You are on page 1of 32

Sejarah Kota Surabaya Hari jadi Kota Surabaya ditetapkan tanggal 31 Mei 1293.

Hari itu sebenarnya merupakan hari kemenangan pasukan Majapahit yang dipimpin Raden Wijaya terhadap pasukan kerajaan Mongol utusan Kubilai Khan. Pasukan Mongol yang datang dari laut digambarkan sebagai ikan SURO (ikan hiu/berani)dan pasukan Raden Wijaya yang datang dari darat digambarkan sebagai BOYO (buaya/bahaya), jadi secara harfiah diartikan berani menghadapi bahaya yang datang mengancam. Maka hari kemenangan itu diperingati sebagai hari jadi Surabaya. Kota Surabaya juga sangat berkaitan dengan revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia. Sejak penjajahan Belanda maupun Jepang, rakyat Surabaya (Arek Suroboyo) bertempur habis-habisan untuk merebut kemerdekaan. Puncaknya pada tanggal 10 Nopember 1945, Arek Suroboyo berhasil menduduki Hotel Oranye (sekarang Hotel Mojopahit) yang saat itu menjadi simbol kolonialisme. Karena kegigihannya itu, maka setiap tanggal 10 Nopember, Indonesia memperingatinya sebagai hari Pahlawan. Seperti yang tercantum dalam prasasti Trowulan I berangka 1358 M, Surabaya sudah ada jauh sebelum zaman kolonial Belanda. Dalam prasasti tersebut terungkap bahwa Surabaya (Churabhaya) masih berupa desa ditepian sungai Berantas sebagai salah satu tempat penyeberangan penting sepanjang sungai tersebut. Surabaya (Churabhaya) juga tercantum dalam pujasastra Negara Kertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca tentang perjalanan pesiar baginda Hayam Wuruk pada tahun 1385 M dalam pupuh XVII (bait ke 5, baris terakhir). Walaupun bukti tertulis tertua mencantumkan nama Surabaya berangka tahun 1358 M Pprasasti Trowulan) dan 1365 M (Negara Kertagama), para ahli menduga bahwa Surabaya sudah ada sebelum tahun-tahun tersebut. Menurut hipotesis Von Faber, Surabaya didirikan tahun 1275 M oleh Raja Kertanegara sebagai tempat pemukiman baru bagi prajuritnya yang berhasil menumpas pemberontakan Kemuruhan tahun 1270 M. Hipotesis yang lain mengatakan bahwa Surabaya dulu bernama Ujung Galuh. Versi lain mengatakan bahwa nama Surabaya berasal dari cerita tentang perkelahian hidup dan mati Adipati Jayengrono dan Sawunggaling. Konon setelah mengalahkan tentara Tartar, Raden Wijaya mendirikan sebuah Keraton di Ujung Galuh dan menempatkan Adipati Jayengrono untuk memimpin daerah itu. Lama-lama karena menguasai ilmu Buaya, Jayengrono makin kuat dan mandiri sehingga mengancam kedaulatan Majapahit. Untuk menaklukkan Jayengrono diutuslah Sawunggaling yang menguasai ilmu Sura. Adu kekuatan dilakukan dipinggir sungai Kalimas dekat

Peneleh. Perkelahian adu kesaktian itu berlangsung selama tujuh hari tujuh malam dan berakhir dengan tragis, karena keduanya meninggal kehabisan tenaga.

Kya-Kya

Surabaya adalah

tempat

yang

dulunya

ramai

sebagai pasar malam di

kawasan pecinan kota Surabaya. Di sepanjang jalan Kembang Jepun didirikan kios-kios yang menjual berbagai macam makanan baik masakan Tionghoa, makanan khas Surabaya maupun makanan lainnya. Kata kya-kya diambil dari salah satu dialek bahasa Tionghoa yang berarti jalan-jalan. [sunting]Sejarah

Kembang Jepun

Kembang Jepun dulunya adalah kawasan bisnis utama dan pusat kota Surabaya. Walaupun bukan menjadi yang utama, kawasan ini tetap menjadi salah satu sentra bisnis hingga saat ini. Kawasan ini terkenal sebagai pusat perdagangan grosir, yang kemudian dikenal sebagai CBD (central business district) I Kota Surabaya. Kembang Jepun mempunyai sejarah panjang, sepanjang perjalanan Kota Surabaya. Perjalanannya penuh dengan rona-rona, sesuai warna yang dilukiskan zamannya. Sejak zaman Sriwijaya, kawasan di sekitar Kembang Jepun menjadi tempat bermacam bangsa tinggal. Banyak pedagang asing yang menambatkan kapal-kapalnya di lokasi dimana kemudian menjadi Kota Surabaya. Di situ pulalah, perjalanan sejarah menorehkan garis membujur dari timur ke barat kota, Jalan Kembang Jepun. Tegak lurus dengan Kalimas, jalan ini juga menjadi ikon Kota Surabaya yang silih berganti tampil membawa perannya. Pada zaman Belanda, pemerintahan saat itu membagi kawasan menjadi Pecinan di selatan Kalimas, kampung Arab dan Melayu di Utara kawasan itu, dengan Jalan Kembang Jepun sebagai pembatasnya. Bangsa Belanda sendiri tinggal di Barat Kalimas yang kemudian mendirikan komunitas "Eropa Kecil". Jalan Kembang Jepun dulunya dinamakan Handelstraat (handel berarti perdagangan, straat artinya jalan), yang kemudian tumbuh sangat dinamis. Pada zaman pendudukan Jepang lah nama Kembang Jepun menjadi terkenal, ketika banyak serdadu Jepang (Jepun) memiliki teman-teman wanita (kembang) di sekitar daerah ini. Pada era dimana banyak pedagang Tionghoa menjadi bagian dari napas dinamika Kembang Jepun, sebuah Gerbang kawasan yang bernuansa arsitektur Tionghoa pernah dibangun di sini. Banyak fasilitas hiburan didirikan, bahkan ada yang masih bertahan hingga kini, seperti Restoran Kiet Wan Kie.

[sunting]Lahirnya

Kya-Kya

Pemerintah Kota Surabaya pernah berkeinginan untuk menjadikan kawasan Kembang Jepun menjadi semacam Malioboro tidak mendapat respons yang baik dari para pedagang kaki lima (PKL), bahkan oleh masyarakat Kota Surabaya sendiri. Akhirnya, kawasan ini mati kembali di malam hari, gelap gulita dan rawan kejahatan. Berbeda dengan keadaan siang hari yang sangat dinamis. Melihat banyaknya ikon kota yang pelan-pelan meredup mati dan ditinggalkan warganya, muncullah ide untuk segera menyelamatkannya. Studi dan perencanaan awal hanya dilakukan 2 minggu, namun tidak mengurangi kualitas perancangan itu sendiri dengan melakukan studi lapangan dan studi literatur, diskusi dengan pemerintah kota, warga setempat, komunitas pedagang kaki lima bahkan studi banding ke luar negeri (Chinatown di Singapura). Studi-studi dan pelaksanaan dilakukan bersama-sama dengan tim eksklusif di bawah pimpinan Wali Kota Surabaya Bambang D. Hartono, demikian juga dengan pihak DPRD Surabaya di bawah pimpinan Armuji, dan PT Kya-Kya Kembang Jepun di bawah pimpinan Dahlan Iskan. Pusat Kya-kya ini akhirnya dirancang pada jalan sepanjang 730 meter, lebar 20 meter, menampung 200 pedagang (makanan dan nonmakanan), 2.000 kursi, 500 meja makan dengan memperhatikan studi keamanan. Selain itu, studi perilaku warga Kota Surabaya, studi parkir dan transportasi, studi budaya (arsitektur setempat, genius loci), studi kelayakan ekonomis, teknis, sistem kebersihan, utilitas (saluran air, drainage, listrik, sistem suara, sampah), pemanfaatan SDM setempat, kerja sama dengan warga, LSM, potensi-potensi wisata (bangunan kuno, monumen bersejarah), dan sebagainya secara terpadu. Kya-Kya Surabaya akhirnya berhasil diwujudkan. Secara resmi Kya-Kya Surabaya dibuka pertama kali pada tanggal 31 Mei 2003, bertepatan dengan hari ulang tahun kota Surabaya. Lokasi Kya-kya Kembang Jepun tidak ada duanya ketika kawasan ini sarat dengan malam budaya, maka tatkala arsiteknya pun membawa the spirit of place, suguhan arsitektur Tiongkok adalah sebuah kemutlakan. Pementasan budaya yang berkualitas pun disuguhkan seperti festival ngamen, suguhan musik keroncong, musik klasik Tiongkok, hingga Barongsai anak-anak dan tari Ngremo Bocah. Sedangkan, acara-acara tematik digelar seperti Shanghai Night, Dancing on the Street, Agoestoesan Tjap Kya-kya Kembang Djepoen serta Mystical Night, Festival Bulan Purnama dan

Architecture Articles
sebagainya.

Melihat Sejarah dan Arsitektur Kawasan Pecinan Aspek Historis Kawasan Pecinan Hampir seluruh kota di Indonesia memiliki Kawasan Pecinan yang memiliki fungsi sebagai kawasan sentra perdagangan dan permukiman bagi etnis Cina. Pengamatan juga diperkuat dengan adanya klenteng di daerah tersebut, yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah saja tetapi juga memiliki peran yang besar dalam kehidupan komunitas Cina di masa lampau. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Tillema dalam Handinoto (1990:5) bahwa, tipikal kota-kota Jawa pada masa kolonial ditinjau dari tata ruang dan bangunannya terdiri atas alun-alun, masjid, kantor pemerintahan, penjara, dan kampung Cina. Sampai saat ini di Kawasan Pecinan masih berdiri bangunan-bangunan dengan aplikasi budaya Cina, yaitu dengan bentuk atap lengkung yang dalam arsitektur Cina disebut atap pelana sejajar gavel. Setiap daerah atau kawasan memiliki keunikan arsitektur tersendiri, yang terbentuk karena adanya kekhasan budaya masyarakat, kondisi iklim yang berbeda, karakteristik tapak, pengaruh nilai-nilai spiritual yang dianut, dan kondisi politik atau keamanan dari suatu kota atau daerah. Keunikan pada suatu daerah atau kawasan bersifat temporer, yaitu berubah seiring dengan perjalanan waktu. Dalam satu rentang waktu yang panjang, suatu kota atau daerah akan mengalami pergantian penguasa yang seringkali diikuti dengan adanya pergantian kebijakan. Kebijakankebijakan yang dikeluarkan turut mempengaruhi bentukan arsitektur dari suatu daerah atau kawasan (Tigor 2004: 40). Wujud fisik spasial kota-kota yang ada sekarang ini adalah produk sejarahnya masing-masing dan merupakan superimposisi lapisan zaman, cerminan berbagai kekuatan (budaya, politik, ekonomi, dan sebagainya) sepanjang proses pembentukannya (Sandi 2004: 30). Hampir seluruh kota di Indonesia memiliki Kawasan Pecinan yang memiliki fungsi sebagai kawasan sentra perdagangan dan permukiman bagi etnis Cina. Terjadi berbagai macam keragaman dalam menentukan awal mula keberadaan Pecinan di Indonesia. Berbagai bukti dan catatan sejarah membuktikan keberadaan komunitas warga Tionghoa pada masa prakolonial. Kedatangan orang Tionghoa ke Asia Tenggara disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain karena bencana kelaparan, situasi politik, dan karena adanya peluang untuk membuka usaha. Faktor-faktor tersebut saling memperkuat satu sama lain yang kemudian mendorong sebagian orang Tionghoa untuk meninggalkan negara asalnya. Makin dikenalnya nama Indonesia dengan kondisi alamnya yang subur, kaya akan rempah-rempah, ditunjang dengan letaknya yang strategis dalam dunia pelayaran, membuat pedagang Cina berkeinginan untuk menetap di Indonesia. Tujuan bangsa Cina datang ke Indonesia, sebelum Belanda datang adalah untuk berdagang, mereka mencari rempah-rempah dari penduduk pribumi untuk dibeli atau ditukar dengan barang-barang yang mereka bawa (terutama kain sutera) dan kemudian dikirim ke Kanton, Hongkong dan Malaka (Lilananda 1993:25). Melalui ekspedisi yang dilakukan, mereka kemudian mengenal kepulauan Indonesia. Pada awalnya bangsa Cina banyak menetap di Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan dan akhirnya sampai di Pulau Jawa. Soedjatmiko dalam Lilananda (1993:27-30) mengatakan, lima abad setelah kedatangan Kubilai Khan di Pulau Jawa, orang-orang Tionghoa pernah didatangkan oleh pemerintah kolonial Belanda ketika menjajah Indonesia untuk mengisi sebuah kota yang baru didirikan Belanda, yaitu Batavia. Mereka tidak datang secara sukarela tapi dengan berbagai cara dipaksa oleh Belanda atau atas dasar jual beli, karena kondisi sosial ekonomi yang sulit di negeri asal mereka, orang Tionghoa seringkali menjual dirinya untuk mendapat kehidupan yang lebih baik di negeri rantau. Jumlah mereka terus bertambah, sehingga pemerintah Belanda tidak lagi mampu mengatur mereka. Pada tahun 1740 terjadi suatu insiden pembunuhan terhadap orang-orang Tionghoa secara besar-besaran di Batavia, apalagi ditambah dengan adanya tuduhan bahwa mereka ikut dalam gerakan tentara di Jawa Tengah melawan Belanda. Sejak terjadinya peristiwa berdarah tersebut, banyak orang Tionghoa meninggalkan Batavia untuk mendapatkan kehidupan yang lebih bebas. Peristiwa tersebut juga mendorong pemerintah Belanda mengeluarkan bermacam-macam peraturan yang membatasi aktivitas orang-orang Tionghoa di Batavia, terkonsentrasinya pemerintah kolonial Belanda di Batavia memberikan dampak luputnya pengawasan pemerintah kolonial Belanda kepada daerah-daerah di luar Batavia. Untuk bisa melihat arsitektur Cina di suatu kota, biasanya harus melihat di daerah Pecinannya. Namun, untuk menentukan tempat bekas daerah Pecinan pada suatu kota tidaklah mudah. Hal ini selain karena perkembangan kota yang sangat cepat, juga karena biasanya daerah Pecinan tidak terdokumentasi dengan baik. Daerah Pecinan beserta peraturannya sudah dihapus sejak tahun 1900-an, meskipun penghapusan peraturan secara resmi baru dilakukan pada tahun 1920 (Handinoto 1990: 5-7). Sampai saat ini di Kawasan Pecinan masih berdiri bangunan-bangunan dengan aplikasi budaya Cina, yaitu dengan bentuk atap lengkung yang dalam arsitektur Cina disebut atap pelana sejajar gavel. Bentuk atap yang ditemui di Kawasan Pecinan hampir sama dengan bentuk atap yang ditemukan di daerah Cina selatan. Kebanyakan imigran-imigran Cina yang datang ke Indonesia merupakan imigran yang berasal dari propinsipropinsi di Cina bagian selatan seperti Fukien, Chekian, Kiang Si, dan Kwang Tung, karena propinsi-propinsi tersebut mempunyai tingkat kemakmuran yang rendah dan panen hasil pertanian mereka sering gagal karena sering terkena bencana alam (Lilananda 1998:9). Selain itu, tembok yang tebal, plafon yang tinggi, lantai marmer, dan beranda depan dan belakang yang luas juga menandakan adanya gaya Eropa dalam bangunan yang terdapat di Kawasan Pecinan. Pada bagian lain Santoso (2003) mengatakan, seharusnya posisi sejarah dapat dijadikan kenangan yang lebih indah ketika ditempatkan kesejarahan tersebut pada posisi yang benar dan tepat. Keberadaan bangunan kuno di Kawasan Pecinan yang ada sebenarnya dapat dijadikan sebagai aset kota. Bangunan kuno merupakan sebuah monumen hidup, karena merupakan bangunan bersejarah yang masih bersifat fungsional. Sangat disayangkan, beberapa pihak, termasuk pemerintah belum dapat menangkap keberadaan bangunan kolonial yang ada sebagai aset yang dapat digunakan sebagai salah satu kekayaan budaya lokal. Perkembangan kawasan baik dari segi perubahan guna lahan maupun bangunan kurang memperhatikan aspek historis yang dimiliki oleh Kawasan Pecinan kota, seperti adanya bangunan baru yang bentuk bangunannya tidak mencerminkan situasi di sekelilingnya, dan perubahan bentuk muka bangunan dari bentuk aslinya, sehingga kesan historis dalam bentuk arsitektur campuran Cina-Eropa pada kawasan tersebut memudar. Apalagi dengan status berupa kepemilikan pribadi, bangunan di Kawasan Pecinan kota, seiring dengan perkembangan sektor ekonomi, dapat dengan mudah berubah menjadi bangunan komersial yang dapat menghilangkan identitas kawasan. Pengertian Kawasan Pecinan Pada perkembangan di luar Cina, banyak dikenal lingkungan China Town atau Pecinan seperti di kota-kota negara Asia, Eropa, Amerika dan Australia dapat dijumpai China Townmenjadi landmark kota yang menarik para turis mancanegara. Identitas China Town di negara-negara tersebut dengan karakteristik kegiatan yang hidup didalamnya, menjadi lingkungan bersejarah yang umumnya merupakan kumpulan/kelompok bangunan yang membentuk suatu komunitas masyarakat Cina dengan ciri/karakter bangunannya yang khas, memiliki berbagai dekorasi dan elemenelemen serta pintu gerbang juga sebagai tempat aktvitas perdagangan (bisnis) retail seperti restoran, pertokoan, teater dan bangunan rekreasi lainnya (Widayati 2004:43-44). Kawasan Pecinan adalah kawasan yang merujuk pada suatu bagian kota yang dari segi penduduk, bentuk hunian, tatanan sosial serta suasana lingkungannya memiliki ciri khas karena pertumbuhan bagian kota tersebut berakar secara historis dari masyarakat

berkebudayaan

Cina

(Lilananda

1998:1).

Kampung dan Rumah Tionghoa di Indonesia Bentuk awal perumahan masyarakat Cina memang tidak banyak diketahui. Umumnya bangunan hunian mereka akan mengadopsi dengan bentuk umum bangunan hunian masyarakat asli di sekitar mereka. Pada saat Kolonial membangun perumahan bagi warga Belanda, maka komunitas Cina di dalam benteng tersebut akan mengikuti pola perumahan warga Belanda, yaitu bangunan rumah gandeng menerus dengan atau tanpa lantai bertingkat, dengan ukuran lebar rumah yang menghadap ke kanal atau jalan antara 5-8 meter. Bangunan rumah semacam ini disebut dengan tipe stads wooningen atau rumah kota. Pola ini kemudian berkembang menjadi pola bangunan rumah-toko yang terdapat di Pecinan (Widayati 2003). Vasanty dalam Koentjaraningrat (1999), menyebutkan Kampung Tionghoa di kota-kota biasanya merupakan deretan rumah-rumah yang berhadapan dengan jalan pusat pertokoan. Deretan rumah-rumah itu, merupakan rumah-rumah petak di bawah satu atap, yang umumnya tidak mempunyai pekarangan. Sebagai ganti pekarangan, di tengah rumah, biasanya ada bagian tanpa atap untuk menanam tanam-tanaman, untuk tempat mencuci piring dan menjemur pakaian. Ruangan paling depan dari rumah selalu merupakan ruang tamu dan tempat meja abu. Biasanya ruang ini dipakai sebagai toko, sehingga meja abu harus ditempatkan di ruang belakangnya. Sesudah itu terdapat lorong dengan di sebelah kanan-kirinya terdapat kamar tidur. Di bagian belakang terdapat dapur dan kamar mandi. Ciri khas dari rumah masyarakat Tionghoa dengan tipe yang kuno adalah bentuk atapnya yang selalu melancip pada ujung-ujungnya (Chih-Wei), dengan ukir-ukiran pada tiang-tiang dari balok. Dinyatakan pula bahwa di tiap-tiap Kampung Tionghoa selalu terdapat satu atau dua kelenteng. Bangunan klenteng biasanya masih memiliki bentuk yang khas dan kaya akan ukir-ukiran Tionghoa. Kuil-kuil yang dijelaskan di atas bukan merupakan tempat untuk beribadah, tetapi hanya merupakan tempat orang-orang meminta berkah, meminta anak, dan tempat orang mengucapkan syukur. Untuk itu ia membakar dupa kepada dewa yang melindunginya. (Vasanty dalam Koentjaraningrat 1999) Ciri Bangunan Cina Kuno Arsitektur Cina mengacu kepada sebuah gaya asitektur yang sangat berpengaruh di kawasan Asia selama berabad-abad lamanya. Prinsipprinip struktur dari arsitektur cina telah membekas dan sulit untuk dihapuskan, dan apabila ada yang berubah, mungkin hanya pada unsure dekoratifnya saja. Sejak jaman Dinasti Tang, Arsitektur Cina telah memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap gaya arsitektur di Korea, Vietnam, dan Jepang. Usia dari Arsitektur Cina sama tuanya dengan usia Peradaban Cina. Dari hampir semua sumber infomasi, literatur, gambar, buku-buku, terdapat bukti-bukti yang cukup kuat dan telah teruji, tentang fakta-fakta, bahwa Etnis Cina selalu menggunakan sistem konstruksi asli (lokal) yang menjaga dan memegang teguh prinsip-prisip karakteristiknya mulai dari jaman dahulu kala sampai saat ini. Di berbagai tempat yang mendapat pengaruh dari kebudayaan Cina, ditemukan bangunan-bangunan dengan sistem konstruksi yang sama. Sistem konstruksi tersebut dapat menjaga dan menguatkan keberadaannya lebih dari ratusan tahun di daerah yang cukup luas dan tetap membekas sebagai sebuah arsitektur yang terus berkembang, menjaga dan memelihara prinsip-prinsip karakteristiknya, meskipun di Cina sendiri sudak terjadi berkali-kali serangan bangsa asing, baik dalam hal militer, intelektual, maupun spiritual. Hal ini membuktikan bahwa bangsa Cina memiliki peradaban yang sangat tinggi. Pada awal abad ke-2, Bangsa Barat sudah mulai mengenalkan Arsitektur Barat ke Cina, bahkan mereka mendidik orang-orang Cina untuk belajar tentang Arsitektur Barat. Orang-orang Cina yang mempelajari Arsitektur Barat ini kemudian mengkombinasikan Arsitektur Tradisinal Cina dengan Arsitektur Barat, dengan dominasi Arsitektur Barat, akan tetapi hasilnya tidak terlalu maksimal. Selain itu, tekanan dan paksaan untuk pengembangan permukiman melalui Arsitektur Kontemporer Cina membutuhkan kecepatan konstruksi yang sangat tinggi dan lahan yang cukup luas, yang berarti bahwa bangunan dengan Arsitektur Cina tidak dapat dikembangkan di perkotaan besar, dan digantikan dengan bangunan modern. Meskipun demikian, segala macam ketrampilan seni konstruksi Cina masih digunakan pada arsitektur vernakular di daerah yang cukup luas di Cina. Salah satu bentuk aplikasi budaya Cina yang masih dapat ditemui di Kawasan Pecinan adalah pada gaya bangunannya yang menonjolkan budaya Cina yakni dalam bentuk atap lengkung, yang dalam arsitektur Cina disebut atap pelana sejajar gavel. Bentuk atap yang ditemui di Kawasan Pecinan hampir sama dengan bentuk atap yang ditemukan di daerah Cina Selatan. Kebanyakan imigran-imigran Cina yang datang ke Indonesia merupakan imigran yang berasal dari propinsi-propinsi di Cina bagian selatan, seperti Fukien, Chekian, Kiang Si dan Kuang Tung, karena propinsipropinsi tersebut mempunyai tingkat kemakmuran yang rendah dan panen hasil pertanian mereka sering gagal karena terkena bencana alam (Lilananda 1998:9). Knapp dalam Lilananda (1998:9) menyatakan bahwa struktur bangunan Cina yang terdapat di Indonesia banyak dipengaruhi oleh bentukan yang ada di Cina Selatan. Hal ini dikarenakan imigran-imigran Cina yang datang ke Indonesia kebanyakan berasal dari propinsi-propinsi bagian selatan, seperti Fukien, Chekiang, Kiang Si, dan Kwang Tung. Secara garis besar bangunan Cina dapat dibedakan fungsi dan jenis bangunannya: Fungsi umum dan pribadi, jenis bangunannya (Rumah ibadah= klenteng dan vihara, rumah abu, rumah perkumpulan); Bangunan hunian dan usaha, jenis bangunannya (perdagangan dan jasa, ruko/hunian campuran, hunian, lain-lain [gudang dan gerbang], hiburan, dan olah raga). (Lilananda 1998: 36) Pembagian ini terkadang sulit dibedakan secara tegas, karena terkadang terdapat beberapa bangunan yang berfungsi umum, tetapi juga berfungsi pribadi, misalnya bangunan ibadah, ada yang berfungsi untuk umum, tetapi ada pula bangunan ibadah yang berfungsi untuk pribadi, tetapi kerabat dekat bisa juga menggunakannya. Hunian biasanya digambarkan memiliki ciri khas, yaitu bergaya arsitektur Cina, yang dapat dijumpai pada bagian atap bangunan yang umumnya dilengkungkan dengan cara ditonjolkan agak besar pada bagian ujung atapnya yang disebabkan oleh struktur kayu dan juga pada pembentukan atap. Selain bentuk atapnya juga ada unsur tambahan dekorasi dengan ukiran atau lukisan binatang atau bunga pada bumbungannya sebagai komponen bangunan yang memberikan ciri khas menjadi suatu gaya atau langgam tersendiri. Terdapat lima macam bentuk atap bangunan bergaya Cina, yaitu (Widayati 2003:48): 1. Atap pelana dengan struktur penopang atap gantung (pelana di luar gavel) atau overhanging gable roof; 2. Atap perisai (membuat sudut) atau hip roof; Atap piramid atau pyramidal roof; 3. Atap pelana dengan dinding sopisopi (pelana sejajar gavel) atau flush gable roof; dan 4. Gabungan atap pelana dan perisai atau gable and hip roofs. Bangunan ibadah Klenteng Fungsi klenteng dapat dibedakan dari beberapa segi, yaitu (Lilananda:1993): a. Segi keagamaan, tempat suci untuk menjalankan ibadah kepada Tuhan; Tempat melaksanakan pemujaan kepada dewa-dewi; Tempat melaksanakan penghormatan pada orang-orang suci; Tempat melaksanakan upacara keagamaan; dan Tempat menampung segala aktivitas (konsultasi, pendalaman, dan komunikasi) tentang hal-hal keagamaan; b. Segi sosial, tempat penyaluran dan pemberian bantuan/amal bagi umat yang kurang mampu serta pada fakir miskin; Tempat kontak sosial antar umat;

dan Menyediakan tempat bermalam bagi umat yang membutuhkan ketika berkunjung kesana; c. Segi kebudayaan, menampung segala aktivitas untuk mempelajari kebudayaan (kesusastraan, tarian, barongsai) terutama di kalangan generasi muda; dan menjadi tempat tujuan wisata/rekreasi; d. Vihara, vihara adalah tempat/bangunan atau suatu kompleks bangunan tempat umat Buddha beribadah dan pada bangunan tersebut harus ada tempat yang khusus dimana patung sang Buddha diletakkan, juga terdapat tempat untuk umat berkhotbah yang dinamakan Dharmasala dan tempat tinggal untuk para biksu menginap yang disebut kuil (Lilananda:1993). Bangunan Hunian dan Usaha Rumah toko Bangunan ini mempunyai dua fungsi, yaitu sebagai hunian di lantai atas dan di lantai bawah digunakan untuk berdagang. Inilah cikal bakal konsep ruko yang terlihat sekarang menjamur di kota-kota besar (Lilananda 1995:25). Rumah besar/rumah keluarga Pada bangunan ini tinggal satu keluarga dengan tiga generasi. Umumnya anak lelaki tertua yang tinggal di dalam rumah ini, meneruskan generasi orang tuanya, sampai pula beranak cucu yang juga sudah berkeluarga dan tinggal bersama dalam satu rumah. Ciri yang kuat dari rumah keluaraga ini, ada meja sembahyang atau meja abu leluhur setelah masuk dari pintu utama rumah keluarga ini. Pemujaan terhadap leluhur masih merupakan tradisi kuat dalam keluarga Cina (Lilananda 1995:25). Widodo dalam Lilananda (1990:51-52) menyatakan bahwa ciri-ciri rumah Cina adalah sebagai berikut: 1. pembagian zoning yang cukup jelas, yaitu publik, semi publik, privat, dan servis; 2. adanya dark alley (lorong) sebagai sirkulasi; dan 3. adanyacourtyard sebagai penghubung antara rumah depan dan belakang. Bentuk rumah courtyard khususnya di Cina memiliki tiga karakteristik yang terlihat sangat penting, yaitu bentuknya yang tertutup yakni biasanya bangunan dikelilingi oleh tembok-tembok yang memisahkan bangunan dengan lingkungan sekitarnya, simetri dan struktur hirarkinya. Courtyard terbentuk oleh empat paviliun yang mengitari suatu pekarangan dalam. Empat paviliun ini sendiri juga menjadi sebuah dinding pada sebelah luarnya. Gerbang yang merupakan akses menuju courtyard hampir selalu diletakkan pada sudut tenggara dengan pertimbangan Hong-Sui. Pintu ini menuntun kita pada courtyard yang pertama, yang paling tidak penting tingkatannya, misalnya untuk pembantu laki-laki, tamu atau keluarga yang tidak dekat hubungannya, atau keluarga yang paling miskin. Court yang pertama, melewati pintu kedua menuju courtyard kedua yang merupakancourt utama, dan terdapat dua buah bangunan yang berseberangan dan menghadap selatan. Bangunan ini merupakan tempat berkumpul keluarga inti dan bangunan di seberangnya merupakan tempat istirahat dan tidur. Pada sisi timur dan sisi barat court utama terdapat tempat tinggal keluarga generasi kedua. Berseberangan dengan bangunan ini dibangun ruangservice, dapur dan lain sebagainya. Pada banyak kasus ditemukan, di belakang bangunan utama terdapat court ketiga yang merupakan tempat tinggal selir dan pembantu tinggal, kadang-kadang dapur juga ditemukan di sini (Lilananda 1998:16-18). Gambaran dari bentuk sebuah bangunan courtyard di Cina (Gambar 2). Rumah kampung Rumah kampung merupakan rumah rakyat masyarakat Cina pada masa lalu. Sekarang, umumnya sudah berbaur dengan berbagai etnis lain, tetapi ciri bangunan rumah kampung dengan arsitektur Cina masih kuat terlihat dari tatanan rumah dalamnya (Lilananda 1995:25). Arsitektur kolonial milik etnis Tionghoa di Indonesia Skala arsitektur bangunan Cina, berbeda dengan bangunan di Eropa, lebih menunjukkan skala manusia daripada Tuhan. Emperan yang rendah digaris beranda depan dan ketinggian wuwungan yang masih empat kali tinggi manusia memberikan inpreresi masih bisa dicapai oleh manusia yang hidup di halaman sekitarnya. Bahkan bangunan dua lantai yang tingginya lima sampai enam kali tinggi manusia, dengan pengaturan teritisan yang rendah tetap memberikan kesan kehangatan yang sangat manusiawi. Beberapa karakter arsitektur Cina Pada buku tulisan Gin Djin Su (1964) dijelaskan bahwa karakter arsitektur Cina dapat dilihat pada: 1. Pola tata letaknya, pola tata letak bangunan dan lingkungan merupakan pencerminan keselarasan, harmonisasi dengan alam. Ajaran Konghucu dimanifestasikan dalam bentuk keseimbangan dan harmonisasi terhadap adanya konsep ganda. Keseimbangan antara formal dan non-formal. Formalitas dicapai dengan bentuk denah rumah atau peletakan bangunan yang simetris. Non-formalitas dicapai dalam bentuk penataan taman yang khas dinamis dan tidak simetris. Keduanya membentuk satu kesatuan yang seimbang dan harmonis;2. Keberadaan panggung dan teras depan/balkon, panggung dan teras depan/balkon digunakan sebagai ruang transisi; dan 3. Sistem struktur bangunan, sistem struktur merupakan sistem rangka yang khas dan merupakan struktur utama yang mendukung bobot mati atap. Beban yang disangga struktur utama disalurkan melalui kolom. Rangkaian sistem kolom dan balok merupakan suatu hal yang spesifik. Umumnya, struktur bangunan merupakan rangka kayu di mana rangka tersebut menerima beban atap yang diteruskan ke bawah melalui kolom-kolom. Pintu dan jendela merupakan pengisi saja, oleh karena itu bisa bersifat fleksibel, sedangkan pintu dan jendela pada bagian teras menggunakan sistem bongkar-pasang (knock down). Sistem kuda-kuda yang digunakan merupakan khas arsitektur Cina, yaitu kuda-kuda segi empat. Lantai atas umumnya merupakan lantai-lantai papan yang disangga oleh balok. Plat beton ini juga dipakai untuk lisplank serta atap. Beban bergerak dan beban mati yang diterima lantai diteruskan ke dinding untuk diteruskan ke pondasi. Semua proporsi dan aturan tergantung pada sistem standart dimensi kayu dan standard pembagiannya. Keseluruhanbangunan Cina dirancang dalam modulmodul standard dan modulor dari variabel ukuran yang absolut proporsi yang benar melindungi dan mempertahankan hubungan harmoni bagaimanapun besarnya struktur. Di dapat satu kenyataan bahwa arsitektur Cina berkembang sesuai dengan jamannya. Semua evolusi yang terjadi adalah pada proporsinya. Skala arsitektur bangunan Cina, berbeda dengan bangunan di Eropa, lebih menunjukkan skala manusia daripada Tuhan. Terasan yang rendah digaris beranda depan dan ketinggian wuwungan yang masih empat kali tinggi manusia memberikan inpreresi masih bisa dicapai oleh manusia yang hidup di halaman sekitarnya. Bahkan bangunan dua lantai yang tingginya lima sampai enam kali tinggi manusia, dengan pengaturan teritisan yang rendah tetap memberikan kesan kehangatan yang sangat manusiawi; 3. Tou-Kung, siku penyangga bagian atap yang di depan (teras) merupakan bentuk yang khas dari arsitektur Cina dan karena keunikannya, disebut tou-kung. Merupakan sistem konsol penyangga kantilever bagian teras sehingga keberadaannya dapat dilihat dari arah luar. Ornamen tou-Kung ini akan terlihat jelas pada bangunan-bangunan istana, kuil atau tempat ibadah dan rumah tinggal keluarga kaya. Ujung balok dihiasi dengan kepala singa yang berfungsi menangkal pengaruh roh jahat; 4. Bentuk atap, ada beberapa tipe atap yaitu, wu tien, hsieh han, hsuah han dan ngang shan ti. Studi arkeologis menerangkan bahwa, terdapat dua macam struktur kayu yang memberikan perbedaan besar pada perletakan kolom dan perbedaan sistem penyangga atap. Dua sistem konstruksi tadi adalah Tai Liang dan Chuan Dou. Dua sistem struktur ini, menurut arkeolog berasal dari dua cara membangun rumah tinggal. Tailiang berasal

dari gua primitif yang berkembang di Cina Utara dan Chuan Dou berasal dari rumah di atas pohon (Knapp, 1986: 6-7). Sistem strukturTai Liang adalah sistem tiang dan balok yang mana balok terendah diletakkan di atas kolom ke arah lebar bangunan. Sistem struktur kedua dinamakan Chuan Dou. Sistem ini memiliki Kolom-kolom yang didirikan kearah tranvesal dan saling di ikat; dan 5. Penggunaan warna,penggunaan warna pada arsitektur Cina juga sangat penting karena jenis warna tertentu melambangkan hal tertentu pula. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan-kepercayaan yang berkaitan dengan orientasi baik dan buruk. Prinsip dasar komposisi warna adalah harmonisasi yang mendukung keindahan arsitekturnya. Umumnya warna yang dipakai adalah warna primer seperti kuning, biru, putih, merah dan hitam yang selalu dikaitkan dengan unsur-unsur alam seperti air, kayu, api, logam dan tanah. Warna putih dan biru dipakai untuk teras, merah untuk kolom dan bangunan, biru dan hijau untuk balok, siku penyangga, dan atap. Warna-warna di sini memberikan arti tersendiri, warna biru dan hijau berada di posisi timur dan memberikan arti kedamaian dan keabadian, warna merah berada di selatan dan memberikan arti kebahagiaan dan nasib baik, sedangkan warna kuning melambangkan kekuatan, kekayaan, dan kekuasaan. Putih berada di barat dengan arti penderitaan (duka cita) dan kedamaian. Hitam berada di utara yang melambangkan kerusakan. Warna-warna tersebut di antaranya: a. Warna merah yang melambangkan kebahagiaan; b. Warna kuning juge melambangkan kebahagiaan dan warna kemuliaan; c. Warna hijau melambangkan kesejahteraan, kesehatan, dan keharmonisan; d. Warna putih melambangkan kematian dan berduka cita; e. Warna hitam merupakan warna netral dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari; dan f. Warna biru gelap juga merupakan warna berduka cita; 6. Gerbang, Gih Djin Su memasukkan pintu gerbang sebagai Ciri Arsitektur Cina, khususnya bangunan rumah tinggal. Pintu gerbang biasanya berhadapan langsung dengan jalan menghadap ke selatan (orientasi baik). Pintu gerbang ini berfungsi sebagai ruang transisi antar luar bangunan dan di dalam bangunan. Pada pintu gerbang biasanya dipasang tanda pengenal penghuni dan juga gambar-gambar dewa atau tokoh dalam Mitos Cina atau tulisan-tulisan yang berfungsi sebagai penolak bala; dan 7. Detail balkon, detail balkon atau angin-angin biasanya menggunakan bentuk-bentuk tiruan bunga krisan atau bentuk kura-kura darat, yang memiiki makna panjang umur. Arsitektur kolonial milik etnis Tionghoa di Indonesia Skala arsitektur bangunan Cina, berbeda dengan bangunan di Eropa, lebih menunjukkan skala manusia daripada Tuhan. Emperan yang rendah digaris beranda depan dan ketinggian wuwungan yang masih empat kali tinggi manusia memberikan inpreresi masih bisa dicapai oleh manusia yang hidup di halaman sekitarnya. Bahkan bangunan dua lantai yang tingginya lima sampai enam kali tinggi manusia, dengan pengaturan teritisan yang rendah tetap memberikan kesan kehangatan yang sangat manusiawi. Beberapa ciri dari arsitektur Tionghoa di daerah Pecinan sampai sebelum tahun 1900. Khol (1984:22), menulis dalam Chinese Architecture in The Straits Settlements and Western Malaya, memberikan semacam petunjuk terutama bagi orang awam, bagaimana melihat ciri-ciri dari arsitektur orang Tionghoa yang ada terutama di Asia Tenggara. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut: 1. Courtyard, Courtyard merupakan ruang terbuka pada rumah Tionghoa. Ruang terbuka ini sifatnya lebih privat. Biasanya digabung dengan kebun/taman. Rumah-rumah gaya Tiongkok Utara sering terdapat courtyard yang luas dan kadang-kadang lebih dari satu, dengan suasana yang romantis. Di daerah Tiongkok Selatan tempat banyak orang Tionghoa Indonesia berasal, courtyard nya lebih sempit karena lebar kapling rumahnya tidak terlalu besar (Khol 1984:21). Rumah-rumah orang-orang TionghoaIndonesia yang ada di daerah Pecinan jarang mempunyai courtyard. Kalaupun ada ini lebih berfungsi untuk memasukkan cahaya alami siang hari atau untuk ventilasi saja. Courtyard pada Arsitektur Tionghoa di Indonesia biasanya diganti dengan teras-teras yang cukup lebar.Courtyard menjadi ukuran status penghuni ditambah ornamen-ornamen aristektur lain, baik dalam wujud inskripsi yang menunjukkan tingkat intelektualitas maupun dalam wujud simbol kosmologis yang menunjukkan status si pemilik di dalam masyarakat; 2. Penekanan pada bentuk atap yang khas. Semua orang tahu bahwa bentuk atap Arsitektur Tionghoa yang paling mudah ditengarai. Diantara semua bentuk atap, hanya ada beberapa yang paling banyak di pakai di Indonesia. Di antaranya jenis atap pelana dengan ujung yang melengkung keatas yang disebut sebagai model Ngang Shan; 3. Elemen-elemen struktural yang terbuka (yang kadang-kadang disertai dengan ornamen ragam hias). Keahlian orang Tionghoa terhadap kerajinan ragam hias dan konstruksi kayu, tidak dapat diragukan lagi. Ukir-ukiran serta konstruksi kayu sebagai bagian dari struktur bangunan pada arsitektur Tionghoa, dapat dilihat sebagai ciri khas pada bangunan Tionghoa. Detail-detail konstruktif seperti penyangga atap (tou kung), atau pertemuan antara kolom dan balok, bahkan rangka atapnya dibuat sedemikian indah, sehingga tidak perlu ditutupi. Bahkan diekspose tanpa ada finishingtertentu, sebagai bagian dari keahlian pertukangan kayu yang piawai; dan 4. Penggunaan warna yang khas. Warna pada arsitektur Tionghoa mempunyai makna simbolik. Warna tertentu pada umumnya diberikan pada elemen yang spesifik pada bangunan. Meskipun banyak warna-warna yang digunakan pada bangunan, tapi warna merah dan kuning keemasan paling banyak dipakai dalam arsitektur Tionghoa di Indonesia. Warna merah banyak dipakai di dekorasi interior, dan umumnya dipakai untuk warna pilar. Merah menyimbolkan warna api dan darah, yang dihubungkan dengan kemakmuran dan keberuntungan. Merah juga simbol kebajikan, kebenaran dan ketulusan. Warna merah juga dihubungkan dengan arah, yaitu arah Selatan, serta sesuatu yang positif. Itulah sebabnya warna merah sering dipakai dalam arsitektur Tionghoa. Budaya Cina dalam Arsitektur Secara kosmologis, tradisi arsitektur Cina melambangkan semesta-langit dalam bentuk-bentuk bulat dan dunia-Bumi dalam bentuk kubus. Susunan aristektur berbatas dinding di Bumi biasanya ditemui dalam penataan geometris yang ketat, persegi panjang, maupun bujur sangkar, ditata berdasarkan arah mata angin. Arah utara-selatan menjadi acuan utama, mungkin karena secara klimatologis, angin udara yang dingin menjadi kontras terhadap angin selatan. Ruang ditata berlapis-lapis dalam suatu seri pola grid yang tegas baik bentukan ruang-ruang luar (coutryards) maupun dalam susunan ruang-ruang dalam. Arsitektur Cina dibangun tidak dengan bahan-bahan permanen, mungkin ada hubungannya dengan negasi terhadap segala bentuk yang bersifat fana. Susunan geometris, ritual-ritual, dan nilai hadir lebih utama dari bangunan yang dianggap fana. Semua proporsi dan aturan tergantung pada sistem standart dimensi kayu dan standard pembagiannya. Dengan demikian keseluruhan bangunan Cina dirancang dalam modul-modul standard dan moduler dari variabel ukuran yang absolut proporsi yang benar melindungi dan mempertahankan hubungan harmoni bagaimanapun besarnya struktur. Arsitektur khas Oriental, yang notabene berasal dari dataran Cina, memang memiliki akar budaya yang sangat tua dan dilestarikan dengan baik selama beribu-ribu tahun. Tak heran bila para keturunan Tionghoa bila berada di daerah baru juga selalu membawa budaya mereka yang mengakar kuat. Demikian pula dengan arsitektur khas oriental. Arsitektur ini pada dasarnya adalah arsitektur tradisional berornamen/berhias. Sama seperti kebudayaan Eropa yang memiliki ornamen atau hiasan khas arsitektur mereka, arsitektur khas oriental juga memiliki kekhasan bentuk-bentuk ornamentasi, seperti hiasan pada dinding, pintu dan jendela yang didasarkan pada mitos dan kepercayaan bangsa Tionghoa. Ornamen yang ada beragam dari ornamen geometris, motif tanaman dan binatang. Arsitektur Tionghoa tradisional sangat dipengaruhi oleh kepercayaan mereka, seperti

patung dewa-dewa, naga. Ciri arsitektur lainnya seperti penggunaan Feng Shui untuk arsitektur cukup memberikan banyak batasan sekaligus kreativitas dalam penataan ruang, perabot dan aksesori rumah lainnya. Karakter bangsa Tionghoa yang juga cukup menghargai dunia material terlihat pada penggunaan hiasan yang sangat rumit, indah, serta bernilai seni tinggi, karena menunjukkan kekayaan secara material dianggap menambah martabat bagi sebagian orang Tionghoa tradisional. Sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kebudayaan Jawa, dan masing-masing bagian dari bangunan tradisional khas oriental selalu memiliki makna, dari atap hingga ke pondasinya

Pertokoan Kelas Atas Kuasai Sisi Utara, PKL Menjamur di Selatan Senin, 04/10/2010 | 12:36 WIB Sejak zaman kolonial, kawasan Jl Praban dikenal sebagai kawasan penyangga Jl Tunjungan yang merupakan pusat perdagangan di Surabaya. Sejak zaman itu pula, kawasan ini dikenal sebagai sentra perdagangan sepatu di Surabaya. Oleh: Nita Femmilia & Denny Sagita Selain dikenal sebagai pusat perdagangan sepatu, legenda juga menyebutkan kawasan ini adalah cikal bakal pusat pemerintahan Surabaya. Menelusuri asal-usul sejarah kawasan Jl Praban akan bermuara pada Toko Siola yang merupakan salah satu ikon perbisnisan di Surabaya. Dari toko ini pula kehidupan kawasan Jl Praban mulai bisa hidup. Beberapa literatur sejarah menyebutkan, Toko Siola awalnya merupakan pusat grosir dan eceran serba ada milik pengusaha Inggris, Robert Laidlaw. Toko yang semula diberi nama Whiteaway Laidlaw ini terus berkembang hingga Robert meninggal pada 1935. Sepeninggalnya, pamor Whiteaway terus meredup dan akhirnya gulung tikar. Toko ini kemudian diambil alih pemodal asal Jepang dan berganti nama menjadi Toko Chiyoda. Yang dijual di toko tersebut sama dengan pendahulunya, namun yang paling banyak bukan lagi tekstil melainkan tas koper dan sepatu. Begitu tersohornya Toko Chiyoda, sebagai pusat tas koper dan sepatu, sampai semua toko di sekitarnya pun berdagang barang dagangan yang sama. Hingga kini di Jl Praban masih menjadi pusat sepatu sedangkan pusat penjualan tas koper dan servis koper terkonsentrasi Jl Gemblongan. Sekitar tahun 1950, pasca perang kemerdekaan, kawasan Praban mulai tumbuh menjadi kawasan perdagangan. Bukan hanya sepatu, kawasan ini juga dijejali toko-toko elektronik, lampu dan tekstil. Saat itu yang banyak memiliki toko di kawasan Praban adalah orang-orang pribumi, kata Abdul Gofar, salah seorang sesepuh kawasan setempat. Orang-orang keturunan Tionghoa, menurutnya, hanya 2 atau 3 orang saja yang punya toko disitu. Lambat laun, toko-toko elektronik dan lampu serta tekstil mulai terdesak. Sementara toko sepatu terus tumbuh di kawasan itu. Akhirnya kini di kawasan tersebut yang mendominasi adalah pertokoan sepatu. Di sisi utara Jl Praban lebih dikenal sebagai pertokoan sepatu high class (kelas atas), yang kebanyakan menjual sepatu berbahan kulit dengan harga ratusn ribu hingga jutaan rupiah. Di sisi sebelah utara ini juga masih terdapat beberapa toko lampu dan elektronik. Di sisi selatan Jl Praban, toko-toko sepatu lebih menjamur. Di sisi ini, harga jual sepatu yang ditawarkan lebih terjangkau. Di sisi ini pula, pertokoan resmi tidak hanya bersaing dengan sesama toko, tetapi harus menahan gempuran pedagang kaki lima (PKL) yang menjamur. Sekitar 25 tahun lalu PKL mulai masuk ke kawasan itu. Sekarang sudah menjamur jadi banyak sekali, kata Abdul Ghofur. Pria yang juga pernah menjadi kepala keamanan kawasan pertokoan Praban ini mengatakan saat ini pengawasan masuknya pedagang baru di kawasan Praban terlalu longgar. Karenanya banyak PKL yang kini menyerbu kawasan itu. Bukan hanya PKL yang menjajakan sepatu, ada juga penjual pakaian yang terletak di sisi timur jalan ini, dekat dengan lokasi SMPN 3 Surabaya. Selain dikenal luas sebagai kawasan perdagangan sepatu, di kawasan ini juga tersohor dengan situs religius yakni kompleks makam Joko Jumput yang terkenal sebagai penguasa kawasan tersebut sekaligus salah satu sesepuh di Surabaya. Di kompleks makam itu sendiri terdapat 4 makam. Selain makam Joko Jumput sendiri, ada makam istrinya, Putri Purbowati, ada pula makam ibu angkat Joko Jumput yang bernama Rondo Prabankinco dan kerabatnya. Nama ibu angkat Joko Jumput inilah yang diyakini menjadi cikal bakal nama kampung Praban sendiri.

Joko Jumput, menurut cerita Abdul Ghofar yang juga juru kunci makam tersebut, adalah salah satu pangeran Surabaya yang menikahi putri Adipati Surabaya, Jayengreno. Setelah diangkat menjadi pangeran itulah, Joko Jumput dipercaya menjadi pemimpin di Surabaya yang menurut cerita dipusatkan di kampung Praban tersebut. Komplek makam yang diresmikan tahun 2004 ini masih kental nuansa mistisnya. Ini diyakini masyarakat sekitar setelah pada tahun 1983 pernah terjadi kebakaran yang melalap habis pertokoan-pertokoan di samping makam. Namun anehnya, makam tersebut tidak ikut terbakar. Sejak saat itu, warga menganggap makam itu sakti dan keramat, kata Abdul Gofar.

Prof Han Hwie-song Bahas Pecinan Surabaya


Prof Dr Han Hwie-song belum lama ini menerbitkan memoar tentang masa kecilnya di kawasan pecinan Surabaya hingga sukses menjadi dokter dan menerima bintang Ridder in de Orde van Oranje Nassau dari pemerintah Kerajaan Belanda. Banyak hal menarik tentang pecinan Surabaya era 1950an yang dituturkan Prof Han. Berikut petikannya: Ketika saya masih menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universiteit van Indonesia di Surabaya (belakangan oleh Presiden Sukarno diubah namanya menjadi Universitas Airlangga), 1951, seingat saya jumlah penduduk Surabaya hanya sekitar 300 ribu jiwa saja. Padahal, saat ini, tahun 2011, penduduk Surabaya sudah berjumlah jutaan jiwa (sekitar empat juta jiwa). Yang menarik, daerah pecinan masih tetap tidak berubah dan masih favorit bagi etnis Tionghoa untuk tinggal dan berdagang. Ini terbukti dari banyaknya toko-toko dan perusahaan-perusahaan dagang baik besar maupun kecil di daerah pecinan yang pada umumnya milik etnis Tionghoa. Di pecinan Surabaya, ada dua pasar utama, yaitu Pasar Pabean dan Pasar Kapasan. Pasar Kapasan, walaupun lebih kecil daripada Pabean, merupakan pusat perdagangan emas dan perhiasan di Jawa Timur. Sebaliknya, Pasar Pabean merupakan pasar yang menjual barang-barang keperluan sehari-hari. Di dalam pasar ini terdapat banyak toko yang menjual barang pecah-belah, alat-alat rumah tangga, sembako, atau makanan-makanan Tionghoa seperti haisom atau teripang, jamur kering, ikan asin. Saya tidak pernah mengunjungi pasar basahnya yang menjual ikan, daging, dan sebagainya. Tetapi pembantu rumah selalu pergi belanja ke Pasar Pabean karena lebih lengkap. Ada ikan bandeng, gurami, udang, kepiting, rajungan, ayam, daging sapi, babi, dan sebagainya. Di Pasar Pabean juga ada tiga restoran yang sering saya kunjungi bersama teman-teman kuliah saya, Bhe Kian Ho dan Sie Hong Ik, yang masing-masing membawa teman perempuannya. Pasar Pabean juga merupakan pusat perdagangan palawija Jatim. Komoditas ini oleh perusahaan-perusahaan Belanda diekspor ke berbagai negara. Ada beberapa teman saya yang orangtuanya berdagang palawija di sekitar Pasar Pabean. Pasar Bong dan Pasar Kapasan dahulu menjadi pusat penjualan tekstil. Sehingga, tidak salah kalau orang mengatakan bahwa pecinan dahulu adalah pusat perdagangan Surabaya. Jalan Kembang Jepun Surabaya, Juli 2011. Kantor Kamar Dagang Tionghoa, yang pengaruhnya besar di Surabaya dengan akronim P3-CH, terletak di Jalan Kembang Jepun. Kantor-kantor koran Tionghoa baik yang peranakan (Pewarta) maupun yang totok (Ta Kung Siang Pao dan Yu Yi Pao) berada di daerah pecinan. Sedangkan koran Belanda yang pertama, Soerabajasc Handelsblad, berdomisili di Pasar Besar atau Aloon-Aloon Straat. Setelah jam 18.00 dan kantor-kantor sudah tutup, di muka kantor P3-CH beroperasi berbagai warung

makan Tionghoa. Setiap warung makan memiliki kekhasan masing-masing. Mulai dari mi pangsit, kwetiao, masakan ikan, babi, dan sebagainya. Berbagai merek mobil diparkir di depan warung-warung tersebut. Sebab, walaupun cuma warung makan, kelezatan masakannya tidak kalah dengan restoran, saya bersama saudara-saudara dan teman-teman sering makan di sana. Toko-toko buku yang besar juga berada di Kembang Jepun, antara lain Toko Buku Ta Chen Soe Tji yang menjual buku-buku cerita dan pelajaran bahasa Tionghoa. Saya masih ingat bersama kakak atau teman perempuan saya sering membeli buku Mandarin antara lain karangan Ba Jin, Bing Xin, Lu Xin, dan Kojen (komik strip terbitan Hongkong yang saat itu sangat digemari) dan buku-buku pelajaran untuk adik-adik saya. Pemilik toko buku ini orang Shanghai. Di Surabaya, yang saya ketahui, ada tiga toko buku Tionghoa. Berbeda dengan di Eropa, di Asia Tenggara pada umumnya orang-orang totok menggunakan bahasa Tjengim, Kuoyu atau Mandarin, sedangkan di Eropa dan Amerika Utara yang biasa digunakan adalah berbagai dialek, terutama Kanton (Guangdong). Buku-buku Barat haya dapat diperoleh di tokot-oko buku Barat seperti Van Dorp dan Kolff di Tunjungan. Saya suka membaca dan mengoleksi buku-buku Barat antara lain tentang Perang Dunia II, cerita klasik Barat, cerita klasik Tiongkok, dan filsafat. Juga buku-buku tulisan Bung Karno, Mao Zedong, dan bukubuku politik lainnya. Li Lihua, artis Mandarin terkenal yang digandrungi warga pecinan Surabaya tempo dulu. Ketika terjadi peristiwa Gerakan 30 September 1965, buku-buku tersebut dibakar istri saya. Sementara buku-buku lain disimpan dalam dua peti kayu jati besar dan disimpan di rumah mertua saya. Di pecinan Surabaya terdapat dua bioskop Tionghoa, Shin Hua di Bongkaran dan Nan King Theatre di dekat Pabean. Bioskop-bioskop ini biasa memutar film-film dari Shanghai, kemudian film-film Hongkong. Ini disebabkan setelah berdirinya Republik Rakyat Tiongkok, banyak produser, pekerja film, dan artis terkenal yang melarikan diri ke Hongkong. Dulu kami mengenal artis-artis Hongkong terkenal seperti Li Lihua, Wang Tanfeng, Chou Sian, Li Sianglan, Auwyang Shi Fei. Setiap bulan sekali atau dua kali saya bersama calon istri pasti nonton di Shinhua Theatre. Menurut saya, masa pacaran yang paling menyenangkan adalah menonton bioskop, makan di restoran. Dan, yang terutama, ngobrol dengan tenang tanpa gangguan, sehingga kita dapat lebih bebas mengutarakan kasih sayang kita. Dengan demikian, kita dapat lebih mengenal sifat masing-masing yang menurut saya sangat penting dalam membangun dan membina keluarga kelak. Sekolah-sekolah Tionghoa baik sekolah dasar maupun sekolah menengah bertebaran di Surabaya. Sekolah yang terkenal pada masa itu ialah Sin Hwa High School yang terletak di Jl Ngaglik, Chung Hua Chung Shueh di Jl Baliwerti, Khai-Ming Chung Hsueh di Jl Kalianyar, Chiao Chung di Jl Pengampon, dan Chiao Lian Chung Hsueh di Jl Undaan. Kebanyakan sekolah-sekolah Tionghoa ini pro-RRT. Hanya Chiao Lian yang berhaluan kanan dan proTaiwan. Walaupun demikian, banyak murid-muridnya ketika lulus meneruskan studinya di RRT, sehingga orientasi politiknya tidak mutlak pro-Taiwan.

Setiap tahun pada hari nasional RRT, tanggal 1 Oktober, diselenggarakan pertandingan atletik antarsekolah Tionghoa se-Kota Surabaya. Pertandingan tersebut biasanya diadakan di lapangan sepak bola Tambaksari dan berlangsung selama beberapa hari. Suasananya meriah dan ramai. Sekolah menengah Chiao Lian tidak ikut dalam pertandingan atletik ini karena orientasi politik pimpinan sekolah dan guru-gurunya berkiblat ke Taiwan. Di pecinan Surabaya juga terdapat berbagai toko yang menjual kelontong, P&D, sampai toko obat Tionghoa dan apotek. Juga terdapat hotel-hotel khusus untuk orang-orang Tionghoa. Di Jl Bakmi saja ada tiga hotel, yaitu Grand Hotel yang terbesar, Hotel Nan Zhou untuk orang-orang Hokkian, dan Hotel Hai Yong Zhou yang kebanyakan tamunya orang-orang Hakka. Di Jl Kapasan ada dua hotel, yaitu Hotel Ganefo dan Hotel Hollywood, serta beberapa losmen. Hotel Hai Yong Zhou lokasinya di sebelah sekolah Chiao Nan. Hotel ini didirikan orang-orang Hakka. Mungkin dulu di sekitar Jl Bakmi penghuninya banyak orang Hakka atau berasal dari Provinsi Guangdong. Hotel-hotel ini setiap hari ramai dikunjungi para pedagang Tionghoa dan tamu-tamu dengan keperluan lainnya. Banyaknya hotel di daerah tersebut membuktikan ramainya perdagangan di pecinan Surabaya pada era 1950-an. Restoran-restoran terkenal di pecinan Surabaya yang saya ingat dalah Kiet Wan Kie, Tai Sie Hie, Nan Yuan dan beberapa lagi di dalam Pasar Pabean. Di samping itu, banyak terdapat warung-warung yang menjual bakmi pangsit, bakwan, hiwan, dan sebagainya. Di luar pecinan juga terdapat banyak restoran besar dan menengah. Restoran peranakan yang terkenal adalah Hoenkwee Huis dan Helendoorn yang keduanya berlokasi di Tunjungan. Restoran-restoran Tionghoa biasanya milik orang-orang Guangzhou (Kanton). Kelezatan masakan orang-orang Kongfu memang sangat terkenal di dunia. Di samping itu, ada juga restoran gagrak Shanghai yang bernama 369 atau San Lo Jiu. Saya tidak pernah mendengar adanya restoran Sechuan di Surabaya. Biasanya, setiap hari Minggu ada pesta perkawinan anak-anak orang kaya di restoran-restoran besar yang sangat ramai. Hiburannya musik Mandarin yang hingar-bingar dari Hongkong dan Shanghai. Jarang sekali diputar lagu-lagu Barat atau musik live seperti sekarang. Teman saya, Chai Su-rung, adalah putra pemilik Restoran Tai Sie Hie yang terkenal di Surabaya. Sebelum saya meninggalkan Indonesia untuk huiguo, saya dan istri sempat makan di restoran ini. Saya memesan roti goreng ham yang merupakan favorit saya. Artis lawas Li Xianglan yang sering ditanggap ke Surabaya jaman biyen. Daerah pertokoan bovenstad yang elit dan menjadi tempat belanja favorit orang-orang kaya Surabaya tempo doeloe terletak di Tunjungan, Simpang, Palmenlaan (Panglima Sudirman, Red), dan Tegalsari. Kawasan ini bisa langsung terhubung ke Jl Raya Darmo, yang merupakan tempat tinggal orang-orang Belanda pegawai tinggi pemerintah atau pegawai tinggi perusahaan besar Belanda. Daerah pertokoan yang paling ramai adalah Tunjungan. Di sini ada Toko Aurora dan Tjijoda. Yang terakhir kepunyaan orang Jepang. Konon kabarnya, Toko Tjijoda adalah sarang mata-mata Jepang. Banyak dari mereka turut memimpin tentara Jepang ketika Jepang menyerbu Hindia Belanda. Kedua toko ini adalah mal zaman dulu. Setelah Perang Dunia II, di Tunjungan ada dua toko Tionghoa yang terkenal, yaitu Toko Piet dan Toko Nam, yang bisa menyaingi kedua toko kepunyaan Belanda dan Jepang tadi. Orang Tionghoa yang tinggal di pecinan jarang belanja di Tunjungan karena bisa membeli barang-barang di Kapasan dan Kembang

Jepun. Kualitas barang-barangnya sama, tapi harganya lebih murah. Kalau kita ingin menonton film-film Barat, kita harus keluar dari pecinan. Metropole Theatre berada di Pasar Besar, Luxor di seberangnya, Bioskop Rex di Tegalsari, Maxim di Palmenlaan, dan Capitol Theatre di Kranggan. Tempat-tempat hiburan malam, yang umumnya untuk orang-orang kulit putih, berada di Tunjungan, Simpang, Palmenlaan, dan Tegalsari. Yang masih saya ingat Simpang Club, tempat fine dining, berdansa, dan menonton konser musik Barat. Bangunan klub ini dengan arsitektur kolonial masih berdiri sampai sekarang. Pada masa itu tidak setiap orang diperkenankan masuk ke dalam klub tersebut. Hanya pegawai-pegawai Belanda yang diperkenankan masuk. Tapi, setelah Indonesia merdeka, Simpang Club dapat dikunjungi masyarakat umum, asalkan punya uang untuk membayar. Menonton pertunjukan di sini kita harus berpakaian rapi. Beda dengan menonton pertunjukan kesenian di pecinan.

Selanjutnya mari kita explore bagian dari kota ini yaitu Kampung Arab sebagai Timur Tengahnya Kota Surabaya. Dirgahayu Kota Soerabaia. LETAK KAMPUNG ARAB Dikenal sebagai Kampung Arab, daerah ini di sebelah barat dibatasi oleh Sungai Kalimas dan di sebelah timur Sungai Pegirian. Di sebelah selatan ada Jalan Kembang Jepun, Jalan Panggung, Jalan Dukuh dan di utara ada Jalan Danakarya. Sebagai jalan utama Kampung Arab adalah Jalan KH. Mas Mansyur dan jalan ini atmosfir Timur Tengahnya dapat kita rasakan.

MENGAPA DISEBUT KAMPUNG ARAB ? Memasuki daerah ini tampak aktifitas banyak orang yang berperawakan dan berparas Timur Tengah. Mereka sudah lama tinggal turun menurun mendiami daerah ini, buyut-buyut mereka adalah orang yang pertama kali menjejakkan kaki di tanah jawa. Mereka tinggal berbaur dengan masyarakat Jawa dan menempati rumah-rumah khas tempo dulu yang tinggi dan berpilar. Sedangkan profesi mereka adalah sebagai pedagang. Karena kental bernuansa Arab, maka orang menyebutnya sebagai Kampung Arab. BAGAIMANA ke KAMPUNG ARAB ? Start dari Jembatan Merah yang monumental itu dan oleh Gesang sempat diabadikan ke dalam lagu Jembatan Merah menjadi titik sentral menuju ke Kampung Arab. Kampung Arab dapat ditempuh dari Terminal Antar Kota Antar Provinsi Bungurasih dengan bus Patas P-5 (Bungurasih Jembatan Merah via Pasar Loak 4 ribuan), dilanjutkan naik becak ke Kampung Arab 5 ribuan dari Bandara Juanda dengan taxi airport langsung ke Jalan KH. Mas Mansyur sekitar 100 ribuan; dari Bandara Juanda ke Terminal Bungurasih dengan Damri 15 ribuan dilanjutkan dengan Patas P-5; dari depan Stasiun KA Gubeng naik

bemo line N ke Jembatan Merah atau line F turun di Pasar Pegirian 3 ribuan; dari stasiun KA Semut naik becak langsung ke Kampung Arab 5 ribuan; dari Pasar Turi ke Jembatan Merah naik line Q 3 ribuan atau naik line D langsung turun di Jalan Nyamplungan; dan dari Pelabuhan laut Gapura Surya Tanjung Perak naik bus P1 lewat Jembatan Merah atau naik bemo line K ke Jembatan Merah 3 ribuan. Kalau bawa kendaraan sendiri dari Jembatan Merah arahkan kendaraan anda ke Jalan Kembang Jepun dan Jalan Dukuh, atau lewat Jalan dekat Pasar Pabean. Dari Jembatan merah mau jalan kaki juga bisa, menyusuri pinggir Kalimas ke utara sekitar 700 meteran belok kanan atau ke timur. Nama Kampung Arab kurang begitu populer di telinga masyarakat Surabaya, biasanya kawasan ini sering mereka sebut Masjid Ampel, khusus kepada abang becak dan sopir taksi kalau mau kesana bilang aja ke Masjid Ampel, Jalan KH. Mas Mansyur atau Jl. Sasak, nama-nama itu mereka lebih kenal. OBYEK UTAMA KAMPUNG ARAB Namanya juga Kampung Arab, suasana yang Islami dan relijius menjadi ciri utama kawasan ini, ditandai oleh silaturahim yang erat kalau mereka bertemu (bersalaman, berpelukan atau cipika-cipiki), banyak kedai makanan timur tengah, toko minyak wangi, toko kitab, toko oleh-oleh haji dan toko busana muslim. Anda membutuhkan aneka buku tentang Islam atau Al-Quran, parfum refill atau racikan sendiri ? Coba datangi Jalan Sasak atau Jalan Panggung, bisa eceran atau grosir. Begitu juga busana muslim, kain kiloan berkualitas dan oleh-oleh haji kurma, kacang arab, tasbih, sajadah, kopiah dll bisa anda beli di Jalan KH. Mas Mansyur, Jalan Sasak dan di sepanjang Jalan Ampel Masjid. Suasana di sekitar menyerupai suasana di Tanah Suci, ingat Pertokoan Seng di Makkah ? Ya seperti itulah suasananya. Anda perlu money changer, aneka batu permata atau cincin? di Jalan Panggung tempatnya dekat pusat penjualan ikan segar Pasar Pabean. Di sekitar Jalan KH. Mas Mansyur juga tersedia travel pelayanan umrah dan haji, rumah sakit Al Irsyad dan sekolah Islam. Disamping berdagang, penduduk di kawasan ini mempunyai beberapa usaha home industri memproduksi songkok, baju taqwa, gamis, tas dan mukena semuanya untuk keperluan shalat atau ibadah haji. Yang utama di kawasan ini adalah Masjid Besar Sunan Ampel, masjid inilah yang menjadi magnet utama orang berbondong-bondong datang ke kampung ini untuk berziarah. Para peziarah datang dengan bus carteran dari berbagai daerah di Indonesia atau dari luar negeri, biasanya dalam paket wisata religi mengunjungi sunan-sunan di Jawa. Masjid Ampel ini menjadi icon Kampung Arab.

Masjid Sunan Ampel tidak tampak jelas dari bagian jalan manapun, karena masjid ini berada di dalam perkampungan yang dikelilingi rumah-rumah penduduk. Konon pada jaman penjajahan kondisi ini sengaja dibuat begitu untuk menghambat syiar agama Islam. Menuju ke Masjid Sunan Ampel dapat melalui puluhan jalan besar dan kecil, sebut saja Jalan KH. Mas Mansyur, Jalan Danakarya, Jalan Sasak dan Jalan Nyamplungan. Itu baru jalan besarnya belum lagi harus masuk ke titik utamanya bisa lewat Jalan Ampel Melati, Ampel Maghfur, Ampel Lonceng, Ampel Suci, Ampel Mulia, Ampel Kesumba, Ampel Cempaka, Ampel Masjid, Ampel Rakhmat, Ampel Kembang, Jalan Nyamplungan I s/d XII, Jalan

Petukangan, Jalan Sukodono dan Jalan Pegirian. Bagi yang telah kenal betul daerah ini, ke Masjid Ampel bisa lewat jalan tikus yang ada diantara rumah-rumah tinggal penduduk. Pada radius maksimum 2 km dari Kampung Arab, bisa kita singgahi House of Sampoerna, Jembatan Merah (JMP), Pasar Atom dan Kya-Kya Kembang Jepun (bernuansa etnik China), Stasiun Semut, ITC Mega Grosir Jalan Gembong, Pasar Grosir pakaian Kapasan, Pangkalan Angkatan Laut (ARMARTIM), Tugu Pahlawan, Kantor Pos Besar, Pasar Pabean dan Pasar Pegirian. Ada yang special pada hari minggu pagi tepatnya di depan Stasiun KA Semut sampai ke Tugu Pahlawan digelar pasar kaget khusus menjual fashion seken import, dipilih dipilih cari yang bagus dan branded anda tak akan rugi. KULINER KAMPUNG ARAB Tidak perlu susah payah membuat masakan timur tengah atau mencari sampai ke negeri asalnya, cukup datang ke Kampung Arab tepatnya di sepanjang Jalan KH. Mas Mansyur Surabaya. Di situ ada beberapa depot yang menjual kambing oven, kambing oven madu, nasi kebuli, nasi tomat, sate kambing, gule, kikil, dan roti maryam atau gule kacang hijau. Masakan kaya rempah yang selalu menggugah selera ini bisa didapat di Depot Tujuh , Depot Mutlik dan di sebelahnya ada RM Yaman.Begitu juga dengan makanan kecilnya berupa kue khas arab, sambosa, kebab, martabak telor, kue khamir dan pukis arab. Bukan saja masakan khas timur tengah yang dijual di kawasan ini, makanan khas asli Suroboyoan- juga ada disini, sebut saja rujak cingur, gado-gado, soto daging, soto ayam, semanggi, krengsengan, sate karak, tahu campur, lontong balap, sate kambing dan kikil 'Sedayu' di pojok perempatan Jalan Panggung. Minumannya es degan (kelapa muda), es tape, es kacang ijo, es ketan ireng (ketan hitam) dan es blewah. Ukh nyam nyam

PENGINAPAN Mau stay di Hotel bintang atau yang budget juga ada disini, Hotel IBIS di Jembatan Merah, Hotel Grand Kalimas, Hotel Mesir, Hotel Kalimas, Hotel KAHA, Hotel Kamajuan di Jalan KH. Mas Mansyur, Hotel Kalimantan dan Hotel Akasia Grand, Hotel Andalus di ujung barat Jalan Danakarya. Hotel budget juga ada di Jalan Petukangan namanya Hotel Walisongo. GUDANGNYA BANGUNAN KUNO Kawasan Surabaya Utara di sepanjang Sungai Kalimas adalah gudangnya bangunan kuno tempo dulu. Menurut sejarahnya Sungai Kalimas ini sangat sibuk lalu lintas kapalnya. Karena sungai ini bisa dilayari kapal-kapal rakyat yang mengangkut komoditi untuk diperdagangkan dari dan ke Kota Surabaya. Sungai Kalimas ini dulunya sangat terpelihara sebagai urat nadi perekonomian Kota Surabaya. Di kiri kanan sungai ini terdapat puluhan pergudangan Belanda yang masih ada sampai sekarang. Arsitekturnya sangat indah dilihat, apalagi pada jamannya pasti sungguh mempesona karena semuanya masih utuh dilihat. Disitu juga ada lintasan rel kereta api yang tidak difungsikan lagi. Selain itu Kota Surabaya dulu punya trem listrik lho, hebat benar kota ini di masa lalu. I LOVE SOERABAIA.

Di Petekan dekat pintu masuk Pangakalan AL disitu ada jembatan yang bisa membuka dan menutup untuk melayani keluar masuknya kapal. Namun jembatan bersejarah itu sudah dipreteli sehingga tidak berfungsi lagi, saat ini kapal besar tidak bisa melewati jembatan itu. Bangunan kuno yang dipakai sebagai rumah, kantor atau pergudangan banyak tersebar di sekitar Kampung Arab. Sebut saja di Jalan KH Mas Mansyur, Jalan Kalimas, Jalan Kebalen, Jalan Babakan, Jalan Kembang Jepun, Jalan Nyamplungan, Pasar Pabean, Jalan Kalisosok, Jalan Panggung, Jalan Bibis, Jalan Dukuh dan di sekitar Jembatan Merah, semua itu adalah gudangnya bangunan kuno. Tempat-tempat ini sering dipakai untuk foto-foto pre wedding dengan thema tempo dulu.

SPECIAL MASJID AMPEL Seperti yang udah aku jelaskan sekilas di atas, kalau bawa kendaraan roda 2 atau 4 bisa parkir di barat masjid lewat Jalan KH. Mas Mansyur kemudian masuk ke Jalan Petukangan dari situ bisa tanya dimana Masjid Ampel ? Kalau pake bus besar biasanya mereka parkir di sepanjang Jalan KH. Mas Mansyur atau area parkir khusus bus dekat RPH (Rumah Pemotongan Hewan) di Jalan Pegirian. Bagi pejalan kaki nggak masalah masuk dari arah mana aja juga bisa, kalau pake sepeda motor nggak masalah namun disitu jalannya kecil-kecil jadi sepeda motor dilarang untuk dinaiki biasanya harus dituntun.

Masjid yang bagian timur dan baratnya terdapat makam para penegak Islam dan makam para syuhada haji yang meninggal tatkala pesawatnya jatuh di Colombo, ada yang dimakamkan di sekitar masjid. Makam utamanya adalah makam Sunan Ampel (R. Rakhmat) dan makam Mbak Sholeh, murid Sunan Ampel. Setiap menjelang waktu shalat tiba beduk dipukul oleh petugas masjid sebagai pertanda masuknya waktu shalat, kemudian adzan dikumandangkan lewat pengeras suara. Sebelum ada pengeras suara adzan dikumandangkan dari atas menara masjid dan petugasnya harus menaiki tangga yang tinggi, hingga kini tangga tersebut masih ada. Sebelum shalat, kita wudhu sejenak di tempat yang melingkar dan di bawahnya dikelilingi kolam air untuk membasuh kaki terakhir kali. Titipkan alas kaki pada orang-orang yang menawarkan jasa penitipan alas kaki atau dibawa ke dalam masjid tapi harus dibungkus dalam tas plastik. Di sekitar sana juga ada toilet untuk pria dan wanita. Melaksanakan shalat dan berdzikir di masjid ini sangat nyaman yang membuat hati lebih tenang. Bagi kaum pria bisa beribadah di bagian dalam atau di teras masjid, sedangkan kaum wanita ada bangunan khusus di sebelah selatan masjid. Setelah melaksanakan shalat dan berdzikir serta berdoa untuk keselamatan semua, biasanya para peziarah mendatangi makam-makam pendahulu Islam di sekitar situ. Tidak ada entrance fee untuk masuk ke masjid atau tempat lainnya di kawasan ini, namun kalau anda ingin bersedekah atau ber-infaq disana banyak tersedia box kotak amal. Setelah menziarahi makam, banyak para peziarah yang minum air dari Masjid Ampel yang disediakan disitu. Atmosfir yang berbeda pula bisa anda saksikan ketika dilangsungkannya Haul Hari Ulang Tahun Sunan Ampel, seni budaya Islam sangat kental dipertontonkan oleh masyarakat sekitar dan para tamu yang hadir. Sangat semarak ..

Bagi yang belum pernah ke tanah suci apalagi bagi yang domisilinya tidak jauh dari Kampung Arab, sering datanglah kesini. Apalagi berkunjung di hari jum'at untuk jum'atan, datang lebih awal lebih baik untuk melihat orang datang berbondong-bondong ke Masjid Ampel. Suasana disini menyerupai suasana di Tanah Suci, jadi tempat ini sangat cocok sebagai tempat ber-adaptasi sebelum ke Tanah Suci. Khusus bagi calon jamaah umrah dan haji, sebelum mereka berangkat ke Tanah Suci biasanya mereka mapir membeli oleh-oleh di Kampung Arab ini seperti kurma, kacang arab, tasbih, sajadah dan lainnya. Mereka tidak mau repot-repot membawa oleh-oleh jauh dari sana, yang dibelinya hanya oleh-oleh yang tidak ada di tanah air saja.

Kisah Berdirinya T ugu Pahlawan


Wednesday, February 18th, 2009 | Filed under catatan | Posted by Suparto Brata

Seorang Presiden pada tanggal 10 November 1951 meletakkan batu pertama dari suatu rencana raksasa: Tugu Pahlawan, setinggi 45 meter. Batu itu ditancapkan di tengah-tengah Kota Surabaya, di sebuah tempat bekas reruntuhan gedung yang hancur dalam perjuangan mendirikan negara, di depan Kantor Gubernur Jawa Timur. Bersamaan dengan peletakan batu pertama itu ditanamkan juga sebuah piagam yang berbunyi: Pada hari ini, Hari Pahlawan 10 November 1951, di Kota Surabaya, P.Y.M.Presiden Republik Indonesia Dr. Ir. Sukarno, dengan disaksikan oleh rakyat Indonesia di Surabaya, berkenan meletakkan batu pertama untuk mendirikanTugu Pahlawan guna memperingati pengorbanan Pahlawan-pahlawan Kemerdekaan Negara dan Bangsa Indonesia pada tanggal 10 November 1945. Semoga Tugu ini, yang diselenggarakan atas nama penduduk Kota Surabaya oleh Kepala Daerah Kota Besar Surabaya, Dul Arnowo, menjadi peringatan rakyat Indonesia sehingga akhir zaman. Presiden Republik Indonesia, Dr. Ir. Sukarno. Gubernur Jawa Timur, Samadikun. Walikota Surabaya, Dul Arnowo. Tentu saja naskah piagam itu ditulis dalam bahasa Indonesia ejaan Soewandi (ejaan lama). Segera setelah upacara ini selesai, maka pekerjaan pembangunan Tugu Pahlawan mulai diselenggarakan. Dan pada tanggal 10 November 1952 Presiden yang sama meresmikan pembukaan Tugu Pahlawan itu, yang ternyata tingginya hanya 45 yard! Seperti tertera di dalam piagam yang ditanam beserta batu pertama, maka sebagai pembawa cita-cita untuk mendirikan Tugu Pahlawan ini dapat disebutkan tokoh seorang kurus, bertubuh kecil, tetapi selalu ikut berjuang dalam kancah pertempuran Surabaya serta menjadi walikota Surabaya sejak kembalinya kedaulatan negara Republik Indonesia. Tokoh itu tidak lain adalah Dul Arnowo. Ia kecuali dikenal sebagai seorang warga kota yang kawakan, juga populer di kalangan pejuang di Jawa Timur. Dul Arnowo sudah sejak tanggal 2 September 1945 berprakarsa membentuk pemerintahan Kota Surabaya yang jadi bagian dari Negara Republik Indonesia proklamasi 17 Agustus 1945. Dul Arnowo yang pada zaman Jepang bekerja pada pemerintahan Surabaya Shi (kota) menjabat sebagai Ketua BPP (Badan Pembantu Prajurit) yang kantornya di Jalan Kaliasin (sekarang Basuki Rakhmat) 121, hari itu membentuk dua organisasi yang mewakili adanya pemerintahan Republik Indonesia yang merdeka. Organisasi itu adalah: BPKKP (Badan Penolong Keluarga Korban Perang) dan BKR (Badan Keamanan Rakyat). Ketua BPKKP, yang lebih mengurusi urusan administrasi (sipil) tata kota adalah Dul Arnowo (mantan Ketua BPP), wakil-ketuanya Mohamad Mangundiprodjo (mantan Daidancho Peta Buduran Sidoarjo). Sedang Ketua BKR adalah Drg. Mustopo (mantan Daidancho Peta Gresik), yang mengurusi soal pertahanan dan keamanan Kota Surabaya (dan Jawa Timur). Sangat penting tindak-tanduk Ketua BPKKP dan wakilnya, yaitu sama-sama menyadari bahwa untuk mempertahankan kedaulatan negara RI itu bukan saja diperlukan kekuatan bersenjata tapi juga dibutuhkan dana untuk membiayai perjuangan itu. NEGARA RI LAHIR TANPA MODAL SESEN PUN.

MODALNYA HANYALAH SECARIK KERTAS TEKS PROKLAMASI KEMERDEKAAN SERTA SEMANGAT DAN TEKAD RAKYAT Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan negaranya (saya ketik huruf kapital, karena itu pernah terucap oleh Dul Arnowo ketika membentuk pemerintahan sipil di Surabaya, 2 September 1945). Modal materiel beserta segala piranti aparat pemerintah itu harus dicari sendiri oleh rakyat. BPKKP selaku aparat juga harus mencari dana itu. Dul Arnowo dan Mohamad Mangundiprodjo yang diserahi jabatan pada BPKKP harus berfikir keras berupaya mencari dana bagi perjuangan menegakkan negara. Dapat dicatat bahwa pencarian dana itu oleh Dul Arnowo dan Mohamad Mangundiprodjo akhirnya teratasi, yaitu dengan berhubungannya dengan Dr. Samsi Sastrawidagda (menjabat Menteri Keuangan kabinet RI pertama sebelum Mr. Maramis) yang memberi petunjuk bahwa di Bank Escompto di Surabaya tersimpan uang peninggalan pemerintah Hindia Belanda yang disita Jepang. Uang itu akhirnya digedor oleh Mohamad Mangundiprodjo, uangnya sebagian disumbangkan ke pemerintahan Pusat RI, selebihnya dijadikan dana perjuangan melalui organisasi Dewan Pertahanan Rakyat Indonesia di Surabaya, diketuai oleh Mohamad Mangundiprodjo. Maka tidak aneh kalau di Surabaya terdapat nama jalan yang besar bernama H.R.Mohamad Mangundiprodjo. Tapi agak aneh, tidak ada nama Jalan Dul Arnowo, yang ada hanyalah nama gang kampung, yaitu Genteng Arnowo. Padahal pemikir pemerintahan sipil di Surabaya yang pertama ketika merdeka adalah Dul Arnowo, dan yang menemukan dana perjuangan untuk pemerintahan Pusat RI dan perjuangan mempertahankan Kota Surabaya (sebagian uang juga dibawa ke Markas BKR Jawa Timur, markasnya Drg. Mustopo gedung HVA yang sekarang menjadi gedung PTP Jalan Merak) yaitu karena hubungannya dengan Dr. Samsi juga oleh Dul Arnowo. Dr. Samsi pada akhir pendudukan Jepang menjadi Kepala Kantor Tatausaha dan Pajak di Surabaya. Jadi sama-sama menjabat pemerintahan sipil di Surabaya bersama Dul Arnowo. Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 Dr. Samsi-lah pemimpin Surabaya yang pertama kali menemui Laksamana Shibata membicarakan masalah yang dihadapi Indonesia merdeka (buku Shibata Yaichiro Surabaya After Surrender 1986). Cita-cita, pengabdian serta perjuangan Dul Arnowo terhadap NKRI berlanjut ketika menjadi walikota Surabaya 1951. Dialah yang berprakarsa mengganti nama-nama jalan di Surabaya yang sejak zaman Belanda hingga Jepang bernama nama-nama Belanda (lain waktu saya tulis soal nama-nama jalan di Surabaya ini). Dan lalu juga berprakarsa mendirikan Tugu Pahlawan ini. Untuk lebih memberikan arti kepada Tugu yang hendak didirikan itu, diputuskan bahwa Tugu ditempatkan di bekas puing-puing reruntuhan Gedung Kenpeitai zaman Jepang. Bekas-bekas reruntuhan gedung ini pernah membawa penderitaan yang tidak gampang dilupakan para pejuang kemerdekaan dari zaman ke zaman. Sesudah menjadi gedung Raad van Justitie (gedung pengadilan) pada zaman Nederlands Indi, pada zaman Nippon menjadi markas Kenpeitai (polisi militer Jepang, di mana para patriot bangsa yang dianggap melawan Jepang ditawan dan disiksa, misalnya Ir Darmawan, tokoh ludruk Durasim). Dan pada saat meletusnya pertempuran 10 November 1945 gedung ini juga jadi pusatnya gerakan pemuda (PTKR = Polisi Tentara Keamanan Rakyat pimpinan Hasanudin Pasopati dan N. Suharyo Kecik), yang kemudian gedung tadi menjadi bulan-bulanan sasaran peluru mortir dan peluru meriam dari kapal laut, dan bom dari pesawat terbang Thunderbolt, keduanya bagian dari angkatan perang Inggris. Peristiwa ini pernah digambarkan dalam perangko-perangko Republik Indonesia yang beredar pada tahun-tahun pertama kemerdekaan. Dengan dibubuhi teks: Surabaya 10 November 1945. Termasuk perangko seri pertempuran Pertempuran yang terjadi pada tempat itu bermula terjadi pada 30 September 1945 menjelang pagi 1 Oktober 1945 karena tekad pemuda-pemuda Surabaya untuk melucuti senjata tentara Jepang. Pelucutan senjata Jepang pada malam yang sama di tempat-tempat lain di Surabaya begitu lancar dan tidak menimbulkan pertempuran, hanya di Markas Kenpeitai itu dan Markas Kaigun (Angkatan Laut Jepang) di Gubeng Pojok yang memetik pertempuran dan makan kurban cukup banyak dari kedua belah pihak (pihak Indonesia dan pihak Jepang), dan baru tanggal 2 Oktober 1945 pertempuran selesai, atas hasil perundingan para pejabat. Markas Kenpeitai berhasil didamaikan atas perundingan antara Panglima Angkatan Darat Jawa Timur Jepang (Tobu Jawa Butai) Jenderal Iwabe dengan kelompok pejabat Jawa Timur Tentara Keamanan Rakyat pimpinan Drg Mustopo (Panglima TKR Jawa Timur, karena itu di

Surabaya ada jalan Prof. Dr. Mustopo) di Markas Gedung HVA (sekarang Jalan Merak). Markas Kaigun berhasil didamaikan atas perundingan antara Laksamana Muda Laut Shibata dengan Ketua BKR Kota Surabaya Sungkono (karena itu di Surabaya ada jalan Majen Sungkono), di rumah Shibata Ketabang Boulevard (sekarang Jalan Jaksa Agung Suprapto; saya tidak tahu kaitannya Jaksa Agung Suprapto dengan Surabaya. Pernahkah ada yang meneliti?). Akhirnya pertempuran di Markas Kenpeitai Jepang yang lalu jadi Markas PTKR itu hanya meninggalkan reruntuhan-reruntuhan saja. Kebanggaan dan kemegahan kolonialisme hilang bersama hancurnya gedung yang beriwayat banyak menimbulkan kurban jiwa patriotis bangsa Indonesia. Tugu Pahlawan, atau Perumahan Rakyat. Cita-cita pendirian Tugu Pahlawan ini pada mulanya mendapat sanggahan juga dari beberapa kalangan di Kota Surabaya sendiri. Mereka beranggapan bahwa perumahan rakyat adalah usaha pertama-tama yang harus diwujudkan. Bukannya usaha mendirikan tugu. Tetapi cita-cita ini pun mendapat dukungan dari rakyat, dengan demikian rencana mendirikan Tugu Pahlawan bisa mulai dilaksanakan. Seorang utusan berangkat ke Jakarta membawa sebuah rencana (ontwerp). Presiden tidak bisa menyetujui ontwerp itu dan menyarankan bentuk paku untuk Tugu Pahlawan yang bakal didirikan itu. Kemudian seorang berbadan besar, berkacamata, meneruskan usaha pendirian Tugu ini, karena Walikota Dul Arnowo (Walikota Surabaya 1950-1952) dipindahkan ke Jakarta. Orang yang berbadan besar itu adalah Walikota Surabaya yang baru, bernama R.Mustajab Sumowidigdo (Walikota Surabaya 1952-1956), yang namanya kini juga diabadikan untuk menamai jalan di depan rumah dinas kediaman Walikota Surabaya, penggantian nama jalan diresmikan tahun 1973 oleh Walikota Surabaya R.Sukotjo (Walikota Surabaya 1965-1974). Jalan itu dulu (sejak zaman Belanda) mempunyai nama yang unik, tidak ada yang menyamai di seluruh dunia, yaitu Ondomohen. Ondomohen itu bukan bahasa Jawa, bukan bahasa Belanda. Tidak ada artinya dalam kedua bahasa itu, di kamus pun tidak ada. Jadi, kata Ondomohen di seluruh bahasa dunia artinya ya nama jalan di Surabaya itu. Oleh karena itu ketika Walikota Surabaya Dul Arnowo mengganti nama-nama jalan yang berbau bangsa atau bahasa Belanda tahun 1952, nama jalan Ondomohen tidak katut diganti. Ondomohen adalah bahasa Surabaya, milik orang Surabaya, khusus untuk nama Jalan Ondomohen di Surabaya. Tentang mendirikan Tugu Pahlawan, oleh Walikota Surabaya yang baru, R.Mustajab, kemudian dikirimkan lagi utusan ke Jakarta untuk memperlihatkan dua belas ontwerp yang disusun menurut petunjuk-petunjuk Presiden. Pilihan terakhir jatuh kepada sebuah ontwerp, tetapi yang terakhir inipun mengalami perubahanperubahan. Salah satu di antaranya: tiang bendera yang hendak dipancangkan di pucuk tugu harus dihilangkan. Kerja Non-stop 40 Jam. Dengan bantuan sepenuhnya dari jawatan-jawatan pemerintah seperti PJKA, Kantor Telepon, Jawatan Gedung-gedung, dan beberapa instansi swasta seperti Aniem (Perusahaan Listrik sebelum dinasionalisasi), BPM (sebelum dinasionalisasi jadi Pertamina), serta juga dari Angkatan Darat dan Angkatan Laut, penyelenggaraan pembangunan Tugu dimulai pada tanggal 20 Februari 1952. Untuk pondasi saja harus digali tanah sebanyak 620 M3. Pekerjaan ini lalu disusul dengan pengecoran beton untuk werkvloer seluas 247 M3 dengan tebal 6 cm. Beton yang disusun pakai perbandingan 1:3:6. Selesai pada tanggal 5 April 1952. Pekerjaan pengecoran beton oleh Balai Kota ini kemudian dilanjutkan oleh Indonesian Engineering Corporation, sebuah pemborong usaha nasional, untuk membuat pondasi. Besi beton yang dihabiskan oleh pembuatan beton ini mencatat angka 19 ton. Sedang isi beton bertulang memakan campuran sebanyak 620 M3. Pekerjaan ini lalu disusul pengecoran beton dengan perbandingan 1:2:3. Oleh karena pengecoran harus diselesaikan sekali gus, maka untuk itu empat buah mesin pencampur beton harus dikerahkan, dengan tenaga 120 orang yang bekerja bergiliran selama 40 jam nonstop. Pekerjaan inipun selesai pada tanggal 3 Juni 1952. Dari 45 Meter jadi 45 yard. Juga IEC yang kemudian mendapat kepercayaan untuk mengerjakan Tugu hingga 30 meter. Sedang

sisanya 11,3 meter diselesaikan oleh pemborong Sarojo. Rencana untuk mendirikan Tugu Pahlawan setinggi 45 meter sekarang ternyata tidak bisa dilaksanakan lagi. Ia cuma bakal setinggi 45 yard, atau 41,13 meter. Keadaan ini disebabkan karena rencana kekuatan Tugu setinggi 45 meter tidak terpenuhi. Kalau toh kekuatan ini harus disesuaikan dengan rencana lama, maka jangka waktu pengerjaan satu tahun yang diberikan itu tidak mungkin terpenuhi. Juga adanya peraturan-peraturan penerbangan menyebabkan rencana ini dikurangi jadi 45 yard saja. Terutama kalau ada penerbangan di waktu malam. Karena itu pada mahkota di atas tugu yang beratnya ditaksir tiga ton bakal dipasang lampu-lampu dan kaca merah. Pembangunan bagian bawah Tugu yang mencapai tinggi 30 meter itu berakhir tepat pada tangggal 17 Agustus 1952, yaitu setelah dua bulan terus-menerus dikerjakan. Untunglah bahwa perhitunganperhitungan dan perubahan menjadi 45 yard itu terjadi sesudah bagian bawah selesai dikerjakan. Hingga waktu itu sudah ada 70 orang pekerja dikerahkan. Pekerjaan pengecoran malahan meminta tenaga lebih banyak, sampai sejumlah 80 orang, tetapi hasil yang diberikan tidaklah seperti yang direncanakan. Setiap hari mereka cuma berhasil mengecor sebanyak 5 M3. Ini disebabkan karena makin tinggi memanjat, makin sukar pelaksanaan pengecorannya. Kekurangan-kekurangan ini kemudian menimbulkan gagasan baru, yaitu untuk mempergunakan semacam lift. Menurut pendapat baru ini ternyata hasilnya naik, sehari menjadi 9 M3. Dan tinggi yang 30 meter itu pengecorannya selesai dalam tiga minggu. Biayanya Cuma Setengah Juta. Pekerjaan pembikinan bagian atas serta mahkota mengalami kesukaran-kesukaran sedikit, karena tenaga pekerja-pekerja jarang yang bisa dan berani memanjat setinggi itu. Walaupun upah sudah dinaikkan menjadi tiga kali atau empat kali lipat. Menurut perhitungan terakhir pembuatan Tugu itu menelan sejumlah 170 M3 beton kricak, pasir dan pasir urug 530 M3 serta semen Portland (semacam Semen Gresik yang harus diimport, karena Semen Gresik baru dibangun 1958) 2408 bungkus. Biaya seluruhnya ditaksir Rp 500.000,00 yang didapat dari sumbangan-sumbangan para dermawan. Kerja Acak-acakan Yang Abadi. Tugu Pahlawan ini mempunyai 10 lengkungan (canalurus) pada badannya yang melambangkan tanggal 10. Sedang 11 bagian (gelindingen) di atasnya mengandung pengertian bulan ke 11 atau bulan November. Tinggi yang 45 yard itu dengan sendirinya menyatakan tahun 1945 sebagai tahun terjadinya pertempuran di Surabaya. Keistimewaan Tugu Pahlawan ini adalah bahwa di bagian dalamnya terdapat tangga yang melilit dindingnya untuk naik sampai puncaknya. Hanya anehnya, beberapa saat setelah Tugu diresmikan pembukaannya, maka terjadi semacam skandal di dalam pembuatannya. Tugu itu di bagian tengah tampak miring dan tidak lurus. Penanggung jawab dari kecerobohan ini kabarnya ditimpakan kepada IEC. Sampai kemudian menjadi rahasia umum di Surabaya, bahwa Tugu Pahlawan itu bakal dibongkar kembali untuk mendapat perbaikan seperlunya. Tetapi, inipun tidak pernah ada kenyataannya. Tugu Pahlawan itu tetap miring di tengah, dan tetap tidak dibongkar. Keabadian miringnya Tugu Pahlawan merupakan peringatan hasil kerja acak-acakan. Semoga dijadikan suri teladan untuk para penguasa kota yang kemudian, agar kerja acak-acakan seperti itu jangan terjadi lagi, jangan terulang lagi. Untuk mengerjakan proyek hendaknya direncanakan sejak ontwerpnya, pembeayaannya, sampai penjadwalan pengerjaannya. Waktu pengerjaan Tugu Pahlawan dulu, memang belum ada perencanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah seperti sekarang. Semoga adanya APBD-APBN menjadikan pembangunan bangsa dan negara menjadi lebih baik daripada zaman 1950-an. Menurut catatan, Rencana Ongkos Pembikinan Tugu Pahlawan waktu itu ialah Rp 400.000,00. Dana diperoleh dari pungutan pada masyarakat. Penerimaan kas dari pungutan sampai dengan tanggal 5 November 1952 baru terkumpul Rp 335.486,66. Yaitu sumbangan-sumbangan (ketika itu disebut bantuan) dari Grosier2 beras Rp 116.450,00; Persatuan Kaum Ibu Rp 15.500,00; Pasar Malam PMIPhin Lauw Yuan Rp 4.343,80; Lingkungan Pacarkeling Rp 229,60; Panitya Penyelenggara Pertandingan Armada India Rp 494,00; Pemohon2 memasukkan beras dari luar daerah Rp 15.530,67 (tapi yang Rp 4.450,00 akan diminta kembali oleh pemohon2 itu karena permohonannya tidak diijinkan); Persibaya (waktu itu belum Persebaya) Rp 4.428,60; Sepakbola Lebaran Rp 60,90; Hadiah Bung Karno Rp

10.000,00; dari khalayak ramai melalui suratkabar Suara Rakyat Rp 1.875,00; Hadiah Bu Samadikun Jl. Pahlawan 7 (isteri Gubernur Jatim) Rp 100,00; sumbangan Perkumpulan Gie Hoo Rp 170,75; Jawatan Pelabuhan Surabaya Rp 78,60; stamvergunninghouders beras Rp 145.071,13; dari Penjualan Kupon Rp 20.870,61; Ikatan Pegawai Negeri di Penataran Angkatan Laut Surabaya Rp 70,00; sumbangan A. Djalil M.E.T.P. Riouw Udjung Jakarta, Rp 10,00; R. Sastromihardjo Kepala Setasiun Tarik Rp 28,00; Inspeksi Kesehatan Rp 175,00; . Jumlahnya belum mencapai rencana ongkos, tapi dalam laporan kas itu disebutkan bahwa dari Penjualan Kupon ditaksir akan diterima lagi Rp 45.000,00 dan dari Stamvergunninghouders beras sampai dengan ultimo November 1952 akan diterima lagi Rp 30.000,00; sehingga ditaksir akan diterima seluruhnya Rp 410.486,66. Sampai dengan 5 November pengeluaran yang sudah dilaporkan baru sampai Rp 196.231,30. Antara lain perongkosan2 ke Jakarta tiga kali jumlahnya Rp 4.500,00; tapi oleh utusan2 itu dikembalikan Rp 1.000,00 kepada panitia. Laporan atau balans itu ditandatangani oleh Bendahara Tugu Pahlawan Surabaya, R. Soetarto dan Ketua R. Moestadjab Soemowidigdo.

Sejarah Gedung Negara Grahadi Surabaya


Gedung Negara Grahadi berdiri sejak 1795 pada masa Belanda. Kini, meski usia sudah lebih 2 abad tetap berdiri kukug dan megah. Terletak dijantung kota Surabaya, tidak jauh dari pusat perbelanjaan Tunjungan Plasa, tepatnya di Jalan Gubernur Suryo wisatawan dapat menjumpai sebuah bangunan megah yang memiliki sejarah pada masa lampau. Gedung ini lebih dikenal dengan sebutan Grahadi karena di dalam gedung ini terdapat sebuah ruang rapat yang bernama Grahadi. Grahadi berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari dua suku kata Graha berarti Rumah dan Adi berarti derajat yang tinggi. Nama Grahadi mempunyai makna rumah yang mempunyai nilai atau derajat yang tinggi. Meskipun dua abad telah berlalu tetapi gedung ini tetap berdiri kokoh dan masih tetap dalam wujud aslinya. Bagi peminat dan pengagum arsitektur ada pandangan pertama tentu akan terpesona dengan penampilan arsitekturnaya yang khas yakni gaya arsitektur pada waktu pemerintahan Hindia Belanda yang didominasi oleh garis-garis lempang, vertikal dan horizontal dengan perbandingan yang seimbang dan estetis sehingga wajarlah jika gedung ini dikategorikan dalam bentuk bangunan-bangunan monumental yang terkonservasikan dengan baik. Gedung yang bertingkat dua ini mempunyai luas bangunan induk 2016 m2, bangunan penunjang 4.125,75 m2 dan terletak di atas tanah seluas 16.284 m2. Pada lantai I dalam gedung terbagi menjadi beberapa ruangan antara lain ruang tamu, ruang rapat Muspida Tingkat I Jawa Timur. Pohon palem tiang bendera dan rumput hijau yang terhampar di halaman menambah pemandangan ini semakin asri. Gedung yang menyimpan banyak peristiwa bersejarah ini dapat dikunjungi oleh wisatawan mulai hati Senin sampai Kamis pukul 08.00-13.00 WIB,hari Jumat pukul 08.00-11.00 WIB,hari Sabtu pukul 08.00-12.00, sedangkan hari Minggu ditutup untuk umum. Tiga atau empat hari sebelum dikunjungi wisatawan hendaknya mengirimkan surat pemberitahuan kepada Kepala Bagian Rumah Tangga Biro Umum Setwilda Tk. I Jawa Timur, Jl. Pahlawan 110 Surabaya. Dibelakang gedung mengalir sungai Kali Mas yang digunakan untuk wisata air dengan menggunakan perahu mengikuti arus sungai untuk menikmati sebagian kota Surabaya. Wisata air ini dibuka untuk umum mulai har Senin sampai hari Jumat pukul 17.00-19.00 WIB, hari Sabtu pukul 13.00-19.00 WIB,hari Minggu pukul 09.00-19.00 WIB. Di tepi sungai Kali Mas juga terdapat Taman Prestasi dimana anak-anak dapat bermain sambil berekreasi. Taman Prestasi dibuka untuk umum setiap hari pada sore hari.

Konstruksi Bangunan Gedung yang usianya lebih dua abad ini memang masih tampak kokoh karena selain didukung oleh gaya arsitektur juga didukung oleh konstruksi bangunan yang sangat kuat. Tembok-tembok,dinding ruangan yang luas dan tinggi, baik di lantai I maupun di lantai II semuanya dari batu merah yang besar-besar tanpa dukungan beton dan semen, namun tampak kuat dan kokoh. Ventilasi dan sirkulasi udara dalam ruangan dengan pintu-pintu dan jendela-jendela yang terbuat dari kayu dan kaca bening yang besar-besar, menjadikan ruangan terasa segar dan terang pada siang hari. Kayu jati, kecuali untuk kusen pintu dan jendela,juga dipergunakan sebagai bahan baku utama penopang bangunan tingkat I maupun sebagai lantai. Seluruh ruangan ditingkat atas lantainya terbuat dari kayu jati yang tebal sebagai sarana penopang bangunan dipergunakan balok-balok besar dalam ukuran yang panjang. Tangga yang menghubungkan lantai dasar dengan ruangan tingkat I seluruhnya terbuat dari bahan kayu jati yang sampai kini masih asli. Gedung ini juga dilengkapi serambi terbuka(teras) dengan bagian depan bangunan yang atapnya ditopang oleh plar-pilar dalam arsitektur Romawi/Yunani. Sejarah Gedung Negara Gedung Negara dibangun pada tahun 1795. Waktu itu penguasa tunggal (Gezaghebber) Belanda, Dirk Van Hogendorp (1794-1798) beranggapan bahwa tempat kediaman resminya di kota bawah, dekat Jembatan Merah, kurang sesuai dengan kedudukannya. Ia memilih sebidang tanah di tepi Kali Mas untuk dibangun sebuah rumah taman yang lebih representatip. Tanah di Jalan Pemuda yang dulu bernama Simpang, milik seorang Cina yang semula segan menyerahkannya kepada Van Hogendorp, namun menurut cerita ia akhirnya berhasil dipaksa secara halus dengan pernyataan bahwa tanah itu akan disimpan baginya. Menurut cerita, pemiliknya hanya diberi ganti rugi segobang (2.5 sen). Dari kata disimpan tadi lahirlah kata Simpang. Van Hogendorp membangun gedung itu dengan biaya 14.000 ringgit. Namun ia menikmati tempat kediaman itu hanya sekitar tiga tahun saja. Selama ia memangku jabatannya banyak keluhan disampaikan kepada Pemerintah Pusat Hindia Belanda di Batavia(Jakarta), antara lain ia dituduh menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Itulah sebabnya ketika diadakan resepsi Tahun Baru pada tanggal 1 Januari 1798 ia ditangkap dan dikirim ke Batavia. Guberbur Jenderal Belanda Daendels yang terkenal dengan sebutan Toean Besar Goentoer memperbaiki Gedung Grahadi, ia ingin menjadikan gedung itu sebagai suatu Istana. Disamping itu, juga dibangun sebuah jembatan di atas Kali Mas yang kini mengalir di belakang gedung tersebut. Pada mulanya Gedung ini memang menghadap ke Kali Mas, sehingga pada sore hari penghuninya sambil minum teh dapat melihat perahu-perahu yang menelusuri kali tersebut. Perahu-perahu itu juga dimanfaatkan sebagai sarana transportasi. Mereka datang dan pergi dengan menggunakan perahu menelusuri Kali Mas. Dalam perkembangan berikutnya gedung yang megah itu juga dipakai untuk tempat bersidang Raad van Justitie(Pengadilan Tinggi), juga dipakai untuk pesta,resepsi dan lain-lain. Pada tahun 1802 Gedung Grahadi yang semula menghadap utara diubah posisinya menjadi menghadap selatan seperti sekarang ini. Diseberangnya ada taman yang bernama Kroesen(Taman Simpang), yang diambil dari nama Resident J.C. Th. Kroesen (1888-1896). Di belakang taman itu ada patung Joko Dolog yang berasal dari kerajaan Singosari yang sekarang masih berdiri kokoh. Sejak Indonesia merdeka Gubernur Jawa Timur pertama yang bertempat tinggal di Grahadi ialah R.T. Soerjo(1946-1948) yang patungnya kini tampak diseberang jalan gedung tersebut. Sejak Gubernur Samadikoen(1949-1957) sampai sekarang gedung ini dijadikan Gedung Negara untuk menerima tamu, resepsi, serta pertemuan-pertemuan lain, sedangkan Gubernur sendiri bertempat tinggal di kediaman lain di dalam kota Surabaya.

Balai Kota Surabaya (Staadhuis te Soerabaia),


1 Gedung-balaikota-surabaya-tahun-1940-an

SURABAYA, kota yang di masa lalu menjadi salah satu pelabuhan penting Kerajaan Majapahit, kota yang dikenal pula karena perjuangan heroiknya saat peristiwa 10 Nopember 1945. Cerita, legenda dan peristiwa banyak menjadi saksi bisu keberadaan kota pelabuhan tersebut. Banyaknya kejadian dan peristiwa ternyata meninggalkan berbagai jejak di kota yang 31 Mei 2011 ini genap berusia 718 tahun. Salah satu jejak peninggalan yang masih bisa dinikmati adalah Balai Kota Surabaya di daerah Ketabang (alamat resmi yang dipergunakan Jl. Taman Surya no. 1). Gedung dua lantai yang dirancang arsitek G.C. Citroen dengan pelaksana H.V. Hollandsche Beton Mij, dibangun pada masa walikota kedua Surabaya G.J. Dijkerman serta menghabiskan dana hingga 1000 gulden. Sejak dibangun hingga sekarang, gedung dua lantai ini tidak banyak mengalami perubahan. Perubahan paling menyolok adalah pergantian bahan atap dari sirap (di masa awal pembangunannya) dengan genteng. Banyak cerita yang bisa dicatat dari bangunan yang memiliki gedung utama berukuran panjang 102 m, lebar 19 m dan ditempati secara resmi tahun 1927 ini. Sementara fungsinya tidak mengalami perubahan karena sampai saat ini masih dipergunakan sebagai kantor Walikota Surabaya. Latar Belakang dan Sejarah Menyusuri Balai kota Surabaya adalah perjalanan menyusuri penggal sejarah arsitektur Indonesia. Begitu pentingnya posisi G.C Citroen dalam perkembangan arsitektur Indonesia, hingga H. P Berlage dalam bukunya Mijn Indische Reis(perjalanan saya ke Hindia Belanda) mengatakan, ..Bandung de staad van Wolff Schoemaker en Aalbers is, Batavia van Hulswit, Fermont en Ed. Cuypers, Semarang van Karsten dan is Surabaya de staad van C . Citroen Kota Bandung secara arsitektur adalah milik Wolff Schoemaker dan Aalbers, Batavia adalah milik Hulswit, Fermont & Ed. Cuypers, Semarang milik Karsten dan Surabaya adalah kota milik C. Citroen. (Handinoto, Arsitek G.C. Citroen dan Perkembangan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya (1915-1940)). Sebuah pernyataan wajar, mengingat begitu banyaknya karya arsitektur G.C Citroen yang tersebar dan mewarnai Kota Surabaya. Balai kota Surabaya adalah salah satu karya masterpiece-nya. Namun tahukah Anda bahwa Balai kota Surabaya ini mempunyai sejarah perancangan dan pembangunan yang memakan waktu cukup lama? Kompleks bangunan yang bisa kita nikmati saat ini sebenarnya merupakan bagian belakang dari keseluruhan desain yang sudah direncanakan G.C Citroen. Handinoto mencatat bahwa rancangan pertama gedung Balai kota Surabaya diajukan Citroen tahun 1915-1916, mengingat sejak menjadi Gemeente (1 April 1906), Surabaya belum memiliki gedung pemerintahan sendiri. Lokasi awal yang dipilih adalah stadstuin (di depan Tugu Pahlawan). Rancangan ini tidak terwujud karena terkendala biaya dan masalahmasalah lainnya. Tahun 1920, rancangan Balai kota Surabaya mengalami perubahan karena

terjadi pemindahan lokasi ke daerah Ketabang (lokasi Balai kota sekarang). Barulah di tahun 1925 sebagian rancangan Balaikota Surabaya selesai dibangun dan apa yang kita lihat sekarang sebenarnya adalah rancangan yang tidak terselesaikan. Citroen merancang Balai kota dalam satu kompleks yang terdiri dari 4 massa bangunan. Keempat massa bangunan tersebut dirancang untuk mengelilingi sebuah taman pada bagian tengahnya. Karena terhambat faktor biaya, akhirnya hanya massa bagian belakang saja yang terbangun (massa bagian belakang inilah yang sampai sekarang masih bisa dilihat dan dinikmati). Berdirinya Balai kota Surabaya ini sekaligus menandai perpindahan aktivitas pemerintahan kota di luar tembok atau wilayah Kota Atas (Bovenstad) setelah sebelumnya berada di wilayah Kota Bawah (Benedenstad) sekitar Jl Rajawali, Ampel dan Jl. Kembang Jepun. Balai kota ini pernah pula menjadi tempat penyambutan Ratu Juliana dan Pangeran Bernhardfeesten di bulan Januari 1937 ketika berkunjung ke Surabaya. Di sisi lain gedung Balai kota yang selalu difungsikan sebagai pusat pemerintahan, (pada masa penjajahan Belanda benama Burgemeesters Kantoor , pada zaman penjajahan Jepang menjadi kantor Shi-Co dan saat ini menjadi Balai kota Surabaya) merupakan saksi bisu sejarah perjuangan anggota Dewan Kota (R. Ng. Soebroto, Ashabul Djojopranoto , Ramamin Nasution Gelar Sutan Kemala Pontas dan Cak Doel Arnowo) dalam memperjuangkan nasib bangsanya. G.C Citroen dan Pengalaman Arsitekturalnya Dalam mendesain Balai kota Surabaya, G.C Citroen selaku arsitek menerapkan sebuah pendekatan rancangan yang selaras terhadap iklim tropis. Latar belakang bekerja selama 13 tahun di Biro Arsitek B.J. Quendag di Amsterdam dan membantu Prof. Klinkhamer serta B.J. Qendag dalam merancang gedung Nederlandsch Indische Spoorweg Mij (sekarang dikenal dengan Gedung Lawang Sewu di Semarang) banyak memberinya pengalaman arsitektural. Solusi desain untuk memecahkan masalah pencahayaan dan penghawaan alami melaluidouble gavel (seperti atap susun), gallery (selasar yang mengelilingi) bangunan serta orientasi bangunan yang sebagian sisinya tidak menghadap arah barattimur adalah apa yang dia peroleh dari proses membantu desain Gedung Lawang Sewu tersebut. Prinsip dasar bangunan yang peka terhadap iklim tropis tersebut dia terapkan dalam perancangan Gedung Balai kota Surabaya. Balai kota Surabaya yang berbentuk memanjang yang merupakan respond dari desain yang peka terhadap lingkungan tropis. Massa bangunan ini sebenarnya adalah bagian belakang dari keseluruhan desain yang sudah dirancang Citroen. 3 massa bangunan lainnya belum sempat terbangun karena kendala biaya (foto koleksi FRO) Arsitektur yang Selaras dengan Iklim Tropis Begitu melihat bangunan Balai kota, yang pertama kali tertangkap adalah bentuknya yang

memanjang. Ternyata Citroen memang merancangnya dengan pemikiran yang matang. Bentuk denah memanjang yang membujur ke arah timur-barat (orientasi bangunan menghadap utara selatan) memiliki tujuan untuk meminimalisir bagian dinding yang terkena panas matahari. Hal ini berpengaruh pada pengurangan panas di dalam ruangan gedung. Selain itu arah hadap utara-selatan juga bermanfaat untuk memaksimalkan terjadinya sirkulasi udara silang (cross ventilation). Permasalahan sistem penghawaan dan pencahayaan alami dalam ruang dipecahkan dengan bentuk atap yang seakan terkesan bertumpuk (double gevel) dengan lubang ventilasi di antara kedua celah atap. Lubang inilah yang menjadi jalan masuknya cahaya dan udara ke dalam ruangan. Rupanya pemecahan desain yang selaras dengan iklim tropis tidak hanya berhenti sampai di situ. Kita bisa berkeliling gedung ini secara nyaman dengan menyusuri selasar (faade gallery)nya dan menikmati keindahan detail ornament baik berupa detail ornament pada kolom, penataan pola lantai, kusen kayu jati maupun detail-detail unik lain. Desain selasar (faade gallery) adalah salah satu bentuk desain yang tanggap dengan kondisi setempat. Keberadaannya yang mengelilingi bangunan berfungsi untuk mengurangi tampias air hujan, mengingat curah hujan di Indonesia yang demikian tinggi serta sinar matahari yang langsung mengenai permukaan dinding. Kondisi inipun memberi keuntungan lain yaitu membuat kusen bangunan yang mayoritas terbuat dari kayu jati menjadi lebih tahan lama dan berumur panjang. Salah satu detail ornament eksterior Balai kota Surabaya. Perhatikan di antara ornament itu tampak kisi-kisi untuk ventilasi Total Work of Art Totalitas G.C Citroen dalam merancang Balai kota bukan hanya bagaimana membuat karya arsitekturnya mampu selaras dengan iklim tropis namun sebuah karya arsitektur yang direncanakan dan dirancang secara menyeluruh , mulai dari faade (tampilan bangunan), interior hingga detail perabotnya. Rentang waktu desain yang panjang (1915-1925) banyak memberi keuntungan pada sang arsitek, hingga dia bisa mencurahkan seluruh kreasi dan daya imajinasinya. Tahun 1920-an merupakan masa pemantapan kekuasaan pemerintah Kolonial Belanda untuk menancapkan pengaruhnya baik dalam bidang politik, ekonomi maupun sosial di Hindia Belanda (Indonesia). Kondisi tersebut memberi pengaruh pula dalam bidang arsitektur. Perkembangan bidang pelayaran (kapal api) pada awal abad ke 20 berdampak pada waktu tempuh Eropa dan Batavia menjadi lebih singkat. Perjalanan dari Eropa melalui pelabuhan Genoa ke Batavia hanya memerlukan waktu 3 minggu. Situasi ini membuat sumber-sumber referensi arsitektur seperti majalah yang mengulas perkembangan arsitektur modern De Architect(1890-1918),Architectura ( 1893-1915, 1921-1926)

maupun majalah arsitektur modern Belanda seperti Wendingen (1918-1931) yang beraliran Amsterdam School dan De Stijl ( 1917-1932) yang beraliran De Stijl, bisa dibaca oleh para arsitek di Hindia Belanda pada waktu itu. Mengingat lebih dari 90% arsitek yang berpraktek di Hindia Belanda adalah orang Belanda, maka dalam perkembangannya aliran-aliran tersebut banyak berpadu dengan arsitektur vernacular Belanda maupun arsitektur lokal setempat . Dalam situasi perkembangan dunia arsitektur modern awal abad ke-20 inilah gedung Balai kota Surabaya dirancang. Sebagai seorang arsitek berkebangsaan Belanda, G.C Citroen tidak melupakan akar arsitektur vernacular Belanda-nya. Pengaruh tersebut terasa ketika melewati area masuk, kita akan menemukan 2 buah tower (menara) kembar di sisi kiri dan kanan. Keberadaan 2 buah tower ini banyak ditemui pada desain arsitektur di Belanda pada masa itu. Sementara pengaruh arsitektur modern terlihat pada bagian faade-nya banyak mempergunakan ornament-ornament geometris sederhana dalam posisi vertikal, pemakaian ornament dalam posisi vertikal ini untuk memberi proporsi yang lebih seimbang pada bangunan, mengingat bentuk bangunan yang memanjang secara horizontal. Memasuki bagian lobby, kita akan disuguhi sebuah rancangan yang benar-benar memperhatikan detail. Pengaruh aliran Amsterdam School begitu terasa. Aliran ini melihat bahwa sebuah bangunan (karya arsitektur) sebagai Total Work of Art dimana desain interiorpun harus mendapat perhatian yang sama dengan eksterior dan menjadikannya sebagai gagasan dan rancangan arsitektur yang terpadu serta merupakan satu kesatuan utuh. Hasilnyapun sama sekali bukan merupakan hasil kerja atau produk mekanis. Bangunan bersejarah bukan sekedar benda mati, diam dan hanya dibiarkan teronggok berdebu. Tak jarang mereka adalah saksi bisu perjalanan sejarah sebuah bangsa. Sebuah catatan yang harus dibuka, diurai untuk memberinya benang merah. Menjadikannya pelajaran untuk generasi berikut.

Museum Kesehatan Dr Adhyatma, MPH


Dalam rangka untuk menyelamatkan dan melestarikan warisan budaya bangsa, Departemen Kesehatan Indonesia melalui Pusat Pengembangan Riset Teknologi dan Pelayanan Kesehatan di Surabaya, memprakarsai sebuah museum kesehatan sejak tahun 1990. Museum ini mengumpulkan dan menampilkan beberapa peralatan kesehatan bersejarah sejak waktu awal waktu sampai sekarang. Secara formal pada tanggal 14 September 2004, Menteri Kesehatan meresmikan museum ini dan bernama "Museum Kesehatan Dr Adhyatma dari, MPH - Depkes". Dalam perkembangannya, mungkin saat ini kita selalu dilayani dengan alat-alat medis dengan tehnologi

tinggi dan canggih, tapi kita juga perlu tahu bahwa di waktu-waktu awal, terdapat alat-alat medis sederhana yang turut berperan dalam hal medis. Oleh karena itu, melalui Museum Kesehatan ini diharapkan menjadi media pendidikan atau pusat pembelajaran bagi masyarakat dan komunitas yang peduli tentang upaya kesehatan. Tujuan dari museum ini dibangun untuk menyimpan dan melestarikan benda-benda bernilai historis dalam hal kesehatan sampai sekarang. Selain itu museum ini juga berfungsi memberikan informasi kepada generasi sekarang dan generasi mendatang tentang seluk-beluk kesehatan, budaya ilmu pengetahuan sejarah, dan sebagainya.
Selain menjadi kota pahlawan, ternyata Surabaya juga menyimpan keunikan tersendiri di bidang kesehatan atau medis. Tepat di Jalan Inderapura No. 17, terletak sebuah museum yang menyimpan koleksi serta sejarah kesehatan yang terlengkap di Surabaya. Berdiri sejak tahun 2004, museum ini memiliki keunikan tersendiri. Tidak hanya menyimpan koleksi yang bersifat medis, tempat yang bernama Museum Kesehatan dr. Adyatma, MPH-Depkes RI ini juga menyimpan koleksi pengobatan non-medis terutama yang mengandung unsur kebudayaan. Museum ini pada dasarnya memiliki dua ruang pameran yakni ruangan medis yang menyimpan alat-alat medis yang digunakan pada masa lampau. Sedangkan ruang kedua diisi dengan hal-hal yang berkaitan dengan unsur kebudayaan yang digunakan dalam sejarah kesehatan bahkan hingga saat ini. Di ruang pameran yang kedua ini, terekam jelas bagaimana sebuah kebudayaan sangat mempengaruhi pola pikir manusia dalam kehidupan sehari-hari termasuk untuk masalah kesehatan. Beberapa cara penyembuhan yang didasarkan pada kepercayaan masyarakat tradisional tersaji seperti penyembuhan dengan Jelangkung, Ninik Thowok, hingga air Ponari yang fenomenal. Di ruangan ini, sejarah dunia medis tradisional sengaja diungkap untuk menghargai warisan budaya para leluhur. Meskipun diantaranya kadang bersifat non-logis dan diluar nalar manusia. Selain cara-cara medis, terdapat pula beberapa alat yang dinilai memiliki kekuatan penolak bala atau penyakit. Beberapa cabang bambu, kayu kengkeng serta kayu-kayu lainnya menjadi benda yang dipamerkan yang pernah digunakan masyarakat tradisional untuk menangkal penyakit. Ada pula beberapa benda supranatural seperti paku, jarum, kain merah dan lain-lain. Selain benda-benda yang dipamerkan, beberapa foto yang mengulas tentang kejadian-kejadian kesehatan yang bersifat supranatural juga menjadi koleksi museum ini. Rasa ngeri dan seram jelas menjadi sensasi yang muncul saat mengunjungi museum ini. Pada awal berdiri, museum ini sempat menuai kontroversi karena dianggap tidak mendidik. Namun belakangan museum ini dianggap warisan budaya karena menyimpan rekam jejak sejarah kesehatan yang kental dengan unsur adat dan tradisi. Selain itu, meskipun perkembangan teknologi medis telah maju dan berkembang, namun kekayaan tradisional warisan nenek moyang berusaha untuk dipelihara sebagai referensi sejarah dan kebudayaan Indonesia melalui museum ini.

Kantor Gubernur
Sepanjang sejarahnya, sejak sebelum kemerdekaan hingga saat ini Kantor Gubernur Jawa Timur telah mengalami perpindahan lokasi beberapa kali. Di jaman pemerintahan Belanda, pada awalnya Kantor Gubernur bertempat di sebuah gedung di Jalan Jembatan Merah, Surabaya. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 1929 dibangunlah sebuah kantor baru yang berlokasi di Jalan Pahlawan 18 (sekarang Jalan Pahlawan 110). Pembangunan gedung tersebut selesai pada tahun 1931, seiring dengan itu kegiatan pemerintahan pun dipindahkan ke kantor baru yang kemudian difungsikan sebagai Gouverneurs Kantoor (Kantor Gubernur), Residensi Kantoor (Kantor Residen), dan CKC. Kantor Gubernur yang berlokasi di Jalan Pahlawan ini (sekarang dikenal dengan sebutan Kantor Gubernur lama) berdiri di atas sebidang tanah seluas 11.612 m.

Bangunan pokoknya terdiri atas 2 (dua) lantai bergaya Roma dengan luas bangunan 7.865 m yang dimodernisasi. Pembangunan gedung ini menelan biaya sebesar F 805.000. Selama ini bangunan di Jalan Pahlawan inilah yang lebih dikenal masyarakat luas sebagai gedung Kantor Gubernur Jawa Timur. Telah mengalami renovasi beberapa kali, baik karena kerusakan-kerusakan akibat pengeboman pada masa perang kemerdekaan, maupun karena disesuaikan dengan kebutuhan yang ada. Kantor Gubernur dibangun dengan kapasitas 300 (tiga ratus) orang pegawai guna melayani penduduk Jawa Timur yang masih berjumlah 10 (sepuluh) juta jiwa. Tercatat beberapa Gubernur pada masa Pemerintahan Belanda yang menggunakan gedung tersebut sebagai Kantor Gubernur. Pada masa Pemerintahan Jepang gedung tersebut difungsikan sebagai Kantor Syuucho (Karesidenan) mengingat jabatan gubernur dalam organisasi Pemerintahan Jepang tidak dikenal. Jabatan gubernur dihidupkan lagi pada masa kemerdekaan RI dan Kantor Gubernur kembali difungsikan sebagai Kantor Gubernur Jawa Timur, Kantor Karesidenan Surabaya, Kantor CKC dan Kantor Kepolisian Karesidenan. Dalam perkembangannya, Kantor Kepolisian Karesidenan dan Kantor CKC selanjutnya menempati gedung tersendiri di Jalan Sikatan dan Jalan Indrapura, sedangkan Kantor Karesidenan sebagai Kantor Pembantu Kepala Daerah Propinsi Jawa Timur dipindahkan ke Jalan Raya Gubeng, Surabaya. Tahun 1972 di depan bangunan utama dibangun gedung berlantai tiga yang digunakan sebagai gedung DPRD Propinsi Jawa Timur sebelum akhirnya dipindahkan ke Jalan Indrapura. Di kompleks gedung ini juga terdapat bekas ruang sidang DPRD dan sekarang diberi nama Binaloka Adikara yang berarti tempat pembinaan hal-hal/barang barang yang baik.Semua Direktorat dan Biro-biro dari Sekretariat Daerah Tingkat I Jawa Timur, termasuk Inspektorat Daerah dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), saat itu ditempatkan di gedung ini, kecuali Direktorat khusus dan Bagian Protokol yang menempati bangunan di halaman Jalan Pemuda 7 Surabaya. Seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk di Jawa Timur, semakin meningkat pula aktivitas dan beban kerja yang harus dipikul pemerintah daerah. Karena itu pemekaran jumlah pegawai Kantor Gubernur pun tidak bisa dihindari. Konsekuensinya, penambahan ruangan pun menjadi kebutuhan yang mutlak mengingat kantor yang ada hanya berkapasitas 300 pegawai. Untuk lebih meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, maka dibangunlah kantor baru yang juga terletak di lingkungan Jalan Pahlawan 18 Surabaya. Lokasi gedung baru ini tepat berada di belakang gedung lama. Di sebelah Utara berbatasan dengan Jalan Johar, di sebelah Timur Jalan Sulung Sekolahan, di sebelah Selatan Komplek Perumahan dan di sebelah Barat Kantor Gubernur lama. Tanggal 10 Oktober 1981 pembangunan gedung baru pun dilaksanakan dengan ditandai pemancangan tiang paku bumi pertama. Gedung baru Kantor Gubernur diharapkan tetap mempunyai hubungan langsung dengan gedung lama, baik secara fisik maupun psikologis. Karena itu gedung baru yang dibangun mempunyai ciri khas yang sama dengan gedung lama, yaitu: * Mempunyai orientasi yang sama terhadap Tugu Pahlawan (orientasi keluar). * Terdapat suatu ruangan terbuka sebagai space penghubung antara bangunan lama dan bangunan baru yang sekaligus berfungsi sebagai lapangan upacara. * Sebagaimana bangunan lama, bangunan baru dominan dengan warna putih. Tahun 1983 gedung baru ini mulai difungsikan, terdiri atas 8 (delapan) lantai dan ruang kerja Gubernur berada di lantai 7 (tujuh). Di lantai tersebut juga terdapat ruang kerja Wakil Gubernur, Sekretaris Daerah dan Asisten Sekretaris Daerah. Semula Kantor Gubernur lama ditempati oleh Badan Pengawas Propinsi dan sebagian lainnya difungsikan sebagaiKantor Badan Pengelolaan Data Elektronik Propinsi. Sejak tahun 2002, dua instansi pemerintah itu dipindahkan ke tempat lain dan gedung ini dikembalikan seperti fungsi awal sebagai kantor Gubernur Jawa Timur. Penataan ini dilandasi pertimbangan historis bahwa sejak Zaman pemerintahan Belanda hingga kemerdekaan, para gubernur berkantor di gedung tersebut.

Jembatan Merah Surabaya


Jembatan Merah dibentuk atas kesepakatan Pakubowono II dari Mataram dengan VOC sejak 11 November 1743. Dalam perjanjian disebutkan bahwa beberapa daerah pantai utara, termasuk Surabaya, diserahkan ke VOC, termasuk Surabaya yang berada di bawah kolonialisme Belanda. Sejak saat itu, daerah Jembatan Merah menjadi kawasan komersial dan menjadi jalan satu-satunya yang menghubungkan Kalimas dan Gedung Residensi Surabaya. Dengan kata lain, Jembatan Merah merupakan fasilitator yang sangat penting pada era itu. Jembatan Merah berubaha secara fisik sekitar tahun 1890an, ketika pagar pembatas diubah dari kayu menjadi besi. Saat ini, kondisi jembatan yang menghubungkan jalan Rajawali dan Kembang Jepun di sisi utara Surabaya ini hampir sama seperti jembatan lainnya, dengan warna merah tertentu. Di sekitar jembatan, terdapat beberapa bangunan peninggalan Belanda lainnya yang masih difungsikan dan terletak di selatan Jembatan Merah. Selain itu, terdapat pula pusat perbelanjaan yang terkenal di Surabaya yaitu, Jembatan Merah Plaza. Jembatan Merah pernah menjadi saksi hidup dari tentara Indonesia, khususnya pahlawan-pahlawan Surabaya yang berjuang melawan kolonialisme Belanda. Oleh karena itu, tidak peduli kondisi yang mungkin terjadi hari ini, Jembatan merah adalah warisan penting bagi sejarah Indonesia. Jembatan Merah merupakan pahlawan yang masih hidup dan akan terus hidup melawan waktu.

Berkunjung Ke Pagupon Omahe Doro Cak Durasim


SURABAYAkiniHanya saja penelusuran baik dalam arsip maupun wawancara tidak menemukan kapan tepatnya gedung tersebut mulai dibangun. Yang jelas dari arsip yang ada disebutkan sejak tanggal 20 mei 1978 komplek tersebut diresmikan sebagai Taman Budaya Jawa Timur oleh Menteri Pendidikan dan kebudayaan Indonesia ke-2 yang saat itu dijabat oleh Dr Daoed Joesoef. Saat diresmikan, gedung ini merupakan bagian dari 25 taman budaya yang ada di Indonesia. Komplek bangunan tua dan termasuk cagar buadaya Cak Durasim sendiri terletak dilokasi yang cukup strategis. Selain berdiri ditengah Kota Surabaya, bangunan seluas 10.400 meter persegi ini dulunya merupakan gedung penting di Surabaya. Hal ini juga terlihat dari lokasinya yang persis diseberang Sungai Kalimas, yang konon dulunya merupakan sarana tramsportasi utama sebelum banyaknya jalan raya seperti saat ini.Gedung ini juga dikelillingi bangunan bersejarah lainnya yaitu Hotel Majapahit atau dulunya bernama Hotel Yamato yang tepat berada dibelakangnya (sebelah utaranya). Tak hanya itu, di sebelah barat persis dari gedung Cak Durasim juga berdiri gedung Siola yang merupakan pusat perbelanjaan tua yang sangat legendaris di Surabaya.Dari penelusuran, peralihan dari rumah dinas Bupati Surabaya ke Taman Budaya tepatnya terjadi sejak keluarnya surat Gubernur Jawa Timur No. Sek/41/1171 tanggal 13 oktober 1973 tentang penyerahan persil beserta gedung tersebut.Dan sejak tanggal 19 januari 1975, dilaksanakan serah terima bangunan gedung dan perumahan di komplek jalan Genteng Kali 85 Surabaya tersebut. Lalu, untuk mewujudkan bangunan sebagai wadah pengembangan seni dan budaya dianggarkanlah dana dari APBN dan APBD tahun 1974-1975 untuk menambah satu bangunan lagi bernama teater terbuka.Dan selanjutnya antara 1975-1976 komplek tersebut kembali dilengkapi dengan sebuah gedung yang kemudian diberinama gedung teater tertutup atau lebih dikenal dengan sebutan gedung Cak Durasim.Nama Cak Durasim sendiri diambilkan dari nama seorang tokoh kesenian Surabaya bernama lengkap Cak Gondo Durasim yang terkenal karena kesenian ludruknya. Konon, pada tahun 1943 Cak Durasim meninggal diujung senapan tentara Jepang usai pementasan ludruk di Peterongan, Jombang.Pasalnya, salah satu kidungan ciptaannya yang dilarang

jepang yaitu Pegupon omahe doro, Melok Nipon tambah sengsara (Pegupon rumahnya burung dara/Ikut Nipon tambah bikin menderita), tetap dinyanyikan ketika pentas di jombang tersebut. Padahal, kidungan tersebut dilarang karena berisi penghinaan terhadap Jepang. Apalagi, saat itu ludruk dikenal sebagai wadah pemberontakan kaum petani khususnya di Surabaya . Sebenarnya tidak ada kaitannya antara Cak Durasim dengan gedung ini, kata Nanik Setyowati, kasie dokumentasi dan perpustakaan Taman Budaya Jawa Timur. Jadi, lanjutnya, penamaan Cak Durasim didalam gedung ini hanyalah uapaya untuk tetap menghidupkan ludruk sebagai ikon berkesenian di Surabaya . Pengelolaan komplek taman budaya sendiri kini berada dibawah departemen pendidikan dan kebudayaan Jawa Timur dengan pegawai serjumlah 70 orang yang kesemuanya adalah PNS di lingkungan departemen tersebut. Meski sedikit, tapi untuk perawatan kami mendapat dana dari APBN maupun APBD. Selain itu juga ada pemasukan dari para penyewa gedung, imbuh Nanik. Meski sangat minim, namun Cak Sin mengaku jika pihaknya hingga kini tetap berusaha merawat kondisi komplek gedung tersebut. Sehingga hidup berkesenian di Jawa Timur khususnya di Surabaya bisa terbantu dengan adanya gedung tersebut. Disini kami selalu tanamkan slogan jangan takut miskin jadi seniman. Ekonomi harus bangkit lewat berkesenian. Untuk itu, semampunya gedung juga tetap akan kami rawat, katanya.Ungkapan Cak Sin ini memang bukanlah isapan jempol. Buktinya dari 6 buah gedung yang berdiri di komplek tersebut semuanya terlihat sangat terawat. Tak hanya itu, rumput-rumput liar juga tak begitu tampak baik dipelataran maupun di areal jalan di kawasan tersebut. Beberapa bagian Cat digedung tersebut juga masih tampak terawat layaknya baru di cat.Di gedung Cak Durasim misalnya, gedung dengan luas 117,4 meter persegi dengan daya tampung 500 orang ini baru saja dilengkapi dengan beberapa pendingin ruangan berupa AC. Bahkan karpet di lantai ruangan tersebut juga baru saja dicuci.Selain itu, perawatan di gedung Pendopo Jayengrono juga masih tampak dengan dicatnya beberapa bagian gedung. Sejak tahun 2003 lalu, Pendopo ini juga sudah di pasangi keramik untuk menambah kenyamanan para pemakainya.Sementara itu, empat gedung lainnya diantaranya Sawunggaling Hall, Ruang Kaca, Wisma Seniman, dan Ruang Parkir kondisinya juga masih cukup terawat meski bangunannya sudah terlihat tua.Terlepas itu semua, kini gedung penuh sejarah ini setidaknya telah melahirkan banyak tokoh berkesian khususnya dari Kota Pahlawan. Meski didirikan untuk menghidupkan budaya ludruk, namun gedung ini kini tak hanya milik seminam ludruk, berbagai aliran berkesenian bahkan aliran musik punk-pun hidup di gedung ini.

Hotel Majapahit Surabaya, Bangunan Art Deco Bersejarah


Tanggal 10 November 1945 merupakan hari bersejarah di mana kaum muda Surabaya marah ketika melihat bendera Belanda dikibarkan di atas Hotel Yamato. Mereka kemudian menyerbu, memanjat tiang bendera tersebut dan merobek warna biru dari bendera tersebut dan membuat bendera merah putih Indonesia berkibar. Hari itu selalu dikenang sebagai Hari Pahlawan. Itulah salah satu kenangan dan sejarah penting yang terjadi di hotel ini. 65 tahun kemudian, Hotel Yamato masih tetap beroperasi, kini bangunan tersebut bernama Hotel Majapahit. Hampir tidak ada perubahan dari tampilan hotel tersebut yang kini berusia 100 tahun. Sungguh luar biasa. Riwayat dari hotel ini sendiri berawal ketika ada keluarga asal Armenia yang memang bergelut dalam bisnis hotel, yaitu Lucas Martin Sarkies dan saudara-saudaranya yang merupakan para pendiri hotel ini di tahun 1910 dengan nama Oranje Hotel. Tahun 1936 hotel mengalami penambahan bangunan bagian depan sebagai lobby dengan gaya Art Deco. Penambahan bagian depan tersebut sepertinya merupakan penambahan terakhir di hotel ini karena sampai hari ini bentuk hotel masih sama seperti saat itu. Pada tahun 1942, Jepang mengambil alih hotel ini dan menamakannya Yamato Hoteru hingga 1945 ketika Belanda kembali datang dan merebut kembali hotel ini kemudian keluarga Sarkies kembali memiliki hotel ini pada tahun 1946.

Hotel butik kelas atas Tahun 1969 sebuah grup pengusaha lokal membeli hotel ini. Nama kembali berubah menjadi Majapahit, nama kerajaan kuno yang sangat berjaya pada masa-nya di Indonesia. Tahun 1986 dilakukan restorasi besar yang memakan waktu 2 tahun dan hotel ini kembali dibuka dengan nama Mandarin Oriental Hotel Majapahit, Surabaya. Kini, Hotel Majapahit berdiri sendiri sebagai hotel butik kelas atas yang memiliki banyak kenangan di dalamnya. Kenangan, hal itulah yang ingin kami tawarkan kepada tamu-tamu hotel ini, kata James T. Costa, General Manager dari Hotel Majapahit, Surabaya. Bukan sekedar kenangan mengenai perjalanan hotel ini sendiri, namun juga suasana hotel yang seakan kembali ke masa yang lebih tenang dan sederhana disertai dengan keramahan para staf hotel. Kenangan yang menimbulkan romantisme masa lalu di masa kini bahkan Anda sejak check in di lobby. Ambience lobby terasa sangat cozy dan homy. Bergaya Art Deco, di mana detail ornamen-ornamen geometris sangat menonjol, tetap dipertahankan di sini dari tahun 1936 ketika lobby ini didirikan dalam ekspansi hotel saat itu. Pilar-pilar penopang yang ada di tengah ruangan dibuat cukup lebar dan dilapisi dengan kayu jati dengan sebuah aksen stain glass di tengahnya. Juga langit-langit ditengah dibuat lebih tinggi dihiasi chandelier besar, di sekeliling plafon dihiasi ukiran klasik. Jalur menuju kamar dibuat cukup unik, kita akan keluar dari lobby dan melalui sebuah selasar yang akan mengantar kita ke bangunan atrium. Sesungguhnya bangunan ini adalah bangunan lobby ketika pertama kali hotel ini beroperasi tahun 1910. Nuansanya tetap dipertahankan agar sama dengan 100 tahun lalu, bangunannya terasa lebih klasik dengan jendelajendela stain glass yang sangat besar, material kaca ini tampaknya memang mendominasi banyak bagian hotel, selain di area ini, kaca patri ini juga terpasang di antara pilar-pular teras depan kamar. Dari sini terdapat dua jalur menuju ke bangunan kamar hotel, keduanya melalui selasar yang melewati taman. Terdapat tiga taman yang rindang dengan pepohonan besar yang dikelilingi kamar-kamar hotel, dua berukuran lebih kecil yang terletak di tengah, satu lagi taman yang cukup besar di bagian belakang. Posisi kamar yang mengelilingi taman ini, selain memberikan view indah, juga sirkulasi udara yang menyegarkan, dan dapat dinikmati baik dari balkon dan teras kamar hotel serta selasar-selasar di tengahnya. Selasar ini hanya dibatasi dengan pilar-pilar gaya bangunan kolonial Belanda, yang besar dan kokoh walau menopang hanya satu lantai bangunan di atasnya. Berjalan di sepanjang selasar sini membawa kita merasa berjalan kembali ke masa lalu, yang tenang dan romantis. Melalui selasar ini kita akan terhubung ke teras-teras di depan kamar hotel. Ada 150 kamar hotel yang semuanya berlantai teak wood. Kamar standar di hotel ini adalah Garden Terrace Room, ukurannya mulai dari 47 meter persegi. Kamar terkecil untuk hotel bintang 5 di Eropa adalah 28 meter persegi, hotel ini jauh melampaui itu, kata James. Kamar standar ini tergolong cukup luas, terdapat sebuah ruang duduk dengan sofa two seater yang nyaman dan dilengkapi dengan coffee table. Kamar mandi cukup luas dengan bathtub dan area shower terpisah. Furniture di kamar banyak yang tetap menggunakan furniture dari tahun 1936 seperti meja rias, lemari, dan sebagainya yang kebanyakan terbuat dari kayu jati. Interior kamar hotel dibuat bernuansa klasik, menggunakan wallpaper dengan warna cream dengan pencahayaan dengan lampu warm light membuat suasana terasa lebih hangat dan klasik. Penerangan utama di ruang kamar adalah lampu gantung, tampak antik, seperti juga lampu lainnya dalam ruangan seperti lampu dinding dan lampu

meja, semuanya menjadi tambahan elemen artistik di dalam ruangan kamar. Executive suite memiliki luas kurang lebih 57 meter persegi. Perbedaannya dengan kamar standar adalah pada ruang duduk dan area kerja yang lebih luas, yang terpisah dari area tidur. Sedangkan Suite mewah dari hotel ini adalah Majapahit Suites yang terdiri dari 9 tema berbeda: Arjuna, Pandawa, Surabaya, Jawa, Madura, Oranye, Semeru, Sarkies, dan Merdeka. Memiliki luas mulai dari 97 meter persegi, kamar ini memiliki ruang duduk tersendiri, kamar mandi yang mewah, serta layanan butler. President Suite terbesar di Asia Di hotel ini juga akan dijumpai President Suite terbesar di Asia, berukuran 800 meter persegi dan terletak diantara dua sayap bangunan kamar hotel lainnya, seolah sebuah paviliun tersendiri. Presidential Suite ini terdiri dari dua lantai, lantai bawah terdapat ruang makan formal, ruang duduk, dan ruang rapat. Kamar utama terletak di atas, memasukinya kita akan melalui sebuah foyer terlebih dahulu kemudian sampai di living room dan ruang kerja. Melalui sebuah pintu barulah terdapat area tidur yang dirancang sangat mewah dengan suasana yang warm. Kamar mandi juga luas dan elegan, terdapat dua meja wastafel yang berhadapan, shower dan bathtub terpisah. Memasuki bathtub kita harus menaiki beberapa anak tangga, karena level-nya memang dinaikan, baru kemudian masuk ke bathtub yang ditanam di tengah lantai marmer. Selain kamar-kamar yang luas dan nyaman,terdapat beragam fasilitas yang menarik di hotel ini. Health & Wellness area yang lengkap dari fitness, kolam renang, sauna, dan Jacuzzi yang dapat digunakan bebas oleh para tamu yang menginap di hotel. Sedangkan fasilitas spa dikelola oleh sebuah perusahaan ternama. Kemudian terdapat Toko Deli, sebuah toko kue dan roti yang terkenal menghasilkan kue dan penganan kualitas terbaik. Dua restoran yang turut menambah semarak hotel ini adalah Indigo Restaurant & Bar yang menyajikan makanan Indonesia dan Western food dengan suasana yang lebih modern. Dan Sarkies Seafood Restaurant yang menyajikan beragam seafood dan Chinese food. Sarkies memiliki desain unik dengan interior dari kayu jati yang terlihat sangat klasik dan dinding-dindingnya dihiasi dengan koleksi jam-jam dinding antik. Ballroom adalah Balai Adhika yang terletak di lantai bawah, sementara ruangan konferensi yang lebih kecil terdapat di lantai atas dengan nama Rokan dan Kapuas, dipisahkan oleh partisi yang bisa dibuka sewaktu-waktu dibutuhkan. Lokasi hotel yang berada di tengah kota Surabaya dan dekat dengan pusat bisnis membuat hotel ini sangat cocok untuk para pelaku bisnis yang melakukan perjalanan ke Kota Pahlawan. Dengan demikian, hotel ini akan menghadirkan fasilitas untuk melakukan kegiatan bisnis yang cepat sesuai standar modern sekaligus menghadirkan nuansa romantis masa lalu yang tidak ada di hotel lain.

Pelabuhan Kalimas
Pelabuhan tradisional Kalimas sekarang di gunakan sebagai tempat bongkar / muat barang - barang kapal kapal samudra dengan tongkang - tongkang dan perahu perahu. Surabaya adalah sebuah kota yang selama ratusan tahun dijajah oleh Belanda maka dengan sendirinya bentuk bangunan banyak dipengaruhi oleh gaya Eropa. Di negeri Belanda sendiri banyak memiliki kanal. Lantaran banyak memiliki saluran, tentu saja disana sini banyak dibangun jembatan. Mulai dari jembatan biasa, jembatan gantung hingga ophaalburg atau jembatan angkat. Surabaya juga hampir sama walaupun kanal-kanal di Surabaya tidak sebanyak di Belanda. Tempo dulu, kapal-kapal dagang berukuran besar hanya bisa berlaku di selat Madura saja tapi agak mendekati

perairan Surabaya. Lantas, untuk membongkar atau memuat barang-barang kargonya digunakanlah tongkangtongkang atau kapal-kapal sekunar. Setelah kapal-kapal kecil itu memuat barang ditengah laut, dengan gesitnya kapal-kapal itu menelusuri Kalimas hingga mencapai pelabuhan utama yang pada waktu itu merupakan pelabuhan Kota Surabaya. Dan lokasi tersebut merupakan jantung kota. Dengan nama Heeresentraat (sekarang berada disekitar jalan Rajawali dan Kembang Jepun) yang merupakan sentral bisnis bongkar muat. Diantara kedua jalan itu, sudah ada jembatan yang membentang diatas Kalimas. Dan jembatan itulah yang disebut Roode Brug atau Jembatan Merah. Kala itu Pelabuhan Tanjung Perak belum ada, sementara pelabuhan lautnya berada di muara Kalimas. Daerah sepanjang Kalimas terbagi menjadi 2 bagian, yaitu Westerkade Kalimas (sebelah Barat Kalimas) dan Osterkade Kalimas (sebelah Timur Kalimas) atau biasa disebut warga Surabaya daerah kulon kali dan wetan kali. Daerah wetan kali merupakan daerah perdagangan, mulai dari Kembang Jepun, Cantikan, Kapasan, hingga kearah Utara jalan K.H. Mansyur (Pegirian, Nyamplungan dan lain sebagainya). Yang termasuk daerah kulon kali antara lain jalan Gresik, Kalisosok dan disekitar Tanjung Perak Barat. Disepanjang sungai Kalimas tahun 1925, banyak berdiri pabrik-pabrik yang merupakan sektor industri di kota Surabaya. Hakekatnya cagar budaya sesungguhnya bukan sebuah icon suatu kota. Lebih dari itu adalah artefak yang bernilai tinggi. Kalau kita telusuri kota Surabaya dikelilingi sungai yang menghubungkan sungai kecil dan besar. Pada masa sekarang diwujudkan sebagai tempat wisata yang perlu dilestarikan dan dikembangkan, untuk mengenang sungai Kalimas sebagai tempat perdagangan dan pelabuhan air, tempat mangkalnya perahu-perahu kecil disepanjang sungai Kalimas serta partisipasi warga dalam menjaga kebersihan disepanjang sungai Kalimas yang didukung Pemerintah Kota Surabaya dengan mengadakan berbagai kegiatan diantaranya perahu hias.

You might also like