You are on page 1of 17

Pembentukan, Kemajuan, Kemunduran, dan Kejatuhan Khilafah Fatimiyah di Mesir

http://limalaras.wordpress.com/2011/04/15/pembentukan-kemajuan-kemunduran-dan-kejatuhankhilafah-fatimiyah-di-mesir/ Posted on 15/04/2011 by 5 Laras Keruntuhan sedikit demi sedikit hegemoni Daulah Abbasiyah sebuah konsekwensi dari lemahnya kepemimpinan dan dukungan politik dari berbagai daerah kekuasaan. Tuntutan otonomi daerah bertopeng kepentingan agama demi kekuasaan juga memperlihatkan perannya. Lebih dari itu, tuntutan perkembangan zaman dan kemajuan masyarakat serta merta mengubah cara pandang yang tidak bisa tunduk dengan kezaliman selamanya. Di atas puing-puing keruntuhan itu, ada banyak dinasti muncul dalam arti memerdekakan diri, yang berangkat dari akar kepentingan politik kekuasaan dan perbedaan pemahaman agama, suku, ras dan bangsa. Terutama aliran besar dalam Islam, Sunni dan Syiah yang selalu bergesekan dalam bidang politik dan kekuasaan. Aliran ini pada dasarnya, merupakan alasan klasik yang selalu terjadi dalam sejarah Islam.[1] Menurut Teori Ibnu Khaldun, apabila negara telah berdiri teguh ia dapat meninggalkan solidaritas, dengan sendirinya, rakyat akan membenci negara. Apalagi dengan sistem kerajaan, sifat kekuasaan yang turun temurun memiliki kelemahan apabila anggota keluarga melupakan solidaritas sosial.[2] Bani Abbasiyah mengalaminya tetapi tidak menjadi pemikiran bagi kerajaan sesudahnya, yang juga besar dari rasa solidaritas ketertindasan. Lebih jauh Ibnu Khaldun menuliskan analisanya : Demikianlah yang terjadi dengan Bani Idris di Maghribi Jauh, dan Bani Ubaidi (Fathimiyah) di Afrika dan Mesir, ketika Thalibiyyun menyingkir dari Timur, lari dari pusat khalifah serta merusaha merampasnya dari tangan Bani Abbas. Hal itu terjadi setelah bentuk superioritas material mengokoh dimilikioleh Bani Abdi Manaf bagi Bani Ummayyah pertama kali, kemudian Bani Hasyim sesudahnya. Dari daerah yang jauh dari Maghribi, mereka keluar dan mempropagandakan diri. Berkali-kali orang Barbar (Berber) membantu usaha mereka, yaitu suku Aurubah dan Magghilah untuk Bani Idris, serta suku Kutamah, Sanhajah dan Hawwarah untuk Bani Ubaidi (Fathimiyah). Suku-suku ini memperkuat dan memperkokohkan negara dan pemerintahan mereka dengan solidaritas sosial yang mereka miliki. Kerajaan yang bernaung di bawah Bani Abbas semuanya mereka kuasai, pertama yang ada di Maghribi dan kemudian terdapat di Afrika. Dinasti Abbasiyah terus menuju kehancurannya. Sementara itu Dinasti Bani Ubaidi meluas dan semakin melebarkan kekuasaannya hingga Mesir, Syria, dan Hejaz. Orang-orang Barbar patuh kepada Bani Ubaidi dan berlomba-lomba, mereka sebenarnya berkeinginan untuk menduduki jabatan penting sebagai suatu penyerahan kepada kekuatan yang akan dicapai mereka. Kedaulatan yang bukan hanya untuk mereka tetapi akan dimiliki juga turun temurun oleh generasi mereka, hingga dinasti Arab hancur bersama seluruh marganya. Dan Allah menetapkan hukum, tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya. (Q.S. ar-Rad: 41).[3]

Kata kunci dari kekuasaan bagi Ibnu Khaldun adalah solidaritas, jika ia ada maka terbangunlah sebuah kekuasaan, baik berbentuk dinasti, daulah dan lain-lain. Hanya saja, seringkali terjadi, generasi sesudah pendiri, yaitu generasi penerus, tidak terpilih atas solidaritas, ia terpilih atas keturunan. Inilah yang membuat kekuasaan bisa melemah. Makalah ini ditulis untuk melihat lebih dekat salah satu dinasti di dunia Islam yang juga disinggung oleh Ibnu Khaldun di atas, yaitu Dinasti Fathimiyah. Pembahasan akan difokuskan sejarah berdiri, kesuksesan dan kemunduran yang terjadi.
KHILAFAH FATIMIYAH DI MESIR (Pembentukan, Kemajuan dan Kemunduran) by Abu Muslim http://latenrilawa-transendent.blogspot.com/2009/06/sejarah-khilafah-fatimiyahmesir.html A. Latar Belakang Loyalitas terhadap Ali bin Abi Thalib adalah isu terpenting bagi komunitas Islam Syiah untuk mengembangkan konsep Islamnya melebihi isu hukum dan mistisme. Pada abad ke-VII dan ke-VIII Masehi isu tersebut mengarah kepada gerakan politis dalam bentuk perlawanan kepada Khilafah Umayyah dan Abbasiyah yang direalisasikan dengan upaya keras untuk merebut khilafah. Namun perjuangan mereka yang begitu lama dan berat untuk merebut kekuasaan ternyata belum membuahkan hasil, justru secara politis kaum Muslim Syiah mengalami penindasan dari Khilafah Umayyah dan Khilafah Abbasiyah. Meski Khilafah Abbasiyah mampu berkuasa dalam tempo yang begitu lama, akan tetapi periode keemasannya hanya berlangsung singkat. Puncak kemerosotan kekuasaan khalifah-khalifah Abbasiyah ditandai dengan berdirinya khilafah-khilafah kecil yang melepaskan diri dari kekuasaan politik Khilafah Abbasiyah. Khilafah-khilafah yang memisahkan diri itu salah satu diantaranya adalah Fatimiyah yang berasal dari golongan Syiah sekte Ismailiyah yakni sebuah aliran sekte di Syiah yang lahir akibat perselisihan tentang pengganti imam Jafar al-Shadiq yang hidup antara tahun 700 756 M. Fatimiyah hadir sebagai tandingan bagi penguasa Abbasiyah yang berpusat di Baghdad yang tidak mengakui kekhalifaan Fatimiyah sebagai keturunan Rasulullah dari Fatimah. Karena mereka menganggap bahwa merekalah ahlulbait sesungguhnya dari Bani Abbas. Dalam perkembangannya Khilafah Fatimiyah mampu membangun sistem perpolitikan yang begitu maju dan ilmu pengetahuan yang juga berkembang pesat, namun sebagaimana dinasti kekhilafaan sebelumnya, Khilafah Fatimiyah juga mengalami zaman kemunduran dan kehancuran. Untuk itu kajian lebih mendalam tentang eksistensi Khilafah Fatimiyah layak dibahas untuk menggambarkan bagaimana sesungguhnya konstalasi pemerintahan dan peradaban pada masa Khilafah Bani Fatimiyah. B. Permasalahan

Dari paparan latar belakang tersebut di atas, maka yang jadi pokok permasalahan di sini adalah: Bagaimana eksistensi Khilafah Fatimiyah di Mesir. Agar kajian ini lebih sistematis maka masalah pokok tersebut akan dirinci ke dalam sub masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana Proses Pembentukan Khilafah Fatimiyah? 2. Apa Kemajuan yang dicapai oleh Khilafah Fatimiyah? 3. Bagaimana pula Proses Kemunduran dan Kehanccuran Khilafah Fatimiyah? BAB II PEMBAHASAN A. Proses Pembentukan Khilafah Fatimiyah Fatimiyah adalah dinasti syiah yang dipimpin oleh 14 khalifah atau imam di Afrika Utara (297-567 H / 909-1171 M). Dinasti ini dibangun berdasarkan konsep Syiah, keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah (anak Nabi Muhammad). Kata Fatimiyah dinisbahkan kepada Fatimah, karena pengikutnya mengambil silsilah keturunan dari Fatimah binti Rasulullah. Abbas Mahmud al-Aqqad menyatakan bahwa setiap keturunan Fatimah Az-Zahra disebut orang-orang Fatimi. Daulah Fatimiyah yang berarti suatu pemerintahan di bawah pimpinan/kekuasaan orang-orang Fatimi (keturunan Fatimah). Daulah Fatimiyah disebut juga dengan Daulah Ubaydiyah yang dinisbahkan kepada pendiri daulah ini yaitu Abu Muhammad Ubaidillah Al-Mahdi (297332 H / 909-934 M). orang-orang Fatimiyah disebut juga kaum Alawi yang dihubungkan dengan keturunan Ali bin Abi Thalib. Ubaidillah al-Mahdi sebagai pendiri daulah Fatimi mempunyai silsilah keturunan yang berasal dari Ali bin Abi Thalib seperti halnya sisilah imam-imam Syiah. Berdirinya Dinasti Fatimiyah bermula dari masa menjelang akhir abad ke-10, bilamana kekuasaan Dinasti Abbasiyah di Baghdad mulai melemah dan daerah kekuasaannya yang luas tidak terkoordinasikan lagi. Kondisi seperti ini telah membuka peluang bagi kemunculan dinasti-dinasti kecil di daerah-daerah, terutama yang gubernur dan sultannya memiliki tentara sendiri. Kondisi Abbasiyah ini juga telah menyulut timbulnya pemberontakan dari kelompok-kelompok yang selama ini merasa tertindas serta mebuka kesempatan bagi kelompok Syiah, Khawarij dan kaum Mawali untuk melakukan kegiatan politik. Munculnya gerakan fatimiyah, yang di Afrika Utara mencapai kekuasaannya di bawah pimpinan Ubaidillah al-Mahdi, berakar pada sekte syiah ismailiyah yang doktrindoktrinnya berdimensi politik, agama, filsafat dan sosial dan para pengikutnya mengharapkan kamunculan al-Mahdi. Mereka mengaku sebagai keturunan Nabi saw melalui Ali dan Fatimah melalui garis Ismail, putra Jafar as-Sadiq. Namun musuhmusuh mereka manolak bahwa asal-usul mereka tersebut adalah dari Ali, menuduh mereka panipu dan sesuai dengan kebiasaan Arab kuno untuk memberi asal-usul Yahudi pada orang-orang yang mereka benci; Ubaidillah dituduh sebagai keturunan Yahudi. Sampai sekarang pun asal-usul mereka tersebut masih belum diketahui kepastiannya. Di Afrika Utara, kelompok Syiah Ismailiah mengkonsolidasikan gerakannya, dan pada tahun 909 Ubaidillah al-Mahdi memproklamirkan berdirinya Khalifah Fatimiyah yang terlepas dari kekuasaan Abbasiyah. Ia mulai memperkuat dan mangkonsolidasikan

khilafahnya di Tunisia dengan bantuan Abdullah asy-syii, seorang dai Ismailiyah yang sangat berperan dalam mendirikan Daulah Fatimiyah di Tunis. Waktu itu muncul juga perlawanan-perlawanan terhadap khilafah ini dari kelompok-kelompok pendukung Abbasiyah, kelompok yang berafiliasi ke Dinasti Umayyah di Andalusia maupun kelompok Khawarij dan Barbar. Setelah basis kekuasaan di Tunis kuat, Khilafah Fatimiyah di bawah al-Muizz (Khalifah keempat) dengan panglimanya Jauhar al-Katib as-Siqilli dapat menguasai Mesir pada tahun 969. Ia mendirikan kota baru yang disebut al-Qahirah (Kairo) yang berarti kota kemenangan dan kemudian menjadi ibukota Khilafah Fatimiah pada masa-masa selanjutnya. Mesir memasuki era baru di bawah pemerintahan Fatimiyah, Khalifah dengan gelar Muiz sistem pemerintahan dibenahi dengan membagi-bagi wilayah propinsi menjadi sebuah distrik dan mempercayakannya kepada pejabat-pejabat yang cakap, ia juga menertibkan bidang kemiliteran, industri dan perdagangan mengalami kemajuan pesat dan melakukan gerakan pembaharuan. Dinasti Fatimiyah merupakan Khilafah beraliran syiah yang berkuasa di Mesir tahun 297/909 M sampai 567/1171 M selama kurang lebih 262 tahun. Para penguasa yang pernah berkuasa adalah: 1. Abu Muhammad Abdullah (Ubaydillah) al-Mahdi bi'llah (909-934). 2. Abu l-Qasim Muhammad al-Qa'im bi-Amr Allah bin al-Mahdi Ubaidillah (934-946). 3. Abu Zahir Isma'il al-Mansur bi-llah (946-953). 4. Abu Tamim Ma'add al-Mu'izz li-Dinillah (953-975). 5. Abu Mansur Nizar al-'Aziz bi-llah (975-996). 6. Abu 'Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amrullah (996-1021). 7. Abu'l-Hasan 'Ali al-Tahir li-I'zaz Dinillah (1021-1036). 8. Abu Tamim Ma'add al-Mustanzir bi-llah (1036-1094) 9. al-Musta'li bi-llah (1094-1101). 10. al-Amir bi-Ahkamullah (1101-1130). 11. 'Abd al-Majid al-Zafir (1130-1149). 12. al-Zafir (1149-1154). 13. al-Fa'iz (1154-1160). 14. al-'Adid (1160-1171). B. Kemajuan yang Dicapai oleh Khilafah Fatimiyah Dinasti Fatimiyah mencapai puncaknya pada periode Mesir, terutama pada masa kepemimpinan al-Muizz, al-Aziz dan al-Hakim. Puncaknya adalah masa al-Aziz. Mesir senantiasa berada dalam kedamaian dan kemakmuran rakyatnya karena keadilan dan kemurahhatian sang khalifah. Nama sang khalifah selalu disebutkan dalam khutbahkhutbah Jumat di sepanjang wilayah kekuasaannya yang membentang dari Atlantik hingga Laut Merah. Al Aziz adalah khalifah kelima yang berkuasa di dinasti Fatimiyah dan merupakan khalifah pertama di Mesir. Pada masa ini terjadi perluasan wilayah dan pembangunan dalam kerajaan dan wilayah kerajaan, istananya bisa menampung 30.000 tamu, masjidnya sangat megah, perhubungan sangat lancar, dan keamanan terjamin. Perekonomian dibangun, baik dari sektor pertanian, perdagangan maupun industri sesuai dengan perkembangan

teknologi pada waktu itu. Sumbangan dinasti Fatimiyah terhadap peradaban Islam sangat besar, baik dalam sistem pemerintahan, kebudayaan, politik maupun dalam bidang ilmu pengetahuan, kemajuan yang terlihat antara lain: Di Bidang Pemerintahan, Fatimiyah berhasil mendirikan sebuah Negara yang sangat luas dan peradaban yang berlainan yang jarang disaksikan di Timur. Hal ini sangat menarik perhatian karena sistem administrasinya yang sangat baik sekali, aktifitas artistiknya, luasnya toleransi religiusnya, efesiensi angkatan perang dan angkatan lautnya, kejujuran pengadilan-pengadilannya, dan terutama perlindungan terhadap ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Di Bidang Kebudayaan, dinasti ini juga mencapai kemajuan pesat, terutama setelah didirikannya Masjid al-Azhar yang sekarang dikenal dengan Jamiat al-Azhar (universitas al-Azhar), yang berfungsi sebagai pusat pengkajian Islam dan pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Bahkan selanjutnya Masjid al-Azhar ini telah dimanfaatkan dengan baik oleh kelompok Syiah maupun Sunni. Di Bidang Politik, dilakukan oleh Khilafah Fatimiyah dapat dilihat dari kebijakankebijakan yang bersifat politis yang dikeluarkan oleh khalifah, di antaranya: 1. Pemindahan pusat pemerintahan dari Qairawan (Tunisia) ke Kairo (Mesir) adalah merupakan langkah strategis. Mesir akan dijadikan sebagai pusat koordinasi dengan berbagai Negara yang tunduk padanya, karena lebih dekat dengan dunia Islam bagian Timur, sedangkan Qairawan jauh di sebelah utara Benua Afrika. 2. Perluasan wilayah. Pada masa khalifah al-Azis telah menguasai daerah yang meliputi negeri Arab sebelah timur sampai Laut Atlantik sebelah barat dan Asia kecil sebelah utara sampai Naubah sebelah selatan. 3. Pembentukan Wazir Tanfiz yang bertanggung jawab mengenai pembagian kekuasaan pusat dan daerah. Namun Fatimiyah kurang berhasil di bidang politik dalam dan luar negeri, terutama ketika menghadapi kelompok nasrani dan sunni yang sudah lebih dahulu mapan daripada Mesir. Di Bidang Keilmuan dan Kesusastraan. Ilmuwan yang paling terkenal pada masa Fatimiyah adalah Yakub Ibnu Killis yang berhasil membangun akademi keilmuan dan melahirkan ahli fisika bernama al-Tamimi dan juga seorang ahli sejarah yaitu Muhammad ibnu Yusuf al-Kindi dan seorang ahli sastra yang muncul pada masa Fatimiyah adalah al-AAzis yang berhasil membangun masjid al-Azhar. Kemajuan yang paling fundamental di bidang keilmuan adalah didirikannya lembaga keilmuan yang bernama Darul Hikam, serta pengembangan ilmu astronomi oleh ahli ibnu Yunus dan Ali al-Hasan dan Ibnu Hayam karyanya tentang tematik, astronomi, filsafat fan kedokteran telah dihasilkan pada masa al-Mansur terdapat perpustakaan yang di dalamnya berisi 200.000 buku dan 2400 illumited al-Quran. Di Bidang Ekonomi dan Sosial, Mesir mengalami kemakmuran ekonomi yang mengungguli daerah-daerah lainnya dan hubungan dagang dengan dunia non muslim dibina dengan baik, serta di masa ini pula banyak dihasilkan produk islam yang terbaik. Dikisahkan pada suatu Festifal, khalifah sangat cerah dan berpakaian indah, istana khalifah dihuni 30.000 orang terdiri 1200 pelayan dan pengawal, juga masjid

dan perguruan tinggi, rumah sakit dan pemondokan khalifah yang berukuran sangat besar menghiasi kota Kairo baru, pemandian umum yang dibangun dengan baik, pasar yang mempunyai 20.000 toko luar biasa besarnya dan dipenuhi berbagai produk dari seluruh dunia. Kemakmuran Mesir ini terjadi pada masa pemerintahan al-Azis yang memiliki sifat dermawan dan tidak membedakan antara syiah dan sunni, Kristen dan agama lainnya, sehingga banyak dai sunni yang belajar ke al-Azhar. Walaupun dinasti ini bersungguh-sungguh dalam mensyiahkan orang Mesir tapi tidak ada pemaksaan, inilah salah satu bentuk kebijakan yang diambil oleh khalifah Fatimiyah yang imbasnya sangat besar terhadap kemakmuran dan kehidupan sosial masyarakat Mesir. Dari pemaparan tersebut di atas dapatlah kiranya ditarik benang merah dari kemajuan yang dicapai Dinasti Fatimiyah antara lain karena: a. Pemimpinnya Bijaksana b. Militernya kuat. c. Administrasi pemerintahannya baik. d. Ilmu pengetahuan berkembang dan ekonomi stabil. e. Kehidupan bermasyarakat tentram dan damai. C. Masa Kemunduran dan Kehancuran Khilafah Fatimiyah Kemunduran Khilafah Fatimiyah dengan cepat terjadi setelah berakhirnya masa pemerintahan al-Aziz. Keruntuhan itu diawali dengan munculnya kebijakan untuk mengimpor tentara-tentara dari Turki dan Negro sebagaimana yang dilakukan Dinasti Abbasiyah. Ketidakpatuhan dan perselisihan yang terjadi diantara mereka, serta pertikaian dengan pasukan dari suku barber menjadi salah satu sebab utama keruntuhan Dinasti ini. Khalifah al-Azis meninggal pada tahun 386 H / 996 M lalu digantikan oleh putranya Abu Ali Manshur al-Hakim yang baru berusia 11 tahun. Pemerintahannya ditandai dengan tindakan-tindakan kejam yang menakutkan. Ia membunuh bebrapa orang wazirnya, menghancurkan beberapa gereja Kristen, termasuk di dalamnya kuburan suci umat Kristen (1009). Dia memaksa umat Kristen dan Yahudi untuk memakai jubah hitam, dan mereka hanya dibolehkan menunggangi kedelai; setiap orang Kristen diharuskan menunjukkan salib yang dikalungkan di leher ketika mandi, sedangkan orang Yahudi diharuskan memasang semacam tenggala berlonceng. Al-Hakim adalah khalifah ketiga dalam Islam, setelah al-Mutawakkil dan Umar II yang menetapkan aturan-aturan ketat kepada kalangan nonmuslim. Jika tidak, tentu saja keuasaan Fatimiyah akan sangat nyaman bagi kalangan dzimmi. Maklumat untuk menghancurkan kuburan suci ditandatangani oleh sekretarisnya yang beragama Kristen, Ibnu Abdun, dan tindakan itu merupakan sebab utama terjadinya perang salib. Pamor Dinasti Fatimiah semakin menurun karena banyaknya khalifah yang diangkat pada usia masih sangat belia, sehingga di samping mereka hanya menjadi boneka para wazir juga timbul konflik kepentingan di kalangan militer antara unsur Barbar, Turki, Bani Hamdan dan Sudan. Terlebih lagi, para penguasa itu selalu tenggelam

dalam kehidupan yang mewah dan adanya pemaksaan ideology Syiah pada rakyat yang mayoritas Sunni. Dalam kondisi khilafah yang sedang lemah, konflik kepentingan yang berkepanjangan di antara pejabat dan militer dan ketidakpuasan rakyat atas kebijakan pemerintah, muncul bayang-bayang serbuan tentara Salib. Merasa tidak sanggup menghadapi tentara Salib. Khalifah az-Zafir melalui wazirnya Ibnu Salar minta bantuan kepada Nuruddin az-Zanki, penguasa Suriah di bawah kekuasaan Baghdad. Nuruddin az-Zanki mengirim pasukannya ke Mesir di bawah panglima Syirkuh dan Salahuddin Yusuf bin al-Ayyubi yang kemudian berhasil membendung invasi tentara Salib ke Mesir. Dalam perkembangan selanjutnya, dalam tubuh Dinasti Fatimiah masih juga terjadi persaingan memperebutkan wazir. Dalam persaingan itu, bahkan ada yang mengundang kembali tentara Perancis (Salib) untuk dijadikan backing. Maka pada tahun 1167 pasukan Nuruddin az-Zanki kembali memasuki Mesir di bawah pimpinan Syirkuh dan Salahuddin. Kedatangan mereka kali ini tidak hanya untuk membantu melawan kaum Salib tetapi juga untuk menguasai Mesir. Daripada Mesir dikuasai oleh tentara Salib lebih baik mereka sendiri yang menguasaninya. Apalagi perdana menteri Mesir pada waktu itu, Syawar, telah melakukan penghianatan. Akhirnya mereka berhasil mengalahkan tentara Salib sekaligus juga menguasai Mesir. Semenjak itu kedudukan Salahuddin di Mesir semakin mantap. Ia mendapat dukungan dari masyarakat setempat yang mayoritas Sunni. Kesempatan ini, juga bertepatan dengan sakitnya al-Adid, oleh Nuruddin dipergunakan untuk menghidupkan kembali Khalifah Abbasiyah di Mesir. Maka pada tahun 1171 berakhirlah riwayat Dinasti Fatimiah di Mesir yang telah bertahan selama 262 tahun. BAB III PENUTUP Kesimpulan 1. Daulah Fatimiyah yang berarti suatu pemerintahan di bawah pimpinan/kekuasaan orang-orang Fatimi (keturunan Fatimah). karena pengikutnya mengambil silsilah keturunan dari Fatimah binti Rasulullah. 2. Kemajuan yang terlihat pada masa Khilafah Fatimiyah antara lain dipertegas dengan beberapa faktor antara lain: a. Pemimpinnya Bijaksana b. Militernya kuat. c. Administrasi pemerintahannya baik. d. Ilmu pengetahuan berkembang dan ekonomi stabil. e. Kehidupan bermasyarakat tentram dan damai 3. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kemunduran Khilafah fatimiyah, antara lain adalah: a. Banyaknya khalifah yang diangkat pada usia masih sangat belia. b. Konflik kepentingan yang berkepanjangan di antara pejabat dan militer dan ketidakpuasan rakyat atas kebijakan pemerintah. c. Terjadinya persaingan memperebutkan wazir.

DINASTI FATIMIYAH

Nov 27, '08 4:22 AM untuk semuanya

http://dwisri.multiply.com/journal/item/9/DINASTI_FATIMIYAH? &show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem Dinasti Fatimiyah mengalami puncak kejayaan pada masa khalifah alAziz. Pada masa ini istana dibangun dengan sangat megahnya hingga mampu menampung tamu sebanyak 30.000 orang, demikian juga masjid dibangun dengan megahnya, sektor perhubungan lancar, keamanan terjamin, perekonomian dibangun, baik sektor pertanian, perdagangan maupun industri, sesuai dengan perkembangan teknologi pada masa itu. Dinasti ini dapat maju antara lain karena: militernya kuat, administrasi pemerintahannya baik, ilmu pengetahuan berkembang, dan ekonominya stabil. Namun setelah masa al-Aziz Dinasti Fatimiyah mengalami kemunduran dan akhirnya hancur, setelah berkuasa selama 262 tahun[1]. Kemunduran Dinasti Fatimiyah Kemunduran Dinasti Fatimiyah berawal pada pemerintahan Khilafah alHkim. Ketika diangkat menjadi khalifah ia baru berumur 11 tahun. Al-Hkim memerintah dengan tangan besi, masanya dipenuhi dengan tindak kekerasan dan kekejaman. Ia membunuh beberapa orang wazirnya, menghancurkan beberapa gereja kristen, termasuk sebuah gereja yang di dalamnya terdapat Kuburan Suci umat Kristen. Maklumat penghancuran Kuburan Suci ini ditandatangani oleh sekretarisnya yang beragama Kristen, Ibn Abdn. Peristiwa ini merupakan salah satu penyebab terjadinya Perang Salib[2]. Ia memaksa umat Kristen dan Yahudi memakai jubah hitam, dan mereka hanya diperbolehkan menunggangi keledai. Orang-orang Yahudi dan Nasrani dibunuh dan aturan-aturan tidak ditegakan dengan konsisten. Ia juga dengan mudah membunuh orang yang tidak disukainya, bahkan pernah membakar sebuah desa tanpa alasan yang jelas. Kemudian pada tahun 381 H / 991 M ia menyerang Aleppo dan berhasil merebut Homz dan Syaizar dari tangan penguasa Arab. Peristiwa ini menimbulkan sikap oposan dari penduduk dan menyeret Daulah Fatimiyah dalam konflik dengan Bizantium. Walaupun pada akhirnya al-Hkim berhasil mengadakan perjanjian damai dengan Bizantium selama sepuluh tahun[3]. Al-Hkim kemudian memilih mengikuti perkembangan ekstrem ajaran Ismailiyah, dan menyatakan dirinya sebagai penjelmaan Tuhan[4]. Ia meninggalkan istana dan berkelana hingga akhirnya terbunuh di Mukatam pada 13 Pebruari 1021. Kemungkinan ia dibunuh oleh persekongkolan yang dipimpin adik perempuannya, Sitt al-Mulk, yang telah diperlakukan tidak hormat olehnya[5].

Al-Hkim kemudian digantikan oleh az-Zhir, anaknya sendiri. Ketika diangkat menjadi khalifah ia baru berumur 16 tahun. Pada mulanya Dinasti Fatimiyah didirikan oleh bangsa Arab dan orang Barbar, tapi ketika masa azZhir situasi berubah, khalifah lebih mendekati keturunan Turki. Hal ini menjadi pemicu timbulnya pertikaian antara orang Turki dan suku Barbar di dalam pemerintahan Fatimiyah. Az-Zhir mendapat izin dari Konstantin ke VIII agar namanya disebutkan dimasjid-masjid yang berada di bawah kekuasaan sang kaisar. Ia juga mendapat izin untuk memperbaiki masjid yang berada di Konstantinopel. Ini semua sebagai balasan terhadap restu sang khalifah untuk membangun kembali gereja yang didalamnya terdapat Kuburan Suci, dimana dulu gereja ini dihancurkan oleh al-Hkim. Setelah meninggal az-Zhir kemudian digantikan oleh anaknya sendiri yang baru berusia 11 tahun, yaitu al-Mustanshir[6]. Mulai masa ini sistem pemerintahan Dinasti Fatimiyah berubah menjadi parlementer, artinya khalifah hanya berfungsi sebagai simbol saja, sementara pemegang kekuasaan pemerintahan adalah para mentri. Oleh karena itulah masa ini disebut ahdu nufuzil wazara (masa pengaruh mentri-mentri)[7]. AlMustanshir sebagaimana juga az-Zhir lebih mendekati keturunan Turki, hingga muncul dua kekuatan besar yaitu Turki dan Barbar. Perang saudarapun tidak dapat dielakan. Setelah meminta bantuan Badrul Jamal dari Suriah, khalifah dan orang Turki dapat mengalahkan Barbar, dan berakhirlah kekuasaan orang Barbar di dalam Dinasti Fatimiyah[8]. Pada masa al-Mustanshir ini kekuasaan Dinasti Fatimiyah di wilayah Suriah mulai terkoyak dengan cepat. Sementara di Palestina sering terjadi pemberontakan terbuka. Sebuah kekuatan besar yang datang dari timur, yaitu bani Saljuk dari Turki, juga membayang-bayangi. Pada waktu yang bersamaan propinsi-propinsi Fatimiyah di Afrika memutuskan hubungan dengan pusat kekuasaan, bermaksud memerdekakan diri dan kembali kepada sekutu lama mereka, Dinasti Abasiyyah. Pada tahun 1052, suku Arab yang terdiri dari bani Hilal dan bani Sulaim yang mendiami dataran tinggi Mesir memberontak. Mereka bergerak ke bagian barat dan berhasil menduduki Tripoli dan Tunisia selama beberapa tahun[9]. Sementara itu pada tahun 1071, sebagian besar wilayah Sisilia, yang mengakui kedaulatan Fatimiyah dikuasai oleh bangsa Normandia yang daerah kekuasaannya terus meluas hingga meliputi sebagian pedalaman Afrika. Hanya kawasan Semenanjung Arab yang mengakui kekuasaan Fatimiyah. Az-Zhir kemudian digantikan oleh al-Mustanshir. Di masa ini terjadi kekacauan dimana-mana. Kericuhan dan pertikaian terjadi antara orang-orang Turki, suku Barbar dan pasukan Sudan. Kekuasaan negara lumpuh dan kelaparan yang terjadi selama tujuh tahun telah melumpuhkan perekonomian negara. Di tengah kekacauan itu, pada tahun 1073 khalifah memanggil Badr al-Jamal, orang Armenia bekas budak dari kegubernuran Akka dan memberinya wewenang untuk bertindak sebagai wazir dan panglima tertinggi. Amr al-Juys (komandan Perang) yang baru ini mengambil komando dengan

seluruh kekuatan yang ia punya untuk memadamkan berbagai kekacauan dan memberikan nyawa baru pada pemerintahan Fatimiyah. Tapi usaha ini, yang juga diteruskan oleh anak dan penerus al-Mustanshir yaitu al-Afdhal, tidak dapat menahan kemunduran Dinasti ini. Tahun-tahun terakhir dari kekuasaan Dinasti Fatimiyah ditandai dengan munculnya perseteruan yang terus menerus antara para wazir yang didukung oleh kelompok tentaranya masing-masing. Setelah al-Mustanshir wafat, terjadi perpecahan serius dalam tubuh Ismailiah. Perpecahan itu terjadi antara dua kelompok yang berada di belakang kedua anak al-Mustansir yaitu Nizar dan alMustali. Pendukung Nizar lebih aktif, ekstrim dan menjadi gerakan pembunuh. Sedangkan pendukung al-Mustali lebih moderat. Akhirnya yang terpilih menjadi khalifah adalah al-Mustali karena ia didukung oleh al-Afdhal. Al-Afdhal mendukung al-Mustali dengan harapan ia akan memerintah dibawah pengaruhnya. Akan tetapi basis spiritual Ismailiah menjadi runtuh. Setelah alMustali wafat, al-Amin, anak al-Mustali yang baru berumur lima tahun diangkat sebagai khalifah. Al-Amin kemudian digantikan oleh al-Hafidz. Ketika ia meninggal kekuasaannya benar-benar hanya sebatas istana kekhalifahan saja. Anak dan penggantinya, az-Zhafir diangkat menjadi khalifah dalam usia yang masih sangat muda hingga. Merasa tidak mampu menghadapi tentara salib, khalifah az-Zafir melalui wazirnya Ibnu Salar, meminta bantuan kepada Nuruddin azZanki, penguasa Suriah di bawah kekuasaan Baghdad. Nurudin mengirim pasukannya ke Mesir di bawah panglima Syirkuh dan Salahuddin Yusuf bin alAyubi yang kemudian berhasil membendung invasi tentara salib ke Mesir. Kemudian kekuasaan az-Zafir direbut oleh wazirnya, Ibnu Sallar. Tapi Ibnu Sallar kemudian dibunuh, dan az-Zafir juga terbunuh secara misterius. Kemudian naiklah al-Faiz, anak az-Zhafir yang baru berusia empat tahun, sebagai khalifah. Khalifah kecil ini meninggal dalam usia 11 tahun dn digantikan oleh sepupunya al-Adhid yang baru berumur sembilan tahun[10]. Maka pada tahun 1167 M pasukan Nuruddin az-Zanki untuk kedua kalinya kembai memasuki Mesir di bawah pimpinan Syirkuh dan Salahuddin. Kedatangan mereka kali ini tidak hanya membantu melawan kaum salib tetapi juga untuk menguasai Mesir. Daripada Mesir dikuasai tentara salib, lebih baik mereka sendiri yang menguasainya. Apalagi Perdana Mentri Mesir waktu itu, Syawar, telah melakukan penghianatan. Akhirnya pasukan Nuruddin berhasil mengalahkan tentara salib dan menguasai Mesir[11]. Semenjak itu kedudukan Salahuddin di Mesir semakin mantap. Apalagi ia mendapat dukungan dari masyarakat yang mayoritas sunni. Peristiwa ini menyebabkan menguatnya pengaruh Nuruddin Zangki dan panglimanya Salahuddin al-Ayubi. Puncaknya terjadi pada masa al-Adid, pada masa pemerintahannya Salahuddin telah menduduki jabatan wazir. Dengan kekuasaannya Salahuddin menghormati dan memberikan kesempatan kepada orang-orang Fathimy[12]. Namun ketika al-Adhid jatuh sakit pada tahun 555 H / 1160 M, Salahudin al-Ayubi mengadakan pertemuan dengan para pembesar untuk menyelengarakan khutbah dengan menyebut nama khalifah

Abasiyyah, al-Mustadi. Ini adalah simbol dari runtuh dan berakhirnya kekuasaan Dinasti Fatimiyah untuk kemudian digantikan oleh Dinasti Ayubiyyah[13]. Dinasti Fatimiyah berkuasa selama 262 tahun, dari tahun 297 H/ 909 M sampai tahun 567 H/ 1171 M. Selama itu berkuasa 14 orang khalifah, yaitu: 1. Ubaidillah (al-Mahdi) (909-934) 2. al-Qaim (934-946) 3. al-Mansur (946-952) 4. al-Muizz (952-975) 5. al-Aziz (975-996) 6. al-Hkim (996-1021) 7. az-Zhir (1021-1035) 8. al-Mustansir (1035-1094) 9. al-Mustali (1094-1101) 10. al-Amir (1101-1130) 11. al-Hafiz (1130-1149) 12. az-Zafir (1149-1154) 13. al-Faiz (1154-1160) 14. al-Adid (1160-1171)[14] Kelemahan Dinasti Fatimiyah Keruntuhan Dinasti Fatimiyah disebabkan oleh beberapa kelemahan yang ada pada masa pemerintahannya. Kelemahan-kelemahan itu antara lain: 1. Pada fase kedua, sistem pemerintahan berubah menjadi sistem parlementer. 2. Adanya resistensi dari orang-orang Sunni dan Nasrani di Mesir. 3. Terjadinya perebutan kekuasaan antara bangsa Barbar dan bangsa Turki terutama dalam bidang militer. 4. Madzhab Syiah. 5. Datangnya serbuan dari tentara salib. 6. Lemahnya para khilafah.

Perluasan wilayah difokuskan ke bagian Timur sementara pembinaan di Afrika Utara terabaikan sehingga menyebabkan berkurangnya pengaruh Dinasti Fatimiyah di sana. Akhirnya Afrika Utara melepaskan diri dan membentuk pemerintahan sendiri. Terlebih lagi, para penguasanya itu selalu tenggelam dalam kehidupan yang mewah, dan adanya pemaksaan ideologi syiah kepada rakyat yang mayoritas sunni. REFERENSI Ensiklopedi Islam; Mukti Ali dkk; Departemen Agama RI; 1988; Jilid 1. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Taufik Abdullah dkk (ed); Ichtiar Baru van Hoeve; Jakarta; Jilid 2. Ensiklopedi Islam; .. ; Ichtiar Baru van Hoeve; Jakarta; Jilid 2. History of the Arabs (terj); Philip K. Hitti; Serambi; Jakarta; 2006; cet.II.

[1] Ensiklopedi Islam; .. ; Ichtiar Baru van Hoeve; Jakarta; Jilid 2; hal. 4 [2] History of the Arabs (terj); Philip K. Hitti; Serambi; Jakarta; 2006; cet.II; hal. 792. [3] Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Taufik Abdullah dkk (ed); Ichtiar Baru van Hoeve; Jakarta;

Jilid 2; hal. 135.


[4] Keyakinannya ini kemudian diterima dan diakui oleh sekte Drusiyah (Druze). [5] History of the Arabs (terj); Philip K. Hitti; Serambi; Jakarta; 2006; cet.II; hal. 793. [6] Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Taufik Abdullah dkk (ed); Ichtiar Baru van Hoeve; Jakarta;

Jilid 2; hal. 135.


[7] Ensiklopedi Islam; Mukti Ali dkk; Departemen Agama RI; 1988; Jilid 1; hal. 287

[8] Ensiklopedi Islam; Mukti Ali dkk; Departemen Agama RI; 1988; Jilid 1; hal. 287 [9] History of the Arabs (terj); Philip K. Hitti; Serambi; Jakarta; 2006; cet.II; hal. 794. [10] History of the Arabs (terj); Philip K. Hitti; Serambi; Jakarta; 2006; cet.II; hal. 796. [11] Ensiklopedi Islam; .. ; Ichtiar Baru van Hoeve; Jakarta; Jilid 2; hal. 6 [12] Ensiklopedi Islam; Mukti Ali dkk; Departemen Agama RI; 1988; Jilid 1; hal. 287 [13] Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Taufik Abdullah dkk (ed); Ichtiar Baru van Hoeve; Jakarta;

Jilid 2; hal. 136


[14] Ensiklopedi Islam; .. ; Ichtiar Baru van Hoeve; Jakarta; Jilid 2; hal. 4

Kelahiran Dinasti Fatimiyah

Oleh: Baktiar, S.Pd.I


http://bhakti-ardi.blogspot.com/2012/01/kelahiran-dinasti-fatimiyah.html

Loyalitas terhadap Ali bin Abi Thalib adalah isu terpenting bagi komunitas islam syiah untuk mengembangkan konsep Islamnya melebihi isu hukum dan mistisme. Pada abad ke VII dan ke VIII masehi isu tersebut mengarah pada gerakan politis dalam dengan bentuk dan upaya perlawanan Abbasiyah keras untuk kepada yang merebut khalifah khalifah. Umayyah direalisasikan

Namun perjuangan mereka yang begitu lama dan berat untuk merebut kekuasaan ternyata belum

membuahkan hasil. Justru secara politis kaum islam syiah mengalami penindasan dari khalifah Umayyah dan Abbasiyah. Meski khalifah Abbasiyah mampu berkuasa dalam tempo yang begitu lama, akan tetapi periode keemasannya berlangsung singkat. Puncak kemerosotan khlifah-khalifah Abbasiyah ditandai dengan berdirinya khilafah-khilafah kecil yang melepaskan diri dari kekuasaan politik khilafah Abbasiyah. Salah satu diantaranya adalah Fatimiyah yang berasala dari golingan syiah sekte Ismailiyah yakni sebuah aliran sekte di syiah yang lahir akibat perselisihan tentang pengganti imam Jafar AlShadiq yang hidup antara tahun 700-756 M. Fatimiyah hadir sebagai tandinagan bagi penguasa Abbasiyah yang berpusat di Bagdad yang tidak mengakui kekhalifahan Fatimiyah sebagai keturunan Rasulullah dari Fatimah. Karena mereka

menganggap

bahwa

merekalah

ahlul

bait

sesungguhnya dari Bani Abbas. Dinasti Fatimiyah adalah satu-satunya Dinasti Syiah dalam islam. Dinasti ini didirikan di Tunisia pada 909 M., sebagai tandingan bagi penguasa dunia muslim saat itu yang terpusat di Baghdad, yatu Bani Abbasiyah. Dinasti Fatimiyah didirikan oleh Said ibn Husayn.[1] Fatimiyah adalah penguasa syiah yang

berkuasa diberbagai wilayah maghrib, mesir dan syam dari tahun 909 sampai 1171 M. negeri ini dikuasai oleh Ismailiyah, salah satu cabang syiah. Fatimiyah menisbahkan nasbnya sampai ke Fatimah putri Rasulullah dan istri Ali bin Abi Thalib. Karena itu menamakan Fatimiyah.[2] Pandangan sejarawan muslim mengenai

keaslian dan keabsahan silsilah al-SyiI sebagai keturunan Fatimah terbagi mejadi dua kelompok. Beberapa sejarawan yang mendukung keabsahan silsilahnya adalah Ibn al-Atsir, ibn Khaldun, dan al-

Maqrizi. Sedangkan kalangan yang menyangkal silsilah keturunan itu, adalah Ibn Khallikan, Ibn alIdzari, al-Syuyuthi, dan Ibn Taghri-Birdi.[3] Jawhar menjadi pendiri Dinasti Fatimiyah yang kedua setelah al-Syii yangdaerah kekuasaannya meliputi seluruh wilayah Afrika Utara. Setelah kedudukannya di Mesir kokoh, Jawhar mulai melirik Negara adalah tetangganya, sekte Qaramitah suriah, yang dan pada berhasil saat itu menaklukkan Damaskus. Lawan utama Jawhar berkuasa di beberapa daerah di Suriah.[4] Dalam perkembangannya khilafah Fatimiyah mampu membangun system perpolitikan yang begitu maju dan juga ilmu pengetahuan yang begitu berkembang pesat, namun sebagaimana kekhalifahan sebelumnya. Khilafah Fatimiyah juga mengalami kemunduran dan kehancuran.

[1] Philip K Hitti, History of the Arabs, (Jakarta: Serambi, 2010), 787.

[2] Dinasti-dinasti lokal [3] Philip K Hitti, History of the Arabs, (Jakarta: Serambi, 2010), 788. [4] Ibid, 790.

You might also like