 = menjelaskan hasil percobaan

Merujuk pada Tabel 2 dan kategori penilaian dalam buku pedoman Universitas Pendidikan
Indonesia, dapat disimpulkan bahwa kemampuan calon guru dalam : 1) menjaga kebersihan tempat
percobaan termasuk kategori baik, 2) bekerjasama dalam kelompok termasuk kategori baik, 3) melakukan
pengamatan termasuk kategori baik, 4) menyusun hasil percobaan dalam bentuk laporan termasuk
kategori sangat baik, dan 5) menjelaskan hasil percobaan termasuk kategori baik.
Rata-rata skor kemampuan calon guru dalam pelaksanaan pembelajaran dalam Tabel 2 dapat
divisualisasikan dengan grafik seperti yang terlihat pada gambar 2.

484
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

100
90
80
70

Rata-rata Skor
60
50
40
30
20
10
0
1 2 3 4 5
Kategori Kem am puan

Gambar 2 : Grafik Kemampuan Calon Guru dalam Pelaksanaan Pembelajaran

PENUTUP
Hasil penelitian yang dilakukan terhadap calon guru SD menunjukkan bahwa kemampuan calon
guru SD dalam menguasai konsep pendidikan lingkungan termasuk kategori baik. Berdasarkan skor pre-
test dan post-test penguasaan konsep pendidikan lingkungan dapat disimpulkan bahwa terdapat
peningkatan kemampuan calon guru SD dalam menguasai konsep pendidikan lingkungan, setelah
mengikuti pembelajaran pendidikan lingkungan berbasis outdoor. Evaluasi proses pembelajaran
menunjukkan bahwa kemampuan calon guru SD dalam: 1) menjaga kebersihan tempat kegiatan/
percobaan termasuk kategori baik, 2) bekerjasama dalam kelompok termasuk kategori baik, 3) melakukan
pengamatan termasuk kategori baik, 4) menyusun hasil percobaan dalam bentuk laporan termasuk
kategori sangat baik, dan 5) menjelaskan hasil percobaan termasuk kategori baik.

DAFTAR PUSTAKA

Agenda 21 Indonesia (1997). Strategi Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta: Kantor Menteri
Negara Lingkungan Hidup.
American Institutes for Research (2005). Effects of Outdoor Education Programs for Children in California.,
Sacramento: The California Department of Education.
Choesin, D, Taufikurahman, & Esyanti, R.R. (2004). Pengetahuan Lingkungan. Bandung: Penerbit ITB.
Coyle, K. J. D. (2004). Understanding Environmental Literacy in America: And Making it a Reality.
Washington: National Environmental Education & Training Foundation
Creswell, J.W. (1994). Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. New Delhi: Sage
Publications.
Dumouchel (2003). Seattle WA, New Horizons for Learning. Tersedia: http://www.newhorizons.org.
[Online].
Evans, M. M. K. (2000). Children Can Make a Difference Using a Problem Solving, Action Oriented
Approach to Environmental Education.
Ganjar, A. & Arief, A. (2001). Pedoman Pembinaan Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup di
Sekolah. Jilid VI. Jakarta: Depdiknas Dikdasmen.
485
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

Kementerian Lingkungan Hidup (2005). Sejarah Pendidikan Lingkungan Hidup di Indonesia. Tersedia:
www.menlh.go.id [Online].
Lieberman & Hoody (1998). Closing the Achievement Gap. Using the Environment as an Integrating
Context for Learning. State Edu. And Envi. Roundtable.
Lubis, L., Ramlan A., dan Arief A. (2001). Pedoman Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup;
Untuk Guru SMU. Jakarta: Depdiknas. Dikdasmen.
Mastrilli, T. (2005). Environmental Education in Pennsylavania’s Elementary Teacher Preparation Program:
The Fight to Legitimize EE. Journal of Environmental Education September 2005. New England.
Miller, G, Jr. (1998). Living in the Environment: Principles, Connections, and Solutions. Tenth Edision.
Washington DC: Wadsworth Publishing Company.
Neal, L. H. O. (1995) Using Wetlands to Teach Ecology and Environmental Awareness in General Biology
dalam The American Biology Teacher. New York: The National Association of Biology Teachers Vol
57 No 3.
North American Association for Environmental Education (2001). Using Environment-Based Education to
Advance Learning Skills and Character Development. A Report, Annotated Bibliography, and
Research. Washington: NEE & Training Foundation.
Putri, V., S., I., S. (2006). Mendidik Generasi Muda dengan Pendidikan Lingkungan. Online Library, WWF –
Indonesia, Samarinda.
Schatz , C. (2000). When Bambi Meets Godzilla: Bringing Environmental Education and Outdoor Recreation
Together. New York: Suny college at Cortland.
Sugandhi, A. & Hakim, R. (2007). Prinsip Dasar Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan
Lingkungan. Jakarta: Bumi Aksara.
Suranto & Kusrahmadi, S.D. (1993). Upaya Pembinaan Kepedulian Lingkungan Hidup. Cakrawala
Pendidikan. Edisi khusus dies natalis.
Timpakul (2007). http://timpakul.hijaubiru.org/plh-4. [Online]. Tersedia [Januari, 2007].

486
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

BIO-10
TEACHER EFFORT IN FORMING HABITS OF MIND ON HIGH ORDER THINKING
HABITUATION

Chaerun Anwar
PPPPTK IPA (The Centre for Development and Empowerment of Teacher and Education Personnel),
Ministry of National Education of Indonesia, Diponegoro 12 Bandung 40115, West Java, Indonesia; Tel.
+62-22-4231191, Fax. +62-22-4207922
Email adresses: chaeruna@yahoo.com ; han_5656@yahoo.com

ABSTRACT
The objective of this study to disclose Habits of Mind teacher through making instrument of
assessment which is done to Biology teacher of junior high school participant trainee from Riau
Province and Riau islands. Result of study indicates that: through making instrument of learning
outcome assessment, in general factor habits of mind disclosed from teacher about 10 factors out of
15 factors habits of mind. Result of calculation correlation test between fifth of learning dimension
indicates that fifth of the learning dimension has positive correlation, causing affirms that relation
between learning dimension 1 with learning dimension 2, 3, 4, and 5 is not linear connection or
causality. It is the relation of correlation and works like concert, where one dimensions is basis for
other dimension and supports or pursues other learning dimension. Based on research finding,
inferential analysis and discussion in general that making of assessment instrument could establish,
strengthens and exploration of thinking habituation ( habits of mind).
Keywords : habits of mind, High Thinking order, Habituation

INTRODUCTION
Result Of TIMSS the year 2003 if compared to result of study at 1999, indicates that mastery of science for
Junior high student in Indonesia, have decreased of score out from 488 to 474.
For the science area, none of junior high student in Indonesia reached very high predicate, and
only around 4 percent got high predicate. The rest, 25 % was having moderate predicate, and 61% low
predicate. Based on test result, survey participant student PISA 2006 of Indonesia about 50,5% below level
1, 27,6% resided in level 1, and none that resides in level 6. Based on the result above, conclude that
Indonesia student has not trained yet in Higher order thinking habituation.
According to Costa ( 2000), A "Habit of Mind” means having a disposition toward behaving
intelligently when confronted with problems, the answers to which are not immediately known. When
humans experience dichotomies, are confused by dilemmas, or come face to face with uncertainties--our
most effective actions require drawing forth certain patterns of intellectual behavior. When we draw upon
these intellectual resources, the results that are produced through are more powerful, of higher quality and
greater significance than if we fail to employ those patterns of intellectual behaviors. The depiction usually
became very extraordinary, and influences significantly. Teacher as facilitator in class must have
competence in forming habits of mind student.
For that reason, it is need to be done study about teacher competence in forming habits of mind
student to accustom transformation of student positive behavior toward higher order thinking.

487
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

DESIGN AND METHOD


The statement of the problem is “How Teacher forming habits of mind student in high order
thinking habituation?". The importance of fractions problem can be viewed, as follow:
What teacher Component habits of mind competence in assist student high order thinking?
This study carried out by using descriptive method ( ex post facto). Subject in this study is 27
Biology teacher of Junior High from Riau Province and Riau islands.
The data collected by pre-test and pos-test, interview, questionnaire, observation and anecdotal
record. Study conducted through three phases. First phase is done pre-test, interview, observation, and
dispersion of questionnaire to obtain information about learning dimension profile as well as teacher
response. Second phase is done by making assessment instrument of learning outcome, observation, and
anecdotal record to obtain description of habits of mind. Third phase is done pos-tes, interview, and
questionnair to express training participant of magnification of habits of and their response after this study.

RESULT AND DISCUSSION


Result of finding analysis indicate that thinking behavior in learning, showed that mind aspects
involving in learning, works like music concert. All learning occurs within a set of attitudes and perceptions
that either promote or inhibit learning (dimension 1). Learning is also affected by the extend to which a
learner uses the productive habits of mind (dimension 5). Dimension 1 and 5, then form the backdrop for
learning; thus, they are in the background of figure 1. They are always factors to consider in the learning
process.

Figure1 : Dimension of learning interact ( Marzano, 1992:16)

Given that a learner has attitudes and perceptions conducive to learning and is using effective
habits of mind, the learner’s first job is to acquire and integrate new knowledge (dimension 2); that is, the
learner must assimilate new knowledge and skills with what she already knows. As we have seen, this is a
subjective process of interaction between old and new information. Then, over time, the learner develops
new knowledge through activities that help her/him extend and refine her/him current knowledge
(dimension 3). The ultimate purpose of learning, though, is to use knowledge in meaningful ways
(dimension 4). As figure 1 indicates, dimension 2,3, and 4 work in concert. As a learner acquires and
integrates knowledge (dimension 2), she/he also extends and refines it (dimension 3). And using
knowledge meaningfully (dimension 4) involves extending and refining knowledge.

488
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

The result shows that relation between each learning dimension has positive correlation. Its Mean
there is a real tightly behavior between one learning dimensions with other learning dimension in study. So
by disclose one learning dimensions can know other learning dimension at learner.

Figure 2 : Thinking behavior in dimension of learning

LKS (Student Work Sheet) which is made by teacher, according to result of study effective in
forming habits of mind. Because teacher can determine target of study at what which able to reached, or
transformation of behavior at what which able to expressed, mental attitude at what which able to formed
through the study.

Table 1 : Teacher’s Habits of Mind revealed

Factor Description Yes No


(%) (%)
I Being aware of own thinking 71.6 28.4
II Planning 83.8 16.2
III Being aware of necessary resources 2.7 97.3
IV Being sensitive to feedback 78.4 2.4
V Evaluating the effectiveness of your actions 95.6 4.1
VI Being accurate and seeking accuracy 33.8 66.2
VII Being clear and seeking clarity 55.4 44.6
VIII Being open-minded 83.8 16.2
IX Resisting impulsivity 75.7 24.3
X Taking and Defending a position 94.6 5.4
XI Being sensitive to others 82.4 17.6
XII Engaging intensely in tasks even when answers or solutions are not 89.2 18.8
immediately apparent
XIII Pushing the limits of your knowledge and ability 6.8 93.2
XIV Generating, trusting, and maintaining your own standards of evaluation 67.6 32.4
XV Generating new ways of viewing situations outside the boundaries of 20.3 79.7
standar convention

489
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

Teacher habits of mind revealed are: I. Being aware of own thinking; II. Planning; IV. Being
sensitive to feedback; V. Evaluating the effectiveness of your actions; VI. Being accurate and seeking
accuracy; VII. Being clear and seeking clarity; VIII. Being open-minded; IX. Resisting impulsivity; X. Taking
and Defending a position; XI. Being sensitive to others; XII. Engaging intensely in tasks even when
answers or solutions are not immediately apparent; XIV. Generating, trusting, and maintaining your own
standards of evaluation.
Female teacher habits of mind revealed are: I.Being aware of own thinking; II. Planning; IV. Being
sensitive to feedback; V. Evaluating the effectiveness of your actions; X. Taking and Defending a position;
XI. Being sensitive to others.
Male teacher habits of mind revealed are: I. Being aware of own thinking; II. Planning; IV. Being
sensitive to feedback; V. Evaluating the effectiveness of your actions; VI. Being accurate and seeking
accuracy; VII. Being clear and seeking clarity; VIII. Being open-minded; IX. Resisting impulsivity; X. Taking
and Defending a position; XI. Being sensitive to others; XII. Engaging intensely in tasks even when
answers or solutions are not immediately apparent; XIV. Generating, trusting, and maintaining your own
standards of evaluation.

CONCLUSIONS
Based on research finding, inferential analysis and discussion in general that making of assessment
instrument could establish, strengthens and exploration of thinking habituation ( habits of mind).
Teacher gives positive response to assessment instrument because it is useful reveal habit to
student thinking habituation which is not expressed by the way of other assessment. By means of
assessment instrument made of learning outcomes, in general factor habits of mind revealed at male
teacher is more completely from female teacher.
Relation between learning dimension 1 with learning dimension 2, 3, 4, and 5 is not linear
connection or causality, but correlation working like concert.
The recommendation as implication from result of study as follows: 1). For Teacher,
assessment instrument is better made by teacher, or teacher modify it and adapt subject matter or
experimental object for the disclosure of mental habituation. Assessment done by teacher not only for
student report but can be applied as data to facilitate teacher in expressing target of study which able to
be reached, or transformation of student behavior which able to be revealed, mental attitude which able to
be formed in classroom; 2). For Other researcher, the study habits of mind disclosure can be done through
one of learning dimension ( dimension 1,2,3,4,5), because by expressing at one of the learning dimension

490
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

could also reveal habits of mind formed in classroom; 3). For school management, researcher
recommended school management to open an opportunity widely for the teacher improvisation and
innovation in applying, and explore habits of mind in classroom to establish student thinking skill; 4). For
teacher training centre, researcher recommended that thinking need to be trained to the teacher through
Training by paying attention to teacher habits of mind factor which has not been revealed.

REFERENCES
Blosser, P. (2000). How to …Ask the right questions. National Science teachers Association:
Arlington, VA.
Carter C., Bishop J., Block J., and Kravits SL. (2007). Keys to Effective Learning: Developing Powerful
Habits of Mind (5th Edition). Alexandria: VA
Chaerun Anwar. (2005). Panduan Pengungkapan dan Pembentukan Habits of Mind (Untuk Guru Biologi)
(Produk tesis): Bandung PPS, UPI.
Chaerun Anwar. (2005). Penerapan Penilaian Kinerja (Performance Assessment) dalam Membentuk Habits
of Mind Siswa pada Pembelajaran Konsep Lingkungan ( Master Tesis): Bandung Program
Pascasarjana, UPI.
Costa A. (2001). Developing Minds: A Resource Book for Teaching Thinking (3rd Edition). Alexandria: VA
Costa A.L, and Kallick B. (2000). Assessing and Reporting on Habits of Mind. Alexandria: VA
Costa A.L, and Kallick B. (2000). Discovering and Exploring Habits of Mind. Alexandria: VA
Costa, A., et.al. (2000). Describing Sixteen Habits of Mind. Alexandria, VA: Association for Supervision and
Curiculum Development.
Harlen, W. (2001). Primary science: Taking the plunge. Heinemann: Portsmouth, NH.
Llewellyn, D. (2002). Inquire within: Implementing inquiry-based science standards.
Corwin Press:Thousand Oaks, CA.
Marzano, Robert J., et.al. (1994). Assessing Student Outcomes: Performance Assessment Using the
Dimensions of Learning Model. Pittsburgh: ASCD
Perkins D., Costa A.L, and Kallick B. (2000). Activating & Engaging Habits of Mind. Alexandria: VA
Perkins D., Costa A.L, and Kallick B. (2000). Integrating & Sustaining Habits of Mind. Alexandria: VA
Saul, W. (2002). Science workshop: Reading, writing, and thinking like a scientist.
Heinemann: Portsmouth, NH.
Zainul, A. (2001). Alternative Assesment. Jakarta: PAU-PPAI Departemen Pendidikan Nasional.

491
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

BIO-13
THE EFFECTIVENESS OF BIOLOGY MATERIAL RESOURCES USING METACOGNITIVE
STRATEGY ON COGNITIVE ACHIEVEMENT

Endang Susantini*, Yuni Sri Rahayu*, Sifak Indana*, Duran Corebima**


* Biology Deparment - Universitas Negeri Surabaya
** Biology Department – Universitas Negeri Malang

ABSTRACT
The aim of this research was to know the biology material resources developed effectiveness using
metacognitive strategy on cognitive achievement. Metacognitive strategy was implemented by using
Self Understanding Evaluation Sheet (SUES). These material resources were Virus, Endocrine System,
and Genetic Materials. Limited tryout was implemented in SMA 6 Surabaya for Grade X (39 students),
Grade XI (38 students) and Grade XII (40 students). Experiment design was one group pretest-
posttest design with considering the influence of students’ ability, i.e. high ability and low ability. The
data was analyzed by ancova. The result showed that there was significant difference between the
cognitive achievement of high ability and low ability in three kinds of material resources implemented.
Biology material resources using metacognitive stategy on low ability students showed more effective
than high ability students on Virus and Endocrine System. On the other hand, high ability students
showed more effective than low ability students on Genetic Materials. The results can be concluded
that material resources developed using metacognitive strategy can improve cognitive achievement.
Key words : metacognitive strategy, cognitive achievement, students’ability

PENDAHULUAN
Penetapan pemerintah tentang nilai minimal yang harus diperoleh siswa pada saat UAN tahun 2008 adalah
5,25 dapat dijadikan salah satu indikator rendahnya mutu pendidikan kita. Belum lagi berkembangnya isu
konversi nilai hasil UAN, hal tersebut menambah buramnya wajah pendidikan kita. Informasi lain yang
juga menggambarkan hal yang sama adalah berasal dari The Third International Mathematics and Science
Study Repeat (TIMSS-R, 1999). Ia melaporkan bahwa peserta didik Indonesia menempati peringkat 32
untuk IPA dan 34 untuk matematika di antara 38 negara yang disurvei di Asia, Australia, serta Afrika (Tim
BBE Depdiknas, 2002).
Hasil belajar siswa yang rendah (khususnya IPA) dipengaruhi oleh proses pembelajaran yang
mereka alami sebelumnya. Dari fakta di atas, pertanyaan yang muncul adalah “Bagaimanakah sebaiknya
proses pembelajaran IPA/Biologi yang terjadi di kelas?” Biologi merupakan salah satu bagian dari sains
yang mempelajari tentang makhluk hidup, alam, dan lingkungan serta berhubungan erat dengan
kehidupan sehari-hari. Pembelajaran biologi diarahkan untuk “mencari tahu” dan “berbuat”, sehingga dapat
membantu siswa untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar. Adakalanya
materi biologi tidak dapat diarahkan dengan “berbuat” atau praktikum karena banyak memuat konsep
abstrak, seperti pada materi pokok virus, sisstem endokrin, dan substansi genetika. Oleh karena itu,
diperlukan strategi khusus yang dapat mengatasi masalah tersebut. Salah satu strategi yang ditawarkan
adalah metakognitif.
Definisi yang sederhana tentang strategi metakognitif adalah pengetahuan tentang proses-proses
berpikir kita sendiri (Flavel dalam Arends, 2004). Lebih lanjut Marzano (1998) menyebutkan manfaat
strategi metakognif bagi guru dan siswa adalah menekankan monitoring diri dan tanggung jawab siswa
(monitoring diri merupakan kecakapan berpikir tinggi). Anak akan dapat meregulasi diri sendiri dengan
melakukan perencanaan, pengarahan, dan evaluasi. Seorang anak yang sudah memiliki strategi

492
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

metakognitif akan akan lebih cepat menjadi anak mandiri. Hal senada didukung oleh Susantini (2004,
2005) menyatakan bahwa melalui metakognif siswa mampu menjadi pebelajar mandiri, menumbuhkan
sikap jujur, berani mengakui kesalahan, dan akan dapat meningkatkan hasil belajar secara nyata.
Dewasa ini kemampuan metakognitif dan berpikir tingkat tinggi lainnya belum banyak
diberdayakan secara sengaja dalam proses pembelajaran di sekolah. Indikasinya banyak ditemukan anak
mengalami kesulitan belajar. Guru tidak menyadari bahwa hal ini dapat mempengaruhi proses belajar
anak. Jika hal ini tidak diintervensi secepat mungkin, akan menyulitkan anak pada tingkat pendidikan yang
lebih tinggi. Menurut Royanto (2006), ada perbedaan mendasar antara strategi metakognitif dengan
kognitif. Strategi kognitif membantu anak mencapai sasaran melalui aktivitas yang dilakukan. Kemampuan
metakognitif membantu anak memberikan informasi mengenai aktivitas atau kemajuan yang dicapai. Di
sini, strategi kognitif membantu pencapaian kemajuan, sedangkan strategi metakognitif memonitor
kemajuan yang dicapai.
Pemantauan metakognitif dan regulasi diri sangat membantu anak dalam aktivitas kognitif. Dengan
memiliki pemantauan dan regulasi diri, seorang anak akan tahu di mana ia berada sehubungan dengan
tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, maka anak dapat mengatur diri sendiri, lebih aktif berusaha
mengembangkan diri, mampu memotivasi diri sendiri, menentukan tujuan, dan berusaha mencapai
tujuannya. Karenanya dengan kemandirian yang dimilikinya niscaya keberhasilan akan lebih mudah diraih.
Anak yang memiliki strategi metakognitif akan segera sadar bahwa dia tidak mengerti persoalan
dan mencoba mencari jalan keluar. Menurut Eggen & Kauchak (1996) dalam Corebima (2007),
pengembangan kecakapan metakognitif pada siswa adalah suatu tujuan pendidikan yang berharga, karena
kecakapan itu dapat membantu mereka menjadi self-regulated learner. Self-regulated learner bertanggung
jawab terhadap kemajuan belajar diri sendiri dan adaptasi strategi belajar untuk mencapai tuntutan tugas.
Kemampuan akademik siswa merupakan hal penting untuk diperhatikan dalam pembelajaran
(Winkel, 1996). Kemampuan akademik siswa berpengaruh terhadap kemampuan siswa dalam mengikuti
kegiatan pembelajaran. Apabila dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok, maka ada kelompok siswa
berkemampuan atas, berkemampuan menengah, dan berkemampuan bawah (Nasution, 1988).
Keberadaan siswa berkemampuan atas, menengah, dan bawah di suatu kelas merupakan bentuk
keanekaragaman.
Lebih lanjut Nasution (1988) menjelaskan, apabila siswa dengan tingkat kemampuan akademik
berbeda diberikan pengajaran yang sama, maka hasil yang diperoleh juga akan berbeda sesuai dengan
kemampuan akademik yang dimilikinya. Kelompok kemampuan atas dan kelompok siswa kemampuan
bawah mempunyai kemampuan merespons proses pembelajaran yang berbeda. Siswa dengan kemampuan
atas, akan lebih mudah mengikuti pembelajaran sehingga lebih mudah dan lebih banyak memperoleh
pengalaman belajar. Menurut Usman (1996), perolehan kognitif berhubungan dengan kemampuan siswa
dalam mencari dan memahami materi pelajaran yang dipelajarinya. Temuan lain dari hasil penelitian
(Corebima, 2005), siswa dengan kemampuan atas dapat mencapai academic life skill lebih dibanding siswa
dengan kemampuan akademik bawah.
Dalam penelitian ini juga diperhatikan kelompok siswa dengan kemampuan atas dan siswa
kemampuan bawah. Kelompok siswa dengan kemampuan tengah tidak diperhatikan agar diperoleh
kelompok dengan perbedaan tegas.
Tujuan penelitian ini adalah (1) mengetahui pengaruh kemampuan siswa terhadap perolehan
kognitif pada materi biologi dengan menggunakan strategi metakognitif (2) mengukur efektivitas perangkat
pembelajaran biologi dengan menggunakan strategi metakognitif. Efektivitas perangkat pembelajaran
ditinjau dari perolehan kognitif siswa kemampuan atas dan bawah.

493
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

METODE PENELITIAN
Perangkat pembelajaran yang telah dikembangkan diuji coba secara terbatas di SMAN 6
Surabaya. Populasi kelas X adalah 304 siswa (8 kelas), Kelas XI IPA 240 siswa (6 kelas) dan Kelas XII IPA
adalah 200 siswa (5 kelas). Sedangkan yang menjadi sampel penelitian adalah 39 siswa kelas X-7, 38
siswa Kelas XI IPA-2, dan 40 siswa kelas XII IPA-5, yang dipilih secara random assignment. Dari ketiga
kelas tersebut masing-masing ditentukan 15 siswa kemampuan atas dan 15 siswa kemampuan bawah.
Jadi, yang menjadi subjek penelitian ini (N) = 120 siswa.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah one group pretest-posttest design (Fraenkel and
Wallen, 1993) dengan memperhatikan aspek kemampuan siswa. Data yang dikumpulkan adalah perolehan
kognitif diambil melalui tes.
Analisis data yang digunakan adalah Ancova (SPSS Release 11) untuk melihat pengaruh
kemampuan siswa terhadap perolehan kognitif dari ketiga set perangkat pembelajaran. Pretes siswa
sebagai kovariat, variabel yang dikendalikan dalam penelitian ini. Sebelum dilakukan analisis data,
dilakukan uji asumsi homogenitas terlebih dahulu. Uji asumsi homogenitas menggunakan Levene’s Test.
Jika asumsi terpenuhi dilanjutkan dengan analisis kovariat. Jika asumsi tidak terpenuhi, maka
menggunakan analisis nonparametric Kruskal-Wallis Test.
Efektivitas perangkat pembelajaran terhadap perolehan kognitif dapat dihitung dengan
menggunakan rumus:

Rerata Postes – Rerata Pretes x 100%


Rerata Pretes

Hasil perhitungan yang diperoleh dibandingkan antara kelompok kemampuan atas dengan kemampuan
bawah pada setiap perangkat. Jika persentase yang diperoleh lebih besar kemampuan bawah daripada
kemampuan atas, maka dapat diartikan perangkat pembelajaran lebih efektif pada kelompok kemampuan
bawah. Demikian pula sebaliknya.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pada materi pokok Virus, rerata perolehan kognitif untuk siswa kemampuan atas adalah 81,43
dengan SD 3,61, sedangkan rerata kemampuan bawah 66,05 dengan SD 8,29. Hal ini menunjukkan
sebaran perolehan kognitif pada siswa kemampuan atas lebih homogen daripada kemampuan bawah.
Uji homogenitas tentang perolehan kognitif dengan menggunakan Levene’s Test diperoleh nilai F =
3,883 dengan taraf signifikansi 0,059 sehingga dapat disimpulkan tidak ada perbedaan varian dalam setiap
kelompok, artinya nilai varian dalam setiap kelompok bersifat homogen. Kemudian dilakukan penghitungan
analisis data lebih lanjut, hasilnya adalah kemampuan siswa sangat berpengaruh terhadap perolehan
kognitif. Perolehan kognitif pada siiswa kemampuan atas lebih tinggi dibanding dengan siswa kemampuan
bawah.
Pada materi pokok Sistem Endokrin, rerata perolehan kognitif untuk siswa kemampuan atas adalah
76,60 dengan SD 8,31, sedangkan rerata kemampuan bawah 61,17 dengan SD 5,29. Hal ini menunjukkan
sebaran perolehan kognitif pada siswa kemampuan bawah lebih homogen daripada kemampuan atas.
Uji homogenitas tentang perolehan kognitif dengan menggunakan Levene’s Test diperoleh nilai F =
7,66 dengan taraf signifikansi 0,389 sehingga dapat disimpulkan tidak ada perbedaan varian dalam setiap
kelompok, artinya nilai varian dalam setiap kelompok bersifat homogen. Kemudian dilakukan penghitungan
analisis data lebih lanjut, hasilnya adalah kemampuan siswa sangat berpengaruh terhadap perolehan

494
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

kognitif. Perolehan kognitif pada siswa kemampuan atas lebih tinggi dibanding dengan siswa kemampuan
bawah.
Pada materi pokok Substansi Genetika, rerata perolehan kognitif untuk siswa kemampuan atas
adalah 82,70 dengan SD 5,51, sedangkan rerata kemampuan bawah 43,97 dengan SD 12,72. Hal ini
menunjukkan sebaran perolehan kognitif pada siswa kemampuan atas lebih homogen daripada
kemampuan bawah. Rentangan perolehan kognitif pada siswa kemampuan bawah sangat lebar.
Uji homogenitas tentang perolehan kognitif dengan menggunakan Levene’s Test diperoleh nilai F =
5,296 dengan taraf signifikansi 0,029 sehingga dapat disimpulkan ada perbedaan varian dalam setiap
kelompok, artinya nilai varian dalam setiap kelompok bersifat tidak homogen. Oleh karena itu, dilakukan
analisis nonparametric Kruskal-Wallis Test, hasilnya adalah kemampuan siswa sangat berpengaruh
terhadap perolehan kognitif. Perolehan kognitif pada siiswa kemampuan atas lebih tinggi dibanding dengan
siswa kemampuan bawah. Untuk mengetahui lebih jelas hasil analisis kovariat dari ketiga perangkat
pembelajaran dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 : Rekapitulasi analisis kovariat

Hasil analisis Perangkat Pembelajaran Biologi


Virus Sistem Endokrin Substansi Genetika

Nilai test F = 42.151 F = 35,273 chi² = 21,891

Signifikansi 0,000 0,000 0,000


kemampuan siswa

Hasil penelitian ini mendukung pernyataan Osborn (1999) yang menyatakan bahwa siswa
kemampuan atas cenderung menggunakan lebih banyak strategi metakognitif daripada siswa kemampuan
bawah. Pernyataan tersebut didukung oleh Lawson (1992) yang membuktikan ada hubungan yang
signifikan antara tingkat berpikir formal dengan skor hasil ujian. Siswa yang memiliki tingkat berpikir
formal, dalam hal ini kemampuan atas memperoleh skor hasil ujian yang lebih tinggi daripada siswa yang
mempunyai tingkat berpikir konkrit, dalam hal ini siswa kemampuan bawah. Pernyataan Osborn (1999) dan
Lawson (1992) tersebut dapat sebagai penjelasan terhadap fenomena penelitian ini, bahwa perolehan
kognitif siswa kemampuan atas lebih tinggi daripada siswa kemampuan bawah.
Hasil perhitungan efektivitas perangkat pembelajaran dengan memperhatikan aspek kemampuan
siswa disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 : Efektivitas Perangkat Pembelajaran dengan Strategi Metakognitif

Kemapuan Siswa Efektivitas Perangkat Pembelajaran (%)


Virus Sistem Endokrin Substansi Genetika

Kemampuan Atas 260,79 233,04 266,42

Kemampuan Bawah 261,71 269,16 104,04

495
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

Perangkat pembelajaran dengan strategi metakognitif pada Virus dan Sistem Endokrin lebih efektif
bagi siswa kemampuan bawah, sedangkan pada Substansi Genetika lebih efektif pada kemampuan atas.
Mengapa penerapan perangkat pembelajaran Substansi Genetika dengan strategi metakognitif
menguntungkan siswa kemampuan atas? Karena konsep yang terdapat pada substansi genetika lebih sulit
dibandingkan virus dan sistem endokrin. Wilcoxson, Romanek & Wivagg (1999); Malacinski & Zell (1996);
Cavallo (1996) menyatakan materi pokok genetika kebanyakan memiliki konsep abstrak. Bahkan, banyak
bukti yang menunjukkan bahwa banyak siswa lemah dalam genetika (Esiobu & Soyibo, 1995).
Pada pembelajaran materi Virus dan Sistem Endokrin membuktikan strategi metakognitif dapat
mempersempit gap perolehan kognitif pada siswa kemampuan bawah. Dengan kata lain, strategi
metakognitif dapat membantu siswa kemampuan bawah. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Corebima (2007) bahwa strategi metakognitif dapat menguntungkan siswa kemampuan
bawah.
Penelitian sebelumnya yang menguji metakognitif dalam pendidikan menyatakan bahwa
pengajaran proses metakognitif dapat meningkatkan pembelajaran menuju kesempurnaan, yaitu pebelajar
menjadi mengenal diri mereka sendiri sebagai insan yang dapat mengatur diri sendiri yang dapat mencapai
tujuan secara sadar dan sengaja (Kluwe dalam Hacker, 2000). Pada halaman yang sama Paris & Winograd
menyatakan secara umum teori metakognitif memfokuskan antara lain pada: peranan kesadaran berpikir
seseorang, dan perbedaan individual pada pengenalan diri serta pengaturan pengembangan dan
pembelajaran kognitif. Jadi strategi metakognitif dapat membantu siswa secara sadar mengenali proses
berpikirnya dan dapat memberi sumbangan ke pengenalan diri siswa serta pemahaman menjadi insan
yang dapat mengatur diri sendiri, akhirnya dapat menjadi agen pemikiran mereka sendiri sesuai dengan
pemikiran pembelajaran sepanjang hayat.
Dalam penelitian ini, tahap-tahap strategi metakognitif yang diterapkan di kelas adalah: (1)
menggali pengetahuan awal, (2) mengorganisasi siswa dalam kelompok kooperatif, (3) membandingkan
pengetahuan awal siswa, (4) menjelaskan konsep-konsep penting, (5) membimbing diskusi kelas/mencek
pemahaman, (6) siswa menilai sendiri hasil pemahamannnya (Susantini, dkk., 2007). Tahap-tahap tersebut
menunjukkan pembelajaran yang berpusat pada siswa, kecuali tahap menjelaskan konsep penting.
Tahapan strategi metakognitif tersebut sejalan dengan teori belajar konstruktivis, guru tidak dapat begitu
saja memberikan pengetahuan ke siswa-siswanya. Agar pengetahuan yang diberikan kepadanya dapat
bermakna, maka siswa sendirilah yang harus memproses informasi yang diterimanya, menstrukturkannya
kembali dan mengintegrasikannya dengan pengetahuan yang sudah dimiliki (Slavin, 2000)

PENUTUP
Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan:
1. Terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara kemampuan atas dan kemampuan bawah terhadap
perolehan kognitif pada materi Virus, Sistem Endokrin, dan Substansi Genetika dengan menerapkan
strategi metakognitif.
2. Perangkat pembelajaran Virus dan Sistem Endokrin lebih efektif pada siswa kemampuan bawah,
sedangkan pada Substansi Genetika lebih efektif pada kemampuan atas.

496
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

DAFTAR PUSTAKA

Arends, R.I. 2004. Learning to Teach. Six Edition. New York: McGraw Hill Companies.
Cavallo. A.M.L. 1996. Meaningful Learning, Reasoning Ability, and Students’s Understanding and Problem
Solving of Topics in Genetics. Journal of Research in Science Teaching. 33 (6): 625 -656
Corebima, A.D. 2005. Pemberdayaan Berpikir Siswa pada Pembelajaran Biologi: Satu Penggalakkan
Penelitian Payung di Jurusan Biologi UM. Makalah Disajikan dalam Seminar Nasional Biologi dan
Pembelajarannya. FMIPA UM. Malang: 3 Desember 2005.
Corebima, A.D. 2007. Metakognisi: Suatu Ringkasan Kajian. Makalah Disajikan dalam Diklat Guru
Matapelajaran Biologi di Yogyakarta.
Esiobu, G.O., & Soyibo, K. 1995. Effects of Concept and Vee Mappings under Three Learning Mode on
Student’ Cognitive Achivement in Ecology and Genetics. Journal of Research in Science Teaching.
32 (9): 971 -994.
Fraenkel, J.R. & Wallen, N.E. 1993. How to Design and Evaluate Research in Education.New York: McGraw-
Hill Inc.
Hacker, D.J. 2000. Metacognition: Definitions and Emperical Foundations, (Online),
(http://www.psyc.memphis.edu/trg/meta.htm, diakses 21 Nopember 2000).
Lawson, A.E. 1992. The Development of Reasoning Among College Biology Students – A Review of
Research Journal of College Science Teaching. XXI (6): 338-344.
Malacinski, G.M. & Zell, P.W. 1996. Manipulating the “Invisible” Learning Molecular Biology Using
Inexpensive Models. American Biology Teacher. 58 (7): 428 – 432.
Marzano, R.J. 1988. Dimensions of Thinking: A Framework for Curriculum and Instruction. Alexandria,
Virginia: Association for Supervision and Curriculum Development.
Nasution, S. 1988. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar. Jakarta: Bina Aksara.
Osborne, J.W. 1999. Metacognition and Teaching for Learning, (Online), (http://facultystaff.
Ou.edu/O/JasonW.Osborne-1/Metahome.html, diakses 21 Nopember 2000).
Royanto, L. 2006. Waspadai Kesulitan Belajar pada Anak. Kompas (12 Februari 2006).
Slavin, R. 2000. Educational Psychology Theory and Practice. Boston: Allyn Bacon.
Susantini, E. 2004. Memperbaiki Kualitas Proses Belajar Genetika melalui Strategi Metakognitif dalam
Pembelajaran Kooperatif pada Siswa SMU. Disertasi. Tidak diterbitkan. Malang: Program Pasca
Sarjana Universitas Negeri Malang.
Susantini, E. 2005. Strategi Metakognitif dalam Pembelajaran Kooperatif untuk Meningkatkan Kualitas
Pembelajaran Genetika di SMA. Jurnal Ilmu Pendidikan. Februari 2005, Jilid 12, (1): 62-75.
Susantini, E. dkk., 2007. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Biologi Dengan Strategi Metakognitif
untuk Memberdayakan Kecakapan Berpikir Siswa SMA. Laporan Penelitian Hibah Bersaing.
Universitas Negeri Surabaya.
Tim Broad Based Education. 2002. Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup (Life Skill) melalui Pendekatan
Pendidikan Berbasis Luas Broad Based Education (BBE). Jakarta: Depdiknas.
Usman, U.M. 1996. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Gramedia.
Wilcoxson, C., Romanek, D., & Wivagg, D. 1999. Setting The Stage for Understanding DNA. The American
Biology Teacher. 61 (9): 680 -683.
Winkel, W.S. 1996. Psikologi Pengajaran. Jakarta: PT Gramedia.

497
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

BIO-14
THE EFFECT OF INTEGRATING FIELD TRIPS INTO SCIENCE LEARNING IN HIGHER
EDUCATION; THE CASE OF ZOOLOGY INVERTEBRATE LEARNING ON BIOLOGY
DEPARTMENT, STATE UNIVERSITY OF JAKARTA

Hanum Isfaeni & Ade Suryanda


(FMIPA State University of Jakarta)

ABSTRACT
The research conducted for making improvement the zoology of invertebrate learning. The aim of
research was to know correlate “a filed trip“ to learning outcome. The field trip held on May 2008,
before the examination. The field trip conducted in the Pari Island, Kepulauan Seribu, Jakarta. The
field trip approach correlates to learning outcome significantly. The its learning outcome of zoology of
invertebrate done which went to the field trip more better than the other class. Field trips can be a
valuable method of learning, providing students with important cognitive and affective benefits. So
that, the field trip in some biology higher education courses is recommended as a model learning.

INTRODUCTION

Zoology is the study of animal which one of the broadest fields in all of science because of the immense
variety of animals and complexity of the processes occurring within animal. Zoology is a core course in the
curricula of biology department that divides in zoology invertebrate and zoology vertebrate.
The course of zoology invertebrate in Biology Department, Math and Science Faculty sets up in second
semester. This course needs a pre-request on the general biology course. Unfortunately, The students who
take this course be suggested a think way as pedagogic learning. They tend to depend on learning from a
course handout which accept from the lecturer. They do not improve the knowledge from the other
learning resources.
The other hand, This learning of this course still conducts on a discussion method regularly. The
learning method is which conducts in this course do not improve leaning process it. So, the learning
outcome of this course is not good year by year in each class. The result of the mid and final exam of this
course is average 61.45. This result usually occur same as year by year.
Based on the fact, it needs some approach or learning methods that can solve this problem. One of the
ways is a filed trip method or learning activities. Field trips are vital components of zoology learning. The
goal of field trips is to involve and improve the students to learning variety animals of invertebrate in the
nature. Field trips are ideal vehicles to aid development of knowledge in invertebrate.
For field trips to be successful, students must actively exercise their skills in observation, collecting,
preservation, and identification, in integration of diverse knowledge and experiences (Sezen et al, 2006).
This method also pushes the learning process with the others method such as cooperative learning,
constructivism, active learning.
Cooperative learning is a successful teaching strategy in which small teams, each with students of
different levels of ability, use a variety of learning activities to improve their understanding of a subject.
Each member of a team is responsible not only for learning what is taught but also for helping teammates
learn, thus creating an atmosphere of achievement. Students work through the assignment until all group
members successfully understand and complete it (Cruickshank et al, 2006).
In the field trip, the learning has designed in some activities. First, student divided on some groups. Each
group will arrange some activities that consist of collection, preservation, and identification. All activities

498
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

done and discuss within member of group. So, overall, their activities are an implementation of the
cooperative learning.
In field trip, zoology invertebrate was learned by constructivism method also. Formalization of the
theory of constructivism is generally attributed to Jean Piaget, who articulated mechanisms by which
knowledge is internalized by learners. He suggested that through processes of accommodation and
assimilation, individuals construct new knowledge from their experiences. When individuals assimilate, they
incorporate the new experience into an already existing framework without changing that framework.
In both cases, the theory of constructivism suggests that learners construct knowledge. Constructivism as a
description of human cognition is often associated with pedagogic approaches that promote active learning
by doing. Lecturer must emphasize the critical role that experiences--or interactions with the surrounding
environment--play in student learning.

RESEARCH METHODS

This research was conducted by a descriptive research. The research conducted in Pari Island, Kepulauan
Seribu Jakarta. The sampling in this research are two classes of zoology invertebrate courses. The course
consist of the student in biology education class and the student in biology (non education) class. The
biology education class was arranged as field trip learning class. Meanwhile, the biology class was as
control class.
The study arrange into some steps that consist of:
• Students in the class divided into eight groups which were randomly selected. In each of Group
were taught zoology invertebrate by taking them to phyla of invertebrates.
• Each group might collect some animals that represented of the phylum of invertebrate.
• Each group identified the specimen which colleted in the location.
• Each group presented and discussed the specimen that is collected in location (Pari Island).
This research was analyzed by descriptive and Mann Whitney test and Spearman correlation test.

RESULT AND DISCUSSION

Based on Mann-Whitney U test, so that it show distinguish result examination in alpha 0.05
between the class-filed trip with the class-non field trip. Based on Spearman correlation test show that
there is a correlation between field trip learning with learning outcome in alpha 0.05. This result explains
how to field trip improves and ensure the learning process of zoology invertebrate.
Table1: Descriptive statistic analyses

Minimum Maximum
Std. Error Standard
N score score Mean
Mean Deviation
examination examination
Field trip-
34 30 79 61.09 1.819 10.606
class
Control
32 21 61 42.50 1.731 9.730
class
Students in each group (field trip) were thus able to perform highest because of their opportunity
of having first-hand experience of organisms in their natural habitat. They stated that they learn more clear
about animal diversity directly in natural habitat than in the class. They also can conduct to collecting,
preservation, and identification.

499
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

This fact explains how to maximize learning during the field trip to ensure that cognitive and
affective benefits are gained. The cognitive domains occur in outcome learning which it is implemented
with examination result. The mean of examination result the class was which went ‘filed trips” are 61.09.
Meanwhile, the class “non-filed trips” are 42.50. It showed that examination result of the class with filed
trip was better than the class without field trip (a control class). The whole benefit of field trip in biology
learning are:
1) The field trip as soft skill learning
The field trip should be integrated into the broader learning program and be used only when it is the
most effective and efficient procedure for fulfilling the learning objectives. While science standards may
be most readily met on natural resource field trips, it is possible to develop a field program that also
helps lecturers or teachers meet standards in science learning. For example, a trip to a nature for
students that includes an exploration of the animal and its ecosystem, collecting impressions to write a
story, and calculating how many animal might be in a rotting log could address the following
standards:
a) The student understands the competitive, interdependent, cyclic nature of living things in the
environment.
b) The student writes to communicate ideas and information.
c) The student uses estimation in problem solving and computation.
2) Integrate the field trip into a learning unit

Orion (in Athman and Monroe, 2008) offers a three-part model that can be used for integrating field
trips into the curriculum or leaning unit. Each part is a structured independent learning unit, yet each
serves as a bridge to the next part of the model. The first part, the preparatory unit, uses concrete
learning activities to prepare students for the field trip. Students might work with materials and
equipment that will be used during the field trip and gain the basic concepts and skills necessary for
the completion of field activities.
The field trip is the second and central part of the model. It serves as a concrete bridge toward
more abstract learning levels. Using field trips as the central part of the learning program, rather than
as a summary or enrichment activity, aids in the concretization necessary for higher levels of cognitive
learning following the field trip. The third part, the summary unit, includes more complex and abstract
concepts, aiming toward the application and transfer of field trip learning.
While this does not appear to be profound, this model advocates a significant difference from the
typical stand-alone field trip. By including pre- and post-trip elements, the lecturer or teacher becomes
involved in the learning of the field trip concepts and connections to other topics in the curriculum are
more likely.
3) Familiarize students with the field trip site (a nature)
The relative novelty or familiarity of the field trip setting affects learning. Settings that are too novel
cause fear and nervousness. Learning is maximized when the field trip setting is of moderate novelty.
Lecturer at the field trip site can provide educator with pre-trip materials, maps, and resources that can
help lecturer introduce and prepare students for the field experience. In addition to suggesting
content-based activities that would introduce topics, vocabulary, and concepts, staff can provide a map
of the route the bus will take and a map of the facility's trails that will orient students to the site.
Lecturer may be able to provide a slide show of last year's field trip, or readings from those student's
reports. A letter to parents is another strategy to prepare youth for the upcoming field trip. It alerts
parents to the event and encourages them to make sure students have appropriate clothing and

500
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

necessary equipment. If the bus route passes an area of interest – a river, a former wildfire site, or a
wetland – teachers may be able to point out these landmarks as students make observations.
4) Design the field trip as a learning experience based on educational theory

The main learning strategy of the field trip should be hands-on experience, focusing on activities that
cannot be conducted in the classroom or laboratory. Rather than passively absorbing information
through guided tours or participating in simulations, students need to be actively constructing
knowledge through concrete interactions with the environment. This involves the use of a process-
oriented rather than a content-oriented approach, incorporating activities such as observing,
identifying, measuring, and comparing. This also involves building in opportunities for structured
exploration, such as scavenger hunts or sensory awareness activities. Further, the actual site of the
field trip should be conducive to learning. Terrain that is too difficult, learning stations separated by
great distances, extreme weather conditions, and constant pestering by mosquitoes makes learning
difficult.
5) Provide students with multiple exposures to and experience in natural settings

Some students, often from urban backgrounds, arrive at the park or natural area with negative
preconceptions and fears that interfere with the effectiveness of the field trip program. Repeated
positive exposures to natural settings are needed to lower the novelty of these settings and aid in the
unlearning of misconceptions. Direct experiences can be planned to counter perceived threats, such as
save field activities, dangerous animals.
With the rising cost of bus transportation for field trips, it can be difficult for lecturer or teachers to
make multiple trips to natural settings. It may be wise to help teachers develop natural areas on their
school sites. Also called “outdoor classroom” and “nature lab,” these nearby locations can give lecturers
a place to conduct a variety of environmental activities. Similarly, a city park or cemetery can also
provide areas to explore Coelenterates, insects, echinoderms, marine ecosystem, and mangroves.
They become comfortable with these familiar nearby locations, the better they will be able to
appreciate more wild environments.
Field trips can be a valuable method of learning, providing students with important cognitive and
affective benefits. To help ensure that students actually gain these potential benefits, factors that
influence the educational effectiveness of field trips must be considered: integrate the field trip into the
curriculum using pre-and post-visit activities. The field trip on solid educational theory; and provide
students with multiple experiences in natural settings. Lecturers can collectively plan and implement
field trips that achieve optimal cognitive and affect results, as well as provide youth with the
opportunities to enjoy and explore an outdoor environment
SUMMARY

The field trip approach correlates to learning outcome significantly. The its learning outcome of zoology of
invertebrate done which went to the field trip more better than the other class. Field trips can be a valuable
method of learning, providing students with important cognitive and affective benefits.
REFERENCES
Cruickshank, D. R., D. B. Jenkins, & K. Metcalf, 2006. The Act of teaching. Fourth ed. McGraw-Hill, New
York: xvii+510
Julie Athman and Martha C. Monroe. 2008. Enhancing Natural Resource Programs with Field Trip, diunduh
dari http://edis.ifas.ufl.edu/pdffiles/FR/FR13500.pdf
Sezen, Asli, Esra Akgül, Dilan Bayindir, K. Seda Çevik, Zahit Kisa, Semaküçükmert, Miray Tekkumru. 2008.
Http://Www.Bgci.Org/Educationcongress/Proceedings/Authors/Sezen%20asli%20-%20rp.Pdf.

501
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

BIO-15
JIGSAW AND ENHANCING GROUP-ACTIVITIES QUALITY;
AN INSTRUCTIONAL INNOVATION THROUGH
CLASSROOM ACTION RESEARCH

Agung W. Subiantoro *, Bahrudin Fatkurohman **


* Biology Education Dept., Yogyakarta State University
** SMP PIRI Ngaglik Sleman, DIY

Abstract
This Classroom Action Research was conducted to enhancing group-activities quality on biology
teaching-learning through two-cycles action jigsaw method applied on first semester 2007/2008
academic year. Research subjects were 32-second-grade students. Data were collected through
observation for group activities and test for concept attainment. Indicator of action achievment is that
if each student’s activity or performance reach at least 70% on well-criteria from all of performances
or activities. The result of this study showed that jigsaw method could improve group activities quality
which can be seen by well-criteria achievment increasing from the 1st cycle to the 2nd one. Whereas,
this method could enhancing student’s concept understanding so.
Keywords : group activities, jigsaw method

PENDAHULUAN
Selain kemampuan penguasaan konsep, proses interaksi yang terjadi dalam pembelajaran IPA
biologi diupayakan dapat mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar proses sains, sikap ilmiah,
serta keterampilan interaksi sosial. Keterampilan interaksi sosial dalam pembelajaran yang dilakukan
melalui kegiatan kelompok, sangat penting guna mengembangkan kecakapan pribadi siswa dan
mendukung pencapaian hasil belajarnya (Felder & Brent, 1994; Deibel, 2005). Aspek-aspek sosial seperti
keterampilan menerima pendapat atau kritik orang lain, kemauan saling berbagi gagasan, pengalaman dan
keterampilan, mengembangkan rasa tanggung jawab dan kepercayaan diri, atau keterampilan
menyampaikan pendapat atau gagasan secara ilmiah, merupakan contoh-contoh keterampilan interaksi
sosial yang dapat mendukung keterampilan berpikir kritis dan ilmiah siswa sehingga dapat mengoptimalkan
pencapaian hasil belajarnya.
Hasil observasi proses pembelajaran biologi di SMP PIRI Ngaglik, Sleman, DIY, ditemukan
beberapa persoalan antara lain:
1. Guru jarang sekali merancang dan melakukan pembelajaran melalui kegiatan kelompok bagi
siswanya.
2. Sebagian siswa (± 57%, n=35) tidak begitu senang belajar dalam kelompok.
3. Apabila belajar dalam kelompok, sebagian siswa (± 57%, n=35) lebih senang menyerahkan
tugasnya kepada temannya yang lain dalam kelompok.
4. Pembelajaran melalui kegiatan kelompok yang dilakukan tidak menunjukkan adanya perbedaan
yang berarti untuk pencapaian hasil belajar siswa dibanding dengan pembelajaran
klasikal/konvensional seperti yang biasa dilakukan.
Diskusi lebih lanjut dengan guru yang bersangkutan berhasil menganalisis dan mengidentifikasi
beberapa fakta serta akar penyebab munculnya masalah-masalah di atas, yaitu:
1. Pada dasarnya, guru telah berusaha menerapkan kegiatan pembelajaran kelompok. Tetapi, pola
pembelajaran kelompok yang dilakukan belum bervariasi, hanya untuk tujuan diskusi kelompok
terbatas seperti mengerjakan LKS atau menjawab latihan soal. Faktor terbatasnya waktu dan

502
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

banyaknya materi juga mempengaruhi. Hal ini membuat guru ragu untuk mencoba menerapakan
pembelajaran kelompok karena khawatir waktunya akan tersita tetapi materinya tidak akan selesai.
2. Tidak bervariasinya model pembelajaran kelompok yang diterapkan berpengaruh pada motivasi
siswa, sehingga sebagian siswa tidak senang dengan kegiatan kelompok. Hal ini dikarenakan
aktivitas dalam kegiatan kelompok yang dilakukan monoton, tidak menantang dan mendorong
siswa untuk aktif.
3. Meski sebagian siswa tidak senang dengan kegiatan kelompok, guru berpendapat bahwa pada
dasarnya tidak ada masalah tentang motivasi belajar siswa dalam pembelajaran biologi. Selain itu,
beberapa siswa menunjukkan ketertarikan untuk bisa tampil dalam kegiatan presentasi.
Dari analisis situasi dan identifikasi masalah yang ada, masalah yang dihadapi guru dan akan
dipecahkan adalah: “Bagaimana upaya yang harus dilakukan untuk dapat meningkatkan kualitas kegiatan
kelompok dalam pembelajaran biologi?” Pengembangan inovasi pembelajaran ini bertujuan untuk
meningkatkan kualitas kegiatan kelompok dalam pembelajaran biologi dengan menerapkan metode jigsaw.
Hasil diskusi dengan guru memunculkan gagasan untuk mencari, merancang dan melakukan
inovasi pembelajaran kelompok sebagai upaya mengatasi masalah-masalah yang telah diidentifikasi di atas,
yaitu dengan mencoba menerapkan metode jigsaw dalam pembelajaran. Pemilihan metode jigsaw ini
didasarkan pada hasil kajian bersama dengan guru.
Jigsaw diartikan sebagai pembagian materi, sumber atau tugas, sehingga tugas kelompok tidak
akan dikerjakan oleh satu atau sebagin kecil angota kelompok, tetapi masing-masing anggota kelompok
punya bagian yang penting dan dibutuhkan oleh seluruh anggota kelompok. Dengan demikian, tujuan
utama dari penerapan metode jigsaw adalah membuat masing-masing anggota kelompok bertanggung
jawab atas tugas atau bagian khusus yang lantas harus dibagikan kepada teman-teman kelompoknya.
Jigsaw juga efektif dilakukan untuk menekankan keterpaduan dan tanggung jawab siswa (Doolittle, 2002).
Doolittle (2002) menjabarkan tiga model metode jigsaw yang dapat diterapkan, yaitu:
a. Within Group Jigsaw. Pada model ini, masing-masing anggota kelompok bertanggung jawab untuk
mempelajari satu bagian persoalan yang harus dipecahkan kelompok tersebut. Setelah
mempelajarinya, maing-masing harus mengajarkan kepada anggota kelompok lainnya.
b. Expert Group Jigsaw. Pada model expert group ini anggota kelompok dari semua kelompok yang
mendapat bagian persoalan yang sama berkumpul menjadi ‘kelompok ahli’ untuk bersama-sama
mempelajari dan memecahkan persoalan tersebut. Setelah selesai mempelajarinya, masing-masing
kembali ke kelompok asalnya dan mengajarkan apa yang telah mereka pelajari pada ‘kelompok
ahli’ tadi.
c. Whole Group Jigsaw. Pada whole group ini kelompok yang terbentuk pertama kali sudah langsung
menjadi ‘kelompok ahli’ yang masing-masing mempelajari persoalan yang berbeda dengan
kelompok lainnya. Setelah itu masing-masing kelompok mengajarkan bagian persoalannya kepada
kelompok lain melalui diskusi kelas atau presentasi.

METODE PENELITIAN
Pengembangan inovasi ini dilaksanakan dalam bentuk penelitian tindakan kelas yang didesain
menurut model Kemis dan Taggart, sesuai buku panduan penelitian tindakan kelas (Tim Pelatih Proyek
PGSM, 1999). Penelitian ini dirancang untuk dua siklus tindakan yang masing-masing terdiri atas tiga
kegiatan siklik: 1) perencanaan, 2) pelaksanaan tindakan dan observasi, dan 3) refleksi.
Subjek pengembangan inovasi ini adalah siswa kelas VIII D SMP PIRI Ngaglik, Sleman, DIY, yang
berjumlah 32 orang siswa dan terbagi dalam enam kelompok. Penelitian ini dilaksanakan pada awal
semester ganjil tahun ajaran 2007/2008.

503
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

Secara rinci, langkah-langkah yang dilakukan dalam setiap siklus tindakan adalah:
a. Siklus I
1) Tahap Perencanaan, meliputi kegiatan: a). memilih materi pelajaran, yaitu materi sistem pernapasan
pada manusia, menyiapkan rencana pelaksanaan pembelajaran, LKS dan media pembelajaran. b).
menyusun instrumen observasi dan monitoring pelaksanaan pembelajaran, c). mensosialisasikan
rencana dan tujuan tindakan sekaligus mengarahkan siswa untuk persiapan pembelajaran.
2) Tahap pelaksanaan tindakan dan observasi, yaitu guru melaksanakan rencana tindakan. Pada tahap ini,
guru membagi dan menjelaskan persoalan yang harus diselesaikan masing-masing anggota kelompok,
membimbing siswa untuk mempelajari dan menyelesaikan persoalan, mengarahkan diskusi kelompok,
mengarahkan diskusi kelas untuk klarifikasi pemecahan masalah, dan melakukan evaluasi. Selain itu,
peneliti bersama guru teman sejawat melakukan observasi dan monitoring aktivitas siswa dalam
kegiatan kelompok dengan menggunakan instrumen yang telah disiapkan.
3) Tahap refleksi, dilakukan untuk mengevaluasi apakah rencana tindakan sudah dilaksanakan sesuai
program,, mengetahui kekurangan dan kendala-kendala apa saja yang muncul selama siklus I, dan
mengetahui respon siswa. Kegiatan refleksi ini dilanjutkan dengan diskusi untuk mencari solusi
perbaikan atas kekurangan dan masalah yang muncul pada siklus II.
b. Siklus II
Peneliti dan guru membuat rencana perbaikan tindakan untuk siklus II dengan materi pokok sistem
pencernaan makanan pada manusia. Dalam membuat rencana perbaikan, respon siswa dijadikan
pertimbangan untuk mengakomodasi situasi dan kebutuhan siswa sehingga proses pelaksanaan
tindakan nantinya berjalan dengan baik. Refleksi siklus II menunjukkan bahwa hasil pembelajaran
siklus II telah mencapai indikator keberhasilan tindakan dalam penelitian ini. Sehingga tim peneliti
memutuskan untuk tidak melanjutkan ke siklus III.
Metode jigsaw yang diterapkan dalam penelitian pengembangan inovasi ini adalah model Whole-
group jigsaw yang dimodifikasi. Modifikasi ini dilakukan untuk tetap mengupayakan proses pembelajaran
yang sesuai dengan prinsip pembelajaran biologi sebagai sains, yaitu melalui penerapan proses sains.
Modifikasi yang dilakukan adalah meski masalah keahlian yang harus dikaji dan dikuasai oleh masing-
masing kelompok jigsaw berbeda, namun semua kelompok tetap melakukan kegiatan praktik atau
pengamatan secara bergiliran agar tetap memperoleh pengalaman menerapkan proses sains sekaligus
memiliki orientasi gejala atas persoalan yang sedang mereka pelajari bersama.
Indikator kinerja untuk menunjukkan keberhasilan tindakan adalah apabila kriteria yang tergolong
baik (perolehan skor 3 dan 4) yang dicapai siswa untuk masing-masing aktivitas mencapai frekuensi
minimal 70% dari seluruh aktivitas/kinerja yang muncul dalam kelas. Selain itu, juga dilihat dari
perbandingan nilai pretes dan postes pada masing-masing siklus.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Materi pembelajaran yang dipilih pada siklus I adalah sistem pernapasan pada manusia yang dibagi
menjadi enam persoalan pokok, yaitu: 1) Struktur fungsi organ pernapasan, 2) Perbedaan proses inspirasi
dan ekspirasi, 3) Bukti bahwa pernapasan menghasilkan CO2, 4) Pengaruh rokok terhadap paru-paru, 5)
Perbedaan pernapasan dada dan perut, dan 6) Kapasitas udara paru-paru.
Berdasarkan indikator aktivitas atau kinerja yang telah dibuat, frekuensi macam aktivitas atau
kinerja yang muncul atau dilakukan siswa sebagai hasil pembelajaran siklus I ini, beserta kriterianya adalah
seperti pada tabel 1 berikut.

504
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

Tabel 1 : Frekuensi macam aktivitas yang muncul atau dilakukan siswa


selama pembelajaran siklus I.

Frekuensi (%) dengan kriteria


No. Macam Aktivitas
4 3 2 1
1. Melakukan praktik/percobaan 7,5 53,75 27,5 11,25
2. Melakukan pengamatan (observasi) 6,7 55 30 8,3
3. Mengumpulkan data 6,7 68,8 24,5 -
4. Mengajukan pertanyaan - 52,5 37,5 10
5. Menyampaikan jawaban 5 54 26 15
6. Merumuskan hasil pekerjaan kelompok 3 45,5 33 18,5
Keterangan skor dan kriteria:
4: Baik s, 3: Cukup baik, 2: Kurang, 1: Tidak muncul/tidak melakukan sekali

Selain data frekuensi macam aktivitas berdasarkan kriteria di atas, selama proses pembelajaran
juga diamati aspek-aspek pembelajaran jigsaw yang dilakukan siswa. Data frekuensi aspek-aspek
pembelajaran jigsaw yang muncul/dilakukan siswa berdasarkan kriteria penelitian adalah seperti yang
tertuang dalam tabel 2 berikut.

Tabel 2 : Frekuensi macam aspek kegiatan kelompok jigsaw yang muncul


selama pembelajaran siklus I.

Macam Aspek Kegiatan Frekuensi (%) dengan kriteria


No.
Kelompok Jigsaw 4 3 2 1
1. Partisipasi (termasuk aspirasi & antusiasme) 7,5 17,5 48 27
2. Kerja sama 12 37 46 5
3. Tanggung jawab 31,25 8,5 36,75 23,5

Hasil evaluasi pembelajaran pretes dan postes) pada siklus I disajikan pada tabel 3 berikut.

Tabel 3 : Hasil pretes dan postes pada siklus I

Tes Nilai terendah Nilai tertinggi Rata-rata


Pretes 2,2 6,4 4,8
Postes 2,7 7,7 6,7
Gain (selisih) 0,5 1,3 1,9

Dari tabel 1 dan 2 di atas, terlihat bahwa frekuensi macam aktivitas atau kinerja yang dilakukan
siswa, serta aspek kegiatan kelompok jigsaw yang muncul dengan kriteria tergolong baik (cukup baik dan
baik), selama pembelajaran siklus I belum mencapai indikator keberhasilan tindakan, yaitu minimal 70%
(kecuali untuk aktivitas/kinerja mengumpulkan data). Sebaliknya, kriteria yang banyak muncul adalah
kriteria kurang baik.
Hasil analisis bersama tim peneliti memperoleh gambaran hal-hal yang dianggap menghambat
belum tercapainya indikator keberhasilan tindakan pada siklus I adalah:

505
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

1) Siswa belum terbiasa dengan pengelolaan kegiatan belajar kelompok ahli (kelompok jigsaw). Hal ini
tampak dari kesulitan mereka untuk berbagi tanggung jawab dalam satu kelompok.
2) Orientasi tujuan dan hasil belajar pembelajaran kelompok ahli yang masih terbatas pada diri siswa.
Siswa sepertinya menganggap bahwa kegiatan pembelajaran kelompok jigsaw sama seperti kegiatan
kelompok seperti yang mereka lakukan biasanya.
3) Siswa belum sepenuhnya jelas tentang aktivitas/kegiatan apa yang harus mereka lakukan dalam
kelompok.
4) Kelompok siswa mengalami kebingungan untuk menyelesaikan persoalan bidang keahliannya.
5) LKS yang dibuat untuk siklus I cenderung bersifat tertutup, di mana persoalan apa saja yang harus
dipelajari oleh siswa dituliskan secara detil. Selain itu, tiap kelompok memperoleh satu paket LKS yang
sama untuk enam pokok persoalan dalam siklus I. LKS ini berpengaruh pada kecenderungan siswa
untuk menyelesaikan sendiri LKS tersebut di luar jam pelajaran.

Materi pembelajaran siklus II adalah sistem pencernaan makanan pada manusia, yang dibagi
menjadi enam persoalan pokok, yaitu: 1) Struktur organ sistem pencernaan makanan, 2) Proses
pencernaan, 3) Uji karbohidrat makanan, 4) Uji protein, 5) Uji saliva, dan 6) Struktur gigi manusia.
Jika pada siklus I semua kelompok tetap melakukan praktik atau pengamatan pada obyek yang
bukan termasuk bidang keahliannya, maka pada siklus II ini tiap-tiap kelompok hanya melakukan praktik
atau pengamatan atas persoalan keahliannya sendiri di awal kegiatan. Kesempatan untuk melakukan
praktik atau pengamatan terhadap persoalan selain bidang keahlian kelompok, dilakukan pada saat sesi
diskusi sharing keahlian antar kelompok. Selain itu, LKS pada siklus II ini disusun berorientasi pada LKS
semi-terbuka, dalam arti persoalan-persoalan yang harus dikaji kelompok dan antar kelompok tidak banyak
dituliskan/dirumuskan dalam LKS, tetapi diupayakan dirumuskan sendiri oleh kelompok.
Hasil pengamatan aktivitas/kinerja siswa selama pembelajaran pada siklus II menunjukkan
frekuensi aktivitas/kinerja dan aspek-aspek pembelajaran jigsaw yang muncul/dilakukan siswa berdasarkan
kriteria penelitian seperti ditunjukkan pada tabel 4 dan 5 berikut.

Tabel 4 : Frekuensi macam aktivitas yang muncul atau dilakukan siswa


selama pembelajaran siklus II.

Frekuensi (%) dengan kriteria


No. Macam Aktivitas
4 3 2 1
1. Melakukan praktik/percobaan 23,5 52,75 18,5 5,25
2. Melakukan pengamatan (observasi) 22 60 14,7 3,3
3. Mengumpulkan data 28,4 52,9 13,7 5
4. Mengajukan pertanyaan 28 53,7 15 3,3
5. Menyampaikan jawaban 22,5 54 16 12
6. Merumuskan hasil pekerjaan kelompok 24 53,5 12,5 10

506
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

Tabel 5 : Frekuensi macam aspek kegiatan kelompok jigsaw yang muncul


selama pembelajaran siklus II.

Macam Aspek Kegiatan Frekuensi (%) dengan kriteria


No.
Kelompok Jigsaw 4 3 2 1
1. Partisipasi (termasuk aspirasi & antusiasme) 34,5 46,5 12,3 6,7
2. Kerja sama 48,3 37,5 10,5 3,7
3. Tanggung jawab 34,5 44,5 13,3 7,7

Untuk hasil pretes dan postes pada siklus II disajikan dalam tabel 6 berikut.

Tabel 6 : Hasil pretes dan postes pada siklus II

Tes Nilai terendah Nilai tertinggi Rata-rata


Pretes 2,3 6,6 5,6
Postes 2,6 7,4 6,8
Gain (selisih) 0,3 0,8 1,2

Berdasarkan hasil dari siklus I dan II, tampak terjadi peningkatan kualitas aktivitas/kinerja siswa
dalam kelompok, yang ditunjukkan oleh naiknya frekuensi perolehan kriteria yang tergolong baik (kriteria
cukup baik dan baik sekali) untuk setiap macam aktivitas. Perbandingan frekuensi kriteria yang tergolong
baik antara siklus I dan siklus II ini seperti tersaji dalam tabel 7 berikut.

Tabel 7 : Perbandingan frekuensi kriteria yang tergolong baik antara siklus I dan siklus II
untuk kemunculan macam aktivitas/kinerja siswa dalam kelompok.

∑ Frekuensi (%) kriteria baik antar


No. Macam Aktivitas siklus
Siklus I Siklus II
1. Melakukan praktik/percobaan 61,25 76,25
2. Melakukan pengamatan (observasi) 61,7 82
3. Mengumpulkan data 75,5 81,3
4. Mengajukan pertanyaan 52,5 81,7
5. Menyampaikan jawaban 59 76,5
6. Merumuskan hasil pekerjaan kelompok 48,5 77,5

Selain kualitas aktivitas/kinerja kelompok, peningkatan kualitas ini juga tampak pada perbandingan
frekuensi kriteria yang tergolong baik (cukup baik dan baik sekali) untuk kemunculan aspek kegiatan
kelompok jigsaw antara siklus I dan siklus II yang juga meningkat, seperti tersaji pada tabel 8 berikut.

507
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

Tabel 8 : Perbandingan frekuensi kriteria yang tergolong baik antar siklus I dan siklus II untuk
kemunculan macam aspek kegiatan kelompok jigsaw.
∑ Frekuensi (%) kriteria baik antar
Macam Aspek Kegiatan
No. siklus
Kelompok Jigsaw
Siklus I Siklus II
1. Partisipasi (termasuk aspirasi & 25 81
antusiasme)
2. Kerja sama 49 85,8
3. Tanggung jawab 39,75 79

Frekuensi kategori baik yang muncul untuk aktivitas/kinerja maupun aspek kegiatan kelompok
jigsaw yang muncul pada siklus II, selain menun-jukkan peningkatan dibandingkan dengan siklus I, juga
menunjukkan per-olehan yang optimal dalam penelitian ini, karena telah memenuhi indikator keberhasilan
tindakan, di mana masing-masing mencapai lebih dari 70%. Dengan hasil ini, tim peneliti melihat bahwa
pemberian tindakan berupa pembelajaran kelompok jigsaw mampu meningkatkan kualitas kegiatan
kelompok.
Pembelajaran kelompok jigsaw memberi inisiasi pada siswa untuk lebih fokus pada orientasi
kegiatan kelompoknya, karena masing-masing dibebani tanggung jawab untuk menjadi ahli pada bidang
tertentu yang keahliannya ini harus mereka bagikan pada siswa yang lain. Tanggung jawab ini memberi
pengaruh pada persepsi tanggung jawab mereka, baik secara pribadi maupun kelompok. Penghargaan atas
kelompok yang diperoleh dari siswa atau kelompok lain, menjadi dasar motivasi siswa dalam kelompok
untuk lebih berpartisipasi aktif menyelesaikan tugas kelompoknya.
Di samping itu, persepsi terhadap hasil belajar yang akan diraih juga menjadi dasar orientasi yang
kuat bagi mereka untuk lebih termotivasi dalam berinteraksi satu sama lain dan saling berbagi pengalaman
belajar dan pengetahuan. Sebagaimana diungkapkan Aronson (2006), yang paling penting dari metode
jigsaw adalah dapat mendorong keterampilan mendengarkan, mengelola waktu dan berempati dengan
memberi masing-masing anggota kelompok bagian penting bagi tujuan bersama dalam aktivitas
pembelajaran.
Orientasi tujuan kelompok tadi juga memberi dampak pada perolehan hasil belajar secara
individual. Ini dapat dilihat dari perolehan hasil belajar sebelum dan setelah pembelajaran kelompok,
sebagaimana hasil pretes dan postes pada tiap siklus seperti yang disajikan pada tabel 3 dan 6.

PENUTUP
Pembelajaran dengan metode jigsaw dalam penelitian ini dapat meningkatkan kualitas kegiatan
kelompok dan juga meningkatkan hasil belajar biologi siswa. Namun demikian, hasil penelitian ini masih
memiliki implikasi terbatas karena subyek dan skup penelitian yang digunakan, sehingga diperlukan
penelitian-penelitian lain yang serupa agar dapat dilakukan perbandingan dan memperkuat generalisasi
hasilnya.

508
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

DAFTAR PUSTAKA

Aronson. 2006. The Basic of Jigsaw (revised ed.). http://www.jigsaw.org (Online, diakses 20 Juni 2006)
Blosser, Patricia. E. 1992. Using Cooperative Learning in Science Education. http://www.stemworks.org/
(Online, diakses 19 Juni 2006).
Cara, Bafile. 2005. The Jigsaw Approach Brings Lessons to Life. http://www.educationworld.com/ (Online,
diakses 19 Juni 2006).
Chafe, Allison. 1998. Cooperative Learning and the Second Language Classroom.
http://www.cdli.ca/~achafe/cooplang.html (Online, diakses 3 Juli 2006).
Colosi, Joseph C., Charlotte R. Zalles. 1998. Jigsaw Cooperative Learning Improves Biology Lab Courses.
Bioscience Journal vol. 48, p. 118-125.
Deibel, Katherine. 2005. Team Formation Methods for Increasing Interaction During In-Class Group Work.
http://www.cs.washington.edu/ (diakses 19 Juni 2006).
Doolittle, Peter. E. 2002. Cooperative Learning: The Jigsaw Method. The Mind, An Owner’s Manual for
Teachers and Students: Activity Strategies (p. 17-20). http://edpsycherver.ed.vt.edu/ (Online,
diakses 3 Juli 2006)
Felder, Richard. M., & Rebecca Brent. 1994. Cooperative Learning in Technical Courses: Procedurs, Pitfalls
and Payoffs. http://www.ncsu.edu/felder-public/Papers/Coopreport.html (Online, diakses 19
Februari 2006).
Felder, Richard. M., & Rebecca Brent. 2001. Effective Strategies for Cooperative Learning. Journal of
Cooperation & Collaboration in College Teaching.
Felder, Richard. M., & Deborah. B. Kaufman. 2000. Accounting for Individual Effort In Cooperative Learning
Teams. Journal of Engineering Education.
Koprowski, John L., Nan Perigo. 2000. Cooperative Learning as a Tool to Teach Vertebrate Anatomy. The
American Biology Teacher Journal vol. 62, p. 283-285.
Oakley, et.al. 2004. Turning Student Groups into Effective Teams. Journal of Student Centered Learning.
Sadler, Troy. D., Dana L. Zadler. 2004. Negotiating Gene Therapy Controversies. The American Biology
Teacher Journal vol. 66, p. 428-434.
Sherman, Lawrence. W. 1996. Cooperative Learning in Post Secondary Education: Implications from Social
Psychology for Active Learning Experiences. http://www.users.muohio.edu/ (Online, diakses 19
Juni 2006)
Smith, Julia I, Lena Chang. 2005. Teaching Community Ecology as a Jigsaw. The American Biology Teacher
Journal vol. 67, p. 31-37.
Stanne., M. Beth, David W. Johnson, Roger T. Johnson. 2000. Cooperative Learning Methods: A Meta-
Analysis. http://www.co-operation.org/ (Online, diakses 19 Juni 2006).
Tim Pelatih Proyek PGSM. 1999. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta; Depdiknas.

509
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

BIO-16
ALTERNATIVE ASSESSMENT ITS BENEFITS ON BOTANIC PHANEROGAMAE LECTURE
DEPARTEMENT OF BIOLOGY EDUCATION FPMIPA UPI

Siti Sriyati
(Departement of Biology Education FPMIPA UPI)

ABSTRACT
The study about alternative assessment on Botanic Phanerogamae lecture has been done to get
information about alternative assessment that has been developed to this lecture and how far it’s
giving a benefit to the student and giving an information about alternative assessment that has not
been developed to this lecture. Data collecting method is done with analyzing the alternative
assessment that has been developed, distributing a questionnaire to student to know the benefit of
alternative assessment and identity the student ability that has not been assessed. The result of the
study shows that tasks given in Botanic Phanerogamae lecture including : drawing book, herbarium,
perikehidupan, and practical reports. All of its are alternative assessment that has been successfully
developed because it has a clear task and rubric. The tasks have given many benefits to the students
and comply with five assessment target (knowledge, reasoning, skills, product, affective) by Stiggins
(1994). Performance assessment in the practical activity has not been done and need to be developed
to achieve description target on Botanical Phanerogamae lecture.
Key word : Alternative assessment, Botanic Phanerogamae, Task and Rubric

PENDAHULUAN
Secara sederhana asesmen alternatif diartikan sebagai pemanfaatan pendekatan non-tradisional
untuk memberi penilaian kinerja atau hasil belajar mahasiswa (Zainul, 2001). Istilah non-tradional yang
digunakan dalam konteks ini adalah tes kertas dan pensil (pencil and paper test) atau tes baku yang
menggunakan perangkat tes objektif. Asesmen alternatif dianggap sebagai upaya untuk mengintegrasikan
kegiatan pengukuran hasil belajar dengan keseluruhan proses pembelajaran. Melalui asesmen alternatif ini
proses pengukuran hasil belajar tidak lagi dianggap bagian terpisah dari proses pembelajaran. Atau dengan
kata lain asesmen alternatif merupakan proses yang menyertai seluruh kegiatan belajar dan pembelajaran
(Zainul, 2001).
Mata kuliah Botani Phanerogamae merupakan mata kuliah wajib (untuk mahasiswa Pendidikan dan
Non Pendidikan) di Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA UPI Bandung. Mata kuliah ini terdiri dari 3 SKS (2
teori dan 1 praktikum). Deskripsi mata kuliah Botani Phanerogamae adalah mengembangkan pemahaman,
keterampilan, dan kemampuan bernalar mahasiswa melalui penjelasan, diskusi, presentasi, observasi,
interpretasi, identifikasi, membuat dendrogram dan tugas-tugas diantaranya membaca, merangkum,
mengoleksi dan membuat herbarium, menggambar, menulis laporan ilmiah popular (perikehidupan) dari
Pinophyta dan Magnoliophyta terpilih.
Mencermati deskripsi mata kuliah di atas, diperlukan berbagai asesmen yang dapat mengases
semua kemampuan yang dideskripsikan pada deskripsi mata kuliah Botani Phanerogamae di atas.
Beberapa bentuk dari asesmen alternatif telah lama diterapkan pada mata kuliah ini dalam upaya
mengases kemampuan mahasiswa, diantaranya: membuat laporan praktikum, membuat herbarium,
membuat perikehidupan dan menggambar. Banyaknya tugas-tugas yang diberikan pada mata kuliah ini
seringkali menimbulkan keluhan dari mahasiswa pada saat mengerjakannya. Akan tetapi sejauhmana
tugas ini memberi manfaat untuk mahasiswa setelah mengerjakan tugas-tugas tersebut belum ada
informasi, melalui penelitian ini informasi tersebut akan digali. Hal-hal yang ingin diungkap dari penelitian

510
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

ini adalah: asesmen alternatif apa saja yang telah dikembangkan pada mata kuliah ini dan sejauhmana
asesmen alternatif yang telah dikerjakan mahasiswa memberikan manfaat bagi dirinya serta asesmen
alternatif apa saja yang belum dikembangkan yang sesuai dengan deskripsi mata kuliah Botani
Phanerogamae seperti yang telah disebutkan di atas.

METODE PENELITIAN
Observasi dilakukan pada dokumen asesmen alternatif berupa tugas-tugas mahasiswa pada mata kuliah
Botani Phanerogamae yang terdiri dari laporan praktikum, herbarium, perikehidupan dan buku gambar.
Dilakukan juga analisis terhadap petunjuk praktikum Botani Phanerogamae. Adapun teknik pengumpulan
data pada penelitian ini dilakukan dengan cara :
1. Menganalisis dokkumen tugas-tugas mahasiswa pada mata kuliah Botani Phanerogamae yang berupa
laporan praktikum, herbarium, perikehidupan dan buku gambar
2. Menyebarkan angket kepada mahasiswa yang telah mengikuti mata kuliah ini (pada penelitian ini
subjek penelitian adalah mahasiswa kelas C yang mengambil mata kuliah ini pada semester genap
2007)
3. Mengikuti kuliah dan praktikum Botani Phanerogamae untuk menggali asesmen yang berlum
dikembangkan pada mata kuliah Botani Phanerogamae sesuai dengan deskripsi mata kuliah ini

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Asesmen Alternatif Pada Botani Phanerogamae.


Asesmen alternatif yang telah diterapkan pada mata kuliah Botani Phanerogamae berupa : buku
gambar, laporan praktikum, herbarium, dan perikehidupan. Di bawah ini akan dipaparkan apa yang diases
dari masing-masing tugas tersebut dan apa kriteria penilaian (task dan rubric) dari masing-masing tugas
tersebut yang diacu dari buku petunjuk praktikum Botani Phanerogamae:

1. Buku Gambar
Mahasiswa diminta menggambar tumbuhan yang tidak diamati pada waktu praktikum. Dari satu
famili yang diamati dan dibahas pada waktu praktikum minimal harus digambar satu species tumbuhan
disertai dengan pertelaannya. Gambar harus menonjolkan ciri khas famili, misalnya ”staminal column” pada
Malvaceae atau kuncup bunga yang terpuntir pada famili Apocynaceae. Menuliskan klasifikasi pada sudut
kiri atas (Divisio, Class, Subclass, Ordo, Famili, Genus dan Spcies). Lebih dianjurkan bila gambar diwarnai
dengan pencil warna. Kriteria penilaian dari tugas kinerja buku gambar ini adalah :
a. Format (5)
b. Kebenaran klasifikasi (10)
c. Keakuratan gambar (proporsi gambar, penonjolan ciri familia dan
kelengkapan bagian (30)
d. Pilihan specimen pada familia yanga dipelajari (15)
e. Keterangan gambar (15)
f. Ketepatan penyerahan buku gambar (5)
Skor Total (80)

511
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

Gambar 1 : Contoh gambar yang dibuat oleh mahasiswa menonjolkan cirri khas famili Canaceae.
Pada sudut kiri atas dituliskan klasifikasi dari tumbuhan yang digambar

2. Laporan Praktikum
Selama mengikuti kegiatan praktikum (1 semester) Botani Phanerogamae mahasiswa dituntut
membuat laporan kelompok tentang hasil pengamatan selama praktikum. Ada tiga buah laporan besar
yang harus dibuat mahasiswa secara berkelompok yaitu : Laporan praktikum Pinophyta, Magnoliopsida dan
Liliopsida. Laporan dibuat dengan cara-cara yang telah ditentukan berkaitan dengan sistematika penulisan,
tata bahasa, pengetikan, kelengkapan dan keakuratan data hasil pengamatan dan diskusi atau hasil
pembahasan hasil pengamatan. Kriteria penilaian laporan praktikum adalah sebagai berikut :
a. Sistematika laporan (20)
b. Kelengkapan dan keakuratan dari hasil pengamatan (25)
c. Dikusi atau pembahasan hasil pengamatan (30)
d. Ketepatan penyerahan laporan ( 5)
Skor total (80)

Gambar 2 : Contoh laporan praktikum Magnoliopsida

3. Herbarium
Selama mengikuti kuliah Botani Phanerogamae, mahasiswa dituntut membuat sebuah herbarium
dengan tumbuhan yang ditentukan oleh pembimbing praktikum (ditentukan untuk menghindari dibuatnya
herbarium dari tumbuhan yang sama). Biasanya tumbuhan yang dibuat herbarium sama dengan yang
dibuat perikehidupannya. Kriteria penilaian dari herbarium adalah :

512
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

a. Kelengkapan specimen (batang, daun, bunga, buah, dll) (20)


b. Kadar kekeringan specimen (20)
c. Penataaan specimen pada kertas manila (10)
d. Ketepatan ukuran kertas (10)
e. Kelengkapan dan ketepatan pengisian label (10)
f. Ketepatan penyerahan tugas (10)
Skor total (80)

Gambar 3 : Contoh Herbarium Karya Mahasiswa

4. Perikehidupan
Selama mengikuti kuliah Botani Phanerogamae mahasiswa dituntut untuk berlatih melakukan
penelitian kecil , dengan menanam satu jenis tanaman (ditentukan), kemudian diamati perkembangannya
sejak mulai kecambah sampai tumbuh menjadi tumbuhan muda. Setiap perkembangan yang terjadi pada
tumbuhan tersebut dari waktu ke waktu. Mahasiswa juga harus mengamati tumbuhan dewasanya agar
dapat mendeskripsikan tumbuhan dewasa tersebut. Deskripsi harus dilakukan terhadap habitat,
habitus,daun, bunga, buah , biji dll. Manfaat tumbuhan juga dideskripsikan terutama manfaat dalam
kehidupan sehari-hari maupun kepentingan ilmu pengetahuan. Dilaporkan dalam bentuk tulisan ilmiah
populer. Kriteria penilaian perikehidupan adalah :
a. Sistematika penulisan (15)
b. Kualitas hasil pengamatan (20)
c. Kelengkapan bukti pengamatan (specimen asli, foto) (20)
d. Diskusi atau pembahasan hasil pengamatan (20)
e. Ketepatan penyerahan laporan (5)
Skor Total (80)

513
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

Gambar 4 : Contoh perikehidupan yang dibuat mahasiswa

Gambar 5 : Perikehidupan dari tanaman Gloxinia

B. Manfaat Asesmen Alternatif Bagi Mahasiswa


Dalam rangka mengetahui sejauhmana manfaat tugas-tugas yang diberikan bermanfaat bagi
mahasiswa, telah disebarkan angket kepada mahasiswa kelas C angkatan 2005. Hasil analisis angket
secara lengkap tercantum dalam tabel di bawah ini :

Tabel 1 : Manfaat Tugas-tugas (Asesmen Alternatif) pada Mata Kuliah Botani Phanerogamae
No. Pertanyaan Respon
Ya (%) Tidak (%)
1. Mahasiswa menyenangi Botani Phanerogamae setelah 92 8
mengikuti mata kuliah ini
2. Tugas-tugas (laporan praktikum, buku gambar, perikehidupan
dan herbarium) yang diberikan pada mata kuliah ini 8 92
memberatkan mahasiswa
3. Mahasiswa merasakan memperoleh manfaat setelah 100 0
mengerjakan tugas membuat laporan praktikum
Ya, dengan alasan :
a. berlatih membuat laporan praktikum
b. berlatih menganalisis data

514
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

c. berlatih keterampilan seriasi


d. berlatih mencari buku sumber dan internet untuk
melengkapi pustaka
e. berlatih mencari/ mengamati tumbuhan berbunga
f. dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari
g. tahu lebih banyak tentang tanaman
h. menambah pemahaman materi
4. Mahasiswa mendapat manfaat dengan mengerjakan tugas
membuat gambar tumbuhan dengan menonjolkan ciri 92 8
khas
Ya, dengan alasan :
a. berlatih melakukan observasi tumbuhan
b. berlatih menganalisis dan menyimpulkan ciri khas
tumbuhan
c.berlatih menggambar ilmiah
d. Berlatih sambil belajar mengaplikasikan
e. Lebih mengingat tanaman tersebut
f. belajar mendeskripsikan tanaman sesuai aslinya
5. Mahasiswa mendapat manfaat setelah mengerjakan tugas 100 0
membuat herbarium
Ya, dengan alasan ;
a. Melatih ketempilan membuat herbarium
b. jadi tahu cara-cara membuat herbarium
c. melatih kesabaran dalam mengerjakannya
d. ada kebanggaan melihat hasilnya dan di simpan di
jurusan
e. bisa membantu orang lain mengenal tumbuhan tertentu
6. Mahasiswa mendapat menfaat setelah mengerjakan tugas 100 0
membuat perikehidupan
Ya, dengan alasan :
a. Berlatih melakukan penelitian kecil
b. berlatih menentukan hal-hal yang penting diamati dari
pertumbuhan tanaman terpilih
c. berlatih membuat karya ilmiah
d. ada kebanggaan melihat hasilnya dan disimpan di
jurusan
e. berlatih menulis/skripsi
7. Praktikum yang dilakukan memberikan manfaat pada 100 0
mahasiswa
8. Kuliah lapangan ke Kebun Raya Bogor dan Taman Bunga 100 0
Nusantara menambah wawasan terhadap keanekaragaman
tumbuhan

515
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

C. Asesmen Alternatif Yang Belum Dikembangkan


Mencermati pelaksanaan kegiatan praktikum Botani Phanerogamae yang selama ini berlangsung, observer
melihat bahwa keterampilan mahasiswa secara individu ketika melaksanakan praktikum belum diases.
Padahal pada saat mahasiswa melakukan proses praktikum banyak keterampilan (misalnya : observasi,
interpretasi, identifikasi klasifikasi, kategorisasi dan seriasi) yang ditunjukkan oleh mahasiswa secara
individu yang pasti berbeda dengan individu mahasiswa yang lain. Dan secara jelas keterampilan ini
tercantum dalam deskripsi mata kuliah. Hal ini berarti bahwa keterampilan-keterampilan yang disebutkan di
atas harus dimiliki mahasiswa setelah menempuh mata kuliah ini.

Pembahasan
Terdapat beberapa istilah yang digunakan berkaitan dengan asesmen yaitu performance
assessment, asesmen alternatif dan asesmen otentik. Beberapa ahli (Marzano, 1994; Popham, 1995;
Bookhart, 2001 dalam Wulan, A.R, 2007) menyatakan istilah asesmen otentik kadang-kadang digunakan
untuk menjelaskan performance assessment karena tugas-tugas asesmennya yang lebih dekat dengan
kehidupan nyata. Istilah asesmen alternatif digunakan untuk performance assessment karena merupakan
alternatif untuk asesmen tradisional paper and pencil test.
Zainul (2001) lebih menyetujui istilah asesmen alternative daripada asesmen otentik. Penggunaan
istilah otentik tidak tepat karena istilah tersebut tidak netral. Terdapat konotasi makna bahwa semua
asesmen lain atau tes yang telah digunakan sejak lama adalah tidak otentik.
Dengan mengacu pada beberapa pendapat tentang asesmen otentik menurut beberapa ahli
(Marzano, 1994; Popham, 1995; Bookhart, 2001 dalam Wulan, A.R, 2007) dan pendapat berbeda menurut
ahli lainnya (Zainul, 2001), dua peristilahan yaitu performance assessment dan asesmen alternatif lebih
tepat digunakan sebagai padanan istilah.
Metode-metode yang dapat digunakan untuk asesmen alternatif atau performance assessment
adalah : 1) observasi, 2) interviu, 3) portofolio, 4) penilaian essay, 5) ujian praktek, 6) paper, 7) investigasi
kegiatan (proyek), 8) kuesioner, 9) inventori, 10) daftar cek, 11) penilaian sebaya, 12) diskusi, 13) peta
konsep, 14) jurnal kerja ilmiah siswa, 15) kegiatan bermain peran, 16) Kinerja siswa, 17) tugas kinerja
(Doran, et al., 1994; Kumano, 2001 dalam Wulan, A.R. 2007) dan NSES (1996).
Mencermati tugas-tugas yang diberikan pada mata kuliah Botani Phanerogamae yang meliputi :
buku gambar, herbarium, perikehidupan, laporan pratikum, tugas-tugas ini termasuk asesmen alternatif
yang meliputi : buku gambar, herbarium dan deskripsi merupakan asesmen alternatif dengan metode
tugas kinerja. Sedangkan laporan praktikum termasuk metode jurnal kerja ilmiah siswa dan perikehidupan
merupakan asesmen alternatif yang termasuk metode investigasi kegiatan (proyek). Asesmen alternatif
yang dikembangkan pada mata kuliah Botani Phanerogamae dapat dikatakan sudah sangat baik karena
sudah memuat unsur task (tugas) dan rubric yang jelas.
Asesmen alternatif atau performance assessment harus dilengkapi dengan task dan rubric. Task
merupakan perangkat tugas yang menuntut siswa untuk menunjukkan suatu performance tertentu.
Sedangkan rubric dapat dinyatakan sebagai panduan pemberian skor yang menunjukkan sejumlah kriteria
performance pada proses atau hasil yang diharapkan (Airasian, 1991; Popham, 1995; Zainul, 2001 dalam
Wulan, A.R. 2007). Menurut Stiggins (1994) target asesmen ada 5 yaitu : (1). Menguasai pengetahuan
(knowledge), (2). Mengembangkan penalaran (reasoning), (3). Memanfaatkan keterampilan (skills), (4).
Menghasilkan karya (product) dan (5). Afektif (Affective).
Berdasarkan target asesmen yang dikemukakan di atas, asesmen alternatif yang dikembangkan
pada mata kuliah Botani Phanerogamae telah memenuhi kelima target asesmen tersebut. Hal ini diperkuat
dengan hasil analisis angket yang disebarkan kepada mahasiswa. Mahasiswa menyebutkan melalui tugas-

516
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

tugas yang diberikan dapat meningkatkan pengetahuan mereka terhadap keanekaragaman tumbuhan dan
semua tugas yang diberikan membuat mereka lebih kreatif dan menambah pengetahuan. Manfaat lain
yang dirasakan mahasiswa adalah : berlatih membuat laporan praktikum, berlatih menganalisis data,
berlatih keterampilan seriasi, berlatih mencari buku sumber dan internet, berlatih mengobservasi
tumbuhan, menambah pemahaman materi, berlatih menganalisis dan menyimpulkan ciri khas tumbuhan
tersebut, berlatih membuat herbarium, berlatih melakukan penelitian kecil, berlatih membuat karya ilmiah,
melatih kerjasama dengan teman kelompok, melatih kemampuan berkomunikasi. Bila dicermati manfaat-
manfaat yang dirasakan mahasiswa melalui asemen alternatif yang ditugaskan ternyata memenuhi ke 5
target asesmen yanga dikemukan oleh Stiggin (1994).
Temuan hasil observasi pada kegiatan praktukum Botani Phanerogamae menunjukkan bahwa
belum dikembangkannya asesmen kinerja pada saat kegiatan praktikum berlangsung. Seperti kita ketahui,
keterampilan setiap individu dalam melakukan observasi, interpretasi, identifikasi klasifikasi, kategorisasi
dan seriasi (keterampilan proses sains) berbeda-beda. Dalam upaya merealisasikan ketercapaian deskripsi
mata kuliah Botani Phanerogamae, asesmen kinerja perlu diterapkan pada saat praktikum berlangsung.

PENUTUP
Tugas-tugas yang diberikan pada mata kuliah Botani Phanerogamae yang meliputi : buku gambar,
herbarium, perikehidupan, laporan praktikum dan deskripsi tumbuhan hasil kuliah lapangan merupakan
asesmen alternatif yang telah dikembangkan dengan sangat baik berkaitan dengan komponen task dan
rubric yang lengkap dan jelas. Tugas-tugas tersebut memberikan banyak manfaat kepada mahasiswa dan
memenuhi lima target asesten (knowledge, reasoning, skills, product, affective) menurut Stiggins (1994).
Asesmen kinerja ketika kegiatan praktikum berlangsung belum dilaksanakan dan perlu dikembangkan
dalam rangka mencapai target deskripsi mata kuliah Botani Phanerogamae.

DAFTAR PUSTAKA

Marzano, RJ. et al. 1992. Assessing Student Outcomes: Performance Assessment Using the Dimensions of
Learning Model. Alexandra; Association for Supervision and Curriculum Development.
NSES. 1996. National Science Education Standard. Washington DC: National Academy Press.
Stiggins, R.J. 1994. Student-Centered Classroom Assessment. New York; McMillan College Publishing
Company.
Tim Dosen Botani Phanerogamae. 2002. Petunjuk Praktikum Botani Phanerogamae. Bandung; Jurusan
Pendidikan Biologi FPMIPA UPI.
Wulan, AR. 2007. Pembekalan Kemampuan Performance Assessment Kepada Calon Guru Biologi Dalam
menilai Kemampuan Inquiry. Disertasi SPS UPI; Bandung; Tidak diterbitkan.
Zainul, A. 2001. Assessment Alternative. Jakarta; Depdiknas.

517
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

BIO-17
PEMBELAJARAN INKUIRI UNTUK MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN DASAR BEKERJA
ILMIAH (KDBI) DAN BERPIKIR KREATIF PADA KONSEP BIOTEKNOLOGI
(INQUIRY INSTRUCTION IN DEVELOPING BASIC SCIENCIFIC INQUIRY AND
CREATIVE THINKING ON BIOTECHNOLOGY )

Anny Muljatiningrum (SMAN I Samarang Garut)


Nuryani Y. Rustaman; Adi Rahmat (SPS UPI)

ABSTRACT
A study was carried out to investigate students abilities in basic scientific inquiry (BSI) and creative
thinking on biotechnology. The two treatments of this experimental study used fieldtrip method and
multimedia-based discussion method. Two classes of twelfth high school students were involved as
research subject (n=80). Results indicated that inquiry instruction was effective in developing BSI and
creative thinking. Analysis of BSI test using t test revealed significant differences between the two
classess. Fieldtrip class effective in developing the ability to raise question, hypothesize, and the
ability to plan. Multimedia-based discussion class was effective in developing the ability to collect
relevant facts and the ability to change the form of data presentation. The result of t-test indicated
there was no significant differences in creative thinking between the two classes. Based on the
indicator of creative thinking fieldtrip class students perform better in fluency thinking, original
thinking and evaluation skill, whereas the class of multimedia based discussion students perform
better in elaboration skill.

PENDAHULUAN

Hasil survei nasional pendidikan di Indonesia menunjukkan bahwa sistem pendidikan formal di Indonesia
pada umumnya masih kurang memberi peluang bagi pengembangan kreativitas (Tridjata, 2002). Hal
senada dikemukakan oleh Munandar (1999) bahwa kreativitas atau berpikir kreatif, sebagai kemampuan
untuk melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah merupakan bentuk
pemikiran yang sampai saat ini masih kurang mendapat perhatian. Rendahnya pengembangan kreativitas
disebabkan pembelajaran di sekolah yang terutama dilatih adalah pengetahuan, ingatan, kemampuan
berpikir logis atau berpikir konvergen yaitu kemampuan menemukan satu jawaban yang paling tepat
terhadap masalah yang diberikan berdasarkan informasi yang tersedia. Menurut Munandar (1999)
pengajaran di sekolah pada umumnya terbatas pada penalaran verbal dan pemikiran logis, pada tugas-
tugas yang hanya menuntut pemikiran konvergen yaitu pemikiran menuju satu jawaban tunggal. Dengan
demikian setiap siswa akan terbiasa berpikir konvergen sehingga bila dihadapkan pada suatu masalah
siswa mengalami kesulitan untuk memecahkan masalah atau memberikan beberapa alternatif pemecahan
masalah.
Setiap guru diharapkan untuk melengkapi pembelajaran dengan menerapkan keterampilan berpikir
kreatif untuk setiap konsep yang diajarkan. Seperti yang dikemukakan oleh Munandar (1999:54) bahwa
keterampilan berpikir kreatif dapat dilakukan sewaktu mengajar, tidak perlu disisihkan waktu khusus untuk
itu.
Selain keterampilan berpikir kreatif, yang perlu dikembangkan pada pembelajaran di sekolah
adalah kemampuan dasar bekerja ilmiah (KDBI). Kemampuan dasar bekerja ilmiah (KDBI) terdiri atas
kecerdasan emosional dan kecerdasan intelektual (Rustaman, 2007). Pembelajaran di sekolah selama ini
lebih mengedepankan pengembangan kecerdasan intelektual sehingga kecerdasan emosional dan berpikir

518
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

kreatif kurang dikembangkan. Menurut Achir (2004:158) kecerdasan intelektual tinggi dianggap masih
kurang, disarankan agar diperkaya dengan kecerdasan emosional. Lebih lengkap lagi Achir (2004:153)
mengemukakan bila aspek intelektif seperti kecerdasan intelektual (IQ) dan kreativitas (CQ) kita anggap
penting untuk dikembangkan secara integral dan optimal, tantangan yang cukup mendesak dewasa ini
adalah pembinaan kesehatan sosial-emosional yang lebih dikenal sebagai kecerdasan emosional (EQ).
Kecerdasan emosional ini sangat penting dikembangkan terutama dalam menghadapi kemajuan ilmu dan
teknologi.
Salah satu konsep Biologi yang sangat erat kaitannya dengan kemajuan ilmu dan teknologi adalah
Bioteknologi. Perkembangan Bioteknologi pada dasawarsa terakhir ini telah mencapai kemajuan yang
sangat pesat. Konsep Bioteknologi merupakan salah satu konsep yang diberikan di kelas XII. Bioteknologi
adalah cabang ilmu tentang pemanfaatan makhluk hidup (bakteri, jamur, virus dan lain-lain) maupun
produk dari makhluk hidup (enzim, alkohol) dalam proses produksi untuk menghasilkan barang dan jasa
(Dephut, 2007). Konsep Bioteknologi berkembang karena didukung oleh media informasi yang beragam,
sehingga konsep-konsep Bioteknologi tidak hanya diperoleh siswa di sekolah tetapi dapat juga dari media
informasi yang lain seperti koran, televisi dan internet.
Bioteknologi adalah salah satu konsep Biologi yang pembelajarannya dapat dilaksanakan dengan
berbagai pengalaman belajar dan dapat memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar. Dalam
pembelajaran bioteknologi lingkungan sekitar dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar misalnya pada
konsep biogas dengan cara memanfaatkan reaktor biogas yang ada di sekitar lingkungan siswa.
Pemanfaatan reaktor biogas dalam pembelajaran bioteknologi dapat memberikan pengetahuan
keterampilan kepada siswa, penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, pemanfaatan kotoran ternak
menjadi sumber energi alternatif pengganti minyak tanah, pemecahan masalah pencemaran, sanitasi dan
kesehatan lingkungan terutama di daerah sekitar peternakan. Hal ini sesuai dengan prinsip pelaksanaan
kurikulum bahwa kurikulum dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan multistrategi dan multimedia,
sumber belajar dan teknologi yang memadai, dan memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber
belajar (BSNP, 2006). Standar Kompetensi Lulusan (SKL) mata pelajaran biologi SMA ada enam salah
satunya adalah memahami prinsip-prinsip dasar bioteknologi serta implikasinya pada sains, lingkungan,
teknologi dan masyarakat (BSNP, 2006). Dengan demikian guru sebagai fasilitator diharapkan dapat
membelajarkan siswanya pada konsep Bioteknologi dengan memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai
sumber belajar sehingga Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dapat tercapai dengan cara mengembangkan
kemampuan dasar bekerja ilmiah (KDBI) dan berpikir kreatif .
Untuk mengembangkan KDBI dan berpikir kreatif pada konsep Bioteknologi diperlukan suatu
pendekatan pembelajaran yang sesuai. Melalui pendekatan pembelajaran yang diterapkan pada siswa kelas
XII diharapkan siswa dapat membangun konsep-konsep Bioteknologi dengan memanfaatkan seluruh
potensi yang ada di sekolah dan lingkungan sekitar.
Di dalam Kurikulum 2006 dijelaskan bahwa Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara
mencari tahu (inkuiri) tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya sebagai penguasaan
kumpulan pengetahuan yang berupa fakta, konsep atau prinsip saja, tetapi juga merupakan suatu proses
penemuan. Biologi sebagai salah satu bidang IPA dalam pembelajarannya dapat menggunakan pendekatan
pembelajaran seperti yang disarankan dalam kurikulum 2006 yaitu pendekatan inkuiri. Trowbridge et al.
(1981) mengungkapkan eratnya hubungan inkuiri dengan bertanya dan kemungkinan pelaksanaan
pembelajarannya dengan berbagai metode.
Diantara metode-metode yang sering digunakan dalam pembelajaran IPA, metode yang dapat
diterapkan dalam pembelajaran konsep Bioteknologi yaitu metode karyawisata/widyawisata dan diskusi.
Menurut Rustaman et al. (2005) metode karyawisata/widyawisata adalah cara penyajian dengan membawa

519
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

siswa mempelajari materi pelajaran di luar kelas. Melalui karyawisata ini suatu kunjungan direncanakan
kepada suatu objek tertentu untuk dipelajari atau untuk memperoleh informasi yang diperlukan sedangkan
metode diskusi adalah cara pembelajaran dengan memunculkan masalah, dalam diskusi terjadi tukar
menukar gagasan atau pendapat.
Menurut Rahadi (2003:23) seorang guru sebaiknya mengikuti perkembangan teknologi yang
berkaitan dengan media pembelajaran. Gagne (Rahadi, 2003) mengartikan media sebagai jenis komponen
dalam lingkungan siswa yang dapat merangsang mereka untuk belajar. Dengan demikian media sebagai
bagian integral dalam proses pembelajaran.
Perkembangan teknologi informasi saat ini dapat mempengaruhi media pembelajaran yang
digunakan oleh guru. Jenis media yang akan digunakan, sangat tergantung dengan kebutuhan dan kondisi
yang ada di lapangan. Teknologi komputer merupakan sebagian dari teknologi informasi yang dapat
digunakan untuk membuat berbagai macam media pembelajaran. Menurut Rahadi (2003:36) media
komputer memiliki hampir semua kelebihan yang dimiliki media lain. Selain mampu menampilkan teks,
gerak, suara dan gambar, komputer juga dapat digunakan secara interaktif, bukan hanya searah. Bahkan
komputer yang disambung dengan internet dapat memberikan keleluasaan belajar menembus ruang dan
waktu serta menyediakan sumber belajar yang hampir tanpa batas. Oleh karena itu media komputer dapat
dimasukkan dalam kelompok multimedia.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di salah satu SMA Negeri di kabupaten Garut dan metode yang digunakan adalah
Quasi-experimental research (Wiersma, W. 1995). Sebanyak dua kelas dipilih secara acak dari tujuh kelas
XII yang ada. Tiap kelas terdiri atas 40 orang siswa. Siswa di kelas eksperimen 1 menggunakan metode
karyawisata sedangkan siswa di kelas eksperimen 2 menggunakan metode diskusi berbasis multimedia
komputer. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes penguasaan konsep, tes kemampuan
dasar bekerja ilmiah (KDBI), tes keterampilan berpikir kreatif, Self and Peer Assessment.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Kemampuan Dasar Bekerja Ilmiah
Rata-rata nilai KDBI/ kecerdasan intelektual yang diperoleh kelas karyawisata dan kelas multimedia
termasuk kategori baik sekali. KDBI/ kecerdasan intelektual dengan kategori baik sekali diperoleh siswa di
kedua kelas perlakuan disebabkan siswa sudah terbiasa dengan pembelajaran yang mengembangkan
keterampilan proses. Untuk mata pelajaran Biologi kelas XII dipegang oleh dua orang guru, satu guru teori
dan satu guru praktikum. Dengan kegiatan praktikum maka siswa dapat mengembangkan keterampilan
proses, seperti dikemukakan Harlen (1992:28) keterampilan proses adalah berbagai aktivitas siswa yang
dilakukan dalam belajar untuk mencapai tujuan tertentu, dan seluruh kegiatan menjadi satu kesatuan yang
tidak terpisah-pisah misalnya dalam kegiatan penyelidikan mulai dari pengamatan, menafsirkan hasil
pengamatan dan keterampilan-keterampilan selanjutnya, secara keseluruhan masing-masing keterampilan
proses yang terlibat menjadi bagian dari seluruh keterampilan dalam proses penyelidikan
Praktikum Biologi di kelas XII terjadwal setiap minggu sehingga kegiatan praktikum sudah menjadi
bagian dalam proses belajar mengajar Biologi, hal ini menjadikan penanaman keterampilan proses
terhadap siswa menjadi continue, seperti yang dikemukakan Thorndike (Suryabrata, 2006) hubungan-
hubungan atau koneksi-koneksi akan menjadi bertambah kuat kalau ada latihan (law of use) Dengan
demikian ketika siswa dikondisikan dalam pembelajaran selain praktikum, seperti kegiatan karyawisata dan
diskusi berbasis multimedia maka siswa tetap dapat menerapkan keterampilan proses yang sudah

520
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

dimilikinya sehingga sebagian besar kelompok siswa dapat menyelesaikan tes KDBI/kecerdasan intelektual
dan memperoleh rata-rata nilai diatas 80.
Kelas karyawisata memiliki rata-rata 85,18 dan kelas multimedia 82,58 digambarkan dengan grafik pada
Gambar 1.

Kemampuan Dasar Bekerja Ilmiah

90
80

Rata-Rata Nilai KDBI


70
60
50
40
30
20
10
0
Karyawisata Multimedia
Kelas

Gambar 1: Rerata Nilai KDBI di Kedua Kelas


Dari gambar 1 dapat dilihat rata-rata KDBI kelas karyawisata lebih baik dibandingkan kelas multimedia.
Secara statistika hasil uji perbedaan KDBI/kecerdasan intelektual antara kelas karyawisata dan kelas
multimedia menunjukkan nilai t hitung = 2,950 dan sig.(2-tailed) = 0,004 < α = 0,05 sehingga KDBI/
kecerdasan intelektual kedua kelas berbeda secara signifikan. Kelas karyawisata pada beberapa indikator
menunjukkan kemampuan yang lebih baik dibandingkan kelas multimedia.
Untuk membandingkan KDBI berdasarkan indikator antara kelas karyawisata dengan kelas multimedia
dapat dilihat dari Gambar 2.

KDBI Berdasarkan Indikator

12.00

10.00
Rata-Rata Nilai KDBI

8.00
Karyawisata
6.00
Multimedia
4.00

2.00

0.00
l

an
an

la im p n
ta

un iwa
is

pr an
ka i abe

n rhi p n

en n p kan
nc r
nt l kan n

a
u
a
M i ka fak

en l at otes
a

M ang

ik
lk
M kan bah

a t sed
Be tuj u
gi mpu nya

om rist
ul

as
M Me am a
r
en va

ik
a

e
n
M ngu ert

en da
en si

ra

er
ny
e tp

tu

M s ka
bu
a

if

tu
a

gk
bu

em
ka

je
em

de

en
tu
M
M

M
en

en
en
M

Indikator KDBI

Gambar 2: Rerata Nilai KDBI Berdasarkan Indikator


Dari Gambar 2 ternyata kelas karyawisata lebih baik dalam tiga indikator KDBI yaitu membuat pertanyaan,
berhipotesis dan membuat rancangan/desain. Untuk kelas multimedia ada dua indikator yang lebih baik
dibandingkan kelas karyawisata mengumpulkan fakta yang relevan dan mengkomunikasikan. Untuk
indikator KDBI lainnya kemampuan karyawisata sama dengan multimedia.

Berpikir Kreatif
Berikut ini ditampilkan rata-rata nilai berpikir kreatif siswa di kedua kelas:

521
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

Berpikir Kreatif

80
70

Rata-Rata Nilai Siswa


60
50
Karyawisata
40
Multimedia
30
20
10
0
Pretest Posttest Gain

Gambar 3: Rata-Rata Nilai Berpikir Kreatif


Dari gambar 3 dapat dilihat rata-rata pretest dan posttest berpikir kreatif kelas karyawisata lebih
baik dibandingkan kelas multimedia. Jika dilihat dari uji perbedaan peningkatan/gain berfikir kreatif antara
kelas karyawisata dan kelas multimedia diperoleh nilai t hitung = -0,096 dan sig.(2-tailed) = 0,924 > α =
0,05 sehingga peningkatan berfikir kreatif kedua kelas adalah sama.
Jadi tidak ada perbedaan keterampilan berpikir kreatif antara kelas karyawisata dan kelas diskusi
berbasis multimedia. Dengan demikian karyawisata dan diskusi berbasis multimedia dapat
mengembangkan keterampilan berpikir kreatif. Hal ini sesuai seperti yang dikemukakan Michalko (2005)
bahwa lingkungan mempengaruhi kreativitas dan kreativitas timbul dari pembelajaran. Singgih Salim
(2004), mengemukakan bahwa bakat kreatif perlu selalu dirangsang agar dapat berfungsi secara optimal
Untuk membandingkan keterampilan berpikir kreatif berdasarkan indikator antara kelas karyawisata
dengan kelas multimedia dapat dilihat dari Gambar 4.

Berpikir Kreatif Berdasarkan Indikator

20.00

18.00

16.00
Rata-Rata Nilai Posttest

14.00

12.00
Karyawisata
10.00
Multimedia
8.00

6.00

4.00

2.00

0.00
Lancar Luwes Asli Merinci Menilai
Indikator Berpikir Kreatif

Gambar 4: Rata-Rata Posttest Berpikir Kreatif Berdasarkan Indikator


Dari grafik posttes tersebut dapat dilihat keterampilan berpikir kreatif berdasarkan indikator, kelas
karyawisata pada umumnya lebih baik dibandingkan kelas multimedia, tetapi bila dilihat secara statistika
dengan uji t, uji gain/peningkatan berfikir kreatif berdasarkan indikator, kelas karyawisata lebih baik dalam
dua indikator berpikir kreatif yaitu berpikir lancar dan keterampilan menilai dan kelas multimedia lebih baik
dalam keterampilan merinci.
Untuk keterampilan berpikir asli/orisinal walaupun secara statistika peningkatan berfikir kreatif
indikator ke 3 dari kedua kelas sama, dengan nilai t hitung = 0,576 dan sig.(2-tailed) = 0,566 > α = 0,05,
tetapi apabila dilihat dari soal no 7 saja yaitu merancang suatu reaktor/instalasi biogas dalam skala RT
(Rukun Tetangga) diperoleh nilai t hitung = 5,222 dan sig.(2-tailed) = 0,000 < α = 0,05 sehingga Ho
ditolak, kemampuan merancang reaktor biogas antara kelas karyawisata dan multimedia berbeda secara
signifikan. Dengan demikian siswa kelas karyawisata pada umumnya dapat merancang reaktor biogas
untuk mengatasi permasalahan yang ada di reaktor biogas.

522
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

Hal ini sesuai dengan data yang diperoleh dari pengukuran kecerdasan emosional berdasarkan
indikator. Terdapat perbedaan pada indikator ke 7 dari kecerdasan emosional yaitu pemecahan masalah
antara kelas karyawisata dan kelas multimedia. Menurut Matlin (2003) kreativitas termasuk area problem
solving, kreativitas adalah menemukan solusi yang baru dan bermanfaat. Menurut Redjeki (1985) belajar di
luar kelas akan memperkaya anak dengan sejumlah pengalaman.
Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional siswa yang berkaitan dengan konsep diri (dijaring dengan self assessment) antara
kelas karyawisata dan kelas multimedia menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan dengan nilai t
hitung = 1,728 dan sig.(2-tailed) = 0,088 > α = 0,05 sehingga kecerdasan emosional dari kedua kelas
sama.
Konsep diri terbentuk atas dua komponen yaitu komponen kognitif dan komponen afektif.
Komponen kognitif merupakan pengetahuan individu tentang keadaan dirinya. Gambaran diri (self picture)
tersebut akan membentuk citra diri (self image). Komponen afektif merupakan penilaian individu terhadap
diri. Penilaian tersebut akan membentuk penerimaan terhadap diri (self acceptance), serta harga diri (self
esteem) (Pudjijogyanti,1993). Jadi konsep diri merupakan sikap dan pandangan individu terhadap seluruh
keadaan dirinya. Dengan menggunakan self assessment siswa dapat menilai dirinya sendiri sehingga dapat
dilihat gambaran diri, citra diri, penerimaan terhadap diri serta harga diri dan semua itu dapat memberikan
sebagian dari gambaran kecerdasan emosional siswa. Menurut Goleman (Akbar-Hawadi dan Mulyawati,
2004), kecerdasan emosional meliputi lima keterampilan yang terdiri dari: mengenali emosi diri, mengelola
emosi, memotivasi diri sendiri, empati, membina hubungan. Jadi kecerdasan emosional lebih berkaitan
dengan kondisi emosi serta sangat berpengaruh terhadap kehidupan seseorang terutama kehidupan
sosialnya.
Kecerdasan emosional berdasarkan indikator, kelas karyawisata dan kelas multimedia tidak
menunjukkan perbedaan yang cukup besar, tetapi bila dilihat secara statistika dengan uji t diperoleh nilai t
hitung = 2,434 dan sig.(2-tailed) = 0,017 < α = 0,05 sehingga kecerdasan emosional pada indikator 7
(pemecahan masalah) berbeda antara kelas karyawisata dan kelas multimedia.
Seperti kita ketahui kelas karyawisata dalam membentuk konsep biogas menggali langsung informasinya
dari reaktor biogas, hal ini tentu akan lebih banyak melibatkan indera dalam mengobservasi, lebih mampu
melihat atau sensitif pada masalah-masalah yang ada di reaktor biogas. Menurut Singgih Salim (2004),
semakin tinggi kepekaan terhadap masalah, semakin besar peluangnya untuk dapat menemukan cara
dalam mengatasi masalah tersebut.
Kecerdasan emosional siswa yang dijaring dengan peer assessment menunjukkan tidak ada perbedaan
antara kelas keryawisata dan kelas multimedia dengan nilai thitung = 1,728 dan sig.(2-tailed) = 0,088 > α
= 0,05 sehingga kecerdasan emosional dari kedua kelas sama.
Penguasaan Konsep
Berikut ini ditampilkan rata-rata nilai penguasaan konsep siswa di kedua kelas:

523
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

90
80
70

Rata-Rata Nilai Siswa


60
50 Karyawisata
40 Multimedia
30
20
10
0
Pretest Posttest Gain

Gambar 5: Rata-Rata Nilai Penguasaan Konsep


Dari grafik tersebut dapat dilihat rata-rata pretest dan posttest penguasaan konsep kelas karyawisata lebih
baik dibandingkan kelas diskusi berbasis multimedia tetapi jika dilihat dari uji perbedaan peningkatan/gain
penguasaan konsep antara kelas karyawisata dan kelas multimedia diperoleh nilai thitung = -1,036 dan
sig.(2-tailed) = 0,304 > α = 0,05 sehingga peningkatan penguasaan konsep kedua kelas sama. Jadi tidak
ada perbedaan yang signifikan antara kelas karyawisata dan kelas multimedia dalam hal penguasaan
konsep Bioteknologi.

KESIMPULAN
1. Pembelajaran inkuiri pada konsep Bioteknologi menggunakan metode karyawisata dan diskusi
berbasis multimedia dapat mengembangkan kemampuan dasar bekerja ilmiah (KDBI) dan berpikir
kreatif pada aspek-aspek yang berbeda. Dengan demikian bila dijadikan sebagai salah satu
alternatif pembelajaran tergantung dari tujuan yang ingin dicapai. Bila semua aspek KDBI dan
berfikir kreatif ingin dikembangkan maka kedua metode (karyawisata dan diskusi berbasis
multimedia) sebaiknya diterapkan. Apabila karyawisata tidak dapat dilaksanakan berkaitan dengan
padatnya jadwal persiapan ujian nasional maka dapat diberikan penugasan yang dilengkapi dengan
LKS.
2. Kemampuan dasar bekerja ilmiah kelas karyawisata lebih baik dibandingkan kelas multimedia.
Kelas karyawisata dapat mengembangkan kemampuan bertanya, berhipotesis, dan kemampuan
merancang. Kelas diskusi berbasis multimedia dapat mengembangkan kemampuan mengumpulkan
fakta relevan dan mengubah bentuk penyajian data.
3. Kemampuan berpikir kreatif antara kelas karyawisata dan kelas multimedia tidak berbeda secara
signifikan. Berdasarkan indikator kemampuan berpikir kreatif kelas karyawisata dapat
mengembangkan keterampilan berpikir lancar, keterampilan menilai dan keterampilan merancang
(keterampilan berpikir asli) sedangkan kelas multimedia dapat mengembangkan keterampilan
merinci.
4. Pembelajaran inkuiri dengan menggunakan metode karyawisata dan multimedia selain dapat
mengembangkan kemampuan dasar bekerja ilmiah dan berpikir kreatif juga menunjukkan
terjadinya peningkatan yang signifikan pada penguasaan konsep Bioteknologi.
5. Hasil pengukuran kecerdasan emosional menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara
kelas karyawisata dan kelas multimedia
PERNYATAAN TERIMA KASIH
Prof. Dr. Nuryani Y. Rustaman, M.Pd, pembimbing I atas fasilitas (dana hibah Pasca) yang diberikan dalam
penelitian ini. dan Dr. rer. nat. Adi Rahmat, M.Si selaku pembimbing II. Drs. Achdiat Kusdani, M.Pd dan
Ellin Darliana, selaku kepala sekolah dan guru bidang studi yang telah berkenan mengizinkan penelitian
dilaksanakan di kelasnya. H. Encur, selaku pemilik Biogas di Cisurupan Garut, dan Programer multimedia
Fadil Hidayat.

524
PROCEEDING The Second International Seminar on Science Education ISBN: 978-979-98546-4-2
“Current Issues on Research and Teaching in Science Education”

DAFTAR PUSTAKA

Achir, Y. C. A. (2004). „Proses Tumbuh Kembang Anak Berbakat dalam Keluarga“, dalam Akselerasi.
Jakarta: Grasindo.
Akbar-Hawadi dan Mulyawati. (2004). ”Kiat-Kiat Mengasah Kecerdasan Emosional Siswa” dalam Akselerasi.
Jakarta: Grasindo.
BSNP. (2006). Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan
Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas.
Dephut. (2007). Bioteknologi. [Online]. Tersedia: http://www.Dephut.go.id/
INFORMASI/SETJEN/PUSSTAN/info510604/isiII.Html. Download 6 juni 2007.
Harlen, W. (1992). The Teaching of Science Studies I Primary Education. Great Britain: BPCC Wheaton
LTD.
Matlin, M.W. (2003). Cognition. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Michalko, M. (2005). CQ: Apakah Anda Kreatif? Cara Ampuh Meningkatkan Kecerdasan Anda. Jakarta:
Prestasi Pustaka
Munandar, S. C. U. (1999). Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah. Jakarta : Gramedia
Pudjijogyanti. (1993). Konsep Diri Dalam Pendidikan. Jakarta: Arcan.
Rahadi, A. (2003). Media Pembelajaran. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Redjeki, S. (1985). Studi Perbandingan tentang Pengajaran IPA dengan menggunakan Lingkungan sebagai
Sumber Belajar dengan Pengajaran Tradisional Di Sekolah Dasar Daerah Sawah, Palawija dan
Padat. Tesis Program Magister pada FPS IKIP Bandung: Tidak Diterbitkan.
Rustaman. et al. (2005). Strategi Belajar Mengajar Biologi. Malang: Universitas Negeri Malang.
Rustaman, N.Y. (2007). Kemampuan Dasar Bekerja Ilmiah dalam Pendidikan Sains dan Asesmennya.
Makalah disajikan dalam The First International Seminar of Science Education on ”Science
Education Facing Against The Challenges of The 21 st Century”. SPS UPI. 27 Oktober 2007,
Bandung.
Singgih Salim. (2004). „Kreativitas dan Sikap Kreatif dari Siswa Berbakat Akademik“, dalam Akselerasi.
Jakarta: Grasindo.
Suryabrata, S. (2006). Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Tridjata, S. (2002). Mainan Pendidikan sebagai Media Ekspresi Kemampuan Kreatif Anak. ITB Central
Library. Download 15 Juni 2007.
rd
Trowbridge, L.W., Sund, R.B. (1981). Teaching Science by Inquiry in the Secondary School. 3 . Ed.
Columbus, Ohio: Charles E. Merril.
Wiersma, W. (1995). Research Methods In Education. Massachusetts: A Simon and Schuster Company.

525

You might also like