You are on page 1of 4

IRMA MAHRIFA/109070000225 Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ANALISIS MASALAH PERKOSAAN DARI SUDUT PANDANG PSIKOLOGI

DAN AKHLAK TASAWUF Permasalahan Pemerkosaan yang dilakukan oleh pria seringkali dikaitkan dengan pakaian wanita selaku korban, yang diduga sebagai pencetus munculnya keinginan pria untuk memperkosa. Hal ini menjadi permasalahan ketika pernyataan tersebut diungkapkan oleh beberapa pejabat dalam menanggapi kasus pemerkosaan yang sedang marak terjadi di Jakarta. Salah satu pejabat yaitu seorang bupati di Aceh pernah mengatakan bahwa perempuan yang tidak memakai pakaian menurut syariat islam layak diperkosa! Hal ini dikutip dalam Kompasiana (21/8/2010). Lalu, apakah ada hubungan antara pakaian perempuan dengan tindakan pemerkosaan? Jika ada, apakah pakaian perempuan juga merupakan pencetus yaitu penyebab awal munculnya pemerkosaan? Bagaimana psikologi dan akhlak tasawuf memandang fenomena tersebut? Pemerkosaan dalam Konteks Psikologi Pemerkosaan merupakan salah satu bentuk agresivitas, yaitu perilaku menyakiti orang lain. Seksualitas hanya sebagai sarana melepaskan kebutuhan nonseksualnya. Kekerasan dilakukan secara seksual: memerkosa korban. Perilaku manusia, dalam hal ini pemerkosaan, dilihat terlebih dahulu dari motivasinya, apakah motivasi intrinsik atau motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah dorongan memunculkan suatu perilaku tertentu yang berasal dari dalam diri. Dalam kasus pemerkosaan, motivasi intrinsiknya adalah keinginan untuk memuaskan diri dengan menyalurkan dorongan seksualnya. Dorongan seksual timbul tidak selalu karena ada faktor luar sebagai pencetus, akan tetapi organ seksual yang mengalami kematangan pada waktunya, namun gagal disalurkan secara normatif oleh pelaku. Ketika dorongan seksual timbul dikarenakan ada rangsangan dari luar, hal ini yang disebut motivasi ekstrinsik. Dalam hal ini banyak ditemukan pencetus eksternal yang menyebabkan pemerkosaan, diantaranya menonton video porno, melihat perempuan atau pakaiannya, situasi yang memungkinkan dan memberikan peluang melakukan hal tersebut, serta kondisi lingkungan (kondisi sosiologis dan kondisi geografis). Terkait dengan permasalahan pada kasus ini, saya mencoba menemukan korelasi antara melihat pakaian wanita dengan munculnya dorongan seksual setelah melihatnya. Menurut saya, hal tersebut normal. Ketika seseorang tidak sedang mengalami kematangan organ seksual, namun secara tidak sengaja ia melihat wanita yang berpakaian agak terbuka atau bahkan sangat terbuka, saya setuju hal tersebut dapat memicu dorongan seksual pada laki-laki. Namun, saya tidak setuju jika hal tersebut dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa pakaian perempuan yang menjadi pencetus munculnya tindak pemerkosaan. Dorongan seksual pada dasarnya bisa disalurkan dengan baik kepada orang yang tepat, yaitu istri. Bagi laki-laki yang belum menikah, dorongan tersebut dapat dikendalikan dengan cara mengalihkannya dengan aktivitas positif seperti

berolahraga, bekerja, beribadah, dll. Kenyataannya, masih banyak ditemukan lakilaki yang tidak memilih cara memperkosa walaupun berada di lingkungan era globalisasi seperti sekarang, dimana wanita berpakaian sesuka mereka dengan tidak memikirkan nilai moral yang memang kian bergeser. Lalu mengapa ketika dua orang laki-laki, A dan B, sama-sama melihat wanita C dengan pakaian terbuka, kemudian laki-laki A memperkosa wanita tersebut, sedangkan laki-laki B tidak? Apa yang menyebabkan perbedaan perilaku tersebut? Banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut, namun hal pertama yang juga merupakan hal yang paling kruisial adalah proses pengolahan informasi dalam pikiran mereka (persepsi) yang dialami ketika melihat wanita tersebut. Persepsi seseorang dipengaruhi oleh pengalaman dan pengetahuannya. Jadi, perilaku A yang memperkosa C dipengaruhi oleh persepsinya mengenai C. Pikiran negatifnya mengenai perilaku seksual mungkin sudah pernah dialami atau justru mengalami pembiasaan (conditioning) sehingga dengan mudah memunculkan kembali pikiran negatif tersebut, sedangkan B tidak mempunyai pengalaman dan pengetahuan mengenai perilaku seksual, atau dia pernah mengalami namun tidak mengalami pembiasaan sehingga sulit memunculkan pikiran negatif. Jika muncul pun, sangat sulit menjangkau pikiran untuk sampai pada keinginan memperkosa. Oleh karena itu, ketika seorang laki-laki pada akhirnya memutuskan untuk memperkosa karena melihat pakaian wanita, yang jadi fokus perhatian menurut saya, bukan lagi pakaian wanita tersebut, melainkan individu laki-laki itu sendiri. Mengapa dia tidak dapat mengendalikan dorongan seksualnya sementara mayoritas laki-laki dapat mengendalikan dorongan tersebut? Apa yang terjadi dengannya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut mengenai kesehatan fisik dan mentalnya. Mungkin secara fisik pelaku pemerkosa dapat dinyatakan sehat, dorongan seksual yang muncul adalah normal, akan tetapi tidak untuk kesehatan mentalnya. Pelaku pemerkosaan dapat dipastikan tidak sehat mental karena tidak memenuhi aspek sosial, yaitu ketidakmampuannya dalam menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri serta lingkungannya secara normatif, dan aspek agama yaitu ketidakmampuannya dalam menjalankan ajaran agama yang diyakininya. Ketidakmampuan dalam menjalani aspek tersebut juga disebabkan oleh beberapa faktor seperti, kurangnya kualitas pendidikan, kualitas keagamaan, serta norma-norma yang diterapkan dalam lingkungan keluarga atau masyarakat sekitarnya. Dengan demikian, pakaian perempuan dalam beberapa kasus mungkin berhubungan dengan tindak pemerkosaan, namun tidak tepat jika pakaian perempuan dikatakan sebagai pencetusnya. Karena apabila pakaian perempuan dikatakan sebagai pencetus, maka organ seksual yang secara berkala mengalami kematangan, harus dikatakan juga sebagai pencetus, padahal hal tersebut adalah kondisi normal yang dialami oleh manusia normal. Menurut saya, pencetus tindak pemerkosaan adalah dari individu pelaku sendiri, baik karena pikiran/persepsi terhadap stimulus yang dilihatnya, atau ketidakmampuan pelaku dalam mengendalikan dorongan seksualnya. Pemerkosaan dalam Konteks Akhlak Menurut Ibn Miskawaih, akhlak merupakan keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran terlebih dahulu. Menurut Al-Ghazali, akhlak merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa, yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan yang mudah, dan tidak memerlukan pertimbangan pikiran terlebih dahulu. Dengan

demikian, saya menyimpulkan bahwa akhlak itu adalah sifat/keadaan jiwa yang tersirat di dalam diri manusia, bukan perilakunya. Akhlak yang baik akan menghasilkan perilaku yang baik, sedangkan akhlak yang buruk akan menghasilkan perbuatan yang buruk. Pemerkosaan merupakan perbuatan yang tercela, karena secara sosial telah melanggar norma yang berlaku di masyarakat. Begitu pula dalam sudut pandang agama islam, pemerkosaan adalah perilaku yang juga tercela, karena selain melanggar ketentuan Allah, juga menyakiti orang lain, terlebih ketika korban perkosaan adalah sesama muslim. Allah SWT berfirman, Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, padahal mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (terhadap mereka yang dipaksa) sesudah mereka dipaksa itu. (QS An-Nisa; 24:33). Perilaku memperkosa lahir dari akhlak yang buruk. Akhlak yang buruk lahir dari tidak adanya internalisasi dari keyakinan terhadap kekuasaan Allah serta ketentuan qada dan qadr yang ditentukan-Nya. Dilihat dari korbannya, perempuan muslim yang mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan syariat islam memang merupakan perbuatan yang tidak menampakkan akhlak yang baik karena tidak sesuai dengan ketentuan yang telah Allah tetapkan. Mereka dianggap memamerkan aurat mereka kepada siapapun yang memandangnya. Namun saya tidak setuju dengan pernyataan salah satu pejabat yang mengatakan bahwa perempuan yang tidak berpakaian sesuai dengan syariat islam layak diperkosa. Hal ini seakan menghalalkan perlakuan para laki-laki yang memperkosa seorang perempuan. Padahal perbuatan memperkosa berdasarkan alasan apapun merupakan perbuatan dosa menurut pandangan islam. Dari sudut pandang pelaku, ketika manusia tidak mempunyai keyakinan terhadap kekuasaan Allah, atau tidak adanya internalisasi dari keyakinan tersebut, maka akan membentuk pondasi akhlak yang lemah. Fungsi akhlak esensinya diharapkan menjadi aturan Allah yang terinternalisasi dalam diri manusia sehingga dapat mencegah munculnya perilaku negatif. Jika pondasi akhlak lemah, dengan mudah manusia menciptakan perilaku-perilaku negatif yang bertentangan dengan ketentuan Allah misalnya memandang terlalu lama wanita yang mengumbar aurat (padahal dalam islam diperintahkan untuk menjaga pandangan). Hal ini akan terbentuk menjadi sebuah kebiasaan buruk yang untuk memunculkannya tidak perlu lagi ada pertimbangan. Kebiasaan buruk tersebut yang nantinya berpotensi memunculkan perilaku buruk lainnya yang lebih besar dampaknya, seperti pemerkosaan, tanpa ada pertimbangan panjang dikarenakan kelemahan akhlaknya. Lalu bagaimana dengan pemerkosaan yang kerap terjadi di Timur Tengah yang notabene penduduknya taat beribadah dan menutup aurat? Menurut saya hal tersebut diatas, masih berlaku. Kualitas yakin atau tidak yakin terhadap kekuasaan Allah memang hanya dapat diketahui oleh Allah dan diri masingmasing pribadi. Namun, hal tersebut dapat diketahui dari kadar taqwanya, yaitu menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Dengan demikian, siapapun dia, image apapun yang melekat kepadanya, selama dia masih mengerjakan apa yang menjadi larangan Allah, dan atau tidak mengerjakan apa

yang Allah perintahkan, berarti masih terdapat masalah dalam keyakinannya tersebut terhadap Allah.

You might also like