You are on page 1of 19

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang

Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti TBC, Diphteri, Pertusis, Campak, Tetanus, Polio, dan Hepatitis B merupakan salah satu penyebab kematian anak di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Diperkirakan 1,7 juta kematian pada anak atau 5% pada balita di Indonesia adalah akibat PD3I. Difteri merupakan salah satu penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheriae, oleh karena itu penyakitnya diberi nama serupa dengan kuman penyebabnya. Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh kuman ini sering meyebabkan penyakit yang serius, bahkan dapat menimbulkan kematian. Tapi sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap difteri digalakkan, jumlah kasus penyakit dan kematian akibat kuman difteri menurun dengan drastis. Penderita difteri umumnya anak-anak, usia dibawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak-anak muda. Penyakit ini juga dijmpai pada daerah padat penduduk dingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan diri sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.

Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyptheria, Pertusis, Tetanus), penyakit difteri jarang dijumpai. Vaksi imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan system kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksi difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini. B. Tujuan Makalah Berdasarkan latar belakang tersebut, makalah ini disusun dengan tujuan mendeskripsikan : 1. Penyakit difteri. 2. Bakteri penyakit. 3. Patogenesis. 4. Gejala penyakit. 5. Penularan penyakit. 6. Diagnosa pemeriksaan. 7. Pengobatan. 8. Pencegahan. C. Manfaat makalah Manfaat penyusunan maklah ini adalah : 1. Mengetahui apakah difteri itu. 2. Mengetahui bakteri penyebab difteri. 3. Mengetahui patogenesis penyakit difteri. 4. Mengetahui gejala penyakit difteri. 5. Mengetahui cara penularan difteri. 6. Mengetahui diagnosa pemeriksaan penyakit difteri. 7. Mengetahui cara mengobati difteri. 8. Mengetahui cara mencegah difteri.

BAB II PEMBAHASAN A. Studi Kasus Dunia kesehatan masyarakat Indonesia dikejutkan oleh adanya penyebaran penyakit difteri di Provinsi Jawa Timur (Jatim). Sebanyak 11 anak meninggal dunia dari 333 kasus difteri yang muncul selama tahun 2011. Karena itu, pemerintah Provinsi Jatim menetapkan KLB (Kejadian Luar Biasa) penyakit difteri sejak Jumat, 7 Oktober 2011 dan mulai berlaku 10 Oktober 2011. Penetapan status KLB dilakukan mengingat kasus ini telah tersebar di hampir seluruh kabupaten/kota se-Jawa Timur. Kasus difteri telah menjangkiti 34 kota/kabupaten, dan hanya empat daerah yang belum terjangkit seperti Ngawi, Pacitan, Trenggalek, dan Magetan. Kasus difteri yang paling parah menyerang Surabaya, Bangkalan, dan Mojokerto. Penularan penyakit difteri sudah mulai meningkat sejak 2008. Pada tahun 2010, di wilayah Jatim memang tinggi angka kesakitan akibat penyakit difteri sebanyak 304 kasus pada 32 daerah dan mengakibatkan 21 anak meninggal. Sedangkan tahun 2009, terdapat 140 kasus pada 24 daerah di Jatim dengan korban 8 orang meninggal dunia. Peristiwa KLB difteri yang terjadi di Jatim memberikan gambaran bahwa program imunisasi harus mendapat perhatian khusus. Sejak Januari hingga Oktober 2011, korban penyakit difteri mencapai 328 orang. Pemprov Jatim-pun melakukan vaksinasi massal yang dimulai serentak (10/10/2011) pada 11 kabupaten/kota yaitu Kota Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Mojokerto, Bangkalan, Sampang, Sumenep, Pamekasan, Blitar, Gresik, dan Banyuwangi dengan anggaran Rp10 miliar dari Rp13 miliar yang disediakan. Kesebelas daerah itu merupakan daerah dengan jumlah persebaran difteri terbesar. Dari 651 desa, 483 desa tanggungjawab Pemprov Jatim, 168 desa tanggungjawab kabupaten kota.

Pemprov menambahkan dana sebanyak Rp10 miliar yang disalurkan melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jatim

(beritajatim.com). Kondisi di Kota Surabaya sendiri sebagai daerah dengan tingkat migrasi yang tinggi memiliki tingkat risiko penularan yang tinggi pula. Surabaya masuk dalam wilayah yang mendapat perhatian dalam kasus penularan penyakit difteri. Penelitian di lapangan, penularan penyakit ini lebih banyak ditemukan pada bayi dan anak-anak yang tidak mendapatkan imunisasi. Imunisasi menjadi langkah penting dalam mencegah penularan penyakit ini. Temuan dilapangan, penyakit difteri yang menyerang anak-anak di Jatim baik yang ditemukan tanpa gejala maupun sampai fatal. Kondisi yang sangat fatal, penderita mengalami sesak nafas dan tidak bisa bernafas. Penderita yang ditemukan kebanyakan anak-anak, dari usia 4 tahun sampai 12 tahun. Hal ini disebabkan sistem kekebalan tubuh mereka belum terbentuk sempurna. Penderita juga bisa terserang dengan gejala mata berdarah dan menyerang kulit. Untuk menangani kasus difteri ini, Pemprov Jatim telah menyediakan sebanyak 40 ribu vaksin dan telah disalurkan kepada seluruh puskesmas dan posyandu yang ada di Jawa Timur. B. Difteri Difteri adalah penyakit akibat terjangkit bakteri yang bersumber dari Corynebacterium diphtheriae. Difteri ialah penyakit yang mengerikan di mana pda masa lalu telah menyebabkan ribuan kematian, dan masih mewabah di daerah-daerah dunia yang belum berkembang. Orang yang selamat dari penyakit ini menderita kelumpuhan otot-otot tertentu dan kerusakan permanen pada jantung dan ginjal. Anak-anak yang berumur satu sampai sepuluh tahun sangat peka terhadap penyakit ini.(Wikipedia)

Gambar : Infeksi difteri Difteri adalah infeksi bakteri yang bersumber

dari Corynebacterium diphtheriae, yang biasanya mempengaruhi selaput lendir dan tenggorokan. Difteri umumnya menyebabkan sakit

tenggorokan, demam, kelenjar bengkak, dan lemas. Dalam tahap lanjut, difteri bisa menyebabkan kerusakan pada jantung, ginjal dan sistem saraf. Kondisi seperti itu pada akhirnya bisa berakibat sangat fatal dan berujung pada kematian. Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:

Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri menelan.

Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring (dinding belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.

Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisis (kelemahan anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).

Disamping itu, penyakit ini juga dibedakan menurut lokasi gejala yang dirasakan pasien :

Difteri hidung (nasal diphtheria) bila penderita menderita pilek dengan ingus yang bercampur darah. Prevalesi Difteri ini 2 % dari total kasus difteri. Bila tidak diobati akan berlangsung mingguan dan merupakan sumber utama penularan.

Difteri faring (pharingeal diphtheriae) dan tonsil dengan gejala radang akut tenggorokan, demam sampai dengan 38,5 derajat celsius, nadi yang cepat, tampak lemah, nafas berbau, timbul pembengkakan kelenjar leher. Pada difteri jenis ini juga akan tampak membran berwarna putih keabu abuan kotor di daerah rongga mulut sampai dengan dinding belakang mulut (faring).

Difteri laring ( laryngo tracheal diphtheriae ) dengan gejala tidak bias bersuara, sesak, nafas berbunyi, demam sangat tinggi sampai 40 derajat celsius, sangat lemah, kulit tampak kebiruan, pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas.

Gambar : Difteri Laring

Difteri kutaneus (cutaneous diphtheriae) dan vaginal dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan

pembentukan membrane diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi cenderung tidak terasa apa-apa. C. Bakteri Penyakit Corynebacterium diphtheriae adalah bakteri patogen yang

menyebabkan difteri berupa infeksi akut pada saluran pernapasan bagian atas. Ia juga dikenal sebagai basil Klebs-Lffler, karena ditemukan pada tahun 1884 oleh bakteriolog Jerman, Edwin Klebs (1834-1912) dan Friedrich Lffler (1852-1915). Klasifikasi ilmiah dari bakteri Corynebacterium diphtheriae adalah : Kingdom Filum Kelas Order Keluarga Genus Spesies : Bakteri : Actinobacteria : Actinobacteria : Actinomycetales : Corynebacteriaceae : Corynebacterium : Corynebacterium diphtheriae Kuman difteri berbentuk batang ramping berukuran 1,5-5 um x 0,5-1 um, tidak berspora, tidak bergerak, termasuk Gram positif, dan tidak tahan asam. C. Diphtheriae bersifat anaerob fakultatif, namun

pertumbuhan maksimal diperoleh pada suasana aerob.

Gambar : Corynebacterium diphteriae Ada tiga strain C. diphtheriae yang berbeda yang dibedakan oleh tingkat keparahan penyakit mereka yang disebabkan pada manusia yaitu gravis, intermedius, dan mitis. Ketiga subspesies sedikit berbeda dalam morfologi koloni dan sifat-sifat biokimia seperti kemampuan metabolisme nutrisi tertentu. Perbedaan virulensi dari tiga strain dapat dikaitkan dengan kemampuan relatif mereka untuk memproduksi toksin difteri (baik kualitas dan kuantitas), dan tingkat pertumbuhan masing-masing. Strain gravis memiliki waktu generasi (in vitro) dari 60 menit; strain intermedius memiliki waktu generasi dari sekitar 100 menit, dan mitis memiliki waktu generasi dari sekitar 180 menit.. Dalam tenggorokan (in vivo), tingkat pertumbuhan yang lebih cepat memungkinkan organisme untuk menguras pasokan besi lokal lebih cepat dalam menyerang jaringan. D. Epidemiologi Difteri terdapat di seluruh dunia dan sering terdapat dalam bentuk wabah. Penyakit ini terutama menyerang anak umur 1-9 tahun. Difteri mudah menular dan menyebar melalui kontak langsung secara droplet. Banyak spesies Corynebacteria dapat diisolasi dari berbagai tempat seperti tanah, air, darah, dan kulit manusia. Strain patogenik dari Corynebacteria

dapat menginfeksi tanaman, hewan, atau manusia. Namun hanya manusia yang diketahui sebagai reservoir penting infeksi penyakit ini. Bakteri ini umumnya ditemukan di daerah beriklim sedang atau di iklim tropis, tetapi juga dapat ditemukan di bagian lain dunia. E. Patogenesis Di alam, Corynebacterium diphtheriae terdapat dalam saluran pernapasan, dalam luka-luka, pada kulit orang yang terinfeksi, atau orang normal yang membawa bakteri. Bakteri disebarkan melalui droplet atau kontak dengan individu yang peka. Bakteri kemudian tumbuh pada selaput mukosa atau kulit yang lecet, dan bakteri mulai menghasilkan toksin. Pembentukan toksin ini secara in vitro terutama bergantung pada kadar besi. Pembentukan toksin optimal pada kadar besi 0,14 g/ml perbenihan tetapi benar-benar tertekan pada 0,5 g/ml. Faktor lain yang mempengaruhi timbulnya toksin in vitro adalah tekanan osmotik, kadar asam amino, pH, dan tersedianya sumber-sumber karbon dan nitrogen yang cocok. Toksin difteri adalah polipeptoda tidak tahan panas (BM 62.000) yang dapat mematikan pada dosis 0,1 g/kg. Bila ikatan disulfida dipecah, molekul dapat terbagi menjadi 2 fragmen, yaitu fragmen A dan fragmen B. Fragmen B tidak mempunyai aktivitas tersendiri, tetapi diperlukan untuk pemindahan fragmen A ke dalam sel. Fragmen A menghambat pemanjangan rantai polipeptida (jika ada NAD) dengan menghentikan aktivitas faktor pemanjangan EF-2. Faktor ini diperlukan untuk translokasi polipeptidil-RNA transfer dari akseptor ke tempat donor pada ribosom eukariotik. Fragmen toksin A menghentikan aktivitas EF-2 dengan mengkatalisis reaksi yang menhasilkan nikotinamid bebas ditambah suatu kompleks adenosin difosfat-ribosa-EF-2 yang tidak aktif. Diduga bahwa

efek nekrotik dan neurotoksik toksin difteria disebabkan oleh penghentian sintesis protein yang mendadak. Patogenisitas Corynebacterium diphtheriae mencakup dua fenomena yang berbeda, yaitu 1. Invasi jaringan lokal dari tenggorokan, yang membutuhkan kolonisasi dan proliferasi bakteri berikutnya. Sedikit yang diketahui tentang mekanisme kepatuhan terhadap difteri C. diphtheriae tapi bakteri menghasilkan beberapa jenis pili. Toksin difteri juga mungkin terlibat dalam kolonisasi tenggorokan. 2. Toxigenesis: produksi toksin bakteri. Toksin difteri menyebabkan kematian sel eukariotik dan jaringan oleh inhibisi sintesis protein dalam sel. Meskipun toksin bertanggung jawab atas gejala-gejala penyakit mematikan, virulensi dari C. diphtheriae tidak dapat dikaitkan dengan toxigenesis saja, sejak fase invasif mendahului toxigenesis, sudah mulai tampak perbedaan. Namun, belum dipastikan bahwa toksin difteri memainkan peran penting dalam proses penjajahan karena efek jangka pendek di lokasi kolonisasi. F. Gejala Gejala klinis penyakit difteri ini adalah : 1. Panas lebih dari 38 C. 2. Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsil. 3. Sakit waktu menelan. 4. Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena pembengkakan kelenjar leher. Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas yang sakit waktu menelan harus diperiksa pharynx dan tonsilnya apakah ada psedomembrane. Jika pada tonsil tampak membran putih

10

kebau-abuan disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan (spesimen) berupa apusan tenggorokan (throat swab) untuk pemeriksaan laboratorium. Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak tak jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. Pembengkakan kelenjar getah bening di leher sering terjadi. G. Penularan Bakteri C.diphtheriae dapat menyebar melalui tiga rute: 1. Bersin: Ketika orang yang terinfeksi bersin atau batuk, mereka akan melepaskan uap air yang terkontaminasi dan memungkinkan orang di sekitarnya terpapar bakteri tersebut. 2. Kontaminasi barang pribadi: Penularan difteri bisa berasal dari barang-barang pribadi seperti gelas yang belum dicuci. 3. Barang rumah tangga: Dalam kasus yang jarang, difteri menyebar melalui barang-barang rumah tangga yang biasanya dipakai secara bersamaan, seperti handuk atau mainan. Selain itu, juga dapat terkontaminasi bakteri berbahaya tersebut apabila menyentuh luka orang yang sudah terinfeksi. Orang yang telah terinfeksi bakteri difteri dan belum diobati dapat menginfeksi orang nonimmunized selama enam minggu - bahkan jika mereka tidak menunjukkan gejala apapun. Sistem penularan penyakit difteri disebabkan oleh kuman, kontak langsung dengan penderita karena penyebarannya sangat cepat melalui udara, serta penyerangan yang disebabkan oleh droplet atau percikan ludah dari penderita kepada orang lain. Pada penderita yang parah harus dibawa ke rumah sakit dengan isolasi.

11

Orang yang terinfeksi namun tidak menyadarinya dikenal sebagai carier (pembawa) difteri. Carrier penyakit difteri biasanya orang dewasa atau orang tua meski tidak mendapat gejala penyakit difteri namun bisa menyebarkan kepada keluarga dan lingkungannya, terutama bagi anakanak. Karena itu, sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita maupun sebagai carier. Orang-orang yang berada pada risiko tertular difteri meliputi: anakanak dan orang dewasa yang tidak mendapatkan imunisasi terbaru; orang yang hidup dalam kondisi tempat tinggal penuh sesak atau tidak sehat; orang yang memiliki gangguan sistem kekebalan; siapapun yang bepergian ke tempat atau daerah endemik difteri. Seseorang dapat terkontaminasi bakteri berbahaya tersebut apabila menyentuh orang yang sudah terinfeksi. Orang yang telah terinfeksi bakteri difteri dan belum diobati dapat menginfeksi orang nonimmunized selama enam minggu - bahkan jika mereka tidak menunjukkan gejala apapun. Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 5 hari, masa penularan penderita 2-4 minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6 bulan. Penyakit difteri yang diserang terutama saluran pernafasan bagian atas. Ciri khas dari penyakit ini ialah pembekakan di daerah tenggorokan, yang berupa reaksi radang lokal, dimana pembuluhpembuluh darah melebar mengeluarkan sel darah putih sedang sel-sel epitel disitu rusak, lalu terbentuklah disitu membaran putih keabu-abuan (psedomembrane). Membran ini sukar diangkat dan mudah berdarah. Di bawah membran ini bersarang kuman difteri dan kuman-kuman ini mengeluarkan exotoxin yang memberikan gejala-gejala dan miyocarditis. Penderita yang paling berat didapatkan pada difteri fauncial dan faringeal. Adapun orang-orang yang berada pada risiko tertular difteri meliputi:

12

Anak-anak dan orang dewasa yang tidak mendapatkan imunisasi terbaru. Orang yang hidup dalam kondisi tempat tingal penuh sesak atau tidak sehat. Orang yang memiliki gangguan sistem kekebalan. Siapapun yang bepergian ke tempat atau daerah endemik difteri Difteri jarang terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat

dan Eropa, karena telah mewajibkan imunisasi pada anak-anak selama beberapa dekade. Namun, difteri masih sering ditemukan pada negaranegara berkembang di mana tingkat imunisasinya masih rendah seperti halnya yang saat ini terjadi di Jawa timur. H. Komplikasi Jika tidak diobati, difteri dapat menyebabkan: 1. Gangguan pernapasan C. Diphtheriae dapat menghasilkan racun yang menginfeksi jaringan di daerah hidung dan tenggorokan. Infeksi tersebut menghasilkan membaran putih keabu-abuan (psedomembrane) terdiri dari membran sel-sel mati, bakteri dan zat lainnya. Membran ini dapat menghambat pernapasan. 2. Kerusakan jantung Toksin (racun) difteri dapat menyebar melalui aliran darah dan merusak jaringan lain dalam tubuh Anda, seperti otot jantung, sehingga menyebabkan (miokarditis). komplikasi seperti radang pada otot jantung

13

Kerusakan jantung akibat miokarditis muncul sebagai kelainan ringan pada elektrokardiogram yang menyebabkan gagal jantung kongestif dan kematian mendadak. 3. Kerusakan saraf Toksin juga dapat menyebabkan kerusakan saraf khususnya pada tenggorokan, di mana konduksi saraf yang buruk dapat menyebabkan kesulitan menelan. Bahkan saraf pada lengan dan kaki juga bisa meradang yang menyebabkan otot menjadi lemah. Jika racun ini merusak otot-otot kontrol yang digunakan untuk bernapas, maka otot-otot ini dapat menjadi lumpuh. Kalau sudah seperti itu, maka diperlukan alat bantu napas. Dengan pengobatan, kebanyakan orang dengan difteri dapat bertahan dari komplikasi ini, namun pemulihannya akan berjalan lama. I. Diagnosa pemeriksaan Diagnosis klinik difteri tidak selalu mudah ditegakkan oleh klinikus-klinikus dan sering terjadi salah diagnosis. Hal ini terjadi karena strain C. Diphtheriae baik yang toksigenik maupun nontoksigenik sulit dibedakan, lagipula spesies Corynebacterium yang lain pun secara morfologik mungkin serupa. Karena itu bila pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan kuman khas difteri, maka hasil presumtif adalah: ditemukan kuman-kuman tersangka difteri. Hal ini menunjukkan pentingnya dilakukan diagnosis laboratorium secara mudah, cepat, dan dengan hasil yang dipercaya untuk membantu klinikus. Walaipun demikian, diagnosis laboratorium harus dianggap sebagai penunjang bukan pengganti diagnosis klinik agar penanganan penyakit dapat cepat dilakukan. Hapusan tenggorok atau bahan pemeriksaan lainnya harus diambil sebelum pemberian obat antimikroba, dan harus segera dikirim ke laboratorium.

14

Pada

penyakit

difteri

ini

diagnosis

dini

sangat

penting.

Keterlambatan pemberian antitoksin sangat mempengaruhi prognosa. Diagnosa harus ditegakakkan berdasarkan gejala klinik. Test yang digunakan untuk mendeteksi penyakit Difteri boleh meliputi:

Gram Noda kultur kerongkongan atau selaput untuk mengidentifikasi Corynebacterium diphtheriae.

Untuk melihat ada tidaknya myocarditis (peradangan dinding otot jantung) dapat di lakuka dengan electrocardiogram (ECG).

Pengambilan smear dari membran dan bahan dibawah membran, tetapi hasilnya kurang dapat dipercaya. Pemeriksaan darah dan urine, tetapi tidak spesifik. Pemeriksaan Shick test bisa dilakukan untuk menentukan status imunitas penderita.

Diagnosis klinis bakteriologis difteri membutuhkan konfirmasi laboratorium C.diphtheriae toxigenic atau kultur lesi tenggorokan. Untuk isolasi primer, berbagai media yang dapat digunakan: Loeffler agar, Mueller-Miller Agar tellurite, atau agar-agar tellurite Tinsdale.

Menyusul isolasi awal, C diphtheriae dapat diidentifikasi sebagai mitis, intermedius, atau biotipe gravis berdasarkan pola fermentasi karbohidrat dan hemolisis pada agar pelat darah domba. Strain C.diphtheriae ditentukan oleh secara in vitro dan in vivo.

J. Perawatan dan Pengobatan Difteri adalah penyakit yang serius. Para ahli di Mayo Clinic, memaparkan, ada beberapa upaya pengobatan yang dapat dilakukan diantaranya: 1. Pemberian antitoksin: Setelah dokter memastikan diagnosa awal difteri, anak yang terinfeksi atau orang dewasa harus menerima suatu antitoksin. Antitoksin itu disuntikkan ke pembuluh darah atau otot untuk menetralkan toksin difteri yang sudah terkontaminasi dalam

15

tubuh. Sebelum memberikan antitoksin, dokter mungkin melakukan tes alergi kulit untuk memastikan bahwa orang yang terinfeksi tidak memiliki alergi terhadap antitoksin. Dokter awalnya akan memberikan dosis kecil dari antitoksin dan kemudian secara bertahap meningkatkan dosisnya. 2. Antibiotik: Difteri juga dapat diobati dengan antibiotik, seperti penisilin atau eritromisin. Antibiotik membantu membunuh bakteri di dalam tubuh dan membersihkan infeksi. Anak-anak dan orang dewasa yang telah terinfeksi difteri dianjurkan untuk menjalani perawatan di rumah sakit untuk perawatan. Mereka mungkin akan diisolasi di unit perawatan intensif karena difteri dapat menyebar dengan mudah ke orang sekitar terutama yang tidak mendapatkan imunisasi penyakit ini. K. Pencegahan Difteri adalah penyakit yang umum pada anak-anak. Penyakit ini tidak hanya dapat diobati tetapi juga dapat dicegah dengan vaksin. Vaksin difteri biasanya dikombinasikan dengan vaksin untuk tetanus dan pertusis, yang dikenal sebagai vaksin difteri, tetanus dan pertusis. Versi terbaru dari vaksin ini dikenal sebagai vaksin DTaP untuk anak-anak dan vaksin Tdap untuk remaja dan dewasa. Pemberian vaksinasi sudah dapat dilakukan saat masih bayi dengan lima tahapan yakni, 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, 12-18 bulan dan 4-6 tahun. Vaksin difteri sangat efektif untuk mencegah difteri. Tapi pada beberapa anak mungkin akan mengalami efek samping seperti demam, rewel, mengantuk atau nyeri pasca pemberian vaksin. Pemberian vaksin DTaP pada anak jarang menyebabkan komplikasi serius, seperti reaksi alergi (gatal-gatal atau ruam berkembang hanya dalam beberapa menit pasca injeksi), kejang atau shock. Untuk beberapa anak dengan gangguan otak progresif - tidak dapat menerima vaksin DTaP.

16

Pencegahan penyebaran penyakit Difteri juga dilakukan dengan menerapkan pola hidup bersih dan sehat atau PHBS yang harus terus dilakukan seperti mencuci tangan sebelum makan. Tujuan PHBS salah satunya agar penyebaran penyakit menular itu bisa ditangkal. Lain lainnya adalah memperhatikan asupan makanan yang bergizi dan seimbang juga harus terus dijaga. L. Determinan Beberapa kemungkinan faktor yang menyebabkan kejadian difteria diantaranya : 1. Cakupan imunisasi, artinya dimana ada bayi yang kurang bahkan tidak mendapatkan imunisasi DPT secara lengkap. Berdasarkan penelitian Basuki Kartono bahwa anak dengan status imunisasi DPT dan DT yang tidak lengkap beresiko menderita difteri 46.403 kali lebih besar dari pada anak yang status imunisasi DPT dan DT lengkap. 2. Kualitas vaksin, artinya pada saat proses pemberian vaksinasi kurang menjaga Coldcain secara sempurna sehingga mempengaruhi kualitas vaksin. 3. Faktor Lingkungan, artinya lingkungan yang buruk dengan sanitasi yang rendah dapat menunjang terjadinya penyakit Difteri. Letak rumah yang berdekatan sangat mudah sekali menyebarkan penyakit difteria bila ada sumber penularan. 4. Rendahnya tingkat pengetahuan ibu, dimana pengetahuan akan pentingnya imunisasi sangat rendah dan kurang bisa mengenali secara dini gejala-gejala penyakit difteria. 5. Akses pelayanan kesehatan yang rendah, dimana hal ini dapat dilihat dari rendahnya cakupan imunisasi di beberapa daerah tertentu.

17

BAB III SIMPULAN Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil racun corynebacterium diphtheria, dan lebih sering menyerang anak-anak. Bakteri ini biasanya menyerang saluran pernafasan, terutama laring, tonsil, dan faring. Tetapi tidak jarang racun juga menyerang kulit dan bahkan menyebabkan kerusakaan saraf dan juga jantung. Pada serangan difteri berat akan ditemukan psudomembran, yaitu lapisan selaput yang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri, dan bahan lainnya, didekat tonsil dan bagian faring yang lain. Membrane ini tidak mudah robek dan bewarna keabu-abuan. Jika membran ini dilepaskan secara paksa maka lapsan lender dibawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udaraaau secara tiba-tiba bias terlepas dan menyumbat saluran udara sehingga anak mengalami kesulitan bernafas. Berdasarkan gejala dan ditemukanya membran inilah diagnosis ditegakkan. Tidak jarang dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di faring dan dibuatkan biakan dilaboratorium. Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi akibat penyakit ini dilakukan pemeriksaan dengan EKG. Penularan difteri dapat melalui kontak langsung seperti berbicara dengan penderita, melalui udara yang tercemar oleh carier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita. Tetapi sejak diperkenalkan vaksin DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus), penyakit difteri jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan system kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.

18

DAFTAR PUSTAKA
http://febbyhapsari.wordpress.com/2011/03/20/difteri-sebagai-contoh-food-and-waterborne-disease/ http://id.wikipedia.org/wiki/Corynebacterium_diphtheriae http://id.wikipedia.org/wiki/difteri http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2011/10/29/provinsi-jatim-status-klb-penyakitdifteri/ http://soleh-ku.blogspot.com/2011/04/corynebacterium-diphtheriae.html

19

You might also like