You are on page 1of 113

PENYELESAIAN SENGKETA PEMBERIAN HIBAH YANG

MELEBIHI 1/3 DARI KETENTUAN HUKUM ISLAM


DI DESA BENGKAL KEC. KRANGGAN, KAB.
TEMANGGUNG
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata Satu (S.I)
Dalam Ilmu Syari'ah
Oleh :
MAHMUDAH
NIM. 2104015
JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARI'AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2010
ii
EPAAKEMENTERIAN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
FAKULTAS SYARIAH
Jl .Prof. Dr. Hamka KM 2 Ngal i yan Tel p. (024)7601291 Semarang 50185
PENGESAHAN
N a m a : Mahmudah
N I M : 2104015
Fakultas/Jurusan : Syariah / al-Ahwal al-Syakhsiyyah
Judul Skripsi : Penyelesaian sengketa Pemberian Hibah yang Melebihi
1/3 dari ketentuan Hukum Islam di Desa Bengkal, Kec.
Kranggan Kab. Temanggung.
Telah Dimunaqosahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syariah Institut Agama
Islam Negeri Walisongo Semarang, pada tanggal:
26 Mei 2010
Dan dapat diterima sebagai kelengkapan ujian akhir dalam rangka menyelesaikan
studi Program Sarjana Strata I (S.1) tahun akademik 2010/2011 guna memperoleh
gelar sarjana dalam Ilmu Syariah.
Semarang, Juni 2010
Dewan Penguji
Ketua Sidang, Sekretaris Sidang,
Dr. Ali Imron, M.Ag. Dr. H.A. Fatah Idris, M.Si.
NIP. 19730730 2003112 1 003 NIP. 19520805 198303 1 002
Penguji I, Penguji II,
Achmad Arief Budiman, M.Ag H. Ahmad Izzudin, M.Ag.
NIP. 19691031 199503 1 002 NIP. 19720512 19903 1 003
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. H.A. Fatah Idris, M.Si. Brillian Ernawati,SH.,M.Hum
NIP. 19520805 198303 1 002 NIP. 19631219 199903 2 001
iii
Drs. H.Abdul Fatah Idris.,M.Si
NIP. 19520805 198303 1 002
Tlogorejo Rt.2/Rw.12 Karangawen Demak
Brillian Ernawati,SH.,M.Hum
NIP. 19631219 199903 2 001
Jl. Bukit Agung E.41Semarang
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eks. Kpd Yth.
Hal : Naskah Skripsi Dekan Fakultas Syariah
A.n. Sdri. Mahmudah IAIN Walisongo Semarang
Di Semarang
Assalamu'alaikum. Wr. Wb.
Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya bersama ini saya
kirim naskah skripsi saudari :
Nama : Mahmudah
NIM : 2104015
Judul Skripsi : Penyelesaian sengketa Pemberian Hibah Yang Melebihi 1/3 Dari
ketentuan Hukum Islam (Studi Kasus Pada Keluarga Pudjo
Sumarno Di Desa Bengkal, Kec. Kranggan, Kab. Temanggung).
Dengan ini saya mohon kiranya skripsi saudari tersebut dapat segera
dimunaqosyahkan. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Semarang, Juni 2010
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. H.Abdul Fatah Idris.,M.Si Brillian Ernawati,SH.,M.Hum
NIP. 19520805 198303 1 002 NIP. 19631219 199903 2 001
iv
MOTTO
! (#q=t s @d r& . e%!$# b ) OGY. w tb qHs>s?
Artinya :Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika
kamu tidak mengetahui.(QS. An Nahl:43)
| u 9ur %!$# qs9 (#q. ts? ` B O g =yz Zp-h $y (#q%s{ Ng n=t (#q) -Gu =s ! $#
(#q9q) u 9ur Zw qs% #y
Artinya:Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
Perkataan yang benar. (QS. An-Nisa: 9)
v
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada:
1. Bapak dan Ibu tersayang, tercinta (Bapak Suparlan dan Ibu Nurmiyatin)
yang senantiasa memberikan doa restu serta dukungannya baik secara
moral maupun material terhadap keberhasilan studi penulis.
2. Buat kakak dan adikku tersayang (mbak Niswah dan Ainun / Cinun) yang
senantiasa memberikan dorongan di saat rapuh.
3. Buat keponakanku tersayang (Abdullah Zacky Irza) yang lucu dan tambah
imut.
4. Buat kakak Iparku (Mas Nan) Suwun sanget.!!!
5. Sahabat-sahabatku: Nituls, Rara, Azwar (Boyo), Fahim (Ambon), Imdad,
Ponx (Cah Kendal), Mbah Thur (Kendal), Mustofa (Cah Kendal), Hery
(Akpelni), Ichwan (Cah Ungaran), sahabat kostku D2, ASA 04 terima
kasih atas doa dan semangat dan dukungan selama ini.
6. Teman terbaikku (Zety, Saul, Lamah) yang selalu membantu dan doa yang
telah kalian berikan.
7. Adik-adik kosku (Elly, Solie), terima kasih atas semangat dan doa yang
telah kalian berikan.
8. Dan semua teman yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.
vi
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis
Menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah
atau pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Dengan
demikian skripsi ini tidak berisi satupun pikiran orang lain,
kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang
menjadi bahan rujukan.
Semarang, Juni 2010
Penulis
Mahmudah
NIM. 2104015
vii
ABSTRAK
Tulisan ini membahas tentang Penyelesaian sengketa Pemberian Hibah
Yang Melebihi 1/3 Dari ketentuan Hukum Islam di Desa Bengkal, Kec.
Kranggan, Kab. Temanggung.
Dalam hukum Islam penyelesaian sengketa hibah sangatlah dihalalkan
(Sesuai dengan Hukum Islam). Dan juga bisa diharamkan kalau dalam
penyelesaiannya itu menyalahi aturan-aturan yang telah berlaku (HukumIslam).
Dalam kasus ini praktek pemberian hibah yang terjadi sangatlah beragam baik
hibah kepada cucu, anak kandung, anak tiri, dan anak angkat. Untuk
menyelesaikan permasalahan sengketa para pihak lebih mengutamakan pada
mustawarah keluarga atau musyawarah desa. Dalam hukum adat tidak
menentukan wasiat itu bersifat, terbuka atau tertulis. Namun jika mungkin hal itu
dapat saja dilaksanakan. Namun yang biasa berlaku adalah menurut hukum adat
setempat, yang mana cukup diucapkan dihadapan istri, anak-anak atau anggota
keluarga dekat lainnya.
Yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah Bentuk penyelesaian
sengketa hibah dan cara penyelesaiannya. Jenis penelitian yang dilakukan adalah
penelitian lapangan (field research). Sumber data yang digunakan adalah sumber
data primer dan sekunder. Sumber data primer adalah sumber yang murni diambil
dilapangan. Sedangkan sumber data sekunder yaitu sumber data yang diperoleh
dari buku, artikel atau sumber data pustaka lainnya yang berkaitan dengan
penelitian. Dalam menganalisis data yang diperoleh, penyusun menggunakan
metode deskriptif analisis, dimaksudkan untuk pengukuran yang cermat terhadap
fenomena sosial tertentu. Disini peneliti menggunakan konsep dan menghimpun
fakta, tetapi tidak melakukan pengujian hipotesa dalam hal ini digunakan dalam
menganalisis kasus dilapangan ke dalam hukum Islam. Sedangkan teknik
pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara (interview).
Kesimpulan dalam tulisan ini, bahwa Bentuk penyelesaian sengketa
pemberian hibah yang dilakukan dengan cara musyawarah tidaklah menyalahi
aturan hukum islam selama ada kesepakatan bersama dari pihak yang bersengketa.
Dijelaskan dalam hukum Islam bahwa penyelesaian sengketa dengan menarik
kembali hibahnya adalah tidak sah.
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Puji syukur Alhamdulillahirobbilalamin penulis ucapkan kehadirat Allah
SWT atas rahmat, hidayah dan karuniaNya, shalawat serta salam penulis haturkan
kepada junjungan kita Nabiullah Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat-
sahabat dan para pengikutnya yang telah membawa Islam dan
mengembangkannya hingga sekarang ini. Sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi yang berjudul : Penyelesaian sengketa Pemberian Hibah Yang
Melebihi 1/3 Dari ketentuan Hukum Islam (Studi Kasus Pada Keluarga Pudjo
Sumarno Di Desa Bengkal, Kec. Kranggan, Kab.Temanggung), dengan baik tanpa
banyak kendala yang berarti.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini bukanlah hasil jerih
payah penulis secara pribadi. Tetapi semua itu merupakan wujud akumulasi dari
usaha dan bantuan, pertolongan serta doa dari berbagai pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi tersebut. Oleh karena itu, sudah
sepatutnya penulis menyampaikan terimakasih kepada:
1. Dekan Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang dan pembantu-pembantu
Dekan yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk menulis skripsi
tersebut dan memberikan fasilitas belajar hingga kini.
2. Drs. H. Abdul Fatah Idris, M.Ag, selaku Pembimbing I dan Brillian Ernawati,
S.H. M.Hum atas bimbingan dan pengarahan yang diberikan dengan sabar dan
tulus ikhlas.
3. Bapak Kajur, Sekjur, dosen-dosen dan karyawan Fakultas Syariah IAIN
Walisongo Semarang, atas segala didikan, bantuan dan kerjasamanya.
4. Kedua orang tua penulis beserta segenap keluarga, atas segala doa, perhatian
dan arahan kasih sayangnya yang tidak dapat penulis ungkapan dalam untaian
kata-kata.
5. Sahabat-sahabatku: Nituls, Rara, Azwar (Boyo), Fahim (Ambon), Imdad,
Ponx (Cah Kendal), Mbah Thur (Kendal) Mustofa (Cah Kendal), Hery
(Akpelni), yang selalu memberi semangat sehingga terselesainya skripsi ini.
ix
Dan doaku untuk mereka, Semoga Allah membalas semua amal kebaikan
mereka dengan balasan yang lebih dari mereka berikan pada diriku amin.
6. Dan teman-teman kosku: Zety, Saul, Lamah, Ely, Solie. Terima kasih atas
doa yang telah kalian berikan.
7. Teman-teman senasib seperjuangan yang tidak bisa aku sebutkan satu per
satu, terutama teman-teman di lingkungan Fakultas Syariah IAIN Walisongo
Semarang.
Penulis juga menyadari dengan segala kerendahan hati bahwa penulisan
skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, semua kritik dan saran yang
membangun sangat penulis harapkan. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini
dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca yang budiman
pada umumnya. Amin.
Semarang, Juni2010
Penulis
Mahmudah
NIM 2104015
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING........................................ iii
HALAMAN MOTTO................................................................................ iv
HALAMAN PERSEMBAHAN................................................................. v
HALAMAN DEKLARASI ....................................................................... vi
HALAMAN ABSTRAK............................................................................ vii
HALAMAN KATA PENGANTAR .......................................................... viii
DAFTAR ISI ............................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
B. Perumusan Masalah ............................................................. 6
C. Tujuan Penulisan .................................................................. 6
D. Telaah pustaka .................................................................... 7
E. Metode Penelitian ................................................................ 11
F. Sistematika Penulisan .......................................................... 13
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HIBAH
A. Pengertian dan Dasar Hukum Hibah .................................... 16
B. Rukun dan Syarat Hibah ..................................................... 23
C. Jenis-jenis Hibah ................................................................. 29
D. Fungsi Hibah ...................................................................... 31
E. Hibah Dalam Hukum Adat................................................... 31
F. Prinsip-Prinsip Hukum Islam Tentang Hibah ...................... 32
G Bentuk-Bentuk Penyelesaian Sengketa ................................ 37
xi
BAB III PRAKTEK PEMBERIAN HIBAH YANG
MELEBIHI 1/3 DI DESA BENGKAL
A. Gambaran Umum Masyarakat Bengkal Kec.Kranggan Kab.
Temanggung .......................................................................... 42
1. Kondisi Geografis, Jumlah Penduduk dan Ekonomi di
Desa Bengkal ................................................................... 42
2. Kondisi Pendidikan dan Keagamaan di Desa Bengkal ...... 46
B. Praktek Pemberian Hibah Di Desa Bengkal............................ 48
C. Kasus Hibah Dan CaraPenyelesaiannya................................... 51
BAB IV ANALISIS TERHADAP PENYELESAIAN SEGKETA
PEMBERIAN
A. Analisis Terhadap Bentuk Penyelesaian Sengketa Pemberian
Hibah Yang Melebihi 1/3 dari Ketentuan Hukum Islam di
Desa Bengkal, Kec. Kranggan, Kab. Temanggung ............... 59
B. Analisis Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penyelesaian
Sengketa Pemberian Hibah Yang Melebihi 1/3 dari
Ketentuan Hukum Islam di Desa Bengkal, Kec. Kranggan,
Kab. Temanggung................................................................. 73
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 80
B. Saran-Saran ......................................................................... 81
C. Penutup ................................................................................ 83
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Syariat Islam merupakan ajaran yang universal yang diturunkan oleh
Allah melalui Rasulullah Muhammad SAW, untuk disampaikan kepada
ummatnya ke dunia ini sebagai realitas rahmat sekalian alam. Salah satu bukti
nyata bahwa Islam merupakan suatu rahmat ialah dengan diadakannya aturan-
aturan yang mengatur tata cara kehidupan manusia bermuamalah, yakni
dalam bermasyarakat manusia sebagai makhluk hidup selalu berhubungan
antara satu dengan yang lain. Disadari atau tidak yang dilakukan manusia
untuk mencukupkan kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Bagian muamalah ini
mencakup segala persoalan yang berkaitan dengan unsur-unsur dan undang-
undang termasuk di dalamnya hibah. Kedua aspek tadi berasal dari sumber
Hukum Islam yang paling utama yaitu : Al-Quran dan Al-Sunnah.
1
Manusia dalam hidup sangat mencintai harta sebagai motivasi hajat
hidupnya di dunia. Islam sebagai agama yang mutlak akan segala kebenaran
memperbolehkan manusia untuk mencari dan memperoleh harta benda
sebanyak-banyaknya, yaitu dengan tata cara yang baik dan tidak bertentangan
dengan syari. Menurut Hukum Islam pemberian hibah bertujuan mulia,
mengatur kehidupan yang lebih harmonis, menimbulkan rasa cinta dan kasih
1
Mukhtar Yahya Dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islami,
Bandung: Al-Maarif ,1993, Cet. Ke 3, hlm. 28
2
sayang yang dapat mempererat tali sillaturahmi. Karena itulah hibah
dianjurkan.
Hal ini sebagaimana firman Allah SWT :
t %!$# tb q) Z Ng s9uqBr& @ 6y ! $# NO w tb q7G !$tB (#q) xRr& $xYtB Iw ur ]r& Nl ;
Nd _ r& yY Ng n/u w ur $ qyz Og n=t w ur Nd c qRts t
Artinya : orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian
mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan
menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti
(perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan
merek. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati. (QS. Al-Baqarah :262)
2
Dari segi sosial budaya hibah adalah hal yang terpuji dan pelakunya
mendapat tempat yang terhormat dalam strata sosial kemasyarakatan. Menurut
pandangan Fiqh Islam hibah dapat dikatakan sah apabila dalam akad tersebut
terdapat ijab dan qabul, walaupun pada waktu akad hibah tidak dihadiri dua
orang saksi.
3
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam hibah dikatakan sah
apabila disaksikan dua orang saksi.
4
Sedangkan dalam pemberian hibah,
diharamkan melebihkan pemberian kepada sebagian dari anak-anaknya,
karena agama menghendaki ditegakkannya keadilan yang menjamin adanya
kesamaan hak. Hal ini dimaksudkan agar terselenggaranya kebajikan, karena
2
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, Semarang: Kumudasmoro
Grafindo,1994, hlm. 66
3
Wahbah Az-Zuhayly, Al-Fiqh Al- Islamy Wa Adillatuh, Juz 5, Damsyiq: Dar Al-Fikr,
Cet. 3,1989. hlm.7
4
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo,
1992, Cet. Ke-1, hlm.164
3
setiap individu mempunyai hak yang sama untuk memperoleh keadilan dalam
memperoleh harta untuk dimiliki.
5
Kecerobohan dalam melakukan pemberian hibah akan berakibat
negatif bagi kehidupan keluarga yang harmonis rasa cinta dan kasih sayang
dalam keluarga berhati menjadi rasa ketidakpuasan bahkan permusuhan.
Fenomena yang menarik dan aktual yang sedang dibicarakan oleh
masyarakat yang ada di Desa Bengkal Kecamatan Kranggan Kabupaten
Temanggung adalah Penyelesaian Sengketa Pemberian Hibah Yang Melebihi
1/3 Dari Ketentuan Hukum Islam.
Di Desa Bengkal Kecamatan Kranggan, Kabupaten Temanggung
sudah menjadi tradisi, biasanya orang tua memberi harta kepada anaknya
berupa rumah dan sawah sesudah anaknya menikah agar dapat digunakan
sebagai modal dalam berumah tangga. Pemberian harta yang sebelumnya telah
dilakukan jika tanpa ada kejelasan pasti, dengan kata lain bila orang tua atau
pihak yang memberikan harta meninggal dunia maka yang menyangkut harta
tidak bergerak tidak jelas statusnya apakah bersifat hibah atau pemanfaatannya
yang bersifat sementara. Akibatnya setelah orang tua meninggal dunia, anak
yang telah diberi menganggap harta tersebut sebagai hibah, sedangkan dari
pihak yang lainnya menganggap bahwa pemberian itu bersifat sementara, yang
nantinya akan dibagi waris.
Sebagai orang tua dalam hal pemberian harta sedapat mungkin untuk
berbuat adil terhadap semua anak-anaknya. Namun pada kenyataannya yang
5
Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, Bandung : Mizan, 1994, Cet. Ke-1, hlm. 155
4
terjadi dalam masyarakat terkadang tidak semuanya dapat dan pada akhirnya
menimbulkan konflik atau masalah dan pihak yang merasa dirugikan menuntut
kepada pihak pemberi (orang tua) agar harta tersebut ditarik kembali dan
kemudian dibagi kembali secara adil.
Dalam hal pemberian hibah meskipun orang tua boleh menarik harta
yang telah diberikan kepada anaknya tetapi penarikan itu dikeluarkan sebelum
anaknya berumah tangga, anak tersebut belum mempunyai tanggungan orang
lain, juga penarikan tersebut dilakukan sebelum orang tua meninggal dunia.
6
Pada keluarga yang tidak dikaruniai anak biasanya mengadopsi anak
orang lain. Secara struktur kewarisan anak angkat tidak mendapatkan warisan,
maka dalam hal ini pihak orang tua angkat memberikan hartanya dengan cara
hibah. Penghibahan tersebut dilakukan karena adanya kekhawatiran, karena
anak angkat tidak akan memperoleh bagian harta kekayaannya setelah ia
meninggal dunia. Kekhawatiran tersebut sangatlah beralasan karena dalam
Hukum Islam tidak mengenal adanya anak angkat. Walaupun demikian dalam
pasal 209 KHI (Kompilasi Hukum Islam) disebutkan baik bapak angkat atau
pun anak angkat harus diberi wasiat wajibah.
7
Pemberian hibah oleh seseorang yang memiliki harta kekayaan dapat
juga disebabkan karena adanya keinginan untuk menyimpang dari aturan
Hukum Islam yang menyangkut hukum waris. Terutama di daerah yang
pengaruh agamanya sangat kuat. Untuk menghindari pembagian yang akan
6
Ibnu Rusyd, Bidayah al- Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Juz I, Semarang: Usaha
Keluarga, t.th, hlm.249
7
Tim Redaksi Pustaka Yustisia, Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Yogyakarta:
Pustaka Yustisia, Cet. I, 2008, hlm.131
5
diperoleh anak angkat tersebut menjadi lebih sedikit. Anak angkat yang
menurut Hukum Islam tidak dikenal maka anak angkat tidak memperoleh
bagian dari harta warisan. Untuk menghindari agar hal tersebut tidak terjadi
maka pemilik harta menghibahkan hartanya kepada orang-orang tertentu yang
dikasihinya. Disamping terdapat motif lain, yaitu untuk menghindari agar
tidak terjadi percekcokan kelak dikemudian hari maka pemilik harta
menghibahkan harta miliknya semasa hidupnya.
Yang menjadi permasalahan adalah Bagaimanakah bentuk
penyelesaian yang ditempuh oleh pihak yang dirugikan, apa dengan
menggunakan jalur alternatif (penyelesaian sengketa diluar pengadilan) seperti
menggunakan (negosiasi, mediasi, dan arbitrase) atau lewat jalur pengadilan
seperti menggunakan (litigasi, arbitrase, mediasi, hakim partikelir). Jika dalam
penghibahan itu tidak ada kejelasan yang pasti, maka akan menimbulkan
sengketa dan siapa yang berhak menghitung dan menentukan jumlah harta
kekayaan (si pemberi hibah) pada saat si pemberi hibah masih hidup. Apakah
ahli waris-ahli waris si pemilik harta kekayaan tersebut masih dapat ikut
campur tangan dalam memberikan penilaian bahwa hibah dari si pemilik harta
kekayaan itu melebihi 1/3 dari keseluruhan harta kekayaannya setelah lewat
waktu beberapa tahun setelah pemberian hibah tersebut terjadi. Lebih tepat
lagi setelah pemilik harta tersebut meninggal dunia baru muncullah protes dari
pihak ahli waris tentang adanya ketidakadilan dari pemilik harta kekayaan
pada saat melakukan penghibahan.
6
Dari uraian diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian.
Tentang Penyelesaian Sengketa Pemberian Hibah Yang Melebihi 1/3 Dari
Ketentuan Hukum Islam Di Desa Bengkal Kec. Kranggan Kab. Temanggung.
B. Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah diatas, yang menjadi rumusan
masalah adalah:
1. Bagaimana bentuk penyelesaian sengketa pemberian hibah yang melebihi
1/3 dari ketentuan Hukum Islam di Desa Bengkal Kec. Kranggan, Kab.
Temanggung.
2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap penyelesaian sengketa
pemberian hibah yang melebihi 1/3 dari ketentuan hukum di Desa Bengkal
Kec. Kranggan, Kab. Temanggung).
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui bentuk penyelesaian sengketa pemberian hibah yang
melebihi 1/3 dari ketentuan Hukum Islam di Desa Bengkal Kec. Kranggan
Kab. Temanggung.
2.Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap penyelesaian sengketa
pemberian hibah yang melebihi 1/3 dari ketentuan Hukum Islam di Desa
Bengkal Kec.Kranggan Kab. Temanggung.
7
D. Telaah Pustaka
Telaah pustaka ini dimaksudkan untuk mencari data tersedia yang
pernah ditulis penerbit sebelumnya, dimana ada hubungannya dengan masalah
yang akan dikaji dalam penulisan skripsi ini.
8
Sejauh hasil penelusuran
penyusun, belum pernah ditemukan tulisan yang spesifik dan mendetail yang
membahas tentang masalah yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa
pemberian hibah, Namun, ada beberapa tulisan atau buku yang berkaitan atau
berhubungan dengan masalah yang akan dikaji oleh penulis, antara lain :
Diantaranya dalam buku yang berjudul Berbagai Macam Transaksi
Dalam Islam (Fiqh Muamalat). Karya M. Ali Hasan, pada tulisan tersebut
pada dasarnya membahas tentang pengertian hibah, rukun-rukun hibah, syarat-
syarat hibah, serta pendapat para ulama tentang penarikan hibah, Jumhur
ulama berpendapat bahwa pemberi hibah, tidak boleh mencabut kembali
hibahnya dalam keadaan apapun, kecuali hibah orang tua terhadap anaknya.
9
Ahmad Rofiq, dalam bukunya Hukum Islam di Indonesia. Membahas
pengertian hibah, dasar hukum hibah, dan hibah hubungannya dengan
warisan, hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai
warisan (KHI pasal. 211), masalah penarikan kembali hibah yang menjelaskan
tercelanya menarik kembali hibahnya, menunjukkan keharaman penarikan
kembali hibah atau sadaqah yang lain yang telah diberikan kepada orang lain.
Kebolehan menarik kembali hibah hanya berlaku bagi orang tua yang
8
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Cet. 1 Jakarta: PT . Raja
Grafindo Persada, 1997, hlm.55
9
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2003, hlm.79.
8
menghibahkan sesuatu kepada anaknya. Kendatipun demikian, menurut hemat
penulis kebolehan menarik kembali, dimaksudkan agar orang tua dalam
memberikan hibah kepada anak-anaknya memperhatikan nilai-nilai keadilan.
10
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah. Menyatakan bahwa masalah hibah,
hampir sama dengan buku-buku sebelumnya, seperti pengertian, rukun, syarat
hibah. Pengharaman melebihkan pemberian dan kebajikan kepada sebagian
dari anak-anak, karena yang demikian akan menanamkan permusuhan dan
memutuskan hubungan silaturrahim. Serta penarikan kembali hibah.
11
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid. Dalam
buku ini pada dasarnya berisi pendapat para ulama. Diungkapkan Malik dan
jumhur ulama Madinah berpendapat bahwa ayah diperbolehkan mengambil
kembali harta yang telah dihibahkannya kepada anaknya selama anaknya ini
belum berhubungan dengan hak orang lain. Abu Hanifah berpendapat bahwa
setiap orang diperbolehkan mengambil kembali harta yang telah
dihibahkannya kecuali harta yang dihibahkan kepada kerabat yang haram
dinikahinya. Jumhur ulama sepakat bahwa hibah yang dimaksudkan sebagai
sedekah, yakni hibah karena Allah, maka siapapun tidak diperbolehkan
mengambilnya kembali.
12
Buku Hibah Terhadap Anak-Anak Dalam Keluarga karya Hamid
Farihi, menjelaskan fungsi hibah sebagai upaya mengurangi kesenjangan
10
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998,
cet. Ke-3, hlm. 467.
11
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 14 Terjemah , Bandung: PT. Al-Maarif, 1987, hlm. 175.
12
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Bandung: Trigenda Karya,
1996, hlm. 714
9
antara kaum punya dengan kaum yang tidak punya, menghilangkan rasa
kecemburuan sosial dan dapat mempererat tali silaturahmi.
13
Hilman Hadikusumah SH., menjelaskan dalam bukunya Hukum Waris
Adat. Disini beliau mengatakan hukum adat tidak menentukan bahwa hibah
wasiat itu bersifat rahasia, terbuka atau tertulis sendiri sebagaimana pasal 931
KUH Perdata. Beliau juga menyatakan baik dalam hukum adat maupun
hukum Islam ucapan hibah wasiat dapat ditarik kembali oleh yang
mengucapkannya selama ia masih hidup, baik dalam bentuk ucapan maupun
dalam bentuk perbuatan.
14
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqih Islam. Dalam buku
ini diungkapkan bahwa menurut Abu Hanifah, tidak boleh sekali-kali para
ayah menarik kembali hibahnya. Kata Malik, boleh ayah menarik kembali,
walaupun sesudah diterimakan barang, kalau dia hibahkan kepada anaknya itu
atas dasar kasih sayang saja. Tidak boleh ia tarik kembali kalau atas dasar
sedekah.
15
Penelitian yang telah dilakukan oleh Fajar Iskandar, dengan judul
skripsi Studi Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang
No: 15/pdt.g/2007/PTA.Smg. Tentang Penarikan Hibah Orang Tua Terhadap
Anak. Membahas bagaimana PTA Semarang memutuskan perkara dalam
tingkat banding tentang penarikan hibah orang tua terhadap anak ditinjau dari
hukum formal dan hukum materiil. Dalam penelitian ini ditemukan perbedaan
13
Hamid Farihi, Hibah Terhadap Anak-Anak Dalam Keluarga, Jakarta: Pustaka Firdaus,
1995, hlm. 114
14
Hilman Hadikusumah, Hukum Waris Adat, Bandung: Alumni, 1983, hlm. 69
15
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqih Islam, Yogyakarta: PT. Rosda Karya
1990, hlm. 442-445
10
pendapat hukum antara PA Pemalang dengan PTA Semarang yang menilai
pasal 212 KHI bukanlah harga mati dalam memutuskan perkara penarikan
hibah, namun harus dilihat terlebih dahulu duduk perkaranya (kasusnya). Juga
mengharuskan orang tua dalam memberikan pemberian kepada anak-anaknya
harus bersikap adil, karena jika tidak salah satu pihak yang merasa dirugikan
atau tidak sama cenderung akan menuntut bagiannya itu.
16
Penelitian oleh Muhammad Munir, dalam skripsinya Analisis
Terhadap Pendapat Imam Syafii Tentang Hukum Pencabutan Kembali
Hibah. Dalam analisanya bahwa Imam Syafii berpendapat bahwa hibah
tidak boleh dicabut kembali manakala si penghibah memberi hibah dengan
sukarela tanpa mengharap imbalan. Sedangkan bila si penghibah memberi
hibah dengan maksud mendapat imbalan maka hibah boleh dicabut kembali.
Karena hibah merupakan pemberian yang mempunyai akibat hukum
perpindahan hak milik, maka pihak pemberi hibah tidak boleh meminta
kembali harta yang sudah dihibahkannya, sebab hal itu bertentangan dengan
prinsip-prinsip hibah.
17
Adapun spesifikasi penelitian ini adalah memfokuskan pada konsep
penyelesaian sengketa pemberian hibah yang melebihi 1/3 dari ketentuan
hukum islam
Dalam uraian kajian pustaka diatas, fokus penelitian ini nampak
berbeda dengan penelitian saat ini, yaitu Penyelesaian Sengketa Pemberian
16
Fajar Iskandar, Studi Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang
No: 15/pdt.g/2007/PTA.Smg. Tentang Penarikan Hibah Orang Tua Terhadap Anak, Skripsi
Fakultas Syariah IAIN Walisongo, Semarang, 2006.
17
Muhammad Munir, Analisis Terhadap Pendapat Imam Syafii Tentang Pencabutan
Kembali Hibah, Skripsi Fakultas Syariah IAIN Walisongo, Semarang, 2006.
11
Hibah Yang Melebihi 1/3 Dari Ketentuan Hukum Islam (Studi Kasus Pada
Keluarga Pudjo Sumarno Di Desa Bengkal kec. Kranggan Kab.
Temanggung). Maka, dari sini penyusun mencoba untuk melakukan penelitian
tentang masalah tersebut.
E. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam menyusun penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian lapangan (field
research), yaitu penyusun terjun langsung ke lapangan guna mencari dan
menelusuri data tentang penyelesaian sengketa pemberian hibah yang
melebihi 1/3 di Desa Bengkal Kec. Kranggan Kab. Temanggung.
2. Sumber Data
Sumber data yang penulis gunakan adalah sumber data primer dan
sekunder. Sumber data primer adalah data yang diperoleh langsung dari
subyek penelitian yang menggunakan alat pengukuran atau alat
pengambilan data lansung pada subyek sebagai sumber informasi yang
dicari.
18
Dalam hal ini obyek penelitiannya adalah masyarakat Desa
Bengkal Kecamatan Kranggan Kabupaten Temanggung. Sedangkan untuk
18
Syaifudin Azwar, Metodologi Penelitian, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 2001,
Cet. III, hlm. 91
12
data sekunder adalah data yang menjadi pendukung dalam penelitian yaitu
buku yang berkaitan dengan masalah tersebut.
19
Dan data monografi desa.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, penyusun menggunakan metode
pengumpulan data sebagai berikut :
a. Wawancara (interview).
Wawancara (interview) adalah proses wawancara langsung pada
obyek yang menjadi tujuan penelitian yaitu masyarakat Bengkal.
Interview merupakan proses interaksi antara pewawancara dan
responden.
20
Metode ini bertujuan untuk mengumpulkan keterangan
tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat, serta pendirian
mereka itu merupakan suatu pembantu utama dari metode observasi.
21
b. Observasi
Observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistematik
terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian.
22
Metode ini
digunakan untuk mengamati secara langsung situasi dan kondisi
secara umum lokasi penelitian. Dalam hal ini penulis terjun langsung
ke lapangan dan mengunjungi masyarakat dan tokoh agama setempat.
c. Dokumentasi
Dokumentasi yaitu setiap bahan tertulis yang dijadikan sebagai
sumber data yang dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan
19
Ibid, hlm.63
20
Muh Nazir, Metodologi Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia,1998, hlm.129
21
Kontjaraningra, Metodologi Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1997, hlm.129
22
S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2004, Cet. III,
hlm. 158
13
untuk meramalkan.
23
Dokumen tersebut berupa buku daftar isian
profil desa Bengkal, serta daftar monografis desa.
4. Metode Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif
analitis, yaitu cara penulisan dengan menggunakan pengamatan terhadap
gejala, peristiwa dan kondisi aktual di masa sekarang.
24
Adapun
pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan fenomenologis.
25
Pendekatan ini dimaksudkan agar bisa memahami secara utuh dan apa
adanya (value free). Fenomena yang terjadi dalam penyelesaian sengketa
pemberian hibah yang melebihi 1/3 dari ketentuan Hukum di Desa
Bengkal Kec. Kranggan Kab. Temanggung.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan skripsi ini penulis membagi dalam lima bab,
dimana bab I V merupakan rangkaian dari bab yang bersangkutan. Untuk
lebih jelas uraian sistematika ini adalah:
Bab Pertama berisi pendahuluan, yang merupakan gambaran umum dengan
memuat: latar belakang masalah, permasalahan, tujuan penulisan,
telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika Penulisan.
Bab kedua berisi tinjauan umum tentang hibah yang meliputi hibah dalam
hukum Islam (pengertian hibah dan dasar hukum hibah ,rukun
23
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2004, Cet. XVIII, hlm. 161.
24
Tim Penulis Fakultas Syariah IAIN Walisongo, Pedoman Penulisan Skripsi,
Semarang: Fakultas Syariah IAIN Walisongo, 2000, hlm. 17.
25
Lexy J. Moleong, op.cit., hlm. 9.
14
dan syarat hibah, jenis-jenis hibah, fungsi hibah, hibah dalam
hukum adat, prinsip-prinsip hukum islam tentang hibah, bentuk-
bentuk penyelesaian sengketa).
Bab Ketiga berisi praktek pemberian hibah yang menimbulkan sengketa. Maka
pembahasan dalam bab ini meliputi: Gambaran umum
masyarakat desa Bengkal sebagai pengantar pembahasan,
kemudian di lanjutkan yang pertama kondisi geografis, jumlah
penduduk, dan ekonomi di desa Bengkal, kedua, kondisi
pendidikan dan keagamaan di Desa Bengkal.
Sub bab praktek pemberian hibah dan permasalahannya yang
terjadi di masyarakat Bengkal, kasus dan cara penyelesaiannya
di Desa Bengkal Kec. Kranggan Kab. Temanggung.
Bab Keempat berisi analisis penyelesaian sengketa pemberian hibah yang
melebihi 1/3 dari ketentuan hukum islam di Desa Bengkal Kec.
Kranggan Kab. Temanggung). Yaitu meliputi analisis terhadap
bentuk penyelesaian sengketa pemberian hibah yang melebihi 1/3
dari ketentuan hukum islam di Desa Bengkal Kec. Kranggan
Kab. Temanggung) dan analisis tinjauan hukum islam terhadap
penyelesaian sengketa pemberian hibah yang melebihi 1/3 dari
ketentuan hukum islam di Desa Bengkal kec. Kranggan Kab.
Temanggung)
Bab Kelima merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan, untuk
memberikan gambaran kepada pembaca, baik secara menyeluruh
15
dari setiap skripsi agar mudah dipahami, berupa saran-saran yang
memberi motivasi pada masyarakat untuk menjalankan
kehidupan yang lebih baik. Sebagaimana dalam pembahasan
skripsi ini dan diakhiri dengan penutup.
16
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HIBAH
A. Pengertian dan Dasar Hukum Hibah
1. Pengertian Hibah
Kata hibah adalah bentuk masdar dari kata wahaba digunakan
dalam al-Quran beserta kata derivatnya sebanyak 25 kali dalam 13 surat.
Wahaba artinya memberi, dan jika subjeknya Allah SWT, berarti memberi
karunia, atau menganugerahi. Dalam al-Quran terdapat kata-kata yang
bermakna hibah, seperti dalam firman Allah SWT. Q.S. Ali Imran ayat,38:
9$uZd $ty $-2 y m-/u ( tA $s% b> u = yd < ` B R$! Zp-h pt7h s ( R) x
!$t$!$#
Artinya: Ya Tuhanku, berilah dari sisi Engkau seorang anak yang baik,
sesungguhnya engkau Maha Pendengar do (Q.S. Ali Imran
ayat 38).
26
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, hibah adalah pemberian
(dengan sukarela) dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang
lain.
27
Dalam pengertian istilah, hibah adalah pemilikan sesuatu benda
melalui transaksi (aqad) tanpa mengharap imbalan yang telah diketahui
dengan jelas ketika pemberi masih hidup.
28
26
Depag RI, Al Quran dan Terjemahnya, Jakarta: Bumi Restu, 1974, hlm. 81.
27
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 2005, Edisi III. Cet. III, hlm. 398.
17
Dalam rumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI Pasal. 171 huruf g),
hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan
dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
29
Pengertian hibah dalam Ensiklopedi Hukum Islam adalah pemberian
yang dilakukan secara sukarela dalam mendekatkan diri kepada Allah
SWT tanpa mengharapkan balasan apapun.
30
Undang-undang tidak mengakui hibah selain hibah-hibah diantara
orang-orang yang masih hidup.
31
Terdapat beberapa definisi hibah yang dikemukakan oleh para
ulama:
a) Abd al-Rahman al-Jaziri dalam Kitab al-Fiqh ala al-Mazahib al-
Arbaah, menghimpun empat definisi hibah dari empat mazhab,
yaitu dengan tanpa menjanjikan imbalan seketika, sedangkan
menurut mazhab Maliki yaitu memberikan milik sesuatu zat dengan
tanpa imbalan kepada orang yang diberi, dan juga biasa disebut
hadiah. Mazhab Syafii dengan singkat menyatakan bahwa hibah
menurut pengertian umum adalah memberikan milik secara sadar
sewaktu hidup.
b) Definisi yang lebih rinci dan komprehensif dikemukakan ulama
mazhab Hambali. Ulama mazhab Hambali mendefinisikannya
28
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998,
Cet. III, hlm. 466.
29
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Departemen Agama RI, Jakarta: 1997, hlm. 156.
30
Abdul Aziz Dahlan, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar van Hoeve,
1996, hlm. 540.
31
Abd al-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ala al- Mazahib al-Arbaah, Beirut: Dar al-
Fikr, t.th, Juz 3, hlm.282-292
18
sebagai pemilikan harta dari seseorang kepada orang lain yang
mengakibatkan orang yang diberi boleh melakukan tindakan hukum
terhadap harta tersebut, baik harta tertentu maupun tidak, bendanya
ada dan biasa diserahkan.
32
c) Berikut pendapat Teungku Muhammad Hasbie Ash Shiddieqy hibah
ialah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan diadakan akad
tanpa diadakan bunga.
33
d) Tidak jauh berbeda dengan rumusan diatas, Syekh Zainuddin Ibn
Abd Aziz al-Malibary,
34
bahwa hibah adalah memberikan suatu
barang yang pada galibnya sah dijual dari piutang, oleh orang ahli
tabarru, dengan tanpa penukarannya.
e) Menurut pendapat Abi Yahya Zakariyah al-Anshori, hibah adalah
memberikan sesuatu dari hak yang bersifat sunnat pada waktu
hidupny.
35
f) Sedangkan M. Ali HAsan mengutarakan hibah artinya: pemberian
atau hadiah, yaitu suatu pemberian yang dilakukan secara sukarela
dalam mendekatkan diri kepada Allah tanpa mengharapkan balasan
apapun.
36
32
Ibid.
33
Teungku Muhammad Hasbie Ash Shidieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, cet.2, Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 238.
34
Syekh Zainuddin Ibn Abd al-Malybary, Fath al-Muin, Semarang: Pustaka Alawiyah,
t.th, hlm39
35
Abi Yahya Zakariyah al-Anshori, Fath al-Wahab, Semarang: Toha Putra, Juz I, t.th,
hlm.259.
36
M. ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, Cet.I, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2003, hlm. 76
19
Beberapa definisi di atas sama-sama mengandung makna pemberian
harta kepada seseorang secara langsung tanpa mengharapkan imbalan
apapun, kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa hibah adalah akad atau perjanjian yang
menyatakan perpindahan milik seseorang kepada orang lain diwaktu ia
masih hidup tanpa mengharapkan penggantian atau imbalan sedikitpun.
2. Dasar Hukum Hibah
Adapun dasar hukum dari hibah dapat kita pedomani dari al-Quran
dan hadist Nabi Muhammad SAW.. Allah SWT. mensyariatkan hibah
karena di dalamnya terkandung kebaikan, upaya menjinakkan hati dan
memperkuat tali kasih sayang diantara manusia. Firman Allah SWT dalam
Quran surat al-Maidah ayat 2:
( : ) uq) -G9$#ur h99$# n?t (#qRur $ys?ur
Artinya:Dan tolong menolonglah dalam kebaikan dan taqwa (Q.S. al-
Maidah ayat 2).
37
Dalam suatu hadist disebutkan,
` , ` , `, , _ . = ` ` , `, , ` `, = . _ = `, , , , ` `,
- ' `, ) -,- .-.' . _,,' (
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah SAW. bersabda,
saling memberi hadiahlah, maka kalian akan saling
mencintai.(HR. Pengarang kitab-kitab yang mashur)
37
Departemen Agama Op,Cit. hlm. 157.
20
Annas Ibnu Malik r.a menerangkan:
, ` ` ` = . _ : , , , `, = _ . = ` ,` _ :
` .`, - . `, ` .`, ` ` , , ` . _ , ` _ ` '`, ) ,, ~ ,_
--., (
Artinya: Dari Anas ibnu Malik r.a, Rasulullah SAW bersabda:
sekiranya kepada saya dihadiahkan kaki binatang, tentu akan
saya terima, dan sekiranya saya diundang untuk memakan kaki
binatang, pasti saya penuhi. (HR. Ahmad dan Turmudzi).
38
Rasulullah SAW. telah menerima hadiah dan membalasnya. Beliau
menyerukan dan menganjurkannya. Dalam riwayat hadits Ahmad dari
hadist Khalid bin Adi bahwa nabi SAW, telah bersabda:
` - . ` ` - `, ` `, `, ` ` `, , ` , , . , ` , . , `, ` ` , `
` , _ `_ ` = `,
Artinya: Barang siapa yang mendapatkan kebaikan dari saudaranya
bukan karena mengharapkan dan meminta-minta, maka
hendaklah ia menerima dan tidak menolaknya, karena
merupakan rezeki yang diberikan Allah kepadanya.
39
3. Ukuran Harta atau Benda yang Dihibahkan
Mengenai benda yang dihibahkan ini meliputi segala macam
benda yang wujud atau tidak ada ditempat (al madum). Prinsipnya,
semua benda atau hak yang dapat diperjualbelikan, maka dapat
dihibahkan. Dalam konteks sekarang ini, seseorang mempunyai kekayaan
38
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Hukum 7, Semarang:
PT Pustaka Rizki Putra, Cet. III, 2001, hlm. 294.
39
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 4, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006, Cet. I, hlm. 436.
21
bisa dalam berbentuk saham sebagai surat bukti bahwa ia memiliki benda
yang diterangkan dalam surat tersebut.
40
Ukuran harta atau benda yang dihibahkan, dalam Kompilasi
Hukum Islam telah disebutkan dalam pasal 210 bahwa Orang yang telah
berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya
paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya
kepada orang lain atau lembaga.
Memang pada awalnya para fuqaha tidaklah memberi batasan
maksimal pada perbuatan hibah. Seseorang memiliki harta bebas untuk
melakukan hibah kepada siapa yang dikehendaki dalam jumlah
berapapun. Bahkan bila perlu dia dapat menghabiskan seluruh hartanya.
Sistem tersebut ternyata menimbulkan kerugian bagi ahli waris, sebab
tidak selamanya wahib (orang yang menghibahkan) menghibahkan
hartanya semata-mata demi ibadah dan taqarrub kepada Allah SWT.
Cara tersebut adakalanya ditempuh seseorang untuk menghalangi ahli
waris mendapatkan haknya karena pewaris tidak senang dengan ahli
waris.
41
Oleh karena itu, dengan pertimbangan kemaslahatan dengan
menganalogikan pada pemberian harta melalui jalan wasiat atau hibah
yakni atas dasar hadits Saad ibn Abi Waqash:
40
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998,
Cet. III, hlm. 472.
41
Muhammad Saifullah,dkk. Hukum Islam Solusi Permasalahan Keluarga, Yogyakarta:
UII Press, 2005 hlm,229.
22
' ,. , ., ,, , _-, _ _, = ,_,
_, `. : . .. : . : ,' _ ., ..
.,, ,_ .' _- .,' :_, _ .' :` , _
) , _- ,_ , (
Artinya: Ya Rasulullah, saya sedang menderita sakit keras,. Bagaimana
pendapat anda, saya ini orang berada, dan tidak ada yang dapat
mewarisi harta saya kecuali seorang anak perempuan. Apakah
sebaiknya saya mewasiatkan 2/3 harta saya itu?. Jangan
jawab Rasulullah. Separoh, ya Rasul? sambungku. Jangan
jawab Rasulullah. Sepertiga sambungku lagi. Rasulullah
menjawab: sepertiga. Sebab, sepertiga itupun sudah banyak
dan besar, karena jika kamu meninggalkan ahli waris dalam
keadaan yang cukup adalah lebih baik daripada kamu
meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang meminta-
minta pada orang banyak. (HR. Bukhori dan Muslim).
42
Dalil diatas adalah ijma, karena umat Islam sejak dari Rasulullah
sampai saat ini banyak melakukan wasiat/hibah dan ternyata hal itu tidak
pernah diingkari oleh seorang pun. Hal ini menunjukkan ada kesepakatan
ijma umat Islam.
43
Maka Kompilasi Hukum Islam menetapkan bahwa istilah
diberlakukan batasan 1/3 dari harta yang dimiliki. Dan penganalogian ini
sejalan dengan pelaksanaan amanat dalam surat An-Nisa ayat : 9 yang
berbunyi:
| u 9ur %!$# qs9 (#q. ts? ` B Og =yz Zp-h $y (#q%s{ Ng n=t (#q) -Gu =s ! $#
(#q9q) u 9ur Zw qs% #y
42
M.Al i Hasan,Op,Ci t , hl m 9 2 - 9 3
43
Ibid.
23
Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan dibelakang anak-anak mereka yang
lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.
Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan
hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.
44
B. Rukun Dan Syarat Hibah
1. Rukun Hibah
Jumhur ulama mengatakan, bahwa rukun hibah itu ada empat,
adapun yang menjadi rukun hibah yaitu:
a) Orang yang menghibahkan.
b) Orang yang menerima hibah.
c) Lafal hibah (Ijab dan Kabul)
d) Harta yang dihibahkan.
2. Syarat Hibah
a) Orang yang menghibahkan
1) Penghibah itu adalah orang yang mememiliki dengan sempurna
sesuatu harta yang akan dihibahkannya. Dalam hibah terjadi
pemindahan milik, karena itu mustahil seorang yang tidak
mempunyai milik menghibahkan sesuatu atau barang kepada pihak
yang lain.
2) Penghibah itu adalah orang yang telah mempunyai kesanggupan
melakukan tabarru. Maksudnya ialah ia telah mursyid, telah dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya jika terjadi suatu
44
Departemen Agama Op,Cit. hlm. 116.
24
persoalan atau perkara di pengadilan yang berhubungan dengan
hartanya itu.
3) Penghibah tidak berada di bawah perwalian orang lain, seperti
karena lemah akalnya ia ditetapkan berada di bawah perwalian.
4) Penghibah melakukan hibah itu dalam keadaan mempunyai iradah
dan ikhtiar dalam melakukan tindakannya. Seorang mempunyai
iradah jika orang itu melakukan tindakan atas dasar kehendaknya,
bukan karena dipaksa, atau suatu keadaan sehingga ia tidak dapat
berbuat menurut kehendaknya seperti dalam keadaan mabuk dan
sebagainya. Seorang mempunyai ikhtiar dalam tindakannya apabila
ia melakukan perbuatan atas pilihannya bukan karena dipilih orang
lain. Tentu saja pilihan ini terjadi setelah memikirkan dengan
matang.
45
b) Orang yang menerima hibah
Adapun syarat-syarat penerima hibah ialah hadir pada saat
pemberian hibah, apabila tidak ada atau diperkirakan ada, misalnya
janin, maka hibah tidak sah.
Apabila penerima hibah ada pada saat pemberian hibah, tetapi
masih kecil atau gila, maka hibah itu diambil oleh walinya,
pemeliharaanya atau pendidiknya, sekalipun orang asing.
46
45
Asymuni A. Rahman, dkk (Tim Penyusun), Ilmu Fiqh 3, Jakarta: Proyek Pembinaan
Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama Islam/IAIN di Jakarta Direktorat Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1986, Cet. II, hlm. 202-203.
46
Sayyid Sabiq, Op. Cit, hlm. 438.
25
c) Harta yang dihibahkan
Menyangkut benda yang dihibahkan haruslah memenuhi
persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
1) Benda tersebut benar-benar ada
2) Benda tersebut mempunyai nilai
3) Benda tersebut dapat dimiliki zatnya, diterima peredarannya
dan pemilikannya dapat dialihkan
4) Benda yang dihibahkan itu dapat dipisahkan dan diserahkan
kepada penerima hibah.
47
d) Lafal hibah (Ijab dan Kabul)
Adapun hibah sah berlaku melalui ijab dan kabul dalam bentuk
apapun selagi pemberian harta tersebut tanpa imbalan. Misalnya,
seorang penghibah berkata, Aku hibahkan kepadamu, aku hadiahkan
kepadamu, aku berikan kepadamu, atau semisalnya. Sedangkan orang
lain berkata, Ya, aku terima.
Menyangkut ijab kabul yaitu adanya pernyataan, dalam hal ini
dapat saja dalam bentuk lisan atau tulisan. Sedangkan menurut ulama
Hanafi, yang dikutip Chairuman Pasaribu
48
berpendapat bahwa ijab
saja sudah cukup tanpa harus diikuti dengan kabul, dengan perkataan
lain hanya berbentuk pernyataan sepihak.
Malik dan Syafii berpendapat bahwa dipegangnya kabul di
dalam hibah. Kalangan mazhab Hanafi berpendapat bahwa ijab sudah
47
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam,
Jakarta: Sinar Grafika, 1996, Cet. II, hlm. 116.
48
Ibid.hlm.117.
26
cukup dan itulah yang paling sahih. Sedangkan kalangan mazhab
Hanbali berpendapat bahwa hibah itu sah dengan pemberian yang
menunjukkan ketertarikan dengannya, karena Nabi Muhammad SAW
memberikan dan diberi hadiah. Begitu juga yang dilakukan oleh para
sahabat bahwa mereka tidak mensyaratkan ijab kabul atau
semisalnya.
49
Tentu saja lafal hibah itu hendaknya perkataan yang
mengandung pengertian hibah dan hendaklah ada persesuaian antara
ijab dan kabul. Bagi orang yang tidak atau kurang dapat berbicara,
maka shighat hibah cukup dengan isyarat, asal isyarat itu benar-benar
mengandung arti hibah dan dapat dipahami oleh pihak-pihak yang
berhibah.
Adanya saksi dalam hibah juga menjadi syarat dalam sahnya
transaksi hibah. Kompilasi Hukum Islam (KHI pasal 210)
Menyebutkan orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21
tahun, berakal sehat dan tanpa paksaan, dapat menghibahkan
sebanyak-banyaknya-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain
atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki.
50
Dalam Bidayatu al-Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid
51
disebutkan kajian mengenai saksi ini berkenaan dengan tiga hal, yaitu
sifat, jenis dan bilangannya. Secara umum ada lima sifat yang
49
Sayyid Sabiq, Op. Cit, hlm. 437.
50
Kompilasi Hukum Islam, Op. Cit., hlm. 143
51
Ibnu Rusyd, Bidayatul al-Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Bandung: Trigenda
Karya, 1996, hlm.974 - 977
27
dipersyaratkan untuk diterimanya seorang saksi, yaitu adil, baligh,
Islam, merdeka dan bukan tuduhan.
Menurut para ulama, sifat adil, Islam, disyaratkan untuk
diterimanya kesaksian seorang saksi. Sebagaimana firman Allah SWT,
Al-Baqarah ayat 282 :
` J B tb q| s? z` B !#ypk 9$#
Artinya : Dari saksi-saksi yang kamu ridloi (QS. Al-Baqarah:
282)
52
Adapun dalam Al-Quran surat Al Maidah ayat 106:
$pkr' t t %!$# (#qZtB#u oypky- N3 Z t/ #s) u|ym N. ytn r& NqyJ 9$# t m p uq9$# b $uZO$#
#ur s 5A t N3 ZiB r r& b #tyz #u ` B N. x b ) OFRr& L/u F{ $# N3 Gt6| r' s
pt6 B NqyJ 9$# 4 $yJ g tRq ;trB .` B t/ o4qn= 9$# b $yJ ) s ! $$/ b ) OG6s? $# w tItR
m/ $YYyJ rO qs9ur tb %x. #s 4 n1% w ur OF3 tR noypky- ! $# !$R) #]) z` J 9 t J OFy $#
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang
kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat,
Maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang
yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan
agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan dimuka
bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. kamu tahan
kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah),
lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika
kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) kami tidak akan membeli
dengan sumpah Ini harga yang sedikit (untuk kepentingan
seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula)
kami menyembunyikan persaksian Allah; Sesungguhnya
kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang
berdosa" (Q.S. al-Maidah : 106).
53
52
Depag RI, Op,Cit,.hlm 70
53
Ibid hlm 180
28
Adapun mengenai tuhmah (kesaksian tanpa bukti) yang
disebabkan mahabbah (kecintaan), para ulama sepakat bahwa hal itu
dapat berpengaruh terhadap digugurkannya kesaksian. Namun, mereka
berbeda pendapat mengenai penolakan kesaksian orang adil dengan
dasar tuhmah karena kecintaan yang penyebabnya adalah permusuhan
duniawi.
Namun sebagian fuqaha Al-Amshar menolak kesaksian yang
tanpa bukti. Hanya saja mereka sepakat memberlakukan tuhmah pada
beberapa perkara dan menggugugurkannya pada perkara lain.
Permasalahan yang disepakati para ulama adalah ditolaknya kesaksian
bapak atas anaknya, dan kesaksian anak atas bapak nya. Begitu pula
kesaksian ibu terhadap anaknya, dan kesaksian anak terhadap ibunya.
Seluruh ulama sepakat bahwa suatu hukum wajib ditetapkan
berdasarkan kesaksian dua orang laki-laki, tanpa disertai sumpah dari
pendakwa, kecuali menurut Ibnu Abi Laila yang mewajibkan seorang
saksi untuk bersumpah dari pendakwa.
Mereka juga sepakat bahwa urusan mengenai harta dapat
ditetapkan dengan satu orang saksi laki-laki yang adil dan dua orang
saksi perempuan. Karena firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah
ayat 282 :
b *s N9 $tRq3 t n=_ u @_ ts b $s?r&zD$#ur ` J B tb q| s? z` B !#ypk 9$# b r& @s?
$yJ g 1yn ) te2 x Fs $yJ g 1yn ) 3 tz W{ $# 4
Artinya: Jika tidak ada dua orang lelaki, maka boleh seorang lelaki
dan dua orang perempuan darri saksi-saksi yang kamu
29
ridloi, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi
mengingatkannya.(QS. Al-Baqarah : 282)
54
C. JenisJenis Hibah
1. Umra
Umra merupakan sejenis hibah, yaitu jika seseorang memberikan
hibah sesuatu kepada orang lain selama dia hidup dan apabila penerima
hibah meninggal dunia, maka barang tersebut dikembalikan lagi kepada
pemberi hibah.
55
Hal demikian berlaku dengan lafazh, Aku umrakan
barang ini atau rumah ini kepadamu, artinya aku berikan kepadamu
selama engkau hidup, atau ungkapan yang senada.
2. Ruqba
Ruqba ialah pemberian dengan syarat bahwa hak kepemilikan
kembali kepada si pemberi apabila si penerima meninggal terlebih dahulu,
jika yang memberi meninggal dahulu, maka hak pemilikan tetap menjadi
hak si penerima.
56
Banyak macam-macam pemberian, macam-macam sebutan
pemberian disebabkan oleh perbedaan niat (motivasi) orang-orang yang
menyerahkan benda tersebut, macamnya adalah sebagai berikut:
a) Al-Hibah, adalah akad yang dilakukan dengan maksud memindahkan
milik seseorang kepada orang lain ketika masih hidup dan tanpa
imbalan.
57
54
Ibid hlm 70
55
Sayyid Sabiq, Op. Cit., hlm. 447.
56
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Op.Cit, hlm. 314.
57
Chuzaimah dan Hafiz Anshary AZ. (Editor), Op. Cit., hlm. 105.
30
b) Shadaqah, pemberian kepada orang lain dimaksudkan untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT. dan diberikan kepada orang yang
sangat membutuhkan tanpa mengharapkan pengganti pemberian
tersebut.
58
c) Hadiah, yang dimaksud dengan hadiah ialah pemberian dari seseorang
kepada orang lain tanpa adanya penggantian dengan maksud
mengagungkan atau karena rasa cinta.
59
d) Wasiat, adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain
atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
60
Pada dasarnya, arti beberapa istilah di atas ditambah athiyah. Dan
pada umumnya orang sukar membedakan antara kata hibah, sedekah dan
hadiah pengertian hibah menurut bahasa hampir sama dengan pengertian
sedekah dan hadiah, perbedaannya sebagai berikut:
a) Jika pemberian kepada orang lain dimaksudkan untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT, dan diberikan kepada orang yang sangat
membutuhkan tanpa mengharapkan pengganti pemberian tersebut
dinamakan sedekah.
b) Jika pemberian tersebut dimaksudkan untuk mengagungkan atau karena
rasa cinta, dinamakan hadiah.
c) Jika diberikan tanpa maksud yang ada pada sedekah dan hadiah
dinamakan hibah.
58
Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, Bandung: CV Pustaka Setia, 2006, Cet III, hlm. 241.
59
Ibid.
60
Kompilasi Hukum Islam, Seri Perundangan, Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2004,
Cet. I, hlm. 80.
31
d) Jika hibah tersebut diberikan seseorang kepada orang lain saat ia sakit
menjelang kematiannya dinamakan athiyah.
61
D. Fungsi Hibah
Fungsi hibah adalah sebagai salah satu bentuk taqarrub ilallah. Hibah
dilakukan dalam rangka mempersempit kesenjangan sosial, menumbuhkan
rasa kesetiakawanan, dan memperhatikan sikap kepedulian sesama dalam hal
sosial. Apabila dilihat secara vertikal (hablum minallah), maka melaksanakan
hibah dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaan seseorang kepada Allah
SWT. Sedangkan secara horisontal (hablum minannas), melaksanakan hibah
dapat berfungsi sebagai upaya untuk mengurangi kesenjangan antara kaum
punya dengan kaum yang tidak punya, menghilangkan rasa kecemburuan
sosial dan mempererat hubungan keluarga dan silaturahmi.
62
E. Hibah Dalam Hukum Adat
Penghibahan adalah pembagian atau penyerahan harta yang akan
ditinggalkan oleh seorang pewaris kepada ahli warisnya, pada waktu si
pewaris masih hidup. Pada dasarnya penghibahan ini merupakan perbuatan
hukum yang berdasar hukum adat dalam lingkungan keluarga, dan karena itu
tidak diperlukan pengesahan dari kepala persekutuan adat (Kepala Desa).
Yang terpenting ada pelaksanaan nyata (riil) dari pernyataan penghibahan itu,
dan kadang-kadang diperlukan adanya pengetahuan atau persetujuan dari ahli
61
Rachmat Syafei Op. Cit., hlm. 241.
62
Hamid Farihi, Hibah Terhadap Anak-Anak Dalam Keluarga, Jakarta : Pustaka Firdaus,
1995, hlm 181
32
waris lainnya, karena setiap ahli waris berhak menuntut haknya dengan alasan
penghibahan diluar pengetahuannya.
63
Hukum adat menurut C. van Vollenhoven menyebutkan bahwa hukum
adat terbagi oleh dua golongan, yaitu golongan pribumi dan hukum adat
golongan timur asing.
64
Menurut Kusumadi Pudjosewojo, Hukum adat sebagai keseluruhan
aturan hukum tidak tertulis. Sedangkan yang dimaksudkan dalam UUPA
dengan hukum adat itu adalah hukum aslinya golongan rakyat pribumi, yang
merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung
unsur-unsur nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan,
yang berasaskan keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan.
65
F. Prinsip-Prinsip Hukum Islam tentang Hibah
Secara general, syari menciptakan syariat (undang-undang) bukanlah
tanpa arah, melainkan bertujuan untuk merealisir kemaslahatan umum,
memberikan kemanfaatan dan menghindarkan kemafsadatan bagi umat
Manusia.
66
Atau dengan kata lain, apabila ilmu hukum tidak dapat
menyelesaikan suatu peristiwa hukum, maka dengan memperhatikan tujuan -
tujuan ini setiap peristiwa hukum akan dengan mudah terselesaikan.
67
63
H.A.M Effendy, SH, Pokok-Pokok Hukum Adat, Semarang: Duta Grafika, 1990, cet.III,
hlm 165-56
64
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria , Isi dan Pelaksanaanya, Jakarta: Djambatan, 2003, cet.9, hlm 178
65
Ibid. hlm 179
66
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Fiqh Islam Bandung :
PT al- Maarif, hlm.333.
67
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, dalam Tjun Suryaman (ed), Hukum Islam di
Indonesia Pemikiran dan Praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991, Cet 1, hlm.274.
33
Sedemikian pentingnya kemaslahatan ditegakkan, dengan penuh
keyakinan Muhammad Maruf ad-Dawalibi berdalil; bahwa tumpuan akhir
syariah adalah kemaslahatan, dan di mana saja ditemukan kemaslahatan,
maka di situlah hukum Allah.
68
Secara faktual, di dalam keluarga ada yang kaya dan ada yang miskin,
ada yang kecukupan dan ada yang kekurangan, oleh sebab itu islam
menetapkan bahwa hak hamba Allah yang paling besar yang menjadi
tanggung jawab seseorang, ialah untuk kaum kerabatnya, itulah yang
dinamakan silaturrahim . Di dalam syariat islam sebutan silaturrahim telah
berulang kali ditegaskan di dalam al Quran dan as- Sunnah, dan jika
memutuskannya maka sebagai suatu dosa yang sangat besar. Apabila
seseorang yang kekurangan ditimpa suatu bencana, maka wajiblah bagi
mereka yang kecukupan di antara kamu kerabatnya menolongnya dan
mengulurkan tangan untuk membantunya sebagaimana hak kaum kerabat di
dalam sedekah dan diutamakan dari pada hak orang lain.
69
Dan inilah salah
satu tujuan disyariatkannya hibah.
Adapun prinsip-prinsip yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan hibah
adalah sebagai berikut:
68
Amir Huruddin, Ijtihad Umar Ibn AL- Khattab, Studi tentang Perubahan Hukum dalam
Islam , Jakarta: Rajawali Press, 1991, Cet. I, hlm.168.
69
Abul Ala al-Maududi, Prinsip-Prinsip Islam, Alih Bahasa Abdullah Suhaili, Bandung:
PT al-Maarif, 1985, Cet.3, hlm. 145.
34
1. Prinsip Musyawarah
Prinsip ini tidak hanya pada masalah hibah saja melainkan
berlaku pada setiap permasalahan sekalipun kepastiannya kecil, hal ini
sebagaimana firman Allah;
Nd r $xur DF{ $# (
Artinya: Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.
(Qs. Al Imran 159).
70
Dalam pelaksanaan perintah musyawarah ini, Nabi selalu
bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya hingga masalah-masalah yang
berhubungan dengan rumah tangga.
71
Di samping itu musyawarah dapat berfungsi sebagai media untuk
menyaring pendapat yang paling sesuai dengan representatif terhadap
semua unsur dan kalangan, juga sebagai sarana untuk mengeluarkan segala
pendapat dan perasaan yang terpendam dalam diri seseorang.
Dalam pelaksanaan hibah, musyawarah sangatlah urgen, apabila
harta-harta yang dihibahkan tersebut harta yang layak diwariskan
walaupun dalam hibah tidak disyariatkan adanya musyawarah, dan bahwa
pemberi hibah berhak untuk menghibahkan harta yang dimiliki nya kepada
siapa saja yang dikehendaki, tetapi dalam pelaksanaannya setelah pemberi
hibah meninggal dunia. Problem yang muncul di permukaan justru
bukannya kemaslahatan dan utuhnya kekeluargaan serta eratnya tali
70
Departemen Agama RI, Op. Cit . , hlm. 103.
71
Wahbah az-Zuhayly, Talim al- Mutaalim Fil Bayan al- Tariq al- Talim, Bandung :PT
al- Maafif,, t.th., hlm.14.
35
silaturrahim, tetapi sering kali menimbulkan permusuhan dan putusnya
hubungan kekeluargaan. Hal ini jelas menyalahi tujuan disyariatkannya
hibah itu sendiri. Dalam kaidah ushul fiqh dijelaskan bahwa hukum
segala unsur yang sangat tergantung pada tujuannya.
72
Dengan demikian musyawarah merupakan prinsip yang harus
dipegangi apabila seseorang ingin melaksanakan pemberian hibah sesuai
dengan ketentuan yang dianjurkan oleh syariat islam.
2. Prinsip Keadilan / Persamaan
Melebihkan atau melakukan perbedaan pemberian hibah antara
satu anak dengan anak yang lain merupakan sesuatu yang sangat sensitif
untuk timbulnya suatu perseteruan dan mengancam keutuhan keluarga,
serta putusnya hubungan silaturrahim, kecuali terdapat faktor-faktor lain
atau pengecualian-pengecualian yang dibenarkan oleh syara.
Sebaliknya prinsip keadilan dalam pemberian hibah dan muamalat,
di samping merupakan yang dianjurkan oleh agama, juga dapat menjaga
keutuhan keluarga serta utuhnya hubungan silaturrahim. Firman Allah;
4 (#q9$# uqd > t%r& 3 uq) -G=9 (
Artinya: Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.
(Qs. Al-Maidah 8).
73
3. Prinsip tidak ada penarikan kembali dalam pemberian hibah
Dalam kitab al- Fiqh al- Islamy wa Adillatuh, karya Wahbah az-
Zuhayly, menjelaskan dalam bab hibah bahwa penarikan kembali hibah
72
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Op. Cit., hlm. 488.
73
Departemen Agama RI, Op.Cit., hlm .109.
36
orang tua kepada anaknya dapat dibenarkan tetapi ada beberapa syarat
utama yang ditetapkan dan yang dapat membatalkan hak penarikan orang
tua tersebut, yaitu apabila pemberian hibah ini berubah dari bentuk
aslinya, atau anak tersebut kemudian menikah setelah diberi hibah, maka
tidak dibenarkan menarik kembali pemberian hibah walaupun kepada
anaknya sendiri.
74
Apabila hibah kepada orang lain. Hal ini juga
menunjukkan bahwa dalam bab hibah janganlah pemberi hibah
mengharapkan adanya imbalan atau balasan.
4. Prinsip tidak boleh menghibahkan seluruh harta benda
Di dalam kitab fiqh, mayoritas ulama membolehkan seseorang
menghibahkan seluruh harta bendanya kepada orang lain, tetapi pada
kenyataannya keputusan atau izin ini menimbulkan hilangnya kesempatan
ahli waris untuk mendapatkan harta benda sebagai harta waris.
Hilangnya hak ahli waris ini tentu akan menimbulkan hubungan
yang kurang baik antara keduanya. Terjadinya hal-hal demikian itu sudah
pasti tidak dikehendaki oleh syariat islam, sebab anjuran hibah itu sendiri
justru dimaksudkan untuk menyambung tali silaturrahim. Dari situlah
terlihat betapa pentingnya seseorang tidak boleh menghibahkan seluruh
harta bendanya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam Bab IV pasal 210 dinyatakan
secara tegas bahwa harta yang boleh dihibahkan kepada orang lain tidak
74
Wahbah Az-Zuhayly,Op.Cit.,hlm.27.
37
boleh melebihi sepertiga dari harta keseluruhan.
75
Artinya, seseorang yang
berkeinginan menghibahkan harta bendanya menurut buku ini, tidak boleh
menyerahkan seluruh harta bendanya. Hal ini di samping bermaksud untuk
menjaga terpeliharanya hubungan ahli waris, sekaligus untuk menjaga
kehidupan pemberi hibah itu sendiri dari kehidupan terlunta-lunta akibat
kehabisan harta bendanya.
G. Bentuk-Bentuk Penyelesaian Sengketa
Timbulnya sengketa hukum bermula dari adanya pengaduan suatu
pihak (orang/badan ) yang berisi tentang keberatan-keberatan dan tuntutan hak
atas tanah baik terhadap status tanah, prioritas maupun kepemilikannya
dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.. Akan tetapi, sebenarnya tujuannya akan
berakhir kepada tuntutan bahwa ia adalah yang lebih berhak dari yang lain
(prioritas) atas tanah sengketa, oleh karena itu dalam penyelesaian sengketa
hukum itu tergantung dari sifat atau masalah yang dilakukan sehingga
prosesnya akan memerlukan beberapa tahap tertentu sebelum diperoleh suatu
keputusan.
76
Pada dasarnya setiap perjanjian yang dibuat para pihak harus
dapat dilaksanakan dengan sukarela atau itikad yang baik, namun dalam
kenyataannya perjanjian yang dibuat seringkali dilanggar.
77
Sedangkan bentuk
75
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo,
1995, Cet. II, hlm. 156.
76
Rusmadi Murad, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Bandung: Penerbit
Alumni, 1991, hlm.22.
77
Salim, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta; Sinar Grafika,
2006, Cet 4.hlm.140.
38
perjanjian (hibah) diatur dalam pasal 1682 sampai dengan pasal 1687 KUH
Perdata.
78
Yang menjadi persoalan adalah bagaimanakah cara penyelesaian
sengketa yang terjadi antara para pihak. Pola penyelesaian sengketa dapat di
bagi menjadi dua macam, yaitu;
1. Melalui pengadilan
2. Alternatif penyelesaian sengketa.
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan adalah suatu pola
penyelesaian sengketa yang terdiri dari pihak yang diselesaikan oleh
pengadilan.
79
Namun tidak menutup kemungkinan bagi instansi untuk dapat
memutuskan sengketa dengan mengeluarkan suatu keputusan administrasi
sesuai dengan kewenangan yang ada berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
80
Jadi pada umumnya sifat dari sengketa
adalah karena adanya pengaduan yang mengandung pertentangan hak atas
tanah maupun hak-hak lain atas suatu kesempatan atau prioritas atau adanya
suatu ketetapan yang merugikan dirinya.
81
Pada akhirnya penyelesaian
tersebut, senantiasa harus memperhatikan atau selalu mendasarkan kepada
peraturan yang berlaku. Memperhatikan keseimbangan dan kepentingan-
kepentingan para pihak, menegakkan keadilan hukum serta penyelesaian
tersebut harus tuntas.
82
78
R. Subekti dan Tjitrosudibio, KUH Perdata, Jakarta; PT Pradnya Paramita,1999,
Cet.29, hlm. 438-439.
79
Salim , Op.Cit ,.hlm.140.
80
Rusmadi Murad, Op,Cit,. hlm.27
81
Ibid, hlm. 28
82
Ibid
39
Sedangkan alternatif penyelesaian sengketa adalah penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh para
pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi,
negosiasi, konsiliasi, atau penilaian ahli (pasal 1 ayat (10) undang- undang
nomor 30 tahun 1991 ).
83
Di dalam literatur disebutkan dua pola penyelesaian sengketa, yaitu;
1. The Binding Adjudicative Procedures, dimana prosedur ini mengikat karena
prosedur ini biasanya menghasilkan keputusan yang mengikat tentang hak-
hak dari para pihak yang diputuskan oleh pihak yang ketiga yang netral.
Bentuk penyelesaian sengketa ini dapat di bagi menjadi empat macam,
yaitu:
a. Litigasi: Penyelesaian sengketa antara para pihak melalui jalur
peradilan
b. Arbitrase: Penyelesaian sengketa (umumnya dagang) melalui proses
yang disetujui sejak awal dimana proses tersebut ditentukan oleh pihak
yang berperkara.
c. Med-Arb (Mediation-Arbitration): Penyelesaian sengketa dimulai
dengan proses mediasi oleh mediator yang netral dan apabila kemudian
ternyata terdapat hal-hal yang teknis yang tidak dapat tercapai
keputusan bersama para pihak, maka sengketa tersebut dapat diajukan
melalui proses arbitrase.
83
Undang-Undang Nomor 30 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
Jakarta; BP. Cipta Jaya, 1999,hlm. 5.
40
d. Hakim partikulir: Pemeriksaan isu tertentu atau keseluruhan di depan
hakim partikulir, wasit melalui penunjukan atau persetujuan para
pihak.
2. The Nonbinding Adjidicative Prosedures, Prosedur ini tidak mengikat dan
murni berupa pemberian nasehat. Prosedur ini tergantung sepenuhnya
kepada kerelaan para pihak dan sering sekali dilakukan oleh bantuan pihak
ketiga yang tidak memihak. Penyelesaian dengan cara ini dibagi menjadi
empat macam, yaitu;
a. Konsiliasi: Dimana konsiliator bertindak sebagai penengah dengan
kesepakatan para pihak dan mengusahakan solusi yang dapat diterima
para pihak.
b. Mediasi: Dimana mediator membantu para pihak mencapai penyelesaian
atas dasar negosiasi suka sama suka atas perbedaan pendapat mereka.
c. Mini-trial: Peradilan mini atau peradilan sederhana dan biasanya
digunakan dalam sengketa-sengketa perusahaan besar.
d. Summary Jury Trial: Sistem dan proses penyelesaiannya diawali dengan
penunjukan beberapa orang dalam suatu grup yang akan bertindak
sebagai juri oleh para pihak yang bersengketa.
e. Neutral Expert Fact-Finding: Pendapat para ahli untuk suatu hal yang
bersifat teknis dan sesuai bidangnya, sebelum litigasi benar-benar
dilakukan.
41
f. Early Expert Neutral Evolution: Praktisi hukum yang handal, netral
berpengalaman membantu para pihak untuk menganalisa isu-isu kritis
yang diperkarakan.
84
Kedua penyelesaian sengketa itu berbeda antara satu dengan yang lain
nya. Perbedaannya terletak pada kekuatan mengikat dari putusan yang
dihasilkan oleh institusi-institusi. Kalau The binding adjudicative procedures
putusannya yang dihasilkan oleh institusi yang memutuskan perkara adalah
mengikat para pihak, Sedangkan The nonbinding adjudicative procedures
utusan yang dihasilkan tidak mengikat para pihak. Persamaan dari kedua pola
penyelesaian sengketa tersebut adalah sama-sama memberikan putusan atau
pemecahan dalam suatu kasus.
85
Menurut Jacquelin M. Nolan-Haley, dalam bukunya berjudul Alternative
Dispute Resolution, menjelaskan bahwa penyelesaian alternatif terdiri dari
negosiasi, mediasi, dan arbitrase,
86
Saat ini bentuk penyelesaian sengketa di
luar pengadilan masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan,
tergantung yang mana lebih disukai atau dianggap cocok oleh para pihak
untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang mereka hadapi.
87
84
Susanti Adi Nugroho, Medi asi Sebagai Al t er nat i f Penyel esai an Sengket a,
Jakar t a : PT. Tel aga I l mu I ndonesi a, 2009, Cet I , hl m 12-15
85
Salim, Loc, Cit
86
Joni Emirson, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Jakarta; PT
Gramedia Pustaka Utama, 2001, hlm. 39.
87
Ibid,
42
BAB III
PRAKTEK PEMBERIAN HIBAH
YANG MELEBIHI 1/3 DI DESA BENGKAL
A. Gambaran Umum Masyarakat Bengkal Kec. Kranggan Kab.
Temanggung
1. Kondisi Geografis, Jumlah Penduduk dan Ekonomi di Desa Bengkal
Desa Bengkal merupakan salah satu desa dari 13 desa di Kecamatan
Kranggan Kabupaten Temanggung sebagai desa yang terletak di
kecamatan. Dapat diketahui letak geografis desa Bengkal daerah tempatnya
350 m DPL (diatas permukaan air laut). Curah hujan rata-rata pertahun 200
mm s/d 300 mm dan keadaan suhu rata-rata 25
0
C s/d 34
0
C.
88
Sedangkan letak Desa Bengkal dari pusat Kecamatan mempunyai
jarak tempuh kira-kira 3 Km, dan dari pusat Kabupaten kira-kira 11 Km.
adapun batas-batas wilayah Desa Bengkal, adalah sebagai berikut;
- Sebelah utara berbatasan dengan Desa Badran
- Sebelah timur berbatasan dengan Desa Pare
- Sebelah barat berbatasan dengan Desa Plumbon
- Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Madyo Condro
89
Desa Bengkal dengan Desa lain jaraknya berdekatan. Oleh karena
itu, masyarakat dalam melakukan komunikasi dan informasi, bisa dilakukan
88
Buku Laporan Pertanggungjawaban Kepala Desa Bengkal Tahun 2007
89
Ibid
43
dengan mudah. Dilihat dari pembagian wilayah kerja, desa Bengkal terdiri
dari 5 dusun, 4 RW dan 22 RT dengan perincian sebagai berikut;
Tabel. 1 Pembagian Wilayah Kerja Desa Bengkal
90
No Nama Dusun Jumlah RW Jumlah RT Keterangan
1
2
3
4
5
Bengkal
Surodadi
Bolang
Jetis Cs
Delok Cs
1
1
1
1
1
5
4
4
5
4
Jumlah 5 22
Secara keseluruhan desa Bengkal mempunyai luas 294 Ha. Dan
berdasarkan penggunaannya dengan rincian sebagai berikut;
Tabel.2 Luas Tanah Wilayah Desa Menurut Penggunaannya
91
No Penggunaan Tanah Luas ( Ha )
1
2
3
4
5
6
7
8
Permukiman penduduk
Perkantoran
Bangunan umum
Kuburan atau makam
Jalan
Sawah irigasi setengah teknis
Sawah irigasi teknis
Lain-lain
55
0,225
33,372
6
22
144
22
11.403
Jumlah 294
90
Ibid
91
Ibid
44
Jumlah penduduk desa Bengkal sebanyak 3.450 jiwa. Jumlah tersebut
terdiri dari 1.767 laki-laki dan 683 perempuan dan terbagi dalam 1001 kepala
keluarga. Dengan demikian jumlahnya lebih banyak laki-lakinya.
Adapun untuk keadaan ekonomi secara keseluruhan penduduk desa
Bengkal adalah petani. Komposisi jumlah penduduk menurut pekerjaan dapat
kita lihat dengan perincian sebagai berikut;
Tabel. 3 Jumlah Penduduk Menurut Pekerjaan
92
No Pekerjaan Jumlah (orang)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Petani
Buruh Tani
Petani Penggarap
PNS / ABRI
Guru Wiyata
Perangkat Desa
Bidan Desa
Dukun Bayi
Tukang jahit
Pedagang Besar / Kecil
Tukang Batu
Industri Kecil
Kerajinan
Buruh Industri
Karyawan Pabrik
988
778
65
62
24
16
1
4
8
26
98
7
49
236
57
Jumlah 2.319
Keberadaan desa Bengkal dalam kesehariannya tidak bisa berjalan
sendiri antara perangkat satu dengan yang lain dan didukung dengan
92
Ibid
45
pemerintahan dan juga organisasi di dalamnya. Seperti PKK, Polisi, Perangkat
Desa, BPD, LPMD, LMD, Karang taruna serta peran masyarakat yang sangat
antusias dalam segala kegiatan. Lembaga pemerintahan desa dipimpin oleh
seorang Kepala Desa yang dipilih masyarakat secara langsung dengan jangka
waktu periode delapan tahun. Kepala Desa dalam melaksanakan tugas dibantu
lima orang Kepala Dusun dan beberapa Kaur.
93
Sektor-sektor dalam ekonomi masyarakat yang telah berhasil
dikembangkan dan ditingkatkan adalah;
a. Sektor Pertanian
- Peningkatan pembangunan melalui intensifikasi
- Peningkatan produksi pangan dengan menanam bahan pokok pangan
- Rehabilitasi lahan kritis
- Pemanfaatan irigasi
- Penerapan panca usaha tani
b. Sektor Industri
- Peningkatan industri pertanian
- Peningkatan industri kecil hasil domestik
- Peningkatan industri kecil rumah tangga
94
93
Wawancara dengan Bapak Soffan Hadi Santoso, Kepala Desa Bengkal, Bengkal,
tanggal 13 Agustus 2009
94
Wawancara dengan Bapak Slamet Suroto, Kaur Kesra Desa Bengkal, Bengkal, tanggal
13 Agustus 2009
46
2. Kondisi Pendidikan dan Keagamaan di Desa Bengkal
Dalam bidang pendidikan, di Desa Bengkal terdapat berbagai
lembaga pendidikan baik formal maupun non formal. Untuk pendidikan
formalnya ada 3 pendidikan dasar yaitu; 2 SD dan 1 MI. sedangkan
pendidikan non formalnya terdiri dari 2 Madrasah Diniyyah dan 7 TPQ.
Bagi mereka yang berusia sekolah menengah lanjut dan perguruan tinggi,
meneruskan di desa tetangga atau luar daerah yang jauh sambil berdomisili
di tempat kos dan pesantren baik di Jawa Tengah sendiri, Jawa Timur, jawa
Barat dan daerah lainnya.
95
Secara umum, pendidikan di sana cukup maju, yakni dengan dilihat
dari anak usia sekolah yang hampir semuanya mengenyam pendidikan rata-
rata sampai SLTA. Bahkan banyak yang kuliah di perguruan tinggi, baik di
dalam negeri maupun luar negeri. Dalam bidang pendidikan, lembaga TPQ
untuk kurikulum tidak hanya seputar membaca al-Quran, akan tetapi juga
materi keagamaan lainnya seperti ilmu nahwu dan shorof untuk murid
TPQ. Antusiasme dan kesadaran mendidik anak-anak melalui kemampuan
membaca al-Quran sangat tinggi, sehingga TPQ banyak dijadikan
alternatif pendidikan agama, disamping pengajian dan sekolah di madrasah
diniyah.
96
Dalam kehidupan keberagamaan, Desa Bengkal mempunyai sarana
tempat ibadah yang dapat dilihat pada tabel berikut;
95
Ibid
96
Ibid
47
Tabel. 4 Sarana Ibadah Desa Bengkal
97
No Jenis Sarana Ibadah Jumlah
1
2
3
4
Masjid
Musholla
Gereja
Wihara
8
12
-
-
Jumlah 20
Jumlah penduduk Desa Bengkal 3450 jiwa dengan komposisi
pemeluk agama sebagai berikut;
Tabel. 5 Komposisi Pemeluk Agama
98
No Agama / Kepercayaan Jumlah Penganut (orang)
1
2
3
4
5
Islam
Kristen
Katholik
Hindu
Budha
3434
16
-
-
-
Jumlah 3450
Sedangkan kegiatan dakwah yang ada di Desa Bengkal cukup lancar
melalui majelis talim yang digelar di masjid dan mushalla. Adapun kegiatan
keagamaan di Desa Bengkal sebagai berikut;
97
Buku Laporan Pertanggungjawaban Kepala Desa Bengkal Tahun 2007
98
Ibid
48
Tabel. 6 Daftar Kegiatan Keagamaan Desa Bengkal
99
No Kegiatan Ada / Tidak
1
2
3
4
5
6
Jumatan
Pengajian Umum
Pengajian Ibu-ibu
Pengajian Anak-anak / Remaja
Yasinan
Peringatan Hari Besar Islam
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
B. Praktek Pemberian Hibah
Menurut Ibnu Rusyid dalam kitab Bidayah al-Mujtahid hibah ada
dua macam, yaitu hibah barang dan hibah manfaat.
100
Hibah berupa barang
dapat dimiliki secara permanen sedangkan hibah manfaat tidak dapat dimiliki,
tetapi hanya dapat diambil manfaatnya saja dalam jangka waktu tertentu.
Hibah yang kedua ini misalnya seseorang menghibahkan tanah perkebunan
kepada orang lain selama 15 tahun, maka penerima hibah dapat mengambil
manfaatnya saja dan setelah 15 tahun perkebunan tersebut kembali kepada
pemiliknya.
Sementara praktek pemberian hibah yang ada di Desa Bengkal pada
umumnya dilaksanakan dengan menyerahkan barang (sebagian/semuanya)
untuk dimiliki secara terus-menerus dan bukan hanya sekedar untuk diambil
manfaatnya saja. Hal ini dimaksudkan agar barang yang sudah diberikan
tersebut segera dimiliki
101
.
99
Ibid
100
Ibnu Rusyid, Bidayah al-Mujtahid.Ce t II, Semarang , t,th.hal 248
101
Wawancara dengan Bapak Soffan Hadi Santoso, Kepala Desa Bengkal, tanggal 13
Agustus 2009.
49
Secara garis besar praktek pemberian hibah berjalan lancar dan
tanpa menimbulkan keluhan, atau masalah dan sampai menjadi kasus. Untuk
mengetahui praktek pemberian hibah di Desa Bengkal, akan penyusun
gambarkan sebagai berikut:
1. Pemberi dan Penerima Hibah
Bila dilihat dari segi pemberi dan penerima hibah di Desa
Bengkal dapat dibedakan menjadi 4 kelompok yaitu:
a. Kakek/Nenek Kepada Cucu
Di Desa Bengkal kakek/nenek menghibahkan barang kepada
salah satu cucunya dan penghibahan ini biasanya terjadi karena sang
cucu bersedia menjaga dan merawat kakek atau nenek tersebut. Jadi
pemberian hibah ini bersifat balas budi.
b. Orang Tua kepada Anak Kandung
Praktek pemberian hibah semacam ini lazimnya dilakukan
pada saat anak tersebut melangsungkan pernikahan dengan maksud
agar hibah tersebut dapat dijadikan modal dalam kehidupan berumah
tangga.
c. Orang Tua kepada Anak Tiri
Disamping penghibah kelompok orang tua kepada anak
kandung seperti yang dikemukakan di atas, ada lagi praktek yang
dilakukan oleh orang tua hanya saja hibahnya tertuju pada anak tiri.
Seperti yang diketahui bahwa anak tiri adalah golongan yang tidak
50
mempunyai hak waris karena tidak ada ikatan darah, sebagai gantinya
orang tua memberikan hartanya dengan cara hibah.
d. Orang Tua kepada Anak Angkat
Bagi orang tua yang karena sesuatu hal, tidak dapat
mempunyai keturunan biasanya mengangkat seorang anak untuk
diadopsi. Anak angkat adalah orang lain yang tidak dapat menjadikan
hubungan nasabiyah dengan orang tua angkatnya. Maka dalam hal ini
orang tua angkat memberikan hartanya dengan cara hibah.
102
2. Obyek Hibah
Walaupun kekayaan dan harta benda yang dimiliki oleh
masyarakat Bengkal tidak jauh berbeda dengan masyarakat lain, tapi cukup
beragam. Sedangkan untuk proses penghibahan biasanya para orang tua
lebih suka menghibahkan harta bendanya berupa tanah perkebunan, sawah
dan rumah.
Pilihan obyek semacam ini sudah menjadi tradisi bahkan
dilakukan secara turun-temurun. Masyarakat yang ada di Desa Bengkal
yang umumnya adalah petani menganggap bahwa obyek hibah semacam
ini menjadi sebuah simbol bagi kehidupannya.
103
Kalaupun saat ini tanah
perkebunan, sawah dan rumah masih menjadi sebuah pilihan utama obyek
hibah, agaknya disamping ada pertimbangan-pertimbangan tertentu juga
karena ada alasan dan fungsi dari benda-benda tersebut.
102
Ibid,
103
Ibid,
51
C. Kasus Hibah dan Cara Penyelesaiannya
Sudah menjadi sebuah tradisi masyarakat yang ada di Desa Bengkal
dalam praktek hibahnya para orang tua memberikan bekal hidupnya berupa
harta bergerak atau pun tidak bergerak kepada anak-anaknya ketika mereka
berumah tangga.
Demikian juga praktek pemberian hibah yang dilakukan oleh seorang
kakek atau nenek kepada cucunya. Pada saat seseorang sudah menginjak
usia senja, sementara anak-anaknya yang ada sudah berumah tangga dan
terkadang sibuk dengan kebutuhannya masing-masing sehingga pada waktu
itu hanya seorang cuculah yang merawat dan menjaga serta memperhatikan
kondisi kakek atau neneknya. Dari jasa seorang cucu inilah seorang kakek
menghibahkan hartanya kepada cucu atas dasar pengabdian yang
sebelumnya telah diberikan kepadanya. Kebiasaan-kebiasaan yang terjadi ini
bahkan telah berlaku terhadap anak tiri maupun anak angkat.
Pada umumnya praktek hibah dilakukan dengan mengeluarkan
(sebagian/semua) harta bendanya dengan mengundang saksi atau sebaliknya.
Terkadang dari pihak ahli waris pun tidak dimintai persetujuannya juga pada
proses penghibahan juga tidak membuat dokumen tertulis, sehingga setelah
pemberi hibah meninggal dunia, sering menimbulkan konflik atau masalah.
Selanjutnya dalam pemecahan/penyelesaian kasus pemberian hibah yang
terjadi dalam masyarakat di Desa Bengkal, pada mulanya masyarakat
Bengkal menempuh jalan musyawarah keluarga kemudian mengundang
ulama setempat atau melalui aparat desa.
52
Contoh kasus hibah dan cara penyelesaiannya yang terjadi didalam
masyarakat Bengkal yaitu, antara lain:
a. Kasus Hibah dari Seorang Kakek kepada Cucu
Pada tahun 1998 Salimun (kakek) menghibahkan tanah sawah
seluas 0,185 ha kepada Abdul Aziz (cucu). Sawah tersebut terletak di
Dusun Surodadi, sebelum menghibahkan tanah tersebut semua ahli
waris terdiri dari Suparman, Amir dan Haris masing-masing
mendapatkan 0,150 ha. Oleh karena itu, oleh orang tuanya
menghibahkan hartanya tidak ada reaksi. Setelah beberapa tahun dan
harta yang telah dihibahkan dimiliki dan diambil manfaatnya oleh
penerima hibah baru timbul gugatan dari salah satu ahli waris.
Dalam isi gugatannya yang diajukan kepada penerima hibah
yaitu Pemberian tersebut hanyalah sebagai bentuk balas budi dari
seorang kakek kepada cucunya dan seharusnya pembagian harta haruslah
bersifat adil.
104
Ketika pelaksanaan hibah itu terjadi dari pihak penghibah tidak
melakukan musyawarah bahkan tidak membuat bukti tertulis sebagai
bukti pemindahan kepemilikan tanah dari seorang kakek kepada
cucunya. Namun pada saat itu penyusun melakukan penelitian, penyusun
bertemu dengan dua orang saksi yaitu, Bapak Hadi dan Bapak Supeno
yang merupakan orang yang ditunjuk sebagai saksi oleh Salimun
(kakek). Yang menurut mereka, adanya gugatan dari salah satu ahli
104
Wawancara dengan Bapak Suparman (Anak Bapak Salimun), tanggal 29 mei 2010
53
waris dari Salimun (kakek) disebabkan karena adanya keserakahan dari
pihak ahli waris yang sebelumnya telah menerima hibah dari orang
tuanya namun tidak bisa memanfaatkan pemberian secara maksimal.
Cara-cara yang ditempuh oleh ahli waris dalam usaha meminta
kembali harta yang telah dihibahkan dilakukan oleh penggugat secara
sepihak. Sehingga penerima hibah (cucu) menyerahkan harta tersebut
kepada penggugat dengan perasaan takut.
105
b. Kasus Hibah dari Orang Tua kepada Anak Kandung
Kebiasaan yang terjadi di Dusun Bolang, terutama bagi keluarga
yang memiliki harta banyak dan terbilang mampu, biasanya rumah induk
yang selama ini di tempati oleh keluarga akan diberikan kepada anak
bungsunya, dan hal ini sangatlah mungkin untuk dilakukan.
106
Dalam
praktek pemberian hibah di Dusun Bolang, hibah diberikan kepada
Bapak Sutrisno selaku sebagai anak yang paling bungsu yang
mempunyai 4 (empat) orang saudara.
Di dalam suatu keluarga anak bungsulah yang mendapatkan
tanah pekarangan dan sebelum rumah induk diberikan, saudara dari
Bapak Sutrisno sebelumnya juga telah menerima bagiannya. Namun
pemberian tersebut bila diukur dengan nilai uang tentunya tidak sama
dan anak bungsulah yang paling banyak mendapatkan harta hibah
tersebut
105
Wawancara dengan Bapak Hadi dan Bapak Supeno (saksi), tanggal 29 Mei 2010
106
Wawancara dengan Bapak Soffan Hadi Santoso, Kepala Desa Bengkal, tanggal 29
Mei 2010
54
Pada tahun 2000, Salah satu saudara dari Bapak Sutrisno
mengalami kesulitan dan waktu itu tidak terlalu memperhatikan kondisi
orang tuanya sampai meninggal dunia. Dari keempat saudara Bapak
Sutrisno, dua diantaranya menyetujui pemberian hibah yang berupa
rumah induk diberikan kepada Bapak Sutrino. Alasan bagi saudara yang
menyetujui, karena selama sakit, Bapak Sutrisnolah yang menjaga dan
merawat dan yang memperhatikan kondisi orang tuanya sebelum
mempunyai rumah sendiri. Sedangkan alasan yang tidak menyetujui
adalah anak bungsu mempunyai kesempatan dan belajar lebih tinggi.
Selama menjalani pendidikan, tidak sedikit biaya yang dikeluarkan.
Ketidak setujuan inilah yang menjadi gugatan setelah 40 hari orang
tuanya meninggal dunia. Maka dalam menyelesaikan masalah tersebut,
diadakanlah musyawarah keluarga.
107
c. Kasus Hibah dari Orang Tua Kepada Anak Tiri
Pada kasus ini dijumpai seorang responden yang bernama Bapak
Moh. Jhumari dari Dusun Jetis, yang telah menerima hibah dari orang
tua tirinya yang berupa tanah sawah seluas 3 ha.
108
Hibah ini diberikan
ketika orang tua tirinya masih hidup. Sedangkan dari orang tua tiri
Bapak Moh. Jhumari tersebut memiliki dua orang anak kandung yang
bernama Winarti dan Khamid yang semuanya telah berkeluarga. Sebagai
anak kandung, sudah barang tentu berhak atas harta peninggalan. Oleh
karena itu, setelah orang tuanya meninggal dunia, ahli waris
107
Ibid,
108
Wawancara dengan Bapak Moh. Jhumari (Penerima Hibah) tanggal 30 Mei 2010
55
menginginkan harta (hibah) yang sebelumnya diberikan kepada Bapak
Moh, Jhumari dibagi kembali secara waris dan sesuai dengan ketentuan-
ketentuan Hukum Waris, akan tetapi permintaan ini tidak disetujui oleh
Bapak Moh. Jhumari karena tanah sawah 3 ha sudah dihibahkan.
Menurut sumber yang diperoleh dari penerima hibah, semua
harta dihibahkan karena disamping adanya kedekatan dan perhatian dari
orang tua tiri. Pada saat orang tua tirinya sakit, anak kandung sibuk
dengan kerjaannya masing-masing. Dengan adanya alasan tersebut
permintaan dari pihak anak kandung untuk mengambil kembali harta itu
tidak dipenuhi oleh anak tiri. Maka dalam hal ini terjadilah
persengketaan atau tuntutan yang kemudian diajukan melalui lembaga
musyawarah Desa setempat.
109
d. Kasus Hibah dari Orang Tua kepada Anak Angkat.
Contoh kasus hibah yang terjadi di Dusun Bengkal ini ada dua
macam yaitu:
- Pada tahun 1999 telah terjadi penghibahan, penghibah bernama
Bapak Suyitno dan hibah diberikan kepada Rahman (anak angkat).
Harta yang dihibahkan berupa tanah seluas 3,5 ha. Dalam hal ini
anak angkat telah dianggap berjasa dalam keluarga Bapak Suyitno
karena sebelumnya Bapak Suyitno belum memiliki keturunan dan
sudah sewajarnya balas budi dilakukan kepada anak angkatnya
supaya harta benda miliknya tidak jatuh ke tangan orang lain. Pada
109
Ibid,
56
waktu pelaksanaan hibah tidak ada satupun ahli waris yaitu, Bapak
Jumadi dan Bapak Saridi tidak dimintai persetujuan, padahal harta
yang dihibahkan tersebut merupakan harta milik Bapak Suyitno.
110
Pemberian hibah ini dilakukan secara sepihak dan
mengakibatkan saudara dari ahli waris menuntut kepada penerima
hibah untuk menyerahkan kembali hibahnya agar harta tersebut
dibagi waris sesuai dengan ketentuan Hukum yang berlaku.
Dalam hal ini ahli waris mengajukan tuntutan kepada
penerima hibah karena penggugat mempersoalkan proses penguasaan
dan kepemilikan harta kekayaan saudaranya. Jalan yang ditempuh
dalam menyelesaikan masalah ini yaitu, lewat musyawarah desa dan
bagian harta yang anak angkat terima tidak kurang dari 1/3 bagian
dari seluruh harta kekayaan almarhum (Bapak Suyitno). Sedangkan
saudara almarhum (Bapak Suyitno) mendapatkan sisa dari anak
angkat tersebut.
111
- Pada kasus ini tidak jauh berbeda dengan yang di atas. Penghibah
(Bapak Pudjo Sumarno) dan penerima hibah (Endang Prihatin) dan
harta yang dihibahkan berupa barang tidak bergerak yaitu, tanah
seluas 2980 m2. Penghibahan dilaksanakan pada waktu penghibah
masih hidup yaitu, pada tahun 1991. Ketika diwawancarai mengenai
kepastian kapan hari dan tanggal penghibahan, penghibah
menyebutkan kira-kira pada waktu Hari Raya Idul Fitri. Namun
110
Wawancara dengan Bapak Jumadi (Saudara penghibah) tanggal 30 Mei 2010
111
Wawancara dengan Bapak Mujabin (Aparat Desa Bengkal) tanggal 30 Mei 2010
57
beberapa tahun kemudian harta tersebut ditarik kembali oleh orang
tua angkat karena pihak penghibah mendapat gugatan dari anak
kandung yang mengharapkan tanah hibah dapat kembali menjadi
milik ayahnya (Bapak Pudjo Sumarno).
Ketika proses penghibahan, penghibah tidak
memperhitungkan seberapa besar harta yang harus dimiliki oleh anak
angkat karena Bapak Pudjo Sumarno merasa berhutang budi. Dengan
adanya alasan ini anak kandung meminta kepada Bapak Pudjo
Sumarno untuk berbuat adil dan menentukan sikap.
112
Pada tahun 2003 terjadilah percekcokan antara Ibu Endang
Prihatin dengan anak Bapak Pudjo Sumarno yang pada saat itu dari
pihak Ibu Endang tetap bersikukuh tidak mau menyerahkan harta
yang sebelumnya telah dihibahkan kepadanya. Dan pada saat anak
kandung melakukan gugatan kepada Bapak Pudjo Sumarno, anak
kandung menginginkan agar ayahnya tetap menarik kembali
hibahnya karena dalam pemberian tersebut tidak sah dengan alasan:
1) Tidak ada bukti tertulis yang menunjukkan bahwa tanah yang
dimaksudkan telah dihibahkan.
2) Anak kandung tidak dimintai persetujuan.
3) Harta yang dihibahkan terlalu berlebihan
Diakui oleh penghibah, bahwa perbuatan melakukan
penarikan hibah bukanlah kehendak sendiri. Karena pada waktu
112
Wawancara dengan Bapak Soffan Hadi Santoso, Kepala Desa Bengkal, tanggal 13
Agustus 2009
58
melakukan penghibahan, dari pihak penghibah sudah mantap dan
ikhlas. Sehingga apabila penarikan tetap saja dilakukan maka
dianggap sesuatu hal yang tidak mungkin untuk dilakukan.
113
Pada tanggal 10 Mei 2003, penarikan dilakukan oleh
penghibah di rumah penerima hibah. Oleh karena itu dengan
mencabut kembali hibahnya diharapkan dapat meredam konflik
keluarga. Namun sebaliknya konflik keluarga tetap tidak bisa
dihindarkan dan semakin rumit permasalahannya.
Cara yang ditempuh oleh Bapak Pudjo Sumarno adalah
dengan melakukan musyawarah secara kekeluargaan melalui proses
negosiasi. Dan bila tidak ada kesepakatan dari kedua belah pihak
yang bersengketa, dengan terpaksa Bapak Pudjo Sumarno menarik
kembali hibahnya dari anak angkat dan harta hibah tersebut tidak
diberikan kepada siapapun baik anak angkat maupun anak
kandung.
114
113
Wawancara dengan Bapak Pudjo Sumarno (Penghibah),tanggal 13 Agustus 2009
114
Wawancara dengan Bapak Soffan Hadi Santoso (Kepala Desa Bengkal), tanggal 13
Agustus 2009
59
BAB IV
ANALISIS TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA PEMBERIAN
HIBAH YANG MELEBIHI 1/3 DARI KETENTUAN HUKUM ISLAM
DI DESA BENGKAL KEC. KRANGGAN KAB. TEMANGGUNG
D. Analisis Terhadap Bentuk Penyelesaian Sengketa Pemberian Hibah yang
Melebihi 1/3 dari Ketentuan Hukum Islam di Desa Bengkal Kec.
Kranggan Kab. Temanggung.
Setiap masyarakat memiliki berbagai macam cara untuk memperoleh
kesepakatan dalam menyelesaikan sengketa, perselisihan atau konflik yang
sedang mereka hadapi. Penyelesaian sengketa dapat saja dilakukan oleh kedua
belah pihak secara kooperatif, dibantu oleh orang lain atau pihak ketiga yang
bersifat netral dan sebagainya.
Dalam pemberian hibah disini, pihak yang mendapatkan harta hibah
yaitu, pihak cucu, anak kandung, anak tiri dan anak angkat. Dalam hal ini
pihak yang diberi hibah menuntut keadilan dan persamaan hak kepada pihak
penghibah dalam hal pemberian. Sebagaimana dalam dalil yang diriwayatkan
dari Ibnu Abbas r.a bahwa Nabi SAW bersabda:
`,= ` , .`, ' ` ,,,' , . . `.` . - ' .` .` ` , ,
Artinya : Samakanlah diantara anak-anak kalian dalam pemberian. Seandainya
aku hendak melebihkan seseorang, tentulah aku lebihkan anak-anak
perempuan.
115
115
A Hasan dkk, Soal-Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, Bandung: PT C.V
Diponegoro, Cet.VI, 1982, hlm 693
60
Pada dasarnya proses yang ditempuh oleh para pihak yang bersengketa
adalah diluar pengadilan (kekeluargaan). Cara ini sebagai suatu kebiasaan yang
bersifat informal (hukum adat setempat) dan dianggap relatif lebih mudah dan
cepat. Oleh karena itu kebanyakan masyarakat Bengkal dalam menyelesaikan
konflik keluarga biasanya menggunakan pendekatan terhadap para pihak yang
bersengketa dengan jalan musyawarah. Hal ini berbeda dengan proses
pengadilan umum biasanya masyarakat menganggap bahwa prosesnya sangat
menyita waktu, mahal dan membangkitkan pertimbangan yang mendalam.
116
Kasus Hibah dan Bentuk penyelesaian sengketa yang ditempuh oleh
para pihak yaitu, antara lain :
a. Hibah dari Seorang Kakek kepada Cucu
Kasus gugatan hibah dari kakek (Salimun) kepada cucunya (Abdul
Aziz),seperti yang telah diterangkan sebelumnya, bahwa penerima (cucu)
telah mendapat 0,185 ha, kala itu digugat oleh salah satu ahli waris dengan
alasan pemberian itu tidak didahului dengan musyawarah keluarga dan
tidak ada bukti tertulis yang menunjukkan adanya pemindahan harta hibah
dari kakek kepada cucunya.
Kemudian masalah saksi sebagai penguat adanya pemberian hibah,
sebenarnya telah dilakukan oleh ahli waris sendiri dengan menunjuk dua
orang tetangga (Bapak Hadi dan Bapak Supeno). Namun, dari pihak
penghibah hanya sendirian dalam menyetujui pemberian tersebut,
sedangkan dua orang saksi lainnya hanya diam dalam arti tidak dimintai
116
Wawancara dengan Bapak Soffan Hadi Santoso, Kepala Desa Bengkal, Bengkal 29
Mei 2010
61
persetujuan. Walaupun demikian hal ini tidak dapat mempengaruhi
keabsahan hibah itu sendiri. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 210
menerangkan bahwa pemberian hibah harus dihadapan dua orang saksi.
117
Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT:
w ur (#q=. ' s? N3 s9uqBr& N3 oY t/ @t69$$/ (#q9?ur !$yg / n<) Q$6 t: $#
Artinya: Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian
yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil, dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim.(QS.Al-Baqarah:188)
118
Kemudian pandangan ahli waris yang berpendapat bahwa harta
hibah sebagai balas budi tersebut merupakan pemberian hibah selama
penerima hibah mengurusi pemberian hibah itu secara baik dan benar.
Maka hal ini bukanlah ukuran yang baku dalam pemberian hibah.
Sebenarnya pemberian hibah dapat menambah hubungan yang
sangat erat tali persaudaraan diantara keluarga, sudah terealisir hal ini
dapat terbukti dengan secara harmonis yang telah berjalan bertahun-tahun
dan tiada tanda-tanda keretakan keluarga. Dalam permasalahan ini
bukanlah bertumpu pada masalah hibah akan tetapi pada kondisi ekonomi
yang sedang dialami oleh salah ahli waris dan mempunyai watak atau sifat
penggugat yang kurang terpuji.
Bentuk penyelesaian yang dilakukan oleh pihak penggugat adalah
dengan cara sepihak, dengan memaksa pihak penerima hibah untuk
mengembalikan harta tersebut. Hal ini sangatlah bertentangan dengan
117
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Departemen Agama RI, Jakarta: 2004, hlm.208
118
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, Jakarta : Bumi Restu, 1974,
hlm 46
62
prinsip-prinsip yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan hibah yaitu, salah
satunya prinsip musyawarah. Sebagaimana firman Allah:
Nd r $xur DF{ $# (
Artinya : Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.
(QS. Al-Imron, 159)
119
Dalam pelaksanaan perintah musyawarah ini, Nabi selalu
bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya hingga masalah-masalah yang
berhubungan dengan masalah rumah tangga.
120
b. Hibah dari Orang Tua Kepada Anak Kandung
Kasus pemberian hibah yang dialami Bapak Sutrisno (anak bungsu),
hibah tersebut berupa rumah induk yang sampai sekarang masih ditempati.
Seperti kebiasaan masyarakat Dusun Bolang, biasanya anak yang baru
menikah mendapatkan modal usaha, baik berupa uang, rumah, tanah. Disini
anak bungsulah yang mendapatkan rumah induk disamping sebagai bekal
hidup seperti yang dihibahkan kepada anak-anak lain yang telah berumah
tangga. Melihat permasalahan di atas seharusnya diperhitungkan jerih
payah anak bungsu selama merawat orang tua dan janganlah dipandang
tidak professional, artinya rumah induk yang sekarang ditempati pemberi
hibah diperhitungkan sebagai harta warisan. Dari faktor inilah menjadi
nilai lebih yang mana rumah tersebut sangatlah layak diberikan kepada
Sutrisno dari pada saudara-saudara lainnya.
119
Ibid,hlm 103
120
Wahbah az-Zuhayly, Talim al-Mutaalim Fil Bayan al-Tariq al-Talim, Bandung: PT
al-Maarif , t,th.hlm 14
63
Bentuk penyelesaian yang dilakukan oleh para pihak yang
bersengketa adalah dengan cara musyawarah keluarga melalui proses
negosiasi. Dalam musyawarah tersebut para pihak mendapatkan bagiannya
masing-masing sesuai dengan ketentuan Hukum Waris. Hal ini haruslah
sesuai dengan prinsip keadilan/persamaan. Karena melebihkan atau
melakukan perbedaan pemberian hibah antara anak yang satu dengan yang
lain merupakan sesuatu yang sangat sensitif untuk timbulnya suatu
perseteruan dan dapat mengancam keutuhan keluarga.
Prinsip keadilan dalam pemberian hibah yang dianjurkan dalam
agama, juga dapat menjaga keutuhan keluarga serta utuhnya hubungan
silaturrahmi. Hal ini sesuai dengan Firman Allah:
4 (#q9$# uqd > t%r& 3 uq) -G=9 ( (
Artinya: Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.
(QS Al- Maidah 8).
121
c. Hibah dari Orang Tua Kepada Anak Tiri
Dalam kasus ini ada empat point yang harus dicermati dan
diperhatikan karena dalam hal ini berkaitan dengan Hukum Islam, yaitu:
1. Pengakuan dari anak tiri bahwa harta tersebut diberikan kepadanya
karena kedekatan, perhatian orang tua tirinya.
2. Dalam pengakuan anak tersebut, anak tiri sebagai penerima hibah tidak
mendatangkan saksi.
121
Departemen Agama RI, Op.Cit.,hlm 109
64
3. Harta yang dihibahkan adalah keseluruhan harta yang dimiliki oleh
penghibah (Bapak Jhumari). Dan kalaupun pengakuan tersebut dapat
dibuktikan, maka seluruh harta pemberian tidak dapat dibenarkan,
karena pemberian hibah maksimal adalah 1/3 dari keseluruhan harta
penghibah. Dan hal ini bertentangan dengan prinsip keadilan karena
orang tua tiri tersebut masih mempunyai anak kandung yang berhak
pula menerima hibah.
4. Pemberian hibah tersebut dilakukan pada saat pemberi hibah dalam
keadaan sakit yang membawa kematian.
122
Bentuk penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh para pihak
yaitu, dengan cara Mediasi melalui Lembaga Musyawarah Desa
(LMD).
123
Mediasi adalah sebagai upaya penyelesaian sengketa para
pihak dengan kesepakatan bersama melalui Mediator yang bersifat
netral, dan tidak membuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak,
tetapi sebagai penunjang fasilitator untuk terlaksananya dialog antara
pihak dengan suasana keterbukaan, kejujuran dan tukar pendapat untuk
tercapainya mufakat.
124
Mediator berfungsi untuk menginterpretasikan
pikiran dan kekhawatiran pertukaran informasi antara pihak dan
memperkecil masalah. Semua ini tergantung juga pada besar dan
kompleksnya masalah dan kapasitas kemampuan mediator.
125
122
Wawancara dengan Bapak Soffan Hadi Santoso, Kepala Desa Bengkal, tanggal 29
Mei 2010
123
Ibid,
124
Susanti Adi Nugroho, Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta:
PT.Telaga Ilmu Indonesia,2009.Cet.I. hlm 25
125
Ibid, hlm.43
65
Jalan yang ditempuh dalam menyelesaikan masalah ini adalah
lewat musyawarah Desa yang mana menghasilkan keputusan bahwa
bagian harta yang diterima oleh anak tiri adalah tidak kurang dari 1/3
bagian dari seluruh harta kekayaan almarhum. Sedangkan pihak ahli
waris mendapatkan bagiannya sesuai dengan ketentuan Hukum
Waris.
126
d. Hibah dari Orang Tua Kepada Anak Angkat
Kasus pemberian hibah dari orang tua kepada anak angkat,
persoalannya sama dengan yang dijelaskan di atas. Yaitu, memberikan
harta kekayaan seluruhnya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut,
para pihak yang bersengketa membawa masalah tersebut dalam
musyawarah keluarga atau melalui musyawarah Desa.
- Pemberian hibah yang dilakukan oleh Bapak Suyitno adalah sepihak
dan dalam hal ini mengakibatkan konflik antara anak angkat dengan
saudara penghibah sendiri. Untuk menyelesaikan masalah tersebut para
pihak melakukan musyawarah keluarga maupun membawa masalah ini
melalui jalur musyawarah Desa. Dari hasil musyawarah, para pihak
melakukan negosiasi atau proses tawar menawar, Pihak anak angkat
disini mendapatkan bagiannya tidak kurang dari 1/3 bagian dari seluruh
harta kekayaan almarhum Bapak Suyitno. Sedangkan saudara dari
almarhum mendapatkan bagiannya sesuai dengan ketentuan Hukum
126
Wawancara dengan Bapak Soffan Hadi Santoso, Kepala Desa Bengkal, tanggal 29
Mei 2010
66
Waris.
127
Mengingat bahwa pemberian hibah yang dilakukan oleh
penghibah sendiri, maka dalam hal ini tidak dapat disahkan. Karena
menyalahi prinsip Keadilan dan persamaan. Firman Allah SWT:
(#q9$# uqd > t%r& 3 uq) -G=9 ( (
Artinya: Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.
(QS. Al-Maidah:8)
128
Menurut Hukum Waris Islam ahli waris yang saudara kandung dari
almarhum tersebut mendapat ashobah dan oleh Karena itu ada saudara
yang menghijabnya juga tidak ada kakek, maka saudara kandunglah
yang berhak mendapat keseluruhan harta yang tinggalkan.
129
- Penghibahan yang dilakukan sebelumnya oleh Bapak Pudjo Sumarno
yaitu, tidak begitu memperhitungkan seberapa besar yang harus
diberikan kepada anak angkat karena adanya rasa balas budi. Dan
akhirnya pada tahun 2003 terjadilah percekcokan antara anak angkat
dengan anak kandung. Yang mana anak kandung disini menginginkan
agar harta tersebut ditarik kembali oleh penghibah (Bapak Pudjo
Sumarno) dan dibagi secara adil. Pada tanggal 10 Mei 2003 , penarikan
dilakukan oleh penghibah di rumah penerima hibah (Ibu Endang
Prihatin) dengan maksud agar dapat meredam konflik keluarga. Cara
yang ditempuh oleh Bapak Pudjo Sumarno adalah sepihak, dengan
mengundang kedua belah pihak yang bersengketa untuk melakukan
127
Ibid,
128
Departemen Agama RI, loq.cit, hlm 109
129
Wawancara denga Bapak Soffan Hadi Santoso, Kepala Desa Bengkal, tanggal 29 Mei
2010
67
proses negosiasi. Namun sebaliknya, tidak ada kesepakatan dari kedua
belah pihak untuk mengakhiri konflik. Dengan sangat terpaksa Bapak
Pudjo dalam menentukan sikap adalah menarik kembali hibahnya dari
anak angkat dan hibah tersebut tidak dibagikan kepada siapapun baika
anak angkat maupun anak kandung.
130
Bila ditinjau dari hukum adat setempat secara khusus bentuk
penyelesaian sengketa adalah dengan musyawarah keluarga maupun lewat
lembaga musyawarah desa. Karena pemberian hibah yang sebelumnya
melebihi 1/3 kemudian ditarik kembali dan hibah tersebut kemudian akan
dibagi secara adil dan masing-masing pihak mendapatkan bagiannya.
Dalam kaidah ushul fiqih dikenal istilah al urf. Secara bahasa al-urf
dipahami sebagai suatu yang diketahui, dikenal dan dianggap baik serta
diterima oleh pikiran dan akal sehat. urf ialah sesuatu yang telah sering
dikenal dan dikenal oleh manusia dan telah menjadi tradisinya pada suatu
daerah, baik berupa ucapan atau perbuatannya dan atau hal meninggalkan
sesuatu juga disebut adat.
Menurut istilah ahli syara, tidak ada perbedaan di antara urf dan adat,
maka urf yang bersifat perbuatan adalah seperti saling pengertian manusia
tentang jual beli dengan pelaksanaan tanpa sighot yang diucapkan. Sedang urf
yang bersifat ucapan adalah seperti saling mengerti mereka tentang kemutlakan
lafal al-walad atas anak laki-laki bukan anak perempuan, dan juga saling
mengerti mereka agar tidak mengitlakkan lafal al-lahm yang bermakna daging
130
Wawancara dengan Bapak Pudjo Sumarno, Kepala Desa Bengkal,tanggal 13 Agustus
2009
68
atas al-jamak yang bermakna ikan tawar. Jadi urf adalah terdiri dari saling
pengertian manusia atas perbedaan tingkatan mereka, keumumannya dan
kekhususannya.
131
Urf menurut penyelidikan adalah bukan dalil syara yang tersendiri.
Pada umumnya ia adalah termasuk memelihara maslahah sebagaimana
dipelihara dalam pembentukan hukum.
132
Bentuk penyelesaian sengketa pemberian hibah dilakukan berdasarkan
pengertian dari para pihak penghibah, penerima hibah maupun ahli waris.
Oleh karena itu dalam menentukan kapan penyelesaian hibah, pelaksanaan
dalam penarikan hibah dilakukan, para pelaku yang terlibat didalamnya tidak
dapat menjelaskan secara pasti. Para pelaku hanya menyebutkan berdasarkan
perkiraan saja.
133
Di dalam hukum Islam sebagai salah satu dari rukun hibah, penghibah
disyaratkan:
1. Pemberi hibah memiliki barang yang dihibahkan.
2. Pemberi hibah bukan orang yang dibatasi haknya.
3. Pemberi hibah adalah orang dewasa (baligh).
4. Pemberi hibah tidak karena dipaksa, sebab akad hibah mensyaratkan
keridhaan.
134
131
Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh), Jakarta:
Rajawali Press, 1991, hlm. 133-134.
132
Ibid., hlm. 137.
133
Wawancara dengan Bapak Soffan Hadi Santoso, Kepala Desa Bengkal, Bengkal 29
Mei 2010
134
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 4, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006, Cet.I, hlm. 437-438.
69
Adapun syarat penerima hibah dalam hukum Islam ia hadir (ada) pada
saat pemberian hibah, apabila ada atau diperkirakan ada, misalnya janin, maka
hibah tersebut tidak sah. Namun apabila penerima hibah ada pada saat
pemberian hibah, tetapi masih kecil atau gila, maka hibah tersebut diambil oleh
walinya, pemeliharanya, atau pendidiknya sekalipun dia orang asing.
135
Dengan demikian karena bentuk penyelesaian sengketa benda hibah
dan kadar benda yang dihibahkan tidak bertentangan dengan syarat-syarat di
atas maka dapat diterima oleh hukum Islam. Di atas telah dijelaskan bahwa
dalam Islam hibah menjadi sah apabila ada ijab, kabul dan qabad.
Menurut Chuzaimah T.Yango dan Hafiz Anshary, pengertian ijab
dalam hukum Islam yaitu penghibah mengucapkan, Saya berikan ini kepada
engkau, kabul yaitu penerima hibah mengucapkan, saya terima. Qabad
yaitu serah terima.
Sighat hibah hendaknya perkataan yang mengandung pengertian hibah
dan hendaklah ada persesuaian antara ijab dan kabul. Persyaratan adanya
ketegasan ijab dan kabul kenyataannya tidak disepakati oleh ulama-ulama
mujtahid. Sebagian besar ulama yang beraliran fiqih syafiiyah dan Malikiyah
mensyaratkan bagi orang yang mampu berbicara untuk menegaskan ijab dan
kabul bagi keabsahan hibah.
136
Menurut mereka, orang yang menghibahkan
harus secara tegas mengatakan ijab atau pemberiannya. Begitu pula yang
menerima hibah harus secara tegas pula mengatakan dengan lisan atas
pemberiannya. Keharusan adanya penegasan hibah dengan lisan dimaksudkan
135
Ibid.
136
Yurisrudensi (Peradilan Agama) dan Analisa, Yayasan al-Hikmah dan Direktorat
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama, Jakarta: 1995, hlm. 672.
70
agar secara jelas apa yang diberikan itu adalah hibah dan dilakukan dengan
kehendak sendiri secara rela.
Dengan adanya ketegasan hibah itu, baru berlaku baginya segala
hukum hibah. Adanya keharusan ketegasan penerimaan dengan lisan, agar
secara pasti diketahui keadaan penerimanya.
137
Sedangkan Hukum Perjanjian
Dalam Islam karangan Chairuman Pasaribu dan Suhwardi K Lubis,
menerangkan bahwa sebagian kalangan Hanafiyah berpendapat ijab saja sudah
cukup tanpa harus diikuti dengan kabul, dengan perkataan lain hanya
berbentuk pernyataan sepihak. Untuk keabsahan hibah tidak mesti adanya
ketegasan ijab dan kabul secara lisan. Menurut aliran ini hibah dianggap sah,
sekalipun dengan tindakan-tindakan yang biasa dipahami menunjukkan
adanya pemberian.
138
Dan itulah yang paling shahih.
139
Alasan pendapat
Hanafiyah adalah dalam sebuah hadits diceritakan bahwa Rasulullah berkata
pada Abdullah ibnu Umar, lakukanlah sesuka hatimu terhadap keledai itu,
dengan maksud menghibahkan kepada Umar. Dalam cerita tersebut Rasulullah
tidak secara tegas dengan lisan melafalkan ijab hibah dan begitu pula dengan
Ibnu Umar yang tidak secara tegas dengan lisan menerima hibah dari
Rasulullah.
Hukum adat tidak menentukan bahwa hibah wasiat itu bersifat terbuka
atau tertulis sendiri sebagaimana pasal 931 KUH Perdata. Tetapi jika mungkin
hal itu dapat dilaksanakan. Namun yang bisa berlaku adalah menurut hukum
137
Satria Effendi M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Analisis
Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, Jakarta: Prenada Media, 2004, cet. I, hlm. 475.
138
Satria Effendi, M. Zein, op.cit.
139
Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 170.
71
adat setempat, yang mana cukup diucapkan di hadapan istri, anak-anak atau
anggota keluarga dekat lainnya. Kemudian hendaknya diperhatikan
sebagaimana putusan Mahkamah Agung tanggal 23 Agustus 1960 No. 225
K/SIP/1960 bahwa hibah itu tidak memerlukan persetujuan ahli waris dan
hibah itu tidak mengakibatkan ahli waris dari si penghibah, sedangkan hibah
wasiat itu tidak boleh merugikan ahli waris dari si penghibah.
140
Jika ditinjau dari segi yuridis formal dalam hal ini KUH Perdata,
dalam pasal 1682 ditegaskan bahwa Tiada suatu hibah, kecuali yang
disebutkan dalam pasal 1687, dapat atas ancaman batal, dilakukan selainnya
dengan suatu akta notaris, yang aslinya disimpan oleh notaris itu. Dari pasal
tersebut terlihat bahwa untuk penghibahan benda tak bergerak ditetapkan
suatu formalitas dalam bentuk akta notaris.
141
Berkaitan dengan pembagian urf yang telah penulis sampaikan di atas,
transaksi hibah yang ada di Desa Bengkal adalah termasuk urf yang bersifat
perbuatan. Sebagaimana kaidah ushul fiqih yang berbunyi:
-
Artinya: Adat adalah sebagai hukum
Menurut penulis bentuk penyelesaian yang dilakukan oleh mayarakat
Bengkal adalah dengan cara musyawarah termasuk suatu kebiasaan. Hal ini
bertujuan untuk menghindari terjadinya konflik yang berkepanjangan dan adat
termasuk suatu ketetapan hukum yang dibuat oleh masyarakat itu sendiri.
140
Hilman Hadikusumah, Hukum Waris Adat, Bandung: Alumni, 1983, hlm. 69.
141
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: PT. Citra Aditsya Bhakti, 1995, hlm. 102.
72
Sedangkan untuk pemindahan hak milik dengan cara penghibahan
dalam hal ini benda tidak bergerak (tanah) lebih baik mengikuti pasal 1682
KUH Perdata, yaitu harus disertai dengan akta otentik. Karena dengan adanya
akta otentik atau bukti tertulis yang sah maka dapat mencegah timbulnya
konflik antara para ahli waris dengan si penerima hibah. Jika hibah tanpa akta
otentik akan menimbulkan kesan bahwa transaksi hibah itu dilakukan secara
gelap. Sebaliknya dengan akta otentik, maka untuk transparansi menjadi
tampak. Hal ini akan menguntungkan kedua belah pihak yaitu pemberi hibah
dan penerima hibah, juga dapat menguntungkan bagi ahli waris lainnya dalam
konteks dengan terpeliharanya hubungan harmonis antara para pihak.
Penerima hibah juga menjadi tahu tentang seberapa banyak dan
seberapa besar hak-haknya. Kenyataannya memang tidak jarang peristiwa
gugat menggugat di pengadilan sebagai akibat adanya salah satu pihak merasa
diperlakukan secara tidak adil dan dicurangi sehingga seringkali konflik
tersebut berlanjut hingga kepada anak cucu.
Bertumpu pada alasan di atas, penulis berpendapat bahwa Bentuk
penyelesaian sengketa haruslah sesuai dan perlu dilakukan karena dalam hal
pemberian yang melebihi 1/3, masih ada ahli waris yang harus dihormati
haknya. Sedangkan mengenai harta otentik merupakan sebagai salah satu
syarat penghibahan benda tidak bergerak menjadi unsur yang sangat penting
dalam menjaga nilai kekuatan dan pembuktian dari hibah itu sendiri. Karena
akta otentik (alat bukti surat) merupakan alat bukti pertama dan lebih utama.
Dikatakan pertama oleh karena (alat bukti surat) gradasinya disebut pertama
73
dibandingkan alat bukti lainnya, sedangkan dikatakan utama karena pada
asasnya di dalam perkara perdata, yang dicari adalah kebenaran formal, maka
alat bukti yang berbentuk tulisan merupakan alat bukti yang sengaja dibuat
untuk dapat dipergunakan sebagai alat pembuktian utama.
E. Analisis Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penyelesaian Sengketa
Pemberian Hibah yang Melebihi 1/3 dari Ketentuan Hukum Islam di Desa
Bengkal Kec. Kranggan Kab. Temanggung
Dalam penyelesaian sengketa yang ada di Desa Bengkal, pemberi hibah
menarik kembali hibahnya baik dari cucu, anak kandung, anak tiri dan anak
angkat. Di dalam penarikan hibah itu sendiri bertujuan untuk meredam konflik
antara keduanya. Menurut hukum Islam menarik kembali suatu hibah yang
telah diberikan kepada orang lain tidak dibenarkan (haram), kecuali hibah
orangtua terhadap anak-anaknya. Karena sesungguhnya seseorang itu ikut
memiliki harta anaknya, karena itu dia boleh, makan dari padanya, baik dengan
seizin anak atau tidak. Dan dibolehkan juga dia mempergunakan
(membelanjakan) harta anaknya selama tidak boros dan tidak seenaknya
sendiri.
Untuk penarikan hibah, menurut As-Sayyid Sabiq bahwa alruju di
dalam hibah hukumnya adalah haram, walaupun dalam penarikan hibah
dilakukan kepada saudara atau suami, istri kecuali hibah seorang bapak
(orangtua) kepada anaknya. Hal ini sesuai dengan Hadits Nabi:
74
_ _ ,, _ : , . ,, _-,, , ,= _=, -, -
, _=, , ) ., ,, - ,, ,,,' ,_ (
Artinya: Dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar r.a, Seorang tidak dihalalkan
menarik lagi pemberian yang telah diberikan, kecuali orangtua yang
menarik kembali sesuatu yang telah diberikan kepada anaknya
(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah dan Turmudzi dan Nasai).
142
Di dalam segi pemecahan kasus hibah yang terjadi di Desa Bengkal,
menurut Hukum Islam, yaitu:
- Hibah dari Kakek Kepada cucu
Penyelesaian kasus hibah yang dilakukan sepihak oleh penggugat
dengan menekan penerima hibah agar menyerahkan harta hibahnya adalah
tidak dibenarkan oleh syariat islam. Hal ini sesuai dengan firman Allah
SWT:
w ur (#q=. ' s? N3 s9uqBr& N3 oY t/ @t69$$/ (#q9?ur !$yg / n<) Q$6 t: $# (#q=2 ' tG9
$Z) s ` iB A uqBr& $Y9$# O OM} $$/ OFRr&ur tb qJ n=s?
Artinya Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian
yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda
orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu
mengetahui.(QS. Al-Baqarah:188)
143
Oleh karena harta hibah diserahkan secara paksa, maka penerima
berhak menggugat kembali harta hibahnya yang diperoleh dengan cara yang
142
A Hasan, Soal-Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, Bandung: PT. c.v.
Diponegoro, 1982,Cet IV.hlm 691.
143
Departemen Agama RI , Al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta :Bumi Restu , 1974, hlm 46
75
sah dan benar, agar dikembalikan kepadanya dengan menunjukkan alat
bukti yang menguatkan atau bukti otentik.
- Hibah dari Orang Tua Kepada Anak Kandung
Seperti yang dijelaskan di depan, penyelesaian masalah hibah yang
dialami oleh Bapak Sutrisno sebagai anak bungsu yaitu dengan cara
musyawarah keluarga dengan mendatangkan ulam sebagai saksi ahli.
Menurut pandangan Syariat Hukum Islam adalah sangat ideal karena
didalam Syariat Hukum Islam bertujuan untuk kemaslahatan dunia akhirat.
Dan cara terbaik untuk menyelesaikan suatu masalah dengan cara
musyawarah, dalam hal ini secara tegas dunyatakan dalam Al-Quran:
Nd r $xur DF{ $# (
Artinya: Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.
(QS. Al-Imran :159)
144
- Hibah dari Orang Tua Kepada Anak Tiri
Penyelesaian dalam kasus ini, proses penghibahan tersebut tidak
dibenarkan. Adapun cara yang ditempuh oleh masing-masing pihak dengan
cara melalui musyawarah keluarga dengan mediator aparat Desa, menurut
Hukum Islam yaitu karena dalam musyawarah hak masing-masing pihak
yang berperkara akan dapat dipenuhi dengan cara yang sebaik-baiknya tidak
ada perampasan hak antara satu pihak dengan pihak yang lain. Perlu
144
Ibid, hlm 103
76
ditambahkan disini adalah perlu mendatangkan ulama, karena ulama
mengetahui tentang syariat islam. Dengan catatan ulama tersebut haruslah
bersifat obyektif. Dalam Firman Allah SWT:
! (#q=t s @d r& . e%!$# b ) OGY. w tb qHs>s?
Artinya: Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan
jika kamu tidak mengetahui,( QS. An Nahl: 43)
145
- Hibah dari Orang Tua Kepada Anak Angkat
Permasalahan disini anak angkat menguasai seluruah harta orang
tua angkatnya dengan cara hibah. Menurut Hukum Islam, kalau hibah
tersebut terjadi pada anak angkat adalah tidak dibenarkan. Karena
bertentangan dengan asas keadilan. Firman Allah:
4 (#q9$# uqd > t%r& 3 uq) -G=9 ( (
Artinya: Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.
( QS Al-Maidah:8)
146
Batas harta yang boleh dihibahkan hanya 1/3 dari keseluruhan
harta orang tua angkatnya. Dan apabila tidak ada akad hibah, sementara
orang tua angkatnya mempunyai ahli waris maka anak angkatnya dapat
mengambil yang ssuai dengan bagiannya.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa orang Islam telah
melarang adanya penarikan terhadap sesuatu yang telah diberikan.
145
Ibid, hlm 408
146
Ibid, hlm109
77
Sedangkan pada pasal 212 KHI telah disebutkan bahwa hibah tidak
dapat ditarik kembali kecuali hibah orangtua terhadap anaknya.
Dalam pasal KUH Perdata pasal 1666 juga dijelaskan, bahwa
pemberian hibah tidak dapat ditarik kembali.
Namun demikian hukum Islam membolehkan menarik kembali hibah,
penarikan hibah dapat sah terjadi karena dua hal.
Pertama yaitu hibah orangtua terhadap anaknya. Hibah orang tua dapat
ditarik kembali, karena anak berikut harta kekayaan adalah milik orangtua.
147
Diperbolehkan seseorang menarik kembali dalam keadaan di mana penghibah
menghibahkan guna mendapatkan imbalan dan balasan atas hibahnya.
Sedangkan orang yang diberi hibah (penerima hibah) belum membalasnya.
Kedua, hibah itu tidak sah. Apabila dikembalikan kepada definisinya
syarat adalah hal yang wujudnya hukum tergantung padanya, dan tidak adanya
hal tersebut menyebabkan tidak adanya hukum, tetapi wujud hal tersebut tidak
tentu mengharuskan adanya hukum. Sehingga dapat diketahui bahwa kurang
terpenuhinya syarat hibah dapat mengakibatkan batalnya hukum hibah.
Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa akad hibah itu tidak mengikat.
Oleh karena itu, pemberi hibah boleh saja menarik hibahnya. Alasan yang
mereka kemukakan adalah sabda Rasulullah saw:
= ,_ ,, , ,_ . : ,, -,, , .,
, .,
147
Abu Bakar Jabir el-Jazairi, Pola Hidup Muslim: Minhajul Muslim Muamalah alih
bahasa oleh Rahmat Djatmiko dan Ahmad Sumpena, cet. I, Bandung: Remaja Rosdakatya, 1991,
hlm. 157.
78
Artinya: Barangsiapa hendak memberi suatu hibah, maka dia lebih berhak
terhadapnya (harta hibah) selama ia belum dibalas.
148
Akan tetapi, mereka juga mengatakan ada hal-hal yang menghalangi
penarikan kembali hibah tersebut, yaitu:
1. Apabila penerima hibah telah memberi imbalan harta / uang kepada
pemberi hibah dan penerima hibah menerimanya, karena dengan
diterimanya imbalan harta / uang itu oleh pemberi hibah, maka tujuannya
jelas adalah untuk mendapatkan ganti rugi. Dalam keadaan seperti ini
hibah tidak dapat ditarik kembali.
2. Jika imbalannya bersifat maknawi, bukan bersifat harta, seperti
mengharapkan pahala dari Allah SWT, untuk mempererat silaturahmi,
tanda sayang dan hibah dalam rangka memperbaiki hubungan suami istri,
maka dalam kasus hibah ini, menurut ulama Hanafiyah tidak boleh ditarik.
3. Harta yang dihibahkan telah dipindahtangankan penerima hibah melalui
cara apapun, seperti menjual, diberikan atau diwakafkan maka hibah
tersebut tidak dapat ditarik kembali.
4. Wafatnya salah satu pihak yang berakad hibah. Apabila penerima hibah
atau pemberi hibah wafat, maka hibah tidak boleh ditarik kembali.
5. Rusak atau hilangnya harta yang dihibahkan disebabkan karena
pemanfaatannya, maka hibah tidak boleh ditarik.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa dalam pasal 1666
KUH Perdata, hibah tidak dapat ditarik kembali. Meskipun demikian
148
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 14,Bandung : PT. Al-MaArif,1987, hlm 183.
79
dijelaskan dalam KUH Perdata, hibah dapat ditarik kembali dalam keadaan
tertentu.
Meskipun suatu harta penghibahan dalam pasal 1666 KUH Perdata,
sebagaimana halnya suatu perjanjian pada umumnya, tidak dapat ditarik
kembali secara sepihak tanpa persetujuan dari pihak lawan. Namun undang-
undang memberikan kemungkinan bagi penghibah untuk dalam hal-hal
tertentu menarik kembali hibahnya yang telah diberikan kepada seseorang.
Kemungkinan itu diberikan oleh pasal 1688 berupa tiga hal:
1. Karena tidak dipenuhinya syarat-syarat dengan mana penghibahan telah
dilakukan; dengan syarat di sini dimaksudkan beban.
2. Jika si penerima hibah telah bersalah; melakukan atau membantu
melakukan kejahatan yang bertujuan mengambil jiwa si penghibah, atau
suatu kejahatan lain terhadap si penghibah.
3. Jika menolak memberikan tunjangan nafkah kepada si penghibah, setelah
orang ini jatuh dalam kemiskinan.
149
Jumhur ulama mengatakan bahwa pemberian hibah tidak dapat ditarik
kembali. Karena perumpamaan dari orang yang menarik kembali hibahnya
adalah bagaikan anjing yang memakan kembali muntahannya. Namun
demikian hibah dapat ditarik kembali apabila hibah tersebut adalah hibah dari
orangtuanya kepada anaknya atau hibahnya tidak sah.
Seperti dalam hadits riwayat Ibnu Abbas r.a:
,, , ._, . ) _, ,,,' ,_ (
149
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti, 1995, hlm. 102.
80
Artinya: Orang yang menarik kembali hibahnya sama seperti anjing yang
menjilat kembali muntahannya (Dari Abu Daud dan An-Nasai).
150
Berlandaskan pada permasalahan diatas menurut penulis sangatlah perlu
diadakan penyelesaian karena ada hak ahli waris yang harus dihormati dan
penyelesaian tersebut haruslah sesuai dengan ketentuan Hukum Islam.
150
Syaikh Dawud bin Abdullah Fathoni, Furuul Masail, Juz II, hlm. 124
81
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka selanjutnya penulis akan
memberikan kesimpulan sebagai jawaban dari permasalahan dalam makalah
ini:
1. Praktek pemberian hibah yang dilakukan oleh masyarakat Bengkal atas
dasar kasih sayang.
2. Bentuk penyelesaian yang dilakukan dengan cara musyawarah tidaklah
menyalahi aturan hukum Islam selama ada kesepakatan bersama dari para
pihak yang bersengketa. Dengan tujuan untuk meredam konflik keluarga,
dilihat dari pemberi hibah (wahib), penerima hibah (mauhub alaih) dan
barang yang dihibahkan (mauhub) tidak ada yang terlepas dan
menyimpang dari hukum Islam. Hal ini dapat diterima dalam hukum
Islam, karena ketegasan lisan tidak menjadikan batalnya keabsahan hibah.
Dalam ketentuan perundang-undangan keperdataan Indonesia, bahwa
setiap pemindahan hak milik harta tidak bergerak (tanah) harus
menggunakan suatu akta tertulis. Kalau tanpa adanya akta otentik dapat
mengakibatkan batalnya hibah tersebut. Namun Islam tidak mengatur
prosedur penyelesaian sengketa hukum dalam setiap transaksi yang
dilakukan tidak harus dengan menggunakan akta hitam di atas putih.
82
3. Penyelesaian kasus hibah dilakukan dengan musyawarah antara para pihak
yang berperkara, maupun aparat desa adalah diperbolehkan meskipun
puncaknya penyelesaian bias ke pengadilan.
4. Sedangkan Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penyelesaian Sengketa
Pemberian Hibah yang Melebihi 1/3 dari Ketentuan Hukum Islam Di Desa
Bengkal Kec. Kranggan Kab. Temanggung, menurut hukum Islam
penyelesaian sengketa hibah dengan cara menarik kembali hibahnya demi
meredam konflik keluarga adalah halal (jika sesuai dengan Hukum Islam)
dan perlu digaris bawahi, di dalam permasalahan ini ada pihak lain yang
kedudukannya tidak sama dengan ahli waris dan proses penyelesaiannya
haruslah sesuai dengan kesepakatan bersama.
B. Saran
1. Hendaknya pemberi hibah dalam proses pemberian hibah mengikut
sertakan ahli warisnya untuk bermusyawarah.
2. Oleh karena adanya perkembangan hukum Islam yang dilembagakan
dalam bentuk Undang-Undang, maka perlu kiranya praktek pemberian
hibah di Desa Bengkal dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Seperti adanya dua orang saksi, registrasi bukti
tertulis.
3. Hendaknya untuk bentuk penyelesaian sengketa haruslah sesuai dengan
kesepakatan bersama dan tidak ada pihak yang akan merasa dirugikan.
Dan untuk pemindahan hak milik dengan cara penghibahan dalam hal ini
83
benda tidak bergerak (tanah) lebih baik mengikuti ketentuan yuridis
formal, yaitu disertai dengan akta tertulis (akta otentik) selain ijab qabul
yang dilakukan di depan dua orang saksi. Sebenarnya dengan adanya akta
otentik atau bukti tertulis yang sah maka dapat mencegah konflik antara
para ahli waris dengan penerima hibah di kemudian hari. Dalam
pemberian hibah, kadar yang harus diberikan haruslah sesuai dengan
ketentuan hukum Islam yaitu tidak melebihkan pemberian yang melebihi
1/3 dari harta penghibah. Jika ketika hibah tanpa adanya akta otentik akan
menimbulkan kesan bahwa transaksi hibah itu dilakukan secara gelap.
Sebaliknya dengan akta otentik, maka unsur transparansi menjadi tampak.
Hal ini akan menguntungkan kedua belah pihak yaitu pemberi hibah dan
penerima hibah, juga dapat menguntungkan bagi ahli waris lainnya dalam
konteksnya dengan terpeliharanya hubungan harmonis antara para pihak.
4. Dalam penyelesaian sengketa hibah seharusnya para orangtua haruslah
bersifat adil antara anak yang satu dengan anak yang lainnya. Begitu pula
dengan masalah penarikan kembali pemberian (hibah) orangtua harus
bersifat adil. Dikhawatirkan akan menimbulkan rasa iri dan akan timbul
kesenjangan sosial kepada salah satu pihak yang merasa dirugikan yang
akan berakibat dikemudian hari. Jadi berhati-hatilah kepada setiap muslim
dalam bermasyarakat antara satu dengan yang lainnya. Karena di dalam
telah mengatur tata cara kehidupan manusia dalam bermuamalah.
84
C. Penutup
Demikian yang dapat penulis susun dan sampaikan, rasa syukur
penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan petunjuk serta
kekuatan lahir dan batin sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
tanpa halangan yang berarti.
Meskipun telah berupaya dengan optimal, penulis menyadari bahwa
skripsi ini masih banyak kelemahan dan kekurangan dari berbagai segi dan
jauh dari kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Sehingga saran dan kritik
yang membangun penulis harapkan untuk kebaikan dan kesempurnaan skripsi
ini. Akhirnya penulis berharap dan berdoa semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya.
85
DAFTAR PUSTAKA
A. Rahman, Asymuni, dkk (Tim Penyusun), Ilmu Fiqh 3, Jakarta: Depag RI,
1986.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika
Pressindo, 1995.
al-Anshori, Abi Yahya Zakariyah, Fath al-Wahab, Semarang: Toha Putra, Juz 1,
t.th.
al-Ghazzi, Syekh Muhammad ibn Qasim, Fath al-Qarib al-Mujib, Semarang:
Pustaka Alawiyah, t.th.
al-Jaziri, Abd al-Rahman, Kitab al-Fiqh ala al-Mazahib al-Arbaah, Beirut: Dar
al-Fikr, t.th.
al-Malibary, Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz, Fath al-Muin, Semarang: Pustaka
Alawiyah, t.th.
al-Maududi, Abul Ala, Prinsip-prinsip Islam, Alih Bahasa Abdullah Suhaili,
Bandung: PT al-Maarif, 1985.
Arto, Mukti, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2000.
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Koleksi Hadits-Hadits Hukum 7,
Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, Cet. III, 2001.
Ash Shiddiqy, Teungku Muhammad Hasbie, Pengantar Fiqh Muamalah, Cet. 4,
Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001.
As-Siddieqy, M. Hasby, Hukum Fiqh Islam, Jakarta : Bulan Bintang, Cet. V,
1978.
Azwar, Syaifudin, Metode Penelitian, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 2001.
Az-Zuhayly, Talim al-Mutaalim fi Bayan al-Tariq al-Talim, Bandung: PT al-
Maarif, t.th.
Azzuhayly, Wahbah, al Fiqh Al Islamy Wa Adillatuh, Juz 5, Damsyiq : Dar Al-
Fikr.
Bisri, Moh. Adib, Terjemah Faraidul Bahiyah, (Risalah Qawaid Fiqh), Kudus:
Menara, t.th.
86
Buku Laporan Pertanggungjawaban Kepala Desa Bengkal Tahun 2007
Chuzaimah dan Anshary AZ, Hafiz, (Editor), Problematika Hukum Islam
Kontemporer, Cet. 3, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004.
Dahlan, Abdul Aziz, et.al., Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar van
Hoeve, 1996.
Dawud, Syaikh bin Abdullah Fathoni, Furuul Masail, Juz II.
Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, Jakarta: Bumi Restu, 1997.
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, Semarang :
Kumudasmoro Grafindo, 1994.
Effendy, H.A.M, SH, Pokok-Pokok Hukum Adat, Semarang: Duta Grafika, 1990,
cet.III.
el-Jazairi, Abu Bakar Jabir, Pola Hidup Muslim: Minhajul Muslim Muamalah
alih bahasa oleh Rahmat Djatmiko dan Ahmad Sumpena, cet. I, Bandung:
Remaja Rosdakatya, 1991.
Emirson, Joni, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2001.
Fajar Iskandar, Studi Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Agama
Semarang No: 15/pdt.g/2007/PTA.Smg. Tentang Penarikan Hibah Orang
Tua Terhadap Anak, Skripsi Fakultas Syariah IAIN Walisongo,
Semarang, 2006.
Farihi, Hamid, Hibah Terhadap Anak-Anak Dalam Keluarga, Jakarta : Pustaka
Firdaus, 1995.
Hadikusumah, Hilman, Hukum Waris Adat, Bandung: Alumni, 1983.
Hasan, A, dkk, Soal-Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, Bandung: PT C.V
Diponegoro, Cet.VI, 1982.
Hasan, M. Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Cet. 1, Jakarta: PT Raja
Grafindo.
Hasan, M. Ikbal, Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya,
Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002.
Khallaf, Abdul Wahab, Kaidah-kaidah Hukum Islam, (Ilmu Ushul Fiqh), Jakarta:
Rajawali Press, 1991.
87
Khotimah, Tinjauan Hukum Islam terhadap Tradisi Pemberian Hibah pada Anak-
anak dan Kaitannya dengan Pembagian Warisan, Fak. Syariah IAIN
Walisongo, Semarang, 2002
Koentjaraningrat, Metodologi Penelitian Masyarakat, Jakarta : Gramedia, 1997.
Kompilasi hukum Islam Seri Perundangan, Yogyakarta: Pustaka Widyatama,
2004.
M. Zein, Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer,
Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, Jakarta: Prenada
Media, 2004.
Margono, S., Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta : Rineka Cipta, 2004.
Moeleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Mudzakir, Fiqih Sunnah Jilid 14, Bandung: PT. Al-Maarif, Percetakan Offset,
1987.
Muhammad Munir, Analisis Terhadap Pendapat Imam Syafii Tentang
Pencabutan Kembali Hibah, Skripsi Fakultas Syariah IAIN Walisongo,
Semarang, 2006.
Muhammad, Abu Bakar, Subulussalam (terjemah), Surabaya: Al-Ikhlas, 1995.
Munawir, A. W., Kamus al-Munawir, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.
Murad, Rusmadi, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Bandung: Alumni,
1991.
Nazir, Muh, Metodologi Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1998.
Nugroho, Susanti Adi ,Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian sengketa,
Jakart:PT Telaga Ilmu Indonesia, 2009.
Nuruddin, Amiur, Ijtihad Umar Ibn al-Khattab, Studi tentang Perubahan Hukum
dalam Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1991.
Pasaribu, Chairuman, dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam,
Jakarta: Sinar Grafika, 1996.
Praja, Juhaya S., Filsafat Hukum Islam, dalam Tjun Suryaman (ed), Hukum Islam
di Indonesia Pemikiran dan Praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991.
88
Rahman, Asymuni A., dkk (Tim Penyusun), Ilmu Fiqh 3, Jakarta: Proyek
Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama Islam / IAIN
Jakarta Direktorat Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen
Agama, 1986.
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada Cet.
III, 1998.
Rusyd, Ibnu, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayatul Muktashid, Juz I, Semarang :
Usaha Keluarga, t.th.
Sabiq, As-Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Juz XIV, Kwait: Dar Al Bayan, t.th.
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah 14, Bandung: PT. Al-Maarif.
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah 4, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006, Cet. I, . 436.
Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, t.th.
Saifullah, Muhammad, dkk. Hukum Islam Solusi Permasalahan Keluarga,
Yogyakarta: UII Press, 2005.
Salim, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta; Sinar
Grafika, 2006.
Simanjuntak, P.N.H, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta:
Djambatan, 1999.
Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti, 1995.
Subekti, R., dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: PT
pradnya Paramita, 1999.
Subekti, R., dan Tjitrosudibio, KUH Perdata, Jakarta; PT Pradnya
Paramita,1999, Cet.29.
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Cet. I Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada, 1997.
Syafei, Rachmat, Fiqh Muamalah, Bandung: CV Pustaka Setia, 2006.
Syafei, Rachmat, Pengantar Ilmu Fiqh, Cet. 2, Semarang: Pustaka Rizki Putra,
1997.
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Hukum 7,
Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, Cet. III, 2001, . 294.
89
Tim Penulis Fakultas Syariah IAIN Walisongo, Pedoman Penulisan Skripsi,
Semarang : Fak Syariah, IAIN Walisongo, 2000.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 2005.
Tim Redaksi Pustaka Yustisia, Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam,
Yogyakarta : Pustaka Yustisia, Cet. I, 2008.
Undang-undang Nomor 30 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, Jakarta; BP. Cipta Jaya, 1999.
Yafie, Ali, Menggagas Fiqh Sosial, Bandung : Mizan, 1994.
Yahya, Mukhtar, dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Fiqh Islami,
Bandung: PT al-Maarif.
Yurisrudensi (Peradilan Agama) dan Analisa, Yayasan al-Hikmah dan Direktorat
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama, Jakarta:
1995.
90
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Mahmudah
Tempat/tanggal lahir : Blora, 14 Juni 1985
Alamat : Desa Sidorejo Rt.06/Rw.01 Kec. Kedungtuban Kab. Blora
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
No. Telp. : 085641666845
Menerangkan dengan sesungguhnya.
Jenjang pendidikan :
1. MI Assalam I Wado
Kec.Kedungtuban Kab.Blora Tahun lulus 1998
2. MTs Almaruf Kartayuda Wado
Kec.Kedungtuban Kab. Blora Tahun lulus 2001
3. MAN Lasem, Rembang Tahun lulus 2004
4. Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang Tahun lulus 2010
Demikian daftar riwayat hidup ini dibuat dengan sebenarnya dan semoga dapat
digunakan sebagaimana mestinya.
Semarang, April 2010
Penulis
Mahmudah
NIM. 2104015
91
BIODATA MAHASISWA
Yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Mahmudah
NIM : 2104015
Fakultas : Syariah
Jurusan : Al-Ahwal Al-Syakhsiyah
Alamat : Desa Sidorejo Rt.06/Rw.01 Kec. Kedungtuban Kab. Blora
Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk dapat dipergunakan
sebagaimana mestinya .
Semarang, 8 Juni 2010
Penulis
Mahmudah
NIM. 2104015
92
PEDOMAN WAWANCARA
PENYELESAIAN SENGKETA PEMBERIAN HIBAH
YANG MELEBIHI 1/3 DARI KETENTUAN HUKUM ISLAM
DI DESA BENGKAL KEC. KRANGGAN KAB. TEMANGGUNG
Penghibah
1. Sebenarnya apa yang diberikan oleh penghibah kepada si penerima hibah, apa
ada saksi dalam penghibahan tersebut?
2. Motivasi apa penghibah melebihkan pemberian hibah tersebut?
3. Apakah penghibah tahu jika melebihkan pemberian itu bertentangan dengan
hukum Islam?
4. Dalam pemberian hibah, apakah ada pihak yang dirugikan?
5. Bagaimana bentuk penyelesaian sengketa ketika ada pihak yang dirugikan?
6. Apakah ada pro kontra dalam penyelesaian sengketa pemberian hibah
tersebut?
7. Apa yang menjadi tujuan diadakannya penyelesaian sengketa tersebut?
8. Apakah ada visi misi ketika penghibah melakukan penyelesaian sengketa
pemberian hibah tersebut?
93
PEDOMAN WAWANCARA
PENYELESAIAN SENGKETA PEMBERIAN HIBAH
YANG MELEBIHI 1/3 DARI KETENTUAN HUKUM ISLAM
DI DESA BENGKAL KEC. KRANGGAN KAB. TEMANGGUNG
Penerima Hibah
1. Sebenarnya apa yang anda terima dalam penghibahan tersebut?
2. Motivasi apa ketika anda menerima pemberian hibah tersebut?
3. Apakah penerima hibah tahu jika pemberian hibah tersebut berlebihan?
4. dalam Pemberian hibah, apakah anda tahu jika ada pihak yang dirugikan?
5. Bagaimana sikap anda menyikapi masalah tuntutan jika ada pihak yang
dirugikan.
6. Apakah anda menerima bentuk penyelesaian yang diadakan oleh pihak
keluarga?
7. Apa tujuan diadakannya penyelesaian sengketa tersebut?
8. Apakah ada visi dan misi ketika penerima hibah melakukan penyelesaian
sengketa pemberian hibah tersebut.
94
PEDOMAN WAWANCARA
PENYELESAIAN SENGKETA PEMBERIAN HIBAH
YANG MELEBIHI 1/3 DARI KETENTUAN HUKUM ISLAM
DI DESA BENGKAL KEC. KRANGGAN KAB. TEMANGGUNG
Masyarakat Bengkal
1. Apa yang melatarbelakangi terjadinya penyelesaian sengketa pemberian
yang melebihi 1/3 dari ketentuan hukum Islam?
2. Dalam pemberian hibah, apakah ada pihak yang dirugikan?
3. Sebenarnya apa yang diberikan oleh penghibah kepada si penerima hibah,
apa ada saksi dalam penghibahan tersebut?
4. Apakah tidak bertentangan dengan hukum Islam apabila melebihkan
pemberian hibah tersebut?
5. Motivasi apa penghibah melebihkan pemberian hibah tersebut?
6. Bagaimana bentuk penyelesaian sengketa ketika adanya gugatan dari
pihak yang dirugikan dalam penghibahan tersebut?
7. Apakah ada visi dan misi ketika pihak penghibah dengan si penerima
hibah melakukan penyelesaian sengketa pemberian hibah tersebut?
8. Apakah ada pro dan kontra terhadap penyelesaian sengketa pemberian
hibah yang melebihi 1/3?
9. Apa tujuan diadakannya penyelesaian sengketa?
10. Bagaimana pandangan masyarakat Bengkal terhadap adanya penyelesaian
sengketa tersebut?
95
PEDOMAN WAWANCARA
PENYELESAIAN SENGKETA PEMBERIAN HIBAH
YANG MELEBIHI 1/3 DARI KETENTUAN HUKUM ISLAM
DI DESA BENGKAL KEC. KRANGGAN KAB. TEMANGGUNG
Tokoh Masyarakat Bengkal
1. Apakah masyarakat Bengkal mengerti atau paham mengenai hibah?
2. Apakah masyarakat Bengkal mengetahui tentang kadar hibah yang harus
dikeluarkan?
3. Berapa besar prosentase atau kadar yang harus dikeluarkan dari hibah?
4. Apa landasan hukum Islam mengenai hibah?
5. Dalam praktek pemberian hibah, apakah pernah terjadi sengketa?
6. Apa yang melatarbelakangi terjadinya sengketa pemberian hibah?
7. Faktor-faktor apa saja ketika orang melebihkan pemberian hibah tersebut?
8. Apakah perlu diadakannya penyelesaian sengketa, jika ada pihak yang
dirugikan?
9. Bagaimana dengan bentuk penyelesaian sengketa tersebut?
10. Apa ada misi-misi tertentu masyarakat melakukan penyelesaian sengketa
tersebut?
96
PEDOMAN WAWANCARA
PENYELESAIAN SENGKETA PEMBERIAN HIBAH
YANG MELEBIHI 1/3 DARI KETENTUAN HUKUM ISLAM
DI DESA BENGKAL KEC. KRANGGAN KAB. TEMANGGUNG
Kepala Desa Bengkal
1. Apakah pernah ada sengketa tentang hibah di Desa Bengkal?
2. Apa yang melatarbelakangi terjadinya sengketa pemberian hibah?
3. Dalam pemberian hibah, apakah melebihi ketentuan dan adakah pihak
yang dirugikan?
4. Sebenarnya apa yang diberikan oleh penghibah kepada si penerima hibah,
apa ada saksi dalam penghibahan tersebut?
5. Jika terjadi sengketa, adakah penyelesaian yang ditempuh dari pihak yang
berperkara?
6. Bagaimana bentuk penyelesaian sengketa pemberian hibah tersebut?
7. Apa tujuan diadakannya penyelesaian sengketa pemberian hibah tersebut?
8. Apakah ada pro dan kontra dalam penyelesaian tersebut?
9. Bagaimana tanggapan para pihak yang bersengketa tentang akhir
penyelesaian sengketa tersebut?
10. Bagaimana pendapat Bapak terhadap diadakannya penyelesaian sengketa
pemberian hibah yang melebihi 1/3 yang terjadi di Bengkal?
97
98
99
100
101
102

You might also like