You are on page 1of 18

Pointers Diskusi Seni dan Tari dalam Pandangan Agama

Islam
dalam kegiatan tema “Hoeriyah Adam dan Spirit
Minangkabau Dalam Tari”, bertempat di Ruang Pameran
Taman Budaya Propinsi Sumatera Barat, Jalan
Diponegoro, Padang, pada hari Senin, tanggal 10
Nopember 2008.

Mukaddimah

1. Bernyanyi, bermain musik, menari adalah bagian dari seni.


Guna memahami fakta (fahmul waqi’) yang menjadi objek penerapan
hukum syara’, maka kita semestinya tahu apa batasan seni itu.
Seni adalah penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa
manusia, yang dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke
dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni
suara), indera pandang (seni lukis), atau perantaraan gerak (seni tari,
drama).
Seni musik (instrumental art) berhubungan dengan alat-alat musik
dan irama yang dihasilkan alat-alat musik tersebut. Di sini terkait cara
memainkan instrumen musik, cara membuat not, dan studi
bermacam-macam aliran musik.
Di samping itu ada seni suara (vocal) yang mencakup cara melagukan
syair melalui perantaraan mulut (suara saja) tanpa iringan instrumen
musik.
Bahkan seni suara ini dapat digabungkan dengan alat-alat musik
tunggal (gitar, biola, piano, dan lain-lain) atau dengan alat-alat
musik majemuk seperti band, orkes simfoni, karawitan, dan
sebagainya. 1
2. Sering kali terjadi, masyarakat umum, di antaranya kaum Muslimīn
umumnya menghadapi kesenian sebagai suatu masalah yang
menimbulkan berbagai pertanyaan, bagaimana hukum tentang bidang
yang satu ini, boleh, makrūh atau harām?
3. Dalam praktek kehidupan sehari-hari, sadar atau tidak, kita terlibat
masalah seni. Bidang seni telah menjadi bagian dari gaya hidup bagi
bertempat kediaman tetap di kota. Umat di desa dan di kampung pun
telah terasuki (penetrate, possess).
Media elektronika seperti radio, radiokaset, televisi, dan video telah
lama masuk nagari. Kehidupan di kota, tidak jarang terjadi tempat-
tempat hiburan diiringi music tumbuh jadi tempat ma‘shiat seperti
"night club", dan sejenisnya.
1
Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 13 - 14.

1
Generasi muda dan tua terbawa arus mencari kesenangan dengan
bernyanyi, menari bersama, kadangkala tanpa mempedulikan lagi
hukum halāl-harām. Ada yang berpikir bahwa hidup itu hanya untuk
bersenang-senang, jatuh cinta, pacaran, dan lain-lain.
1. Seni dan budaya tradisional kita telah tergeser (shifted,
moved, removed) oleh seni budaya dan peradaban produk Barat
yang perhatiannya menekankan kehidupan yang bebas tanpa
ikatan agama apapun.
2. Cabang seni yang paling dipermasalahkan adalah nyanyian,
musik dan tarian. Ketiga bidang itu telah menjadi bagian penting
kehidupan modern, karena kurang kontrol dapat merusak
akhlaq dan nilai-nilai keislāman.
3. Karena dampak negatif itu, kadangkala menyebabkan banyak
orang bertanya-tanya, khususnya yang masih memiliki ghirah
Islam (cemburu terhadap musuh agama). Bagaimana
pandangan Islam terhadap seni budaya? Bolehkah kita bermain
gitar, piano, organ, drum band, seruling, bermain musik blues,
klasik, keroncong (popular Indineisan music originating from
Portuguese songs), musik lembut, musik rock, dan lain-lain?
Bagaimana pula dengan lirik lagu bernada asmara, porno,
perjuangan, qashīdah, kritik sosial, dan sejenisnya? Bagaimana
pandangan hukum Islam dalam seni tari. Apakah tarian Barat
seperti Twist, Togo, Soul, Disko dan sebagainya boleh?
Bagaimana dengan tari tradisional? Bolehkah wanita atau lelaki
menari di kalangan mereka masing-masing?
4. Islam diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW di Makkah dan
Madinah (Arab).
Pada umumnya orang ‘Arab berbakat musik. Seni suara telah menjadi
suatu kebanggaan sejak zamān jāhilliyah. Di Hijāz kita dapati orang
menggunakan musik mensural yang bernama IQA (irama yang
berasal dari semacam gendang, berbentuk rithm) dengan
menggunakan berbagai intrusmen (alat musik), antara lain seruling,
rebana, gambus, tambur, dan lain-lain.
Setelah bangsa ‘Arab masuk Islam, bakat musiknya berkembang
dengan jiwa dan semangat baru yakni tauhid.
( Demikian juga halnya sama dengan kebudayaan tradisonal
Minangkabau, berubah setelah masuk agama Islam.)
5. Pada masa Rasūlullāh, ketika Hijāz menjadi pusat politik,
perkembangan seni musik makin berkembang.
a. Terdapat nash-nash hadist yang membolehkan seseorang menyanyi,
menari, dan memainkan alat-alat musik.
b. Tetapi kebolehan itu disebutkan pada nash-nash tersebut hanya ada pada
acara pesta-pesta perkawinan, khitanan, dan ketika menyambut tamu

2
yang baru datang atau memuji-muji syuhadak, mengingat Allah, atau
menyambut kedatangan hari raya dan yang sejenisnya.
c. Beberapa kutipan riwāyat saja, antara lain ;
a. Riwāyat Bukhārī dan Muslim dari ‘Ā’isyah r.a. ia berkata:2
"Pada suatu hari Rasūlullāh masuk ke tempatku. Di sampingku ada
dua gadis perempuan budak yang sedang mendendangkan
nyanyian (tentang hari) Bu‘ats (Bu‘ats adalah nama salah satu
benteng untuk Al-AWS yang jaraknya kira-kira dua hari perjalanan
dari Madīnah. Di sana pernah terjadi perang dahsyat antara kabilah
Aus dan Khazraj tepat 3 tahun sebelum hijrah).(di dalam riwāyat
Muslim ditambah dengan menggunakan rebana).
(Kulihat) Rasūlullāh s.a.w. berbaring tetapi dengan
memalingkan mukanya.
Pada sā‘at itulah Abū Bakar masuk dan ia marah kepada saya.
Katanya: "Di tempat Nabi ada seruling setan?"
Mendengar seruan itu, Nabi lalu menghadapkan mukanya kepada
Abū Bakar seraya bersabda: "Biarkanlah keduanya, hai Abū
Bakar!". Tatkala Abū Bakar tidak memperhatikan lagi maka saya
suruh kedua budak perempuan itu keluar.
Waktu itu adalah hari raya di mana orang-orang Sudan sedang
(menari dengan) memainkan alat-alat penangkis dan senjata
perangnya (di dalam masjid)....."

 Dalam riwāyat lain Imām Bukhārī menambahkan lafazh, 3

‫يَا أَبَا بَكْ ٍر إِنّ لِ ُكلّ َقوْ ٍم عِ ْيدًا وَ هذَا عِيْدُنَا‬


"Wahai Abū Bakar, sesungguhnya tiap bangsa punya
hari raya. Sekarang ini adalah hari raya kita (umat
Islam)."
 Hadīts Imām Ahmad dan Bukhārī dari ‘Ā’isyah r.a.:4

‫ل مِنَ الَ ْنصَارِ َفقَالَ النّبِيّ صلعَْ ْم‬ ٍ‫ج‬ُ َ‫أَنّهَا زَفّتِ امْ َرَأةً إِلى ر‬
ُ‫يَا عَائِشَةُ مَا كَانَ َمعَكُ ْم مِنْ لَ ْهوٍ َفإِنّ الَ ْنصَارَ يُعْجِبُ ُهمُ اللّ ْهو‬
"Bahwa dia pernah mengawinkan seorang wanita
dengan seorang laki-laki dari kalangan Anshār. Maka
Nabi s.a.w. bersabda: "Hai ‘Ā’'isyah, tidak adakah
padamu hiburan (nyanyian) karena sesungguhnya

2
(Lihat SHAHĪH BUKHĀRĪ, Hadīts No. 949, 925. Lihat juga SHAHĪH MUSLIM, Hadīts No.
829 dengan tambahan lafazh: ((‫ن‬ ِ ْ ‫مغَن ِّيَتَي‬ َ ْ ‫"وَ لَي‬Kedua-duanya (perempuan itu) bukanlah
ُ ‫ستَا‬
penyannyi")
3
(Lihat SHAHĪH BUKHĀRĪ, Hadīts No. 509, 511):
4
(Lihat SHAHĪH BUKHĀRĪ Hadīts No. 5162, TARTĪB MUSNAD IMĀM AHMAD, Jilid XVI, hlm.
213. Lihat juga: Asy-Syaukānī, NAIL-UL-AUTHĀR Jilid VI, hlm. 187)
3
orang-orang Anshār senang dengan hiburan
(nyanyian)."

 Juga ada lafaz Hadīts riwāyat Imām Ahmad berbunyi; 5

ْ‫ أَتَيْنَاكُمْ َفحَيّوْنَا نُحَيّيْكُم‬:ُ‫َلوْ بَعَ ْثتُمْ مَعَهَا مَنْ يُ َغنّيْهِ ْم وَ َيقُوْل‬


ٌ‫ن الَ ْنصَارَ َقوْمٌ فِيْهِ ْم هَ ْزل‬ ّ ِ‫فَإ‬
"Bagaimana kalau diikuti pengantin itu oleh (oran-
orang) wanita untuk bernayanyi sambil berkata dengan
senada: "Kami datang kepadamu. Hormatilah kami dan
kami pun menghormati kamu. Sebab kaum Anshār
senang menyanyikan (lagu) tentang wanita."

 Kaum lelaki masa Rasulullah dan sesudahnya suka


memanggil penyanyi budak (jawārī) ke rumah mereka jika
ada pesta pernikahan. Buktinya Amir bin Sa‘ad (seorang
dari Tābi‘īn) pernah meriwayatkan tentang apa yang terjadi
dalam suatu pesta pernikahan. Ia berkata 6:

ْ‫خلْتُ عَلى قُرَظَةَ ْبنِ كَ ْعبٍ َو أَبِيْ مَسْعُوْ ٍد الَ ْنصَارِيّ فِي‬ َ ‫َد‬
)ْ‫ل (صلعَْم‬ ِ ‫ أَنْتُمَا صَاحِبَا َرسُوْلِ ا‬:ُ‫ن َف ُقلْت‬ َ ْ‫عُرْسٍ َو إِذَا جَوَارِيْ يُغَنّي‬
َ‫جلِسْ ِإنْ شِ ْئتَ فَاسْمَعْ مَ َعنَا و‬ ْ ‫ ِا‬:َ‫ن أَ ْهلِ بَدْرٍ ُيفْ َعلُ هذَا عِ ْندَكُ ْم َفقَال‬
ْ ِ‫وَ م‬
ِ‫ص لَنَا فِي اللّهْوِ عِنْ َد الْعُرْس‬ َ ّ‫إِنْ شِ ْئتَ اذْ َهبْ قَدْ ُرخ‬
"Saya masuk ke rumah Qurazhah bin Ka‘ab dan Abū
Mas‘ūd Al-Anshārī. Ketika itu sedang berlangsung
pesta perkawinan. Tiba-tiba beberapa perempuan
budak (jawārī) mulai menyanyi-nyanyi. Maka saya
bertanya: :Kalian berdua adalah sahabat Rasūlullāh
s.a.w. dan pejuang di perang Badar. Kenapa hal yang
begini kalian lakukan pula? Quraizhah menjawāb:
"Duduklah, kalau engkau mau. Mari kita dengar
bersama. Kalau tidak, silakan pergi. Sesungguhnya
telah diperbolehkan bagi kita untuk mengadakan
hiburan (nyanyian) apabila ada pesta perkawinan."

5
(Lihat Asy-Syaukānī, ibidem jilid VI, hlm. 187). Selanjutnya. ‘Abd-ul-Hayy Al-Kaththānī
(Lihat ‘Abd-ul-Hayy Al-Kaththāīi, AT-TARĀTIB-UL-IDĀRIYYAH, Jilid II, hlm. 121-126).
mencatat nama-nama penyanyi wanita di masa Rasūlullāh. Mereka ini suka menyanyi di
ruang tertutup (rumah) kalangan wanita saja pada pesta perkawinan dan sebagainya. Di
antaranya bernama Hammah (Lihat juga Ibnu Al-Asqalany, AN-NISĀ’, AL-'ASHĀBAH FĪ
TAMYĪZ ASH-SHAHĀBAH, Jilid IV, hlm. 274 dan 275) dan Arnab (Lihat Ibnu Hajar Al-
Asqalany, ibidem, hlm. 226).

6
(Lihat SUNAN AN-NASĀ’I, Jilid VI, hlm. 135)
4
(H.R. An-Nasai, lihat Bab Hiburan dan Nyanyian Pada Pesta
Pernikahan).

Imām An-Nasā’i meriwayatkan dalam bāb Mengumumkan Pernikahan


Dengan Suara (Nyanyian) dan Rebana yang diriwayatkannya dari M. bin
Hathib bahwa Nabi s.a.w. bersabda (Lihat SUNAN AN-NASĀ’I, Jilid VI, hlm.
127):

ِ‫ت فِي ال ّنكَاح‬


ُ ْ‫ الدّفّ وَ الصّو‬:ِ‫ل مَا َبيْنَ الْحَلَلِ وَ الْحَرَام‬
ُ ْ‫َفص‬

"Tanda pemisah (pembeda) antara yang halāl dengan yang harām (dalam
suatu pernikahan) adalah (mengumumkannya dengan) memainkan
rebana dan menyanyi."

1. KEHIDUPAN MASYARAKAT ISLAM PADA MASA RASŪLULLĀH S.A.W.

Walaupun demikian perlu juga diperhatikan, kehidupan masyarakat Islam


di masa Rasūlullāh s.a.w. ditandai oleh dua karakteristik, yaitu
(1). sederhana;
(2). banyak berbuat untuk jihād fī sabīlillāh.

Membela Islam dan meluaskannya menghendaki seluruh pemikiran dan


usaha.

Pada masa Rasulullah tidak tersisa waktu untuk bersenang-senang.


Orang-orang Islam tetap tahu dengan lagu dan musik. Ketika wilayah
Islam meluas, kaum Muslimīn berbaur dengan berbagai bangsa yang
masing-masing mempunyai kebudayaan dan kesenian sehingga
terbukalah mata mereka kepada kesenian suara baru dengan mengambil
musik-musik Persia dan Romawi.

2. PENGARANG TEORI MUSIK DARI KALANGAN KAUM MUSLIMĪN.

Pada waktu itu muncullah seorang ahli musik bernama Ibnu Misjah
(wafat tahun 705 M.). Setelah itu kaum Muslimin banyak yang
mempelajari buku-buku musik yang diterjemahkan dari bahasa Yunani dan
Hindia. Mereka mengarang kitab-kitab musik baru dengan mengadakan
penambahan, penyempurnaan, dan pembaharuan, baik dari segi alat-alat
instrumen maupun dengan sistem dan teknisnya.

Di antara pengarang teori musik Islam yang terkenal ialah:

1. Yunus bin Sulaimān Al-Khatīb (wafat tahun 785 M.). Beliau adalah
pengarang musik pertama dalam Islam. Kitāb-kitāb karangannya dalam
musik sangat bernilai tinggi sehingga penggarang-penggarang teori musik
Eropa banyak yang merujuk ke ahli musik ini.

2. Khalīl bin Ahmad (wafat tahun 791 M.). Beliau telah mengarang buku
teori musik mengenai not dan irama.

5
3. Ishāk bin Ibrāhīm Al-Mausully (wafat tahun 850 M.) telah berhasil
memperbaiki musik ‘Arab jāhilliyah dengan sistem baru. Buku musiknya
yang terkenal adalah KITĀB-UL-ALHAN WAL-ANGHĀM (Buku Not dan
Irama). Beliau sangat terkenal dalam musik sehingga mendapat julukan
IMĀM-UL-MUGHANNIYĪN (Raja Penyanyi).

3. PENDIDIKAN MUSIK DI NEGERI-NEGERI ISLAM.

Selain dari penyusunan kitāb musik yang dicurahkan pada akhir masa
Daulah Umayyah. Pada masa itu para khalīfah dan para pejabat lainnya
memberikan perhatian yang sangat besar dalam pengembangan
pendidikan musik. (Lihat Prof. A.Hasmy, Sejarah kebudayaan Islam, hlm.
320-321).

Banyak sekolah musik didirikan oleh negara Islam di berbagai kota dan
daerah, baik sekolah tingkat menengah maupun sekolah tingkat tinggi.
Sekolah musik yang paling sempurna dan teratur adalah yang didirikan
oleh Sa‘id ‘Abd-ul-Mu’mīn (wafat tahun 1294 M.).

Salah satu sebab mengapa dalam Daulah ‘Abbāsiyyah didirikan banyak


sekolah musik adalah karena keahlian menyanyi dan bermusik menjadi
salah satu syarat bagi pelayan (budak), pengasuh, dayang-dayang di
istana dan di rumah pejabat negara atau pun di rumah para hartawan
untuk mendapatkan pekerjaan. Karena itu telah menjadi suatu keharusan
bagi para pemuda dan pemudi untuk mempelajari musik. (Lihat Prof. A.
Hasjmy , ibidem, hlm. 322).

Di antara pelayan (jawārī) atau biduan dan biduanita yang menjadi


penyannyi di istana negara tercatat nama-namanya sebagai berikut (Lihat
Prof. A. Hasjmy, ibidem, hlm. 324-326):

Yang menjadi biduan antara lain: 1. Ma‘bad, 2. Al-Kharīd, 3. Dua


bersaudara Hakam dan ‘Umar Al-Wady, 4. Fulaih bin Abī ‘Aurā, 5. Siyāth,
6. Nasyīth, 7. Ibrāhīm al-Mausully dan puteranya Ishāk al-Mausully.

Adapun biduanitanya anatara lain: 1. Neam (biduanita istana Khalīfah


Makmun), 2. Bazel dan Zat-ul-Khal (biduanita istana di masa Khalīfah
Hārūn Ar-Rasyīd), 3. Basbas (biduanita istana di masa Khalīfah Al-Mahdi),
4. Habhabah (biduanita kesenangan Khalīfah Yazīd I), dan 5. Sallamah
(biduanita istana Khlīfah Yazīd II).

HALAL ATAU HARAM NYANYIAN DAN MEMAINKAN ALAT MUSIK?

Nyanyian yang bersifat vokal (suara manusia tanpa instrumen musik)


tidak diperselisihkan oleh para fuqaha. Mereka mengatakan bahwa
nyanyian semacam ini halal atau dibolehkan, sebagaimana yang dikutip
oleh Imam Asy-Syaukani dari berbagai kalangan ulama (Lihat Asy-
Syaukani , NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VIII,hlm. 114-115):

6
"Nyanyian tanpa instrumen musik, Al-Adhfawi dalam kitabnya AL-IMTA
menyebutkan bahwa Imam Al-Ghazali dalam berbagai karangan fiqihnya
menegaskan kesepakatan ulama tentang halalnya nyanyian jenis ini.
Begitu juga Ibnu Thahir berpendapat ada ijma' sahabat dan tabi'in tentang
halalnya nyanyian vokal ini. At-Taj-ul-Fazari dan Ibnu Qutaibah
menyebutkan adanya ijma' penduduk Mekah dan Madinah. Ibnu Thahir
dan Ibnu Qutaibah juga menyebutkan adanya ijma' penduduk Madinah
dalam hal tersebut. Sedangkan Imam Al-Mawardi mengatakan bahwa
penduduk Hijaz sejak dulu sampai sekarang (abad 5 H) membolehkan
nyanyian jenis ini pada hari-hari yang mulia dalam setahun yang (kaum
Muslimin) diperintahkan untuk melakukan nazam-nazam zikir dan ibadah."

Imam An-Nawawi dalam kitabnya Al-Umdah berkata:

"Telah diriwayatkan tentang halalnya nyanyian dan mendengarkannya


dari sekelompok sahabat dan tabi'in, di antaranya adalah Imam yang
empat, Ibnu "Uyainah, dan jumhur Syafi'yah."

Ini mengenai nyanyian vokal tanpa instrumen musik. Adapun nyanyian


yang disertai dengan alat musik maka ulama yang menghalalkannya
mengatakan bahwa semua Hadits yang membahas masalah ini nilainya
tidak sampai ke tingkat shahih maupun hasan. Inilah yang dikatakan oleh
Al-Qadhi Abu Bakar Ibn-ul-'Arabi (Lihat Abu Bakar Ibn-ul-'Arabi, AHKAM-UL-
QURAN, Jilid III, hlm. 1053-1054):

"Tidak terdapat satu dalil pun di dalam Al-Quran maupun Sunnah Rasul
yang mengharamkan nyanyian. Bahkan ada Hadits yang menunjukkan
bolehnya nyanyian. Hadits shahih itu mengatakan bahwa Abu Bakar
pernah masuk ke tempat Aisyah yang disampingnya ada dua jariyah
penyanyi dari kalangan Anshar yang sedang menyanyikan tentang hari
Bu'ats. Kemudian Abu Bakar berkata: "Di rumah Nabi s.a.w. ada seruling
syaitan?" Mendengar perkataan itu, Rasulullah s.a.w. bersabda:

"Biarkanlah keduanya, wahai Abu Bakar, sebab sesungguhnya hari ini


adalah hari raya."

Ibn-ul-'Arabi berkata: "Jika nyanyian itu haram, tentu di rumah Rasulullah


s.a.w. tidak akan ada sama sekali hal tersebut. Tetapi alasan yang
diberikan beliau (Nabi s.a.w.) untuk membolehkannya adalah karena
nyanyian itu dilakukan pada hari raya, yang hal tersebut menunjukkan
bahwa bila nyanyian itu dilakukan secara terus-menerus, maka hukumnya
makruh. Sedangkan rukhshah (keringanan) untuk melakukannya terbatas
pada saat-saat tertentu seperti hari raya, perkawinan, pulangnya
seseorang kekampung halamannya, dan sebagainya. Berkumpulnya
orang-orang (dalam acara tersebut) biasanya untuk menyenangkan hati
orang-orang yang sejak lama tidak bertemu atau berkumpul, baik
berkumpulnya kalangan kaum wanita maupun pria. Jadi, setiap Hadits
yang diriwayatkan maupun ayat dipergunakan untuk menunjukkan
keharaman nyanyian merupakan pendapat yang bathil atau tidak benar

7
dari segi sanad dan ijtihad, baik bertolak dari nash maupun suatu
takwilan."

Imam Ibnu Hazm juga memberikan komentar yang melemahkan semua


Hadits riwayat tentang nyanyian. Bahkan menurut beliau, sebagian di
antaranya adalah maudhu' (palsu). Inilah komentarnya. (Lihat Ibnu Hazm,
AL-MUHALLA, Jilid VI, hlm. 59):

"Jika belum ada perincian dari Allah s.w.t. maupun RasulNya tentang
haramnya sesuatu yang kita bincangkan di sini (dalam hal ini adalah
nyanyian dan menggunakan alat-alat musik), maka telah terbukti bahwa
ia adalah halal atau boleh secara mutlak."

Adapun orang yang bertolak dari pendapat Ibnu Mas'ud dan Ibnu 'Abbas
tentang firman Allah s.w.t. surat Luqman, ayat 6 tentang arti Lahw-ul-
hadits dalam ayat tersebut adalah 'nyanyian". Begitu juga pendapat Ibnu
'Abbas yang mengatakan bahwa memainkan alat musik rebana dan setiap
alat musik termasuk seruling, tambur, adalah haram. Maka Ibnu Hazm
membantah pendapat ini dengan mengatakan (Lihat Ibnu Hazm, AL-
MUHALLA, Jilid VI, hlm. 60). bahwa semua pendapat yang semacam ini
tidak dapat dijadikan sebagai hujjah atau bukti dengan sebab-sebab
sebagai berikut:

1. Tidak ada hujjah dalam ucapan manusia manapun selain ucapan


Rasulullah s.a.w.

2. Pendapat Ibnu 'Abbas dan Ibnu Mas'ud, Ibrahim, Mujahid, dan Ikrimah
tentang firman Allah s.w.t. dalam surat Luqman, ayat 6 yang menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah nyanyian, maka pendapat
ini bertentangan senga pendapat yang lainnya dari kalangan sahabat dan
tabi'in.

3. Teks ayat tersebut cukup untuk membatalkan hujjah mereka. Orang-


orang yang bertindak demikian, sebagaimana yang diterangkan dalam
ayat tersebut adalah orang-orang yang bila mengajarkannya telah
termasuk kafir tanpa ada selisih pendapat (khilaf). Mereka telah
menjadikan Sabil (Agama Allah s.w.t.) sebagai senda gurau. Andaikan Al-
Quran dibeli untuk menyesatkan orang-orang dari jalan Allah s.w.t. dan
dijadikannya sebagai bahan ejekan maka tentu orang-orang yang
melakukan hal tersebut telah menjadi kafir. Inilah yang dicela oleh Allah
s.w.t. melalui ayat tersebut. Arti ayat itu bukan ditujukan kepada orang-
orang yang menyibukkan dirinya dengan sesuatu untuk menghibur diri
tanpa bermaksud menyesatkan orang lain dari jalan Allah s.w.t. Dengan
demikian, hujjah mereka telah gugur. Begitu pula dengan orang-orang
yang sengaja menyibukkan diri dengan maksud tidak melakukan solat
walaupun apa yang dilakukannya adalah dengan membaca Al-Quran,
buku-buku Hadits, mencari bahan untuk pengajian, sibuk memandang
banyaknya uang, atau menyibukkan diri dengan nyanyian dan yang
serupa dengannya, maka orang tersebut adalah fasiq dan telah berbuat

8
maksiat. Adapun yang tidak meninggalkan sesuatu dari apa yang telah
diwajibkan walaupun ia sibuk dengan apa yang telah diuraikan di atas,
maka orang tersebut adalah muhsin (orang yang tidak salah melangkah).

Kemudian beliau melanjutkan bantahannya terhadap pendapat dari pihak


yang menanyakan, apakah nyanyian itu tergolong dalam Al-Haq (sesuatu
yang dibenarkan oleh agama) atau tidak? Ini disebabkan karena Allah
s.w.t. telah berfirman:

ِ‫َفمَاذَا َبعْدَ ا ْلحَقّ ِإلّ الضّلَل‬

"...maka tidak ada sesuatu kebenaran itu melainkan kesesatan." (10:32),


dengan mengatakan (Lihat Ibnu Hazm, AL-MUHALLA, Jilid VI, hlm. 60).

Rasulullah s.a.w. telah bersabda:

)‫ئ مَا نَوى) (متفق عليه‬


ٍ ِ‫ل امْر‬
ّ ُ‫ل بِال ّنيَاتِ وَ ِإنّمَا ِلك‬
ُ ‫عمَا‬
ْ َ‫(ِإّنمَا ال‬

"Sesungguhnya amal perbuatan (manusia) itu tergantung


niatnya. Bahwasanya apa yang diperoleh oleh seseorang adalah
sesuai dengan apa yang diniatkannya...."

Oleh karena itu siapa saja yang niatnya mendengar nyanyian untuk
melakukan suatu kemaksiatan kepada Allah, maka ia adalah seorang
fasiq.

Begitu pula halnya tiap sesuatu (hiburan) selain nyanyian. Sedangkan


orang yang berekreasi di kebun atau duduk-duduk di depan pintu rumah
sambil melihat orang-orang yang sedang berjalan, mencelup bajunya
dengan warna biru atau hijau, dan warna lainnya, atau ingin meluruskan
kaki atau menekuknya (fold s.t., bend s.t. over), begitu pula dengan
seluruh perbuatan yang serupa dengannya.

Bertolak dari keterangan di atas maka terbukti dengan pasti bathilnya


pendapat orang-orang yang meributkan masalah tersebut (yang
mengharamkan nyanyian).

Berdasarkan uraian-uraian di atas, ditambah dengan berbagai


keterangan sebelumnya maka dapat kita simpulkan bahwa para
ulama memang telah berselisih pendapat terhadap masalah
nyanyian.
Sebagian dari mereka tidak menganggap Hadits-Hadits yang
mengharamkan nyanyian adalah shahih.
Sedangkan yang lain telah menjadikan Hadits-Hadits tersebut
sebagai hujjah atau bukti untuk mengharamkan nyanyian.
Masing-masing mengikuti apa yang mereka tentukan sebagai
dasar pengambilan hukum sesuai dengan ijtihadnya.

9
Karenanya, siapa saja yang ijtihadnya telah menghasilkan suatu
dugaan yang kuat bahwa bernyanyi dan mendengarkannya
adalah haram, maka itulah hukum Allah terhadapnya, juga
terhadap setiap orang yang mengikutinya.

Sedangkan bagi orang-orang yang belum terbukti baginya keshahihan


Hadits-Hadits yang mengharamkan nyanyian yang disertai dengan
dugaan kuat dan dengan ijtihad yang benar, maka itulah hukum Allah
terhadapnya. Juga terhadap setiap orang yang mengikutinya sebab
masalah ini adalah masalah khilafiyah sebagaimana yang telah kami
uraikan pada bab-bab sebelumnya.

PANDANGAN ISLAM TERHADAP SENI TARI.

Seni tari dilakukan dengan menggerakkan tubuh secara berirama dan


diiringi dengan musik. Gerakannya bisa dinikmati sendiri, merupakan
ekspresi gagasan, emosi atau kisah. Pada tarian sufi (darwish), gerakan
dipakai untuk mencapai ekskatase (semacam mabuk atau tak sadar diri).

Sejak dahulu, seni tari telah memainkan peranan penting dalam upacara
kerajaan dan masyarakat maupun pribadi. Seni tari adalah akar tarian
Barat populer masa kini. Bangsa-bangsa primitif percaya pada daya magis
dari tari. Dari tarian ini dikenal tari Kesuburan dan Hujan, tari Eksorsisme,
dan Kebangkitan, tari Perburuan dan Perang. Tarian Asia Timur hampir
seluruhnya bersifat keagamaan, walaupun ada yang bersifat sosial. Selain
itu ada tarian rakyat yang komunal (folk dance). Tarian ini dijadikan
lambang kekuatan kerjasama kelompok dan perwujūdan saling
menghormati, sesuai dengan tradisi masyarakat.

Tarian tradisional seringkali mendapat sentuhan penata tari yang


kemudian menjadi tarian kreasi baru. Kita lantas mengenal adanya seni
tari modern yang umumnya digali dari tarian traditional. Tarian ini lebih
mengutamakan keindahan, irama gerak dan memfokuskan pada hiburan.

Seni sekarang berada halnya dengan tarian abad-abad sebelumnya.


Orang mengenal ada tari balet, tapdans, ketoprak atau sendratari Gaya
tarian abad XX berkembang dengan irama-irama musik pop singkopik,
misalnya dansa cha-cha-cha, togo, soul, twist, dan terakhir adalah disko
dan breakdance. Kedua tarian ini gerakannya menggila dan digandrungi
anak muda.

1. SENI TARI DALAM LINTASAN SEJARAH ISLAM.

Dalam sejarah Islam terdapat perbedaan pendapat antara yang pro


dengan yang kontra tentang seni tari. Seni tari pada permulaan Islam
berbentuk sederhana dan hanya dilakukan oleh orang-orang yang datang
dari luar jazīrah ‘Arab, seperti orang-orang Sudan, Ethiopia, dan lain-lain.

10
Menari biasa dilakukan pada hari-hari gembira, seperti hari raya dan hari-
hari gembira lainnya.

Salah satu contoh tentang hal ini adalah seperti yang diriwayatkan oleh
Abū Dāwūd dari ‘Anas r.a. yang berkata (Lihat SUNAN ABŪ DĀWŪD, Jilid IV,
hlm. 281):

)ْ‫ك لَ ِعبُوْا ِبحِرَاِب ِهم‬


َ ِ‫حبْشَةُ فَ ْرحًا بِذل‬
َ ‫(َلمّا َقدِمَ الّنبِ ّي (ص) اْل َمدِيَْنةَ لَ ِعَبتِ اْل‬

"Tatkala Rasūlullāh datang ke Madīnah, orang-orang Habsyah (Ethiopia


sekarang) menari dengan gembira menyambut kedatangan beliau sambil
memainkan senjata mereka."

Imām Ahmad dan Ibnu Hibbān juga meriwayatkan dengan sanad yang
shahih dari Anas r.a. Beliau berkata (Lihat MUSNAD IMĀM AHMAD, Jilid III,
hlm. 152; lihat juga Al-Qastallanī, IRSYĀD-US-SARI, SYARH-SHAHĪH
BUKHĀRĪ, Jilid II, hlm. 204-205):

)ٌ‫حمّدٌ َعْبدٌ صَالِح‬


َ ‫ ُم‬:َ‫شةُ يَزِْفنُوْ َن َبْينَ َيدَيْ َرسُوْ ِل الِ (ص) وَ يَ ْرقُصُوْ َن وَ َيقُوْلُو ْن‬
َ َ‫حب‬
َ ‫(كَاَنتِ اْل‬

"Orang-orang Habsyah (pada hari raya ‘Īd-ul-Adhhā) menari (dengan


memainkan senjata mereka) di hadapan Rasūlullāh s.a.w. Banyak anak-
anak berkumpul di sekitarnya karena ingin menonton tarian mereka.
Orang-orang Habsyah bernyanyi (dengan sya‘ir): "MUHAMMAD ADALAH
HAMBA YANG SHALEH...." (secara berulang-ulang).

Sesudah jaman Rasūlullāh s.a.w., khususnya di jaman Daulah ‘Abbāsiyyah,


seni tari berkembang dengan pesat. Kehidupan mewah yang dicapai kaum
Muslimīn pada waktu itu telah mengantarkan mereka kedalam suatu
dunia hiburan yang seakan-akan telah menjadi keharusan dalam
masyarakat yang ma‘mūr (Hukum mendengarkan alunan lagu adalah
mubah, tetapi ketika itu orang-orang telah melakukannya). Namun banyak
‘ulamā’ yang tidak setuju dengan tarian semacam itu, tercatat di
antaranya ialah Imām Syaikh-ul-Islam, Ahmad Ibnu Taimiyah (wafat tahun
1328 M). Beliau menentang keras seni tari dalam kitabnya yang berjudul
Risālah fī Simā‘i war-Raqs was-Surākh (Risālah tentang Mendengar Musik,
Tarian-Tarian dan Nyanyian). Namun ada juga kalangan ‘ulamā’ yang
membolehkan seni tari selama tidak melanggar norma-norma Islam. Yang
berpendapat begini di antaranya Ibrāhīm Muhammad Al-Halabī (wafat
tahun 1545 M.). Beliau mengarang kitāb yang berjudul Ar-Rahs Wal-Waqs
Limustahill-ir-Raqs (Benteng yang Kokoh bagi Orang yang Membolehkan
Tari-Tarian).

Pengarang kitāb ‘ilmu seni tari yang pertama di dalam Islam adalah Al-
Farābī (wafat tahun 950 M.), yang mengarang kitāb AR-RAQSU WAZ-
ZAFNU (Kitāb tentang Tari dan Gerak Kaki) (Lihat Prof. A. Hasjmy, Ibidem,
hlm. 326). Pengaruh kitāb ini masih dapat kita ketahui, Riau adalah pusat
11
kerajaan Melayu dan pernah memperoleh masa kejayaannya di sana.
Berbagai guru serta pelatih tari dan nyanyian dipelihara sultan di istana.
Begitu juga dengan perkembangan sya‘ir. Bentuk seni inipun berkembang
dengan baik dan mendapatkan perhatian sultan. Tari Zapin sampai
sekarang masih hidup subur di kepulauan Riau (Melayu). Bahkan banyak
tradisi yang sekarang berkembang di nusantara adalah hasil
perkembangan tari rakyat Riau yang diperagakan mulai dari lingkup
istana sampai kedai-kedai kopi. Serampang dua belas, misalnya, adalah
tarian populer peninggalan karya tersebut. Kata-kata pengiring tarian ini
masih menggunakan bahasa ‘Arab yang bercampur dengan bahasa
Melayu (Lihat Dr. Oemar A. Hoesin, KULTUR ISLAM, hlm. 466-467).

Dahulu, pada jaman khilafah ‘Abbāsiyah, seni tari telah mendapatkan


tempat yang istimewa di tengah masyarakat, baik di kalangan istana,
gedung-gedung khusus (rumah pejabat dan hartawan), maupun di
tempat-tempat hiburan lainnya (taman ria dan sebagainya). Pada akhir
masa khilafah ‘Abbāsiyah, kesenian tari mulai mundur ketika tentara
bangsa Mongol menguasai pusat peradaban Islam di Baghdād. Semua
hasil karya seni dirusak oleh tentara keji itu karena memang bangsa ini
tidak menyukai tarian. Kemudian pada masa khilafah ‘Utsmāniah
berikutnya, seni tari berkembang lebih pesat lagi, khususnya tarian sufi
yang biasa dilakukan oleh kaum pria saja. Sedangkan penari wanita
menarikan tarian di istana dan rumah-rumah para pejabat. Mereka ini
adalah penari "berkaliber tinggi".

Namun perlu diperhatikan di sini, dalam sejarah umat Islam yang panjang,
tari-tarian itu tidak pernah dilakukan di tempat-tempat terbuka yang
penontonnya bercampur-baur antara lelaki dengan wanita. Ini berbeda
halnya dengan nyanyian. Pada masa pemerintahan khilafah ‘Abbāsiyah,
para penyanyi diijinkan menyanyi menyanyi sambil menari di jalanan atau
di atas jembatan serta di tempat-tempat umum lainnya. Rumah-rumah les
privat menyanyi dan menari dibuka untuk umum, baik di rumah-rumah
orang kaya maupun miskin. (Lihat Abū Al-Farāj Al-Ishfahānī, AL-AGHĀNĪ,
Jilid XVIII, hlm. 128, dan Jilid XIII, hlm. 127). Tetapi tidak pernah dilakukan
di tempat-tempat khusus, seperti yang dilakukan sekarang ini (khususnya
anak-anak muda), misalnya di night club, panggung pertunjukan, dan
sebagainya.

Perlu diingat, tari-tarian pada masa lalu hanya dilakukan oleh wanita-
wanita budak saja yang bekerja di istana, di rumah para pejabat, atau di
rumah-rumah rakyat biasa. Namun ada juga penari dari kalangan pria,
misalnya Ibrāhīm Al-Maushili (wafat 235 H.), dan sekelompok penari
kawakan yang tercatat di dalam kitāb Al-Aghānī. (Lihat Abū Al-Farāj Al-
Ishfahānī, ibidem, Jilid V (Riwayat hidup Ibrāhīm Al-Maushili)).

Sebagaimana kami sebutkan di atas, tari-tarian dimasa permulaan Islam


tidak pernah dilakukan dalam keadaan kaum lelaki menari bercampur
dengan kaum wanita, kecuali sesudah kebudayaan Barat mulai mewarnai
dan mempengaruhi kebudayaan Islam. Sesudah itu baru muncul

12
kebiasaan menari dengan mengikuti para penari Barat dengan gaya
merangsang syahwat dan membangkitkan birahi, seperti tari balet, dansa,
joget, dangdut, atau tarian yang menimbulkan histeria seperti disko dan
break dance.

2. TANGGAPAN UTAMA ISLAM TERHADAP TARIAN.

Imām Al-Ghazālī dalam kitāb IHYĀ’-UL‘ULŪM-ID-DĪN, (Lihat Imam Al-


Ghazali, IHYĀ‘-UL-‘ULŪM-ID-DĪN, Jilid VI, hlm. 1141, 1142 dan 1187)
beranggapan bahwa mendengar nyanyian dan musik sambil menari
hukumnya mubāh. Sebab, kata beliau: "Para sahabat Rasūlullāh s.a.w.
pernah melakukan "hajal" (berjinjit) pada saat mereka merasa bahagia.
Imām Al-Ghazālī kemudian menyebutkan bahwa ‘Alī bin Abī Thālib pernah
berjinjit atau menari tatkala ia mendengar Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

)َ‫(َأْنتَ ِمنّيْ وَ َأنَا ِمنْك‬

"Engkau tergolong ke dalam golonganku, dan aku tergolong ke dalam


golonganmu."

Begitu juga Ja‘far bin Abī Thālib. Kata Imām Al-Ghazālī, dia pernah
melakukan hal yang sama (berjinjit) ketika mendengar sabda Rasūlullāh
s.a.w. :

)ْ‫(أَ ْشَب ْهتَ َخلْقِيْ وَ ُخلُقِي‬

"Engkau adalah orang yang paling mirip dengan corak dan tabiatku".

Juga Zaid bin Hāritsah pernah berjinjit tatkala mendengar sabda


Rasūlullāh s.a.w.:

)‫(َأْنتَ أَخُوْنَا وَ َم ْو َلنَا‬

"Engkau adalah saudara dan penolong kami."

Dalam kesempatan lain ‘Ā’isyah diijinkan Rasūlullāh s.a.w. untuk


menyaksikan penari-penari Habsyah. Kemudian Imām Al-Ghazālī
menyimpulkan bahwa menari bahwa menari itu hukumnya boleh pada
saat-saat bahagia, seperti hari raya, pesta pernikahan, pulangnya
seseorang ke kampung halamannya, saat walīmahan pernikāhan,
‘aqīqahan, lahirnya seorang bayi, atau pada waktu khitanan, dan setelah
seseorang hafal Al-Qur’ān. Semua ini hukumnya mubāh yang tujuannya
untuk menampakkan rasa gembira. Tetapi tari-tarian itu maupun jenis-
jenis hiburan lainnya tidak layak dilakukan para pejabat dan pepimpin

13
yang menjadi panutan masyarakat. Ini bertujuan agar mereka tidak
dikecilkan rakyat, tidak dijatuhkan martabatnya, atau tidak dijauhi oleh
rakyatnya.

Tentang riwāyat Imām Bukhārī dan Imām Ahmad yang berkaitan dengan
menarinya orang-orang Habsyah di hadapan Rasūlullāh s.a.w., Al-Qādhī
‘Iyādh berkata: "Ini merupakan dalīl yang paling kuat tentang bolehnya
tarian sebab Rasūlullāh s.a.w. membiarkan mereka melakukannya, bahkan
mendorong mereka untuk melanjutkan tariannya."

Akan tetapi Imām Ibnu Hajar menentang pengertian Hadīts yang


membolehkan tarian. Beliau berkata: "Sekelompok sufi telah berdalīl
kepada Hadīts tersebut untuk membolehkan tari-tarian dan
mendengarkan alat-alat musik. Padahal jumhur ulama telah menegur
pendapat ini dalam hal perbedaan maksud dan tujuan. Tujuan orang-
orang Habsyah yang bermain-main dengan perisai dan tombak
merupakan bagian dari latihan yang biasa mereka lakukan untuk
berperang. Oleh karenanya, hal ini tidak bisa dijadikan sebagai hujjah
untuk membolehkan tari-tarian yang tujuannya untuk menghibur diri."
(Lihat Ibnu Hajar Al-Asqalani, FATH-UL-BĀRI, Jilid VI, hlm. 553).

Adapun mengenai nukilan Imām Al-Ghazālī tentang "hajal" (berjinjitnya)


‘Alī, Ja‘far, dan Zaid, maka ditentang keras oleh Imām Ibn-ul-Jauzi (Lihat
Imām Ibn-ul-Jauzi TALBĪS IBLĪS, hlm. 258-260). Katanya, hajal tidak lebih
dari semacam cara dalam gerak kaki berjalan yang dilakukan pada saat
seseorang merasa gembira. Sedangkan tarian tidak demikian! Gerakan
Zafarnya orang-orang Habsyah adalah mendorong keras dan menyepak
dengan kaki. Maka inipun merupakan salah satu cara dalam berjalan pada
saat berhadapan dalam peperangan.

Kemudian Imām Ibn-ul-Jauzi berkata: "Menurut Abū Al Wafā Ibn-ul-‘Aqīl, Al-


Qur’ān telah mencantumkan keharaman tarian dengan nash yang tegas
seperti firman Allah s.w.t.:

)18:‫(وَ َل تَمْشِيْ فِي الَرْضِ َمرَحًا) (لقمن‬

"Dan janganlah kamu berjalan di bumi ini dengan angkuh." (31:18)

Allah s.w.t. juga mencela orang-orang yang sombong dengan firmanNya:

)18:‫ختَالٍ َفخُوْرٍ) (لقمن‬


ْ ‫حبّ ُكلّ ُم‬
ِ ‫ل لَ ُي‬
َ ‫(إِنّ ا‬

"Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang sombong lagi


membanggakan diri." (31:18).

Karena itulah menurut Abū Wafā Ibnul ‘Aqīl, menari merupakan cara
berjalan paling angkuh dan penuh dengan kesombongan. Kemudian Imam
14
Ibn-ul-Jauzi melanjutkan dengan mengomentari tarian orang sufi. Katanya,
dapatkah kita membayangkan suatu perbuatan keji yang dapat
menjatuhkan nilai akal dan kewibawaan bagi seseorang serta
menyebabkan ia terjatuh dari sifat kesopanan dan rendah hati, seperti
yang dilakukan oleh seorang (sufi yang ) berjanggot. Apalagi yang
melakukannya adalah kakek-kakek yang berjenggot, bertepuk tangan dan
mengikuti irama yang dinyanyikan para wanita dan anak-anak muda yang
belum tumbuh jenggotnya. Apakah layak bagi seseorang membanggakan
diri dengan menari seperti binatang dan menepuk dada seperti wanita
(sambil menari), yang sudah gaek dan hampir masuk liang kubur yang
nantinya akan diminta pertanggungjawabannya di Padang Mahsyar?

3. MENENTUKAN SIKAP DAN PENDIRIAN.

Keinginan untuk menari sama dengan keinginan manusia untuk berjalan,


bermain, dan seterusnya. Semua merupakan perbuatan yang biasa
dilakukan secara alami (fitri) dalam rangka menghibur diri atau mencari
kesenangan dan kebahagiaan.
Syara‘ tidak mengharāmkan seseorang untuk menggerakkan badan,
tangan, kaki, perut, dan sebagainya. Bahkan semua perbuatan itu akan
muncul secara alami.
Hukum asal untuk menari adalah mubāh selama dalīl-dalīl syara‘ tidak
mengharāmkan tari-tarian tertentu, baik yang berirama maupun yang
tidak diiringi musik.

Telah cukup banyak jenis tarian yang ada di tengah masyarakat saat ini.
Ada tarian dari masyarakat primitif yang berbentuk tarian upacara ritual.
Tarian ini tetap dilestarikan keberadaannya.
Ada tarian modern (tradisional daerah, tari Minang, Tari piring, tari rantak)
yang ditarikan oleh masyarakat setempat pada berbagai upacara
perayaan atau ketika menyambut tamu luar negeri.
Biasanya tari-tarian ini tidak terlepas dari iringan musik dan nyanyian
khas serta ciptaan daerah tertentu.

Tarian rakyat itu akhirnya tidak terlepas dari promosi atau pengenalan
negeri tempat asalnya. Tujuannya adalah untuk menarik pengunjung
(wisatawan – mancanegara atau domestic) untuk atau yang sedang
berkunjung ke negeri-negeri tertentu.
Bahkan terkadang, tarian dari negara tertentu dapat kita temukan di
negeri lain karena perwakilan konsulat bidang kebudayaan negara
tersebut dangan senanghati menggelar pertunjukannya (seperti telah kita
lihat adanya tarian-tarian Fandago dari Spanyol, Polka dari Bohemia,
Czardas dari Hongaria, Jig dari Irlandia, atau Fling dari Skotlandia).

Di kepulauan-kepulauan sekitar Pasifik dan negeri-negeri Timur lainnya,


terdapat tarian-tarian yang seluruhnya dilakukan dengan sikap duduk.
Ada tari perut di Timur Tengah, yang biasanya dilakukan dengan
penekanan gerak pada bagian perut, berputar atau menggelepar. Tarian

15
ini adalah jenis tarian hiburan semata. Ada juga tarian yang dilakukan
oleh wanita-wanita.

Tarian Barat juga banyak macamnya. Ada tari Balet yang merupakan
tarian drama tunggal yang diiringi musik. Tarian ini biasanya dilakukan
oleh sepasang manusia (lelaki-perempuan). Ini sama saja dengan dansa
Agogo, cha-cha-cha, twist, dan disko. Semua tarian ini sudah lazim
dilakukan oleh pasangan penari lelaki dan wanita. Lalu, bagaimana status
hukum syara‘ terhadap tari-tarian yang telah disebutkan di atas? Di
bawah ini akan di rinci pandangan syara‘ terhadap tarian sebagai berikut:

1. Syara‘ melarang kaum Muslimīn menyerupai orang kafir dalam hal-hal


yang menyangkut urusan agama. Dalam hal ini termasuk semua jenis
tarian upacara keagamaan dan primitif.

Rasūlullāh s.a.w. bersabda (Lihat SHAHĪH BUKHĀRĪ, Hadīts No. 7319):

‫لَ تَقُوْمُ السّا َعةُ حَتّى تَأْ ُخذَ أُمّتِيْ بِأَ ْخذِ الْقُرُوْنِ قَْبَلهَا شِبْرًا بِشِبْرٍ وَ ِذرَاعًا‬
‫ وَ َمنْ ِمنَ النّاسِ إِلّ أُولِئكَ؟‬:َ‫يَا َرسُوْلَ الِ كَفَارِسَ وَ الرّوْمَ؟ فَقَال‬:َ‫ِب ِذرَاعٍ فَقِيْل‬
"Tidak akan terjadi kiamat sebelum umatku mengambil apa-apa yang
dilakukan oleh bangsa-bangsa terdahulu (abad-abad silam) sejengkal
demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sampai-sampai ketika mereka
masuk ke liang biawak, kalian pun mengikutinya." Para sahabat
bertanya: "Ya Rasūlullāh, apakah yang (engkau) maksudkan di sini
adalah (seperti) bangsa-bangsa Persia dan Romawi?" Rasūlullāh
menjawab: "Siapa lagi kalau bukan mereka." (HR. BUKHĀRĪ).

Dalam riwāyat lain disebutkan bahwa yang di ikuti oleh kaun Muslimīn
adalah (budaya) orang-orang Nasrānī dan Yahūdī.(Lihat SHAHĪH BUKHĀRĪ,
Hadīts No. 7320).

2. Setiap tarian yang berpasangan lelaki wanita yang bercampur-baur


dan diiringi dengan instrumen musik, maka harām hukumnya, karena
Rasūlullāh s.a.w. bersabda (Lihat ‘Abd-ur-Ra’ūf Al-Manāwī, FAIDH-UL-
QĀDIR, Hadīts No. 5824):
(ِ‫)الْغِيْ َرةُ مِ َن الِيْمَانِ َو الْ ِمذَاءُ ِمنَ النّفَاق‬
"Ghīrah (cemburu) itu adalah bagian dari īmān, sedangkan Mizā’ adalah
bagian dari nifāq." (HR AL-BAZZĀR, BAIHAQĪ, dari Abū Sa‘īd Al-Khudrī).

Imām Ibnu ‘Atsīr menafsirkan Mizā’ dengan makna sebagai berikut:

a. Lelaki yang membawa sejumlah pria ke rumahnya untuk mencampuri


istrinya;

b. Ada yang mengatakan bahwa kata tersebut berasal dari "AMDZAIT-UL-


FARAS" yang artinya: "Aku telah melepaskan kudaku untuk
merumput."(Lihat Ibnul ‘Atsīr, AN-NIHĀYAH, Jilid IV, hlm. 312-313).
16
Dalam kitāb MUKHTASHAR-USY-SYU‘AB-IL-ĪMĀN, Imām Al-Qazwīnī menukil
pendapat Imām Al-Halīmī tentang arti Hadīts tersebut, yaitu (Lihat Imām
Al-Halīmī, MUKHTASHAR-USY-SYU‘AB-IL-ĪMĀN, hlm. 238). mengumpulkan
lelaki-perempuan agar masing-masing pasangan mencampuri pasangan
lainnya, atau membiarkan lelaki pergi bersama kaum wanita.

Berdasarkan keterangan di atas, maka bercampurnya kaum lelaki


dengan wanita yang bukan muhrim dalam bentuk apapun adalah
harām, baik mereka pergi bertamasya bersama-sama maupun barmain-
main seperti layaknya suami-istri. Termasuk dalam hal ini adalah
menari bersama dengan lelaki-perempuan dan mengikuti irama
musik.
Menurut ketentuan syara', setiap sesuatu yang menghantarkan kepada
perbuatan harām maka ia harām pula, sebagaimana kaidah syara‘ yang
berbunyi:

)ٌ‫(اْلوَسِيْلَةُ إِل اْلحَرَامِ َحرَام‬


"Sesuatu yang menghantarkan kepada yang harām maka ia harām pula
(dikerjakan)."

Tari-tarian masa sekarang sering dilakukan bersama-sama lelaki-wanita.


Bahkan acara tersebut tidak terlepas dari perbuatan-perbuatan harām
lainnya. Di samping itu, ditambah dengan menenggak minuman keras
sampai teler. Tidak jarang acara seperti itu akan menghantarkan kepada
perbuatan dosa besar, yaitu zina.

Ada dalīl lain yang mengharāmkan semua jenis tarian dari semua bangsa-
bangsa, yaitu (Lihat ‘Abd-ur-Ra’ūf Al-Manāwī, FAIDH-UL-QĀDIR, Hadīts No.
8593):
(ْ‫)مَنْ َتشَبّهَ بِ َقوْ ٍم َف ُهوَ مِْن ُهم‬
"Siapa saja yang menyerupai suatu kaum (dalam pola hidup dan adat
istiadat), maka ia (telah) tergolong ke dalam golongan mereka." (HR.
ABŪ DĀWŪD, THABRANĪ, dari Ibnu ‘Umar, dan Hudzaifah bin Al-Yaman).

Inilah larangan atau tegah menyerupai bangsa manapun dengan apa saja
secara mutlak, baik dalam urusan ‘aqīdah, ‘ibādah, nikāh, adat kebiasaan,
hidup bebas, dan sebagainya. Termasuk di sini hal-hal yang menyangkut
masalah tari-tarian.

3. Seorang wanita atau lelaki boleh bernyanyi dan menari di rumahnya


sendiri untuk anggota keluarga atau kerabat yang muhrim. Seorang istri
boleh bernyanyi dan menari untuk suami atau sebaliknya, khususnya
pada hari gembira, misalnya pesta pernikahan, lahirnya seorang bayi, hari
raya, dan sebagainya.

17
4. Bertolak dari umumnya nash-nash yang membolehkan menggerakan
kaki, seperti :
(15 :‫)فَامْشُوْا فِيْ مَنَاكِِبهَا) (اللك‬
"Berjalanlah di segala penjuru (bumi)...." (67:15).

atau:
(42 :‫)اُ ْركُضْ بِرِ ْجلِكَ) (ص‬
"Hentakkanlah kakimu...." (38:42).

atau Hadīts-Hadīts yang membolehkan seorang lelaki berjinjit, memainkan


tombak dan perisai dan senjata tajam lainnya sambil menarikannya.
Maka, hukum asal menari adalah mubāh selama tidak melampaui
batas-batas syara‘. Walaupun demikian, tidak boleh kaum lelaki muhrim
atau suami menari dengan tarian yang biasanya dilakukan oleh kaum
wanita, misalnya tari perut dan sejenisnya. Sebaliknya, kaum wanita tidak
boleh menarikan tarian lelaki, sebab Rasūlullāh s.a.w. melarang kaum
lelaki menyerupai wanita atau sebaliknya:
(ِ‫)لَ ْيسَ مِنّا َمنْ َتشَّبهَ بِالرّجَالِ ِمنَ الّنسَاءِ وَ لَ َمنْ َتشَّبهَ ِمنَ الّنسَاءِ بِالرّجَال‬
"Tidak termasuk golonganku wanita yang menyerupai lelaki, dan lelaki
yang menyerupai wanita." (HR. IMĀM AHMAD, dari Ibnu ‘Amru bin
Al-‘Āsh).

18

You might also like