You are on page 1of 111

KAJLAN KANDUNGAN NITROGEN PADA KOLOM PERAIRAN DAN SEDIMEN AKIBAT AKTIVITAS KERAMBA JARING APUNG DI WADUK CIRATA,

JAWA BARAT

RAHMATULLAB AL FATIH

PROGRAM STUD1 M A N A m m N SUMBERDAUA PE FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

ABSTRAK
RAHMATULLAH AL FATIH (C24103051). Kajian Kandungan Nitrogen pada Kolom Perairan dan Sedimen Akibat Aktivitas Karamba Jaring Apung di Waduk Cirata, Jawa Barat. Di bawah bimbingan ENAN M. ADIWaAGA dan TRI HERU PRZBADI.

Penelitian bertujuan untuk mengkaji kandungan nitrogen di perairan dan di dasar sedimen, yang diakibatkan oleh aktivitas Karamba Jaring Apung (KJA). Penelitian dilakukan di Waduk Cirata dari bulan Juli sampai September tahun 2006. Terdapat empat stasiun pengamatan yaitu; inlet waduk (stasiun I), daerah KJA sedang (stasiun 2), daerah KJA padat (stasiun 3), clan outlet waduk (stasiun 4). Terdapat dua jenis sampel yang diambil yaitu sampel air dan sampel sedimen. Sampel air diambil secara vertikal di setiap stasiun pada interval 10 meter (0 m, 10 m, 20 m, 30 m) dan kedalaman dekat dasar (interface). Sampel sedimen diambil satu kali pada setiap stasiun. Nitrogen yang diteliti pada penelitian ini nitrit (NO;), nitrat (NOi), nitrogen antara lain; ammonia total (NH3 dan total (untuk nitrogen di perairan), ammonium (NH~'), nitrat (NOi), nitrogen total (untuk nitrogen di sedimen). Analisis statistik untuk nitrogen di perairan menggunakan Rancangan Petak Terbagi (Split Plot Design), untuk nitrogen di sedimen menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK), dan uji lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT). Kandungan ammonia total pada perairan mengalami peningkatan pada setiap penambahan kedalaman, Konsentrasi ammonia bebas (NH3) inemiliki kecenderungan mengalami penurunan, sedangkan ammonium ( ~ ~ 4 3 memiliki kecenderungan mengalami peningkatan pada setiap penambahan kedalaman. Kandungan nimt dan nitrat (NO?) pada perairan cenderung mengalami penurunan, kecuali pada stasiun 1 yang cenderung meningkat di setiap kedalamannya. Kandungan ammonium (NH~'), nitrat (NO33 dan nitrogen total pada sedimen cenderung mengalami peningkatan pada stasiun 4 (outlet waduk). Tekstur sedimen banyak ditemukan dalam bentuk liat. Tekstur liat diduga memiliki kemampuan inengikat ammonium lebih baik dibandingkan nitrat. Perairan wad& Cirata berdasarkan kandungan ammonia total menurut kesuburannya digolongkan kedalam perairan Eutrofik.

~a,

KAJIAN KANDUNGAN NITROGEN PADA KOLOM PERAIRAN DAN SEDLNIEN AIUBAT AKTMTAS I<ERAME%A JARING APUNG DI WADUK CIRATA, JAWA BARAT

Oleh : RAHMATULLAH AL. FATIH C24103051

SKRZPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan Pada Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

P R O G M STUD1 MANAJERZEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN IliMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

PERNYATAAN MENGENAI SKRZPSI DAN SUMBER INFORMASI


Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul
KAJIAN KANDUNGAN NITROGEN PADA KOLOM PERAIRAN DAN SEDLMEN AKIBAT AKTMTAS KERAMBA JARING APUNG DI WADUK CIRATA, JAWA BARAT.

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan &lam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini

Bogor, Januari 2008

Judul

: Kajian Kandungan Nitrogen pada Kolom Perairan dan Sedimen

Akibat Aktivitas Keramba Jaring Apung di Waduk Cirata, Jawa Barat Nama NIM
: Rahmatullah A1 Fatih

: C24103051

Disetujui, Pembimbing I Pembimbing I1

Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga NIF'. 130 892 613

Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Tanggal Lulus : 17 September 2007

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah meinberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini yang berjudul "Kajian Kandungan Nitrogen pada

Kolom Perairan dan Sedimen Akibat Aktivitas Keramba Jaring Apung di Waduk Cirata, Jawa Barat". Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada : 1. Bapak Dr.Ir. Enan M. Adiwilaga selaku dosen pembunbing I yang telah banyak bersabar meinbimbing penulis, memberikan banyak masukan, arahan, nasehat, clan saran dalam penulisan skripsi ini.

2. Bapak Dr.Ir. Tri Heru Prihadi, M.Sc selaku dosen pembimbing I1 atas
kese~npatannya yang diberikan untuk mengikuti penelitian ini, serta masukan, arahan, dan saran berharga kepada penulis.

3. Bapak Ir. Zairion, M.Sc selaku dosen pembiinbing akademik atas


bimbingan yang diberikan kepada penulis baik saran maupun nasehat yang bermanfaat kepada penulis selama mengikuti perkuliahan. 4. Bapak Dr.Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc dari pihak Departemen, dan Ibu Dr.Ir. Niken T. M. Pratiwi, M.Si selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan untuk kesempumaan skripsi ini.
5. Keluarga tercinta (Bapak, Ibu, Mas Iim, Mas Ali, Ayu, Aji) atas doa,

semangat, dukungan, dan kasih sayang yang tak terhingga kepada penulis.
6 . Teman-teman MSP angkatan 40 yang telah memberikan semangat dan

motivasi, serta b a n t w ~ y a ,dan teman-teman MSP angkatan 39, 41, 42 atas dukungannya selama ini. Penulis mengharapkan kritik serta saran yang membangun bagi kesempumaan tulisan ini, karena penulis sadar bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan dan kesalahan demi kesempumaan dalam melakukan penelitian ini. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat dan berguna bagi pembangunan perikanan di Indonesia. Bogor, Januari 2008 Penulis

DAFTAR IS1
Halaman KATA PENGANTAR DAFTAR IS1 DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

.........................................................................

..........................................................................................

11

..

...............................................................................
............................................................................

iv v vii 1

......................................................................

......................................................................... A. Latar Belakang ........................................................................ B. Perumusan Masalah ................... . . ......... . ............................... C. Tujuan dan Manfaat ........................ . . ................................... . I1. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ A. Waduk Cirata ............................................................................
I
PENDAHULUAN B . Nitrogen ....................................................................................... 1. ~ m m o n i ~ o t a(NH3dan N + a l & ) ........................................... . . ..................... . . ................................................ 2 . Nltrlt (NOi) 3. Nitrat (NO3) .......................................................................... C. pH ............................................................................................... D. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen (DO)) .................................. E . Biochemical Oxygen Demand (BOD) ........................ .................. F . Chemical Oxygen Demand (COD) ................................................ G. Suhu ........................... ............. ....................................................... H. Kekeruhan ................................................................................... I. Total Suspended Solid (TSS) ................................. ...................... J . Baku Mutu Kualitas Air ............................ ................................. K. Sedimen ........................................................................................ L. Sedimentasi Waduk Cirata...............................................................

A. Waktu clan Lokasi Penelitian .................................... .. .............. B. Alat dan Bahan ............................. . . ....................................... . C. Metode Kerja .............................................................................. 1. Penentuan Lokasi Penelitian ...................................................... . 2. Pengambilan Sainpel ................................. .......................... 3 . Metode Analisis Kualitas Air dan Sedimen ............................... .. ................................................. 4 . Analis~s Data ..................... . . a. Analisis Data Kualitas Air ................................................. b. Analisis Data Sedimen ....................................................

1%'.HASIL DAN PEMBAHASAN

....................................................... . ......................... A . Kandungan Nitrogen di Perairan .................... 1. Ammonia total (NH3dan ~ ~................... 4 3 .... ...................... . . 2. Nltrlt ( N o d ................................................................................ 3. Nitrat (NOi) ............................................................................. 4 . Nitrogen Total ................... . . ........................................ ..... . . B. Kandungan Nitrogen di Sedimen ............................................... 1. Ammonium ( ~ ~.................................................................... 43 2. Nitrat (NO3-) .............................................................................. 3 . Nitrogen Total .......................................................................... C. Kondisi Perairan dan Sedimen Waduk Cirata ............................. 1. Parameter Fisika Perairan dan Kimia Perairan ........................... a. Kekeruhan ..................... .................................................. b. Suhu ................................................................................. c. Total Suspended Solid (TSS) ........................................... d . Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen (DO)) ...................... e. pH .................... . . ............................................................ . . Biochemical Oxygen Demand (BOD) .............................. f g. Chemical Oxygen Demand (COD)..................................... 2 . Parameter Fisika Perairan dan Kimia Sedimen .......................... a. Tekstur Sedirnen .................................................................

A . Kesimpulan .................................................................................. B. Saran ............................ . . .......................................................... .


DAFTAR PUSTAKA

.............................. ............................................

iii

DAFTAR TABEL

unan
1. Kriteria kulitas air berdasarkan nilai BOD ......................................... 2. Kesesuaian perairan untuk kepentingan perikanan berdasarkan padatan tersuspensi (TSS) ........................ . ..................................................... 3. Kriteria Mutu Air menurut Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 ......................................................................................... 4. Parameter, metode, dan lokasi analisis sampel kulitas air, 13

d m sampel sedimen. ........................................................................... 5. Tabel Sidik Ragam Rancangan Petak-Terbagi ......................................


6. Tabel Sidik Ragam Rancangan Acak Kelompok...................................

7. Nilai uji BNT untuk pengaruh faktor stasiun terhadap kandungan Ammonia Total perairan (a=0,1)...........................................................

8. Nilai uji BNT untuk pengaruh faktor kedalaman terhadap kandungan Ammonia Total perairan (a=0,1).......................................................

9. Nilai uji BNT untuk pengaruh faktor waktu terhadap kandungan ............................................... Ammonia Total (a=O,l). ............... 10. Nilai uji BNT untuk pengaruh faktor stasiun terhadap kandungan Nitrit perairan (NOi) (a=0,1) ......................................................... 11. Nilai uji BNT untuk pengaruh faktor kedalaman terhadap kandungan Nitrit perairan (NO<) (a=0,1). ...............................................................

. .

12. Nilai uji BNT untuk pengaruh faktor stasiun terhadap kandungan Nitrat perairan ( N o d (a=0,1) ........................... . . ............................ 13. Nilai uji BNT untuk pengaruh faktor kedalaman terhadap kandungan Nitrat perairan (NO<) (a=O,l) .............................................................. 14. Nilai uji BNT untuk pengaruh faktor stasiun terhadap kandungan Nitrogen Total perairan (a=O,l) ............................................................

15. Nilai uji BNT untuk pengaruh faktor kedalarnan terhadap kandungan Nitrogen Total perairan (a=0,1) ............................................................
16. Nilai uji BNT untuk pengaruh faktor stasiun terhadap kandungan Ammonium sedimen (a=0,1) ........................................ ....................... 17. Nilai uji BNT untuk pengaruh faktor stasiun terhadap kandungan Nitrat sedimen (a=0,1) .......................................................................... 18. Nilai uji BNT untuk pengaruh faktor stasiun terhadap kandungan Nitrogen Total sedimen (a=0,1) ........................................................

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Skema perurnusan masalah penelitian .............................................. Sebaran secara vertikal nitrogen berdasarkan tingkat kesuburan pera~ran ....................... ....................................................................... Sebaran vertikal ammonia berdasarkan kesuburan perairan............... Sebaran vertikal nitrat ( O N; ) berdasarkan tingkat kesuburan peralran ............................. ................................................................. Tingkat Kemasaman pH Tanah ........................... . ....................... . . Peta lokasi penelltian ..........................................................................
..

Halaman 3 6 8 11 18
20

2.
3. 4.
5.

6.

J3 7. Kandungan atmnonia total (NH3dan N& perairan berdasarkan kedalaman pada setiap stasiun dan waktu pengamatan. ....................
8. 9. Kandungan ammonia bebas (NH3)berdasarkan kedalainan pada setiap stasiun dan waktu pengamatan. .......................... ...... ................... Kandungan ammonium perairan berdasarkan kedalaman pada setiap stasiun dan waktu pengamatan. .................... . . .....................

32 33 34 39 43

~3

N) ; perairan berdasarkan kedalaman pada setiap 10. Kandungan nitrit ( O stasiun dan waktu pengamatan. .........................................................

perairan berdasarkan kedalaman pada setiap 11. Kandungan nitrat (NO;) stasiun dan waktu pengamatan. ........................................................

12. Kandungan nitrogen total perairan berdasarkan kedalaman pada setiap stasiun dan waktu pengamatan........................................................... 47 13. Konsentrasi Ammonium sedimen berdasarkan stasiun dan waktu pengamatan. ............................................................................. 14. Konsentrasi Nitrat (NO33sedimen berdasarkan stasiun dan waktu pengamatan ................................... .. ...................................... 15. Konsentrasi Nitrogen Total sedimen berdasarkan stasiun dan waktu pengamatan. ............................................................................. 16. Kekeruhan perairan pada setiap stasiun, kedalaman, dan waktu pengamatan. ............................ ............................................... 17. Suhu perairan pada setiap stasiun, kedalaman, dan waktu pengamatan. .......................................................................... 18. Kandungan Total Suspended Solid ( T S S ) perairan pada setiap stasiun, .. kedalaman, dan waktu pengamatan. ................................... .. ............ 19. Kandungan oksigen terlarut (DO) perairan pada setiap stasiun, kedalaman, dan waktu pengamatan. ..................................................

(H3 N4

50

52

54 56

57
58 60

Gambar
20 . Nilai pH perairan pada setiap stasiun, kedalaman. dan

Halaman

waktu pengamatan............................................................................ 61
21. Kandungan Biochemical Oxygen Demand (BOD) perairan pada setiap stasiun. kedalaman. dan waktu pengamatan ...................................

62
64

22. Kandungan Chemical Oxygen Demand (COD) perairan pada setiap stasiun. kedalaman. dan waktu pengamatan....................................... 23. Tekstur sedimen Waduk Cirata berdasarkan stasiun dan waktu pengamatan ............................................................................
24. Nilai pH sedimen berdasarkan stasiun dan waktu pengamatan .........

65
66

Lampiran

Halaman 73

1. Kandungan Ammonia Total pada perairan berdasarkan lokasi, waktu, dan kedalaman selama pengamatan ....................................................... 1. Kandungan Ammonium Bebas (NH3) dan Ammonium pada perairan berdasarkan lokasi, waktu, dan kedalaman selama pengamatan ..................................................................................

(~~43
74
75

1. Tabel Sidik Ragam kandungan ammonia total ...................................... 2. Kandungan dan tabel sidik ragam Nitrit (NOi) pada perairan berdasarkan lokasi, waktu, dan kedalaman selama pengamatan ...........
3. Kandungan clan tabel sidik ragam Nitrat (NO<) pada perairan berdasarkan lokasi, waktu, dan kedalaman selama pengamatan ..........

76 77 78

4. Kandungan dan tebel sidik ragam Nitrogen Total pada perairan berdasarkan lokasi, waktu, dan kedalaman selama pengamatan. ..........
5. Kandungan dan tabel sidik ragam Nitrogen Total, Ammonia, dan Nitrat pada sedimen berdasarkan lokasi, dan waktu selama pengamatan ................................................................................ 6. Kekeruhan perairan berdasarkan lokasi, waktu, dan kedalaman selama pengamatan .................... .. ..................,,..........,....................... 7. Suhu perairan berdasarkan lokasi, waktu, dan kedalaman selama pengamatan .....................................,............,.,..,.......,.,..................... . . 8. Kandungan Total Suspended Solid (TSS) perairan berdasarkan lokasi, waktu, dan kedalaman selama pengamatan .............. ........................ . . 9. Kandungan oksigen terlarut (DO) perairan berdasarkan lokasi, waktu, dan kedalaman selama pengamatan ....................................................... 10. Kandungan pH perairan berdasarkan lokasi, waktu, dan kedalaman selama pengainatan......................... .................................. . 11 Kandungan Biochemical Oxygen Demand (BOD) perairan berdasarkan lokasi, waktu, dan kedalaman selama pengamat 12. Kandungan Chelnical Oxygen Demand (COD) perairan berdasarkan .... lokasi, waktu, dan kedalaman selama pengamatan 13. Kandungan pH dan persentase kandungan tekstur sedimen berdasarkan lokasi, dan waktu selama pengamatan............................. 14. Prosedur pengukuran parameter kualitas air
. . .....

79 80 81 82 83 84 85 86

88 93 96 98

.. 15. Prosedur pengukuran parameter Sedimen .................... ....... .............


16. Gambar lokasi pengamatan (stasiun) selama penelitian ........................ 15. Gambar penyusutan air waduk Cirata .......................................

vii

A. Latar Belakang

Waduk Cirata merupakan waduk yang berada pada aliran Sungai Citarum. Waduk tersebut terletak di antara waduk Saguling dan waduk Jatiluhur, dengan luas 6.200 Ha. Waduk ini dibangun pada tahun 1988, terletak di tiga kabupaten yaitu Cianjur, Bandung, dan Purwakarta, Propinsi Jawa Barat. Pembangunan waduk pada awalnya diperuntukkan bagi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) disamping itu waduk ini juga memiliki potensi sebagai irigasi pertanian, perikanan, perhubungan, dan daerah wisata. Selana beberapa tahun belakangan ini perkembangan Waduk Cirata semakin meningkat khususnya pada sektor perikanan budidaya Karamba Jaring Apung (KJA). Perkembangan budidaya KJA yang selnalan meningkat jumlahnya diduga sudah melebihi kapasitas waduk sehingga dapat menurunkan daya dukung waduk. Jumlah ideal KJA yang diperbolehkan adalah 12.000 KJA, namun jumlah yang sesungguhnya terdapat pada waduk tersebut melebihi jumlah ideal yang diperbolehkan. Jumlah KJA yang terhitung sampai tahun 2003 sudah mencapai 38.286 KJA dengan jumlah peiniliknya sebanyak 3.899 orang (Prihadi, 2005). Jumlah yang semakin tidak terkendali dari KJA ini menyebabkan beberapa masalah lingkungan yang secara tidak langsung juga akan berpengaruh pada kegiatan KJA. Kegiatan budidaya ikan yang dilakukan di Waduk Cirata merupakan kegiatan yang intensif sehingga inenggunakan pakan tambahan (pelet) (Nastiti et aJ2001). Pakan tambahan biasanya mengandung protein yang tinggi untuk meningkatkan pertumbuhan ikan. Pakan komersial mengandung lebih dari 20% protein di dalamnya (Prihadi, 2005). Pakan tambahan (pelet) yang diberikan tidak semuanya efektif tennakan oleh ikan. Sisa pakan yang tidak termakan akan meningkatkan kandungan nitrogen di perairan akibat dekomposisi protein yang terkandung didalam pelet. Selain sisa pakan, hasil metabolisme ikan-ikan budidaya berupa feses yang banyak mengandung ammonia ( N H 3 ) akan meningkat jumlahnya. Pada konsentrasi yang berlebihan ammonia akan mematikan bagi ikan dan bagi organisme perairan lainnya.

Kegiatan budidaya KJA secara tidak langsung akan meningkatkan konsentrasi nitrogen di perairan. Peningkatan ini tentunya akan berdampak bagi ekosistem perairan dan bagi pertumbuhan organisme perairan didalamnya, serta akan menurunkan kualitas air yang akhimya menurunkan produktivitas perairan waduk tersebut.

B. Perurnusan Masalah
Meningkatnyajumlah KJA pada waduk Cirata sudah melebihi dari batasan yang diperbolehkan. Hal ini akan berdampak bagi penurunan daya dukung dari waduk. Selain itu keberadaan KJA akan menambah kandungan bahan organik dari sisa-sisa pakan dan feses dari ikan. Pralaraan beban limbah bahan limbah organik yang berasal dari kegiatan bumdaya ikan KJA Waduk Cirata sebesar 6.365 tonltahun (Sukimin, dalam Indriani, 2005). Kondisi perairan waduk yang relatif tenang menyebabkan terakumulasinya kandungan nitrogen di perairan dan dapat menyebabkan sedimentasi pada dasar waduk. Limbah yang dibasilkan dari kegiatan KJA sebagian besar mengandung nitrogen. Pakan tambahan yang digunakan pada budidaya KJA biasanya mengandung protein yang tinggi untuk meningkatkan perturnbuhan ikan. Protein mengandung 16% nitrogen di dalamnya (Depdikbud, 1991). Nitrogen ini selain dihasilkan oleh sisa pakan juga bisa berasal dari sisa metabolisme urine maupun tinja dari biota akuatik yang berupa ammonia (NH3) (Effendi, 2003). Ammonia
(NH3) dalam jumlah yang berlebihan bersifat toksik pada ikan sehingga

keberadaannya di perairan akan menghambat pertumbuhan ikan bahkan bisa menyebabkan kematian pada ikan. Hal ini tentunya dapat m e n d a n produksi perikanan budidaya KJA yang terdapat di waduk Cirata. Sisa-sisa pakan yang tidak termakan dan tinja (feses) ikan akan menyebabkan terakumulasinya bahan-bahan organik ini pada perairan dan mengendap di dasar waduk. Prihadi (2005) memperlurakan jumlah sisa pakan yang terdapat di dasar waduk telah melebihi 279.121 ton dan ketebalannya lebih dari 2 meter. Hal ini berakibat meningkatkan kandungan nitrogen pada sedimen waduk dan juga akan mempengaruhi kandungan nitrogen di perairan. Skema p e m u s a n masalah penelitian disajikan pada Gambar 1.

Kualitas Air
, \

IKJA !
Bahan Organik
l,lengundilp

Dekomposisi

Petliempsnoriliitieil

i I I I I

I
I I I

1 Dekomposisi

Nitrogen Sedimen

I 1

Gambar 1. Skema perumusan masalah penelitian


C. Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk melihat kandungan nitrogen di perairan dan di dasar sedimen, yang diakibatkan oleh aktivitas Karamba Jaring Apung (KJA), dan diharapkan informasi yang diperoleh dapat dijadikan bahan masukan bagi pengelolaan di Waduk Cirata, Jawa Barat.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Waduk Cirata
Waduk Cirata merupakan suatu bentuk perairan yang dibuat oleh manusia di daerah aliran sungai Citaruni pada tahun 1988, memiliki luas sekitar 6.200 ha, dengan kedalaman 106 meter, dan terleak pada ketinggian 223 meter di atas permukaan laut (Feriningtyas, 2005). Elevasi permukaan air di Waduk Cirata pada umumnya memiliki pola perubahan yang relatif sama dari tahun ke tahun, yaitu tinggi pada bulan Januari sampai Mei dan mengalami penurunan sampai dengan bulan November, selanjutnya mengalami peningkatan kembali pada bulan Desember (Jubaedah, dalam Indriani, 2005). Menurut Mardiana (2007), tinggi muka air pada bulan Juli sampai dengan September 2006 mengalami penurunan dengan tinggi muka air 214,66 meter (Juli), 2 11,04 meter (Agustus), dan 209,45 meter (September). Karamba Jaring Apung (KJA) pertama kali dilakukan di Waduk Cirata yaitu pada tahun 1986. KJA awalnya digunakan untuk kepentingan penelitian di Waduk Jatiluhur namun sejak dikenalnya teknologi ini di Waduk Cirata budidaya ini berkembang pesat tercatat sejak tahun 1999 terdapat 8.786 KJA, clan berkembang pesat menjadi 38.286 KJA pada tahun 2003. Jumlah itu akan menyumbang limbah pakan akibat kegiatan perikanan budidaya sebanyak 279.121 ton, artinya jika luas permukaan 6.200 ha sedangkan luas permukaan kegtatan KJA sekitar 158-198 ha, dari perhitungan ini maka ketinggian limbah pakan sekitar 2 meter (Prihadi, 2005).
B. Nitrogen

Nitrogen yang terdapat di perairan tawar ditemukan dalam berbagai bentuk diantaranya molekul N terlarut, asam amino, ammonia ( H 3 2 N 4 nitrit (Nod,dan , nitrat (NO3-).Sumber nitrogen alami berasal dari air hujan (presipitasi), fiksasi nitrogen dari air dan sedimen, dan liinpasan dari daratan dan air tanah (Wetzel, 1983). Goldman dan Home (1983) menyatakan bahwa nitrogen dapat berasal dari limbah pertanian, pemukiman, dan limbah industri. Nitrogen di perairan dapat berupa nitrogen anorganik dan organik. Nitrogen anorganik terdiri atas amonia

(Mi3), amonium

(~~43, nitrat @03-), dan molekul nitrogen (N2) nitrit (NOT),

dalam bentuk gas. Nitrogen organik berupa protein, asam amino, dan urea. Sumber nitrogen organik di perairan berasal dari proses pembusukan makhluk hidup yang telah mati, karena protein dan polipeptida terdapat pada semua makhluk hidup sedangkan sumber antropogenik (akibat aktivitas manusia) adalah limbah industri dan limpasan dari daerah pertanian, kegiatan perikanan, dan limbah domestik (Effendi, 2003). Nitrogen ditemukan melimpah dalam bentuk gas di atmosfer, namun tidak dapat digunakan secara langsung oleh organisme karena memerlukan energ yang besar untuk memecah ikatan rangkap tiga gas nitrogen. Di perairan nitrogen ditemukan dalam dua bentuk yaitu; nitrogen terlarut (disolved) dan tidak terlarut (particulate) dan keduanya tidak dapat langsung digunakan oleh organisme yang lebih tinggi, melainkan hams ditransformasikan terlebih dahulu oleh bakteri dan jamur (Goldman dan Home, 1983). Effendi (2003) menjelaskan Bentuk-bentuk nitrogen tersebut mengalami transfonnasi sebagai bagan dari siklus nitrogen yaitu: a. Asimilasi nitrogen anorganik (ammonia dan nitrat) oleh tumbuhan dan mikroorganisme untuk membentuk nitrogen organik, misalnya asam amino dan protein. Proses ini terutama dilakukan oleh bakteri autotrof dan tumbuhan. b. Fiksasi gas nitrogen menjadi amonia dan nitrogen organik oleh mikroorganisme. Fiksasi gas nitrogen secara langsung dapat dilakukan oleh beberapa jenis algae Cyanophyta (blue-green algae) dan bakteri. c. Nitrifikasi, yaitu oksidasi amonia lnenjadi nitrit dan nitrat. Proses oksidasi ini dilakukan oleh bakteri aerob. Nitrifikasi berjalan secara optimum pada pH 8 dan pH < 7 berkurang secara nyata. Bakteri nitrifikasi bersifat mesofilik, menyukai suhu 30C. d. Amonifikasi nitrogen organik untuk menghasilkan amonia selama proses dekomposisi bahan organik. Proses ini banyak dilakukan oleh mikroba dan jamur. Autolisis (pecahnya) sel dan ekskresi amonia oleh zooplankton dan ikan juga berperan sebagai pemasok amonia.

e. Denitrifikasi, yaitu reduksi nitrat menjadi nitrit, dinitrogen oksida (NzO), dan molekul nitrogen

m).Proses reduksi nitrat berjalan optimum pada

kondisi anoksik (tak ada oksigen). Proses ini juga melibatkan bakteri dan jamur. Dinitrogen oksida adalah produk utama dari denitrifikasi pada perairan dengan kadar oksigen sangat rendah, sedangkan molekul nitrogen adalah produk utama dari proses denitrifikai pa& perairan dengan kondisi anaerob. Transformasi nitrogen yang tidak melibatkan faktor biologi adalah volatilisasi, penyerapan, dan pengendapan (sedimentasi). Sumber utama nitrogen antropogenik di perairan berasal dari wilayah pertanian dan perikanan yang menggunakan pupuM pakan buatan secara intensif maupun kegiatan domestik (Effendi, 2003). Sebaran vertikal nitrogen berdasarkan tingkat kesuburan perairan menurut Goldman dan Home (1983) disajikan pada Gambar 2.
r~
0

O,OI

Konsentrasi (mgn)

I ,

02
I

Konsentrasi (mgll)

Oligotropik

Epitimoion
(acrob)

(Nitrit sengat keeil)

Gambar 2. Sebaran secara vertikal nitrogen berdasarkan tingkat kesuburan perairan (Goldrnan clan Home, 1983) Nitrogen hams dirubah terlebih dahulu menjadi NH2, NI&, dan No3 baru bisa dimanfaatkan oleh turnbuhan dan hewan. Proses ini akan meningkat pada danau yang telah mengalami eutrofikasi (Goldman dan Home, 1983). Fiksasi nitrogen berdasarkan kedalaman mirip dengan proses fotosintesis. Pada intensistas proses fiksasi akan terhambat pada permukaan, dan cahaya matahari yang t i n g ~ menjadi maksimum pada kedalaman tertentu dan menurun drastis secara

ekponensial dengan bertambahnya kedalarnan. Fiksasi nitrogen berkorelasi positif dengan konsentrasi bahan organik terlarut yang terdapat pada perairan (Wetzel, 1983). Nitrogen total adalah penjumlahan dari nitrogen anorganik berupa N03-N, NO*-N, NH3-N yang bersifat terlarut dan nitrogen organik yang terlarut maupun berupa partikulat yang tidak larut dalam air (Mackereth, 1989 dalam Effendi, 2003). Nitrogen organik adalah bentuk nitrogen yang terikat pada senyawa organik terutama nitrogen bewalensi tiga, biasanya berupa partikdat yang tidak larut dalam air. Nitrogen organik mencakup protein, polipeptida, asam amino, urea, dan senyawa lainnya (Effendi, 2003).

1. Ammonia Total (NH3 dan NI&+)

~~43. ammonia bebas (NH3) tidak dapat terionisasi, sedangkan ammonium m+) dapat
Ammonia yang terukur di perairan berupa ammonia total (NHj dan teroinisasi (Effendi, 2003). Gas ammonia (NH3) dapat dengan mudah terlarut dalam air dan inembentuk ammonium hydrosida @ELOH), dan akan terpecah menjadi ammonium (NN4') dan ion hidroksida (OH-) seperti persamaan kesetimbangan kimia di bawah ini (Goldman dan Home, 1983):

Ammonia yang tidak terionisasi (NH3) sangat bersifat toksik bagi ikan dibandingkan amonia yang terionisasi

(3 -

yang relatif non-toksik. Proporsi

konsentrasi keduanya dipengaruhi oleh pH dan temperatur perairan (Wetzel, 1983). Pada keadaan perairan yang asam persentase dari m 0 H menurun, sedangkan pada keadaan perairan basa (alkaline) jumlahnya akan meningkat (Goldman dan Home, 1983). Effendi (2003) menyatakan pada pH 7 atau kurang sebagian besar ammonia mengalami ionisasi dan p1-I yang lebih besar dari 7 ammonia tidak terionisasi. Pada malam hari ketika kandungan oksigen rendah atau ketika kebutuhan oksigen untuk dekomposisi melebihi dari produksi fotosintesis, menyebabkan kerentanan organisme terhadap daya racun ammonia meningkat (Goldman dan Home, 1983). Kadar ammonia yang tinggi mengakibatkan peningkatan komsumsi oksigen, mengakibatkan kerusakan pada

insang, dan menurunkan kapasitas transport oksigen oleh darah (Boyd, 1982). Pada perairan alami nilai amonia yang dapat ditolerir organisme sebesar 1,5 mgliter (Sylvester, 1973 dalam Wardoyo, 1975). Kadar amonia yang baik untuk kehidupan ikan dan organisme akuatik lainnya adalah kurang dari 1 mg/iiter (Pescod, 1973 dalam Asmawi, 1983). Untuk keperluan perikanan dan peternakan batas maksimum ammonia bebas yang dperbolehkan adalah 0,02 m g l (Peraturan Pemerintah. Noinor 82,2001). Ammonia dihasilkan sebagai produk akhir dari dekomposisi bahan-bahan organik oleh bakteri heterotrop (Wetzel, 1983). Boyd (1982) menyatakan bahwa ammonia yang terdapat di perairan dapat berasal dari pemupukan, ekskresi dari ikan (tinja), dan dari pembusukan mikroorganisme. Metabolisme manghasilkan dua produk utama yaitu karbodioksida (COz) dan ammonia (NH& dengan ammonia selatar 10 sampai 30 bagian dari total CO* yang dihasilkan (Wright
et.al., 2001). Melalui proses amonifikasi atau pemecahan nitrogen organik

(protein dan urea/ pupuk) dan nitrogen organik yang terdapat di dalam tanah dan air, yang berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati ) oleh mikroba dan jamur. Sumber lain adalah reduksi gas nitrogen yang berasal dari proses difusi dari atmosfer, limbah industri, dan doinestik (Effendi, 2003) Distribusi ammonia di perairan tawar sangat bervariasi menwut musim, sangat tergantung terhadap tingkat kesuburan perairan, dan masukan buangan berupa bahan-bahan organik. Gambar 3 adalah sebaran vertikal ammonia bedasarkan tingkat kesuburan perairan (Wetzel, 1983).

Oligotropik

Eutropik

Gambar 3. Sebaran vertikal ammonia berdasarkan kesuburan perairan (Wetzel, 1983).

2. Nitrit (NO;)

Nitrit merupakan bentuk peralihan antara amonia dan nitrat (nitrifikasi), dan antara nitrat dan gas nitrogen (denitrifikasi). Ditemukan di perairan dalam jumlah yang sedikit karena bersifat tidak stabil dengan bergantung pada keberadaan oksigen (Effendi, 2003). Boyd (1982) menyatakan ketika nitrit terabsobsi oleh ikan, akan di ikat oleh hemoglobin darah sehingga inenggangu penyerapan oksigen oleh hemoglobin. Di perairan kadar nitrit jarang melebihi 1 mg/l (Sawyer dan McCarty, 1978 dalam Effendi 2003). Kadar nitrit yang melebihi dari 0,05 mg/l dapat bersifat toksik bagi organisme perairan yang sangat sensitif. Untuk keperluan air minum, WHO merekomendasikan kadar nitrit sebaiknya tidak melebihi 1 mg/l (Moore, 1991 dalam Effenh, 2003). Baku mutu untuk kegiatan perikanan batas maksimal nitrit yang diperbolehkan adalah 0,06 mg/l (Peraturan Pemerintah. Nomor 82,2001). 3. Nitrat (NOS) Nitrat adalah bentuk utama dari nitrogen anorganik di perairan yang masuk melalui permukaan daerah aliran sungai, air bawah tanah, dan air hujan (presipitasi) (Wetzel, 1983). Nitrat nitrogen sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan melalui proses nitrifikasi. Nitrifikasi merupakan proses penting dalam siklus nitrogen dan berlangsung dalam keadaan aerob. Oksidasi amonia menjadi nitrat dilakukan oleh bakteri Nitrosomonas, dan Nitrobactel: Keduanya adalah bakteri kemotrofik, yaitu hakteri yang dapat mendapatkan energi dari proses kimiawi (Effendi, 2003). Krenkel dan Novotny (1980) dalam Effendi (2003) menyatakan bahwa proses nitrifikasi sangat dipengaruhi oleh beberapa parameter sebagai berikut : a. Pada kadar oksigen terlarut < 2 mgll, reaksi akan bedalan lambat.

b. Nilai pH yang optimum bagi proses nitrifikasi adalah 8-9. Pada pH < 6
reaksi akan terhenti. c. Bakteri yang melakukan nitrifikasi cendemg menempel pada sedimen dan padatan lain.

d. Kecepatan pertumbuhan bakteri nitrifikasi lebih lambat dari pada bakteri heterotrof, apabila pada perairan banyak terdapat bahan organik maka pertumbuhan bakteri heterotrof akan melebihi pertwnbuhan bakteri nitrifikasi. e. Suhu optimum proses nitrifikasi adalah 20 "C - 25 "C. Pada kondisi suhu kurang atau lebih dari kisaran suhu tersebut, kecepatan nitrifikasi berkurang. Nitrifikasi dapat terganggu dengan adanya kandungan bahan organik terlarut. Nitrifikasi dapat berjalan pada keadaan aerobik, namun proses ini akan terus berlangsung sampai kandungan okigen terlarut (DO) sekitar 0,3 ing/l, jika kandungan oksigen terlarut berada di bawah kadar tersebut penyerapan (difusi) oksigen tidak dapat dilakukan lagi oleh bakteri (Wetzel, 1983). Kadar nitrat pada perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,l mg/liter. Kadar nitrat lebih dari 5 ingiter menggambarkan terjadinya pencemaran antropogenik yang berasal dari aktivitas manusia dan tinja hewan. Kadar nitrat melebihi 0,2 ing/liter dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi (pengayaan) perairan, yang selanjutnya menstiinulir pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara pesat (blooming). Kadar nitrat untuk keperluan air minum sebaiknya tidak melebihi 10 mg/liter (Davis dan Cornwell, 1991 dalain Effendi, 2003). Sedangkan

untuk keperluan perikanan sebaiknya tidak melebihi 20 mg/l (Peraturan


Pemerintah Nomor 82,2001). Nitrat tidak bersifat toksik terhadap organisme akuatik. Tetapi konsumsi air yang mengandung kadar nitrat yang tinggi akan menurunkan kapasitas darah dalam mengikat oksigen, terutama untuk bayi berumur kurang dari lima bulan. Keadaan ini dikenal sebagai methemoglobonemia atau blue baby disease (Mason,
1993 dalam Effendi, 2003). Gambar 4 adalah sebaran vertikal nitrat berdasarkan

tingkat kesuburan perairan (Wetzel, 1983).

Eutropik

Gambar 4. Sebaran vertikal nitrat (NO;) berdasarkan tingkat kesuburan perairan (Wetzel, 1983).

C. pH

Tebbut (1992) dalam Effendi (2003) mengatakan bahwa pH adalah satuan yang menggambarkan konsentrasi ion hidrogen. Toksisitas dari senyawa kimia juga dipengaruhi oleh pH. Nilai pH normal suatu perairan danau adalah 6-9 (Goldman dan Home, 1983). Senyawa amonium yang dapat terionisasi benyak ditemukan pada perairan dengan pH rendah. Amonium bersifat tidak toksik (innocuous). Pada suasana alkalis (pH tinggi) lebih banyak dite~nukanamonia yang tidak terionisasi (unionized) dan bersifat toksik. Amonia lebih mudah terserap kedalam tubuh organisme akuatik dibandingkan amonium. Proporsi dari total amonia nitrogen yang tidak terionisasi (NH3) akan meningkat dengan ineningkatnya suhu dan pH. Pengaruh dari pH bagi konsentrasi amonia tidak terionisasi sangat tinggi dibandingkan pengaruh dari suhu (Boyd, 1982). Proses biokimiawi perairan seperti nitrifikasi sangat dipengaruhi oleh nilai pH. Proses nitrifikasi akan berakhir jika pH bersifat asam. Pada pH 4,5 - 5,5 proses nitrifikasi akan terhambat (Novonty dan Olem, 1994 dalam Effendi, 2003). Dan selanjutnya Effendi (2003) menjelaskan bakteri pada umumnya tumbuh dengan baik pada pH new1 dan alkalis. Oleh karena itu proses dekomposisi bahan organik berlangsung lebih cepat pada kondisi pH netral dan alkalis.

D. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen (DO))


Dissolved oxygen (DO) atau oksigen terlarut dalam perairan merupakan konsentrasi gas oksigen yang terlarut di dalam air yang berasal dari proses fotosintesa oleh fitoplankton atau tumbuhan air lainnya di zone eufotik, serta difusi dari udara (APHA, 1989). Effendi (2003) menyatakan bahwa kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian (diurnal) dan musiman, tergantung pada pencampuran (mixing), dan pergerakan (turbulance) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah (efluent) yang masuk ke badan air. Peningkatan suhu sebesar 1 "C akan meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10% (Brown, 1987). Dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan anorganik dapat mengurangi kadar oksigen terlarut hingga mencapai no1 (anaerob). Kelarutan oksigen akan semakin berkurang dengan bertambahnya suhu (Effendi, 2003). Secara vertikal distribusi oksigen akan menurun di perairan seiring dengan bertambahnya kedalaman. Sebaran vertikal dari oksigen terlarut secara umum berbanding terbalik dengan kandungan C02 di air (Reid, 1991) Distribusi vertikal oksigen di Waduk Cirata digolongkan tipe Clinograde. Tipe ini terjadi pada danaul waduk yang produktif (eutrofik) yang kaya unsur hara dan bahan organik. konsentrasi oksigen semakin menurun dengan bertarnbahnya kedalaman, bahkan telah habis sebelum mencapai dasar (Goldman dan Home, 1983 dalam Octaviany, 2005). Selanjutnya Effendi (2003) menjelaskan penghilangan oksigen pada bagian dasar perairan lebih banyak disebabkan proses dekomposisi bahan organik yang membutuhkan oksigen terlarut. Ammonia sangat bersifat toksik jika kandungan oksigen terlarut di perairan rendah (Merkens dan Downing, 1957 dalam Boyd, 1982).
E. Biochemical Oxygen Demand (BOD)

Biochemical Oxygen Demand (BOD) adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dalam proses dekomposisi bahan organik (APHA, 1989). Dekomposisi bahan organik pada dasarnya terjadi melalui dua tahap. Tahap pertama, bahan organik diuraikan menjadi bahan anorganik. Pada tahap kedua, bahan anorganik yang tidak stabil, misalnya amonia mengalami

oksidasi menjadi nitrit dan nitrat. BOD hanya menggambarkan bahan organik yang dapat didekomposisi secara biologis (biodegradable). Bahan organik ini dapat berupa lemak, protein, kanji, glokusa, aldehda, ester, dan sebagainya. Secara tidak langsung, BOD mengambarkan kadar bahan organik yang berada di perairan (Effendi, 2003). Nilai BOD yang besar tidak baik bagi kehidupan organisme (Tabel 1). Tabel 1. Kriteria kulitas air berdasarkan nilai BOD (Lee et al., 1978 dalam Feriningtyas, 2005) Nilai BOD (mgniter) Kriteria kualitas air perairan. Lee et al., (1978) dalam Feriningtyas (2005) mengelompokkan tingkat pencemaran bahan organik berdasarkan nilai BOD

13
3 4,9 5-15

Tidak tercemarl tercemar sangat ringan Tercemar ringan Tercemar sedang Tercemar berat

> 15

F. Cltenrical Oxygen Demand (COD)


Chemical Oxygen Demand (COD) menggambarkan jumlah oksigen total yang diperlukan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sulit didegradasi secara biologis (non-biodegradable) menjadi COz dan Hz0 (APHA, 1989). Keberadaan bahan organik yang tinggi dapat berasal dari alam ataupun dari aktivitas rumah tangga, pertanian dan industri. Perairan yang memiliki nilai COD tinggi tidak diinginkan bagi kepentingan perikanan dan pertanian. Nilai COD pada perarian yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 inglliter, sedangkan pada perairan yang tercemar biasanya dapat lebih dari 200 mglliter, dan pada limbah industri dapat mencapai 60.000 mg/liter O]NESCOiWHO/UNEP, 1992 dalam Effendi, 2003).

G. Suhu

Suhu dapat menentukan kandungan oksigen dalam perairan, dirnana semakin tinggi suhu maka semakin rendah oksigen yang terlarut (Fardiaz, 1992). Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi, dan volatilisasi. Peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air (Haslam, 1995). Effendi (2003) menyatakan bahwa peningkatan suhu menyebabkan peningkatan metabolisme dan respirasi organisme air, dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu juga menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba. Suhu dapat inenyebabkan stratifikasi pada danadwaduk. Lapisannya di bedakan antara lain; epilimnion adalah lapisan bagian atas yang lebih hangat, hypolimnion adalah lapisan bagian bawah yang lebih dingin, dan metalimnion dengan thermoklin diantara kedua lapisan tersebut (Goldman dan Home, 1983). Thermoklin adalah lapisan air yang berada diantara lapisan permukaan yang lebih hangat (epilimnion) dan lapisan dasar yang lebih dingin (hipoli~nnnnion) (Hehanusa dan Haryani, 2001). Effendi (2003) menyatakan, pada lapisan thermoklin terjadi penurunan suhu secara tajam. Proses dekomposisi biasanya lebih menyukai suhu yang hangat. Kecepatan dekomposisi meningkat pada kisaran suhu 5-35 OC. Pada kisaran ini peningkatan 10 "C suhu meningkatkan proses dekomposisi dan konsumsi oksigen dua kali lipat. (Effendi, 2003)

H. Kekeruhan
Kekeruhan inenggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yag diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat d~ dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus), maupun bahan anorganik dan organik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain (APHA, 1989). Kekeruhan pada perairan tergenang (danadwaduk) lebih banyak disebabkan oleh bahan tersuspensi yang berupa koloid dan partikel-partikel halus (Effendi, 2003)

I. Total Suspended Solid (TSS)


Padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid atau TSS) adalah bahanbahan tersuspensi (diameter > lpm). TSS terdiri dari lumpur dan pasir serta jasadjasad renik, yang terutama disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air. Nilai TSS yang tinggi di suatu perairan dapat menurunkan intensitas cahaya matahari sehingga dapat menurunkan aktivitas fotosintesis (Effendi, 2003). Kesesuaian perairan untuk kepentingan perikanan berdasarkan padatan tersuspensi ditunjukkan dalam Tabel 2 Tabel 2. Kesesuaian perairan untuk kepentingan perikanan berdasarkan padatan tersuspensi (TSS) (Effendi, 2003)
Pengaruh terhadap kepeutiugan perikanan

Nilai TSS (mgiter)


< 25

Tidak berpengaruh Sedikit berpengaruh Kurang baik bagi kegiatan perikanan Tidak baik baik bagi kegiatan perikanan

25 - 80 81 - 400 > 400

J. Baku Mutu Kualitas Air

Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001, tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, sesuai dengan bunyi dari pasal 8 ayat 1, yang berisikan tentang klasifikasi dan kriteria mutu air, mutu air dikelompokkan menjadi einpat Masifikasi sebagai berikut : a. Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air bakti air minum, dan atau peruntukan lain yang imempersyaratkan mutu air yang sana dengan kegunaan tersebut; b. Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasaranalsarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, petemakan ,air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukkan lain 111utuair yang sama dengan kegunaan tersebut; yang me~npersyaratkan

c. Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk


pembudidayaan ikan air tawar, petemakan, air untuk imengairi

pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan air yang sama dengan kegunaan tersebut; d. Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi,pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. Knteria baku mutu air berdasarkan setiap klasifikasi air ditunjukkan di dalam Tabel 3. Tabel 3. Kriteria Mutu Air menurut Peraturan Peinerintah Nomor 82 Tahun 2001
Kelas
I

Parameter

Satuan

n
Fisika

rn

Keterangan

bes

untuk

ikan

K. Sedimen
Sedimen adalah partikel batuan, mineral, atau bahan organik yang hendapkan dari air yang mengalir, dari udara, atau angin (Hehanusa dan Haryani, 2001). Sedimen meliputi tanah dan pasir, bersifat tersuspensi, yang masuk ke badan perairan (Effendi, 2003). Bahan bahan organik yang berbentuk partikel suspensi akan mengendap pada dasar sedimen, dimana merupakan sumber nitrogen sedimen (Goldman dan Home, 1983). Bakteri denitrifikasi ditemukan pada sedimen yang anoksik ketika nitrat terdapat pada sedimen tersebut. Urea hasil ekskresi akan dikonversi ke bentuk ammonia oleh bakteri-bakteri di dalam tanah (Goldman dan Home,1983). Pada danau eutropik sering terjadi perpindahan nitrogen dari sedimen yang anoksik melalui gelembung-gelembung methan hasil proses pembusukan. Gas nitrogen bercampur dengan gelembung-gelembung methan, dan keluar dari sedimen menuju kolom perairan (Goldman dan Home, 1983). Larutan tanah inengandung berbagai zat terlarut. Banyak zat terlarut berbentuk ion, baik kation maupun anion. Kation yang m m terdapat dalam u larutan tanah adalah H+, 1 ~Fe3+, (dalam suasana aerob), Fe2+(dalam suasana ~ + , anaerob), ~ a + , ca2*, M$, Kf,

M? NJ&*. (Notohadiprawiro, 1998) i:

Penjerapan adalah pelekatan suatu zat padat pada permukaan koloid tanah. Koloid tanah adalah bagian tanah yang terdiri atas butir-butir yang berukuran sangat halus. Koliod tanah dapat menjerap anion, dan jumlah jerapan ini semakin besar jika keasaman tanah meningkat. Sebaliknya jika keasaman menurun, maka jumlah jerapan ion akan rendah. Penjerapan air mengakibatkan air tertahan dalam pori-pori tanah pada daya tarik permukaan koloid oleh adanya tekanan permukaan kapiler serta daya tarik menarik ion-ion. Liat dengan perrnukaan dalam (internal) yang luas mampu menjerap air di dalam ruang antar lapisannya, sehingga terbentuk ruang antar lapisan yang mengandung air (Depdikbud, 1991). Kation organik sebagian besar terjerap pada permukaan negatif liat, sedangkan anion-anion organik lebih terjerap oleh bidang-bidang patahan permukaan liat. Senyawa organik tidak berrnuatan diketahui belakangan ini dapat dijerap oleh minerat-mineral Iiat. Di dalam penjarapan, molekul organik dapat

menggantikan air yang terjerap oleh liat. Sebaliknya senyawa organik yang tejerap sering dapat bertukar melalui pencucian dengan air (Depdikbud, 1991). Sebagian besar nitrogen organik dalam tanah didekomposisi menghasilkan nitrogen anorganik. Dekomposisi inerupakan proses biokimia kompleks yang melepaskan C02. Nitrogen organik dibebaskan dalam bentuk ammonium (w'), dan bila keadaan baik akan dioksidasi menjadi nih-it (NOz) dan nitrat (NO3). Ammonium pada keadaan anaerob lebih stabil, sedangkan nitrat lebih stabil pada keadaan aerob. Ion ammonium

m) lebih reaktif dibandingkan ion i

nitrat

(NO3-). Ammonium akan bereaksi secara cepat dengan muatan negatif dari liat dan membentuk ikatan yang komplek dengan logam dan senyawa organik (Tan, 2000). Berdasarkan nilai pH, tanah dapat dikelompokkan menjadi beberapa tingkat kemasaman dan kebasaan (Gambar 5).

Sangat ekstrim, Tanah gambut

.
8

B--------+Kisaran pH Kisaran pH tanah daerah tanah daerah bilsah kcring Kisaran ekstrim dari pH kcbanyakan tanah mineral

;Hanya
dijnmpai :pada tanah
s

alkalin

'

Gambar 5. Tingkat Kernasaman pH Tanah (Depdikbud, 1991)


L. Sedimentasi Waduk Cirata

Waduk Cirata telah mengalami proses sedimentasi yang cukup tinggi, disamping mendapatkan pasokan limbah dari Sungai Citarum clan Waduk Saguling juga karena keberadaan Karamba Jaring Apung (KJA) yang saat ini jumlahnya sekitar 40.000 unit dan setiap harinya meinbuang 1 menampung kelebihan pakan ikan (pelet) sekitar 50 ton ke dasar waduk (Suryadiputra dan Ratnawati, 2001). Sedimen dari sisa pakan maupun kotoran ikan dari hasil

budidaya (KJA) Waduk Cirata akhirnya akan menumpuk di dasar perairan dan selanjutnya mengalami dekomposisi atau penguraian. Buangan sisa pakan dan kotoran ikan berlebihan akan berpengaruh negatif terhadap kualitas air diantaranya dapat meningkatkan kandungan amonia, zat asan, dan HzS, ha1 ini bersifat sangat racun bagi kehidupan biota perairan. Sedimentasi di perairan waduk yang ada kegiatan budidaya (KJA) bisa 6 sampai 15 kali dibandingkan perairan yang tidak ada kegiatan perikanannya (Umar, Kartamihardja, clan Supriyadi, 2001) Secara kimia sediinen dapat menyumbang beberapa parameter kimia seperti logam berat, amonia, HzS yang cukup tinggi, oksigen yang rendah, flukh~asipH yang sangat lebar, dan bahan organik yang tidak terkendali. Tanah dan sedimen berperan utama dalam penyerapan (adsorbsi) zat-zat kimia berbentuk ionik, zat-zat kimia berbentuk gas, partikel-partikel tanah, serta bahan organik d m anorganik (Connel dan Miller, 1995). Sedimen dengan jurnlah yang tinggi dalam air akan sangat merugikan, karena dianggap perairan tersebut telah terpolusi (Ferdiaz, 1992).

L .METODE PENELITIAN U

A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini berternpat di Waduk Cirata, Jawa Barat. Pengambilan sampel dilakukan antara bulan Juli sampai bulan September 2006. Terdiri dari empat titik sampling (Gambar 6 ) .

Skala

2 Ktlomoler

Gambar 6. Peta lokasi penelitian (sumber : DKP 2007) Stasiun 1 terletak di inlet Sungai Citanun, stasiun 2 terletak & daerah Pluinbon yaitu daerah dengan jumlah KJA sedang, stasiun 3 terletak di daerah Pasir Pogor dengan junlah KJA padat, dan stasiun 4 yang terletak di oulet waduk (Lampiran 16). Kedalaman pada setiap stasiun berbeda-beda, karena setiap stasiun memiliki kontur waduk yang berbeda. Kedalaman masing-masing stasiun secara

berturut-turut antara lain; 19 meter (stasiun I), 13 meter (stasiun 2), 62 meter (stasiun 3), dan 25 meter (stasiun 4). Kedalaman rata-ratanya sekitar 34,9 meter dengan kedalaman maksimum mencapai 106 meter. Pennukaan air waduk pada saat pengamatan mengalami penyusutan (Lampiran 17). Pada pengamatan bulan Agustus dan September pada inlet waduk di stasiun 1 banyak dijtnnpai tumbuhan Eceng Gondok yang menutupi sebagian besar permukaan inlet waduk.
B. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan antara lain; Van Dorn salnpler untuk pengambilan contoh air, Ekman Grab untuk mengambil sedimen waduk, pHmeter untuk mengukur pH perairan, thermometer raksa untuk mengukur suhu perairan, DO meter, botol DO gelap untuk analisis BOD (Biochemical Oxygen Demand), dan botol sampel untuk menyimpan sampel air untuk di analisis di laboratorium. Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk analisis kualitas air antara lain; pereaksi untuk analisis oksigen terlarut (metode Winkler) antara lain suljh-mic
acid,
Mn04,

NaOH + KI, HzS04, Na-tkiosulfnt; pereaksi untuk analisis

kandungan Ammonia-Nitrogen (metode Indophenol) antara lainphenate (phenol),


chlorox (oxidizing solution), dan mangan sulfat; pereaksi untuk analisis

kandungan Nitrit-Nitrogen (metode Sulfanilamide) antara lain sulfanilamide


(diazotizing reagent), NED (Coupling reagent), larutan standar Nitrit-N 1,00 mgll

(1 ppm); dan untuk pereaksi untuk analisis kandnngan Nitrat-Nitrogen (metode Bn~cine) antara lain larutan Brucine, HzS04 (pekat), larutan standar Nitrat-N 5,00 mgll (5 ppm), pereaksi untuk analisis COD antara lain larutan Potassium
dichromate 1 N, larutan Potassium dichrornate 0,025 N, Ferrous Ammoniurn Sulfat (FAS), dan indikator Ferroin.

Sedangkan untuk analisis sedimen bahan-bahan (reagen) yang digunakan antara lain; pereaksi untuk analisis ammonia antara lain nessler reagent, sodium
carbonate, standart amonium, chloride solution, pereaksi untuk analisis nitrat

antara lainphenoldisulfonic acid, ammonium hydroxide, standart nitrate solution,


copper su&t solution, calcium hydroxide powder, magnesium carbonate powder,

sedangkan pereaksi untuk analisis nitrogen total antara lain sulfuric acid, granular
pumice, sodium carbonate, sodium hydroxide, nessler 's reagent.

C. Metode Kerja
1. Penentuan Lokasi Penelitian
Lokasi pengainbilan sampel dilakukan di empat titik (Gambar 6), yaitu : inlet waduk (stasiun I), daerah KJA sedang yang terletak di daerah Pasir Pogor (stasiun 2), daerah KJA padat yang terletak di daerah Plunzbon (stasiun 3), dan outlet waduk (stasiun 4). Penentuan lokasi penelitian didasarkan pada kepadatan sebaran KJA yang terdapat pada waduk Cirata.

2. Pengambilan Sampel
Untuk pengambilan sainpel air dilakukan dengan menggunakan Van Dorn
sampler pada kolom perairan dengan interval 10 meter secara vertikal sampai

dengan kedalaman 30 meter (0 m, 10 m, 20 m, 30 m) disesuaikan dengan kedalaman setiap stasiun, dan pada kedalaman dekat dasar (interfase) yaitu 1 meter di atas dasar waduk. Pengambilan sampel ini dimaksudkan untuk melihat sebaran vertikal nitrogen di kolom perairan dari permukaan hingga dasar waduk. Sedangkan pengambilan sampel sedimen dilakukan dengan lnenggunakan Ekman
Grab pada setiap stasiun. Sampel diambil satu kali setiap bulan, antara bulan Juli

sampai bulan September 2006. Pengambilan sampel dilakukan pada siang sampai sore hari. Air sampel yang didapat langsung diawetkan dengan pendinginan dan pemberian H2S04. Sedangkan sampel sedimen langsung lmasukkan plastik. Kedua sampel selanjutnya di analisis di laboratorium.
3. Metode Analisis Kualitas Air dan Sedimen

Analisis kualitas air llakukan secara in situ (pengukuran langsung) maupun di laboratorium. Untuk analisa kulitas air secara in situ antara lain: oksigen terlantt (DO), pH, dan suhu. Sedangkan analisa kualitas air secara ek situ (di laboratorium) untuk parameter seperti; BOD, COD, kecerahan, kekeruhan, TSS, ammonia, ammonium, nitrit, nitrat, dan N-total.

Untuk analisis kualitas sedimen dilakukan secara ek situ (di laboratorium). Beberapa parameter yang dianalisis diantaranya : kandungan N-total (nitrogen total) pada tanah, kandungan ammonia pada air di sedimen, kandungan nitrat pada air di sedimen, Tekstur 3-Fraksi dan pH. Analisis kualitas air dilakukan di laboratorium Produktivitas Lingkungan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Sedangkan Analisis kualitas sedimen dilakukan di Iaboratorium Tanah, Departemen Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Jenis parameter kualitas air dan sedimen yang dianalisis beserta satuan dan aladmetoda serta lokasi analisisnya dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 4. Paraineter, metode, dan lokasi analisis sampel kulitas air (APHA, 1989), dan sampel sedimen (Chapman dan Pratt, 1961).
Parameter

/
I

Satuan

/
I

Metode

Keterangan

KUALITAS AIR
Pisika Kedalaman Suhu Kekemhan TSS Kimia Oksigen terlarut (DO) BOD COD Ammonia Total Nitrit mg/l mg/l mdl mg/l ir~ situ DO meter laboratorium Modifikasi Winkler laboratorium Refluks Terbuka Spectrofotonehic/l,tdophenol laboratorium Spectrofoton~etric/Str[fa~~ilmlide laboratorium &traotomehic/Bnrcine laboratorium laboratorium Kjeldhal pH-meter iii sifu m "C NTU mdl Penykuran Pemuaian Turbidimeter Gravimetrik

I
in silu in situ
laboratorium laboratorium

I
mg/l mdl

Fisika Tekstur 3-Fraksi


Kimia Ammonium Nitrat N-Total pH

Pipet

Laboratorium

mg/l mgll
%

Nessler Phenoldiszc[fo,zic acid


Kjeldhal pH meter

I Laboratorium
Laboratorium Laboratorium Laboratorium

4. Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil pengukuran kualitas air dan sedimen ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik, dan akan disajikan secara deskriptif. Selain analisa secara deskriftif, parameter-parameter utama (NH3, NOz, N03, Ntotal) dibandmgkan dengan parameter pendukung (suhu, oksigen terlarut (DO), BOD, COD, suhu, pH, kekeruhan, dan TSS) serta dengan baku mutu yaitu, Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang: Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Penceinaran Lingkungan. Sedangkan untuk melihat pengaruh secara temporal dan spasial data akan dianalisis dengan menggunakan Rancangan PetakTerbagi (Split-Plot Design) untuk data kualitas air, dan Rancangan Acak Kelompok (RAK) untuk data sedimen waduk.

a. Analisis Data Kualitas Air


Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan Rancangan PetakTerbagi (Split-Plot Design) untuk melihat pengaruh dari stasiun, kedalaman, dan waktu. Terlebih dahulu data dikelompokkan menurut waktu pengambilan sampel dan waktu diasumsikan sebagai kelompok. Selanjutnya dari setiap data dibagi menurut stasiun dan kedalaman. Untuk stasiun diasumsikan sebagai faktor A, dan kedalaman diasumsikan sebagai faktor B. Kedalaman yang digunakan antara lain kedalaman 0 m, 10 m, dan interfase (kedalaman dekat dasar). Hal ini dikarenakan setiap stasiun memiliki kedalaman tersebut. Selanjutnya dari setiap stasiun, kedalaman, dan waktu ditentukan jumlah datanya untuk menganalisis ragam menggunakan tabel sidik ragam. Adapun langkah-langkah untuk menentukannya adalah sebagai berikut (Steel dan Torrie, 1993) :

1. Jumlahkan semua data lalu dikuadratkan, kemudian bagi dengan jumlah data
untuk inendapatkan Faktor Koreksi (C).

(Y ...12 Hitung Faktor koreksi (C) =

2. Kuadratkan masing-masing data lalu jumlah semua kuadratnya, keinudian

kurangi dengan faktor koreksi (C) untuk mendapatkan Junlah Kuadrat Total (JKT). Jumlah Kuadrat Total ( K T ) =
3. Kerjakan analisis petak utama :

2$ - C
tjk

VP

a. Menghitung Jumlah Kuadrat (petak utama) dengan menjumlahkan data pada setiap waktu pengambilan sampel lalu kuadratkan, setelah itu dijumlahkan kuadratnya, selanjutnya bagi dengan jumlah waktu pengambilan sampel dan kurangi dengan faktor koreksi (C). JK(petak utama) =

c$,1b - C
ii
V

b. Menghitung Jumlah Kuadrat (kelompok) dengan menjumlahkan data menurut waktu pengambilan sarnpel yang sama kemudian jumlahkan waktu yang sama pada setiap stasiun lalu dikuadratkan, setelah itu bagi dengan jumlah data yang ada pada setiap waktu pengamatan yang sama dan kurangi dengan faktor koreksi (C). JK(ke1ompok = waktu) =

z y 2 lab -C ,
i
1..

c. Menghitung Jumlah Kuadrat (stasiun) dengan menjumlahkan data setiap stasiun pengamatan lalu kuadratkan dan jumlahkan kuadratnya, setelah itu bagi dengan jumlah data yang ada pada satu stasiun dan kurangi dengan faktor koreksi (C).

d. Menghitung Jurnlah Kuadat (galat(A)) dengan mengurangi JK(petak utama) dengan JK(ke1ompok) dan JK(A). JK(ga1at (A)) = JK(petak utama) - JK(ke1ompk) - JK(A)

3. kerjakan analisis anak-petak :

a. Menghtung Jumlah Kuadrat (kedalaman) dengan menjumlahkan data setiap kedalaman kemudian kuadratkan hasilnya, lalu bagi dengan jumlah data yang ada disetiap kedalaman setelah itu kurangi dengan faktor koreksi (C). JK(B = kedalaman) =
k
2

ykI ra - C

b. Menghitung Jumlah Kuadrat (AB) dengan menjumlahkan data setiap kedalarnannya menurut setiapnya masing-masing, setelah itu kuadratkan hasilnya dan dijumlahkan, lalu bagi dengan jumlah data yang ada di setiap menurut stasiunnya, kemudian kurangi dengan faktor koreksi (C) dan JK(A) serta JK(B). JK(AB)
=

cy2,I
Jk
~k

r-

c - JK(A)- JK(B)

c. Menghitung Jumlah Kuadrat (galat@)) dengan mengurangi JK(tota1)


dengan JK(petak utama), JK(B), dan JK(A). JK(ga1at @))
= JK(tota1) - JK(petak utama) - JK(B) - JK(A)

Selanjutnya setelah langkah-langkah perhitungan di atas dilakukan masukkan ke dalam tabel sidik ragam untuk mendapatkan nilai F-hitung (Tabel 7). Adapun hipotesis yang akan diuji adalah sebagai berikut :
1. Pengaruh stasiun terhadap kandungan nitrogen

Ho: stasiun tidak berpengaruh (al = a 2 = ....=ai = 0) HI: stasiun memberikan pengaruh nyata (minimal satu stasiun, (a i # 0))

2. Pengaruh kedalaman pengambilan sampef terhadap kandungan nitrogen:

H,: kedalaman tidak berpengaruh (PI = P2 = ....= Pj = 0)


HI: kedalaman memberikan pengaruh nyata (minimal satu stasiun (pj# 0))
3. Pengaruh waktu pengambilan sampel terhadap kandungan nitrogen:

K:waktu tidak berpengaruh (yl = y2 = ....=yj = 0)


HI: waktu memberikan pengaruh nyata (minimal satu stasiun (y, # 0))

Tabel 5. Tabel Sidik Ragam Rancangan Petak-Terbagi (Steel dan Tonie, 1993)

Keterangan : a =jumlah stasiun pengambilan sampel b =jumlah kedalaman pengambilan sampel r = jumlah kelompok (waktu pengambilan sampel) Selanjutnya nilai F-hitung dibandingkan dengan F-tabel, pada selang kepercayaan 95 %, untuk mendapatkan bagaimana pengaruh stasiun, kedalaman, dan waktu pengambilan sampel terhadap kandungan nitrogen perairan berdasarkan kaidah keputusan dibawah ini : Jika F-hitung > F-tabel, maka tolak H, : terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan (stasiun dan kedalaman) dengan kandungan nitrogen. Jika F-hitung nitrogen. Jika hasil sidik ragam menunjukan adanya perbedaan yang nyata akibat perlakuan, maka dilakukan uji lanjutan menggunakan metode uji lanjutan Beda Nyata Terkecil (BNT) untuk mengetahui perlakuan mana yang memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap kandungan nitrogen periaran. Langkah-langkah perhitungan uji BNT adalah sebagai berikut :

< F-tabel, maka terima x: terdapat perbedaan yang tidak

nyata antar perlakuan (stasiun dan kedalaman) dengan kandungan

a. Menentukan perbedaan rata-rata atribut dengan membandingkan ratarata perlakuan dengan masing-masing perlakuan. d = lyi-yjj b. Menentukan nilai uji BNT. BNTaEt(a/2,bds) keterangan : t a / 2 n KTS dbs Kaidah keputusan :
= Nilai

dati tabel t ( a

=5

%)

= Banyaknya ulangan = Kuadrat = Derajat

tengah sisa

bebas sisa

* Jika d > BNT a , maka tolak Ho


Jika d < BNTa, maka gaga1 tolak Ho

b. Analisis Data Sedimen


Berbeda dengan analisa kualitas air, data sedimen dianalisis dengan inenggunakan Rancangan Acak Keloinpok (RAK). Data yang diperoleh disusun bedasarkan stasiun dan waktu pengambilan sampel. Pada baris ditentukan data menurut stasiun, dan pada kolom ditentukan data menurut waktu. Selanjutnya data tersebut dijumlahkan untuk menentukan analisis ragamnya dengan menggunakan tabel sidik ragam (Tabel 8). Langkah-langkah menentukan RAK adalah sebagai berikut (Walpole, 1995):

1. Menghitung Jumlah Kuadrat Total ( K T ) dengan mengkudratkan masingmasing data kemudian dijumlahkan, kemudian kurangi dengan hasil b a a jumlah total data yang dikuadratkan dengan jumlah semua data yang ada.

2. Menghitung Jumlah Kuadrat Baris (JKB) dengan menjumlahkan Qta berdasarkan setiap stasiun lalu &kuadratkan, kemudian bagi dengan jumlah data yang ada pada setiap stasiun, setelah itu kurangi dengan hasil bagi jumlah total data yang dikuadratkan dengan jumlah semua data yang ada.

3. Menghitung Jumlah Kuadrat Kolom (JKK) dengan menjumlahkan data

setiap berdasarkan waktu lalu dikuadratkan, kemudian bagi dengan jumlah data yang ada pada setiap waktu pengamatan, setelah itu kurangi dengan hasil bagi jumlah total data yang dikuadratkan dengan jumlah semua data yang ada.

4. Menghitung Jumlah Kuadrat Galat (KG) dengan mengurangi JKT dengan

JKB dan JKK. KG=KT-JKB-JKK Selanjutnya jumlah kuadrat yang telah dihitung disusun kedalam tabel sidik ragam
untuk menganalisis ragam, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 8.

Tabel 6 . Tabel Sidik Ragam Rancangan Acak Kelompok (Walpole, 1995)


Sumber Keragaman Nilai tengah Stasiun Nilai tengah Waktu Galat
I

Derajat Jurnlah Kuadrat Bebas (db) (JJQ

Kuadrat Teugah

WT)
JKB KTB = (r - 1)

F-hitung

(1- 1) (c-1) (r-1-1


I

JKB
JKK

KTB KTG KTK KTG

KTK = KTG=
I

JKK -

(C- 1)

KG KT

JKG (c - l)(r - 1)
I

Total

rc-1

Keterangan : r = jumlah stasiun pengambilan sampel c = jumlah waktu pengambilan sarnpel

Hipotesis yang akan diuji adalah:

1. Pengaruh stasiun (perlakuan) terhadap kandungan nitrogen :


H,: faktor stasiun tidak berpengaruh (al = a2= ....=ai = 0) HI: faktor stasiun berpengaruh (minimal satu stasiun (ai # 0)) 2. P e n g a d waktu pengambilan sampel (kelompok) terhadap kandungan nitrogen: H,: faktor waktu tidak berpengaruh (PI = P 2 = ....= Pj = 0) HI: faktor waktu berpengaruh (minimal satu waktu (Pj# 0)) Selanjutnya nilai F-hitung dibandingkan dengan F-tabel, pada selang kepercayaan 95 %, sehingga dapat ditarik kesimpulan berdasarkan kaidah keputusan dibawah ini : Jika F-hitung > F-tabel, maka tolak H, : terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan (stasiun dan waktu) dengan kandungan nitrogen. Jika F-hitung 5 F-tabel, maka terima %: tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan (stasiun dan waktu) dengan kandungan nitrogen. Jika hasil sidik ragam menunjukan adanya perbedaan yang nyata akibat perlakuan, maka dilakukan uji lanjutan lnenggunakan metode uji lanjutan Beda Nyata Terkecil (BNT) untuk mengetahui perlakuan mana yang memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap kandungan nitrogen periaran. Langkah-langkah perhitungan uji BNT adalah sebagai berikut : a. Menentukan perbedaan rata-rata atribut dengan inembandingkan ratarata perlakuan dengan masing-masing perlakuan. d = lyi-yjl b. Menentukan nilai uji BNT. BNTa=t(a/2,bds) keterangan : t cu / 2 n KTS dbs

JZEG
= Nilai

dari tabel t ( a = 5 %)

= Banyaknya ulangan = Kuadrat tengah sisa = Derajat bebas

sisa

Kaidah keputusan :

Jika d > BNTa, maka tolak Ho

* Jika d < BNT a , maka gaga1 tolak Ho

I .HASIL DAN PEMBAaASAN v

A. Kandungan Nitrogen di Perairan


1. Ammonia total (NH3 dan N&+)

Kisaran nilai ammonia total berkisar antara 0,07-4,86 mg/l (Gambar 7 dan Lampiran 1). Kandungan ammonia total tertinggi selama penelitian terjadi pada bulan September di stasiun 3 pada kedalaman interface (dekat dasar), sedangkan kandungan ammonia total terendah terjadi pada bulan Juli di stasiun 1 pada permukaan waduk. Distribusi vertikal ammonia total mengalami penurunan pada setiap kedalanan. Rata-rata kandungan di permukaan waduk adalah 0,46 mg/l, sedangkan pada kedalaman interface (dekat dasar) rata-rata kandungannya adalah
1,85 mgtl.

40
Y

stasiun 1
kedalamao maksimum = 19 meter

rn

E 40 60 70

stasiun 2
kedalamnn maksimum = 13 meter

$5060 70 0 0 10
Y

Konsentrasi (mgil)

I<onsentrasi (mgg 4 6

, .20 -. z

E 30

'U

5 50
Y

E m - 40

60
70
kedalaman maksimum = 62 meter

Gambar 7. Kandungan ammonia total ( N H 3 dan N 4 perairan berdasarkan H3 kedalaman pada setiap stasiun dan waktu pengamatan.

Terjad peningkatan konsentrasi ammonia total pada setiap penambahan kedalaman. Pada stasiun 1, konsentrasi rata-rata di permukaan adalah 0,08 mg/l meningkat menjadi 0,74 mg/l pada kedalaman interface (dekat dasar), stasiun 2 konsentrasi rata-rata di permukaan sebesar 0,72 mg/l menjadi 1,30 mg/l pada kedalaman interface, stasiun 3 konsentrasi rata-rata di perrnukaan sebesar 0,55 mg/l dan meningkat pada kedalaman interface inenjadi 3,59 mg/l, dan stasiun 4 konsentrasi rata-rata pada permukaan 0,49 mgll rnenjadi 1,76 pada kedalaman interface. Ammonia yang terukur pada perairan berupa ammonia total (NH3 dan

NW (Goldman dan Home, 1983). Nilai ammonia bebas (NH3) dan ammonium ( ~ ~ 4 3 dari konversi nilai ammonia total (Lampiran 14). Ammonia bebas didapat
(NH3) yang terukur berkisar antara 0,0017-0,2054 mg/l, dengan konsentrasi tertinggi pada bulan Agustus di stasiun 2 pada permukaan waduk, sedangkan konsentrasi terendah terjadi pada bulan Juli di stasiun 1 pada kedalaman 10 meter. Distribusi vertikal NH3 inenunjukkan penurunan pada setiap penambahan kedalamannya (Gambar 8).
Konsentrasi (mgll) 01 .5 0.2 0.25
0

0.05

01 .

0.1

Konsentrasi (mgfl) 0.2 0.3

- 20 g
10

30

stasiun 1

'

40

stasiun 2
kedalaman mksimum = 13 meter
tconsenlrasi (rngll)

50 60 70

Konsentrasi (mgliJ

stasiun 3 stasiun 4
I--c Jull
Gambar 8.

--rcAgustus

- , I

September

Kandungan ammonia bebas (NH3) berdasarkan kedalaman pada setiap stasiun dan waktu pengamatan.

Pada Gambar 8 terlihat bahwa pada setiap penambahan kedalaman konsentrasi NH3 rata-rata menurun di setiap stasiun pengamatan, kecuali pada stasiun 1. Pada stasiun 2, rata-rata konsentrasi pada permukaan sebesar 0,080 mg/l dan menurun menjadi 0,028 mg/l pada kedalarnan interface. Stasiun 3, rata-rata konsentrasi pada permukaan sebesar 0,064 dan menurun menjad 0,023mgA pada kedalaman interface. Stasiun 4, rata-rata konsentrasi pada permukaan adalah 0,031 mg/l dan mengalami penurunan pada kedalaman interface sampai 0,017 mgl. Sedangkan pada stasiun 1, interface. Sedangkan untuk nilai ammonium nilai konsentrasinya mengalami sedikit peningkatan dari 0,O 13 mg/l pada permukaan menjadi 0,O 15 mg/l pada kedalaman

( ~ ~yang3 4 terukw dapat dilihat pada

dan Gambar 9 dan Lampiran 1. Dari hasil yang diperoleh, didapat kisaran untuk

M&+ yaitu sebesar 0,0659-4,828 mgh, dengan konsentrasi terbesar terjadi pada
bulan September di stasiun 3 pada kedalarnan interface, dan konsentrasi terendah tejadi pada bulan September di stasiun 1 pada permukaan waduk.
0

Konsentrasi (m@) 4 6

Konsentrasi (mgll)

0
0

stasiun 1

10

50 2 X I

Z 9
6

40

stasiun 2
kedslaman maksimum = 13 meler

50

a
70
Konsentrasi (mgm

Konsentrasi (mgfl) 4 6

stasiun 4
kednlnmnn maksimum = 25 meter
-+-Jult
--P-Agustus -a-September

Gambar 9. Kandungan ammonium perairan berdasarkan kedalaman pada setiap stasiun dan waktu pengamatan.

(H3 N4

Pada grafik terlihat terjadi peningkatan konsentrasi NI%+ untuk setiap penambahan kedalaman. Di stasiun 1, rata-rata konsentrasi pada permukaan sebesar 0,067 mgA dan meningkat menjadi 0,725 mg/l pada kedalaman interface. Stasiun 2, rata-rata konsentrasi pada permukaan sebesar 0,643 mg/l dan bertambah menjadi 1,269 mg/l pada kedalaman interface. Stasiun 3, rata-rata konsentrasi pada permukaan 0,488 mg/l menjadi 3,568 mg/l pada kedalaman interface. Dan stasiun 4, rata-rata konsentrasi pada permukaan 0,457 mgll menjadi 1,737 mg/l pada kedalaman interface. Dari hasil yang didapat, ammonia total memiliki kecenderungan inengalami peningkatan pada setiap penambahan kedalaman. Wetzel (1983), mengklasifikasikan pola sebaran yang demiluan sebagai perairan Eutrofik (Gambar 3). Pada perairan Eutrofik produktivitas dan kandungan bahan organik tinggi. Bahan organik diduga berasal dari kegiatan budidaya KJA yang terdapat pada waduk yaitu bempa sisa pakan dan feses. Hal ini terlihat pada konsentrasi ammonia total stasiun 2 dan stasiun 3 yang relatif lebih besar dibandingkan stasiun 1 dan stasiun 4 (Lampiran 1). Konsentrasi yang meningkat disetiap kedalamannya diduga terjadi akibat proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme. Bahan organik didekomposisi menghasilkan ammonia melalui proses ammonifikasi. Hal ini terlihat dari nilai BOD pada setiap penambahan kedalaman yang meningkat (Gambar 21). Amonifikasi dilakukan oleh bakteri heterotrof (Wetzel, 1983). Bakteri ini akan tumbuh dengan lebih cepat pada kandungan bahan organik yang tinggi dibandingkan bakteri nitrifikasi (Effendi, 2003). Dekomposisi bahan organik tersebut lebih banyak menghasilkan ammonia dan proses nitrifikasi yang menghasilkan nitrat akan terhambat. Ammonia total terbag menjadi dua bentuk yaitu ammonia bebas (unionised ammonia
(NH3))

dan ammonium (ionised ammonia

(~~43). Proporsi

nilai keduanya dipengaruhi oleh temperatur dan pH perairan (Wetzel, 1983). Konsentrasi N& merniliki kecenderungan mengalami p e n m a n , sedangkan

N+ memiliki kecenderungan mengalami peningkatan pada setiap penambahan &


kedalaman (Gambar 8 dan Gambar 9). Ammonia total tidak terionisasi pada pH lebih besar dari 7 (Goldman dan Home, 1983), sehingga konsentrasi dari ammonia bebas (un-ionised ammonia @GI3)) akan meningkat. Konsentrasi N H 3 yang tinggi pada permukaan waduk disebabkan oleh pH yang juga tinggi pada

permukaan waduk dan nilainya semakin menurun setiap penambahan kedalaman. Dapat dikatakan bahwa NH3 berkorelasi positif dengan kandungan pH perairan. Sedangkan ammonium

OF4 konsentrasinya semakin meningkat disebabkan \H3

oleh pH perairan yang semakin menurun. Goldman dan Home (1983), menjelaskan ammonia akan terionisasi pada pH < 7, sehingga dapat dikatakan bahwa konsentrasi ammonium berkorelasi negatif dengan pH perairan. Ammonia bebas @W3) bersifat toksik dibandingkan ammonium

(~~43.

Hal ini sangat berbahaya b a g kegiatan budidaya KJA di Waduk Cirata. Karena konsentrasi ammonia total tertinggi rata-rata terdapat pada daerah budidaya KJA (stasiun 2 dan stasiun 3). Kadar ammonia yang tinggi mengakibatkan pe~ngkatan konsumsi oksigen, mengakibatkan kerusakan pada insang, dan menurunkan kapasitas transport oksigen oleh darah (Boyd,1982). Kandungan ammonia total yang tinggi sangat berpotensi sekali menjadi bahan-bahan toksik. Kandungan pH yang relatif tinggi pada permukaan waduk dapat menyebabkan sebagian besar ammonia total tidak terionisasi sehingga inenghasilkan ammonia bebas (NH3) yang relatif bersifat toksik dari ammonium

(~~43. penelitian didapat Dari hasil

rata-rata konsentrasi NH3 pada setiap stasiun di permukaan waduk adalah sebesar 0,0474 mg/l. Konsentrasi ini lebih tinggi dari baku mutu (Peraturan Pemerintah Nomor 82, 2001) untuk kepentingan perikanan yang menganjurkan batas maksimat konsentrasi ammonia bebas sebesar 0,02 mglt. Hal ini tentunya sangat merugikan bagi kegiatan budidaya KJA yang berada di Waduk Cirata yang kegiatannya berada pada permukaan waduk. Hasil analisis data dengan rancangan Petak-Terbagi (Split-Plot) memberikan keputusan tolak H untuk faktor stasiun (lokasi pengambilan , sampel), faktor kedalarnan, dan waktu pengambilan sainpel (Lampiran 1). Hasil

, keputusan tolak H memberikan garnbaran bahwa pada setiap faktor terdapat


perbedaan dua atau lebih stasiun, kedalaman serta waktu yang memberikan konsentrasi yang berbeda. Dan untuk mengetahui stasiun, kedalaman dan waktu yang berbeda nyata dilakukan uji lanjutan BNT. Dari hasil uji lanjutan berdasarkan faktor stasiun (Tabel 7), didapatkan ada lima pasang stasiun yang berbeda nyata menurut kandungan ammonia total. Lima pasang stasiun tersebut adalah stasiun (1-3), stasiun (3-4), stasiun (2-3), stasiun (1-2), dan stasiun (1-4). Stasiun 3 mengalami perbedaan yang nyata dengan semua

stasiun, begitu pula dengan stasiun 1. Stasiun 1 memiliki perbedaan kandungan terkecil dengan stasiun yang lainnya, dan stasiun 3 memiliki perbedaan kandungan terbesar dengan stasiun yang lainnya. Namun penarikan kesimpulan seperti ini tidak bisa dilakukan karena secara statistik masih terdapat interaksi antara faktor stasiun dan kedalaman. Tabel 7. Nilai uji BNT untuk pengaruh faktor stasiun terhadap kandungan Ammonia Total perairan (a=0,1).

Nilai BNT Keterangan *

= 0,44

= berbeda nyata

Hasil uji lanjut BNT untuk faktor kedalaman menunjukkan bahwa, kedalaman interface berbeda nyata dengan kedalaman 0 meter, dan 10 meter (Tabel 10). Kedalainan interface berbeda nyata dengan semua kedalaman yang lainnya. Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan nilai kandungan yang tinggi pada kedalaman tersebut dibandingkan kedalaman yang lain. Tabel 8. Nilai uji BNT untuk pengaruh faktor kedalaman terhadap kandungan Ammonia Total perairan (a=O,l)
Kedalaman
0 meter (0,46) 10 meter (0,85)

Interface (1,85)

Rata-rata 10 meter (0,85)

0 meter (0,46)

1,38* 0,99*
= 0,42 = berbeda nyata

0,39 0

Nilai BNT Keterangan *

Hasil uji lanjut BNT untuk faktor waktu menunjukkan adanya dua pasang waktu pengambilan sampel yang menunjukkan perbedaan nyata terhadap kandungan ammonia total, yaitu antara bulan Juli dengan Agustus, dan bulan Juli dengan September (Tabel 11). Perbedaan yang terjadi inenurut waktu menggambarkan adanya perubahan karakteristik waduk seperti tinggi muka air selama waktu pengamatan. Tabel 9. Nilai uji BNT untuk pengamh faktor waktu terhadap kandungan ammonia total (a=0,1)

Nilai BNT Keterangan *

= 0,38 = berbeda nyata

Nilai interaksi faktor stasiun dan faktor kedalaman menghasilkan keputusan tolak H (Lampiran 1). Ini menunjukkan adanya interaksi antar faktor , stasiun dengan faktor kedalaman, dapat dikatakan tidak ada satu stasiun yang memiliki nilai konsentrasi ammonia total tertinggi untuk semua kedalamannya. Kandungan rata-rata ammonia total tertinggi pada permukaan waduk terjadi di stasiun 2, sedangkan rata-rata konsentrasi ammonia total tertinggi di kedalaman 10 meter terjadi pada stasiun 2, dan konsentrasi rata-rata ammonia total untuk kedalaman interface terjadi di stasiun 3.

2. Nitrit (NO23
Berdasarkan hasil yang diperoleh didapat kisaran konsentrasi nitrit pada stasiun 1 yaitu berkisar antara 0,0004-0,0940 mgll, stasiun 2 berkisar antara O0,0020 mg/l, pada stasiun 3 berkisar antara 0-0,0059 mg/l, dan pada stasiun 4 berkisar antara 0-0,0014 mg/l (Gambar 10 dan Lampiran 2). Konsentrasi nitrit memiliki pola distribusi vertikal yang berbeda pada setiap stasiun. Pada stasiun 1 konsentrasinya cenderung meningkat pada setiap penambahan kedalaman. Dengan rata-rata konsentrasi nitrit pada permukaan sebesar 0,0015 mg/1 dan meningkat pada kedalaman interface menjadi 0,0847

mgll. Stasiun 3 dan stasiun 4 konsentrasinya berfluktuasi namun cenderung menurun dengan rata-rata pa& permukaan 0,0010 mgil pada stasiun 3 dan 0,0110 mgll pada stasiun 4, menurun pada kedalaman interface menjadi 0,0007 mg/l pada stasiun 3 dan 0,0004 mg/l pada stasiun 4. Sedangkan pada stasiun 2 konsentrasinya cenderung menurun pada setiap kedalamannya, dengan rata-rata di permukaan sebesar 0,001 1 mg/l menjadi 0 mg/l pada kedalaman interface.

0.05

Nitnt (mgfl) 0.1

Nitrit (mgll)

0.002

0.004

0.00;j

kodalamsn meksimum = 13 meter

0 0 10

0.002

0.004

Nitrit (mg/l) 0.I106 0.008

0.002

0.004

Nitril (mg/l) 0.OE

z 20 a

?%30

E30
C

- 50 S

40

stasiun 4
laman maksimum = 62 meter ke&laman maksimum = 25 meter

g 60
70 70

--c Juli ~ A g u s t u s --September 4

Gambar 10. Kandungan nitrit (NO;) perairan berdasarkan kedalaman pada setiap stasiun dan waktu pengamatan. Nitrit merupakan bentuk peralihan antara ammonia dan nitrat dalam proses nitrifikasi. Diteinukan dalam jumlah yang sedikit di perairan, karena bersifat kurang stabil dan sangat bergantung pada keberadaan oksigen di perairan (Effendi, 2003). Proses nitrifikasi menggunakan oksigen dalam perombakan ammonia menjadi nitrat, dimana nitrit merupakan produk antaranya. Konsentrasinya sangat bergantung pada keberadaan oksigen di perairan.

Pada stasiun 1 terjadi peningkatan konsentrasi nitrit pada setiap kedalaman. Hal ini diperkirakan proses nitrifikasi masih berlangsung pada stasiun 1, sehingga nitrit yang merupakan produk antara proses tersebut masih ditemukan. Walaupun konsentrasi oksigen pada stasiun 1 mengalami penurunan setiap kedalainannya (Gambar lo), dengan kisaran konsentrasi antara 0,61-10,75 mg/l, namun menurut Wetzel (1983), nitrifikasi berjalan pada keadaan aerobik, proses ini akan terns berlangsung sainpai kandungan oksigen terlarut (DO) sekitar 0,3 mgll. Konsentrasi oksigen pada stasiun 1 masih memungkinkan terjadinya proses nitrifikasi walaupun akan bejalan secara lambat. Hal inilah yang menyebabkan meningkatnya kandungan nitrit pada stasiun 1 pada setiap kedalamannya. Penurunan konsentrasi yang terjadi pada stasiun 3, stasiun 4, dan stasiun 2 diperkirakan karena meningkatnya kandungan bahan organik pada stasiun tersebut akibat aktivitas budidaya KJA, ini juga terlihat dari nilai BOD dan COD yang cenderung tinggi di ketiga stasiun tersebut. Kandungan bahan organik dapat menghambat proses nitrifikasi (Wetzel, 1983), sehingga konsentrasi nitrit yang merupakan produk antara proses ini juga inenurun. Selain itu penurunan diakibatkan juga kurang tersedianya oksigen terlarut pada setiap stasiun tersebut. Rata-rata konsentrasi oksigen terlarut mendan pada kedalaman 10 meter konsentrasi rata-rata dari ketiga stasiun tersebut sebesar 0,027 mgll. Menurut Wetzel (1983), nitrifikasi masih dapat berlangsung sampai konsentrasi oksigen terlarut sebesar 0,03 mdl. Inilah yang menyebabkan konsentrasi nitrit memilila kecenderungan m e n m sampai kedalainan interface. Fluktuasi konsentrasi yang terjadi pada stasiun 3 dan stasiun 4 dikarenakan sifat nitrit yang tidak stabil. Boyd (1982), menyatakan ketika nitrit terabsobsi oleh ikan, akan diikat oleh hemoglobin darah sehingga menggangu penyerapan oksigen oleh hemoglobin. Konsentrasi nitrit yang tinggi tentunya sangat membahayakan kegiatan budidaya KJA di Waduk Cirata. Pada daerah permukaan waduk yang merupakan daerah aktivitas budidaya KJA, memiliki konsentrasi nitrit rata-rata sebesar 0,00112 mg/l. Berdasarkan baku mutu (Peraturan Pemerintah Nomor 82, 2001) untuk kepentingan perikanan konsentrasi tersebut masih pada kisaran baku mutu yang menetapkan batas maksimal sebesar 0,06 mgil.

Hasil analisis data memberikan keputusan tolak H untuk faktor stasiun , dan faktor kedalaman (Lampiran 2). Keputusan ini menggambarkan bahwa pada setiap faktor terdapat perbedaan dua atau lebih stasiun dan kedalaman yang memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kandungan nitrit di perairan. Hasil uji lanjut BNT berdasarkan faktor stasiun menunjukkan tiga pasang stasiun yang berbeda nyata, antara lain; stasiun (1-2), stasiun (1-4), dan stasiun (1-3) (Tabel 12). Terlihat stasiun 1 berbeda nyata dengan semua stasiun pengamatan. Interaksi antara faktor stasiun dan faktor kedalaman juga tidak ditemukan (gaga1 tolak (Lampiran 9). Tabel 10. Nilai uji BNT untuk pengaruh faktor stasiun terhadap kandungan Nitrit perairan @JOY) (a=0,1)
Stnsiun Stasiun 2
(0,0004)

a , ini membuktikan bahwa stasiun 1 memiliki nilai )ha1

yang lebih besar dibandngkan dengan stasiun-stasiun pengamatan yang lainnya.

Stasiun 1
(0,0520)

Rata-rata Stasiun 4 Stasiun 3


(0,0015) (0,0007)

Stasiuu 2
(0,0004)

0,05 16*

0,0010 0,0007 0

0,0003 0

Stnsiun 4
(0,0007)

0,0513*
0,05 17+

Stasiun 3
(0,0015)

Stasiun 1
(0,0520)

0
= 0,0035 = berbeda

I
nyata

Nilai BNT Keterangan *

Hasil uji lanjut BNT berdasarkan faktor kedalaman memperlihatkan perbedaan nyata antara kedalaman 0 meter (permukaan) dengan kedalaman 10 meter dan kedalaman interface (dekat dasar). Hal ini menggambarkan kandungan nitrit di permukaan nilainya cenderung berbeda dengan kedalaman lainnya. Pada stasiun 1 nilai kandungannya cenderung lebih kecil, sedangkan pada stasiun 2, stasiun 3, dan stasiun 4 nilainya cenderung lebih tinggi dibandingkan kedalaman yang lainnya. Sedangkan kedalaman 10 meter dengan interface menurut hasil uji lanjutan tidak memberikan perbedaan yang nyata. (Tabel 13).

Tabel 11. Nilai uji BNT untuk pengaruh faktor kedalaman terhadap kandungan Nitrit perairan (Nod (a=0,1)
Kedalaman 0 meter Interface Rata-rata 10 meter
0 meter

(0,0217) (0,0012)
Interface

(0,0181) 0,0169*

(0,0012) 0

0,0206*

f(lme; 0,0181

(0,0217) Nilai BNT Keterangan *

0 0,0036 0
,

= 0,0038
= berbeda

nyata

Interaksi faktor stasiun dan kedalaman memberikan keputusan gaga1 tolak

I-I, (Lampiran 2). Keputusan ini menggambarkan tidak adanya interaksi antar
faktor stasiun dengan faktor kedalanan, sehingga dapat dikatakan stasiun 1 memiliki kandungan nitrit yang tinggi dibandingkan stasiun lain serta pada setiap kedaiamannya. Pengaruh faktor waktu pengambilan sampel tidak berpengaruh terhadap kandungan nitrit perairan, karena keputusan yang diperoleh memberikan keputusan tolak H,.
3. Nitrat (NO,?

Berdasarkan hasil yang diperoleh didapatkan lusaran konsentrasi nitrat pada stasiun 1 sebesar 0-0,3735 mg/l, stasiun 2 berkisar antara 0,0001-0,00356 mg/l, stasiun 3 berkisar antara 0-0,0214 mg/l, dan stasiun 4 berkisar antara O0,0097 mgA. Pada stasiun 1 terlihat konsentrasi meningkat setiap kedalaman, sedangkan pada stasiun 2, stasiun 3, dan stasiun 4 konsentrasinya cenderung menurun (Gambar 11 dan Lampiran 3). Terlihat bahwa pada stasiun 1 konsentrasi nitrat cenderung mengalami peningkatan, dengan konsentrasi rata-rata pada permukaan sebesar 0,0220 mg/l dan meningkat pada kedalaman interface menjadi 0,2735 mg/l. Pada stasiun 2, stasiun 3, dan stasiun 4 konsentrasinya cenderung inengalami penurunan pada setiap kedalaman, dengan konsentrasi rata-rata di permukaan sebesar 0,0024 mg/l pada staisun 2, 0,0033 mgll pada stasiun 3, 0,0093 mg/l pada stasiun 4, dan menurun pada kedalaman interface menjadi 0,00101 mg/l pada stasiun 2, 0,0001 mgfl pada stasiun 3, 0,0034 mg/l pada stasiun 4.

Peningkatan nitrat yang terjadi pada stasiun 1 diduga masih berlangsungnya proses nitrifikasi pada stasiun tersebut. Hal ini terlihat dari kandungan nitrit yang juga mengalami peningkatan setiap kedalamannya di stasiun 1. Proses nitrifikasi mengubah ammonia menjadi nitrit dan selanjutnya menghasilkan produk akhir berupa nitrat, dengan menggunakan oksigen terlarut yang terkandung dalam perairan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada pembahasan tentang nihit bahwa, proses nitrifikasi masih dapat berlangsung sampai konsentrasi oksigen terlarut sebesar 0,3 mgll (Wetzel, 1983). Dan pada stasiun 1, konsentrasi oksigen terlarut memiliki kisaran antara 0,61-10,75 mgll. Diduga proses nitrifikasi inasih berlangsung bahkan sampai kedalaman inteface, dan inilah yang menyebabkan konsentrasinya meningkat pada setiap kedalaman di stasiun 1.
Nitrat (mg/O

0 0 10
e

0.1

0.2

0.3

0.4 0
'z?

0 10

0 01

Nitrat (mgm 0.02

2 23 a?
C

g30

E ..-

223
g30 40

<a
EO 70 0
0 01
kedalaman maksimum = 19 meter

n
-D

Y"M
@ kedalamnn maksimum = 13 meter I
70 0.02
Nitrat (mg/i) 0.03 Nitrat (mgfl) 0.02

0 01

m
a

stasiun 4
kcdalema malisimum = 25 meter

m
+JUII -5-Agustus

-a-- September

Gambar 11. Kandungan nitrat (NO<)perairan berdasarkan kedalaman pada setiap stasiun dm waktu pengamatan.

P e n m a n yang terjadi pada stasiun 2, stasiun 3, dan stasiun 4, diperkirakan proses nitrifikasi terhambat pada stasiun tersebut. Proses ini dapat terhambat karena kandungan oksigen terlarut di bawah 2 mg/l nagnun proses ini masih berlangsung sampai konsentrasi oksigen terlamt 0,3 mg/l, kandungan bahan organik yang tinggi sehingga pertumbuhan bakteri nitrifikasi lebih lambat dibandingkan bakteri heterotrof, pH perairan yang asam dengan pH di bawah 6 (Effendi, 2003). Berdasarkan kandungan oksigen terlarut stasiun 2, stasiun 3, dan stasiun 4 terlihat semakin menurun pada setiap kedalaman. Dengan konsentrasi rata-rata pada permukaan sebesar 8,13 mg/l dan menurun sampai pada kedalaman 10 meter rata-ratanya sudah sebesar 0,27 mgll kemudian menurun sampai kedalaman interface dengan rata-rata oksigen terlarut di bawah 0,3 mg/l. Proses nihifikasi pada kedalaman dibawah 10 meter tentunya akan terhambat, ha1 inilah yang menyebabkan konsentrasi nitrat cenderung menurun. Namun untuk kedalaman antara permukaan sampai kedalaman 10 meter nilainya juga cenderung menurun. Hal ini diduga sebagian besar bahan organik belum terdekomposisi sempurna sehingga proses nitrifikasi belum berjalan dengan baik pada kedalainan tersebut. Banyaknya bahan organik pada stasiun-stasiun ini yang terlihat dari nilai BOD dan COD yang cenderung tinggi, mernbuat pertumbuhan bakteri-bakteri nitrifikasi menjadi lebih lambat dari bakteri heterotrof. Hal ini menyebabkan bahan-bahan organik yang terdekomposisi menghasilkan ammonia melalui proses ammonifikasi tidak langsung &dekomposisi lagi oleh bakteri nitrifikasi menghasilkan nitrat, akan tetapi terjadi akumulasi kandungan ammonia pada perairan. Ini juga terlihat dari meningkatnya ammonia total pada perairan (Gambar 7). Hasil analisis data memberikan keputusan tolak

I untuk faktor stasiun, &

dan faktor kedalaman (Lampiran 3). Berdasarkan keputusan tersebut didapatkan bahwa pada setiap faktor terdapat perbedaan dua atau lebih stasiun dan kedalaman yang memberikan konsentrasi yang berbeda terhadap nitrat & periran. Nasil uji lanjutan berdasarkan faktor stasiun diperoleh bahwa, stasiunstasiun yang berbeda nyata antara lain stasiun (1-3), stasiun (1-2), stasiun (1-4), stasiun (4-3), dan stasiun (2-3) (Tabel 14). Stasiun 1 memiliki perbedaan yang nyata dengan stasiun yang lain begitu juga dengan stasiun 3. Pada stasiun 1 diperlarakan karena stasiun ini memiliki nilai yang cenderung lebih tinggi

dibandingkan stasiun yang lain, sedangkan stasiun 3 lebih disebabkan berfluktusinya kandungan nitrat pada stasiun ini (Gambar 11). Tabel 12. Nilai uji BNT untuk pengaruh faktor stasiun terhadap kandungan Nitrat perairan (NO<) (a=O,l)
Stasiun 1 Rata-rata Stasiun 2 Stasiun 4 Stasiun 3

Stasiun
I

(0,142)
(U,UU4)

(0,023)
I
I

(0,020)

(0,004)

Stasiun 2

(0,020)
Stasiun 4

1,100* 1,065*
n

0,034 0

(0,023)
Stasiun 1

Nilai BNT Keterangan *

= 0,058

= berbeda nyata

Hasil uji lanjutan berdasarkan faktor kedalaman menunjukkan kedalaman 0 ineter (permukaan) berbeda nyata dengan kedalaman 10 meter dan kedalaman interface (Tabel 15). Hal ini menunjukkan kedalaman 0 meter (permukaan) memiliki kandungan nitrat yang berbeda dengan kedalaman lainnya. Pada stasiun 1 nilainya lebih kecil, sedangkan pada stasiun 2, stasiun 3, dan stasiun 4 nilainya lebih besar daripada kedalaman dibawahnya. Kedalaman 10 meter dan interface tidak beam berbeda kandnungan nitratnya. Tabel 13. Nilai uji BNT untuk pengaruh faktor kedalaman terhadap kandungan Nitrat perairan (NO<) (c~=O,l)

Kedalaman 0 meter

Rata-rata
Interface 10 meter
0 meter

(0.009)
10 meter

0.060* 0,012
n

0,048* 0

(0,058)
Interface

Nilai BNT Keterangan *

= 0,029

= berbeda nyata

Interaksi faktor stasiun dan kedalaman memberjkan keputusan gaga1 tolak

H,. Ini menggambarkan interaksi antar faktor stasiun dengan kedalaman tidak
ditemukan, sehingga dapat dikatakan terdapat stasiun yang memiliki kandungan nitrat tertinggi dibandingkan stasiun dan kedalaman yang lain yaitu pada stasiun 1 (Lampiran 3).

4. Nitrogen Total
Kisaran konsentrasi nitrogen total pada stasiun 1 yaitu antara 0,25641,5749 mgll, stasiun 2 berkisar antara 0,1356-2,9846 mg/l, stasiun 3 berkisar antara 0,5582-5,0016 mgtl, dan stasiun 4 berkisar antara 0,4598-3,2564 mgll (Gambar 12 dan Lampiran 4). Dapat dilihat pada setiap stasiun pengamatan konsentrasi nitrogen total semakin meningkat setiap kedalaman. Nitrogen total penjumlahan kandungan nitrogen anorganik berupa

NO2-N, NH3-Nyang bersifat terlarut dan nitrogen organik yang berupa partikulat
dan tidak lamt dalam air (Mackereth et al, 1989 dalam Effendi, 2003). Stasiun 3 inemiliki kisaran kandungan nitrogen total tertinggi dibandingkan stasiun yang lain. Hal ini diperkirakan, kandungan bahan-bahan organik (sisa pakan dan hasil metabolisme ikan (feses)) yang tinggi pada stasiun 3 dari kegiatan budidaya KJA meningkatkan konsentrasi nitrogen total. Pakan ikan yang digunakan adalah pakan buatan yang memiliki kandungan protein yang tinggi. Protein yang terdekomposisi mengandung 16 % nitrogen (Depdikbud, 1991). Hal inilah yang menyebabkan tingginya konsentrasi nitrogen total pada stasim 3. Sedangkan stasiun 2 dengan jumlah kerapatan KJA sedang, kisaran nilainya lebih kecil dibandingkan stasiun 4. Hal ini dikarenakan, stasiun 4 merupakan outlet waduk tempat keluarnya air waduk, dan stasiun ini lebih dekat dengan stasiun 3. kisaran konsentrasi yang tinggi pada stasiun 4 dipengaruhi kegiatan KJA di stasiun 3. Adanya arus yang mengalir menuju stasiun 4 yang membawa sebagian bebanbeban sisa pakan dan buangan ikan meningkatkan konsentrasi nitrogen total pada stasiun ini, sehingga didapat kisaran nilai yang lebih tinggi dari stasiun 2. Sedangkan stasiun 1 konsentrasinya hanya d~pengaruhioleh air masukan yang berasal dari sungai Citarum, sehingga memiliki konsentrasi nitrogen total yang lebih kecil dibandingkan stasiun lainnya.

0 0 10
0

N.Total (rngil) 4 6
0

0
10

N-Total (mgll) 4 6

; 20
E
rn

20

30

5 - 40
Y

stasiun 1
kedalaman maksimum = 19 meter

%O

m =cU 30

5 - 40

,c

2 so g
60
70 N-Total (mgn) N.Total (rngll)
kedalaman maksimum = 13 meter

50 70

E
a
m =

'=m

10

z2a
c

30

& - 40
60
70
-+-Juli
-z+Agustus
---A---

9%

September

Gambar 12. Kandungan nitrogen total perairan berdasarkan kedalaman pada setiap stasiun dan waktu pengamatan

, Hasil analisis data memberikan keputusan tolak H untuk faktor lokasi


pengambilan sampel (stasiun), dan faktor kedalaman (Lainpiran 1 I). Keputusan ini memberikan gambaran bahwa pada setiap faktor terdapat perbedaan dua atau lebih stasiun dan kedalaman yang memberikan konsentrasi yang berbeda. Hasil uji lanjutan berdasarkan faktor stasiun diperoleh bahwa, stasiun 1 yang menunjukkan perbedaan nyata dengan semua stasiun (Tabel 16). Perbedaan tersebut menggambarkan stasiun 1 memiliki rata-rata kandungan nitrogen total yang kecil dari stasiun yang lain. Sedangkan kandungan nitrogen total pada stasiun 2, stasiun 3, dan stasiun 4 tidak begrtu berbeda nyata, namun pada stasiun

2, dan stasiun 3 memiliki kecenderungan nilainya lebih tinggi dibandingkan


stasiun yang lain (Lampiran 11).

Tabel 14. Nilai uji BNT untuk pengaruh faktor stasiun terhadap kandungan Nitrogen Total perairan (a=0,1)

Stasiun Stasiun 1

Stasiun 3

Rata-rata Stasiun 2 I Stasiun 4

Stasiun 1

(0,73)
Stasiun 4

(2,24) 1,51* 0,74 0,66 0


= 0,77 = berbeda nyata

(1,57) 0,85* 0,07 0

(1,SO) 0,77* 0

(0,73) 0

(1,SO)
Stasiun 2

(1,57)
Stasiun 3

(2,24) Nilai BNT Keterangan *

Hasil uji lanjut BNT berdasarkan faktor kedalaman menunjukkan pada setiap kedalaman berbeda nyata (Tabel 17). Ini menunjukkan bahwa pada setiap kedalaman terdapat perbedaan konsentrasi. Konsentrasi yang terjadi di masingmasing kedalaman mengalami peningkatan di setiap penambahan kedalaman. Oleh karena itu perbedaan yang nyata terjadi di masing-masing kedalaman yang diamati. Tabel 15. Nilai uji BNT untuk pengaruh faktor kedalaman terhadap kandungan Nitrogen Total perairan (a=0,1)
Kedalaman
0 meter

Interface

Rata-rata 10 meter

0 meter

(0,67)
10 meter

(2,41) 1,74* 0,98*


A

(1,44) 0,77* 0

(0,67) 0

(1,44)
Interface

Nilai BNT Keterangan *

= 0,35
= berbeda nyata

Interaksi faktor stasiun dan kedalaman memberikan keputusan tolak H, (Lampiran 4). Interaksi yang terjadi menunjukkan terdapat hubungan antar faktor stasiun dengan kedalaman sehingga tidak ada satu stasiun saja yang memiliki nilai

konsentrasi nitrogen total tertinggi pada setiap kedalamannya. Nilai konsentrasi nitrogen total tertinggi pada kedalaman 0 meter terjadi pada stasiun 2, pada kedalaman 10 meter konsentrasi tertinggi terjadi pada stasiun 2, dm pada kedalaman interface konsentrasi tertinggi terjadi pada stasiun 3.
B. Kandungan Nitrogen di Sedimen
1. Ammonium (mi)

Hasil pengukuran ammonium didapat kisaran konsentrasi untuk stasiun 1 sebesar 196,31-223,l mg/l, untuk stasiun 2 konsentrasinya berkisar antara 261,9280,7 mg/l, unt& stasiun 3 berkisar antara 392,85-410,15 mg/l, dan untuk stasiun 4 berkisar antara 442,62-490,35 mg/l. Konsentrasi ammonium tertinggi terjadi pada stasiun 4 (Gambar 13 dan Lampiran 5). Konsentrasi mnonium tertinggi terjadi pada stasiun 4, dengan rata-rata konsentrasi sebesar 471,04 mg/l. Dan konsentrasi ammonium terendah terjadi pada stasiun 1, dengan rata-rata konsentrasi sebesar 211,87 mg/l. Ammonium yang terdapat di sedimen dapat berasal dari dekomposisi nitrogen organik yang terakumulasi di dasar, selain itu juga dapat berasal dari penjerapan oleh sedimen. Nitrogen organik banyak berasal dari sisa pakan yang tidak termakan dari kegiatan budidaya KJA yang biasanya mengandung protein yang tinggi. Kebanyakan nitrogen organik bersifat partikulat yang tidak larut dalam air (Effendi, 2003). Nitrogen organik ini akan mengendap didasar dan terakumulasi pada sedimen. Konsentrasi ammonium pada stasiun 4 lebih tinggi daripada stasiun 3 diduga karena adanya arus pada waduk menyebabkan nitrogen organik yang banyak terdapat di stasiun 3 terbawa arus menuju stasiun 4. Selanjutnya nitrogen organik akan banyak mengendap pada stasiun 4 dan terdekomposisi menghasilkan ammonium. Selain dari dekomposisi, ammonium juga dihasilkan dari penjerapan alnmonium yang terlarut pada air oleh sedimen. Aktivitas ini banyak dilakukan oleh permukaan liat karena memiliki bantuk moleM yang halus. Ammonium akan bereaksi secara cepat dengan muatan negatif dari liat dan membentuk ikatan yang komplek dengan logam dan senyawa organik (Tan, 2000). Rata-rata persentase kandungan liat tertinggi terjadi pada stasiun 2 yaitu sebesar 91,69 %, nsunun penjerapan yang terjadi pada stasiun 2 lebih sedikit terjadi. Hal ini dikarenakan kandungan dari ammonium yang terdapat pada perairan relatif sedikit

dari stasiun 3 dan stasiun 4. Sedangkan stasiun 3 dan stasiun 4 memiliki persentase rata-rata liat adalah sebesar 83,98 % (stasiun 3), dan 84,95 % (stasiun 4). Terlihat bahwa stasiun 4 memiliki persentase liat lebih besar dari stasiun 3. Hal ini memungkinkan terjadinya penjerapan ammonium lebih banyak dari stasiun 3, sehingga konsentrasi ammonium yang terkandung pada stasiun 4 lebih banyak dibandingkan stasiun 3.

Lokasi

Juli

Agustus

September

Gambar 13. Konsentrasi Ammonium waktu pengamatan.

mi.) sedimen berdasarkan stasiun dan

Hasil analisis data menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) menjelaskan sedikitnya ada dua atau lebih stasiun yang memiliki perbedaan yag nyata, karena faktor stasiun memberikan keputusan tolak %. Sedangkan faktor

waktu pengambilan sampel tidak meinberikan perbedaan yang nyata (gaga1 tolak

H,) (Lampiran 5).


Hasil uji lanjut BNT yang diperoleh berdasarkan fdctor stasiun menyatakan bahwa, semua stasiun memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap kandungan ammonium pada sedimen (Tabel 18). Perbedaan pada setiap stasiun menggambarkan pada masing-masing stasiun kandungan ammonium-nya berbeda satu sama lain.

Tabel 16. Nilai uji BNT untuk pengaruh faktor stasiun terhadap kandungan Ammonium sedimen (a=0,1)

Nilai BNT Keterangan *

19,89 = berbeda nyata

2. Nitrat ( N o d
Berdasarkan data yang didapat kisaran konsentrasi nitrat yang terdapat pada masing-masing sedimen antara lain 75,35-95,05 mgh (stasiun I), 112,34123,36 mg/l (stasiun 2), 75,18-110,64 mg/l (stasiun 3), 126,39-160,53 mgh (stasiun 4) (Gambar 14 dan Lampiran 5). Terlihat pada Gambar 23, bahwa konsentrasi nitrat rata-rata tertinggi terjadi pada stasiun 4 yaitu sebesar 145,85 mgll, sedangkan konsentrasi rata-rata terendah terjadi pada stasiun 1 yaitu sebesar 86,87 mgll. Nitrat yang terdapat pada sedimen dapat berasal dari oksidasi ammonium (&) selain itu dapat juga berasal dari penjerapan anion oleh N+, koloid-koloid tanah. Stasiun 4 cenderung memiliki kandungan nitrat yang tinggi dari stasiun yang lain. Hal ini diduga merupakan hasil dari dekomposisi ammonium oleh baMeri nitrifikasi pada stasiun tersebut. Effendi (2003), menjelaskan bakteri nitrifikasi cenderung menempel pada sedimen dan padatan lain. Ketersediaan ammonium yang tinggi pada stasiun 4 memberikan peluang lebih besar untuk diubah menjadi nitrat dibandingkan pada stasiun lain. Stasiun 2 memiliki kandungan nitrat lebih tinggi daripada stasiun 3. Hal ini diduga karena proses penjerapan anion-anion nitrat oleh koloid-koloid tanah yang lebih banyak terdapat di stasiun 2, karena pada stasiun 3 kandungan nitrat yang terukur pada kedalaman interface nilainya mendekati no1 sehingga penjerapan nitrat pada stasiun ini lebih sedikit dijumpai. Penjerapan juga akan semakin ~neningkat jika

kelnasaman tanah meningkat (Depdikbud, 1991). Kemasaman sedimen pada stasiun 2 sangat tinggi, dibandingkan stasiun yang lain dengan pH rata-rata 5,6. Hal ini meningkatkan proses penjerapan anion-anion nitrat pada stasiun 2, sehingga kandungannya relatif lebih tinggi dari stasiun 3.

Lokasi

a Juli

Agustus B September !

Gambar 14. Konsentrasi Nitrat ( N O 9 sedimen berdasarkan stasiun dan waktu pengamatan. Hasil analisis data memberikan keputusan tolak H, pada faktor stasiun (Lampiran 5). Sedangkan faktor waktu pengambilan sampel memberikan keputusan gaga1 tolak &. Hasil uji lanjutan berdasarkan faktor stasiun diperoleh bahwa, terdapat lima pasang stasiun yang berbeda nyata terhadap kandungan nitrat, antara lain; stasiun (1-4), stasiun (3-4), stasiun (2-4), stasiun (1-2), dan stasiun (3-2). Sedangkan antara stasiun (1-3) tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap kandungan nitrat pada sedimen waduk (Tabel 19).

Tabel 17. Nilai uji BNT untuk pengaruh faktor stasiun terhadap kandungan Nitrat sedimen (a=0,1)
Stasiun Stasiun 1 Stasiun 4 Rata-rata Stasiun 3 Stasiun 2 Stasiun 1

(145,87) (86,87)
Stasiun 3

(116,32) 29,44* 26,70* 0

58,99* 56,25* 29,55* 0


= 25,24 = berbeda nyata

(89,62) 2,74 0

(86,87) 0
-

(89,62)
Stasiun 2

(1 16,32)
Stasinn 4

(145,87) Nilai BNT Keterangan *

Terlihat babwa kandungan pada setiap stasiun berbeda, namun untuk stasiun 1 dan stasiun 3 tidak begitu berbeda nyata. Kandungan nitrat stasiun 3 relatif lebih kecil dari stasiun 2 karena diduga proses nitrifikasi dan penjerapan nitrat terhambat sehingga kandungannya lebih kecil dibandingkan stasiun 2 dan relatif lebih sama dengan stasiun 1.

3. Nitrogen Total

Kandungan nitrogen total pada setiap stasiun pengamatan didapatkan kisaran antara lain 240,16

- 262,02 mg/l (stasiun I), 351,51-398,45 (stasiun 2),

542,34-643,82 mg/l (stasiun 3), dan 598,51-785,15 mgll (stasiun 4) (Gambar 15 dan Lampiran 5). Terlihat pada Gambar 24, stasiun 4 lnemiliki kandungan nitrogen total tertinggi dibandingkan stasiun yang laimya, diikuti oleh stasiun 3, stasiun 2, dan stasiun 1. Kandungan nitogen total adalah jumlah dari nitrogen organik dan anorganik. Secara umun kandungan nitrogen total tertinggi terjadi pada stasiun 4 dengan rata-rata kandungan nitrogen total sebesar 679,34 mgd. Ha1 ini juga terlibat dari junlah ammonium dan nitrat yang relatif lebih tinggi pada stasiun ini. Pengarub arus menyebabkan sebagian besar sisa pakan yang sebagian besar berasal dari stasiun 3 terbawa hngga stasiun 4. Hal ini menyebabkan sisasisa pakan yang banyak inengandung nitrogen banyak terendapkan pada stasiun 4, sehmgga kandungan nitrogen total pada stasiun tersebut relatif lebih tinggi dibandingkan stasiun yang lain.

Juli mi Agustus

September

Lokasi

Gambar 15. Konsentrasi Nitrogen Total sedimen berdasarkan stasiun dan waktu pengamatan. Hasil analisis data memberikan keputusan tolak H untuk pengaruh faktor , stasiun (Lampiran 5). Keputusan ini mengainbarkan bahwa kandungan nitrogen total pada setiap stasiun berbeda nyata. Hasil uji lanjut BNT dapat dilihat pada Tabel 20 dibawah ini. Tabel 18. Nilai uji BNT untuk pengaruh faktor stasiun terhadap kandungan Nitrogen Total sedimen (a=0,1)
Stasiun Stasiun 1 (251,ll) Stasiun 2 (369,14) Stasiun 3 Stasiun 4 (679,34) Stasiun 4 (679,34) Rata-rata Stasiun 2 Stasiun 3 (369,14) (583,14) Stasiun 1 (251,ll)

428,23* 310,20* 96,20* 0


= 94,45
= berbeda nyata

332,03* 214,00* 0

118,03* 0

Nilai BNT Keterangan *

Dari hasil uji lanjut BNT berdasarkan faktor stasiun diperoleh bahwa, terdapat perbedaan yang nyata pada semua stasiun terhadap kandungan nitrogen total sedimen. Perbedaan pada masing-masing stasiun menggambarkan kandungan di setiap stasiun berbeda satu sama lainnya, dan tidak ditemukan dua stasiun yang memiliki kandungan nitrogen total yang sama. Untuk pengaruh waktu pengambilan sampel berdasarkan hasil analisis data tidak memberikan pengaruh berbeda nyata (gaga1 tolak &), artinya bahwa pengaruh waktu kurang mempengaruhi kandungan nitrogen total pada sedimen waduk. C. Kondisi Perairan dan Sedimen Waduk Cirata

1. Parameter Fisika dan Kimia Perairan


a. Kekeruhan Kekeruhan yang diperoleh berkisar antara 3-56 NTU (Gambar 17 dan Lampiran 6). Nilai kekeruhan tertinggi terdapat pada bulan September di stasiun 2 pada kedalaman interface (dekat dasar) yaitu sebesar 56 NTU, sedangkan kekeruhan terendah terdapat pada bulan Agustus di stasiun 3 pada permukaan waduk yaitu sebesar 3 NTU. Kisaran nilai yang diperoleh untuk setiap stasiun adalah 3,6 - 13,O NTU (stasiun I), 4,2 - 56,O NTU (stasiun 2), 3,O - 52,O NTU (stasiun 3), dan 2,7- 40,O NTU (stasiun 4). Dapat dilihat pada Gambar 17 bahwa terjadi peningkatan kekeruhan setiap pertambahan kedalaman, khususnya pada stasiun 2 dan stasiun 3 terjadi peningkatan yang sangat besar. Hal ini diduga berasal dari sisa-sisa pakan dan feses ikan dari kegiatan budidaya KJA pada kedua stasiun tersebut. Sedangkan pada stasiun 1 lebih disebabkan oleh masukkan air dari sungai Citannn. Dan pada stasiun 4 disebabkan adanya arus air keluar waduk, karena diketahui bahwa stasiun 4 merupakan daerah aliran keluamya air waduk.

Kekeruhan (NN)

Kekeruhan (NTU)

0 0 10

23

40

60

20
\_

40

al

A-,-

.-. 20 2 E 2 " e

3s

- 40 m m
60
70
Kekeruhan (NTU)

m n

stasiun 2
GO
ke&lam~ mnksimum = 13 meter

g so
ke&lman maksimum = 19 meter

70
Kekewhan (NTU)

0
0
10
t

40

EO

0 0 10

40

EO

53
$40 m
n

g 20
rn

stasiun 3

a 0 2
~ 3 3 m

E '

9%
BJ
70
-Juli

$40 m

3s
EO
kedalaman mksimum = 25 meter

70
-m-Agustus -+-September
I

Gambar 16. Kekeruhan perairan pada setiap stasiun, kedalaman, dan waktu pengamatan.

Pada ketiga waktu pengamatan, kekeruhan tertinggi terja& pada bulan September dengan kisaran antara 4,6
-

56,O NTU. Nilai ini diduga karena pada

bulan September tinggi muka air waduk Inengalami penyusutan dibandingkan bulan-bulan sebelumnya (Mardiana, 2007). Penyusutan tinggi muka air inenyebabkan partikel-partikel halus dan tersuspensi menjadi lebih pekat sehingga meningkatkan kekeruhan air waduk.

b. Suhu

Suhu perairan pada setiap stasiun dan kedalaman berkisar antara 26,16 30,68 OC. Dengan suhu tertinggi di daerah permukaan berkisar antara 29,17 30,68 O C dan pada dasar waduk berkisar antara 26,16 - 27,58 O (Gambar 16 dan C Lampiran 7).
-

Suhu (Celcius)

Suhu (Celcius)

26
0
10
'2

28

30

32
0
10
'2

26

28

30

32

g 20
E
m

-C 0 3

g - 40
m

rn

5 - 40
$50
Y
kedalarnan mahimum = 19 meter

z0 3 a

$50
Y

60
70

60 70

kedalamn mahimum = 13 meter

26

28

Suhu (Celcius) 30 32

26

28

Suhu (Celcius) 3l 32

stasiun 4
60
70
kedalanwn maksimum = 25 meter

--cJuli

-+-Agustus

---September

Gambar 17.

Suhu perairan pada setiap stasiun, kedalaman, dan waktu pengamatan.

Penurunan suhu terjadi setiap stasiun pada permukaan sampai kedalaman dasar waduk. Penurunan suhu yang terjadi belun dapat mengambarkan adanya lapisan thermoklin, karena perubahan suhu antar lapisan tidak menyebabkan perbedaan suhu yang drastis antara lapisan. Berdasarkan baku mutu untuk kepentingan perilcanan (Peraturan Pemerintah Nomor 82, 2001) suhu pada perairan ini masih dalam kisaran baku mutu. Deviasi suhu berdasarkan waktu maupun kedalaman masih berada di bawah 3 "C (Lampiran 7).

c. Total Suspended Solid (TSS)


TSS yang diperoleh berkisar antara 3-241 mgA (Gambar 18 dan Lampiran 8). Kisaran kandungan TSS pada stasiun 1 adalah sebesar 5 -19 mg/l, stasiun 2 berkisar antara 6-241 mgll, stasiun 3 berkisar antara 3 -180 mg/l, dan stasiun 4 berkisar antara 4- 29 r n g .
TSS (mgll)
0
TSS (mgfl)
0 0

200

300

1133

rn

a 0

g
E
03

10

20

stasiun 1

- Jo ;

E - do
n a

2 50
60
70

kedalamon maksiium = 13 meter

TSS (mgA)
0
1Gu
0

T s s (m@) 300

E
n m

10

k 2 0

Z" a 5 - 40
2 50
60

kedaloman maksimum = 62 meter

70

kednlaman maksimum = 25 meter

-+-Jul~ --r-hustus -*Sep~ember

Gambar 18. Kandungan Total Suspended Solid (TSS) perairan pada setiap stasiun, kedalaman, dan waktu pengamatan. Terlihat pada Gambar 18 terjadi peningkatan nilai TSS pada setiap penainbahan kedalaman. Hal ini diduga karena adanya partikel-partikel suspensi yang berasal akibat limpasan dari daratan (run o m dan sisa-sisa pakan yang terbuang dari aktivitas KJA ke dalam perairan sehingga meningkatkan partikelpartikel tersuspensi pada perairan tersebut. Ini juga terlihat dari nilai kekeruhan yang semalan meningkat pada setiap kedalamannya. Kandungan TSS yang tinggi bisa mengakibatkan pengendapan bahan-bahan suspensi dan terakurnulasi pada sedimen sehingga meningkatkan kandungan sedimen perairan waduk. Dari

keempat stasiun yang teramati, nilai TSS tertinggi terjadi pada stasiun 2. Sedangkan nilai TSS terkecil tejadi pada stasiun 1. Hal ini diduga karena pada stasiun 2 terdapat aktivitas budidaya KJA, walaupun jumlah unit KJA yang terdapat pada stasiun 2 tidak terlalu padat dibandingkan stasiun 3, tetapi dangkalnya kedalaman stasiun 2 ini membuat volume air pada stasiun ini lebih kecil dibandingkan stasiun 3, nilai kekeruhannya juga lebih tinggi dibandingkan stasiun yang lain, dan letak stasiun 2 yang lebih dekat dengan daratan membuat stasiun 2 mendapatkan limpasan dari daratan (run om lebih banyak dibandingkan stasiun yang lain sehingga TSS pada stasiun 2 lebih tinggi dibandingkan stasiun yang lain.
d. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen (DO))

Konsentrasi DO maksimum terjadi pada bulan September pada stasiun 1 di kedalaman 0 meter (permukaan) yaitu sebesar 10,75 mg/l, sedangkan konsentrasi DO minimum tejadi pada bulan Juli pada stasiun 2 di kedalaman interface (dekat dasar) dengan konsentrasi sebesar O,11 mgtl (Gambar 19 dan Lampiran 9). Kisaran konsentrasi oksigen terlarut pada bulan Juli, Agustus, September berturutturut antara lain berkisar antara; 0,ll-9,02 mg/l, 0,17-9,74 mdl, dan 0,18-10,75 mgll. Rata-rata konsentrasi DO pada permukaan adalah 8,58 mg/l, clan rata-rata pada dasar waduk adalah 0,517 mg/l. Pada setiap stasiun konsentrasi DO mengalami penurunan. Penurunan teqadi secara drastis dari permukaan waduk sampai kedalaman 5 meter. Dan selanjutnya konsentrasi menurun secara perlahan dengan bertambahnya kedalaman. Pola yang demikian dapat digolongkan ke dalam pola sebaran Clinograde. Pola tersebut menggambarkan keadaan perairan yang eutrofik dan banyak inengandung unsur hara serta bahan organik di dalamnya (Goldmand dan Home, 1983 dalam Octaniany, 2005). Rata-rata konsentrasi oksigen pada kedalanlan 5 meter adalah 1,98 mg/l (Lampiran 11). Konsentrasi oksigen yang semakin menurun pada setiap kedalamannya akan menjadikan keadaan anaerob pada perairan, khususnya pada dasar perairan. Hal ini tentunya akan berdampak b a g proses-proses dekomposisi bahan organik baik pada air maupun pada sedimen waduk.

Oks~gen Terlarut (mgll)

Oksigen Terlarut (m@)

10

0 0
10

10

stasiun 1
70
Oksigen Tellarut (mgil)

l;rm a 5 - 40 a 329
-D

2 '

50
70
0

kedalamn

= 13 meter

Okstgen Tetlarut (mgtl) 5 10

stasiun 4
60
kedalamnn maksimum = 25 meter

70
-e-~uli ~Agustus +September

Gainbar 19. Kandungan oksigen terlarut (DO) perairan pada setiap stasiun, kedalaman, dan waktu pengamatan.

e. pH

Berdasarkan hasil pengukuran pH (Gambar 20 dan Lampiran lo), didapat kisaran nilai antara 6,96-8,67. Dengan nilai pH tertinggi terdapat pada bulan September di stasiun 3 pada permukaan waduk dengan nilai sebesar 8,67. Sedangkan nilai pH terendah terdapat pada bulan Agustus di stasiun 3 pada kedalaman 30 meter dengan nilai sebesar 6,96. Berdasarkan waktu pengamatan selama penelitian, rata-rata pH tertinggi terdapat pada permukaan waduk dengan kisaran nilai antara 7,82-8,67. dan pH terendah terdapat pada dasar waduk dengan kisaran nilai antara 6,97-7,68. Terlihat bahwa semakin bertanbahnya kedalaman terjadi penurunan pH pada setiap stasiun.

pH
6.5

75 .

8.5

9.5

6.5

75

8.5

pH

stasiun 1

nu

stasiun 4

70 J

kedalnman maksimum = 62 meter


-+-Juli
-r--Aguslus

70 J
-t-

kedaloman mnksimum = 25 meter

September

Gambar 20. Nilai pH perairan pada setiap stasiun, kedalaman, dan waktu pengamatan.

f. Biocliemical Oxygen Demand @OD)


Nilai BOD yang didapat berkisar antara 1,36 - 28,06 mgll, dengan nilai terbesar terdapat di stasiun 3 (bulan Sepetember) di kedalaman dekat dasar (interface) dengan nilai sebesar 28,06 mg/l, dan nilai terkecil terdapat pada stasiun

2 (bulan September) di kedalaman 10 meter dengan nilai sebesar 1,36 mgA


(Gambar 21 dan Lampiran 11). Nilai BOD menunjukkan peningkatan pada setiap penambahan kedalaman.

BOD dapat menggambarkan banyaknya kandungan bahan organik di perairan


(Effendi, 2003). Bahan organik diduga berasal dari kegiatan budidaya KJA yaitu dari sisa pakan dan feses ikan, ha1 ini dibuktikan dengan kisaran BOD yang cenderung tinggi pada stasiun 2 dan stasiun 3. Pada stasiun 3 kisaran nilai BOD antara 1,36-28,06 mg/l, dan pada stasiun 2 kisaran nilai BOD antara 3,08-24,65 mgA. Sedangkan stasiun 1 dan stasiun 4 yang tidak dipengaruhi oleh kegiatan

budidaya KJA kisaran nilai BOD masing-masing adalah 4,78-8,21mg/l clan 2,5618,12 mgil.
BOD [mgfl)
0 10

20

30

10

20

BOD (mu) 30

10

-.,

,..

z
m

20

e 2 20
a-

' ' 30 ;
AO

$
m

stasiun 1
kcdnlaman mnksimum = 19 meter

3
u

40

stasiun 2
kedGlaman maksimum = 13 meter

? so ' i
GO
70
0 10 20 60 70

BOD (mgll) 30

10

20

BOD (mil4 30

0
10

10

Y30 5 - 40 m D 3 50
GO
70

- 20 E
G

'--.,

stasiun 3

g 30
E

40

3 50
60
70

stasiun 4
kcdalamnn mnksimum = 25 meter

Gambar 21.

--cJuli

+Agustus

-b--,

September

Kandungan Biochemical Oxygen Demand (BOD) perairan pada setiap stasiun, kedalaman, dan waktu pengamatan.

BOD juga dapat menggambarkan proses dekomposisi secara biologis (biodegradable) (Effendi, 2003). Proses dekomposisi ini memerlukan oksigen (02) dan inelibatkan mikroorganisme (bakteri). Nilai BOD yang semakin besar pada setiap penambahan kedalaman menggambarkan proses dekomposisi bahan organik yang semakin besar. Hal ini juga terlihat dari kandungan oksigen terlarut (DO) yang semakin menurun pada setiap penambahan kedalaman. Ini diduga karena oksigen digunakan untuk proses dekomposisi bahan-bahan organik menjadi bahan-bahan anorganik (Effendi, 2003). Semakin banyak bahan organik yang terkandung pada perairan, semakin tinggi pula konsurnsi oksigen untuk proses dekomposisi, sehingga nilai BOD menja& tinggi.

Berdasarkan baku mutu (Peraturan Pemerintah Noinor 82, 2001) untuk kepentingan perikanan, nilai BOD yang diperbolehkan adalah sebesar 6 mgll. Nilai rata-rata BOD pada permukaan sampai dengan kedalainan 10 meter masih dalam kisaran baku mutu yaitu sebesar 4,68 mg/l. Sedangkan nilai rata-rata BOD pada kedalaman dasar (interface) sangat melebihi dari nilai baku mutu yang diperbolehkan yaitu sebesar 13,66 mg/l (Lampiran 11). g. Chentical Oxygen Demand (COD) Nilai COD berkisar antara 4,13-53,83 mg/l. Nilainya semakin bertambah pada setiap kedalaman, dengan rata-rata nilai di permukaan 17,20 mgll, dan di kedalaman dekat dasar 29,48 mg/l (Gambar 22 dan Lampiran 12). Nilai COD semakin bertambah pada setiap penambahan kedalaman. Kisaran nilai COD untuk setiap stasiun antara lain; 8,26-20,64 mgll (stasiun I), 10,46-53,83 mg/l (stasiun 2), 6,19-50,82 mg/l (stasiun 3), dan 4,13-39,64 mg/l (stasiun 4). COD inenggambarkan dekomposisi bahan organik secara kimia dengan memanfaatkan oksigen (02) dan menghasilkan CO2 dan Hz0 (APHA, 1989). Terlihat bahwa stasiun 2 dan stasiun 3 yang dipengaruhi oleh kegiatan budidaya KJA memiliki rata-rata COD yang tinggi dibandingkan pada stasiun 1 dan stasiun 4. Hal ini menggambarkan bahwa kandungan bahan organik yang terdekomposisi secara kimia banyak terdapat pada stasiun tersebut, dan bahanbahan organik ini berasal dari kegiatan KJA yang terjadi pada kedua stasiun tersebut. Nilai rata-rata COD selama pengamatan adalah 19,41 mgll. Berdasarkan baku mutu (Peraturan Pemerintah Nomor 82,2001) untuk kepentingan perikanan, nilai tersebut masih dalam kisaran maksimum yang diperbolehkan yaitu sebesar 50 m a .

COD (mgn)

20

40

E n

40

COD (mg!l) 60

-M B z
-30 C
P

10

- 40 3 50
60
70

'e

stasiun 1
kedolamn mlitimum = 19 meter

rn

stasiun 2
kedal-n
mksimum = 13 meter

coo (msn)
0
c
10

COD (msn)

20

40

I 3

5
E

2 20
$ 30

g 40 0 3 50
60
kedalaman maksimum = 25 meter

70

--cJuli

- & & -

Agustus -+September

Gambar 22. Kandungan Chemical Oxygen Demand (COD) perairan pada setiap stasiun, kedalaman, dan waktu pengamatan.

2. Parameter Fisika dan Kimia Sedimen

a. Tekstur Sedimen
Dari hasil analisis diperoleh tiga macam tekstur yang terdapat pada sedimen waduk selama penelitian, yaitu: pasir, debu, clan liat. Dengan kisaran untuk pasir antara 0,32-1,6 %, debu antara 4,l-48,02%, dan liat antara 51,23-95,5
% (Gambar 23 dan Lampiran 13).

Terlihat bahwa, komposisi liat pada setiap stasiun sangat mendominasi tekstur yang lain. Dengan komposisi tertinggi pada bulan September di stasiun 2 sebesar 95,5%, dan komposisi terendah pada bulan September pa& stasiun 1 sebesar 51,23%. Untuk tekstur debu komposisi tertinggi terjadi pada bulan September di stasiun 1 sebesar 48,02%, dan komposisi terendah terjadi pada bulan

September di stasiun 2 sebesar 4,1%. Dan untuk tekstur pasir komposisi tertinggi terjadi pada bulan Agustus di stasiun 4 sebesar 1,6%, dan komposisi terendah pada bulan Juli di stasiun 4 sebesar 0.32%.

'"1

Bulan Juli
'20

Bulan Agustus

opasir mdabu olist

B P B S ~ ~dobu Oliat m

Bulan September

19 pasir rn dobu o list

Gambar 23. Tekstur sedimen Waduk Cirata berdasarkan stasiun dan waktu pengamatan.

b. pH
Nilai pH sedimen adalah berkisar antara 5,2-6,6 (Gambar 24 dan Lampiran 13). Kisaran nilai pH tersebut termasuk dalam kategori sedimen dengan kemasaman yang sedang (Depdikbud, 1991). Nilai pH bulan Juli dan bulan Agustus relatif sama atau tidak terjadi perbedaan, sedangkan pada bulan September terjadi penurunan nilai pH di setiap stasiun pengamatan.

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun a Juli Agustus September

11

Gambar 24. Nilai pH sedlmen berdasarkan stasiun dan waktu pengamatan. Penurunan yang tejadi diduga akibat adanya proses dekomposisi bahanbahan organik. Pada bulan September kandungan bahan organik relatif lebih tinggi dibandingkan bulan-bulan lainnya, ini terlihat dari kandungan BOD maupun COD khususnya pada kedalaman interface (dekat dasar). Bahan organik terdekomposisi akan teroksidasi dengan penambahan oksigen dan pengurangan hidrogen menjadi karbondioksida, air, dan ammonia. Pada kedalaman interface tentunya &an banyak mengandung kanbondioksida, sehingga diduga pada sedimen waduk kandungannya juga tinggi. Tingginya kandungan karbondioksida akan menurunkan pH. Pada sedimen waduk yang basah, karbondioksida &an bereaksi dengan air membentuk asam karbonat (HzC03). Asain karbonat akan membentuk kesetiinbangan mambentuk ion EPd m asam bikarbonat (HCOd. Ion

EPinilah yang menurunkan pH pada sedimen, khususnya pada pengamatan bulan


September.

A. Kesimpulan

Kandungan ammonia total pada perairan mengalami peningkatan pada setiap penambahan kedalaman. Konsentrasi NH3 memiliki kecenderungan mengalami penurunan, sedangkan NI&+ memiliki kecenderungan mengalami peningkatan pada setiap penambahan kedalaman. Kandungan nitrit (NO<) dan nitrat (NO3-)pada perairan cenderung mengalami penumnan, kecuali pada inlet waduk yang cenderung meningkat di setiap kedalamannya. Proses nitrifikasi inasih berlangsung pada daerah inlet waduk, sedangkan pada daerah KJA sedang, daerah KJA padat, dan outlet waduk proses nitrifikasi terhainbat. Kandungan nitrogen total pada perairan cenderung mengalami peningkatan pada setiap penambahan kedalaman. Daerah KJA padat memiliki kandungan nitrogen total yang paling tinggi dibandingkan daerah yang lain. Kandungan ammonium

(~~43,(N0i) nitrat

dan nitrogen total pada

sedimen cenderung mengalami peningkatan pada daerah outlet waduk. Konsentrasi ammonium lebih tinggi pada sedimen, dibandingkan kandungan nitrat. Tekstur sedimen banyak ditemukan dalam bentuk liat. Tekstur liat diduga memiliki kemampuan mengikat ammonium lebih baik dibandingkan nitrat. Berdasarkan statistik diperoleh, stasiun pengamatan memberikan perbedaan kandungan nitrogen yang berbeda nyata. Pada koloin perairan kedalaman juga memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap kandungan nitrogen di perairan. Sedangkan untuk waktu pengainatan hanya mernberikan perbedaan yang nyata pada kandungan ammonia total. Perairan waduk Cirata berdasarkan kandungan ammonia total menurut kesuburannya digolongkan kedalam perairan Eutrofik. Konsentrasi ammonia bebas (NH3) pada permukaan perairan sudah melebihi baku mutu (PP No 82 Tahun 2001), sedangkan konsentrasi nitrit (NOz) dan nitrat (NO$ masih dalam kisaran baku mutu perairan.

B. Saran
1. Perlu dikaji lebih lanjut tentang pengendalian lingkungan di Waduk Cirata,
seperti pemanfaatan sedimen yang sangat banyak mengandung nitrogen, untuk dijadikan pupuk.

2. Perlu dilakukan kajian lanjutan dengan melihat pengaruh pola hidrologi


waduk (arus air, debit, volume air waduk, Jlushing rate) untuk melihat pengaruhnya terhadap pola distribusi nitrogen secara spasial.

DAFTAR PUSTAKA

[APHA] America Public Health Association . 1989. StandardMethodfor The Examination of Water and Wastewater. 17&ed. APHA.AWWA. WPCF. Washington D.C. Asmawi, S. 1983. Pemelilzaraan Ikan dalam Karamba. Gramedia. Jakarta. Brown, A. L. 1987. Freshwater Ecology. Heinemann Educational Books, London. 163 p. Boyd, C. E. 1982. Water Quality Managementfor Pond Fish Culture. Elsevier Scientific Publishing Company, Amsterdam, Oxfort, New York. 3 18p. Chapman, H.D dan Pratt, P F. 1961. Methods of Analysisfor Soils Plants and Water. University of California, California. Connell, D.W. dan G.J. Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Penerjemah. Yanti K. Penerbit UI-PRESS, Jakarta. 520 h. [Depdikbud] Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan.. 1991. Kimia Tanalz Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan -Kebudayaan. Jakarta. Effendi, H. 2003. Teluuh Kualitas Air :Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Ferdiaz, S. 1992. Polusi Air dan Polusi Udara. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bogor. Feriningtyas, D. 2005. Perubalzan Spasial dan Temporal Kualitas Air Waduk Cirata, Jawa Barat Selama Periode 2000-2004. Skripsi. Program Studi MSP. FPIK-IPB. Bogor. Gamo. 2002. Jurnal Sains dan Teknologi BPPT ;Dinamika dan Status Kualitas Air Waduk Multi Guna Cirata. http:L%/ww. ip/ek.net.id (2005) Goldman, C.R. and A.J.Horne. 1983. Limnology. Mc Graw Hill Book Company. New York. Haslam, S.M. 1995. River Pollution and Ecological Perspective. John Wiley and Sons, Chichester, UK. 253 p.

Hehanusa P.E dan Haryani G. S. 2001. Kamus Limnologi (Perairan Darat). IHPUNESCO. Indriani, S. 2005. Pertumbuhan Ikan Mas (Cyprinus carpio) pada Budidaya Karamba Jaring Apung diperairan Eutrof; Wuduk Cirata. Skripsi. Program Studi MSP. FPIK-IPB. Bogor. Mardiana, L. 2007. Studi Kandungan Fosfor di Perairan dun Sedimen yang Dipengaruhi Kegiatan Karamba Jaring Apung di Waduk Cirata, Jawa Barat. Skripsi. Program Studi MSP. FPM-IPB. Bogor. Nastiti, A. S. Krimono, dan E.S. Kartamihardja. 2001. Dampak Budidaya Ikan Dalam Keramba Jaring Apung Terhadap Peningkatan Unsur Ndan P di Perairan Waduk Saguling, Cirata, dun Jatiluhur. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. 7. No.2. Puslitbang Perikanan, Jakarta. Notohadiprawiro, T. 1998. Tanah dun Lingkungan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebuyaan. Jakarta. Octaviany, M, J. 2005. Fluktuasi Kandungan Oksigen Terlarut selama 24 Jam pada Lokasi Karamba Jaring Apung, Ciputri, di Waduk Cirata, Kabupaten Cianjur. Sknpsi. Program Studi MSP. FPIK-IPB. Bogor. Prihadi, T.H. 2005. Pengelolaan Budidaya Ikan Secara Lestari di Waduk (Studi Kasus di Perairan Waduk Cirata, Jawa Barut). Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Pemerintah Republik Indonesia. 2001.Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dun Pengendalian Pencemaran Air. Sekretaris Negara Republik Indonesia Jakarta. Reid, G. K. 1991. Ecology of Inland Waters and Estuaries. Reinhold Publishing Corpoartoin. New York. Steel, R.G.D dan J.H. Torrie. 1993. Prinsip dun Prosedur Statistika. Diterjemahkan oleh Bambang Sumantri (IPB). PT. G~amedia Pustaka Utama, Jakarta. Swyadiputra, I.N.N., dan Ratnawati. 2001. Prosiding Lokakarya Selamatkan Air Citarum. Wetlands International - Indonesia Programme, Komite Nasional Lahan Basah R.I. Bapedal. 190 h. Tan, K. H. 2000. Environmental Soil Science, Second Edition, Revised and Expanded. Marcel Dekker, Inc. USA.

Umar, C.E.S., Kartamihardja, dan H. Supriyadi. 2001. Kemampuan Bakteri Desulphovibrio sp. Dalam Penguraian Senyawa Belerang dun Analisis Laju Sedimentasi, untuk Perbaikan Kualitas Air pada Budidaya Keramba Jaring Apung. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. 7. No.2. Puslitbang Perikanan, Jakarta. 3 1-38 Walpole, R. E. 1995. Pengantar Statistika, Edisi ke-3.pentejemah : Ir. Bambang Sumantri, Gramedia, Jakarta. Wardoyo, S.T.H. 1975.Pengelolaan Kualitas Air. Proyek Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi. Institut Pertanian Bogor. 41 hal. Wetzel, R. G. 1983. Limnology. Second edition. CBS College Publishing. United States of America. Wright, P.A, dan Anderson P.M. 2001. Nitrogen Excretion. Academic Press. New York.

Lampiran 1. Kandungan Ammonia Total pada perairan berdasarkan lokasi, waktu, dan kedalaman selama pengamatan

Rata-rata kandungan ammonia total pada permukaan: Ammonia total (0,,,o~cI)


=

0.08+0.72+0.55+0.49 = o,46
4

Rata-rata kandungan ammonia total pada kedalaman dekat dasar (interface): Ammonia total (interface)= 0.74+1.29+3.59+1.76 4

Lampiran 1 (lanjutan).

Keterangan : Kedalaman interface ;stasiun 1 (19 meter), stasiun 2 (12 meter), stasiun 3 (62 meter), dan stasiun 4 (25 meter).

Lampiran 1 (lanjutan).

Lampiran 2. Kandungan dan tabel sidik ragam Nitrit ( O) pada perairan N; berdasarkan lokasi, waktu, dan kedalaman selama pengamatan

Stasiun

Kedalarnan

Juli

Waktu Agustus

September

Rata-rata

0 rn 10 rn 20 rn interface

0,0014 0,0000 0,0006 0,0000

0,0004 0,0001 0,0003 0,0001

0,0009 0,0011 0,0010 0,0013

0,0009 0,0004 0,0006 0,0005

Keterangan : Kedalaman interface ;stasiun 1 (19 meter), stasiun 2 (12 meter), stasiun 3 (62 meter), dan stasiun 4 (25 meter).

Lampiran 3.

Kandungan dan tabel sidik ragam Nitrat (NO?) pada perairan berdasarkan lokasi, waktu, dan kedalaman selama pengamatan

Keterangan : Kedalaman interface ;stasiun 1 (19 meter), stasiun 2 (12 meter), stasiun 3 (62 meter), dan stasiun 4 (25 meter).

Lampiran 4. Kandungan dan tebel sidik ragam Nitrogen Total pada perairan berdasarkan lokasi, waktu, dan kedalaman selama pengamatan.

Keterangan : Kedalaman interface ;stasiun 1 (19 meter), stasiun 2 (12 meter), stasiun 3 (62 meter), dan stasiun 4 (25 meter).

Lampiran 5. Kandungan dan tabel sidik ragam Nitrogen Total, Ammonia, danNitrat pada sedimen berdasarkan lokasi, dan waktu selama pengarnatan

Tabel Sidik Ragam

Lampiran 6. Kekeruhan perairan berdasarkan lokasi, waktu, dan kedalaman selama pengamatan

Keterangan : Kedalaman interface ;stasiun 1 (19 meter), stasiun 2 (12 meter), stasiun 3 (62 meter), dan stasiun 4 (25 meter).

Lampiran 7. Suhu perairan berdasarkan lokasi, waktu, dan kedalaman selama pengamatan

Keterangan : Kedalaman interface ;stasiun 1 (19 meter), stasiun 2 (12 meter), stasiun 3 (62 meter), dan stasiun 4 (25 meter).

Lampiran 8. Kandungan Total Suspended Solid (TSS) perairan berdasarkan lokasi, waktu, dan kedalaman selama pengamatan

Keterangan : Kedalaman interface ;stasiun 1 (19 meter), stasiun 2 (12 meter), stasiun 3 (62 meter), clan stasiun 4 (25 meter).

Lampiran 9. Kandungan oksigen terlamt (DO) perairan berdasarkan lokasi, waktu, dan kedalaman selama pengamatan

20 rn interfase

0,21 0,20

0,22 0,17

0,20 0,19

0,21 0,19

Keterangan : Kedalaman interface ;stasiun 1 (19 meter), stasiun 2 (12 meter), stasiun 3 (62 meter), dan stasiun 4 (25 meter). Rata-rata kandungann oksigen terlamt pada kedalaman 5 meter :

Lampiran 10. Kandungan pH perairan berdasarkan lokasi, waktu, dan kedalaman selama pengamatan

~edala&m interface ;stasiun 1 (19 meter), stasiun 2 (12 meter), stasiun 3 (62 meter), dan stasiun 4 (25 meter).

Lampiran 11. Kandungan Biochemical Oxygen Demand (BOD) perairan berdasarkan lokasi, waktu, dan kedalaman selama pengamatan

Keterangan : Kedalaman interface ; stasiun 1 (19 meter), stasiun 2 (12 meter), stasiun 3 (62 meter), clan stasiun 4 (25 meter). Rata-rata kandungan BOD pada permukaan sampai kedalaman 10 meter : BoD(o.10meter) =
5.23+5.36+3.56+9.24+3.05+2.60+4.48+3.41~ = 4.68 8

Rata-rata kandungan BOD pada kedalaman dekat dasar (interface):

Lampiran 12. Kandungan Chemical Oxygen Demand (COD) perairan berdasarkan lokasi, waktu, dan kedalaman selama pengamatan

Keterangan : Kedalaman interface ;stasiun 1 (19 meter), stasiun 2 (12 meter), stasiun 3 (62 meter), dan stasiun 4 (25 meter). Rata-rata kandungan COD pada permukaan: COD(O meter) = 17.20+19.26 + 17.20+15.14 = 17.20 4

Rata-rata kandungan COD pada kedalaman dekat dasar (interface): COD (interface) = 19.93+35.53+35.46 + 27.03 =29,48 4

Lampiran 13. Kandungan pH dan persentase kandungan tekstur sedimen berdasarkan lokasi, dan waktu selama pengsunatan H sedimen
Stasiun Juli Waktu Agustus

September

Rata-rata

Tekstur sedimen

Lampiran 14. Prosedur pengukuran parameter kualitas air (APHA, 1998) Prosedur pengukuran Ammonia Total

1. Pipet 25 ml sample air yang sudah disaring ke dalan Bleaker glass LOO
in1 2. Tambahkan 1 ml Phenol Solution, aduk 3. Tambahkan 1 ml Sod- Nihoposside 4. Tambahkan 2,5 ml Oxidizing Solution, aduk rata 5. Sirnpan / biarkan selama 1jam tutup dengan Alumunium Foil 6. Ukur dengan Spectrophotometer pa& panjang gelombang ( 640 nm). Prosedur pengukuran Ammonia Bebas
% ammonia tak-terioisasi (Ammonia bebas) =

100 1+ antilog(pKa - p H )

Keterangan : pKa : konstanta logaritma negatif yang bergantung pada suhu

Prosedur pengukuran Nitrit


1. Saring ke dalam erlenmeyer menggunakan kertas saring Whatman No.42

atau yang kertas lain yang setara 2. Pipet 10 ml air sample yang telah disaring, inasukkan ke dalam gelas piala 3. Tambahkan 0,2 ml(4 tetes) Sulfnnilamide, aduk dan biarkan 2-4 menit (jangan lebih) 4. Tambhakan 0,2 ml(4 tetes) NED, aduk biarkan 10 menit agar terbentuk wama merah muda dengan sempurna 5. Ambil aquadest 10 ml masukkan ke &lam gelas piala, lakukan seperti langkah 3-4 6. Ukur dengan Spectrophotoineter dengan panjang gelombang 543 nm

Lampiran 14 (lanjutan).

* Prosedur pengukuran Nitrit


1. Saring ke dalam erlenmeyer dengan menggunakan kertas saring Whatman No.42 yang kertas lain yang setara
2. Pipet 5 ml air sample yang telah disaring, masukkan ke dalam gelas piala

3. Tambahkan 0,5 ml(10 tetes) Brucine, aduk

4. Tambahkan 5 ml Asam Sulfat pekat (gunakan ruang asam), aduk dan diamkan hingga dingin 5. Untuk pengukuran blanko, pipet 5 ml aquaest masukkan ke dalam gelas piala, lakukan seperti langkah 3-4
6. Ukur menggunakan Spectrophotometer dengan panjang gelombang 410

nm. Prosedur pengukuran Total Suspended Solid (TSS) 1. Bilas kertas saring dengan air suling (20 ml) 2. Ulangi pembilasan
3. Ambil kertas saring dan simpan di tempat khusus kertas

4. Keringkan kertas dalam oven (T= 103-105 oC) selama 1jam 5. Dinginkan dalam desikator 10 menit
6. Tiinbang di neraca analitik

7. Ulang langkah 4-6 (kehilangan berat < 4%) missal = B milligram


8. Simpan kertas saring dalam desikator 9. Siapkan kertas yang telah diketahui beratnya pada alat penyaring 10. Contoh dikocok masukkan ke alat penyaring, sesuaikan benyaknya sehingga berat residu antara 2,5-200 mg 11. Saring contoh lalu residu tersuspensi bilas dengan air suling 10 ml 12. Ambil kertas saring taruh di tempat khusus 13. Keringkan dalam pengering pada suhu 103-105 oC selama satu jam 14. Dinginkan dalam desikator selama 10 menit kemudian timbang, inisal a miligram

Lampiran 14 (lanjutan) Perhitungan : TSS (mgll) = (A-B) x 1000 I ml contoh Prosedur pengukuran Chemical Oxygen Demand (COD) (metode Refluks terbuka)

1. Pipet 10 ml sample masukkan ke dalam erlenmeyer


2. Tambahkan 5 ml K2Cr207 0,025 N, lalu aduk 3. Masukkan H2S04 (15 ml)

4. Tutup erlenmeyer dengan cawan petri untuk mencegah masuknya


material asing. Biarkan selama 30 menit.

5. Setelah selesai buka tutupnya lalu dinginkan


6 . Encerkan larutan sampel dengan 7,5 ml aquades

7. Titrasi kelebihan K2Cr207 menggunakan FAS 0,025 N (Ferros Amonium Sulfat), sebelumnya tambahkan indikator feroin 2-3 tetes sampai terbentuk warna hijau biru dan titik akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna menjadi merah bata yang stabil dalam 1 menit. Catat ml titran (B ml) 8. Lakukan blanko (10 aquades + prosedur 2-7 di atas), catat ml titran (A ml) Perhitungan : COD (ing 0211) = /A-B) x 8 x 1000 ml sampel Keterangan : A = ml FAS yang terpakai saat titrasi blanko B = ml FAS yang terpakai saat titrasi sampel M = Molaritas FAS (0,025 N) 8000 = miliekivalen bobot Oksigen x 1000 mlll

Lampiran 14 (lanjutan). Prosedur pengukuran Dissolve Oxygen (DO)

I. Ambil air sainpel ke dalam botol BOD sampai penuh clan tutup, hindari
adanya gelembung udara 2. Tambahkan sulfamic acid 0,5 ml(10 tetes) ke dalam botol BOD 125 ml 3. Tambahkan 1 ml(20 tetes) larutan MnS04 4. Tambahkan 1 ml(20 tetes) larutan NaOH + KI, kemudian tutup, aduk (bolak-balik) diamkan sampai inengendap 5. Setelah inengendap tambahkan 1 ml(20 tetes) H2S04 pekat atau sampai endapan larut
6 . Pipet 50 ml air contoh dari botol BOD ke dalam erlenmeyer

7. Titrasi dengan Na-Thiosulfat sampai benvama kuning muda, tambahkan


amium 2-3 tetes. Teruskan sampai tidak bewama. Catat ml titran yang terpakai Perhitungan :

Keterangan : N = Normalitas Tiosulfat Prosedur pengukuran Biochemical Oxygen Demand (BOD)

1. Ambil contoh 500 ml (tanpa pengawet) dalam botol plastik


2. Bila air keruh sekali, air contoh diencerkan 5-10 kali (dengan aquadest) 3. Contoh air diaerasi atau kocok-kocok sampai jenuh 4. Masukkan kedalam botol BOD kecil 125 ml atau 250-300 ml

Lampiran 14 (lanjutan). 5. kerjakan atau reaksikan dengan bahan kimia seperti DO winkler (lihat prosedur DO), catat ml titran sebagai DO 1 6. Sisa air contoh dari item 4, dimasukkan ke dalam botol BOD bekas pengenceran no-5

7. Ditutup dan bungkus rapat dengan plastik hitam (menghindari cahaya


atau fotosintesis)
8. Simpan di es box dengan suhu 200C sebagai DO 5

9. Setelah 5 hari dianalisis seperti DO (seperti item 5). Caatat ml titran DO


5

10. DO 5 hams h a n g dari DO 1 Perhitungan :

Lampiran 15.Prosedur pengukuran parameter Sedimen (Chapman dan Pratt, 1961). Prosedur pengukuran Nitrat

1. Pipet 5 ml sampel
2. Tambahkan Defordaaloel grain
3. Tambahkan 1 ml etanol

4. Tambahkan aquadest 100 ml


5. Lalu tambahkan NaOH 5% sebanyak 5ml 6. Sampel yang telah dicampurkan tersebut di destilasi dan hasil destilasi ditampung dengan Erlenmeyer 250 in1 yang sudah di isi H3B03 1%
7. Tambahkan indikator 5 tetes

8. Hasil Destilasi dititrasi dengan HC1 yang sudah diketahui normalitasnya 9. Catat hasil titrasi HCl Perhitungan :

* Prosedur pengukuran Ammonium


1. Pipet 5 ml sampel
2. Tambahkan Defordaaloel gram
3. Tambahkan 1 ml etanol

4. Tambahkan aquadest 100 ml


5. Lalu tambahkan MgO sebanyak 1 gram 6. Sampel yang telah dicampurkan tersebut di destilasi dan hasil destilasi ditampung dengan Erlenmeyer 250 ml yang sudah di isi H3B03 1%
7. Tambahkan indikator 5 tetes

8. Hasil Destilasi dititrasi dengan HCl yang sudah diketahtri normalitasnya 9. Catat hasil titrasi HC1 Perhitungan :

Lampiran 15. (lanjutan). Prosedur pengukuran Nitrogen Tot& 1. Pipet 0,5 gram sampel

2. Tambahkan Selenium Mixer, lalu tambahkan H2S04 sebanyak 5 ml


3. Tambahkan 5 tetes parapin cair, dan digoyang agar tercampur sempuma 4. Destruksi sampel tersebut 5. Tambahkan 50 ml aquadest lalu masukkan ke tabung destilasi dan tambahkan aquadest 100 ml 6 . Tambahkan NaOH 20% 20 ml
7. Tambahkan H3B03 1%

8. Ben indikator 0,25 ml(5 tetes) 9. Destilasikan sampel tersebut


10. Hasil dari proses destilasi di titrasi dengan HCl yang sudah diketahui normalitasnya 11. Catat hasil titrasi HC1 Perhitungan : 100 N-total (96) = ((sampel(m1)) - (blanko(ml)))xN(HCl)x14xBKM

BKM = Bobot Kering Mutlak


Prosedur pengukuran pH
1. Timbang 10 gram contoh tanah kering udara yang 1010s saringan 2

milimeter, inasukkan ke dalam botol, kocok 2. Tambahkan 10 ml aquadest untuk penetapan pH H20 atau tambahkan 10 ml larutan KC1 1 N untuk penetapan pH KC1 3. Kocok selama 30 menit dengan mesin pengocok, diamkan sebentar 4. Ukur dengan pH meter

Lampiran 15. (lanjutan).

* Prosedur pengukuran tekstur tanah


1. Timbang 10 gram tanah kering udara 1010s saringan 2 rmn, masukkan ke dalam gelas piala satu liter 2. Tambahkan 50 ml H202 30% (untuk menghacurkan bahan organik) simpan di atas bak berisi air kocok lalu tarnbahkan 6 tetes asam asetat 99% biarkan satu malam 3. Panaskan di atas penangas air sambil ditambahkan H202 sedikit demi sedikit sambil diaduk-aduk sampai semua bahan organik habis (tidak ada buih lagi) tambahkan 0,5 HC16 N untuk tiap 1% CaC03 dan 100 ml HCl 0,2 N (untuk melarutkan CaC03) tambahkan air kurang lebih separuh gelas pala kemudian didihkan kira-kira 20 menit
4. Lakukan pencucian C1 sampai semua C1 hilang (uji dengan perak nitrat

tidak tejadi awan putih berarti C1 habis) 5. Sisakan fraksi pasir dengan menggunakan ayakan 50 p. Fraksi debu dan liat ditampung dalam tabung sedimentari 1 liter 6. Pindahkan fraksi pasir dari ayakan ke dalam cawan alumunium (yang sudah diketahui bobotnya) kemudian keringkan dalam oven pada suhu 105 oC semalam lalu tentukan bobot pasir
7. Kedalam tabung sedimentasi yang berisi debu dan liat tambahkan 2 ml

Nu-pirofosfat (yang sudah diketahui bobotnya) biarkan selama 1 jam, tambahkan air sampai tanda tera 8. Tutup gelas dengan karet, clan kocok lalu didirikan dalam bak air kemudian buka sumbatnya catat waktu selesai pengocokan 9. Lakukan pemipetan dari tabung sedimentasi tersebut menurut waktu kedalaman pipet 10. Setiap pemipetan dituangkan kedalam cawan alumunium untuk diuapkan aimya, selanjutnya dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 105 oC akhimya dimasukkan dalam eksikator lalu ditimbang.

.ampiran 16. Gambar lokasi pengamatan (stasiun) selama penelitian

Stasiun 1 (inlet waduk)

Stasiun 2 (KJA sedang)

Lampiran 16. (lanjutan)

Stasiun 3 (KJA padat)

Stasiun 4 (outlet waduk)

Lampiran 17. Garnbar penyusutan air waduk Cirata.

AYAT HJDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 22 Maret 1985 dari pasangan bapak : Moch. Ichsan dan ibu : Muti'ah. Penulls merupakan anak ketiga dari lima bersaudara. Tahun 2003 penulis lulus dari SMU Negeri 47 Jakarta, dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui Jalur Undangan Seleksi Masuk IPB
(USMI). Penulis memilih Program Studi Pengelolaan

Sumberdaya dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama mengikuti perkuliahan, pernah aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa FPM IPB sebagai anggota di bidang Hubungan Luar dan Komunikasi tahun 2004-2005, selain itu aktif juga sebagai Pengurus Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) pada bidang Hublukom di tahun yang sama. Berperan aktif sebagai Organizing Committee (OC) masa perkenalan FPM mahasiswa baru tahun 2006 dan masa perkenalan Departemen MSP mahasiswa baru tahun 2006 serta sebagai peserta pada beberapa seminar yang diselenggarakan di lingkungan Institut Pertanian Bogor. Penulis juga aktif sebagai asisten mata kuliah Pengantar Matematika pada tahun ajaran 200412005, dan asisten mata kuliah Ikhtiologi tahun 200512006. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sajana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, penulis menyusun skripsi dengan judul
"Kajian Kandungan Nitrogen pada Kolom Perairan dan Sedimen Akibat Aktivitas Keramba Jaring Apung di Waduk Cirata, Jawa Barat".

You might also like