You are on page 1of 12

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Al-Quran dan Al-Hadits merupakan sumber hukum ( Marshadirul Ahkam ) yang
harus seseorang ikuti untuk dijadikan pedoman, panduan dalam beramal agar amalannya
diterima oleh Allah SWT, dan menjadi suatu kebaikan. Sebagaimana yang disabdakan
Rasulullah SAW, dalam riwayat Muslim :


[ .

]
Artinya :
Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama berpegangan
dengannya, yaitu Kitabullah ( Al-Quran ) dan Sunnah Rasulullah SAW. ( HR Muslim )
Al-Qur;an adalah kalam / firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
melalui malaikat Jibril dan membacanya merupakan suatu ibadah. Bertolak dari pengertian
Al-Quran ini, Al-Qura;an samapi kepada kita secara mutawatir ( meyakinkan ) tidak
diragukan kebenaarannya dan tetap tidak akan berunah sampai kapanpun karena Allah sendiri
dalam surah Al-Hijr : 9
^^) }^4 4L^EO4^ 4O^g]~.- ^^)4
+O 4pOOgO4O ^_
Artinya :
Sesunguhnya kami, yang menurunkan Al-Quran dan sesunguhnya kamilah yang
memeliharanya Al-Hijr : 9
Darisurat Al-Hijr:9 kita ketahui otentisiatas dari alquran tidak di ragukan lagi.karena
sudah terpelihara.maka dari itu pada makalah ini di bahas mengenai hadits sebagai sumber
dasar hukum islam yang kedua setelah alquran.
Hadist merupakan ucapan, perbuatan, ataupun taqrir Rasul Saw (pembenaran berupa
diamnya beliau terhadap perbuatan yang dilakukan oleh orang lain). Yusuf al-Qardawi
menyatakan bahwa, hadist merupakan sumber kedua bagi ilmu fiqh dan syariat setelah al-
Quran. Karena itu, memandang hadist/sunnah sebagai sumber dalil syariat merupakan suatu
pembahasan yang menciptakan wawasan luas yang mewarnai semua kitab ushul fiqh dan
semua mazhab fiqh.
2

Dengan mempetimbangkan Urgensi dari hadits sebagai sumberdasar hukum islam.
Maka wacana yang paling fundamental dalam kajian hadits adalah persoalan otentisitas dan
dan reliabilitas metodologi otentifikasi hadits. Keraguan sebagian sarjana Muslim atas peran
hadis sebagai sumber otoritas kedua setelah al-Quran, tidak sepenuhnya berkaitan dengan
resistensi mereka atas otoritas sunnah, tetapi lebih pada keraguan mereka atas keakuratan
metodologi yang digunakan dalam menentukan originalitas hadis. Apabila metodologi
otentifikasi yang digunakan bermasalah, maka semua hasil yang dicapai dari metode tersebut
tidak steril dari kemungkinan kemungkinan verifikasi ulang, kritik sejarah bahkan hasil
tersebut bisa menjadi collapse
1

Untuk menjaga otentisitas dari hadis para sarjana muslim seperti syeh muhammad
nasirudin al albani dan A Aa zami menerapkan metode klasik yaitu penelitian terhadap sanad
dan matan hadits.para ulama sarjana muslim ini tidah akan meneliti matan hadits apabila
sanad dari hadist tersebut tidak sohih.dalam penelitian sanad hadits kedudukan perowi yang
berperan sebagai mata rantai sebuah hadits yang akan di sampaikan kepada umat.sehingga
perlu perhatian dengan khusus terhadap syarat di terimanya riwayat para perawi secara teliti
dan cermat.
Syarat Syarat seperti itu belum pernah di tetapkan oleh pemeluk agama di dunia ini
kecuali umat islam meskipun pada masa modern ini segalanya telah di erhitungkan dengan
sistematis dan cermat.buktinya mereka tidajk pernah memakai syarat syarat yang pernah di
tetapkan oleh ulama musthalah al hadits dalam sebuah periwayatan berita.
2

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan permasalahan yang
menjadi fokus pembahasan makalah ini adalah:
1. Mengenal karakteristik perawi hadist
2. Mengetahui syarat menjadi perawi hadist
3. Dapat mentransformasi hadist
4. Pengertian tahamul wal ada
5. Memahami dan mengamalkan hadist
C. TUJUAN
Untuk menjelaskan syarat, kerakter dan segala sesuatu tentang ilmu perawi hadist.

1
http://khairuddinhsb.blogspot.com/syarat-perowi-dan-proses-transformasi-hadits.html
2
Thahhnan,mahmud.intisari ilmu hadits. 2007.malalang:uin-malang press
3

BAB II
PEMBAHASAN
A. PERAWI / MURAWI
Secara bahasa Murawi akar katanya dari raawaayuraawii - muraawayatan ;
wariwaayan ; wariwaayan muraawin. Artinya : yang meriwayatkan, memindahkan atau
menceritakan. Dalam kaitannya dengan ilmu hadits murawi adalah orang yang
menyampaikan sebuah hadits kepada orang lain yang ia terima dari gurunya.
Sebagian besar ulama hadits dan ulama fiqih Syarat diterimanya riwayat dari
seorang perowi adalah perowi tersebut memiliki du a sifat dasar yaitu:
1. Perawinya harus adil,artinya periwayat harus beragama islam,mukalaf (aqil
baligh),selamat dari sebab-sebab fasiq.dan tidak cacat muruahnya.
2. Perawinya harus dlhabit,artinya riwayatnya tidak bertentangan dengan riwayat
perawi-perowi lain yang dapat di percaya,tidak jelek hafalanya,tidak sering
melakukan kesalahan,tidak pelupa dan tidak banyak waham (melakukan
purbasangka).
3

Cara menetapkan keadilan perawi:
1. Berdasarkan penilaian aatau penetapan ahlul al-jahr wa al-tadil ( kritikus
periwayat hadits ) atau salah satu diantara mereka.
2. Berdasarkan popularitas di kalangan ahli bahwa dia di kenal sebagai perowi
adil,dalam hal ini tidak membutuhkan penetapan atau penilaian ulama ahlul al-
jahr wa al-tadil.contohnya imam 4 dansufyan,al-auza dll.
Cara menetapkan ke dhabitan perawi:
1. Adanya kesesuaian riwayat perawi tersebut dengan para perawi yang tsiqoh ( yang
bersifat adil dhabit ).oleh karena itu bila riwayat selalu sesuai maka perawi di
katakan dhabit bahkan bila sesekali berberda tetap di anggap dhabit.namun bilas
sering ada perbedaan maka rusak ke dhabitanya.dan tidak bisa lagi di gunakan
sebagai hujjah.
B. TAHAMMUL WA AL-ADA/PROSES TRANSFORMASI HADITS

3
Thahhnan,mahmud.intisari ilmu hadits.malalang:uin-malang press. 2007.
4

Proses transformasi hadits melaui dua cara yaitu penerimaan dan pemberian hadits
atau di sebut juga Ahliyyatul-tahammul (syarat syarat seseorang dapat mendengar
atau menerima hadits ) dan Ahliyyatul adai (syarat- syarat seseorang dapat
menyampaikan hadits ).
4

I. Ahliyyatut-tahammul
Seperti telah diutarakan dimuka bahwa Ahliyyatut-tahammul adalah syarat
syarat seorang dapat mendengar atau menerima hadits. Orang orang yang
mendengar atau menerima hadits, tidak mempunyai syarat apa apa. Sebagaimana
jumhur ( kebanyakan ulama ) berpendapat bahwa tidak disyaratkan islam dari baligh
untuk mendengar atau menerima hadits karena sahabat, tabiin dan ahli ilmu mereka
menerima riwayat sahabat sahabat kecil seperti Hasan dan Husein , Ibnu Abbas,
Abdullah bin Zubair, Anas bin Malik dan sebagainya tanpa membedakan antara
mereka mendengar atau menerimanya sebelum atau setelah baligh.
Dengan demikian, anak anak apabila ia faham apa yang ia lihat atau apa yang ia
dengar serta bisa membeda bedakannya, kemudian ia menceritakan riwayat itu
sesudah baligh lagi kepercayaan.
Begitu juga orang yang fasiq ( orang yang melanggar perintah dan larangan
Allah yang besar besar )apa ia meriwayatkan sesudahhnya ia bertaubat lagi
kepercayaan, maka diterima riwayatnya.Dan begitu juga orang kafir, apabila ia
mendengar suatu hadits dari seorang setelah di dalam kekufurannya, lalu ia masuk
islam dengan baik, lagi kepercayaan serta meriwayatkan hadits, maka diterima
haditsnya. Seperti Tanuchi ( utusan Hercules ) ia pernah mendengar sabda sabda
Nabi SAW, sebelum masuk islam, kemudian setelah Rasulullah SAW wafat, ia masuk
islam, dan meriwayatkan hadits. Begitu juga dengan Jubair bin Muthim. Riwayat
mereka ini semua terang maushul, karena waktu mendengar atau menyaksikan
sesuatu mereka sudah dianggap ahli.
Kemudian terhadap sahnya pendengaran dan penerimaan anak kecil
terhadap suatu hadits ada dua pendapat yaitu :
1. Sebagian ulama membatasi usianya kepada lima tahun dengan beralasan kepada
sebuah hadits riwayat Bukhori dari sahabat Mahmud bin Rabi RA, ia berkata :
Aku ingat dari Nabi SAW terhadap suatu semburan yang ia semburkannya pada
wajahku dan aku ketika itu seorang yang berusia dari ember .

4
Qadir Hasan A., Ilmu Musthalah Hadits, CV Diponegoro Bandung, 1987.M.
5

2. Dan sebagian yang lain berkata : yang benar adalah bisa membedakan. Maka
apabila seorang anak sudah dapat memahami khitab ( perintah ) dan dapat
menjawab pertanyaan, maka ia bisa membedakan, sah pendengarannya walaupun
ia itu usianya dibawah lima tahun.
Dari uraian dimuka dapat disimpulkan bahwa mengenai Ahliyyatut-tahammul
atau mendengar dan menerima suatu hadits tidak ada syarat syarat tertentu, oleh
sebab itu, anak kecil, orang fasiq dan orang kafir dapat meriwayatkan hadits,
dengan syarat anak kecil ketika meriwayatkan sudah dewasa, dan orang fasiq serta
kafir ketika meriwayatkan sudah insaf atau masuk islam. Dan tentang anak kecil
tidak ada batasan usia yang penting bisa memahami yang ia dengar dan ia lihat,
tapi sebaiknya usianya sudah mencapai lima tahun.
5


II. Ahliyyatul Adai
Ahliyyatul adai adalah orang orang yang memenuhi syarat untuk meriwayatkan
suatu hadits. Adapun orang orang yang memenuhi syarat untuk meriwayatkan hadits
menurut para imam hadits, ushul dan fiqih dan mereka bersepakat bahwa syarat
syaratnya baik laki laki maupun perempuan, yaitu :
1. Islam
Orang yang meriwayatkan hadits harus beragama islam, secara ijma tidak
diterima riwayat orang kafir karena Allah AWT menyuruh kepada kita untuk
menyelidiki tentang khobar dari orang fasiq. Sebagaimana firman Allah :
Og^4C 4g~-.- W-EONL4`-47 p)
747.~E} l-c 4:4[) W-EON4EO4:4-
p W-O+l1> `O~ l-E_O_
W-O):+- _O>4N 4` +UE 4-g`g4^
^g
Artinya :
Hai orang orang yang beriman bila datang kepada kamu orang yang fasiq
dengan membawa sesuatu berita maka selidikilah oleh kamu . . . . . . . . . . . . . . . . .
.(QS alhujurat :6)
2. Baligh ( cukup umur )

5
Hasbi Ash-Shiddieqy, M, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Bulan Bintang, Jakarta Indonesia 1954.
6

Orang yang meriwayatkan hadits harus baligh ( cukup umur ) oleh sebab itu, tidak
diterima riwayatnya anak kecil berdasarkan sabda Rasulullah SAW :
: ..
: ,
,
Puasa kamu sah , sebagaimana yang diriwayatkan oleh aisyah ra. Dari nabi saw.
Berkata : tidak terhukumi seseorang jika berada dalam salah satu dari tiga hal berikut : orang
yang tidur sampai dia bangun, anak-anak sampai dia bermimpi basah dan orang gila sampai
dia sembuh dari gila dan juga hadits dari qotadah r.a: apabila seseorang diantara kamu tidur
atau tertidur sehingga terlewat akan shalat dan waktu shalat tersebut sudah habis maka
hendaklah ia melaksanakan shalat itu ketika ia bangun ( ingat )
Hadits ini di qiaskan untuk periwayat yang belum baligh.
3. Adalah ( Sholeh )
Orang yang meriwayatkan hadits harus adalah ( Sholeh ). Adalah menurut para
ulama ialah suatu tenaga jiwa,memiliki sifat yang mendorong seseorang untuk
tetap berlaku taqwa dan memelihara muruah.
Taqwa ialah tidak mengerjakan pekerjaan pekerjaan maksiat,syirik, fasiq dan
bidah.Sedangkan muruah ialah membersihkan diri dari segala macam perangai
perangai yang kurang baik. Seperti : buang air besar di tengah jalan.

4. Dhabit ( Kuat Hapalan )
Orang yang meriwayatkan hadits harus dhabit, mempunyai hapalan yang kuat.
Dhabit ada dua macam, yaitu :
1. Orang yang hapal betul betul apa yang ia dengar, sehingga dapat
menyampaikannya bilamana saja ia kehendaki, disebut dengan dhabtu shadrih
( hapal diluar kepala )
2. Orang yang memelihara benar benar sebuah kitab padanya semenjak ia
mendengar apa yang tertulis dalam kitab itu dan ia bereskannya hingga waktu
menyampaikannya kepada orang lain, disebut dengan dhabtu kitabin ( kapal
yang ia dengar dalam buku ).
Dari paparan dimuka dapat disimpulkan bahwa mengenai Ahliyyatul Adai atau
meriwayatkan suatu hadits mempunyai syarat syarat tertentu agar riwayatnya
7

diterima. Syarat syarat itu adalah islam, baligh, adalah dan dhabit. Tanpa ada
syarat syarat itu maka riwayatnya tertolak.
6


C. TATA CARA PENYAMPAIAN DAN PERIWAYATAN HADITS
(PERWUJUDAN TRANSFORMASI HADITS)
Tahammul Wal Adai adalah cara cara meriwayatkan atau menyampaikan suatu hadits.
Cara menyampaikan suatu hadits itu macam macam yaitu :
a. Al-SimaMin lafdzi syaikh (mendengar)
Yaitu mendengar langsung dari sang guru. Sima mencakup imlak
(pendektean), dan tahdits (narasi atau memberi informasi),Menurut mayoritas ahli
hadits simak merupakan shigat riwayat yang paling tinggi. Ketika seorang rawi ingin
meriwayatkan hadits yang didengar langsung dari gurunya, maka ia boleh
menggunakan salah satu lafat berikut
,, , , ,
Jika pada saat mendengar dia tidak sendirian maka dlamir mutakallim diganti
dengan dlamir jamak (). Muhaddits periode awal terbiasa menggunakan lafat ,
sementara pada masa berikutnya lebih akrab menggunakan lafat . Namun
demikian pada dasarnya kedua lafat tersebut tidak memiliki perbedaan yang berarti.
Hal itu dikarenakan keduanya sama-sama digunakan untuk mewartakan hadits yang
didengar langsung Hadits yang diriwayatkan dengan salah satu lafadh diatas
menunjukkan pada bersambungnya sanad.
b. Al-Qiraah ala lafdzi syaikh (membacakan hadits pada syeikh).
Al-Qiraah disebut juga al-Ardlu memiliki dua bentuk. Pertama, seorang rawi
membacakan hadits pada syeikh,. Baik hadits yang dia hafal atau yang terdapat dalam
sebuah kitab yang ada di depannya. Kedua, ada orang lain membacakan hadits,
sementara rawi dan syeikh berada pada posisi mendengarkan. Dalam situasi seperti itu
ada beberapa kemungkinan, bisa jadi syeikh memang hafal hadits yang dibacakanya
kepadanya, atau ia menerimanya dengan bersandar pada catatannya atau sebuah kitab
yang kredibel. Akan tetapi jika syeikh tidak hafal hadits yang dibacakan kepadanya,


6
Qadir Hasan A., Ilmu Musthalah Hadits, CV Diponegoro Bandung, 1987.M.
8

maka sebagian ulama antaranya al Juwaini menganggapnya sebagai bentuk simak
yang tidak benar.
Terkait dengan qiraah ini sebagian ahli hadits melihatnya sebagian bagian
yang terpisah, sementara yang lain menganggapnya sama dengan mendengar. Ulama
ynag berpendapat bahwa qiraah sama kuatnya dengan simak dalam menanggung
hadits adalah al Zuhri, al Bukhari, mayoritas ulama Kufah, Hijaz, dll. Riwayat dengan
cara ini masuk dalam sanad yang muttasil.
c. Al-Ijazah
Salah satu bentuk menerima hadits dan mentransfernya denga cara seorang
guru memberi izin kepada muridnya atau orang lain untuk meriwayatkan hadits yang
ada dalam catatan pribadinya (kitab), sekalipun murid tidak pernah membacakan atau
mendengar langsung dari sang guru. Ibnu Hazm menentang riwayat dengan ijazah dan
menganggapnya sebagai bidah. Sekalipun bagian ini banyak menuai kritik keras dari
kalangan muhadditsin, namun tidak sedikit ulama yang membolehkannya. Dari kedua
golongan yang terlibat dalam polimik sama-sama memberikan alasan untuk
mempertahankan pendapat masing-masing. Dalam hal ini, dengan melihat pada
argumen dari kedua belah pihak, penulis lebih cenderung pada pendapat yang
membolehkan. Hal itu dikarenakan, sekalipun konsep ijazah bersifat umum, namun
pada tataran praktisnya ia hanya boleh dilakukan oleh orang tertentu yang benar-benar
berkompeten dan memiliki pengetahuan luas dalam bidang hadits nabawi Dengan
demikian kehawatiran golongan pertama akan terjadinya dusta dan tadlis tidak dapat
dibenarkan.
d. Al-Munawalah.
Tindakan seorang guru memberikan sebuah kitab atau hadits tertulis agar
disampaikan dengan mengambil sanad darinya. Menurut Shiddiq Basyir Nashr dalam
bukunya Dlawabith al Riwayah munawalah terdapat dua bagian, yaitu disertai dengan
riwayah dan tidak disertai dengan riwayah. Kemudian bentuk yang pertama dibagi
menjadi beberapa macam, Guru mengatakan ini adalah hadits yang aku dengar, aku
berikan dan ku ijazahkan ia kepada mu. Mirip dengan munawalah maal ijazah,
seorang guru mengatakan kepada muridnya ambillah kitab ini, kutip dan telitilah,
kemudian kembalikan lagi kepada ku.
9

Seorang murid membawakan hadits yang kemudian diteliti oleh sang guru
dan berkata ini adalah hadits ku, riwayatkanlah ia dari ku. Kedua tidak disertai
dengan ijazah, seperti kasus seorang guru yang memberikan hadits kepada muridnya
dan berkata ini adalah hadits yang aku dengar, tanpa disertai dengan izin untuk
meriwayatkan.
e. Al-Kitabah (menulis).
Yang dimaksud dengan menulis di sini adalah aktivitas seorag guru
menuliskan hadits -baik ditulis sendiri atau menyuruh orang lain- untuk kemudian
diberikan kepada orang yang ada di hadapannya, atau dikirimkan kepada orang yang
berada ditempat lain. Sebagaimana halnya munawalah, mukatabah juga terdapat dua
macam yaitu disertai dengan ijazah dan tidak disertai dengan ijazah. Pendapat yang
masyhur menyatakan kebolehan meriwayatkan hadits dengan cara ini. Bahkan ia juga
menjadi salah satu kebiasan ulama klasik, sehingga tidak heran jika kita menemukan
dari sekian banyak hadits diriwayatkan dengan lafat .
f. Al-Ilam as-Syaikh (memberitahukan seorang guru).
Al-Ilam as-Syaikh adalah tindakan seorang guru yang memberitahukan kepada
muridnya bahwa kitab atau hadits ini adalah riwayat darinya atau dari yang dia
dengar, tanpa disertai dengan pemberian ijazah untuk menyampaikannya. Masuk
dalam bagian ini apabila seorang murid berkata kepada gurunya ini adalah hadits
riwayatmu, bolehkah saya menyampaikannya? lalu syaikh menjawab ya atau hanya
diam saja.
Mayoritas ulama -hadits, usul fiqih- memperbolehkan bentuk ini dijadikan salah satu
metode menerima hadits sepanjang kredibilitas guru dapat dipercaya. Namun
demikian sejumlah muhadditsin dan pakar usul tidak memperbolehkan cara ini
dijadikan salah satu bentuk menyampaikan hadits, dengan alasan yang sangat singkat
karena tidak disertai dengan izin. Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Ghozali dan Ibnu
Sholah dalam bukunya Al-Muqoddimah.
g. Al-Washiyat.
Al-Washiyat adalah penegasan syeikh ketika hendak bepergian atau dalam
masa-masa sakaratul maut; yaitu washiyat kepada seseorang tentang kitab tertentu
yang diriwayatkannya. Sejumlah ulama memperboleh mereportasekan hadits yang
diperoleh dengan cara washiyat. Washiyat hadits menurut mereka sama dengan
10

pemberitahuan dan pemberian, yang seoleh-olah syeikh memberikan izin kepada
muridnya dan memberitahukan bahwa ini termasuk riwayatnya.
Seklaipun mereka memperbolehkannya, namun mereka mengakui bahwa
riwayat dengan cara ini termasuk lemah, bahkan lebih lemah dari munawalah dan
Ilam, sekalipun memiliki kesamaan. Mereka juga memberikan batasan, ketika orang
yang menerima hadits dengan cara ini ingin mewartakannya kembali maka ia harus
terikat dan mengikuti redaksi asalnya, dan menjelaskan bahwa hadits tersebut
diterima dengan washiyat, serta tidak boleh menggunakan lafat , karena dalam
kenyataannya dia memang tidak mendengar langsung. Bagaimanapun juga sejumlah
ulama yang lain tidak memperbolehkannya, dengan alasan karena menerima hadits
dengan cara ini tidak disertai dengan mendengar langsung atau qiraah.
h. Al-Wijadah
Seorang rawi menemukan hadits yang ditulis oleh orang yang tidak seperiode,
atau seperiode namun tidak pernah bertemu, atau pernah bertemu namun ia tidak
mendengar langsung hadits tersebut dari penulisnya. Al-Wijadah juga tidak terlepas
dari pertentangan pendapat antara yang memperbolehkan dan tidak. Namun para
kritikus hadits yang memperbolehkan menyatakan bahwa, ketika penemu ingin
meriwayatkannya maka ia harus menggunakan lafat
atau .

Kebolehan mewartakan hadits dengan cara ini apabila kodeks yang menjadi sumber data
telah dinyatakan valid dan penulisnya kredibel. Dan bentuk penyajiannya dengan metode
hikayah (menceritakan) seperti diatas. Dari beberapa proses penerimaan dan penyampaian
hadits di atas kita bisa mengambil kesimpulan sebagai berikut. Bahwa ketika perowi mau
menceritakan sebuah hadits, maka ia harus menceritakan sesuai dengan redaksi pada waktu ia
menerima hadits tersebut dengan beberapa istilah yang telah banyak dipakai para ulama
hadits
7




7
Thahhnan,mahmud.intisari ilmu hadits. 2007.malalang:uin-malang press
11

KESIMPULAN
Hadits samapai kepada kita bukan hanya secara mutawatir tapi juga secara ahad
(perseorangan ) sehingga hadits itu ada hadits mutawatir ada hadits ahad. Hadits mutawatir
meyakinkan dan tidak diragukan lagi kebenarannya karena diriwayatkan oleh banyak orang,
sedangkan hadits ahad masih diragukan kebenarannya karena diriwayatkan hanya oleh
beberapa orang saja malah mungkin hanya oleh seorang saja. Karena itu, hadits ahad masih
memerlukan penyelidikan dan penelitian tentang keshahihannya melalui penyelidikan dan
penelitian matan ( isi hadits ) dan sanad ( rangkaian rowi hadits ).
Dengan menyelidiki dan meneliti matan dan sanad hadits ini suatu hadits bias
diketauhi keshahihan dan kedhoifannya. kedudukan perowi yang berperan sebagai mata
rantai sebuah hadits yang akan di sampaikan kepada umat.sehingga perlu perhatian dengan
khusus terhadap syarat di terimanya riwayat para perawi secara teliti dan cermat
Syarat orang yang dapat menerima riwayat menurut jumhur ulama tidak mempunyai
syarat apa apa.
Syarat perawi yang dapat di terima riwayatnya adalah:
o Perawinya harus adil,artinya periwayat harus beragama islam,mukalaf (aqil
baligh),selamat dari sebab-sebab fasiq.dan tidak cacat muruahnya.
o Perawinya harus dlhabit,artinya riwayatnya tidak bertentangan dengan riwayat
perawi-perowi lain yang dapat di percaya,tidak jelek hafalanya,tidak sering
melakukan kesalahan,tidak pelupa dan tidak banyak waham (melakukan
purbasangka).
Tata Cara Penyampaian Dan Periwayatan Hadits (Perwujudan Transformasi Hadits)
Ada 8 yaitu:
1. Al-SimaMin lafdzi syaikh (mendengar).
2. Al-Qiraah ala lafdzi syaikh (membacakan hadits pada syeikh).
3. Al-Ijazah.
4. Al-Munawalah.
5. Al-Kitabah (menulis).
6. Al-Ilam as-Syaikh (memberitahukan seorang guru).
7. Al-Washiyat.
8. Al-Wijadah.

12

DAFTAR PUSTAKA

Thahhnan,mahmud.intisari ilmu hadits. 2007.malalang:uin-malang press
Qadir Hasan A., Ilmu Musthalah Hadits, CV Diponegoro Bandung, 1987.M.
Hasbi Ash-Shiddieqy, M, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Bulan Bintang,
Jakarta Indonesia 1954.
Nurudin,manhaj an-naqd fi ullumul-hadits,terj,Mujio.rosdakarya ofset.bandung:1994
Al-maliki,Muhammad alawi.ilmu ushul hadits.pustaka pelajar.yogyakarta:2006
http://khairuddinhsb.blogspot.com/syarat-perowi-dan-proses-transformasi-
hadits.html

You might also like