DI DESA BENGKAL KEC. KRANGGAN, KAB. TEMANGGUNG SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata Satu (S.I) Dalam Ilmu Syari'ah Oleh : MAHMUDAH NIM. 2104015 JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARI'AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2010 ii EPAAKEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG FAKULTAS SYARIAH Jl .Prof. Dr. Hamka KM 2 Ngal i yan Tel p. (024)7601291 Semarang 50185 PENGESAHAN N a m a : Mahmudah N I M : 2104015 Fakultas/Jurusan : Syariah / al-Ahwal al-Syakhsiyyah Judul Skripsi : Penyelesaian sengketa Pemberian Hibah yang Melebihi 1/3 dari ketentuan Hukum Islam di Desa Bengkal, Kec. Kranggan Kab. Temanggung. Telah Dimunaqosahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, pada tanggal: 26 Mei 2010 Dan dapat diterima sebagai kelengkapan ujian akhir dalam rangka menyelesaikan studi Program Sarjana Strata I (S.1) tahun akademik 2010/2011 guna memperoleh gelar sarjana dalam Ilmu Syariah. Semarang, Juni 2010 Dewan Penguji Ketua Sidang, Sekretaris Sidang, Dr. Ali Imron, M.Ag. Dr. H.A. Fatah Idris, M.Si. NIP. 19730730 2003112 1 003 NIP. 19520805 198303 1 002 Penguji I, Penguji II, Achmad Arief Budiman, M.Ag H. Ahmad Izzudin, M.Ag. NIP. 19691031 199503 1 002 NIP. 19720512 19903 1 003 Pembimbing I Pembimbing II Dr. H.A. Fatah Idris, M.Si. Brillian Ernawati,SH.,M.Hum NIP. 19520805 198303 1 002 NIP. 19631219 199903 2 001 iii Drs. H.Abdul Fatah Idris.,M.Si NIP. 19520805 198303 1 002 Tlogorejo Rt.2/Rw.12 Karangawen Demak Brillian Ernawati,SH.,M.Hum NIP. 19631219 199903 2 001 Jl. Bukit Agung E.41Semarang PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp : 4 (empat) eks. Kpd Yth. Hal : Naskah Skripsi Dekan Fakultas Syariah A.n. Sdri. Mahmudah IAIN Walisongo Semarang Di Semarang Assalamu'alaikum. Wr. Wb. Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya bersama ini saya kirim naskah skripsi saudari : Nama : Mahmudah NIM : 2104015 Judul Skripsi : Penyelesaian sengketa Pemberian Hibah Yang Melebihi 1/3 Dari ketentuan Hukum Islam (Studi Kasus Pada Keluarga Pudjo Sumarno Di Desa Bengkal, Kec. Kranggan, Kab. Temanggung). Dengan ini saya mohon kiranya skripsi saudari tersebut dapat segera dimunaqosyahkan. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu'alaikum Wr. Wb. Semarang, Juni 2010 Pembimbing I Pembimbing II Drs. H.Abdul Fatah Idris.,M.Si Brillian Ernawati,SH.,M.Hum NIP. 19520805 198303 1 002 NIP. 19631219 199903 2 001 iv MOTTO ! (#q=t s @d r& . e%!$# b ) OGY. w tb qHs>s? Artinya :Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.(QS. An Nahl:43) | u 9ur %!$# qs9 (#q. ts? ` B O g =yz Zp-h $y (#q%s{ Ng n=t (#q) -Gu =s ! $# (#q9q) u 9ur Zw qs% #y Artinya:Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar. (QS. An-Nisa: 9) v PERSEMBAHAN Skripsi ini penulis persembahkan kepada: 1. Bapak dan Ibu tersayang, tercinta (Bapak Suparlan dan Ibu Nurmiyatin) yang senantiasa memberikan doa restu serta dukungannya baik secara moral maupun material terhadap keberhasilan studi penulis. 2. Buat kakak dan adikku tersayang (mbak Niswah dan Ainun / Cinun) yang senantiasa memberikan dorongan di saat rapuh. 3. Buat keponakanku tersayang (Abdullah Zacky Irza) yang lucu dan tambah imut. 4. Buat kakak Iparku (Mas Nan) Suwun sanget.!!! 5. Sahabat-sahabatku: Nituls, Rara, Azwar (Boyo), Fahim (Ambon), Imdad, Ponx (Cah Kendal), Mbah Thur (Kendal), Mustofa (Cah Kendal), Hery (Akpelni), Ichwan (Cah Ungaran), sahabat kostku D2, ASA 04 terima kasih atas doa dan semangat dan dukungan selama ini. 6. Teman terbaikku (Zety, Saul, Lamah) yang selalu membantu dan doa yang telah kalian berikan. 7. Adik-adik kosku (Elly, Solie), terima kasih atas semangat dan doa yang telah kalian berikan. 8. Dan semua teman yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. vi DEKLARASI Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis Menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah atau pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Dengan demikian skripsi ini tidak berisi satupun pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang menjadi bahan rujukan. Semarang, Juni 2010 Penulis Mahmudah NIM. 2104015 vii ABSTRAK Tulisan ini membahas tentang Penyelesaian sengketa Pemberian Hibah Yang Melebihi 1/3 Dari ketentuan Hukum Islam di Desa Bengkal, Kec. Kranggan, Kab. Temanggung. Dalam hukum Islam penyelesaian sengketa hibah sangatlah dihalalkan (Sesuai dengan Hukum Islam). Dan juga bisa diharamkan kalau dalam penyelesaiannya itu menyalahi aturan-aturan yang telah berlaku (HukumIslam). Dalam kasus ini praktek pemberian hibah yang terjadi sangatlah beragam baik hibah kepada cucu, anak kandung, anak tiri, dan anak angkat. Untuk menyelesaikan permasalahan sengketa para pihak lebih mengutamakan pada mustawarah keluarga atau musyawarah desa. Dalam hukum adat tidak menentukan wasiat itu bersifat, terbuka atau tertulis. Namun jika mungkin hal itu dapat saja dilaksanakan. Namun yang biasa berlaku adalah menurut hukum adat setempat, yang mana cukup diucapkan dihadapan istri, anak-anak atau anggota keluarga dekat lainnya. Yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah Bentuk penyelesaian sengketa hibah dan cara penyelesaiannya. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian lapangan (field research). Sumber data yang digunakan adalah sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer adalah sumber yang murni diambil dilapangan. Sedangkan sumber data sekunder yaitu sumber data yang diperoleh dari buku, artikel atau sumber data pustaka lainnya yang berkaitan dengan penelitian. Dalam menganalisis data yang diperoleh, penyusun menggunakan metode deskriptif analisis, dimaksudkan untuk pengukuran yang cermat terhadap fenomena sosial tertentu. Disini peneliti menggunakan konsep dan menghimpun fakta, tetapi tidak melakukan pengujian hipotesa dalam hal ini digunakan dalam menganalisis kasus dilapangan ke dalam hukum Islam. Sedangkan teknik pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara (interview). Kesimpulan dalam tulisan ini, bahwa Bentuk penyelesaian sengketa pemberian hibah yang dilakukan dengan cara musyawarah tidaklah menyalahi aturan hukum islam selama ada kesepakatan bersama dari pihak yang bersengketa. Dijelaskan dalam hukum Islam bahwa penyelesaian sengketa dengan menarik kembali hibahnya adalah tidak sah. viii KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim. Puji syukur Alhamdulillahirobbilalamin penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, hidayah dan karuniaNya, shalawat serta salam penulis haturkan kepada junjungan kita Nabiullah Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat- sahabat dan para pengikutnya yang telah membawa Islam dan mengembangkannya hingga sekarang ini. Sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul : Penyelesaian sengketa Pemberian Hibah Yang Melebihi 1/3 Dari ketentuan Hukum Islam (Studi Kasus Pada Keluarga Pudjo Sumarno Di Desa Bengkal, Kec. Kranggan, Kab.Temanggung), dengan baik tanpa banyak kendala yang berarti. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini bukanlah hasil jerih payah penulis secara pribadi. Tetapi semua itu merupakan wujud akumulasi dari usaha dan bantuan, pertolongan serta doa dari berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi tersebut. Oleh karena itu, sudah sepatutnya penulis menyampaikan terimakasih kepada: 1. Dekan Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang dan pembantu-pembantu Dekan yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk menulis skripsi tersebut dan memberikan fasilitas belajar hingga kini. 2. Drs. H. Abdul Fatah Idris, M.Ag, selaku Pembimbing I dan Brillian Ernawati, S.H. M.Hum atas bimbingan dan pengarahan yang diberikan dengan sabar dan tulus ikhlas. 3. Bapak Kajur, Sekjur, dosen-dosen dan karyawan Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, atas segala didikan, bantuan dan kerjasamanya. 4. Kedua orang tua penulis beserta segenap keluarga, atas segala doa, perhatian dan arahan kasih sayangnya yang tidak dapat penulis ungkapan dalam untaian kata-kata. 5. Sahabat-sahabatku: Nituls, Rara, Azwar (Boyo), Fahim (Ambon), Imdad, Ponx (Cah Kendal), Mbah Thur (Kendal) Mustofa (Cah Kendal), Hery (Akpelni), yang selalu memberi semangat sehingga terselesainya skripsi ini. ix Dan doaku untuk mereka, Semoga Allah membalas semua amal kebaikan mereka dengan balasan yang lebih dari mereka berikan pada diriku amin. 6. Dan teman-teman kosku: Zety, Saul, Lamah, Ely, Solie. Terima kasih atas doa yang telah kalian berikan. 7. Teman-teman senasib seperjuangan yang tidak bisa aku sebutkan satu per satu, terutama teman-teman di lingkungan Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang. Penulis juga menyadari dengan segala kerendahan hati bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, semua kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca yang budiman pada umumnya. Amin. Semarang, Juni2010 Penulis Mahmudah NIM 2104015 x DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................................. i HALAMAN PENGESAHAN.................................................................... ii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING........................................ iii HALAMAN MOTTO................................................................................ iv HALAMAN PERSEMBAHAN................................................................. v HALAMAN DEKLARASI ....................................................................... vi HALAMAN ABSTRAK............................................................................ vii HALAMAN KATA PENGANTAR .......................................................... viii DAFTAR ISI ............................................................................................. x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1 B. Perumusan Masalah ............................................................. 6 C. Tujuan Penulisan .................................................................. 6 D. Telaah pustaka .................................................................... 7 E. Metode Penelitian ................................................................ 11 F. Sistematika Penulisan .......................................................... 13 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HIBAH A. Pengertian dan Dasar Hukum Hibah .................................... 16 B. Rukun dan Syarat Hibah ..................................................... 23 C. Jenis-jenis Hibah ................................................................. 29 D. Fungsi Hibah ...................................................................... 31 E. Hibah Dalam Hukum Adat................................................... 31 F. Prinsip-Prinsip Hukum Islam Tentang Hibah ...................... 32 G Bentuk-Bentuk Penyelesaian Sengketa ................................ 37 xi BAB III PRAKTEK PEMBERIAN HIBAH YANG MELEBIHI 1/3 DI DESA BENGKAL A. Gambaran Umum Masyarakat Bengkal Kec.Kranggan Kab. Temanggung .......................................................................... 42 1. Kondisi Geografis, Jumlah Penduduk dan Ekonomi di Desa Bengkal ................................................................... 42 2. Kondisi Pendidikan dan Keagamaan di Desa Bengkal ...... 46 B. Praktek Pemberian Hibah Di Desa Bengkal............................ 48 C. Kasus Hibah Dan CaraPenyelesaiannya................................... 51 BAB IV ANALISIS TERHADAP PENYELESAIAN SEGKETA PEMBERIAN A. Analisis Terhadap Bentuk Penyelesaian Sengketa Pemberian Hibah Yang Melebihi 1/3 dari Ketentuan Hukum Islam di Desa Bengkal, Kec. Kranggan, Kab. Temanggung ............... 59 B. Analisis Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penyelesaian Sengketa Pemberian Hibah Yang Melebihi 1/3 dari Ketentuan Hukum Islam di Desa Bengkal, Kec. Kranggan, Kab. Temanggung................................................................. 73 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan .......................................................................... 80 B. Saran-Saran ......................................................................... 81 C. Penutup ................................................................................ 83 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Syariat Islam merupakan ajaran yang universal yang diturunkan oleh Allah melalui Rasulullah Muhammad SAW, untuk disampaikan kepada ummatnya ke dunia ini sebagai realitas rahmat sekalian alam. Salah satu bukti nyata bahwa Islam merupakan suatu rahmat ialah dengan diadakannya aturan- aturan yang mengatur tata cara kehidupan manusia bermuamalah, yakni dalam bermasyarakat manusia sebagai makhluk hidup selalu berhubungan antara satu dengan yang lain. Disadari atau tidak yang dilakukan manusia untuk mencukupkan kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Bagian muamalah ini mencakup segala persoalan yang berkaitan dengan unsur-unsur dan undang- undang termasuk di dalamnya hibah. Kedua aspek tadi berasal dari sumber Hukum Islam yang paling utama yaitu : Al-Quran dan Al-Sunnah. 1 Manusia dalam hidup sangat mencintai harta sebagai motivasi hajat hidupnya di dunia. Islam sebagai agama yang mutlak akan segala kebenaran memperbolehkan manusia untuk mencari dan memperoleh harta benda sebanyak-banyaknya, yaitu dengan tata cara yang baik dan tidak bertentangan dengan syari. Menurut Hukum Islam pemberian hibah bertujuan mulia, mengatur kehidupan yang lebih harmonis, menimbulkan rasa cinta dan kasih 1 Mukhtar Yahya Dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islami, Bandung: Al-Maarif ,1993, Cet. Ke 3, hlm. 28 2 sayang yang dapat mempererat tali sillaturahmi. Karena itulah hibah dianjurkan. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT : t %!$# tb q) Z Ng s9uqBr& @ 6y ! $# NO w tb q7G !$tB (#q) xRr& $xYtB Iw ur ]r& Nl ; Nd _ r& yY Ng n/u w ur $ qyz Og n=t w ur Nd c qRts t Artinya : orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan merek. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Al-Baqarah :262) 2 Dari segi sosial budaya hibah adalah hal yang terpuji dan pelakunya mendapat tempat yang terhormat dalam strata sosial kemasyarakatan. Menurut pandangan Fiqh Islam hibah dapat dikatakan sah apabila dalam akad tersebut terdapat ijab dan qabul, walaupun pada waktu akad hibah tidak dihadiri dua orang saksi. 3 Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam hibah dikatakan sah apabila disaksikan dua orang saksi. 4 Sedangkan dalam pemberian hibah, diharamkan melebihkan pemberian kepada sebagian dari anak-anaknya, karena agama menghendaki ditegakkannya keadilan yang menjamin adanya kesamaan hak. Hal ini dimaksudkan agar terselenggaranya kebajikan, karena 2 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, Semarang: Kumudasmoro Grafindo,1994, hlm. 66 3 Wahbah Az-Zuhayly, Al-Fiqh Al- Islamy Wa Adillatuh, Juz 5, Damsyiq: Dar Al-Fikr, Cet. 3,1989. hlm.7 4 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992, Cet. Ke-1, hlm.164 3 setiap individu mempunyai hak yang sama untuk memperoleh keadilan dalam memperoleh harta untuk dimiliki. 5 Kecerobohan dalam melakukan pemberian hibah akan berakibat negatif bagi kehidupan keluarga yang harmonis rasa cinta dan kasih sayang dalam keluarga berhati menjadi rasa ketidakpuasan bahkan permusuhan. Fenomena yang menarik dan aktual yang sedang dibicarakan oleh masyarakat yang ada di Desa Bengkal Kecamatan Kranggan Kabupaten Temanggung adalah Penyelesaian Sengketa Pemberian Hibah Yang Melebihi 1/3 Dari Ketentuan Hukum Islam. Di Desa Bengkal Kecamatan Kranggan, Kabupaten Temanggung sudah menjadi tradisi, biasanya orang tua memberi harta kepada anaknya berupa rumah dan sawah sesudah anaknya menikah agar dapat digunakan sebagai modal dalam berumah tangga. Pemberian harta yang sebelumnya telah dilakukan jika tanpa ada kejelasan pasti, dengan kata lain bila orang tua atau pihak yang memberikan harta meninggal dunia maka yang menyangkut harta tidak bergerak tidak jelas statusnya apakah bersifat hibah atau pemanfaatannya yang bersifat sementara. Akibatnya setelah orang tua meninggal dunia, anak yang telah diberi menganggap harta tersebut sebagai hibah, sedangkan dari pihak yang lainnya menganggap bahwa pemberian itu bersifat sementara, yang nantinya akan dibagi waris. Sebagai orang tua dalam hal pemberian harta sedapat mungkin untuk berbuat adil terhadap semua anak-anaknya. Namun pada kenyataannya yang 5 Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, Bandung : Mizan, 1994, Cet. Ke-1, hlm. 155 4 terjadi dalam masyarakat terkadang tidak semuanya dapat dan pada akhirnya menimbulkan konflik atau masalah dan pihak yang merasa dirugikan menuntut kepada pihak pemberi (orang tua) agar harta tersebut ditarik kembali dan kemudian dibagi kembali secara adil. Dalam hal pemberian hibah meskipun orang tua boleh menarik harta yang telah diberikan kepada anaknya tetapi penarikan itu dikeluarkan sebelum anaknya berumah tangga, anak tersebut belum mempunyai tanggungan orang lain, juga penarikan tersebut dilakukan sebelum orang tua meninggal dunia. 6 Pada keluarga yang tidak dikaruniai anak biasanya mengadopsi anak orang lain. Secara struktur kewarisan anak angkat tidak mendapatkan warisan, maka dalam hal ini pihak orang tua angkat memberikan hartanya dengan cara hibah. Penghibahan tersebut dilakukan karena adanya kekhawatiran, karena anak angkat tidak akan memperoleh bagian harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia. Kekhawatiran tersebut sangatlah beralasan karena dalam Hukum Islam tidak mengenal adanya anak angkat. Walaupun demikian dalam pasal 209 KHI (Kompilasi Hukum Islam) disebutkan baik bapak angkat atau pun anak angkat harus diberi wasiat wajibah. 7 Pemberian hibah oleh seseorang yang memiliki harta kekayaan dapat juga disebabkan karena adanya keinginan untuk menyimpang dari aturan Hukum Islam yang menyangkut hukum waris. Terutama di daerah yang pengaruh agamanya sangat kuat. Untuk menghindari pembagian yang akan 6 Ibnu Rusyd, Bidayah al- Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Juz I, Semarang: Usaha Keluarga, t.th, hlm.249 7 Tim Redaksi Pustaka Yustisia, Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, Cet. I, 2008, hlm.131 5 diperoleh anak angkat tersebut menjadi lebih sedikit. Anak angkat yang menurut Hukum Islam tidak dikenal maka anak angkat tidak memperoleh bagian dari harta warisan. Untuk menghindari agar hal tersebut tidak terjadi maka pemilik harta menghibahkan hartanya kepada orang-orang tertentu yang dikasihinya. Disamping terdapat motif lain, yaitu untuk menghindari agar tidak terjadi percekcokan kelak dikemudian hari maka pemilik harta menghibahkan harta miliknya semasa hidupnya. Yang menjadi permasalahan adalah Bagaimanakah bentuk penyelesaian yang ditempuh oleh pihak yang dirugikan, apa dengan menggunakan jalur alternatif (penyelesaian sengketa diluar pengadilan) seperti menggunakan (negosiasi, mediasi, dan arbitrase) atau lewat jalur pengadilan seperti menggunakan (litigasi, arbitrase, mediasi, hakim partikelir). Jika dalam penghibahan itu tidak ada kejelasan yang pasti, maka akan menimbulkan sengketa dan siapa yang berhak menghitung dan menentukan jumlah harta kekayaan (si pemberi hibah) pada saat si pemberi hibah masih hidup. Apakah ahli waris-ahli waris si pemilik harta kekayaan tersebut masih dapat ikut campur tangan dalam memberikan penilaian bahwa hibah dari si pemilik harta kekayaan itu melebihi 1/3 dari keseluruhan harta kekayaannya setelah lewat waktu beberapa tahun setelah pemberian hibah tersebut terjadi. Lebih tepat lagi setelah pemilik harta tersebut meninggal dunia baru muncullah protes dari pihak ahli waris tentang adanya ketidakadilan dari pemilik harta kekayaan pada saat melakukan penghibahan. 6 Dari uraian diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian. Tentang Penyelesaian Sengketa Pemberian Hibah Yang Melebihi 1/3 Dari Ketentuan Hukum Islam Di Desa Bengkal Kec. Kranggan Kab. Temanggung. B. Perumusan Masalah Dari uraian latar belakang masalah diatas, yang menjadi rumusan masalah adalah: 1. Bagaimana bentuk penyelesaian sengketa pemberian hibah yang melebihi 1/3 dari ketentuan Hukum Islam di Desa Bengkal Kec. Kranggan, Kab. Temanggung. 2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap penyelesaian sengketa pemberian hibah yang melebihi 1/3 dari ketentuan hukum di Desa Bengkal Kec. Kranggan, Kab. Temanggung). C. Tujuan Penulisan Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan penulisan skripsi ini adalah: 1. Untuk mengetahui bentuk penyelesaian sengketa pemberian hibah yang melebihi 1/3 dari ketentuan Hukum Islam di Desa Bengkal Kec. Kranggan Kab. Temanggung. 2.Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap penyelesaian sengketa pemberian hibah yang melebihi 1/3 dari ketentuan Hukum Islam di Desa Bengkal Kec.Kranggan Kab. Temanggung. 7 D. Telaah Pustaka Telaah pustaka ini dimaksudkan untuk mencari data tersedia yang pernah ditulis penerbit sebelumnya, dimana ada hubungannya dengan masalah yang akan dikaji dalam penulisan skripsi ini. 8 Sejauh hasil penelusuran penyusun, belum pernah ditemukan tulisan yang spesifik dan mendetail yang membahas tentang masalah yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa pemberian hibah, Namun, ada beberapa tulisan atau buku yang berkaitan atau berhubungan dengan masalah yang akan dikaji oleh penulis, antara lain : Diantaranya dalam buku yang berjudul Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalat). Karya M. Ali Hasan, pada tulisan tersebut pada dasarnya membahas tentang pengertian hibah, rukun-rukun hibah, syarat- syarat hibah, serta pendapat para ulama tentang penarikan hibah, Jumhur ulama berpendapat bahwa pemberi hibah, tidak boleh mencabut kembali hibahnya dalam keadaan apapun, kecuali hibah orang tua terhadap anaknya. 9 Ahmad Rofiq, dalam bukunya Hukum Islam di Indonesia. Membahas pengertian hibah, dasar hukum hibah, dan hibah hubungannya dengan warisan, hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan (KHI pasal. 211), masalah penarikan kembali hibah yang menjelaskan tercelanya menarik kembali hibahnya, menunjukkan keharaman penarikan kembali hibah atau sadaqah yang lain yang telah diberikan kepada orang lain. Kebolehan menarik kembali hibah hanya berlaku bagi orang tua yang 8 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Cet. 1 Jakarta: PT . Raja Grafindo Persada, 1997, hlm.55 9 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, hlm.79. 8 menghibahkan sesuatu kepada anaknya. Kendatipun demikian, menurut hemat penulis kebolehan menarik kembali, dimaksudkan agar orang tua dalam memberikan hibah kepada anak-anaknya memperhatikan nilai-nilai keadilan. 10 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah. Menyatakan bahwa masalah hibah, hampir sama dengan buku-buku sebelumnya, seperti pengertian, rukun, syarat hibah. Pengharaman melebihkan pemberian dan kebajikan kepada sebagian dari anak-anak, karena yang demikian akan menanamkan permusuhan dan memutuskan hubungan silaturrahim. Serta penarikan kembali hibah. 11 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid. Dalam buku ini pada dasarnya berisi pendapat para ulama. Diungkapkan Malik dan jumhur ulama Madinah berpendapat bahwa ayah diperbolehkan mengambil kembali harta yang telah dihibahkannya kepada anaknya selama anaknya ini belum berhubungan dengan hak orang lain. Abu Hanifah berpendapat bahwa setiap orang diperbolehkan mengambil kembali harta yang telah dihibahkannya kecuali harta yang dihibahkan kepada kerabat yang haram dinikahinya. Jumhur ulama sepakat bahwa hibah yang dimaksudkan sebagai sedekah, yakni hibah karena Allah, maka siapapun tidak diperbolehkan mengambilnya kembali. 12 Buku Hibah Terhadap Anak-Anak Dalam Keluarga karya Hamid Farihi, menjelaskan fungsi hibah sebagai upaya mengurangi kesenjangan 10 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998, cet. Ke-3, hlm. 467. 11 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 14 Terjemah , Bandung: PT. Al-Maarif, 1987, hlm. 175. 12 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Bandung: Trigenda Karya, 1996, hlm. 714 9 antara kaum punya dengan kaum yang tidak punya, menghilangkan rasa kecemburuan sosial dan dapat mempererat tali silaturahmi. 13 Hilman Hadikusumah SH., menjelaskan dalam bukunya Hukum Waris Adat. Disini beliau mengatakan hukum adat tidak menentukan bahwa hibah wasiat itu bersifat rahasia, terbuka atau tertulis sendiri sebagaimana pasal 931 KUH Perdata. Beliau juga menyatakan baik dalam hukum adat maupun hukum Islam ucapan hibah wasiat dapat ditarik kembali oleh yang mengucapkannya selama ia masih hidup, baik dalam bentuk ucapan maupun dalam bentuk perbuatan. 14 TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqih Islam. Dalam buku ini diungkapkan bahwa menurut Abu Hanifah, tidak boleh sekali-kali para ayah menarik kembali hibahnya. Kata Malik, boleh ayah menarik kembali, walaupun sesudah diterimakan barang, kalau dia hibahkan kepada anaknya itu atas dasar kasih sayang saja. Tidak boleh ia tarik kembali kalau atas dasar sedekah. 15 Penelitian yang telah dilakukan oleh Fajar Iskandar, dengan judul skripsi Studi Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang No: 15/pdt.g/2007/PTA.Smg. Tentang Penarikan Hibah Orang Tua Terhadap Anak. Membahas bagaimana PTA Semarang memutuskan perkara dalam tingkat banding tentang penarikan hibah orang tua terhadap anak ditinjau dari hukum formal dan hukum materiil. Dalam penelitian ini ditemukan perbedaan 13 Hamid Farihi, Hibah Terhadap Anak-Anak Dalam Keluarga, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995, hlm. 114 14 Hilman Hadikusumah, Hukum Waris Adat, Bandung: Alumni, 1983, hlm. 69 15 TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqih Islam, Yogyakarta: PT. Rosda Karya 1990, hlm. 442-445 10 pendapat hukum antara PA Pemalang dengan PTA Semarang yang menilai pasal 212 KHI bukanlah harga mati dalam memutuskan perkara penarikan hibah, namun harus dilihat terlebih dahulu duduk perkaranya (kasusnya). Juga mengharuskan orang tua dalam memberikan pemberian kepada anak-anaknya harus bersikap adil, karena jika tidak salah satu pihak yang merasa dirugikan atau tidak sama cenderung akan menuntut bagiannya itu. 16 Penelitian oleh Muhammad Munir, dalam skripsinya Analisis Terhadap Pendapat Imam Syafii Tentang Hukum Pencabutan Kembali Hibah. Dalam analisanya bahwa Imam Syafii berpendapat bahwa hibah tidak boleh dicabut kembali manakala si penghibah memberi hibah dengan sukarela tanpa mengharap imbalan. Sedangkan bila si penghibah memberi hibah dengan maksud mendapat imbalan maka hibah boleh dicabut kembali. Karena hibah merupakan pemberian yang mempunyai akibat hukum perpindahan hak milik, maka pihak pemberi hibah tidak boleh meminta kembali harta yang sudah dihibahkannya, sebab hal itu bertentangan dengan prinsip-prinsip hibah. 17 Adapun spesifikasi penelitian ini adalah memfokuskan pada konsep penyelesaian sengketa pemberian hibah yang melebihi 1/3 dari ketentuan hukum islam Dalam uraian kajian pustaka diatas, fokus penelitian ini nampak berbeda dengan penelitian saat ini, yaitu Penyelesaian Sengketa Pemberian 16 Fajar Iskandar, Studi Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang No: 15/pdt.g/2007/PTA.Smg. Tentang Penarikan Hibah Orang Tua Terhadap Anak, Skripsi Fakultas Syariah IAIN Walisongo, Semarang, 2006. 17 Muhammad Munir, Analisis Terhadap Pendapat Imam Syafii Tentang Pencabutan Kembali Hibah, Skripsi Fakultas Syariah IAIN Walisongo, Semarang, 2006. 11 Hibah Yang Melebihi 1/3 Dari Ketentuan Hukum Islam (Studi Kasus Pada Keluarga Pudjo Sumarno Di Desa Bengkal kec. Kranggan Kab. Temanggung). Maka, dari sini penyusun mencoba untuk melakukan penelitian tentang masalah tersebut. E. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam menyusun penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian lapangan (field research), yaitu penyusun terjun langsung ke lapangan guna mencari dan menelusuri data tentang penyelesaian sengketa pemberian hibah yang melebihi 1/3 di Desa Bengkal Kec. Kranggan Kab. Temanggung. 2. Sumber Data Sumber data yang penulis gunakan adalah sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian yang menggunakan alat pengukuran atau alat pengambilan data lansung pada subyek sebagai sumber informasi yang dicari. 18 Dalam hal ini obyek penelitiannya adalah masyarakat Desa Bengkal Kecamatan Kranggan Kabupaten Temanggung. Sedangkan untuk 18 Syaifudin Azwar, Metodologi Penelitian, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 2001, Cet. III, hlm. 91 12 data sekunder adalah data yang menjadi pendukung dalam penelitian yaitu buku yang berkaitan dengan masalah tersebut. 19 Dan data monografi desa. 3. Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, penyusun menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut : a. Wawancara (interview). Wawancara (interview) adalah proses wawancara langsung pada obyek yang menjadi tujuan penelitian yaitu masyarakat Bengkal. Interview merupakan proses interaksi antara pewawancara dan responden. 20 Metode ini bertujuan untuk mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat, serta pendirian mereka itu merupakan suatu pembantu utama dari metode observasi. 21 b. Observasi Observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. 22 Metode ini digunakan untuk mengamati secara langsung situasi dan kondisi secara umum lokasi penelitian. Dalam hal ini penulis terjun langsung ke lapangan dan mengunjungi masyarakat dan tokoh agama setempat. c. Dokumentasi Dokumentasi yaitu setiap bahan tertulis yang dijadikan sebagai sumber data yang dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan 19 Ibid, hlm.63 20 Muh Nazir, Metodologi Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia,1998, hlm.129 21 Kontjaraningra, Metodologi Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1997, hlm.129 22 S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2004, Cet. III, hlm. 158 13 untuk meramalkan. 23 Dokumen tersebut berupa buku daftar isian profil desa Bengkal, serta daftar monografis desa. 4. Metode Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis, yaitu cara penulisan dengan menggunakan pengamatan terhadap gejala, peristiwa dan kondisi aktual di masa sekarang. 24 Adapun pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan fenomenologis. 25 Pendekatan ini dimaksudkan agar bisa memahami secara utuh dan apa adanya (value free). Fenomena yang terjadi dalam penyelesaian sengketa pemberian hibah yang melebihi 1/3 dari ketentuan Hukum di Desa Bengkal Kec. Kranggan Kab. Temanggung. F. Sistematika Penulisan Dalam penyusunan skripsi ini penulis membagi dalam lima bab, dimana bab I V merupakan rangkaian dari bab yang bersangkutan. Untuk lebih jelas uraian sistematika ini adalah: Bab Pertama berisi pendahuluan, yang merupakan gambaran umum dengan memuat: latar belakang masalah, permasalahan, tujuan penulisan, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika Penulisan. Bab kedua berisi tinjauan umum tentang hibah yang meliputi hibah dalam hukum Islam (pengertian hibah dan dasar hukum hibah ,rukun 23 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004, Cet. XVIII, hlm. 161. 24 Tim Penulis Fakultas Syariah IAIN Walisongo, Pedoman Penulisan Skripsi, Semarang: Fakultas Syariah IAIN Walisongo, 2000, hlm. 17. 25 Lexy J. Moleong, op.cit., hlm. 9. 14 dan syarat hibah, jenis-jenis hibah, fungsi hibah, hibah dalam hukum adat, prinsip-prinsip hukum islam tentang hibah, bentuk- bentuk penyelesaian sengketa). Bab Ketiga berisi praktek pemberian hibah yang menimbulkan sengketa. Maka pembahasan dalam bab ini meliputi: Gambaran umum masyarakat desa Bengkal sebagai pengantar pembahasan, kemudian di lanjutkan yang pertama kondisi geografis, jumlah penduduk, dan ekonomi di desa Bengkal, kedua, kondisi pendidikan dan keagamaan di Desa Bengkal. Sub bab praktek pemberian hibah dan permasalahannya yang terjadi di masyarakat Bengkal, kasus dan cara penyelesaiannya di Desa Bengkal Kec. Kranggan Kab. Temanggung. Bab Keempat berisi analisis penyelesaian sengketa pemberian hibah yang melebihi 1/3 dari ketentuan hukum islam di Desa Bengkal Kec. Kranggan Kab. Temanggung). Yaitu meliputi analisis terhadap bentuk penyelesaian sengketa pemberian hibah yang melebihi 1/3 dari ketentuan hukum islam di Desa Bengkal Kec. Kranggan Kab. Temanggung) dan analisis tinjauan hukum islam terhadap penyelesaian sengketa pemberian hibah yang melebihi 1/3 dari ketentuan hukum islam di Desa Bengkal kec. Kranggan Kab. Temanggung) Bab Kelima merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan, untuk memberikan gambaran kepada pembaca, baik secara menyeluruh 15 dari setiap skripsi agar mudah dipahami, berupa saran-saran yang memberi motivasi pada masyarakat untuk menjalankan kehidupan yang lebih baik. Sebagaimana dalam pembahasan skripsi ini dan diakhiri dengan penutup. 16 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HIBAH A. Pengertian dan Dasar Hukum Hibah 1. Pengertian Hibah Kata hibah adalah bentuk masdar dari kata wahaba digunakan dalam al-Quran beserta kata derivatnya sebanyak 25 kali dalam 13 surat. Wahaba artinya memberi, dan jika subjeknya Allah SWT, berarti memberi karunia, atau menganugerahi. Dalam al-Quran terdapat kata-kata yang bermakna hibah, seperti dalam firman Allah SWT. Q.S. Ali Imran ayat,38: 9$uZd $ty $-2 y m-/u ( tA $s% b> u = yd < ` B R$! Zp-h pt7h s ( R) x !$t$!$# Artinya: Ya Tuhanku, berilah dari sisi Engkau seorang anak yang baik, sesungguhnya engkau Maha Pendengar do (Q.S. Ali Imran ayat 38). 26 Menurut kamus besar bahasa Indonesia, hibah adalah pemberian (dengan sukarela) dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain. 27 Dalam pengertian istilah, hibah adalah pemilikan sesuatu benda melalui transaksi (aqad) tanpa mengharap imbalan yang telah diketahui dengan jelas ketika pemberi masih hidup. 28 26 Depag RI, Al Quran dan Terjemahnya, Jakarta: Bumi Restu, 1974, hlm. 81. 27 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, Edisi III. Cet. III, hlm. 398. 17 Dalam rumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI Pasal. 171 huruf g), hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. 29 Pengertian hibah dalam Ensiklopedi Hukum Islam adalah pemberian yang dilakukan secara sukarela dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT tanpa mengharapkan balasan apapun. 30 Undang-undang tidak mengakui hibah selain hibah-hibah diantara orang-orang yang masih hidup. 31 Terdapat beberapa definisi hibah yang dikemukakan oleh para ulama: a) Abd al-Rahman al-Jaziri dalam Kitab al-Fiqh ala al-Mazahib al- Arbaah, menghimpun empat definisi hibah dari empat mazhab, yaitu dengan tanpa menjanjikan imbalan seketika, sedangkan menurut mazhab Maliki yaitu memberikan milik sesuatu zat dengan tanpa imbalan kepada orang yang diberi, dan juga biasa disebut hadiah. Mazhab Syafii dengan singkat menyatakan bahwa hibah menurut pengertian umum adalah memberikan milik secara sadar sewaktu hidup. b) Definisi yang lebih rinci dan komprehensif dikemukakan ulama mazhab Hambali. Ulama mazhab Hambali mendefinisikannya 28 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998, Cet. III, hlm. 466. 29 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Departemen Agama RI, Jakarta: 1997, hlm. 156. 30 Abdul Aziz Dahlan, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar van Hoeve, 1996, hlm. 540. 31 Abd al-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ala al- Mazahib al-Arbaah, Beirut: Dar al- Fikr, t.th, Juz 3, hlm.282-292 18 sebagai pemilikan harta dari seseorang kepada orang lain yang mengakibatkan orang yang diberi boleh melakukan tindakan hukum terhadap harta tersebut, baik harta tertentu maupun tidak, bendanya ada dan biasa diserahkan. 32 c) Berikut pendapat Teungku Muhammad Hasbie Ash Shiddieqy hibah ialah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan diadakan akad tanpa diadakan bunga. 33 d) Tidak jauh berbeda dengan rumusan diatas, Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary, 34 bahwa hibah adalah memberikan suatu barang yang pada galibnya sah dijual dari piutang, oleh orang ahli tabarru, dengan tanpa penukarannya. e) Menurut pendapat Abi Yahya Zakariyah al-Anshori, hibah adalah memberikan sesuatu dari hak yang bersifat sunnat pada waktu hidupny. 35 f) Sedangkan M. Ali HAsan mengutarakan hibah artinya: pemberian atau hadiah, yaitu suatu pemberian yang dilakukan secara sukarela dalam mendekatkan diri kepada Allah tanpa mengharapkan balasan apapun. 36 32 Ibid. 33 Teungku Muhammad Hasbie Ash Shidieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, cet.2, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 238. 34 Syekh Zainuddin Ibn Abd al-Malybary, Fath al-Muin, Semarang: Pustaka Alawiyah, t.th, hlm39 35 Abi Yahya Zakariyah al-Anshori, Fath al-Wahab, Semarang: Toha Putra, Juz I, t.th, hlm.259. 36 M. ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, Cet.I, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 76 19 Beberapa definisi di atas sama-sama mengandung makna pemberian harta kepada seseorang secara langsung tanpa mengharapkan imbalan apapun, kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hibah adalah akad atau perjanjian yang menyatakan perpindahan milik seseorang kepada orang lain diwaktu ia masih hidup tanpa mengharapkan penggantian atau imbalan sedikitpun. 2. Dasar Hukum Hibah Adapun dasar hukum dari hibah dapat kita pedomani dari al-Quran dan hadist Nabi Muhammad SAW.. Allah SWT. mensyariatkan hibah karena di dalamnya terkandung kebaikan, upaya menjinakkan hati dan memperkuat tali kasih sayang diantara manusia. Firman Allah SWT dalam Quran surat al-Maidah ayat 2: ( : ) uq) -G9$#ur h99$# n?t (#qRur $ys?ur Artinya:Dan tolong menolonglah dalam kebaikan dan taqwa (Q.S. al- Maidah ayat 2). 37 Dalam suatu hadist disebutkan, ` , ` , `, , _ . = ` ` , `, , ` `, = . _ = `, , , , ` `, - ' `, ) -,- .-.' . _,,' ( Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah SAW. bersabda, saling memberi hadiahlah, maka kalian akan saling mencintai.(HR. Pengarang kitab-kitab yang mashur) 37 Departemen Agama Op,Cit. hlm. 157. 20 Annas Ibnu Malik r.a menerangkan: , ` ` ` = . _ : , , , `, = _ . = ` ,` _ : ` .`, - . `, ` .`, ` ` , , ` . _ , ` _ ` '`, ) ,, ~ ,_ --., ( Artinya: Dari Anas ibnu Malik r.a, Rasulullah SAW bersabda: sekiranya kepada saya dihadiahkan kaki binatang, tentu akan saya terima, dan sekiranya saya diundang untuk memakan kaki binatang, pasti saya penuhi. (HR. Ahmad dan Turmudzi). 38 Rasulullah SAW. telah menerima hadiah dan membalasnya. Beliau menyerukan dan menganjurkannya. Dalam riwayat hadits Ahmad dari hadist Khalid bin Adi bahwa nabi SAW, telah bersabda: ` - . ` ` - `, ` `, `, ` ` `, , ` , , . , ` , . , `, ` ` , ` ` , _ `_ ` = `, Artinya: Barang siapa yang mendapatkan kebaikan dari saudaranya bukan karena mengharapkan dan meminta-minta, maka hendaklah ia menerima dan tidak menolaknya, karena merupakan rezeki yang diberikan Allah kepadanya. 39 3. Ukuran Harta atau Benda yang Dihibahkan Mengenai benda yang dihibahkan ini meliputi segala macam benda yang wujud atau tidak ada ditempat (al madum). Prinsipnya, semua benda atau hak yang dapat diperjualbelikan, maka dapat dihibahkan. Dalam konteks sekarang ini, seseorang mempunyai kekayaan 38 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Hukum 7, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, Cet. III, 2001, hlm. 294. 39 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 4, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006, Cet. I, hlm. 436. 21 bisa dalam berbentuk saham sebagai surat bukti bahwa ia memiliki benda yang diterangkan dalam surat tersebut. 40 Ukuran harta atau benda yang dihibahkan, dalam Kompilasi Hukum Islam telah disebutkan dalam pasal 210 bahwa Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga. Memang pada awalnya para fuqaha tidaklah memberi batasan maksimal pada perbuatan hibah. Seseorang memiliki harta bebas untuk melakukan hibah kepada siapa yang dikehendaki dalam jumlah berapapun. Bahkan bila perlu dia dapat menghabiskan seluruh hartanya. Sistem tersebut ternyata menimbulkan kerugian bagi ahli waris, sebab tidak selamanya wahib (orang yang menghibahkan) menghibahkan hartanya semata-mata demi ibadah dan taqarrub kepada Allah SWT. Cara tersebut adakalanya ditempuh seseorang untuk menghalangi ahli waris mendapatkan haknya karena pewaris tidak senang dengan ahli waris. 41 Oleh karena itu, dengan pertimbangan kemaslahatan dengan menganalogikan pada pemberian harta melalui jalan wasiat atau hibah yakni atas dasar hadits Saad ibn Abi Waqash: 40 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998, Cet. III, hlm. 472. 41 Muhammad Saifullah,dkk. Hukum Islam Solusi Permasalahan Keluarga, Yogyakarta: UII Press, 2005 hlm,229. 22 ' ,. , ., ,, , _-, _ _, = ,_, _, `. : . .. : . : ,' _ ., .. .,, ,_ .' _- .,' :_, _ .' :` , _ ) , _- ,_ , ( Artinya: Ya Rasulullah, saya sedang menderita sakit keras,. Bagaimana pendapat anda, saya ini orang berada, dan tidak ada yang dapat mewarisi harta saya kecuali seorang anak perempuan. Apakah sebaiknya saya mewasiatkan 2/3 harta saya itu?. Jangan jawab Rasulullah. Separoh, ya Rasul? sambungku. Jangan jawab Rasulullah. Sepertiga sambungku lagi. Rasulullah menjawab: sepertiga. Sebab, sepertiga itupun sudah banyak dan besar, karena jika kamu meninggalkan ahli waris dalam keadaan yang cukup adalah lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang meminta- minta pada orang banyak. (HR. Bukhori dan Muslim). 42 Dalil diatas adalah ijma, karena umat Islam sejak dari Rasulullah sampai saat ini banyak melakukan wasiat/hibah dan ternyata hal itu tidak pernah diingkari oleh seorang pun. Hal ini menunjukkan ada kesepakatan ijma umat Islam. 43 Maka Kompilasi Hukum Islam menetapkan bahwa istilah diberlakukan batasan 1/3 dari harta yang dimiliki. Dan penganalogian ini sejalan dengan pelaksanaan amanat dalam surat An-Nisa ayat : 9 yang berbunyi: | u 9ur %!$# qs9 (#q. ts? ` B Og =yz Zp-h $y (#q%s{ Ng n=t (#q) -Gu =s ! $# (#q9q) u 9ur Zw qs% #y 42 M.Al i Hasan,Op,Ci t , hl m 9 2 - 9 3 43 Ibid. 23 Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang anak-anak mereka yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. 44 B. Rukun Dan Syarat Hibah 1. Rukun Hibah Jumhur ulama mengatakan, bahwa rukun hibah itu ada empat, adapun yang menjadi rukun hibah yaitu: a) Orang yang menghibahkan. b) Orang yang menerima hibah. c) Lafal hibah (Ijab dan Kabul) d) Harta yang dihibahkan. 2. Syarat Hibah a) Orang yang menghibahkan 1) Penghibah itu adalah orang yang mememiliki dengan sempurna sesuatu harta yang akan dihibahkannya. Dalam hibah terjadi pemindahan milik, karena itu mustahil seorang yang tidak mempunyai milik menghibahkan sesuatu atau barang kepada pihak yang lain. 2) Penghibah itu adalah orang yang telah mempunyai kesanggupan melakukan tabarru. Maksudnya ialah ia telah mursyid, telah dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya jika terjadi suatu 44 Departemen Agama Op,Cit. hlm. 116. 24 persoalan atau perkara di pengadilan yang berhubungan dengan hartanya itu. 3) Penghibah tidak berada di bawah perwalian orang lain, seperti karena lemah akalnya ia ditetapkan berada di bawah perwalian. 4) Penghibah melakukan hibah itu dalam keadaan mempunyai iradah dan ikhtiar dalam melakukan tindakannya. Seorang mempunyai iradah jika orang itu melakukan tindakan atas dasar kehendaknya, bukan karena dipaksa, atau suatu keadaan sehingga ia tidak dapat berbuat menurut kehendaknya seperti dalam keadaan mabuk dan sebagainya. Seorang mempunyai ikhtiar dalam tindakannya apabila ia melakukan perbuatan atas pilihannya bukan karena dipilih orang lain. Tentu saja pilihan ini terjadi setelah memikirkan dengan matang. 45 b) Orang yang menerima hibah Adapun syarat-syarat penerima hibah ialah hadir pada saat pemberian hibah, apabila tidak ada atau diperkirakan ada, misalnya janin, maka hibah tidak sah. Apabila penerima hibah ada pada saat pemberian hibah, tetapi masih kecil atau gila, maka hibah itu diambil oleh walinya, pemeliharaanya atau pendidiknya, sekalipun orang asing. 46 45 Asymuni A. Rahman, dkk (Tim Penyusun), Ilmu Fiqh 3, Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama Islam/IAIN di Jakarta Direktorat Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1986, Cet. II, hlm. 202-203. 46 Sayyid Sabiq, Op. Cit, hlm. 438. 25 c) Harta yang dihibahkan Menyangkut benda yang dihibahkan haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut: 1) Benda tersebut benar-benar ada 2) Benda tersebut mempunyai nilai 3) Benda tersebut dapat dimiliki zatnya, diterima peredarannya dan pemilikannya dapat dialihkan 4) Benda yang dihibahkan itu dapat dipisahkan dan diserahkan kepada penerima hibah. 47 d) Lafal hibah (Ijab dan Kabul) Adapun hibah sah berlaku melalui ijab dan kabul dalam bentuk apapun selagi pemberian harta tersebut tanpa imbalan. Misalnya, seorang penghibah berkata, Aku hibahkan kepadamu, aku hadiahkan kepadamu, aku berikan kepadamu, atau semisalnya. Sedangkan orang lain berkata, Ya, aku terima. Menyangkut ijab kabul yaitu adanya pernyataan, dalam hal ini dapat saja dalam bentuk lisan atau tulisan. Sedangkan menurut ulama Hanafi, yang dikutip Chairuman Pasaribu 48 berpendapat bahwa ijab saja sudah cukup tanpa harus diikuti dengan kabul, dengan perkataan lain hanya berbentuk pernyataan sepihak. Malik dan Syafii berpendapat bahwa dipegangnya kabul di dalam hibah. Kalangan mazhab Hanafi berpendapat bahwa ijab sudah 47 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1996, Cet. II, hlm. 116. 48 Ibid.hlm.117. 26 cukup dan itulah yang paling sahih. Sedangkan kalangan mazhab Hanbali berpendapat bahwa hibah itu sah dengan pemberian yang menunjukkan ketertarikan dengannya, karena Nabi Muhammad SAW memberikan dan diberi hadiah. Begitu juga yang dilakukan oleh para sahabat bahwa mereka tidak mensyaratkan ijab kabul atau semisalnya. 49 Tentu saja lafal hibah itu hendaknya perkataan yang mengandung pengertian hibah dan hendaklah ada persesuaian antara ijab dan kabul. Bagi orang yang tidak atau kurang dapat berbicara, maka shighat hibah cukup dengan isyarat, asal isyarat itu benar-benar mengandung arti hibah dan dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berhibah. Adanya saksi dalam hibah juga menjadi syarat dalam sahnya transaksi hibah. Kompilasi Hukum Islam (KHI pasal 210) Menyebutkan orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa paksaan, dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki. 50 Dalam Bidayatu al-Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid 51 disebutkan kajian mengenai saksi ini berkenaan dengan tiga hal, yaitu sifat, jenis dan bilangannya. Secara umum ada lima sifat yang 49 Sayyid Sabiq, Op. Cit, hlm. 437. 50 Kompilasi Hukum Islam, Op. Cit., hlm. 143 51 Ibnu Rusyd, Bidayatul al-Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Bandung: Trigenda Karya, 1996, hlm.974 - 977 27 dipersyaratkan untuk diterimanya seorang saksi, yaitu adil, baligh, Islam, merdeka dan bukan tuduhan. Menurut para ulama, sifat adil, Islam, disyaratkan untuk diterimanya kesaksian seorang saksi. Sebagaimana firman Allah SWT, Al-Baqarah ayat 282 : ` J B tb q| s? z` B !#ypk 9$# Artinya : Dari saksi-saksi yang kamu ridloi (QS. Al-Baqarah: 282) 52 Adapun dalam Al-Quran surat Al Maidah ayat 106: $pkr' t t %!$# (#qZtB#u oypky- N3 Z t/ #s) u|ym N. ytn r& NqyJ 9$# t m p uq9$# b $uZO$# #ur s 5A t N3 ZiB r r& b #tyz #u ` B N. x b ) OFRr& L/u F{ $# N3 Gt6| r' s pt6 B NqyJ 9$# 4 $yJ g tRq ;trB .` B t/ o4qn= 9$# b $yJ ) s ! $$/ b ) OG6s? $# w tItR m/ $YYyJ rO qs9ur tb %x. #s 4 n1% w ur OF3 tR noypky- ! $# !$R) #]) z` J 9 t J OFy $# Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, Maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) kami tidak akan membeli dengan sumpah Ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; Sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa" (Q.S. al-Maidah : 106). 53 52 Depag RI, Op,Cit,.hlm 70 53 Ibid hlm 180 28 Adapun mengenai tuhmah (kesaksian tanpa bukti) yang disebabkan mahabbah (kecintaan), para ulama sepakat bahwa hal itu dapat berpengaruh terhadap digugurkannya kesaksian. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai penolakan kesaksian orang adil dengan dasar tuhmah karena kecintaan yang penyebabnya adalah permusuhan duniawi. Namun sebagian fuqaha Al-Amshar menolak kesaksian yang tanpa bukti. Hanya saja mereka sepakat memberlakukan tuhmah pada beberapa perkara dan menggugugurkannya pada perkara lain. Permasalahan yang disepakati para ulama adalah ditolaknya kesaksian bapak atas anaknya, dan kesaksian anak atas bapak nya. Begitu pula kesaksian ibu terhadap anaknya, dan kesaksian anak terhadap ibunya. Seluruh ulama sepakat bahwa suatu hukum wajib ditetapkan berdasarkan kesaksian dua orang laki-laki, tanpa disertai sumpah dari pendakwa, kecuali menurut Ibnu Abi Laila yang mewajibkan seorang saksi untuk bersumpah dari pendakwa. Mereka juga sepakat bahwa urusan mengenai harta dapat ditetapkan dengan satu orang saksi laki-laki yang adil dan dua orang saksi perempuan. Karena firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah ayat 282 : b *s N9 $tRq3 t n=_ u @_ ts b $s?r&zD$#ur ` J B tb q| s? z` B !#ypk 9$# b r& @s? $yJ g 1yn ) te2 x Fs $yJ g 1yn ) 3 tz W{ $# 4 Artinya: Jika tidak ada dua orang lelaki, maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan darri saksi-saksi yang kamu 29 ridloi, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.(QS. Al-Baqarah : 282) 54 C. JenisJenis Hibah 1. Umra Umra merupakan sejenis hibah, yaitu jika seseorang memberikan hibah sesuatu kepada orang lain selama dia hidup dan apabila penerima hibah meninggal dunia, maka barang tersebut dikembalikan lagi kepada pemberi hibah. 55 Hal demikian berlaku dengan lafazh, Aku umrakan barang ini atau rumah ini kepadamu, artinya aku berikan kepadamu selama engkau hidup, atau ungkapan yang senada. 2. Ruqba Ruqba ialah pemberian dengan syarat bahwa hak kepemilikan kembali kepada si pemberi apabila si penerima meninggal terlebih dahulu, jika yang memberi meninggal dahulu, maka hak pemilikan tetap menjadi hak si penerima. 56 Banyak macam-macam pemberian, macam-macam sebutan pemberian disebabkan oleh perbedaan niat (motivasi) orang-orang yang menyerahkan benda tersebut, macamnya adalah sebagai berikut: a) Al-Hibah, adalah akad yang dilakukan dengan maksud memindahkan milik seseorang kepada orang lain ketika masih hidup dan tanpa imbalan. 57 54 Ibid hlm 70 55 Sayyid Sabiq, Op. Cit., hlm. 447. 56 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Op.Cit, hlm. 314. 57 Chuzaimah dan Hafiz Anshary AZ. (Editor), Op. Cit., hlm. 105. 30 b) Shadaqah, pemberian kepada orang lain dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. dan diberikan kepada orang yang sangat membutuhkan tanpa mengharapkan pengganti pemberian tersebut. 58 c) Hadiah, yang dimaksud dengan hadiah ialah pemberian dari seseorang kepada orang lain tanpa adanya penggantian dengan maksud mengagungkan atau karena rasa cinta. 59 d) Wasiat, adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia. 60 Pada dasarnya, arti beberapa istilah di atas ditambah athiyah. Dan pada umumnya orang sukar membedakan antara kata hibah, sedekah dan hadiah pengertian hibah menurut bahasa hampir sama dengan pengertian sedekah dan hadiah, perbedaannya sebagai berikut: a) Jika pemberian kepada orang lain dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan diberikan kepada orang yang sangat membutuhkan tanpa mengharapkan pengganti pemberian tersebut dinamakan sedekah. b) Jika pemberian tersebut dimaksudkan untuk mengagungkan atau karena rasa cinta, dinamakan hadiah. c) Jika diberikan tanpa maksud yang ada pada sedekah dan hadiah dinamakan hibah. 58 Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, Bandung: CV Pustaka Setia, 2006, Cet III, hlm. 241. 59 Ibid. 60 Kompilasi Hukum Islam, Seri Perundangan, Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2004, Cet. I, hlm. 80. 31 d) Jika hibah tersebut diberikan seseorang kepada orang lain saat ia sakit menjelang kematiannya dinamakan athiyah. 61 D. Fungsi Hibah Fungsi hibah adalah sebagai salah satu bentuk taqarrub ilallah. Hibah dilakukan dalam rangka mempersempit kesenjangan sosial, menumbuhkan rasa kesetiakawanan, dan memperhatikan sikap kepedulian sesama dalam hal sosial. Apabila dilihat secara vertikal (hablum minallah), maka melaksanakan hibah dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaan seseorang kepada Allah SWT. Sedangkan secara horisontal (hablum minannas), melaksanakan hibah dapat berfungsi sebagai upaya untuk mengurangi kesenjangan antara kaum punya dengan kaum yang tidak punya, menghilangkan rasa kecemburuan sosial dan mempererat hubungan keluarga dan silaturahmi. 62 E. Hibah Dalam Hukum Adat Penghibahan adalah pembagian atau penyerahan harta yang akan ditinggalkan oleh seorang pewaris kepada ahli warisnya, pada waktu si pewaris masih hidup. Pada dasarnya penghibahan ini merupakan perbuatan hukum yang berdasar hukum adat dalam lingkungan keluarga, dan karena itu tidak diperlukan pengesahan dari kepala persekutuan adat (Kepala Desa). Yang terpenting ada pelaksanaan nyata (riil) dari pernyataan penghibahan itu, dan kadang-kadang diperlukan adanya pengetahuan atau persetujuan dari ahli 61 Rachmat Syafei Op. Cit., hlm. 241. 62 Hamid Farihi, Hibah Terhadap Anak-Anak Dalam Keluarga, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1995, hlm 181 32 waris lainnya, karena setiap ahli waris berhak menuntut haknya dengan alasan penghibahan diluar pengetahuannya. 63 Hukum adat menurut C. van Vollenhoven menyebutkan bahwa hukum adat terbagi oleh dua golongan, yaitu golongan pribumi dan hukum adat golongan timur asing. 64 Menurut Kusumadi Pudjosewojo, Hukum adat sebagai keseluruhan aturan hukum tidak tertulis. Sedangkan yang dimaksudkan dalam UUPA dengan hukum adat itu adalah hukum aslinya golongan rakyat pribumi, yang merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan, yang berasaskan keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan. 65 F. Prinsip-Prinsip Hukum Islam tentang Hibah Secara general, syari menciptakan syariat (undang-undang) bukanlah tanpa arah, melainkan bertujuan untuk merealisir kemaslahatan umum, memberikan kemanfaatan dan menghindarkan kemafsadatan bagi umat Manusia. 66 Atau dengan kata lain, apabila ilmu hukum tidak dapat menyelesaikan suatu peristiwa hukum, maka dengan memperhatikan tujuan - tujuan ini setiap peristiwa hukum akan dengan mudah terselesaikan. 67 63 H.A.M Effendy, SH, Pokok-Pokok Hukum Adat, Semarang: Duta Grafika, 1990, cet.III, hlm 165-56 64 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria , Isi dan Pelaksanaanya, Jakarta: Djambatan, 2003, cet.9, hlm 178 65 Ibid. hlm 179 66 Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Fiqh Islam Bandung : PT al- Maarif, hlm.333. 67 Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, dalam Tjun Suryaman (ed), Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991, Cet 1, hlm.274. 33 Sedemikian pentingnya kemaslahatan ditegakkan, dengan penuh keyakinan Muhammad Maruf ad-Dawalibi berdalil; bahwa tumpuan akhir syariah adalah kemaslahatan, dan di mana saja ditemukan kemaslahatan, maka di situlah hukum Allah. 68 Secara faktual, di dalam keluarga ada yang kaya dan ada yang miskin, ada yang kecukupan dan ada yang kekurangan, oleh sebab itu islam menetapkan bahwa hak hamba Allah yang paling besar yang menjadi tanggung jawab seseorang, ialah untuk kaum kerabatnya, itulah yang dinamakan silaturrahim . Di dalam syariat islam sebutan silaturrahim telah berulang kali ditegaskan di dalam al Quran dan as- Sunnah, dan jika memutuskannya maka sebagai suatu dosa yang sangat besar. Apabila seseorang yang kekurangan ditimpa suatu bencana, maka wajiblah bagi mereka yang kecukupan di antara kamu kerabatnya menolongnya dan mengulurkan tangan untuk membantunya sebagaimana hak kaum kerabat di dalam sedekah dan diutamakan dari pada hak orang lain. 69 Dan inilah salah satu tujuan disyariatkannya hibah. Adapun prinsip-prinsip yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan hibah adalah sebagai berikut: 68 Amir Huruddin, Ijtihad Umar Ibn AL- Khattab, Studi tentang Perubahan Hukum dalam Islam , Jakarta: Rajawali Press, 1991, Cet. I, hlm.168. 69 Abul Ala al-Maududi, Prinsip-Prinsip Islam, Alih Bahasa Abdullah Suhaili, Bandung: PT al-Maarif, 1985, Cet.3, hlm. 145. 34 1. Prinsip Musyawarah Prinsip ini tidak hanya pada masalah hibah saja melainkan berlaku pada setiap permasalahan sekalipun kepastiannya kecil, hal ini sebagaimana firman Allah; Nd r $xur DF{ $# ( Artinya: Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. (Qs. Al Imran 159). 70 Dalam pelaksanaan perintah musyawarah ini, Nabi selalu bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya hingga masalah-masalah yang berhubungan dengan rumah tangga. 71 Di samping itu musyawarah dapat berfungsi sebagai media untuk menyaring pendapat yang paling sesuai dengan representatif terhadap semua unsur dan kalangan, juga sebagai sarana untuk mengeluarkan segala pendapat dan perasaan yang terpendam dalam diri seseorang. Dalam pelaksanaan hibah, musyawarah sangatlah urgen, apabila harta-harta yang dihibahkan tersebut harta yang layak diwariskan walaupun dalam hibah tidak disyariatkan adanya musyawarah, dan bahwa pemberi hibah berhak untuk menghibahkan harta yang dimiliki nya kepada siapa saja yang dikehendaki, tetapi dalam pelaksanaannya setelah pemberi hibah meninggal dunia. Problem yang muncul di permukaan justru bukannya kemaslahatan dan utuhnya kekeluargaan serta eratnya tali 70 Departemen Agama RI, Op. Cit . , hlm. 103. 71 Wahbah az-Zuhayly, Talim al- Mutaalim Fil Bayan al- Tariq al- Talim, Bandung :PT al- Maafif,, t.th., hlm.14. 35 silaturrahim, tetapi sering kali menimbulkan permusuhan dan putusnya hubungan kekeluargaan. Hal ini jelas menyalahi tujuan disyariatkannya hibah itu sendiri. Dalam kaidah ushul fiqh dijelaskan bahwa hukum segala unsur yang sangat tergantung pada tujuannya. 72 Dengan demikian musyawarah merupakan prinsip yang harus dipegangi apabila seseorang ingin melaksanakan pemberian hibah sesuai dengan ketentuan yang dianjurkan oleh syariat islam. 2. Prinsip Keadilan / Persamaan Melebihkan atau melakukan perbedaan pemberian hibah antara satu anak dengan anak yang lain merupakan sesuatu yang sangat sensitif untuk timbulnya suatu perseteruan dan mengancam keutuhan keluarga, serta putusnya hubungan silaturrahim, kecuali terdapat faktor-faktor lain atau pengecualian-pengecualian yang dibenarkan oleh syara. Sebaliknya prinsip keadilan dalam pemberian hibah dan muamalat, di samping merupakan yang dianjurkan oleh agama, juga dapat menjaga keutuhan keluarga serta utuhnya hubungan silaturrahim. Firman Allah; 4 (#q9$# uqd > t%r& 3 uq) -G=9 ( Artinya: Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (Qs. Al-Maidah 8). 73 3. Prinsip tidak ada penarikan kembali dalam pemberian hibah Dalam kitab al- Fiqh al- Islamy wa Adillatuh, karya Wahbah az- Zuhayly, menjelaskan dalam bab hibah bahwa penarikan kembali hibah 72 Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Op. Cit., hlm. 488. 73 Departemen Agama RI, Op.Cit., hlm .109. 36 orang tua kepada anaknya dapat dibenarkan tetapi ada beberapa syarat utama yang ditetapkan dan yang dapat membatalkan hak penarikan orang tua tersebut, yaitu apabila pemberian hibah ini berubah dari bentuk aslinya, atau anak tersebut kemudian menikah setelah diberi hibah, maka tidak dibenarkan menarik kembali pemberian hibah walaupun kepada anaknya sendiri. 74 Apabila hibah kepada orang lain. Hal ini juga menunjukkan bahwa dalam bab hibah janganlah pemberi hibah mengharapkan adanya imbalan atau balasan. 4. Prinsip tidak boleh menghibahkan seluruh harta benda Di dalam kitab fiqh, mayoritas ulama membolehkan seseorang menghibahkan seluruh harta bendanya kepada orang lain, tetapi pada kenyataannya keputusan atau izin ini menimbulkan hilangnya kesempatan ahli waris untuk mendapatkan harta benda sebagai harta waris. Hilangnya hak ahli waris ini tentu akan menimbulkan hubungan yang kurang baik antara keduanya. Terjadinya hal-hal demikian itu sudah pasti tidak dikehendaki oleh syariat islam, sebab anjuran hibah itu sendiri justru dimaksudkan untuk menyambung tali silaturrahim. Dari situlah terlihat betapa pentingnya seseorang tidak boleh menghibahkan seluruh harta bendanya. Dalam Kompilasi Hukum Islam Bab IV pasal 210 dinyatakan secara tegas bahwa harta yang boleh dihibahkan kepada orang lain tidak 74 Wahbah Az-Zuhayly,Op.Cit.,hlm.27. 37 boleh melebihi sepertiga dari harta keseluruhan. 75 Artinya, seseorang yang berkeinginan menghibahkan harta bendanya menurut buku ini, tidak boleh menyerahkan seluruh harta bendanya. Hal ini di samping bermaksud untuk menjaga terpeliharanya hubungan ahli waris, sekaligus untuk menjaga kehidupan pemberi hibah itu sendiri dari kehidupan terlunta-lunta akibat kehabisan harta bendanya. G. Bentuk-Bentuk Penyelesaian Sengketa Timbulnya sengketa hukum bermula dari adanya pengaduan suatu pihak (orang/badan ) yang berisi tentang keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap status tanah, prioritas maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.. Akan tetapi, sebenarnya tujuannya akan berakhir kepada tuntutan bahwa ia adalah yang lebih berhak dari yang lain (prioritas) atas tanah sengketa, oleh karena itu dalam penyelesaian sengketa hukum itu tergantung dari sifat atau masalah yang dilakukan sehingga prosesnya akan memerlukan beberapa tahap tertentu sebelum diperoleh suatu keputusan. 76 Pada dasarnya setiap perjanjian yang dibuat para pihak harus dapat dilaksanakan dengan sukarela atau itikad yang baik, namun dalam kenyataannya perjanjian yang dibuat seringkali dilanggar. 77 Sedangkan bentuk 75 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1995, Cet. II, hlm. 156. 76 Rusmadi Murad, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Bandung: Penerbit Alumni, 1991, hlm.22. 77 Salim, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta; Sinar Grafika, 2006, Cet 4.hlm.140. 38 perjanjian (hibah) diatur dalam pasal 1682 sampai dengan pasal 1687 KUH Perdata. 78 Yang menjadi persoalan adalah bagaimanakah cara penyelesaian sengketa yang terjadi antara para pihak. Pola penyelesaian sengketa dapat di bagi menjadi dua macam, yaitu; 1. Melalui pengadilan 2. Alternatif penyelesaian sengketa. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan adalah suatu pola penyelesaian sengketa yang terdiri dari pihak yang diselesaikan oleh pengadilan. 79 Namun tidak menutup kemungkinan bagi instansi untuk dapat memutuskan sengketa dengan mengeluarkan suatu keputusan administrasi sesuai dengan kewenangan yang ada berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 80 Jadi pada umumnya sifat dari sengketa adalah karena adanya pengaduan yang mengandung pertentangan hak atas tanah maupun hak-hak lain atas suatu kesempatan atau prioritas atau adanya suatu ketetapan yang merugikan dirinya. 81 Pada akhirnya penyelesaian tersebut, senantiasa harus memperhatikan atau selalu mendasarkan kepada peraturan yang berlaku. Memperhatikan keseimbangan dan kepentingan- kepentingan para pihak, menegakkan keadilan hukum serta penyelesaian tersebut harus tuntas. 82 78 R. Subekti dan Tjitrosudibio, KUH Perdata, Jakarta; PT Pradnya Paramita,1999, Cet.29, hlm. 438-439. 79 Salim , Op.Cit ,.hlm.140. 80 Rusmadi Murad, Op,Cit,. hlm.27 81 Ibid, hlm. 28 82 Ibid 39 Sedangkan alternatif penyelesaian sengketa adalah penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, konsiliasi, atau penilaian ahli (pasal 1 ayat (10) undang- undang nomor 30 tahun 1991 ). 83 Di dalam literatur disebutkan dua pola penyelesaian sengketa, yaitu; 1. The Binding Adjudicative Procedures, dimana prosedur ini mengikat karena prosedur ini biasanya menghasilkan keputusan yang mengikat tentang hak- hak dari para pihak yang diputuskan oleh pihak yang ketiga yang netral. Bentuk penyelesaian sengketa ini dapat di bagi menjadi empat macam, yaitu: a. Litigasi: Penyelesaian sengketa antara para pihak melalui jalur peradilan b. Arbitrase: Penyelesaian sengketa (umumnya dagang) melalui proses yang disetujui sejak awal dimana proses tersebut ditentukan oleh pihak yang berperkara. c. Med-Arb (Mediation-Arbitration): Penyelesaian sengketa dimulai dengan proses mediasi oleh mediator yang netral dan apabila kemudian ternyata terdapat hal-hal yang teknis yang tidak dapat tercapai keputusan bersama para pihak, maka sengketa tersebut dapat diajukan melalui proses arbitrase. 83 Undang-Undang Nomor 30 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta; BP. Cipta Jaya, 1999,hlm. 5. 40 d. Hakim partikulir: Pemeriksaan isu tertentu atau keseluruhan di depan hakim partikulir, wasit melalui penunjukan atau persetujuan para pihak. 2. The Nonbinding Adjidicative Prosedures, Prosedur ini tidak mengikat dan murni berupa pemberian nasehat. Prosedur ini tergantung sepenuhnya kepada kerelaan para pihak dan sering sekali dilakukan oleh bantuan pihak ketiga yang tidak memihak. Penyelesaian dengan cara ini dibagi menjadi empat macam, yaitu; a. Konsiliasi: Dimana konsiliator bertindak sebagai penengah dengan kesepakatan para pihak dan mengusahakan solusi yang dapat diterima para pihak. b. Mediasi: Dimana mediator membantu para pihak mencapai penyelesaian atas dasar negosiasi suka sama suka atas perbedaan pendapat mereka. c. Mini-trial: Peradilan mini atau peradilan sederhana dan biasanya digunakan dalam sengketa-sengketa perusahaan besar. d. Summary Jury Trial: Sistem dan proses penyelesaiannya diawali dengan penunjukan beberapa orang dalam suatu grup yang akan bertindak sebagai juri oleh para pihak yang bersengketa. e. Neutral Expert Fact-Finding: Pendapat para ahli untuk suatu hal yang bersifat teknis dan sesuai bidangnya, sebelum litigasi benar-benar dilakukan. 41 f. Early Expert Neutral Evolution: Praktisi hukum yang handal, netral berpengalaman membantu para pihak untuk menganalisa isu-isu kritis yang diperkarakan. 84 Kedua penyelesaian sengketa itu berbeda antara satu dengan yang lain nya. Perbedaannya terletak pada kekuatan mengikat dari putusan yang dihasilkan oleh institusi-institusi. Kalau The binding adjudicative procedures putusannya yang dihasilkan oleh institusi yang memutuskan perkara adalah mengikat para pihak, Sedangkan The nonbinding adjudicative procedures utusan yang dihasilkan tidak mengikat para pihak. Persamaan dari kedua pola penyelesaian sengketa tersebut adalah sama-sama memberikan putusan atau pemecahan dalam suatu kasus. 85 Menurut Jacquelin M. Nolan-Haley, dalam bukunya berjudul Alternative Dispute Resolution, menjelaskan bahwa penyelesaian alternatif terdiri dari negosiasi, mediasi, dan arbitrase, 86 Saat ini bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan, tergantung yang mana lebih disukai atau dianggap cocok oleh para pihak untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang mereka hadapi. 87 84 Susanti Adi Nugroho, Medi asi Sebagai Al t er nat i f Penyel esai an Sengket a, Jakar t a : PT. Tel aga I l mu I ndonesi a, 2009, Cet I , hl m 12-15 85 Salim, Loc, Cit 86 Joni Emirson, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama, 2001, hlm. 39. 87 Ibid, 42 BAB III PRAKTEK PEMBERIAN HIBAH YANG MELEBIHI 1/3 DI DESA BENGKAL A. Gambaran Umum Masyarakat Bengkal Kec. Kranggan Kab. Temanggung 1. Kondisi Geografis, Jumlah Penduduk dan Ekonomi di Desa Bengkal Desa Bengkal merupakan salah satu desa dari 13 desa di Kecamatan Kranggan Kabupaten Temanggung sebagai desa yang terletak di kecamatan. Dapat diketahui letak geografis desa Bengkal daerah tempatnya 350 m DPL (diatas permukaan air laut). Curah hujan rata-rata pertahun 200 mm s/d 300 mm dan keadaan suhu rata-rata 25 0 C s/d 34 0 C. 88 Sedangkan letak Desa Bengkal dari pusat Kecamatan mempunyai jarak tempuh kira-kira 3 Km, dan dari pusat Kabupaten kira-kira 11 Km. adapun batas-batas wilayah Desa Bengkal, adalah sebagai berikut; - Sebelah utara berbatasan dengan Desa Badran - Sebelah timur berbatasan dengan Desa Pare - Sebelah barat berbatasan dengan Desa Plumbon - Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Madyo Condro 89 Desa Bengkal dengan Desa lain jaraknya berdekatan. Oleh karena itu, masyarakat dalam melakukan komunikasi dan informasi, bisa dilakukan 88 Buku Laporan Pertanggungjawaban Kepala Desa Bengkal Tahun 2007 89 Ibid 43 dengan mudah. Dilihat dari pembagian wilayah kerja, desa Bengkal terdiri dari 5 dusun, 4 RW dan 22 RT dengan perincian sebagai berikut; Tabel. 1 Pembagian Wilayah Kerja Desa Bengkal 90 No Nama Dusun Jumlah RW Jumlah RT Keterangan 1 2 3 4 5 Bengkal Surodadi Bolang Jetis Cs Delok Cs 1 1 1 1 1 5 4 4 5 4 Jumlah 5 22 Secara keseluruhan desa Bengkal mempunyai luas 294 Ha. Dan berdasarkan penggunaannya dengan rincian sebagai berikut; Tabel.2 Luas Tanah Wilayah Desa Menurut Penggunaannya 91 No Penggunaan Tanah Luas ( Ha ) 1 2 3 4 5 6 7 8 Permukiman penduduk Perkantoran Bangunan umum Kuburan atau makam Jalan Sawah irigasi setengah teknis Sawah irigasi teknis Lain-lain 55 0,225 33,372 6 22 144 22 11.403 Jumlah 294 90 Ibid 91 Ibid 44 Jumlah penduduk desa Bengkal sebanyak 3.450 jiwa. Jumlah tersebut terdiri dari 1.767 laki-laki dan 683 perempuan dan terbagi dalam 1001 kepala keluarga. Dengan demikian jumlahnya lebih banyak laki-lakinya. Adapun untuk keadaan ekonomi secara keseluruhan penduduk desa Bengkal adalah petani. Komposisi jumlah penduduk menurut pekerjaan dapat kita lihat dengan perincian sebagai berikut; Tabel. 3 Jumlah Penduduk Menurut Pekerjaan 92 No Pekerjaan Jumlah (orang) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Petani Buruh Tani Petani Penggarap PNS / ABRI Guru Wiyata Perangkat Desa Bidan Desa Dukun Bayi Tukang jahit Pedagang Besar / Kecil Tukang Batu Industri Kecil Kerajinan Buruh Industri Karyawan Pabrik 988 778 65 62 24 16 1 4 8 26 98 7 49 236 57 Jumlah 2.319 Keberadaan desa Bengkal dalam kesehariannya tidak bisa berjalan sendiri antara perangkat satu dengan yang lain dan didukung dengan 92 Ibid 45 pemerintahan dan juga organisasi di dalamnya. Seperti PKK, Polisi, Perangkat Desa, BPD, LPMD, LMD, Karang taruna serta peran masyarakat yang sangat antusias dalam segala kegiatan. Lembaga pemerintahan desa dipimpin oleh seorang Kepala Desa yang dipilih masyarakat secara langsung dengan jangka waktu periode delapan tahun. Kepala Desa dalam melaksanakan tugas dibantu lima orang Kepala Dusun dan beberapa Kaur. 93 Sektor-sektor dalam ekonomi masyarakat yang telah berhasil dikembangkan dan ditingkatkan adalah; a. Sektor Pertanian - Peningkatan pembangunan melalui intensifikasi - Peningkatan produksi pangan dengan menanam bahan pokok pangan - Rehabilitasi lahan kritis - Pemanfaatan irigasi - Penerapan panca usaha tani b. Sektor Industri - Peningkatan industri pertanian - Peningkatan industri kecil hasil domestik - Peningkatan industri kecil rumah tangga 94 93 Wawancara dengan Bapak Soffan Hadi Santoso, Kepala Desa Bengkal, Bengkal, tanggal 13 Agustus 2009 94 Wawancara dengan Bapak Slamet Suroto, Kaur Kesra Desa Bengkal, Bengkal, tanggal 13 Agustus 2009 46 2. Kondisi Pendidikan dan Keagamaan di Desa Bengkal Dalam bidang pendidikan, di Desa Bengkal terdapat berbagai lembaga pendidikan baik formal maupun non formal. Untuk pendidikan formalnya ada 3 pendidikan dasar yaitu; 2 SD dan 1 MI. sedangkan pendidikan non formalnya terdiri dari 2 Madrasah Diniyyah dan 7 TPQ. Bagi mereka yang berusia sekolah menengah lanjut dan perguruan tinggi, meneruskan di desa tetangga atau luar daerah yang jauh sambil berdomisili di tempat kos dan pesantren baik di Jawa Tengah sendiri, Jawa Timur, jawa Barat dan daerah lainnya. 95 Secara umum, pendidikan di sana cukup maju, yakni dengan dilihat dari anak usia sekolah yang hampir semuanya mengenyam pendidikan rata- rata sampai SLTA. Bahkan banyak yang kuliah di perguruan tinggi, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Dalam bidang pendidikan, lembaga TPQ untuk kurikulum tidak hanya seputar membaca al-Quran, akan tetapi juga materi keagamaan lainnya seperti ilmu nahwu dan shorof untuk murid TPQ. Antusiasme dan kesadaran mendidik anak-anak melalui kemampuan membaca al-Quran sangat tinggi, sehingga TPQ banyak dijadikan alternatif pendidikan agama, disamping pengajian dan sekolah di madrasah diniyah. 96 Dalam kehidupan keberagamaan, Desa Bengkal mempunyai sarana tempat ibadah yang dapat dilihat pada tabel berikut; 95 Ibid 96 Ibid 47 Tabel. 4 Sarana Ibadah Desa Bengkal 97 No Jenis Sarana Ibadah Jumlah 1 2 3 4 Masjid Musholla Gereja Wihara 8 12 - - Jumlah 20 Jumlah penduduk Desa Bengkal 3450 jiwa dengan komposisi pemeluk agama sebagai berikut; Tabel. 5 Komposisi Pemeluk Agama 98 No Agama / Kepercayaan Jumlah Penganut (orang) 1 2 3 4 5 Islam Kristen Katholik Hindu Budha 3434 16 - - - Jumlah 3450 Sedangkan kegiatan dakwah yang ada di Desa Bengkal cukup lancar melalui majelis talim yang digelar di masjid dan mushalla. Adapun kegiatan keagamaan di Desa Bengkal sebagai berikut; 97 Buku Laporan Pertanggungjawaban Kepala Desa Bengkal Tahun 2007 98 Ibid 48 Tabel. 6 Daftar Kegiatan Keagamaan Desa Bengkal 99 No Kegiatan Ada / Tidak 1 2 3 4 5 6 Jumatan Pengajian Umum Pengajian Ibu-ibu Pengajian Anak-anak / Remaja Yasinan Peringatan Hari Besar Islam Ada Ada Ada Ada Ada Ada B. Praktek Pemberian Hibah Menurut Ibnu Rusyid dalam kitab Bidayah al-Mujtahid hibah ada dua macam, yaitu hibah barang dan hibah manfaat. 100 Hibah berupa barang dapat dimiliki secara permanen sedangkan hibah manfaat tidak dapat dimiliki, tetapi hanya dapat diambil manfaatnya saja dalam jangka waktu tertentu. Hibah yang kedua ini misalnya seseorang menghibahkan tanah perkebunan kepada orang lain selama 15 tahun, maka penerima hibah dapat mengambil manfaatnya saja dan setelah 15 tahun perkebunan tersebut kembali kepada pemiliknya. Sementara praktek pemberian hibah yang ada di Desa Bengkal pada umumnya dilaksanakan dengan menyerahkan barang (sebagian/semuanya) untuk dimiliki secara terus-menerus dan bukan hanya sekedar untuk diambil manfaatnya saja. Hal ini dimaksudkan agar barang yang sudah diberikan tersebut segera dimiliki 101 . 99 Ibid 100 Ibnu Rusyid, Bidayah al-Mujtahid.Ce t II, Semarang , t,th.hal 248 101 Wawancara dengan Bapak Soffan Hadi Santoso, Kepala Desa Bengkal, tanggal 13 Agustus 2009. 49 Secara garis besar praktek pemberian hibah berjalan lancar dan tanpa menimbulkan keluhan, atau masalah dan sampai menjadi kasus. Untuk mengetahui praktek pemberian hibah di Desa Bengkal, akan penyusun gambarkan sebagai berikut: 1. Pemberi dan Penerima Hibah Bila dilihat dari segi pemberi dan penerima hibah di Desa Bengkal dapat dibedakan menjadi 4 kelompok yaitu: a. Kakek/Nenek Kepada Cucu Di Desa Bengkal kakek/nenek menghibahkan barang kepada salah satu cucunya dan penghibahan ini biasanya terjadi karena sang cucu bersedia menjaga dan merawat kakek atau nenek tersebut. Jadi pemberian hibah ini bersifat balas budi. b. Orang Tua kepada Anak Kandung Praktek pemberian hibah semacam ini lazimnya dilakukan pada saat anak tersebut melangsungkan pernikahan dengan maksud agar hibah tersebut dapat dijadikan modal dalam kehidupan berumah tangga. c. Orang Tua kepada Anak Tiri Disamping penghibah kelompok orang tua kepada anak kandung seperti yang dikemukakan di atas, ada lagi praktek yang dilakukan oleh orang tua hanya saja hibahnya tertuju pada anak tiri. Seperti yang diketahui bahwa anak tiri adalah golongan yang tidak 50 mempunyai hak waris karena tidak ada ikatan darah, sebagai gantinya orang tua memberikan hartanya dengan cara hibah. d. Orang Tua kepada Anak Angkat Bagi orang tua yang karena sesuatu hal, tidak dapat mempunyai keturunan biasanya mengangkat seorang anak untuk diadopsi. Anak angkat adalah orang lain yang tidak dapat menjadikan hubungan nasabiyah dengan orang tua angkatnya. Maka dalam hal ini orang tua angkat memberikan hartanya dengan cara hibah. 102 2. Obyek Hibah Walaupun kekayaan dan harta benda yang dimiliki oleh masyarakat Bengkal tidak jauh berbeda dengan masyarakat lain, tapi cukup beragam. Sedangkan untuk proses penghibahan biasanya para orang tua lebih suka menghibahkan harta bendanya berupa tanah perkebunan, sawah dan rumah. Pilihan obyek semacam ini sudah menjadi tradisi bahkan dilakukan secara turun-temurun. Masyarakat yang ada di Desa Bengkal yang umumnya adalah petani menganggap bahwa obyek hibah semacam ini menjadi sebuah simbol bagi kehidupannya. 103 Kalaupun saat ini tanah perkebunan, sawah dan rumah masih menjadi sebuah pilihan utama obyek hibah, agaknya disamping ada pertimbangan-pertimbangan tertentu juga karena ada alasan dan fungsi dari benda-benda tersebut. 102 Ibid, 103 Ibid, 51 C. Kasus Hibah dan Cara Penyelesaiannya Sudah menjadi sebuah tradisi masyarakat yang ada di Desa Bengkal dalam praktek hibahnya para orang tua memberikan bekal hidupnya berupa harta bergerak atau pun tidak bergerak kepada anak-anaknya ketika mereka berumah tangga. Demikian juga praktek pemberian hibah yang dilakukan oleh seorang kakek atau nenek kepada cucunya. Pada saat seseorang sudah menginjak usia senja, sementara anak-anaknya yang ada sudah berumah tangga dan terkadang sibuk dengan kebutuhannya masing-masing sehingga pada waktu itu hanya seorang cuculah yang merawat dan menjaga serta memperhatikan kondisi kakek atau neneknya. Dari jasa seorang cucu inilah seorang kakek menghibahkan hartanya kepada cucu atas dasar pengabdian yang sebelumnya telah diberikan kepadanya. Kebiasaan-kebiasaan yang terjadi ini bahkan telah berlaku terhadap anak tiri maupun anak angkat. Pada umumnya praktek hibah dilakukan dengan mengeluarkan (sebagian/semua) harta bendanya dengan mengundang saksi atau sebaliknya. Terkadang dari pihak ahli waris pun tidak dimintai persetujuannya juga pada proses penghibahan juga tidak membuat dokumen tertulis, sehingga setelah pemberi hibah meninggal dunia, sering menimbulkan konflik atau masalah. Selanjutnya dalam pemecahan/penyelesaian kasus pemberian hibah yang terjadi dalam masyarakat di Desa Bengkal, pada mulanya masyarakat Bengkal menempuh jalan musyawarah keluarga kemudian mengundang ulama setempat atau melalui aparat desa. 52 Contoh kasus hibah dan cara penyelesaiannya yang terjadi didalam masyarakat Bengkal yaitu, antara lain: a. Kasus Hibah dari Seorang Kakek kepada Cucu Pada tahun 1998 Salimun (kakek) menghibahkan tanah sawah seluas 0,185 ha kepada Abdul Aziz (cucu). Sawah tersebut terletak di Dusun Surodadi, sebelum menghibahkan tanah tersebut semua ahli waris terdiri dari Suparman, Amir dan Haris masing-masing mendapatkan 0,150 ha. Oleh karena itu, oleh orang tuanya menghibahkan hartanya tidak ada reaksi. Setelah beberapa tahun dan harta yang telah dihibahkan dimiliki dan diambil manfaatnya oleh penerima hibah baru timbul gugatan dari salah satu ahli waris. Dalam isi gugatannya yang diajukan kepada penerima hibah yaitu Pemberian tersebut hanyalah sebagai bentuk balas budi dari seorang kakek kepada cucunya dan seharusnya pembagian harta haruslah bersifat adil. 104 Ketika pelaksanaan hibah itu terjadi dari pihak penghibah tidak melakukan musyawarah bahkan tidak membuat bukti tertulis sebagai bukti pemindahan kepemilikan tanah dari seorang kakek kepada cucunya. Namun pada saat itu penyusun melakukan penelitian, penyusun bertemu dengan dua orang saksi yaitu, Bapak Hadi dan Bapak Supeno yang merupakan orang yang ditunjuk sebagai saksi oleh Salimun (kakek). Yang menurut mereka, adanya gugatan dari salah satu ahli 104 Wawancara dengan Bapak Suparman (Anak Bapak Salimun), tanggal 29 mei 2010 53 waris dari Salimun (kakek) disebabkan karena adanya keserakahan dari pihak ahli waris yang sebelumnya telah menerima hibah dari orang tuanya namun tidak bisa memanfaatkan pemberian secara maksimal. Cara-cara yang ditempuh oleh ahli waris dalam usaha meminta kembali harta yang telah dihibahkan dilakukan oleh penggugat secara sepihak. Sehingga penerima hibah (cucu) menyerahkan harta tersebut kepada penggugat dengan perasaan takut. 105 b. Kasus Hibah dari Orang Tua kepada Anak Kandung Kebiasaan yang terjadi di Dusun Bolang, terutama bagi keluarga yang memiliki harta banyak dan terbilang mampu, biasanya rumah induk yang selama ini di tempati oleh keluarga akan diberikan kepada anak bungsunya, dan hal ini sangatlah mungkin untuk dilakukan. 106 Dalam praktek pemberian hibah di Dusun Bolang, hibah diberikan kepada Bapak Sutrisno selaku sebagai anak yang paling bungsu yang mempunyai 4 (empat) orang saudara. Di dalam suatu keluarga anak bungsulah yang mendapatkan tanah pekarangan dan sebelum rumah induk diberikan, saudara dari Bapak Sutrisno sebelumnya juga telah menerima bagiannya. Namun pemberian tersebut bila diukur dengan nilai uang tentunya tidak sama dan anak bungsulah yang paling banyak mendapatkan harta hibah tersebut 105 Wawancara dengan Bapak Hadi dan Bapak Supeno (saksi), tanggal 29 Mei 2010 106 Wawancara dengan Bapak Soffan Hadi Santoso, Kepala Desa Bengkal, tanggal 29 Mei 2010 54 Pada tahun 2000, Salah satu saudara dari Bapak Sutrisno mengalami kesulitan dan waktu itu tidak terlalu memperhatikan kondisi orang tuanya sampai meninggal dunia. Dari keempat saudara Bapak Sutrisno, dua diantaranya menyetujui pemberian hibah yang berupa rumah induk diberikan kepada Bapak Sutrino. Alasan bagi saudara yang menyetujui, karena selama sakit, Bapak Sutrisnolah yang menjaga dan merawat dan yang memperhatikan kondisi orang tuanya sebelum mempunyai rumah sendiri. Sedangkan alasan yang tidak menyetujui adalah anak bungsu mempunyai kesempatan dan belajar lebih tinggi. Selama menjalani pendidikan, tidak sedikit biaya yang dikeluarkan. Ketidak setujuan inilah yang menjadi gugatan setelah 40 hari orang tuanya meninggal dunia. Maka dalam menyelesaikan masalah tersebut, diadakanlah musyawarah keluarga. 107 c. Kasus Hibah dari Orang Tua Kepada Anak Tiri Pada kasus ini dijumpai seorang responden yang bernama Bapak Moh. Jhumari dari Dusun Jetis, yang telah menerima hibah dari orang tua tirinya yang berupa tanah sawah seluas 3 ha. 108 Hibah ini diberikan ketika orang tua tirinya masih hidup. Sedangkan dari orang tua tiri Bapak Moh. Jhumari tersebut memiliki dua orang anak kandung yang bernama Winarti dan Khamid yang semuanya telah berkeluarga. Sebagai anak kandung, sudah barang tentu berhak atas harta peninggalan. Oleh karena itu, setelah orang tuanya meninggal dunia, ahli waris 107 Ibid, 108 Wawancara dengan Bapak Moh. Jhumari (Penerima Hibah) tanggal 30 Mei 2010 55 menginginkan harta (hibah) yang sebelumnya diberikan kepada Bapak Moh, Jhumari dibagi kembali secara waris dan sesuai dengan ketentuan- ketentuan Hukum Waris, akan tetapi permintaan ini tidak disetujui oleh Bapak Moh. Jhumari karena tanah sawah 3 ha sudah dihibahkan. Menurut sumber yang diperoleh dari penerima hibah, semua harta dihibahkan karena disamping adanya kedekatan dan perhatian dari orang tua tiri. Pada saat orang tua tirinya sakit, anak kandung sibuk dengan kerjaannya masing-masing. Dengan adanya alasan tersebut permintaan dari pihak anak kandung untuk mengambil kembali harta itu tidak dipenuhi oleh anak tiri. Maka dalam hal ini terjadilah persengketaan atau tuntutan yang kemudian diajukan melalui lembaga musyawarah Desa setempat. 109 d. Kasus Hibah dari Orang Tua kepada Anak Angkat. Contoh kasus hibah yang terjadi di Dusun Bengkal ini ada dua macam yaitu: - Pada tahun 1999 telah terjadi penghibahan, penghibah bernama Bapak Suyitno dan hibah diberikan kepada Rahman (anak angkat). Harta yang dihibahkan berupa tanah seluas 3,5 ha. Dalam hal ini anak angkat telah dianggap berjasa dalam keluarga Bapak Suyitno karena sebelumnya Bapak Suyitno belum memiliki keturunan dan sudah sewajarnya balas budi dilakukan kepada anak angkatnya supaya harta benda miliknya tidak jatuh ke tangan orang lain. Pada 109 Ibid, 56 waktu pelaksanaan hibah tidak ada satupun ahli waris yaitu, Bapak Jumadi dan Bapak Saridi tidak dimintai persetujuan, padahal harta yang dihibahkan tersebut merupakan harta milik Bapak Suyitno. 110 Pemberian hibah ini dilakukan secara sepihak dan mengakibatkan saudara dari ahli waris menuntut kepada penerima hibah untuk menyerahkan kembali hibahnya agar harta tersebut dibagi waris sesuai dengan ketentuan Hukum yang berlaku. Dalam hal ini ahli waris mengajukan tuntutan kepada penerima hibah karena penggugat mempersoalkan proses penguasaan dan kepemilikan harta kekayaan saudaranya. Jalan yang ditempuh dalam menyelesaikan masalah ini yaitu, lewat musyawarah desa dan bagian harta yang anak angkat terima tidak kurang dari 1/3 bagian dari seluruh harta kekayaan almarhum (Bapak Suyitno). Sedangkan saudara almarhum (Bapak Suyitno) mendapatkan sisa dari anak angkat tersebut. 111 - Pada kasus ini tidak jauh berbeda dengan yang di atas. Penghibah (Bapak Pudjo Sumarno) dan penerima hibah (Endang Prihatin) dan harta yang dihibahkan berupa barang tidak bergerak yaitu, tanah seluas 2980 m2. Penghibahan dilaksanakan pada waktu penghibah masih hidup yaitu, pada tahun 1991. Ketika diwawancarai mengenai kepastian kapan hari dan tanggal penghibahan, penghibah menyebutkan kira-kira pada waktu Hari Raya Idul Fitri. Namun 110 Wawancara dengan Bapak Jumadi (Saudara penghibah) tanggal 30 Mei 2010 111 Wawancara dengan Bapak Mujabin (Aparat Desa Bengkal) tanggal 30 Mei 2010 57 beberapa tahun kemudian harta tersebut ditarik kembali oleh orang tua angkat karena pihak penghibah mendapat gugatan dari anak kandung yang mengharapkan tanah hibah dapat kembali menjadi milik ayahnya (Bapak Pudjo Sumarno). Ketika proses penghibahan, penghibah tidak memperhitungkan seberapa besar harta yang harus dimiliki oleh anak angkat karena Bapak Pudjo Sumarno merasa berhutang budi. Dengan adanya alasan ini anak kandung meminta kepada Bapak Pudjo Sumarno untuk berbuat adil dan menentukan sikap. 112 Pada tahun 2003 terjadilah percekcokan antara Ibu Endang Prihatin dengan anak Bapak Pudjo Sumarno yang pada saat itu dari pihak Ibu Endang tetap bersikukuh tidak mau menyerahkan harta yang sebelumnya telah dihibahkan kepadanya. Dan pada saat anak kandung melakukan gugatan kepada Bapak Pudjo Sumarno, anak kandung menginginkan agar ayahnya tetap menarik kembali hibahnya karena dalam pemberian tersebut tidak sah dengan alasan: 1) Tidak ada bukti tertulis yang menunjukkan bahwa tanah yang dimaksudkan telah dihibahkan. 2) Anak kandung tidak dimintai persetujuan. 3) Harta yang dihibahkan terlalu berlebihan Diakui oleh penghibah, bahwa perbuatan melakukan penarikan hibah bukanlah kehendak sendiri. Karena pada waktu 112 Wawancara dengan Bapak Soffan Hadi Santoso, Kepala Desa Bengkal, tanggal 13 Agustus 2009 58 melakukan penghibahan, dari pihak penghibah sudah mantap dan ikhlas. Sehingga apabila penarikan tetap saja dilakukan maka dianggap sesuatu hal yang tidak mungkin untuk dilakukan. 113 Pada tanggal 10 Mei 2003, penarikan dilakukan oleh penghibah di rumah penerima hibah. Oleh karena itu dengan mencabut kembali hibahnya diharapkan dapat meredam konflik keluarga. Namun sebaliknya konflik keluarga tetap tidak bisa dihindarkan dan semakin rumit permasalahannya. Cara yang ditempuh oleh Bapak Pudjo Sumarno adalah dengan melakukan musyawarah secara kekeluargaan melalui proses negosiasi. Dan bila tidak ada kesepakatan dari kedua belah pihak yang bersengketa, dengan terpaksa Bapak Pudjo Sumarno menarik kembali hibahnya dari anak angkat dan harta hibah tersebut tidak diberikan kepada siapapun baik anak angkat maupun anak kandung. 114 113 Wawancara dengan Bapak Pudjo Sumarno (Penghibah),tanggal 13 Agustus 2009 114 Wawancara dengan Bapak Soffan Hadi Santoso (Kepala Desa Bengkal), tanggal 13 Agustus 2009 59 BAB IV ANALISIS TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA PEMBERIAN HIBAH YANG MELEBIHI 1/3 DARI KETENTUAN HUKUM ISLAM DI DESA BENGKAL KEC. KRANGGAN KAB. TEMANGGUNG D. Analisis Terhadap Bentuk Penyelesaian Sengketa Pemberian Hibah yang Melebihi 1/3 dari Ketentuan Hukum Islam di Desa Bengkal Kec. Kranggan Kab. Temanggung. Setiap masyarakat memiliki berbagai macam cara untuk memperoleh kesepakatan dalam menyelesaikan sengketa, perselisihan atau konflik yang sedang mereka hadapi. Penyelesaian sengketa dapat saja dilakukan oleh kedua belah pihak secara kooperatif, dibantu oleh orang lain atau pihak ketiga yang bersifat netral dan sebagainya. Dalam pemberian hibah disini, pihak yang mendapatkan harta hibah yaitu, pihak cucu, anak kandung, anak tiri dan anak angkat. Dalam hal ini pihak yang diberi hibah menuntut keadilan dan persamaan hak kepada pihak penghibah dalam hal pemberian. Sebagaimana dalam dalil yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a bahwa Nabi SAW bersabda: `,= ` , .`, ' ` ,,,' , . . `.` . - ' .` .` ` , , Artinya : Samakanlah diantara anak-anak kalian dalam pemberian. Seandainya aku hendak melebihkan seseorang, tentulah aku lebihkan anak-anak perempuan. 115 115 A Hasan dkk, Soal-Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, Bandung: PT C.V Diponegoro, Cet.VI, 1982, hlm 693 60 Pada dasarnya proses yang ditempuh oleh para pihak yang bersengketa adalah diluar pengadilan (kekeluargaan). Cara ini sebagai suatu kebiasaan yang bersifat informal (hukum adat setempat) dan dianggap relatif lebih mudah dan cepat. Oleh karena itu kebanyakan masyarakat Bengkal dalam menyelesaikan konflik keluarga biasanya menggunakan pendekatan terhadap para pihak yang bersengketa dengan jalan musyawarah. Hal ini berbeda dengan proses pengadilan umum biasanya masyarakat menganggap bahwa prosesnya sangat menyita waktu, mahal dan membangkitkan pertimbangan yang mendalam. 116 Kasus Hibah dan Bentuk penyelesaian sengketa yang ditempuh oleh para pihak yaitu, antara lain : a. Hibah dari Seorang Kakek kepada Cucu Kasus gugatan hibah dari kakek (Salimun) kepada cucunya (Abdul Aziz),seperti yang telah diterangkan sebelumnya, bahwa penerima (cucu) telah mendapat 0,185 ha, kala itu digugat oleh salah satu ahli waris dengan alasan pemberian itu tidak didahului dengan musyawarah keluarga dan tidak ada bukti tertulis yang menunjukkan adanya pemindahan harta hibah dari kakek kepada cucunya. Kemudian masalah saksi sebagai penguat adanya pemberian hibah, sebenarnya telah dilakukan oleh ahli waris sendiri dengan menunjuk dua orang tetangga (Bapak Hadi dan Bapak Supeno). Namun, dari pihak penghibah hanya sendirian dalam menyetujui pemberian tersebut, sedangkan dua orang saksi lainnya hanya diam dalam arti tidak dimintai 116 Wawancara dengan Bapak Soffan Hadi Santoso, Kepala Desa Bengkal, Bengkal 29 Mei 2010 61 persetujuan. Walaupun demikian hal ini tidak dapat mempengaruhi keabsahan hibah itu sendiri. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 210 menerangkan bahwa pemberian hibah harus dihadapan dua orang saksi. 117 Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT: w ur (#q=. ' s? N3 s9uqBr& N3 oY t/ @t69$$/ (#q9?ur !$yg / n<) Q$6 t: $# Artinya: Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim.(QS.Al-Baqarah:188) 118 Kemudian pandangan ahli waris yang berpendapat bahwa harta hibah sebagai balas budi tersebut merupakan pemberian hibah selama penerima hibah mengurusi pemberian hibah itu secara baik dan benar. Maka hal ini bukanlah ukuran yang baku dalam pemberian hibah. Sebenarnya pemberian hibah dapat menambah hubungan yang sangat erat tali persaudaraan diantara keluarga, sudah terealisir hal ini dapat terbukti dengan secara harmonis yang telah berjalan bertahun-tahun dan tiada tanda-tanda keretakan keluarga. Dalam permasalahan ini bukanlah bertumpu pada masalah hibah akan tetapi pada kondisi ekonomi yang sedang dialami oleh salah ahli waris dan mempunyai watak atau sifat penggugat yang kurang terpuji. Bentuk penyelesaian yang dilakukan oleh pihak penggugat adalah dengan cara sepihak, dengan memaksa pihak penerima hibah untuk mengembalikan harta tersebut. Hal ini sangatlah bertentangan dengan 117 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Departemen Agama RI, Jakarta: 2004, hlm.208 118 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, Jakarta : Bumi Restu, 1974, hlm 46 62 prinsip-prinsip yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan hibah yaitu, salah satunya prinsip musyawarah. Sebagaimana firman Allah: Nd r $xur DF{ $# ( Artinya : Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. (QS. Al-Imron, 159) 119 Dalam pelaksanaan perintah musyawarah ini, Nabi selalu bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya hingga masalah-masalah yang berhubungan dengan masalah rumah tangga. 120 b. Hibah dari Orang Tua Kepada Anak Kandung Kasus pemberian hibah yang dialami Bapak Sutrisno (anak bungsu), hibah tersebut berupa rumah induk yang sampai sekarang masih ditempati. Seperti kebiasaan masyarakat Dusun Bolang, biasanya anak yang baru menikah mendapatkan modal usaha, baik berupa uang, rumah, tanah. Disini anak bungsulah yang mendapatkan rumah induk disamping sebagai bekal hidup seperti yang dihibahkan kepada anak-anak lain yang telah berumah tangga. Melihat permasalahan di atas seharusnya diperhitungkan jerih payah anak bungsu selama merawat orang tua dan janganlah dipandang tidak professional, artinya rumah induk yang sekarang ditempati pemberi hibah diperhitungkan sebagai harta warisan. Dari faktor inilah menjadi nilai lebih yang mana rumah tersebut sangatlah layak diberikan kepada Sutrisno dari pada saudara-saudara lainnya. 119 Ibid,hlm 103 120 Wahbah az-Zuhayly, Talim al-Mutaalim Fil Bayan al-Tariq al-Talim, Bandung: PT al-Maarif , t,th.hlm 14 63 Bentuk penyelesaian yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa adalah dengan cara musyawarah keluarga melalui proses negosiasi. Dalam musyawarah tersebut para pihak mendapatkan bagiannya masing-masing sesuai dengan ketentuan Hukum Waris. Hal ini haruslah sesuai dengan prinsip keadilan/persamaan. Karena melebihkan atau melakukan perbedaan pemberian hibah antara anak yang satu dengan yang lain merupakan sesuatu yang sangat sensitif untuk timbulnya suatu perseteruan dan dapat mengancam keutuhan keluarga. Prinsip keadilan dalam pemberian hibah yang dianjurkan dalam agama, juga dapat menjaga keutuhan keluarga serta utuhnya hubungan silaturrahmi. Hal ini sesuai dengan Firman Allah: 4 (#q9$# uqd > t%r& 3 uq) -G=9 ( ( Artinya: Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (QS Al- Maidah 8). 121 c. Hibah dari Orang Tua Kepada Anak Tiri Dalam kasus ini ada empat point yang harus dicermati dan diperhatikan karena dalam hal ini berkaitan dengan Hukum Islam, yaitu: 1. Pengakuan dari anak tiri bahwa harta tersebut diberikan kepadanya karena kedekatan, perhatian orang tua tirinya. 2. Dalam pengakuan anak tersebut, anak tiri sebagai penerima hibah tidak mendatangkan saksi. 121 Departemen Agama RI, Op.Cit.,hlm 109 64 3. Harta yang dihibahkan adalah keseluruhan harta yang dimiliki oleh penghibah (Bapak Jhumari). Dan kalaupun pengakuan tersebut dapat dibuktikan, maka seluruh harta pemberian tidak dapat dibenarkan, karena pemberian hibah maksimal adalah 1/3 dari keseluruhan harta penghibah. Dan hal ini bertentangan dengan prinsip keadilan karena orang tua tiri tersebut masih mempunyai anak kandung yang berhak pula menerima hibah. 4. Pemberian hibah tersebut dilakukan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang membawa kematian. 122 Bentuk penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh para pihak yaitu, dengan cara Mediasi melalui Lembaga Musyawarah Desa (LMD). 123 Mediasi adalah sebagai upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan kesepakatan bersama melalui Mediator yang bersifat netral, dan tidak membuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak, tetapi sebagai penunjang fasilitator untuk terlaksananya dialog antara pihak dengan suasana keterbukaan, kejujuran dan tukar pendapat untuk tercapainya mufakat. 124 Mediator berfungsi untuk menginterpretasikan pikiran dan kekhawatiran pertukaran informasi antara pihak dan memperkecil masalah. Semua ini tergantung juga pada besar dan kompleksnya masalah dan kapasitas kemampuan mediator. 125 122 Wawancara dengan Bapak Soffan Hadi Santoso, Kepala Desa Bengkal, tanggal 29 Mei 2010 123 Ibid, 124 Susanti Adi Nugroho, Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta: PT.Telaga Ilmu Indonesia,2009.Cet.I. hlm 25 125 Ibid, hlm.43 65 Jalan yang ditempuh dalam menyelesaikan masalah ini adalah lewat musyawarah Desa yang mana menghasilkan keputusan bahwa bagian harta yang diterima oleh anak tiri adalah tidak kurang dari 1/3 bagian dari seluruh harta kekayaan almarhum. Sedangkan pihak ahli waris mendapatkan bagiannya sesuai dengan ketentuan Hukum Waris. 126 d. Hibah dari Orang Tua Kepada Anak Angkat Kasus pemberian hibah dari orang tua kepada anak angkat, persoalannya sama dengan yang dijelaskan di atas. Yaitu, memberikan harta kekayaan seluruhnya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, para pihak yang bersengketa membawa masalah tersebut dalam musyawarah keluarga atau melalui musyawarah Desa. - Pemberian hibah yang dilakukan oleh Bapak Suyitno adalah sepihak dan dalam hal ini mengakibatkan konflik antara anak angkat dengan saudara penghibah sendiri. Untuk menyelesaikan masalah tersebut para pihak melakukan musyawarah keluarga maupun membawa masalah ini melalui jalur musyawarah Desa. Dari hasil musyawarah, para pihak melakukan negosiasi atau proses tawar menawar, Pihak anak angkat disini mendapatkan bagiannya tidak kurang dari 1/3 bagian dari seluruh harta kekayaan almarhum Bapak Suyitno. Sedangkan saudara dari almarhum mendapatkan bagiannya sesuai dengan ketentuan Hukum 126 Wawancara dengan Bapak Soffan Hadi Santoso, Kepala Desa Bengkal, tanggal 29 Mei 2010 66 Waris. 127 Mengingat bahwa pemberian hibah yang dilakukan oleh penghibah sendiri, maka dalam hal ini tidak dapat disahkan. Karena menyalahi prinsip Keadilan dan persamaan. Firman Allah SWT: (#q9$# uqd > t%r& 3 uq) -G=9 ( ( Artinya: Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (QS. Al-Maidah:8) 128 Menurut Hukum Waris Islam ahli waris yang saudara kandung dari almarhum tersebut mendapat ashobah dan oleh Karena itu ada saudara yang menghijabnya juga tidak ada kakek, maka saudara kandunglah yang berhak mendapat keseluruhan harta yang tinggalkan. 129 - Penghibahan yang dilakukan sebelumnya oleh Bapak Pudjo Sumarno yaitu, tidak begitu memperhitungkan seberapa besar yang harus diberikan kepada anak angkat karena adanya rasa balas budi. Dan akhirnya pada tahun 2003 terjadilah percekcokan antara anak angkat dengan anak kandung. Yang mana anak kandung disini menginginkan agar harta tersebut ditarik kembali oleh penghibah (Bapak Pudjo Sumarno) dan dibagi secara adil. Pada tanggal 10 Mei 2003 , penarikan dilakukan oleh penghibah di rumah penerima hibah (Ibu Endang Prihatin) dengan maksud agar dapat meredam konflik keluarga. Cara yang ditempuh oleh Bapak Pudjo Sumarno adalah sepihak, dengan mengundang kedua belah pihak yang bersengketa untuk melakukan 127 Ibid, 128 Departemen Agama RI, loq.cit, hlm 109 129 Wawancara denga Bapak Soffan Hadi Santoso, Kepala Desa Bengkal, tanggal 29 Mei 2010 67 proses negosiasi. Namun sebaliknya, tidak ada kesepakatan dari kedua belah pihak untuk mengakhiri konflik. Dengan sangat terpaksa Bapak Pudjo dalam menentukan sikap adalah menarik kembali hibahnya dari anak angkat dan hibah tersebut tidak dibagikan kepada siapapun baika anak angkat maupun anak kandung. 130 Bila ditinjau dari hukum adat setempat secara khusus bentuk penyelesaian sengketa adalah dengan musyawarah keluarga maupun lewat lembaga musyawarah desa. Karena pemberian hibah yang sebelumnya melebihi 1/3 kemudian ditarik kembali dan hibah tersebut kemudian akan dibagi secara adil dan masing-masing pihak mendapatkan bagiannya. Dalam kaidah ushul fiqih dikenal istilah al urf. Secara bahasa al-urf dipahami sebagai suatu yang diketahui, dikenal dan dianggap baik serta diterima oleh pikiran dan akal sehat. urf ialah sesuatu yang telah sering dikenal dan dikenal oleh manusia dan telah menjadi tradisinya pada suatu daerah, baik berupa ucapan atau perbuatannya dan atau hal meninggalkan sesuatu juga disebut adat. Menurut istilah ahli syara, tidak ada perbedaan di antara urf dan adat, maka urf yang bersifat perbuatan adalah seperti saling pengertian manusia tentang jual beli dengan pelaksanaan tanpa sighot yang diucapkan. Sedang urf yang bersifat ucapan adalah seperti saling mengerti mereka tentang kemutlakan lafal al-walad atas anak laki-laki bukan anak perempuan, dan juga saling mengerti mereka agar tidak mengitlakkan lafal al-lahm yang bermakna daging 130 Wawancara dengan Bapak Pudjo Sumarno, Kepala Desa Bengkal,tanggal 13 Agustus 2009 68 atas al-jamak yang bermakna ikan tawar. Jadi urf adalah terdiri dari saling pengertian manusia atas perbedaan tingkatan mereka, keumumannya dan kekhususannya. 131 Urf menurut penyelidikan adalah bukan dalil syara yang tersendiri. Pada umumnya ia adalah termasuk memelihara maslahah sebagaimana dipelihara dalam pembentukan hukum. 132 Bentuk penyelesaian sengketa pemberian hibah dilakukan berdasarkan pengertian dari para pihak penghibah, penerima hibah maupun ahli waris. Oleh karena itu dalam menentukan kapan penyelesaian hibah, pelaksanaan dalam penarikan hibah dilakukan, para pelaku yang terlibat didalamnya tidak dapat menjelaskan secara pasti. Para pelaku hanya menyebutkan berdasarkan perkiraan saja. 133 Di dalam hukum Islam sebagai salah satu dari rukun hibah, penghibah disyaratkan: 1. Pemberi hibah memiliki barang yang dihibahkan. 2. Pemberi hibah bukan orang yang dibatasi haknya. 3. Pemberi hibah adalah orang dewasa (baligh). 4. Pemberi hibah tidak karena dipaksa, sebab akad hibah mensyaratkan keridhaan. 134 131 Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh), Jakarta: Rajawali Press, 1991, hlm. 133-134. 132 Ibid., hlm. 137. 133 Wawancara dengan Bapak Soffan Hadi Santoso, Kepala Desa Bengkal, Bengkal 29 Mei 2010 134 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 4, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006, Cet.I, hlm. 437-438. 69 Adapun syarat penerima hibah dalam hukum Islam ia hadir (ada) pada saat pemberian hibah, apabila ada atau diperkirakan ada, misalnya janin, maka hibah tersebut tidak sah. Namun apabila penerima hibah ada pada saat pemberian hibah, tetapi masih kecil atau gila, maka hibah tersebut diambil oleh walinya, pemeliharanya, atau pendidiknya sekalipun dia orang asing. 135 Dengan demikian karena bentuk penyelesaian sengketa benda hibah dan kadar benda yang dihibahkan tidak bertentangan dengan syarat-syarat di atas maka dapat diterima oleh hukum Islam. Di atas telah dijelaskan bahwa dalam Islam hibah menjadi sah apabila ada ijab, kabul dan qabad. Menurut Chuzaimah T.Yango dan Hafiz Anshary, pengertian ijab dalam hukum Islam yaitu penghibah mengucapkan, Saya berikan ini kepada engkau, kabul yaitu penerima hibah mengucapkan, saya terima. Qabad yaitu serah terima. Sighat hibah hendaknya perkataan yang mengandung pengertian hibah dan hendaklah ada persesuaian antara ijab dan kabul. Persyaratan adanya ketegasan ijab dan kabul kenyataannya tidak disepakati oleh ulama-ulama mujtahid. Sebagian besar ulama yang beraliran fiqih syafiiyah dan Malikiyah mensyaratkan bagi orang yang mampu berbicara untuk menegaskan ijab dan kabul bagi keabsahan hibah. 136 Menurut mereka, orang yang menghibahkan harus secara tegas mengatakan ijab atau pemberiannya. Begitu pula yang menerima hibah harus secara tegas pula mengatakan dengan lisan atas pemberiannya. Keharusan adanya penegasan hibah dengan lisan dimaksudkan 135 Ibid. 136 Yurisrudensi (Peradilan Agama) dan Analisa, Yayasan al-Hikmah dan Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama, Jakarta: 1995, hlm. 672. 70 agar secara jelas apa yang diberikan itu adalah hibah dan dilakukan dengan kehendak sendiri secara rela. Dengan adanya ketegasan hibah itu, baru berlaku baginya segala hukum hibah. Adanya keharusan ketegasan penerimaan dengan lisan, agar secara pasti diketahui keadaan penerimanya. 137 Sedangkan Hukum Perjanjian Dalam Islam karangan Chairuman Pasaribu dan Suhwardi K Lubis, menerangkan bahwa sebagian kalangan Hanafiyah berpendapat ijab saja sudah cukup tanpa harus diikuti dengan kabul, dengan perkataan lain hanya berbentuk pernyataan sepihak. Untuk keabsahan hibah tidak mesti adanya ketegasan ijab dan kabul secara lisan. Menurut aliran ini hibah dianggap sah, sekalipun dengan tindakan-tindakan yang biasa dipahami menunjukkan adanya pemberian. 138 Dan itulah yang paling shahih. 139 Alasan pendapat Hanafiyah adalah dalam sebuah hadits diceritakan bahwa Rasulullah berkata pada Abdullah ibnu Umar, lakukanlah sesuka hatimu terhadap keledai itu, dengan maksud menghibahkan kepada Umar. Dalam cerita tersebut Rasulullah tidak secara tegas dengan lisan melafalkan ijab hibah dan begitu pula dengan Ibnu Umar yang tidak secara tegas dengan lisan menerima hibah dari Rasulullah. Hukum adat tidak menentukan bahwa hibah wasiat itu bersifat terbuka atau tertulis sendiri sebagaimana pasal 931 KUH Perdata. Tetapi jika mungkin hal itu dapat dilaksanakan. Namun yang bisa berlaku adalah menurut hukum 137 Satria Effendi M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, Jakarta: Prenada Media, 2004, cet. I, hlm. 475. 138 Satria Effendi, M. Zein, op.cit. 139 Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 170. 71 adat setempat, yang mana cukup diucapkan di hadapan istri, anak-anak atau anggota keluarga dekat lainnya. Kemudian hendaknya diperhatikan sebagaimana putusan Mahkamah Agung tanggal 23 Agustus 1960 No. 225 K/SIP/1960 bahwa hibah itu tidak memerlukan persetujuan ahli waris dan hibah itu tidak mengakibatkan ahli waris dari si penghibah, sedangkan hibah wasiat itu tidak boleh merugikan ahli waris dari si penghibah. 140 Jika ditinjau dari segi yuridis formal dalam hal ini KUH Perdata, dalam pasal 1682 ditegaskan bahwa Tiada suatu hibah, kecuali yang disebutkan dalam pasal 1687, dapat atas ancaman batal, dilakukan selainnya dengan suatu akta notaris, yang aslinya disimpan oleh notaris itu. Dari pasal tersebut terlihat bahwa untuk penghibahan benda tak bergerak ditetapkan suatu formalitas dalam bentuk akta notaris. 141 Berkaitan dengan pembagian urf yang telah penulis sampaikan di atas, transaksi hibah yang ada di Desa Bengkal adalah termasuk urf yang bersifat perbuatan. Sebagaimana kaidah ushul fiqih yang berbunyi: - Artinya: Adat adalah sebagai hukum Menurut penulis bentuk penyelesaian yang dilakukan oleh mayarakat Bengkal adalah dengan cara musyawarah termasuk suatu kebiasaan. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya konflik yang berkepanjangan dan adat termasuk suatu ketetapan hukum yang dibuat oleh masyarakat itu sendiri. 140 Hilman Hadikusumah, Hukum Waris Adat, Bandung: Alumni, 1983, hlm. 69. 141 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: PT. Citra Aditsya Bhakti, 1995, hlm. 102. 72 Sedangkan untuk pemindahan hak milik dengan cara penghibahan dalam hal ini benda tidak bergerak (tanah) lebih baik mengikuti pasal 1682 KUH Perdata, yaitu harus disertai dengan akta otentik. Karena dengan adanya akta otentik atau bukti tertulis yang sah maka dapat mencegah timbulnya konflik antara para ahli waris dengan si penerima hibah. Jika hibah tanpa akta otentik akan menimbulkan kesan bahwa transaksi hibah itu dilakukan secara gelap. Sebaliknya dengan akta otentik, maka untuk transparansi menjadi tampak. Hal ini akan menguntungkan kedua belah pihak yaitu pemberi hibah dan penerima hibah, juga dapat menguntungkan bagi ahli waris lainnya dalam konteks dengan terpeliharanya hubungan harmonis antara para pihak. Penerima hibah juga menjadi tahu tentang seberapa banyak dan seberapa besar hak-haknya. Kenyataannya memang tidak jarang peristiwa gugat menggugat di pengadilan sebagai akibat adanya salah satu pihak merasa diperlakukan secara tidak adil dan dicurangi sehingga seringkali konflik tersebut berlanjut hingga kepada anak cucu. Bertumpu pada alasan di atas, penulis berpendapat bahwa Bentuk penyelesaian sengketa haruslah sesuai dan perlu dilakukan karena dalam hal pemberian yang melebihi 1/3, masih ada ahli waris yang harus dihormati haknya. Sedangkan mengenai harta otentik merupakan sebagai salah satu syarat penghibahan benda tidak bergerak menjadi unsur yang sangat penting dalam menjaga nilai kekuatan dan pembuktian dari hibah itu sendiri. Karena akta otentik (alat bukti surat) merupakan alat bukti pertama dan lebih utama. Dikatakan pertama oleh karena (alat bukti surat) gradasinya disebut pertama 73 dibandingkan alat bukti lainnya, sedangkan dikatakan utama karena pada asasnya di dalam perkara perdata, yang dicari adalah kebenaran formal, maka alat bukti yang berbentuk tulisan merupakan alat bukti yang sengaja dibuat untuk dapat dipergunakan sebagai alat pembuktian utama. E. Analisis Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penyelesaian Sengketa Pemberian Hibah yang Melebihi 1/3 dari Ketentuan Hukum Islam di Desa Bengkal Kec. Kranggan Kab. Temanggung Dalam penyelesaian sengketa yang ada di Desa Bengkal, pemberi hibah menarik kembali hibahnya baik dari cucu, anak kandung, anak tiri dan anak angkat. Di dalam penarikan hibah itu sendiri bertujuan untuk meredam konflik antara keduanya. Menurut hukum Islam menarik kembali suatu hibah yang telah diberikan kepada orang lain tidak dibenarkan (haram), kecuali hibah orangtua terhadap anak-anaknya. Karena sesungguhnya seseorang itu ikut memiliki harta anaknya, karena itu dia boleh, makan dari padanya, baik dengan seizin anak atau tidak. Dan dibolehkan juga dia mempergunakan (membelanjakan) harta anaknya selama tidak boros dan tidak seenaknya sendiri. Untuk penarikan hibah, menurut As-Sayyid Sabiq bahwa alruju di dalam hibah hukumnya adalah haram, walaupun dalam penarikan hibah dilakukan kepada saudara atau suami, istri kecuali hibah seorang bapak (orangtua) kepada anaknya. Hal ini sesuai dengan Hadits Nabi: 74 _ _ ,, _ : , . ,, _-,, , ,= _=, -, - , _=, , ) ., ,, - ,, ,,,' ,_ ( Artinya: Dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar r.a, Seorang tidak dihalalkan menarik lagi pemberian yang telah diberikan, kecuali orangtua yang menarik kembali sesuatu yang telah diberikan kepada anaknya (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah dan Turmudzi dan Nasai). 142 Di dalam segi pemecahan kasus hibah yang terjadi di Desa Bengkal, menurut Hukum Islam, yaitu: - Hibah dari Kakek Kepada cucu Penyelesaian kasus hibah yang dilakukan sepihak oleh penggugat dengan menekan penerima hibah agar menyerahkan harta hibahnya adalah tidak dibenarkan oleh syariat islam. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT: w ur (#q=. ' s? N3 s9uqBr& N3 oY t/ @t69$$/ (#q9?ur !$yg / n<) Q$6 t: $# (#q=2 ' tG9 $Z) s ` iB A uqBr& $Y9$# O OM} $$/ OFRr&ur tb qJ n=s? Artinya Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.(QS. Al-Baqarah:188) 143 Oleh karena harta hibah diserahkan secara paksa, maka penerima berhak menggugat kembali harta hibahnya yang diperoleh dengan cara yang 142 A Hasan, Soal-Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, Bandung: PT. c.v. Diponegoro, 1982,Cet IV.hlm 691. 143 Departemen Agama RI , Al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta :Bumi Restu , 1974, hlm 46 75 sah dan benar, agar dikembalikan kepadanya dengan menunjukkan alat bukti yang menguatkan atau bukti otentik. - Hibah dari Orang Tua Kepada Anak Kandung Seperti yang dijelaskan di depan, penyelesaian masalah hibah yang dialami oleh Bapak Sutrisno sebagai anak bungsu yaitu dengan cara musyawarah keluarga dengan mendatangkan ulam sebagai saksi ahli. Menurut pandangan Syariat Hukum Islam adalah sangat ideal karena didalam Syariat Hukum Islam bertujuan untuk kemaslahatan dunia akhirat. Dan cara terbaik untuk menyelesaikan suatu masalah dengan cara musyawarah, dalam hal ini secara tegas dunyatakan dalam Al-Quran: Nd r $xur DF{ $# ( Artinya: Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. (QS. Al-Imran :159) 144 - Hibah dari Orang Tua Kepada Anak Tiri Penyelesaian dalam kasus ini, proses penghibahan tersebut tidak dibenarkan. Adapun cara yang ditempuh oleh masing-masing pihak dengan cara melalui musyawarah keluarga dengan mediator aparat Desa, menurut Hukum Islam yaitu karena dalam musyawarah hak masing-masing pihak yang berperkara akan dapat dipenuhi dengan cara yang sebaik-baiknya tidak ada perampasan hak antara satu pihak dengan pihak yang lain. Perlu 144 Ibid, hlm 103 76 ditambahkan disini adalah perlu mendatangkan ulama, karena ulama mengetahui tentang syariat islam. Dengan catatan ulama tersebut haruslah bersifat obyektif. Dalam Firman Allah SWT: ! (#q=t s @d r& . e%!$# b ) OGY. w tb qHs>s? Artinya: Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,( QS. An Nahl: 43) 145 - Hibah dari Orang Tua Kepada Anak Angkat Permasalahan disini anak angkat menguasai seluruah harta orang tua angkatnya dengan cara hibah. Menurut Hukum Islam, kalau hibah tersebut terjadi pada anak angkat adalah tidak dibenarkan. Karena bertentangan dengan asas keadilan. Firman Allah: 4 (#q9$# uqd > t%r& 3 uq) -G=9 ( ( Artinya: Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. ( QS Al-Maidah:8) 146 Batas harta yang boleh dihibahkan hanya 1/3 dari keseluruhan harta orang tua angkatnya. Dan apabila tidak ada akad hibah, sementara orang tua angkatnya mempunyai ahli waris maka anak angkatnya dapat mengambil yang ssuai dengan bagiannya. Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa orang Islam telah melarang adanya penarikan terhadap sesuatu yang telah diberikan. 145 Ibid, hlm 408 146 Ibid, hlm109 77 Sedangkan pada pasal 212 KHI telah disebutkan bahwa hibah tidak dapat ditarik kembali kecuali hibah orangtua terhadap anaknya. Dalam pasal KUH Perdata pasal 1666 juga dijelaskan, bahwa pemberian hibah tidak dapat ditarik kembali. Namun demikian hukum Islam membolehkan menarik kembali hibah, penarikan hibah dapat sah terjadi karena dua hal. Pertama yaitu hibah orangtua terhadap anaknya. Hibah orang tua dapat ditarik kembali, karena anak berikut harta kekayaan adalah milik orangtua. 147 Diperbolehkan seseorang menarik kembali dalam keadaan di mana penghibah menghibahkan guna mendapatkan imbalan dan balasan atas hibahnya. Sedangkan orang yang diberi hibah (penerima hibah) belum membalasnya. Kedua, hibah itu tidak sah. Apabila dikembalikan kepada definisinya syarat adalah hal yang wujudnya hukum tergantung padanya, dan tidak adanya hal tersebut menyebabkan tidak adanya hukum, tetapi wujud hal tersebut tidak tentu mengharuskan adanya hukum. Sehingga dapat diketahui bahwa kurang terpenuhinya syarat hibah dapat mengakibatkan batalnya hukum hibah. Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa akad hibah itu tidak mengikat. Oleh karena itu, pemberi hibah boleh saja menarik hibahnya. Alasan yang mereka kemukakan adalah sabda Rasulullah saw: = ,_ ,, , ,_ . : ,, -,, , ., , ., 147 Abu Bakar Jabir el-Jazairi, Pola Hidup Muslim: Minhajul Muslim Muamalah alih bahasa oleh Rahmat Djatmiko dan Ahmad Sumpena, cet. I, Bandung: Remaja Rosdakatya, 1991, hlm. 157. 78 Artinya: Barangsiapa hendak memberi suatu hibah, maka dia lebih berhak terhadapnya (harta hibah) selama ia belum dibalas. 148 Akan tetapi, mereka juga mengatakan ada hal-hal yang menghalangi penarikan kembali hibah tersebut, yaitu: 1. Apabila penerima hibah telah memberi imbalan harta / uang kepada pemberi hibah dan penerima hibah menerimanya, karena dengan diterimanya imbalan harta / uang itu oleh pemberi hibah, maka tujuannya jelas adalah untuk mendapatkan ganti rugi. Dalam keadaan seperti ini hibah tidak dapat ditarik kembali. 2. Jika imbalannya bersifat maknawi, bukan bersifat harta, seperti mengharapkan pahala dari Allah SWT, untuk mempererat silaturahmi, tanda sayang dan hibah dalam rangka memperbaiki hubungan suami istri, maka dalam kasus hibah ini, menurut ulama Hanafiyah tidak boleh ditarik. 3. Harta yang dihibahkan telah dipindahtangankan penerima hibah melalui cara apapun, seperti menjual, diberikan atau diwakafkan maka hibah tersebut tidak dapat ditarik kembali. 4. Wafatnya salah satu pihak yang berakad hibah. Apabila penerima hibah atau pemberi hibah wafat, maka hibah tidak boleh ditarik kembali. 5. Rusak atau hilangnya harta yang dihibahkan disebabkan karena pemanfaatannya, maka hibah tidak boleh ditarik. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa dalam pasal 1666 KUH Perdata, hibah tidak dapat ditarik kembali. Meskipun demikian 148 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 14,Bandung : PT. Al-MaArif,1987, hlm 183. 79 dijelaskan dalam KUH Perdata, hibah dapat ditarik kembali dalam keadaan tertentu. Meskipun suatu harta penghibahan dalam pasal 1666 KUH Perdata, sebagaimana halnya suatu perjanjian pada umumnya, tidak dapat ditarik kembali secara sepihak tanpa persetujuan dari pihak lawan. Namun undang- undang memberikan kemungkinan bagi penghibah untuk dalam hal-hal tertentu menarik kembali hibahnya yang telah diberikan kepada seseorang. Kemungkinan itu diberikan oleh pasal 1688 berupa tiga hal: 1. Karena tidak dipenuhinya syarat-syarat dengan mana penghibahan telah dilakukan; dengan syarat di sini dimaksudkan beban. 2. Jika si penerima hibah telah bersalah; melakukan atau membantu melakukan kejahatan yang bertujuan mengambil jiwa si penghibah, atau suatu kejahatan lain terhadap si penghibah. 3. Jika menolak memberikan tunjangan nafkah kepada si penghibah, setelah orang ini jatuh dalam kemiskinan. 149 Jumhur ulama mengatakan bahwa pemberian hibah tidak dapat ditarik kembali. Karena perumpamaan dari orang yang menarik kembali hibahnya adalah bagaikan anjing yang memakan kembali muntahannya. Namun demikian hibah dapat ditarik kembali apabila hibah tersebut adalah hibah dari orangtuanya kepada anaknya atau hibahnya tidak sah. Seperti dalam hadits riwayat Ibnu Abbas r.a: ,, , ._, . ) _, ,,,' ,_ ( 149 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti, 1995, hlm. 102. 80 Artinya: Orang yang menarik kembali hibahnya sama seperti anjing yang menjilat kembali muntahannya (Dari Abu Daud dan An-Nasai). 150 Berlandaskan pada permasalahan diatas menurut penulis sangatlah perlu diadakan penyelesaian karena ada hak ahli waris yang harus dihormati dan penyelesaian tersebut haruslah sesuai dengan ketentuan Hukum Islam. 150 Syaikh Dawud bin Abdullah Fathoni, Furuul Masail, Juz II, hlm. 124 81 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan di atas, maka selanjutnya penulis akan memberikan kesimpulan sebagai jawaban dari permasalahan dalam makalah ini: 1. Praktek pemberian hibah yang dilakukan oleh masyarakat Bengkal atas dasar kasih sayang. 2. Bentuk penyelesaian yang dilakukan dengan cara musyawarah tidaklah menyalahi aturan hukum Islam selama ada kesepakatan bersama dari para pihak yang bersengketa. Dengan tujuan untuk meredam konflik keluarga, dilihat dari pemberi hibah (wahib), penerima hibah (mauhub alaih) dan barang yang dihibahkan (mauhub) tidak ada yang terlepas dan menyimpang dari hukum Islam. Hal ini dapat diterima dalam hukum Islam, karena ketegasan lisan tidak menjadikan batalnya keabsahan hibah. Dalam ketentuan perundang-undangan keperdataan Indonesia, bahwa setiap pemindahan hak milik harta tidak bergerak (tanah) harus menggunakan suatu akta tertulis. Kalau tanpa adanya akta otentik dapat mengakibatkan batalnya hibah tersebut. Namun Islam tidak mengatur prosedur penyelesaian sengketa hukum dalam setiap transaksi yang dilakukan tidak harus dengan menggunakan akta hitam di atas putih. 82 3. Penyelesaian kasus hibah dilakukan dengan musyawarah antara para pihak yang berperkara, maupun aparat desa adalah diperbolehkan meskipun puncaknya penyelesaian bias ke pengadilan. 4. Sedangkan Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penyelesaian Sengketa Pemberian Hibah yang Melebihi 1/3 dari Ketentuan Hukum Islam Di Desa Bengkal Kec. Kranggan Kab. Temanggung, menurut hukum Islam penyelesaian sengketa hibah dengan cara menarik kembali hibahnya demi meredam konflik keluarga adalah halal (jika sesuai dengan Hukum Islam) dan perlu digaris bawahi, di dalam permasalahan ini ada pihak lain yang kedudukannya tidak sama dengan ahli waris dan proses penyelesaiannya haruslah sesuai dengan kesepakatan bersama. B. Saran 1. Hendaknya pemberi hibah dalam proses pemberian hibah mengikut sertakan ahli warisnya untuk bermusyawarah. 2. Oleh karena adanya perkembangan hukum Islam yang dilembagakan dalam bentuk Undang-Undang, maka perlu kiranya praktek pemberian hibah di Desa Bengkal dilakukan sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Seperti adanya dua orang saksi, registrasi bukti tertulis. 3. Hendaknya untuk bentuk penyelesaian sengketa haruslah sesuai dengan kesepakatan bersama dan tidak ada pihak yang akan merasa dirugikan. Dan untuk pemindahan hak milik dengan cara penghibahan dalam hal ini 83 benda tidak bergerak (tanah) lebih baik mengikuti ketentuan yuridis formal, yaitu disertai dengan akta tertulis (akta otentik) selain ijab qabul yang dilakukan di depan dua orang saksi. Sebenarnya dengan adanya akta otentik atau bukti tertulis yang sah maka dapat mencegah konflik antara para ahli waris dengan penerima hibah di kemudian hari. Dalam pemberian hibah, kadar yang harus diberikan haruslah sesuai dengan ketentuan hukum Islam yaitu tidak melebihkan pemberian yang melebihi 1/3 dari harta penghibah. Jika ketika hibah tanpa adanya akta otentik akan menimbulkan kesan bahwa transaksi hibah itu dilakukan secara gelap. Sebaliknya dengan akta otentik, maka unsur transparansi menjadi tampak. Hal ini akan menguntungkan kedua belah pihak yaitu pemberi hibah dan penerima hibah, juga dapat menguntungkan bagi ahli waris lainnya dalam konteksnya dengan terpeliharanya hubungan harmonis antara para pihak. 4. Dalam penyelesaian sengketa hibah seharusnya para orangtua haruslah bersifat adil antara anak yang satu dengan anak yang lainnya. Begitu pula dengan masalah penarikan kembali pemberian (hibah) orangtua harus bersifat adil. Dikhawatirkan akan menimbulkan rasa iri dan akan timbul kesenjangan sosial kepada salah satu pihak yang merasa dirugikan yang akan berakibat dikemudian hari. Jadi berhati-hatilah kepada setiap muslim dalam bermasyarakat antara satu dengan yang lainnya. Karena di dalam telah mengatur tata cara kehidupan manusia dalam bermuamalah. 84 C. Penutup Demikian yang dapat penulis susun dan sampaikan, rasa syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan petunjuk serta kekuatan lahir dan batin sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa halangan yang berarti. Meskipun telah berupaya dengan optimal, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kelemahan dan kekurangan dari berbagai segi dan jauh dari kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Sehingga saran dan kritik yang membangun penulis harapkan untuk kebaikan dan kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap dan berdoa semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya. 85 DAFTAR PUSTAKA A. Rahman, Asymuni, dkk (Tim Penyusun), Ilmu Fiqh 3, Jakarta: Depag RI, 1986. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1995. al-Anshori, Abi Yahya Zakariyah, Fath al-Wahab, Semarang: Toha Putra, Juz 1, t.th. al-Ghazzi, Syekh Muhammad ibn Qasim, Fath al-Qarib al-Mujib, Semarang: Pustaka Alawiyah, t.th. al-Jaziri, Abd al-Rahman, Kitab al-Fiqh ala al-Mazahib al-Arbaah, Beirut: Dar al-Fikr, t.th. al-Malibary, Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz, Fath al-Muin, Semarang: Pustaka Alawiyah, t.th. al-Maududi, Abul Ala, Prinsip-prinsip Islam, Alih Bahasa Abdullah Suhaili, Bandung: PT al-Maarif, 1985. Arto, Mukti, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Koleksi Hadits-Hadits Hukum 7, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, Cet. III, 2001. Ash Shiddiqy, Teungku Muhammad Hasbie, Pengantar Fiqh Muamalah, Cet. 4, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001. As-Siddieqy, M. Hasby, Hukum Fiqh Islam, Jakarta : Bulan Bintang, Cet. V, 1978. Azwar, Syaifudin, Metode Penelitian, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 2001. Az-Zuhayly, Talim al-Mutaalim fi Bayan al-Tariq al-Talim, Bandung: PT al- Maarif, t.th. Azzuhayly, Wahbah, al Fiqh Al Islamy Wa Adillatuh, Juz 5, Damsyiq : Dar Al- Fikr. Bisri, Moh. Adib, Terjemah Faraidul Bahiyah, (Risalah Qawaid Fiqh), Kudus: Menara, t.th. 86 Buku Laporan Pertanggungjawaban Kepala Desa Bengkal Tahun 2007 Chuzaimah dan Anshary AZ, Hafiz, (Editor), Problematika Hukum Islam Kontemporer, Cet. 3, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004. Dahlan, Abdul Aziz, et.al., Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar van Hoeve, 1996. Dawud, Syaikh bin Abdullah Fathoni, Furuul Masail, Juz II. Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, Jakarta: Bumi Restu, 1997. Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, Semarang : Kumudasmoro Grafindo, 1994. Effendy, H.A.M, SH, Pokok-Pokok Hukum Adat, Semarang: Duta Grafika, 1990, cet.III. el-Jazairi, Abu Bakar Jabir, Pola Hidup Muslim: Minhajul Muslim Muamalah alih bahasa oleh Rahmat Djatmiko dan Ahmad Sumpena, cet. I, Bandung: Remaja Rosdakatya, 1991. Emirson, Joni, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001. Fajar Iskandar, Studi Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang No: 15/pdt.g/2007/PTA.Smg. Tentang Penarikan Hibah Orang Tua Terhadap Anak, Skripsi Fakultas Syariah IAIN Walisongo, Semarang, 2006. Farihi, Hamid, Hibah Terhadap Anak-Anak Dalam Keluarga, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1995. Hadikusumah, Hilman, Hukum Waris Adat, Bandung: Alumni, 1983. Hasan, A, dkk, Soal-Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, Bandung: PT C.V Diponegoro, Cet.VI, 1982. Hasan, M. Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Cet. 1, Jakarta: PT Raja Grafindo. Hasan, M. Ikbal, Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002. Khallaf, Abdul Wahab, Kaidah-kaidah Hukum Islam, (Ilmu Ushul Fiqh), Jakarta: Rajawali Press, 1991. 87 Khotimah, Tinjauan Hukum Islam terhadap Tradisi Pemberian Hibah pada Anak- anak dan Kaitannya dengan Pembagian Warisan, Fak. Syariah IAIN Walisongo, Semarang, 2002 Koentjaraningrat, Metodologi Penelitian Masyarakat, Jakarta : Gramedia, 1997. Kompilasi hukum Islam Seri Perundangan, Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2004. M. Zein, Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, Jakarta: Prenada Media, 2004. Margono, S., Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta : Rineka Cipta, 2004. Moeleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya. Mudzakir, Fiqih Sunnah Jilid 14, Bandung: PT. Al-Maarif, Percetakan Offset, 1987. Muhammad Munir, Analisis Terhadap Pendapat Imam Syafii Tentang Pencabutan Kembali Hibah, Skripsi Fakultas Syariah IAIN Walisongo, Semarang, 2006. Muhammad, Abu Bakar, Subulussalam (terjemah), Surabaya: Al-Ikhlas, 1995. Munawir, A. W., Kamus al-Munawir, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997. Murad, Rusmadi, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Bandung: Alumni, 1991. Nazir, Muh, Metodologi Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1998. Nugroho, Susanti Adi ,Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian sengketa, Jakart:PT Telaga Ilmu Indonesia, 2009. Nuruddin, Amiur, Ijtihad Umar Ibn al-Khattab, Studi tentang Perubahan Hukum dalam Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1991. Pasaribu, Chairuman, dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1996. Praja, Juhaya S., Filsafat Hukum Islam, dalam Tjun Suryaman (ed), Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991. 88 Rahman, Asymuni A., dkk (Tim Penyusun), Ilmu Fiqh 3, Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama Islam / IAIN Jakarta Direktorat Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1986. Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada Cet. III, 1998. Rusyd, Ibnu, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayatul Muktashid, Juz I, Semarang : Usaha Keluarga, t.th. Sabiq, As-Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Juz XIV, Kwait: Dar Al Bayan, t.th. Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah 14, Bandung: PT. Al-Maarif. Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah 4, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006, Cet. I, . 436. Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, t.th. Saifullah, Muhammad, dkk. Hukum Islam Solusi Permasalahan Keluarga, Yogyakarta: UII Press, 2005. Salim, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta; Sinar Grafika, 2006. Simanjuntak, P.N.H, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1999. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti, 1995. Subekti, R., dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: PT pradnya Paramita, 1999. Subekti, R., dan Tjitrosudibio, KUH Perdata, Jakarta; PT Pradnya Paramita,1999, Cet.29. Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Cet. I Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1997. Syafei, Rachmat, Fiqh Muamalah, Bandung: CV Pustaka Setia, 2006. Syafei, Rachmat, Pengantar Ilmu Fiqh, Cet. 2, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Hukum 7, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, Cet. III, 2001, . 294. 89 Tim Penulis Fakultas Syariah IAIN Walisongo, Pedoman Penulisan Skripsi, Semarang : Fak Syariah, IAIN Walisongo, 2000. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005. Tim Redaksi Pustaka Yustisia, Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Yogyakarta : Pustaka Yustisia, Cet. I, 2008. Undang-undang Nomor 30 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta; BP. Cipta Jaya, 1999. Yafie, Ali, Menggagas Fiqh Sosial, Bandung : Mizan, 1994. Yahya, Mukhtar, dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Fiqh Islami, Bandung: PT al-Maarif. Yurisrudensi (Peradilan Agama) dan Analisa, Yayasan al-Hikmah dan Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama, Jakarta: 1995. 90 DAFTAR RIWAYAT HIDUP Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Mahmudah Tempat/tanggal lahir : Blora, 14 Juni 1985 Alamat : Desa Sidorejo Rt.06/Rw.01 Kec. Kedungtuban Kab. Blora Jenis kelamin : Perempuan Agama : Islam Status : Belum Menikah No. Telp. : 085641666845 Menerangkan dengan sesungguhnya. Jenjang pendidikan : 1. MI Assalam I Wado Kec.Kedungtuban Kab.Blora Tahun lulus 1998 2. MTs Almaruf Kartayuda Wado Kec.Kedungtuban Kab. Blora Tahun lulus 2001 3. MAN Lasem, Rembang Tahun lulus 2004 4. Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang Tahun lulus 2010 Demikian daftar riwayat hidup ini dibuat dengan sebenarnya dan semoga dapat digunakan sebagaimana mestinya. Semarang, April 2010 Penulis Mahmudah NIM. 2104015 91 BIODATA MAHASISWA Yang bertanda tangan dibawah ini: Nama : Mahmudah NIM : 2104015 Fakultas : Syariah Jurusan : Al-Ahwal Al-Syakhsiyah Alamat : Desa Sidorejo Rt.06/Rw.01 Kec. Kedungtuban Kab. Blora Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya . Semarang, 8 Juni 2010 Penulis Mahmudah NIM. 2104015 92 PEDOMAN WAWANCARA PENYELESAIAN SENGKETA PEMBERIAN HIBAH YANG MELEBIHI 1/3 DARI KETENTUAN HUKUM ISLAM DI DESA BENGKAL KEC. KRANGGAN KAB. TEMANGGUNG Penghibah 1. Sebenarnya apa yang diberikan oleh penghibah kepada si penerima hibah, apa ada saksi dalam penghibahan tersebut? 2. Motivasi apa penghibah melebihkan pemberian hibah tersebut? 3. Apakah penghibah tahu jika melebihkan pemberian itu bertentangan dengan hukum Islam? 4. Dalam pemberian hibah, apakah ada pihak yang dirugikan? 5. Bagaimana bentuk penyelesaian sengketa ketika ada pihak yang dirugikan? 6. Apakah ada pro kontra dalam penyelesaian sengketa pemberian hibah tersebut? 7. Apa yang menjadi tujuan diadakannya penyelesaian sengketa tersebut? 8. Apakah ada visi misi ketika penghibah melakukan penyelesaian sengketa pemberian hibah tersebut? 93 PEDOMAN WAWANCARA PENYELESAIAN SENGKETA PEMBERIAN HIBAH YANG MELEBIHI 1/3 DARI KETENTUAN HUKUM ISLAM DI DESA BENGKAL KEC. KRANGGAN KAB. TEMANGGUNG Penerima Hibah 1. Sebenarnya apa yang anda terima dalam penghibahan tersebut? 2. Motivasi apa ketika anda menerima pemberian hibah tersebut? 3. Apakah penerima hibah tahu jika pemberian hibah tersebut berlebihan? 4. dalam Pemberian hibah, apakah anda tahu jika ada pihak yang dirugikan? 5. Bagaimana sikap anda menyikapi masalah tuntutan jika ada pihak yang dirugikan. 6. Apakah anda menerima bentuk penyelesaian yang diadakan oleh pihak keluarga? 7. Apa tujuan diadakannya penyelesaian sengketa tersebut? 8. Apakah ada visi dan misi ketika penerima hibah melakukan penyelesaian sengketa pemberian hibah tersebut. 94 PEDOMAN WAWANCARA PENYELESAIAN SENGKETA PEMBERIAN HIBAH YANG MELEBIHI 1/3 DARI KETENTUAN HUKUM ISLAM DI DESA BENGKAL KEC. KRANGGAN KAB. TEMANGGUNG Masyarakat Bengkal 1. Apa yang melatarbelakangi terjadinya penyelesaian sengketa pemberian yang melebihi 1/3 dari ketentuan hukum Islam? 2. Dalam pemberian hibah, apakah ada pihak yang dirugikan? 3. Sebenarnya apa yang diberikan oleh penghibah kepada si penerima hibah, apa ada saksi dalam penghibahan tersebut? 4. Apakah tidak bertentangan dengan hukum Islam apabila melebihkan pemberian hibah tersebut? 5. Motivasi apa penghibah melebihkan pemberian hibah tersebut? 6. Bagaimana bentuk penyelesaian sengketa ketika adanya gugatan dari pihak yang dirugikan dalam penghibahan tersebut? 7. Apakah ada visi dan misi ketika pihak penghibah dengan si penerima hibah melakukan penyelesaian sengketa pemberian hibah tersebut? 8. Apakah ada pro dan kontra terhadap penyelesaian sengketa pemberian hibah yang melebihi 1/3? 9. Apa tujuan diadakannya penyelesaian sengketa? 10. Bagaimana pandangan masyarakat Bengkal terhadap adanya penyelesaian sengketa tersebut? 95 PEDOMAN WAWANCARA PENYELESAIAN SENGKETA PEMBERIAN HIBAH YANG MELEBIHI 1/3 DARI KETENTUAN HUKUM ISLAM DI DESA BENGKAL KEC. KRANGGAN KAB. TEMANGGUNG Tokoh Masyarakat Bengkal 1. Apakah masyarakat Bengkal mengerti atau paham mengenai hibah? 2. Apakah masyarakat Bengkal mengetahui tentang kadar hibah yang harus dikeluarkan? 3. Berapa besar prosentase atau kadar yang harus dikeluarkan dari hibah? 4. Apa landasan hukum Islam mengenai hibah? 5. Dalam praktek pemberian hibah, apakah pernah terjadi sengketa? 6. Apa yang melatarbelakangi terjadinya sengketa pemberian hibah? 7. Faktor-faktor apa saja ketika orang melebihkan pemberian hibah tersebut? 8. Apakah perlu diadakannya penyelesaian sengketa, jika ada pihak yang dirugikan? 9. Bagaimana dengan bentuk penyelesaian sengketa tersebut? 10. Apa ada misi-misi tertentu masyarakat melakukan penyelesaian sengketa tersebut? 96 PEDOMAN WAWANCARA PENYELESAIAN SENGKETA PEMBERIAN HIBAH YANG MELEBIHI 1/3 DARI KETENTUAN HUKUM ISLAM DI DESA BENGKAL KEC. KRANGGAN KAB. TEMANGGUNG Kepala Desa Bengkal 1. Apakah pernah ada sengketa tentang hibah di Desa Bengkal? 2. Apa yang melatarbelakangi terjadinya sengketa pemberian hibah? 3. Dalam pemberian hibah, apakah melebihi ketentuan dan adakah pihak yang dirugikan? 4. Sebenarnya apa yang diberikan oleh penghibah kepada si penerima hibah, apa ada saksi dalam penghibahan tersebut? 5. Jika terjadi sengketa, adakah penyelesaian yang ditempuh dari pihak yang berperkara? 6. Bagaimana bentuk penyelesaian sengketa pemberian hibah tersebut? 7. Apa tujuan diadakannya penyelesaian sengketa pemberian hibah tersebut? 8. Apakah ada pro dan kontra dalam penyelesaian tersebut? 9. Bagaimana tanggapan para pihak yang bersengketa tentang akhir penyelesaian sengketa tersebut? 10. Bagaimana pendapat Bapak terhadap diadakannya penyelesaian sengketa pemberian hibah yang melebihi 1/3 yang terjadi di Bengkal? 97 98 99 100 101 102