You are on page 1of 26

Pelanggaran HAM berat di Timor Leste

Pendahuluan
Para komisioner dari Indonesia maupun Timor-leste telah bekerja bersama mulai bulan Agustus 2005 hingga bulan Mei 2008 sebagai bagian dari Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia TimorLeste. Tidak ringan tanggung jawab yang dipikulkan di atas pundak para komisioner dalam melaksanakan mandat untuk menemukan kebenaran akhir serta membangun rekonsiliasi dan persahabatan antara masyarakat bangsa Indonesia dan Timor-leste. Para komisaris diperlukan keberanian moral, kerendahan hati dan kearifan untuk dapat melepaskan diri dari hubungan emosional, dan mengambil jarak dari peristiwa tindak kekerasan yang terjadi di Timor Timur pada tahun1999, guna mengambil pendekatan yang lebih objektif dan tercerahkan untuk membangun masa depan yang lebih baik antara masyarakat kedua bangsa. Bahwa semua temuan dalam pelaksanaan mandat Komisi ini dapat dicapai melalui kesepakatan. Walaupun bekerja ini berdasarkan Kerangka Acuan dengan menggunakan istilah

kebenaran akhir, dan tidak ada maksud untuk menempatkan temuan Komisi bersifat mutlak. Hal ini kami letakkan pada kesadaran bahwa kebenaran yang bersifat mutlak hanya menjadi milik Tuhan Yang Maha Esa. Dalam perjalanan ini di temukan pelajaran bahwa tidak ada proses rekonsiliasi yang dapat dicapai tanpa pengorbanan dari semua pihak terkait. Pengorbanan diperlukan dalam dinamika untuk menerima kenyataan fakta kebenaran, yang berpengaruh terhadap besaran tanggung jawab semua pihak terkait. Komisi ini sampai pada keyakinan bahwa dalam melihat peristiwamasa lalu yang menimbulkan dendam, tidak ada satu pihak pun yang dapat menyatakan dirinya sebagai pihak yang benar sepenuhnya, dan pihak yang lain sebagai pihak yang bersalah secara mutlak. Hal ini karena dalam rekonstruksi sejarah untuk mengungkap fakta kebenaran, tantangan yang dihadapi adalah bagaimana semua pihak terkait sampai pada satu akta kebenaran yang dapat disepakati. Dalam perenungan atas pelajaran yang dapat di tarik dari proses pelaksanaan mandate Komisi, dapat mengabdikan laporan akhir Komisi kepada sikap visioner ke masa depan, keberanian moral, kerendahan hati, dan kebesaran jiwa yang telah dapat mengatasi kendala dalam ciri sifat kepentingan sempit sesaat, kebekuan atas pandangan yang berorientasi kemasa lalu, pada semua pihak yang terkait dengan pelaksanaan mandat Komisi, sejak saat pembentukannya hingga akhir penyusunan laporan. Dibutuhkan kebesaran hati dan jiwa untuk dapat menerima dan mengakui hal-hal buruk yang terjadi di masa lalu serta menjadikan masa lalu tersebut sebagai pelajaran yang bernilai. Komisi ini mengabdikan laporan akhir ini kepada kebenaran dan persahabatan antara masyarakat bangsa Indonesia dan Timor-Leste yang telah berhasil mengatasi masa lalu bersamanya pada bagian-bagian yang kurang menyenangkan, untuk membangun masa depan yang mempunyai harapan lebih baik. Dalam kaitan ini, laporan akhir ini disusun berdasarkan semangat Per Memoriam ad Spem.

A. Latar Belakang. KKP Indonesia dan Timor Leste dibentuk berdasarkan Kesepakatan Bersama dan Memorandum of Understanding (MoU) antara dua kepala negara pada 14 Desember 2004 di Bali. Komisioner KKP terdiri dari Indonesia dan Timor Leste dengan mandat utama untuk mengungkap kebenaran konklusif mengenai pelanggaran HAM yang dilaporkan terjadi di Timor Timur menjelang dan segera sesudah Jajak Pendapat, antara 27 Januari sampai 25 Oktober 1999, sebagai dasar pembangunan persahabatan antar kedua negara. Tugas komisi ini adalah melakukan penyelidikan, memutuskan apakah terjadi pelanggaran HAM berat dan mengidentifikasi pertanggungjawaban institusional, serta merumuskan rekomendasi dan pelajaran yang dapat diambil. Komisi ini bekerja dalam tiga tahap utama, 1. Melakukan telaah-ulang empat dokumen yang terdiri dari Dokumen Laporan Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM di Timor Timur (KPP HAM) yang ditunjuk oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM); dokumen-dokumen persidangan Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta, termasuk BAP-BAP Kejaksaan Agung RI; Laporan Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor-Leste (CAVR) dan; dokumen persidangan dan penyidikan yang dijalankan oleh Panel Khusus untuk Kejahatan Berat pada Pengadilan Distrik Dili (SPSC) serta Unit Kejahatan Berat (SCU) di Dili. 2. Melakukan pencarian fakta melalui dengar pendapat terbuka dan tertutup, pengambilan pernyataan, wawancara, dan submisi tertulis. 3. Membuat laporan akhir, sebagai hasil analisis atas temuan dan kesimpulan dari proses telaah ulang dokumen dan proses pencarian fakta yang dilakukan. Hal penting dari Laporan Akhir KKP ini adalah adanya pengakuan telah terjadi pelanggaran HAM berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan pada masa persiapan dan pelaksanaan jajak pendapat atau referendum di Timor Leste pada 1999 dan menyebutkan TNI sebagai lembaga bertanggungjawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut. Secara umum dalam laporan disebutkan bahwa kelompok-kelompok milisi, TNI, Polri, maupun pemerintah sipil setempat dinyatakan sebagai institusi-institusi yang bertanggung jawab atas terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan. Sehingga Komisi merekomendasikan reformasi institusi-institusi pelaku maupun institusi peradilan. Komisi juga secara khusus merekomendasikan Pemerintah Indonesia untuk mengembangkan dan mengimplementasikan sebuah program guna menuntaskan reformasi sektor keamanan berdasar prinsip-prinsip demokrasi dan penghormatan terhadap hukum dan HAM. Mandat dari Komisi ini pada awalnya menjadi sasaran kritik karena hanya terbatas untuk menentukan tanggung jawab institusional, tidak merekomendasikan penyelesaian melalui jalur hukum bahkan memiliki kewenangan untuk memberikan amnesti serta rehabilitasi bagi para pelaku.

Walau akhirnya Komisi tidak memberikan rekomendasi pemberian amnesti dan rehabilitasi kepada siapapun. Secara umum rekomendasi dari dari Komisi adalah terkait dengan masalah reformasi kelembagaan, masalah perbatasan dan zona damai, adanya resolusi konflik dan layanan psikososial bagi korban, masalah ekonomi dan aset, pembentukan komisi orang hilang, pengakuan dan permohonan maaf atas atas penderitaan yang telah timbul. Salah satu kelemahan mendasar dari rekomendasi yang dikeluarkan oleh Komisi adalah tidak adanya pemenuhan hak restitusi bagi para korban ataupun untuk keluarga korban. Sampai dengan sekarang, Pemerintah belum pernah secara resmi menyerahkan laporan akhir kepada DPR sebagai tindak lanjut guna menentukan rencana jangka panjang dalam merealisasikan rekomendasi-rekomendasi yang telah dibuat, sekaligus sebagai bentuk pengakuan dan menjadikan laporan akhir sebagai dokumen publik serta bagian sejarah bangsa Indonesia.

Pembahasan Terlahir dari tekad bersama untuk belajar dari penyebab-penyebab kekerasan masa lalu guna membangun landasan yang kuat bagi rekonsiliasi, persahabatan, perdamaian, dan kesejahteraan, pemerintah Indonesia dan Timor-Leste bertekad untuk menghadapi masa lalu di antara kedua bangsa melalui Komisi Kebenaran dan Persahabatan. Komisi diberi mandate melakukan penyelidikan bersama dengan tujuan untuk menetapkan kebenaran konklusif mengenai pelanggaran HAM yang dilaporkan terjadi dan tanggung jawab kelembagaan, sertauntuk membuat rekomendasi yang dapat membantu menyembuhkan lukaluka masa lalu dansemakin meningkatkan rekonsiliasi dan persahabatan, serta menjamin peristiwa serupa tidak terulang kembali. Laporan ini mencerminkan dua setengah tahun hasil kerja Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia Timor-Leste yang merupakan Komisi bilateral pertama di dunia. Komisi ini merupakan contoh bagi kerja sama dan pengembangan mekanisme untuk mencapai konsensusantara dua negara, sekalipun untuk persoalan-persoalan yang paling sulit dan penuh tantangan. Sesuai dengan mandat, laporan ini akan disampaikan kepada Kepala Negara dan Pemerintahan kedua bangsa, yang selanjutnya akan menyampaikannya kepada Parlemen dan publik. Ringkasan Eksekutif merupakan versi komprehensif dan padat dari Laporan ini, yang mencakup semua aspek inti dari masing-masing laporan serta berfokus pada temuan dan rekomendasi komisi.

MANDAT DAN IMPLEMENTASI Mandat komisi untuk merampungkan tiga komponen utama kerjanya, yakni: (1) Penyelidikanyang terdiri dari telaah Ulang Dokumen, Pencarian Fakta dan Penelitian; (2) membuat temuan mengenai perbuatan pelanggaran HAM berat dan tanggung jawabinstitusional; serta (3) merumuskan rekomendasi dan pelajaran yang dapat diambil.Landasan kerja Komisi adalah proses penetapan kebenaran konklusif mengenaiperistiwa-peristiwa menjelang dan segera setelah Penentuan Pendapat di Timor-Timur tahun 1999.

Penyelidikan historis ini dijalankan sesuai dengan kerangka kerja yangdigariskan dalam mandat Komisi, yang memerlukan dilakukannya proses telaah Ulang Dokumen dan Pencarian Fakta, yang akan membentuk dasar bagi Komisiuntuk menganalisis dan menentukan kebenaran. Proses Kerja Komisi Guna memenuhi mandatnya untuk menetapkan kebenaran konklusif mengenaikekerasan di Timor-Timur tahun 1999, Komisi telah mengumpulkan dan menganalisis sejumlah besar bukti dari berbagai sumber. Bukti dan analisis ini berfokus pada dua pertanyaan utama yang dihadapkan kepada Komisi: Apakah pelanggaran HAM berat telah terjadi di Timor-Timur tahun 1999? Jika memang demikian, apakah ada institusi yang bertanggung jawab atas pelanggaranpelanggaran. Proses telaah Ulang Dokumen untu menganalisis hasil proses peradilan dan penyelidikan yang pernah dilakukan sebelumnya. Dokumen-dokumen ini mencakup, antara lain; Laporan Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM di Timor-Timur (KPP HAM) yang ditunjuk oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM); dokumen-dokumen persidangan Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta, termasuk BAP-BAPKejaksaan Agung RI; Laporan Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor-Leste (CAVR) dan; dokumen persidangan dan penyidikan yang dijalankanoleh Panel Khusus untuk Kejahatan Berat pada Pengadilan Distrik Dili (SPSC) sertaUnit Kejahatan Berat (SCU) di Dili.Semua dokumen ini memiliki kekuatan dan keterbatasan. Sebagai contoh, penyelidikan KPP HAM dan proses Pengadilan HAM Ad Hoc di Jakarta tidak mencakup kekerasan yang dilakukan oleh kelompok pro-kemerdekaan. PengadilanHAM Ad Hoc juga tidak menangani semua lingkup kekerasan, seperti kekerasan seksual, dan juga tidak berfokus pada keterlibatan langsung unsur-unsur TNI atau badan-badan lainnya dalam perbuatan pelanggaran HAM dimaksud. Pada Pengadilan HAM Ad Hoc terdapat juga kegagalan umum untuk membawa bukti dan saksi yang relevan ke persidangan. Baik CAVR maupun KPP HAM merupakan lembaga non-yudisial, karenanya hal ini membatasi karakter serta cakupan penelitian dan penyelidikan mereka. SCU memusatkan sumber dayanya pada kasus-kasus prioritas pembunuhan yang dilakukan oleh milisi pro-otonomi, dan tidak secara penuh menginvestigasi atau membawa ke persidangan kasus-kasus yang melibatkan bentuk pelanggaran HAM utama lainnya. SCU juga tidak dapat memperoleh kerja sama yang diperlukan untuk melakukan penyidikan secara penuh, atau mengadili kasus-kasus yang melibatkan pelaku berkewarga negaraan Indonesia. Sementara CAVR dan KPP HAM mempertimbangkan konteks lebih luas dari kekerasan yang terjadi, pengadilan di Jakarta dan Dili berfokus terutama pada kasus-kasus individual sebagai kejadian yang terpisah. Di samping telaah Ulang Dokumen, Komisi menjalankan suatu proses Pencarian Fakta yang luas melalui Dengar Pendapat terbuka dan tertutup, PengambilanPernyataan, Wawancara, dan Submisi tertulis. Karena Komisi bukan merupakan lembaga yudisial dengan wewenang untuk memaksakan kesaksian, acara-acara dengar pendapat bersifat inklusif guna memberi kesempatan kepada semua pihak untuk mengetengahkan pandangan mereka tanpa interupsi. Pada dengar pendapat juga terdapat sesi klarifikasi, dimana Komisioner dapat mengajukan pertanyaan.Guna membantu menetapkan kebenaran, Komisi mengembangkan mekanisme Dengar Pendapat tertutup yang memberi kesempatan kepada perorangan untuk menyampaikan kesaksian yang mungkin mereka enggan atau takut untuk menyampaikan di depan publik. Melalui proses ini Komisi dapat memastikan bahwa berbagai sudut pandang tentang kekerasan tahun 1999 telah diperoleh dari mereka yang mengalami peristiwa tahun 1999 dalam berbagai peran. Satu sudut pandang yang tidak terwakili dalam proses Pencarian Fakta adalah dari PBB. Meski Komisi berulang kali

berupaya mengundang personil PBB untuk bersaksi dalam dengar pendapat, PBB telah memilih untuk tidak mengizinkan personilnya hadir dan memberikan kesaksian. Metodologi telaah Ulang Dokumen dan Pencarian Fakta Komisi harus dilihat sebagai dua bagian terpisah namun saling melengkapi dari suatu proses yang ditujukan untuk menetapkan sejauh mungkin kebenaran konklusif mengenai kekerasan tahun 1999. Kedua metodologi ini dijalankan berdasarkan sebuah kerangka konseptual yang menjabarkan secara rinci kriteria yang diperlukan bagi temuan mengenai pelanggaran HAM berat dan tanggung jawab institusional. Komisi menyadari sepenuhnya kritik yang dilontarkan kalangan masyarakat sipil kedua negara mengenai Dengar Pendapat terbuka yang diadakan Komisi. Akan tetapi, Dengar Pendapat terbuka hanyalah merupakan salah satu dari banyak sumber informasi dan kesaksian yang telah digunakan oleh Komisi. Terhadap semua sumber informasi tersebut, Komisi telah melakukan suatu proses analitis yang memperbandingkan berbagai sumber bukti satu sama lainnya guna mencapai temuan dan kesimpulan yang kuat. Sebagai contoh, melalui proses analitis dapat ditunjukkan bagaimana proses telaah Ulang Dokumen, karena sifat dan kedalaman buktinya, mampu memberi dasar kuat dalam evaluasi berbagai pernyataan yang kadang saling bertentangan dari saksi-saksi yang hadir di hadapan Komisi pada acara Dengar Pendapat Terbuka maupun Tertutup. Kedalaman bukti yang diperoleh dan dianalisis dalam proses telaah Ulang Dokumen memperkuat beberapa pernyataan saksi dalam dengar pendapat dan tentunya melemahkan yang lainnya. Lebih jauh, bukti juga menunjukkan bagaimana keterangan beberapa saksi dapat menambah atau semakin memperkuat kesimpulan yang dicapai dalam telaah Ulang Dokumen. Guna memenuhi mandatnya untuk menyelidiki hakikat, cakupan, dan penyebab kekerasan tahun 1999, Komisi melakukan penelitian mengenai latar belakang historis, dinamika politik, dan struktur-struktur kelembagaan yang berpengaruh terhadap terjadinya peristiwa kekerasan sebelum dan selama tahun 1999.

BAB V : ANALISIS TELAAH ULANG DOKUMEN TNI sama-sama memiliki tanggung jawab institusional atas penghancuran harta benda serta tindakan deportasi dan pemindahan paksa. Sebagian besar keterangan saksi dalam berkas Deportasi SCU mengandung bukti bahwa pemaksaan ini paling sering dilakukan dalam bentuk ancaman langsung oleh milisi atau TNI bersenjata.

PER MEMORIAM AD SPEM Jumlah atau persentase absolut sulit ditentukan berdasarkan data yang tersedia,namun bukti yang ada menunjukkan bahwa mayoritas signi kan penduduk telahdipaksa pergi dari imor imur pada tahun 1999. elaah Ulang Dokumen jugamenemukan bahwa bukti mengenai pemindahan paksa dan deportasi didukung olehsejumlah besar bukti sebagaimana berkas penyidikan. Beberapa dokumentasi dariSuai akan dibahas di bawah ini dan akan memberikan kon rmasi kuat mengenaikesimpulan Berkas Deportasi dan Penghancuran Harta Benda. Akan tetapi, buktidalam koleksi ini juga menunjukkan bahwa tuntutan yang disusun SCU mengenaideportasi sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan sumber-sumber lainnya perludilihat sebagai cerminan kenyataan bahwa terdapat orang-orang yang meninggalkan imor imur pada tahun 1999 secara sukarela.Berdasarkan pemeriksaan bukti penyidikan yang mendukung dakwaan deportasi,tampak ada bukti sangat substansial dan kredibel bahwa pada tahun 1999 di

imor imur pemindahan paksa dan deportasi sering mengikuti pola serupa. Pola-pola inimencakup perintah dari milisi, NI atau pejabat pemerintah sipil kepada penduduk sipil untuk meninggalkan desa-desa mereka. Perintah tersebut sering disertai ancamanlangsung terhadap orang-orang atau keluarga tertentu yang mungkin tidak bersediapindah, ancaman umum terhadap desa atau kelompok bahwa mereka akan mati jikatinggal, dan tindak kekerasan seperti pembakaran, penyerangan, pembunuhan, ataupenahanan ilegal untuk menciptakan suasana dimana orang-orang akan merasa tidak punya pilihan lain kecuali meninggalkan rumah dan harta benda mereka. Langkahberikutnya dari rangkaian ini adalah pemindahan penduduk desa yang teratur olehmilisi dan/atau NI, pejabat sipil, atau mem asilitasi pemindahan penduduk desa, kesuatu tempat penampungan sementara yang berada di bawah pengawasan pemerintahIndonesia atau pasukan bersenjata seperti Kodim atau Polres. Setelah melewati waktudi asilitas penampungan, banyak warga imor imur dibawa ke imor Barat baik dengan kendaraan pribadi maupun dengan transportasi yang telah diatur oleh milisiatau dengan kapal-kapal Indonesia, seperti kapal angkatan laut. Dalam banyak kasusDeportasi atau Pemindahan Paksa kejahatan lain juga terjadi dalam rangkaian proses(pembakaran/ancaman, pemindahan ke Kodim/Polres untuk ditahan, pemindahanpaksa ke imor Barat), termasuk juga pelanggaran seksual, pemerasan, pembunuhan, dan bentuk-bentuk perlakuan tidak manusiawi lainnya. Setelahmasa deportasi atau pemindahan paksa, milisi dan NI tampaknya melakukanpenyisiran susulan untuk melihat apakah masih ada orang yang tertinggal. Orang-orang yang ditemukan di wilayah sipil setelah sebagian besar penduduk pergi seringmenjadi korban pelanggaran HAM berat lebih lanjut, termasuk pembunuhan. BAB V : ANALISIS TELAAH ULANG DOKUMEN dapat memindahkan begitu banyak orang dalam rentang waktu yang relati singkat menunjukkan bahwa hal ini terjadi secara sistematis dan terencana baik, ketimban gacak, spontan, atau sebagai hasil tindakan individual terpisah. Pola deportasi dan/atau pemindahan paksa ini terjadi baik pada masa pra maupunpasca-Jajak Pendapat. Pada masa pra-Jajak Pendapat, pemindahan paksamengakibatkan sejumlah besar warga sipil terkumpul di pusat-pusat pengungsianseperti gereja Suai dan kediaman Manuel Carrascalo, yang kemudianmenciptakan kondisi terjadinya serangan atal terhadap penduduk sipil yang terjadisebelum dan sesudah deportasi. Banyak keterangan saksi menyatakan pembakarandesadesa mereka oleh milisi, atau gelombang kekerasan yang kemudian mendorongmereka lari meninggalkan rumah untuk mencari perlindungan di lokasi aman yangtelah ditentukan selama masa pra-Jajak Pendapat. Banyak keterangan saksi menceritakan hal yang sama tentang kejadian di Suai, termasuk dari keluargayang mengungsi di dalam kompleks gereja maupun yang tidak.Seperti tampak di bawah ini, kedua kelompok (mereka yang berada di dalamkompleks gereja Suai dan mereka yang dikumpulkan dan ditahan di luar gereja)mengalami proses serupa yang berujung pada deportasi. Karena kasus Suai adalahsalah satu kasus prioritas, SCU melakukan penyidikan intensi atas peristiwa-peristiwatersebut serta atas tuduhan pembunuhan, pemindahan paksa/deportasi, penyiksaandan kekerasan seksual. Hasil penyidikan tersebut mengungkapkan banyak keterangansaksi yang memberi gambaran utuh mengenai kejadian-kejadian ini. Kesaksianmereka juga dikuatkan oleh pernyataan lain dari milisi yang terlibat. Beberapapernyataan tersebut akan

dibahas pada bagian ini, yang lainnya akan diulas secaralebih rinci pada bagian berikutnya mengenai kekerasan seksual. Mengingat kekerasanseksual di Suai terjadi sebagai bagian dari proses pengusiran dan pemindahanpenduduk sipil, bukti dalam bagian laporan tersebut juga mendukung kesimpulanpada bagian ini.Akan tetapi perlu dicatat bahwa SCU memusatkan penyidikannya pada individu-individu yang dijadikan sasaran pemindahan dan deportasi karena dugaan asosiasinyadengan perjuangan pro-kemerdekaan. Penyidikan ini mendukung temuan bahwapemindahan paksa dan deportasi sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan telahterjadi di imor imur pada tahun 1999. Penyidikan juga mendukung temuanbahwa milisi pro-integrasi telah melakukan tindakan-tindakan tersebut dimanaanggota NI dan Polri sering terlibat baik sebagai pelaku bersama dengan memberidukungan materiil, atau gagal mencegah kejahatan yang tersebut terjadi. Bukti inisebagian besar didasarkan pada in ormasi tingkat operasional dan menunjukkanadanya kerja sama antara milisi dengan anggota militer dalam pemindahan paksa dandeportasi.Memang, sulit untuk dibayangkan hal ini dapat terjadi tanpa adanya kerja sama yangdemikian. Salah satu mantan anggota milisi dari Lautm menjelaskan, 94 Pada tahun saya menjad anggota gerakan pro-otonom . Pada har setelahPenentuan pendapat d umumkan September , kelompok-kelompok gerakan pro-otonom memula gerakan untuk mengevakuas penduduk d desa saya, Leuro. Tahap pertama dar rencana n adalah untuk meng nt m das dan mengancam penduduk desa untuk mencoba membuat mereka evakuas ke T mor Barat, dan bukan ke hutanberl ndung. T m Alpha terl bat dalam [keg atan] n . Anggota d Leuro yang melakukan n adalah [ nama d hapus. Satu d antara mereka telah bersaks untuk KKP]. CabangBTT TNI juga amb l bag an. Satu-satunya nama orang yang saya kenal adalah [d hapus].Kepala Desa [d hapus] juga terl bat. Banyak bukti lain yang telah dianalisis secara rinci dalam laporan-laporan Penasihat Ahli tersebut di atas memperkuat kesahihan kesimpulan-kesimpulan yang dicapaidalam penyidikan SCU.Walaupun SCU mem okuskan penyidikannya pada korban pro-kemerdekaan, buktipada berkas penyidikan SCU dan dokumen-dokumen CAVR juga menunjukkanbahwa tidak semua orang pergi karena alasan yang sama. Pandangan umum bahwasemua orang yang meninggalkan imor imur pada tahun 1999 karena dipaksatidak didukung oleh bukti yang menengarai bahwa ada juga orang-orang yangpergi secara sukarela karena berbagai alasan, dan orang-orang lainnya yang dipaksapergi karena ancaman nyata atau persepsi ancaman dari kelompokkelompok pro-kemerdekaan. Baik pendukung pro-otonomi maupun pro-kemerdekaan berramaiPER MEMORIAM AD SPEM Anggota milisi lainnya, Alberto Mali da Silva melaporkan bahwa teman-temannyatidak dipersenjatai, melainkan hanya menggunakan kelewang (senjata tradisional). Akan tetapi ia menyatakan bahwa Danyon dan Danki kelompok milisinyamemegang senjata modern yang

diberikan oleh ABRI. Ia tidak dapat menyebutkannama orang ABRI yang memberikan senjata, namun ia mengatakan bahwa anggota ABRI tersebut berasal dari Jawa.Komisi juga menerima beberapa kesaksian dari para pemimpin pro-otonomi yanglagi-lagi menunjukkan adanya potensi hubungan erat antara aparat keamanan danpemimpin milisi terkemuka, yang dapat membawa pada penyediaan senjata.Di sisi lain, Mateus Maa menyatakan bahwa senjata tidak didistribusikan secarainstitusional oleh NI, melainkan atas dasar kebijakan pribadi (oleh anggota-anggota NI tertentu) dengan cara peminjaman karena hubungan baik pribadi. 85 Maa jugamenambahkan bahwa putra daerah imor imur memiliki hubungan dengan polisidan perwira militer, beberapa di antaranya menjadi anggota Wanra atau Kamra.Ia memperkirakan bahwa dari sumber-sumber inilah keluarga mereka mampumenperoleh senjatasenjata tersebut. 86 oms Gonalves menyatakan bahwa NI memberikan atau meminjamkansenjata kepadanya secara langsung. 87 Namun ia juga bersaksi bahwa baik pistolmaupun senapan serbu yang ia terima sebagai anggota kehormatan Kopassus sebelumtahun 1999 ditarik kembali oleh Danrem dan SGI tahun 1999. Dengan demikian, walaupun hal ini merupakan bentuk hubungan baik yang bersi at in ormal,pemberian senjata kepada pemimpin milisi tampaknya bukan sesuatu yang acak atau tanpa kendali, karena NI tetap memiliki kemampuan untuk menarik kembalisenjata tersebut. Jos Estevo Soares juga mengatakan bahwa pada pertengahan bulan Juli 1999, iameminta kepada Komandan Satgas ribuana/SGI Kolonel, Yayat Sudrajat untuk diberikan senjata yang akan digunakan dalam perjalanan resmi ke daerah-daerah.Komandan Satgas menolak permintaan ini. Namun pada pertengahan bulan Agustus1999, Yayat Sudrajat menghubungi Jos Estevo Soares dan melalui Wakilnya iamemperoleh senjata organik tipe SKS dengan lima peluru. Dilaporkan bahwapemberian senjata ini disertai pesan agar dirahasiakan dan hanya digunakan untuk membela diri. 88 Dalam pernyataan para pemimpin dan anggota milisi terdapat hal-hal yang bersi atkonsisten dan tidak konsisten. Pada satu sisi, hampir semuanya sependapat bahwabeberapa kelompok milisi pro-otonomi memiliki senjata modern setidaknya pada waktu-waktu tertentu tahun 1999. Mereka juga sependapat bahwa senjata tersebutberasal dari NI atau Kopassus. Namun keterangan mereka berbeda dalam hal 85Mateus Maa, Dengar Pendapat KKP II, h. 6.86Ibid. h. 9.87 oms Gonalves juga menyatakan bahwa ia direncanakan untuk dikirim 300 senapan serbu oleh NI pada bulan April1999, namun ia tidak menerimanya secara pribadi. Ia menyatakan bahwa senjata-senjata tersebut dikirim ke Kodim, walaupun ditujukan kepadanya. Akan tetapi, kesaksiannya tidak dapat diveri kasi dan ia tidak dapat memveri kasi apakahsenjatanya pernah dikirim atau diterima.88Jos Estevo Soares, Dengar Pendapat KKP IV, Denpasar, 24 Juli 2007, h. 8.

BAB VI : ANALISIS PENCARIAN FAKTA

bagaimana senjata-senjata tersebut didistribusikan, apakah dipegang oleh milisisecara reguler, dan seberapa ketat NI mengendalikan kepemilikan senjata tersebut.Keterangan bahwa NI kadang-kadang menarik kembali senjata dari milisi jugasesuai dengan kesaksian mengenai distribusi senjata oleh NI.Dalam kedua kasus di atas, kemampuan memberikan dan menarik kembali senjatamenunjukkan adanya kontrol sistematis atas kepemilikan senjata modern olehkomandan NI setempat. Sebagian perbedaan dalam kesaksian, dapat juga dikaitkandengan variasi lokal dalam hubungan antara komandan NI yang berbeda dengankelompok milisi yang berbeda pula. Penjelasan ini juga didukung dalam kesaksianMaa, Soares dan Gonalves yang menunjukkan pentingnya hubungan pribadi antarapemimpin milisi dan komandan NI setempat. Namun perlu dicatat beberapakesaksian mena sirkan penarikan kembali senjatasenjata sebagai indikasi niat NIuntuk mencegah kekerasan lebih lanjut.Sebagai rangkuman, penyediaan, pengawasan dan penarikan kembali senjata kepada/dari milisi tampaknya terjadi secara sengaja dan sistematis. Namun perlu dicatat pulabahwa kesaksian mengenai si at sangat personal distribusi senjata pada beberapa kasustertentu dapat dilihat sebagai suatu pengecualian atas keadaan umum ini. Banyak kesaksian mengenai 14 kasus prioritas tersebut menerangkan perihal penggunaansenjata modern (seperti SKS, M-16 dan pistol) dalam penyerangan, baik oleh anggotamilisi, atau anggota NI yang terlibat serangan. 89 Namun mengingat keterbatasankesaksian yang dipaparkan dalam proses Pencarian Fakta, Komisi tidak mungkinmenetapkan berdasarkan bukti tersebut hubungan langsung antara setiap kejadiandimana senjata yang diperoleh dengan bantuan NI digunakan. Bobot kesaksiantersebut tampaknya memang mendukung pandangan bahwa milisi bertindak secarastrategis untuk mendapatkan senjata-senjata ini, dan pihak militer merespon secaraterorganisasi untuk memberikan atau menariknya kembali. Hubungan antarakesaksian tersebut di atas dengan sejumlah besar bukti mengenai senjata yangdianalisis dalam elaah Ulang Dokumen akan dibahas dalam Bab 7. 3) Operasi yang Terorganisasi O p e r a s i B e r s a m a Dalam kesaksian yang diterima Komisi mengenai 14 kasus prioritas, banyak indikator menunjukkan bahwa pada saat serangan terdapat organisasi, pengarahandan perencanaan pada tingkat yang signi kan. Dengan kata lain, kejadian-kejadianini merupakan sesuatu yang diorganisasi, ketimbang suatu serangan bergerombolspontan dan tidak terkendali. 89Esmeralda dos Santos, Dengar Pendapat KKP II, Jakarta, 29 Maret 2007, h. 2; Nonato Soares, Dengar Pendapart KKPII, Jakarta, 29 Maret 2007, h. 10; Marcelo Soares, Pernyataan, Belu, N , 26 Januari 2007, h. 3; Emlio Barreto, DengarPendapat KKP I, Denpasar, 19 Februari 2007, h. 5, 10; Adelino Brito, Dengar Pendapat KKP II, Jakarta, 30 Maret 2007, h.3, 5; Marcus Baquin, Dengar Pendapat KKP V, Dili, 26 September 2007, h. 6.; Agusto Dato Buti, Dengar Pendapat KKPIII, Jakarta, 2 Mei 2007, h. 4.

PER MEMORIAM AD SPEM Di sisi lain, ada kesaksian yang menyatakan bahwa kekerasan yang terjadi bersi atkaos. Sebagai contoh, Francisco Xavier Lopes da Cruz menyatakan bahwa selamamasa setelah Jajak Pendapat, imor imur hampir mengalami kekosongan kekuasaandan keamanan. Eksodus besar-besaran penduduk mulai terjadi menuju imor Barat, Jawa dan Sulawesi. Lopes da Cruz memperkirakan pada saat itu NI dan Polri mulaimerasa di bawah tekanan, sehingga tidak mengambil tindakan apapun. Ia sendirimerasakan saat itu situasinya sudah tidak terkendali. Ketika ia berada di rumah danmendengar letusan senjata dimana-mana. Ia menelepon polisi namun polisi tidak ada. Kemudian satu atau dua petugas kepolisian datang dan melaporkan kepadanyabahwa keadaan sudah mulai sulit dan tidak terkendali. 90 Pada sisi lain, sebagian indikator paling meyakinkan terkait organisasi seperti inimuncul dalam kesaksian mengenai kelompok-kelompok milisi yang bekerja samadengan NI dalam operasi militer yang terkoordinasi. Operasi-operasi semacam inimemerlukan perencanaan, dan kepemimpinan serta koordinasi sebelum, selama dansesudah serangan guna mencapai tujuannya. Adanya indikator koordinasi operasionalantara NI dan anggota milisi menengarai bahwa penyerangan terhadap penduduk sipil dilakukan secara sistematis. Akan tetapi, seperti dicatat di atas, Komisi juga menerima beberapa kesaksianyang memberi pena siran berbeda mengenai kekerasan tahun 1999. Kesaksianini seringkali menengarai bahwa serangan-serangan tersebut bersi at spontan dantidak terencana, dan dalam beberapa kasus hal ini merupakan akibat dari rusaknyaketertiban secara umum, dan dalam kasus lain, akibat siklus balas dendam. Sebagaicontoh, Mateus Amaral, salah satu pengurus FPDK di Suai menyatakan bahwainsiden tanggal 6 September 1999 di Gereja Suai bermula dari ketidakpuasanpemuda pro-integrasi setelah diejek, dihina, dan diolok-olok oleh orang-orang pro-kemerdekaan berkenaan dengan kekalahan pro-integrasi. Contoh lain mengenaisiklus balas dendam yang muncul beberapa kali dalam kesaksian adalah serangkaianserangan antara pendukung pro-kemerdekaan dan prootonomi di kabupatenLiquia. Bentrokan-bentrokan ini dapat terjadi dalam bentuk pembakaran rumah-rumah, pelemparan batu, dan kemungkinan beberapa kon rontasi bersenjata. 91 Contoh kesaksian mengenai operasi sistematis bersama antara NI dan milisiadalah keterangan dua orang saksi yang terlibat dalam kasus Cailaco. Merekamelaporkan adanya penyerangan terhadap penduduk sipil sebagai operasi bersamaantara kelompok-kelompok milisi lokal dan NI. 92 Manuel Ximenes menerangkan,bahwa setelah pembunuhan Manuel Soares Gama, anggota NI dari Kodim, SGIdan Pasukan B besama milisi Guntur menjalankan operasi di wilayah Cailaco.Menurut Manuel Ximenes, pada tanggal 17 April satuan-satuan NI menangkapdan membunuh lima orang yang dicurigai terlibat dalam pembunuhan ManuelSoares Gama. Operasi dimulai dengan suatu pertemuan di pos SGI yang dihadiri 90F X. Lopes da Cruz, Dengar Pendapat KKP I, Dempasar, 20 Februari 2007, h. 12.91Asep Kuswani, Dengar Pendapat KKP IV, Denpasar, 23 Juli 2007, h. 3, 7-8; Emlio Barreto, Dengar Pendapat KKP I,Denpasar, 19 Februari 2007, h. 2, 4; Leigh-Ashley Lipscomb, Spontaneous

Retribution: Local Dimensions o the East imor Con ict 1999, Submisi, 15 November 2007, h. 7-10.92Manuel Ximenes, Dengar Pendapat KKP I, Denpasar, 20 Februari 2007, h. 4, 8, 11; Ado Salsinha Babo, Pernyataan, Belu,N , 27 Januari 2007, h. 3-5.

BAB VI : ANALISIS PENCARIAN FAKTA oleh Komandan PPI, Joo avares, Komandan SGI dan Dandim Maliana, LetkolBurhanuddin Siagian. Mereka membunuh kelima orang tersebut dekat pos SGI,sekitar 50 meter dari rumah duka tempat jasad Manuel Soares Gama disemayamkan,dan dimana Manuel Ximenes hadir. Dalam operasi bersama NI-milisi, 47 orangterbunuh dan sebagian besar dari mereka adalah guru, pegawai negeri sipil danpelajar. 93 Kesaksian ini memiliki beberapa keterbatasan. Yang paling penting adalahketidakjelasan bagaimana Manuel Ximenes mengetahui apa yang terjadi padapertemuan sebelum serangan, atau apa yang menjadi d

BAB VII : ANALISIS KOMPARATIF ATAS HASIL TELAAHULANG DOKUMEN DAN PENCARIAN FAKTA 25HC55, h. 010364-010370.26Laporan Akhir CAVR, Annex 1: East imor 1999, Bab 7.4. h. 109-113.27Joanico Belo, Dengar Pendapat II, Jakarta, 28 Maret 2007, h. 6. Belo menjelaskan bahwa ia ditugaskan sebagai bagian daripasukan organik pada tahun 1999, namun sebelumnya ia adalah anggota Kopassus.28Joanico Belo menerangkan kepada Komisi bahwa hanya sebagian dari kelompoknya yang membawa senjata. Dari yangdiizinkan untuk membawa senjata ia menyatakan dalam sesi S /W, Kupang, N , 8 Februari 2007, h. 3-4: Senjata yangdiberikan untuk unsur perlawanan itu 22 pucuk, dengan jenis SKS, M-16. Sedangkan mereka yang milisasi: SP- G3, karenamereka menggunakan senjata inventarisasi milik KODIM. (h. 3-4). Namun, Komisi mencatat bahwa jumlah ini jauh lebihkecil dari jumlah sesungguhnya yang dimiliki kelompok ini menurut da tar inventaris senjata.29Belo menjelaskan bahwa im Saka adalah sinonim dengan Kompi Khusus Pusaka. Kesaksiannya adalah sebagai berikut:mereka mengganti namanya lagi menjadi Saka, im Saka, tapi yang sebenarnya adalah Kompi Khusus Pusaka namapanjangnya, tapi yang lebih dikenal adalah im Saka. Dengar Pendapat KKP II, h. 10. Pendapat terbuka bersi at terbatas dan bagaimana metodologi penyelidikan sumber-sumber lain dapat memberi gambaran lebih lengkap serta akurat mengenai si atpembagian senjata ini.Bukti-bukti lain juga mendukung keterangan Saksi AX dan BX. Sebagai contoh,pengamatan Pejabat Penghubung Militer UNAME mengenai kelompok milisi jugadisusun dalam sebuah dokumen Political Afairs

UNAME yang diperoleh Komisimelalui arsip SCU. Laporan UNAME ini secara khusus memperkuat in ormasiyang disampaikan oleh Saksi BX mengenai hubungan antara kelompokkelompok milisi dengan NI serta aliran senjata untuk Kodim dan kelompok milisi setempat.Keterangan lain yang diberikan oleh anggota NI kepada SCU juga memperkuatbukti pemberian senjata dan pelatihan milisi oleh pasukan elit NI di kabupaten-kabupaten lain. Sebagai contoh, saksi lain yang juga sudah lama menjadi anggota NI di kabupaten lain di imor imur melakukan wawancara berulang kali denganSCU mengenai hubungan antara milisi dengan komandannya di Kodim, khususnyasetelah Jajak Pendapat. Kesaksiannya membenarkan bahwa milisi diizinkan untuk mengambil dan menggunakan senjata NI langsung dari Kodim pada masa setelah Jajak Pendapat, tanpa halangan dari perwira NI yang ada. 25 Sekumpulan dokumen lainnya (yang juga dikutip dalam Laporan Akhir CAVR) 26 memberi koroborasi lebih lanjut tentang persoalan ini. Satu contoh adalah da tarsenjata untuk kelompok di bawah komando Joanico Belo (Belo adalah anggota NI, 27 serta salah satu komandan kelompok yang mewadahi milisi, PPI, dankomandan kelompok sipil bersenjata im Saka) dan bermarkas di Kodim 1628di Baucau. Dokumen ini menunjukkan bahwa pada tanggal 3 Februari 1999 paraindividu dipersenjatai dengan senjata modern. Sebagai contoh, kelompok inimemiliki 90 senjata, termasuk 19 G-3, 56 SP-II, 10 SP-I, satu pucuk Mauser, satupucuk M-16, dan senapan serbu lainnya. 28 Setiap orang dalam da tar, kecuali satu,diberikan satu pucuk senjata, dan sebagai Komandan, Belo menerima dua pucuk senjata. Singkatnya, kelompok ini memiliki bekal senjata yang baik dan cukup besaruntuk sebuah kelompok pembantu militer. Da tar senjata memiliki cap Komandan,Komando Distrik Militer 1628, selain tanda tangan Belo serta tanda KompiKhusus Pusaka (atau im Saka) 29 , serta dengan kop surat Kodim, sehingga jelasbahwa Kodim memiliki otoritas dan kendali tertinggi atas senjata-senjata tersebut.Setiap orang yang memegang senjata dicatat nama, pangkat, dan nomor induk, sertanomor seri senjatanya. Dalam Dengar Pendapat erbuka, Joanico Belo membenarkan

PER MEMORIAM AD SPEM bahwa NI mempersenjatai kelompoknya, tetapi ia juga berusaha memberi nuansadalam penjelasannya mengenai persenjataan dengan menjelaskan adanya unsur imSaka yang tidak bersenjata, serta unit yang dimiliterisasi. Ia menyatakan: Untuk kesenjataan, sudah jelas. Seorang m l ter past mem l k senjata. Dan, d dalam Saka tu send r memang ada dua ( ) kelompok, ada m l ter sas dan Wanra.Yang tad saya sebutkan bahwa dar c kal bakalnya tu setelah mereka jad Saka,ada yang d angkat

jad m l ter, ada yang PNS, ada yang t dak sempat sampa pengungs , jad masyarakat b asa saja. Jad , seputar tu Saka. 30

dengansekarang. Jad

Keberadaan da tar senjata pada bulan Februari 1999 tampaknya bertentangandengan perintah NI sendiri untuk menarik senjata dari kelompok-kelompok pembantu, seperti im Saka, kepada militer pro esional. Menurut telegram militeryang ditemukan pada arsip SCU, NI telah mengeluarkan perintah untuk menarik senjata dari anggota Wanra dan Ratih pada akhir Januari. 31 Salah satu alasan yangdisebut dalam perintah ini adalah bahwa seorang anggota im Saka di Baucau (dananggota sipil bersenjata di tempat lain) telah menggunakan senjata untuk melakukanpembunuhan pada akhir 1998. 32 Perintah ini tampaknya telah mendorong Belountuk melaporkan kepada Kodim mengenai inventaris senjata yang dimilikianggotanya. Berdasarkan dokumen ini Kodim sepenuhnya mengetahui tentangsenjata yang dimiliki im Saka dan berada dalam posisi untuk melakukan kendaliatas penyediaan senjata. Walaupun sudah ada perintah untuk melucuti kelompokkelompok semacam ini, keempat kumpulan dokumen mencatat berbagai tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggota im Saka dengan menggunakan senjata apipada tahun 1999.Dalam Dengar Pendapat, Belo menjelaskan bahwa anggotanya melaksanakan periodekantonisasi pada tahun 1999, dan tidak diizinkan untuk memegang senjata. Iamenjelaskan kepada Komisi: Dan, mereka-mereka yang belum tu mas h dalam bentuk wanra memang semuamasuk d kanton sas . Jad , sudah t dak bersenjata lag . Dan, tu memang banyak orangyang tahu. Pada saat penentuan pendapat, k ta tahu pers s bahwa orang T mor T mur tu b asanya paka sarung, d depannya b k n kayak kantong beg tu, tu b asanya ng s uang, tembakau, atau apa d dalamnya. D dalam s tu ada ters mpan surat suara. Yangsaya mencoba waktu tu pangg l satu-satu orang untuk baru saya pegang tangannya,d a udah mengg g l gemetar. D a b lang, maa pak, n kam orang kec l nggak tahuapaapa. Saya mencoba waktu tu Bapak Uskup Boko juga ada. Dan, k ta maubo kot penentuan pendapat tu. Tetap , kalau m salnya waktu tu k ta pegang senjata,mungk n udah rusuh tu. Tap , karena tu tad , senjatanya sudah d s mpan, k ta udahdatang sebaga masyarakat orang T mor yang ng n member kan suara, seh ngga yak ta hanya melakukan, mencoba untuk menegur sepert tu saja. 33 30Joanico Belo, Dengar Pendapat KKP II, Jakarta, 28 Maret 2007, h. 2.31Menurut telegram tersebut senjata hanya boleh dibagikan untuk operasi khusus.32G0251/SCU-2/No. 4; Danrem 164/WD kepada Dandim 1627-1639 dan yang lainnya. elegram Rahasia No. R/41/1999,28 Januari 1999. Komisi memveri kasi bahwa anggota im Saka dari Baucau yang ditengarai terlibat dalam pembunuhantahun 1998 tidak muncul dalam da tar anggota atau da tar pemegang senjata tahun 1999.33Joanico Belo, Dengar Pendapat KKP II, Jakarta, 28 Maret 2007, h. 10-11

BAB VII : ANALISIS KOMPARATIF ATAS HASIL TELAAHULANG DOKUMEN DAN PENCARI AN FAKTA Keterangan Belo mengenai kantonisasi dapat menjadi contoh langkah preventi yang sahih, akan tetapi kesaksiannya tidak menjelaskan mengapa anggota im Sakadilaporkan masih memegang senjata dan terus melakukan tindak kekerasan padabulan September 1999. Untuk menguji apakah senjata-senjata yang ada dalam da tartersebut telah digunakan untuk melakukan pelanggaran HAM, atau apakah anggota im Saka telah sepenuhnya dilucuti senjatanya dan berada di gudang, Komisimelakukan pencocokan antara dakwaan, keterangan saksi, da tar anggota dan da tarsenjata ini guna memastikan bahwa setidaknya tiga anggota yang terda tar sebagaipemegang SP-II, dan seorang wakil komandan yang diberikan G-3 dalam da tar ini,telah didakwa melakukan Kejahatan erhadap Kemanusiaan, termasuk pembunuhan,yang dilakukan dengan persenjataan modern pada tahun 1999. Proses ini sekali lagimenunjukkan betapa kesaksian yang diberikan oleh beberapa saksi pada DengarPendapat terbuka tidak lengkap dan perlunya untuk mengumpulkan bukti darisumber-sumber lain guna menguji dan memveri kasi keterangan semacam ini.Menurut dakwaan distrik Baucau yang diajukan SCU, Wakil Komandan imSaka, yang namanya disebut dalam da tar senjata ini, juga merupakan anggota NI. Dakwaan ini menuduhkan bahwa ia secara langsung ditengarai terlibat dalampenyiksaan lima orang pada tanggal 27 Mei 1999. Para korban penyiksaan tersebuttampaknya telah dipilih karena mereka merupakan pendukung pro-kemerdekaan. 34 Pada tanggal 10 September 1999, dakwaan menyebuutkan bahwa dua anggota im Saka yang diberi senjata dalam da tar ini dan seorang anggota NI lainnyameminta dilakukan pertemuan dengan para anggota im Saka dan Rajawali gunamerencanakan sebuah operasi untuk menangkap semua anggota im Saka yangtidak datang melapor untuk tugas, serta membawa mereka ke imor Barat. Dakwaantersebut menyatakan Wakil Komandan im Saka mengatakan kepada kelompok dimaksud bahwa mereka ada izin dari Joanico Belo untuk menghancurkan semuatoko dan rumah di Quelicai dan membunuh siapapun yang melawan mereka. 35 entunya kekuatan sebuah dakwaan akan bergantung pada bukti yang mendasarinya.Komisi telah memeriksa semua bukti pendukung dakwaan dalam berkas-berkas SCUguna menentukan apakah terdapat keterangan saksi yang dapat dipercaya bahwa imSaka beroperasi dengan cara tersebut, khususnya dengan membawa senjata. Salahseorang saksi menyatakan: Tanggal September , saya sedang menjaga anak saya yang sak t, ket ka sayamendengar suara memangg l saya dan mem nta saya keluar rumah. Saya keluar dansaya mel hat [d hapus] dan [d hapus] 36 dan mengenal salah satu anggota T m Saka,semuanya berseragam m l ter dan dengan senjata laras panjang, mengel l ng rumahsaya. Leb h jauh, a member tahu saya untuk meng z nkan mereka menggunakantruk saya untuk transportas . Anggota SAKA dan

keluarga mereka dar [d hapus],dan mengancam untuk membunuh saya, membakar rumah saya, dan truk saya kalausaya t dak kut per ntah. Saya menyet r truk saya, membawa mereka ke kompleksmereka dan kemud an k ta semua berangkat konvo dengan empat truk m l terla nnya dan satu Super K jang b ru [...] 37 34Prosecutor General o East imor vs. Hutadjulu, h. 11.35Prosecutor vs. Hutadjulu, h. 13.36Dari dua nama yang dihapus, salah satu diketahui sebagai anggota NI, dan yang lainnya adalah anggota im Saka yang adadalam da tar sebagai pemegang senjata SP-II.37Saksi DSCU, Kasus #BA-34-00, h.1.

0 PER MEMORIAM AD SPEM [On 9 September 1999, I was attending to my sick son, when suddenly I heard a loud voice calling me and demanding that I get out o my house. I went out and noticed [REDACTED] and [REDACTED] and about one team o Team Saka members, all inmilitary uni orm and with long frearms, surrounded my house. Further, he told me to allow them to use my truck or transport. SAKA members and their amilies rom [LOCATIONREDACTED], and threatened to kill me, burn my house, and truck i I did not ollow orders. I drove my truck, brought them to their compound and later we all went down inconvoy with our other military trucks and one blue Super Kijang [] ] Keterangan saksi ini diperkuat oleh seorang pemilik toko tetangga yang melihatdan mendengar kelompok tentara yang sama menghampiri saksi. oko tetangga inidijarah oleh kelompok im Saka dan anggota NI yang sama, juga diperkuat olehpengemudi dalam pernyataan di atas karena mereka menggunakan truknya untuk melakukan perbuatan tersebut. 38 Dalam peristiwa lain, anggota im Saka yang tercantum dalam da tar senjata inidilaporkan telah secara paksa memindahkan seorang mantan anggota im Sakadan keluarganya menggunakan kapal ke imor Barat. Dalam operasi ini yangdilakasanakan bersama seorang anggota NI, para anggota im Saka dilaporkanmenembakkan senjata mereka ke arah penduduk sipil dan rumah-rumah mereka,membunuh ternak, membakar dan menjarah rumahrumah. 39 Dalam sebuah kejadian lainnya pada hari yang sama pada bulan September, seoranganggota im Saka yang menurut da tar senjata ini menerima senjata, dilaporkanmendatangi seorang laki-laki dan menuduhnya sebagai pendukung Falintil.Kemudian anggota im Saka ini menodongkan senjatanya ke orang tersebut danmelepaskan tembakan dua kali. Orang itu meninggal akibat tembakan senjatatersebut. Menurut dakwaan, insiden ini telah dilaporkan melalui jalur-jalur komandooperasi secara ketat melalui radio. Insiden ini pertama kali dilaporkan oleh WakilKomandan im Saka (yang juga ada dalam da tar senjata ini) kepada seorang anggota NI. Kemudian komandan yang sama menghubungi Belo memberitahu mengenaiinsiden ini. Jenazah korban dilaporkan dibiarkan berada di desa tersebut untuk dikubur oleh warga setempat.

40 Penting untuk dicatat bahwa rangkaian tindak kekerasan ini menurut laporandilakukan dengan senjata, disertai kehadiran prajurit NI atau di bawah kewenangananggota NI sebagaimana terlihat dalam rapat-rapat perencanaan dan laporan-laporan radio. Walaupun kesaksian Belo mengakui bahwa ada tindak kekerasan yangdilakukan di Baucau yang melibatkan anggota NI dan/atau milisi yang dilaporkantelah dihadang, ia menyatakan hal ini bukan merupakan tindakan yang dilaksanakanatas perintah, melainkan merupakan kejadian insidental, dan mungkin terjadi karenapro esionalisme individu terkait yang rendah. 41 Memang benar bahwa di wilayah 38Saksi E-SCU, Kasus #BA-34-00, h.1.39Prosecutor vs. Hutadjulu, h.13.40Ibid.41Joanico Belo, Dengar Pendapat KKP II, Jakarta, 28 Maret 2007, p. 4. Kemudian, kasus yang satu lagi yang terjadi di, padasaat evakuasi atau anggota Saka dan anggota Koramil (Komando Rayon Militer) Quelicai untuk membawa keluarganya untuk berangkat ke pelabuhan dihadang di satu dusun namanya Kotaesi Desa Aba ala, Kecamatan Quelicai. Dan, memang pada saatpenghadangan tuh karena mereka tidak pro esional, mereka yang kena. Dan, ditemukan granat, sama peluru, terus kena adabeberapa orang, senjatanya dibawa kabur.

BAB VIII : TEMUAN DAN KESIMPULAN dalam menetapkan rincian konteks umum dimana kekerasan terjadi dan pola-polakegiatan lebih luas. Pada sisi lain, berkas perkara SCU mengandung sangat banyak bukti yang seharusnya dapat digunakan dalam menetapkan konteks dan polakekerasan tahun 1999. Akan tetapi para Jaksa dan Hakim tidak mengembangkanataupun menganalisis bukti tersebut dalam sebagian besar kasus kejahatan terhadapkemanusiaan di hadapan Panel Khusus, melainkan hanya bersandar pada berbagailaporan HAM yang diajukan sebagai bukti. Akan tetapi, dua Laporan Penasihat Ahlikepada Komisi telah menganalisis bukti tersebut dan menyediakannya kepada Komisiuntuk digunakan dalam analisisnya guna mencapai temuan dan kesimpulan pada babini dan Bab 7.Di sisi lain, laporan KPP HAM dan CAVR memberi gambaran umum kekerasandan mengembangkan suatu pena siran institusional mengenai penyebab dan pihak yang bertanggung jawab. Hal ini sejalan dengan interpretasi mandat mereka. ParaHakim dan Jaksa pada Panel Khusus untuk Kejahatan Berat, Unit Kejahatan Berat,Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta berjalanberbeda. Mereka mena sirkan mandat masing-masing dengan mempertimbangkanakuntabilitas individu, bukan institusi. Namun akibatnya, mereka cenderungmengabaikan konteks umum kekerasan dan ber okus secara sempit pada peranindividu tertentu dalam kejadian tertentu serta kasus tertentu. Guna mengatasikekurangan ini, kedua Laporan Penasihat Ahli kepada Komisi, serta Bab 5 di atas,menelaah temuan dan bukti spesi k terkait persoalan aktual yang dapat membentuk dasar bagi temuan dan kesimpulan mengenai tanggung jawab kelembagaan.Setelah menjelaskan tentang cakupan dan batasan proses yang menghasilkan keempatkumpulan dokumen yang dibahas dalam elaah Ulang Dokumen, Komisi kini akanmembahas temuan dan kesimpulan mengenai substansi masing-masing dokumen.

P e l a n g g a r a n H A M B e r a t Keempat kumpulan dokumen yang ditelaah menemukan bahwa pelanggaran HAMberat terjadi di imor imur pada tahun 1999. KPP HAM menemukan adanyapola-pola tertentu dalam berbagai kejadian pelanggaran yang diselidiki. Pola-polaini terkait dengan identitas para pelaku dan korban, metode dukungan sistematisdan bagaimana tindak kejahatan tersebut dilakukan, cakupan geogra s dan rentang waktu yang luas, serta jumlah korban. Atas dasar ini dan setelah memeriksa 16kasus prioritas, lebih dari 1000 dokumen, bukti orensik, dan kesaksian 130 saksi,KPP HAM berkesimpulan bahwa pelanggaran HAM berat dalam bentuk kejahatanterhadap kemanusiaan terjadi di imor imur pada tahun 1999. Pelanggaran-pelanggaran tersebut mencakup pembunuhan, penyiksaan, pemindahan paksa,kekerasan seksual, penindasan, dan penghilangan kemerdekaan berat.Ke-12 BAP Kejaksaan Agung Republik Indonesia juga menemukan bahwapelanggaran HAM berat terjadi di imor imur pada tahun 1999. Dan memang, halini menjadi dasar bagi penuntutan pidana untuk kejahatan terhadap kemanusiaanyang bukti-buktinya telah disusun dalam BAP. Kesimpulan-kesimpulan tersebutdicapai dengan didasari penyidikan luas yang menghasilkan rumusan dakwaan.Kejahatan yang dituduhkan mencakup pembunuhan dan penyiksaan. Kesimpulan-kesimpulan ini dikuatkan dalam putusan Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta. erdapatbeberapa perbedaan signi kan antara kasus-kasus tersebut dalam hal pihak manayang harus dikenakan tanggung jawab atas berbagai pelanggaran tersebut.

PER MEMORIAM AD SPEM Laporan Akhir CAVR menyimpulkan bahwa pelanggaran HAM berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan,penghilangan paksa, pemindahan paksa, dan penghilangan kemerdekaan berat terjadidi imor imur tahun 1999. Kesimpulan Laporan CAVR didasarkan pada banyak keterangan saksi, laporan ahli, pro l komunitas, analisis statistik, dan metode-metode lainnya.Panel Khusus untuk Kejahatan Berat menyidangkan 21 kasus kejahatan terhadapkemanusiaan dan menghasilkan putusan bersalah dalam hampir seluruh kasus.Kejahatan-kejahatan ini mencakup pembunuhan, penyiksaan, penindasan,penghilangan kemerdekaan berat, dan perlakuan tidak manusiawi. Selain itu, SCUmengeluarkan ratusan dakwaan kejahatan terhadap kemanusiaan dan memeriksalebih banyak lagi kasus serupa yang tidak diteruskan sampai tahap dakwaan. Hal inikarena PBB menutup pengadilan sebelum investigasi dapat dituntaskan. Dakwaan-dakwaan tersebut merupakan hasil penyidikan pro esional yang dilakukan denganbersandar pada bukti dokumenter, orensik dan kesaksian. Bukti-bukti tersebutdiajukan ke Pengadilan dalam sejumlah besar persidangan dan ditemukan cukup kuatuntuk membuktikan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan telah dilakukan. Sebagai kesimpulan, bukti dari seluruh kumpulan dokumen yang diperiksa dalamTelaah Ulang Dokumen secara konklusi mendukung temuan bahwa pelanggaranHAM berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan telah dilakukandi Timor Timur pada tahun 1999. Dasar bukti bagi kesimpulan di atas adalahsangat kuat dari segi konsistensi, cakupan dan kedalaman. Bukti ini sebagian besarber okus pada pelanggaran yang dilakukan, atau dituduh dilakukan, terhadappenduduk sipil pendukung kemerdekaan, sebagian besar oleh pelaku milisi,namun dalam beberapa kasus juga oleh anggota TNI dan/atau Polri, baik sebagaipelaku atau pelaku bersama. Selain itu, baik CAVR, SCU maupun SPSC telahmendokumentasi beberapa kasus yang

melibatkan pelanggaran HAM berat yangdilakukan, atau dituduh dilakukan, oleh kelompok atau individu pro-kemerdekaanterhadap pendukung pro-otonomi.Empat investigasi serius dan luas, termasuk yang dilakukan oleh penyidik pro esional pada Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Unit Kejahatan Berat,mencapai kesimpulan yang sama. Atas dasar Telaah Ulang Dokumen, analisisKomisi terhadap atas kumpulan bukti yang luas ini juga mendukung kesimpulanbahwa pelanggaran HAM berat dalam bentuk pembunuhan, penyiksaan,penghilangan kemerdekaan berat, pemindahan paksa/deportasi, penindasan, dankekerasan seksual terjadi pada tahun 1999 di Timor Timur. Berdasarkan TelaahUlang Dokumen Komisi berkesimpulan temuan keempat kumpulan dokumenbahwa pelanggaran HAM berat telah terjadi di Timor Timur pada tahun 1999telah didukung oleh bukti yang sangat substansial dan konklusi . T a n g g u n g J a w a b K e l e m b a g a a n Persidangan pidana sebagaimana Pengadilan HAM Ad Hoc atau Panel Khusus,ber okus pada tanggung jawab individual atas kejahatan-kejahatan tertentu. Dalamkasus-kasus seperti ini, temuan tanggung jawab kelembagaan harus diperoleh daribukti yang tidak hanya terkait dengan individu-individu dimaksud, namun jugadari hubungan mereka dengan berbagai institusi. Di sisi lain, komisi penyelidik

BAB VIII : TEMUAN DAN KESIMPULAN KPP HAM, memiliki mandat yang lebih longgar. Oleh karena itu, berdasarkanpemeriksaannya terhadap individu-individu tingkat atas tertentu, KPP HAMmem okuskan analisisnya pada keterlibatan aktor negara atas kejahatan-kejahatanyang dilakukan. Hal ini tampaknya didasarkan pada pandangan bahwa pelanggaranHAM berat menjadi tanggung jawab negara dan institusinya. 4 Untuk itu KPP HAMsecara komprehensi memeriksa peran aktor sipil dan militer terkait dengan institusi-institusi Indonesia dalam berbagai peristiwa kekerasan tahun 1999. Atas dasarpemeriksaan ini, KPP HAM menemukan adanya suatu pola perilaku kelembagaanyang ditujukan untuk memenangkan Jajak Pendapat dan mempertahankan imor imur sebagai bagian dari Indonesia.Laporan KPP HAM menemukan bahwa kekerasan dilakukan secara sistematisdalam cara yang menunjukkan adanya suatu kebijakan negara secara implisit. Pokok utama mereka di sini adalah bahwa pelanggaran HAM berat yang dilakukan dalamproses kekerasan dimaksud terjadi sebagai akibat pola perilaku yang sistematis,ketimbang tindakantindakan spontan. Mereka mendokumentasikan si at sistematisini melalui analisis bukti mengenai pola dan hubungan antara NI dan milisi pro-integrasi. Dengan demikian, dalam mencapai kesimpulannya mengenai tanggung jawab kelembagaan, KPP HAM bersandar pada si at sistematis kekerasan danpola-pola kerja sama terkait antara militer dan milisi dalam menjalankan operasilapangan. Laporan KPP HAM menyimpulkan bahwa NI terlibat dalam pelatihan,pengorganisasian, perekrutan, dan pengarahan operasional milisi. 5 Selain itu, merekamenemukan bahwa bukti-bukti menunjukkan sebagian besar korban menjadi sasarankarena identitas politik mereka.Dari sudut pandang tersebut tampak bahwa bagi mandat Komisi Kebenaran danPersahabatan, temuan KPP HAM mengenai si at meluas dan sistematis kekerasan,pola bagaimana kekerasan dilakukan, dan tanggung jawab institusi negara adalahyang paling relevan dan penting. Memang kekuatan utama Laporan KPP HAMadalah pada dokumentasi bahwa pelanggaran HAM berat terjadi dan bahwa institusi-institusi negara telah

terlibat pada tingkat yang cukup untuk menengarai adanyatanggung jawab kelembagaan.Walaupun BAP merupakan produk penyidikan yang didasarkan pada tanggung jawabindividual, ke-12 kasus juga mengandung segi tanggung jawab kelembagaan karenakasuskasus tersebut berupaya menetapkan tanggung jawab para komandan danpejabat sipil melalui teori tanggung jawab komando. Mengingat strategi penuntutandalam semua kasus tersebut adalah memperoleh temuan bersalah atas dasartanggung jawab komando ketimbang bentuk perbuatan individual langsung atautidak langsung, bukti yang berhasil dikumpulkan memiliki potensi implikasi bagiketerlibatan kelembagaan melalui kegagalan untuk mencegah atau menghukum. Akan tetapi, BAP tidak secara langsung menganalisis atau mencapai kesimpulanmengenai keterlibatan kelembagaan, namun lebih pada peran individu-individutertentu. Khusus dalam kasus komandan yang lebih senior (Adam Damiri, onoSuratman, dan Noer Muis) bukti tanggung jawab komando menengarai adanya 4Laporan KPP HAM im im, h. 575Laporan kepada KKP, Bagian I, Sub-bagian IIIa-IIId.

0 PER MEMORIAM AD SPEM tanggung jawab kelembagaan oleh karena kegagalan mencegah kejahatan terhadapkemanusiaan, sebagaimana yang dituduhkan dalam BAP yang menengarai adanyakegagalan institusional. Akan tetapi perlu dicatat bahwa BAP juga mengandung buktisubstansial yang menunjukkan adanya hubungan pada tingkat operasional antarapelaku lapangan dan pejabat militer serta sipil. Bukti menunjukkan bahwa setidaknyapada tingkat lokal terdapat dukungan kelembagaan cukup besar bagi milisi pro-integrasi yang menjadi pelaku utama kejahatan terhadap kemanusiaan. Selain itu,BAP tersebut juga mengandung bukti cukup substansial yang menunjukkan adanyaketerlibatan langsung NI, dan kemungkinan Polri, dalam perbuatan kejahatantersebut dalam bentuk perbuatan bersama dengan kelompok-kelompok milisi. Semuabukti semacam ini dalam BAP dapat mendukung temuan tentang tanggung jawabkelembagaan.Berkenaan dengan alasan-alasan sebagaimana dipaparkan pada Bab 5, Putusan-putusan Pengadilan HAM Ad Hoc memberi gambaran berbeda, yang seringkalisaling bertentangan, mengenai apa yang terjadi di imor imur pada bulan April danSeptember 1999. Walaupun semua Majelis Hakim menemukan bahwa pelanggaranHAM berat telah terjadi, Majelis-Majelis Hakim Ad Hoc yang berbeda mencapaikesimpulan yang tidak sama terkait pertanyaan penting apakah kelompok-kelompok bersenjata pro-integrasi telah dibantu atau didukung oleh individuindividu dariTNI, Polri, Milisi dan Pemerintahan Sipil. Karenanya kesimpulan-kesimpulantersebut juga berbeda mengenai implikasi tanggung jawab kelembagaan. iga dariputusan tersebut membuat temuan yang mendukung adanya tanggung jawabkelembagaan militer Indonesia atas kejahatan-kejahatan sebagaimana didakwakan,sementara sembilan putusan lainnya tidak. Dari sudut pandang ini, secara umumpersidangan di hadapan Pengadilan Ad Hoc tidak dapat dikatakan telah membuatkontribusi berarti dalam menetapkan kebenaran tentang tanggung jawab kelembagaanatas kejahatan terhadap kemanusiaan yang mereka temukan telah dilakukan di imor imur pada tahun 1999.Sebagaimana dicatat di atas, kesimpulan-kesimpulan Laporan CAVR mengenaipelanggaran HAM berat bersandar pada analisis bukti luas yang didukung olehanalisis kuantitati mengenai cakupan geogra s, rentang waktu, dan demogra s

darikekerasan. Kesimpulan bahwa berbagai kategori pelanggaran HAM berat terjaditerdokumentasi secara sangat substansial. CAVR juga menggunakan dokumentasiluas ini untuk mendukung kesimpulannya mengenai tanggung jawab kelembagaankelompok-kelompok milisi pro-integrasi, dimana bobot bukti yang ada sangat kuat.CAVR juga mencapai kesimpulan bahwa terdapat tanggung jawab kelembagaanIndonesia, dan kesimpulan ini di okuskan hampir seluruhnya pada NI dankhususnya anggota-anggota tertentu dalam kepemimpinan tingkat seniornya. Untuk mencapai kesimpulan tentang tanggung jawab kelembagaan Indonesia, temuanCAVR pada umumnya didasarkan pada Submisi dari Kantor Komisi inggi HAMPBB (OHCHR), berjudul East imor 1999: Crimes Against Humanity, (yangumum dikenal sebagai Laporan Robinson) serta dakwaan SCU. KetergantunganCAVR pada sumber-sumber ini dianalisis pada Bab 5. erkait dakwaan SCU, pentingdiketahui bahwa dakwaan merupakan tuduhan yang akan berusaha dibuktikanoleh Jaksa pada sidang pengadilan, dan bukan merupakan bukti yang mendasaripembuktian. Bukti-bukti tersebut terdapat dalam berkas-berkas perkara SCU, yangakan dibahas kemudian. Sementara itu walaupun CAVR telah membahas sejumlahkasus dugaan pelanggaran oleh kelompok-kelompok pro-kemerdekaan, CAVR tidak

BAB VIII : TEMUAN DAN KESIMPULAN mencapai kesimpulan mengenai apakah buktinya telah cukup untuk menentukanapakah kelompok dimaksud memikul tanggung jawab kelembagaan atas kejahatantersebut.Dalam dakwaannya terhadap personil militer Indonesia, khususnya mereka yangberpangkat tinggi, SCU melakukan penyelidikan terkait kekerasan tahun 1999yang secara jelas memperhitungkan tanggung jawab kelembagaan. Dengan katalain, kendatipun penuntutannya diarahkan terhadap perorangan, dalam menyusunberkas-berkas penyidikan dan dakwaan terhadap NI, SCU bermaksud menetapkanbahwa terdapat dukungan serta arahan kelembagaan yang berkesinambungan dansistematis dalam kekerasan terhadap warga sipil pro-kemerdekaan. Mereka juga jelas bermaksud untuk menetapkan bahwa dukungan tersebut mencapai tingkatkepemimpinan militer tertinggi. Berkas yang disebut Wiranto Case File yangmendukung dakwaan perwira tinggi militer Indonesia mengandung sangat banyak bukti untuk mendukung pendapat ini. erdapat bukti kredibel dalam jilid dokumentersebut yang menunjukkan bahwa NI telah menyediakan senjata kepada milisiserta pemimpin-pemimpin pro-otonomi dan kemudian dapat menariknya kembalikapan saja. Hal ini menunjukkan adanya dukungan materiil dan kendali. Bukti jugasecara kuat menengarai bahwa NI mendukung milisi dalam berbagai cara, termasuk perekrutan, pelatihan, pendanaan, pemberian asilitas dan dukungan moral. Lebihlanjut bukti mengkon rmasi adanya perilaku milisi yang sistematis dan konsisten.Pernyataan-pernyataan tersebut juga mengkon rmasi bukti lain bahwa pemerintahsipil menggunakan anggaran negara yang telah dialokasikan untuk pembangunandalam mendanai milisi, sekalipun setelah Kesepakatan 5 Mei dan setelah pemerintahmengetahui kelompok-kelompok milisi tersebut telah atau sedang melakukanpelanggaran HAM. Berkas tersebut juga mengumpulkan bukti yang menengaraibahwa NI, Polri, pejabat pemerintah sipil dan milisi telah bekerja sama erat,baik secara langsung dalam melakukan pelanggaran HAM, dan terkadang denganmendukung atau mendorong mereka.Karena Jaksa Penuntut Umum ber okus pada teori tanggung jawab

komando dalammenyusun dakwaan terhadap anggota militer senior, mereka juga mengumpulkanbukti bahwa terdapat hubungan atasan-bawahan antara NI dan milisi. Bukti sepertiini, tentunya sangat relevan bagi temuan tanggung jawab institusional. Akhirnya,bukti juga secara konklusi memperkuat bahwa NI, Polri dan pejabat sipil di imor imur gagal mencegah pelanggaran HAM berat di seluruh imor imur dimanamereka memiliki pengetahuan yang memadai mengenai perbuatan kejahatan-kejahatan tersebut dan wewenang serta kemampuan materiil untuk mencegahnya.Selain bukti mengenai tanggung jawab kelembagaan NI, terdapat juga beberaparujukan dalam Wiranto Case File dan pernyataan-pernyataan kasus lainnya yangmendukung tuduhan bahwa Falintil telah melakukan penahanan ilegal selama tahun1999 terhadap orang-orang yang diidenti kasi dengan kelompok pro-otonomi. Akan tetapi, bukti ini tidak dikembangkan secara sistematis agar dapat mencapaikesimpulan mengenai tanggung jawab kelembagaan.Dibandingkan sumber lain, berkas-berkas SCU memiliki bukti dalam jumlah jauhlebih besar mengenai kekerasan tahun 1999 di imor imur. Seperti dicatat diatas, analisis atas bukti ini secara meyakinkan menunjukkan bahwa pelanggaranHAM berat dalam bentuk pembunuhan, kekerasan seksual, pemindahan paksa

PER MEMORIAM AD SPEM dan deportasi, penghilangan kemerdekaan berat dan penindasan, serta kejahatanlainnya, terjadi di imor imur pada tahun 1999. Bukti secara meyakinkan jugamenunjukkan bahwa milisi pro-integrasi menjadi pelaku utama kejahatan tersebutdan dari cara yang konsisten, terpola dan sistematis, ditemukan terdapat tanggung jawab kelembagaan atas kejahatan-kejahatan tersebut. Bukti juga mendukung temuanSCU bahwa anggota NI dan pejabat sipil telah bekerja sama dengan, dan memberidukungan kepada milisi dalam berbagai cara yang signi kan. Pola kerja sama antaramilisi dan NI terdokumentasi paling baik pada tingkat operasional dimana kegiatankerja sama antara milisi, kelompok pertahanan sipil, dan satuan-satuan lokal NIterus berlangsung, yang keanggotaannya sering tumpang tindih. Pola-pola kerjasama dimaksud terkadang melibatkan perencanaan dan perbuatan bersama dalamoperasi, atau penyediaan dukungan materiil dalam berbagai bentuk. Bukti seringmenunjukkan bagaimana pada tingkat operasional lembaga-lembaga ini bertindak bersama, mengikuti tujuan bersama, dan sering di bawah arahan pejabat Indonesia.Bukti juga menunjukkan bagaimana operasi milisi tersebut mengikuti berbagaipola operasional, seperti tindakan yang dilakukan oleh milisi pro-otonomi tanpaketerlibatan NI; operasi atas prakarsa atau perintah perwira Indonesia, dan; operasibersama anggota NI, atau khususnya anggota Kopassus, dengan anggota milisi.Dalam banyak kasus terlihat bagaimana anggota milisi juga menjadi anggota NI,yang kadang membuat kedua institusi tersebut tidak dapat dibedakan pada tingkatoperasional. Bukti seperti ini mendukung kesimpulan SCU mengenai tanggung jawab kelembagaan otoritas NI dan sipil atas kejahatan terhadap kemanusiaan.Seperti disebut di atas, kejahatan-kejahatan yang dilakukan kelompok-kelompok pro-kemerdekaan tidak diselidiki secara sistematis oleh SCU. SCU mengumpulkancukup bukti untuk menengarai adanya tanggung jawab kelembagaan kelompok pro-kemerdekaan atas penghilangan kemerdekaan yang berat dalam bentuk penahananilegal. Namun, bukti yang ada tidak cukup kuat mendukung kesimpulan semacamini untuk kejahatan-

kejahatan lain.Rangkuman kesimpulan-kesimpulan yang dicapai dalam elaah Ulang Dokumen,pokok pertama yang perlu dinyatakan adalah bahwa bukti secara meyakinkanmendukung kesimpulan bahwa pelanggaran HAM berat dalam bentuk kejahatanterhadap kemanusiaan terjadi di imor imur tahun 1999. Mengikuti kerangkakonseptual yang dijabarkan dalam Bab 3 dan 5 di atas, unsur-unsur yang diperlukanuntuk mencapai kesimpulan semacam ini mencakup temuan bahwa kekerasan padatahun 1999 terjadi secara meluas dan sistematis, dan menargetkan penduduk sipil imor imur. Dari kesimpulan inilah diketahui bahwa kekerasan tidak terjadi secaraacak, sporadis, atau spontan. Sebaliknya, semua dokumen menyimpulkan bahwasejumlah kecil pelanggaran HAM berat dilakukan secara terorganisasi oleh milisipro-integrasi yang secara sistematis menargetkan orang-orang yang dipandang sebagaipendukung kemerdekaan. Beberapa dokumen juga menemukan bahwa sejumlahkecil pelanggaran HAM berat terjadi ketika kelompokkelompok pro-kemerdekaanmenargetkan pendukung pro-otonomi. Dokumen-dokumen ini menengaraiadanya kejahatan tertentu yang dilakukan secara terpola dan terkoordinasi, sepertipenghilangan kemerdekaan secara ilegal oleh orang-orang yang bera liasi dengankelompok pro-kemerdekaan.

BAB IX : PELAJARAN YANG DAPAT DIAMBIL DAN REKOMENDASI Dalam mengembangkan program-program semacam ini langkah pertama yangharus dijalankan adalah untuk melakukan evaluasi ahli atas program-program yangada dan mengidenti kasi kebutuhan-kebutuhan para survivor yang masih belumterpenuhi secara memadai dan untuk membuat rekomendasi bagaimana program-program seperti ini dapat diperkuat. Kemungkinan bidang-bidang yang masihbutuh penguatan adalah yang sangat terspesialiasi yang membutuhkan bantuan ahliinternasional dalam psikologi klinis dan psikiatri yang bekerja di pusat-pusat yangdikhususkan untuk korban penyiksaan, kekerasan seksual sistematis, dan kekejamanmasal. Bantuan mereka akan dibutuhkan untuk menjamin bahwa program-programyang e ekti dikembangkan dan untuk menghindari bahaya trauma ulang oleh tenagayang kurang terlatih. Program-program semacam ini harus mencakup setidaknyatiga komponen dan memberi perhatian khusus pada kebiasaan adat dan keagamaansetempat yang terkait dengan penyembuhan dan rekonsiliasi.1) Lokakarya bagi pejabat publik yang menekankan pentingnya memberiperlindungan dan penyembuhan bagi mereka yang masih mengalami trauma ataukondisi psikologis tertentu akibat kekerasan atau kon ik.2) Program-program terapi bagi korban yang terkena dampak kekerasan, dankhususnya lokakarya khusus bagi para individu yang telah mengalami kekerasanseksual dan penyiksaan.3) Pelatihan pro esional bagi pekerja sektor kesehatan, pekerja sosial dan pekerjapro esional pelayanan kesehatan lainnya dalam penyembahan trauma, khususnyabagi korban kekerasan seksual dan/atau penyiksaan.Walaupun korban pelanggaran HAM tidak pernah melupakan masa lalu,penyembuhan trauma membeaskan mereka untuk dapat melangkah keluar darimasa lalu dan masuk kembali ke masyarakat dengan martabat yang sudah pulih danmulai menjalin hubunganhubungan baru. Penyembuhan luka-luka masa lalu inimerupakan sesuatu yang esensial untuk bergerak maju menuju rekonsiliasi. Lingkupyang luas dari berbagai program dan komunitas, termasuk komunitas keagamaan,yang membangun jembatan dan menjalin hubungan baru di

antara warga masyarakatyang sebelumnya terpinggirkan merupakan hal sentral untuk merekonsiliasi rakyatdan bangsa. Hal ini mencakup program-program pertukaran budaya, program-program bantuan dan pelayanan yang saling menguntungkan. 4) Persoalan Ekonomi dan Aset Untuk meningkatkan persahabatan dan rekonsiliasi, dan memenuhi kebutuhanpihak-pihak yang terkena dampak kekerasan Komisi sangat merekomendasikankedua pemerintah untuk mempercepat penyelesaian persoalan ekonomi dan asetyang kompleks sebagai akibat kon ik tahun 1999. Hal-hal ini mencakup klari kasimengenai status aset-aset publik/pemerintah dan pribadi/swasta, dan menyelesaikanpersoalan pensiun bagi para mantan pegawai negeri sipil dan persoalan-persoalanterkait lainnya. Komisi merekomendasikan agar persoalan-persoalan ini dirujuk ke komisi bilateral yang sudah ada dan agar kedua pemerintah meningkatkan danmendorong kerja sama dalam bidang ekonomi yang dapat memberi sumbanganuntuk kerja sama dan persahabatan jangka panjang. Kedua pemerintah karus

PER MEMORIAM AD SPEM mempertimbangkan perspekti kemanusiaan dalam menyelesaikan persoalanaset. Dengan tetap mengingat peran komisi bilateral tersebut, Komisi tetapmerekomendasikan agar kedua pemerintah masing-masing mengambil tanggung jawab untuk menyelesaikan persoalan klaim aset-aset yang diajukan masing-masing warga negaranya sebagai prioritas. 5) Komisi untuk Orang-orang Hilang Komisi memandang bahwa bagi untuk menghormati mereka yang telah menderitaatau terkena dampak pelanggaran HAM tahun 1999 dan sebelumnya, termasuk mereka yang pernah ditahan, dibunuh atau hilang, perlu program-program yang layak bagi keluarga-keluarga mereka. Implementasi program-program ini dapat dilakukansecara bersamaan oleh masing-masing negara.Komisi merekomendasikan agar: Pemerintah Indonesia dan imor-Leste bekerja sama untuk mendapatkan in ormasimengenai bagi orang-orang yang hilang dan bekerja sama untuk mengumpulkandata dan memberi in ormasi.Komisi tersebut tersebut di atas juga ditugaskan untuk mengidenti kasi mengenaikeberadaan semua anak-anak imor-Leste yang terpisah dari orang tuanya dan untuk memberi tahu keluarga mereka. Komisi juga merekomendasikan untuk meneruskanprogram-program yang sebelumnya dilakukan untuk menjamin perlindungan hak anak-anak yang dipindahkan, terutama bagi mereka yang kasus-kasusnya belumdiselesaikan dan mereka yang masih berada di bawah penyeliaan orang-orangIndonesia, termasuk hak anakanak tersebut untuk secara bebas mengakses prosedur-prosedur mendapatkan identitas dan kewarganegaraan. Prioritas perlu diberikanuntuk program-program pendidikan dan bea siswa untuk anak-anak yang pernahmenjadi korban kekerasan. JANGKA PANJANG DAN ASPIRATIF Komisi merekomendasikan hal-hal berikut untuk dijalankan sebagai bagian daristrategi jangka panjang oleh kedua negara untuk membangung rekonsiliasi danpersahabatan. Program-program yang memerhatikan hal-hal ini menjadi pelengkapbagi serangkaian tindakan yang diambil menanggapi rekomendasi konkrit dan urgendi atas. Mendorong pertukaran kebudayaan dan pendidikan termasuk kegiatan perbatasan,bea siswa dan pertukaran guru dan akademisi di semua tingkatan (tingkat dasarsampai tersier). Pertukaran semacam ini harus mencakup programprogram untuk pengajaran Bahasa Indonesia di dalam kurikulum sekolah-sekolah di imorLestedari tingkat dasar. Mendorong kerja sama dan dukungan di sektor kesehatan, termasuk

programpendidikan bagi pekerja medis, penelitian dan pengkajian kesehatan masyarakat,dan penyediaan asilitas kesehatan dan pelayanan bersama, serta saling menerimarujukan antar rumah sakit.

BAB IX : PELAJARAN YANG DAPAT DIAMBIL DAN REKOMENDASI Mendorong budaya kesadaran hukum dan HAM yang lebih luas di antarapenduduk secara umum, termasuk bahan-bahan HAM dalam kurikulumpendidikan umum kedua negara. Inisiati terkait tujuan-tujuan ini dapatmencakup peningkatan implementasi hak-hak yang telah siap untuk diterapkan,seperti hak-hak dalam kovenan, konvensi dan traktat HAM internasional, (antaralain, Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR),Kovenan Internasional mengenai Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESC),Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadapPerempuan (CEDAW), raktat Roma dan Pengadilan Pidana Internasional (ICC)). Melanjutkan kerja sama bilateral untuk menghormati dan memelihara jasadmereka yang gugur di masing-masing negara, termasuk makam anggota militerIndonesia yang gugur di imor-Leste. Kedua negara harus berupaya untuk mem asilitasi pengembalian jasad ke negara asal, dan untuk bekerja sama melaluiprogram-program kunjungan keluarga bagi mereka yang hendak berziarah kemakam orang-orang yang dicintai yang berada di luar negara asal mereka. Mempertimbangkan untuk mengizinkan opsi kewarganegaraan ganda bagi anak-anak yang terlahir dari orang tua yang berbeda kewarganegaraan (misalnya, yangsatu warga negara Indonesia, dan yang lainnya warga negara imor-Leste). 9.2 IMPLEMENTASI REKOMENDASI Komisi mengusulkan sebuah da tar rekomendasi yang komprehensi , yang memilikitujuantujuan konkrit maupun abstrak, mulai dari, misalnya, penyelesaian persoalamaset dan pensiun yang masih tersisa, sampai pada perubahan sikap yang sudah lamadipegang atau sistem kelembagaan yang tidak mengembangkan HAM. Lebarnyacakupan rekomendasi ini mencerminkan kompleksitas tantangan yang dihadapikedua negara yang sedang berupaya meninggalkan masa lalu, dan melihat menujumasa depan yang damai dan sejahtera. Oleh karena itu, Komisi telah mengusulkanserangkaian langkah-langkah yang akan diperlukan untuk mengatasi tantangan-tantangan ini.Sebagai langkah pertama, kedua Presiden perlu membuat pernyataan bersama yangmangajak kedua bangsa untuk mengatasi warisan sejarah kekerasan masa lalu danbekerja bersama untuk mencegah terulangnya kembali kon ik dan untuk pemajuanpersahabatan yang langgeng di masa mendatang. Komisi merekomendasikan agarkedua Presiden secara bersama mengakui tanggung jawab atas kekerasa masa lalu danmengungkapkan permintaan maa kepada rakyat kedua bangsa, khususnya kepadapara korban kekerasan atas penderitaan yang telah mereka alami.Langkah berikutnya yang perlu diambil kedua pemerintah untuk mengimplementasirekomendasi-rekomendasi adalah penyebarluasan laporan ini. Proses penyebarluasanyang diusulkan dirinci berikut ini. 1) Diseminasi Laporan Guna mencapai tujuan-tujuan yang dimandatkan, laporan Komisi harusdisebarluaskan secara e ekti kepada rakyat kedua negara. Oleh karena itu, publikasi,

PER MEMORIAM AD SPEM diseminasi, promosi dan diskusi laporan Komisi merupakan langkah pertama danyang paling penting bagi pencapaian rekonsiliasi, dan pencegahan pelanggaran HAM.Laporan ini telah membuat temuan yang menetapkan bahwa 1) Pelanggaran HAMberat telah terjadi di imor imur tahun 1999, dan 2) Institusi-institusi bertanggung jawab untuk tindakan-tindakan ini. Adalah penting bahwa pengakuan terhadap akta- akta ini dikomunikasikan kepada pihakpihak dalam kon ik, khususnya parakorban, sesegera mungkin, sehingga tindakan pengakuan ini dapat segera masuk kedalam proses penyembuhan baik di tingkat negara maupun di tingkat individual.Lebih lanjut, para pemangku kepentingan akan berada dalam posisi lebih baik untuk mendukung dan berpartisipasi dalam implementasi rekomendasi-rekomendasi ini jika mereka diin ormasikan segera.Proses diseminasi Laporan ini dijabarkan sebagai berikut: Komisi akan menyampaikan Laporan Akhirnya kepada para Presiden kedua negarapemberi mandat. Demi implementasi yang segera dan e ekti , pada prinsipnya,penyebarluasan laporan ini akan dijalankan berdasarkan kebijakan yang disepakataibersama oleh para pemberi mandat kedua negara. Komisi menyadari pentingnya suatu kesinambungan dan konsultasi publik dalampenyebarluasan ini. Komisi merekomendasikan agar Presiden masing-masingnegara menunjuk sebuah kelompok penasihat termasuk, bilamana dipandangperlu, meman aatkan pengetahuan dan pengalaman anggota Komisi yangsekarang, yang akan mengawasi dan terlibat dalam proses diseminasi di masing-masing negara, termasuk distribusi laporan, pembentukan orum- orum untuk mendiskusikan dan menjawab pertanyaan seputar proses KKP dan, untuk imor-Leste, penyiapan dan diseminasi versi populer dalam bahasa etun dari laporan ini. Komisi merekomendasikan agar kedua Presiden mengambil langkah-langkahsegera untuk menyebarluaskan laporan ini seluas mungkin menggunakan berbagaimedia dan dalam cara yang akan mendorong diskusi seluas mungkin di berbagai orum publik. Diseminasi ini termasuk menyampaikan laporan ini ke Parlemendan masyarakat sipil masing-masing negara. Versi resmi dari laporan ini akan disediakan di internet (seperti situs webpemerintah, atau LSM yang mensponsori) dalam bentuk elektronik sehinggalaporan ini dapat mencapai pembaca internasional. Diseminasi laporan ini tidak akan terbatas pada publikasi tertulis. Diseminasilaporan juga harus dalam bentuk media lainnya, seperti televisi, radio dan diskusikomunitas. Kegiatan diseminasi pelru diimplementasikan di tingkat akar rumput olehsebuah tim asilitasi edukati yang telah terlatih dan ter okus pada strategi-strategiuntuk menghindari perulangan kembali kekerasan dan pelanggaran HAM,pengembangan kultur HAM dan pemahaman lebih dalam antara kedua negara.Dalam hal ini, proses diseminasi dari laporan itu sendiri dapat ber ungsi sebagaimekanisme bagi pelatihan HAM dan pembangunan perdamaian.

BAB IX : PELAJARAN REKOMENDASI

YANG

DAPAT

DIAMBIL

DAN

2) Mekanisme Implementasi Setelah kedua Presiden menerima laporan dan masing-masing memutuskan untuk memulai proses penyebarluasan, perlu ada sebuah mekanisme untuk merancang,mengawasi, menjalankan dan mengevaluasi masing-masing rekomendasi spesi k di atas. Jika proses implementasi tidak

ditangani dan dipantau secara e ekti ,rekomendasi-rekomendasi ini tidak akan dapat mencapai hasil yang dikehendakisesuai dengan mandat asli Komisi yakni rekonsiliasi dan persahabatan. Olehkarenanya, Komisi merekomendasikan masing-masing Presiden untuk berkonsultasidengan sebuah kelompok penasihat yang dibentuk untuk menyebarluaskan laporanini guna merumuskan model-model spesi k yang paling tepat bagi masingmasingnegara untuk mengimplementasi rekomendasi-rekomendasi lainnya. Komisimerekomendasikan kedua pemerintah merancang lembaga ini untuk bekerja selamasekurang-kurangnya lima tahun setelah diseminasi laporan ini.Alasan bagi pembentukan rekomendasi lembaga implementasi ini tidak dimaksudkanadalah untuk menciptakan sebuah komisi pasca-KKP baru. Namun, tujuan darilembaga ini adalah hanya untuk menjamin bahwa ada sebuah sistem yang telahterde nisi dengan baik yang akan berkomitmen, ter okus dan akuntabel bagipencapaian tujuan-tujuan rekomendasi ini. Lebih lanjut, banyak dari rekomendasiini akan memerlukan penerapan keahlian yang sangat tinggi, misalnya persoalanpersoalan seputar aset, atau rancangan proses-proses rekonsiliasi ormal. Perhatiankhusus perlu diberikan untuk menarik dan melibatkan kalangan masyarakatsipil dalam proses implementasi rekomendasi dan pengawasannya. Jika tidak adalembaga yang secara khusus ditugaskan untuk mengimplementasi dan menjalankanmanajemen rekomendasi-rekomendasi ini, serta untuk memantau e ekti tasnya,maka akan lebih kecil kemungkinan bahwa tindakan-tindakan yang diusulkan iniakan diambil, dan dapat berhasil. Seberapa jauh rakyat kedua negara dapat bersamasama menarik man aat dari hubungan persahabatan ini akan sangat bergantung padaapakah rekomendasi-rekomendasi ini telah secara diimplementasikan secara e siendan berkelanjutan.Untuk memberi dukungan keuangan bagi implementasi rekomendasi Komisidan keberlanjutan lembaga pengawas dalam lima tahun pertama, Komisimerekomendasikan pembentukan sebuah dana solidaritas. Dana tersebut akansejalan dengan permintaan serupa yang pernah dibuat oleh Sekretaris JenderalPBB dalam pesannya kepada Dewan Keamanan bulan Juli 2006. Sebuah DanaSolidaritas yang disetujui resmi dapat memberikan peluang bagi masyarakat di keduanegara dan masyaraklat internasional untuk memberi kontribusi bagi proses yangdimaksudkan untuk memerhatikan kebutuhan pihak-pihak yang terkena dampak kekerasan di imor imur, dan bagi penyembuhan luka lama. Dengan demikian,Dana Solidaritas ini akan ditujukan khusus untuk implementasi dari rekomendasi-rekomendasi yang disebut di atas untuk membangun persahabatan yang langgengantara rakyat Indonesia dan imor-Leste. Untuk memenuhi tujuan ini DanaSolidaritas tersebut akan memberi prioritas pada pemenuhan kebutuhan kemanusiaanmereka yang mengalami penderitaan selama kekerasan tahun 1999, khususnya dalambidang perumahan, kesehatan, dan kesempatan ekonomi.

You might also like