You are on page 1of 9

Terapi Oksigen

Tujuan terapi oksigen adalah untuk mengoptimalkan oksigenasi jaringan untuk memfasilitasi terjadinya metabolisme aerob jaringan. Selain itu juga bertujuan untuk memenuhi kekurangan oksigen, mencegah hipoksia,sebagai tindakan pengobatan, dan mengurangi beban kerja alat nafas dan jantung. Tujuan utama pemberian terapi oksigen adalah untuk mempertahankan PaO2 >60 mmHg atau SaO2 >90% sehingga dapat mencegah terjadinya hipoksia sel dan jaringan, menurunkan kerja pernapasan dan kerja otot jantung. Indikasi pemberian terapi oksigen adalah : Hipoksemiayang telah dibuktikan dengan pemeriksaan analisa gas darah Keadaan dengan kecurigaan hipoksemia Kerja napas menurun Kerja miokardium menurun Trauma berat Pasien tidak sadar Selama/setelah operasi Anemia berat Perdarahan dan hipovolemia Asidosis Keracunan gas stadium akut penyakit jantung dan paru (infark miokard akut)

Hipoksemia Hipoksemia adalah penurunan tekanan parsial oksigen (PaO2) dalam darah. Pada orang dewasa anak dan bayi berusia lebih dari 28 hari dikatakan hipoksemia bila PaO2 <60 mmHg atau SaO2 <90%, dan pada neonatus jika PaO2 <50 mmHg atau SaO2 <88%. Mekanisme terjadinya hipoksemia : Gangguan ventilasi-perfusi (V/Q mismatch) merupakan penyebab tersering terjadinya hipoksemia. Dapat terjadi pada paru obstruksi (PPOK, asma, emfisema, bronkitis kronik), retensi sputum, penyakit kardiovaskular (infark miokard, gagal jantung kongestif). Hipoksemia karena gangguan ventilasi-perfusi biasanya memberikan respon yang baik dengan pemberian oksigen dosis kecil Hipoventilasi alveolar ditandai dengan peningkatan tekanan CO2 arteri (PaCO2>45mmHg). Dapat terjadi pada overdosis obat, sleep apnea, eksaserbasi akut PPOK. Dengan pemberian oksigen dapat mengatasi hipoksemia tetapi tidak memperbaiki ventilasi.

Shunt Ketika pembuluh darah kapiler paru melewati alveoli yang tidak berventilasi maka darah dalam kapiler tetap dalam keadaan deoksigenasi. Darah ini akan bercampur dengan darah yang teroksigenasi sehingga menimbulkan hipoksemia. Penurunan PaO2 tergantung pada besarnya shunt. Dijumpai pada pneumonia, ARDS, atelektasis, edema paru dan emboli paru. Hipoksemia karena shunt tidak mudah diatasi dengan pemberian oksigen dan biasanya memerlukan oksigen dosis tinggi serta terapi ntervensi untuk mengatasi alveoli yang kolaps (PEEP, CPAP), mengatasi atelektasis (IPPB) atau memperbaiki cardiac perfomance pada edema paru kardiogenik (pemberian diuretik, inotropik). Gangguan difusi Terjadi penebalan [ada daerah antara alveoli dan kapiler. Dijumpai pada : o Edema interstisial : hipoproteinemia, gagal jantung kiri o Fibrosis interstisial o Sarkoidosis, asbestos o Penyakit kolagen vaskular : sindroma goodpasture Hipoksemia karena gangguan difusi dapat diatasi dengan pemberian oksigen Penurunan tekanan oksigen inspirasi Dapat terjadi pada orang yang berada di tempat ketinggian. Gangguan fungsi hemoglobin (anemia, perdarahan). Deteksi Hipoksemia Untuk mendeteksi keadaan hipoksemia perlu dilakukan pemeriksaan anatara lain : a. Gejala klinik Gejala klinis pada pasien dengan hipoksemia berupa : - Sianosis : baru terlihat bila SaO2 <85% dan tidak terlihat pada penderita dengan anemia - Kelelahan, disorientasi, letargi, koma - Takipneu - Dispneu - Takikardia atau bradikardia - Aritmia - Hipertensi atau hipotensi - Polisitemia - Clubbing finger

b. Pemeriksaan analisa gas darah Pemeriksaan ini merupakan gold standard untuk mendeteksi keadaan hipoksemia. Dari analisa gas darah dapat dilihat nilai PaO2 dan SaO2. Saturasi oksigen adalah jumlah oksigen yang dapat berikatan dengan hemoglobin. Derajat saturasi tergantung pada bentuk dan posisi kurva disosiasi oksihemoglobin. Kurva ini dipengaruhi oleh pH, PaCO2, temperatur dan 2,3 DPG.

c. Pulse oxymetri Walaupun memiliki keterbatasan, pulse oxymetry dapat dipakai untuk melihat saturasi oksigen. Keakuratan pulse oxymetry cukup baik bila SaO2 >80%, namun berkurang jika SaO2 <80%. Aplikasi Oksigen Terapi 1. Suplemen : pada waktu keadaan kaut yang memerlukan oksigen kurang dari 30 hari (pneumonia akut, asma akut) 2. Terapi a. Short term oxygen therapy : bila memerlukan oksigen selama 30-90 hari, misal pada penderita gagal jantung kongestif b. Long term oxygen therapy : bila memerlukan oksigen >90 hari, misalnya pada PPOK. Metode Pemberian Terapi Oksigen Oksigen harus diberikan dengan cara yang sederhana dan fraksi inspirasi oksigen (FiO2) yang serendah mungkin yang dapat mempertahankan PaO2>60 mmHg dan SaO2 >90%. Peningkatan paO2 hanya memberi dampak kecil pada peningkatan oksigenasi tetapi akan meningkatkan resiko keracunan. Pemilihan metode pembrian oksigen tergantung dari : FiO2 yang dibutuhkan Kenyaman pasien Tingkat kelembapan yang dibutuhkan Kebutuhan terapi nebulisasi

Evaluasi dan Monitoring Terapi Oksigen 1. Pasien a. Pemeriksaan fisik Pada pasien hipoksemia, terapi oksigen akan memperbaiki fungsi jantung, menurunkan hipertensi pulmonal dan meningkatkan perfusi organ vital. Hal ini ditandai dengan denyut jantung dan tekanan darah yang stabil, tidak dijumpai lagi aritmia, sianosis, dan takipnu. Gangguan neurologic seperti kelelahan, disorientasi, juga menghilang. b. Pemeriksaan Analisa Gas Darah dan Pulse Oximetry Pemeriksaan AGD pada umumnya dilakukan 15-20 menit setelah pemberian oksigen atau segera dilakukan bila terjadi perubahan klinis pasien. Evaluasi berikutnya adalah: - 12 jam setelah pemberian FiO2 < 40% - 8 jam setelah pemberian FiO2 > 40% - 72 jam pada infark miokard akut - 2 jam pada pasien PPOK - 1 jam pada neonatus

2. Alat Semua alat untuk pemberian oksigen diperiksa ulang minimal 1 kali sehari Efek Samping Terapi Oksigen Oksigen sebaiknya diberikan dengan cara sederhana dan FiO2 yang serendah mungkin yang dapat memberikan hasil optimal. Target pemberian oksigen adalah mempertahankan PaO2 > 60 mmHg atau SaO2 > 90%. Peningkatan PaO2 hanya memberikan kenaikan saturasi sedikit dibandingkan dengan risiko terjadinya efek samping (komplikasi). Risiko terjadinya efek samping oksigen semakin meningkat dengan meningkatnya FiO2 dan lamanya oksigen diberikan. Toksisitas atau efek samping terapi oksigen sulit dinilai dan tergantung dari beberapa faktor yaitu toleransi pasien, dosis, dan lamanya pemberian oksigen. Selain paru, organ lain yang juga bisa terkena efek toksik pemberian oksigen dosis tinggi adalah: CNS: twitching, confusion, kejang Respirasi: absorption atelectasis, , trakeobronkitis, kerusakan jaringan akut dan kronik Mata: kerusakan retina, myopia Renal: kerusakan sel tubular Hematologik: hemolisis Kardiovaskular: kerusakan miosit Yang harus diperhatikan pada terapi oksigen: FiO2 < 50% jarang menimbulkan kerusakan paru akut walaupun diberikan untuk waktu yang lama Toksisitas O2 pada paru tidak pernah terjadi pada pemberian O2 100% dalam waktu 24 jam atau kurang. Tidak ada kontraindikasi pemberian O2 100% dalam keadaan darurat, walaupun demikian harus diingat bahwa mungkin saja terjadi absorption atelectasis Absorption atelectasis lebih mudah terjadi pada pasien yang sudah mempunyai kelainan di paru

Tosisitas O2 terhadap sistem respirasi Trakeobronkitis Gejala klinik: batuk, nyeri tenggorokan, rasa terbakar di daerah substernal, terjadi pada orang sehat yang mendapat O2 75-100% selama 24 jam. Pemeriksaan bronkoskopi pada orang normal yang diberikan O2 100% selama 6 jam memperlihatkan inflamasi di daerah trakeobronkial. Semua kelainan bersifat reversible.

Absorption atelectasis Dalam keadaan normal Nitrogen mempertahankan alveoli agar tidak kolaps. Pemberian O2 dosis tinggi akan mengeluarkan nitrogen dari alveoli. Pada daerah yang ventilasinya kurang baik O2 akan keluar dari alveoli sehingga alveoli menjadi kolaps. Gejala klinik: penurunan PaO2 secara progresif, demam, dan terlihat infiltrate pada foto toraks Kerusakan jaringan paru akut Proses patologi dibagi dua fase: o Fase eksudatif: kerusakan sel, edema, dan pembentukan membrane hialin o Fase proliferative: hyperplasia sel dinding alveoli dan fibrosis septal. Gejala klinik: demam, hipoksemia progresif, infiltrat di paru. Kelainan menghilang jika konsentrasi diturunkan. Kerusakan jaringan paru kronik Bersifat irreversible. Terdiri dari: dysplasia bronkopulmoner dan kerusakan jaringan kronik. Dysplasia bronkopulmoner: pada neonates dengan respiratory distress syndrome yang mendapat terapi oksigen dosis tinggi. Gejalanya: gangguan pertumbuhan, kesulitan pernapasan, dan perawatan berulang di rumah sakit. Kelainan patologi pada kerusakan jaringan paru kronik: proliferasi kapiler, fibrosis interstisial, hyperplasia epitel, dan perdarahan. Efek samping lain: Hiperkarbia pada pasien PPOK Retinopati pada bayi premature Pada pasien yang memakai nasal kanul: iritasi mukosa hidung, epistaksis, alergi terhadap bahan kanula, iritasi kulit.

Bagaimana mencegah efek samping? Dengan cara pemakaian konsentrasi oksigen serendah mungkin yang dapat mempertahankan PaO2 > 60 mmHg. Selain itu, monitor dengan AGD.

Alat-Alat Untuk Terapi Oksigen Di rumah sakit: Cara pemberian arus rendah: 1) Kanula hidung Adalah suatu pipa plastic lunak dengan ujung buntu yang dikaitkan ke telinga dan di bawah leher. Dapat pipakai untuk dewasa, anak, dan bayi. Kanula dihubungkan

dengan pipa kecil dan disambung ke humidifier. Kecepatan aliran antara 2-6 L/menit. FiO2 0,28-0,4. 2) Masker Dipergunakan bila level oksigen yang diberikan lebih tinggi dibandingkan kanula hidung. Terdiri dari beberapa jenis: a. Masker simple Digunakan pada wajah dengan mengikatkan pita kepala plastic. Kecepatan aliran oksigen bervariasi antara 5-10L/menit, FiO2 0,3-0,6.

b. Masker reservoir Terdiri dari: 1. Masker rebreathing

2. Masker nonrebreathing

Kedua masker tersebut beratnya ringan, platik transparan dengan reservoir di bawah dagu. Perbedaan kedua masker ini adalah pemakaian katup. Reservoir umumnya menampung sampai 600 mL. Pada masker nonrebreathing dihubungkan dengan katup/klep di antara reservoir dan masker. Dengan adanya klep, pada waktu ekspirasi udara dapat keluar melalui lubang samping antara katup dan reservoir, sehingga saat inspirasi hanya oksigen yang dihisap reservoir. Kecepatan aliran 10-12 L/menit, FiO2 0,35-1. Cara pemberian arus tinggi: 1) Venturi mask Konsentrasi O2 terbentuk dalam masker dengan udara di dalamnya, dengan cara ini oksigen diberikan dengan angka pasti. Alat yang digunakan nonaerosol dengan persen tetap (24, 28, 31, 36, 40, 50%).

2) Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) Sistem CPAP dengan regulator digunakan melalui sebuah flow meter menuju masker dan diakhiri dengan sebuah alat yang dapat mengukur tekanan antara 2,5-20 cmH2O. Masker dipasang pada wajah menggunakan pengikat kepala.

Pemberian Oksigen di rumah: Alat penghasil oksigen yang dapat digunakan di rumah adalah: 1. Silinder Bentuk besar dengan ukuran 240-622 L, lama pemberian 2-5,5 jam bila digunakan dengan kecepatan aliran 2 L/menit. Digunakan pada pasien yang tidak banyak bergerak. Harga relative murah. Jika habis, perlu penggantian silinder.

2. Sistem Oksigen liquid Ringan, bila digunakan dengan kecepatan aliran 2 L/menit, lama pemberiian 7 hari dapat dibawa sambil berjalan Harga lebih mahal, dapat diisi ulang.

3. Konsentrator Mengambil udara ruangan. Memiliki sistem filtrasi partikel besar, bakteri, gas non O2. Menggunakan listrik, tidak membutuhkan isi ulang.

DAFTAR PUSTAKA Uyainah A. Terapi Oksigen. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007:127-30. Rasmin M. Terapi Oksigen. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006.

You might also like