You are on page 1of 66

Cermin 1995

Dunia Kedokteran
99. Tuberkulosis International Standard Serial Number: 0125 – 913X

Maret 1995 Daftar Isi :


2. Editorial
4. English Summary
5. Patogenesis Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis – Nur Aida
9. Uji Faal Paru Penderita Tuberkulosis Paru yang Berobat Jalan di
Polildinik Paru URJ RSAL Dr. Ramelan, Surabaya–Didik Supardi,
Caecilia L, Soemarno
11 Penyebab Kematian Penderita Penyakit Paru – Tjandra Yoga
Aditama, Hadiarto Mangunnegoro, Sutji Astuti, Herry Budi
14. Penggunaan Gliseril Guaiakolat untuk Meningkatkan Cakupan BTA
(+) pada Tersangka Tuberkulosis Paru – Sudyo
18. Nilai Diagnostik Uji PAP-TB pada Tuberkulosis di Luar Paru –
Indro Handojo
22. Perbandingan Hasil Uji ELISA-Mikro padaPenderitaTuberkulosis
Biakan Positif dan Biakan Negatif – Anik Widijanti
25. Potensi Mikrobiologi dan Efek Teratogenitas Senyawa Hasil
Oksidasi Rifampisina – Akmal
29. Perkembangan Mutakhir Diagnosis Tuberkulosis Paru – Tjandra
Yoga Aditama
32. Bronkhitis, Bronkhopneumoni dan Bronkhiektasis di Lingkungan
Keluarga Penderita Tuberkulosis Paru – Kusnindar Atmosukarto
35. Penatalaksanaan Bronkhitis Khronik – Faisal Yunus
39. Efusi Pleura Keganasan – Bambang Kisworo
43. Heat-Shock Protein – Zuljasri Albar
48. Taxol sebagai Antikanker – Usman Suwandi
51. Aspek Genetik dan Irnunologik Kanker Payudara–Sofia Mubarika
Haryana, Marsetyawan Soesatyo
55. Pengaruh Filter Aluminium pada Tegangan Puncak (kVp) dan Dosis
Sinar X Diagnostik dari Pesawat Tanka RTO-125 – Susetyo
Trijoko, C. Tuti Budiantari
58. Efek Antidiare Infus Batang Kayu Kuning (Archangelisia flava L)
pada Tikus Putih dan Toksisitas Akutnya – Sa'roni, Adjirni, Wien
Winarso
62. Abstrak
64. RPPIK
Penyakit tuberkulosis telah sering dibahas; kendati demikian masih meru-
pakan masalah kesehatan masyarakat yang menonjol, apalagi dengan mewabah
kembalinya penyakit ini di negara-negara maju seiring dengan meningkatnya
jumlah penderita AIDS.
Pembahasan tuberkulosis dalam Cermin Dunia Kedokteran edisi ini lebih
menitikberatkan segi/masalah komplikasi dan diagnostik, baik melalui peme-
riksaan yang lazim seperti pemeriksaan BTA sputum maupun dengan cara lain
yang lebih sensitif, terutama untuk mendeteksi adanya tuberkulosis di luar paru.
Masalah paru lain yang juga disinggung di sini ialah bronkiektasis kronik
dan efusi pleura; di samping itu masih ada beberapa artikel lain mengenai kan-
ker dan mengenai heat-shock protein.
Selamat Tahun Baru 1995.

Redaksi

2 Cermin Dunia Kedokteran No. 99, 1995


Cermin 1995

Dunia Kedokteran
International Standard Serial Number: 0125 – 913X

KETUA PENGARAH REDAKSI KEHORMATAN


Prof. Dr Oen L.H. MSc
– Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro – Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soe-
KETUA PENYUNTING Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa darmo
Dr Budi Riyanto W Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Staf Ahli Menteri Kesehatan,
Jakarta. Departemen Kesehatan RI,
PEMIMPIN USAHA Jakarta.
Rohalbani Robi – Prof. Dr. R.P. Sidabutar – Prof. DR. B. Chandra
Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf
PELAKSANA Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga,
Sriwidodo WS Bagian Ilmu Penyakit Dalam Surabaya.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, – Prof. Dr. R. Budhi Darmojo
TATA USAHA Jakarta. Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam
Sigit Hardiantoro Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,
– Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo Semarang.
ALAMAT REDAKSI Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi – DR. Arini Setiawati
Majalah Cermin Dunia Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Bagian Farmakologi
P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Telp. 4892808 Jakarta,
Fax. 4893549, 4891502 – Prof. Drg. Siti Wuryan A. Prayitno – Prof.DR.Hendro Kusnoto Drg.,Sp.Ort
SKM, MScD, PhD. Laboratorium Ortodonti
NOMOR IJIN Bagian Periodontologi Fakultas Kedokteran Gigi
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, Jakarta
Universitas Indonesia, Jakarta
Tanggal 3 Juli 1976
REDAKSI KEHORMATAN
PENERBIT
Grup PT Kalbe Farma
– Dr. B. Setiawan Ph.D – Prof. Dr. Sjahbanar Soebianto
PENCETAK Zahir MSc.
PT Temprint – DR. Ranti Atmodjo – Dr. P.J. Gunadi Budipranoto
PETUNJUK UNTUK PENULIS

Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan
aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang- yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk meng-
bidang tersebut. hindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan
Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated
diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau di- Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submitted
bacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh:
nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London:
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan William and Wilkins, 1984; Hal 174-9.
bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms.
berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mecha-
yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak nisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72.
mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus di- Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin
sertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pem- Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10.
baca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih,
dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.
berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran,
Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ Gedung Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510
folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih P.O. Box 3117 Jakarta.
disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pe- Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu
ngarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat secara tertulis.
bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas- Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai
jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis


dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat
kerja si penulis. Cermin Dunia Kedokteran No. 99, 1995 3
English Summary
THE USE OF GLYCERYL GUAIACO- and 19% respectively. It seemed that for the diagnosis of extra-
LATE IN ACID-FAST BACTERIA that there were39.1% changes pulmonary TB, the PAP-TB test has
SPUTUM EXAMINATION from BTA(-) to BTA(+) in expe- a diagnostic sensitivity as high
rimental group and 10.9% in as 87.5%, a diagnostic specificity
Sudijo control group. as high as 90.6%, a diagnostic
Health Regional Office, Lamongan, East Statistical anaiyses proved that efficiency as high as 89.1%, a
Java Indonesia
the administration of glyceril diagnostic positive predictive
guaiacolate can significantly value as high as 89.4% and a
Pulmonary Tuberculosis re- improve the BTA(+) findings based negative predictive value as
mains a problem in Indonesia on 'sputum examination on new high as 88.9%.
with a fairly high (0.29%) preva- pulmonary tuberculosis suspects From the analysis on data
lence combined with low (16%) (p = 4.13E-09 p = 8,034E-06). obtained in this study, it can be
coverage of treatment and low concluded that the PAP-TB test is
(10%) BTA(+) findings. Tuberculo- Cermin Dunia Kedokt. 1995; 99: 14–7
sj a reliable diagnostic tool for the
sis control program still relies diagnosis of extrapulmonary TB
heavily on BTA(+) as the main with high diagnostic value based
positive diagnostic finding of pul- on the criterion of Handojo.
DIAGNOSTIC VALUE OF PAP-TB
monary tuberculosis, butthe main
TEST IN EXTRA PULMONARY TU- Cermin Dunia Kedokt. 1995; 99: 18–21
difficulty of BTA(+) finding is in
BERCULOSIS Ih
obtaining good sputum samples
for laboratory examination. Dr. dr. Indro Handojo
MICRO ELISA TEST ON SERA FROM,
This investigation was aimed at Clinical Pathology Lab., Faculty of Medi- CULTURE-POSITIVE- AND CULTURE-
solving this problem by admini- cine Airlangga University, Dr. Sutomo NEGATIVE PULMONARY TUBERCU-
stering glyceril guaiacolate to General Hospital, Surabaya, Indonesia LOSIS PATIENTS
Pulmonary Tuberculosis suspects Anik Widijanti
prior to sputum examination. A laboratory study to evaluate
Dept. of Clinical Pathology. Dr. Sjaiful
The study was conducted in the diagnostic value of PAP-TB Anwar Hospital/Faculty of Medicine
the program area of the Babat test for the diagnosis of extra- Brawijaya University, Malang, Indonesia
and Sekaran health centers in pulmonary tuberculosis (TB) was
the Lamongan regency from April carried out on 48 patients with This study was carried out on 61
to June 1994, extrapulmonary TB and 53 non-TB sera from pulmonary tuberculosis
Two hundred and fifty seven patients attending the TB Centre patients; 35 sera from patients
(257) subjects were assigned to di Malang, several hospitals and with positive sputum cultures, and
experimental and control groups other treatment centres in East 26 sera from patients with nega-
and each group was examined Java during the period of 1989 tive sputum cultures. The concen-
twice, before and after the admi- until 1992. tration of specific lgG against M.
nistration of glyceril guaiacolate Histopathological test was tuberculosis of the abovemen-
or placebo. used to confirm the diagnosis of tioned sera was determined by
BTA(+) cases found among the extrapulmonary TB in this study. the micro Elisa technique.
experimental group before and PAP-TB tests (Handojo's The result showed that the
after the administration of gly- method) were performed on the concentration of specific IgG
ceril guaiacolate are 19.2% and sera of the above mentioned from patients with positive spu-
46.4% respectively; and positive patients. The cut-off titre of the tum culture did not differ signifi-
cases found among the control PAP-TB test used in this study is cantly from patients with nega-
group before and after the admi- related to a serum dilution of 1: tive sputum culture (p > 0,05).
nistration of placebo are 23.9% 5000. Cermin Dunia Kedokt. 1995; 99: 22-4
The result of this study showed Aw

4 Cermin Dunia Kedokteran No. 99, 1995


Artikel

Patogenesis Sindrom Obstruksi


Pasca Tuberkulosis
Nur Aida
Bagian Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Unit Paru Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta

PENDAHULUAN TB paru didiagnosis sebagai obstruksi pasca TB (SOPT).


Sindrom obstruksi difus yang berhubungan dengan TB paru
dikenal dengan berbagai nama. Di Bagian Unit Paru RSUP KEKERAPAN
PersahabaUaa Jakarta, dikenal dengan nama TB paru dengan Terdapar variasi kekerapan sindrom obstrtiksi difus yang
sindrom obstruksi dan sindrom obstruksi pasca TB (SOPT). pernah diteliti (Tabel 1).
Kekerapan sindrom obstruksi pada TB paru bervariasi antara Tabel 1. Kekerapan Sindrom Obstruksi Difus pada TB
16%–50%.
Patogenesis timbulnya sindrom obstruksi pada TB paru Peneliti Tahun Kekerapan Ref.
yang mengarah ke timbulnya sindrom pasca TB sangat kom- Cuggel 1955 44 % 1
pleks; pada penelitian terdahulu dikatakan akibat destruksi ja- Gaensler 1959 42,6 % 5
ringan paru oleh proses TB. Kemungkinan lain adalah akibat Martin dan Haller 1961 50,4 % 2
infeksi TB, dipengaruhi oleh reaksi imunologis perorangan se- Lancaster dan Tomasshesfki 1963 34 % 6
Malik dan Martin 1969 32 % 7
hingga menimbulkan reaksi peradangan nonspesifik yang luas Snider et al 1971 41,8 % 8
karena tertariknya neutrofil ke dalam parenkim paru makrofag Tanuwiharja 1980 50,4 % 9
aktif. Peradangan yang berlangsung lama ini menyebabkan proses Tanuwiharja 1988 46,9 % 10
proteolisis dan beban oksidasi sangat meningkat untuk jangka Sardikin Giriputro 1989 16,7 % 11
lama sehingga destruksi matriks alveoli terjadi cukup luas me-
nuju kerusakan paru menahun dan mengakibatkan gangguan PATOGENESIS
faal paru yang dapat dideteksi secara spirometri. Gangguan faal paru akibat proses tuberkulosis paru berupa
Pada tulisan ini akan dibicarakan patogenesis sindrom kelainan restriksi dan obstruksi telah banyak diteliti; kelainan
obstruksi pasca TB. yang bersifat obstruksi dan menetap akan mengarah pada ter-
jadinya sindrom. obstruksi pasca TB (SOPT).
SINDROM OBSTRUKSI PASCA TB Destruksi parenkim paru pada emfisema menyebabkan
Kelainan obstruksi yang berhubungan dengan proses TB elastisitas berkurang sehingga terjadi mekanisme ventil yang
dikenal dengan berbagai nama. Cugger 1955 (dikutip dari 1) menjadi dasar terjadinya obstruksi arus udara(3). Emfisema
menyebutnya emfisēma obstruksi kronik. Martin dan Hallet(2) kompensasi yang ditemukan pasca reseksi paru dan akibat
menggunakan istilah emfisema obstruksi difus. Bomberg dan atelektasis lobus atas karena TB paru seharusnya tidak obstruktif.
Robin(3) menyebutnya sebagai emfisema obstruksi difus; Vargha Sedangkan Gaensler(5) dan Snider et al(8) menyatakan bahwa
dan Bruckner(4) menyebutnya sindrom ventilasi obstruksi; kelainan obstruksi pada TB paru tidak berasal dari emfisema
Tanuwtharjā menyebutnya sirldronrobstruksi difus(5). Di Unit kompensasi. Hirasawa (1965) (dikutip dari 8) tidak menemukan
Paru RSUP Persahabatan Jakarta kelainan obstruksi pada pen- perbedaan morfologik yang nyata antara jenis emfisema pada
derita TB paru didiagnosis sebagai TB paru dengan sindrom kasus TB dan non TB, perubahan emfisema yang tidak merata
obstruksi, sedangkan kelainan obstruksi pada penderita bekas lebih menonjol pada TB dengan kesan sebagai efek lokal dalam
perkembangan emfisema. Gambar 1. Sistem Imun(16)
Gaensler dan Lindgren(5) berpendapat bahwa bronkitis kro-
nis spesifik lebih mungkin merupakan faktor etiologi timbulnya
emfisema obstruksi pada tuberkulosis paru dibandingkan dengan
over distention jaringan paru di dekat daerah retraksi.
Bell(11) berhasil menimbulkan bula emfisematous pada ke-
linci yang ditulari mikobakterium tuberkulosis secara trakeal dan
menyimpulkan bahwa proses emfisema dimulai dengan destruksi
jaringan lalu diikuti ekspansi. Vargha dan Bruckner menyatakan
bahwa bronkitis kronis difus yang disebabkan sekret dari kavitas
menimbulkan kelainan obstruksi(12).
Baum(13), Crofton dan Douglas(14) menyatakan bahwa reaksi
hipersensitif terhadap fokus TB atau hasil sampingan kuman TB
yang mati sering tampak berupa perubahan non spesifik yaitu
peradangan yang kadang-kadang jauh lebih luas daripada lesi
spesifiknya sendiri. Sistim imun nonspesifik merupakan pertahanan tubuh ter-
Hennes et al(15) menemukan bahwa zat anti terhadap ekstrak depan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme,
paru manusia penderita TB merangsang pembentukan zat anti oleh karena dapat memberikan respon langsung terhadap anti-
terhadap jaringan yang rusak. Pada emfisema mungkin timbul gen, sedangkan sistim imun spesifik membutuhkan waktu untuk
zat anti terhadap jaringan retikulum paru, yang dapat berperan mengenal antigen terlebih dahulu sebelum memberikan respon-
penting pada patogenesis emfisema. nya(17,18).
Hubungan kelainan obstruksi pada tuberkulosis paru de- Paru merupakan salah satu organ tubuh yang mempunyai
ngan beberapa faktor antara lain umur, jenis kelamin, merokok, daya proteksi melalui suatu mekanisme pertahanan paru, berupa
lama sakit, luas lesi telah diteliti oleh beberapa peneliti(2,6–11,13) sistim pertahanan tubuh yang spesifik maupun nonspesifik(19–22).
Pemeriksaan spirometri pada penderita tuberkulosis paru lanjut Di alveolus makrofag merupakan komponen sel fagosit yang
di RSUP Persahabatan Jakarta, menyimpulkan bahwa kelainan paling aktif memfagosit partikel atau mikroorganisme(20,22).
obstruksi berhubungan dengan jenis kelamin dan lama sakit, Makrofag ini penting dalam sistim imun karena kemampuan
tetapi tidak berhubungan dengan umur, kebiasaan merokok, luas memfagosit serta respon imunologiknya(20). Kemampuan untuk
kelainan dan distribusi lesi(9). Pemeriksaan perubahan faal ven- menghancurkan mikroorganisme terjadi karena sel ini mem-
tilasi penderita TB paru yang diobati paduan obat jangka pendek punyai sejumlah lisozim di dalam sitoplasma. Lisozim ini me-
dengan.tujuan khusus pada gangguan obstruksi di RSUP Persa- ngandung enzim hidrolase maupun peroksidase yang merupa-
habatan menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan positif kan enzim perusak. Selain itu makrofag juga mempunyai resep-
antara derajat obstruksi dan restriksi dengan luas lesi, kelainan tor terhadap komplemen. Adanya reseptor-reseptor ini me-
obstruksi pada penderita TB paru maupun bekas TB paru bersifat ningkatkan kemampuan sel makrofag untuk menghancurkan
ireversibel, dan obstruksi yang ireversibel ini merupakan akibat benda asing yang dilapisi oleh antibodi atau komplemen(17,20,21).
proses TB. Pemeriksaan spirometri pada penderita TB paru dan Selain bertindak sebagai sel fagosit, makrofag juga dapat me-
bekas TB paru dengan lesi minimal dan moderately advanced di ngeluarkan beberapa bahan yang berguna untuk menarik dan
RSTP Cipaganti Bandung mendapatkan sindrom obstruksi difus mengaktifkan neutrofil serta bekerja sama dengan limfosit dalam
pada 46,9% penderita TB paru dan 30% sindrom obstruksi reaksi inflamasi(20).
ditemukan pada lesi minimal; sindrom obstruksi difus mem-
punyai hubungan dengan faktor merokok dan luas lesi dan tidak TUBERKULOSIS PARU SERTA RESPON IMUN
mempunyai hubungan dengan jenis kelamin dan lama sakit(9). Apabila tubuh terinfeksi hasil tuberkulosis, maka pertama-
Salah satu kemungkinan lain patogenesis timbulnya sin- tama lekosit polimorfonukleus (PMN) akan berusaha mengatasi
drom obstruksi difus pada penderita TB adalah karena infeksi infeksi tersebut. Sel PMN dapat menelan hasil tapi tidak dapat
kuman TB, dipengaruhi reaksi imunologik perseorangan, dapat menghancurkan selubung lemak dinding hasil, sehingga hasil
menimbulkan reaksi radang nonspesifik luas karena tertariknya dapat terbawa ke jaringan yang lebih dalam dan mendapat
netrofil ke dalam parenkim paru oleh makrofag aktif. Peradangan perlindungan dari serangan antibodi yang bekerja ekstraseluler.
yang berlangsung lama ini menyebabkan beban proteolitik dan Hal ini tidak berlangsung lama karena sel PMN akan segera
oksidasi meningkat dan merusak matriks alveoli sehingga me- mengalami lisis(18). Selanjutnya hasil tersebut difagositosis oleh
nimbulkan sindrom obstruksi difus yang dapat diketahui dari makrofag. Sel makrofag aktif akan mengalami perubahan meta-
pemeriksaan spirometri. bolisme, metabolisme oksidatif meningkat sehingga mampu
memproduksi zat yang dapat membunuh hasil, zat yang ter-
SISTIM IMUNITAS TUBUH penting adalah hidrogen peroksida (H2O2).
Sistim pertahanan tubuh terdiri atas sistim pertahanan spesi- Chaparas 1984(23) menerangkan bahwa mikobakterium
fik dan nonspesifik(16,17) (Gambar 1). tuberkulosis mempunyai dinding sel lipoid tebal yang melin-
dunginya terhadap pengaruh luar yang merusak dan juga meng- merusak fibrin juga mengaktifkan proenzim elastase dan bekerja
aktifkan sistim imunitas. Mikobakterium tuberkulosis yang sama dengan elastase.
jumlahnya banyak dalam tubuh menyebabkan : Oksidan merusak alveoli melalui beberapa cara seperti(25) :
• Penglepasan komponen toksik kuman ke dalam jaringan a) Peningkatan beban oksidan ekstraseluler yang tinggi, secara
• Induksi hipersensitif seluler yang kuat dan respon yang langsung merusak sel terutama pneumosit I.
meningkat terhadap antigen bakteri yang menimbulkan kerusak- b) Secara langsung memodifikasi jaringan ikat sehingga lebih
an jaringan, perkejuan dan penyebaran kuman lebih lanjut. peka terhadap proteolisis.
• Akhirnya populasi sel supresor yang jumlahnya banyak c) Secara langsung berinteraksi dengan 1-antitripsin sehingga
akan muncul menimbulkan anergik dan prognosis jelek. daya antiproteasenya menurun.
Perjalanan dan interaksi imunologis dimulai ketika makro- Tuberkulosis paru merupakan infeksi menahun sehingga
fag bertemu dengan kuman TB, memprosesnya lalu menyajikan sistim imunologis diaktifkan untuk jangka lama, akibatnya be-
antigen kepada limfosit. Dalam keadaan normal, infeksi TB ban proteolisis dan beban oksidasi sangat meningkat untuk
merangsang limfosit T untuk mengaktifkan makrofag sehingga jangka yang lama sekali sehingga destruksi matriks alveoli
dapat lebih efektif membunuh kuman. Makrofag aktif melepas- cukup luas menuju kerusakan paru menahun dan gangguan faal
kan interleukin-1 yang merangsang limfosit T. Limfosit T me- paru yang akhirnya dapat dideteksi secara spirometri.
lepaskan interleukin-2 yang selanjutnya merangsang limfosit T
lain untuk memperbanyak diri, matang dan memberi respon KESIMPULAN
lebih baik terhadap antigen. Limfosit T supresi (TS) mengatur Patogenesis sindrom obstruksi difus pada penderita TB paru
keseimbangan imunitas melalui peranan yang komplek dan yang kelainan obstruksinya menuju terjadinya sindrom obstruksi
sirkuit imunologik. Bila TS berlebihan seperti pada TB progresif, pasca TB (SOPT), sangat kompleks; kemungkinannya antara
maka keseimbangan imunitas terganggu sehingga timbul anergi lain :
dan prognosis jelek. TS melepas substansi supresor yang 1) Infeksi TB dipengaruhi oleh reaksi imunologis perorangan,
mengubah produksi sel B, sel T aksi-aksi mediatornya. sehingga dapat menimbulkan reaksi peradangan nonspesifik
Mekanisme makrofag aktif membunuh hasil tuberkulosis yang luas karena tertariknya neutrofil ke dalam parenkim paru
masih belum jelas, salah satu adalah melalui oksidasi dan pem- makrofag aktif.
bentukan peroksida. Pada makrofag aktif, metabolisme oksida- 2) Akibatnya timbul destruksi janingan paru oleh karena pro-
tif meningkat dan melepaskan zat bakterisidal seperti anion ses TB.
superoksida, hidrogen peroksida, radikal hidroksil dan ipohalida 3) Destruksi jaringan pant disebabkan oleh proses proteolisis
sehingga terjadi kerusakan membran sel dan dinding sel, lalu dan oksidasi akibat infeksi TB.
bersama enzim lisozim atau medoator, metabolit oksigen mem- 4) TB"paru merupakan infeksi menahun sehingga sistim
bunuh hasil tuberkulosis. Beberapa hasil tuberkulosis dapat imunologis diaktifkan untuk jangka lama, akibatnya proses.pro-
bertahan dan tetap mengaktifkan makrofag, dengan demikian teolisis dan oksidasi sangat meningkat untuk jangka lama se-
hasil tuberkulosis terlepas dan menginfeksi makrofag lain. hingga destruksi matriks alveoli terjadi cukup luas menuju ke-
Diduga dua proses yaitu proteolisis dan oksidasi sebagai rusakan pant yang, menahun dan mengakibatkan gangguan faal
penanggungjawab destruksi matriks(24). Komponen utama yang pant yang dapat dideteksi secara spirometri.
membentuk kerangka atau matriks dinding alveoli terdiri dari :
kolagen interstisial (tipe I dan II), serat elastin (elastin dan SARAN
mikrofibril), proteoglikaninterstisial, fibrokinetin. Kolagen adalah Untuk mengetahui apakah pada sindrom obstruksi ditemui
yang paling banyak jumlahnya dalam janingan ikat paru(24). peradangan kronis maka penulis menyarankan pemeriksaan
Proteolisis berarti destruksi protein yang membentuk hipereaktifitas bronkus.
matriks dinding alveoli oleh protease, sedangkan oksidasi ber-
arti pelepasan elektron dani suatu molekul. Bila kehilangan KEPUSTAKAAN
elektron terjadi pada suatu struktur maka fungsi molekul itu
akan berubah. Sasaran oksidasi adalah protein jaringan ikat, sel 1. Gaensler EA, Lindgren I. Chronic bronchitis as an aetiologic factor in
epitel, sel endotel dan anti protease. obstructive emphysema. Am. Rev. Resp. Dis. 1959; 80: 185.
2. Martin CJ, Haller WY. The diffuse obstructive pulmonary syndrome in a
Sel neutrofil melepas beberapa protease yaitut(24,25) : tuberculosis sanatorium. II: incidence and symptoms. Ann. Intem. Med.
1) Elastase adalah yang paling kuat memecah elastin dan 1961; 54: 1156.
protein janingan ikat lain sehingga sanggup menghancurkan 3. Bromerg PA, Robin ED. Abnormalities of lung function in tuberculosis.
dinding alveoli. Adv. Tuberc. Res. 1963; 12: 1–27.
4. Vargha G, Bruckner P. Study of relationship between cavity and
2) Catepsin G menyerupai elastase tetapi potensinya lebih obstructive ventilatory syndrome in tuberculosis. Am. Rev. Respir. Dis.
rendah dan dilepas bersama elastase. 1964; 89: 830–4.
3) Kolagenase cukup kuat tetapi hanya bisa memecah kolagen 5. Tanuwijaya BY. Sindrom obstruktif difus pada tuberkulosis paru. Kum-
tipe I, bila sendiri tidak dapat menimbulkan emfisema. pulan Makalah Ilmiah Simposium Penyakit paru obstruktif menahun.
54–65.
4) Plasminogen aktivator yaitu urokinase dan tissue plasmin 6. Lancaster IF, Thomashefski IF. Tuberculosis – a cause of emphysema.
aktivator merubah plasminogen menjadi plasmin. Plasmin selain Am. Rev. Respir. Dis. 1963; 87: 435.
7. Malik SK, Martin CJ. Tuberculosis, corticosteroid therapy and pulmonary 18. Bellanti JA. Immunology II. Asian ed. Tokyo:lgaku Shoin Ltd. 1978 :
function. Am. Rev. Respir. Dis. 1969; 100: 13. 355–87.
8. Snider GL, Doctor L, Demas TA, Shaw AR. Obstructive airways disease in 19. Reynolds HY. Normal and Defective Respiratory Host Defenses. In:
patient with treated pulmonary tuberculosis. Am. Rev. Respir. Dis. 1971; Respiratory Infections: Diagnosis and Management. Penington JE eds. 2nd
103: 625. ed. New York: Raven Press. 1989: 1–33.
9. Tanuwiharja BJ. Pemeriksaan spirometri pada penderita TB paru lanjut di 20. Harada RN, Repine M. Pulmonary host defense mechanism. Chest 1985;
RS. Persahabatan Jakarta. Naskah Konas IDPI II, Surabaya, 18-20 Juni 87: 247–52.
1980. p. 77–84. 21. Daniela RP. Immune Defenses of the Lung. In: Pulmonary Disease and
10. Sardikin Giriputro. Perubahan faal inhalasi penderita TB paru yang diobati Disorders. Fishman AP eds. 2nd ed. New York: Mc Graw Hill Book Co.
pada jangka pendek dengan tinjauan khusus pads gangguan obstruktif. 1988: 589–98.
Tesis: Bag. Pulmonologi FKUI, 1989. 22. Murray JF. Defence Mechanism. In: The Normal Lung: The Basic for
11. Bell JW. Experimental pulmonary emphysema. Production of emphyse- Diagnosis and Treatment of Pulmonary Disease. 2nd ed. Philadelphia:
matous bullae in the rabbit by infection with tuberculosis. Am. Rev. Tuberc. WB. Saunders Co. 1986: 313–39.
1958; 78: 848–861. 23. Chaparas SD. Tuberculosis Immunology. Asian Pacific J. Allerg. Immu-
13. Baum GL. Textbook of Pulmonary Disease. Boston: Little Brown and nol. 1984; 2: 126.
Company. 2nd ed., 1974; p. 263. 24. Hubbard RC, Crystal RG. Antiproteases and antioxydant: Strategies for the
15. Hennes AR, Moore MZ, Carpenter RL, Hammarsten IF. Am. Rev. Respir. pharmacologic prevention of lung destruction. Respiration 1986; 50(Suppl.
Dis. 1961; 83: 354. 1) : 56.
16. Kamen GB. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1988: 1–72. 25. Campbell EJ, Senior RM, Welgus HG. Extracellular matrix injury during
17. Siti BK. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Edisi ke 2. lung inflammation. Chest 1987; 92: 161.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1991.
Uji Faal Paru
Penderita Tuberkulosis Paru
yang Berobat Jalan di Poliklinik Paru
URJ RSAL Dr. Ramelan, Surabaya
Didik Supardi*, Caecllia L**, Soemarno***
* Bagian Uji Coba Lakesla Ditkes TNI-AL,Surabaya
** Sub. Dept. Paru RSAL Ramelan, Surabaya
*** Kepala Bagian Paru RSAL Dr Ramelan Surabaya

PENDAHULUAN faal paru penderita dilaksanakan oleh petugas perawat di bagian


Tuberkulosis Paru (TB-Paru) telah dikenal hampir di seluruh faal paru yang telah menekuni bidangnya cukup lama, yakni
dunia, sebagai penyakit kronis yang dapat menurunkan daya lebih kurang 20 tahun.
tahan fisik penderitanya secara serius; hal ini disebabkan oleh Yang dimaksudkan dengan penderita TB-Paru di sini adalah
terjadinya kerusakan jaringan paru yang bersifat permanen. Di para penderita TB-Paru yang telah terbukti/terdiagnosis secara
samping proses destruksi terjadi pula secara simultan proses klinis, rontgenologis dan laboratoris, maupun para penderita
restorasi atau penyembuhan jaringan paru sehingga terjadi per- TB-Paru tersangka, secara klinis dan rontgenologis. Dari data
ubahan struktural yang bersifat menetap serta bervariasi yang yang terkumpul dilakukan interpretasi kelainan faal parunya
menyebabkan berbagai macam kelainan faal paru. Hutchinson (Tabel 1).
pada tahun 1846, untuk pertama kalinya mengadakan penelitian Tabel 1. Parameter Kelainan Faal Paru
faal paru atas sejumlah pasien TB-Paru yang dirawatnya. Restriktif Obstruktif
Secara umum TB-Paru akan menyebabkan radang paru Kelas Derajat Kerusakan
VC FEV1 VC FEV1
kronis yang di kemudian hari akan memberikan perubahan-per-
0 Normal > 80 > 75 > 80 > 75
ubahan jaringan yang berupa emfisema sehingga mengakibat- I Ringan 60–80 > 75 > 80 60–75
kan kelainan faal paru restriktif, campuran maupun obstruktif II Sedang 50–60 > 75 > 80 40–60
pada penderita. III Berat 35–50 > 75 ↓ < 40
Berikut ini disampaikan hasil pemeriksaan faal paru para IV Sangat berat < 35 N/↓ ↓↓ < 40
penderita TB-Paru yang berobat jalan di poll Paru URJ - RSAL
Dr Ramelan Surabaya, bekerja sama dengan bagian Faal Paru HASIL PEMERIKSAAN
Lakesla Ditkesal Surabaya. Selama kurun waktu penelitian, telah diperoleh hasil uji faal
paru 111 orang penderita dan hanya 1 orang saja yang normal faal
BAHAN DAN CARA parunya.
Data diperoleh secara prospektip dengan mencatat hasil Tabel 2. Pembagian menurut Umur dan Sex Penderita TB-paru yang
pengukuran Mal paru penderita TB-Paru yang berobat jalan di diperiksa taal parunya di Lakesla Ditkesal Surabaya
poli Paru URJ RSAL Dr Ramelan Surabaya antara kurun waktu
Umur Laki-laki Perempuan Jumlah Persentase
21 Desember 1992 s/d akhir April 1993. Pada masing-masing
penderita dilakukan pengukuran VC, FVC FeV-1, MBC dan 10–19 5 4 9 8,1
20–29 12 8 20 18,1
MEFR dengan mempergunakan alat Spirometer Collins dengan 30–39 2 6 8 7,9
kapasitas 7 liter. Pemeriksaan dikerjakan dengan posisi penderita 40–49 11 13 24 21,6
berdiri; hidung penderita dijepit dengan nose-clip. Pengukuran 50–59 20 10 30 27,0
60–69 12 1 13 11,7
≥ 70 7 0 7 6,3
Dibacakan pada Konas VI PDPI 1993 di Surakarta 4 Juli 1993. Jumlah 69 42 111 100,0
Usia termuda pasien kami adalah 13 tahun sedangkan yang orang penderita TB-Paru mendapatkan hasil sebagai berikut :
paling tua berusia 74 tahun. 24,4% restriktif, 23,2% obstruktif, 18,6% campuran antara
Tabel 3. Pembagian menurut Jenis kelamin 110 penderita TB-Paru yang
restriktif dan obstruktif, akhirnya normal 37,7%(7). Tanuwiharja
Mengalami Kelalnan Faal Paru dick pada penelitiannya di RS Persahabatan Jakarta mendapat-
kan hasil 40,2% restriktif, 6,5% obstruktif, kemudian 43,9%
Jenis Kelamin Jumlah Persentase
campuran dan 9,4% tanpa kelainan faal paru(8). Peneliti yang lain
Laki-laki 68 61,3 memperoleh hasil yang hampir serupa, terbanyak adalah tipe
Perempuan 42 37,8
campuran kemudian restriktif selanjutnya terakhir tipe obstruk-
Tabel 4. Kelainan Faal Paru 110 penderita TB-Paru yang Diperiksa di tif(6).
Lakesla Ditkesal Surabaya Pada tabel 5 dapat dilihat derajat berat ringannya faal paru
Jumlah yang diketemukan; terbanyak adalah restriksi berat (56,8%),
Laki-Iaki Perempuan
Kelainan restriksi sedang 20,7% dan restriksi ringan sebesar 18,9%. Ke-
n % n % n % lainan obstruktif terbagi menjadi : 9% obstruksi berat, 10,8%
Restriksi 32 28.8 26 23,4 58 52,3 obstruksi sedang dan 27% obstruksi ringan. Secara umum
Obstruksi 2 1,8 1 0,9 3 2,7 ditemukan pada penelitian kami 96,4% kelainan restnktif dan
Campuran 34 30,6 15 13,5 49 44,1 46,8% kelainan obstruktif.
Normal 1 0,9 0 0,0 1 0,9

Tabel 5. Derajat Kelainan Faal Paru pada 110 Penderita TB-Paru yang KESIMPULAN
Diperiksa Faal Parunya di Lakesla Ditkesal Surabaya Telah dilakukan penelitian faal paru path 111 orang pen-
derita TB-Paru yang berobat jalan di Poll Paru URJ RS AL Dr.
Ringan Sedang Berat Jumlah
Kelainan Ramelan Surabaya dengan hasil 99,1% penderita mengalami
n % n % n % n %
kelainan faal paru, yang secara umum terdiri atas 96,4% restriktif
Restriksi 21 18,9 23 20,7 63 56,8 107 96,4
Obstruksi 30 27,0 12 10,8 10 9,0 52 46,8 dan 46,8% obstruktif. Ditinjau dari macam kelainan faal paru-
nya, 52,3% restriktif, 44,1% tipe campuran dan 2,7% obstruktif.
Tabel 5 menggambarkan distribusi kelainan faal paru 110 Kemudian dari derajatnya diketemukan kelainan restriksi berat
penderita TB-Paru yang diperiksa; apabila seorang penderita sebesar 56,8% sedang obstruksi ringan 27%.
mengalami gangguan faal paru campuran antara restriktif dan Tuberkulosis pant akan mengakibatkan terjadinya keru-
obstruktif, maka dicatat secara terpisah dalam kolom restriksi sakan parenkhim paru yang sangat bervariasi dan tidak spesifik;
ataupun obstruksi; itulah sebabnya mengapa dalam tabel 4 hanya pada tahap awal penyakit TB-Paru memberikan kelainan faal
diketemukan kelainan faal paru obstruktif murni sebesar 2,7% paru restriktif, selanjutnya pada keadaan yang lanjut berakhir
kasus saja, sedang dalam tabe15 terdapat lebih banyak tercatat dengan obstruktif.
kelainan faal paru obstruktifnya; hal tersebut berasal dari kasus
yang mempunyai kelainan faal paru campuran yang jumlahnya
cukup banyak, yakni sebesar 44,1% kasus.

DISKUSI
Umur penderita TB-Paru yang berhasil diperiksa faal parunya KEPUSTAKAAN
berkisar antara 13 – 74 tahun dengan golongan usia terbanyak
adalah sekitar usia 50 – 59 tahun. Perbandingan antara penderita 1. Caensler EA, Lindgren I. Chronic bronchitis as an etiological factor in
obstructive emphysema. Am Rev Respir Dis 1989; 80: 185.
priadan wanita yakni 61,3% penderita pria dan 37,8% penderita 2. Hood Alsegaff dkk. Penelitian faal pare pada penderita TB-Paru di RSUD
wanita. Dr Soetomo Surabaya. Laporan Pendahuluan. Part 1983; 3: 163–8.
Dari 111 orang penderita TB-Paru yang berhasil diperiksa 3. Leulallen EC, Fowler WS. Maximal mid expiratory flow rate. Am Rev
faal parunya ternyata 99,1% mengalami kelainan faal paru dan Tuberc 1955; 72: 783–99.
4. Malik SK, Martin Cl. Tuberculosis corticosteroid therapy and pulmonary
0,9% normal (1 orang penderita). Pada tabel 4 tampak jenis function. Am Rev Respir Dis 1969; 100: 13–8.
kelainan faal paru yang didapat, yakni kelainan restriktif sebesar 5. Martin CJ, Hawlett WY. The diffuse obstructive pulmonary syndrome in a
52,3% kemudian disusul kelainan campuran antara restriktif dan tuberculosis sanatorium. II. Incidence and Symptoms. Ann Intern Med
obstruktif sebesar 44,1% dan selanjutnya kelainan obstruktif 1961; 54: 1156–64.
6. Pasiyan R, Prihadi M. Uj faal part penderita TB-Pam di RS Karyadi
sebesar 2,7%. Semarang. Medika 1986; 9: 824–8.
Angka-angka tersebut tampaknya sesuai dengan hasil pene- 7. Snider GL, Doctor L, Demas TA, Shaw AR Obstructive airway disease in
litian terdahulu yang melaporkan bahwa proses radang TB-Paru patient treated for puhnonary tuberculosis. Am Rev Respir Dis 1971; 103:
akan banyak memberikan kelainan faal paru restriktif pada tahap 625–40.
8. Tanuwiharja BY. Pemeriksaan spirometrik pads penderita TB-Para lanjut di
awal perjalanan penyakitnya, selanjutnya berakhir dengan ke- RS Persahabatan Jakarta. Skripsi bagian Pulmonologi FKUI Jakarta. 1979.
lainan yang obstruktif pada akhir perjalanan penyakitnya(4). 9. Tjandra YA, Husaeri F. Uji faal pans penderita TB-Pam di Laboratorium
Snider dick pada penelitiannya yang meliputi sejumlah 1403 Spirometri Unit Paru RS Persahabatan Jakarta. Medika 1984; 3: 839–41.
Penyebab Kematian
Penderita Penyakit Paru
Tjandra Yoga Aditama, Hadiarto Mangunnegoro, Sutji Astuti, Harry Budi
Bagian Pulmonologi Fakultas Kedokteran Indonesia
UPF Paru Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jakarta

PENDAHULUAN diketahui RSU Persahabatan adalah pusat rujukan untuk penyakit


Berbagai penyakit paru kini merupakan masalah kesehatan. paru di Indonesia. Data penyebab kematian dikumpulkan dari
Penyakit infeksi, tuberkulosis maupun nontuberkulosis, asma dan catatan medik, dan sebab kematian ditentukan pada suatu diskusi
penyakit paru obstruktif menahun, kanker paru dan juga penyakit atau rapat kematian oleh peserta Program Pendidikan Dokter
paru akibat kerja merupakan contoh penyakit-penyakit yang Spesialis Pulmonologi dan staf pengajar bagian Pulmonologi
punya dampak luas di masyarakat. FKUI/UPF Paru RSU Persahabatan.
Kedokteran Respirasi (Respiratory Medicine) saat ini
agaknya merupakan istilah yang lebih tepat dan lebih banyak DATA KEMATIAN
dikemukakan oleh karena cakupan yang luas serta mempunyai Data kematian yang dikumpulkan selama tahun 1991 dari
pengaruh sosial ekonomi dan budaya. Hal ini tidak mengherankan bagian Ilmu Kedokteran Respirasi FKUUUnit Paru RSU Per-
karena paru merupakan organ di dalam tubuh yang berhubungan sahabatan, penyebab kematian utama adalah Tb paru (41,7%)
langsung dengan udara luar (lingkungan), hingga perubahan sebanyak 73 kasus dari 175 jumlah total kematian, disusul kanker
tersebut di atas berpengaruh langsung terhadap kesehatan paru, paru (29,1%) sebanyak 51 kasus dan kemudian pneumonia (9,1%)
contohnya ialah Smoking Related Diseases, penyakit paru kerja, sebanyak 16 kasus (tabel 1).
Tb, Asma dan lain-lain. Hal-hal tersebut berarti bila ingin Tabel 1. Distribusi Diagnosis Penyakit Penyebab Kematian
menanggulangi penyakit paru dan meningkatkan kesehatan paru
secara menyeluruh, aspek kuratif menjadi sebagian saja dari Nama Penyakit Jumlah %
pendekatan yang harus dilakukan. Upaya promotif, preventif, dan 1. TB paru 73 41,71
rehabilitatif sudah waktunya diperluas cakupan kegiatannya. 2. Tumor paru 51 29,14
Khusus untuk Indonesia, penyakit-penyakit infeksi paru 3. Pneumonia 16 9,14
4. Bronkhiektasi 15 8,57
masih merupakan penyebab kematian yang amat penting dan 5. Cor pulmonal 7 4,10
masih sering pula dijumpai dalam pola morbiditas yang ada, de- 6. PPOK 4 2,29
mikian pula dengan asma bronkial dan penyakit paru obstruktif. 7. Tumormediastinum 3 1,71
Hasil survai kesehatan rumah tangga 1980 menunjuk hampir 8. Pneumotoraks 3 1,71
9. Empiema toracis 2 1,14
sepertiga (28,4%) kematian di Indonesia disebabkan oleh penyakit 10. Abses paru 1 0,57
paru. Pada survai berikutnya di tahun 1986 angka ini ternyata 11. Asma 0 0
meningkat menjadi 30,5%, sehingga berdasarkan Survai Kese- Total 175 100
hatan Rumah Tangga Nasional terbaru ini tidaklah berlebihan
kalau dikatakan bahwa 1 di antara 3 kematian di negara kita di- Usia terbanyak adalah 26 – 30 tahun sebanyak 27 kasus
sebabkan oleh penyakit paru. (15,4%), disusul oleh 31 – 35 tahun sebanyak 17 kasus (9,7%)
Berikut ini disampaikan data pola kematian pada penderita (tabel 2).
yang dirawat di unit Paru RSU Persahabatan tahun 1991. Seperti Penyebab kematian terbanyak adalah karena gagal napas
(40%) pada 70 kasus, disusul oleh stadium akhir dari suatu ke-
Tabel 2. Distribusi Umur
Umur Jumlah % Pada kanker paru, yang terhanyak adalah jenis adeno Ca
(29,4%) 15 kasus, kemudian karsinoma (19,6%) sebanyak 10
<18 7 4,0
18 – 25 13 7,43
kasus (tabel 6).
26 – 35 30 17,14 Tabel 6. Distribusi Jenis Kanker Paru
36 – 45 24 13,72
46 – 55 28 16,0 n %
56 – 65 36 20,57
> 65 37 21,14 Dengan effusi pleura 8 15,69
Adeno ca 15 29,41
Total 175 100 Epidermoid 10 19,61
Sel kecil 1 1,96
Belum terdiagnosis jenisnya 17 33,33
ganasan pada 38 kasus (21,7%), kemudian sebab asfiksi pada 28
kasus (16%) (tabel 3). Total 51 100

Tabel 3. Distribusi Sebab Kematian Usia yang terbanyak 56–65 tahun (35,3%) 18 kasus, disusul
Sebab Kematian n % 46 – 55 tahun (27,45%) sebanyak 14 kasus (tabel 7).
Tabel 7. Distribusi Usia Pasien Kanker Paru
Gagal napas 70 40
Gagal jantung 4 2,28
Usia (tahun) n %
Gagal jantung paru 5 2,85
Gagal multi organ 7 4 <18 – –
Asfiksia 28 16 18 – 25 1 1,96
Sepsis 14 8 26 – 35 3 5,88
Asidosis metabolik 8 4,57 36 – 45 7 13,72
Gagal ginjal 1 0,5 46 – 55 14 27,45
Stadium akhir keganasan 38 21,7 56 – 65 18 35,29
> 65 8 15,69
Total 175 100
Total 51 100
Pada Tb paru, sebagai penyebab kematian tertinggi adalah
karena hemoptisis yang tidak teratasi sebanyak 33 kasus (34%),
disusul dengan penderita Tb paru yang disertai keadaan umum Umumnya penderita kanker paru yang dirawat di RSUP
buruk (gizi buruk, dehidrasi dan sebagainya) sebanyak 23 kasus Persahabatan meninggal dunia karena mereka datang dalam
(23,7%) (tabel 4). keadaan Stadium akhir dari suatu keganasan (72,5% – 37 kasus)
Tabel 4. Distribusi Sebab Kematian Pasien Tb Paru (tabel 8).
Tabel 8. Distribusi Sebab Kematian pada Kanker Paru
n %
Dengan hemoptoe 33 34 n %
Dengan komplikasi :
– Ca 1 1,03 Stadium akhir 37 72,55
– Decomp cordis 2 2,06 Gagal napas 13 25,49
– NIDDM 4 4,12 Gagal jantung 1 1,96
– Pneumotoraks 11 1,03 Total 51 100
– Bronchopneumonia 7 7,21
– enterim 1 1,03
Tb paru dupleks 10 10,3
Penyakit infeksi paru sebagai penyebab kematian adalah
KU lemah 23 23,7 pneumonia. Umumnya terjadi di usia 26 – 35 tahun (41,7%)
Destroyed Lung 15 15,46 sebanyak 5 kasus (tabel 9).
Tabel 9. Distribusi Umur Pasien Pneumonia yang Meninggal Dunia
Total 97 100
Usia (tahun) n %
Tabel 5. Distribusi Usia Pasien Tb Paru < 18 – –
18 – 25 1 8,333
Usia (tahun) n % 26 – 35 5 41,67
36 – 45 – –
< 18 6 6,18
46 – 55 2 16,67
18 – 25 8 8,24
56 – 65 3 25,00
26 – 35 32 32,98
> 65 1 8,333
36 – 45 13 13,4
46 – 55 10 10,3 Total 12 100
56 – 65 10 10,3
> 65 18 18,55 Sebab kematian yang terbanyak pada pneumonia adalah
Total 97 100 karena gagal napas (50%) sebanyak 6 kasus, disusul asidosis
metabolik yang tidak terkompensasi (25% – 3 kasus) (tabel 10).

12
Tabel 10. Distribusi Sebab Kematian pada Pasien Pneumonia Tabel 14. Distribusi Sebab Kematian pada PPOK

n % n %

Gagal jantung paru 1 8,333 Dengan bronch emfisema 2 18,18


Gagal napas 6 50,00 Bronkhiektasi 1
Sepsis 2 16,67 TB paru tsk 1 9,10
Asid metab 3 25,00 Gagal ginjal 1 9,10
Pneumotoraks 1 9,10
Total 12 100 KU lemah 1 9,10
Tidak disebut jenisnya 4 36,36
Selain pneumonia, bronkiektasis juga menyebabkan ke- Total 11 100
matian pada urutan ke 4 karena hemoptisis yang tidak teratasi
pada 6 kasus (54,5%) (tabel 11). Tabel 15. Distribusi Usia Pasien PPOK

Tabel 11. Distribusi Sebab Kematian pada Pasien Bronkiektasis Usia (tahun) n %

n % <18 – –
18–25 – –
Dengan infeksi 4 36,36 26–35 – –
Hemoptoe 6 54,54 36 – 45 – –
Cor pulmonale 1 9,10 46 – 55 3 27,27
Total 11 100 56 – 65 3 27,27
> 65 5 45,45
Umur penderita bronkiektasis terbanyak antara 26 – 35 Total 11 100
tahun (36,4% – 4 kasus) (tabel 12).
Tabel 12. Distribusi Umur pada Pasien Bronkiektasis Tabel 16. Distribusi Sebab Kematian Pasien PPOK
Usia (tahun) n % n %
< 18 – –
Gagal napas 9 81,82
18 – 25 1 9,10
Gaga] jantung 1 9,10
26 – 35 4 36,36
Gagal multiorgan 1 9,10
36 – 45 1 9,10
46 – 55 1 9,10 Total 11 100
56 – 65 1 9,10
> 65 3 27,27 kematian, disusul dengan tumor paru. Tuberkulosis merupakan
Total 11 100 penyebab kematian pertama pada laporan kali ini. Kanker paru
Sebab kematian yang terbanyak pada bronkiektasis adalah yang dirawat di RSUP Persahabatan umumnya datang pada
karena asfiksi (36,4% – 4 kasus), disusul dengan gagal napas stadium yang sudah lanjut sehingga meningkatkan penyebab
(27,3% – 3 kasus) (tabel 13). kematian.
Distribusi umur pasien yang meninggal tampaknya merata,
Tabel 13. Distribusi Sebab Kematian pada Bronkiektasis
41,71% diantaranya berusia di atas 56 tahun. Dalam proses akhir
n % penyebab kematian, gaga] napas merupakan penyebab utama,
disusul dengan stadium akhir keganasan dan asfiksia.
Asfiksia 4 36,36
Gaga] napas 3 27,27
Pola penyebab kematian pada laporan ini tentu dipengaruhi
Sepsis 2 18,18 oleh pola diagnosis dan keadaan penderita yang datang ke punt
Gagal jantung paru 1 9,10 rujukan di RSUP Persahabatan ini. Laporan ini telah membahas
Asid metob 1 9,10 berbagai aspek penyebab kematian pada penyakit paru, dan
Total 11 100 tampaknya perlu disusul dengan laporan-laporan selanjutnya
secara berkala.
Pada penyakit paru obstruksi kronis, kematian yang ter-
banyak tidak diketahui sebabnya sebanyak 4 kasus (36,4%) KEPUSTAKAAN
(tabel 14).
Usia pada penderita PPOK adalah terutama lebih dari 65 1. Hadiarto M. Pengembangan IPTEK Kedokteran Bidang Respirasi PJPT II.
tahun (45,45% – 5 kasus) (tabel 15). Jakarta, 1993; 1–5.
Gagal napas merupakan penyebab kematian utama pada 2. Hadiarto M. Penyakit Paru di Indonesia dan Penanggulangannya dalam
Pulmonologi Klinik. Ed. Faisal Yunus dkk Bagian Pulrnonologi FKUI.
penderita PPOK (9 kasus – 87,8%) (tabel 16). Jakarta, 1992; 3–8.
3. Ratna Budiarso dkk. Survei Kesehatan Rumah Tangga 1986. Badan Pene-
KESIMPULAN litian dan Pengembangan Kesehatan Pusat. Penclitian Ekologi Kesehatan.
Dari data yang dikumpulkan selama tahun 1991 di bagian Jakarta.
4. Tjandra YA. Situasi dan Dampak Penyakit Paru pada Pusat Kesehatan
Pulmonologi FKUUUPF Paru RSUP Persahabatan penyakit Masyarakat. Dalam: Pulmonologi Klinik. Ed. Faisal Yunus dkk. Jakarta,
infeksi masih menduduki urutan pertama sebagai penyebab 1992; 9–14.

13
Penggunaan Gliseril Guaiakolat
untuk Meningkatkan Cakupan BTA(+)
pada Tersangka Tuberkulosis Paru
Sudijo
Staf Dinas Kesehatan Kabupaten Lamongan, Jawa Timur

ABSTRAK
Penyakit tuberkulosis paru masih menjadi masalah di Indonesia karena prevalensi
BTA (+) masih tinggi (0,29%), penemuan penderita rendah (10%), cakupan pengobatan
rendah (16%). Penemuan BTA (+) masih dipakai sebagai kriteria diagnosis pasti pada
program pemberantasan tuberkulosis paru di lapangan. Salah satu kesulitan penemuan
BTA (+) adalah pada pengumpulan dahak yang berkualitas untuk bahan pemeriksaan
laboratorium.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mencoba memecahkan masalah tersebut dengan
pemberian gliseril guaiakolat (GG) pada tersangka TB paru. Studi ini dilakukan di
wilayah Puskesmas Babat dan Sekaran Kabupaten Lamongan dari April sampai Juni
1994.
Telah diperiksa 257 kasus yang dibagi menjadi dua kelompok, kelompok studi dan
kontrol, setiap kelompok diperiksa dua kali yaitu sebelum dan sesudah pemberian GG
atau plasebo. BTA (+) yang ditemukan sebelum dan sesudah pemberian GG adalah 19,2%
dan 46,4%, sebelum dan sesudah pemberian plasebo 23,9% dan 19%. Perubahan BTA (–
) menjadi BTA (+) pada kelompok studi 39,1%, kelompok kontrol 10,9%. Dengan uji
statistik dapat disimpulkan bahwa pemberian GG dapat meningkatkan penemuan BTA
(+) dalam dahak penderita (sangat bermakna P = 4,13E-09 dan P = 8,034E-06).

PENDAHULUAN 100000 dalam 1 ml dahak(5,6).


WHO memperkirakan 1700 juta penduduk dunia telah ter- Rendahnya penemuan BTA (+) di lapangan salah satu di-
infeksi TB paru dengan ditandai test tuberkulin (+); dari jumlah itu sebabkan karena dahak yang diperiksa kurang adekuat(7).
4 juta merupakan penderita baru dengan BTA (+), dan 4 juta BTA Penggunaan ekspektoran (gliseril guaiakolat) menyebabkan
(–) setiap tahunnya(1,2). Sedangkan di Indonesia diperkirakan pada dahak lebih mudah dikeluarkan, dahak berasal dari tempat ra-
akhir Pelita IV sekitar 714000 orang terserang TB paru; sekitar dang yang jumlah kumannya banyak, dahak lebih encer sehingga
440000 orang dengan BTA (+), dan 145000 orang di antaranya kuman tersebar merata(8). Dengan demikian kuman lebih mudah
adalah penderita baru(3). terambil saat membuat sediaan atau positive ratenya lebih tinggi
Kuman BTA akan terlihat bila jumlahnya sekitar 5000 – bila dibandingkan dengan cara biasa.

14
PATOGENESIS TB PARU yang meneliti 239 kasus dengan batuk kering dan produktif
TB paru terdiri dari primer dan post primer, TB paru menyimpulkan terjadi penurunan frekuensi dan intensitas batuk,
primer adalah infeksi yang menyerang pada orang yang belum sedang peningkatan volume dahak yang menonjol hanya pada
mempunyai kekebalan spesifik, sehingga tubuh melawan batuk yang produktif saja(8). Studi in vivo menunjukkan bahwa
dengan cara tidak spesifik. Pada fase ini kuman merangsang tidak terjadi perubahan volume namun ekspektorasi jadi lebih
tubuh membentuk sensitized cell yang khas sehingga uji PPD mudah(8).
(Purified Protein Derivative) akan positif. Di paru terdapat Dosis yang dianjurkan adalah 200 – 400 mg tiap 4 – 6 jam,
fokus primer dan pembesaran kelenjar getah bening hilus atau tidak boleh melebihi 2400 mg per hari. Efek obat telah tampak
regional yang disebut komplek primer. Pada infeksi primer ini pada 15 – 30 menit setelah pemberian per os. Efek samping biasa-
biasanya masih sulit ditemukan kuman dalam dahak. nya ringan dan jarang berupa skin rash, drowsiness, nausea,
TB paru post primer adalah TB paru yang mehyerang stomach pain, diare. Kontra indikasi absolut tidak ada namun
orang yang telah mendapatkan infeksi primer dan dalam tubuh harus hati-hati pada penderita ulkus peptikum, batuk darah,
orang tersebut sudah ada reaksi hipersensitif yang khas. Infeksi muntah darah serta penderita yang mendapat obat antikoagulan.
ini berasal dari reinfeksi dari luar atau reaktivasi dari infeksi se-
belumnya. Proses awal berupa satu atau lebih pnemonia lobuler BAHAN DAN CARA
yang disebut fokus dari Assman. Fokus ini dapat sembuh sendiri Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Babat dan
atau menjadi progresif (meluas), melunak, pengejuan, timbul Sekaran Kabupaten Lamongan pada bulan April – Juni 1994.
kavitas yang menahun dan mengadakan penyebaran ke beberapa Rancangan penelitian adalah eksperimental semu (quasi expe-
tempat. rimental) dengan jenis rancangan ulang non random (non ran-
Gejala penting TB paru post primer adalah : domized pretest-posttest control group design(12,13).
1) Batuk lebih dari 4 minggu, gejala ini paling dini dan paling Pencarian kasus dilakukan secara aktif dan pasif oleh pene-
sering dijumpai, biasanya ringan dan makin lama makin berat. liti, dokter puskesmas, paramedis pengelola program P2TB paru
2) Batuk darah atau bercak saja. kedua puskesmas tersebut. Pembuatan dan pemeriksaan kuman
3) Nyeri dada yang berkaitan dengan proses pleuritis di oleh tenaga laboratorium Puskesmas Babat (pendidikan analis
apikal. medis).
4) Sesak nafas yang berkaitan dengan retraksi, obstruksi, Dahak yang diambil adalah dahak semalam setelah atau
thrombosis, atau rusaknya parenkhim paru yang luas. sebelum diberi GG atau plasebo. Dosis obat 200 mg single dose
5) Wheezing yang berkaitan dengan penyempitan lumen endo- diminum malam sebelum tidur; pagi harinya dahak diambil
bronkhial. untuk.diperiksa. Kelompok studi adalah kasus di wilayah Pus-
6) Gejala umum yang tidak khas yaitu lemah badan, demam, kesmas Babat dan kelompok kontrol kasus di Puskesmas Se-
anoreksia, berat badan turun. karan.
WHO merekomendasikan gejala penting TB paru berturut- Populasi penelitian adalah kasus TB paru klinis yang ber-
turut adalah batuk lebih dari 4 minggu, batuk darah, nyeri dada, das3r gejala sesuai dengan rekomendasi WHO, umur di atas 15
dan demam(7). tahun, belum pernah mendapat obat antituberkulosis, tidak sedang
batuk darah dan muntah darah.
GLISERIL GUAIAKOLAT(8,9,10,11)
Ekspektoran adalah zat kimia yang mengubah jumlah dan
kekentalan cairan saluran pernafasan; merupakan zat yang HASIL
mendorong ekspektorasi atau meningkatkan buangan mukus Jumlah TB paru klinis yang dapat diperiksa sebanyak 257
dari saluran nafas. orang terdiri dari 136 orang kelompok studi dan 121 kelompok
Gliseril guaiakolat atau guaefenesin adalah ekspektoran kontrol, usia termuda 16 tahun, tertua 90 tahun, usia rata-rata 49,7
yang diintrodusir sekitar tahun 1948, pemakaiannya sangat luas tahun.
baik untuk campuran obat batuk maupun obat tersendiri. Food Kelompok studi pria 70 orang, wanita 66 orang; BTA (+)
and Drug Administration (FDA) mengklasifikasikan obat ini sebelum pemberian GG (pre GG) 26 orang (19,2%) dan setelah
sebagai kategori I yaitu obat yang secara umum aman dan pemberian GG (post GG) BTA (+) 63 orang (46,4%).
efektif. Kelompok kontrol pria 60 orang, wanita 61 orang; BTA (+)
Mekanisme kerjanya adalah meningkatkan keenceran dan sebelum pemberian plasebo (pre pia) 29 orang (23,9%) dan sete-
produksi cairan dari saluran nafas. Penulis lain menduga melalui lah diberi plasebo (post pia) BTA (+) 23 orang (19%) (Tabel 1).
efek emetik di vagal dan glandula sekretorik di saluran pernafas-
an. Lokasi aktivitas obat ini pada jaringan otot trakhea dan
bronkhial. PEMBAHASAN
Beberapa penulis melaporkan bahwa pemberian GG dapat Penelitian ini mendapatkan hasil pre GG 19,2%, post GG
meningkatkan dahak sampai 200% pada pasien yang tidak ada 46,4%, pre pla 23,9%, post pla 19% (tabel 1). BTA (+) di
respon dengan potasium karbonat dan sulfonat(8). Penelitian kelompok studi naik 27,2% antara sebelum dan sesudah pembe-
double blind dari 65 kasus menyimpulkan GG dapat mengurangi rian GG, sedang di kelompok kontrol terjadi penurunan sebesar
kekentalan dahak dan meningkatkan jumlahnya(11). Robinson 4,9% antara sebelum dan sesudah pemberi an plasebo. Dengan uji

15
Tabel 1. Hasil Penelitian BTA (+) Berdasarkan Jenis Kelamin Bulan Tabel 5. Hasil Penelitian BTA (+) Berdasarkan Gejala Penyakit April –
April – Juni 1994 Puskesmas Babat dan Sekaran Juni 1994 Puskesmas Babat dan Sekaran

Babat Sekaran Babat Sekaran


Pre GG Post GG Pre Pla Post Pla Gejala Pre GG Post GG Pre Pla Post Pla
% % % % Penderita BTA BTA BTA BTA
+ – + – + – + –
BTA+ BTA+ BTA+ BTA+
+ % + % + % + %
Laki-laki 13 57 9,6 33 37 24,3 13 47 10,7 9 51 7,4 Batuk 26 19,1 63 46,3 29 23,9 23 19
Perempuan 13 53 9,6 30 36 22,1 16 45 13,2 14 47 11,6 Nyeri dada 12 8,8 35 25,7 25 20,7 20 16,5
Jumlah 26 110 19,2 63 73 46,4 29 92 23,9 23 98 19 Batuk darah 11 8 35 26,5 18 14,9 15 12,4
Sesak nafas 20 14,7 44 32,4 17 14 19 15,7
Demam 4 2,9 6 4,4 19 15,7 18 14,9
Tabel 2. Hasil Penelitian BTA (+) Berdasarkan Umur Bulan April – Juni
Lain-lain 15 11 38 27,9 19 15,7 13 10,7
1994

Babat Sekaran Tabel 6. Hasil Penelitian Berdasarkan Perolehan BTA Sebelum dan Se
sudah Percobaan
Pre GG Post GG Pre Pla Post Pla
Umur
BTA BTA BTA BTA Pre Post Babat Sekaran

+ % + % + % + % – + 43 10
– – 66 82
–20 0 0 2 1,5 0 0 0 0 + – 6 16
–30 2 1,5 8 4,4 0 0 0 0 + + 21 13
–40 4 2,9 10 7,4 3 2,5 3 2,5
–50 9 6,6 14 10,3 11 9,1 9 7,4
–60 7 5,2 19 13,9 9 7,4 9 7,4 statistik pre 6G-post GG P = 0,0000, pre pla-post pla P = 0,3268,
60– 4 2,9 I2 8,8 6 5 2 1,7 pre GG-pre pla P=0,4273, post GG-post pla P=6,803E-06 maka
Jumlah 26 19,2 63 46,4 29 23,9 23 19 dapat disimpulkan bahwa pemberian GG dapat meningkatkan
BTA (+) yang diketemukan, dan tidak dipengaruhi oleh kondisi
Tabel 3. Hasil Penelitian BTA (+) Berdasarkan Pekerjaan April – Juni awal dari sampel penelitian(14,15).
1994 Puskesmas Babat dan Sekaran Peneliti lain membandingkan hasil BTA (+) dengan bebe-
rapa cara antara lain: Noor Rachman membandingkan hapusan
Babat Sekaran
langsung, biakan, flourescen mendapatkan hasil berturut-turut
Pre GG Post GG Pre Pla Post Pla 21,6%, 32,1%, 38,1%. Atasiati mendapatkan hasil (dikutip Noor
Pekerjaan
BTA BTA BTA BTA Rachman) hapusan langsung 9,3%, biakan 35,6%. Yosep mem-
peroleh hasil hapusan langsung 25%, flourescen 41%(16)
+ % + % + % + %
sedangkan Yan Hendrokusumo: hapusan langsung 28,7%,
Petani 8 5,9 28 20,6 23 19 22 18,2 homogenisasi 53% dan Gopixathan: hapusan langsung 18,36%,
Pedagang 4 2,9 12 8,8 2 1,7 0 0
Pegawai 5 3,8 7 5,2 0 0 0 0
konsentrasi 35,4%(17).
Buruh 3 2,2 7 5,2 2 1,7 0 0 Berdasarkan jenis kelamin, kedua kelompok tidak ada per-
Ibu R T 3 2,2 5 3,8 1 0,8 1 0,8 bedaan antara laki dan wanita. Hal ini sesuai dengan laporan
Lain-lain 3 2,2 5 3,8 1 0,8 0 0 Askandar (1982) di RS. dr. Sutomo Surabaya(18), Gunadi
Jumlah 26 19,2 63 46,4 29 23,9 23 19 (1982) di tempat yang sama, Faisal Yunus (1985–1990)(19).
Berbeda dengan Taufik (Bukit Tinggi)(20), Bachtiar (Jakarta)(21)
yang mendapatkan pria 2 kali lebih besar dari wanita.
Tabel 4. Hasil Penelitian BTA (+) Berdasarkan Lama Sakit Bulan April– Demikian pula laporan dari beberapa negara lain yaitu
Juni 1994 Puskesmas Babat dan Sekaran Singapura, Brunei, Philipina, Malaysia, Tanzania yang
melaporkan pria 1,5-2 kali dari wanita(1,22).
Babat Sekaran
Berdasarkan kelompok umur (tabel 2) BTA (+) yang ter-
Pre GG Post GG Pre Pla Post Pla tinggi adalah di kelompok usia 50–60 tahun (kelompok studi)
Lama Sakit
BTA BTA BTA BTA dan di kelompok kontrol pada usia 40–50 tahun. Makin tinggi
usia makin tinggi frekuensi BTA (+) dari kedua kelompok ter-
+ % + % + % + %
sebut. Hal ini sesuai dengan hasil Survei Kesehatan Rumah
- 3 bulan 4 2,9 8 5,9 6 4,9 5 4,1 Tangga 1980 (dikutip Kusnindar). Berbeda dengan yang di-
- 6 bulan 5 3,8 13 9,6 4 3,3 4 3,3 laporkan Taufik, usia terbanyak adalah 21–30 tahun, Faisal
- 1 tahun 5 3,8 12 8,8 2 1,7 2 1,7
> tahun 12 8,8 30 22,1 17 14 12 9,9 Yunus juga menemukan usia tertinggi 21–30 tahun, masing-
masing 21,01% dan 40,6%. Perbedaan ini mungkin disebabkan
Jumlah 26 19,2 63 46,4 29 23,9 23 19
karena perbedaan lokasi penelitian antara populasi di lapangan

16
dan di rumah sakit. UCAPAN TERIMA KASIH
Berdasarkan jenis pekerjaan (Tabel 3) petani frekuensinya Disampaikan kepada Prof: Sabdoadi dr., MPH., Priyono Saryabhakti dr.,
BTA (+) paling tinggi, dan terendah ibu rumah tangga. Hal ini MS., MPH. atas bimbingan, saran, dorongannya .celama penelitian dan pem-
karena mayoritas pekerjaan populasi adalah petani. Abdul Manaf buatan tulisan ini.
Kepada dokter Puskesmas Babat dan Sekaran beserta staf atas partisipasi
dalam evaluasi program pemberantasan TB paru melaporkan dan kerja samanya selama penelitian berlangsung.
BTA (+) berturut-turut adalah petani 47%, pegawai 28%, pe-
dagang 16,9%, ibu rumah tangga 1% (dikutip Kusnindar)(3). KEPUSTAKAAN
Taufik menemukan frekuensi BTA (+) pada petani 44,8%, pe-
dagang 16,9%, ibu rumah tangga 8,8%, pegawai 7,5%(20). 1. Aditama T. Tuberculosis situation in Indonesia, Singapura, Brunei Da-
Berdasarkan lamanya sakit (Tabel 4) dari kedua kelompok russalam, and the Philippines. Cermin Dunia Kedokt. 1990; 63: 3–7.
2. Aditama T. Pola gejala dan kecenderungan berobat penderita tuberkulosis
frekuensi BTA (+) tertinggi adalah bila lebih daii satu tahun; paru, Cermin Dunia Kedokt. 1990; 63: 17–9.
makin laifia sakit makin tinggi frekuensinya; demikian pula 3. Kusnindar. Masalah Penyakit Tuberkulosis dan Pemberantasannya di
makin tinggi peningkatan BTA (+) nya setelah diberi GG. Ke- Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. 1990; 63: 8–12.
adaan ini mungkin disebabkan karena makin lama sakit makin 4. Depkes RI. Pedoman Pemberantasan Tuberkulosis Paru, 1990.
5. Kabat, Rai, Hood, dkk. Tuberkulosis Pam, Lab. UPF Paru RS U. dr.
parah kerusakan paru, dan batuk lebih produktif sehingga lebih Sutomo Surabaya, tanpa tahun.
memberi respon dengan GG; pada kelompok kontrol keadaan 6. Depkes RI. Pedoman Pemeriksaan Kuman Tuberkulosis Pada Program
ini tidak didapatkan(8,11). Pemberantasan Tuberkulosis Paru, 1990.
Perubahan BTA (–) ke BTA (+) (tabel 6) pada kelompok 7. Dinkes TK I Jatim. Program Pemberantasan Penyakit TB Paru di Jatim
tahun 1990–1991. Beritā Epidemiol Jatim, Juli 1991.
studi sebanyak 43 orang dari 110 orang yang BTA (–) (39,1%), 8. Modell W. Drug of Choice. 1973, p: 431–432.
sedang kelompok kontrol 10 orang dari 92 orang yang BTA (–) 9. Farmakope Indonesia, 1979. Ed. 3, 272–273.
(10,9%) perbedaan sebesar 28,8% ini sangat bermakna (p = 10. Long WJ. The Essential Guide to Prescription Drug, 1993: 307–309.
8,034E-06). Ini berarti pemberian GG meningkatkan perubahan 11. Reynolds EJ. Martindale: The Extra Pharmacopeia. London: The Pharma-
ceutical Press Ed. XXIX, 1993: 910–911.
dari BTA (–) ke BTA (+) atau positive rate pemeriksaan dahak 12. Zainudin M. Metodologi Penelitian, 1988: 56–61.
meningkat. 13. Pratiknyo. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan.
Jakarta: CV Rajawali 1986: 78–87.
KESIMPULAN 14. Steel R, Tome H. Statistika Nonparametrik, Prinsip dan Prosedur Statis-
tika, Gramedia Pnstaka Utama Jakarta, Ed. II, 1991: 633–644.
Pemberian gliseril guaiakolat pada tersangka TB paru se- 15. Windu Purnomo. Analisa Data Kategorial. Kumpulan Makalah Penataran
belum pengambilan dahak untuk diperiksa, ternyata dapat Penelitian Unair, 1992: Ed. II.
meningkatkan cakupan BTA (+) karena positive ratenya 16. Noor Rachman. Kumpulan Simposium Penyakit Infeksi FK. UNAIR 1979.
meningkat. Makin lama sakit makin mudah dipengaruhi oleh 17. Hendrokusumo, Rai. Penemuan Hasil Tahan Asamdengan Metode Apusan
Dahak Homogenisasi-Konsentrasi dan Biakan Media Ogawa. Mai. Per-
obat ini sehingga BTA (+) yang ditemukan juga tinggi. himpunan Dokter Paru Indonesia 1992; 12 (2): 3–13.
Peningkatan BTA (+) terjadi pada semua golongan umur 18. Askandar dkk. Pengobatan dan Perawatan Penderita Diabetes Mellitus
namun yang menonjol pada umur di atas 40 tahun. dengan Tuberkulosis Paru, Naskah LengkapSimposiumTuberkulosis Paru
1982.
19. Yunus Faisal dkk. Aspek Diagnosadan Pengobatan pada Penderita TB
SARAN Paru yang Berobat Jalan di bagian Pulmonologi FKUI RS. Persahabatan,
Dianjurkan gliseril guaiakolat digunakan pada program Maj. PDPI 1992; 12 (2): 14–24.
pemberantasan penyakit TB paru di lapangan untuk membantu 20. Taufik. Naskah Lengkap Kongres Nasional Ke II IDPI Surabaya, 1980.
meningkatkan cakupan BTA (+), mengingat cakupan selama ini 21. Bachtiar. Tuberkulosis Miliaris di bagian Pulmonologi FKUI. Naskah
Lengkap Simposium TB dan Kesempatan Kerja FK UNAIR Surabaya
masih rendah dan obat ini cukup tersedia di Puskesmas. 1983.
Perlu penelitian lebih lanjut dosis yang optimal sehingga 22. Chum HJ. Eight Years Experience of The National Tuberculosis and
lebih berdaya guna dan berhasil guna. Leprosy Programe in Tanzania. Paper. World Conference of the Inter-
national Union Against Tuberculosis. Singapura, 1986.

PEMBERITAHUAN
Atas permintaan pengarangnya (DH), maka mohon agar artikel berjudul
'Infeksi Anaerob pada Alat Genital' yang diterbitkan di Cermin Dunia
Kedokteran 1994, no. 98, di halaman 24 – 27 dianggap tidak ada. Mohon
maklum dan maaf atas timbulnya masalah akibat penerbitan artikel terse-
but.
Redaksi
Nilai Diagnostik Uji PAP-TB
pada Tuberkulosis di Luar Paru
Dr. dr. Indro Handojo
Laboratorium Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
RSUD Dr. Sutomo, Surabaya

PENDAHULUAN Berpijak pada masalah-masalah tersebut di atas, para pakar


Walaupun paru merupakan predileksi utama penyakit tu- Ilmu Kedokteran Laboratorium berusaha untuk mencari suatu
berkulosis (TB), namun bukan merupakan satu-satunya tempat sarana diagnostik yang andal, praktis dan murah untuk penyakit
infeksi, sebab TB praktis dapat mengenai semua jaringan tubuh TB di luar paru. Pada tahun 1988 Handojo(6) melaporkan hasil
manusia(1,2,3). Oleh karena sifat kuman TB yang obligat aerob, yang baik dari penggunaan uji peroksidase-antiperoksidase (PAP-
maka tidak mengherankan bahwa prevalensi TB di luar paru TB) sebagai sarana diagnostik dan pemantauan hasil pengobat-
lebih rendah daripada TB paru. Menurut Starke), TB di luar paru an penyakit tuberkulosis paru. Keandalan dari tes ini pada pe-
merupakan 30% dan semua kasus TB pada anak, sedangkan pada nyakit TB di luar paru tentunya perlu diteliti lebih lanjut.
penderita dengan AIDS, TB di luar paru merupakan manifestasi Permasalahan tersebut mendorong pelaksanaan penelitian
TB yang tersering. ini dengan tujuan untuk menentukan nilai diagnostik dari uji
Walaupun secara umum prevalensi TB di luar paru tidak PAP-TB pada penyakit TB di luar paru.
setinggi TB paru, namun penyakit ini masih banyak menimbul-
kan permasalahan, baik dari segi diagnostik, pengobatan maupun BAHAN DAN CARA KERJA
dari segi pemantauan hasil pengobatannya, teristimewa di daerah- Penelitian laboratoris ini dilakukan terhadap sera yang ber-
daerah endemis TB. asal dari 48 penderita TB di luar paru dan 53 penderita bukan TB
Dan segi diagnostik, TB di luar paru dapat memberikan yang datang berobat di BP4 Malang, beberapa rumah sakit dan
masalah-masalah sebagai berikut : pusat kesehatan lain di Jawa Timur selama kurun waktu 1989
1) Pemeriksaan radiografis tak selalu .dapat dipakai sebagai sampai dengan tahun 1992.
penunjang diagnosis penyakit TB di luar paru, misalnya pada TB Diagnosis TB di luar paru ditegakkan atas dasar :
kelenjar, meningitis TB, peritonitis TB dan lain sebagainya. 1) Hasil pemeriksaan fisik mencurigakan adanya proses TB
2) Tidak semua jaringan di luar paru mempunyai hubungan di luar paru.
dengan dunia luar, sehingga sukar membuat diagnosis secara 2) Uji tuberkulin positif (≥ 10 mm).
mikrobiologis. 3) Pada pemeriksaan histopatologis jaringan yang dicurigai
Walaupun suatu organ tubuh mempunyai hubungan dengan ditemukan hasil TB, tuberkel yang mengalami pengejuan
dunia luar, seperti ginjal dan usus, namun hanya sedikit saja basil (caseated tubercle) atau tuberkel yang tidak mengalami pengeju-
TB (10–12%) yang dapat ditemukan secara mikroskopis, an (non-caseated tubercle) tetapi disertai uji kompleks imun
sedangkan pemeriksaan biakan membutuhkan waktu yang lama TB yang positif.
dan peralatan yang tidak murah(2,5,6). Pemeriksaan histopatologis Tolok ukur yang dipakai untuk menentukan penderita
merupakan pemeriksaan yang spesifik tetapi tidak begitu sen- bukan TB yaitu :
sitif, invasif dan juga tidak murah. 1) Pada pemeriksaan fisik dan x-foto paru tidak ditemukan
Permasalahan dalam pemantauan hasil pengobatan penya- tanda-tanda proses tuberkulosis.
kit, hampir sama dengan perma'salahan yang dihadapi oleh segi 2) Pada pemeriksaan histopatologis tidak ditemukan proses
diagnostiknya. TB atau yang mencurigakan adanya tuberkulosis di jaringan

18
yang dicurigai. Tabel 1. Hasil Uji PAP-TB dan Pemeriksaan Histopatologis pada 48
Penderita dengan TB di Luar Paru
Pada sera dari 101 penderita tersebut di atas dilakukan uji
PAP-TB dengan metode Handojo(6) yang secara singkat adalah Hasil Uji Laboratoris
sebagai berikut :
PAP-TB
Sebagai antigen dipakai polimer protein dan sitoplasma M. Diagnosis Klinis
Histopatologis N Positif Negatif
tuberculosis var. bovis BCG (Glaxo) yang dihancurkan secara
ultrasonis dan dipisahkan dari dinding selnya dengan cara ultra- n n
sentrifugasi. Polimerisasi dilakukan dengan metode Avrameas TB Kelenjar (N = 26) Caseated tubercle 18 18 0
Non-caseated tubercle 8 6 2
dan Ternynck~71. Sebagai perekat antigen dipakai suspensi 5% TB Tulang (N = 4) Caseated tubercle 3 3 0
kuning telur ayam cram 7 hari dalam larutan dapar fosfat salin Non-caseated tubercle 1 0 1
(PBS) dan sebagai reagensia dipakai histoset immunoperoxidase TB sendi Caseated tubercle 4 4 0
staining kit for IgG dari Cambridge Research Laboratory. Peritonitis TB (N = 4) Caseated tubercle 3 2 1
Non-caseated tubercle 1 0 1
Sepuluh mikroliter suspensi antigen polimer yang diencerkan Salphingitis TB Caseated tubercle 1 1 0
1 : 100 dalam PBS dan disonikasi selama 1 menit, diteteskan di Cervicitis TB Caseated tubercle 1 1 0
atas gelas objek yang telah diberi lapisan perekat antigen pada Ovaritis TB Caseated tubercle l 1 0
suatu area berbentuk lingkaran dengan diameter 1 cm dan dibuat Pleuritis TB Non-caseated tubercle 2 1 1
Otitis TB Caseated tubercle 1 1 0
dengan pengerat kaca. Setelah dikeringkan di udara dan difiksasi Laryngitis TB Caseated tubercle 1 1 0
dengan aseton (4°C selama 10 menit), ditambahkan 20 ul serum TB kulit & Jaringan Lunak Caseated tubercle 1 1 0
atau kontrol (pengenceran 1 : 10000) dan diinkubasikan dalam Tuberkuloma Otak Caseated tubercle 1 1 0
kotak lembab pada suhu 4°C selama semalam, kemudian dicuci
Jumlah 48 42 6
dengan larutan PBS (pH 7,4) selama 3 kali 3 menit. Untuk
memblokade peroksidase endogen, ditambahkan 1 tetes H2O2 Dari 48 penderita TB di luar paru yang termasuk dalam pe-
3% dan diinkubasikan selama 8 menit pada 37°C, lalu dicuci nelitian ini, 42 penderita (87,5%) menunjukkan basil uji PAP-TB
dengan PBS selama 5 tnenit. positif dan 6 penderita (12,5%) menunjukkan basil uji PAP-TB
Dalam tahap berikutnya, ditambahkan antibodi primer (rabbit negatif. Dari 6 penderita yang memberikan basil uji PAP-TB
antihuman IgG) dan diinkubasikan selama 10 menit pada 37°C yang negatif, 5 orang menunjukkan adanya non-caseated tu-
dalam kotak lembab. Setelah dicuci dengan PBS 3 kali 3 menit, bercle pada pemeriksaan histopatologisnya dan hasil pemeriksa-
ditambahkan serum domba normal (normal sheep serum) dan an uji kompleks imun TB yang positif. Di samping itu, dalam
diinkubasikan selama 8 menit pada 37°C untuk mencegah ter- pemantauan basil pengobatan, kelima penderita dengan non-
jadinya pengecatan latar belakang akibat pelekatan antibodi caseated tubercle tersebut di atas memberikan respons yang baik
penghubung pada celah-celah di antara antibodi primer atau dengan pengobatan anti-TB jangka pendek (6 bulan) dan bifasik
pada perekat antigen. Selanjutnya ditambahkan antibodi peng- dengan regimen pengobatan yang mengandung rifampisin,
hubung dan diinkubasikan selama 8 menit pada 37°C dalam sedangkan pengobatan non-spesifik selama 3 minggu yang di-
kotak lembab. Setelah dicuci dengan PBS selama 2 kali 5 menit, berikan sebelumnya, tidak memberikan kemajuan.
ditambahkan kompleks imuno-enzim peroksidase- Dengan demikian maka sensitivitas diagnostik dari uji PAP-
antiperoksidase (PAP) kelinci dan diinkubasikan selama 8 TB pada penderita TB di luar paru yang termasuk dalam peneliti-
menit pada 37°C dalam kotak lembab. Setelah direndam selama an ialah 87,5%.
2 kali 5 menit dalam PBS, ditambahkan substrat (H2O2 0,02% Di antara 53 penderita bukan TB yang termasuk dalam
dan aminoethylcarbozole) dan diinkubasikan pada 37°C selama penelitian ini, 48 penderita (90,6%) menunjukkan basil uji PAP-
7 menit. Setelah dicuci dengan larutan PBS, ditambahkan cat TB negatif. Hanya 5 penderita (9,4%) yang menunjukkan hasil
Mayer's hematoxylin selama 3 menit lalu dicuci dengan air. uji PAP-TB positif semu. Pada 4 penderita dengan limfadenitis
Selanjutnya sediaan dikeringkan di udara dan dilihat di non-spesifik (pada pemeriksaan histopatologis ditemukan sel-
bawah mikroskop cahaya (putih) dengan pembēsaran 10 kali sel radang tak spesifik), pengobatan non-spesifik yang diberikan
10. Uji PAP-TB dikatakan positif bila ada 3 atau lebih antigen selama 3 minggu, memberikan hasil yang baik.
polimer yang tercat merah. Dengan demikian spesifisitas diagnostik uji PAP-TB pada
Nilai diagnostik dari uji PAP-TP ditentukan dengan menilai TB di luan paru dalam penelitian ini ialah 90,6%.
validitas klinis uji PAP-TB yang diperoleh dalam penelitian ini Hasil uji PAP-TB pada 53 penderita bukan TB yang ter-
dan meliputi sensitivitas diagnostik, spesifisitas diagnostik, masuk dalam penelitian ini, diringkas dalam Tabel 2.
efisiensi diagnostik, nilai ramal positif diagnostik dan nilai ramal Dari data tersebut dapat ditentukan bahwa efisiensi diagnos-
negatif(8,9). tik uji PAP-TB pada TB di luar paru ialah 89,1%, nilai ramal
positif diagnostiknya 89,4% dan nilai ramal negatifnya 88,9%.
HASIL
Hasil dari uji PAP-TB pada 48 penderita dengan TB di luar PEMBAHASAN
paru yang termasuk dalam penelitian ini diringkas dalam tabel 1 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai diagnostik

19
Tabel 2. Hasil Uji PAP-TB pada 53 Penderita Bukan TB jenis penyakit yang diteliti juga lebih luas dibandingkan dengan
Hasil Uji PAP-TB
sampel yang dipakai dalam penelitian ini.
Perbedaan-perbedaan tersebutdi atas mungkin menjadi
Diagnosis Klinis Negatif Positif sebab perbedaan spesifisitas diagnostik yang ditemukan pada
n % n % kedua penelitian tersebut.
Limfadenitis tak spesifik 38 34 89,5 4 10,5 Berbeda dengan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini
Artritis rematoid (RF positif) 8 7 87,5 1 12,5 (sensitivitas 87,5%), Rahardja dan kawan-kawan(11), dengan
Lekemia (CML) 1 1 100,0 0 0 menggunakan antigen dan reagensia yang sama, mendapatkan
Karsinoma bronkogenik 4 4 100,0 0 0 sensitivitas uji PAP-TB pada 41 penderita limfadenitis TB di
Karsinoma payudara 1 1 100,0 0 0
Limfoma Maligna 2 2 100,0 0 0 leher yang lebih rendāh (85,4%). Walaupun Rahardja memakai
hasil pemeriksaan histopatologis sebagai standar emas dalam
Jumlah 53 48 90,6 5 9,4
penelitiannya, namun tidak dirinci dengan jelas jenis kelainan
Keterangan : histopatologis yang ditemukan dalam penelitiannya. Sayangnya
RF = faktor rematoid; CML = chronic meylocytic leukemia hanya dilaporkan sebagai histopatologis positif TB atau negatif
TB saja.
Perlu ditekankan di sini bahwa tidak setiap penderita dengan
(sensitivitas, spesifisitas, efisiensi, nilai ramal positif dan nilai TB kelenjar memiliki kelainan histopatologis yang spesifik.
ramal negatif) uji PAP-TB pada tuberkulosis di luar paru, walau- Salah satu jenis kelainan histopatologis yang tidak spesifik
pun tidak setinggi nilai diagnostiknya pada TB paru, menurut dalam hal ini adalah tuberkel yang tidak mengalami pengejuan
kriteria dari Handojo(6) masih tergolong tinggi (80–94%). Bila (non-caseated tubercle). Patogen yang lain, seperti jamur,
dibandingkan dengan hasil yang diperoleh Handojo(6) pada TB dapat juga memberikan kelainan semacam ini. Adanya non-
paru (98,3%), sensitivitas diagnostik uji PAP-TB dalam peneliti- caseated tubercle bersama-sama dengan hasil uji PAP-TB dan
an ini (87,5%) masih jauh lebih rendah. Hal ini dapat dimengerti kompleks imun TB yang negatif, menunjukkan bahwa
mengingat sifat dari hasil TB yang obligat aerob sehingga per- tuberkulosis bukan merupakan penyebab dari kelainan tersebut.
tumbuhan kuman ini di paru lebih baik daripada di organ lain Sebaliknya, bila hasil pemeriksaan histopatologis kelenjar yang
yang tekanan oksigennya tidak setinggi di paru. dicurigai negatif (tak ada kelainan yang spesifik), sedangkan
Dengan demikian, populasi hasil TB pada TB paru akan jauh uji PAP-TB positif, tak dapat menjamin bahwa penderita
lebih tinggi daripada populasinya pada TB di luar paru. Akibat- tersebut tidak menderita tuberkulosis di lain bagian tubuhnya
nya, rangsangan untuk pembentukan antibodi spesifik terhadap misalnya di paru (covert TB, hidden TB dan unusual
M. tuberculosis pada TB paru menjadi lebih kuat daripada TB di manifestation of pulmonary TB), atau di organ=brgan lain di
luar paru, sehingga sensitivitas diagnostik uji PAP-TB pada TB luar kelenjar yang dicurigai.
paru lebih tinggi daripada sensitivitasnya pada TB di luar paru. Uji tuberkulin yang negatif tidak dapat memastikan bahwa
Spesifisitas diagnostik dari uji PAP-TB pada penelitian ini, penderita tersebut tidak menderita TB, sebab kira-kira 10% dari
sedikit lebih rendah (90,6%) bila dibandingkan dengan hasil kasps TB memberi uji tuberkulin yang negatif(12,13). Walaupun
yang dilaporkan oleh Handojo (93–94%) dalam spesifisitas dari tes ini cukup tinggi, namun penggunaannya
penelitiannya(6,10). Seperti diketahui, spesifisitas dari suatu uji untuk mendeteksi TB di luar paru pada penderita-penderita de-
laboratoris dipengaruhi oleh jenis dan kemurnian antigen yang ngan lepra, khususnya lepra tipe lepromatus (L), tidak dianjur-
dipakai serta profil spesifisitas dari reagensia yang dipakai. kan. Hasil positif semu dapat dijumpai pada 33,3% dari kasus
Antigen polimer untuk uji PAP-TB yang dipakai dalam yang diperiksa(6).
penelitian ini hampir tidak berbeda dengan antigen polimer Interpretasi hasil uji PAP-TB pada penderita artritis rema-
yang dipakai Handojo(6) dalam penelitiannya pada TB paru. toid dengan faktor rematoid positif, perlu dilakukan dengan hati-
Perbedaannya hanya terletak pada batch pembuatannya saja, hati, sebab penyakit ini dapat memberikan hasil positif semu
sehingga diharapkan tidak memberikan perbedaan spesifisitas pada 12,5% dari kasus yang diperiksa (tabel 2).
yang bermakna. Di samping itu perlu diingatkan bahwa uji PAP-TB tidak
Reagensia yang dipakai oleh Handojo(6) dalam penelitian- dapat menentukan lokasi dari proses TB di luar paru. Hasil uji
nya pada TB paru memang sedikit berbeda dengan reagensia PAP-TB yang positif, hanya menunjukkan bahwa dalam tubuh
yang dipakai dalam penelitian ini. Bila dalam penelitian pada TB penderita terdapat proses TB yang aktif(14).
paru, Handojo memakai reagensia buatan Ortho Diagnostic Dari analisis data yang diperoleh dalam penelitian ini, dapat
Systems, maka dalam penelitian ini dipakai reagensia buatan ditarik kesimpulan bahwa uji PAP-TB merupakan sarana
Cambridge Research Laboratory. Walaupun demikian, diha- diagnostik yang andal untuk diagnosis TB di luar paru dengan
rapkan tidak terdapat perbedaan yang berarti dalam spesifisitas nilai diagnostik yang menurut kriteria Handojo(6) tergolong tinggi.
diagnostik yang didapatkan dalam kedua penelitian tersebut.
Hal lain yang mungkin menjadi sebab dari perbedaan ter- RINGKASAN
sebut ialah populasi dari sampel yang dipakai dalam kedua Suatu penelitian laboratoris untuk mengevaluasi nilai
penelitian tersebut. Dalam penelitian pada TB paru(6,10), jumlah diagnostik dari uji PAP-TB pada tuberkulosis (TB) di luar paru
sampel yang dipakai jauh lebih banyak (120–150 orang) dan telah dilakukan terhadap 48 penderita TB di luar paru dan 53

20
penderita bukan TB yang datang berobat di BP4 Malang, bebe- 4. Starke JR, Jacobs RF, Jereb J. Resurgence of tuberculosis in children. J.
Pediatr. 1992; 120: 839–55.
rapa rumah sakit dan pusat kesehatan yang lain di Jawa Timur 5. Handojo I, Adimasta MR, Handojo R A. Uji imunoperoksidase tak langsung
selama kurun waktu 1989 sampai 1992. dalam diagnosis penyakit tuberkulosis paru. Naskah lengkap Simposium
Konfirmasi diagnosis dari TB di luar paru dalam penelitian dan Lokakarya Penanggulangan Penyakit Tuberkulosis Paru secara Ter-
ini dilakukan dengan pemeriksaan histopatologis. padu melaiui Pendekatan Imunoepedemiologis, 1984.
6. Handojo I. Uji peroksidase-antiperoksidase (PAP) pada penyakit Tuber-
Pada sera dari 101 penderita tersebut di atas dilakukan uji kulosis Paru. Surabaya, Indonesia: Universitas Airlangga, 1988. 213 pp.
PAP-TB dengan metode dari Handojo. Sebagai batas atas titer Disertasi.
rujukan dipakai titer 1 : 5000. 7. Avrameas S, Ternynck T. Biologically active water insoluble protein poly-
Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, menunjukkan mer. I. Their use for isolation of antigens and antibodies. J Biol Chemistry
1976; 242: 1651–59.
bahwa untuk diagnosis TB di luar paru, uji PAP-TB memiliki 8. Galen RS. Application of the predictive value model in the analysis of test
sensitivitas diagnostik sebesar 87,5%, spesifisitas diagnostik effectiveness. Clin Laboratory Medicine 1982; 2: 685–93.
sebesar 90,6%, efisiensi diagnostik sebesar 89,1%, nilai ramal 9. Snider DE. The tuberculin skin test. Am Rev Resp Dis 1982; 125 (Koch
positif diagnostik sebesar 89,4% dan nilai ramal negatif sebesar centennial supplement): 108–18.
10. Handojo I. The clinical value of peroxidase-antiperoxidase (PAP-TB) test
88,9%. in the serodiagnosis of tuberculosis. South-East Asian J Trop Med and
Dari analisis data yang diperoleh dalam penelitian ini, dapat Publ Health 1993; In press.
ditarik kesimpulan bahwa uji PAP-TB merupakan sarana 11. Rahardja T, Reksoprawiro S, Marmowinoto RM. Limfadenitis
diagnostik yang andal untuk diagnosis TB di luar paru dengan tuberkulosis leher. Uji peroksidase-antiperoksidase tuberkulosis (PAP-TB)
dan pemeriksaan histopatologi sebagai sarana diagnostik. Surabaya,
nilai diagnostik yang menurut kriteria Handojo tergolong tinggi. Indonesia: Universitas Airlangga, 1992. 32 pp. Karya Akhir.
12. WHO Reg Off for South-East Asia. Tuberculosis control in Indonesia
1952–1965. Report on WHO Projects: SEARO 0003 and Indonesia 0050,
KEPUSTAKAAN 1968.
13. Handojo RA. Review hasil-hasil penelitian mengenai tuberkulosis paru.
1. Davies PDO. The pathogenesis of tuberculosis. Postgrad Doctor 1984; 4: Laporan kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
236–40. Dep. Kes. RI. Balai Pemberantasan Penyakit Pam-paru (BP4), Malang,
2. Toman K. Tuberculosis case finding and chemotherapy. Questions and 1978.
answers. Geneve: WHO, 1979. 14. Handojo I. Peranan uji peroksidase-antiperoksidase tuberkulosis (PAP-TB)
3. Koneman EW et al. Mycobacteria. In: Diagnostic Microbiology. Third ed. dalam diagnosis dan pemantauan hasil pengobatan tuberkulosis. Dexa
Philadelphia: JB Lippincott Co, 1988: 535–70. Media 1993; 5: 11–5.

Man's second childhood begins when a woman gets hold of him


(J.M. Barrie)
Perbandingan Hasil Uji ELISA-Mikro
pada Penderita Tuberkulosis
Biakan Positif dan Biakan Negatif
Anik Widijanti
Instalasi Patologi Klinik RSUD Dr Saiful Anwar/Fakultas Kedokteran Universitas Brawidjaja, Malang

ABSTRAK
Penelitian dilakukan pada 61 sera penderita tuberkulosis paru, 35 sera dengan biak-
an dahak positif dan 26 sera dengan biakan dahak negatif. Pada sera ditentukan kadar IgG
spesifiknya terhadap M. tuberculosis dengan cara Elisa mikro.
Hasil uji Elisa mikro yang diperoleh menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan ber-
makna antara kadar IgG spesifik pada penderita dengan biakan positif dan biakan negatif
(p > 0,05).

PENDAHULUAN serta akan meningkat lagi jika terjadi kekambuhan(1). Kadar IgG
Penyakit Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehat- spesifik terhadap M. tuberculosis dapat ditentukan dengan cara
an masyarakat di Indonesia(1). Berdasarkan program pemberan- Elisa Mikro. Sensitivitas dan presisi Elisa Mikro lebih buruk
tasan penyakit TB di Indonesia maka pengobatan ditentukan dibandingkan dengan Elisa Makro, tetapi Elisa Mikro lebih
dengan adanya kuman di dalam dahak(2). Hal tersebut berdasar sesuai untuk jumlah sampel besar (survei). dan harganya lebih
padapertimbangan bahwapemeriksaan dahak mikroskopik yang murah dari Elisa Makro(5). Dalam penelitian ini akan dibuktikan
positif lebih mempunyai arti epidemiologi dibandingkan dengan apakah ada perbedaan hasil Elisa Mikro antara biakan positif
biakan yang positif. Untuk mendapatkan hasil positif pada dan negatif.
pemeriksaan mikroskopik dibutuhkan 5000–10000 kuman per
ml dahak, sedangkan untuk biakan yang positif hanya dibutuh- MATERIAL DAN METODF,
kan 25–50 kuman per ml dahako). Pemeriksaan mikroskopik Sampel diambil dari 61 penderita TB Paru dengan kriteria :
yang positif belum tentu menemukan kuman hidup, tetapi biakan 1) BTA dahak (mikroskopik) yang positif (Ziehl Nielsen).
yang positif selalu disebabkan adanya kuman hidup, hanya 2) Kelainan radiologis yang relevan untuk TB Paru.
sayangnya pemeriksaan biakan selain membutuhkan waktu lama 3) Belum pernah mendapat pengobatan anti TB (wawancara
(1–2 bulan) juga relatif lebih mahal(4). cermat).
Penderita dengan kuman mati (biakan negatif) seharusnya 4) Keadaan umum baik, tidak menderita penyakit lain.
mempunyai kadar IgG spesifik yang berbeda bila dibandingkan 5) Tidak minum obat yang dapat menekan imunitas Immoral.
dengan penderita dengan kuman hidup (biakan positif). Pelaksanaan :
Kadar IgG spesifik terhadap M. tuberculosis sering mening- 1) Dilakukan pemeriksaan biakan dahak.
kat sesudah penderita TB mendapatkan pengobatan dan akan 2) Pemeriksaan kadar IgG dengan cara Elisa Mikro (menurut
normal kembali pada 2–3 bulan sesudah pengobatan dihentikan, Kardjito dkk)(5).

22
Ke dalam sumuran polistiren dimasukkan 0,2 ml antigen dilakukan perhitungan cut off sebagai berikut.
sitoplasmik dari Mycobacterium tuberculosis var bovis BCG a) Cut off 40,40% lebih tinggi : 0,279
(ultrasonicated) pengenceran 1 : 100 dan diinkubasikan dalam b) Cut off 40,40% lebih rendah : 0,119
kotak lembab pada 4°C selama semalam. Kemudian sumuran c) Cut off mean + 3 SD : 0,244
polistiren dicuci dengan larutan dapar fosfat salin-tween (PBS
tween) sebanyak 3 kali. Tabel 1. Hasil Elisa Mikro pada penderita TB Paru barn dengan cut off
=
Sesudah itu ditambahkan 0,2 ml serum (pengenceran 1 :
mean + 2 SD
500) dan diinkubasikan selama 2 jam pada suhu kamar, kemu-
dian dicuci seperti di atas. Biakan positif Biakan negatif
Berikutnya ditambahkan 0,2 ml konyugat (antihuman IgG Jumlah kasus 35 26
berlabel ensim peroksidase) dengan pengenceran 1 : 1000, di- Mean 0,46 0,371
inkubasikan semalam pada 4°C. Sesudah inkubasi sisanya di- SD (simpangan baku) 0,419 0,358
buang dan sumuran dicuci seperti di atas. Rentangan 0,035 – 1,625 0,035 – 1,36,
Cut off f 0,199 0,199
Selanjutnya dimasukkan 0,2 ml substrat (H202 0,03% dan Sensitifitas 57,14 % 65,38 %
ABTS), inkubasi 30 menit. Tambahkan 0,050 ml NaF 1 N
sebagai larutan penghenti reaksi. Pembacaan dilakukan pada Perbedaan tidak bermakna dengan p > 0,05
micro Elisa reader dengan panjang gelombang 420 nm(5). Dalam Tabel 2. Hasil sensitifitas Elisa Mikro dengan berbagai batas atas nilai
tiap seri pemeriksaan dipakai serum kontrol yang sama, yang rujukan (cut off)
juga berguna untuk menghitung CV antar seri (between run)
dan dalam 1 seri (intra run). Cut off Dahak positif Biakan positif Biakan negatif
value N=61 N=35 N=26
3) Penentuan batas atas nilai rujukan (cut off) pemeriksaan
dilakukan dengan memeriksa 34 perawat sehat, dan dipakai 0,119 81,97 % * 80,00 % * 84,61 % #
rumus : 0,199 60,65 % $ 57,14 % $ 65,38 % $
Cut off = Mean + 2 SD 0,279 52,45 % # 54,28 % # 50,00 % #
0,244 54,09 % # 54,28 % # 53,85 % #
Nilai cut off dipakai untuk menentukan apakah hasil Elisa
mikro positif atau negatif. Nilai absorbance test di atas nilai cut Keterangan
$ cut off = mean + 2 SD (lama)
off memberikan hasil positif, sebaliknya nilai absorbance di * perbedaan sensitifitas yang bennakna antara cut off baru dan lama (p <
bawah nilai cut off memberikan hasil tes negatif. 0,05) # perbedaan sensitifitas tidak bermakna antara batas atas nilai rujukan
4) Perhitungan CV (koefisien variasi) dari Elisa Mikrodengan baru dan lama (p > 0,05)

SD
rumus : = –––––
Mean PEMBAHASAN
Pada penderita TB yang sudah mendapat pengobatan,
Pengaruh CV terhadap sensitifitas (nilai diagnostik) pe-
kadar IgG spesifiknya akan meningkat dan mencapai
meriksaan ElisaMikro diperbandingkan pada kedua kelompok
puncaknya pada 3 bulan sesudah pengobatan dimulai,
biakan.
kemudian menurun secara perlahan dan mencapai kadar orang
5) Untuk membandingkan kadar IgG spesifik antara 2 kelom
normal pada 3 bulan sesudah pengobatan berakhir(1).
pok biakan positif dan negatif dipakai uji statistik Student t(6).
Pengobatan dapat juga menyebabkan perubahan pengeluaran
6) Penentuan sensitifitas pemeriksaan dengan rumus :
kuman hidup dalam dahak menjadi kuman mati (dahak
Jumlah penderita dengan Elisa Mikro positif mikroskopik positif tetapi biakan negatif).
= ––––––––––––––––––––––––––––––––––– Pada penelitian ini penderitanya adalah penderita baru,
Jumlah penderita Tb dalam penelitian
tetapi hanya dari wawancara yang cermat, sehingga sering ku-
7) Perbedaan sensitifitas (nilai diagnostik) uji Elisa Mikro dari rang representatif. Hal tersebut terbukti di sini yaitu dari 61
kedua kelompok biakan positif dan negatif dihitung dengan uji penderita dengan dahak mikroskopik yang positif hanya 35
statistik Mc Nemar(7). yang menunjukkan biakan positif. Dari kenyataan di atas maka
kadar IgG spesifik pada penderita dengan biakan positif
HASIL seharusnya berbeda dari penderita dengan biakan negatif
1) Pemeriksaan biakan : 35 positif, 26 negatif. (kuman mati), tetapi ternyata hasil penentuan kadar IgG
2) Pemeriksaan Elisa Mikro.pada 34 perawat sehat. spesifik dengan Elisa Mikro tidak menunjukkan perbedaan
Mean (nilai rata-rata) = 0,109 absorbance unit bermakna (p > 0,05). Ketidak sesuaian hasil penentuan kadar
Deviasi Standar (SD) 1 = 0,045 IgG spesifik pada Elisa Mikro mungkin disebabkan karena :
Cut-off pemeriksaan = 0,199 – detektabilitas ElisaMikro yang rendah
3) CV (koefisien variasi) between run = 40,40% – besarnya CV pada Elisa Mikro (between run = 40,40%)
within run = 13,02% – jumlah sampel kurang besar
4) Untuk mengetahui pengaruh besarnya CV pemeriksaan Pada Elisa Makro dengan detektabilitas dan sensitifitas yang
terhadap sensitifitas (nilai diagnostik) pada Elisa Mikro, maka lebih tinggi, kadar IgG spesifik pada kelompok biakan positif

23
lebih rendah dari pada kelompok biakan negatif (p < 0,05), CV antar seri pemeriksaan Elisa Mikro yang besar juga
padahal jumlah dan macam sampelnya sama(8).
mempengaruhi hasil sensitifitas (nilai diagnostik)nya. Perbeda- KEPUSTAKAAN
an sensitifitas ElisaMikro yang terjadi pada penggunaan cut-off
1. Handojo I. Uji Peroksidase-Antiperoksidase (PAP) pada Penyakit
(baru) hanya pada cut-off 40,40% lebih rendah dari cut-off (lama) Tuberkulosis Paru (Disertation) Surabaya, Indonesia : Universitas
mean + 2 SD (p < 0,05). Pengaruh CV antar seri terhadap Airlangga Surabaya, 1988. 213 p.
sensitifitas tes tidak terjadi pada Elisa Makro(8). 2. Dit Jen P3M Dep Kes RI. Rencana Induk Pemberantasan Penyakit Tu-
berkulosis Paru di Indonesia. Surabaya : Konggres PPTI ke III September
1984. 47–69.
3. Handojo RA. Review Hasil-hasil Penelitian mengenai Tuberkulosis Paru.
Laporan kepada Kepala Badan Penelitian & Pengembangan Kesehatan, Dep
Kes RI. Balai Pemberantasan Penyakit Paru-paru (BP4) Malang 1978.
4. Koneman EW et al. Color Atlas and Texbook of Diagnostic Microbiology.
3th ed. United States of America: JB Lippincott Co 1988: 535–72.
5. Anik W, Handoyo I. Nilai Diagnostik Uji Elisa Makro Pada Penyakit
KESIMPULAN Tuberkulosis Paru (Karya akhir di bagian Patologi Klinik FK) Surabaya,
Pada penentuan kadar IgG spesifik secara Elisa Mikro : Indonesia : Universitas Airlangga Surabaya, 1990.
1) Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kadar IgG 6. Sutrisno Hadi. Statistik, jilid 2. 9th ed. Yayasan Penerbitan Fakultas Psiko-
logi UGM Yogyakarta, 1987: 256–284.
spesifik pada penderita dengan biakan positif (kuman hidup) 7. Siegel S. Statistik Non Parametrik untuk llmu-ilmu Sosial. 2nd ed. Gramedia
maupun negatif (kuman mati) (p > 0,05). Jakarta Indonesia 1986: 77–81.
2) Pengaruh CV terhadap perubahan sensitifitas pemeriksaan 8. Anik W. Perbedaan hasil uji Elisa Makro pada penyakit Tuberkulosis Paru
(nilai diagnostik) hanya terjadi pada cut off 40,40% di bawah cut berdasar biakannya : Poster pada Kongres Nasional IAPI ke Juli 1990 di
Surabaya (Indonesia).
off mean + 2 SD.

24
Potensi Mikrobiologi
dan Efek Teratogenitas
Senyawa Hasil Oksidasi Rifampisina
Akmal
Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Andalas, Padang

ABSTRAK
Telah dilakukan pengujian potensi mikrobiologi dan efek teratogenitas senyawa hasil
oksidasi rifampisina dalam larutan air. Pengujian potensi mikrobiologi dilakukan dengan
metode difusi-agar menggunakan bakteri uji Bacillus subtilis ATCC 6633:. Efek terato-
genitas diuji terhadap mencit putih galur Swiss-Webster. Dari percobaan diperoleh se-
nyawa basil oksidasi rifampisina dengan potensi jauh lebih rendah daripada rifampisina
dan memperlihatkan sejumlah kelainan pada fetus mencit.

PENDAHULUAN riksaan dengan kromatografi lapis tipis, ternyata hasil degradasi


Penyakit tuberkulosis masih merupakan penyakit infeksi
yang banyak diderita oleh penduduk Indonesia, terutama yang
tinggal di pedesaan. Indonesia dengan iklim tropis dan udara
yang lembab sangat cocok bagi pertumbuhan dan perkembang-
biakan Mycobacterium tuberculosis.
Obat pilihan (drug of choice) yang direkomendasi oleh
Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization) untuk
penanggulangan penyakit tuberkulosis ini adalah antibiotika
rifampisina. Di pasaran tersedia dalam bentuk tablet salut kap-
sul dan sirop(1,2,3).
Dalam bentuk sediaan sirop, rifampisina dibuat berupa
suspensi dalam air yang didapat pada pH netral. Dalam bentuk
sediaan sirop, masalah yang timbul adalah mempertahankan
stabilitas rifampisina. Selama penyimpanannya rifampisina
cenderung mengalami degradasi (penguraian) melalui proses
oksidasi membentuk senyawa rifampisina kuinon(4,5). Dalam
pembuatan sediaan, proses oksidasi ini telah dicoba dihambat
dengan penambahan suatu antioksidan; akan tetapi dari peme-

25
ini masih tetap terbentuk yang biasanya ditandai dengan per-
ubahan warna sediaan sirop menjadi kehitaman(6,7).
Penguraian rifampisina dalam sediaan yang akan digunakan
dalam pengobatan pada manusia, dapat menurunkan potensinya
dan diduga hal ini merupakan salah satu penyebab timbulnya
masalah resistensi bakteri yang akhir-akhir ini banyak dilapor-
kan(8,9,10).
Apabila senyawa hasil degradasi merupakan zat yang tidak
berkhasiat, tidak menimbulkan efek toksik maka bila penurunan
potensi masih dalam batas-batas yang diperkenankan, obat itu
masih boleh digunakan dengan memperhatikan kadar yang
seoungguhnya. Akan tetapi apabila hasil degradasi merupakan
senyawa yang lebih toksik atau mempunyai efek buruk lainnya,
makapemakaian bahan obat yang sebahagian telah terurai sangat
berbahaya dan harus dicegah(10,11).
Efek toksik yang mungkin timbul dari senyawa hasil degra-
dasi ini antara lain efek teratogen (cacat pada janin) dan karsi-
nogen (kanker)(12,13) Toksisitas semacam ini pernah dilaporkan
pada pemakaian antibiotika golongan tetrasiklin yang telah
mengalami degradasi(10).

26
Mengingat besarnya jumlah penggunaan rifampisina di maserasi dengan larutan Bouin selama 2 minggu dan Alizarin
Indonesia maka sediaan rifampisina yang digunakan dalam pe- selama 3 hari untuk pengamatan bagian viseral dan skeletal(21–24).
layanan kesehatan harus terjamin mutunya, agar masyarakat ter- 8) Analisis Data
lindung dari bahaya yang ditimbulkan oleh obat bermutu rendah. Perhitungan potensi dilakukan menurut Pola Blok Rawu
Bertitik tolak dari kenyataan di atas, perlu dilakukan suatu pe- yang tertera pada Biometri Farmakope Indonesia (1979), se-
nelitian untuk mengetahui adanya penurunan potensi senyawa dangkan perhitungan teratogenitas dilakukan secara statistik
hasil degradasi rifampisina ini dalam larutan air dan efek toksis dengan metode Anova dan Uji Lanjut LSD(21,25).
yang dapat ditimbulkannya terhadap janin.
HASIL DAN PEMBAHASAN
METODE PENELITIAN Pada penyimpanan rifampisina dalam larutan air selama
1) Pemeriksaan Bahan Baku Rifampisina satu bulan pada temperatur kamar telah terbentuk senyawa
Pemeriksaan yang dilakukan meliputi : pemerian, titik leleh, hasil oksidasi rifampisina dalām jumlah yang memadai untuk
identitas, kemurnian, kadar dan potensi(14,15,16). dilakukan analisis selanjutnya. Secara fisik warna sediaan
2) Pemeriksaan Kepekaan Mikroba Uji berubah dari merah bata menjadi merah kehitaman dan dari
Meliputi penentuan Kadar Hambat Minimum dan penentu- deteksi dengan cara kromatografi lapis tipis telah terbentuk dua
an konsentrasi inokulum(17). noda dengan harga koefisien tambat (retention factor) yang
3) Penguraian Rifampisina dalam Larutan Air berbeda. Rifampisin mempunyai harga koefisien tambat
Dibuat sediaan berupa suspensi rifampisina dalam air dan sebesar 0,60 (warna noda merah-bata), sedangkan senyawa hasil
disimpan selama 1 bulan pada temperatur kamar (25°C)(2,7). oksidasinya sebesar 0,87 (warna noda hitam).
4) Pemisahan Senyawa Hasil Oksidasi Rifampisina Setelah dilakukan pemisahan senyawa hasil oksidasi ini
Pemisahan dilakukan menggunakan teknik ekstraksi cair- diperoleh serbuk hablur berwarna hitam, tidak berbau dengan
cair dan kromatografi lapis tipis preparatif. Sebagai pelarut titik leleh 180-181°C. Spektrum serapan UV-VIS dalam pelarut
pengekstraksi digunakan etil asetat dan sebagai pelarut pengem- metanol memberikan puncak serapan pada panjang gelombang:
bang digunakan campuran kloroform-metanol (15:85) (Akmal, 226,0: 328,5 dan 480,0 nm, sedangkan spektrum serapan infra-
1984). merah memberikan pita serapan pada bilangan gelombang:
5) Pemurnian Senyawa Hasil Oksidasi 3350, 2970, 2290, 1710, 1670, 1610, 1570, 1550, 1420, 1360,
Pemurnian dilakukan dengan cara rekristalisasi mengguna- 1310, 1250 dan 1080. Berdasarkan data yang diperoleh dan
kan kloroform. Atas hasil yang diperoleh dilakukan pemeriksaan dibandingkan dengan data pustaka, dapat dipastikan bahwa
spektrum serapan inframerah dan spektrum serapan ultraviolet- senyawa hasil oksidasi yang telah dipisahkan adalah
nya, kemudian dibandingkan dengan data spektrum pustaka(5). rifampisina kuinon (Gambar 1 dan 2).
6) Pemeriksaan Potensi Mikrobiologi Senyawa Hasil
Oksidasi
Pemeriksaan dilakukan dengan metode difusi-agar dalam
cawan petri menggunakan bakteri uji Bacillus subtilis ATCC
6633, sebagai pembanding digunakan baku pembanding biologi
nasional. Sebagai media perbenihan digunakan Nutrient Agar
(Difco). Perlakuan menggunakan tiga seri dosis berturut-turut :
3,75: 5,00 dan 6,67 ug/ml dengan susunan dosis 3:3(17,18,19).
Perhitungan potensi menurut pola blok rawu dilakukan
dengan bantuan komputer bahasa Basic(20).
7) Pemeriksaan Efek Teratogenitas Senyawa Hasil Oksi-
Gambar 1. Spektrum serapan uv-vis senyawa hasil oksidasi rifampisina
dasi Terhadap Mencit dalam pelarut metanol.
Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit albino
galur Swiss-Webster dengan metode in-vivo. Hewan percobaan
pada masa kritis kehamilan diberi suspensi senyawa hasil
degradasi rifampisina dengan dosis yang bervariasi. Penelitian
didahului dengan masa aklimatisasi untuk mengamati kesehatan
hewan percobaan, membiasakan hidup pada lingkungan per-
cobaan dan penentuan siklus estrus. Awal kehamilan ditentukan
bila ditemukan sumbat vagina atau sperma pada pemeriksaan
apusan vagina esok paginya. Sediaan diberikan pada masa kritis
kehamilan yaitu pada hari ke-enam sampai hari ke-limabelas
kehamilan. Fetus dikeluarkan dengan cara laparaktomi sehari
sebelum dilahirkan. Jumlah fetus dan kelainan yang terlihat Gambar 2. Spektrum serapan inframerah senyawa hasil oksidasi rifam
diamati secara morfologi. Fetus dari masing-masing induk di- pisina dalam tablet KBr.

27
Pada pengujian potensi mikrobiologi, diperoleh potensi dalam uterus juga lebih besar pada kelompok dosis 28 dan 56 mg/
senyawa hasil oksidasi tersebut sebesar 136,891U/mg. Potensi kgBB dibandingkan dengan kontrol. Pada kelompok kontrol
ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan potensi rifampisina dan kelompok dosis 14 mg/kgBB jumlah rata-rata kematian fetus
awal yaitu sebesar 950,55 IU/mg (Tabel 1). Penurunan aktivitas sama yaitu masing-masing satu ekor. Pada tabel 3 terlihat bentuk
hayati ini mungkin disebabkan transformasi rifampisina menjadi kelainan yang terjadi pada fetus mencit meliputi: mata terbuka,
rifampisina kuinon menyebabkan perubahan pada gugus aktif- kepala membesar, jari kaki dempet, cleft palate, tulang iga ber-
nya. Gugus aktif rifampisina meliputi inti naftohidrokuinon dan satu dan kurangnya jumlah telur. Namun semua bentuk kelainan
sepanjang jembatan ansa alifatiknya, sehingga dengan demikian tersebut terlihat tidak tergantung pada dosis yang diberikan.
dapat dipahami bahwa perubahan struktur hidrokuinon menjadi Terjadinya kelainan kepala membesar tidak bermakna diban-
kuinon akan menurunkan aktivitasnya. dingkan dengan kontrol. Mata terbuka hanya terdapat secara
Tabel 1. Hasil Pengukuran Diameter Hambatan Pertumbuhan Bacillus ekstrim pada dosis 56 mg/kgBB. Kelainan pada mata ini diduga
subtilis ATCC 6633 yang Disebabkan oleh Senyawa Hasil Oksi- berasal dari kelainan spontan pada spesies yang diuji (Manson,
dasi Rifampisina dan Pembanding Biologi 1982). Terjadinya cleft palate sangat bermakna pada dosis ter-
Diameter hambatan (mm/10) besar; diduga senyawa ini menghambat pembentukan palate
No. pada hari k,e-sebelas kehamilan (Manson, 1982). Terjadinya iga
u-1 u-2 u-3 s-1 s-2 s-3 bersatu (fused rib) dan jari berdempet (club foot) dapat dianggap
1 82 88 105 155 159 179 sebagai indikator kemungkinan potensi teratogenitas suatu
2 79 91 102 158 166 170 senyawa yang diuji(26).
3 84 89 101 152 161 172
4 78 93 103 156 164 178 Tabel 3. Data kelainan internal dan eksternal pada fetus mencit
5 78 92 105 155 165 175
6 80 90 104 154 164 172 Parameter Dosis 0 14 28 56 (mg/kgBB)
Jumlah fetus diamati 139 124 91 68
Keterangan : Mata terbuka 7 4 7 1
u : senyawa hasil okcidasi rifāmpisina Kepala membesar 1 0 0 1
s : pembanding biologi rifampisina Jari kaki dempet 0 1 1 0
ratio potensi 13,926 % terhadap pembanding Cleft palate 1 0 0 9
* Potensi = 136,86IU/mg Tulang iga bersatu 1 1 0 1
Tulang ekor kurang 0 0 1 0
Berdasarkan kenyataan di atas, penggunaan sediaan rifam-
pisina dalam bentuk sediaan cair yang telah mengandung hasil Senyawa hasil oksidasi rifampisin berpengaruh terhadap
oksidasinya perlu diwaspadai mengingat aktivitasnya yang su- berat badan induk; hal ini terlihat pada sidik ragam Anova pada
dah sangat rendah. Antibiotika dengan potensi yang rendah bila hari ke-sembilan dan hari ke-delapanbelas kehamilan (Tabel 4
tetap digunakan dalam pengobatan penyakit infeksi, akan meng- dan 5). Ini menunjukkan bahwa senyawa uji bersifat toksis
induksi terjadinya resistensi bakteri karena tidak tercapainya terhadap induk mencit tetapi masih di bawah ambang batas
potensi efektif yang disyaratkan. kefatalan yang dapat menyebabkan kematian. Adanya fluktuasi
Tabel 2. Data induk dan reproduksi mencit yang diberi senyawa hasil berat badan induk selama kehamilan juga merupakan salah satu
oksidasi rifampisin selama mesa organogenesis indikator potensi teratogenitas suatu senyawa uji(27,28).
Parameter Dosis 0 14 28 56 (mg/kgBB) Tabel 4. Sidik ragam berat badan induk pada hari ke-delapan
kehamilan
Jumlah induk hamil 10 10 10 10
Berat induk hamil : Sumber JK DB KT FH F (0,05)
– Pada hari ke-9 (grain) 22,18 21,11 21,25 20,25
– Pada hari ke-18 (gram) 42,83 40,78 40,81 39,97 Perlakuan 15,334 3 5,111 4,063 2,86
Rata-rata/induk : Galat 45,295 36 1,258
– Implantasi 13,9 12,4 9,1 6,8 Total 60,629 39
Resorpsi 1,0 1,4 0,7 1,1 Tabel 5. Sidik ragam anova berat induk pada hari kehamilan ke-
– Fetus mati 0,1 0,1 0,3 0,2 delapan
– Fetus hidup 12,8 10,9 8,1 5,5 belas
Sumber JK DB KT FH F (0,05)
Hasil pengujian efek teratogenitasnya terhadap mencit dapat
Perlakuan 26,383 3 8,768 3,420 2,86
dilihat pada Tabel 2. Dari tabel tersebut terlihat terjadinya Galat 92,304 36 2,564
penurunan jumlah rata-rata implantasi. Hal ini dapat disebabkan Total 118,607 39
oleh karena sifat menggagalkan pembentukan fetus dari senyawa
uji. Berkurangnya jumlah implantasi tersebut ditunjukkan oleh KESIMPULAN
terjadinya peningkatan resorpsi rata-rata pada setiap kelompok 1) Senyawa hasil oksidasi rifampisina mempunyai potensi
dosis dibandingkan dengan kontrol, kecuali pada kelompok mikrobiologi yang lebih rendah dibandingkan dengan rifampi-
dosis 28 mg/kgBB. Terlihat bahwa terjadinya resorpsi tidak ter- sina.
gantung pada dosis yang diberikan dan tidak bermakna secara 2) Senyawa hasil oksidasi rifampisina dapat menimbulkan se-
statistik pada taraf keberartian p=0.05. Rata-rata fetus yang mati jumlah kelainan pada fetus mencit (efek teratogen).

28
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian SPP/DPP, Universitas Andalas Padang, 1993.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada 12. Almandy A. Pemeriksaan Toksisitas/Teratogenitas Kayu Kasai, Cermin
Sejawat Drs. Almuhdy A, MSc, Apoteker, yang telah banyak membanlu Dunia Farmasi 1991; 11.
penelitian ini khususnya pengujian efek teratogenitas pada mencit. 13. Almandy A. Uji Abortifasien Kayu Mulu pada Mencit, Cermin Dunia
Farmasi 1992; 12.
KEPUSTAKAAN 14. Florey K et al. (Eds), Rifampicin In: Analytical Profile of Drug
Substances. New York: Academic Press, 1976: 470–505.
15. World Health Organization. International Pharmacopeia, Vo. 3, Geneva,
1. Akmal. Suatu Telaah Kesejajaran antara Kadar dan Potensi Rifampisina
1988.
dalam larutan Air pada Berbagai Kondisi Penyimpanan, Jurnal Andalas
16. World Health Organization. Analytical Report of Rifampicin Quinon,
No. 12, 1993.
Pharm. 1991; 55(12): 59–63.
2. Kim SJ. Bioavailability of Rifampicin Preparations, The Korean Tuber-
17. Arret B. Outline of Details for Microbiological Assays of antibiotics, J.
culosis Association, Seoul. hal. 11–12.
Pharm. Sci. 1 9 7 1 ; 60(1 I ): 1698–1694.
3. Goodman LS, Gilman AG. The Pharmaceutical Basis of Therapeutics, 7th.
18. Kavanagh FW. Microbiological Diffusion Assay, J. Pharm. Sci. 1974;
ed. New York: MacMillan Pub]. Co., 1985; 345–350.
66(9): 1459–1466.
4. Akmal. Potensi Mikrobiologi Beberapa Senyawa Hasil Degradasi Rifam-
19. Katz S, Katz SE. Microbiological Assay Antibiotic in Surface Water. J.
pisina dalam Larutan Air, Kumpulan Makalah Seminar Nasional Bio-
Assoc Off Anal Chem, 66(3): 635–39.
teknologi Industri. Bandung, 27–29 Januari 1993.
20. Akmal, Almandy A. Teknik Perhitungan Potensi Antibiotika menurut Pola
5. Akmal. Isolasi Senyawa Hasil Oksidasi Rifampisina dalam Sediaan Obat
Blok Rawu dengan Bantuan Komputer, Laporan Penelitian Fakultas MIPA
Cairdan Pengujian Aktivitas Mikrobiologinya, Majalah Farmasi Indonesia
Universitas Andalas Padang, 1993.
1993; 4:1.
21. Almandy A. Efek Antifertilitas dan Toksisitas Kayu Mulu, Medika 1992;
6. Asiatin et al. Effect of Ascorbic Acid, Aīfa'Tocopherol and Citric Acid as
34.
Antioksidant' of Rifampicin Potency in Suspension, Proc 12th. Asian
22. Almandy A. Potensi Teratogenitas Hyptis capitata Jacq pada Mencit,
Congress Pharmaceutical Sciences, FAPA, Denpasar, 1988; hal. 87.
Cermin Dunia Farmasi 1993; 17.
7. Uun Hidayat. Formulasi Suspensi RifampisinadanGambaran Ketersediaan
23 Almandy A. Potensi Antimakan dan Teratogenitas Tumbuhan Subang-
Hayatinya, Tesis PascaSarjana(S-2), Institut Teknologi Bandung, hat. 3–5.
subang, Jurnal Andalas 1993; 18.
8. Akmal. Telaah Kinetika Reaksi dan Kecepatan Laju Penguraian Rifam-
24. Wilson JG, Frazer FG. Handbook of Teratology, Plenum Press, New York,
pisina dalam Larutan Air pada Berbagai Kondisi Penyimpanan, Laporan
1978.hal. 49–72.
Penelitian Fakultas MIPA Universitas Andalas, 1992.
25. Akmal. Isolasi dan Pemeriksaan Aktifitas Hayati Senyawa 3-formil Ri-
9. Akmal, Hendri. Aktivitas Inhibitor Beta Laktamase Asam Klavulanat
fampisina dari Sediaan Sirop Rifampisina, Laporan Penelitian Fakultas
Terhadap E. colt yang Telah Resisten dengan Ampisilin. Cermin Dunia
MIPA Universitas Andalas, 1992.
Kedokt. 1993; 84.
26. Yasauda M. Significancy of Lumbar Ribs as Indicator in 'Fer: togenicity
10. Satiadarma K et al. Relevansi Pengujian Kimia dan Fisikokimia pada
Test, Teratology, 1992: 6–24.
Berhagai Antibiotika Dibandingkan dengan Cara Mikrobiologi, Laporan
27. Beck F. Model System in Teratology Research, Croo. Helm. Ltd. London,
Penelitian Institut Teknologi Bandung, 1981, hal. 3–4.
1984. p. 14–24
11. Akmal, Fauzia Rozani, Yovita Lisawaty, Zadiar, Hendri. Uji Keandalan
28. Habison RD. Teratogen In: Cassaret and Douls Toxicology. New York:
Beberapa Metode Kimia Untuk Penentuan Kadar Rifampisina, Laporan
MacMillan Publ.Co., 1980: 158–175.

If we take the time to think, more we wilt undoubtedly thank, more

29
Perkembangan Mutakhir Diagnosis
Tuberkulosis Paru
Dr. Tjandra Yoga Aditama, DTM&H
Bagian Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
RSUP Persahabatan, Jakarta

PENDAHULUAN derita baru per 100.000 penduduk pertahunnya. Tetapi, karena


WHO menyatakan bahwa sekitar 1700 juta orang - sepertiga jumlah penduduknya yang lebih banyak maka jumlah penderita
penduduk dunia - telah pernah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis baru tuberkulosis di benua Asia 3,7 kali lebih banyak daripada di
dalam hidupnya. Setiap tahunnya ada sekitar empat juta pende- Afrika(1,3).
rita baru tuberkulosis yang menular, ditambah dengan sejumlah Di Indonesia kini diperkirakan ada sejumlah sekitar 500.000
sama penderita baru tuberkulosis yang tidak menular. Artinya, orang setiap tahunnya yang menderita tuberkulosis paru dengan
setiap tahun di dunia ini akan ada sekitar 8 juta penderita BTA (+). Di pihak lain, menurut hasil survei kesehatan rumah
tuberkulosis yang baru, dan akan ada sekitar tiga juta orang yang tangga yang dikerjakan oleh Departemen Kesehatan di tahun
meninggal setiap tahunnya karena penyakit ini. Di tahun 1990 ini 1992 tuberkulosis ternyata merupakan penyebab kematian ke
tercatat ada lebih dari 45 juta kematian di dunia ini, sekitar 3 juta dua di Indonesia. Menurut survei kesehatan rumah tangga sebe-
di antaranya (7%) terjadi karena penyakit tuberkulosis. Selain lumnya yang dikerjakan di tahun 1986 tuberkulosis menduduki
itu, 25% dari seluruh kematian yang sebenarnya dapat dicegah peringkat ke empat dalam pola penyebab kematian di Indonesia.
(preventable death) juga disebabkan oleh tuberkulosis(1). Ancaman baru kini muncul berhubungan dengan datangnya
Di tahun 1990 yang lalu di kawasan Asia Tenggara telah virus HIV. WHO memperkirakan bahwa di tahun 1990 telah ada
muncul lebih dari 3,1 juta penderita baru tuberkulosis dan terjadi 300.000 penderita tuberkulosis baru yang juga terinfeksi virus
lebih dari satu juta kematian akibat penyakit ini. Sementara itu, HIV penyebab AIDS, angka ini merupakan 4% dari seluruh
di tahun 2000 kelak di seluruh dunia akan timbul lebih dari 10,2 penderita baru tuberkulosis di tahun itu. Sementara itu, di tahun
juta penderita baru tuberkulosis dengan 3,5 juta kematian. Pada 1000 akan muncul 1,4 juta penderita baru, dan angka ini meru-
tahun 2000 itu juga di kawasan Asia Tenggara akan ada lebih dari pakan 13% dari seluruh penderita baru tuberkulosis yang muncul
3,9 juta penderita baru tuberkulosis dan lebih dari 1,3 juta di tahun 2000. Artinya, selain jumlahnya bertambah, proporsi
kematian. Kalau dijumlahkan maka pada dekade 1990 – 1999 di infeksi HIV dan TB juga meningkat dari tahun ke tahun. Dalam
seluruh dunia akan muncul 88 juta penderita tuberkulosis dan 30 periode 1990 sampai 1999 akan muncul sekitar 8 juta penderita
juta orang akan meninggal akibat penyakit ini. Sementara itu, tuberkulosis yang juga terinfeksi virus HIV. Pada dekade ini akan
pada dekade yang sama di kawasan Asia Tenggara akan timbul teradi 2,9 juta kematian akibat tuberkulosis dan infeksi HIV ini,
lebih dari 35 juta penderita tuberkulosis yang baru dan akan sebagian besar terjadi di negara-negara berkembang. Di tahun
ditemui pula lebih dari 12 juta orang yang meninggal akibat 1990 yang lalu kematian akibat tuberkulosis dan infeksi HIV
penyakit ini(1,2,3). adalah sekitar 4,6% dari seluruh kematian akibat tuberkulosis,
Di Afrika setiap tahunnya muncul 165 orang penderita sementara di tahun 2000 kelak proporsi ini meningkat menjadi
tuberkulosis paru baru yang menular pada setiap 100.000 pen- 14,2% dari seluruh kematian akibat tuberkulosis. Di tahun 1993
duduknya, sementara di Asia angka itu adalah 110 orang pen- diperkirakan ada 5,1 juta manusia yang telah terinfeksi dengan

30
virus HIV dan kuman tuberkulosis sekaligus. Dan 5,1 juta yang serologis untuk mendeteksi antigen - antibodi terhadap kuman
telah terinfeksi kuman ini, 660.000 di antaranya berada di ka- serta pendekatan komponen untuk mendeteksi struktur kuman
wasan Asia Tenggara dan 3,7 juta di kawasan Sub Sahara itu sendiri.
Afrika(3,4). Sementara itu, deteksi respon tubuh terhadap masuknya
kuman biasanya dilakukan secara serologi untuk mendeteksi
ROBERT KOCH respon humoral, dan kadang-kadang dapat pula dideteksi
Riwayat diagnosis tuberkulosis dimulai dan penemuan basil respon selular yang terjadi(1,6,7).
tuberkulosis oleh Robert Koch di tahun 1882 yang lalu. Setelah
penemuan itu, mulailah dikembangkan berbagai teknik diagno- DETEKSI KUMAN
sis untuk penyakit ini. Sampai saat ini, prinsip penemuan basil Salah satu teknik yang paling populer adalah Polymerase
tahan asam tetap merupakan salah satu pilihan utama, walaupun Chain Reaction (PCR). Prinsip utama teknik ini adalah deteksi
dengan keterbatasan di sana-sini. Kini secara luas digunakan DNA kuman, setelah dilakukan amplifikasi dalam berbagai
teknik pewarnaan Ziehl Nielsen dan / atau Kinyoun Gabett untuk tahap sehingga deteksi dapat lebih mudah dilakukan. Salah satu
mendeteksi BTA menggunakan mikroskop biasa. WHO dan masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan
IUAT-LD (International Union Against Tuberculosis and Lung kontaminasi. Dalam pelaksanaannya tes ini masih hams di-
Diseases) telah beberapa kali membuat buku pedoman diagnosis lakukan di laboratorium yang baik, kendati di tahun 1988 yang
BTA ini. Laboratorium Mikobakteriologi RSUP Persahabatan / lalu para ahli tadinya menduga bahwa PCR dapat dipakai luas di
WHO Collaborating Center for Tuberculosis juga telah pernah lapangan, bahkan dikatakan under plam tree(1,3).
mengeluarkan buku serupa. Sementara itu, penemuan BTA Sementara itu, komponen struktur dinding kuman tu-
khususnya uniuk screening juga dapat dilakukan dengan berkulosis juga mungkin dideteksi dengan berbagai teknik tertentu
mikroskop fluorensens dengan pewarnaan auramin-rodamin. yang menggunakan gas khromatograf dan spektrometri. Deteksi
Untuk mendapatkan diagnosis pasti tuberkulotis tentu perlu antigen kuman juga dapat dilakukan, hanya saja memang diper-
dilakukan kultur. Media yang digunakan dapat berupa media lukan hōmogenisasi bahan secara baik terlebih dahulu(1,5).
Lowenstein Jensen, media Kudoh dan atau media Ogawa. De- Teknik lain yang juga sudah banyak dipakai adalah "BAC-
ngan berbagai teknik baku maka dapatlah dideteksi adanya My- TEC" (Becton Dickinson Diagnostic Instrument System). Dasar
cobacterium tuberculosis, dan juga Mycobacterium other than pemeriksaan ini adalah radiometrik. M. tuberculosis memeta-
tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan bolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang
beberapa cara, baik melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan kemudian akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini.
tes nikotinamid, tes niasin maupun pencampuran dengan cyano- BACTEC secara rutin dilakukan pada setiap penderita tuberkulosis
gen bromide serta melihat pigmen yang timbul(3,5). di beberapa negara tertentu, seperti di Singapura(1,5,8).
Di pihak lain, diagnosis tuberkulosis juga tentunya dapat Teknik lain yang kini sedang banyak diteliti dan dikem-
dibuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan gambaran rontgen, bangkan adalah RELP (restrictive fragment lenght polymor-
dengan berbagai kriteria dan keterbatasannya pula. Penemuan phism). Teknik RELP ini dikenal sebagai teknikfinger printing,
sinar X oleh Roentgen di tahun 1895 lah yang membuka atau identifikasi "sidik jari" dan kini dikembangkan secara luas(1,8).
kemungkinan penggunaannya dalam diagnosis tuberkulosis. Salah satu teknik lain yang juga sedang dikembangkan adalah
Sementara itu, sarana diagnostik lain adalah dengan tes tu- yang disebutLight producing mycobacteriophage. Pada teknik
berkulin. Tuberkulin sendiri mulanya sebenarnya diperkenal- ini dapat dilakukan tes resistensi/kekebalan; bila kuman yang
kan oleh Robert Koch di tahun 1890 untuk salah satu upaya terapi diperiksa ternyata kebal terhadap obat tertentu maka akan tam-
tuberkulosis, yang kemudian tentunya tidak membawa hasil. pak semacam cahaya yang dapat dideteksi, dan bila kuman masih
Konsep reaksi tuberkulin diperkenalkan Oeh von Pirquet di sensitif/peka terhadap obat maka cahaya itu tidak akan tam-
tahun 1906, dan PPD diperkenalkan oleh Siebartt di tahun 1931. pak(1,8).
Kini tes tuberkulin dipakai untuk mendeteksi adanya riwayat
infeksi tuberkulosis(1,3).
RESPON TUBUH
Upaya serodiagnpsis tuberkulosis telah dimulai sejak puluhan
PERKEMBANGAN KINI tahun yang lalu. Dalam perkembangan kini maka teknik ELISA
Salah satu masalah dalam diagnosis pasti tuberkulosis adalah merupakan salah satu tes serologi yang cukup baik yang dapat
lamanya waktu untuk kultur/pembiakan kuman tuberkulosis mendeteksi respon humoral berupa proses antigen-antibodi yang
secara konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain adalah
teknik barn yang dapat mengidentifikasi pasti kuman tuberkulosis kemungkinan bahwa antibodi dapat menetap dalam waktu lama
secara lebih cepat. dan cukup rumitnya pekerjaan laboratorium yang harus di-
Dasar pemeriksaan adalah mendeteksi kuman tuberkulosis lakukan. Penggunaan antigen merupakan salah satu perhatian
daniatau mendeteksi respon tubuh terhadap masuknya kuman utama, karena ketidak murnian antigen dapat menimbulkan
tersebut. Untuk mendeteksi kuman, dapat dilakukan pendekatan reaktifitas silang yang mengganggu diagnosis. Penggunaan anti-
secara molekuler khususnya untuk mendeteksi DNA, pendekatan bodi monoklonal ternyata dapat membantu. Kini antara lain

31
tengah dikembangkan antigen 38 kilo dalton dalam diagnosis narnya sebagian besar kasus ada di negara-negara berkembang.
tuberkulosis paru(1,6). Karena itu, sudah sepatutnyalah para ahli dari negara-negara
MYCODOT adalah salah satu tes lain yang mendeteksi berkembang seperti Indonesia melakukan berbagai penelitian
antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Tes ini untuk meningkatkan pengetahuan kita tentang tuberkulosis dan
menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang dire- memberikan sumbangsihnya dalam dunia ilmu pengetahuan
katkan pada suatu alat berbentuk seperti sisir plastik. Sisir plastik secara luas. Perkembangan ilmu pengetahuan di bidang ini
ini kemudian dicelupkan ke dalam serum penderita, dan bila di tentu akan membawa manfaat besar dalam penanggulangan tu-
dalam serum itu ada antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah berkulosis secara umumnya. Hanya dengan kerja sama semua
yang memadai, yang sesuai dengan aktifitas penyakit, maka akan pihak kita dapat mengharapkan agar tuberkulosis dapat segera
timbul perubahan warna pada sisir itu yang dapat dideteksi terbasmi dari bumi nusantara.
dengan mudah(1,7).
Tes Peroksidase Anti Peroksidase (PAP) adalah salah satu KEPUSTAKAAN
1. Tuberculosis - Back to the future. Ported, JD McAdam KPWJ (eds).
jenis tes lain, yang juga mendeteksi reaksi serologi yang terjadi. London : John Wiley & Sons Ltd. 1994; 79–95.
Sementara itu telah pula dilakukan upaya untuk mendeteksi 2. Nunn PP, Enarson DA. Tuberculosis from neglect to control. Trans. Roy.
respons selular tubuh manusia terhadap masuknya kuman tu- Soc. Trop. Med. Hyg. 1994; 88: 129–31.
berkulosis, seperti antara lain mendeteksi lymphocyte prolifera- 3. Crofton J, Horne N, Miller F (eds). Clinical Tuberculosis. London :
Macmillan Press Ltd., IUATLD, TALC 1992.
tive response, adenosine deaminase dan/atau lysozime(1,5). 4. Murray C. Styblo K, Rouillon A. Tuberculosis. In : Disease Control Priorities
in Developing Countries. New York : World Bank 1993; pp 223–35.
5. Enarson A, Rieder HL, Amadottir T. Tuberculosis Guide for Low Incomt:
PENUTUP Countries. Paris : IUATLD, 1994.
6. Bothamley GH, Rudd R, Festenstein F, Ivanyi J. Clinical value of the
Teknik-teknik baru dalam identifikasi kuman tuberkulosis measurement of Mycobacterium tuberculosis specific antibody in pulmonary
kini masih terus diteliti, dikembangkan dan jadi bahan kajian tuberculosis. Thorax 1992; 47: 270–5.
para ahli di berbagai negara. 7. Sada E, Aguilar D, Herera T. Detection of Lipoarabinomannan as a Diagnos-
Harus diakui bahwa penelitian-penelitian ini banyak di- tic test for Tuberculosis. J. Clin. Microbiol. 1992; 30: 2415–7.
8. Tjandra Yoga Aditama. Tuberkulosis. Jakarta : UI Press, 1994.
lakukan oleh para ahli di negara-negara maju, kendati sebe-

Lend only what you can afford to lose


Bronkhitis, Bronkhopneumoni dan
Bronkhiektasis di Lingkungan Keluarga
Penderita Tuberkulosis Paru
Kusnindar Atmosukarto
Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK

Melalui pemeriksaan foto Rontgen paru dari penderita tuberkulosis paru dan ke-
luarganya yang tinggal serumah (369 orang), didapatkan 16 orang (4,3%) menderita
bronkhitis, 4 orang (1,1%) menderita bronkhopneumonia dan 2 orang (0,5%) menderita
bronkhiektasis. Jumlah penderita seluruhnya 22 orang (6%); lebih tinggi dari prevalensi
penderita infeksi saluran nafas, bronkhitis dan asthma di Indonesia (2,8%) dalam tahun
1986. Prevalensi tuberkulosis paru dalam lingkungan penderita dan keluarganya yang
tinggal serumah (47,5%), jauh lebih tinggi dari prevalensi tuberkulosis paru dalam
masyarakat di Indonesia (0,42%).
Menurut uji Chi-kuadrat, ada hubungan yang bermakna antara banyaknya penderita
bronkhitis, bronkhopneumonia dan bronkhiektasis dengan luas jendela rumah tempat
tinggal penderita tuberkulosis paru pada taraf nyata p ~ 0,01.

PENDAHULUAN Pneumonia dapat disebabkan oleh bakteri, virus, benda


Hasil penelitian ini merupakan hasil samping dari suatu asing, jamur dan pneumonia hipostatik. Bronkhitis dan
penelitian mengenai pengaruh percahayaan dan perhawaan ter- bronkhiektasis disebabkan oleh pneumonia, tuberkulosis, pertu-
hadap penularan penyakit tuberkulosis paru dalam lingkungan sis, morbili, asthma atau oleh benda asing. Ketiga penyakit
keluarga penderita yang tinggal serumah(1). Bronkhitis, bronkho- tersebut cara penularannya melalui udara atau pernafasan(3,4).
pneumonia dan bronkhiektasis yang selanjutnya disebut infeksi
saluran pernafasan dan paru (ISP), adalah sebagian dari penyakit BAHAN DAN CARA PENELITIAN
ISP yang menjadi penyebab kematian paling besar di Indonesia.
Lokasi penelitian
Menurut Survai Kesehatan Rumah Tangga tahun 1982, diper-
Penelitian dilakukan di wilayah Puskesmas Sepatan,
kirakan kematian akibat infeksi saluran nafas sebesar 9,3% dari
Pabuaran Tumpeng, Sukasari dan Batuceper, Kabupaten Tange-
seluruh kematian, kematian oleh sebab tuberkulosis 8,4%, dan
rang Jawa Barat, tahun 1991.
oleh sebab bronkhitis, emphisema dan asthma sebesar 5,8%(2).
Mengingat masalah ISP menjadi masalah kesehatan ma-
syarakat yang paling besar, maka hasil penelitian mengenai ISP Besar dan cara pengambilan sampel
dalam lingkungan penderita tuberkulosis paru ini perlu dianalisis Sampel dipilih secara acak dari daftar penderita tuberkulosis
lebih lanjut hubungannya dengan faktor lingkungan pemukiman paru yang berobat di masing-masing puskesmas, berjumlah 65
khususnya terhadap percahayaan dan perhawaan. Hasil analisis orang penderita sebagai kasus indeks. Selanjutnya semua pende-
data dapat digunakan sebagai masukan dalam rencana program rita dan keluarga yang tinggal serumah dengan penderita indeks
pemberantasan ISP terutama dalam upaya pencegahan penyakit. menjalani pemeriksaan foto Rontgen paru (sebanyak 369 orang).

33
Pemeriksaan foto Rontgen paru dilakukan oleh dokter ahli paru Tabel 1. Banyaknya ISP menurut Luas Jendela Rumah Penderita Tu-
berkulosis Paru
dari Laboratorium Cimone Medica Tangerang, Jawa Barat .
Pengukuran cahaya dalam ruangan rumah dilakukan di tiga Foto Rontgen paru Jumlah
Luas jendela
titik di atas lantai ruangan, ialah di pinggir, pusat ruangan dan (dalam m2) BR (+) BRP (+) BRE (+) (+) (–) Total
satu titik di antara keduanya. Intensitas cahayaruangan ialah nilai
rata-rata dari intensitas cahaya di ketiga titik tersebut. Peng- 0,0 – 0,99 10 3 0 13 278 291
ukuran cahaya menggunakan alat Lux-meter. 1,0 – 1,99 2 0 1 3 29 32
2,0 – 2,99 3 1 1 5 23 28
Analisis data 3,0 & lebih 1 0 0 1 17 18
Analisis data secara statistik menggunakan uji Chi- Jumlah 16 4 2 22 347 369
kuadrat, dengan rumus asosiasi antara dua faktor dalam daftar
kontingensi B x K sebagai berikut(5) : Catatan : BR = bronkhitis; BRP = bronkhopneumonia; BRE = bronkhiektasis;
X2 = 15,12; X20,99(3) = 9,21
Daftar kontingensi B x K
Tabel 2. Banyaknya ISP menurut Luas Ventilasi Rumah Penderita Tu-
Faktor II (K taraf) berkulosis Paru
1 2 …… K Jumlah
Luas ventilasi Foto Rontgen paru Jumlah
Faktor I 1 O11 O12 …..O1k n10
(B taraf) 2 O21 O22 …..O2k n20 (dalam m2) BR (+) BRP (+) BRE (+) (+) (–) Total
– – – …….. –
B OB1 OB2 …..OBK nB0 0,0 – 0,99 9 3 1 13 166 179
1,0 –1,99 2 1 0 3 65 68
Jumlah no1 n02 ……n0K n 2,0 – 2,99 2 0 1 3 49 52
3,0 & lebih 3 0 0 3 67 70
Hipotesis H = kedua faktor bebas statistik.
Rumus : Eij = ( ni0 x noj ) / n Jumlah 16 4 2 22 347 369
Eij = frekuensi teoritik atau gejala yang diharapkan terjadi
ni0 = jumlah bads ke i Catatan : BR = bronkhitis; BRP = bronkhopneumonia; BRE = bronkhiektasis;
noj = jumlah bans ke j X2 = 1,18; X20,95(3) = 7,81
n = banyaknya sampel yang diobservasi/diamati.
Tabel 3. Banyaknya ISP menurut Intensitas Cahaya Ruang Tidur Pen-
derita Tuberkulosis Paru
Uji statistik Chi-kuadrat terhadap hipotesis tersebut di atas,
menggunakan rumus : Intensitas cahaya Foto Rontgen paru Jumlah
B K

∑ ∑(O
(dalam lux) BR (+) BRP (+) BRE (+) (+) (–) Total
X2 = ij − Eij ) / Eij
1= i i= j 0,0 – 19,9 9 3 0 12 257 263
2 2
Hipotesis H ditolak apabila X lebih besar dari X pada tanaf nyata p = 0,05 dan 20,0 – 39,9 4 0 1 5 52 57
derajat kebebasan dk = (B–1) (K–1). 40,0 & lebih 3 1 1 5 44 49

Untuk tabel yang terdiri dari dua baris dan dua kolom Jumlah 16 4 2 22 347 369
digunakan rumus : Catatan : BR = bronkhitis; BRP = bronkhopneumonia; BRE = bronkhiektasis;
X2 = n (Iad–bcI – 1/2 n)2 / (a+b) (a+c) (b+d) (c+d) X2 = 3,7; X20,95(3) = 7,81

HASIL Penderita ISP terbanyak juga didapatkan di rumah dengan


Dari 369 foto Rontgen paru yang diperiksa, dinyatakan intensitas cahaya di ruang tamu paling kecil (0–99 lux) sebanyak
positif menderita bronkhitis sebanyak 16 orang (4,3%), bronkho- 12 orang penderita; dalam rumah dengan intensitas cahaya ruang
pneumonia 4 orang (1,1%) dan bronkhiektasis 2 orang (0,5%), tamu lebih dari 300 lux didapatkan hanya 2 orang penderita
jumlah seluruhnya 6%. Menurut luas jendela rumah tempat (Tabel 4).
tinggal penderita tuberkulosis paru, penderita ISP didapatkan
Tabel 4. Banyaknya ISP menurut Intensitas Cahaya Ruang Tamu Rumah
paling banyak di rumah dengan luas jendela paling kecil (13 Penderita Tuberkulosis Pam
penderita) sedang pada rumah dengan luas jendela paling besar
Foto Rontgen paru Jumlah
hanya didapatkan satu penderita (Tabel 1). Intensitas cahaya
(dalam lux)
Menurut luas ventilasi rumah, penderita ISP paling banyak BR (+) BRP (+) BRE (+) (+) (–) Total
juga didapatkan di rumah dengan ventilasi paling kecil (0–0,99 0,0 – 99,9 7 4 0 11 190 201
m2) ialah 13 penderita, sedang pada rumah dengan ventilasi 100 – 299,9 5 0 0 5 64 69
300 & lebih 2 0 0 2 37 39
paling besar (lebih dari 3 m2) didapatkan 3 orang penderita
(Tabel 2). Jumlah 16 4 2 22 347 369
Penderita ISP paling banyak didapatkan pada rumah dengan
Catatan : BR = bronkhitis; BRP = bronkhopneumonia; BRE = bronkhiektasis;
intensitas cahaya paling rendah (0-19,9lux) sebanyak 11 orang; X2 = 15,12; X20,95(3) = 7,81
di rumah dengan intensitas cahaya paling tinggi (lebih dari 40
lux) didapatkan hanya 5 orang penderita (Tabel 3). Hubungan banyaknyapenderita ISP dengan kepadatan peng-

34
huni rumah atau luas lantai per orang, disajikan dalam tabel 5. (lebih dari 3 m2) hanya ditemukan 5 orang penderita, secara
Didapatkan 7 penderita dalam rumah dengan kepadatan penghuni statistik tidak terbukti berbeda bermakna karena X2 lebih kecil
kurang dari 8 m2 per orang dan 10 penderita dalam rumah dengan dari X20,95(3).
kepadatan penghuni lebih dari 8 m2 per orang. Demikian pula dari tabel 3 dan 4; kasus ISP cenderung
Tabel 5. Banyaknya Rumah Terdapat Penderita ISP menurut Kepadatan menggerombol di rumah dengan intensitas cahaya yang paling
Penghuni rendah, baik di kamar tidur penderita tuberkulosis paru maupun
di ruang tamu; namun secara statistik tidak ada perbedaan yang
Luas lantai per Terdapat ISP
Jumlah
bermakna.
orang (m=) Dari tabel 5 diketahui bahwa kasus ISP ditemukan di 7
(+) (–)
Kurang dari 8 m2 7 18 25
rumah dengan kepadatan penghuni kurang dari 8 m2/orang dan
Lcbih dari 8 m2 10 30 40 10 rumah dengan kepadatan lebih dari 8 m2/orang; X2 lebih kecil
dari X20,95(1) jadi kedua faktor tersebut tidak ada hubungan.
Jumlah 17 43 65

Keterangan :X2 = 0,00 ; X20.95(1) = 3,84 KESIMPULAN DAN SARAN


Prevalensi penderita ISP di lingkungan penderita tuberkulosis
PEMBAHASAN paru dan keluarganya sebesar 6%; lebih besar dari prevalensi
ISP dalam lingkungan penderita tuberkulosis dan keluarga- infeksi saluran nafas, bronkhitis dan asthma dalam masyarakat
nya yang tinggal serumah, sebanyak 22 orang (6%) dari 369 umum di Indonesia (2,8%). Demikian pula prevalensi tubeikulosis
orang yang diperiksa. Data ini lebih tinggi dibandingkan dengan paru di lingkungan keluanga penderita tuberkulosis paru jauh
prevalensi infeksi saluran nafas, bronkhitis dan asthma dari lebih besar dibandingkan dengan prevalensi tuberkulosis paru
penduduk Indonesia tahun 1986 sebesar 2,8%(6). Hal ini mungkin dalam masyanakat umum, yakni 47,6% berbanding dengan 0,42%
oleh terjadinya bronkhiektasis berasal dari tuberkulosis, perbe- (17 x lipat).
daan jenis responden dan perbedaan cara diagnosis penyakit. Upaya perbaikan sanitasi perumahan khususnya mengenai
Dalam SKRT tahun 1986 diagnosis penyakit dilakukan berdasar- percahayaan dan perhawaan sangat besan artinya untuk mengu-
kan keluhan-keluhan yang dirasakan responden. rangi penularan penyakit tuberkulosis dan ISP. Perlu pemugaran
Prevalensi tuberkulosis paru di lingkungan penderita dan rumah penderita tuberkulosis paru yang tidak memiliki jendela
keluarganya yang tinggal serumah (47,6%) jauh lebih tinggi dari dan lubang ventilasi serta kaman tidur penderita yang gelap
prevalensi tuberkulosis paru penduduk Indonesia pada umum- (intensitas cahaya 0 lux). Upaya ini perlu dilakukan secara
nya (0,42%). Hal ini jelas karena seorang penderita tuberkulosis swasembada, mengingat keterbatasan dana dari Pemerintah untuk
paru yang telah berobat ke Puskesmas, masih dapat menularkan program pemberantasan tuberkulosis dan ISP.
kepada 33,396 dari seluruh keluarga yang tinggal serumah(1).
Dari tabel 1 didapatkan bahwa ISP paling banyak ditemukan
dalam rumah dengan luas jendela paling kecil (0,0 – 0,99 m2) KEPUSTAKAAN
ialah sebanyak 13 penderita, sedang dalam rumah dengan luas
1. Kusnindar, Suharjo, Bambang Sukana. Pengaruh percahayaan dan perha-
jendela paling besar (lebih 3 m2) hanya ditemukan seorang waan terhadap penularan penyakit tuberkulosis paru, Cermin Dunia
penderita. Setelah dilakukan uji Chi-kuadrat dengan rumus Kedokt 1993; 84: 34–8.
asosiasi antar dua faktor, didapatkan X2 = 15,12; X2 lebih besar 2. Ratna L Budiarso. Laporan SKRT 1992. Badan Litbang Kesehatan, 1992.
dan X20,99(3), yang berarti ada hubungan bermakna antara banyak- 3. Abdoerachman dkk. Kumpulan kuliah ilmu kesehatan anak. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak, FKUI. Jakarta, 1968.
nya kasus ISPdengan luas jendelarumah tempat tinggal (p=0,01). 4. Hoepriech PD. Infectious Diseases. New York: Harper Row, 1972.
Dari label 2, meskipun kasus ISP banyak terjadi di rumah 5. Sujana. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito 1982.
dengan luas ventilasi paling kecil (0,0 – 0,99 m2) yakni sebanyak 6. L Ratna Budiarso, Zaenul Bakri, Siti Sapardiah Santoso. Data Statistik Survai
13 penderita, sedang pada rumah dengan ventilasi paling besar Kesehatan Rumah Tangga 1986. Badan Litbang Kesehatan. Jakarta, 1986.

Give some people an inch and they think, they are rulers
Penatalaksanaan Bronkhitis Khronik
Faisal Yunus
Bagian Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Unit Paru RSUP Persahabatan, Jakarta

PENDAHULUAN tiap hari selama paling kurang enam bulan dan jumlah dahak
Penyakit dan gangguan saluran napas masih merupakan minimal satu sendok the(3). Definisi yang banyak dipakai
masalah terbesar di Indonesia pada saat ini. Angka kesakitan dan adalah definisi dari American Thoracic Society, yaitu penyakit
kematian akibat penyakit saluran napas dan paru seperti infeksi dengan gangguan batuk kronik dengan dahak yang banyak terjadi
saluran napas akut, tuberkulosis asma dan bronkitis masih men- hampir tiap hari minimal tiga bulan dalam setahun selama dua
duduki peringkat tertinggi. Infeksi merupakan penyebab yang tahun berturut-turut(4). Produksi dahak yang berlebihan ini tidak
tersering(1). Kemajuan dalam bidang diagnostik dan pengobatan disebabkan oleh penyakit tuberkulosis atau bronkiektasis.
menyebabkan turunnya insidens penyakit saluran napas akibat Penyakit bronkitis kronik sering terdapat bersama-sama
infeksi. Di lain pihak kemajuan dalam bidang industri dan emfisema dan dikenal dengan nama bronkitis emfisema.
transportasi menimbulkan masalah baru dalam bidang kesehatan
yaitu polusi udara. Bertambahnya umur rata-rata penduduk, PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGIS PENYAKIT
banyaknya jumlah penduduk yang merokok serta adanya polusi Asap rokok, debu di tempat kerja dan polusi udara
udara meningkatkan jumlah penderita bronkitis kronik. merupakan bahan-bahan iritan dan oksidan yang menyebabkan
Bronkitis kronik termasuk kelompok penrakit paru obstruk- terjadinya bronkitis kronik. Dari semua ini asap rokok
tif kronik (PPOK). Di negara maju penyakit ini merupakan merupakan penyebab yang paling penting. Tidak semua orang
masalah kesehatan yang besar, karena bertambahnya jumlah yang terpapar zat ini menderita bronkitis kronik, hal ini
penderita dari tahun ke tahun. Pada tahun 1976 di Amerika dipengaruhi oleh status imunologik dan kepekaan yang bersifat
Serikat ditemukan 1,5 juta kasus baru, dan pada tahun 1977 familial(5). Hipereaktivitas bronkus memang ditemukan pada
kematian yang disebabkan oleh PPOK berjumlah 45.000 orang. sebagian penderita PPOK, dan persentasenya bervariasi(6,7). Di
Penyakit ini merupakan penyebab kematian urutan ke lima(2). RSUP Persahabatan ditemukan kekerapan hipereaktivitas
Penyakit paru obstruktif kronik ialah penyakit saluran napas bronkus yang tinggi pada penderita PPOK yaitu sebesar 76%(8).
yang bersifat ireversibel dan progresif. Bila penyakit telah ter- Di dalam asap rokok terdapat campuran zat yang
jadi, maka akan berlangsung seumur hidup dan memburuk dari berbentuk gas dan partikel. Setiap hembusan asap rokok
waktu ke waktu. Perburukan akan lebih cepat terjadi bila timbul mengandung 1014 radikal bebas yaitu radikal hidroksida (OH-).
fase-fase eksaserbasi akut. Usaha untuk menegakkan diagnosis Sebagian bebas radikal bebas ini akan sampai ke alveolus.
lebih dini, pencegahan eksaserbasi akut, serta penatalaksanaan Partikel ini merupakan oksidan yang dapat merusak pry;
yang baik akan bermanfaat memperlambat perjalanan penyakit kerusakan parenkim paru oleh oksidan ini terjadi karena(9,10) :
sehingga penderita dapat hidup lebih baik. 1) Kerusakan dinding alveolus
2) Modifikasi fungsi anti elastase pada saluran napas.
DEFINISI BRONKITIS KRONIK Antielastase seharusnya menghambat netrofil, oksidan me-
Penyakit ini mempunyai berbagai definisi tergantung dari nyebabkan fungsi ini terganggu sehingga timbul kerusakan
penulis yang mengemukakannya. Brinkman mendefinisikan jaringan interstitial alveolus.
penyakit ini sebagai suatu gangguan batuk berdahak yang terjadi Partikulat yang terdapat dalam asap rokok dan udara yang

36
terpolusi mempunyai dampak yang besar terhadap pembersihan 5) Keteraturan penderita berobat.
oleh sistem mukosilier. Sebagian besar partikulat tersebut meng-
endap di lapisan mukus yang melapisi mukosa bronkus,
PENATALAKSANAAN BRONKITIS KRONIK
sehingga mengharnbat aktivitas silia. Pergerakan cairan yang
Penatalaksanaan umum pada bronkitis kronik bertujuan
melapisi mukosa bronkus akan sangat berkurang,
memperbaiki kondisi tubuh penderita, mencegah perburukan
mengakibatkan meningkatnya iritasi pada epitel mukosa
penyakit, menghindari faktor risiko dan mengenali sifat penyakit
bronkus. Kelenjar mukosa dan sel goblet dirangsang untuk
secara lebih baik. Termasuk dalam penatalaksanaan umum ini
menghasilkan mukus yang lebih banyak, hal ini ditambah
adalah pendidikan buat penderita untuk mengenal penyakitnya
dengan gangguan aktivasi silia menyebabkan timbulnya batuk
lebih baik, menghindari polusi, menghentikan kebiasaan mero-
kronik dan ekspektorasi. Produksi mukus yang berlebihan
kok, menghindari infeksi saluran napas, hidup dalam lingkungan
memudahkan terjadinya infeksi dan memperlambat proses
yang lebih sehat, makanan cukup gizi dan mencukupi kebutuhan
penyembuhan. Keadaan ini merupakan suatu lingkaran dengan
cairan(16).
akibat terjadi hipersekresi(5). Di samping itu terjadi penebalan
Penatalaksanaan khusus dilakukan untuk mengatasi gejala
dinding saluran napas sehingga dapat timbul mucous plug yang
dan komplikasi. Tindakan ini berupa pemberian obat-obatan,
menyumbat jalan napas, tetapi sumbatan ini masih bersifat
terapi respirasi dan rehabilitasi.
reversibel(11,12).
Bronkodilator merupakan obat utama pada bronkitis kronik;
Bila iritasi dan oksidasi di saluran napas terus berlangsung
obat ini tidak saja diberikan pada keadaan eksaserbasi akut tetapi
maka terjadi erosi epitel serta pembentukan jaringan parut. Di
juga untuk memperbaiki obstruksi yang terjadi. Adanya respons
samping itu terjadi pula metaplasia skuamosa dan penebalan
sesudah pemberian bronkodilator merupakan petunjuk peng-
lapisan submukosa. Keadaan ini mengakibatkan stenosis dan
gunaan bronkodilator. Pemberian bronkodilator hendaklah se-
obstruksi saluran napas yang bersifat ireversibe1(11,12). Pada
lalu dicoba pada penderita bronkitis kronik. Obat yang diberikan
gambar 1 dapat dilihat skema patogenesis bronkitis kronik.
adalah golongan antikolinergik agonis beta-2 dan golongan
xanthin(16–18).
Golongan antikolinergik merupakan pilihan pertama, obat
ini diberikan secara inhalasi yaitu preparat ipratropium bromid.
Obat ini mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan go-
longan agonis beta-2, yaitu efek bronkodilatornya lebih besar,
tidak menimbulkan fenomena takifilaksis, tidak mempunyai
efek samping tremor dan palpitasi, tidak mempengaruhi sistem
pembersihan mukosilier, masa kerjanya cukup lama yaitu 6–8
jam dan theurapetic margin of safety nya cukup panjang oleh
karena obat ini tidak diabsorpsi(18–20).
Obat golongan agonis beta-2 yang diberikan secara oral bisa
menimbulkan efek samping tremor, palpitasi dan sakit kepala.
Pemberian obat secara inhalasi mengurangi efek samping ini,
selain itu dapat memobilisasi pengeluaran dahak. Obat ini be-
kerja dengan mengaktifkan adenilsiklase dengan akibat me-
Gambar 1. Skema Patogenesis Bronkitis Kronik(11). ningkatnya produksi siklik AMP dan menimbulkan relaksasi
otot polos saluran napas(16–18).
Pada orang dewasa normal dengan bertambahnya umur Golongan xanthin merupakan bronkodilator paling lemah,
akan terjadi penurunan faal paru, yaitu volume ekspirasi paksa bekerja dengan menghambat aksi enzim fosfodiesterase, yaitu
detik pertama (VEP1) sebanyak rata-rata 28 ml per tahun. Pada enzim yang menginaktifkan siklik AMP. Selain sebagai bronko-
penderita PPOK penurunan ini lebih besar yaitu antara 50–80 ml dilator, obat ini mempunyai efek yang kuat dan berlangsung lama
setiap tahun(13,14). Perburukan fungsi paru akan cepat terjadi bila dalam meningkatkan daya kontraksi otot diafragma dan daya
timbul fase-fase eksaserbasi akut. Berbagai faktor dapat mem- tahan terhadap kelelahan otot pada penderita PPOK(16–18,21).
perburuk perjalanan penyakit. Bronkodilator hendaklah diberikan dalam bentuic kombi-
Faktor itu adalah(15) : nasi, tiga macam obat lebih baik dari dua macam obat, oleh
1) Faktor risiko, yaitu faktor yang dapat menimbulkan serta karena mereka mempunyai efēk sinergis. Pemberian secara
memperburuk penyakit seperti merokok, polusi udara, polusi kombinasi memberikan efek yang optimal dengan dosis yang
lingkungan, infeksi dan perubahan cuaca. lebih rendah dibandingkan pemberian monoterapi; selain itu
2) Derajat obstruksi saluran napas yang terjadi dan identifikasi dosis yang rendah memberikan efek samping yang minimal(16–18).
komponen yang memungkinkan terdapatnya reversibilitas. Bila terjadi perubahan warna sputum dengan peningkatan
3) Tahap perjalanan penyakit. jumlah dahak dan pertambahan sesak napas, diberikan antibio-
4) Penyakit lain yang memudahkan timbulnya infeksi saluran tika. Pada keadaan demikian antibiotika diberikan walaupun
napas bawah seperti sinusitis dan faringitis kronik. tidak ada demam, leukositosis dan infiltrat yang baru pada foto

37
toraks(18). Diberikan antibiotika golongan ampisilin, eritromisin perjalanan penyakit adalah :
atau kotrimoksasol selama 7–10 hari. Bila pemberian antibiotika • Menghentikan kebiasaan merokok.
tidak memberi perbaikan perlu dilakukan pemeriksaan mikro- • Menghindari polusi udara dan kerja di tempat yang mem-
organisme. Bila infeksi terjadi selama perawatan di rumah sakit punyai risiko terjadinya iritasi saluran napas.
diberikan antibiotika untuk gram negatif(16–18). • Menghindari infeksi dan mengobati infeksi sedini mungkin
Pada keadaan dekompensasi kordis diberikan digitalis; pem- agar tidak terjadi eksaserbasi akut.
berian dilakukan secara hati-hati, oleh karena intoksikasi dapat • Menegakkan diagnosis secara dini agar kelainan paru yang
terjadi pada keadaan hipoksemi. Diuretik diberikan apabila ter- masih reversibel dapat dideteksi sehingga usaha-usaha untuk
dapat edema paru(16,17). menghindari penyakit berlanjut menjadi kelainan yang irever-
Pemberian kortikosteroid secara oral manfaatnya masih sibel dapat dilakukan.
diperdebatkan. Pada penderita dengan hipereaktivitas bronkus • Melakukan pengobatan dan kontrol secara teratur agar dapat
pemberian steroid secara inhalasi menunjukkan perbaikan gejala diberikan obat-obat yang tepat sehingga didapatkan keadaan
dan fungsi paru. Pemberian steroid inhalasi jangka lama mem- yang optimal.
perlambat progresivitas penyakitt22). Pada serangan akut pem- • Evaluasi faal paru secara berkala. Pemeriksaan faal paru
berian steroid jangka pendek mempunyai manfaat. Diberikan pada PPOK selain berguna sebagai penunjang diagnostik juga
prednison 60 mg selama 4–7 hari, kemudian diturunkan secara bermanfaat untuk melihat laju penyakit serta meramalkan
bertahap selama 7–10 hari. Pemberian dosis tinggi kurang dari 7 prognosis penderita(23).
hari dapat dihentikan tanpa menurunkan dosis secara, ber-
tahap(16–18). PERANAN N-ASETILSISTEIN PADA BRONKITIS
Pemberian oksigen pada penderita PPOK yang mengalami KRONIK
hipoksemi kronik dapat menghilangkan beberapa gejala akibat Oksidan yaitu zat yang terdapat pada asap rokok dan udara
hipoksemi. Pada eksaserbasi akut dengan hipoksemi sebagai yang terpolusi mempunyai andil untuk terjadinya bronkitis
gambaran yang karakteristik, pemberian oksigen merupakan kronik(9,10).
keharusan. Pada keadaan hipoksemi (PaQ2 < 55 mmHg) pem- Anti oksidan melindungi dan mempertahankan paru dari
berian oksigen konsentrasi rendah 1–3 liter/menit secara terus radikal-radikal anion superoksid, hidrogen peroksid, radikal
menerus memberikan perbaikan psikis, koordinasi otot, toleransi hidroksil dan anion hipohalida yang diproduksi oleh sel radang.
beban kerja dan pola tidur(4,16–18). Anti oksidan dapat mengubah oksidan menjadi molekul yang
Terdapatnya gangguan tidur, gelisah dan sakit kepala me- tidak berbahaya terhadap jaringan paru dan menekan efek radikal
rupakan petunjuk dibutuhkannya oksigen pada waktu malam. bebas dari asap rokok(9,24–26). N-asetilsistein merupakan suatu
Pada penderita hipoksemi dan retensi CO2, pemberian oksigen antioksidan, yaitu sumber glutation. Pemberian N-asetilsistein
konsentrasi tinggi dapat berbahaya, karena pada penderita ini pada perokok dapat mencegah kerusakan parenkim paru oleh
rangsangan terhadap pusat pernapasan yang terjadi tidak lagi efek oksidan yang terdapat dalam asap rokok. Di samping se-
disebabkan oleh peninggian CO2 di dalam darah tetapi karena bagai anti oksidan, obat ini bersifat mukolitik yaitu mengencer-
adanya hipoksemi. Pemberian oksigen tinggi dapat menghilang- kan sekret bronkus sehingga mudah dikeluarkan(9,10,24).
kan hipoksemi ini, sehingga rangsangan terhadap pusat napas Pemberian N-asetilsistein selama enam bulan pada pen-
menurun dan akibatnya terjadi hipoventilasi dan diikuti oleh derita bronkitis kronik memberikan perbaikan dalam hal jumlah
asidosis respiratorik(4,16,17). sputum, purulensi sputum, banyaknya eksaserbasi dan lamanya
Rehabilitasi meliputi tindakan fisioterapi, rehabilitasi psikis hari sakit secara bermakna(26–28).
dan rehabilitasi pekerjaan. Fisioterapi dilakukan untuk mobili-
sasi dahak, latihan bernapas menggunakan otot-otot dinding PENUTUP
perut sehingga didapatkan kerja napas yang efektif. Latihan Bronkitis kronik adalah penyakit obstruksi saluran napas
relaksasi berguna untuk menghilangkan rasa takut dan cemas dan yang ditandai dengan gejala batuk dan produksi sputum. Ber-
mengurangi kerja otot yang tidak perlu. Rehabilitasi psikis perlu bagai faktor dapat menimbulkan penyakit ini. Bahan-bahan
untuk menghilangkan rasa cemas dan takut. Pemakaian obat- oksidan dan iritan yang terdapat dalam asap rokok dan udara
obat penenang tidak dianjurkan karena dapat menekan pusat yang terpolusi merupakan faktor utama terjadinya bronkitis
napas. kronik.
Rehabilitasi pekerjaan dilakukan agar penderita dapat Pemberian bronkodilator merupakan pengobatan utama
melakukan pekerjaan sesuai dengan kemampuannya. Program untuk mengatasi obstruksi yang terjadi, obat golongan anti-
rehabilitasi bertujuan mengembalikan penderita pada tingkat kolinergik merupakan bronkodilator pilihan pertama. Pemberian
yang paling optimal secara fisik dan psikis. Tindakan ini secara obat secara kombinasi akan memberikan efek bronkodilatasi
subjektif bermanfaat buat penderita dan dapat mengurangi hari yang optimal dan efek samping yang minimal.
perawatan di rumah sakit serta biaya perawatan dan pengobatan; Antibiotika diberikan bila terdapat tanda-tanda infeksi. Obat-
tetapi tidak mempengaruhi fungsi paru dan analisis gas da- obat lain diberikan bila ada indikasi.
rah(4,16–18). Pemberian N-asetilsistein yang merupakan antioksidan
Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk memperlambat mempunyai manfaat mengurangi jumlah dan purulensi sputum,

38
lamanya sakit dan frekuensi eksaserbasi akut. Jusuf. FKUI, Jakarta 1989 : 33–44.
15. Hadiarto Mangunnegoro. Penatalaksanaan penyakit pare obstruktif me-
Usaha untuk menegakkan diagnosis secara dini, menghen- nahun. Hasil pengamatan selama 5 tahun di Bagian Pulmonologi FKUII
tikan kebiasaan merokok, menghindari infeksi dan lingkungan Unit Pam RS Persahabatan. Dalam: Penyakit Pam Obstruktif Menahun,
yang terpolusi, melakukan pengobatan dan kontrol secara teratur eds. Faisal Yunus, Anwar Jusuf. FKUI, Jakarta 1989 : 51–9.
dapat memperlambat laju penyakit. 16. Hodgkin HE. Comparative respiratory care program. In: Chronic Obstruc-
tive Pulmonary Disease. Park Ridge: The American College of Chest
Physician. 1979 : 34–101.
KEPUSTAKAAN
17. Miller WF, Geumel AM. Respiratory and Pharmacological therapy in
COPD. In: Chronic Obstructive Pulmonary Disease. ed. Petty TL. New
1. Survai Kesehatan Rumah Tangga. Badan Penelitian dan Pengembangan York: Marcel Dekker Inc, 1985 : 205–338.
Kesehatan. Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan Departemen Kesehatan. 18. Rebuck AS, Galko BM. Brochodilators in the treatment of bronchitis and
Jakarta, 1986 : 5–6. emphysema. In: Chronic Obstructive Pulmonary Disease. ed. Cherniack
2. Tockman MS, Khoury MY, Cohen HH. The epidemiology of COPD. In: NS. Philadelphia: WB Saunders No, 1991 : 487–89.
Chronic Obstructive Pulmonary Disease. ed. Petty TL. New York: Marcel 19. Manfaat obat antikolinerik pads pengobatan penyakit pare obstruktif
Dekker Inc, 1985 : 43–5. menahun. Dalam: Penyakit Paru Obstruktif Menahun. eds. Faisal Yunus,
3. Brinkman GL, Coaster EO. The prevalence of chronic bronchitis in an Anwar Jusuf. FKUI, Jakarta 1989 : 45–50.
industrial population. Am Rev Respir Dis 1962; 86: 47–54. 20. Gross NJ. Anticholinergic agents in the treatment of chronic bronchitis and
4. American Thoracic Society. Medical section of the American Lung Asso- emphysema. In: Chronic Obstructive Pulmonary Disease. ed. Cherniack
ciation. Standards for the diagnosis and care of patients with chronic NS. Philadelphia: WB Saunders Co, 1991 : 490–4.
obstructive pulmonary disease (COPD) and asthma. Am Rev Respir Dis 21. Murciano D, Auber M, Lecocquic Y, Parient R. Effect of theophylline on
1987; 136: 225–43. diaphragmatic strength and fatigue in patients with chronic obstructive
5. Cherniack RM, Cherniack L. Airway disease. In: Respiration in Health and pulmonary disease. N Engl J Med 1984; 311: 349–53.
Disease. Philadelphia: WB Saunders Co, 1983 : 269–98. 22. Dompeling E, Van Schayc CP, Molema J, Folgering H, Van Grunsven
6. Yan K, Salome M, Woolcock AJ. Prevalence and nature of bronchial PM, Van Wheel C. Inhaled beclomethasone improves the course of asthma
hyperresponsiveness in subjects with chronic obstructive pulmonary and COPD. Eur Respir J 1992; 5: 954–62.
disease. Am Rev Respir Dis 1985; 132: 25–9. 23. Faisal Yunus. Peranan pemeriksaan faal pare pada penyakit pare obstruk-
7. Ramsdale EH, Robert RS, Morris MM, Hargreave FE. Difference in tif. Dalam: Pulmonologi klinik. eds. Faisal Yunus, Menaldi Rasmin,
responsiveness to hyperventilation and metacholine in asthma and chronic Achmad Hudoyo, Achmad Mulawarman, Boedi Swidarmoko. Jakarta:
bronchitis. Thorax 1985; 40: 422–6. FKUI 1992: 167–75.
8. Faisal Yunus, Rahardjo Wirjo Kusumo, Hadiarto Mangunnegoro. Pola 24. Moldeus P, Berggren M, Grafstrom R. N–acetylcysteine protection against
hipereaktivitas bronkus pada penderita penyakit obstruksi saluran napas. the toxicity of cigarette smoke and cigarette smoke condensates in various
Paru 1989; 3 & 4 : 13–9. tissues and cells in vitro. Eur J Respir Dis 1985; 66 (suppl) 139: 123–9.
9. Cantin A, Crystal RG. Oxidants, Antioxidants and the pathogenesis of 25. Auroma OL, Halliwell B, Hoey BM, Butler J. The antioxidant action of N-
emphysema. Eur J Respir Dis 1985; 66: 7–12. acetylcysteine, its reaction with hydrogen peroxide, hydroxyl–radical,
10. Flenley DC. What should an ideal antioxidant do (and not do) ? Bull Eur superoxide and hypochlorous acid. J Free Radicals Bio Med 1989; 6: 593–
Physiopathol Respir 1987; 23: 279–85. 7.
11. Rodman T, Sterling HF. Pulmonary emphysema and related lung disease. 26. Multicenter Study Group. Long term oral acetylcysteine in chronic bron-
St Louis: CV Mosby Co 1969: 3–23, and 156–200. chitis. A double blind controlled study. Eur J Respir Dis 1980; 61 (suppl
12. Bates PV. Chronic bronchitis and emphysema. In: The Lung in Transition III) : 93–108.
between Health and Disease. Eds. Macklem PT, Permutt S. New York: 27. Boman G, Backer U, Larsson S, Melander B, Wachlander L. Oral
Marcel Dekker Inc, 1979: 1–3. acetylcysteine reduces exacerbation rates in chronic bronchitis : report of a
13. Tisi GM, The pulmonary function laboratory : A guide to diagnosis. In: vial organised by the Swedish Society for Pulmonary Diseases. Eur J
Pulmonary Physiology in Clinical Medicine. Baltimore: William & Respor DIs 1983; 64: 405–15.
Wilkins, 1980: 129–74. 28. British Thoracic Society Research Committee. Oral N–acetylcysteine and
14. Faisal Yunus. Peranan faal pare pada penyakit pare obstruktif menahun. exacerbation rates in patients with chronic bronchitis and severe airways
Dalam: Penyakit Pam Obstruktif Menahun. eds. Faisal Yunus, Anwar obstruction. Thorax 1985; 40: 832–5.

Old accountants never die they just lose their balance


Efusi Pleura Keganasan

Bambang Kisworo
Kepala Puskesmas Laclubar, Kabupaten Manatuto, Timor Timur

PENDAHULUAN nanganan efusi pleura keganasan.


Efusi pleura adalah penimbunan cairan di dalam rongga
pleura akibat transudasi atau eksudasi yang berlebihan dari per- PENYEBAB
mukaan pleura. Efusi pleura bukan merupakan suatu penyakit, Ada berbagai keganasan yang dapat menimbulkan efusi
akan tetapi merupakatrtanda suatu penyakit(1,2). Pada keadaan pleura, namun pada umumnya disebabkan oleh metastasis tumor
normal, rongga pleura hanya mengandung sedikit cairan se- ganas dari bagian tubuh yang lain; karena keganasan primer
banyak 10-20 ml yang membentuk lapisan tipis pada pleura pleura sendiri, yaitu mesotelioma pleura sangat jarang
parietalis dan viseralis, dengan fungsi utama sebagai pelicin ditemukan(1,7). Keganasan yang paling sering mengakibatkan
gesekan antara permukaan kedua pleura pada waktu pernafas- efusi pleura adalah karsinoma pare, baik berupa karsinoma
an(3.4). epidermoid, karsinoma sel kecil, adenokarsinoma, maupun karsi-
Penyakit-penyakit yang dapat menimbulkan efusi pleura noma sel besar. Jenis kanker paru yang paling banyak menimbul-
adalah tuberkulosis, infeksi paru non-tuberkulosis, keganasan, kan efusi pleura adalah adenokarsinoma, karena keganasan ini
sirosis hati, trauma tembus atau tumpul pada daerah Ada, infark biasanya terletak di daerah perifer paru(1). Tumor lain yang dapat
paru, serta gagal jantung kongestif(2,3,5). Di negana-negara menimbulkan komplikasi efusi pleura adalah keganasan payu-
barat, efusi pleura terutama disebabkan oleh gagal jantung dara, pankreas, uterus, ovarium, lambung, hati, prostat dan
kongestif, sirosis hati, keganasan, dan pneumonia bakteri, testis(1,2,7). Limfoma dan keganasan lain pada kelenjar limfe di
sementara di negara-negana yang sedang berkembang, seperti daerah hilus pare dan mediastinum juga dapat menyebabkan
Indonesia, lazim diakibatkan oleh infeksi tuberkulosis(2,4). efusi pleura(6).
Efusi pleura keganasan merupakan salah satu komplikasi Jenis kelamin dan letak efusi pleura dapat membantu dalam
yang biasa ditemukan pada penderita keganasan dan terutama memperkirakan lokasi tumor primer dengan ketepatan mencapai
disebabkan oleh kanker paru dan kanker payudara(1). Efusi 96%; efusi pleura keganasan akibat kanker paru, payudara, atau
pleura merupakan manifestasi klinik yang dapat dijumpai pada ovarium biasanya satu sisi (ipsilateral) dengan letak tumor primer
sekitan 50-60% penderita keganasan pleura primer atau me- dan efusi pleura bilateral akibat tumor pare primer lazim berkait-
tastatik(6). Sementana 95% kasus mesotelioma (keganasan pleura an dengan metastasis kanker hati atau kanker paru kontralateral(4).
primer) dapat disertai efusi pleura dan sekitar 50% penderita Kanker penyebab sering tidak jelas atau berukuran sede-
kanker payudara akhirnya akan mengalami efusi pleura(4). Efusi mikian kecil sehingga sukar ditemukan pada pemeriksaan. Pada
pleura keganasan memiliki dua sifat yang khas, yaitu cairan kasus lain (khususnya pada kanker payudana), efusi pleura timbul
pleura lazim berwarna merah (hemoragik) dan pada umumnya beberapa tahun setelah tumor primer diangkat; efusi pleura
cepat terbentuk kembali setelah diaspirasi(1,7). Oleh karena itu, keganasan semacam ini merupakan tanda akhir dari kehidupan
jumlah cairan pleura biasanya banyak, sehingga mengakibatkan penderita(7).
pendorongan mediastinum ke arah sisi yang sehat dengan segala
akibatnya(2). PATOGENESIS
Tulisan ini akan membahas masalah diagnosis dan pe- Cairan pelicin yang terdapat di dalam rongga pleura individu

40
normal dihasilkan oleh suatu anyaman pembuluh kapiler per- dari 100 ml tidak akan terlihat pada foto toraks yang dibuat
mukaan pleura parietalis dan diabsorpsi oleh kapiler dan pem- dengan teknik biasa. Bayangan homogen baru dapat terlihat jelas
buluh getah bening pleura viseralis dengan kecepatan yang se- apabila cairan efusi lebih dari 300 ml(3). Apabila cairan tidak
imbang dengan kecepatan pembentukannya. Oleh karena itu, tampak pada foto postero-anterior (PA), maka dapat dibuat foto
gangguan apapun yang menyangkut proses penyerapan dan pada posisi dekubitus lateral(1,2,3,7).
bertambahnya kecepatan proses pembentukan cairan ini akan
menimbulkan penimbunan cairan secara patologik di dalam Aspirasi Cairan Pleura
rongga pleura(3,7). Selain bermanfaat untuk memastikan diagnosis, aspirasi
Beberapa faktor yang berperanan dalam patogenesis efusi juga dapat dikerjakan dengan tujuan terapetik(2,3). Aspirasi cair-
pleura keganasan adalah(4): (1) infiltrasi sel-sel tumor secara an (torakosentesis) dapat dilakukan sebagai berikut: penderita
langsung pada pleura, (2) penyumbatan pembuluh getah bening dalam posisi duduk dengan kedua lengan merangkul atau dile-
atau vena, (3) penyumbatan bronkus disertai dengan atelektasis, takkan di atas bantal; jika tidak mungkin duduk, aspirasi dapat
(4) pneumonia pasca-obstruksi yang disertai dengan efusi para- dilakukan pada penderita dalam posisi tidur terlentang. Lokasi
pneumonik, dan (5) hipoproteinemia yang berat. penusukan jarum dapat didasarkan pada hasil foto toraks, atau di
Di samping itu, cairan asites keganasan juga dapat mengalir daerah sedikit medial dari ujung skapula, atau pada linea
secara langsung ke dalam rongga pleura melalui pembuluh getah aksilaris media di bawah batas suara sonor dan redup. Setelah
bening atau suatu lubang makroskopik pada diafragma(3,6). dilakukan anestesi secara memadai, dilakukan penusukan
dengan jarum berukuran besar, misalnya nomer 18. Kegagalan
DIAGNOSIS aspirasi biasanya disebabkan karena penusukan jarum
Teknik diagnosis efusi pleura keganasan pada dasarnya terlampau rendah sehingga mengenai diafragma atau terlalu
tidak berbeda dengan efusi pleura pada umumnya, dan dapat di- dalam sehingga mengenai jaringan paru, atau jarum tidak
tegakkan berdasarkan manifestasi klinik, gambaran radiologik mencapai rongga pleura oleh karena jaringan subkutis atau
dan aspirasi cairan pleura dilanjutkan dengan pemeriksaan ter- pleura parietalis tebal(2). Selanjutnya dilakukan pemeriksaan
hadap cairan yang diperoleh(1,2,3,6,7). makroskopik dan sitologik pada cairan yang diperoleh(1,6).

Manifestasi Klinik Pemeriksaan Cairan Pleura


Pada anamnesis lazim ditemukan keluhan nyeri dada dan Cairan efusi pleura keganasan pada umumnya merupakan
sesak. Rasa nyeri membuat penderita membatasi pergerakan suatu eksudat serta lazim bersifat hemoragik(1,3). Kadar protein
rongga dada dengan bernafas dangkal atau tidur miring ke sisi pada umumnya tinggi (lebih dari 3 g/dl), demikian juga kadar
yang sakit. Sesak nafas dapat ringan atau berat, tergantung LDH (di atas 200 UI). Kadar glukosa kurang dari 60 mg/dl,
pada proses pembentukan efusi, jumlah cairan efusi pleura, dan jumlah eosinofil meningkat, jumlah limfosit pada hitung jenis
kelainan yang mendasari timbulnya efusi. Selain itu, dapat di- leukosit 50% atau lebih, dan jumlah eritrosit lebih dari
jumpai keluhan yang berkaitan dengan keganasan penyebab 100.000/ ml(2,4).
efusi pleura(1,2,3). Sekitar 25% penderita efusi pleura keganasan Pemeriksaan sitologik cairan pleura memiliki arti yang amat
tidak mengalami keluhan apapun pada saat diagnosis ditegak- penting dalam menegakkan diagnosis efusi pleura keganasan.
kan(6). Pada se[iap penderita yang dicurigai mengidap efusi pleura
Pada pemeriksaan fisik, penderita dapat terlihat sesak nafas keganasan, pemeriksaan sitologik cairan pleura merupakan
dengan pernafasan yang dangkal, hemitoraks yang sakit lebih pemeriksaan yang harus dilakukan pertama kali(6). Ketepatan
cembung, ruang sela iga melebar, mendatar dan tertinggal pada diagnosis pemeriksaan ini mencapai 60% dari semua penderita
pernafasan. Fremitus suara melemah sampai menghilang, dan dan apabila dilakukan tiga kali, angka yang dicapai sekitar
pada perkusi terdengar suara redup sampai pekak di daerah efusi, 80–90%(4,6). Namun demikian, diagnosis mesotelioma sukar
tergantung jumlah cairan; untuk menimbulkan suara pekak pa- ditegakkan dengan pemeriksaan sitologik, meskipun
ling sedikit harus terdapat cairan sekitar 500 ml. Selain itu, dapat merupakan keganasan pleura primer, karena tumor ini memiliki
ditemukan tanda-tanda pendorongan jantung dan mediastinum gambaran histologik yang berbeda-beda. Pada tumor ini, perlu
ke arah sisi yang sehat. Pada auskultasi, suara pernafasan me- dilakukan torakotomi untuk menegakkan diagnosis pasti pada
lemah sampai menghilang pada daerah efusi pleura(1,2,3,6,7). hampir 65% penderita(6). Hasil pemeriksaan laboratorium yang
dapat mendukung diagnosis mesotelioma adalah tingginya
Gambaran Radiologik kadar asam mukopolisakarida sebagai asam. hialuronat di
Pemeriksaan radiologik mempunyai nilai yang tinggi dalam dalam cairan pleura(4).
menegakkan diagnosis efusi pleura, meskipun tidak berguna Biopsi pleura perlu dipikirkan setelah hasil pemeriksaan
dalam menentukan faktor penyebabnya(2,3). Pada foto toraks sitologik ternyata negatif. Diagnosis keganasan dapat ditegak-
terlihat perselubungan homogen dengan batas atas yang cekung kan dengan biopsi pleura tertutup pada 30–60% penderita. Bebe-
atau datar, dan sudut kostofrenikus yang tumpul; cairan dengan rapa penelitian menunjukkan bahwa biopsi yang dilakukan ber-
jumlah yang sedikit hanya akan memberikan gambaran berupa ulang (dua sampai empat kali) dapat meningkatkan diagnosis
penumpulan sudut kostofrenikus(1,7). Cairan berjumlah kurang sebesar 2–4%(4,6). Biopsi pleura dapat dilakukan dengan jarum

41
Van Silverman atau jarum Abrams(1). Jika pemeriksaan sitologik dijepit dengan klem dan luka kulit'dijahit serta dibebat dengan
dan biopsi dilakukan bersamaan pada satu penderita, angka kasa dan plester. Selanjutnya selang dihubungkan dengan botol
diagnosis yang dapat dicapai hampir 90%(4). Namun demikian, penampung cairan pleura. Ujung selang sebaiknya diletakkan
hasil pemeriksaan sitologik dan biopsi yang negatif tidak dapat di bawah permukaan air sedalam sekitar 2 cm, agar udara dari
mengesampingkan kemungkinan adanya keganasan(1,7). luar tidak dapat masuk ke dalam rongga pleura(2,8).
Perlu diingat bahwa tidak semua cairan pleura pada efusi WSD perlu diawasi setiap hari dan jika sudah tidak terlihat
pleura keganasan merupakan eksudat; metastasis sel-sel tumor undsulasi pada selang, maka cairan mungkin sudah habis dan
ke sistem getah bening subpleura akan menghambat pengaliran jaringan paru sudah mengembang. Untuk memastikan hal ini,
cairan dari rongga pleura, sehingga menimbulkan penimbunan dapat dilakukan pembuatan foto toraks(8). Selang toraks dapat
transudat di dalam rongga pleura(1,4). dicabut jika produksi cairan harian kurang dari 100 ml dan ja-
ringan paru telah mengembang, yang ditandai oleh terdengarnya
PENANGANAN kembali suara nafas dan terlihat pengembangan paru pada foto
Efusi pleura keganasan pada umumnya merupakan stadium toraks. Selang dicabut pada waktu ekspirasi maksimum(6,7).
lanjut dari suatu keganasan dan pengobatan terhadap keganasan
pada stadium ini biasanya tidak memberikan hasil yang baik. Pleurodesis
Oleh karena itu, penanganan efusi pleura keganasan hampir Tujuan utama tindakan ini adalah melekatkan pleura vise-
selalu bersifat paliatif dengan tujuan untuk mengurangi gejala- ralis dengan pleura parietalis, dengan jalan memasukkan suatu
gejala dan mencegah pembentukan cairan pleura(1,6). Pengobatan bahan kimia atau kuman ke dalam rongga pleura sehingga terjadi
terhadap kanker primer dapat diberikan apabila diketahui lokasi- keadaan pleuritis obliteratif(1,3,6,7). Pleurodesis merupakan pe-
nya serta terdapat pengobatan untuk tumor tersebut(1). nanganan terpilih pada efusi pleura keganasan(1,7).
Penanganan paliatif pada efusi pleura keganasan dapat be- Bahan kimia yang lazim digunakan adalah sitostatika, se-
rupa aspirasi cairan, pleurodesis, dan pembedahan(1,2,3,6,7). Tuju- perti tiotepa, bleomisin, nitrogen mustard, 5-fluorourasil,
an tindakan ini adalah mengurangi dan mencegah penimbunan adriamisin dan doksorubisin(1,3,6). Setelah cairan efusi dapat
kembali cairan pleura, menghindari komplikasi akibat efusi dikeluarkan sebanyak-banyaknya, obat sitostatika (misalnya,
pleura, dan mengembalikan fungsi normal pleura-paru(1,6). tiotepa 45 mg) diberikan dengan selang waktu 7–10 hari; pem-
berian obat tidak perlu disertai pemasangan WSD. Setelah 1–3
Aspirasi Cairan Pleura hari, jika berhasil, akan terjadi pleuritis obliteratif yang meng-
Cairan pleura dapat dikeluarkan dengan jalan aspirasi se- hilangkan rongga pleura, sehingga mencegah penimbunan kern-
cara berulang atau dengan pemasangan selang toraks yang di- ball cairan di dalam rongga tersebut(1).
hubungkan dengan Water Seal Drainage (WSD)(2,3,6,7,8): Obat lain yang murah dan mudah diperoleh adalah tetra-
Aspirasi cairan (torakosentesis) berulang merupakan tindak- siklin. Pada pemberian obat ini, WSD harus dipasang dan paru
an penanganan yang tidak berbeda dengan torakosentesis untuk sudah dalam keadaan mengembang. Tetrasiklin 500 mg di-
tujuan diagnostik. Cairan yang dikeluarkan pada setiap kali larutkan ke dalam 30–50 ml larutan garam faal, kemudian
pengambilan sebaiknya tidak lebih dari 1000 ml untuk mencegah dimasukkan ke dalam rongga pleura melalui selang toraks,
terjadinya edema paru akibat pengembangan paru secara men- ditambah dengan larutan garam faal 10–30 ml untuk membilas
dadak(6,8). Selain itu, pengeluaran cairan dalam jumlah besar selang serta 10 ml lidokain 2% untuk mengurangi rasa nyeri yang
secara tiba-tiba bisa menimbulkan refleks vagal, berupa batuk- ditimbulkan obat ini. Analgesik narkotik yang diberikan 1–1,5
batuk, bradikardi, aritmi yang berat, dan hipotensi(8). Penulis lain jam sebelum pemberian tetrasiklin juga berguna mengurangi
menganjurkan pengambilan tidak lebih dari 1500 ml dengan rasa nyeri tersebut. Selang toraks diklem selama sekitar 6 jam dan
selang waktu sekitar 20–30 menit(3). Namun demikian, peng- posisi penderita diubah-ubah agar penyebaran tetrasiklin
ambilan cairan sebanyak 3–4 liter pada penderita efusi pleura merata di seluruh bagian rongga pleura. Apabila dalam waktu 24–
berulang kadangkala tidak menimbulkan komplikasi apapun(6). 48 jam cairan tidak keluar lagi, selang toraks dapat dicabut(1,3).
Jika jumlah cairan cukup banyak, sebaiknya dipasang selang Prakhas (1986) melaporkan hasil pleurodesis yang memuas-
toraks dihubungkan dengan WSD, sehingga cairan dapat dikeluar- kan dengan bakteri Corynebacterium parvum, 5–10 mg di-
kan secara lambatmamun aman dan sempurna(2,4,6). Pemasangan larutkan dalam 20 ml larutan garam faal, atau preparat strepto-
WSD dapat dilakukan sebagai berikut: tempat untuk memasuk- kokus OK 432.
kan selang toraks biasanya di ruang sela iga 7, 8 atau 9 linea
aksilaris media atau ruang sela iga 2 atau 3 lineamedioklavikularis. Pembedahan
Setelah dibersihkan dan dianestesi, dilakukan sayatan tranversal Pleurektomi jarang dikerjakan pada efusi pleura keganasan,
selebarkurang lebih 2 cm sampai subkutis. Kemudian dibuat satu oleh karena efusi pleura keganasan pada umumnya merupakan
jahitan matras untuk mengikat selang. Jaringan subkutis dibebas- stadium lanjut dari suatu keganasan dan pembedahan menim-
kan secara tumpul dengan klem sampai mendapatkan pleura bulkan risiko yang besarm. Bentuk operasi yang lain adalah
parietalis. Selang dan trokar dimasukkan ke dalam rongga pleura ligasi duktus toraksikus dan pintas pleuroperitoneum. Kedua
dan kemudian trokar ditarik. Pancaran cairan diperlukan untuk pembedahan ini terutama dilakukan pada efusi pleura keganasan
memastikan posisi selang toraks. Setelah posisi benar, selang akibat limfoma atau keganasan lain pada kelenjar limfe hilus dan

42
mediastinum, di mana cairan pleura tetap terbentuk setelah KEPUSTAKAAN
dilakukan pleurodesis(3,6).
1. Suryanto E, Subroto H, Suradi, Siswarni. Penatalaksanaan Efusi Pleura
Ganas (Malignant Pleural Effusion), Paru 1985; 5 (3): 82–84.
PENUTUP 2. Lubis HNU. Penatalaksanaan Efusi Pleura pada Anak. Maj Kedokt Indon
Efusi pleura keganasan merupakan komplikasi yang banyak 1991; 41 (10): 622–626.
ditemukan pada keganasan pleura primer maupun metastatik, 3. Sugito dick. Efusi Pleura Masif. Cermin Dunia Kedokt (Edisi Khusus)
1992; 80: 95–97.
dan lazim terjadi pada stadium lanjut dari suatu keganasan. 4. Ward PO. Pleural Fluid Data. Postgrad. Med. 1982; 72: 281–303.
Tujuan pengobatan efusi pleura ini hampir selalu bersifat paliatif, 5. Jay SJ. Pleural Effusion: Preliminary Evaluations and Recognition of the
dengan cara pengeluaran cairan, pleurodesis, dan pembedahan. Transudate. Postgrad. Med. 1986; 80: 164–177.
Pleurodesis merupakan terapi pilihan untuk efusi pleura akibat 6. PrakashUBS. MalignantPleuralEffusions. Postgrad. Med. 1986; 80:201–208.
7. Kusnan B. Efusi Pleura. Seminar Penanggulangan Keadaan Darurat pada
keganasan. Paru dan Saluran Pemafasan. Surakarta, 8 November 1986.
8. Syaffiuddin T. Pemasangan Selang Toraks. Maj Dokter Keluarga 1992; 11
(10): 67–70.
Heat-Shock Protein

Dr. H. Zuljasri Albar


Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi, Jakarta

PENDAHULUAN radiasi UV, virus, radikal oksigen dan beberapa sitokin dapat me-
Sintesis protein pada semua sel akan terganggu oleh stres nimbulkan reaksi yang sama. Meningkatnya jumlah HSP tam-
lingkungan, misalnya hipertermia. Di lain pihak, sel yang meng- paknya berkaitan dengan hambatan sintesis protein normal.
alami stres juga memiliki mekanisme yang – sekalipun dalam Langkah-langkah dalam sintesis protein normal yang peka
kondisi sintesis protein normal mengalami hambatan total – terhadap hambatan oleh hipertermia atau stres lain ialah : proses-
memungkinkan mereka mensintesis sekelompok protein yang ing transkripsi RNA primer menjadi RNA ribosom (rRNA) dan
dikenal sebagai heat shock protein (HSP). Beberapa di antara mRNA oleh ribonukleoprotein kecil inti (snRNP), serta translasi
protein ini sekarang diketahui dapat memungkinkan pulihnya mRNA menjadi protein dalam poliribosom (Gambar 1).
prosesing RNA dan sintesis protein normal setelah pemaparan
terhadap hipertermia, dan dapat melindungi sel terhadap keru-
sakan lebih lanjut. Mereka juga memegang peranan penting da-
lam sintesis dan transpor protein pada sel normal, .an mungkin
juga dalam pengeluaran protein abnormal host (atau juga yang
berasal dari virus) dari sel.
Sintesis HSP ternyata juga dapat dipicu oleh pemaparan ter-
hadap stres lain. Sebaliknya terdapat sejumlah protein yang
dapat diinduksi oleh stres fisiko-kimia ini, tetapi tidak oleh
panas. Berdasarkan alasan ini, istilah stres protein akan dipakai
sebagai istilah umum untuk melukiskan HSP dan protein lain –
yang diinduksi oleh faktor fisiko-kimia – yang berkaitan.
Dalam tulisan ini HSP terutama dibicarakan dalam kaitan-
nya dengan penyakit reumatik/penyakit otoimun.

GAMBARAN UMUM
Tigapuluh tahun yang lalu Rittosa melukiskan adanya pem-
bengkakan khromosom dalam kelenjar ludah Drosophila (fruit
fly) sebagai respon terhadap hipertermia; 10 tahun setelah itu,
Tissiere cs. menunjukkan bahwa pembengkakan ini berkaitan
dengan hambatan sintesis protein normal dan adanya sintesis
sejenis protein yang diberi nama heat shock protein. Berturut- Gambar 1. Proses dasar translasi DNA menjadi protein. 3 rantai DNA
di-
turut setelah itu terbukti bahwa beraneka macam Ares, termasuk
transkripsi menjadi rRNA, RNA primer dan tRNA. Ke tiga
pemaparan terhadap alkohol, logam berat (misalnya garam emas), bentuk RNA ini berturut-turut ditranskripsi oleh RNA poli-
merase I, II dan III,

44
Kerentanan proses ini terhadap panas atau stres oksidatif Tabel 1. Penggolongan dan Fungsi HSP Utama
mungkin merupakan cerminan dari kepekaan enzim atau partikel Keluarga Anggota Fungsi Komentar
subseluler terhadap denaturasi. Kepekaan terhadap denaturasi
HSP-90 HSP-100, HSP-90 Pemeliharaan protein. Homolog HSP-90 pada
ini mungkin dapat menerangkan mengapa kebanyakan dari pro- Grp-94 Misalnya reseptor Drosofila dan ragi di-
tein inti atau anak inti merupakan sasaran respon otoimun pada steroid dalam bentuk kenal sebagai HSP-83
penyakit reumatik. inaktif sampai digan-
HSP terdiri atas beberapa keluarga molekul dan merupakan tikan oleh agen yang
sesuai.
protein yang paling berhasil bertahan selama proses evolusi. HSP-70 Grp-78 (Hip), Pelipatan dan pembu- Hsx-70 hanya pada
Banyak yang diekspresikan pada sel mamalia dalam keadaan HSP-70, Hsc-70 kaan protein, pema- primata
basal. Sebagian hanya muncul jika ada stres (pemaparan ter- Hsx-70 sangan kompleks
hadap panas, bahan kimia, anoksia) yang memutuskan sintesis multimerik. Misalnya
Bi}sbertanggung ja-
protein normal. HSP yang diekspresikan dalam keadaan basal wab terhadap pelipat-
juga meningkat jika ada stres. Respon yang cepat ini diperkira- an yang tepat dari
kan merupakan mekanisme proteksi. Protein ini juga mempunyai rantai panjang Ig.
fungsi penting pada sel yang tidak dalam keadaan stres, misalnya HSP-60 HSP-60 Pelipatan dan pembu- Antigen utama keba-
kaan protein, trans- nyakan bakteri dan pa-
mengatur lipatan protein dan mengawal gerakan mereka sekitar lokasi organel. rasit yang menginfeksi
sel. manusia.
Pandangan sekarang ialah bahwa HSP terutarna ikut ber- HSP-27 HSP-27, HSP-26 Belum diketahui. Ukuran dan jumlahnya
peran dalam pelipatan, penyusunan dan peletakan protein intra- dst. sangat bervariasi pada
berbagai organisme.
seluler. Mungkin sties terhadap sel – seperti heat shock – meng- Ubiquitin Ubiquitin Degradasi protein, Juga terkonyugasi pada
akibatkan bertambahnya jumlah protein yang terdenaturasi atau histon H2A pada inti,
protein yang rusak, dan dengan demikian juga meningkatkan memungkinkan berpe-
kebutuhan akan HSP. Karena itu dulu bertambahnya sintesis ran pada regulasi gen.
protein ini sebagai respon terhadap sties dipakai sebagai
batasan karakteristik HSP. Tetapi sekarang telah jelas bahwa (37–39°C) penyambungan normal prekursor mRNA dihambat,
banyak dari anggota keluarga HSP yang berbeda-beda tetapi transkripsi sebagian besar gen yang dapat diinduksi oleh
diperlukan pada setiap waktu bagi fungsi normal sel dan panas lolos dari hambatan karena mereka tidak memiliki intron
memang banyak HSP yang disintesis secara rutin oleh sal. dan tidak memerlukan penyambungan.
Beberapa hal yang menyebabkan HSP menjadi pusat per- Temperatur saat sintesis HSP dimulai berbeda-beda pada
hatian utama dalam 15 tahun terakhir ini adalah kenyataan bahwa tiap spesies. Biasanya beberapa derajat di atas suhu tubuh normal
HSP terdapat juga pada suhu fisiologis, merupakan salah satu spesies yang bersangkutan.
molekul yang paling dapat bertahan selama evolusi dan mem- Stres protein biasanya diklasifikasikan berdasarkan massa
punyai peranan yang sangat penting dalam fungsi sel normal. molekul relatif (Mr). Keluarga 70 kD terdiri atas HSP-70, Hsx-
Yang terakhir ialah dugaan bahwa HSP memegang peranan 70, Hsc-70 dan glucose regulated protein (Grp) Grp78. Baik
dalam melindungi sel dan timbulnya penyakit otoimun. HSP-70 maupun Hsx-70 – yang masing-masing mempunyai hu-
bungan erat – bersifat dapat diinduksi oleh panas, tetapi Hsx-70
PENGGOLONGAN HSP disintesis pada tingkat basal yang tinggi pada sel yang tidak da-
HSP dibedakan berdasarkan atas perbedaan berat molekul lam keadaan stres.
(Tabel 1)(5).
Sudah terbukti bahwa banyak dari protein ini berperan FUNGSI HSP
dalam menentukan struktur tiga dimensi yang tepat dari berbagai
ragam protein. Sebagai contoh, Bip protein (termasuk keluarga Keluarga HSP 70 kD
HSP-70) bertugas untuk mengatur lipatan yang tepat dari rantai Fungsi HSP dan protein yang berkaitan masih merupakan
panjang imunoglobulin dan mungkin juga rantai pendek. HSP bahan perdebatan yang hangat. Pada berbagai macam jenis sel,
juga mempunyai efek chaperon penting yang berkaitan dengan hipertermia mengakibatkan akumulasi HSP yang cepat dalam
molekul reseptor sampai munculnya molekul efektor yang inti dan anak iunti sal. Di sini mereka berinteraksi dengan protein
menggantikan HSP ini. inti dan pre-ribosom anak inti. Interaksi yang erat antara HSP
Gen HSP menunjukkan beberapa sifat yang tidak lazim dengan anak inti yang heat-shocked dan protein inti memerlukan
yang memungkinkan mereka ditranslasi menjadi protein pada enersi dari hidrolisis ATP untuk menghentikannya. HSP juga
situasi mana translasi gen lain dihambat. Sifat ini diilustrasikan menunjukkan efek protektif terhadap hipertermia. Induksi sin-
pada respon bertingkat sel Drosophila yang terpapar terhadap tesis HSP dengan kondisi heat shock sedang (moderat) akan
hipertermia : peningkatan suhu sedang (29–30°C) menyebabkan mencegah prosesing mRNA dan meningkatkan jangka hidup sel
peningkatan sintesis mRNA HSP; pada suhu lebih tinggi jika ada shock berikutnya yang lebih berat. Mirip dengan ini,
(34–36°C) translasi mRNA normal menjadi protein dihambat, transfeksi sel dengan plasmid yang mengakibatkan produksi
sedangkan mRNA HSP tidak; Pada suhu yang lebih tinggi berlebihan dari HSP-70 akan membantu pemilinan anak inti dari

45
heat shock. Hal ini dan fakta lain yang mirip mengantarkan kita HSP dan diduga berfungsi dengan cara yang mirip, yaitu dengan
kepada dugaan bahwa HSP-70 terikat pada bagian hidrofobik jalan mencegah agregasi protein hidrofobik sebelum flikosilasi
yang terpapar pada protein yang terdenaturasi sebagian, se- atau pembentukan menjadi molekul polimer. Yang menarik,
hingga dengan demikian mencegah pembentukan agregasi yang Grp-78 identik dengan immunoglobulin heavy chain binding
tidak dapat larut. Enersi hidrolisis ATP kemudian digunakan protein sel limfoid yang terikat pada bagian hidrofob dari rantai
untuk melepaskan HSP dari substratnya dan – diduga – perubah- panjang protein. Bagian ini disamarkan oleh rantai pendek.
an yang terjadi akan meningkatkan kemungkinan protein yang Sama halnya dengan interaksi protein-HSP lain, kompleks ini
terdenaturasi mengalami refolding ke bentuk semula, sebelum berdisosiasi dengan adanya ATP. Pelham berpendapat bahwa
heat-shock (Gambar 2). proses ini mungkin merupakan suatu cara memperlambat sekresi
protein sampai pembentukan mereka sempurna dan juga men-
cegah agregasi mereka yang tidak wajar melalui interaksi bagian
yang hidrofobik. Grp juga terikat pada – dan diinduksi oleh –
protein malfolded yang mengalami mutasi. Diperkirakan mal-
folding lebih berperan daripada glikosilasi abnormal sebagai
sinyal primer induksi Grp.

Keluarga HSP-90
Fungsi keluarga HSP-90 1ebih sedikit lagi diketahui. HSP-
90 merupakan HSP yang paling banyak pada sel mamalia. Di-
duga HSP-90 mempertahankan stabilitas reseptor yang inaktif
Gambar 2. Fungsi unfoldase HSP. Protein yang terdenaturasi (malfolded) dan mencegahnya terikat pada DNA kalau tidak ada hormon.
dengan bagian hidrofobik yang terpapar terikat pads HSP, dan
dalam proses ini menjadi lurus/terbuka. Dengan adanya ATP,
HSP-90 membentuk kompleks dengan reseptor kortikosteroid
kompleks HSP-protein ini berdisosiasi, memungkinkan tim- atau hormon seks yang inaktif, sehingga mencegah interaksinya
bulnya kesempatan kinetik bagi protein tersebut untuk terlipat dengan DNA inti sel. Glukokortikoid, estrogen dan progesteron
kembali menjadi bentuk yang benar (seperti sebelunl heat dapat melepaskan HSP-90 dari reseptor tersebut. Selanjutnya
shock). Model ini memungkinkan sebuah molekul protein yang
rusak mengalami beberapa kali siklus ikatan dengan HSP,
kompleks steroid dan reseptor memasuki inti sel lalu terikat pada
sehingga kemungkinannya makin besar untuk kembali ke DNA (pada regulatory region dari gen yang responsif terhadap
bentuk normal. steroid) dan mengaktifkan transkripsi.

Keluarga HSP-20 dan stres protein lain dengan Mr rendah


Fungsi HSP dalam bentuk model unfoldase telah digunakan Keluarga HSP-20 terdiri atas 4 polipeptida yang berat mo-
untuk menjelaskan bagaimana HSP mengurai agregasi hidro- lekulnya berkisar antara 22–27 kD. Selama heat shock, protein
fobik dari protein normal atau yang terdenaturasi, dan membantu ini berpindah ke inti sel dan selanjutnya – dalam masa pemulih-
pemulihan prosesing RNA dan sintesis protein setelah heat an – kembali ke sitoplasma. Fungsinya masih belum diketahui.
shock. Model ini juga meramalkan bahwa HSP-70 boleh jadi
mempunyai afinitas umum terhadap bagian hidrofobik pada
protein yang terdenaturasi atau bermutasi, bahkan pada protein PERANAN HSP PADA INFLAMASI
normal. Demam telah lama dikenal sebagai salah satu tanda utama
Model ini lebih jauh disokong oleh laporan baru-baru ini respon host terhadap infeksi. Demam meningkatkan respon imun
bahwa HSP-70 terikat pada protein baru dan – dengan memper- dan mengubah jangka hidup terhadap organisme infeksius. Pada
tahankan protein dalam keadaan tidak terlipat – memungkinkan sel manusia, suhu 41°–43°C diperlukan untuk menginduksi
transport protein tersebut melalui membran ke dalam endoplas- sintesis HSP in vitro, tetapi apakah hanya demam yang meng-
mik retikulum atau mitokhondria. HSP-70 juga diinduksi oleh induksi sintesis HSP in vivo belum dapat dipastikan.
dan membentuk kompleks dengan protein yang dikode oleh virus Telah diketahui bahwa stres lain di samping hipertermia se-
seperti protein El A adenovirus dan antigen T besar dari virus perti virus, IL-2, mitogen, H2O2 atau radiasi sinar ultraviolet juga
simian 40. Herpes simpleks menginduksi sintesis HSP-90 yang menginduksi sintesis HSP pada leukosit atau sel jaringan ikat.
didistribusi ke seluruh sel dan muncul pada permukaan sel. Induksi HSP oleh agen-agen ini menghasilkan perlindungan
Berdasarkan pengamatan-pengamatan tadi, diajukan pendapat terhadap faktor lingkungan yang merusak yang timbul akibat
bahwa HSP mungkin berperan sebagai 'pemelihara rumah tangga' proses peradangan. Sebagai contoh, jika induksi HSP oleh pe-
pada sel tidak hanya dengan jalan terikat pada protein yang rusak ninggian sedang dari temperatur melindungi sel terhadap ke-
atau malfolded, melainkan juga dengan cara membantu transport rusakan oleh temperatur yang lebih tinggi, pemaparan monosit
mereka dari sel. Mekanisme ini dapat menjelaskan bagaimana terhadap radikal oksigen cukup untuk menginduksi sintesis HSP
nukleoprotein seperti antigen Ro menjadi terpapar pada per- yang akan melindungi mereka terhadap kerusakan akibat oksidasi
mukaan sel setelah suatu rangsang yang merusak. berikutnya.
Keluarga 70 kD dari protein yang glucose-regulated (Grp), Induksi HSP dapat pula memberikan 'perlindungan-silang'
yang terletak pada endoplasmik retikulum, homolog dengan terhadap stres lain. Salah satu contoh ialah ketahanan terhadap

46
hipertermia yang diinduksi oleh H202 atau sebaliknya pada lebih baru lagi. Terdapat penangkaran HSP antar-spesies yang
fibroblast. 1.25 vitamin D3 juga menginduksi sintesis stres pro- mengagumkan. Dengan . menggunakan model molecular mi-
tein dan di lain pihak melindungi monosit terhadap hipertermia. micry, dikemukakan pemikiran bahwa HSP (dikenal sebagai
Dengan demikian induksi HSP dapat memberikan perlindungan antigen imuno-dominan, terutama pada bakteri) merangsang
terhadap jaringan host selama peradangan dan reaksi imun. pembentukan antibodi dan sel T yang tidal( dapat membedakan
antara HSpinvader dan HSP host. Akhir-akhir ini dikemukakan
STRES PROTEIN DAN ARTRITIS bahwa diperlukan langkah kedua dimana terdapat ekspresi HSP
Beberapa rangkaian penemuan menunjuk kepada peranan pada permukaan jaringan self dalam waktu yang bersamaan
HSP atau stres protein lain pada patogenesis artritis: Pertama, dengan terbentuknya antibodi dalam set B terhadap HSP asing.
HSP disintesis oleh khondrosit penderita osteoartritis, sel Penelitian-penelitian awal guna menguak peranan HSP pada
intima sinovium dan sel endotel penderita RA. Jadi sinyal penyakit otoimun dipusatkan kepada berkembangnya artritis
peradangan yang terbentuk in vivo cukup untuk menginduksi ajuvan (yang timbul pada tikus Lewis setelah penyuntikan
sintesis HSP, mungkin dengan hasil timbulnya efek dengan M. tuberkulosis). Telah diidentifikasi klon sel T yang
perlindungan terhadap jaringan host. bereaksi dengan HSP-65. Beberapa di antara klon ini dapat
Kedua, respon imun terhadap HSP ditemukan pada pen- menginduksi penyakit dan yang lain justru mencegah timbulnya
derita dengan penyakit otoimun, termasuk kekebalan sel T ter- penyakit ini. Penelitian lebih lanjut pada model binatang ini
hadap stres protein 65 kD pada penderita RA dan artritis reaktif menunjukkan adanya epitop kritis, asam amino 180:188 dari
dan otoantibodi terhadap HSP pada penderita SLE. HSP-65 mikobakterium. Walaupun hasil pengamatan ini cukup
Adanya otoantibodi terhadap HSP pada penderita SLE bo- memicu kegairahan di lingkungan reumatologi, usaha untuk
leh jadi juga merupakan konsekuensi dari ekspresi – pada per- mengidentifikasi klon yang mirip yang relevan dengan artritis
mukaan sel – nukleoprotein yang terdenaturasi yang reumatoid dan artritis reaktif ternyata sukar. Ironinya, diperkirakan
membentuk kompleks dengan HSP. Seperti telah dibicarakan di respon set T terhadap HSP tidak lazim pada penderita artritis
atas, sel dalam keadaan stres yang mengandung protein rusak reumatoid dan mungkin lebih jarang daripada populasi normal.
atau malfolded, baik yang berasal dari virus atau host sendiri, Contoh otoimunitas lain pada binatang yang berkaitan
dapat memberikan respon dengan jalan membawa protein ini ke dengan respon terhadap HSP misalnya artritis yang diinduksi
permukaan mereka, membentuk kompleks dengan HSP. oleh streptokokus, dinding sel dan prism; yang lebih baru lagi
Nukleoprotein dan ribonukleoprotein tampaknya lebih rentan ialah Diabetes melitus tipe I pada tikus NOD. Pada model ter-
terhadap denaturasi oleh stres lingkungan dan karena itu sangat akhir ini, imunisasi dengan HSP 65 kD dalam ajuvan dapat
besar kemungkinannya untuk terlibat dalam proses ini. Sekali menginduksi onset penyakit, sedangkan imunisasi dengan pro-
terpapar pada permukaan sel, akan timbul respon imun tein yang sama dalam larutan garam faal berkhasiat protektif.
terhadap HSP dan nukleoprotein abnormal yang berkaitan. Ringkasan tentang antibodi dan respon sel T – yang dilaporkan
Hasil akhirnya diduga bergantung kepada status imunogenetik sampai saat ini – pada penyakit (pada manusia) dan model
host. Beraneka ragam rangsangan terhadap set (fisik, kimia binatang dapat dilihat pada Tabel 2.
atau biologis) dapat memicu denaturasi nukleoprotein dan Tabel 2. Hubungan antara HSP deasaa Otolmunitas
menggiring ke arah respon oto- imun, baik terhadap HSP Penyakit Respon set T Respon antibodi
maupun terhadap nukleoprotein pada individu yang rentan
Artritis reumatoid HSP-60, HSP-70 HSP-60, HSP-70
secara genetik. HSP-60
Pertanyaan lain yang menarik ialah apakah induksi sintesis Artritis reakytif HSP-60, HSP-70 –
sires protein dalam set oleh kompleks emas berkaitan dengan SLE – HSP-60, HSP-70,
sifat antireumatik kompleks ini. Penelitian pada tikus menunjuk- HSP-90
kan bahwa auranofin menginduksi sintesis HSP-70, 90 dan 100
pada pemberian akut. Hasil ini melahirkan kemungkinan bahwa Menurut Gaston, antigen sasaran pada penyakit otoimun
induksi HSP atau sires protein lain mungkin berkaitan dengan dibagi dalam dua kategori umum :
efek terapeutik auranofin dan – mungkin juga – ATM (Sodium 1) Antigen yang jelas terlibat langsung dalam proses
aurothiomalate). Sebagai contoh, induksi sires protein pada penyakit, dan memiliki spesifisitas jaringan. Contoh : reseptor
lekosit dalam darah perifer oleh emas sebelum mereka sampai ke asetilkolin pada miastenia gravis, reseptor TSH pada
tempat inflamasi dapat melindungi fungsi sintesis protein ter- tirotoksikosis.
hadap efek merusak oksigen radikal atau mediator lain setelah 2) Molekul atau kompleks molekul yang sangat penting untuk
mereka sampai ke tempat inflamasi. Hal ini konsisten dengan berfungsinya sel secara normal. Contoh : kompleks protein-RNA
pengamatan bahwa terapi dengan garam emas mempunyai efek yang diperlukan guna prosesing dan pemotongan mRNA, DNA
restorasi atau stimulasi terhadap berbagai aspek fungsi imun topoisomerase I dan enzim-enzim transferase tRNA, yang
pada artritis reumatoid. semuanya merupakan sasaran otoantibodi tertentu yang khas
untuk penyakit jaringan ikat tertentu. HSP tennasuk ke dalam
HSP DAN PENYAKIT OTOIMUN kategori 2.
Konsep yang berpendapat bahwa HSP ikut berperan dalam Isenberg cs memusatkan penelitiannya kepada peranan HSP-
timbulnya penyakit otoimun merupakan perkembangan yang 90 pada SLE. Sekarang ini telah ditunjukkan bahwa HSP-90

47
memiliki beberapa peranan fisiologis, yang paling penting lain dapat dilihat berikut ini : Pada 15% kasus atritis reumatioid
mungkin efek chaperon terhadap reseptor kortikosteroid yang terdapat peningkatan HSP-60, sedangkan HSP lain normal; pada
ditemukan tepat di bawah permukaan sel, pada sitoplasma. Be- skleroderma atau sindroma Sjogren primer tidak ada HSP yang
gitu steroid menembus membran set, HSP digeser dan kompleks meningkat.
steroid dengan reseptornya memasuki inti sel lalu mengaktifasi Sebagai kesimpulan, sekarang telah jelas bahwa HSP - yang
gen tertentu. Karena itu cukup menarik untuk meneliti kadar dulu hanya dianggap mempunyai peranan penting pada fisiologi
HSP-90 pada SLE di mana kortikosteroid sering dipakai. Pada semua sel, telah dipertahankan secara mengagumkan selama
penelitian pendahuluan, peningkatan kadar HSP-90 pada PMN proses evolusi dan mungkin memegang peranan dalam etiopato-
darah tepi terdapat pada sekitar 15% drii 57 penderita SLE, logi - paling tidak - beberapa penyakit otoimun.
sedangkan pada kontrol normal atau penderita artritis reumatoid
tidak ditemukan peningkatan sama sekali. Lebih jauh, penderita KEPUSTAKAAN
dengan kadar HSP-90 yang meningkat semtianya menunjukkan 1. Dhillon VB, McCallum S, Norton P, Twomey BM, Erkeller–Yuksel FM,
penyakit yang aktif. Penelitian lanjutan menunjukkan HSP-90 Lydard P, Isenberg DA, Latchman DS. Differential heat shock protein
meningkat pada 25-30% penderita SLE. Peningkatan ini bukan overexpression and its clinical relevance in systemic lupus erythematosus.
Ann Rheum Dis 1992; 52: 436–42.
merupakan bagian dari peningkatan HSP secara umum karena 2. Erkeller–Yuksel FM, Isenberg DA, Dhillon VB, Latchman DS, Lydard
HSP-60, HSP-73 dan ubiquitin tidak meningkat. HSP-72 juga PM. Surface expression of heat shock protein 90 by blood mononuclear
meningkat, tetapi prosentasenya rendah. cells from patients with Systemic Lupus Erythematosus. J Autoimm 1992;
Juga telah ditunjukkan bahwa penderita SLE dengan kadar 5: 803–14.
3. Gaston JSH. Are heat shock proteins involved in autoimmunity ? Int J Clin
HSP-90 yang meningkat sangat mungkin menderita kelainan Lab Res 1992; 22: 90–4.
SSP yang aktif, juga kelainan sistem kardiovaskuler dan sistem 4. Hurst NP. Stress (heat shock) proteins and rheumatic disease. New
pernapasan. Kadar HSP-90 jarang meningkat pafa penderita advance of just another band wagon ? Rheumatol Int 1990; 9: 271–76.
penyakit reumatik otoimun lain atau penyakit infeksi. 20% 5. Isenberg DA. Heat Shock Proteins in Autoimmune Disease. Proc 4th
Asean Congress of Rheumatology. Singapore, 31 Oct–4 Nov 1993.
penderita SLE mengoverekspresikan HSP-90 pada permukaan 6. Norton PM, Isenberg DA, Latchman DS. Elevated levels of the 90 kd heat
limfosit, terutama set B dan sel T CD4+. Penampilan HSP pada shock protein in a proportion of SLE patients with active disease. J
permukaan sebagian limfosit ini menimbulkan dugaan bahwa ia Autoimmunol 1989; 2: 187–95.
merupakan (kandidat) otoantigen pada SLE. Penyebab 7. Twon.:y B, McCallum S, Dhillon V, Isenberg DA, Latchamn DS: Trans-
cription of the genes encoding the small heat shock protein ubiquitin is
overekspresi HSP-90 pada penderita SLE sedang diteliti. unchanged in patients with systemic lupus erythematosus. Autoimmunity
Hasil yang diperoleh pada penyidikan penyakit reumatik 1992; 13: 197–200.

Many has too much, but none enough


Taxol sebagai Antikanker

Usman Suwandi
Pusat Penelitian dan Pengembangan P.T. Kalbe Farma, Jakarta

PENDAHULUAN nya pohon Taxus yang dapat memproduksi taxol ada 11 spesies.
Taxol dan taxotere merupakan senyawa toxoid yang mem- Namun sayangnya pohon ini jumlahnya hanya sedikit dan
punyai aktivitas antikanker. Istimewanya, keduanya berasal dari tumbuh di daerah yang terpencil. Untuk memecahkan masalah
pohon Pacific Yew, Taxus brevifolia. Tanaman ini merupakan tersebut, sudah banyak penelitian untuk memproduksi dengan
pohon yang tumbuh lambat dan ditemui di daerah bertanah cara lain seperti dengan plant tissue culture, skrining
lembab dekat aliran sungai dan danau di bagian barat laut Pasifik. mikroorganisme penghasil taxol untuk produksi dengan
Kedua senyawa ini sekarang sedang berlomba untuk memper- fermentasi, pembuatan secara semisintetis dan sebagainya.
oleh otorisasi sebagai antinaoplastik. Senyawa lain yang mempunyai indikasi sebagai antikanker
Taxol dikembangkan oleh Bristol Myers Squibb, sedang yaitu taxotere. Senyawa ini diperoleh dengan mengekstraksi
Taxotere oleh Rhone Poulenc Rorer. Taxol merupakan anti- daun pohon yew dan diharapkan dapat digunakan untuk peng-
neoplastik baru dengan indikasi untuk refractory ovarian obatan pada pasien yang telah mendapatkan kemoterapi tetapi
cancer, doxorubicin- resistant breast cancer dan non small cell belum berhasil, yaitu pada ovarian, breast, kidney, cervix,
lung cancer. Senyawa derivat diterpenoid yang merupakan ester prostate cancer atau melanoma. Pada tahun 1992, senyawa ini
dengan cincin taxane ini, diekstrak dari kulit kayu pohon Yew. dilaporkan telah memasuki trial fase 2 di Eropa dan US. Pada
Taxol mempunyai sejarah perkembangan yang panjang; trial fase 1, ditetapkan dosis optimum dan toksisitasnya ter-
walaupun aktivitas antineoplastiknya telah diidentifikasi pada utama untuk mendapatkan respon klinis pada pasien yang
ekstrak kasar kulit kayu pada tahun 1960, namun baru tahun 1971 telah resistan terhadap kemoterapi lain terutama untuk solid
taxol ditetapkan sebagai bahan antineoplastik. Perkembangan tumor. Taxotere dikatakan mempunyai keuntungan lebih
selanjutnya terhambat kesulitan mengisolasi dalam jumlah besar dibanding taxol, karena ia lebih larut dalam air, sehingga lebih
dan problem formulasi karena sifatnya yang sukar larut. Sesudah mudah formulasinya. Selain itu dikatakan juga bahwa senyawa
semuanya dapat diatasi, kemudian muncul masalah kipersen- ini lebih poten secara in vitro dan mungkin akan lebih efektif
sitivitas. Namun setelah problem ini dapat diatasi, pengujian dengan pemberian jumlah kecil.
berikutnya terus dilanjutkan. Bahkan setelah memperlihatkan
aktivitas terhadap refractory ovarian cancer, perkembangan PRODUKSI TAXOL
taxol menjadi prioritas utama. Di hutan daerah Montana telah tumbuh pohon yew yang
Namun seperti halnya substansi lain yang diekstrak dari ba- sangat istimewa; kulit pohonnya dapat menghasilkan zat anti-
han alami dengan kandungan kecil, problem yang selalu muncul kanker yang disebut taxol. Namun kemudian timbul masalah
antara lain pengadaan bahan baku. Apalagi kandungan taxol untuk memproduksinya karena kalau hanya dalam jumlah kecil
kira-kira hanya 0,01 – 0,03 berat kering phloem. Padahal untuk tentu tidak sebanding dengan potensi pasar yang ada. Di samping
pengobatan tumor diperlukan kira-kira 2 gram taxol murni. Hal itu para pecinta lingkungan hidup telah mengingatkan bahwa
ini jelas akan mempersulit penyediaan taxol dan dikhawatirkan, spesies pohon yew bisa punah jika dieksplorasi terus menerus.
jika diambil dari alam, maka akan dapat memusnahkan pohon Untuk itu para ahli berusaha keras untuk mendapatkan cara
yew tersebut; apalagi bila diambil tanpa perhitungan. Sebenar- produksi taxol dengan lebih efisien; di antaranya adalali ahli

49
patologi tanaman Gary Stroble dan ahli kimia Andrea Stierle pasien selama 1 tahun diperlukan kira-kira 6 pohon yew yang
dari Montana State University. Mereka mencoba mencari berumur 100 tahun. Atas pertimbangan ini, eksplorasi lain juga
mikroba-fungi yang dapat menghasilkan taxol, atas dasar con- dilakukan yaitu dengan cara melalui plant cell tissue culture.
toh-contoh yang telah ada bahwa suatu parasit dan host (fungi Salah satu perusahaan yang mēngembangkan cara ini adalah
dan tanaman) dapat menghasilkan suatu substansi yang sama. ESCAgenetics di San Carlos California. Melalui cara ini diha-
Asumsi ini didasarkan pada penemuan Giberellin yaitu suatu rapkan dapat diproduksi taxol dalam jumlah lebih besar daripada
hormon diterpenoid yang mengatur pertumbuhan dan perkem- mengekstraksi dari kulit kayu dan daun yew. Dengan meng-
bangan tanaman. Pada tahun 1930 ahli tanaman di Jepang telah gunakan teknologi ini, sel-sel akar, daun dan batang pohon yew
menemukan spesies fungi (parasit) yang seperti juga tanaman diisolasi dan ditumbuhkan dalam biakan menggunakan proses
padi (host) mampu menghasilkan Giberellin. Dengan pola fermentasi untuk merangsang sel-sel memproduksi taxol. Ber-
pemikiran yang sama, Stirle mulai melakukan perjalanan di dasarkan.pengalaman mereka menggunakan teknologi ini untuk
hutan Montana; hasilnya 50 sampel fungi diisolasi. Di antaranya memproduksi vanilla dan food flavor yang lain, mereka me-
ditemukan 1 spesies yang mampu memproduksi taxol, kemudi- nyebutkan dapat memproduksi taxol dengan cara ini dalam 9
an dinamakan Taxomyces andreane. Tentu saja penemuan ini bulan. Dan tahap selanjutnya yaitu scale up dengan kapasitas
telah menggemparkan para peneliti; para ahli mulai bertanya- 100/150 kg. Namun biaya scale up tersebut akan sangat mahal.
tanya, mana yang lebih dahulu menghasilkan taxol, pohon atau Perusahaan lain yang juga menumbuhkan sel tanaman untuk
fungi. Tentu saja sangat sulit untuk membuktikan hal tersebut. memproduksi taxol yaitu Phyton Catalytic Inc. Perusahaan ini
Diperkirakan pohon yew menghasilkan taxol untuk menangkal telah berhasil dalam laboratorium dan tahap selanjutnya adalah
fungi parasit, karena taxol mempunyai aktivitas antifungi. Fungi scale up yang diperkirakan membutuhkan waktu 2 – 5 tahun.
mungkin mengambil satu kopi gen untuk taxol dari pohon yew. Cara lain untuk mempermudah produksi taxol yaitu dengan
Setelah melakukan berbagai pengujian dengan hati-hati dan membuat taxol semisintetik seperti yang dikerjakan oleh Natural
teliti, mereka akhirnya menemukan bahwa Taxomyces andreane Products Company Indena, Milan, Italia. Perusahaan ini meng-
dapat membuat taxol setelah dipindahkan dari host mereka. ekstrak prekursor taxol yang dinamakan 10-deacyl-baccatine III
Laporan ini sangat menggembirakan berbagai kalangan karena (10-DAB) dari 2 spesies pohon yaitu European yew Taxus
bila demikian berarti taxol akan dapat diproduksi dalam jumlah baccata dan Himaylain tree Taxus wallichiana. Taxol diperoleh
besar dalam tangki fermentasi dan harga taxol bisa menjadi lebih dengan mengkonversi prekursor 10-DAB tersebut.
murah. Ditambah dari hasil laporan para peneliti bahwa taxol
dapat mengurangi tumor kira-kira 30% wanita penderita ovarian EFIKASI DAN TOKSISITAS
cancer yang tidak terobati dengan kemoterapi lain, maka pe- Pada bulan Januari 1993, FDA telah menyetujui taxol untuk
nemuan ini benar-benar luar biasa. pengobatan ovarian cancer dan direncanakan dapat tersedia
Selanjutnya timbul pertanyaan, apakah fungi ini akan secara komersiil pada tahun 1993. Selain itu taxol; juga memberi
mampu memproduksi taxol terus menerus setelah mereka di- harapan sebagai antitumor yang lain seperti breast, head, neck,
pindahkan dari host mereka karena keadaan demikian bukanlah lung, colon tumours. Taxol dikatakan merupakan antikanker
persoalan yang tidak pernah terjadi. Sal& satu contoh yaitu yang lebih unggul dibanding dengan antikanker lain, karena
fungi penghasil toxin yang diambil dari sugar cane, secara ber- mempunyai mekanisme memblok pembelahan sel kanker.
angsur kehilangan kemampuan untuk memproduksi. Menyadari Dikatakan bahwa untuk mengobati 12500 pasien diperlukan 25
bahaya tersebut, Tim Stroble menyimpan fungi mereka pada g taxol murni yaitu kira-kira diekstrak dari 750000 pound kulit
jaringan pohon yew dan produksi taxol mereka tetap stabil. Selain pohon kering. Saat ini kulit kayu pohon Pacific Yew merupakan
laporan yang menggembirakan, ada pula laporan yang kurang bahan baku resmi yang telah disetujui FDA.
menyenangkan yaitu mengenai produktivitas mereka; fungi Taxol terutama digunakan untuk ovarian cancer. Dalam
Stroble hanya menghasilkan taxol dalam nanogram, padahal penelitian memberikan respon 28% dari 28 pasien. Ia juga aktif
strain-strain liar. lain yang telah dikembangkan sebagai sumber terhadap platinium-resistant ovarian cancer. Dosis paling ren-
bahan baku obat mulai menghasilkan dalam mikrogram per ml. dah yang digunakan dalam penelitian tersebut 135 mg/m2. Peneli-
Hal tersebut telah memacu para ahli untuk berlomba tian lain melibatkan 192 pasien dengan dosis 135 – 300 mg/m2
meningkatkan produktivitas mereka. Produksi taxol pernah di- yang diberikan dengan infus 24 jam setiap 3 minggu. Pasien ini
coba dalam media cair semisintetik dan taxol ada dalam biakan setidaknyapernah mendapatkan satu kali kemoterapi lain. Semua
fungi yang berumur 3 minggu. Keberhasilan ini tidak dapat pasien sebelumnya diberi dexametason, suatu antihistamin dan
dilepaskan dari bantuan berbagai metode dan alat untuk penga- H2 antagonis untuk mencegah hipersensitivitas. Adapun hasil-
matan tersebut seperti Mass spectro, immunokimia, kromato- nya antara lain dapat dilihat pada tabel 1.
grafi, radiokimia. Taxomyces andreane sendiri merupakan Evaluasi keamanan didasarkan pada 655 pasien, 253 pada
fungi endophyte `yang diisolasi dari kulit bagian dalam (phloem) penelitian fase I dan 402 pada fase II. Sedangkan efek samping
Taxus brevifolia. Usaha untuk mencari mikroba penghasil taxol yang menyertai pemberian taxol antara lain white cell suppres-
juga masih terus dilakukan. sion, alergi, septikemi, anemi, thrombositopeni, hipotensi, bra-
Pertimbangan lain untuk mencari produsen taxol dari sum- dikardi, aritmi, alopecia, emesis, diarea, mukositis, netropeni,
ber lain yaitu adanya perkiraan bahwa untuk mengobati seorang peripheral neuropathy. Ada yang menyebutkan bahwa taxol

50
Tabel 1. Hasil Pengobatan Kanker Ovarium dengan Tamil manfaat bagi masyarakat memang memerlukan perjuangan, ke-
uletan, kesabaran dan kecerdikan peneliti dan pemberi dana. Hal
No of Response rate1 Median duration
Study ini dapat terlihat pada perkembangan taxōl yang telah diketahui
patients of response
PR CR Overall mempunyai aktivitas antineoplastik sejak 1960, ternyata baru
013 46 9 1 22% 7.2 months akan bermanfaat bagi masyarakat di tahun 1993. Tentu saja tidak
012 32 4 2 19% 8.7 months semua senyawa akan memerlukan waktu yang begitu panjang,
014 46 9 5 30% 7.5 months karena banyak senyawa yang memerlukan waktu jauh lebih
011 15 4 2 40% 6.0 months
028 50 17 1 36% 6.8 months2
pendek.
2) Pentingnya sistem skrining. Sistem yang mantap sangat
Total 189 43 11 29% 9.2 months mendorong/meningkatkan keyakinan peneliti akan keberhasil-
annya. Sebagai contoh usaha memperoleh fungi penghasil taxol
Note : 1 PR = partial response, CR = complete response; 2 still being evaluated
dan sistem plant cell culture untuk produksi taxol. Mereka begitu
optimis akan berhasil dan dalam waktu relatif singkat telah di-
sebaiknya diberikan secara intrapritoneal, karena struktur mo-
peroleh fungi penghasil taxol dan mampu memproduksi taxol
lekul, BM besar dan metabolisme hepatik.
dengan plant cell culture pada skala lab. Hal ini dapat diambil
Taxol mempunyai respon terhadap kanker payudara; pem-
hikmahnya bagi lembaga pemerintah atau perusahaan swasta,
berian dosis 200 – 250 m/m2 selama 24 jam pada 25 wanita
terutama yang bergerak di bidang penelitian dan pengembangan.
penderita kanker payudara metastatik menghasilkan 3 pasien
memberikan respon penuh dan 11 memberikan respon 56%, KEPUSTAKAAN
dengan median time 9 bulan. Di samping itu taxol juga dapat
diberikan dalam kombinasi dengan antikanker lain seperti doxoru- 1. Anonim. Taxol given broad, 2-nd- line indication. Scrip 1992; 1773: 20.
bicin. 2. Anonim. Taxol recommendation gives BMS a boost. PBN 1992 (8); 184:
Pada kanker paru juga telah dicoba pada 27 pasien dengan 1, 7, 8.
3. Anonim. EscAgenetics produce cancer drug through plant cell tissue. PBN
advanced non small cell cancer dengan pemberian 2 – 6 siklus 1991 (7); 152: 1, 5.
pada dosis 200 mg/m2 setiap 3 minggu. Pada refractory lym- 4. Anonim. TaxoUtaxotre race heats up, with BMS on the inside line. PBN
phoma, taxol diberikan 96 jam infus dengan dosis 140 mg/m2. 1992 (8); 176: 2.
Namun taxol dinyatakan tidak aktif terhadap cervical, renal, 5. Anonim. BMS gets FDA approval for taxol. PBN 1993 (8); 186: 7, 8.
6. Spiridonidis CH. Paclitaxel (taxol) : A novel antineoplastic Agent. Drugs
prostatic dan colorectal adenocarcinoma dan mungkin pada of Today. 1993 (29); 4: 295–300.
pancreatic carcinoma. 7. Stone R. Surprise. A fungus factory for taxol. Science 1993 (260); 9: 154–
155.
PENUTUP 8. Stierle A et al. Taxol and taxane production by Taxomyces andreanae, an
endophytic fungus of Pacific Yew. Science 1993 (260); 9: 214–216.
1) Perjalanan satu senyawa dari saat ditemukan sampai ber-

English Summary

GENETIC AND IMMUNOLOGIC The estimated incidence of cape may be caused and the
ASPECTS OF BREAST CANCER cancer in Indonesia is180/100,000 benefits of the knowledge of
of which 18/100,000 is breast these genetic and immunolo-
Sofia Mubarika Haryana, Mar- cancer. The genetic and the gical aspects are summarized.
setyawan Soesatyo immunological aspects of breast
Histology Laboratory, Faculty of Medicine, cancer are reviewed. Presump- Cermin Dunia Kedokt. 1995; 99: 51–4
Gadjah Maria University, Yogyakarta, Ssz
tions on how immunologic es-
Indonesia

51
Aspek Genetik dan Imunologik
Kanker Payudara

Sofia Mubarika Haryana, Marsetyawan Soesatyo


Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

PENDAHULUAN proses terjadinya transformasi keganasan(5); ternyata elemen


Kanker payudara banyak dijumpai di Indonesia khususnya genetik ini tidak hanya berpartisipasi pada patogenesis kanker
pada wanita, merupakan kanker terbanyak kedua setelah kanker tetapi juga dapat digunakan sebagai penanda tumor (tumor
mulut rahim('). Insiden kanker payudara kira-kira sebanyak 18 marker).
per 100.000 penduduk wanita, dengan insiden seluruh kanker Sebetulnya tanpa melihat tipe kanker apakah berupa kar-
di Indonesia diperkirakan 180 per 100.000 pesduduk(2). Pria sinoma, sarkoma, leukemia, limfoma atau lainnya, diperoleh
juga mungkin mendapat kanker payudara, dengan kemungkinan abnormalitas DNA(6). Jadi sebagian besar kanker seperti kanker
1:100 dari wanita. paru, usus dan kulit timbul akibat epitelnya terpapar karsinogen
Hasil pengobatan kanker payudarasampai saat ini belum lingkungan. Kanker hati dihubungkan dengan infeksi virus hepa-
memuaskan, diperkirakan 50% penderita dapat disembuhkan titis B, kanker rahim dihubungkan dengan infeksi virus papi-
bila datang dalam stadium dini. Penyebab kanker payudara loma, kanker nasopharynx serta Burkitt lymphoma karena
sampai saat ini juga belum jelas, diduga ada kerusakan pada gen infeksi virus Epstein Barr. Kanker payudara pada mencit di-
yang mengatur pertumbuhan dan diferensiasi akibat berbagai hubungkan dengan infeksi virus tumor payudara (MMTV). Ini
bal. Selain itu faktor imun tubuh seseorang juga sangat mem- telah dibuktikan pada percobaan mencit transgenik.
pengaruhi timbulnya kanker tersebut. Untuk itu akan dibahas gen Padapercobaan binatang yang diinfeksi virus tumor payudara,
yang terpengaruh dan bagaimana sistim imun berperan dalam diketahui bahwa sejumlah proto-onkogen ikut berperan terjadi-
pertahanan terhadap tumor. nya kankerpayudara. Virus tumor payudara merupakan mutagen
biologik(7). Pada saat virus memasuki siklus selnya, genom virus
ASPEK GENETIK KANKER PAYUDARA terintegrasi secara acak pada genom inang (host). Pada keadaan
Kanker adalah pertumbuhan tidak terkontrol sel tubuh yang seperti ini genom viral mempunyai potensi sebagai mutagen
dapat disertai dengan invasi dan metastasis ke jaringan lain(3). insersional. Tiga gen seluler yaitu intl, int2, dan int3 telah dapat
Bukti-bukti menunjukkan bahwa kanker disebabkan akibat ke- diidentifikasi dan sering mengandung genom virus yang ter-
rusakan genetik seperti kelainan kromosom, amplifikasi DNA, integrasi pada DNA seluler karena induksi tumor payudara. Pada
rearrangement maupun mutasi noktah, yang dapat menimbul- keadaan normal gen int tidak diekspresi, tetapi diekspresi pada
kan gangguan keseimbangan fisiologik pengaturan pembelahan masa perkembangan embrional. Pada manusia dengan tumor
sel dan diferensiasi yang berakibat tumbuhnya tumor. Kerusakan payudara, gen int2 dilaporkan mengalami amplifikasi(8). Gen
genetik tersebut dapat disebabkan akibat pemaparan karsinogen c-myc(9), ras(10), c-erbB2, EGF, dan Rb atau p53 diduga ikut
lingkungan yang terdapat pada makanan, air, udara, radiasi, sinar berperan dalam timbulnya kanker payudara. Gen tersebut letak-
matahari, mutasi spontan karena instabilitas gen, infeksi virus nya di dalam kromosom telah diketahui dan produk proteinnya
DNA atau RNA, inaktivasi gen dan lain-lain(4). Elemen genetik dapat dijumpai di membran sel sebagai reseptor (EGFr = cErb-
seperti onkogen, anti-onkogen dan virus merupakan sumber B2)(11), sebagai growth factor (PDGF=c-sis), pada membran sel

Disampaikan pada Seminar Ilmiah Populer Kanker Payudara, Yogyakarta, 4


Agustus 1993

52
bagian dalam terikat pada protein G dan mempunyai aktivitas dent(8).
GTP-ase (ras), pada nukleus sebagai faktor transkripsi karena
mempunyai kemampuan mengikat DNA (c-myc, p53) dan ASPEK IMUNOLOGIK KANKER PAYUDARA
mempunyai peran dalam regulasi pertumbuhan dan diferensiasi Tubuh dilengkapi dengan sistem pertahanan tubuh yang
sel(12). dalam keadaan normal dapat melindungi tubuh terhadap ber-
Aktivasi proto-onkogen myc dan ras dihubungkan sebagai bagai invasi baik mikroorganisme maupun sel tubuh sendiri yang
penyebab kanker payudara (Parada dan Weinberg, 1983). Bukti- mengalami transformasi menjadi ganas. Sistim imun tubuh dapat
bukti menunjukkan bahwa aktivasi myc dan ras diperlukan untuk mengenali/membedakan antara antigen asing (non-self) dan
tranbsformasi keganasan pada fibroblas embrio mencit pada antigen sendiri (self). Antigen tumor dapat memacu sistim
kultur in vitro. Percobaan pada mencit transgenik yang disisipi imun dan berada di bawah kontrol genetik yang terbentuk akibat
gen myc atau ras di bawah promoter enhancer MMTY-long agen onkogenik. Antigen semacam ini disebut TAA (Tumor
terminal repeat (LTR) dapat memacu terjadinya transformasi associated antigen).
apabila Fl dari transgenik myc dan transgenik ras dikawinkan. Pada keadaan-keadaan tertentu seperti imunodefisiensi atau
C-myc proto-onkogen diaktifkan dengan berbagai cara misal- pada pemakaian obat imunosupresif, dapat terjadi penurunan
nya amplifikasi gen, translokasi kromosom, insersi provirus fungsi sistim imun tubuh sehingga orang lebih mudah terkena
(Rabbits, 1985). Amplifikasi myc dijumpai pada kanker payudara infeksi maupun tumor. Aktivasi antigen tumor melibatkan ber-
pada manusia sebanyak 32% dari 121 penderita (Slamon, 1984), bagai sel dalam sistim imun yaitu Th (helper), Ts (supressor), Tc
juga pada karsinoma mammae cell line (Kozbor dan Croce, (cytotoxic), sel B, makrofag, sel NK (natural killer cells) dan
1984). lain-lain. Th dan Ts merupakan sel immunoregulator yang ber-
Amplifikasi gen reseptor Epidermal growth factor (EGF) peran dalam pemacuan/aktivasi maupun penekanan/pengham-
juga dijumpai pada tumor payudara, reseptor ini dapat berikatan batan aktivitas berbagai sel tubuh (Hebermann dkk. 1985).
dengan transforming growth factor alpha (TGF alphar)(13). Pro- Apabila fungsi sel-sel tersebut rusak (defect), maka pengaturan
tein tirosin kinase setelah ada ikatan reseptor akan teraktivasi. sistim imun tubuh menjadi terganggu. Sel Tc dan sel NK ber-
Reseptor EGF dijumpai pada beberapa tipe epitel termasuk peran sebagai efektor yang akan melisiskan sel target(20). Makro-
payudara(14). fag berperan selain sebagai antigen presenting cell (APC), apa-
Onkogen lain yang sering mengalami kelainan adalah c- bila diaktifkan maka akan mempunyai kemampuan untuk
erbB2 (neu), yang telah dimap letaknya pada kromosom 17q21. mengenal/membedakan sel-sel tumor dari sel-sel normal, yaitu
Data yang diperoleh menunjukkan bahwa dari 103 pasien yang melalui reseptor Fc yang terikat di permukaan sel tumor. Per-
diteliti diperoleh amplifikasi c-neu sebesar 18%(15). Ada korelasi usahan tumor terjadi akibat adanya kontak sel dilanjutkan
antara amplifikasi c-neu dengan pembesaran limfonodi, dan dengan sekresi lisosim yang menyebabkan kerusakan membran
pada 89 pasien ada korelasi antara metastasis limfonodus dengan sel. Selain itu makrofag mensekresi faktor sitolitik seperti serin
prognosis yang jelek (Slamon dkk. 1987). Pada tumor payudara protease, hidrogen peroksida, tumor necrosis factor (TNF). Apa-
non-invasif terdapat 70% pasien mengalami ekspresi neu onkogen bila terbentuk IgG oleh sel B akibat sensitisasi antigen tumor
yang lebih (overekspresi)(16); overekspresi neu onkogen disertai maka makrofag dapat bertindak sebagai efektor pada reaksi
dengan overekspresi mRNA dan produk proteinnya. Karena ADCC (Antibody Dependent Cell Cytotoxicity).
protein neu terletak pada membran sel, maka dapat merupakan Sel NK aktivitasnya dipengaruhi pengaturan positif dan
target imunoterapi terutama pada tumor-tumor dengan negatif baik in vitro maupun in vivo. Sel NK aktivitasnya
overekspresi neu. meningkat setelah diinkubasi dengan yIFN (interferon gamma)
Mutasi noktah paling banyak dipelajari pada gen ras. Lebih atau interleukin-2 (IL-2), sehingga kemampuan sitolitiknya
kurang 30% adenokarsinoma disertai mutasi noktah ras(17). meningkat. Jadi fungsi sistim imun tubuh yang normal antara
Translokasi kromosom juga diamati pada tumor payudara. Ada- lain melakukan pemantauan terhadap munculnya sel tubuh sen-
nya double minutes (DM) menunjukkan adanya amplifikasi. Pe- diri yang menjadi asing (immunosurveillance). Bila terjadi ke-
nanda ini terdapgt pada lengan panjang kromosom 1(18). gagalan sistim imun terhadap sel neoplastik maka dapat terjadi
Delesi atau hilangnya gen regulator juga ikut berperan pada kegagalan sistim imun terhadap sel neoplastik maka dapat ter-
berbagai tumor termasuk tumor payudara. Hilangnya gen spesi- jadi pertumbuhan abnormal tubuh. Keadaan ini disebut immuno-
fik disebut anti-onkogen atau onkogen resesif seperti gen retino- logical escape. Immunological escape terjadi apabila faktor-
blastoma (Rb) pada kromosom 13 dan gen p53 yang terletak pada faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tumor lebih dominan
kromosom 17. Ini dihubungkan dengan tumor yang diwariskan. daripada faktor-faktor yang mempengaruhi kerusakan tumor.
Pada beberapa tumorpayudara manusia dijumpai inaktivasi gen- Faktor-faktor yang mempengaruhi immunological escape cukup
gen tersebut(19). banyak, seperti kinetik tumor, modulasi antigenik, antigen
Sebagian besar tumor payudara mempunyai reseptor ter- masking, blocking factor, tolerance, faktor genetik, produk tumor
hadap estrogen. Sebagian besar tumor tersebut akan memberi dan growth factor(21).
respon baik terhadap pengobatan anti-estrogen. Tetapi sampai Akibat kelainan genetik atau gen virus atau ekspresi yang
sekargng belum diketahui bagaimana pengaturan tumbuhnya mengalami deregulasi, maka sel-sel kanker dapat mengekspresi
tumor payudara pada tumor payudara yang estrogen indepen- protein-protein yang pada orang normal tidak ada atau protein-

53
protein tadi jumlahnya lebih dari normal. Sebagian antigen tumor HARAPAN DAN MANFAAT DARI PENGETAHUAN
sifatnya spesifik pada tumor tertentu saja, sedang sebagian anti- ASPEK GENETIK DAN IMUNOLOGIK
gen tumor lain dijumpai pada sel-sel kanker pada umumnya. 1) Banyak pendekatan pengobatan secara imunologik yang
Antigen lain yang sering disebut adalah alphafetoprotein telah dicobakan di luar negeri misalnya dengan meningkatkan
(AFP) dan carcinomaembryonic antigen (CEA). Antigen ini aktivitas sistim efektor imun tubuh (Tc, NK, makrofag dan sel B)
normal diekspresi saat perkembangan fetal. Ekspresinya pada dengan berbagai pacuan. Penggunaan berbagai sitokin
sel tumor sebagai akibat hilangnya faktor represi gen tertentu, (limfotoxin, I1-2, y-IFN, TGF-beta, TNF) dan lain-lain(22). Imu-
mekanismenya belum jelas. Ternyata antigen fetal ini tidak nisasi spesifik yang bersifat aktif (ISA) dengan sel-sel tumor
hanya diekspresi pada tumor saja tetapi juga pada keadaan autologus sudah dicoba, misalnya pada pasien-pasien dengan
radang jaringan tubuh, (jumlahnya rendah). Onkofetal antigen karsinoma kolorektal. ISA dengan cara menyuntikkan sel tumor
ini bersifat tidak antigenik sehingga tidak menimbulkan respon autologus bersama adjuvan BCG mampu menginduksi imunitas
imun; sehingga kehadirannya dalam tubuh dipakai sebagai ke- anti-tumor secara sistemik. Imunitas ini dapat menghilangkan
pentingan diagnostik dan prognostik(22). mikrometastasis yang masih tinggal setelah operasi. Di sini jelas
Ketahanan terhadap infeksi virus penyebab tumor juga di- ada peningkatan bermakna reaksi delayed type hypersensitivity
kaitkan dengan produk MHC klas I. Tc hanya dapat melisiskan (DTH). Saat ini vaksin tersebut sedang dikembangkan di lab.
sel tumor apabila sel tumor dengan antigen tumor dipresentasi- onkopatologi Vrije Universiteit Amsterdam.
kan kepada sel Tc bersama-sama dengan produk molekul MHC 2) AFP dan CEA sebagai antigen tumor walaupun bersifat
klas I; sehingga peptide immunodominant yang terikat pada tidak antigenik tetapi dapat digunakan sebagai tumor marker
suatu MHC klas I dapat memacu respon protektif terhadap untuk keperluan uji diagnostik dan prognostik terhadap tumor
tubuhnya. payudara.
3) Adanya overekspresi berbagai onkogen diharapkan nanti-
nya dapat dipakai sebagai tes baterry rutin untuk membantu
Dugaan timbulnya immunological escape adalah sebagai menentukan progresivitas dan prognosis penyakit. Anti-onkogen
berikut : dapat digunakan untuk deteksi dini tumor payudara pada keluarga
1) Tumor bersifat tidak imunogenik pada host tertentu sebab yang salah satu keluarganya menderita kanker ,payudara. Se-
host tidak mengekspresikan MHC yangsesuai untuk mengikat lanjutnya diharapkan nantinya akan ada terapi gen untuk tumor.
dan memproses antigen tumor.
2) Ekspresi MHC mungkin ditekan/supresi oleh tumor se- KEPUSTAKAAN
hingga kompleks antigen tumor dan MHC tidak terbentuk.
1. Broto Wasisto. Morbidity and Mortality of Cancer in Indonesia. Dep.Kes.
3) Host bersifat toleran terhadap antigen tumor, karena sejak RI, 1991.
neonatal terpapar dengan antigen tersebut, atau tumor antigen 2. Sukardja IDG. KankerPayudara. M.K.I. 1993; 43: 367.
terpapar dalam jumlah yang tolerogenik (dosis tinggi atau tanpa 3. Bishop JM. The molecular genetics of cancer. Science, 1987; 235: 305.
stimulator). 4. Cossman J. Approaching the molecular genetic era of diagnostic pathology.
In Molecular Genetic in Cancer Diagnosis. Elsevier, New York, 1990.
4) Kinetik pertumbuhan tumor menyebabkan tubuh resisten 5. Alitalo K, Scwab M. Oncogene amplification in tumor cells. Adv. Cancer
terhadap tumor (sneaking through). Ini diduga karena pada Res 1986; 47: 235.
mulanya jumlah antigen tumor sangat rendah (imunogenositas 6. Aaronson SA, Tronick SR. Oncogenes. In:Molecular Genetics in Cancer
rendah), sehingga tidak cukup kuat memacu sistim imun tubuh. Diagnosis. Elsevier, New York, 1991.
7. Varmus H. The Molecular genetics of cellular oncogenes. Ann. Rev. Gen.
Bila suatu saat jumlah antigen tumor cukup besar, telah terjadi 1984; 18: 553.
mutasi sehingga mengurangi kemungkinan pengenalan sistim 8. Van de Vijver M, Van deBerselaar R, Devilee P, Cornelisse C, Peterse J,
imun. Nusse R. Amplification of the neu (C-erbB2) oncogene in human mammary
5) Imunitas anti tumor berasal dari seleksi sel tumor mutan tumors is relatively frequent and is often accompanied by amplification of
the linked c-erbA oncogene. Mol. Cell. Biol. 1987; 7: 2019.
yang telah kehilangan sifat antigeniknya karena sifat sel tumor 9. Bonilla M, Ramirez M, Lopez-Cueto J, Gariglio P. In vivo amplification
yang sangat cepat mengalami mitosis dan juga instabilitas gen- and rearrengement of c-myc oncogene in human breast tumor. J. Natl.
nya. Cancer Inst, 1988; 80: 665.
6) Hilangnya antigen tumor di permukaan sel (modulasi anti- 10. Bar-Sagi D, Feramisco JR. Induction of membran ruffling and fluid-phase
pinocytosis in quiescent fibroblast by ras protein. Science 1986; 233: 1061.
genik), sehingga diperoleh resistensi terhadap mekanisme efek- 11. Carpenter G, Receptors for epidermal growth factor and other polypeptide
tor imun. Hal ini terjadi akibat endositosis atau shedding kom- mitogens. Ann. Rev. Gen, 1987; 56: 881.
pleks antigen-antibodi. 12. Vogelstein B, Kinzler KW. P53 function and dysfunction. Cell, 1992; 70:
7) Antigen shed oleh tumor dan kompleks dengan antibodi 56.
13. Marquardt H, Hunkapiler MW, Hood LE, Todaro GJ. Rat transforming
dianggap sebagai faktor penghambat. growth factor type, structure and relation to epidermal growth factor.
8) Antigen tumor tidak dikenali oleh sistim imun tubuh karena Science 1984; 223: 1079.
dilindungi oleh membran glikokaliks (mukopolisakarid) yang 14. Ro J dick. Amplified and overexpressed epidermal growth factor gene in
bertindak sebagai fibrin cocoon. uncultured primary human breast carcinoma. Cancer Res, 1988; 46: 161.
15. Barnes DM, Laramie GA, Millis RR, Gullick WL, Allen DS, Altman G.
9) Produk tumor (TGF-R) bertindak sebagai immunosupressive An Immunohistochemical evaluation of c-erbB-2 expression in human
agent. breast carcinoma, Br. J. Cancer 1988; 58: 448.
16. Gusterson BA dick. Immunohistochemical localization of c-erbB-2 in Gower Medical Publishing, England 1989; pp 181-188.
human breast carcinomas. Mol. Cell. Probes, 1988; 2: 383. 22. Abbas AK, Lichtman AH, Pober J. Tumor Immunology. In Cellular and
17. Rodenhuis S, Van de Wetering ML, Mooi WJ, Van Zandwijk N, Bos JL. Molecular Immunology. W.B. Saunders Co., Philadelphia, 1991.
Mutational activation of the K-ras oncogene: a possible pathogenetic factor 23. Bargmann CL, Hung MC, Weinberg RA. The neu oncogene encodes an
in adenocarcinoma of the lung. New Engl. J. Med. 1987; 317: 929. epidermal growth factor receptor related protein. Nature . 1986; 319: 226.
18. Sandberg AA, Turc-Carel C, Gemmil RM. Chromosomes in solid tumors 24. Lee EJY, Shew R, Bockstein P, Scully W, Lee H. Inactivation of the
and beyond. Cancer Res. 1988; 48: 1049. retinoblastoma susceptibility gene in human breast cancers. Science, 1988;
19. Hunter T. Cooperation between oncogenes. Cell 1991; 64: 248. 241: 218.
20. Lanzavecchia A. How many work can a killer cell kill. Intern Immunol, 25. Van de Vijver. Oncogene activation in breast cancer. A Ph.D. thesi
1989; 4: 109. Amsterdam, 1989.
21. Roitt I, Brostoff, Mall D. Tumor Immunology. In Advance Immunology,

English Summary

THE EFFECT OF ALUMINIUM FILTER out in the Center for Standardi- chamber detector (Aloka, Ja-
ON PEAK-VOLTAGE (kVp) AND zation and Radiation Safety Re- pan) having an air volume of
DOSE OF X-RAY DIAGNOSTIC search (PSPKR), Qatar). Diagnos- 40 cc. Experimental results show
MACHINE TANKA RTO-125 tic X-ray machine Tanka Model that the use of 2 mm Al filter in-
RTO-125 was used in this experi- creases measured peak-voltage
Susetyo Trijoko, C. Tuti Budiantari
PSKPR BATAN, Pasar Jum'at, Jakarta, ment. Aluminium (AI) filter having 1%; absorbs 40% of X-ray inten-
Indonesia high purity of 99.2% made in sity; and decreases phantom
Nilaco, Japan, was used. Peak- (patient) entrance dose up to
voltage (kVp) was measured 17%.
Study on the effects of alumi-- using digital kVp meter III, Vic-
nium (Al) filter on the measured toren, USA. X-ray dose was Cermin Dunia Kedokt. 1995; 99:55–7
peak-voltage (kVp) and dose of measured using ionization Ss, Cfb
X-ray diagnostic has been carried

Let every man come to God in his own way (Ward Beecher)

55
Pengaruh Filter Aluminium
pada Tegangan Puncak (kVp)
dan Dosis Sinar X Diagnostik
dari Pesawat Tanka RTO-125
Susetyo Trijoko, C. Tuti Budiantari
PSPKR BATAN, Pasar Jumat, Jakarta

ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian mengenai pengaruh filter aluminium (Al) pada tegangan
puncak (kVp) terukur dan dosis sinar-X diagnostik di PSPKR, Batan. Dalam penelitian
ini digunakan pesawat sinar-X Tanka Model RTO-125. Filter aluminium (Al) yang
digunakan adalah buatan Nilaco, Jepang, dengan kemurnian 99,2%. Tegangan puncak
(kVp) diukur dengan digital kVp meter III, buatan Victoren, USA. Dosis sinar-X diukur
dengan detektor bilik pengionan udara (Aloka, Jepang), volume 40 cc. Hasil percobaan
ini menunjukkan bahwa penggunaan filter 2 mm Al memperbesar tegangan puncak (kVp)
terukur 1%; menyerap intensitas sinar-X sekitar 40%; dan mengurangi dosis masuk
fantom (pasien) sampai 17%.

PENDAHULUAN
Berkas sinar-X diagnostik (sinar rontgen) yang digunakan hanya sedikit sekali yang terserap oleh permukaan kulit.
untuk memotret pasien, misalnya untuk foto toraks, terdiri atas Kelley dan Cathey, dalam buku yang ditulis oleh Curry(1),
foton-foton dengan spektrum energi kontinyu. Berkas radiasi pernah meneliti pengaruh penggunaan filter aluminium terhadap
kontinyu tersebut biasa disebut dengan radiasi polikromatik. dosis dan waktu paparan sinar-X diagnostik pada pasien
Ketika berkas sinar-X diagnostik mengenai tubuh pasien, se- dengan menggunakan pelvic phantom tebal 18 cm. Dengan
bagian besar foton energi rendah terserap oleh jaringan per- menggunakan berkas radiasi dari pesawat sinar-X Tanka RTD-
mukaan kulit. Sedangkan foton yang berenergi tinggi mampu 125 yang berada di PSPKR Batan, Pasar Jumat, telah diteliti
menembus tubuh pasien dan akhirnya membentuk bayangan pengaruh penggunaan sillier aluminium dengan berbagai
radiografi pada film. ketebalan pada tegangan-puncak terukur (kVp) dan dosis yang
Dosis yang diterima pasien akan tergantung pada jumlah diterima pasien yang disimulasikan dengan fantom tebal 30 cm.
intensitas foton yang terserap. Dengan demikian untuk pe-
meriksaan pasien dengan sinar-X tanpa filter, jaringan per- FILTRASI SINAR-X
mukaan kulit akan menerima dosis cukup besar. Untuk melin- Berkas sinar-X sebelum mencapai tubuh pasien akan
dungi jaringan permukaan kulit dari dosis yang terlalu besar, mengalami pelemahan setelah melewati dua buah filtrasi, yaitu
diperlukan filter yang ditempatkan di antara tubuh pasien dan filtrasi bawaan (inherent filtration) dan filtrasi tambahan (added
tabung sinar-X. Filter berfungsi untuk menyerap foton berenergi filtration). Pelemahan setelah melewati filtrasi bawaan terjadi
rendah. Sedangkan foton yang berenergi tinggi diteruskan dan ketika sinar-X melewati tabung. Bahan-bahan dalam tabung

56
yang terdiri dari kaca, minyak isolator, dan jendela (window) g.cmm-3 buatan NILACO(5).
tabung biasanya memberikan pelemahan yang setara dengan 3) Digital kVp Meter III Model 07-494, buatan Victoreen,
ketebalan aluminium antara 0,5 mm – 1,0 mm(2). USA.
Filter tambahan ditempatkan di antara tabung sinar-X dan 4) Detektor bilik pengionan bervolume 40 cc, Merk ALOKA,
tubuh pasien. Idealnya, filter tambahan tersebut menyerap seluruh Model RIC-DRM, Serial No. 201-2.
foton energi rendah dan meneruskan semua foton energi tinggi. 5) Elektrometer, Merk ALOKA, Model DRM-201, Serial
Akan tetapi tidak ada bahan yang mempunyai sifat ideal No. 07R041.
tersebut. Aluminium (Al) merupakan bahan yang biasa dipilih 6) Fantom air dengan dinding plexiglass berdimensi luar
untuk filter tambahan dalam radiologi diagnostik(3). Aluminium 30 cm x 30 cm x 30 cm.
(Al) merupakan bahan yang mudah didapat dan sangat baik
Tata Kerja
untuk filter sinar-X diagnostik tegangan rendah. Perlu diketahui
Untuk mengukur tegangan puncak (kVp) pesawat sinar-X.
bahwa interaksi sinar-X dengan bahan/materi dapat
digunakan digital kVp meter. Jarak fokus sinar-X ke digital kVp
menimbulkan sinar-X karakteristik. Namun interaksi sinar-X
meter adalah 30 cm(6). Tegangan tabung dipilih pada 70, 80, 90,
dengan aluminium (Al) yang memiliki nomor atom 13,
dan 100 kV, dengan kuat arus 20 mA. Untuk masing-masing
menimbulkan sinar-X karakteristik dengan energi hanya sekitar
tegangan tersebut, filter aluminium (Al) divariasi dengan ke-
1,5 keV(3) yang dengan mudah akan terserap oleh udara.
tebalan 0, 2, dan 4 mm.
Pengaruh filter aluminium (Al) dengan ketebalan 4 mm
Untuk menyelidiki pengaruh filter pada intensitas radiasi
pada spektrum berkas sinar-X yang dihasilkan diperlihatkan
sinar-X digunakan detektor ALOKA (40 ml) yang ditempatkan
dalam Gambar 1. Penggunaan filter tidak merubah besarnya
pada jarak 75 cm dari fokus(1). Lapangan berkas radiasi pada jarak
energi foton maksimum. Dengan kata lain daya tembus sinar-X
tersebut dipilih 20 cm x 20 cm. Tegangan tabung dipilih pada 70,
tersebut tetap. Yang berubah hanyalah besarnya intensitas
80, 90, dan 100 kV, dengan kuat arus 20 mA. Untuk masing-
radiasi. Untuk kondisi tanpa filter, intensitas maksimum terjadi
masing tegangan tersebut, filter aluminium divariasi dengan
pada energi foton sekitar 25 keV, dan ketika dengan filter,
ketebalan 1, 2, 3, dan 4 mm.
puncak intensitas terjadi pada energi foton sekitar 35 keV.
Untuk menyelidiki pengaruh filter terhadap dosis pasien
yang mendapatkan pemeriksaan sinar-X, digunakan fantom plexi-
glass(') dengan ketebalan 30 cm dan diisi air. Dosis masuk
(entrance dose) dan dosis keluar (exit dose) fantom diukur
dengan detektor ALOKA. Dosis masuk menggambarkan dosis
yang diterima pasien, sedangkan dosis keluar merupalSan dosis
yang mengenai kaset film radiografi. Fantom dengan ketebalan
30 cm mensimulasikan tebal tubuh rata-rata pada kondisi pe-
nyinaran arah lateral. Pada kondisi tersebut tebal tubuh adalah
maksimum. Skema pengukuran diperlihatkan pada Gambar 2.
Jarak fokus sinar-X ke permukaan fantom 75 cm. Lapangan
radiasi di permukaan fantom 20 cm x 20 cm. Tegangan tabung
dipilih pada 90 kV (± 74 kVp) dan kuat arus mA. Ketebalan
filter aluminium (Al) divariasi sebagai berikut: 0, 2, dan 4 mm.
Dosis keluar fantom ditetapkan 0,5 mR.

Gambar 1. Energi dan intensitas radiasi sinar-X tanpa filter dan dengan
filter(4).

PERALATAN DAN TATA KERJA


Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah se- Gambar 2. Cara mengukur dosis masuk dan dosis keluar fantom.
bagai berikut :
1) Pesawat sinar-X diagnostik Tanka, Model RTO-125, de- HASIL DAN PEMBAHASAN
ngan filter bawaan 0,5 mmAl. Hasil pengukuran pengaruh filter aluminium (Al) terhadap
2) Filter aluminium, kemurnian 99,2% dan kerapatan 2,6989 tegangan puncak (kVp) terukur ditunjukkan pada Tabel 1. Untuk

57
masing-masing tegangan tabung (kV) yang dipilih, penambahan diatur sedemikian rupa sehingga didapatkan dosis keluar besar-
tebal filter akan memperbesar tegangan puncak (kVp) terukur. nya tetap 0,5 mR. Dosis keluar yang dibuat tetap tersebut akan
Filter aluminium (Al) dengan ketebalan 2 mm memberikan ke- menghasilkan kualitas bayangan radiografi pada film yang hampir
naikan tegangan puncak (kVp) terukur ≤ 1%. Sedangkan filter sama pula. Dari Tabel 3 terlihat bahwa filter 2 mmAl mampu
4 mmAl dapat memberikan kenaikan tegangan puncak (kVp) menurunkan dosis masuk sampai 17%, dan memerlukan tam-
terukur di atas 1%. bahan waktu penyinaran 0,5 detik. Filter 4 mmAl menurunkan
Tabel 1. Pengaruh Filter Aluminium (Al) terhadap Tegangan Puncak
dosis masuk sebesar 27%, akan tetapi waktu penyinaran bertam-
(kVp) Terukur bah 1,5 detik.
Dari sudut pandang proteksi radiasi, penambahan filter akan
Tegangan Tebal filter Tegangan terukur Kenaikan selalu menguntungkan karena akan mengurangi dosis pasien.
(kV) (mm) (kVp) (%)
Akan tetapi filter yang terlalu tebal akan membutuhkan waktu
70 0 54,9 ± 0,2 –
2 55,0 ± 0,1 0,2 penyinaran lebih lama. Hal ini akan memperbesar kemungkinan
4 55,6 ± 0,2 1,0 terjadinya gerakan pasien yang dapat menurunkan kualitas hasil
80 0 63,7 ± 0,2 – pemeriksaan pada film.
2 63,8 ± 0,3 0,2
4 64,6 ± 0,3 1,3 Tabel 3. Pengaruh Tebal Filter terhadap Dosis Masuk Fantom. Dosis
90 0 73,6 ± 0,3 – keluar fantom tetap 0,5 mR. Tegangan 90 kV (± 74 kVp), kuat
2 74,0 ± 0,3 0,6 arus 20 mA
4 74,8 ± 0,3 1,6
100 0 82,3 ± 0,2 – Tebal filter Dosis masuk Penurunan Waktu penyinaran Kenaikan
2 83,0 ± 0,3 0,8 (mmAl) (mR) (%) (det) (%)
4 84,4 ± 0,3 2,6
0 319,7 ± 5,4 – 2,0 –
Intensitas radiasi sinar-X setelah melalui filter akan ter- 2 264,5 ± 1,6 17 2,5 25
gantung pada tebal filter. Prosentase intensitas radiasi sinar-X 4 232,0 ± 6,4 27 3,5 75
yang terserap oleh filter aluminium dengan ketebalan 1, 2, 3, dan
4 mm ditunjukkan pada Tabel 2. Untuk semua tegangan yang
dipilih, terlihat bahwa filter aluminium tebal 2 mm menyerap
KESIMPULAN
sekitar 40% intensitas radiasi sinar-X. Curry(1) menganjurkan
Penggunaan filter aluminium tebal 2 mm pada penyinaran
agar dalam pemeriksaan dengan sinar-X, digunakan filter alu-
dengan pesawat sinar-X Tanka Model RTO-125 apabila di-
minium dengan ketebalan 2 mm. Karena filter 2 mmAl mampu
bandingkan dengan tanpa filter, akan diperoleh :
mengurangi intensitas sinar-X energi rendah dan masih me-
1) Tegangan puncak (kVp) terukur naik tidak lebih dari 1%.
neruskan sebagian besar dari intensitas radiasi sinar-X. Dari
2) Intensitas radiasi yang hilang sekitar 40%.
Tabel 2 juga terlihat bahwa untuk tegangan kurang dari 90 kV,
3) Dosis masuk pasien (fantom) turun sampai 17%, dengan
filter 4 mmAl menyerap lebih dari 60% intensitas radiasi sinar-
penambahan waktu penyinaran sekitar 25%.
X.
Tabel 2. Pengaruh Filter Aluminium (Al) terhadap Intensitas Radiasi KEPUSTAKAAN
Sinar-X
1. Curry IS. Christensen's Introduction to the Physics of Diagnostic
Tegangan Prosentase (%) foton yang terserap oleh filter Radiology. Philadelphia: Lea and Febiger, 1984.
(kV) 2. Oman RM. An Introduction to radiologic science. New York: McGraw-
1,0 mm 2,0 mm 3,0 mm 4,0 mm
Hill Book Co, 1975.
70 27 ± 0,3 45 ± 0,2 59 ± 0,6 67 ± 1,0 3. Jennings RI. A method for comparing beam-hardening filter materials for
80 26 ± 0,2 42 ± 0,4 55 ± 1,0 63 ± 0,8 diagnostic radiology, Med Phys 1988; 15(4): 588.
90 25 ± 0,3 41 ± 0,5 53 ± 1,0 60 ± 1,2 4. Archer BR, Wagner LK. Determination of diagnostic X-ray spectra with
100 22 ± 0,2 37 ± 0,4 49 ± 0,7 58 ± 1,1 characteristic radiation using attenuation analysis, Med Phys 1988; 15(4):
637.
5. NILACO, Buku katalog : High Purity Metals and Chemicals for Research
Pengaruh filter aluminium terhadap dosis masuk fantom dan and Industry No. 21, The Japan Lamp Industries Co. Ltd., 1989.
6. Instruction Manual for Digital kVp Meter III Model 07-494, Victoreen,
waktu penyinaran ditunjukkan pada Tabel 3. Penyinaran per- USA, 1991.
tama dilakukan pada kondisi tanpa filter, dan selanjutnya dengan 7. Wall BF, Harrison RM, Spiers FW. Patient dosimetry techniques in
menggunakan filter. Pada setiap perlakuan, waktu penyinaran Diagnostic Radiology, IPSM Report No. 53, London, 1988.
Efek Antidiare Infus Batang Kayu Kuning
Archangelisia flava L
pada Tikus Putih dan Toksisitas Akutnya
Sa'roni, Adjirni, Wien Winarno
Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK
Batang kayu kuning (Archangelisia flava L) secara empiris digunakan untuk obat
gangguan pencernaan dan dari basil penelitian yang sudah dilakukan menunjukkan
adanya efek mengurangi kontraksi otot polos usus marmut terpisah. Untuk mendukung
pemakaian empiris serta penelitian yang sudah dilakukan, maka dilakukan penelitian
efek antidiare infus batang kayu kuning pada tikus putih menurut cara P. Bass. Untuk
mengetahui keamanan pemakaiannya dilakukan penelitian toksisitas akut pada mencit
menurut cara Weil C.S.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa infus batang kayu kuning termasuk bahan yang
tidak toksik. Infus batang kayu kuning mempunyai efek antidiare non spesifik pada tikus
putih. Infus dosis 202 mg/100 g. bobot badan masih menunjukkan frekuensi diare yang
sama dengan difenoksilat 0,25 mg/100 g. bobot badan. Pada penggunaan dosis yang
lebih rendah diketemukan semakin bertambah frekuensi diarenya.

PENDAHULUAN karena itu akan dilakukan penelitian efek antidiare non spesifik
Secara empiris batang Kayu Kuning (Archangelisia flava infus batang kayu kuning pada tikus putih menurut cara P. Bass(3).
L.) dapat digunakan untuk obat gangguan pencernaan(1). Dari Untuk mengetahui keamanan pemakaian infus bahan serta besar-
hasil penelitian batang kayu kuning dapat menurunkan kontraksi nya dosis penelitian efek antidiare, dilakukan penelitian ioksisi-
otot polos usus halus marmut terpisah(2). Efek tersebut merupa- tas akut menurut cara Well C.S(4). Diharapkan infus batang kayu
kan suatu indikasi/petunjuk bahwa batang kayu kuning dapat kuning mempunyai efek antidiare, dalam usaha melengkapi
dipakai sebagai obat gangguan pencernaan seperti diare yang data penelitian yang sudah dilakukan sehingga batang kayu
disebabkan oleh kontraksi usus yang kuat(3). Kontraksi dapat kuning dapat dipakai sebagai obat antidiare pada manusia.
disebabkan oleh rangsangan zat kimia, protein asing atau
BAHAN DAN CARA
mikroba(3). Karena adanya efek mengurangi kontraksi otot polos
usus halus marmut terpisah, mungkin batang kayu kuning dapat Bahan Percobaan
digunakan untuk obat antidiare non spesifik pada manusia. Oleh Batang kayu kuning (Archangelisia flava L) diperoleh dari

59
Balai Penelitian Tanaman Obat Tawangmangu. Bahan dikering- HASIL PENELITIAN
kan dalam lemari pengering pada suhu tidak lebih dari 50°C Hasil penelitian toksisitas akut,infus batang Kayu Kuning
sampai dapat dibuat serbuk. Serbuk dihaluskan dan diayak de- mempun,yai harga LD50 : 20,16 (14,01 – 29,03) mg/10 gram
ngan ayakan Mesh 48 dan dibuat infus sesuai dengan Farmakope bobot badan secara i.p pada mencit. Pengamatan terhadap
Indonesia edisi M(5). perilaku hewan menunjukkan adanya efek menurunkan suhu
normal mencit, reaksi terhadap sentuhan berkurang,
Hewan Percobaan
pengatupan palpebra, piloereksi dan warna kulit menjadi lebih
Untuk penelitian toksisitas akut digunakan mencit berasal
pucat.
dari Puslitbang Penyakit Menular Badan Litbangkes Dep.Kes,
Tabel 1 menunjukkan saat mulai diare, Tabel 2 frekuensi
bobot sekitar 25 gram, jenis kelamin jantan. Untuk percobaan
diare selama pengamatan, Tabel 3 jumlah tikus yang
antidiare digunakan tikus putih (rat) bērasal dari Puslitbang
mengalami diare sampai jam ke-2 dan Tabe14 jumlah tikus diare
Gizi, Badan Litbangkes. Dep.Kes, strain Wistar Derived, bobot
sampai jam ke-3. Tabel dianalisis dengan Anova dan t-test(6).
sekitar 150 gram, jenis kelamin betina.
(Lihat lampiran).
Percobaan Toksisitas Akut (LD50) :
PEMBAHASAN
Percobaan menurut cara Weil C.S(4).
Harga LD50 infus batang Kayu Kuning adalah 20,16 (14,01–
29,03) mg/10 g. bb. pada mencit secara i.p. Setelah diekstrapo-
Tahap I
Disediakan 6 kelompok mencit @ 3 ekor. Setiap kelompok Tabel 1. Saat mulai diare dalam menit setelah tikus diberi oleum ricini
diberi bahan percobaan dengan dosis kelipatan 10, diberikan Ulangan
Perlakuan Rata-rata
secara i.p (intra peritoneal). Observasi dilakukan setiap jam dan I II III IV V
kematian dihitung sesudah 24 jam. Bila sesudah 24 jam tidak ada
seekor mencitpun yang mati, maka dosis penjajagan diperbesar. A. Difenoksilat
0,25 mg/100 g. bb 220 290 280 250 250 258 ± 27,75
B. Akuades
Tahap II 1 ml/100 g. bb 100 90 120 120 100 106 ± 13,42
Disediakan 5 kelompok mencit @ 5 ekor. Setiap kelompok C. Infus Bahan
diberi bahan dengan dosis terkecil mendekati di mana ada ke- 2,02 mg/100 g. bb 160 240 150 180 190 184 ± 35,07
D. Infus Bahan
matian 2 ekor, sedang dosis terbesar mendekati di maim ada 20,2 mg/100 g. bb 140 150 140 130 270 166 ± 58,57
kematian di atas 2 ekor pada kelompok penjajagan. Sesudah 24 E. Infus Bahan
jam dihitung jumlah kematian tiap kelompok, komposisi 202 mg/100 g. bb 170 270 150 160 170 184 ± 48,79
jumlah kematian dicocokkan dengan daftar Weil C.S dan besar
Tabel 2. Frekuensi diare selama pengamatan setelah tikus diberi oleum
LD50 dihitung dengan rumus Weil C.S. ricini.
Ulangan
Percobaan Efek Antidiare Perlakuan Rata-rata
Dosis infus batang kayu kuning ditentukan berdasarkan I II IlI IV V
besarnya LD50. Dosis I 2,02 mg/100 g. bobot badan (sebagai A. Difenoksilat
Perlakuan C), dosis II 20,2 mg/100 g. bobot badan (sebagai 0,25 mg/100 g. bb 1,0 0,7 0,3 0,7 0,3 0,60 ± 0,30
Perlakuan D) dan dosis III 202 mg/100 g. bobot badan (sebagai B. Akuades
1 ml/100 g. bb 2,3 3,0 2,7 3,7 3,0 2,94 ± 0,51
Perlakuan E). Pembanding difenoksilat 0,25 mg/100 g. bobot C. Infus Bahan
badan (sebagai Perlakuan A) dan blangko akuades 1 ml/100 g. 2,02 mg/100 g. bb 2,0 1,7 3,3 2,3 1,7 2,20 ± 0,66
bobot badan (sebagai Perlakuan B). D. Infus Bahan
Urutan penelitian sebagai berikut : 20,2 mg/100 g. bb 1,3 2,3 1,7 3,3 0,3 1,80 ± 1,12
E. Innis Bahan
• Tikus diadaptasikan dengan lingkungan laboratorium 202 mg/100 g. hb 1,0 1,0 1,7 2,3 1,0 1,40 ± 0,59
selama satu minggu.
• Satu hari sebelum percobaan tikus dipuasakan, selanjutnya Tabel 3. Jumlah tikus yang mengalami diare sampai jam ke-2 setelah
dikelompokkan menjadi 5 kelompok @ 3 ekor. Masing-masing tikus diberi oleum ricini
kelompok diberi perlakuan secara oral yaitu satu kelompok di- Perlakuan
Ulangan
Jumlah
beri difenoksilat, satu kelompok diberi akuades dan 3 kelompok I II III IV V
masing-masing diberi infus bahan dosis I, II dan III. A. Difenoksilat
• Satu jam setelah perlakuan, semua tikus diberi oleum ricini 0,25 mg/100 g. bb 0 0 0 0 0 0
2 ml/ekor secara oral. B. Akuades
• Dilakukan observasi terhadap konsistensi feses menurut 1 ml/100 g. bb 3 3 2 3 3 14
C. Infus Bahan
kriteria P. Bass(3) setiap 30 menit selama 8 jam. 2,02 mg/100 g. bb 3 0 1 1 2 7
• Percobaan diulang minimum 5 kali. D. Infus Bahan
Dari observasi konsistensi feses dapat ditentukan saat mulai 20,2 mg/100 g. bb 2 0 2 2 0 6
E. Infus Bahan
diare, frekuensi diare selama pengamatan dan jumlah tikus yang 202 mg/100 g. bb 2 0 2 2 0 6
mengalami diare. Data dianalisis dengan Anova dan t-test(6).

60
Tabel 4. Jumlah tikus yang mengalami diare sampai jam ke-3 selesai penelitian
setelah tikus diberi oleum ricini KEPUSTAKAAN
1. Mardisiswojo S, Rajakmangunsudarso H. Cabe Puyang Warisan Nenek
Ulangan
Perlakuan Jumlah Moyang I. PT. Karya Wreda, Jakarta, 1975.
I II III IV V 2. Dyan Yani Herawati. Pengaruh Archangelisia.flava L. Merr terhadap otot
polos usus halus marmut terpisah. FF. UNAIR, 1981.
A. Difenoksilat 3. P. Bass, JA. Measurement of fecal output in rats. Am J Digestive Dis.
0,25 mg/100 g. bb 2 1 0 1 2 6 1972; 17(10).
B. Akuades 4. Weil CS. Tables ForConvenientCalculation of Median Efective Dose and
1 ml/100 g. bb 3 3 3 3 3 15 Instructions in Their Use. Biometrics 1952; 8: 249–263.
C. Infus Bahan 5. Departemen Kesehatan RI. Farmakope Indonesia Edisi III, Jakarta, 1979.
2,02 mg/100 g. bb 2 1 2 2 2 9 6. Nainggolan M. Experimental Design I. FP. USU Medan, 1965.
D. Infus Bahan 7. Paget GE, Barnes JM, Laurence DR, Bacharach AL. Evaluation Of Drug
20,2 mg/100 g. bb 2 2 2 2 0 8 Activities. Pharmacometrics, Academic Press. London, 1964 Vol 1 p. 161–162.
E. Infus Bahan 8. Gleason MN et al. Clinical Toxicology Of Commercial Products. William &
202 mg/100 g. bb 2 0 2 2 2 8 Wilkins Co, Baltimore, 1969.
9. Perry LM. Medicinal Plant of East and Southeast Asia. The Mit Press
Cambridge, London, 1980.
(7)
lasi ke oral pada tikus putih menurut Paget & Barnes menjadi
141.120 mg/kg. bb. Menurut Gleason MN(8) harga LD50 yang
lebih besar dari 15.000 mg/kg. bb. oral pada tikus dapat digo-
longkan ke dalam golongan bahan yang tidak toksik (practically
non toxic substances). Pengamatan terhadap perilaku mencit
jantan dan betina menunjukkan adanya efek menurunkan suhu Lampiran
normal, reaksi terhadap sentuhan berkurang, mengalami abduk- 1. Analisis Data Saat Mulai Diare (Tabel 1).
si, palpebra mengatup, ada piloereksi dan warna kulit menjadi Anova:
pucat. Dari gejala-gejala yang ditunjukkan berarti bahan mem-
Sumber F-Value
punyai pengaruh terhadap susunan saraf pusat maupun susunan Variasi df. SS MS F-Cale F-Tabel
saraf otonom. 5% 1%
Analisa infus dosis 2,02 mg; 20,2 mg dan 202 mg/100 gram Treatment 4 54.446 13.611,5 8,518 2,866 4,431
bobot badan terhadap jumlah tikus yang mengalami diare dan Error 20 31.960 1.598
Total 24 86.406
saat mulai diare ada beda sangat nyata baik dengan difenoksilat
maupun dengan akuades. Sedang efek terhadap frekuensi diare F-Calc > F-Tabel 1%. Ada beda sangat nyata antara perlakuan.
infus dosis 202 mg/100 gram bobot badan tidak ada beda dengan t-test
difenoksilat dan beda sangat nyata dengan akuades, infus dosis Standard error of'difference (Sd) = 25,282.
20,2 mg/100 gram bobot badan beda nyata dengan difenoksilat least significant different (lsd) 5% = 52,739.
Least significant different (lsd) I% = 71,927.
maupun dengan akuades, dosis 2,02 mg/100 gram bobot badan
beda sangat nyata dengan difenoksilat dan tidak ada beda dengan Beda Antar Perlakuan :
akuades. Dengan demikian efek infus terhadap frekuensi diare
pada dosis 202 mg/ 100 gram bobot badan efeknya dapat dikatakan Perlakuan A B C D E
A. 258 –
sama dengan difenoksilat 0,25 mg/100 gram bobot badan. Pada B. 106 152** –
penelitian dosis yang lebih rendah efeknya semakin berkurang. C. 184 74** 78** –
Batang Kayu Kuning mengandung alkaloid, berberin, ja- D. 166 92** 60** 18 –
trorrhizin, kolumbamin dan shobakumin(9). Mungkin berberin E. 184 74** 78** 0 18 –
yang berefek merelaksasi kontraksi usus halus(2) sehingga batang
kayu Kuning mempunyai efek antidiare.
2. Analisis Data Frekuensi Diare (Tabel 2).
KESIMPULAN Anova:
Infus batang Kayu Kuning mempunyai efek antidiare non Sumber F-Value
spesifik pada tikus putih. Infus batang kayu kuning dosis 202 mg/ Variasi df SS MS F-Calc F-Tabel
100 gram bobot badan menunjukkan frekuensi diare yang sama 5% 1%
Treatment 4 15,294 3,824
dengan difenoksilat 0,25 mg/100 gram bobot badan dan pada Error 20 9,560 0,478 7,999 2,866 4,431
penelitian dosis yang lebih rendah semakin bertambah frekuensi Total 2424,854
diarenya.
Infus batang Kayu Kuning termasuk golongan bahan yang F-Calc > F-Tabel 1%. Ada beda sangat nyata diantara perlakuan.
tidak beracun (practically non toxic substances). t-test :
Standard error of difference (Sd) = 0,437.
UCAPAN TERIMA KASIH Least significant different (Isd) 5% = 0,912.
Kepada Kepala Puslitbang Farmasi serta seluruh staf Kelompok Program Least significant different (lsd) 1 % = 1,243.
Penelitian Obat Tradisional yang telah membantu sejak perencanaan hingga

61
Beda Antar Perlakuan : 4. Analisis Data Jumlah Tikus Yang Mengalami Diare Sampai Jam Ke-3
(Tabel 4).
Perlakuan A B C D E
A. 0,60 – Anova :
B. 2,94 2,34** – Sumber F-Value
C. 2,20 1,60** 0,74 – Variasi df SS MS F-Calc F-Tabel
D. 1,80 1,20* 1,14* 0,40 – 5% 1%
E. 1,40 0,80 1,54** 0,80 0,40 – Treatment 4 9,36 2,34
Error 20 10,00 0,50 4,68 2,866 4,431
Total 24 19,36 –
3. Analisis Data Jumlah Tikus Yang Mengalami Diare Sampai Jam Ke-2
(Tabel 3). F-Calc > F-Tabel 1%. Ada beda sangat nyata diantara perlakuan.
Anova : t-test :
Standard error of difference (Sd) = 0,447.
Sumber F-Value
Least significant different (lsd) 5% = 0,932.
Variasi df SS MS F-Calc F-Tabel
Least significant different (lsd) 1% = 1,272.
5% 1%
Treatment 4 19,84 4,96 Beda Antar Perlakuan :
Error 20 15,60 0,78 6,359 2,866 4,431
Total 24 35,44 – Perlakuan A B C D E
A. 6 –
B. 15 9** –
F-Calc > F-Tabel 1%. Ada beda sangat nyata diantara perlakuan. C. 9 3** 6** –
t-test : D. 8 2** 7** 1* _
Standard error of difference (Sd) = 0,559. E. 8 2** 7** 1* 0 –
Least significant different (lsd) 5% = 1,166.
Least significant different (lsd) 1% = 1,590.

Beda Antar Perlakuan :


Perlakuan A B C D E
A. 0 – KETERANGAN LAMPIRAN :
B. 14 14** – A. Difenoksilat 0,25 mg/100 gram bobot badan df = degree qf. freedom.
C. 7 7** 7** – B. Akuades 1 ml/100 gram bobot badan. SS = Sum of Square
D. 6 6** 8** 1 – C. Infus Bahan 2,02 mg/100 gram bobot badan. MS = Mean (it' square
E. 6 6** 8** 1 0 – D. Infus Bahan 20,2 mg/100 gram bobot badan. Calc= Calculation.
E. Infus Bahan 202 mg/100 gram bobot badan. * = Ada beda nyata.
** = Ada beda sangat nyata.
ABSTRAK
TROMBOLITIK BARU UNTUK Penggunaan alat bantu deteksi de- tukan plaque sehingga anjuran diet ter-
STROKE nyut jantung janin dapat meramalkan sebut mungkin harus ditinjau kembali.
Para peneliti di Genentech melapor- potensi gawat janin secara Iēbih baik. Lancet 1994; 344: 1195–96
kan bahwa suatu zat baru – TNK – dapat BMJ 1994; 308: 497–500 hk
merupakan trombolifik yang dapat hk
digunakan pada stroke embolik tanpa
memperbesar risiko perdarahan. KADAR LIPID DENGAN STENO-
DIKLOFENAK RESINAT
Pada percobaan menggunakan ke- SIS KORONER
Suatu percobaan multisenter, acak,
linci, zat ini dibandingkan dengan buta ganda dilakukan untuk memban-
alteplase; ternyata hanya 13% yang Studi atas 79 orang yang kadar
dingkan manfaat diklofenak resinat –
mengalami perdarahan, dibandingkan kolesterol serumnya normal – terdiri
suatu bentuk baru diklofenak – dengan
dengan 33% di kelompok alteplase dan dari 40 orang yang mendapat obat dan
piroksikam pada pasien nyeri pinggang
50% di kelompok plasebo. 39 orang mendapat plasebo – menun-
bawah akut. Masing-masing 66 pasien
Manfaatnya pada manusia masih jukkan bahwa pemberian obat penurun
menerima 75 mg. diklofenak resinat dua
harus menunggu percobaan lanjutan. kadar lipid darah dapat memperbaiki
kali sehari, atau piroksikam 40 mg. se-
profil lipid darah berupa penurunan ka-
Inpharma 1994; 962: 11 kali sehari selama dua hari, dilanjutkan
dar kolesterol sebesar 28%, penurunan
brw dengan 20 mg. sekali sehari selama 14
kadar LDL-kolesterol sebesar 41%,
hari.
penurunan kadar trigliserid sebesar 26%,
MERAMALKAN GAWAT JANIN Evaluasi yang dilakukan oleh tera-
penurunan kadar apolipoprotein B se-
Pemantauan denyut jantung janin se- pis dan pasien menunjukkan positive
besar 31% dan penijigkatan kadar HDL
lama persalinan dapat dilakukan dengan response rate sebesar masing-masing
kolesterol sebesar 13%; semuanya se-
beberapa cara. 78,8% dan 81,8% di kelompok diklo-
cara statistik bermakna (p ≤ 0,001).
Para peneliti di Harare, Zimbabwe fenak resinatdan masing-masing 83,3%
Tetapi perubahan profil lipid terse-
membandingkan sensiti vitas pemantau- dan 87,7% di kelompok piroksikam.
but tidak mempengaruhi derajat steno-
an cara elektronik, cara ultrasonik Efek samping umumnya berupa ke-
sis koroner yang terjadi di dua kelom-
Doppler, cara biasa dengan stetoskop luhan gastrointestinal, dijumpai pada
pok tersebut; terdapat penyempitan
Pinard oleh bidan khusus, dan cara biasa 19,2% pasien kelompok diklofenak dan
sebesar rata-rata 0,14 mm di kelompok
secara rutin oleh bidan. pada 18,2% di kelompok piroksikam.
obat dan rata-rata 0,15 mm di kelompok
Ternyata abnormalitas denyut jan- Drug Invest. 1994; 8(5) 288–93 plasebo.
tung janin dapat dideteksi pada 54% brw
(172 di antara 318) melalui cara elek- Lancet 1994; 344: 1182–86
tronik, 32% (100/312) dengan cara SKLEROSIS AKIBAT ASAM LE- hk
Doppler, 15% (47/310) dengan cara MAK TAK JENUH ?
Pinanrd dan hanya 9% melalui cara rutin. Pada orang-orang yang dietnya
Bedah caesar dilakukan pada 28% (89), PENGOBATAN LEPRA
banyak mengandung asam lemak tak
24% (76), 10% (32) dan 15% (46) kasus, jenuh (omega-3 dan omega-6) ternyata
berturut-turut pada masing-masing cara. Peneliti di Jerman dan AS melapor-
ditemukan plaque (lesi) aorta yang juga
Kesejahteraan janin juga terbaik di ke- kan bahwa pengobatan lepra dengan
mengandung asam-asam lemak terse-
lompok ultrasonografi; ensefalopati dapson, kombinasi dapson + rifampisin,
but. Terdapat hubungan positif antara
hipoksik-iskemik diderita oleh masing- dan kombinasi dapson + rifampisin +
kadar dalam serum dengan kadar dalam
masing 2, 1, 7 dan 10 bayi pada masing- protionamid + isoniazid sama efektif,
plaque (r = 0,75 untuk omega-6, r=0,93
masing cara di atas, sedangkan kejang masing-masing memberikan kesem-
untuk omega-3, r = 0,70 untuk mono-
neonatal hanya ditemukan di kelompok buhan 88%, 93% dan 95%.
unsaturated), juga antara kadar dalam
cara Pinard (6 kasus) dan di kelompok Pengobatan dilakukan selama 3 tahun
jaringan adiposa dengan kadar dalam
cara rutin (9 kasus). dan tidak ada yang relaps sampai 5 tahun
plaque (r = 0,89 untuk omega-6).
Kematian terjadi pada masing-ma- kemudian.
Hasil penelitian ini mengarahkan
sing 8, 2, 5 dan 9 kasus pada masing- adanya hubungan antara diet tinggi Inpharma /994; 962: 17
masing cara di atas. asam lemak tak jenuh dengan pemben- brw

63
ABSTRAK
KOLESTEROL DAN RISIKO PE- perokok pasif yang suaminya merokok TEKANAN DARAH DAN DEPRESI
NYAKIT JANTUNG ISKEMIK ialah sebesar 2,12 (95%CI: 1,06–2,45) Sejumlah 549 pria berusia 60–89 ta-
Besarnya pengaruh penurunan kadar dan untuk perokok pasif di tempat kerja hun di Rancho Bernardo, California yang
kolesterol darah terhadap penurunan sebesar 2,45 (95%CI: 1,23–4,88); bila tidak menggunakan antihipertensi di-
risiko penyakit jantung iskemik diper- data tersebut dikoreksi terhadap usia, teliti untuk mengetahui hubungan an-
kirakan melalui analisis atas 10 studi riwayat hipertensi, kepribadian tipe A, tara tekanan darah rendah dan depresi.
kohort prospektif, 3 studi internasional kadar kolesterol total dan HDL, maka Pemantauan depresi dilakukan dengan
dan 28 studi acak terkontrol. angka-angka tersebut menjadi masing- Beck Depression Inventory.
Data para pria yang ikut dalam studi masing sebesar 1,24 (95%CI: 0,56–2,72) Ternyata pria dengan tekanan dias-
kohort menunjukkan bahwa penurun- untuk wanita yang suaminya merokok tolik < 75 mmHg mempunyai angka
an kadar kolesterol serum sebesar 0,6 dan sebesar 1,85 (95%CI: 0,86–4,00) rata-rata yang lebih tinggi (6,35vs.4,96;
mmol/1 (± 10%) berkaitan dengan untuk wanita yang bekerja di lingkung- p < 0,001) dan juga lebih banyak yang
penurunan kejadian penyakit jantung an asap rokok. angkanya ? 13 (categorical depression)
iskemik sebesar 54% pada usia 40 ta- BMJ 1994; 308: 380–4 (7,6% vs. 1,8%; p < 0,01) bila diban-
hun, 39% pada usia 50 tahun, 27% pada hk dingkan dengan pria yang tekanan
usia 60 tahun, 20% pada usia 70 tahun diastoliknya 75–85 mmHg. Pria dengan
dan 19% pada usia 80 tahun; sedangkan INDIKASI BEDAH CAESAR tekanan diastolik > 85 mmHg mem-
berdasarkan studi internasional (usia Data statistik menunjukkan bahwa punyai angka rata-rata yang juga lebih
55–64 tahun) terlihatpenurunan sebesar satu dari empāt wanita hamil di Florida tinggi (5,85 vs. 4,96; p < 0,05).
38% (95%CI: 33–42%). akan menjalani bedah caesar; angka ini Kaitan ini tidak tergantung dari usia
Kejadian penyakit jantung iskemik berkisar dari 44% di Hialeah Hospital, maupun penurunan berat badan.
pada studi acak terkontrol atas pria Miami sampai hanya ± 10% di Univer-
sity Medical Center, Jacksonville. Data BMJ 1994; 308: 446–9
menunjukkan penurunan sebesar 7% hk
(90–14%) pada 2 tahun pertama, 22% nasional di AS ialah sebesar 23,6% –
(15–28% pada 2–5 tahun dan 25% naik dari hanya 5% di tahun 1964.
(15–35%) setelah 5 tahun. Frekuensi bedah caesar cenderung
EFEK SAMPING ACE INHIBITOR
lebih tinggi di kalangan berpenghasilan.
BMJ 1994; 308: 367–73 tinggi, yang dilindungi asuransi dan
hk Catatan efek samping obat di Swedia
lebih rendah di rumahsakit pendidikan
selama tahun 1981–1991 menunjukkan
Di lain pihak, penurunan kadar dibandingkan dengan di rumahsakit
bahwa terdapat 424 laporan gangguan
kolesterol darah dikaitkan dengan pe- 'komersil'.
respiratorik yang dikaitkan dengan
ningkatan risiko stroke hemoragik. Biaya rata-rata bedah caesar (1992)
penggunaan obat ACE inhibitors; se-
Studi yang sama di atas menunjuk- sebesar $ 6981, lebih dari dua kali lipat
bagian besar (374) berupa batuk, 36
kan bahwa pada kadar kolesterol darah biaya rata-rata kelahiran hiasa.
kasus mengalami asma, bronkospasme
kurang dari 5 mmol/1 terdapat pening- BMJ 1994; 308: 432 dan dispnoe. Gejala-gejala tersebut
katan relative risk sebesar 1,9 (95%CI: hk
muncul dalam dua minggu pertama
1,4–2,5). ANTIPIKUN penggunaan obat pada±50% kasus, dan
BMJ 1994; 308: 373–79 Perusahaan farmasi Cortex mulai kira-kira sepertiga kasus memerlukan
hk mencoba Ampalex – obat yang dapat perawatan di rumahsakit.
meningkatkan fungsi resepforAMPA di Dalam database WHO, dari tahun
ASAP ROKOK DAN PENYAKIT otak – untuk mengatasi gangguan me- 1981 sampai dengan Agustus 1992 ter-
JANTUNG mori dan kognisi. Zat ini mempunyai catat 7260 kasus batuk, 318 kasus asma/
Suatu case control study dilakukan mula kerja yang cepat dan dapat me- bronkospasme dan 516 kasus dispnoe
atas 59 wanita dengan penyakit jantung nembus sawar darah-otak. yang berkaitan dengan penggunaan ACE
koroner dan 126 wanita kontrol; semua- Percobaan pendahuluan atas binatang inhibitors.
nya bekerja dan tidak pernah merokok, telah menunjukkan hasil yang positif.
di Xian, Cina. BMJ 1994; 308: 18–21
Drug News 1994; 3(43): 6 hk
Perhitungan crude odds ratio untuk brw

64
Ruang
Penyegar dan Penambah
Ilmu Kedokteran
Dapatkah saudara menjawab
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?
1. Efusi pleura di Indonesia terutama disebabkan oleh : 6. Uji PAP-TB dapat membantu diagnosis terutama pada
a) Keganasan kasus :
b) Tuberkulosis a) tb kronis
c) Bronkopneumoni b) tb akut
d) Trauma paru c) tb ekstraparu
e) Gaga] jantung kongestif d) tb pada anak
2. Jenis keganasan paru yang paling sering menimbulkan e) tb milier
efusi pleura : 7. Penelitian masalah resistensi di RS Persahabatan menun-
a) Adenokarsinoma jukkan bahwa resistensi primer terbanyak ditemukan ter-
b) Karsinoma sel kecil hadap :
c) Karsinoma sel besar a) Isoniazid
d) Karsinoma epidermoid b) Etambutol
e) Semua sama c) Rifampisin
3. Pemeriksaan faal paru di Surabaya menunjukkan sebagian d) Pirazinamid
besar pasien tb paru yang diperiksa menunjukkan kelainan e) Streptomisin
a) Restriktif 8. Sedangkan resistensi sekunder terutama terhadap :
b) Obstruktif a) Isoniazid
c) Campuran b) Etambutol
d) Ringan c) Rifampisin
e) Tidak ada kelainan d) Pirazinamid
4. Sindrom obstruksi yang ditemukan pada penderita tb paru e) Streptomisin
dapat disebabkan oleh : 9. Gliseril guaiakolat dapat mempertinggi positive rate pe-
a) Destruksi jaringan meriksaan BTA dari dahak karena mempunyai efek :
b) Reaksi imunologis a) Meningkatkan frekuensi batuk
c) Proses proteolitik b) Mengurangi frekuensi batuk
d) Semua benar c) Mengencerkan dahak
e) Semua salah d) Merangsang proliferasi kuman
5. Penyebab kematian utama pasien tb paru ialah : e) Tidak mempugyai efek apapun
a) Hemoptoe 10. Taxol – suatu antikanker baru – telah disetujui pengguna-
b) Pneumotoraks nnya terhadap :
c) Destroyed lung a) Kanker payudara
d) Asfiksi b) Kanker ovarium
e) Efusipleura c) Kanker paru
d) Kanker rahim
e) Kanker kolon

9. C 6. C 3. A
8. A 5. A 2. A
10. B 7. A 4. D 1. B JAWABAN R.P.P.I.K :

65

You might also like