A. Pengetian Fiqh Muamalah Menurut etimologi, kata muamalah adalah bentuk masdar dari kata (amala-yuamilu- muamalatan) yang artinya adalahh saling bertindak, saling berbuat, dan saling beramal. Pengertian muamalah menurut terminologi dapat dibagi menjadi dua, yaitu : a. Pengertian fiqh muamalah dalam arti luas Diantara definisi yang dikemukakan oleh para ulama tentang definisi fiqh muamalah adalah : 1. Menurut Ad-Dimyati : Aktivitas untuk mennghasilkan duniawi untuk menyebabkan keberhasilan masalah ukhrawi. 2. Menurut Muhammad Yusuf Musa : Peraturan-peraturan Allah yang diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia. b. Pengertian fiqh muamalah dalam arti sempit Beberapa definisi fiqh muamalah menurut ulama adalah : 1. Menurut Hudhari Beik : muamalah adalah semua akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaat. 2. Menurut Idris Ahmad : muamalah adalah aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik. 3. Menurut Rasyid Ridha : Muamalah adalah tukar-menukar barang atau sesuatu yang bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan. B. Pembagian Fiqh Muamalah Ibn Abidin membagi menjadi lima bagian, yaitu : 1. Muawadhah Maliyah (hukum kebendaan) 2. Munakahat (hukum perkawinan) 3. Muhasanat (hukum acara) 4. Amanat dan Aryah (pinjaman) 5. Tirkah (harta peninggalan) 2 Wahidabdulrahman, UIN Bandung Sedangkan Al-Fikri, dalam kitab Al-Muamalah Al-Madiyah wa Al-Adabiyah, membagi fiqh muamalah menjadi dua bagian : 1. Al-Muamalah Al-Madiyah Al-Muamalah Al-Madiyah adalah muamalah yang mengkaji segi objeknya, yaitu benda. Sebagian ulama berpendapat bahwa muamalah al-madiyah bersifat kebendaan, yakni benda yang halal, haram, dan syubhat untuk dimiliki, diperjualbelikan atau diusahakan, benda yang menimbulkan kemadharatan dan mendatangkan kemaslahatan bagi manusia, dan lain-lain. 2. Al-muamalah Al-Adabiyah Al-Muamalah Al-Adabiyah maksudnya, muamalah ditinjau dari segi cara tukar menukar benda, yang sumbernya dari pancaindera manusia, sedangkan unsur-unsur penegaknya adalah hak dan kewajiban, sepert jujur, hasud, iri, dendam dan lain-lain. C. Ruang Lingkup Fiqh Muamalah Berdasarkan pembagian fiqh muamalah diatas, ruang lingkupnya pun dibagi dua : 1. Ruang lingkup muamalah adabiyah Hal-hal yang termasuk ruang lingkup muamalah Adabiyah adalah ijab dan kabul, saling meridhai, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, hak dan kewajiban, kejujuran pedagang penipuan, pemalsuan, penimbunan, dan segala sesuatu yang bersumber dari indera manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta. 2. Ruang lingkup fiqh muamalah madiyah a. Jual-beli (al-bai al-tijarah) b. Gadai (rahn) c. Jaminan dan tanggungan (kafalah dan dhaman) d. Pemindahan hutang (hiwalah) e. Jatuh bangkit (tafjis) f. Batas bertindak (al-hajru) g. Perseroan atau perkongsian (asy-siyrkah) h. Perseroan harta dan tenaga (al-mudharabah) i. Sewa menyewa tanah (al-musaqah al-mukhabarah) j. Upah (ujral al-amah) k. Gugatan (asy-syufah) l. Sayembara (al-jialah) m. Pembagian kekayaan bersama (al-qismah) n. Pemberian (al-hibah) 3 Wahidabdulrahman, UIN Bandung o. Pembebasan (al-ibra), damai (ash-shulhu) p. Beberapa masalah muashirah (muhaditsah), seperti masalah bunga bank, asuransi, kredit, dan masalah lainnya. D. Hubungan antara fiqh muamalah dan fiqh lainnya Telah disinggung bahwa para ulama fiqh telah mencoba mengadakan pembidangan ilmu fiqh. Namun demikian, diantara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam pembidangannya. 1. Ada yang membaginya menjadi dua baian, yaitu : a. Ibadah b. Muamalah 2. Ada yang membaginya menjadi tiga bagian, yaitu : a. Ibadah b. Muamalah c. Uqubah (pidana islam) 3. Ada yang membaginya menjadi empat bagian, yaitu : a. Ibadah b. Muamalah c. Munaqahat d. Uqubah (pidana islam Diantara pembagian diatas, pembagian yang pertama lebih banyak disepakati oleh para ulama. Hanya saja, maksud dari muamalah diatas adalah dalam arti luas, yang mencakup bidang-bidang fiqh lainnya. BAB 2 HARTA (AMWAL) A. Pembagian Harta Menurut etimologi, harta adalah :sesuatu yang dibutuhkan dan diperoleh manusia, baik berupa benda yang tampak seperti emas, perak, binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun (yang tidak tampak), yakni manfaat seperti kendaraan, pakaian, dan tempat tinggal. Adapun harta menurut istilah ahli fiqh teerbagi dalam dua pendapat : 1. Menurut ulama hanifah Harta adalah segala sesuatu yang dapat diambil, disimpan, dan dapat dimanfaatkan. Menurut definisi ini, harta memiliki dua unsur : a. Harta dapat dikuasai dan dipelihara 4 Wahidabdulrahman, UIN Bandung b. Dapat dimanfaatkan menurut kebiasaan 2. Pendapat jumhur ulama fiqh selain hanafiah segala sesuatu yang bernilai dan mesti rusaknya dengan menguasainya. B. Fungsi Harta Fungsi harta yang sesuai dengan ketentuan syara antara lain untuk : 1. Kesempurnaan ibadah mahzhah, seperti shalat memerlukan kain untuk menutupi aurat 2. Memelihara dan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT 3. Meneruskan estafeta kehidupan, agar tidak meninggalkan generasi lemah 4. Menyelaraskan antara kehidupan dunia dan akhirat C. Pembagian Harta Ulama fiqh membagi harta menjadi beberapa bagian yang setiap bagiannya berdampak atau berkaitan dengan beragam hukum (ketetapan), diantaranya beberapa bagian yang masyhur adalah : 1. Harta Muttaqawwim dan ghair Muttaqawwim Menurut Ulama Hanafiyah , keduanya dipandang sebagai harta muttaqawwim oleh nonmuslim. Oleh karena itu, umat islam yang merusaknya harus bertanggung jawab. Adapun menurut ulama selain hanafiyah, harta ghair muttaqawwim tetap dipandang muttaqawwim , sebab umat nonmuslim yang berada di negara islam harus mengikuti peraturan yang diikuti oleh umat islam. Dengan demikian, umat islam tidak bertanggung jawab jika merusaknya. 2. Harta Aqar dan Manqul Dalam mendefinisikan Aqar dan Manqul, Ulama fiqh terbagi dua, yaitu : a. Menurut ulama hanafiyah dan hanabilah Manqul adalah harta yang dapat dipindahkan dan di ubah dari tempat satu ke tempat lain, baik tetap pada bentuk dan keadaan semula, ataupun berubah bentuk dan keadaannya dengan perpindahan dan perubahan tersebut. Hal ini mencakup uang, barang dagangan, macam-macam hewan, benda-benda yang ditimbang dan diukur. Sedangkan Aqar adalah harta tetap, yang tidak mungkin dipindahkan dan diubah dari satu tempat ke tempat lain menurut asalnya, seperti rumah dan hal-hal yang membumi. b. Menurut ulama malikiyah Ulama Malikiyah menyempitkan cakupan manqul dan memperluas pengertian aqar, yaitu : Manqul adalah harta yang dapat dipindahkan dan diubah dari satu tempat ke tempat lain, dengan tidak berubah bentuk dan keadaannya seperti pakaian, buku, dan 5 Wahidabdulrahman, UIN Bandung sebagainya. Sedangkan Aqar adalah harta yang tidak dapat dipindahkan dan diubah pada asalnya, seperti tanah, atau mungkin dapat dipindahkan dan diubah dan terjadi perubahan pada bentuk dan keadaannya ketika dipindahkan, seperti rumah dan pohon. 3. Harta Mitsli dan Qimi Harta Mitsli adalah harta yang memiliki persamaan atau kesetaraan di pasar, tidak ada perbedaan pada bagian-bagiannya atau kesatuannya , yaitu perbedaan atau kekurangan yang bisa terjadi dalam aktivitas ekonomi. Harta mitsli terbagi atas empat bagian, yaitu harta yang ditakar seperti gandum, harta yang ditimbang seperti kapas dan besi, harta yang dihitung, seperti telur, dan harta yang dijual dengan meter, seperti pakaian. Sedangkan harta Qimi adalah harta yang tidak mempunyai persamaan dipasar atau mempunyai persamaan, tetapi ada perbedaan menurut kebiasaan antara kesatuannya pada nilai, seperti binatang dan pohon. 4. Harta Istihlaki dan istimali Harta Istihlaki adalah harta yang dapat diambil manfaatnya dengan merusak zatnya, contohnya macam-macam makanan, minuman, kayu bakar, kertas, uang, dan lain-lain. Sedangkan harta istimali adalah harta yang dapat diambil manfaatnya, sedangkan zatnya tetap (tidak berubah), contohnya seperti rumah, tempat tidur, pakaian, buku, dan lain-lain. 5. Harta Mamluk, Mubah, dan Mahjur a. Harta Mamluk adalah sesuatu yang ada dibawah kepemilikan, baik milik perseorangan, maupun milik badan hukum, seperti pemerintahan dan yayasan. b. Harta mubah adalah sesuatu yang pada asalnya bukan milik seseorang, seperti air pada mata air, binatang buruan darat, laut, pohon-pohon di hutan dan buah-buahannya. c. Harta Mahjur adalah sesuatu yang tidak dibolehkan dimiliki sendiri dan disyariatkan memberikannya kepada orang lain. Adakalanya benda itu merupakan benda wakaf ataupun benda yang dikhususkan untuk masyarakat umum, seperti jalan raya, mesjid, kuburan, segala harta yang diwakafkan. 6. Harta Ain dan Dain Harta ain adalah harta benda yang berbentuk benda, seperti rumah, meja, kursi, kendaraan, dan lain-lain. Harta ain terbagi dua yaitu, harta ain dzati qimmah, dan harta ghair dzati qimmah. Sedangkan harta Dain adalah sesuatu yang berada dalam tanggung. 7. Harta yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi Harta yang dapat dibagi (Qabi li al-qismah) adalah harta yang tidak menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta tersebut dibagi-bagi, seperti beras dan tepung. Sedangkan harta yang tidak dapat dibagi (Ghair qabi li al-qismah) adalah harta yang 6 Wahidabdulrahman, UIN Bandung menimbulkan kerugian atau kerusakan apabila harta tersebut dibagi-bagi, seperti piring, mesin dan meja. 8. Harta Pokok dan Harta Hasil Harta pokok adalah harta yang menyebabkan adanya harta yang lain, contohnya sapi. Sedangkan harta hasil (tsamarah) adalah harta yang terjadi dari harta lain, susu atau daging. 9. Harta Khas dan Harta Am Harta khas adalah harta pribadi yang tidak bersekutu dengan harta lain. Harta ini tidak dapat diambil manfaatnya atau digunakan kecuali atas kehendak atau atas seizinnya. Sedangkan harta Am adalah harta milik umum atau bersama, semua orang boleh mengambil manfaatnya sesuai dengan ketetapan yang disepakati bersama oleh umum atau penguasa. BAB 3 AKAD (PERIKATAN/PERJANJIAN) A. Pengertian Menurut segi etimologi, akad adalah ikatan antara dua perkara, naik ikatan secara nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi. Menurut bterminologi ulama fiqh akad dapat ditinjau dari dua segi, yaitu secara umum dan secara khusus : 1. Secara umum pengertian akad dalam arti luas hampir sama dengan pengertian akad dari segi bahasa menurut pendapat ulama Syafiiyah, malikiyyah, dan hanabilah, yaitusegala sesuatu yang dikerjakan oleh seesorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, dan pembebasan. 2. Secara khusus dikemukakan oleh ulama fiqh, yaitu perikatan yang ditetapkan dengan ijab-qabul berdasarkan ketentuan syara yang berdampak pada objeknya. B. Pembentukan Akad 1. Rukun Akad Ulama hanafiyah berpendapat bahwa rukun akad adalah ijab dan qabul, ulama selain hanafiyah berpendapat bahwa akad memiliki tiga rukun, yaitu orang yang akad (aqid), sesuatu yang diakadkan (mauqud alaih), dan sighat yaitu ijab dan qabul. Definisi Ijab dan Qabul Definisi ijab menurut ulama Hanafiyah adalah penetapan perbuatan tertentu yang menunjukan keridaan yang diucapkan oleh orang pertama, baik yang menyerahkan meupun yang menerima, sedangkan qabul adalah orang yang berkata setelah orang yang mengucakan ijab, yang menunjukan keridaan atas ucapan orang pertama. Menurut ulama selain hanafiyah 7 Wahidabdulrahman, UIN Bandung berpendapat bahwa akad adalah pernyataan yang keluar dari orang yang menyerahkan benda, baik dikatakan oleh orang pertama atau kedua, sedangkan qabul adalah pernyataan dari orang yang menerima barang. 2. Unsur-unsur Akad Unsur-unsur akad adalah sesuatu yang merupakan pembentukan adanya akad, yaitu beerikut ini : 1. Sighat Akad Sighat akad adalah sesuatu yang disandarkan dari dua pihak yang berakad yang menunjukan atas apa yang ada di hati dengan ucapan perbuatan, isyarat, dan tulisan. Diantara para ulama berbeda pendapat dalam sighat akad pernikahan sebab pernikahan dianggap suci dan penting. a. Ulama hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa sighat akad dalam pernikahan dibolehkan dengan akad apa saja, seperti menikahkan, menjadikan, menghibahkan dan lain-lain dengan syarat mengucapkan kalimat-kalimat tersebut diikuti dalam hati bahwa maksudnya adalah pernikahan. b. Ulama Hanabilah dan Syafiiyah berpendapat bahwa shigat akad dalam pernikahan tidak sah, kecuali menggunakan kata nakaha dan zawaja atau yang semakna dengannya bagi yang memahami bahasa arab. Namun bagi yang tidak memahami bahasa Arab, mereka dapat menggunakan kata yang sama maksudnya dengan kata nakaha dan zawaja. 2. Al-Aqid (Orang yang Akad) Al-Aqid adalah orang yang melakukan akad. Keberadaannya sangat penting sebab tidak dapat dikatakan akad jika tidak ada aqid. Begitu pula tidak akan terjadi ijab qabul tanpa adanya aqid. Ulama malikiyah dan Hanafiyah mensyaratkan aqid harus berakal, yakni sudah mumayiz, anak yang agak besar yang pembicaraannya dan jawaban yang dilontarkannya dapat dipahami, serta berumur minimal 17 tahun. Oleh karena itu, dipandang tidak sah suatu akad yang dilakukan oleh anak kecil yang belum mumayiz, orang gila dan lain-lain. Adapun Ulama Syafiiyah dan Hanabilah mensyaratkan aqid harus baligh (terkena printah syara), berakal, telah mampu memelihara agama dan hartanya. Dengan demikian, Ulama Hanabilah membolehkan anak kecil membeli barang yang sederhana dan tasharruf atas seizin walinya. Diantara akad yang dipandang sah dilakukan oleh anak mumayiz menurut pandangan Ulama Hanafiyah dan Malikiyah adalah : 8 Wahidabdulrahman, UIN Bandung a. Tasharrut (aktivitas atas benda) yang bermanfaat bagi dirinya secara murni, yakni suatu akad tentang kepemilikan sesuatu yang tidak memerlukan qabul, seperti berburu, menerima hibah dan lain-lain. b. Tasharruf yang mengandung kemadaratan secara murni, yakni pengeluaran barang miliknya tanpa memerlukan qabul, seperti hibah, memeberikan pinjaman, dan lain- lain. c. Tasharruf yang berada antara manfaat dan madarat, yakni akad yang berdampak kepada untung dan rugi. Tasharruf ini tidak dapat dilakukan oleh anak-anak mumayyiz , tanpa seizin walinya. 3. Mahal Aqd (Al-Maqud alaih) Mahal Aqd (Al-Maqud alaih) adalah objek akad atau benda-benda yang dijadikan akad yang bentuknya tampak dan membekas. Barang tersebut dapat berbentuk harta benda, seperti barang dagangan; benda bukan harta, seperti dalam akad pernikahan; dan dapat pula berbentuk suatu kemanfaatan, seperti dalam masalah upah-mengupah, dan lain-lain. Dalam islam, tidak semua barang dapat dijadikan objek akad, misalnya minuman keras. Oleh karena itu, fuqaha menetapkan empat syarat dalam objek akad berikut ini : a. Maqud alaih (barang) harus ada ketika akad Berdasarkan syarat ini, barang yang tidak ada ketika akad tidak sah dijadikan objek akad, seperti jual beli sesuatu yang masih dalam tanah atau menjual anak kambing yang masih dalam kandungan induknya. Namun demikian, diantara ulama terjadi perbedaan tentang akad atas barang yang tidak tampak. Ulama Syafiiyah dan Hanafiyah melarang secara mutlak berbagai urusan barang apa saja yang tidak tampak, kecuali dalam beberapa hal, seperti upah-mengupah, menggarap tanah, dan lain-lain. Ualam Malikiyah hanya menetapkan pada akad yang sifatnya saling menyerahkan (al-muawidhat) dalam urusan harta, seperti jual beli. Adapun pada akad yang bersifat tabarru (derma) seperti hibah, sedekah, mereka tidak mensyaratkannya. Ulama Hanabilah tidak menggunakan syarat ini tetapi menganggap cukup jelas atas larangan-larangan syara terhadap beberapa akad. b. Maqud alaih harus masyru(sesuai ketentuan syara) Ulama fiqh sepakat bahwa barang yang dijadikan akad harus sesuai dengan ketentuan syara. Oleh karena itu, dipandang tidak sah, akad atas barang yang diharamkan syara seperti bangkai, minuman keras dan lain-lain. c. Dapat diberikan waktu akad Disepakati oleh ulama fiqh bahwa barang yang dijadikan akad harus dapat diserahkan ketika akad. Dengan demikian, maqud alaih yang tidak diserahkan ketika akad seperti jual 9 Wahidabdulrahman, UIN Bandung beli burung yang ada di udara, harta yang sudah diwakafkan, dan lain-lain, tidak dipandang terjadi akad. d. Maqud alaih harus diketahui oleh kedua pihak yang akad Ulama fiqh menetapkan bahwa maqud alaih harus jelas diketahui oleh kedua pihak yang akad. Larangan As-Sunnah sangat jelas dalam jual beli gharar (baran yang samar yang mengandung penipuan), dan barang yang tidak diketahui oleh pihak yang akad. e. Maqud alaih harus suci Ulama selain Hanafiyah menerangkan bahwa maqud alaih harus suci, tidak najis dan muntanajis (terkena najis). Dengan kata lain, maqud alaih yang dapat dijadikan akad adalah segala sesuatu yang suci, yakni yang dapat dimanfaatkan menurut syara. Oleh karena itu, anjing, bangkai, darah, tidak boleh diperjualbelikan. Ulama Hanafiyah tidak menetapkan syarat diatas. Oleh karena itu, mereka membolehkan penjualan bulu binatang, kulit bangkai untuk dimanfaatkan. Maqud alaih yang mereka larang untuk dijadikan akad adalah yang jelas dilarang syara, seperti anjing, khamar, bangkai, dan lain-lain. 4. Maudhu (tujuan) Akad Maudhu akad adalah maksud utama diisyaratkannya akad. Dalam syariat islam, maudhu akad iniharus benar dan sesuai dengan ketentuan syara. Diantara para ulama, ada yang memandang bahwa akad yang shahih harus bersesuaian antara zahir dan batin akad. Akan tetapi, sebagian ulama lainnyatidak mempermasalahkan masalah batin atau tujuan akad. Ulama Hanafiyah dan Syafiiyah menetapkan beberapa hukum akad yang dinilai secara zahir sah, tetapi makruh tahrim, yaitu : a. Jual-beli yang menjadi perantara munculnya riba b. Menjual anggur untuk dijadikan khamar c. Menjual senjata untuk menunjang pemberontakan atau fitnah, dan lain-lain. Adapun ulama Malikiyah, Hanabilah, Syiah yang mempeermasalahkan masalah batin akad, berpendapat bahwa suatu akad tidak hanya dipandang dari segi zahirnya saja, tetapi juga batin. Dengan demikian, memandang akad dengan sesuatu yang tidak bersesuaian dengan ketentuan syara dianggap batal. C. Syarat-Syarat Akad 1. Syarat Terjadinya Akad Syarat Terjadinya Akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan untuk terjadinya akad secara syara. Syarat ini terbagi dua bagian yaitu : a. Umum, yakni syarat-syarat yang harus ada pada setiap akad 10 Wahidabdulrahman, UIN Bandung b. Khusus, yakni syarat-syarat yang harus ada pada sebagian akad, dan tidak disyaratkan pada bagian lainnya. 2. Syarat sah akad Syarat sah akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan syara untuk menjamin dampak keabsahan akad. Jika tidak terpenuhi akad tersebut rusak. Ada kekhususan syarat sah akad pada setiap akad. Ulama Hanafiyah mensyaratkan terhindarnya seseorang dari enam kecacatan dalam jual-beli, yaitu kebodohan, paksaan, pembatasan waktu, perkiraan, ada unsur kemadaratan, dan syarat-syarat jual-beli rusak (fasid). 3. Syarat Pelaksanaan Akad Dalam pelaksanaan akad, ada dua syarat yaitu : a. kepemilikan dan b. kekuasaan 4. Syarat Kepastian hukum (luzum) Dasar dalam akad adalah kepastian. Diantara syarat luzum dalam jual-beli adalah terhindarnya dari beberapa khiyar jual-beli seperti khiyar syarat, khiyar aib, dan lain-lain. D. Dampak Akad Setiap akad dipastikan memeiliki dua dampak, yaitu umum dan khusus. 1. Dampak Umum Dampak umum adalah segala sesuatu yang mengiringi setiap atau sebagian besar akad, baik dari segi hukum maupun hasil. 2. Dampak khusus Dampak khusus adalah hukum akad, yakni dampak asli dalam pelaksanaan suatu akad atau maksud utama dilaksanakannya suatu akad, seperti pemindahan kepemilikan dalam jual- beli riba, hibah, wakaf, upah dan lain-lain. E. Pembagian Akad Akad dibagi beberapa macam, yang setiap macamnya sangat bergantung pada sudut pandangnya. Diantara bagian akad yang terpenting adalah sebagai berikut : 1. Berdasarkan ketentuan syara a. Akad shahih b. Akad tidak shahih 2. Berdasarkan penamaannya a. Akad yang telah dinamai syara, seperti jual-beli, hibah, gadai, dan lain-lain. b. Akad yang belum dinamai syara, tetapi disesuaikan dengan perkembangan zaman 3. Berdasarkan maksud dan tujuan akad 11 Wahidabdulrahman, UIN Bandung a. Kepemilikan b. Menghilangkan kepemilikan c. Kemutlakan, yaitu seseorang mewakilkan secara mutlak kepada wakilnya d. Perikatan, yaitu larangan kepada seseorang untuk beraktivitas, seperti orang gila. e. Penjagaan 4. Berdasarkan Zatnya a. Benda yang berwujud (al-ain) b. Benda tidak berwujud (ghair al-ain) F. Sifat-Sifat Akad 1. Akad tanpa syarat (akad munjiz) adalah akad yang diucapkan seseorang, tanpa memberi batasan dengan suatu kaidah atau tanpa menetapkan suatu syarat. 2. Akad bersyarat (akad ghair munjiz) adalah akad yang diucapkan seseorang dan dikaitkan dengan sesuatu, yakni apabila syarat atau kaitan itu tidak ada, akad pun tidak jadi, baik dikatakan dengan wujud sesuatu tersebut atau ditangguhkan pelaksanannya. Akad ghair munjiz ada tiga macam : Talik syarat Taqyid syarat Syarat idhafah G. Akhir Akad Akad dapat berakhir dengan pembatalan, meninggal dunia, atau tanpa adanya izin dalam akad mauquf (ditangguhkan). BAB 4 BAI (JUAL-BELI) A. Definisi, Landasan, dan Rukun Jual-Beli 1. Pengertian Jual-Beli Secara etimologi, jual-beli diartikan pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain). Adapun jual-beli menurut terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya antara lain : a. Menurut Ulama Hanafiyah jual-beli adalah pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan). b. Menurut Imam Nawawi dalam al-majmu jual-beli adalah pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan. 12 Wahidabdulrahman, UIN Bandung c. Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mugni jual-beli adalahpertukaran harta dengan harta, untuk saling menjadikan milik. 2. Landasan Syara a. Al-Quran diantaranya : _> < _,,l > ,l Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (Q.S Al-Baqarah :275) .: :| `.-,!,. ... dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli...(Q.S. Al-Baqarah : 282) b. As-Sunah diantaranya : :.. ( . : ) Artinya : Nabi Saw ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik beliau menjawab, seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur. (H.R. Bajjar, Hakim menyahihkannya dari Rifaaah ibn Rafi)
) ( Artinya : Jual-beli harus dipastikan harus saling meridai. (H.R. Baihaqi dan Ibn Majjah. c. Ijma Ulama sepakat bahwa jual-beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai. 3. Rukun dan Pelaksanaan Jual-Beli Dalam menetapkan rukun jual-beli, diantara para ulam berbeda pendapat. a) Menurut Ulama Hanafiayah, rukun jual-beli adalah : Ijab dan qabul yang menunjukan pertukaran barang secara rida, baik dengan ucapan maupun perbuatan. b) Adapun rukun jual beli menurut jumhur ulama ada empat yaitu : a. Bai (penjual) 13 Wahidabdulrahman, UIN Bandung b. Mustari (pembeli) c. Sighat (ijab dan qabul) d. Maqud alaih (benda atau barang) B. Syarat Jual-Beli Diantara Ulama fiqh berbeda pendapat menetapkan persyaratan jual-beli, yaitu sebagai berikut : 1. Menurut Ulama Hanafiyah Persyaratan yang ditetapkan oleh ulama Hanafiyah berkaitan dengan syarat jual beli adalah : a. Syarat terjadinya akad (Iniqad) 1. Syarat aqid Berakal dan mumayyiz Aqid harus berbilang 2. Syarat dalam Akad Ijab dan qabul harus bersatu 3. Tempat akad Harus bersatu atau berhubungan antara ijab dan qabul 4. Maqud Alaih (objek akad) Maqud alaih harus ada Harta harus kuat, tetap dan bernilai Benda tersebut milik sendiri Dapat diserahkan b. Syarat Pelaksanaan Akad Benda dimiliki aqid atau berkuasa untuk akad Pada benda tidak terdapat milik orang lain c. Syarat Sah Akad Syarat Umum Syarat Khusus d. Syarat Lujum (kemestian), syarat ini hanya ada satu yaitu akad jual-beli harus terlelpas atau terbebas dari khiyar (pilihan) yang berkaitan dengan kedua pihak yang akad dan akan menyebabkan batalnya akad. 2. Menurut Maliki Syarat-syarat yang dikemukakan oleh ulama Malikiyah yang berkenaan dengan aqid (orang yang akad), shigat, dan maqud alaih (barang) yaitu : 14 Wahidabdulrahman, UIN Bandung a. Syarat Aqid Penjual dan pembeli harus mumayyiz Keduanya merupakan pemilik barang atau yang dijadikan wakil Keduanya dalam keadaan sukarela Penjual harus sadar dan dewasa b. Syarat Dalam Shighat Tempat akad harus bersatu Pengucapan ijab dan qabul tidak terpisah c. Syarat Harga dan Yang Dihargakan Bukan barang yang dilarang syara Harus suci Bermanfaat menurut pandangan syara Dapat diketahui oleh kedua orang yang akad Dapat diserahkan 3. Menurut Madzhab Syafiiyah Ulama Syafiiyah mensyaratkan 22 syarat, yang berkaitan dengan aqid, shighat, dan maqud alaih pernyatan tersebut adalah : a. Syarat Aqid Dewasa atau sadar Tidak dipaksa atau tanpa hak Islam Pembeli bukan musuh b. Sayrat Shighat Berhadap-hadapan Ditujukan pada seluruh badan yang akad Qabul diucapkan oleh orang yang dituju dalam ijab Harus menyebutkan barang atau harga Ketika mengucapkan shighat harus disertai niat (maksud) Pengucapan ijab dan qabul harus sempurna Ijab qabul tidak terpisah Antara ijab dan qabul tidak terpisah dalam pernyataan lain Tidak berubah lafazh Bersesuaian antara ijab dan qabul secara sempurna Tidak dikaitkan dengan sesuatu 15 Wahidabdulrahman, UIN Bandung Tidak dikaitkan dengan waktu c. Syarat Maqud alaih (barang) Suci Bermanfaat Dapat diserahkan Barang milik sendiri atau menjadi wakil orang lain Jelas dan diketahui oleh kedua orang yang melakukan akad 4. Menurut Madzhab Hambali Menurut Madzhab Hanabilah, persyaratan jual beli-beli terdiri atas 11 syarat, baik dalam aqid, shighat, dan maqud alaih. a. Syarat Aqid Dewasa Ada keridaan b. Syarat Shighat Berada ditempat yang sama Tidak terpisah Tidak dikaitkan dengan sesuatu c. Syarat Maqqud alaih Harus berupa harta Milik penjual secara sempurna Barang dapat diserahkanketika akad Barang diketahui oleh penjual dan pembeli Harga diketahui oleh kedua pihak yang akad Terhindar dari unsur-unsur yang menjadikan akad tidak sah C. Hukum Dan Sifat Jual-Beli Ditinjau dari hukum dan sifat jual beli, jumhur ulama membagi jual beli menjadi dua macam, yaitu jual beli yang dikategorikan sah (sahih) dan jual beli yang dikategorikan tidak sah. Jual beli sahaih adalah jual beli yang memenuhi ketentuan syara, baik rukun maupun syaratnya, sedangkan jual-beli tidak sah adalah jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukun sehingga jual- beli jadi rusak (fasid) atau batal. Dengan kata lain menurut jumhur ulama, rusak dan batal memiliki arti yang sama. Adapun ulama Hanfiyah membagi hukum dan sifat jual-beli menjadi sah, batal dan rusak.
16 Wahidabdulrahman, UIN Bandung D. Jual-Beli yang Dilarang dalam Islam Jual-beli yang dilarang dalam Islam sangatlah banyak. Jumhur ulama, tidak membedakan atara fasid dan batal. Dengan kata lain, menurut Jumhur Ulama, Hukum Jual- Beli terbagi dua, yaitu jual-beli shaih dan jual-beli fasid, sdangkan menurut Ulama Hanafiyah jual beli terbagi tiga, jual beli sahih, fasid dan batal. E. Macam-Macam Jual-Beli a. Jual beli berdasarkan pertukarannya secara umum dibagi empat macam : 1. Jual beli saham 2. Jual beli muqayadhah 3. Jual beli muthlaq 4. Jual beli alat penukar dengan alat penukar b. Jual-beli berdasarkan segi harga, dibagi empat bagian pula : 1. Jual beli yang menguntungkan (al-murabahah) 2. Jual beli yang tidak menguntungkan 3. Jual beli rugi (al-khasarah) 4. Jual beli almusawah BAB 5 KHIYAR A. Arti dan Jumlah Khiyar Pengertian khiyar menurut Ulama Fiqh adalah suatu keadaan yang menyebabkan aqid memiliki hak untuk memutuskan akadnya, yakni menjadikan atau membatalkannya jika khiyar tersebut berupa khiyar syarat, aib atau ruyah, atau hendaklah memilih diantara dua barang jika khiyar tayin. Jumlah khiyar sanat banyak dan diantara para ula telah terjadi perbedaan pendapat. Menurut Ulama Hanafiyah jumlahnya ada 17. Ulama Malikiyah membagi khiyar menjadi dua bagian, yaitu khiyar at-taamul (melihat, meneliti), yakni khiyar secara mutlak, dan khiyar Naqish (kurang) yakni apabila terdapat kekurangan atau aib pada barang yang dijual (khiyar al-hukmy). Ulama Syafiiyah berpendapat bahwa khiyar terbagi dua, khiyar at-tasyahi yaitu khiyar yang menyebabkan pembeli memperlama teransaksi sesuai dengan selarasnya terhadap barang, kedua adalah khiyar naqishah yang disebabkan adanya perbedaan dalam lafadz atau adanya kesalahan dalam perbuatan atau adanya penggantian. Adapun khiyar 17 Wahidabdulrahman, UIN Bandung didasarkan pada syara menurut ulama Syafiiyah ada 16 dan menurut ulama Hanbilah jumlah khiyar ada 8 macam. B. Khiyar Paling Masyhur 1. Khiyar Syarat Khiyar syarat menurut ulama fiqh adalah suatu keadaan yang membolehkan salah seorang yang akad atau masing-masing yang akad atau selain kedua pihak yang akad memiliki hak atas pembatalan atau penetapan akad selama waktu yang ditentukan. 2. Khiyar majlis Pendapat ulama Hanafiyah dan Malikiyah, golongan ini berpendapat bahwa akad dapat menjadi lajim dengan adanya ijab dan qabul, serta tidak bisa hanya dengan khiyar. Sedangkan menurut ulama Syafiiyah dan Hnabilah berpendapat adanya khiyar majlis. Kedua golongan ini berpendapat bahwa jika pihak yang akad menyatakan ijab dan qabul, akad tersebut masih termasuk akad yang boleh atau tidak lazim selagi keduanya masih berada ditempat atau belum berpisah badannya. Keduanya masih memiliki kesempatan untuk membatalkan, menjadikan atau saling berpikir. 3. Khiyar Aib (cacat) Khiyar Aib menurut ulama fiqh adalah keadaan yang membolehkan salah seorang yang akad memilki hak untuk membatalkan akad atau menjadikannya ketika ditemukan aib (kecacatan) dari salah satu yang dijadikan alat tukar menukar yang tidak diketahui pemiliknya waktu akad. BAB 6 SEWA-MENYEWA/UPAH MENGUPAH A. Arti, Landasan, dan Rukun Ijarah 1. Pengertian Ijarah menurut beberapa pendapat ulama fiqh yaitu : a. Menurut Ulama Hanafiyah adalah akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti b. Menurut Ulama Syafiiyah adalah akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu. c. Menurut Ulama Malikiyah dan Hanabilah adalah menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.
18 Wahidabdulrahman, UIN Bandung 2. Landasan Syara Jumhur ulama berpendapat bahwa ijarah disyariatkan berdasarkan Al-Quran, As- Sunah, dan Ijma. 3. Rukun Ijarah Menurut Ulama Hanafiyah, rukun Ijarah adalah ijab dan qabul, adapun menurut Jumhur ulama rukun ijarah ada 4 macam yaitu, aqid (orang yang akad), shighat akad, Ujrah (upah), manfaat. B. Syarat Ijarah Syarta ijarah terdiri dari 4 macam, sebagaimana syarat dalam jual-beli yaitu syarat al- inqad (terjadinya akad), syarat an-nafadz (syarat pelaksanaan akad), syarat sah, dan syarat lazim. C. Sifat dan Hukum Ijarah Sifat ijarah menurut ulama Hanafiyah adalah akad lazim yang boleh dibatalkan, sebaliknya menurut pendapat Jumhur ulama bahwa ijarah adalah akad lazim yang tidak dapat dibatalkan, kecuali dengan adanya sesuatu yang merusak pemenuhannya. Hukum ijarah terbagi dua yaitu hukum ijarah sahih dan hukum ijarah fasid. BAB 7 PINJAM MEMINJAM (ARIYAH) DAN QARAD A. Pengertian dan Landasan Ariyah 1. Pengertian Ariyah menurut pendapat Ulama Fiqh adah sebaai berikut : a. Menurut Syarkhasyi dan Malikiyah adalah pemilikan atas manfaat (suatu benda) tanpa pengganti. b. Menurut Ulama Syafiiyah dan Hanabilah adalah pembolehan (untuk mengambil) manfaat tanpa mengganti. 2. Landasa Syara Ariyah dianjurkan (mandub) dalam Islam, yang didasarkan pada Al-Quran dan Sunah. a. Al-Quran : .!-. _ls l _1`.l dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa. (Q.S. Al-Maidah ; 2) 19 Wahidabdulrahman, UIN Bandung b. As-Sunah Dalam Hadis Bukhari dan Muslim dari Anas, dinyatakan bahwa Rasulullah Saw telah meminjam kuda dari Abu Thalhah, kemudian beliau mengendarainya. B. Rukun dan Syarat Ariyah 1. Rukun Ariyah Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ariyah hanyalah ijab dari yang meminjamkan barang, sedangkan qabul bukan merupakan rukun ariyah. Menurut Ulama Syafiiyah, dalam ariyah diisyaratkan adalnya lafadz shighat akad, yakni ucapan ijab dan qabul dari peminjam dan yang meminjamkan barang pada waktu bertransaksi sebab memanfaatkan milik barang bergantung pada adanya izin. Secara umum Jumhur Fiqh menyatakan bahwa rukun ariyah ada empat yaitu, Muir (peminjam), Mustair (yang meminjamkan), Muar (barang yang dipinjam), shighat yaitu sesutu yang menunjukan kebolehan untuk mengambil manfaat, baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan. 2. Syarat Ariyah Ulama fiqh mensyaratkan dalam akad ariyah sebagai berikut : a. Muir dalam keadaan sehat b. Pemegangan barang oleh peminjam c. Barang dapat dimanfaatkan tanpa merusak zatnya, jika barang tidak dapat dimanfaatkan , akad tidak sah 3. Sifat Ariyah Ulama Hanafiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa hak kepemilikan pinjam atas barang adalah hak tidak lazim sebab merupakan kepemilikan yang tidak ada penggantinya. C. QARAD 1. Pengertian Qarad Pengertian Qarad menurut ulama Hanafiyah adalah sesuatu yang diberikan seseorang dari harta mitsil (yang memiliki perumpamaan) untuk memenuhi kebutuhannya. Qarad dibolehkan dalam islam yang bersumber pada As-Sunah dan Ijma. 2. Pelaksanaan dan Shighat Qarad dipandang sah apabila dilakukan terhadap barang-barang yang dibolehkan syara. Selain itu qarad pun dipandang sah setelah adanya ijab dan qabul, seperti pada jual beli dan hibah.
20 Wahidabdulrahman, UIN Bandung 3. Khiyar dan Penangguhan Ulama Syafiiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa dalam qarad tidak ada khiyar sebab maksud dari khiyar adlah membatalkan akad, sedangkan dalam qarad, masing-masing berhak boleh membatalkan akad kapan saja dia mau. Jumhur Ulama melarang penagguhan pembayaran qarad samapi waktu tertentu sebab dikhawatirkan akan menjadi riba nasiah. Namun demikian, ulama Hanafiyah menetapkan keharusan untuk menangguhkan qarad pada empat keadaan yaitu, wasiat, diasingkan, berdasarkan keputusan hakim, dan hiwalah. 4. Barang yang sah dijadikan Qarad Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa Qarad dipandang sah pada harta mitsil, yaitu sesuatu yang tidak terjadi perbedaan yang menyebabkan terjadinya perbedaan nilai. Diantara yang dibolehkan adalah benda-benda yang ditimbang, ditakar atau dihitung. Ulama Malikiyah, Sayafiiyah, dan Hanabilah membolehkan qarad pada setiap benda yang tidak dapat diserahkan, baik yang ditakar maupun yang ditimbang, seperti emas dan perak atau yang bersifat nilai, seperti barang dagangan, hewan, atau benda yang dihitung. Jumhur Ulama membolehkan, qarad pada setiap benda yang dapat diperjualbelikan, kecuali manusia. 5. Hukum (ketetapan) Qarad Menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad, qarad menjadi tetap setelah pemegangan atau penyerahan. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa ketetapan Qarad, sebagaimana terjadi pada akad-akad lainnya, adalah dengan adanya akad walaupun belum ada penyerahan dan pemegangan. Pendapat ulama Hanabilah dan Syafiiyah senada dengan pendapat Abu Hanifah bahwa ketetapan qarad dilakukan setelah penyerahan atau pemegangan. 6. Tempat Membayar Qarad Ulama fiqh sepakat bahwa qarad harus dibayar ditempat terjadinya akad secara sempurna. Namun demikian, boleh membayarnya ditempat lain apabila tidak ada keharusan untuk membawanya atau memindahkannya. BAB 8 GADAI (RAHN) A. Arti, Landasan, dan Rukun Gadai Ariyah 1. Pengerttian Rahn Ulama Fiqh berbeda pendapat dalam mendefinisikan rahn adalh sebagai berikut : 21 Wahidabdulrahman, UIN Bandung a. Menurut Ulama syafiiyah adalah menjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang. b. Menurut Ulama Hanabilah adalah harta yang dijadikan jaminan utang sebagai pembayar harga (nilai) utang ketika yang berhutang berhalangan (tak mampu) membayar utangnya kepada pemberi pinjaman. 2. Sifat Rahn Secara umum rahn dikategorikan sebagai akad yang bersifat derma sebab apa yang diberikan penggadai (rahn) kepada penerima gadai (murtahin) tidak ditukar dengan sesuatu.
3. Landasan Rahn Rahn disyariatkan berdasarkan Al-Quran, As-Sunah dan Qiyas. 4. Hukum Rahn Para Ulama sepakat bahwa Rahn dibolehkan, tetapi tidak diwajibkan sebab gadai hanya jaminan saja jika kedua pihak tidak saling mempercayai. 5. Rukun Rahn dan Unsur-unsurnya Rahn memiliki empat unsur yaitu, rahin (orang yang memberikan pinjaman), al- murtahin (orang yang menerima), al-marhun (jaminan), dan al-marhun nih (utang). Menurut Ulama Hanafiyah rukun Rahn adalah ijab dan qabul dari rahin dan al-murtahin, sebagaimana pada akad yang lain. Adapun menurut ulama selain Hanafiyah, rukun Rahn adalah shighat, aqid (orang yang akad), marhun, dan marhun bih. B. Sayarat-Syarat Rahn Dalam Rahn disyaratkan beberapa syarat berikut : 1. Persyaratan Aqid, yaitu menurut ulama Hanafiyah adalah orang yang telah sah untuk jual-beli, yakni berakal dan mumayyiz, tetapi tidak disyaratkan harus baligh. Menurut ulama selain Hanafiyah yaitu Rahn tidak boleh dilakukan oleh orang yang mabuk, gila, bodoh, atau anak kecil yang belum baligh. 2. Syarat Shighat, Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa shighat dalam rahn tidak boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Adapun menurut ulama selain Hanafiyah, syarat dalam rahn ada ada yang sahih dan ada yang rusak. 3. Syarat Marhun Bih (utang), marhun bih hendaklah barang yang wajib diserahkan, marhun bih memungkinkan dapat dibayarkan, hak atas marhun bih harus jelas. Ulama Hanabilah dan Syafiiyah membagi tiga syarat bagi marhun bih yaitu, berupa utang yang tetap dan dapat dimanfaatkan, utang harus lazim pada waktu akad, utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin. 22 Wahidabdulrahman, UIN Bandung 4. Syarat Marhun (Borg), Ulama Hanafiyah mensyaratkan marhun antara lain, dapat diperjual-belikan, bermanfaat, jelas, milik rahin, bisa diserahkan, tidak bersatu dengan harta lain, dipegang (dikuasai oleh rahin, harta yang tetap atau dapat dipindahkan. C. Hukum Rahn dan Dampaknya Hukum Rahn secara umum terbagi dua yaitu sahih dan ghair sahih (fasid). Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa Rahn ghair sahih tebagi menjadi dua yaitu, batal dan fasid. D. Pertambahan Borg Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa tambahan yang terjadi pada borg yang termasuk rahn, baik yang berkaitan dengan rahn atau yang terpisah. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa termasuk pada rahn adalah sesutu yang dihasilkannya, berkaitan dan tidak berpisah. Ulama Syafiiyah berpendapat bahwa segala tambahan dari rahn, baik yang dilahirkan dari borg atau bukan, berkaitan dengan borg atau tidak, semuanya termasuk rahn. E. Akhir Rahn 1. Rahn diserahkan Kepada Pemiliknya 2. Dipaksa Menjual Borg 3. Rahin melunasi semua utang 4. Pembebasan utang 5. Pembatalan rahn dari pihak murtahin 6. Rahin meninggal 7. Borg Rusak 8. Tasharruf dan Borg F. Perbedaan Antara Rahin Dan Murtahin 1. Perbedaan Dalam Jumlah Utang 2. Perbedaan Penyebab Kerusakan pada Borg 3. Perbedaan Dalam Pemegangan (penyerahan) Borg 4. Perbedaan Tentang Waktu Borg Rusak 5. Perbedaan Jenis Borg BAB 9 PERKONGSIAN (SYIRKAH) A. Arti, Landasan, dan Pembagian Syirkah 1. Pengertian Syirkah 23 Wahidabdulrahman, UIN Bandung a. Menurut Malikiyah perkongsian adalah izin untuk mendayagunakan (tasharruf) harta yang dimiliki dua orang secara bersama-sama oleh keduanya, yakni keduanya saling mengizinkan kepada salah satunya untuk mendayagunakan harta milik keduanya, namun masing-masing memiliki hak untuk bertasharruf. b. Menurut Hanabilah perhimpunan adalah hak (kewenangan) atau pengolahan harta (tasharruf). c. Manurut Syafiiyah syirkah adalah ketetapan hak pada sesuatu yang dimiliki dua orang atau lebih dengan cara yang masyhur (diketahui). d. Menurut Hanafiyh perkongsian adalah ungkapan tentang adanya transaksi (akad) antara dua orang yang bersekutu pada pokok harta dan keuntungan. 2. Landasan Syirkah didasarkan pada Al-Quran, Al-Hadis, dan ijma 3. Pembagian perkongsian Perkongsian terbagi atas dua macam, yaitu : a. Perkongsian Amlak Perkongsian ini dibagi dua macam yaitu : Perkongsian sukarela (ihtiar) Perkongsian paksaan (ijbar) b. Perkongsian Uqud Menurut Ulama Hanabilah, perkongsian ini dibagi lima, yaitu : Perkonngsian inan Perkongsian Mufawidhah Perkongsian abdan Perkongsian wujuh Perkongsian mudharabah Secara umum fuqaha mesir yang kebanyakan bermadzhab Syafii dan Maliki, berpendapat bahwa perkongsian terbagi atas empat macam yaitu : Perkongsian inan Perkongsian mufawidhah Perkongsian abdan Perkongsian wujuh B. Sifat Akad Perkongsian dan Kewenangan a. Hukum kepastian (Luzum ) Syirkah 24 Wahidabdulrahman, UIN Bandung Kebanyakan ulama fiqh berpendapat bahwa akad syirkah dibolehkan, tetapi tidak lazim. Oleh karena itu salah seorang yang bersekutu dibolehkan membatalkan akad atas sepengetahuan rekannya untuk menghindari kemadaratan. b. Kewenangan Syarik (yang berserikat) Para ahli fiqh sepakat bahwa kewenangan syarik perkongsian adalah amanah, seperti dalam titipan, karena memegang atau menyerahkan harta atas izin rekannya. C. Hal yang Membatalkan Syirkah Perkara yang membatalkan syirkah terbagi atas dua hal yaitu : 1. Pembatalan syirkah secara umum a. Pembatalan dari salah seorang yang bersekutu b. Meninggalnya salah seorang syarik c. Salah seorang syarik murtad atau membelot ketika perang d. Gila 2. Pembatalan secara khusus sebaian syirkah a. Harta syirkah rusak b. Tidak ada kesamaan modal D. Syirkah Rusak Menurut Ulama Hanafiyah 1. Bersekutu dalam Pekerjaan yang Mudah 2. Bersekutu pada dua Binatang yang berbeda 3. Binatany yang disewakan. BAB 10 MUJARAAH ATAU MUKHARABAH DAN MUSYAQAH A. Mujaraah atau Mukharabah 1. Arti, Landasan, dan Sifat Mujaraah a. Pengertian Mujaraah Menurut ulama Malikiyah perkongsian adalah bercocok tanam, menurut Ulama Hanabilah adalah menyerahkan tanah kepada orang yang akan bercocok tanam atau mengelolanya, sedangkan tanaman (hasilnya) tersebut dibagi diantara keduanya. Menurut Ulama Syafiiyah membedakan antara mujaraah dan mukharabah, mukharabah adalah mengelola tanah diatas sesuatu yang dihasilkannya dan benihnya berasal dari pengelola, 25 Wahidabdulrahman, UIN Bandung sedangkan mujaraah sama seperti mukharabah, hanya saja benihnya berasal dari pemilik tanah. b. Landasan Hukum Imam Hanafi dan Jafar tidak mengakui keberadaan mujaraah dan mengaggap fasid. Begitu pula Imam Syafii, tetapi sebagian ulama Syafiiyah mengakui dan mengaitkannya dengan musyaqah (pengelolaan kebun) dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan, tetapi mereka tidak membolehkan mukharabah sebab tidak ada landasan yang memperbolehkannya. 2. Syarat-Syarat Mujaraah a. Menurut Abu Yusuf dan Muhammad 1. Syarat Aqid (orang yang melangsungkan akad) Mumayyiz, tetapi tidak disayratkan baligh Imam Abu Hanifah mensyaratkan bukan orang murtad, tetapi ulama Hanafiyah tidak mensyaratkannya. 2. Syarat tanaman, kebanyakan pendapat ulama menganggap lebih baik jika diserahkan kepada pekerja. 3. Syarat dengan garapan, yaitu memungkinkan untuk digarap, tanah tersebut akan menghasilkan, jelas, ada penyerahan tanah. 4. Syarat-syarat Tanah yang dihasilkan, yaitu jelas ketika akad, diharuskan atas kerjasama dua orang yang akad, ditetapkan ukuran diantara keduanya, hasil dari tanaman harus menyeluruh diantara dua orang yang akan melangsungkan akad. 5. Tujuan Akad, akad dalam mujaraah harus didasarkan pada tujuan syara yaitu untuk memanfaatkan pekerja atau memanfaatkan tanah. 6. Syarat alat bercocok tanam, dibolehkan menggunakan alat tradisional atau modern dengan maksud sebagai konsekuensi atas akad. 7. Syarat Mujaraah, dalam Mujaraah diharuskan menetapkan waktu. Jika waktu tidak ditetapkan, mujaraah dianggap tidak sah. b. Menurut Ulama Malikiyah, syarat Mujaraah adalah kedua orang yang melangsungkan akad harus menyerahkan benih, hasil yang diperoleh harus disamakan antara pemilik tanah dan penggarap, benih harus berasal dari kedua orang yang melangsungkan akad. 3. Hukum Mujaraah a. Hukum mujaraah sahih menurut Hanafiah : Segala keperluan untuk memelihara tanaman diserahkan kepada penggarap Pembiayaan atas tanaman dibagi antara pengarap dan pemilik tanah Hasil yang diperoleh dibagikan berdsarkan kesepakatan waktu akad 26 Wahidabdulrahman, UIN Bandung Menyiram atau menjaga tanaman, jika disayaratkan akan dilakukan bersama, Dibolehkan menambah penghasilan dari kesepakatan waktu yang telah ditetapkan Jika salah seorang yang akad meninggal sebelum diketahui hasilnya, penggarap tidak mendapatkan apa-apa sebab ketetapan akad didasarkan pada waktu. b. Hukum mujaraah fasid menurut Hanafiyah : Penggarap tidak berkewajiban mengelola Hasil yang keluar merupakan pemilik tanah Jika dari pemilik tanah, penggarap berhak mendapatkan upah dari pekerjaannya 4. Penghabisan Mujaraah Habis Masa Mujaraah Salah seorang yang akad meninggal Adanya uzur. B. Musyaqah/Muamalah 1. Arti, Landasan, Rukun, dan Perbedaan dengan Mujaraah a. Arti Musyaqah Menurut ulama Syafiiyah adalah mempekerjakan orang lain untuk menggarap kurma tau pohon anggur, dengan perjanjian dia akan menyiram dan mengurusnya, kemudian buahnya untuk mereka berdua. b. Perbedaan antara Musyaqah dan Mujaraah Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa musyaqah, sama dengan mujaraah, kecuali dalam empat perkara, yaitu : Jika salah seorang menyepakati akad tidak memenuhi akad, dalam musyaqah, ia harus dipaksa, tetapi dalam mujaraah ia tidak boleh dipaksa Jika waktu musyaqah habis, akad diteruskan sampai berubah tanpa pemberian upah, sedangkan dalam mujaraah jika waktu habis, pekerjaan diteruskan dengan pemberian upah Waktu dalam musyaqah ditetapkan berdasarkan istihsan, sebab dapat diketahui dengan tepat, sedang waktu dalam mujaraah terkadang tidak tentu. Jika pohon diminta oleh selain pemilik tanah, penggarap diberi upah, sedangkan dalam mujraah jika diminta sebelum menghasilkan sesuatu, penggarap tidak mendapatkan apa-apa. 27 Wahidabdulrahman, UIN Bandung 2. Syarat-syarat musyaqah adalah : Ahli dalam akad Menjelaskan bagian penggarap Membebaskan pemilik dari pohon Hasil dari pohon dibagi antara dua orang yang melangsungkan akad Sampai batas akhir, yakni menyeluruh sampai akhir 3. Rukkun Musyaqah Jumhur menetapkan bahwa rukun musyaqah ada 5 yaitu sebagai berikut : 1. Dua orang yang berakad (al-aqidani) 2. Objek musyawarah 3. Buah 4. Pekerjaan 5. Shighat BAB 11 MUDHARABAH ATAU QIRADH A. Arti, Landasan, dan Rukun Mudharabah 1. Arti Mudharabah Diantara pendapat ulama fiqh tentang mudharabah adalah pemilik harta (modal) menyerahkan modal kepada pengusaha untuk berdagang dengan modal tersebut, dan laba dibagi diantara keduanya berdasarkan persyaratan yang disepakati. 2. Landasan Hukum Ulama Fiqh sepakat bahwa mudharabah disyaratkan dalam isilam dengan berdasarkan pada Al-Quran, As-Sunah, Ijma dan Qiyas. 3. Rukun Mudharabah Para ulama berbeda pendapat tentang rukun mudharabah, Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun mudharabah adalah ijab dan qabul. Sedangkan Jumhur ulama berpendapat bahwa rukun mudharabah ada tiga, yaitu dua orang yang melakukan akad (al- aqidani), modal (maqud alaih),dan shighat (ijab dan qabul). Ulama Syafiiyah lebih memerinci lagi menjadi lima rukun yaitu, modal, pekerjaan, laba, ahighat, dan dua orang yang akad. 4. Jenis-jenis Mudharabah Mudharabah dibagi menjadi dua macam, yaitu mudharabah mutlak (al-mutlaq), dan mudharabah terikat (al-muqayyad). 28 Wahidabdulrahman, UIN Bandung 5. Sifat Mudharabah Ulama fiqh sepakat bahwa akad dalam mudharabah sebelum dijalankan oleh pekerja termasuk akad yang tidak lazim. Apabila sudah dijalankan oleh pekerja, diantara ulama tedapat perbedaan pendapat, ada yang berpendapat termasuk akad yang lazim, yakni dapat diwariskan seperti pendapat Imam Malik, sedangkan Menurut ulama Syafiiyah, Malikiyah, dan Hanabilah akad tersebut tidak lazim yakni tidak dapat diwariskan. B. Pertentangan Antara Pemilik Dan Pengusaha 1. Perbedaan Dalam Mengusahakan (Tasharruf) Harta 2. Perbedaan dalam Harta Yang Rusak 3. Perbedaan tentang Pengembalian Harta 4. Perbedaan dalam Jumlah Modal 5. Perbedaan dalam Ukuran Laba 6. Perbedaan dalam Sifat Modal C. Perkara yang Membatalkan Mudharabah 1. Pembatalan, Larangan Berusaha, dan Pemecata 2. Salah Seorang Aqid Meninggal Dunia 3. Salah Seorang Aqid Gila 4. Pemilik Modal Murtad 5. Modal Rusak Ditangan Pengusaha BAB 12 PEMBERIAN TANPA PENGGANTI (HIBAH, SEDEKAH, HADIAH) A. Hibah (Mencakup Hadiah dan Sedekah) 1. Arti dan Landasan Hibah Menurut Ulama Hanabilah Hibah adalah memberikan kepemilikan atas barang yang dapat ditasharrufkan berupa harta yang jelas atau tidak jelas karena adanya uzur untuk mengetahuinya, berwujud, dapat diserahkan tanpa adanya kewajiban, ketika msih hidup, tanpa adanya pengganti, yang dapat dikategorikan sebagaihibah menurut adat dengan lafadz hibah atau tamlik (menjadikan milik). 2. Landasan Hibah Hibah disyariatkan dan dihukumi mandhub (sunat) dalam islam yang bersumber pada Al-Quran, As-Suna dan ijma. 3. Rukun Hibah Menurut Jumhur ulama rukun Hibah ada empat yaitu : 29 Wahidabdulrahman, UIN Bandung a. Wahib (pemberi) b. Mauhub lah (penerima) c. Mauhub (barang yang dihibahkan) d. Shighat (ijab dan qabul) 4. Syarat Hibah Syarat Hibah berkaitan dengan syarat wahib dan maudhub Ulama Hanabilah menetapkan 11 syarat yaitu : 1. Hibah dari harta yang boleh ditasharrufkan 2. Terpilih dan sungguh-sungguh 3. Harta yang diperjual-belikan 4. Tanpa adanya pengganti 5. Orang yang sah memilikinya 6. Sah menerimanya 7. Walinya sebelum pemberi dipandang cukup waktu 8. Menyempurnakan pemberian 9. Tidak disertai syarat waktu 10. Pemberi sudah dipandang mampu tsharruf (merdeka, mukalaf, dan rasyid) 11. Mauhub harus berupa harta yang khusus untuk dikeluarkan BAB 13 RIBA DAN TINJAUAN FIQH MUAMALAH ATAS PRODUK BANK KONVENSIONAL A. Arti dan Dalil Keharamannya 1. Pengertian Riba a. Menurut Ulama Hanabilah riba adalah pertanbahan sesuatu ynag dikususkan. b. Menurut Ulama Hanafiyah riba adalah tambahan pada harta pengganti dalam pertukaran harta dengan harta. 2. Dalil Keharaman Riba _> < _,,l > ,l Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (Q.S Al-Baqarah :275) B. Macam-macam Riba 1. Menurut Jumhur Ulama Jumhur ulama membagi riba kedalam dua bagian, yaitu riba fadhl dan riba nasiah. 30 Wahidabdulrahman, UIN Bandung a. Riba Fadhl menurut ulama Hanafiyah adalah tambahan zat harta pada akad jual-beli yang diukur dan sejenis. b. Riba Nasiah mneurut ulama Hanafiyah adalah memberikan kelebihan terhadap pembayaran dari yang ditangguhkan, memberikan kelebihan pada benda dibanding utang pada benda yang ditakar atau ditimbang yang berbeda jenis atau selain dengan yang ditakar dan ditimbang yang sama jenisnya. 2. Menurut Ulama Syafiiyah a. Riba Fadhl, yaitu jual beli yang sisertai adanya tambahan salah satu pengganti (penukar) dari yang lainnya. b. Riba Yad, yaitu jual beli dengan mengakhirkan penyerahan c. Riba Nasiah, yaitu jual beli yang pembayarannya diakhirkan, tetapi dtambahkan harganya. C. Pendapat Ulama Tentang Illat Riba Illat Riba menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah adalah timbangan atau ukuran (alkail-wa alwajn), sedangkan menurut ulama Malikiyah adalah makanan pokok dan makanan tahan lama, dan menurut ulama Syafiiyah adalah makanan. D. Produk Bank Menurut Fiqh Muamalah 1. Produk Bank Konvensional Diantara produk-produk bank, antara lain sebagai berikut : Simpanan Giro Cek Tabungan Deposito Inkaso dan Kliring Garansi Bank Surat yang dapat Diperdagangkan Wesel Bank Aksep Bank (Accepted Bank) Endosemen Transaksi-transfer