You are on page 1of 8

Latar Belakang Indonesia pada tahun 1949 melarang anak di bawah 15 tahun untuk bekerja, namun pada tahun

1987, untuk menarik investasi lebih banyak, negara menghapuskan larangan ini, anak-anak dipaksa bekerja untuk alasan sosial atau ekonomi. Pada 1991, ada 2,8 juta anak-anak Indonesia yang terikat pabrik-pabrik karena, digadaikan oleh orang tua kepada majikan. Perwakilan Dagang Amerika Serikat (AS) Mickey Kant baru-baru ini mengumumkan bahwa Indonesia akan diberikan enam bulan untuk memperbaiki jaminan hak pekerja atau kehilangan preferensi bebas bea di pasar Global AS atau hukum perjanjian perdagangan AS dapat meningkatkan tekanan untuk melarang pekerja anak. Kutipan ini dari sebuah artikel Richard Rothstein, yang diterbitkan dalam American Prospect pada tahun 1994. Ini merupakan indikasi dari suatu argumen yang mendominasi wacana global tentang pekerja anak dari awal 1990-an. Pekerja anak direpresentasikan sebagai fenomena homogen yang tidak manusiawi dan sangat kasar. Pekerja atau buruh anakdigambarkan sebagai penyelenggaraan kondisi seperti budak : tidak berdaya, tak bersuara dan tanpa harapan. Penggambaran ini tentu benar untuk beberapa anakdalam situasi perbudakan dan kerja paksa, satu-satunya cara yang efektif untuk melindungi anak-anak adalah menghapus mereka dari lingkungan kerja.[1] Makalah ini berfokus pada keadaan pekerja anak dan respon legislasi kebijakan pemerintah. Penulis mengeksplorasi keterkaitan antara ide-ide, norma dan standar yang berasal di bidang internasional dan wacana domestik. Dalam makalah ini akan dibahas terkait undangundang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 1999 dengan Organisasi Perburuhan Internasional (International Labour Organization/ILO) tentang pengesahan ILO Convention No. 138 concerning minimum age for admission to employment (konvensi ilo mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja), selanjutnya bagaimana pengaruh internasional dan domestik meningkat atau mengurangi jumlah pekerja anak saat ini. II. Rumusan Masalah Persoalan pekerja anak adalah persoalan yang menghinggapi banyak Negara terutama Negara-negara Dunia Ketiga. Anak terpaksa atau bahkan dipaksa bekerja demi membantu atau bahkan sebagai pilar utama ekonomi keluarga. Kebijakan untuk menghapuskan pekerja anak sepenuhnya dari tempat kerja dimaksudkan untuk memberi perlindungan pada anak dari kondisi yang membahayakan mental maupun fisiknya, tak terkecuali untuk memungkinkan anak mendapatkan haknya atas edukasi. Namun demikian kebijakan yang bermaksud baik di lapangan justeru tidak terlaksana sehingga permasalahan yang lebih serius bagi terjadi dari waktu ke waktu. Tulisan ini mengajukan argument bagaimana solusi yang tepat demi penghapusan pekerja anak di Republik

Indonesia. Berdasarkan dari pemikiran tersebut maka pada essai ini penulis mengajukan rumusan masalah essai yang terdiri : 1. Bagaimana Evolusi perjuangan Isu HAM mengenai pekerja anak di Republik Indonesia 2. Bagaimana agar undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 1999 tentang pengesahan ILO Convention No. 138 concerning minimum age for admission to employment (konvensi ilo mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja) mampu mengatasi persoalan pekerja anak di Indonesia. III. Kerangka Teori Pada essai ini penulis akan menerangkan Pekerja Anak Di Indonesia : Konteks dan Kompleksitas menggunakan teori liberal institusional dan pendekatan C. Mekanisme Promosi Dan Perlindungan Ham : A. Teori Liberal Para penganut liberal berpendapat bahwa negara bukan satu-satunya aktor dalam hubungan internasional. Selain negara terdapat juga aktor non-negara (non state actors) yang mempunyai pengaruh dan legitimasi yang independen dari negara. Menurut kaum liberalis, sifat dasar sistem internasional adalah anarki yang tertib dan hirarki yang didukung oleh aturan-aturan dan hukum internasional sifat dasar interaksi antar negara yakni kompetitif dan kadang-kadang konflik tetapi lebih sering bersifat kerjasama pada bidang ekonomi dan isu-isu lainnya[2] Selain itu dalam HI dikenal konsep-konsep umum misalnya konsep peranan dan konsep pengaruh. Dalam studi HI, konsep peranan meliputi aspek dinamis, apabila seseorang melakukan hak dan kewajibannya maka ia menjalankan suatu peranan. Peranan juga berarti bagian dari tugas utama yang harus dijalankan. Adapun konsep pengaruh didefinisikan sebagai kemampuan pelaku politik untuk mempengaruhi tingkah laku orang dalam cara yang dikehendaki pelaku tersebut[3]. Melalui teori liberalisme yang dihubungkan dengan konsep peranan dan konsep pengaruh, penulis akan menganalisa bagaimana peranan dan pengaruh yang dapat ditawarkan untuk mendukung penyelesaian permasalahan pekerja anak di Indonesia. B. Pendekatan Mekanisme Promosi Dan Perlindungan Ham Menurut Aleksius Jemadu dalam bukunya Politik Global, mekanisme promosi dan perlindungan HAM dapat ditemukan pada berbagai level interaksi dalam hubungan Internasional. Sekurang-kurangnya ada lima level yang bisa diidentifikasi untuk perjuangan isu HAM yaitu Individu, kelompok, nasional, regional dan global. [4]

Pada level individu kita menemukan tokoh-tokoh perjuangan HAM yang karena aktivitas dan kamapanyenya yang dilakukan dapat mempengaruhi kebijakan atau diplomasi HAM dari aktor-aktor internasional baik negara maupun non-negara. Level perjuangan HAM berikutnya dilakukan oleh kelompok civil society baik pada tingkat nasional maupun global. Hampir disetiap negara demokrasi maupun non-demokrasi kita menemukan organisasi non-pemerintah (NGO) yang aktif memperjuangkan HAM dalam berbagai aspeknya. Aktor penting berikutnya yang diharapkan dapat mempromosikan dan melindungi HAM adalah negara atau pemerintah. Peranan negara menjadi kontroversial dibanding yang lainnya karena justru negara menjadi sumber ancaman permanen terhadap hak-hak sipil dan politik warganya. Pada saat yang sama negara juga menghasilkan berbagai kebijakan yang secara khusus ditujukan untuk memajukan HAM. Namun, karena keterbatasan dan kompleksitas politik yang sering terjadi di negara berdaulat, maka timbul pemikiran untuk menciptakan mekanisme pada level regional yaitu membangun kesepakatan yang mengikat diantara negara-negara dalam suatu kawasan untuk menciptakan dewan HAM regional guna menerima pengaduan warga negara yang merasa HAMnya dilanggar oleh pemerintah. Pada level global, PBB merupakan lembaga yang paling kuat pengaruhnya terhadap penanganan isu HAM yang melibatkan negara anggota. [5] BAB II PEMBAHASAN 3. Pekerja Anak Pekerja anak diartikan sebagai anak yang harus melakukan pekerjaan yang menghalangi mereka bersekolah dan membahayakan kesehatan, fisik dan mentalnya (Manik, 2006). Pekerja anak juga diartikan sebagai anak yang aktif bekerja, yang membedakannya dengan anak yang pasif bekerja, karena tidak semua pekerjaan yang dilakukan oleh anak dapat menjadikan anak sebagai pekerja anak. Fenomena pekerja anak di Indonesia merupakan masalah serius karena mengancam kualitas kehidupan anak, hak-hak mereka dan masa depan mereka sekaligus masa depan bangsa. Oleh karena itulah pekerja anak merupakan salah satu kategori anak-anak yang perlu mendapat perlindungan khusus.[6] Dikutib dari situs UINCEF, diperkirakan 158 juta anak usia 5-14 telah terlibat dalam pekerja anak yang setara satu banding enam anak di dunia. Keadaan ini membawa, jutaan anak-anak terlibat dalam situasi berbahaya, seperti bekerja di pertambangan, bekerja dengan bahan kimia dan pestisida di bidang pertanian atau bekerja dengan mesin yang berbahaya. Mereka ada di mana-mana tapi tak terlihat, sebagian bekerja keras sebagai pembantu rumah tangga (PRT) di sekitar kita, bekerja di balik dinding lokakarya atau tersembunyi dari pandangan di perkebunan. Anak-anak yang hidup dalam rumah tangga miskin dan di daerah pedesaan paling mungkin terlibat dalam kerja anak. Anak-anak dibebani dengan pekerjaan rumah tangga yang berat, pekerja anak mayoritas di didominasi anak perempuan. Jutaan anak perempuan yang bekerja

sebagai pembantu rumah tangga sangat rentan terhadap eksploitasi dan pelecehan. Perburuhan sering mengganggu pendidikan anak-anak. Memastikan bahwa semua anak pergi ke sekolah dan bahwa pendidikan mereka yang berkualitas baik adalah kunci untuk mencegah pekerja anak.[7] UNICEF mendefinisikan pekerja anak sebagai pekerjaan yang melebihi jumlah minimum jam, tergantung pada usia anak dan jenis pekerjaan. Pekerjaan tersebut dianggap berbahaya untuk anak dan karenanya harus dihilangkan. Berikiut inilah tiga jumlah minimum jam yang ditentukan UNICEF dan didaftarkan pada ILO seta telah diratifikasi Indonesia serta Pada Maret 2011, telah diratisikasi 157 negara.Pertama, Usia 5-11: Setidaknya satu jam kerja ekonomi atau 28 jam dalam negeri kerja per minggu. Kedua, Usia 12-14: Setidaknya 14 jam kerja ekonomi atau 28 jam dalam negeri kerja per minggu. Ketiga, Usia 15-17: Setidaknya 43 jam kerja ekonomi atau domestik per minggu.Adapun pokok-pokok lebih lanjut termaktub dalam deskripsi undang-undang dibawah ini.[8] 4. Evolusi perjuangan Isu HAM mengenai pekerja anak di Republik Indonesia Berdasarkan Sharon Bassel, evolusi isu HAM mengenai pekerja anak di Indonesia dapat diperhatikan berdasarkan perkembangan kebijakan yang diterapkan pemerintah. Peneliti ketenagakerjaan ini berpendapat bahwa evolusi kebijakan terbagi dalam era orde lama, era regulasi 1987, era orde baru pasca 1990 dan era reformasi. Gelombang Pertama, Pada era orde lama melalui Undang-undang tahun 1948 pemerintah melakukan larangan total tenaga kerja anak di bawah usia empat belas. Hal ini secara luas sejalan dengan kebijaksanaan konvensional internasional era saat itu dan mencerminkan fokus gelombang pertama pada perundang-undangan sebagai instrumen yang paling efektif yang digunakan untuk menghilangkan anak-anak dari pekerjaan. Ketentuan-ketentuan yang dilaksanakan merupakan cita-cita Indonesia, namun pada tahun 1951 ada kekhawatiran pemerintah pada kondisi sosial-ekonomi bangsa yang belum mencapai tingkat yang diperlukan untuk implementasi lengkap pekerja anak. Untuk menghadapi dilema ini, pemerintah melakukan pembuatan undang-undang RI No. 21 tahun 1951 yang menyatakan pemberlakuan artikel tertentu dapat ditunda sampai waktu yang pemerintah anggap tepat. Mengingat larangan pekerja anak akan mengakibatkan kesulitan besar bagi anak-anak dan keluarga mereka, maka berdasar undang-undang RI No. 21 itu larangan legislatif pekerja anak ditunda.[9] Gelombang Kedua, Pada tahun 1987, Peraturan Menteri Hukum Negara mengenai usia minimum pekerja anak menjadikan hirarki secara nasional di Indonesia. Namun kenyataannya, peraturan ini tidak menghapuskan larangan pekerja anak karena larangan belum jelas berlaku. Berdasarkan regulasi 1987 yang mengamati kondisi sosial ekonomi ternyata mencegah diberlakukannya undang-undang yang melarang mempekerjakan anak-anak. Menanggapi situasi ini, tujuan lain peraturan adalah memberi kelonggaran pada pekerja anak untuk membantu peningkatan kualitas dan keselamatan hidup.

Peraturan tersebut mengizinkan pekerja anak di bawah usia empat belas sampai empat jam per hari dengan persetujuan dari orang tua atau wali. Anak-anak dilarang bekerja di pekerjaan tertentu yang dianggap berbahaya dan pada malam hari serta harus dibayar sesuai dengan peraturan upah minimum.[10] Gelombang Ketiga, Pendekatan resmi pemerintah terhadap pekerja anak di Indonesia era Orde Baru (periode antara 1967 dan 1998) dibumbui dengan peraturan ILO yang telah digambarkan sebagai pendekatan gradualis, dimana penghapusan setidaknya dalam jangka pendek, dianggap tidak realistik. Di dalam negeri terdapat konsensus yang cukup besar antara birokrat, pejabat pemerintah dan aktivis masyarakat bahwa pekerja anak tidak bisa dihilangkan di Indonesia selama lima belas tahun atau dua puluh berikutnya, pandangan ini diperkuat oleh pendukung proteksionis di Indonesia. Sejalan dengan posisi ini, Pemerintah secara konsisten menolak meratifikasi (mengesahkan) konvensi ILO tentang usia minimum (konvensi nomor 138). Pada 1990-an, bagaimanapun, empat peristiwa penting saling menandakan penilaian kembali untuk menanggapi pekerja anak. Pertama, pada tahun 1992 Pemerintah mengizinkan ILO untuk mendirikan sebuah program pemeberantasan pekerja anak di Indonesia. Kedua, rancangan pertama undang-undang hubungan industri dirilis pada tahun 1996, melarang mempekerjakan anak di bawah usia 15 tahun. Ketiga, rencana pembangunan lima tahun (Repelita) keenam merencanakan memperpanjang masa pendidikan dasar dari 6 (enam) menjadi 9 (sembilan). Ini berarti bahwa semua anak harus tetap dalam sistem pendidikan formal paling tidak sampai usia lima belas. Akhirnya, pemerintah mengisyaratkan niatnya untuk mempertimbangkan meratifikasi konvensi ILO 138 dan pada bulan Oktober 1996 Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan Kementerian Tenaga Kerja, dalam hubungannya dengan ILO, mengadakan lokakarya untuk meneliti berbagai pandangan dalam kaitannya dengan konvensi. Rekomendasi umum dari workshop ini adalah mendukung ratifikasi, namun hal ini baru terjadi pada era reformasi.[11] Gelombang keempat, ditandai dengan masuknya era reformasi pemikiran yang mulus berdasar Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan KementerianTenaga Kerja di muluskan dengan ratifikasi ILO Convention No. 138 concerning minimum age for admission to employment (konvensi ilo mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja) melalui undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 1999.[12] 5. Deskripsi undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 1999
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 1999 adalah UU yang dibuat setelah Indonesia meratifikasi (mengesahkan) ILO Convention No. 138 concerning minimum age for admission to employment (konvensi ilo mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja) berdasarkan pertimbangan dibawah ini :

a. Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah negara hukum yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sehingga anak sebagai generasi

penerus bangsa wajib memperoleh jaminan perlindungan agar dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dan wajar, baik jasmani dan rohani, rnaupun sosial dan intelektual b. Bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat internasional menghorrnati, menghargai, dan menjunjung tinggi prinsip dan tujuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Dek1arasi Universal HAM Tahun 1948, Dek1arasi Philadelphia Tahun 1944, Konstitusi Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (ILO), dan Konvensi Hak-hak Anak Tahun 1989 c. Bahwa Konferensi Ketenagakerjaan Internasiona1 yang kelima puluh delapan tangga1 26 Juni 1973, telah menyetujui ILO Convention No. 138, concerning Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi ILO mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja); d. bahwa Konvensi tersebut selaras dengan keinginan bangsa Indonesia untuk secara terus menerus menegakkan dan meningkatkan pelaksanaan hak-hak dasar anak dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; e. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut dalam huruf a, b, c, dan d dipandang perlu mengesahkan ILO Convention No. 138 concerning Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi ILO mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja) dengan Undang-undang [13] Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 1999 maka dapat diketahui pokok-pokok konvensi yang terdiri atas : 1. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib menetapkan kebijakan nasional untuk mehapuskan praktek mempekerjakan anak dan meningkatkan usia minimum untuk diperbolehkan bekerja. 2. Untuk pekerjaan-pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak harus diupayakan tidak boleh kurang dari 18 (delapan belas) tahun, kecuali untuk pekerjaan ringan tidak boleh kurang dari 16 (enam belas) tahun. 3. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib menetapkan usia minimum untuk diperbolehkan bekerja, aturan mengenai jam kerja, dan menetapkan hukuman atau sanksi guna menjamin pelaksanaannya. 4. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib melaporkan pelaksanaannya.[14] 6. Keadaan Pekerja Anak di Indonesia
Pasar kerja Indonesia ditandai dengan keberadaan pekerja anak, berdasar dari terbaru mengenai pelerja anak berusia 5 17 tahun ILO bersama dengan Badan Pusat Statistik (BPS)meluncurkan dan menerbitkan laporan bertajuk Pekerja Anak di Indonesia 2009 yang memuat temuan-temuan dari Survei Pekerja Anak Indonesia yang pertama pada Kamis, 11 Februari 2010, di Hotel Borobudur, Jakarta. Survei ini merupakan survey pertama yang merupakan sampel terintegrasikan pada Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2009. Dilatarbelakangi hasil dari daftar pada Sakernas 2008, dari 248 kabupaten/kota terpilih, 760 blok sensus telah dipilih dengan menggunakan teknik sampel yang sama.

Daftar pertanyaan, manual dan konsep dasar yang dipergunakan dalam survei ini mengadopsi rekomendasi ILO melalui Program Internasional Penghapusan Pekerjaan untuk Anak (ILO-IPEC). Istilah pekerja anak yang dipergunakan dalam survei ini mencakup semua pekerja anak yang berusia 5 12 tahun tanpa memperhatikan jam kerja mereka, pekerja anak berusia 13 14 tahun yang bekerja lebih dari 15 jam per minggu dan pekerja anak usia 15 17 tahun yang bekerja lebih dari 40 jam per minggu.[15]

Temuan-temuan utama dari survei ini sebagai berikut: 1. Dari jumlah keseluruhan anak berusia 5-17, sekitar 58,8 juta anak, 4,05 juta anak atau 6,9 persen di antaranya termasuk dalam kategori anak yang bekerja. Dari jumlah keseluruhan anak yang bekerja, 1,76 juta atau 43,3 persen termasuk dalam pekerja anak. 2. Dari jumlah keseluruhan pekerja anak berusia 5-17, 48,1 juta atau 81,8 persen bersekolah, 24,3 juta atau 41,2 persen terlibat dalam pekerjaan rumah, dan 6,7 juta atau 11,4 persen tergolong sebagai idle, yaitu tidak bersekolah, tidak membantu di rumah dan tidak bekerja. 3. Sekitar 50 persen pekerja anak bekerja sedikitnya 21 jam per minggu dan 25 percent sedikitnya 12 jam per minggu. Rata-rata, anak yang bekerja bekerja 25,7 jam per minggu, sementara mereka yang tergolong pekerja anak bekerja 35,1 jam per minggu. Sekitar 20,7 persen dari anak yang bekerja itu bekerja pada kondisi berbahaya, misalnya lebih dari 40 jam per minggu. 4. Anak yang bekerja umumnya masih bersekolah, bekerja tanpa dibayar sebagai anggota keluarga, serta terlibat dalam bidang pekerjaan pertanian, jasa dan manufaktur. Jumlah dan karakteristik anak yang bekerja dan pekerja anak dibedakan antara jenis kelamin dan kelompok umur. Proyek ILO-IPEC di Indonesia telah secara aktif memerangi pekerja anak di negara ini, khususnya bentuk-bentuk terburuknya, sejak 1992 melalui serangkaian program aksi yang dilakukan dengan jalinan kerjasama dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, kementerian terkait, lembaga pemerintahan terkait, serikat pekerja/buruh, organisasi pengusaha, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, media massa dan kelompok masyarakat.[16] 7. Saran Mengatasi Pekerja Anak Menurut Direktur Jenderal UNESCO Koichiro Matsuura untuk mengatasi pekerja anak, pendekatan yang terintegrasi perlu dilakukan dengan mengurangi kemiskinan, menyediakan pendidikan bagi semua dan meningkatkan pengembangan ekonomi dan sosial. "Harus ada jaminan pendidikan dasar gratis untuk keluarga miskin. Soal pendidikan dasar, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengatakan mulai tahun ini pendidikan di tingkat SDSMP, terutama di sekolah pemerintah, gratis. Karena itu, tidak ada alasan buat anak-anak dari keluarga tidak mampu, termasuk anak-anak perempuan untuk menyelesaikan pendidikan dasar sembilan tahun.[17] Jalur pendidikan adalah jalan keluar yang terbaik untuk mengatasi masalah pekerja anak di Indonesia. Langkah itu tidak saja mengembalikan pemenuhan hak-hak anak atas pendidikan dan

kesempatan pengmbangan diri, tetapi juga mengeluarkan anak dari lingkungan kerja yang seringkali merugikan kesehatan dan keamanan anak. Dalam mengatasi pekerja anak di Indonesia, diperlukan peran bersama Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan seluruh kementerian untuk lebih peduli kepada hak-hak anak. Selain kementerian, kerjasama untuk libih peduli kepada hak-hak anak perlu ditingkatkan oleh lembaga pemerintahan, serikat pekerja/buruh, organisasi pengusaha, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, media massa dan kelompok masyarakat. Terlebih menurut penulis para pemimpin agama di Indonesia harus lebih membuka diri terhadap isu-isu modern semacam ini yang berimbas secara langsung pada masa depan bangsa. Kecurigaan anatara pemeluk agama dapat dihilangkan dengan program kerjasama yang membangun, karena setiap agama pasti mengajarkan berlomba-lomaba dalam kebaikan. Siapapun kita, Muslim, Kristiani, katolik, Buddha dan Hindu perlu kebersamaan membicarakan peran mereka dalam mempromosikan pentingnya pendidikan aanak dan bahaya pekerja anak kepada seluruh penganutnya. Dialog lintas agama atau pembahasan materi keagamaan dengan tema-tema khusus, diantaranya kepedulian terhadap pendidikan anak dan perlindungan pekerja anak menurut penulis adalah senjata paling ampuh yang dapat diterapkan di Republik Indonesia mengingat seluruh agama bertanggung jawab membimbing pengikutnya, untuk menunjukkan kebijaksanaan dan pandangan jauh ke depan yang memungkinkan orang untuk membuat pilihan yang tepat dalam hidup.

You might also like