You are on page 1of 5

BIOGRAFI SEBAGAI SUMBER PENGKAJIAN SEJARAH I Istilah biografi bukanlah sesuatu yang asing bagi pelajar dan mahasiswa.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, biografi diartikan sebagai riwayat hidup atau buku yang menguraikan riwayat hidup seorang tokoh. Sebuah biografi biasanya mengikuti kehidupan seorang intelektual dari awal hingga akhir, meskipun fokus utamanya, kata Hasan Asari, selalu pada informasi setelah individu tersebut menjadi seorang tokoh. Perjalanan seorang tokoh dari satu tempat ke tempat lain, baik dalam rangka menuntut ilmu atau mengajar dan meniti karirnya, biasanya mendapat perhatian yang sangat besar dari para penulis biografi. Dalam biografi, kata Taufiq Abdullah dalam pengantarnya terhadap buku biografi Menteri-menteri Agama RI, seorang tokoh diperlakukan sebagai aktor sejarah. Dialah yang menjadi pusat perhatian. Tempat dan fungsi dari konteks sosial dan waktu dalam proses pengisahan. Pada satu sisi, konteks ini dipakai sebagai latar belakang bagi sang tokoh berbuat dan bertindak. Sebagai latar belakang, maka konteks waktu, tempat, dan kondisi sosial ini adalah hasil rekonstruksi yang dikerjakan oleh penulis biografi. Tetapi, pada sisi lain, konteks itu sesungguhnya hasil konstruksi dan pemahaman sang aktor. Pemahamannya tentang konteks inilah yang menentukan pilihannya dalam menentukan tindakan. Bagi sang tokoh, hasil pemahamannya tentang konteks strukturalnya itulah yang memantulkan padanya berbagai pilihan. Taufiq Abdullah mencontohkan, bahwa Soekarno dan Hatta tidak akan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia sekiranya mereka tidak melihat situasi bulan Agustus 1945 sebagai sebuah momentum yang tak boleh dibiarkan berlalu begitu saja. Keduanya tidak akan pernah menjadi proklamator kalau sekiranya mereka melihat bahwa hanya Jepang sajalah satusatunya harapan yang bisa diandalkan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Disini terlihat bahwa landasan awal dari pola perilaku ditentukan oleh kecenderungan atau keterkaitan antara pemahaman sang tokoh tentang konteks sejarah, dimana ia berada dengan hasrat, cita-cita, idealisme, yang dimilikinya. Dalam kaitannya dengan metode penulisan biografi, terlihat jelas bahwa para penulis biografi sangat memerlukan memoir dan otobiografi dari aktor yang diangkatnya ke permukaan. Tak kurang pentingnya, jika mungkin, semua tulisan dan cacatan tentang apa yang pernah dikemukakan oleh sang tokoh yang dikisahkannya, merupakan bahanbahan berharga dalam merekonstruksi corak konteks atau wadah sebagaimana dipahami oleh sang tokoh yang ditulis. Dalam khazanah intelektual Islam, karya biografi bukanlah sesuatu yang baru. Dalam warisan Islam klasik, kata Hasan Asari, terdapat satu genre literatur yang khas, yaitu kamus biografi, yang biasa disebut dalam bahasa Arab sebagai tarajim atau tabaqat. Literatur ini secara khusus merekam biografi individu-individu penting dalam peradaban Islam dari masa tertentu. Tidak kurang dari 90 literatur biografi yang didaftar oleh Hasan Asari sebagai contoh biografi dalam khazanah intelektual Muslim, melalui bukunya Menguak Sejarah Mencari Ibrah, yang memuat berbagai rekam kehidupan sejumlah tokoh-tokoh sentral intelektual Muslim pada masa klasik. Hal itu mengindikasikan bahwa penulisan kamus-kamus biografi banyak mendapat perhatian dari para intelektual Muslim. Persoalannya sekarang adalah, mengapa pengkajian biografi ilmuan klasik berguna bagi pemahaman sejarah pendidikan Islam? 6

7 Perlu dicatat bahwa karya biografi merupakan satu salah sumber yang dapat digunakan untuk memperoleh informasi guna memahami sejarah Islam masa klasik meskipun sumber ini menurut Taufik Abdullah bersifat sekunder. Tetapi karena biografi itu berkisah dengan dunia pada zamannya, maka informasi yang terdapat di dalamnya cukup bervariasi, mulai dari masalah teologi, filsafat dan lain-lain, termasuk mengenai pendidikan. Para pengkaji pendidikan Islam dapat memanfaatkan karya-karya biografi untuk mengumpulkan informasi mengenai sejarah personal dari tokoh-tokoh pendidikan masa klasik, yang bisa mencakup asal daerah; garis keturunan; tempat lahir; tempat wafat; nama kecil serta berbagai gelar yang diperoleh seorang tokoh yang bergerak di bidang pendidikan. Misalnya para guru dan keahlian mereka, lembaga-lembaga pendidikan formal dan non-formal tempat belajar, kitab-kitab yang dipelajari; tata tertib dan etika belajar, karir profesi akademis maupun non-akademis. Dengan mempelajari sejarah hidup para tokoh tersebut akan memberikan gambaran berbagai sisi kemanusiaan dari kehidupan para intelektual Muslim klasik. Para pribadi utama ini, seringkali memberikan gambaran idealisme masa tertentu dari sejarah peradaban Islam, yang tidak jarang membawa pesan penting bagi generasi sekarang. Bahkan biografi dapat memberikan gambaran tentang lembaga-lembaga pendidikan Islam klasik, karena lembaga-lembaga itu menjadi bagian yang signifikan dari sejarah hidup para tokoh yang menjadi objek bahasan. Memang, karya biografi bukanlah kitab yang membahas pemikiran pendidikan Islam, akan tetapi beberapa pemikiran yang pernah diucapkan oleh sang tokoh, baik berupa fakta, konsep, maupun prinsip-prinsip utama pendidikan, seringkali terdapat dalam biografi tokoh-tokoh tertentu, yang apabila disistematisasikan, niscaya akan memberikan suatu kontribusi bagi sejarah pemikiran pendidikan Islam pada konteks zaman yang sedang dibahas. Selain itu, karya-karya biografi selalu menyediakan informasi tentang finansial kegiatan pendidikan Islam klasik. Aktivitas pendidikan pada umumnya tidak sekedar menyebutkan tokoh-tokoh intelektual yang terlibat di dalamnya, melainkan turut memberikan informasi mengenai tokoh-tokoh yang berkontribusi dalam memberikan dukungan finansial bagi kegiatan tersebut. Dapat disimpulkan bahwa biografi merupakan sumber sejarah yang kaya untuk mempelajari sejarah sosial pendidikan Islam klasik. Di sinilah antara lain terlihat keistimewaan karya-karya biografis, karena karya ini memberi gambaran spesifik, sesuai konteks zaman dan tempat dimana peradaban menampakkan diri. II Biografi Imam al-Bukhari Ada 3 (tiga) alasan penting mengapa biografi Imam al-Bukhari, dijadikan contoh dalam pengkajian biografi ini. 1. Imam Bukhari adalah sosok intelektual Muslim yang telah mewariskan pengetahuan-pengetahun baru dalam bidang Hadis yang sulit dicari tandingannya, terutama dalam terobosan barunya dalam metode penyeleksian Hadis, sehingga Hadis-hadis yang terkumpul dalam kitabnya merupakan Hadis-hadis Sahih yang dapat dipertanggung-jawabkan secara akademis-metodologis; maupun dari sisi terdalam kehidupannya yang religius, cerdas, teliti serta memelihara diri dari perbuatan tercela, sebagai sosok yang dapat diteladani. 2. Dengan membaca biografi Imam Bukhari akan menimbulkan kesan mendalam, bahwa seorang anak manusia yang nenek moyangnya adalah keluarga petani, yatim,

8 dan hanya dibesarkan seorang Ibu dari keluarga sederhana telah memotivasi Bukhari untuk melanjutkan profesi ayahnya sebagai seorang ulama Hadis. 3. Imam Bukhari telah menampilkan diri sebagai seorang yang menumpahkan segenap potensinya untuk belajar kepada berbagai guru, melakukan rihlah ilmiyah ke berbagai daerah untuk mempelajari dan mengumpulkan Hadis dari ulama-ulama terkemuka, yang pada gilirannya menempa dan menghantarkan dirinya sebagai raksasa dalam bidangnya, tetapi tetap lembut dan santun kepada sesama. Seperti tertulis dalam biografinya, Imam Bukhari dikenal dengan nama lengkap: Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah alJufi al-Bukhari. Kakek moyang Bardizbah adalah orang asli Persia. Bardizbah menurut penduduk Bukhara berarti petani. Sedangkan kakek buyutnya diberi laqab al-Mughirah, karena ketika datang ke Bukhara dan memeluk Islam di tangan al-Yaman al-Jafi alMughirah sehingga laqab itu sebagai tanda wala kepadanya, karena mempraktekkan pendapat bahwa orang yang masuk Islam, di-wala-kan kepada orang yang mengislamkannya. Mengenai kakeknya, Ibrahim bin al-Mughirah, tak diketahui riwayat hidupnya, kecuali ayahnya, Ismail bin Ibrahim dikenal seorang rawi. Ibnu Hibban telah menuliskan tarjamah (biografi)-nya dalam kitabnya ats-Tsiqat (orang-orang yang tsiqah/terpercaya) sebagaimana diinformasikan oleh al-Asqalani bahwa Ibnu Hibban mengatakan bahwa, Ismail bin Ibrahim, ayah daripada Bukhari, mengambil riwayat (hadis) dari Hammad bin Zaid dan Malik; dan riwayat Ismail bin Ibrahim diambil pula oleh ulama-ulama Irak. Bukhari lahir pada hari Jumat tanggal 13 Syawal 194 H di kota Bukhara. Sejak kecilnya Bukhari telah menjadi yatim dengan meninggalnya ayahnya. Ibunyalah yang membesarkannya dalam sebuah keluarga sederhana dan banyak menuturkan kealiman ayahnya sebagai seorang rawi. Hal inilah yang memotivasi Bukhari kecil untuk menapak jejak ayahnya, Tak mengherankan jika Bukhari telah mempelajari Hadis ketika usianya kurang dari sepuluh tahun. Di samping, cerdas, gemar beribadah, dan tekun dalam belajar, maka belum genap usianya 16 tahun, Bukhari telah dapat menghafal sejumlah buku karya ulamaulama terkenal pada masa sebelumnya, seperti kitab Ibn al-Mubarak, Waki dan lain sebagainya. Selain itu ia juga menguasai pendapat-pendapat para ahli rayi lengkap dengan aliran-aliran mereka, yang menyebabkannya banyak dijadikan sebagai rujukan dan diskusi bagi ulama dan pemimpin (pemerintah) pada masanya. Tahun 210 H Bukhari bersama ibunya dan saudaranya menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Sejak itu, beliau intens berkomunikasi dengan beberapa ulama di Mekkah, dan sering pula berkunjung ke Medinah. Ketika ibu dan sudaranya pulang ke Bukhara, Bukhari tidak ikut pulang melainkan tinggal untuk beberapa lama di Mekkah untuk mendalami ilmu Hadis. Guna mempelajari Hadis, Bukhari melakukan rihlah ilmiyah ke berbagai daerah yang terkenal dengan para guru Hadisnya, seperti Iraq, Khurasan, Syiria, Mesir, Kufah dan Basrah. Ia bahkan beberapa kali berkunjung ke Bagdad, bahkan sampai ke Balakh, Marwa, Naisabur dan Raiy di Iran. Dari perjalanan inilah, ia menulis Hadis dari 1000 orang guru lebih, dan memperoleh 600.000 Hadis, serta menghafal 100.000 Hadits Shahih dari berbagai jalur, dan 200.000 Hadis tidak Sahih selama 16 tahun. Bukhari diakui memiliki daya hapal tinggi, seperti ditutur abang kandungnya, Rasyid bin Ismail, bahwa Bukhari muda dan beberapa murid lainnya pernah belajar Hadis dari seorang ulama di Balkh. Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak membuat catatan tertulis. Karena itu ia dicela teman-temannya sebagai seorang pemalas. Bukhari

9 tak menghiraukan celaan itu, dan dengan santun dan bersahabat al-Bukhari meminta kawan-kawannya membawa catatan mereka, kemudian beliau membacakan secara tepat apa yang pernah disampaikan guru mereka ketika belajar selama ini. Teman-temannya kagum dan menaruh hormat kepadanya karena dia hafal 15.000 Hadis, lengkap dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat. Demikian pula ketika sedang berada di Bagdad, Bukhari pernah didatangi oleh 10 orang ahli Hadis yang ingin menguji ketinggian ilmunya. Dalam pertemuan itu, 10 ulama tersebut mengajukan 100 buah Hadis yang sengaja diputar-balikkan (maqlub) untuk menguji hafalan Bukhari, dan ternyata Bukhari dapat dengan mudah menertibkan matan dan sanad Hadis yang diputar balik itu. Imam al-Bukhari juga gemar berolahraga. Ia misalnya sering belajar memanah sampai mahir, sehingga dikatakan sepanjang hidupnya, sang Imam tidak pernah luput dalam memanah kecuali hanya dua kali. Hal ini mungkin timbul sebagai pengamalan sunnah Rasul yang menganjurkan kaum Muslimin belajar menggunakan anak panah dan alat-alat perang lainnya. Selama lebih kurang setengah abad Imam al-Bukhari telah mengukirkan prestasi gemilangnya dengan meninggalkan lebih dari lima belas karya dalam bidang Hadis dan disiplin ilmu lainnya. Di antara karyanya yang paling fenomenal dan terpenting adalah Al-Jami al-Shahih atau yang lebih dikenal dengan Shahih al-Bukhari. Kitab-kitab lain yang ditulisnya adalah, (1) Al-Adab al-Mufrad, (2) Al-Tarikh al-Shaghir, (3) Al-Tarikh al-Ausath, (4) Al-Tarikh al-Kabir, (5) Al-Tafsir al-Kabir, (6) Al-Musnad al-Kabir, (7) Kitab al-`Ilal, (8) Raf`u al-Yad fi al-Shalah, (9) Bir al-Walidain, (10) Kitab alAsyribah, (11) Al-Qiraatu khalfa al-Imam, (12) Kitab al-Dhu`afa`, (13) Asami al-Shahabat, (14) Kitab al-Kuni. Imam Bukhari wafat pada hari Sabtu malam Idul Fitri tahun 256 H dalam usia 62 tahun kurang 13 hari di suatu perkampungan di Samarkand. Di antara guru-gurunya terkenal antara lain adalah Ibn al-Madini, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Muin, Muhammad bin Yusuf al-Farabi, Makki ibn Ibrahim al-Balakhi, Muhammad bin Yusuf al-Baikandy, dan Ibn Rahawaih. Dengan kesabaran dan kecintaannya terhadap Hadis, Bukhari memperoleh julukan sebagai Amir al-Muminin fi al-Hadits. Sedangkan muridmuridnya yang termasyhur antara lain adalah Imam Muslim, al-Turmuzi, al-Nasai, Ibrahim bin Ishak al-Hurri, Muhammad bin Ahmad al-Daulaby dan Manshur bin Muhammad al-Bazwadi. Bukhari menulis kitab Jami Shahih dilatarbelakangi karena langkanya kitab Hadis yang bisa dijadikan rujukan yang kuat. Hampir semua kitab Hadis yang ada pada masa sebelumnya bercampur aduk antara yang shahih, hasan dan dlaif, sehingga menyulitkan orang yang ingin menggunakan Hadis sahih sebagai rujukan hukum. Kitabkitab Hadis pada masa itu belum pula mengelompokkan pokok-pokok bahasan tertentu bab demi bab, karena tujuan penulisannya masih terbatas hanya untuk mengumpulkan Hadis dan sebagai sarana untuk menghafalkannya. Selain itu, adanya unsur meremehkan fiqh al-hadits, membawa implikasi pada kurang berdayanya ahli-ahli Hadis pada waktu harus berhadapan dengan ahli-ahli bidah yang sengaja menyebarkan Hadis-hadis dlaif, bahkan Hadis-hadis palsu di dalam berargumentasi. Hal itulah antara lain yang memotivasi Bukhari segera mencari solusinya, apalagi Bukhari melihat banyaknya ahli-ahli yang lebih mengutamakan logika dari nash sekalipun menyalahi sunnah yang datang dari Rasul saw. Kitab Sahih al-Bukhari yang berjudul lengkap: Al-Jamial-Shahih al-Musnad alMukhtasar min Umuri Rasulillah Saw wa Sunanihi wa Ayyamihi, dikenal dengan nama

10 singkatnya Jamial-Shahih yang ditulis selama 16 tahun. Beliau membuat kerangka/sistematika penulisan kitab ini pertama sekali saat berada di Masjid al-Haram, Mekkah; dan kemudian secara terus menerus menulis kitab tersebut sampai kepada draft terakhir yang dikerjakannya di Masjid Nabawi Medinah. Dalam masa inilah Bukhari sekaligus melakukan seleksi ketat dengan penuh kehati-hatian. Dalam menyeleksi Hadis, khususnya untuk memelihara otentitas Hadis, alBukhari membuat metode seleksi yang cukup ketat. Dari segi sanad, beliau mensyaratkan rawinya harus adil, dhabit dan tsiqat; bersambung (muttashil) sampai kepada Nabi; dan antar perawinya harus semasa/sezaman (mua'sharah) dan pernah bertemu (liqa). Imam Bukhari belum mau merawikan Hadis yang dirawikan seorang yang belum pernah bertemu (liqa) dengan perawi yang merawikan Hadis itu, sekalipun mereka hidup semasa, dan memenuhi syarat-syarat lainnya. Dari segi matannya, harus terhindar dari syudzudz dan illat. Metode seperti ini merupakan terobosan baru dan belum pernah dibuat oleh ulama sebelumnya, bahkan oleh ulama sesudahnya. Imam Muslim misalnya, memang mensyaratkan semasa (mua'sharah), tetapi tidak perlu harus pernah bertemu (liqa). Imam Bukhari secara metodologis sangat berhati-hari. Beliau sadar bahwa yang digelutinya adalah Hadis sebagai sumber hukum yang harus bebas dari cacat dan cela. Karena itu pula setiap kali beliau hendak menulis Hadis, maka beliau terlebih dahulu mandi dan salat istikharah dua rakaat memohon perlindungan kepada Allah bahwa dia telah berusaha agar Hadis yang ditulisnya itu benar-benar sahih, seperti pernah diucapkannya: [ Tidak kumasukkan satu Hadis pun ke dalam Kitab Sahihku kecuali setelah aku mandi dan salat dua rakaat sebelumnya]. Bahan Bacaan: Abdullah, Taufiq, Menteri Agama Republik Indonesia: Sebuah Pengantar Profil Biografis dalam Azyumardi Azra dan Saiful Umam (ed.) Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial Politik, Jakarta: INIS, 1998. Asari, Hasan, Menguak Sejarah Mancari Ibrah : Risalah Sejarah Intelektual Islam, Bandung: Citapustaka Media, 2008. al-Asqalani, Ibnu Hajar, Hadyu al-Sari, Mesir: Musthafa al-Bab al-Halabi, 1963. Mursi, Muhammad Said, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, terj. Khoirul Amru Harahap dan Achmad Faozan, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008. Muzayyin, Ahmad, Tokoh dan Cendikiawan Muslim di Pentas Sejarah, Semarang: Pustaka Mulya Insani, 2010. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1998. Syuhbah, Muhammad Abu, Fi Rihab as-Sunnah al-Kutub al-Shahih al-Sittah, Kairo: Majmaal-Buhus al-Islamiyah,1969. Zahw, Muhammad Muhammad Abu, al-Hadits wa al-Muhadditsun aw Inayat alUmmat al-Islamiyyah bi al-Sunnah al-Nabawiyyah, Mesir : Dar al-Fikr al Araby, tt.

You might also like