You are on page 1of 7

Pengertian Hadits, Sunnah, Khabar dan Atsar

A. pengertian hadist
Hadits menurut bahasa mempunyai tiga makna: 1. Baru ( jadid ), lawan dari terdahulu ( qadim ). 2. Dekat ( qorib ), tidak lama lagi terjadi, lawan dari jauh ( baid ). 3. Berita ( khabar ), sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lainnya. Hadits yang bermakna khabar ini dihubungkan dengan kata tahdis yang berarti riwayat, ikhbar ( mangkhabarkan ). Maka hadits dan khabar menurut bahasa adalah dua kata yang sama. Hadits menurut istilah para ahli hadits bahwasannya hadits itu sinonim dari sunnah, yang dimaksud disini adalah sesuatu yang diriwayatkan dari Rosul SAW sebelum atau sesudah diutus menjadi nabi. Akan tetapi mayoritas hadits itu diartikan dengan sesuatu yang diriwayatkan dari Rosul SAW setelah kenabian baik dari perkataan, perbuatan dan penetapannya. Dalam definisi ini sunnah lebih umum dari hadits. Menurut Hafidz Hasan Al Masudi, hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada nabi SAW baik perkataannya, perbuatnnya, penetapannya atau sifatnya. B. Pengertian Sunnah Sunnah menurut bahasa adalah cara atau jalan yang biasa ditempuh, baik terpuji maupun tercela. Sedangkan sunnah menurut istilah, ada beberapa perpedaan pendapat antara lain: 1. Sunnah menurut istilah para ahli hadits: Setiap sesuatu yang diriwayatkan dari Rosul SAW dari perkataan, perbuatan dan penetapan, sifat atau perjalanan nabi baik sebelum atau sesudah diutus menjadi Rosul. Dalam definisi ini sunnah adalah sinonim dari hadits. 2. Sunnah menurut istilah ulama ushul fiqih Setiap sesuatu yang bersumber dari nabi SAW selain Al- Quran, dari perkataan, perbuatan, penetapan yang biasa dijadikan dalil dalam hokum syari. 3. Sunnah menurut istilah ahli fiqih Setiap sesuatu yang ditetapkan dari nabi SAW yang bukan merupakan bab fardlu atau wajib. C. Pengertian Khabar Menurut bahasa, khabar artinya warta atau berita yang disampaikan dari seseorang ke orang lain. Khabar menurut istilah ahli hadits yaitu segala sesuatu yang disandarkan atau berasal dari nabi SAW atau dari yang selain nabi SAW. Karena itu khabar dikatakan lebih umum dari hadits. Dan khabar lebih patut dijadikan sinonimnya hadits dari pada sunnah. Karena itu, sebagian ulama berpendapat bahwa khabar itu mencakup segala sesuatu yang datang dari selain nabi SAW, sedangkan hadits khusus untuk segala sesuatu yang berasal dari nabi SAW. D. Pengertian Atsar Menurut bahasa, atsar artinya bekas atau sisa sesuatu. Sedangkan menurut istilah ada beberapa pendapat, antara lain: 1. Atsar adalah sinonim dari khabar sunnah dan hadits. 2. Atsar adalah sesuatu yang disandarkan kepada salaf dari sahabat dan tabiin. 3. Atsar adalah al marfu ( hadits yang sanadnya sampai kepada Rasulullah ), al mauquf (

hadits yang sanadnya hanya sampai kepada sahabat dan tabiin ). 4. Atsar adalah hadits mauquf ( ini merupakan pendapat ahli fiqih khurasan ).

Hadis qudsi adl hadis yg oleh Rasulullah saw. disandarkan kepada Allah.
Perbedaan Hadits Qudsi & Hadits Nabawi Hadits Qudsi >Secara bahasa, kata qudsi adalah nisbah dari kata quds >Hadits qudsi adalah firman atau perkataan Allah SWT, namun jenis firman Allah SWT yang tidak termasuk Al-Quran. Hadits qudsi tetap sebuah hadits, hanya saja Nabi Muhammad SAW menyandarkan hadits qudsi kepada Allah SWT. Maksudnya, perkataan Allah SWT itu diriwayatkan oleh Nabi Muhammad SAW dengan redaksi dari diri beliau sendiri. Bila seseorang meriwayatkan hadis qudsi, maka dia meriwayatkannya dari Rasulullah SAW dengan disandarkan kepada Allah, dengan mengatakan: Rasulullah SAW mengatakan mengenai apa yang diriwayatkannya dari Tuhannya`, atau ia mengatakan: Rasulullah SAW mengatakan: Allah Ta`ala telah berfirman atau berfirman Allah Ta`ala.` Contoh hadits qudsi antara lain: Dari Abu Hurairah ra. dari Rasulullah SAW yang meriwayatkan dari Allah azza wajalla: Tangan Allah penuh, tidak dikurangi lantaran memberi nafkah, baik di waktu siang maupun malam. Contoh yang lainnya: Dari Abu Hurairah Ra, bahwa Rasulullah SAW berkata: ` Allah ta`ala berfirman: Aku menurut sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Aku bersamanya bila ia menyebut-Ku.bila menyebut-KU di dalam dirinya, maka Aku pun menyebutnya di dalam diri-Ku. Dan bila ia menyebut-KU di kalangan orang banyak, maka Aku pun menyebutnya di dalam kalangan orang banyak lebih dari itu. Hadits Nabawi Sedangkan hadits nabawi adalah segala yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir atau sifat. Yang berupa perkataan seperti perkataan Nabi SAW: Sesungguhnya sahnya amal itu disertai dengan niat. Dan setiap orang bergantung pada niatnya. Sedangkan yang berupa perbuatan ialah seperti ajaranya pada sahabat mengenai bagaimana caranya mengerjakan shalat, kemudian ia mengatakan: Shalatlah seperti kamu melihat aku melakukan shalat. Juga mengenai bagaimana ia melakukan ibadah haji, dalam hal ini Nabi saw. Berkata: Ambilah dari padaku manasik hajimu. Sedang yang berupa persetujuan ialah seperti beliaumenyetujui suatu perkara yang dilakukan salah seorang sahabat, baik perkataan atau pun perbuatan, baik dilakukan di hadapan beliau atau tidak, tetapi beritanya sampai kepadanya. Misalnya mengenai makanan biawak yang dihidangkan kepadanya, di mana beliaudalam sebuah riwayattelah mendiamkannya yang berarti menunjukkan bahwa daging biawak itu tidak haram dimakan.

Perbedaan Hadis Qudsi dan Hadis Nabawi Hadis nabawi itu ada dua macam, yaitu: a. Tauqifi Yang bersifat tauqifi yaitu yang kandungannya diterima oleh Rasulullah SAW dari wahyu, lalu ia menjelaskan kepada manusia dengan kata-katanya sendiri. Bagian ini, meskipun kandungannya dinisbahkan kepada Allah, tetapi dari segi pembicaraan lebih dinisbahkan kepada Rasulullah SAW, sebab kata-kata itu dinisbahkan kepada yang mengatakannya, meskipun di dalamnya terdapat makna yang diterima dari pihak lain. b. Taufiqi Yang bersifat taufiqi yaitu: yang disimpulkan oleh Rasulullah SAW menurut pemahamannya terhadap Quran, karena ia mempunyai tugas menjelaskan Quran atau menyimpulkannya dengan pertimbangan dan ijtihad. Bagian kesimpulannyang bersifat ijtihad ini, diperkuat oleh wahyu jika ia benar, dan jika terdapat kesalahan didalamnya, maka turunlah wahyu yang membetulkannya. Bagian ini bukanlah kalam Allah secara pasti. Dari sini jelaslah bahwa hadis nabawi dengan kedua bagiannya yang tauqifi dan taufiqi dengan ijtihad yang diakui oleh wahyu itu bersumber dari wahyu. Da inilah makna dari firman Allah tentang Rasul kita Muhammad wahyu yang diwahyukan (QS An-Najm:3-4). Hadis qudsi itu maknanya dari Allah, ia disampaikan kepada Rasulullah SAW melalui salah satu cara penurunan wahyu, sedang lafadznya dari Rasulullah SAW, inilah pendapat yang kuat. Dinisbahkannya hadis qudsi kepada Allah SWT adalah nisbah mengenai isinya, bukan nisbah mengenai lafadznya. Sebab seandainya hadis qudsi itu lafalnya juga dari Allah, maka tidak ada lagi perbedaan antara hadis qudsi dengan Al-Quran. Dan tentu pula gaya bahasanya menuntut untuk ditantang, serta membacanya pun diangggap ibadah. Mengenai hal ini timbul dua pertanyaan menggelitik: Pertama, bahwa hadis nabawi ini juga wahyu secara maknawi, yang lafaznya dari Rasulullah SAW, tetapi mengapa hadis nabawi tidak kita namakan juga hadits qudsi? Jawabnya ialah bahwa kita merasa pasti tentang hadis qudsi bahwa ia diturunkan maknanya dari Allah karena adanya nash syara` yang menisbahkannya kepada Allah, yaitu kata-kata Rasulullah SAW: Allah Ta`ala telah berfirman, atau Allah Ta`ala berfirman. Itulah sebabnya kita namakan hadis itu adalah hadis qudsi. Hal ini berbeda dengan hadis-hadis nabawi, kerena hadis nabawi tidak memuat nash tentang hal seperti ini. Di samping itu bisa jadi isinya diberitahukan (kepada Nabi) melalui wahyu (yakni secara tauqifi), namun mungkin juga disimpulkan melalui ijtihad (yaitu secara taufiqi), dan oleh sebab itu kita namakan masingmasing dengan nabawi sebagai terminal nama yang pasti. Seandainya kita mempunyai bukti untuk membedakan mana wahyu tauqifi, tentulah hadis nabawi itu kita namakan pula hadis qudsi. saw.: Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah

Pertanyaan kedua, bila lafal hadis qudsi itu dari Rasulullah SAW, maka dengan alasan apakah hadits itu dinisbahkan kepada Allah melalui kata-kata Nabi? Jawabnya ialah bahwa hal yang demikian ini biasa terjadi dalam bahasa Arab, yang menisbahkan kalam berdasarkan kandungannya bukan berdasar lafadznya. Misalnya ketika kita mengubah sebait syair menjadi prosa, kita katakan `si penyair berkata demikian`. juga ketika kita menceritakan apa yang kita dengar dari seseorang kita pun mengatakan `si fulan berkata demikian`. Begitu juga Al-Quran menceritakan tentang Nabi Musa, Fir`aun dan sebagainya isi kata-kata mereka dengan lafal mereka dan dengan gaya bahasa yang bukan pula gaya bahasa mereka, tetapi dinisbatkan kepada mereka. `Dan ketika Tuhanmu menyeru Musa: `Datangilah kaum yang zalim itu, kaum Fir`aun. Mengapa mereka tidak bertakwa?` Berkata Musa: `Ya Tuhanku, sesungguhnya aku takut bahwa mereka akan mendustakan aku. Dan sempitlah dadaku dan tidak lancar lidahku maka utuslah kepada Harun. Dan aku berdosa terhadap mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku.Maka datanglah kamu berdua kepada Fir`aun dan katakanlah olehmu: `Sesungguhnya Kami adalah Rasul Tuhan semesta alam, lepaskanlah Bani Israil beserta kami`.Fir`aun menjawab: `Bukankah kami telah mengasuhmu di antara kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu. dan kamu telah berbuat suatu perbuatan yang telah kamu lakukan itu dan kamu termasuk golongan orangorang yang tidak membalas guna. Berkata Musa: `Aku telah melakukannya, sedang aku di waktu itu termasuk orang-orang yang khilaf. Lalu aku lari meninggalkan kamu ketika aku takut kepadamu, kemudian Tuhanku memberikan kepadaku ilmu serta Dia menjadikanku salah seorang di antara rasulrasul. Budi yang kamu limpahkan kepadaku itu adalah kamu telah memperbudak Bani Israil`.Fir`aun bertanya: `Siapa Tuhan semesta alam itu?` Musa menjawab: `Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apaapa yang di antara keduanya, jika kamu sekalian mempercayai-Nya`. (Asy-Syuara`: 10-24)

1.

Proses Kodifikasi Hadis

Rasulullah SAW tidak pernah memerintahkan untuk membukukan hadistsemasa hidupnya hingga beliau wafat. Sehingga, pembukuan hadist-hadist Rasul SAW oleh para sahabat dan salafusshalih dikategorikan dalam bid'ah hasanah yang wajib dilakukan (bid'ah wajib), karena jika tidak dibukukan maka dikhawatirkan akan hilang ditelan jaman. Setelah Rasulullah Shallallhu alaihi wasallam wafat, para Sahabat dihadapkan padaproblem kodifikasi al-Quran dalam satu mushaf. Dalam proses kodifikasi ini, paraSahabat tidak menemukan banyak kendala, karena yang dilakukan oleh mereka hanya pemaduan antara hafalan dengan naskah-naskah al-Quran yang sudah ada, kemudian disatukan dalam satu mushaf. Berbeda dengan proses kodifikasi al-Quran, kodifikasi Hadis yang dilakukan generasi tabiin lebih sulit dan banyak menghadapi kendala. Ini karena Hadis lebih banyak terpelihara dalam ingatan daripada dalam bentuk naskah. Naskah Hadis sangat minim dan hanya dimiliki oleh segelintir Sahabat yang sempat mendapat legitimasi langsung dari Nabi

Shallallhu alaihi wasallam untuk mencatat Hadis, juga karena Hadis lebih banyak diriwayatkan secara hd (individual) yang kemudian para rawinya tersebar luas ke berbagai daerah seiring meluasnya wilayah kekuasaan Islam. Ditambah lagi dengan rentang waktu yang cukup lama antara Nabi Muhammad Shallallhu alaihi wasallam dengan para penghimpun Hadis.Hal ini semakin menambah rumit tugas ini. Kodifikasi Hadis pertama kali dilakukan pada penghujung abad pertama dan permulaan abad kedua Hijriah, atas inisiatif dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz (w 101 H). Inisiatif ini didasari kekhawatiran beliau akan lenyapnya Hadis Nabi Shallallhu alaihi wasallam seiring semakin banyak para penghafal Hadis yang berguguran di medan perang. Beliau memberi mandat pada Abu Bakr bin Hazmhakim Madinahuntuk menghimpun Hadis. Mandat ini kemudian diteruskan pada semua pejabatnya (ummal) diseluruh penjuru Negeri Islam. Ibnu Syihab az-Zuhri tercatat sebagaiorang pertama yang mengamini mandat tersebut dan segera melakukan penghimpunan Hadis, namun sampai sekarang belum ditemukan naskahnya. Naskah Hadis tertua yang ada hingga saat ini adalah al-Muwaththa karya Imam Malik (w 176 H). Setelah itu menyusul Imam asy-Syafii dengan menyusun kitab al-Umm. Kedua kitab ini tidak murni memuat Hadis-Hadis Rasulullah Shallallhu alaihi wasallam, tapi juga memuat fatwa-fatwa sahabat dan tabiin. Pekerjaan penghimpunan Hadis ini berjalan hingga penghujung abad kedua Hijriah. Pada awal-awal periode penghimpunan Hadis, para kolektor Hadis belum begitu memperhatikan kapasitas dan kualitas Hadis. Mereka menghimpun Hadis tanpa memilah dan memilihnya terlebih dulu, sehingga Hadis yang mereka himpun beraneka ragam, ada yang sahih juga ada yang lemah. Perhatian pada kapasitas dan kualitas Hadis baru dilakukan oleh Imam Malik pada pertengahan abad kedua Hijirah. Beliau menyeleksi Hadis-Hadis yang terdapat dalam kitab beliau sendiri, al-Muwaththa. Hadis-hadis yang terhimpun dalam kitab itu asalnya sekitar 10000 Hadis, kemudian Imam Malik meyeleksinya hingga menjadi sekitar 500 Hadis berkualitas dan berkapasitas maqbl (bisa diterima). Sedangkan penyusunan metodologi ilmu Hadis yang sistematis (musthalah al-Hadits) baru dilakukan pada periodesetelahnya kira-kira abad ketiga Hijriyah. Abu Muhammad arRamahurmuzi (w 360 H) adalah orang pertama yang menusunnya, dan beliau memberi nama karyanya tersebut al-Muhaddits al-Fshil bainar-Rwi wal-Wi

Sejarah Pembinaan dan Penghimpunan Hadist Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bi Abdul Azis yakni tahun 99 Hijriyah datanglah angin segar yang mendukung kelestarian hadits, Maka pada tahun 100 H Khalifah Umar bin Abdul Azis memerintahkan kepada gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm supaya membukukan hadits-hadits Nabi yang terdapat pada para penghafal.

A. PENULISAN HADIST Para penulis sejarah Rasul, ulama hadis, dan umat Islam semuanya sependapat menetapkan bahwa AI-Quranul Karim memperoleh perhatian yang penuh dari Rasul dan para sahabatnya.

Rasul mengharapkan para sahabatnya untuk menghapalkan AI-Quran dan menuliskannya di tempat-tempat tertentu, seperti keping-keping tulang, pelepah kurma, di batu-batu, dan sebagainya. Ketika Rasulullah SAW. wafat, Al-Quran telah dihapalkan dengan sempurna oleh para sahabat. Selain itu, ayat-ayat suci AI-Quran seluruhnya telah lengkap ditulis, hanya saja belum terkumpul dalam bentuk sebuah mushaf. Adapun hadis atau sunnah dalam penulisannya ketika itu kurang memperoleh perhatian seperti halnya Al-Quran. Penulisan hadis dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi, karena tidak diperintahkan oleh Rasul sebagaimana ia memerintahkan mereka untuk menulis AI-Quran. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki catatan hadis-hadis Rasulullah SAW. Mereka mencatat sebagian hadis-hadis yang pernah mereka dengar dari Rasulullah SA W. Diantara sahabat-sahabat Rasulullah yang mempunyai catatan-catatan hadis Rasulullah adalah Abdullah bin Amr bin AS yang menulis, sahifah-sahifah yang dinamai As-Sadiqah. Sebagian sahabat menyatakan keberatannya terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh Abdullah itu Mereka beralasan bahwa Rasulullah telah bersabda. Artinya: Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dari aku selain Al- Quran. Dan barang siapa yang lelah menulis sesuatu dariku selain Al- Quran, hendaklah dihapuskan. (HR. Muslim) Dan mereka berkata kepadanya, Kamu selalu menulis apa yang kamu dengar dari Nabi, padahal beliau kadang-kadang dalam keadaan marah, lalu beliau menuturkan sesuatu yang tidak dijadikan syariat umum. Mendengar ucapan mereka itu, Abdullah bertanya kepada Rasulullah SAW. mengenai hal tersebut. Rasulullah kemudian bersabda: Artinya: Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi Tuhan yang jiwaku di tangannya. tidak keluar dari mulutku. selain kebenaran . Menurut suatu riwayat, diterangkan bahwa Ali mempunyai sebuah sahifah dan Anas bin Malik mempunyai sebuah buku catatan. Abu Hurairah menyatakan: Tidak ada dari seorang sahabat Nabi yang lebih banyak (lebih mengetahui) hadis Rasulullah daripadaku, selain Abdullah bin Amr bin As. Dia menuliskan apa yang dia dengar, sedangkan aku tidak menulisnya. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa larangan menulis hadis dinasakh (dimansukh) dengan hadis yang memberi izin yang datang kemudian. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa Rasulullah tidak menghalangi usaha para sahabat menulis hadis secara tidak resmi. Mereka memahami hadis Rasulullah SAW. di atas bahwa larangan Nabi menulis hadis adalah ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan akan mencampuradukan hadis dengan AI-Quran Sedangkan izin hanya diberikan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan mencampuradukan hadis dengan Al-Quran. Oleh karena itu, setelah AlQuran ditulis dengan sempurna dan telah lengkap pula turunannya, maka tidak ada Jarangan untuk menulis hadis. Tegasnya antara dua hadis Rasulullah di atas tidak ada pertentangan

manakala kita memahami bahwa larangan itu hanya berlaku untuk orang-orang tertentu yang dikhawatirkan mencampurkan AI-Quran dengan hadis, dan mereka yang mempunyai ingatan/kuat hapalannya. Dan izin menulis hadis diberikan kepada mereka yang hanya menulis sunah untuk diri sendiri, dan mereka yang tidak kuat ingatan/hapalannya
1. Macam macam hadist dilihat dari segi kualitasnya 1. Hadist Mutawatir, dibedakan atas : Mutawatir Lafdzi Mutawatir manawi Mutawatir amali

1. Hadist Ahad, dibagi menjadi : Hadist Masyhur Hadist ghairu masyhur

1. Macam macam hadist dilihat dari segi kuantitasnya :

Kuantitas hadis disini yaitu dari segi jumlah orang yang meriwayatkan suatu hadis atau dari segi jumlah sanadnya. Jumhur (mayoritas) ulama membagi hadis secara garis besar menjadi dua macam, yaitu hadismutawatir dan hadis ahad , disamping pembagian lain yang diikuti oleh sebagian para ulama, yaitu pembagian menjadi tiga macam yaitu: hadis mutawatir , hadis masyhur (hadis mustafidh) dan hadis ahad .
1. Hadist maqbul 2. Hadist mardud Shahih Hasan Dhaiif

You might also like